PERLAKUAN BENIH DAN BIBIT CABAI (Capsicum annuum L.) DENGAN RIZOBAKTERI MENINGKATKAN PERTUMBUHAN TANAMAN DAN MENURUNKAN KEJADIAN PENYAKIT BUSUK PHYTOPHTHORA
WHAN AHMAD SABILLAH A24090042
DEPARTEMEN AGRONOMI DAN HORTIKULTURA FAKULTAS PERTANIAN INSTITUT PERTANIAN BOGOR BOGOR 2016
PERNYATAAN MENGENAI SKRIPSI DAN SUMBER INFORMASI SERTA PELIMPAHAN HAK CIPTA* Dengan ini saya menyatakan bahwa skripsi berjudul Perlakuan Benih dan Bibit Cabai (Capsicum annuum L.) dengan Rizobakteri Meningkatkan Pertumbuhan Tanaman dan Menurunkan Kejadian Penyakit Busuk Phytophthora adalah benar karya saya dengan arahan dari komisi pembimbing dan belum diajukan dalam bentuk apa pun kepada perguruan tinggi mana pun. Sumber informasi yang berasal atau dikutip dari karya yang diterbitkan maupun tidak diterbitkan dari penulis lain telah disebutkan dalam teks dan dicantumkan dalam daftar pustaka di bagian akhir skripsi ini. Dengan ini saya melimpahkan hak cipta dari karya tulis saya kepada Institut Pertanian Bogor. Bogor, September 2016 Whan Ahmad Sabillah NIM A24090042
ABSTRAK WHAN AHMAD SABILLAH. Perlakuan Benih dan Bibit Cabai (Capsicum annuum L.) dengan Rizobakteri Meningkatkan Pertumbuhan Tanaman dan Menurunkan Kejadian Penyakit Busuk Phytophthora. Dibimbing oleh SATRIYAS ILYAS dan DYAH MANOHARA. Penggunaan rizobakteri dalam mengendalikan penyakit busuk phytophthora merupakan salah satu pilihan ramah lingkungan daripada menggunakan fungisida. Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui pengaruh perlakuan benih dan bibit menggunakan agen hayati yang dapat meningkatkan pertumbuhan tanaman dan menurunkan kejadian penyakit busuk phytophthora. Penelitian ini terdiri atas tiga percobaan dengan menggunakan rancangan acak lengkap. Percobaan pertama (in vitro) terdiri atas sepuluh taraf perlakuan yaitu tujuh macam konsentrasi metalaksil, dua metode aplikasi rizobakteri, dan kontrol. Percobaan kedua (persemaian) menggunakan tiga taraf perlakuan terhadap benih yaitu merendam benih dalam larutan metalaksil 800 ppm, suspensi rizobakteri ST116B, atau larutan ekstrak kentang (PDA) sebagai kontrol. Percobaan ketiga (rumah kaca) menggunakan rancangan acak lengkap dua faktor dengan faktor pertama (pemberian metalaksil atau rizobakteri) tersarang pada faktor kedua (kondisi tanah yaitu tanah diinokulasi atau tidak diinokulasi P. capsici). Metalaksil 800 ppm dan isolat rizobakteri ST116B secara in vitro dapat menghambat pertumbuhan P. capsici. Perlakuan benih dengan isolat rizobakteri ST116B dapat menurunkan tingkat kejadian penyakit busuk phytophthora dari 61,9% menjadi 9,5%. Perlakuan benih dengan rizobakteri ST116B dengan atau tanpa perlakuan bibit meningkatkan tinggi tanaman dan jumlah daun dibandingkan kontrol negatif pada kondisi tanah tanpa inokulasi P. capsici. Artinya, rizobakteri ST116B dapat berperan sebagai antagonis P. capsici sekaligus PGPR. Kata kunci: metalaksil, PGPR, Phytophthora capsici, vigor benih
ABSTRACT WHAN AHMAD SABILLAH. Seed and Seedling Treatment on Hot Pepper (Capsicum annuum L.) with Rhizobacteria Improved Plant Growth and Reduced Incidence of Phytophthora Blight Disease. Supervised by SATRIYAS ILYAS dan DYAH MANOHARA. Usage of rhizobacteria to control phytophthora blight disease is one of environmentally friendly choice than using fungicides. This study was aimed to evaluate the effect of seed treatment using biological agent that can improve plant growth and reduce the incidence of phytophthora blight disease. The study
consisted of three experiments using completely randomized design. The first experiment (in vitro) consisted of ten levels of treatment i.e. seven concentrations of metalaxyl, two rhizobacteria application methods, and control. The second experiment (nursery) used three kinds of seed treatment i.e. the seeds soaked in a solution of 800 ppm metalaxyl, or in ST116B rhizobacteria suspension, or in solution of potato dextrose (PD) as control. The third experiment (greenhouse) conducted in a completely randomized design using two factors, the first factor (application of metalaxyl or rhizobacteria) was nested on the second factor (soil condition: soil was or was not inoculated with P. capsici). Metalaxyl 800 ppm and isolate of rhizobacteria ST116B inhibited P. capsici growth in in vitro experiment. Seed treatment with rhizobacteria ST116B reduced disease incidence from 61.9% down to 9.5%. Seed treatment with rhizobacteria ST116B with or without seedling treatment improved plant height and number of leaves compared to negative control planted in the soil without P. capsici inoculation. Rhizobacteria ST116B was capable as antagonist of P. capsici as well as PGPR. Keyword:
metalaxyl,
PGPR,
Phytophthora
capsici,
seed
vigorywords
PERLAKUAN BENIH DAN BIBIT CABAI (Capsicum annuum L.) DENGAN RIZOBAKTERI MENINGKATKAN PERTUMBUHAN TANAMAN DAN MENURUNKAN KEJADIAN PENYAKIT BUSUK PHYTOPHTHORA
WHAN AHMAD SABILLAH A24090042
Skripsi sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar Sarjana Pertanian pada Departemen Agronomi dan Hortikultura
DEPARTEMEN AGRONOMI DAN HORTIKULTURA FAKULTAS PERTANIAN INSTITUT PERTANIAN BOGOR BOGOR 2016
PRAKATA Assalamualaikum Warahmatullahi Wabarakatuh Puji syukur senantiasa tetap terhaturkan kepada Allah SWT atas rahmat dan kuasanya sehingga karya ilmiah ini dapat diselesaikan. Tema yang dipilih dalam penelitian ini adalah kesehatan benih dengan judul Perlakuan Benih dan Bibit Cabai (Capsicum annuum L.) dengan Rizobakteri Meningkatkan Pertumbuhan Tanaman dan Menurunkan Kejadian Penyakit Busuk Phytophthora. Penulis menyadari bahwa penelitian ini masih terdapat kekurangan. Oleh karena itu, saran dan kritik yang sifatnya membangun sangat dibutuhkan untuk kesempurnaan penelitian ini, sehingga dapat menjadi masukan dalam penyusunan penelitian lainnya. Penulis menyampaikan ucapan terima kasih kepada dosen pembimbing Prof. Dr. Ir. Satriyas Ilyas, M.S. dan Dr. Ir. Dyah Manohara, M.Si. atas bimbingan dan ilmunya, di samping itu penulis sampaikan terima kasih yang tulus kepada bapak Sutrasman dari Balai Penelitian Tanaman Rempah dan Obat, kelompok peneliti hama dan penyakit, dan Bapak Mamad dari tim pengelola rumah kaca Cikabayan yang telah membantu selama pengumpulan data. Ungkapan terima kasih sebesar-besarnya penulis persembahkan pula kepada ayah, ibu, serta seluruh keluarga, atas doa dan dukungannya, rekan-rekan penulis di SOCRATES (AGH 46), BEM FAPERTA 2011 - 2013, BEM KM IPB 2013, OMDA Lare Blambangan, KMNU IPB dan Wisma Al-Jabbar serta sahabatsahabat penulis yang senantiasa memberikan semangat dan bantuan. Semoga karya ilmiah ini bermanfaat. Wassalamualaikum Warahmatullahi Wabarakatuh.
Bogor, September 2016 Whan Ahmad Sabillah
DAFTAR ISI DAFTAR ISI DAFTAR TABEL DAFTAR GAMBAR PENDAHULUAN Latar Belakang
ix xi xi 12 12
Tujuan Penelitian
2
TINJAUAN PUSTAKA Botani Cabai
2 2
Phytophthora capsici
2
Rizobakteri sebagai Agen Pengendali Hayati
3
Rizobakteri sebagai Pemacu Pertumbuhan Tanaman
4
Perlakuan Benih untuk Meningkatkan Mutu Benih
5
BAHAN DAN METODE Benih Cabai
6 6
Percobaan 1. Evaluasi keefektifan isolat rizobakteri dan metalaksil sebagai antagonis P. capsici secara in vitro
6
Percobaan 2. Pengaruh perlakuan benih dengan rizobakteri terhadap viabilitas dan vigor benih
7
Percobaan 3. Pengaruh perlakuan benih dan bibit dengan rizobakteri terhadap pertumbuhan tanaman dan persentase kejadian penyakit busuk phytophthora di rumah kaca
8
Penanaman bibit di polybag
9
Penyiapan tanah inokulum dan inokulasi tanah pada tanaman
9
HASIL DAN PEMBAHASAN Percobaan 1. Evaluasi keefektifan isolat rizobakteri dan metalaksil sebagai antagonis P. capsici secara in vitro
10
Percobaan 2. Pengaruh perlakuan benih dengan rizobakteri terhadap viabilitas dan vigor benih
10 12
Percobaan 3. Pengaruh perlakuan benih dan bibit dengan rizobakteri terhadap pertumbuhan tanaman dan persentase kejadian penyakit busuk phytophthora di rumah kaca 13 SIMPULAN DAN SARAN Simpulan Saran DAFTAR PUSTAKA RIWAYAT HIDUP
17 17 17 18 22
DAFTAR TABEL
Tabel 1. Kode perlakuan pada percobaan ketiga di rumah kaca Tabel 2. Kemampuan isolat rizobakteri ST116B dan berbagai konsentrasi metalaksil menghambat pertumbuhan P. capsici secara in vitro 7 hari setelah inkubasi Tabel 3. Pengaruh perlakuan benih dengan rizobakteri dan metalaksil terhadap viabilitas dan vigor benih cabai di persemaian sampai 14 hari setelah semai Tabel 4. Pengaruh perlakuan rizobakteri dan metalaksil pada benih terhadap kejadian penyakit saat 28 HSI inokulum P. capsici ke tanah Tabel 5. Pengaruh perlakuan benih dengan rizobakteri dan metalaksil terhadap tinggi tanaman dan jumlah daun pada 5 dan 8 MSP di polybag
10
11
13 15
16
DAFTAR GAMBAR Gambar 1. Perbandingan pertumbuhan koloni P. capsici Gambar 2. Keragaan pertumbuhan koloni P. capsici Gambar 3. Perkecambahan benih cabai Gambar 4. Proses tanaman menjadi mati karena serangan P. capsici
11 12 13 14
PENDAHULUAN Latar Belakang Mutu benih merupakan satu faktor penting untuk menentukan keberhasilan panen. Mutu benih ditentukan berdasarkan mutu genetik, fisik, fisiologis, dan patologis. Mutu patologis adalah mutu benih yang didasarkan pada ada/tidaknya agen penyakit yang terbawa oleh benih. Penyakit yang terbawa oleh benih merupakan penyakit yang sulit untuk dikendalikan secara total dan sulit untuk diidentifikasi gejalanya pada saat akan tanam. Penyakit penting yang saat ini sering ditemukan pada pertanaman cabai merah adalah penyakit busuk dan layu yang disebabkan oleh cendawan Phytophthora capsici. Serangan cendawan ini di Indonesia telah menyebabkan kerugian sebesar 60% areal pertanaman cabai merah di Tegal (Junianti et al., 2007). Penyakit ini sulit dikendalikan karena belum tersedianya varietas yang resisten, patogen dapat terbawa benih dan tular tanah, serta metode pengendaliannya masih terbatas (Syamsuddin, 2010) disamping itu, sulit terdeteksi keberadaannya dan mudah tersebar melalui tanah yang terkontaminasi, terbawa aliran air atau bagian tanaman yang sakit (Wahyuno et al., 2009). Menurut Manohara et al. (2005) gejala yang muncul pada permukaan tanah merupakan indikasi yang ditunjukkan oleh serangan tingkat lanjut di dalam tanah. Pengendalian terhadap cendawan P. capsici secara umum masih banyak dilakukan dengan menggunakan fungisida. Aplikasi fungisida yang digunakan untuk mengendalikan adalah maneb (Mossler, 2012) dan metalaksil + mancozeb, serta fungisida kontak klorotalonil (Duriat et al., 2007). Pengendalian yang efektif adalah pengendalian secara terpadu. Salah satunya adalah dengan menggunakan mikroorganisme sebagai agen pengendali hayati. Aplikasi mikroorganisme pada benih secara nyata dapat meningkatkan produksi tanaman cabai (Ilyas, 2006). Sebanyak 25 isolat yang diuji, isolat BG25 dari kelompok Bacillus spp., P. fluorescens PG01 dari kelompok Pseudomonas spp. dan SG01 dari kelompok Serratia spp. memberikan efek yang lebih baik dalam menghambat pertumbuhan koloni Colletotrichum capsici dan meningkatkan pertumbuhan bibit cabai dibandingkan dengan isolat lainnya dalam kelompok yang sama (Sutariati et al,. 2006). Lim dan Kim (2010) menyatakan bahwa Bacillus subtilis dan B. licheniformis AH18 K11 adalah multi-fungsional rizobakteri yang mendorong pertumbuhan cabai merah dan menekan hawar yang disebabkan oleh P. capsici. Ibrahim et al. (2014) menyatakan bahwa isolat bakteri ST156, ST116B, E3 mampu menghambat pertumbuhan P. capsici secara in vitro. Penelitian ini menguji keefektifan metode perlakuan benih dan bibit pada cabai dengan menggunakan rizobakteri ST116B atau fungisida metalaksil. Rizobakteri ST116B digunakan karena pada penelitian sebelumnya menurut Ibrahim et al. (2014) dan Rosadiah et al. (2015) menunjukkan hasil yang konsisten dan cukup efektif dalam pengendalian P. capsici.
2 Tujuan Penelitian Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui pengaruh perlakuan benih dan bibit menggunakan agen hayati yang dapat meningkatkan pertumbuhan tanaman dan menurunkan kejadian penyakit busuk phytophthora.
TINJAUAN PUSTAKA Botani Cabai Klasifikasi tanaman cabai merah menurut Rukmana (2002) masuk dalam Kingdom Plantae, Divisi Spermatophyta, Subdivisi Angiospermae, Kelas Dicotyledoneae, Subkelas Metachlamidae, Ordo Tubiflorae, Famili Solanaceae, Genus Capsicum, Spesies Capsicum annuum L. Kusandriani (1996) menyatakan cabai merah berasal dari Mexico dan menyebar ke seluruh daratan Eropa, Asia, dan Afrika. Tanaman cabai mempunyai banyak jenis, tanaman cabai besar (Capsicum annuum L.) bersifat semusim dan cabai rawit (Capsicum frustescens L.) bersifat tahunan. Tanaman cabai besar terdiri atas cabai pedas (hot pepper) dan cabai paprika (sweet pepper). Secara umum C. annuum memiliki ciri morfologi yang sama. Batangnya tegak dengan ketinggian yang sama antara 50 – 90 cm, tangkai daunnya horizontal atau miring, dan panjangnya sekitar 1,5-4,5 cm, panjang daun antara 4-10 cm, lebar 1,5-4,5 cm. Bunga cabai mempunyai posisi menggantung dengan warna mahkota putih. Percabangan berbentuk semak, batang berkayu dan tipe percabangan tegak dan menyebar (Kumalasari, 2005). Cabai merupakan tanaman menyerbuk sendiri yang bersifat protoginy yaitu kepala putik telah masak sebelum tepung sari keluar dari kotak sari pada saat bunga mekar. Phytophthora capsici Cendawan P. capsici termasuk dalam kelompok cendawan genus Phytophthora, Ordo Perenosporales, dan Phylum oomycotina (Drenth dan Guest, 2004) yang dapat menyebabkan hawar dan busuk buah pada tanaman cabai, tomat, lada, dan beberapa tanaman komersial lainnya. Cendawan ini mempunyai siklus hidup seksual dan aseksual, karena itu sulit untuk dikendalikan. P. capsici merupakan patogen tular tanah (soil borne) sehingga membutuhkan beberapa tindakan pencegahan untuk budidaya yang baik (Koc dan Ustun, 2011). Patogen P. capsici bersifat heterotalik sehingga perkembangbiakan secara seksual dibutuhkan interaksi dua tipe kawin (mating type) yaitu tipe A1 dan A2, untuk membentuk oospore. Keberadaan dua tipe kawin tersebut dalam area yang sama, berpotensi terciptanya genotype rekombinan baru yang kemungkinan lebih virulen dari induknya, spesifik inang atau tahan terhadap fungisida (Lamour et al., 2012). Cendawan ini juga dapat terbawa air. Babadoost (2004) menjelaskan bahwa cendawan ini mampu menghasilkan sporangia dan zoospora (spora aseksual). Zoospora yang terlepas akan disebarkan oleh aliran air dan menginfeksi pada jaringan tanaman. Sporangia dalam jaringan tanaman akan berkembang baik
3 terutama dalam buah paprika. Sporangia dapat disebarkan oleh angin. Kelembaban tanah menjadi faktor penting dalam perkembangan penyakit. Sporangia akan terbentuk ketika tanah dalam kapasitas lapang dan akan membentuk zoospora ketika tanah dalam keadaan jenuh. Hausbeck dan Lamour (2004) menjelaskan bahwa penyakit yang disebabkan P. capsici awalnya akan terjadi pada daerah yang rendah di lapangan yang tergenang oleh air. Kondisi hangat (25–30o C) dan berair akan menyebabkan tajuk dan akar terinfeksi pada tanaman lada, zukini, dan labu–labuan biasanya akan mengalami layu permanen kemudian akan mati. P. capsici dapat dapat menyerang tanaman Cucurbitaceae pada berbagai fase tumbuh. Beberapa gejala penyakit akibat serangan cendawan P. capsici adalah damping off, hawar pada daun, dan busuk buah. Fungisida yang terdaftar untuk mengatasi cendawan ini diantaranya berbahan aktif maneb, metalaxyl, mancozeb. Cendawan ini tahan terhadap fungisida mefenoxam (Crop Life Foundation, 2013) Rizobakteri sebagai Agen Pengendali Hayati Pemakaian pestisida untuk menanggulangi hama dan penyakit secara terus menerus menyebabkan dampak yang berbahaya bagi lingkungan dan kesehatan. Pemakaian fungisida yang terus menerus mengakibatkan meningkatnya kejadian penyakit akibat cendawan Phytium, Fusarium, dan Phytophthora (Mahartha et al., 2013). Kesadaran masyarakat untuk mencari produk tanpa pestisida atau organik semakin meningkat. Alternatif lain untuk mengurangi pemakaian pestisida adalah dengan memanfaatkan mekanisme di alam yang diterapkan pada cara budidaya tanaman. Salah satunya adalah dengan memanfaatkan rizobakteri yang melimpah di alam terutama untuk mengendalikan penyakit. Sebagian rizobakteri mengkolonisasi akar tanaman tidak bersifat patogenik dan bahkan menguntungkan bagi tanaman sebagai pemacu pertumbuhan tanaman atau lebih umum disebut plant growth promoting rhizobacteria (PGPR) (Sutariati, 2012). Mekanisme penghambatan patogen oleh agen pengendali hayati adalah dengan hiperparasitisme, kompetisi terhadap ruang dan hara, antibiosis dan lisis. Penelitian Sunarwati dan Yoza (2010) menyatakan bahwa agen hayati Trichoderma virens dan Trichoderma harzianum mampu menghambat pertumbuhan cendawan P. palmivora hingga 99 %. Mekanisme yang terjadi antara Trichoderma dan Phytophtora adalah kompetisi, parasitisme, dan lisis. Syamsuddin (2010) menyatakan bahwa kolonisasi merupakan tahapan penting bagi rizobakteri maupun mikroorganisme patogen. Kemampuan rizobakteri mengendalikan penyakit tanaman umumnya karena secara efektif mampu mengkolonisasi akar. Perlakuan dengan rizhobakteri Bacillus dengan strain yang berbeda yaitu SE52, SE76, INR7, IN937a, dan IN937b menunjukkan pengurangan kejadian penyakit akibat cendawan P. capsici (Zhang et al., 2010). Beberapa keuntungan penggunaan agen biokontol sebagai agen pengendali hayati yaitu (a) organisme yang digunakan lebih aman dibanding berbagai bahan kimia proteksi yang umum digunakan, (b) tidak terakumulasi dalam rantai makanan, (c) terjadi proses reproduksi yang dapat mengurangi pemakaian berulang-ulang, (d) organisme sasaran jarang menjadi resisten terhadap agen biokontrol bila dibandingkan dengan resistensi oleh bahan kimia, (e) dapat
4 diaplikasikan secara bersama-sama dengan cara proteksi yang telah ada (Kumalasari, 2005). Rizobakteri sebagai Pemacu Pertumbuhan Tanaman Keuntungan menggunakan rizobakteri selain untuk menanggulangi penyakit tanaman, sekaligus juga sebagai PGPR. Sebagai pemacu pertumbuhan tanaman, rizobakteri secara kompetitif mengkolonisasi akar dan memanfaatkan eksudat dan lisat yang dikeluarkan akar tanaman (Pieterse et al., 2002). Rizobakteri sebagai pemacu pertumbuhan tanaman berhubungan dengan kemampuan rizobakteri dalam menyediakan hara dan menghasilkan hormon pada perakaran tumbuhan. Figueiredo et al. (2010) menyatakan rizobakteri dapat memacu pertumbuhan tanaman melalui beberapa mekasnisme, antara lain (1) meningkatkan penyerapan hara dan mineral dan fiksasi nitrogen; (2) menekan patogen terbawa tanah (dengan memproduksi hidrogen sianida, siderofor, antibiotik, dan kompetitor nutrisi ); (3) meningkatkan ketahanan tanaman terhadap kekeringan, salinitas, dan keracunan logam; (4) memproduksi fitohormon seperti indole-3- acetic acid (IAA). Kemampuan untuk meningkatkan penyerapan hara, meningkatkan fiksasi nitrogen, dan mampu memproduksi fitohormon menjadikan rizobakteri sebagai biofertilizer. Vessey (2003) menjelaskan biofertilizer sebagai substansi yang mengandung mikroorganisme hidup, yang ketika diaplikasikan ke benih, permukaan tanaman, atau tanah, dapat mengkolonisasi rizosfer atau bagian dalam tanaman dan memacu pertumbuhan dengan meningkatkan asupan dari nutrisi utama tanaman. Biofertilizer telah menjadi alternatif dari pupuk buatan untuk meningkatkan hasil dan pertumbuhan tanaman pada pertanian berkelanjutan. Salah satu fitohormon penting yang mampu diproduksi oleh rizobakteri adalah IAA. Efek dari IAA yang berasal dari luar tanaman dapat menstimulasi atau menghambat pertumbuhan tanaman, kepekaan jaringan tanaman berubah berdasarkan konsentrasi hormon (Persello-Cartieux et al., 2003). Araujo et al. (2005) menemukan produksi auksin pada dua strain B. subtilis yang meningkatkan pertumbuhan pada kedelai. Saharan dan Nehra (2011) menyatakan bakteri Pseudomoas, khususnya P. flourescens dan P. putida adalah jenis PGPR paling penting yang memproduksi auksin dan meningkatkan hasil. Strain Bacillus spp juga mampu mensinteris giberelin (Joo et al., 2004) dan sitokinin (Timmusk, 2003). Penyediaan hara pada tanaman dapat dilakukan oleh rizobakteri dengan meningkatkan penyerapan hara, meningkatkan fiksasi nitrogen dan menjaga ketersediaan mineral dalam tanah. Nitrogen merupakan hara utama yang dibutuhkan tanaman pada masa pertumbuhan sehingga ketersediaannya harus tercukupi dalam tanah. Rizobakteri dari genus Azospirillum dalam beberapa tahun terakhir telah ditemukan sebagai bakteri yang berpotensi dalam mengikat nitrogen saat hidup bebas dan ketika berasosiasi dengan tanaman akan memberikan nutrisi nitrogen (Boddey dan Dobereiner, 1995). Fosfat merupakan hara penting dalam tanaman, namun ketersediaannya terbatas dalam masa pertumbuhan tanaman (Saharan dan Nehra, 2011). Bakteri yang mengoksidasi fosfor mampu membuat fosfor tersedia pada tanaman, penyerapan fosfat berkaitan langsung dengan produksi siderofor, enzim lytic, dan fitohormon (Vassilev et al., 2006). Strain
5 bakteri Azotobacter vinelandii dan Bacillus cereus secara in vitro mampu membantu penyerapan fosfat (Husen, 2003). Bacillus megaterium dari rizosfer mampu melarutkan fosfat dan berperan sebagai PGPR (Chakraborty et al., 2006). Saharan dan Nehra (2011) menyatakan ketersediaan sulfur pada tanah harus teroksidasi menjadi sulfat agar dapat diserap oleh tanaman dan inokulasi bakteri pengoksidasi sulfur (Thiobacillus) pada benih tanaman yang membutuhkan S (sulfur) yang tinggi mampu membuat sulfur tersedia pada tanaman
Perlakuan Benih untuk Meningkatkan Mutu Benih Benih unggul bermutu tinggi merupakan salah satu faktor penentu keberhasilan dalam kegiatan pertanian. Benih dapat mengalami kerusakan secara fisik dan fisiologis pada saat proses pemanenan dan serangan patogen seed borne. Untuk memperoleh benih yang bermutu diperlukan beberapa perlakuan sehingga mutu benih secara fisiogis, fisik, genetik, dan patologis dapat terpenuhi. Benih dapat terserang oleh fungi, bakteri, dan virus pada permukaan ataupun dalam jaringan benih (seed borne) yang mulai menyerang pada saat benih atau kecambah atau bibit yang akan menjadi rentan terhadap serangan patogen soil borne. Beberapa perlakuan benih yang bertujuan melindungi benih dari patogen adalah priming (osmoconditioning dan matriconditioning), coating, dan pelleting (Ilyas, 2006). Terdapat tiga metode utama dalam perlakuan benih secara priming yaitu perlakuan hanya dengan air (hydropriming), solid matrix priming, dan osmopriming. Metode tambahan yaitu dengan melapisi benih (coating) dengan bakteri biopriming dan bio-osmo-priming (Girolamo dan Barbanti, 2012). Ilyas (2006) menyatakan bahwa biopriming adalah integrasi agen biokontrol dengan priming. Rao et al. (2009) menyatakan bahwa proses biopriming lebih baik daripada coating benih secara sederhana dengan P. aureofaciens Kluyver AB24, metode priming benih memberikan hasil perkecambahan bibit yang lebih cepat dan seragam dan lebih baik pada kondisi tanah yang kurang bagus. Kumalasari (2005) menyatakan bahwa biopriming mampu meningkatkan viabilitas dan vigor benih daripada biomatriconditioning. Kumalasari (2005) menunjukkan pada penelitiannya bahwa metode biopriming pada benih cabai mampu mengurangi tingkat kontaminasi Colletotrichum capsici dengan menggunakan beberapa agen biokontrol yaitu Bacillus sp. (78.7%), P. flourescence (65%), T. harzianum (75.7%), T. pseudokoningii (71.7%), dan Gliocladium sp. (71.7%). ElMohammedy dan El-Baky (2008) menyatakan biopriming benih kacang polong dengan T. harzianum, B. subtillis, dan P. fluorescence mampu mengurangi penyakit busuk akar pada kacang polong yang disebabkan F. solani, R. solani, dan S. rolfsii selama dua musim, selain itu juga mampu meningkatkan pertumbuhan vegetatif dan hasil polong hijau. Penggunaan bahan kimia dalam perlakuan benih merupakan salah satu cara yang praktis dan efektif. Bahan kimia sintesis saat ini telah banyak yang ditemukan untuk perlakuan benih sejak pertama dikenalkan pada awal abad 20-an (insektisida dikenalkan tahun 1917 dan fungisida diperkenalkan pada tahun 1930) (Crop Life Foundation, 2013). Babadost dan Islam (2003) menunjukkan
6 mefenoxam dan metalaksil mmpu mengurangi munculnya kecambah damping off yang disebabkan P. capisci pada tanaman labu. Metalaxyl saat ini telah umum digunakan sejak diperkenalkan pada tahun 1980an. Crop Life Foundation (2013) mencatat bahwa metalaksil telah banyak digunakan untuk mengatasi Phytium, Phytophthora, dan Rhizoctonia.
BAHAN DAN METODE Penelitian ini dilaksanakan di Laboratorium Penyakit Balittro (Balai Penelitian Tanaman Rempah dan Obat), Laboratorium Kesehatan Benih, Departemen Agronomi dan Hortikultura, dan Rumah Kaca Cikabayan, Departemen Proteksi Tanaman, Fakultas Pertanian, Institut Pertanian Bogor. Penelitian dilaksanakan pada bulan April hingga Desember 2014. Benih Cabai Benih cabai merah (Capsicum annuum L..) yang digunakan adalah varietas Laris produksi PT East West Seed Indonesia. Benih diperoleh dari salah satu toko pertanian di Lampung pada bulan Mei 2014 dengan masa kadaluarsa Mei 2015, dan tertulis pada label daya berkecambah benih 85% dan kadar air 9%. Sebelum percobaan benih diuji daya berkecambahnya menggunakan metode uji di atas kertas, daya berkecambah telah menurun menjadi 80%. Varietas Laris dipilih karena rentan terhadap serangan patogen P. capsici. Percobaan 1. Evaluasi keefektifan isolat rizobakteri dan metalaksil sebagai antagonis P. capsici secara in vitro Rancangan percobaan Percobaan in vitro ini menggunakan rancangan acak lengkap (RAL) satu faktor dengan sepuluh perlakuan: tujuh konsentrasi metalaksil, dua cara penempatan rizobakteri ST116B, dan kontrol. Setiap perlakuan diulang lima kali sehingga terdapat 50 satuan percobaan. Perlakuan konsentrasi metalaksil terbaik digunakan kembali sebagai coating benih untuk percobaan selanjutnya. Data perbedaan nilai tengah daya hambat antar perlakuan diuji dengan Duncan multiple range test (DMRT) pada taraf α=0.05. Pengujian efektifitas rizobakteri dan metalaksil dalam menghambat P. capsici secara in vitro Percobaan ini menggunakan isolat rizobakteri ST116B (koleksi Balittro), metalaksil (fungisida Saromil 35SD berbahan aktif 35% metalaksil). Uji kefektifan isolat rizobakteri ST116B dan konsentrasi metalaksil untuk menghambat P. capsici dilakukan dengan metode dual culture. Metode dual culture isolat rizobakteri menggunakan dua cara yaitu dengan teknik goresan pada media dan perendaman paper disc selama 5 menit pada suspensi isolat rizobakteri ST116B. Uji kefektifan konsentrasi metalaksil menggunakan perendaman paper disc selama 5 menit pada larutan fungisida dengan tujuh konsentrasi berbeda, oleh karena itu terdapat 10 perlakuan yang dievaluasi yaitu rizobakteri ST116B
7 (gores), rizobakteri ST116B (paper disc), metalaksil (M) 400 ppm, M 500 ppm, M 600 ppm, M 700 ppm, M 800 ppm, M 900 ppm, M 1000 ppm, dan kontrol. Isolat rizobakteri ST116B ditumbuhkan di media ekstrak kentang (PDA) 50 ml dan digoyang-goyang terus menerus selama 48 jam. Konsentrasi metalaksil dibuat dengan menggunakan pengenceran bertingkat. Isolat P. capsici berdiameter 0.5 cm diletakkan pada media ekstrak kentang (PDA/potato dextrose agar) dengan jarak 3 cm dari tepi cawan petri. Goresan suspensi isolat rizobakteri ST116B dibuat dengan cara memanjang berjarak 5 cm dari isolat P. capsici mendekati sisi cawan petri yang lain. Perlakuan rizobakteri atau metalaksil dengan paper disc ditempatkan dengan jarak 5 cm dari isolat P. capsici. Sebagai kontrol Isolat P. capsici ditumbuhkan pada media ekstrak kentang dalam cawan petri. Setiap perlakuan terdiri atas lima ulangan. Pengamatan dilakukan tiga kali yaitu hari ke-2, hari ke-4, dan hari ke-7 terhadap pertumbuhan koloni P. capsici dan ruang antara pertumbuhan P. capsici dan rizobakteri/metalaksil. Pengukuran dilakukan menggunakan penggaris dengan satuan cm. Hasil pengukuran digunakan untuk menghitung persentase daya hambat rizobakteri/metalaksil terhadap pertumbuhan patogen P. capsici dengan menggunakan rumus: Keterangan: R1 = jari-jari pertumbuhan patogen tanpa rizobakteri (kontrol) R2 = jari-jari pertumbuhan patogen ke arah rizobakteri (Syamsuddin 2010)
Percobaan 2. Pengaruh perlakuan benih dengan rizobakteri terhadap viabilitas dan vigor benih Rancangan percobaan. Percobaan kedua ini menggunakan RAL satu faktor yaitu perlakuan benih dengan perendaman dalam isolat rizobakteri ST116, larutan metalaksil 800 ppm, dan larutan ekstrak kentang sebagai kontrol. Setiap perlakuan diulang sebanyak empat kali sehingga terdapat 12 satuan percobaan. Setiap satuan percobaan menggunakan 25 benih sehinnga terdapat 300 satuan pengamatan. Data perbedaan nilai tengah dari daya berkecambah, indeks vigor, keserempakan tumbuh, dan kecepatan tumbuh antar perlakuan dianalisis dengan menggunakan Duncan multiple range test (DMRT) pada α=0.05. Perlakuan benih dengan rizobakteri atau metalaksil. Benih didisinfeksi melalui perendaman dalam alkohol 70% selama 3 menit. Benih dicuci sebanyak tiga kali dengan akuades steril dan dikeringanginkan dalam laminar air flow selama 60 menit. Benih kemudian direndam dalam 50 ml suspensi isolat rizobakteri ST116B atau 50 ml metalaksil 800 ppm atau 50 ml larutan ekstrak kentang selama 24 jam pada suhu 25 °C. Benih dikering-anginkan terlebih dahulu selama 60 menit sebelum digunakan untuk ditanam (Syamsuddin 2010). Perendaman benih dalam suspensi rizobakteri disebut sebagai biopriming (Ilyas et al., 2015). Suspensi sel rizobakteri diperoleh dengan menginkubasi rizobakteri ST116B dalam 50 ml larutan media ekstrak kentang selama 48 jam. Nilai optical density (OD) suspensi larutan menunjukkan 108 cfu ml-1 yang dilihat dengan menggunakan spektrofotometer.
8 Benih yang telah diberi perlakuan kemudian disemai pada tray semai yang berisi media campuran tanah dan pupuk kandang (1:1 v/v) di rumah kaca. Pengamatan pada persemaian dilakukan pada tolok ukur: (1) Daya berkecambah menggunakan rumus
Keterangan: Pengamatan hitungan ke-1 dan ke-2 pada tanaman cabai dilakukan pada 7 hari setelah tanam (HST) dan 14 HST (2) Indeks vigor (IV) menggambarkan vigor kecepatan tumbuh (Copeland dan Mc Donald, 1995), berdasarkan penghitungan persentase kecambah normal hitungan pertama (3) Keserempakan tumbuh (KsT) menggambarkan vigor benih, dihitung berdasarkan persentasi kecambah normal pada hari ke 10 setelah benih ditanam, yaitu hari antara hitungan pertama (7 HST) dan kedua (14 HST) (4) Kecepatan tumbuh (KcT) dihitung berdasarkan rumus Sadjad (1999)
Keterangan: t: waktu pengamatan N: %KN setiap waktu pengamatan tn: waktu akhir pengamatan yang dilakukan pada penghitungan kecambah normal sampai bibit berumur 14 HST. Perawatan pada masa persemaian dilakukan dengan cara penyiraman setiap hari sampai 35 HST. Percobaan 3. Pengaruh perlakuan benih dan bibit dengan rizobakteri terhadap pertumbuhan tanaman dan persentase kejadian penyakit busuk phytophthora di rumah kaca Rancangan percobaan Percobaan ketiga menggunakan RAL dua faktor dengan faktor pertama (pemberian metalaksil/rizobakteri) tersarang pada faktor kedua (kondisi tanah). Kondisi tanah terdiri atas tanah yang diinokulasi P. capsici dan tanah tanpa diinokulasi P. capsici. Faktor pertama terdiri atas lima taraf dan faktor kedua terdiri atas dua taraf, sehingga percobaan ini terdiri atas sepuluh perlakuan. Kode perlakuan pada percobaan di rumah kaca dapat dilihat pada Tabel 1. Setiap perlakuan diulang sebanyak tiga kali sehingga terdapat 30 satuan percobaan. Setiap satuan percobaan menggunakan 7 bibit sehingga dibutuhkan sebanyak 210 bibit cabai. Data pertumbuhan tinggi tanaman dan jumlah daun dianalisis menggunakan uji t-test antara kontrol positif dan kontrol negatif. Data nilai tengah tinggi tanaman dan jumlah daun masing masing perlakuan dibandingkan dengan kontrol pada kondisi tanah (K-/K+) masing masing perlakuan menggunakan uji lanjut t-dunnet pada taraf α=0.05.
9 Penanaman bibit di polybag Perlakuan bibit dilakukan pada saat bibit cabai berumur 15 HST dengan cara menyiramkan 10 ml larutan metalaksil 800 ppm atau larutan suspensi isolat rizobakteri ST116B atau larutan ekstrak kentang pada bibit persemaian di sekitar perakaran bibit. Bibit dipindah-tanamkan pada saat berumur 37 HST. Sebanyak 20 bibit setiap perlakuan dipindahkan ke dalam polybag (satu bibit per polybag) berukuran 30 cm x 35 cm. Media tanam yang digunakan adalah campuran tanah dan pupuk kandang (4:1 v/v). Bibit yang telah ditanam pada polybag diletakkan secara teratur berjarak 40 cm x 50 cm dalam rumah kaca. Perawatan dilakukan dengan penyiraman setiap sore hari, pengendalian hama, dan pemupukan. Pemupukan dilakukan pada saat tanaman berumur 2 minggu setelah pindah tanam (MSP) dan 4 MSP menggunakan pupuk NPK Mutiara (15:15:15) sebanyak 50 ml per tanaman dengan dosis 2 g l-1. Suhu rata – rata dalam rumah kaca saat siang hari mencapai 41 °C – 50 °C. Hama yang sering ditemui pada tanaman cabai dalam rumah kaca adalah kutu daun Myzus persicae. Pengendalian hama dilakukan dengan menyemprotkan insektisida berbahan aktif deltametrin 25 g l-1dengan konsentrasi 0.5 ml l-1 setiap dua minggu sekali. Pengendalian gulma dilakukan dengan cara manual yakni pencabutan. Penyiapan tanah inokulum dan inokulasi tanah pada tanaman Patogen P. capsici diinokulasikan pada tanaman melalui tanah inokulum yang disebarkan pada tanaman ketika berumur 3 MSP di sekitar perakaran dengan tanpa melukai pangkal batang (Ibrahim et al., 2014). Tanah inokulum dibuat berdasarkan metode Manohara (1988). Tanah sebanyak 3.5 kg dikeringkan, kemudian dicampur dengan 4% oat meal (tepung gandum), diberi air sehingga mencapai kapasitas lapang. Tanah tersebut disterilkan dengan autoklaf pada suhu 120 °C selama 20 menit. Potongan biakan P. capsici diinokulasikan ke tanah yang sudah steril, dan diinkubasi pada suhu ruangan (23 – 25 °C) selama 2 minggu. Pengamatan vegetatif dilakukan 2 - 8 MSP terhadap tinggi tanaman dan jumlah daun. Pengamatan kejadian penyakit dilakukan pada 1 – 28 HSI (hari setelah inokulasi tanah inokulum).
10 Tabel 1. Kode perlakuan pada percobaan ketiga di rumah kaca Kondisi tanah
Tanpa diinokulasi P. capsici
Tanah diinokulasi P. capsici
Pemberian metalaksil/rizobakteri (tersarang) Benih dan bibit tanpa perlakuan, (K- (tanaman sehat)) Benih tanpa perlakuan, bibit 2 MST disiram ekstrak kentang (K- dan bibit) Benih direndam metalaksil, bibit 2 MST tanpa perlakuan (Metalaksil Benih (MB)) Benih direndam metalaksil, bibit 2 MST disiram metalaksil (MB + Bibit) Benih direndam rizobakteri, bibit 2MST tanpa perlakuan (Rizobakteri Benih (RB)) Benih direndam rizobakteri, bibit 2 MST disiram rizobakteri (RB + Bibit) Benih dan bibit tanpa perlakuan (K+ (tanaman terserang P. capsici)) Benih tanpa perlakuan, bibit 2 MST disiram ekstrak kentang (K+ dan bibit) Benih direndam metalaksil, bibit 2 MST tanpa perlakuan (Metalaksil Benih (MB)) Benih direndam metalaksil, bibit 2 MST disiram metalaksil (MB + Bibit) Benih direndam rizobakteri, bibit 2MST tanpa perlakuan (Rizobakteri Benih (RB)) Benih direndam rizobakteri, bibit 2 MST disiram rizobakteri (RB + Bibit)
Keterangan: K = kontrol, R = Rizobakteri ST116B, M = Metalaxyl, B = perlakuan fase benih, T = perlakuan fase benih dan bibit 2 MST (semai)
HASIL DAN PEMBAHASAN Percobaan 1. Evaluasi keefektifan isolat rizobakteri dan metalaksil sebagai antagonis P. capsici secara in vitro Pertumbuhan P. capsici memenuhi media tumbuh pada perlakuan kontrol 7 hari setelah inkubasi. Penghambatan pertumbuhan P. capsici ditunjukkan pada semua perlakuan konsentrasi metalaksil dan isolat rizobakteri ST116B. Terbentuknya ruang kosong antara perlakuan rizobakteri atau konsentrasi metalaksil dengan P. capsici merupakan zona penghambatan yang digunakan sebagai dasar evaluasi daya hambat masing-masing perlakuan. Daya hambat pada perlakuan konsentrasi metalaksil berkisar antara 34%53%. Konsentrasi metalaksil 1.000 ppm yang mempunyai daya hambat paling rendah (34%), sedangkan metalaksil 800 ppm mempunyai daya hambat paling tinggi sebesar (53%). Oleh karena itu, metalaksil 800 ppm digunakan untuk percobaan berikutnya. Isolat rizobakteri ST116B dengan menggunakan metode paper disk mempunyai daya hambat yang lebih tinggi (49%) daripada dengan metode gores (42%).
11
Tabel 2. Kemampuan isolat rizobakteri ST116B dan berbagai konsentrasi metalaksil menghambat pertumbuhan P. capsici secara in vitro 7 hari setelah inkubasi Perlakuan Metalaksil 400 ppm Metalaksil 500 ppm Metalaksil 600 ppm Metalaksil 700 ppm Metalaksil 800 ppm Metalaksil 900 ppm Metalaksil 1000 ppm ST116B (gores) ST116B (paper disc) Kontrol KK F-hitung
Rata-rata jari-jari P. capsici (cm) 3,21bc 2,59 bc 3,23 bc 2,57 bc 2,37 c* 2,80 bc 3,37 b 2,90 bc 2,55 bc 5,9 a 18,75 11,05
Daya hambat pertumbuhan P. capsici (%) 36,2 ab 48,6 ab 35,4 ab 49,6 ab 53 a* 44 ab 34 ab 42 ab 49 ab 27,5 1,6
Rata-rata lebar zona penghambatan P. capsici (cm) 1,24 ab 1,56 ab 1,30 ab 1,48 ab 1,67 a* 1,48 ab 1,23 b 1,24 ab 1,47 ab 20 1,3
Keterangan: *Angka pada kolom yang sama diikuti dengan huruf yang sama tidak berbeda nyata berdasarkan Duncan multiple range test (DMRT) pada taraf α = 5 %.
Terbentuknya zona bening di antara fungisida metalaksil atau rizobakteri dengan P. capsici karena adanya proses penghambatan pertumbuhan P. capsici. Proses penghambatan antara rizobakteri ST116B dengan P. capsici terjadi karena rizobakteri mampu mengeluarkan senyawa anti cendawan yang bersifat toksik pada patogen. Menurut Sutariati (2006) tidak semua isolat rizobakteri mampu memproduksi enzim ekstraseluler seperti kitinase, protease, dan lipase dan mampu mensintesis senyawa asam sianida (HCN). Syamsuddin (2010) melaporkan bahwa rizobakteri kelompok Bacillus spp. dapat mensekresikan enzim ekstraseluler seperti protease atau selulase sehingga mampu menghambat pertumbuhan koloni P. capsici. A
B
1
2
3
Gambar 1. Perbandingan pertumbuhan koloni P. capsici (A) Paper disc Ø 0.5 cm yang telah direndam metalaksil 800 ppm (1), Pertumbuhan koloni P. capsici (2), dan rizobakteri ST116B (3) dan pada media ekstrak kentang; perbedaan daya hambat beberapa konsentrasi metalaksil terhadap P. capsici (B)
12
Pengamatan mikroskopis menunjukkan perbedaan respon hifa P. capsici pada perlakuan rizobakteri dan metalaksil. Ujung hifa P. capsici pada perlakuan isolat rizobakteri ST116B mengalami lisis (Gambar 1). Rizobakteri ST116B diduga dapat mengeluarkan zat anti cendawan yang mampu mendegradasi hifa P. capsici. Menurut Tenuta (2006) degradasi dinding sel dapat terjadi karena rizobakteri mampu mensekresi enzim ekstraseluler seperti selulase, β-1.3 glukanase, kitinase serta senyawa antibiotik dan sianida. Dinding sel P. capsici sebagai terdiri atas sellulosa (Beever et al., 2012). Ujung hifa P. capsici pada perlakuan metalaksil mengalami pertumbuhan abnormal dengan mengalami penggumpalan (Gambar 1). Farih et al. (1981) menyatakan bahwa metalaksil dengan konsentrasi rendah (0,1 – 10 mg/L) sangat menghambat pertumbuhan miselium dan pembentukan sporangia, chlamydospora, dan oospore dari P. parasitica dan pembentukan sporangia P. citrophthora., chlamydospora, dan oospore dari P. parasitica dan P. citrophthora.
normal
penggumpalan
lisis Gambar 2. Keragaan pertumbuhan koloni P. capsici tanpa perlakuan, hifa normal (A), perlakuan metalaksil pada paper disc Ø, ujung hifa abnormal (B), perlakuan rizobakteri ST116B secara digores, ujung hifa mengalami lisis (C), perbesaran mikroskop 10 x 10 Percobaan 2. Pengaruh perlakuan benih dengan rizobakteri terhadap viabilitas dan vigor benih Pengaruh perlakuan benih tidak berbeda nyata terhadap daya berkecambah dan indeks vigor. Perlakuan benih dengan isolat rizobakteri menghasilkan keserempakan tumbuh nyata lebih tinggi daripada kontrol, sedangkan perlakuan benih dengan metalaksil menghasilkan kecepatan tumbuh yang nyata lebih tinggi daripada kontrol (Tabel 3). Perlakuan benih dengan isolat B. megaterium BSKW03, B. brevia BSKW21, dan B. alvei BSPJG20 dari kelompok Bacillus spp., P. fluorescens PSPJG05, P. aeruginosa PSKW07, dan P. putida PSKW12 dari kelompok Pseudomonas spp., memberikan dampak yang lebih baik dalam
13 meningkatkan vigor, viabilitas, dan pertumbuhan bibit cabai dibandingkan dengan isolat lainnya dalam kelompok yang sama (Syamsuddin, 2010). Perlakuan invigorasi secara nyata meningkatkan viabilitas dan vigor benih cabai (Ilyas et al., 2002). Perlakuan biopriming secara umum lebih efektif dalam meningkatkan viabilitas dan vigor benih cabai yang terinfeksi C. capsici (Ilyas et al., 2015). Tabel 3. Pengaruh perlakuan benih dengan rizobakteri dan metalaksil terhadap viabilitas dan vigor benih cabai di persemaian sampai 14 hari setelah semai Daya Perlakuan berkecambah (%) Rizobakteri ST116B 77 Metalaxyl 800 ppm 70 Kontrol 69 KK
4,74
F hitung
1,06
31 28 21 20,1
53 a 43 ab 43 b
Kecepatan tumbuh (% etmal-1) 8,4 a 10,9 b 9,7 b
6,72
12,35
0,62
2,1
4,36
Indeks vigor (%)
3
Keserempakan tumbuh (%)
Keterangan: aAngka pada kolom yang sama dengan huruf yang sama tidak berbeda nyata berdasarkan Duncan multiple range test (DMRT) pada taraf α = 5 %,
Gambar 3. Perkecambahan benih cabai (A) tanpa perlakuan benih (kontrol), (B) perlakuan benih dengan metalaksil 800 ppm, dan (C) perlakuan benih dengan rizobakteri ST116B Percobaan 3. Pengaruh perlakuan benih dan bibit dengan rizobakteri terhadap pertumbuhan tanaman dan persentase kejadian penyakit busuk phytophthora di rumah kaca Pengamatan pada kejadian penyakit dilakukan hingga 28 HSI tanah dengan inokulum P. capsici. Gejala serangan cendawan P. capsici mulai terlihat pada tanaman cabai ketika 14 HSI. Gejala yang muncul ditandai dengan pangkal batang tanaman cabai yang mengalami perubahan warna dari hijau menjadi coklat kemudian seluruh bagian daun menjadi layu, tanaman mengering, dan selanjutnya
14 mati (Gambar 4). Menurut Syamsuddin (2010) gejala penyakit busuk phytophthora pada pangkal batang 12 HSI dimulai dengan munculnya nekrosis pada pangkal batang. Nekrosis (kematian sel) tersebut berkembang disertai pembusukan dan perubahan warna batang dari tepi lesion (belur), warna coklat muda menjadi coklat kehitaman dan bagian lesion mengeras. Pada hari ke-14 setelah inokulasi, miselium berwarna putih mulai terbentuk pada bagian permukaan batang yang membusuk dan sebagian daun layu kemudian tanaman mati.
Pangkal batang coklat
Miselium pada batang
Pangkal Gambar 4 batang Proses coklat tanaman Gambar 4. Proses tanaman menjadi mati karena serangan P. capsici, pangkal batang menjadi menjadi coklat (1), tanmanan menjadi layu (2), tanaman menjadi mati mati dan timbul miselium pada pangklat batang (3) karena Gejala serangan P. capsici terlihat 14 HSI pada kontrol positif dan serangan benih P. capsici, tanpa perlakuan, bibit 2 MST disiram ekstrak kentang (K+ dan bibit). Perlakuan rizobakteri maupun metalaksil pada benih dengan/tanpa perlakuan pangkal bibit batang memberikan hasil yang berbeda nyata lebih rendah dari kontrol positif. Hal ini menjadi menunjukkan bahwa metalaksil maupun isolat rizobakteri ST116B mampu coklat menghambat infeksi P. capsici pada tanaman cabai yang terkena serangan busuk (1), tanmanan phytophthora. Menurut Syamsuddin (2010) meskipun metalaksil merupakan menjadi fungisida yang bersifat sistemik, namun efek pengendalian metalaksil berdurasi layu (2), singkat tidak seperti halnya efek pengendalian yang diberikan oleh agens tanaman biokontrol yang bersifat lama dan mampu menginduksi ketahanan tanaman secara menjadi sistemik serta secara tidak langsung juga berperan sebagai pemacu pertumbuhan. Perlakuan benih dengan rizobakteri tanpa perlakuan bibit memberikan mati hasildan timbul terbaik dengan mampu menahan gejala serangan P. capsici selama 28 HSI yaitu miselium 9.5%. pada Isolat rizobakteri ST116B mampu menekan tingkat kejadian penyakit pangklat busuk phytophthora. Rizobakteri strain Bacillus mempunyai kemampuan dalam memproduksi metabolit sekunder seperti siderofor, senyawa antibiotik, HCN,batang dan (3)Miseliu mensekresikan enzim ekstraseluler seperti kitinase, protease, dan selulase (Zhang, m pada 2004). Perlakuan dengan rizhobakteri Bacillus dengan strain yang berbeda yaitu batang SE52, SE76, INR7, IN937a, dan IN937b menunjukkan pengurangan kejadian penyakit akibat cendawan P. capsici (Zhang et al,. 2010). Kemampuan isolat rizobakteri ST116B menekan tingkat kejadian penyakit lebih baik daripada metalaksil karena rizobakteri dapat tinggal di sekitar akar dan bersimbiosis dengan akar tanaman. Isolat rizobakteri ST116B mampu mengurangi tingkat kejadian penyakit di lapangan (Ibrahim et al., 2014), dan disarankan untuk diaplikasikan secara tunggal agar lebih ramah lingkungan (Rosadiah et al., 2015).
15 Tabel 4. Pengaruh perlakuan rizobakteri dan metalaksil pada benih terhadap kejadian penyakit saat 28 HSI inokulum P. capsici ke tanah Perlakuan Kontrol Negatif (K-) Kontrol Positif (K+) K+ dan Bibit Metalaksil Benih (MB) MB + Bibit Rizobakteri Benih (RB) RB + Bibit
KK F hitung P Hitung
Kejadian penyakit (%) 14 HSI 21 HSI 28 HSI 0b 0b 0d 23,8a 42,9a 61,9a 14,3b 38,1a 52,4a 0c 9,5b 33,3b 0c 14,3b 23,8bc 0c 0b 9,5cd 0c 4.8b 19bc 57,3 56,5 16,5 22 7,13 28,86 < 0,0001 0,0014 < 0,0001
Keterangan: aAngka pada kolom yang sama dengan huruf yang sama tidak berbeda nyata berdasarkan Duncan multiple range test (DMRT) pada taraf α = 5%. 14 HSI = hari setelah infestasi. K = kontrol, R = Rizobakteri ST116B, M = Metalaksil, B = Benih, Bibit = bibit disiram 2 MST; K- (kondisi tanah sehat), kontrol K+ (kondisi tanah diinokulasi P. capsici); MSP = minggu setelah pindah tanam; pengamatan dilakukan terhadap 7 tanaman per ulangan, setiap perlakuan terdiri atas tiga ulangan; hari setelah inokulasi (HSI)
Pengamatan fase vegetatif dilakukan terhadap tinggi tanaman dan jumlah daun pada 5 MSP dan 8 MSP. Berdasarkan Tabel 5, tinggi tanaman kontrol negatif (tanaman sehat) menunjukkan hasil yang berbeda nyata lebih tinggi daripada kontrol positif (tanaman yang diinokulasi P. capsici) ketika tanaman cabai berumur 8 MSP. Hal ini menunjukkan bahwa pengaruh penghambatan pertumbuhan P. capsici pada tinggi dan jumlah daun tanaman cabai terjadi setelah tanaman berumur 8 MSP. Perlakuan rizobakteri pada benih dengan/tanpa perlakuan bibit menunjukkan tinggi tanaman yang berbeda nyata lebih tinggi daripada kontrol negatif pada umur tanaman 8 MSP pada kondisi tanah tidak diinokulasi P. capsici. Hal ini menunjukkan bahwa isolat rizobakteri ST116B berperan sebagai PGPR pada kondisi tanah tidak diinokulasi cendawan P. capsici. Tinggi tanaman pada tanah yang diinokulasikan P. capsici semua perlakuan tidak berbeda nyata dengan kontrol positif. Hal ini menunjukkan bahwa metalaksil atau rizobakteri tidak mampu menghambat pengaruh P. capsici yang menyerang tanaman cabai. Jumlah daun pada kontrol negatif menunjukkan hasil berbeda nyata lebih tinggi daripada kontrol positif ketika tanaman cabai berumur 8 MSP. Tanaman cabai yang direndam dengan rizobakteri ST116B menunjukkan jumlah daun yang berbeda nyata lebih banyak dari kontrol negatif pada kondisi tanah tanpa diinokulasi P. capsici. Hal ini menunjukkan bahwa rizobakteri ST116B mampu berperan sebagai PGPR pada lingkungan tidak tertekan cendawan P. capsici.
16 Tabel 5. Pengaruh perlakuan benih dengan rizobakteri dan metalaksil terhadap tinggi tanaman dan jumlah daun pada 5 dan 8 MSP di polybag Kondisi Tanah
Perlakuan pada Benih dan Bibit
Tanpa P. capsici
K- dan Bibit Metalaksil Benih (MB) MB + Bibit Rizobakteri Benih (RB) RB + Bibit
Diinokulasi P. capsici
Tinggi tanaman (cm)
Jumlah daun (daun)
5 MSP (K- = 19,7a)
8 MSP (K- = 36 a)
5 MSP (K- = 14,3a)
8 MSP (K- = 21 a)
23
39.67
25
36
24,67
42,67
18,33
27,67
23,33
40,67
20
32,33
26
47,33*
28,33
44,33*
24,67
24 5 MSP (K+ = 11a) 15,33
40,67 8 MSP (K+ = 12,3b) 19,33
Perlakuan pada Benih dan Bibit
5 MSP (K+ = 19a)
K+ dan Bibit Metalaksil Benih (MB) MB + Bibit Rizobakteri Benih (RB) RB + Bibit
19,17
45,67* 8 MSP (K+ = 27,3b) 25,33
15,833
24
10,67
14
21,83
32,33
14,67
23,67*
18,5
29,67
12,33
18
18 5,99 4,07 0,0577
29 4,79 14,86 0,0038
9,67 2,8 3,86 0,0683
15 2,32 13,63 0,0061
KK F Hitung P Hitung a Keterangan: huruf yang berbeda dalam kolom K- dan K+ menunjukkan perbedaan nyata dengan menggunakan t – test dan * menunjukkan perbedaan nyata rataan perlakuan dengan kontrol ((K-/K+) sesuai kondisi tanah) melalui uji lanjut t – dunnet pada taraf α = 5 %; data pada tabel sebelum diolah ditransformasi dengan rumus ; K = kontrol, R = Rizobakteri ST116B, M = Metalaksil, B = Benih, Bibit = bibit disiram 2 MST; K(kondisi tanah sehat), kontrol K+ (kondisi tanah diinokulasi P. capsici); MSP = minggu setelah pindah tanam; pengamatan dilakukan terhadap 7 tanaman per ulangan, setiap perlakuan terdiri atas tiga ulangan.
Perlakuan metalaksil pada benih dan bibit menunjukkan jumlah daun yang berbeda nyata lebih banyak dari kontrol positif pada kondisi tanah diinokulasi P. capsici. Artinya, perlakuan metalaksil pada benih dan bibit dapat mempertahankan pertumbuhan tanaman (Tabel 5) walaupun terserang penyakit 23,8% (Tabel 4). Aplikasi rizobakteri secara dua kali (benih dan bibit) pada tanaman yang sehat (kondisi tanah tidak diinokulasi P. capsici) tidak memberikan hasil yang berbeda daripada aplikasi rizobakteri satu kali (benih saja), sehingga aplikasi rizobakteri pada benih saja lebih efektif digunakan. Pada kondisi tanaman cabai sakit (tanah diinokulasi P. capsici), aplikasi rizobakteri pada benih baik dengan atau tanpa perlakuan bibit tidak efektif mempertahankan pertumbuhan tanaman cabai. Hal ini diduga akibat mekanisme pertahanan tanaman terhadap serangan patogen P. capsici. Peran PGPR isolat rizobakteri ST116B diduga berkaitan dengan kemampuannya dalam mengkolonisasi akar tanaman cabai dan memobilisasi hara pada lingkungan akar. Menurut Syamsuddin (2010) kemampuan rizobakteri
17 sebagai pemacu pertumbuhan tanaman atau PGPR karena memproduksi fitohormon seperti IAA, giberelin, sitokinin, dan etilen dalam lingkungan akar. Selain itu, rizobakteri PGPR juga dapat menyediakan hara dengan menambat N2 dari udara secara asimbiosis dan dapat melarutkan hara P yang terikat dalam tanah (Tenuta, 2006). Kemampuan rizobakteri dalam menyediakan hara (biofertilizer) dengan menambahkan N2 dari udara secara asimbiosis, kemampuan melarutkan fosfat serta kemampuan mengoksidasi sulfur juga merupakan karakteristik rizobakteri dalam peranannya sebagai PGPR (Mc Millan, 2007). Rizobakteri yang diisolasi dari rizosfer tanaman cabai sehat yang tumbuh di antara tanaman terserang penyakit antraknosa mampu memproduksi IAA dalam media dengan menambahkan asam amino triptofan (Sutariati, 2006). Penelitian Syamsuddin (2010) menunjukkan bahwa 37 isolat rizobakteri hasil isolasi dari rizosfer tanaman cabai sehat di antara tanaman cabai berpenyakit busuk phytophthora yang diuji semuanya mampu menghasilkan IAA. Aplikasi metalaksil dan isolat rizobakteri ST116B pada benih dengan/tanpa perlakuan bibit dapat menurunkan kejadian penyakit busuk phytophthora. Aplikasi isolat rizobakteri ST116B pada benih dapat menurunkan kejadian penyakit lebih baik daripada metalaksil (Tabel 4). Aplikasi rizobakteri pada benih saja menunjukkan hasil yang tidak berbeda nyata dari tanaman sehat (kontrol negatif). Selain itu, perlakuan isolat rizobakteri ST116B pada benih dapat meningkatkan pertumbuhan tanaman (Tabel 5). Aplikasi rizobakteri ST116B pada benih saja lebih efektif digunakan daripada aplikasi dua kali (benih dan bibit) karena dapat menurunkan kejadian penyakit yang lebih baik (Tabel 4) dan meningkatkan pertumbuhan yang lebih baik (Tabel 5). Perlakuan metalaksil pada benih dan bibit dapat mempertahankan pertumbuhan tanamn cabai pada kondisi tanah yang diinokulasi P. capsici.
SIMPULAN DAN SARAN Simpulan Isolat rizobakteri ST116B dan metalaksil 800 ppm secara in vitro mampu menghambat pertumbuhan P. capsici. Perlakuan benih dengan rizobakteri ST116B tanpa perlakuan bibit mampu menurunkan tingkat kejadian penyakit busuk phytophthora dari 61,9% menjadi 9,5%. Perlakuan benih dengan isolat rizobakteri ST116B diikuti dengan perlakuan bibit atau perlakuan benih dengan isolat rizobakteri ST116B tanpa perlakuan bibit nyata dapat meningkatkan pertumbuhan tanaman (jumlah daun dan tinggi tanaman). Rizobakteri ST116B mampu berperan sebagai antagonis P. capsici sekaligus PGPR. Saran Aplikasi isolat rizobakteri ST116B pada benih dapat digunakan untuk menggantikan metalaksil dalam mengendalikan P. capsici. Aplikasi isolat rizobakteri ST116B lebih efektif dilakukan pada benih saja.
18
DAFTAR PUSTAKA Araujo F.F., Henning A.A., and Hungria M. (2005) Phytohormones and antibiotics produced by Bacillus subtilis and their effects on seed pathogenic fungi and on soybean root development. World J Microbiol Biotechnol 21: 1639–1645. Babadost M. 2004. Phytopthora blight : a serious threat to cucurbit industries [internet]. American Phytopathological Society. [diunduh 30 November 2015]. Tersedia pada: http://www.apsnet.org/publications/apsnetfeatures/Pages/PhytophthoraBli ght.aspx Babadost M. and Islam S.Z. 2003. Fungicide seed treatment effect on seedling damping-off of pumpkin caused by Phytophtora capsici. Plant Disease/January 2003 : 63 – 68 Beever M.E., Mckenzie E., Pennycook S., Buchanan P.K. 2012. Phylum Oomycotina Water Moulds, Downy Mildew. Di dalam: Denis G., editor. New Zeland Inverntory of Biodiversity Volume 3. Selandia Baru (NZ): Canterburry University Press. 164-169. Boddey R.M. and Dobereiner J. (1995) Nitrogen fixation associated with grasses and cereals : recent progress and perspectives for the future. Fert Res 42:241–250. Chakraborty U., Chakraborty B., and Basnet M. 2006. Plant growth promotion and induction of resistance in Camellia sinensis by Bacillus megaterium. Journal of Basic Microbiology, 46 (Suppl 3): 186 – 195. Copeland L.O., Mc Donald M.B. 1995. Principles of Seed Science and Tecnology. New York (US): Chapman and Hall. Crop Life Foundation. 2013. The Role Of Seed Treatment in Modern U.S. Crop Production. Washington (US): Crop Life Foundation Drent A. and Guest I.D. 2004. Diversity And Management Phytophthora In Southeast Asia. Canberra (AU): Australian Centre for International Agricultural Research. Duriat A.S., Gunaeni N., dan Wulandari A.W.A. 2007. Penyakit Penting pada Tanaman Cabai dan Pengendaliannya. Bandung (ID): Balai Penelitian Tanaman Sayuran. El-Mohamedy R.S.R. and El-Baky M.M.H. 2008. Effecet of seed treatment on control of root rot disease and improvement of growth and yield of pea plants. Middle Eastern and Russian Journal of Plant Science and Biotechnology: 84 – 90. Farih A., Tsao H., and Menge J.A. 1981. In vitro effect of metalaxyl on growth, sporulation, and germination of Phytophthora parasitica and P. citophora. Plant Disease/Vol. 65 No. 8: 651 – 654. Figuereido M.V.B., Seldin L., Araujo F.F., and Mariano R.L.R. 2010. Plant growth prommotong rhizobacteria : fundamentals and applications. Microbiology Monogrpah 18 : 21 – 43. doi: 10.1007/978-3-642-136122_2 Girolamo G. and Barbanti L. 2012. Treatment conditions and biochemical processes influencing seed priming effectiveness. Italian Journal of
19 Agronomy
volume
7
No.
2:
178
–
188.
doi:
http://dx.doi.org/10.4081/ija.2012.e25
Hausbeck M.K. and Lamour K.H. 2004. Phytophthora capsici on vegetable crops: research progress and management challenges. Plant Disease 80 (12) 1292 – 1303. Husen E. 2003. Screening of soil bacteria for plant growth promotion activities in vitro. Indonesian Journal of Agricultural Sciences, 4 (Suppl 1): 27-31. Ibrahim A.B., Ilyas S., dan Manohara D. 2014. Perlakuan benih cabai (Capsicum annuum L.) dengan rizobakteri untuk mengendalikan Phytophthora capsici meningkatkan vigor benih dan pertumbuhan tanaman. Buletin Agrohorti Vol. 2 No. 1: 22 – 30. Ilyas S., Sutaraiati G.A.K., Suwarno F.C., and Sudarsono. 2002. Matriconditioning improves the quality and protein level of medium vigor hot pepper seed. J. Seed Technol 24: 66 – 75. Ilyas S. 2006. Review: Seed treatments using matriconditioning to improve vegetable seed quality. Bul. Agron. vol. 34(2): 124-132. Ilyas S., Asie K.V., Sutariati G.A.K., and Sudarsono S. 2015. Biomatriconditioning or biopriming with biofungicides or biological agents applied on hot pepper (Capsicum annuum L.) seeds reduced seedborne Colletotrichum capsici and increased seed quality and yield. Acta Horticulture 1105: 89-96 doi: 10.17660/ActaHortic.2015.1105.13 Joo G.J., Kim Y.M., Lee I.J., Song K.S., and Rhee I.K. 2004. Growth promotion of red pepper plug seedling and production of gibberellins by Bacillus cereus, Bacillus macrolides, and Bacillus pumilus. Biotechnology Letters 26: 487 – 491. Koc E. and Ustun A.S. 2012. Influence of Phytophthora capsici L. inoculation on disease severity, necrosis length, peroxidase and catalase activity, phenolic content of resistant and susceptible pepper (Capsicum annuum L.) plants. Turk J Biol 36 (2012) 357 – 371. doi: 10.3906/biy-1109-12. Kumalasari V. 2005. Pengaruh agens biokontrol terhadap pertumbuhan Colletotrichium capsici (Syd.) Butl. Et Bisby secara in vitro dan mutu benih cabai (Capsicum annuum L..) [skripsi]. Bogor (ID): Institut Pertanian Bogor. Kusandriani. 1996. Botani Tanaman Cabai Merah. Bandung: Balai Penelitian Sayuran. Lamour K.H., Stam R., Jupe J., and Huitema E. 2012. The oomycete broad-hostrange pathogen Phytophthora capsici. Molecular Plant Pathology 13(4), 329 – 337. doi: 10.1111/J.1364-3703.2011.00754.X. Lim J.H. and Kim S.D. 2010. Biocontrol of phytophthora blight of red pepper caused by Phytophthora capsici using Bacillus subtillis AH18 and B. licheniformis K11 formulations. J. Korean Soc. Appl. Biol. Chem. 53(6), 766 – 773. doi: 10.3839/jksabc.2010.116. Mahartha K.A., Khalimi K., dan Wirya G.N.A.S. 2013. Uji efektivitas rizobakteri sebagai agen antagonis terhadap Fusarium oxysporum f.sp. capsici penyebab penyakit layu fusarium pada tanaman cabai rawit (Capsicum frutescens L.). Agroekoteknogi Tropika 2 (3) 2013 145 – 154. Manohara D., Wahyuno D., dan Noveriza R. 2005. Penyakit busuk pangkal batang lada dan strategi pengendaliannya. Edsus Balittro. 17: 41-51.
20 Manohara D. 1988. Ekologi Phytophthora palmivora (Bulter), Penyebab Penyakit Busuk Pangkal Batang Lada (Piper nigrum L.) [disertasi]. Bogor (ID): Institut Pertanian Bogor. McMillan S. 2007. Promoting growth with PGPR. Soil Foodweb. Canada Ltd. Soil Biology Laboratory and Learning Center. Mossler M., Aerts M.H., and Nesheim O.N. 2012. Florida Crop/Pest Management Profiles: Bell Peppers[internet]. [diunduh pada 10 Februari 2014]. Tersedia dari: http://edis.ifas.ufl.edu/pi040 Persello-Cartieux F., Nussaume L., and Robaglia C. (2003) Tales from the underground : molecular plant-rhizobacteria interactions. Plant Cell Environ 26: 189–199. Pieterse C.M.J., van Wees S.C.M., Ton J., van Pelt J.A., and van Loon L.C. 2002. Signalling in rhizobacteria-induced systemic resistance in Arabidopsis thaliana. Plant boil. 4 (200): 535 – 544. Rao M.S.L., Kulkarni S., Lingaraju S., and Nadaf H.L. 2009. Bio-priming of seeds : potential tool in the integrated management of alternaria blight of sunflower. Helia 32, Nr. 50: 107 – 114. doi: 10.2298/HEL0950107R. Rosadiah F.N., Ilyas S., dan Manohara D. 2015. Perlakuan benih cabai (Capsicum annuum L.) dengan rizobakteri secara tunggal ataupun kombinasi untuk mengendalikan Phytophthora capsici dan meningkatkan pertumbuhan tanaman. Jur. Horti Indonesia 6(1): 1-10. Rukmana R. 2002. Usaha Tani Cabai Rawit. Yogyakarta (ID): Kanisius. Sadjad, S., Muniati E., dan Ilyas S., 1999. Parameter Pengujian Vigor Benih dari Komparatif ke Simulatif. PT Grasindo, Jakarta. Saharan B.S. and Nehra V. 2011. Plant Growth promoting rhizobacteria : a critical review. Life Sciences and Medicine Research, Volume 2011: LSMR – 21: 1 – 30. Sunarwati D. dan Yoza R. 2010. Kemampuan Trichoderma dan Penicillium dalam menghambat pertumbuhan cendawan penyebab penyakit busuk akar durian (Phytophthora palmivora) secara in vitro. Seminar Nasional Prog dan Strategi Pengembangan Buah Nusantara, 10 Nopember 2010, Solok, Sumatera Barat. hal 176-182. Sutariati G.A.K dan Safuan L.O. 2012. Perlakuan benih dengan rizobakteri meningkatkan mutu benih dan hasil cabai (Capsicum annuum L.). J. Agron. Indonesia 40(2): 125 – 131. Sutariati G.A.K., Widodo, Sudarsono, dan Ilyas S. 2006. Karakter fisiologis dan keefektifan isolat rizobakteri sebagai agens antagonis Colletotrichum capsici dan rizobakteri pemacu pertumbuhan tanaman cabai. Jurnal Ilmiah Pertanian KULTURA. 41(1): 28-34. Sutariati G.A.K., Widodo, Sudarsono, dan Ilyas S. 2006. Pengaruh perlakuan rizobakteri pemacu pertumbuhan tanaman terhadap viabilitas benih serta pertumbuhan bibit tanaman cabai. Bul Agron. 34(1): 46-54. Syamsuddin. 2010. Perlakuan benih untuk pengendalian penyakit busuk phytophthora, peningkatan hasil dan mutu benih cabai merah (Capsicum annuum L) [disertasi]. Bogor (ID). Institut Pertanian Bogor. Tenuta M. 2004. Plant growth promoting rhizobacteria : prospects for increasing nutrient acquisition and disease control [internet]. Department of Soil Science, University of Manitoba. [diunduh 2015 Maret 28]. Tersedia pada:
21 http://www.umanitoba.ca/faculties/afs/MAC_proceedings/2003/pdf/tenuta _rhizo bacteria.pdf. Timmusk S. 2003. Mechanism of action of the plant growth promoting bacterium Paenibacillus polymyxa [Dissertation]. Uppsala, Sweden: Deprtment of Cell Molecular Biology, Uppsala University. Vassilev N., Vassileva M., and Nikolaeva I. (2006) Simultaneous p-solubilizing and biocontrol activity of microorganisms: potential and future trends. Appl Microbiol Biotechnol 71: 137–144. Vessey J.K. 2003. Plant growth promoting rhizobacteria as biofertilizers. Plant and Soil 255: 571 - 586 Wahyuno D., Manohara D., dan Setyono R.T. 2009. Ketahanan beberapa lada hasil persilangan terhadap Phytophthora capsici asal lada. J. Littri 15(2) 77 – 83. Widajati E., Muniarti E., Palupi E.R., Kartika T., Suhartanto M.R., Qadir A. 2013. Dasar Ilmu dan Teknologi Benih. Bogor (ID): IPB Press Yunianti R., Sastrosumarjo S., Sujiprihati S., Surahman M., dan Hidayat S.H. 2007. Ketahanan 22 genotipe cabai (Capsicum spp.) terhadap Phytophthora capsici Leonian dan keragaman genetiknya. Bul Agron. (35) (2) 103 – 111. Zhang Y. 2004. Biocontrol of Sclerotinia Stem rot of Canola by Bacterial Antagonists and Study of biocontrol Mechanism Involved [Thesis]. Winnipeg, Canada: Department of Plant Science, University of Manitoba Zhang S., White T.L., Martinez M.C., McInroy J.A., Kloepper J.W., and Klassen W. 2010. Evaluation of plant growth – promoting rhizobacteria for control of Phytophthora blight on squash under greenhouse conditions. Biol. Contr. 53 (2010) 129 – 135.
22
RIWAYAT HIDUP
Penulis dilahirkan di Banyuwangi pada 19 April 1991 dari pasangan Soetomo dan Luluk Mulyani. Penulis lulus SMAN 5 Jember pada tahun 2009 dan diterima di Institut Pertanian Bogor melalui jalur Undangan Seleksi Masuk IPB. Selama mengikuti perkuliahan, penulis menjadi asisten praktikum Fisika TPB. Penulis juga sempat menjadi pengajar bimbingan belajar mata pelajaran Fisika untuk mahasiswa TPB. Penulis juga aktif dalam kegiatan kemahasiswaan sebagai pengurus BEM FAPERTA 2011, Kepala Bidang Pusgerak BEM FAPERTA 2012 dan Direktur ISPC BEM KM IPB 2013 serta menjadi anggota aktif IBEMPI dan BEM SI 2013.