11. TINJAUAN PUSTAKA
Kuantifikasi Metabolisme Benih
Viabilitas benih sebagai fokus ilmu benih dapat ditelaah melalui pendekatan sitologi, fisiologi, biokimiawi dan matematik. Kuantifikasi metabolisme menurut Sadjad (1994) pada hakikatnya memanfaatkan ciri-ciri garis yang
menunjukkan fenomena pertumbuhan ataupun gejala metabolisme benih dari awal periode pembentukan benih sampai periode pertumbuhan di lapang untuk mendeteksi viabilitas benih dalam dimensi waktu, dan pada akhirnya dapat mengembangkan simulasi viabilitas absolut benih. Konsepsi Steinbauer-Sadjad yang merupakan landasan dari kuantifikasi metabolisme benih, membagi periode viabilitas menjadi tiga fragmen, yaitu fragmen pembangunan benih pada Periode I, fragmen penyimpanan benih pada Periode I1 dan fragmen penanaman pada Periode I11 atau periode kritikal.
Garis-garis viabilitas yang digambarkan
dalam masing-masing fragmen tidak sama (Gambar 1). Garis viabilitas potensial (V
P) dan vigor (V9) pada Periode
I
dan I11 berbentuk sigmoid dengan arah berlawanan, sedangkan pada Periode I1 linier, sejajar dengan sumbu X.
7..
Petiode Viobilitos
Keterangan : Periode I = Periode pembangunan benih Periode I1 = Periode simpan Periode I11 = Periode kritikal PKS = Periode konservasi sebelum simpan PKT = Periode konservasi sebelum tanam MM = Matang morfologi MF = Masak fisiologi potensial v~ == Viabilitas Vigor vg Va = Vigor awal = Vigor awal sebelum simpan Va v~~ = Vigor konservasi sebelum simpan vss = Viabilitas sesungguhnya D = Nilai delta Gambar 1. Garis-garis viabilitas benih dalam konsepsi Steinbauer-Sadjad (Sadjad, 1994). Mengamati ciri viabilitas benih pada Periode I atau periode pembangunan benih, energi konsumsi yang digunakan benih untuk menyusun struktur ernbrionya dan upaya pengumpulan cadangan energi untuk kehidupan berikutnya, patut
dijadikan j abaran nilai D.
Bertolak dari pengamatan
Early dan DeTurk (1944) terdapat garis-garis Ptotal dan Pfitinl yang
kalau diamati dari saat antesis sampai ma-
sak fisiologi, selisih keduanya memiliki kecenderungan garis yang sama dengan garis nilai D pada konsepsi Steinbauer-Sadjad (Sadjad, 1994). Bila dikaitkan dengan akumulasi P di dalam benih, energi konsumsi (Elion)dapat diasosiasikan sebagai P yang digunakan untuk pertumbuhan dan perkembangan benih.
Ni-
lai Ekon dapat diperoleh dari selisih energi timbunan (Etim) dengan sisa energi (Ere,,
yaitu selisih jumlah
Ptotal dan jumlah Psimpanan (Pfifat) Dasar pernikirannya adalah semakin kecil nilai D semakin tinggi vigor benih. Kecilnya nilai D dapat diperoleh dari Etim yang besar dan Ekon yang besar, tetapi dapat pula berasal dari Etim yang kecil dan Ekon yang kecil.
Agar dapat dibedakan antara
kemungkinan pertama dengan yang kedua, perlu diberikan faktor koreksi dengan mengalikannya dengan Eres/Ekon, sehingga pada kemungkinan pertama nilai D makin diperkecil sedangkan pada kemungkinan kedua nilai D makin diperbesar (Sadjad, 1994). Nilai D
=
(Etim - Ekon) x FK
FK
=
Eres/Ekon
Nilai D
=
(Etim - Ekon) x Eres/Ekon
Nilai D = Ere,
Eres/Ekon =
2
IEkon
Seperti terlihat pada Gambar 1, nilai D meningkat terus mulai saat antesis sampai saat matang morfologi, kemudian menurun kembali sampai saat masak fisiologi . Titik maksimum bagi nilai D berada di sekitar saat matang morf ologi, karena pada momen itu terjadi banyak pembelahan dan diferensiasi sel .
Selanjutnya terjadi pengisian
cadangan makanan ke dalam benih, sampai saat masak fisiologi, dimana nilai D minimum sedangkan bobot kering benih dan vigor benih maksimum.
Saat matang morfologi dan ma-
sak fisiologi merupakan momen yang penting untuk dipakai sebagai titik kritikal dalam penentuan viabilitas benih pada Periode I. Menurut Sadjgd (1989) benih jagung mencapai saat matang morfologi 20 hari setelah antesis dan saat masak fisiologi 30 hari setelah itu, khususnya untuk jagung yang biasa dipanen 56 hari setelah antesis.
Frey (1981) me-
nyatakan bahwa periode kritikal bagi perkembangan benih jagung adalah 2 sampai 3 minggu setelah keluar rambut Saat masak fisiologi
50%. (1969)
oleh Daynard dan Duncan
dicirikan dengan adanya b l a c k l a y e r yang menun-
jukkan bobot kering benih telah mencapai maksimum
.
Setelah benih mencapai vigor maksimum pada momen periode viabilitas masak fisiologi (MPV MF), benih memasuki
perode konservasi (PK). PK meliputi waktu sesudah MPV MF sebelum panen, waktu panen, waktu pengolahan dan penanganan benih (seed handling).
Pada waktu itu vigor benih
harus dikonservasi, sehingga disebut vigor konservasi sebelum simpan (vKSS) (Sadjad, 1994). Parameter VKS memiliki tolok ukur spesifik. Hingga saat ini
vKSS
selalu dideteksi melalui sistem multiplika-
si devigorasi (SMD) dengan tolok ukur nilai VKS dan luas bidang vigor (BV) (Sadjad, 1993). Apabila selama PK benih dapat mempertahankan vigornya, maka benih
akan mempunyai
vaS
(vigor awal sebelum
simpan) tinggi sehingga didapatkan daya simpan (DS) yang lama dan vigor daya simpan (VDS) yang tinggi pula. Dalam hasil. penelitian Saenong (1986), hubungan antara vigor awal (Va) benih dengan DS benih kedelai adalah sebagai berikut
jagung - dan
:
1. Benih jagung DS = 24.265 - 0.131 Va + 0.197 Ve
-
0.006 VaVe
Va = - 16.45 + 2.60 XI Ve = - 29.31 + 1.44 X2 2. Benih kedelai DS
=
4.67 - 0.105 Va + 0.290 V, - 0.003 VaVe
V, = - 45.97 + 0.69 X1 Ve
= -
11.19 + 1.57 X2
DS
=
Daya simpan benih yang dinyatakan dalam kurun waktu penurunan viabilitas benih sebesar 40% (P40) (minggu)
Va = Vigor awal benih Ve = Vigor enforced benih
=
vigor benih yang dipengaruhi
faktor lingkungan simpan X1
=
Daya hantar listrik (DHL) air rendaman benih (umhos/g benih)
X2 = Viabilitas benih setelah didera etanol selama (15 +
45) menit untuk benih jagung dan (15 + 15) menit untuk benih kedelai
in-'^%) .
Seperti telah dikemukakan sebelumnya, benih yang mempunyai Va yang tinggi diperkirakan akan mempunyai DS panjang dan VDS yang tinggi.
Dengan status vigor yang
demikian diharapk-anbenih akan mampu melewati periode hidup selanjutnya (periode konservasi sebelum tanam, PKT) tanpa mengalami deteriorasi yang besar, sehingga pada saat ditanam dapat tumbuh menjadi tanaman yang normal dan berproduksi normal pada kondisi lapang yang beragam.
Vigor Genetik
Menurut International Seed Testing Association (ISTA), vigor benih adalah semua sifat-sifat yang menentukan tingkat aktifitas dan penampakan potensial dari benih atau lot benih selama perkecambahan dan munculnya bi-
bit; sedangkan Association of Official Seed Analysts (AOSA) memberikan definisi vigor lebih singkat dan langsung (meskipun hampir sama) yaitu semua sifat yang menentukan potensi kecepatan dan keserempakan tumbuh, dan potensi untuk dapat berkembang menjadi bibit yang normal pada kondisi lingkungan yang beragam (AOSA, 1983).
Mc .
Daniel (1973) membuat batasan vigor benih sebagai penampakan superior suatu genotipe, setelah ditanam, dibandingkan dengan genotipe yang sama atau genotipe yang berbeda pada kondisi tertentu. Sadjad (1972) mendefinisikan vigor benih sebagai kemampuan benih untuk tumbuh dan berkembang menjadi bibit yang normal dalam kondisi lingkungan tumbuh yang sub optimum, sehingga diharapkan benih itu dapat kuat tumbuh menjadi tanaman normal meskipun kondisi alam tidak ideal.
Selain itu, benih mampu berproduksi
normal pada kondisi sub optimum dan diatas normal pada kondisi optimum (Sadjad, 1980)
.
Sebab-sebab perbedaan
vigor benih dapat bersifat genetik maupun fisiologi (Sadjad, 1972).
Perry dalam AOSA (1983) mendef inisikan
vigor benih sebagai sifat fisiologi yang ditentukan oleh genotipe dan dimodifikasi oleh lingkungan, yang mengatur kemampuan benih untuk tumbuh cepat menjadi bibit yang tahan terhadap faktor-faktor lingkungannya yang beragam. Pengaruh vigor benih tetap ada selama kehidupan tanaman
bit; sedangkan Association of Official Seed Analysts (AOSA) memberikan definisi vigor lebih singkat dan langsung (meskipun hampir sama) yaitu semua sifat yang menentukan potensi kecepatan dan keserempakan tumbuh, dan potensi untuk dapat berkembang menjadi bibit yang normal pada kondisi lingkungan yang beragam (AOSA, 1983).
Mc .
Daniel (1973) membuat batasan vigor benih sebagai penampakan superior suatu genotipe, setelah ditanam, dibandingkan dengan genotipe yang sama atau genotipe yang berbeda pada kondisi tertentu. Sadjad (1972) mendefinisikan vigor benih sebagai kemampuan benih untuk tumbuh dan berkembang menjadi bibit yang normal dalam kondisi lingkungan tumbuh yang sub optimum, sehingga diharapkan benih itu dapat kuat tumbuh menjadi tanaman normal meskipun kondisi alam tidak ideal.
Selain itu, benih mampu berproduksi
normal pada kondisi sub optimum dan diatas normal pada kondisi optimum (Sadjad, 1980).
Sebab-sebab perbedaan
vigor benih dapat bersifat genetik maupun fisiologi (Sadjad, 1972).
Perry dalam AOSA (1983) mendef inisikan
vigor benih sebagai sifat fisiologi yang ditentukan oleh genotipe dan dimodifikasi oleh lingkungan, yang mengatur kemampuan benih untuk tumbuh cepat menjadi bibit yang tahan terhadap faktor-faktor lingkungannya yang beragam. Pengaruh vigor benih tetap ada selama kehidupan tanaman
dan mempengaruhi hasil tanaman tersebut. Produksi adalah parameter vigor penting dan umum digunakan untuk menentukan perbedaan genetik. menilai
Untuk dapat
perbedaan hasil diantara berbagai varietas, va-
rietas-varietas tersebut biasanya ditanam pada lingkungan yang sama dan kemudian hasilnya dibandingkan (Pollock dan Roos, 1972) .
Menurut Sadjad (1994) vigor genetik (Vgen)
merupakan parameter viabilitas yang membedakan antara keunggulan varietas satu dengan lainnya dalam ketahanan hidupnya terhadap berbagai kondisi sub optimum (umum), m u pun suatu kondisi sub optimum tertentu (spesifik). Whittington (1973) menyatakan bahwa mempelajari keragaman kuantitatif yang dikendalikan secara genetik pada perkecambahan benih bukanlah ha1 yang mudah.
Faktor-
faktor lingkungan selama pembentukan benih dan penyimpanan benih memberikan pengaruh yang besar terhadap perkecambahan benih selanjutnya, sementara dari segi genetik testa dan bagian luar benih merupakan genotipe maternal, endosperm biasanya 2/3 maternal dan 1/3 paterna1,dan embrio setengah maternal dan setengah lagi paternal genotiPe Dari beberapa penelitian tentang keragaman genotipe terhadap vigor benih, sering dijumpai adanya
interaksi
genotipe dan lingkungan (lokasi tanam dan tahun tanam)
(Whittington, 1973; Buxton dan Sprenger, 1976; Tomer dan Maguire, 1990) .
Melalui tehnik regresi Finlay dan
Wilkinson (1963), perbedaan kecenderungan respons masingmasing genotipe terhadap lingkungan sub optimum sampai dengan optimum dapat diketahui dari koefisien regresi yang diperoleh.
Pada penelitian benih bit gula, jagung
dan kacang polong perbedaan genotipe terlihat paling jelas pada kondisi sub optimum (Whittington, 1973), sedangkan pada kondisi optimum kurang terlihat perbedaannya. Pada benih kapas, penelitian dengan 18 galur Gossypium h i r s u t u m dan 12 galur G. barbadens menunjukkan adanya ko-
relasi positif antara parameter viabilitas dengan suhu udara (optimum dan rendah), namun nilainya kecil sehingga evaluasi
galur-galur tersebut h a m s dilakukan pada ke-
dua kondisi tersebut (Buxton dan Sprenger, 1976). Hibrida barley dan hibrida jagung menunjukkan pertumbuhan dan perkecambahan yang lebih cepat serta laju respirasi yang lebih tinggi dibandingkan dengan tetuanya. Perbedaan tersebut sebagian dicirikan dari ukuran benihnya
(Mc. Daniel, 1973),
lebih banyak
dan jumlah benih/tongkol yang
khususnya pada
(Poneleit dan Egli, 1979) .
benih
jagung
hibrida
Mc. Daniel (1973) mempelaja-
ri faktor-faktor genetik yang mempengaruhi vigor benih dengan meneliti aspek biokimiawi dari heterosis, karena
faktor genetik menentukan potensi tumbuh dan vigor melalui proses biokimiawi.
Mitokhondria yang berfungsi seca-
ra superior pada hibrida heterotik (yang dinamakannya mitokhondrial heterosis) diukur berdasarkan
antara lain
laju respirasi dan efisiensi oxidative fosforilasi.
Mi-
tokhondrial heterosis ini berkorelasi sangat erat dengan vigor dan potensi produksi hibrida.
Hibrida yang tidak
heterotik (yaitu yang tidak lebih unggul dari tetuanya dalam ha1 laju pertumbuhan dan hasil) tidak menunjukkan fungsi mitokhondria yang superior.
Jadi mitokhondrial
heterosis dapat dijadikan sebagai tolok ukur untuk mengevaluasi vigor hibrida secara biokimiawi. Copeland (1976) menyatakan bahwa selain tanaman hibrida, tanaman poliploid juga menunjukkan Vgen yang lebih tinggi dibandingkan dengan tanaman inbred dan diploid. Pada benih kacang polong, Vgen yang diamati berdasarkan persentase perkecambahan berhubungan dengan komposisi kimia benih
tersebut. Varietas Gradus yang Vgennya
rendah, mengandung lebih banyak stahiosa daripada pati, dibandingkan varietas Pilot yang mempunyai Vgen tinggi (Haldane dalam Whittington, 1973), dan mengandung lebih banyak sukrosa (Koostra, 1962). Perbedaan satu gen tynggal di bagian endosperm (triploid) mempengaruhi perkecambahan benih.
Penelitian
Haskel yang dikemukakan Whittington (1973) menunjukkan bahwa daya berkecambah benih jagung menurun bila perbandingan antara sugary allel (su) terhadap starchy allel (Su) di dalam endosperm meningkat , seperti terlihat pada
Tabel 1. Pengaruh proporsi yang berbeda antara Su (Starchy endosperm allel) terhadap su (sugary endasperm allel) terhadap persentase perkecambahan. Endosperm genotipe Su Su Su su
Su Su su su
Persentase Perkecambahan
Su su su su
93 87
67 46
Kadar gula (86% merupakan sukrosa) dari 24 genotipe homozygous jagung manis berkorelasi negatif (r dengan daya tumbuh di lapang,
sedangkan
=
-0.74* *
kandungan pati
berkorelasi positif (r = 0.63**) dengan daya tumbuh di lapang (Douglass, Juvik dan Splittstoesser, 1993). Daya simpan (DS benih juga dipengaruhi oleh komposisi kimia benih dan faktor genetik.
Benih berlemak me-
rupakan contoh benih yang berdaya simpan pendek, sebagian disebabkan karena sifat lemak yang kurang higroskopik, dan air bebas didalam benih itu sulit dikendalikan.
Se-
lain itu perombakan lemak menjadi asam lemak merupakan
proses yang mempercepat kemunduran benih karena asam lemak dapat meningkatkan aktifitas cendawan dan juga bersifat toksik
bagi benih.
Meskipun demikian, benih dari
spesies tertentu ada yang mempunyai kesamaan komposisi kimia tetapi daya simpannya berbeda akibat perbedaan potensi genetik.
Contohnya benih chewing f e s c u e dan L o l i u m
m u l t i f l o r u m Lam. mempunyai komposisi kimia yang sama, te-
tapi benih L o l i u m m u l t i f l o r u m Lam.mempunyai DS yang lebih lama (Copeland, 1976) .
Pada 31 varietas dan galur padi,
DS tidak berkorelasi dengan kandungan amilosa benih dan dormansi benih.
Meskipun demikian, benih-benih yang ter-
golong w a x y rice daya simpannya lebih pendek dari pada benih non waxy r i c e (Juliana, e t al., 1990). Selain komposisi kimia benih, perbedaan konsistensi struktural benih pada varietas-varietas jagung sangat besar pengaruhnya terhadap vigor benih selama di penyimpanan.
Berdasarkan hasil penelitian selama 20 tahun, ter-
nyata varietas-varietas jagung yang termasuk ke dalam tipe mutiara dan gigi kuda mempunyai DS yang lebih panjang dari pada benih jagung manis (Priestley, 1986). Seleksi sifat genetik DS benih melalui metode pengusangan cepat dilakukan oleh Scott (1981) pada benih jagung dengan menggunakan suhu 4 2 O ~dan RH 100%.
Setelah 3
siklus seleksi, ternyata kepekaan terhadap perlakuan
pengusangan cepat berkurang dengan sangat nyata.
Ini me-
nunjukkan bahwa perbaikan genetik untuk DS benih memungkinkan untuk dilakukan melalui seleksi dengan metode pengusangan cepat.
Penelitian 235 genotipe kedelai yang
disimpan dalam kondisi simulasi tropika dengan suhu 30°c dan RH 80%, menunjukkan bahwa genotipe yang mempunyai DS panjang mempunyai viabilitas awal yang tinggi, mempunyai persentase hard seed yang tinggi, ukuran benih yang kecil dan waktu pemasakan benih yang lebih cepat (Minor dan Paschal, 1982). Dari penelitian Minor dan Paschal (1982) tersebut, terlihat bahwa waktu pemasakan benih dan viabilitas awal benih di periode pembangunan benih
(Periode I Stein-
bauer-Sadjad) yang dipengaruhi oleh faktor genetik, menentukan vigor benih pada periode simpan. Hasil penelitian Faizah (1994) juga memperlihatkan bahwa Vgen pada benih kedelai dapat dideteksi melalui parameter vigor awal V
, vigor konservasi sebelum simpan (vKSS) dengan tolok
ukur nilai VKS
dan
kebalikan luas bidang vigor (BV)-I,
serta parameter vigor awal sebelum simpan (vas). Deteksi Vgen benih mulai dari momen berlakunya kaidah-kaidah viabilitas benih (saat matang morfologi) Sampai dengan titik anomali di periode kritikal (Periode 111) sangat menarik untuk diteliti lebih lanjut.
Akumulasi dan pengaruh P terhadap viabilitas benih
Unsur P adalah salah satu unsur yang banyak diperlukan dalam biosintesis makromolekul, antara lain fosfolipid, gula fosfat, nukleotida dan koenzim.
Di dalam be-
nih, P disimpan dalam bentuk fitin, yaitu garam (Ca,Mg) dari asam fitat (myoinositol hexafosfat) (Epstein, 1972). Asam fitat (Gambar 2) merupakan sumber P bagi proses metabolisme selama
perkecambahan (Gardner et al., 19851,
sebelum dapat menyerap P dari dalam tanah.
H
I
Gambar 2.
OPO ,H2
I
Struktur molekul asam fitat
Selama perkembangan
benih j agung, akumulasi P
(Ptotal dan Pfitin) menunjukkan kecenderungan garis sigmoid, seperti terlihat pada Gambar 3 (Early dan DeTurk, 1944). Demikian pula dengan akumulasi P pada benih kedelai (Hanway dan Weber, 1971). Kecenderungan garis akumulasi P yang sigmoid terse-
H inggu Gambar 3. Bobot kumulatif Ptotal, Pfitin dan Pnon fitin (mg/tongkol) mulai dari polinasi sampai masak (Earley dan DeTurk, 1944). but ternyata sama dengan kecenderungan garis akumulasi bobot kering benih jagung (Frey, 1981) dan garis viabilitas benih jagung manis varietas P a m dan Nampa (Wilson Jr. dan Trawatha (1991) seperti terlihat pada Gambar 4. Tidak berbeda dengan jagung, akumulasi bobot kering pada benih gandum juga cenderung sigmoid, tetapi pada barley cenderung kuadratik (Lingle dan Chevalier, 1985).
Hasil
penelitian Agrawal dan Kaur (1977) pada benih gandum menunjukkan bahwa pola akumulasi bobot kering cenderung sama dengan akumulasi pati.
Daya tumbuh (%)
I
7
loo
1
0
2
0
3
0
4
0
5
0
6
0
70
80
90
Hari sesudah muncul bunga betina
Gambar 4 . Viabilitas benih jagung varietas Parma dan varietas Nampa pada berbagai stadia kemasakan (Wilson Jr. dan Trawatha, 1991) . Kandungan asam fitat benih pada setiap kultivar atau spesies tidak selalu sama (Bewley dan Black, 1978). benih gandum, asam fitat hanya
Pada
mencapai 53% dari Ptotal
(Williams, 1970), pada benih kedelai 72 % dari Ptotall yaitu
sekitar 17.6% dari bobot benih
dan Below, 1984).
(Raboy, Dickinson
Pada penelitian 163 galur kedelai ter-
dapat korelasi yang erat ( r
=
94%) antara kandungan
Ptotal dan asam fitat, meskipun ada beberapa
galur yang
memiliki kandungan Ptotal sama tetapi kandungan asam fitatnya berbeda (Raboy et
dl.,
1984).
Dalam benih serealia, fitin bergabung dengan butirbutir aleuron di lapisan aleuron dan jarang sekali ditemukan dalam protein body di endosperm.
Hasil penelitian
Williams (1970) menunjukkan bahwa pada benih gandum asam fitat hanya ditemukan di dalam lapisan aleuron, poros embrio dan skutelum. Menurut Ching et al. (1974), benih pada stadia masak hampir tidak mengandung P dalam bentuk ATP.
ATP sebagai
sumber energi, hanya dibentuk selama proses pembelahan sel dan pengisian cadangan makanan.
Kandungan ATP menca-
pai maksimum pada saat bobot basah benih meficapai maksimum, kemudian turun terus dan mencapai minimum pada saat benih masak dimana benih berada da1,am keadaan kering dan istirahat (quiesce'nce).
Perubahan kandungan ATP selama
perkembangan benih dapat dilihat pada Gambar 5. Fitase adalah enzim yang menghidrolisis fitin untuk melepaskan P, kation-kation (Ca, Mg) dan myoinositol. Fosfat digunakan dalam proses respirasi dan pembentukan makro molekul di bagian axis. Myoinositol diduga digunakan untuk membentuk dinding sell karena senyawa tersebut adalah prekursor gula pentosyl dan uranosyl yang biasa berasosiasi dengan pektin dan polisakarida-polisakarida dinding sel lainnya (Bewley dan Black, 1985). Aktifitas fitase di dalam benih gandum dimulai satu
40
nmol ATP -
30
--
-
-
-.-
W a r . Gorczanski *Var. Victor
-
A
'"k
,
20 -
\
'\
10 -
"\
I
I
0
I
10
I
I
I
I
I
40
30
20
I
I
I
I
50
60
Hari setelah antesis
25
nmol ATP
1
1
\
20 15 10 -
5 '\
0 5
10
15
20
25
30
35
40
Hari setelah antesis
Garnbar 5. Perubahan ATP selama perkembangan benih A. Benih B r a s s i c a n a p u s varietas Gorczanski dan varietas Victor (Ching et a l . , 1974). B. Benih gandum (Williams, 1970) .
hari
setelah
imbibisi kemudian meningkat
dan mencapai
puncaknya pada 48-72 jam (Albaum dan Umbreit, 1943; Mandal dan Biswas, 1970) . Pergerakan katabolit hasil perombakan fitin dari lapisan aleuron dan distribusinya ke bagian-bagian yang sedang tumbuh/berkembang tampaknya hanya melalui difusi sederhana melewati endosperm.
Namun pelepasan P I K dan Mg
dari dalam sel aleuron diduga memerlukan bantuan GA yang berfungsi menginduksi pentosanase perombak dinding sel agar ion-ion tersebut dapat keluar menembus membran sel aleuron tersebut (Jones dalam Bewley dan Black, 1978). Kandungan P di dalam benih sangat mempengaruhi viabilitas benih.
Benih yang mengandung banyak P yang bera-
sal dari tanaman induk yang cukup mendapatkan P ternyata dapat tumbuh baik di lahan yang kekurangan P, sedangkan yang berasal dari tanaman yang kurang mendapatkan P tidak demikian (Austin dalam Pollock dan Roos, 1972).
Fosfat
mendorong pembentukan akar, mempercepat perkembangan dan pemasakan benih (Bunting, 1978) serta meningkatkan jumlah benih per tongkol (Rahardjo dan Fathan, 1985). Pemupukan
P pada tanah Podsolik Merah Kuning sebanyak 70 kg p205/ha meningkatkan jumlah benih per tongkol dari 164 menjadi 240 butir, pada varietas Arjuna.
Penelitian Sawan et
dl.
(1989) pada benih kapas memperlihatkan bahwa pemupukan P
selain meningkatkan produksi benih/tanaman juga meningkatkan persentase perkecambahan dan vigor bibit.
Peneli-
tian-penelitian lain yang dikemukakan oleh Gray dan Thomas (1982) menunjukkan bahwa pada tanaman tomat pemupukan P meningkatkan produksi dan mutu benih sedangkan pada wortel pemupukan P mempengaruhi komposisi kimia benih meskipun sedikit. Penelitian Surahman (1987) menunjukkan bahwa peningkatan kandungan Ptotal di dalam benih kedelai meningkatkan vigor benih berasarkan tolok ukur bobot kering kecambah dan keserempakan tumbuh benih.
Pemberian pupuk TSP
100 kg/ha meningkatkan kandungan Ptotal dan vigor awal
benih berdasarkan tolok ukur bobot kering kecambah normal (Rusdi, 1988).
~urnia (1989) menyatakan bahwa pemberian
pupuk TSP 125 kg/ha juga dapat meningkatkan DS benih kedelai. Ketersediaan P anorganik bagi tanaman ditentukan oleh bentuk ion unsur
tersebut, yang berhubungan dengan
kemasaman larutan tanah. Pada larutan tanah yang sangat masam P berada dalam bentuk H2P04-, pada larutan tanah alkalin
PO^^-,
sedangkan pada larutan tanah yang mempu-
nyai pH sedang (6) H2P04- dan H P O ~ ~ -Menurut . Gardner et dl.
(1985) ion yang tersedia bagi tanaman adalah
H2P04-
dan HPO*~-. Pada larutan tanah yang sangat masam ion
fosfat diikat oleh A1 dan Fe menjadi bentuk yang tidak larut, sedangkan pada larutan tanah alkalin ion tersebut diikat oleh Ca menjadi bentuk yang tidak larut, sehingga tidak tersedia bagi tanaman. Reaksi pengikatan P oleh Al, Fe dan Ca gai berikut
adalah seba-
:
Kekurangan P pada tanaman menyebabkan lambatnya waktu masak dan menurunnya hasil (Kasim, Haag dan Wasson, 1990).
Gejala defisiensi P adalah pertumbuhan bibit lam-
bat, batang dan daun berwarna hijau tua keunguan karena meningkatnya kandungan antocyanin, dan tanaman tampak kerdil (Bunting, 1978; Epstein, 1972).
Devigorasi benih
Benih
mencapai vigor maksimum pada saat masak fi-
siologi yang ditandai oleh bobot kering maksimum.
Sete-
lah itu, seiring dengan berjalannya waktu, benih mengalami kemunduran yang tidak dapat balik (irreversible), dan tidak dapat dielakkan (inexorable) (AOSA, 1983).
Kemun-
duran benih secara alamiah dikenal dengan istilah deteriorasi, sedangkan istilah devigorasi digunakan untuk ke-
munduran buatan melalui suatu perlakuan pengusangan (Sadjad, 1994). Pengusangan dapat dilakukan secara fisik maupun kimiawi.
Sadjad pada tahun 1972 secara intuitif menemukan
ide mengusangkan benih secara kimiawi dengan menggunakan etanol (Sadjad dan Pian, 1980). Keunggulan metode pengusangan cepat secara kimiawi dibandingkan dengan cara fisik adalah prosesnya lebih cepat dan benih bebas dari serangan cendawan (Sadjad, 1984). Metode ini mula-mula diterapkan pada benih jagung, dengan alat yang sederhana ( Pian,
1981), kemudian dikembangkan menjadi alat MPC IPB
77-1 yang digunakan untuk simulasi DS benih 1986).
(Saenong,
Pada tahun 1991 MPC IPB 77-1 dimodifikasi menjadi
alat MPC IPB 77-1M yang digunakan untuk menguji vigor benih dalam PK, melalui Sistem Multiplikasi Devigorasi (SMD) dengan waktu deraan yang pendek (24 menit).
SMD
dengan MPC IPB 77-1M menjabarkan devigorasi yang fluktuatif secara kontinu seperti yang dijabarkan oleh waktu (Sadjad, 1992). Berbeda dengan MPC IPB 77-1, sistem pengusangan pada MPC IPB 77-1M menempatkan benih yang didera etanol dalam tabung berkelembaban tinggi sehingga proses reaktivasi benih dapat tetap berlangsung sementara terjadi penderaan etanol.
Benih yang didera tidak dalam keadaan stasioner,
dan penderaan dapat pula dilakukan dalam ruang yang bersuhu lebih tinggi (35-40°c) .
Apabila MPC IPB 77-1 dire-
kayasa untuk proses devigorasi benih yang selaras dengan deteriorasi benih secara alami dalam periode simpan (benih stasioner, induksi etanol dalam ruang kedap yang jenuh uap etanol, suhu 29-30°c), MPC IPB 77-1M mungkin lebih selaras dengan kondisi benih yang mengalami deteriorasi tidak pada posisi stasioner, suhu dan kelembaban nisbi lingkungan yang relatif lebih suboptimum (35-40°c, RH>90%) dan deraan anaerobik yang lebih kecil.
Proses
devigorasi dengan MPC IPB 77-1M mungkin lebih selaras dengan deraan yang ditimbulkan oleh kondisi PK baik sebelum masuk ke dalam periode simpan (Periode 11) maupun periode kritikal (Periode f11). Dalam SMD garis-garis viabilitas yang dinyatakan dalam nilai delta (D) dijabarkan oleh fungsi regresi polinomial ordo tinggi dengan kisaran waktu 0 sampai 24 menit.
+ alx + a2x2 +
Y
=
a .
Y
=
nilai delta
(%)
........ X
=
+ anxn
waktu (menit)
Nilai D diperhitungkan dengan rumus berikut (Sadjad, 1993)
D
=
:
v~ -
vg Total benih
Abn X
100% x FK
;
FK
=
V g
Vp Vg FK
=
Jumlah benih yang memiliki viabilitas potensial
=
Jumlah benih yang memiliki vigor
=
Faktor koreksi
Abn = Jumlah benih abnormal Melalui gejala metabolime benih (misalnya aktifitas enzym dehidrogenase dalam pegujian benih dengan trifenil tetrazolium khlorida) nilai D dapat dihitung dengan rumus sebagai berikut (Sadjad, 1994) Nilai DTZ =
:
M~
X 100% Xk FK Total benih
Benih abnormal + mati
M p dan MC adalah jumlah benih yang berwarna merah cerah
dan merah keputihan yang bila keduanya dijumlahkan menjabarkan jumlah benih yang memiliki viabilitas potensial (Vp), sedangkan MC
menjabarkan jumlah benih yang vigor
Bila nilai D diamati berdasarkan pengujian langsung, dengan mengamati struktur kecambah yang tumbuh, maka perhitungan nilai D menjadi sebagai berikut KK
Nilai D
X 100% X FK
=
Total Benih Benih abnormal + mati FK = K
:
K dan KK adalah jumlah benih yang tumbuh menjadi kecambah
kuat dan kurang kuat, yang keduanya (K + KK) menjabarkan Berdasarkan penelitian
Vp, sedangkan K menjabarkan Vg
Sadjad, (1992) nilai DTZ berkorelasi erat dengan nilai D
Dari kurva regresi nilai delta terhadap waktu deraan dapat ditentukan nilai VKS dan luas bidang vigor.
v~~
Nilai
dihitung berdasarkan kebalikan DTZ intersep pada 0
menit deraan, (DTZ)-I, dikalikan dengan kurun deraan garis DTZ melejit dari zone penilaian (ZP,)
.
Luas bidang
vigor adalah luas garis fungsi nilai DTZ mulai dari 0 sampai ZPo menit. Nilai VKS
=
ZPo x D
Luas bidang vigor
~
=J
~
'
~
2 ?e
f (x).dx
0
Luas bidang vigor =
Menurut Sadjad (1992), intersep garis nilai DTZ pada deraan 0 menit merupakan vigor awal V
, dan viabilitas
benih pada setiap tingkat deraan etanol merupakan Valk. Dikaitkan dengan teori Roberts (Roberts, 1972) tentang faktor-faktor yang mempengaruhi kemunduran benih (internal dan eksternal), Pian (1981) dan Saenong (1986) membuktikan bahwa penderaan dengan etanol dapat menjabar-
kan faktor eksternal. Perubahan-perubahan yang diakibatkan oleh penderaan etanol menurut hasil penelitian Pian (1981) adalah sebagai berikut
:
1. Perwujudan fisiologik : Potensi tumbuh maksimum, daya
berkecambah dan vigor benih menurun dengan kian lamanya benih diperlakukan dalam lingkungan uap etil alkohol. Demikian pula ukuran struktur kecambah seperti panjang plumula , panjang akar
seminal primer dan
panjang akar seminal sekunder. Selanjutnya dikatakan bahwa perwujudan fisiologik kemunduran benih oleh uap etanol ada persamaannya dengan perwujudan
fisiologik
kemunduran benih secara alamiah. Perwujudan biokimia a. Perubahan respirasi
:
absorpsi O2 dan produksi C02
kian rendah dengan kian lamanya benih diperlakukan dengan uap etanol. b. Kadar glukosa
:
kadar glukosa embrio menurun se-
dangkan kadar glukosa endosperm meningkat dengan kian lamanya diperlakukan dengan etanol. Hasil penelitian menunjukkan kadar glukosa embrio berkorelasi positif dengan aktivitas enzim amilase yang diekskresikan oleh embrio. c. Kebocoran hasil metabolisme 1. Kebocoran glukosa semakin
:
meningkat dengan se-
makin lama didera etanol. Kebocoran tersebut disebabkan oleh meningkatnya permeabilitas membran. 2. Kebocoran
senyawa nitrogen semakin meningkat
dengan semakin lamanya didera etanol.
Senyawa
nitrogen yang bocor dari benih umumnya asamasam amino dan protein. 3. Kebocoran fosfat meningkat dengan semakin lama-
nya benih diperlakukan dengan uap etanol. d. Aktivitas enzim 1. Aktivitas
enzim amilase cenderung kian rendah
dengan kian lamanya penderaan benih.
Enzim
amilase yang paling banyak di dalam benih jagung adafah jenis enzim alfa amilase. 2. Aktivitas enzim dehidrogenase total juga sema-
kin rendah pada benih yang diperlakukan dengan etanol semakin lama. 3. Aktivitas enzim peroksidase semakin rendah de-
ngan semakin lamanya benih didera etanol. e. Laju sintesis
:
Bobot kering benih (setelah imbi-
bisi 15 jam) semakin rendah dengan semakin lamanya deraan etanol. 3.
Perwujudan sitologik Kerusakan sel tudung akar embrio benih yang didera
etanol meningkat.
Pada beberapa tempat
terlihat
plasma sel lepas dari dinding sel dan hubungan antar sel menjadi renggang. Antara plasma terdapat massa
dinding sel dan proto-
yang diduga merupakan bahan-
bahan yang bocor. Penelitian
Sadjad (1992) menunjukkan bahwa SMD da-
pat digunakan untuk simulasi kemunduran benih kedelai oleh goncangan transportasi, yang mengindikasikan vigor konservasi (VKS).
Penelitian
Prihatanti
(1993) dan
Handayani (1993) juga menunjukkan hasil yang sama. Tabel 2
menunjukkan bahwa status viabilitas
galur
dan varietas kedelai berhasil dideteksi berdasarkan nilai
vKST
yang diperoleh melalui SMD, yang bila diarnati dengan
tolok ukur daya berkecambah tidak dapat dideteksi perbedaannya (Kartika dalam Sadjad, 1994) .
Tabel 2. Nilai VKS galur-galur dan varietas kedelai (Kartika, dalam Sadjad, 1993). Galur/varietas Nilai VKS
Galur/varietas Nilai VKST
Dieng Willis MSC 6813-6-8 MSC 6806-5-1 MSC 8405-13 C-2
40.22
MSC 8511-13-2
21.73
3818/3034-b-3
19.64
MSC 8303-1-1 B
2.73 2.01 1.34
17.77
3188/3034-B-3
1.12
4.89
MSC 8306-1-1 M
0.95
Hasil penelitian Pramono (1991) menunjukkan kemampuan MPC IPB 77-1M untuk menduga daya konservasi pratanam benih dari 10 varietas kedelai pada kelembaban nisbi wadah simpan yang bervariasi. Faizah (1994) mendeteksi Vgen berdasarkan vigor awal
.
benih (Va) nilai VKS dan BV-I serta Vgen
=
vaS.
- 74.90 + 1.11 Va + 0.18 VKS + 681.72 BV-1 + 1363.93
vas
Nilai Vgen yang diukur dengan nilai viabilitas absolut tersebut kemudian dikorelasikan dengan nilai kinerja lapangan, yang menghasilkan koefisien korelasi yang nyata (r
=
91.78%).
Vgen lap.
=
- 0.8712 + 0.9870 Vgen lab.
Penelitian dengan SMD untuk dapat mendeteksi V gen berdasarkan penilaian viabilitas absolut, perlu dikembangkan lebih lanjut pada komoditas lainnya, baik yang termasuk kelompok ortodoks maupun rekalsitran dengan variasi kondisi lingkungan tanam yang beragam.