TINJAUAN PUSTAKA Perlakuan Benih untuk Peningkatan Kesehatan dan Mutu Benih Perlakuan benih merupakan bagian dari sistem produksi benih. Setelah benih dipanen dan diproses, benih biasanya diberikan perlakuan (seed treatment) untuk berbagai tujuan. Tujuan perlakuan benih adalah (1) menghilangkan sumber infeksi benih (disinfeksi) untuk melawan patogen tular benih dan hama, (2) perlindungan terhadap bibit ketika bibit muncul di permukaan tanah, (3) meningkatkan perkecambahan atau melindungi benih dari patogen dan hama, perlakuan benih dengan tujuan seperti ini berupa priming, coating, dan pelleting (Desai et al. 1997). Ditinjau dari ilmu penyakit tanaman (plant pathology), perlakuan benih memiliki tujuan untuk menghilangkan sumber infeksi (disinfeksi) dan disinfestasi dari benih akibat berbagai organisme patogen tular benih (seedborne) dan tular tanah (soilborne) serta hama gudang. Disinfeksi bertujuan melakukan eradikasi patogen yang berada di kulit benih atau di dalam jaringan benih. Sedangkan disinfestasi ditujukan untuk mematikan cendawan, bakteri, atau serangga yang berada dipermukaan benih (surface organism) tetapi belum menginfeksi permukaan benih (Desai et al. 1997). Menurut Agrawal & Sinclair (1996), beberapa kondisi benih yang perlu diberi perlakuan benih adalah (1) luka pada kulit benih yang dapat menstimulasi cendawan untuk memasuki benih sehingga dapat mematikan benih atau melemahkan kecambah; (2) benih mengalami luka selama pemanenan dan pascapanen yang dapat memudahkan benih terserang patogen; (3) benih yang terinfestasi oleh patogen pada saat panen dan saat benih diolah; (4) benih yang ditanam pada keadaan lingkungan yang tidak sesuai seperti tanah lembab atau sangat kering sehingga menstimulir pertumbuhan dan perkecambahan spora cendawan yang dapat menyerang dan merusak benih; dan (5) melindungi masamasa perkecambahan dan awal pertumbuhan tanaman dari organisme tular tanah. Teknik pengendalian penyakit terbawa benih lebih sering dilakukan secara kimia dan fisik.
Huynh & Gaur (2005) menyimpulkan adanya penurunan
kerusakan pada benih padi yang diberi perlakukan dengan fungisida Vivatax, Mancozeb, dan
Thiram setelah disimpan selama
dua bulan. Penurunan ke-
12
rusakan berturut-turut 0.69%;1.5%, dan 0.75%. Sementara tanpa perlakuan fungisida penurunan mencapai 14%. Setelah 6 bulan, penurunan kerusakan hanya mencapai 0.63%; 0.5%, dan 0.13% serta tanpa perlakuan fungisida kerusakan mencapai 10%. Percobaan pengendalian secara fisik dilakukan oleh Pattaya et al. (2005) yang mendapatkan bahwa perlakuan panas melalui frekuensi radio dapat efisein mengontrol jamur Alternaria padwickii pada benih padi. Menurut Desai et al. (1997), pada benih tanaman sayuran seperti mentimun, cabai, dan terong perlakuan benih dilakukan untuk mencegah penyakit busuk benih dan rebah kecambah (damping-off). Benih mentimun yang terserang penyakit antraknosa didisinfeksi dengan merkuri klorida dengan cara direndam selama 5 menit. Bahan protektan benih seperti captan atau dikombinasikan dengan dieldrin dapat digunakan setelah perendaman dalam HgCl2. Pada benih cabai, tomat, terung yang terserang busuk benih dan rebah kecambah diperlakukan dengan cara merendam dalam air pada suhu 45 0C selama 20 menit dan kemudian diberi protektan berupa larutan merkuri klorida dalam air panas tersebut. Menurut Taylor & Harman (1990), penggunaan teknik perlakuan benih seperti seed coating, seed pelleting, physiological seed treatment, seed priming, dan perlakuan benih dengan mikroorganisme yang menguntungkan (biological seed treatment) bertujuan untuk melindungi benih yang ditanam dari serangan cendawan. Sedangkan menurut Khan et al. (1990), seed priming atau osmoconditioning adalah perlakuan hidrasi benih terkontrol dengan larutan osmotik untuk memperbaiki pertumbuhan bibit. Sedangkan matriconditioning mempunyai tujuan dan prinsip sama dengan osmoconditioning, hanya pada matriconditioning hidrasi benih menggunakan media lembab yang didominasi oleh kekuatan matriks.
Bahan bioprotektan dan atau pestisida dapat dikom-
binasikan/ditambahkan dalam matricondtioning.
Perlakuan Benih dengan Menggunakan Agens Hayati Saat ini telah banyak dikembangkan teknik perlakuan benih secara biologi dan organik.
Teknik perlakuan benih
menggunakan mikroorganisme.
secara biologi umumnya dengan
Meningkatnya perlakuan benih dengan agens
hayati karena beberapa alasan diantaranya pestisida sintetis tidak semuanya efektif
13
dan dapat menyebabkan munculya resistensi baru patogen, serta kurang selektif. Di samping itu, dampak negatif terhadap keamanan produk pangan, masalah fitotoksisitas sehubungan dengan penggunaan pestisida berlebihan, pestisida sintetis mulai dibatasi penggunaannya dengan berbagai ketentuan (Bruin & Edgington 1980; Charles et al. 1995; Burges 1998). Perlakuan benih secara hayati sebagai alternatif pengganti bahan kimia sintetis terbagi menjadi dua, yaitu menggunakan agens biokontrol (biological seed treatment agents) atau ekstrak nabati (biofungicides seed treatment). Narayanasamy (2002) menyatakan biological seed treatment adalah metoda yang sangat efektif dan ekonomis dalam mengintroduksi agens biokontrol untuk mengendalikan seedborne pathogens dan soilborne pathogens. Menurut Callan et al. (1997), meskipun biological seed treatment sering menunjukkan spektrum pengendalian terbatas dibandingkan bahan kimia sintetis, namun kemampuan biokontrol untuk mengkolonisasi rizofer tanaman dapat menghasilkan manfaat lebih pada fase perkecambahan. Kemampuan agens hayati dalam menghambat pertumbuhan patogen dilakukan melalui beberapa mekanisme, yaitu produksi senyawa antimikroba, kompetisi nutrisi (karbon dan nitrogen) dan ruang tempat infeksi, kompetisi Fe melalui produksi siderofor oleh agens hayati, produksi senyawa HCN, induksi resistensi inang, inaktifasi faktor perkecambahan spora yang berasal dari benih dan eksudat akar, degradasi faktor patogenisitas seperti toksin, dan parasitisme (Weller 1998; Whipss 2000 ; Gnanamanickam 2002; Linderman 2003; Zhang 2004). Penggunaan mikroorganisme (bakteri atau cendawan) yang bersifat antagonis terhadap patogen sering dilakukan dengan mengkombinasikan dengan perlakuan benih seperti seed coating, seed pelleting, dan seed priming (Silva et al. 2004). Tabel 2 menyajikan hasil penelitian seed biological treatment yang dapat menurunkan serangan penyakit dan perbaikan pertumbuhan.
14
Tabel 2 Jenis patogen dan penyakit serta bakteri antagonis yang telah digunakan untuk perlakuan benih Penyakit Layu fusarium pada chikpea Antraknosa pada cabai Busuk akar pada kapas, kacang tanah, dan kedelai Seedborne pd cowpea Busuk akar
Patogen F. oxysprum
Agens biokontrol P. fluorescens
Referensi Kahn et al. 2004
Coletotricum capsici
B. polimixa + P. fluorecens B. subtilis
Sutariat 2006
B. subtilis
Smith et al. 1999
Aphanomyces
P. fluorescens
Busuk Phytopthora pada cabai Hawar daun kacang tanah
P. capsici
Serratia plymuthica
Bowers & Parke 1993 Shen et al. 2002
Rhizoctonia solani
Bacillus spp.
Rhizoctonia, Fusarium, Alternaria, dan Aspergillus C. dematium
Fravel 2002
Pengnoo et al. 2006
Penyakit Hawar Daun Bakteri pada Tanaman Padi Kerugian yang timbulkan penyakit hawar daun bakteri Tanaman padi yang infeksi oleh bakteri Xoo menyebabkan penyakit HDB. Penyakit HDB yang disebabkan Xoo tersebut menurunkan produksi padi (Zhao et al. 2007; Vikal et al. 2007). Menurut Rehaman et al. (2007) dan Vikal et al. (2007), HDB dapat menurunkan produksi sampai 50%.
Liu et al. (2006)
melaporkan, sebelum diterapkannya penggunaan varietas resisten dan karantina yang ketat, kerusakan karena HDB mencapai 20-30%. Menurut Ou (1985) di Indonesia dan Filipina dapat mencapai 60-75%. Selain menurunkan hasil, HDB juga menurunkan kualitas gabah karena terganggunya pemasakan. Sedangkan menurut Agrawal & Sinclair (1996), HDB termasuk penyakit terbawa benih (seedborne diseases).
Di Indonesia pada tahun 2006, terdapat 519.200 ha
tanaman padi diserang Organisme Penganggu Tanaman (OPT)
dan yang
terserang HDB seluas 74.243 hektar pertanaman padi dan merupakan serangan terluas yang disebabkan oleh penyakit (Direktorat Perlindungan Tanaman Pangan 2007).
15
Gejala penyakit hawar daun bakteri Ada dua gejala HDB pada padi yaitu kresek dan hawar daun. Dari kedua gejala di atas kresek adalah gejala penyakit yang bersifat lebih destruktif. Daundaun pada tanaman berubah menjadi kuning pucat dan layu pada fase bibit. Kejadian/gejala penyakit ini menjadi sebab kegagalan panen. Gejala kresek pertama kali diamati di Indonesia dan sangat umum di daerah tropis (Mew 1988). HDB adalah gejala yang lebih umum. Luka pada helaian daun meluas sampai ke pelepah daun. Luka meluas (panjang dan lebarnya) dan pinggiran daun akan bergelombang. Luka pada daun berubah menjadi berwarna keputihputihan, keaadaan itu diawali dari water–soaked greyish atau corak keabu-abuan dalam 1-2 minggu.
Ooze bakteri dapat diamati jika kondisi lingkungan lembab
dan hangat. Leaf blight terjadi pada semua fase pertumbuhan, tetapi umumnya pada tanaman muda sampai dewasa (Mew 1988; Liu et al. 2006).
Gambar 2 Gejala hawar pada daun padi yang terserang Xoo (a), Gejala kresek pada bibit padi (b) Menurut Ou (1985), kadang-kadang gejala HDB di daerah tropis sulit dibedakan karena sama-sama menghasilkan warna kuning pucat pada tanaman dewasa, terutama antara penyakit karena fisiologi dan parasit. Untuk melihat
16
kehadiran bakteri patogen dilakukan dengan memotong
bagian yang terkena
penyakit dan melihatnya di mikroskop. Ooze bakteri berwarna kuning akan keluar dari potongan daun yang terkena infeksi.
Gambar 3 Ooze Xoo yang keluar dari lubang alami daun padi Sumber:http://www.google.co.id/imglanding?q= symptom+bacterial+leaf+blight+rice+photo
Mekanisme Infeksi Xanthomonas oryaze pv. oryzae Xanthomonas oryazae pv. oryzae masuk ke dalam jaringan tanaman melalui hidatoda (Ou 1985). Sel-sel pada permukaan daun menjadi berair karena adanya larutan gutasi yang keluar pada malam hari dan masuk ke dalam tanaman, atau secara pasif ke dalam daun pada pagi hari. Bakteri memperbanyak diri dalam ruangan antarsel, dan menyebar ke bagian tanaman lainnya melalui xilem (Noda & Koku 1999). Di dalam xilem, Xoo kemungkinan berinteraksi dengan sel parenkim (Hilaire et al. 2001).
Patogen bergerak vertikal melalui pembuluh
utama daun tetapi juga bergerak secara lateral melalui pembuluh commissural. Dalam beberapa hari sel-sel bakteri dan ekstraseluler polisakarida (EPS) akan memenuhi pembuluh xilem dan ooze keluar dari hidatoda, membentuk bintikbintik atau seperti benang sebagai eksudat pada lapisan permukaan daun, sebagai karakteristik utama dari penyakit ini dan sebagai sumber inokulum sekunder (Mew & Misra 1994). Bakteri Xoo pada benih ditemukan pada bagian endosperm, perisperm, dan sekam padi (Agarwal & Sinclair 1996). Dijelaskan juga bahwa invasi patogen Xoo pada benih padi melalui sistem vaskular. Sementara itu, sistem vaskular
17
pada tanaman yang menjadi tempat infeksi sistemik benih terdapat pada bunga atau tangkai buah atau pada funikulus (Agarwal & Sinclair 1996).
Sumber Inokulum, Penyebaran, dan Kemampuan Bertahan Patogen Angin dan hujan menyebarkan bakteri ini dari tanaman padi yang terinfeksi dan tanaman inang lainnya, sebagai sumber kontaminan utama dan sebagai sumber inokulum utama.
Bakteri juga disebarkan oleh air irigasi (Liu et al.
2006), manusia, insekta, dan burung (Liu et al. 2006; Ou 1985). Sumber inang dan inokulum lainnya adalah beberapa jenis padi liar seperti Oryza sativa, O. rufipogon, dan O. australiensis dan gulma dari jenis rumput seperti Leersia oryzoide, Zizania latifolia, Leptochloa spp, Cyperus spp. (Liu et al. 2006). Di daerah tropis, pada musim kemarau Xoo bertahan pada rizofer dan batang gulma pada genera Leersia dan Zizania. Xoo dapat bertahan di dalam tanah 1-3 bulan tergantung dari kelembaban dan keasaman tanah tetapi bukan sebagai sumber inokulum utama (Ou 1985). Agrawal & Sinclair (1996) menyatakan bahwa pada benih padi, patogen Xoo dapat bertahan selama 9-16 bulan. Viabilitas bakteri akan menurun pada benih yang telah disimpan lebih dari 2 tahun pada suhu 25-35 0C. Salah satu sebab menurunnya viabilitas patogen tersebut adalah karena kehadiran bakteriofage yang mengurangi populasi Xoo. Penelitian yang dilaporkan oleh Mary et al. (2001) menyatakan bahwa patogen Xoo dapat bertahan sampai 6 minggu setelah panen.
Agens Hayati untuk Meningkatkan Pertumbuhan Tanaman Agens hayati (rizobakteri) yang diaplikasikan pada tanaman dapat memperbaiki pertumbuhan tanaman dan meningkatkan hasil. Rizobakteri akan membentuk koloni pada akar tanaman dan memanfaatkan eksudat pada akar tanaman (Pieterse et al. 2002; Antoun & Prevost 2006). Strain tertentu dari rizobakteri memiliki kemampuan merangsang pertumbuhan tanaman (plant growth-promoting rhizobacteria/PGPR) yang dapat diinokulasikan sebagai biofertilizer.
Rizobakteri dari spesies Pseudomonas dan Bacillus termasuk
rizobakteri yang memiliki kemampuan tersebut. Kedua bakteri spesies ini dapat
18
memberikan efek secara langsung maupun tidak langsung pada pertumbuhan tanaman (Kennedy et al. 2004; Nelson 2004). Bakteri perangsang pertumbuhan tanaman
dapat memberikan pengaruh
langsung pada pertumbuhan tanaman dengan meningkatkan penyerapan nitrogen, sintesis fitohormon, melarutkan mineral, mengkelat besi (Bowen & Rovira 1999). Beberapa bakteri perangsang pertumbuhan dapat menekan pertumbuhan patogen melalui produksi siderofor, antimikrobial atau kompetisi nutrisi (Nelson 2004). Secara
tidak
langsung,
bakteri
perangsang
pertumbuhan
menstimulasi
peningkatan ketahanan terhadap patogen dan penyakit yang memakan daun melalui pengaktifan penghalang fisik dan kimia dari tanaman inang, fenomena ini disebut dengan induksi ketahanan sistemik (Pieterse et al. 2002; Ryu et al. 2003; Kloepper et al. 2004; Bostock 2005). Selain itu, bakteri perangsang pertumbuhan tanaman dapat melarutkan fosfat inorganik dan organik menjadi fosfat yang tersedia bagi tanaman (Rodriguez & Fraga 1999; Rao 2007; Trivedi & Sa 2008). Laporan penelitian beberapa peneliti menunjukkan bahwa bakteri P. putida dan P. fluorescens dapat meningkatkan panjang akar dan pucuk pada canola, lettuce, dan tomat (Rodrigoez & Fraga 1999). Hasil gandum meningkat sampai lebih dari 43% dengan inokluasi bakteri B. megaterium (Rodrigoez & Fraga 1999).
Hasil penelitian lainnya pada tanaman kedelai, inokulasi bakteri
Pseudomonas spp. yang dikombinasikan dengan Bradyrhizobium japonicum dapat meningkatkan jumlah nodul, komponen hasil, dan ketersediaan dan daya serap nutrisi tanah oleh tanaman (Son et al. 2006). Trivedi et al. (2007) melaporkan bakteri dari spesies B. megatarium, B. subtilis, dan P. corrugata dapat meningkatkan penampilan tanaman padi dan meningkatkan hasil gabah karena memperbaiki penyerapan pupuk fosfat. Kedua percobaan dilakukan di rumah kaca dan di lapangan. Mehrvarz & Chaichi (2008) melaporkan kenaikan level fosfat pada daun dan peningkatan kualitas biji barley setelah benih diinokulasi dengan P. putida dan mikoriza. Herman et al. (2008), peningkatkan hasil buah secara signifikan
pada tanaman paprika (bell pepper)
setelah tanaman
diperlakukan dengan bakteri B. subtilis dan B. amyloliquefaciens. Sedangkan Ashrafuzzman et al. (2009) melaporkan peningkatan tinggi tanaman, panjang akar, bobot kering akar dan tanaman padi yang diperlakukan dengan rizobakteri.