PENINGKATAN PRODUKSI DAN MUTU BENIH BOTANI (TRUE SHALLOT SEED) BAWANG MERAH (Allium cepa var. ascalonicum) DENGAN BAP DAN BORON, SERTA SERANGGA PENYERBUK
RINI ROSLIANI
SEKOLAH PASCASARJANA INSTITUT PERTANIAN BOGOR BOGOR 2013
PERNYATAAN MENGENAI TESIS DAN SUMBER INFORMASI
Dengan ini saya menyatakan bahwa tesis berjudul Peningkatan Produksi dan Mutu Benih Botani (True Shallot Seed) Bawang Merah (Allium cepa var.ascalonicum B.) dengan BAP dan Boron, serta Serangga Penyerbuk adalah benar karya saya dengan arahan dari komisi pembimbing dan belum diajukan dalam bentuk apa pun kepada perguruan tinggi mana pun. Sumber informasi yang berasal atau dikutip dari karya yang diterbitkan maupun tidak diterbitkan dari penulis lain telah disebutkan dalam teks dan dicantumkan dalam Daftar Pustaka di bagian akhir tesis ini.
Bogor, Februari 2013 Rini Rosliani NRP A251100101
ABSTRACT RINI ROSLIANI. Increasing Production and Quality of True Shallot Seed (TSS) using BAP, Boron, and Insect Pollinators. Under direction of ENDAH RETNO PALUPI as Chair and YUSDAR HILMAN as Member of the Advisory Committee. True shallot seed (TSS) is one potential alternative of seed source to be developed and be able to solve the problem of shallot seed in Indonesia. Constraints in TSS production are the low flowering and seed formation. Such attempts to improve TSS production is through increasing flowering using benzylaminopurine (BAP), pollen viability using boron and pollination using insect pollinators. The aims of the research were to enhance flowering, pollen viability, TSS production and quality using BAP and boron, as well as study mating system in TSS production and enhance TSS production and quality using insect pollinators. The study consisted of three experiments and was conducted in two location i.e. Lembang (high land - 1250 m asl) during August 2011-August 2012 and in Subang (low land - 100 m asl) during March-August 2012. In each location the experiment was carried out in two steps. In the first step BAP at 0, 50, 100, 150, and 200 ppm and boron at 0, 1, 2, 3, 4 kg ha-1 were used and arranged in randomized block design with three replicates. In the second step there were two trials, namely experiments using self-pollination and cross-pollination, as well as experiments using insect pollinators i.e. bees (Apis mellifera, Apis cerana, Trigona sp.) and green fly (Lucilia sp. - Calliphoridae) were employed, with open pollination as control were arranged in a randomized block design and replicated five times. The results showed that BAP increased flowering, pollen viability and TSS production in Lembang. While boron 1-4 kg ha-1 increased flowering, pollen viability, TSS production and quality in Lembang. The optimum concentration of BAP and dosage of boron for TSS production in Lembang were 37.5 ppm and 2.9 kg/ha respectively. In Subang, BAP enhanced flowering and pollen viability. BAP did not increase the TSS production and quality. Boron also did not affect flowering, pollen viability, TSS production and quality in Subang. Crosspollination was better in producing the yield and quality of TSS than self-pollination in Lembang, but in Subang resulted in lower germination. Honeybee Apis cerana was the most effective pollinator in increasing the yield and quality of TSS both in Lembang and Subang. Increasing production of TSS by A .cerana was 56.8% with 77% germination in Lembang, while in Subang that was 61.3% with 83% germination. Keywords: A. cerana, A. mellifera, Lucilia sp., Trigona sp., pollen viability, high land, low land, TSS production
RINGKASAN RINI ROSLIANI. Peningkatan Produksi dan Mutu Benih Botani (True Shallot Seed) Bawang Merah (Allium cepa var. ascalonicum) dengan BAP dan Boron, serta Serangga Penyerbuk. Dibimbing oleh ENDAH RETNO PALUPI dan YUSDAR HILMAN. Biji botani bawang merah atau TSS (true shallot seed) merupakan salah satu alternatif sumber benih yang potensial untuk dikembangkan dan dapat memecahkan masalah perbenihan bawang merah di Indonesia. Kendala dalam produksi TSS yaitu pembungaan dan pembentukan biji yang rendah. Usaha-usaha untuk meningkatkan produksi TSS dapat dilakukan melalui peningkatan pembungaan dengan BAP, perbaikan viabilitas serbuk sari dengan unsur mikro boron dan peningkatan penyerbukan dengan bantuan serangga penyerbuk. Tujuan penelitian yaitu meningkatkan pembungaan, viabilitas serbuk sari, produksi dan mutu benih botani bawang merah (TSS) dengan BAP dan boron, mempelajari sistem perkawinan bawang merah terhadap produksi benih botani (TSS), serta meningkatkan produksi dan mutu benih botani bawang merah (TSS) dengan serangga penyerbuk. Penelitian terdiri atas tiga percobaan dan dilaksanakan di dua lokasi yaitu Lembang (dataran tinggi-1.250 m dpl) selama Agustus 2011-Agustus 2012 dan di Subang (dataran rendah-100 m dpl) selama Maret-Agustus 2012. Di setiap lokasi percobaan dilakukan dua tahap. Pada tahap pertama, perlakuan terdiri atas BAP 0, 50, 100, 150 dan 200 ppm dan boron 0, 1, 2, 3, dan 4 kg/ha yang disusun dalam ranacangan acak kelompok faktorial dengan tiga ulangan. Pada tahap kedua ada dua percobaan, yaitu percobaan yang menggunakan penyerbukan sendiri dan penyerbukan silang, serta percobaan yang menggunakan serangga penyerbuk lebah (Apis mellifera, Apis cerana, Trigona sp.) dan lalat hijau (Lucilia sp. – Calliphoridae) dengan penyerbukan terbuka sebagai kontrol yang disusun dalam rancangan acak kelompok dan diulang lima kali. Hasil percobaan pertama menunjukkan bahwa BAP mampu meningkatkan pembungaan, viabilitas serbuk sari dan produksi benih botani bawang merah (TSS) di dataran tinggi Lembang. BAP 50 ppm menghasilkan jumlah tanaman berbunga tertinggi hingga 97.22% dengan jumlah bunga yang tinggi sebanyak 113.8 bunga per umbel. Viabilitas serbuk sari meningkat dengan meningkatnya BAP hingga 200 ppm tetapi tidak meningkatkan daya berkecambah. Konsentrasi BAP yang optimum untuk produksi benih botani (TSS) di Lembang yaitu 37.5 ppm. Di dataran rendah Subang, BAP 50 ppm dapat meningkatkan pembungaan, sedangkan viabilitas serbuk sari meningkat dengan BAP 200 ppm. BAP tidak meningkatkan produksi dan mutu benih botani bawang di Subang. Di dataran tinggi Lembang boron 1-4 kg/ha mampu meningkatkan pembungaan, viabilitas serbuk sari, produksi dan mutu benih botani bawang merah. Dosis boron yang optimum untuk produksi benih botani (TSS) di Lembang yaitu 2.9 kg/ha. Peningkatan produksi TSS yang tinggi dicapai oleh boron optimum yang menghasilkan 11.78 g/12 tanaman. Boron 3 kg/ha meningkatkan bobot
100 butir dengan daya berkecambah mencapai 78%. Boron tidak mempengaruhi pembungaan, viabilitas serbuk sari, produksi maupun mutu benih botani bawang merah (TSS) di dataran rendah Subang yang disebabkan karena kandungan boron tanah cukup tersedia untuk tanaman. Produksi TSS di dataran tinggi lebih tinggi daripada di dataran rendah yang disebabkan oleh pembungaan yang mencapai 2.5 – 3 kali lipat. Mutu TSS yang diproduksi di dataran rendah lebih tinggi daripada di dataran tinggi. Hasil percobaan kedua menunjukkan bahwa di dataran tinggi Lembang penyerbukan silang meningkatkan produksi TSS, tetapi tipe penyerbukan tidak mempengaruhi mutu benih. Di dataran rendah Subang tipe penyerbukan tidak mempengaruhi produksi TSS. Hasil percobaan ketiga menunjukkan bahwa Apis cerana merupakan serangga penyerbuk yang dapat meningkatkan produksi dan mutu benih botani bawang merah (TSS) baik di dataran tinggi Lembang maupun di dataran rendah Subang. Peningkatan produksi benih botani bawang (TSS) oleh A. cerana sebesar 56.8% di Lembang, sedangkan di Subang produksi benih meningkat sebesar 61.3%. Produksi benih botani (TSS) dari perlakuan A. cerana di dataran tinggi Lembang lebih tinggi daripada dataran rendah Subang tetapi daya berkecambah TSS di dataran rendah lebih tinggi daripada dataran tinggi. Kata kunci: A. cerana, A. mellifera, Lucilia sp., Trigona sp., viabilitas serbuk sari, produksi TSS, dataran tinggi, dataran rendah
© Hak Cipta Milik IPB, Tahun 2012 Hak Cipta Dilindungi Undang-Undang Dilarang mengutip sebagian atau seluruh karya tulis ini tanpa mencantumkan atau menyebutkan sumbernya. Pengutipan hanya untuk kepentingan pendidikan, penelitian, penulisan karya ilmiah, penyusunan laporan, penulisan kritik, atau tinjauan suatu masalah; dan pengutipan tersebut tidak merugikan kepentingan IPB Dilarang mengumumkan dan memperbanyak sebagian atau seluruh karya tulis ini dalam bentuk apa pun tanpa izin IPB
PENINGKATAN PRODUKSI DAN MUTU BENIH BOTANI (TRUE SHALLOT SEED) BAWANG MERAH (Allium cepa var. ascalonicum) DENGAN BAP DAN BORON, SERTA SERANGGA PENYERBUK
RINI ROSLIANI
Tesis sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar Magister Sains pada Program Studi Ilmu dan Teknologi Benih
SEKOLAH PASCASARJANA INSTITUT PERTANIAN BOGOR BOGOR 2013
Penguji Luar Komisi pada Ujian Tesis: Prof Dr Ir Bambang Sapta Purwoko, MSc
Judul Nama NRP
: Peningkatan Produksi dan Mutu Benih Botani (True Shallot Seed) Bawang Merah (Allium cepa var. ascalonicum B.) dengan BAP dan Boron, serta Serangga Penyerbuk : Rini Rosliani : A251100101
Disetujui oleh Komisi Pembimbing
Dr Ir Yusdar Hilman, MS Anggota
Dr Ir Endah Retno Palupi, MSc Ketua
Diketahui oleh
Ketua Program Studi Ilmu dan Teknologi Benih
Dekan Sekolah Pascasarjana
Prof Dr Ir Satriyas Ilyas, MS
Dr Ir Dahrul Syah, MSc.Agr
Tanggal Ujian:1 Februari 2013
Tanggal Lulus:
PRAKATA Puji dan syukur penulis panjatkan kepada Allah subhanahu wa ta’ala atas segala karunia-Nya sehingga karya ilmiah ini berhasil diselesaikan. Tesis ini berjudul Peningkatan Produksi dan Mutu Benih Botani (True Shallot Seed) Bawang Merah (Allium cepa var. ascalonicum) dengan BAP dan Boron, serta Serangga Penyerbuk yang dilaksanakan dari bulan Agustus 2011 sampai bulan Agustus 2012. Terima kasih penulis ucapkan yang tulus dan penghargaan atas bimbingan dan arahan keilmuan serta dorongannya kepada Dr Ir Endah Retno Palupi MSc dan Dr Ir Yusdar Hilman MS selaku tim komisi pembimbing. Penghargaan dan ucapan terima kasih penulis juga sampaikan kepada Kepala Badan Penelitian dan Pengembangan Pertanian, Kepala Pusat Penelitian dan Pengembangan Hortikultura dan Kepala Balai Penelitian Tanaman Sayuran yang telah memberikan kesempatan kepada penulis untuk menyelesaikan pendidikan magister di Sekolah Pascasarjana IPB, Prof Dr Ir Satriyas Ilyas MS selaku ketua program studi Ilmu dan Teknologi Benih Sekolah Pascasarjana IPB atas dorongan semangat dan arahan yang diberikan, Prof Dr Ir Bambang Sapta Purwoko MSc selaku penguji luar komisi atas arahan dan masukan yang diberikan selama ujian tesis, Rinda Kirana SP MP, saudara Memed, karyawan dan karyawati Balai Penelitian Tanaman Sayuran Lembang serta teman-teman Program Studi Ilmu dan Teknologi Benih atas motivasi dan dukungannya. Ungkapan terima kasih juga penulis sampaikan kepada suami dan anakku tercinta, ibu serta seluruh keluarga, atas segala doa dan kasih sayangnya. Semoga karya ilmiah ini bermanfaat bagi pengembangan ilmu pengetahuan dan teknologi perbenihan. Amin.
Bogor, Februari 2013 Rini Rosliani
RIWAYAT HIDUP
Penulis dilahirkan di Tasikmalaya, Jawa Barat pada tanggal 8 April 1964 sebagai anak kedua dari lima bersaudara, dari pasangan Daan Jusuf Suradimadja (Alm.) dan R. Siti Salamah. Pendidikan sarjana ditempuh di Jurusan Budidaya Pertanian, Fakultas Pertanian, Institut Pertanian Bogor, lulus tahun 1991. Penulis mendapat kesempatan melanjutkan pendidikan program magister pada program studi Ilmu dan Teknologi Benih, Sekolah Pascasarjana IPB, pada tahun 2010. Beasiswa pendidikan magister diperoleh dari Badan Penelitian dan Pengembangan Pertanian, Kementerian Pertanian Republik Indonesia. Penulis bekerja sebagai tenaga honorer di Balai Penelitian Tanaman Sayuran Lembang-Bandung, Jawa Barat, pada tahun 1992-1993. Pada tahun 1993 sampai sekarang penulis adalah staf peneliti pada kelompok peneliti Ekofisiologi bidang Agronomi, Balai Penelitian Tanaman Sayuran, Pusat Penelitian dan Pengembangan Hortikultura, Badan Penelitian dan Pengembangan Pertanian.
DAFTAR ISI Halaman DAFTAR TABEL............................................................................................ DAFTAR GAMBAR....................................................................................... DAFTAR LAMPIRAN................................................................................... PENDAHULUAN .......................................................................................... Latar Belakang...................................................................................... Tujuan ................................................................................................... Hipotesis ............................................................................................... TINJAUAN PUSTAKA ................................................................................ Botani Bawang Merah ......................................................................... Pembungaan dan Pembentukan Biji Bawang........................................ Benzyl Amino Purine............................................................................. Boron...................................................................................................... Penyerbukan........................................................................................... BAHAN DAN METODE .............................................................................. Tempat dan Waktu................................................................................. Bahan dan Alat ...................................................................................... Metode Penelitian................................................................................... Pelaksanaan Penelitian........................................................................... HASIL DAN PEMBAHASAN....................................................................... Kondisi Umum Lapangan...................................................................... Perkembangan Bunga dan Kapsul......................................................... Percobaan 1 di Dataran Tinggi Lembang............................................... Percobaan 1 di Dataran Rendah Subang................................................ Produksi dan Mutu TSS di Dua Lokasi.................................................. Percobaan 2 di Dataran Tinggi Lembang............................................... Percobaan 2 di Dataran Rendah Subang .............................................. Percobaan 3 di Dataran Tinggi Lembang............................................... Percobaan 3 di Dataran Rendah Subang................................................ Peran A. cerana dalam Produksi dan Mutu TSS di Dua Lokasi.......... SIMPULAN DAN SARAN............................................................................ Simpulan............................................................................................... Saran..................................................................................................... DAFTAR PUSTAKA...................................................................................... LAMPIRAN ...................................................................................................
i iv vi 1 1 5 5 6 6 8 10 11 13 15 15 15 15 18 25 25 26 28 40 47 50 53 55 65 71 75 75 76 77 84
DAFTAR TABEL
Halaman 1
Fase peekembangan bunga dan pembentukan kapsul bawang merah di dataran tinggi Lembang dan dataran rendah Subang ...................................
27
2
Pengaruh perlakuan BAP dan boron terhadap waktu muncul umbel, persentase tanaman berbunga dan jumlah umbel per tanaman bawang merah di dataran tinggi Lembang..................................................................
29
3
Pengaruh perlakuan BAP dan boron Jumlah bunga per umbel, jumlah kapsul per umbel dan persentase pembentukan kapsul bawang merah di dataran tinggi Lembang.................................................................................
30
4
Pengaruh perlakuan BAP dan boron terhadap viabilitas dan jumlah serbuk sari bawang merah satu hari setelah antesis di dataran tinggi Lembang.........................................................................................................
33
5
Pengaruh perlakuan BAP dan boron terhadap jumlah TSS per umbel, persentase TSS bernas, bobot TSS per umbel dan bobot TSS per tanaman di dataran tinggi Lembang.............................................................................
35
6
Pengaruh perlakuan BAP dan boron terhadap bobot 100 butir, daya berkecambah, potensi tumbuh maksimum TSS di dataran tinggi Lembang.........................................................................................................
38
7
Pengaruh perlakuan BAP dan boron terhadap waktu muncul tunas umbel, persentase tanaman berbunga dan jumlah umbel per tanaman bawang merah di dataran rendah Subang....................................................................
41
8
Pengaruh perlakuan BAP dan boron terhadap jumlah bunga per umbel, jumlah kapsul per umbel dan persentase pembentukan kapsul bawang merah di dataran rendah Subang ...................................................................
43
9
Pengaruh perlakuan BAP dan boron terhadap viabilitas dan jumlah 44 serbuk sari bawang merah di dataran rendah Subang....................................
10
Pengaruh perlakuan BAP dan boron terhadap jumlah TSS per umbel, 45 persentase TSS bernas, bobot TSS per umbel, bobot TSS per tanaman dan bobot TSS per plot di dataran rendah Subang.........................................
11
Pengaruh perlakuan BAP dan boron terhadap bobot 100 butir, daya 47 berkecambah, potensi tumbuh maksimum TSS di dataran rendah Subang............................................................................................................
12
Pengaruh sistem perkawinan bawang merah terhadap jumlah kapsul dan 50 persentase pembentukan kapsul per umbel di dataran tinggi Lembang.........
13
Pengaruh sistem perkawinan bawang merah terhadap jumlah TSS bernas 52 per umbel, persentase TSS bernas dan bobot TSS bernas per umbel di dataran tinggi Lembang.................................................................................
14
Pengaruh sistem perkawinan bawang merah terhadap mutu TSS di dataran 53 tinggi Lembang..............................................................................................
15
Pengaruh sistem perkawinan bawang merah terhadap jumlah kapsul dan 53 persentase pembentukan kapsul per umbel di dataran rendah Subang.........
16
Pengaruh sistem perkawinan bawang merah terhadap jumlah TSS per 54 umbel, persentase TSS bernas dan bobot TSS per umbel di dataran rendah Subang............................................................................................................
17
Pengaruh sistem perkawinan bawang merah terhadap mutu TSS di 54 dataran rendah Subang ..................................................................................
18
Jumlah kapsul bernas per umbel dan persentase pembentukan kapsul per 57 umbel dengan bantuan serangga penyerbuk di dataran tinggi Lembang.......
19
Jumlah TSS, persentase TSS bernas dan bobot TSS per umbel dengan 59 bantuan serangga penyerbuk di dataran tinggi Lembang...............................
20
Bobot TSS per tanaman, bobot TSS per plot dan jumlah umbel dipanen 60 per plot dengan bantuan serangga penyerbuk di dataran tinggi Lembang.........................................................................................................
21
Bobot 100 butir, daya berkecambah dan potensi tumbuh maksimum TSS 63 dengan bantuan serangga penyerbuk di dataran tinggi Lembang..................
22
Jumlah umbi per tanaman, bobot umbi per tanaman, dan bobot individu 64 umbi pada tanaman bawang merah dengan bantuan serangga penyerbuk di dataran tinggi Lembang.............................................................................
23
Jumlah kapsul bernas per umbel dan persentase pembentukan kapsul per 64 umbel dengan bantuan serangga penyerbuk di dataran rendah Subang.........
24
Jumlah TSS, persentase TSS bernas dan bobot TSS per umbel dengan 67 bantuan serangga penyerbuk di dataran rendah Subang ..............................
25
Bobot TSS per tanaman, bobot TSS per plot dan jumlah umbel dipanen 68 per plot dengan bantuan serangga penyerbuk di dataran rendah Subang...
26
Bobot 100 butir, daya berkecambah dan potensi tumbuh maksimum TSS 69 dengan bantuan serangga penyerbuk di dataran rendah Subang...................
27
Jumlah umbi per tanaman, bobot umbi per tanaman, dan bobot individu 70 umbi pada tanaman bawang merah dengan bantuan serangga penyerbuk di dataran rendah Subang...............................................................................
DAFTAR GAMBAR Halaman 1
Fase pembungaan dan pembentukan kapsul bawang merah..........................
2
Viabilitas serbuk sari pada waktu pengambilan serbuk sari yang 32 berbeda...........................................................................................................
3
Perkecambahan serbuk sari dari tanaman yang diberi perlakuan Boron (A), 34 serbuk sari pada tanaman kontrol (B) di dataran tinggi Lembang…......
4
Kurva respon bobot TSS terhadap konsentrasi BAP (A) dan terhadap 36 dosis boron (B) di dataran tinggi Lembang....................................................
5
Produksi TSS per plot dari perlakuan dosis Boron 3 kg/ha (A) dan dari 36 perlakuan kontrol (B) di dataran tinggi Lembang..........................................
6
Ukuran kecambah normal pada perlakuan tanpa BAP/tanpa boron (A), 39 pada perlakuan boron (B) dan pada perlakuan BAP (C) di dataran tinggi Lembang..........................................................................................................
7
Pembungaan bawang merah di dataran tinggi (A) dan dataran rendah (B)…
8
Perbandingan bobot TSS per plot (A), bobot TSS 100 butir (B) dan daya 49 berkecambah TSS (C) di dataran tinggi dan dataran rendah.........................
9
Berbagai jenis serangga penyerbuk pada perlakuan penyerbukan terbuka: 56 tabu-tabuan, kupu-kupu, lalat, lebah soliter dan semut di dataran tinggi Lembang..........................................................................................................
10
Kapsul bawang merah yang terbentuk dari penyerbukan dengan 57 bantuan A. mellifera (A), A. cerana (B), Trigona sp. (C), Lucilia sp. (D), penyerbukan terbuka (E) di dataran tinggi Lembang.....................................
11
Tiga penyakit utama bawang merah yang menyerang tangkai umbel 61 (A) dan daun (B): bercak ungu, antraknose dan embun bulu.........................
12
Produksi TSS per plot (60 tanaman) di dataran tinggi pada perlakuan A. 62 mellifera (A), A cerana (B), Trigona sp.(C), Lucilia sp. (D) dan penyerbukan terbuka (E) di dataran rendah Subang ......................................
13
Produksi umbi pada tanaman bawang merah yang memproduksi TSS di 64 dataran tinggi (A) dan di dataran rendah (B)..................................................
27
48
14
Produksi TSS per plot (60 tanaman) pada perlakuan A. mellifera (A), A. 68 cerana (B), Trigona sp. (C), Lucilia sp. (D) dan penyerbukan terbuka (E) di dataran rendah Subang...............................................................................
15
Bobot TSS per plot (A), bobot 100 butir (B) dan daya berkecambah TSS 71 (C) di dataran tinggi dan dataran rendah yang dibantu A. cerana..................
DAFTAR LAMPIRAN Halaman 1
Deskripsi bawang merah varietas Bima Brebes.............................................
2
Umbi bibit setelah divernalisasi 1 bulan siap tanam (A); Penanaman 86 tiga umbi per polibag (B)...............................................................................
3
Rata-rata suhu dan kelembaban di dataran tinggi Lembang (1250 m dpl) 86 pada bulan Agustus sampai Desember 2011..................................................
4
Rata-rata suhu udara, kelembaban relatif dan curah hujan di dataran 86 tinggi Lembang (1250 m dpl) pada bulan Maret sampai Juli 2012................
5
Rata-rata suhu dan kelembaban di dalam kerodongan kain kasa di dataran 87 tinggi Lembang (1250 m dpl) pada bulan Maret sampai Juli 2012………… Rata-rata suhu dan kelembaban di dataran rendah Subang (100 m dpl) 87 pada bulan Maret sampai Juli 2012.................................................................
6
85
1
PENDAHULUAN Latar Belakang Bawang merah (Allium cepa var. ascalonicum B.) termasuk tanaman sayuran yang banyak dibudidayakan di Indonesia. Menurut BPS (2006) bawang merah menduduki urutan kedua setelah tanaman cabe yang banyak ditanam di Indonesia dengan luas tanam 89.188 ha. Pada tahun 2010, BPS melaporkan bahwa luas panen bawang merah meningkat menjadi 109.634 ha. Dengan luas tanam tersebut maka kebutuhan benih/bibit bawang merah yang berasal dari umbi per tahun diperkirakan sebanyak 109.634 – 131.561 ton/ha, dengan perhitungan kebutuhan bibit bawang merah sekitar 1-1.2 ton/ha. Kendala utama peningkatan produksi bawang merah, antara lain adalah tidak ada jaminan ketersediaan benih atau umbi bibit bermutu yang berdaya hasil tinggi dan murah. Menurut Direktorat Jenderal Hortikultura (2010) umbi bibit bawang merah yang tersedia tidak dapat memenuhi kebutuhan para petani untuk penanaman setiap tahunnya. Rata-rata ketersediaan umbi bibit bawang merah baru mencapai 15 - 16% dari kebutuhan setiap tahunnya. Pada tahun 2009, dari kebutuhan sebanyak 120.020 ton umbi bibit bawang merah, hanya tersedia 19.770 ton yang terdiri dari 13.400 ton produksi dalam negeri dan 6.370 ton impor. Kontinuitas ketersediaan umbi bibit bawang merah yang bermutu merupakan faktor penting untuk keberlanjutan pengembangan penanaman bawang merah di Indonesia. Selama ini, umumnya petani menggunakan benih bawang merah dalam bentuk umbi bibit. Masalah penggunaan umbi bibit sebagai benih adalah terbatasnya ketersediaan benih bermutu.
Pengadaan benih yang seadanya di
tingkat petani menyebabkan produktivitas bawang merah di Indonesia masih rendah yaitu sekitar 9.57 ton/ha, sedangkan untuk daerah sentra produksi BrebesJawa Tengah produktivitasnya telah mencapai 11.12 ton/ha (BPS 2010), 55.6% dari potensi hasil yang mencapai 20 ton/ha (Kartapradja & Sartono 1990). Selain itu penggunaan umbi sebagai benih memerlukan biaya yang tinggi mencapai 40% dari total biaya produksi (Suherman & Basuki 1990), memerlukan gudang penyimpanan dan transportasi khusus, tidak dapat disimpan lama, dan dapat
2
membawa penyakit dari pertanaman sebelumnya seperti penyakit moler (Fusarium sp), antraknose (Colletotrichum sp), bakteri, dan virus (Permadi 1995). Salah satu alternatif yang potensial untuk dikembangkan dalam memecahkan masalah perbenihan bawang merah adalah penggunaan biji botani (TSS-true shallot seed). Menurut Currah & Proctor (1990) kelebihan penggunaan biji botani adalah menghasilkan tanaman dengan produktivitas tinggi dan bebas dari penyakit dan virus. Hasil penelitian Basuki (2009a) menunjukkan bahwa penggunaan TSS dapat meningkatkan hasil umbi bawang merah sampai dua kali lipat dibandingkan dengan penggunaan benih umbi (produksi 26 ton/ha). Keuntungan lainnya menurut Ridwan et al. (19890, Permadi dan Putrasamedja (1991), dan Basuki (2009a) adalah kebutuhan benih TSS bawang merah lebih sedikit (3-6 kg/ha @ Rp. 1.200.000/kg)) dibandingkan dengan benih umbi (+ 1 1.2 ton/ha @ Rp 15.000.000-25.000.000/kg) sehingga mengurangi biaya benih disamping pengangkutan yang lebih mudah, dan daya simpan lebih lama dibanding benih umbi. Menurut Copeland dan McDonald (1995), 50% benih bawang asal biji masih dapat berkecambah setelah disimpan selama 1-2 tahun sedangkan menurut Suwandi & Hilman (1995) benih bawang asal umbi bibit hanya dapat disimpan sekitar 4 bulan dalam gudang. Berdasarkan beberapa kelebihan TSS dibanding umbi, maka penggunaan TSS sebagai benih sumber bawang merah sangat prospektif untuk meningkatkan produksi dan kualitas umbi bawang merah. Saat ini, budidaya bawang merah asal TSS belum berkembang di Indonesia. Hal ini disebabkan karena ketersediaan TSS yang masih terbatas dan belum tersedianya teknik produksi TSS yang tepat sementara penelitian teknik produksi TSS telah dilakukan sejak awal 1990-an oleh Balai Penelitian Tanaman Sayuran melalui peningkatan pembungaan bawang merah dengan perlakuan vernalisasi umbi, penggunaan umbi berukuran besar, waktu tanam yang tepat (pada musim kemarau), aplikasi zat pengatur tumbuh dan pemupukan (Satjadipura 1990; Putrasamedja & Permadi 1994; Sumarni & Soetiarso 1998; Sumarni & Sumiati 2001; Rosliani et al. 2005; Sumarni et al. 2009). Menurut Basuki (2009a) respon pengguna yang masih rendah terhadap TSS juga disebabkan karena petani
3
belum meyakini kelayakan ekonomis dari teknik budidaya TSS dibanding menggunakan benih umbi yang biasa dilakukan. Varietas Bima merupakan varietas unggul lokal yang paling banyak mendapat preferensi petani di sentra produksi Brebes (Basuki 2009b). Varietas tersebut mengungguli varietas lokal lainnya maupun varietas impor/introduksi seperti Ilocos, Bangkok, dan Tandayung. Varietas Bima Brebes merupakan salah satu varietas yang berpotensi sebagai sumber induk TSS.
Di dataran tinggi
Cipanas varietas tersebut menghasilkan pembungaan sampai 70% (Putrasamedja & Permadi 1994). Kendala yang dihadapi dalam produksi benih asal biji atau TSS adalah persentase pembungaan dan pembentukan biji yang rendah. Penyebab rendahnya pembungaan bawang merah di daerah tropis adalah kondisi lingkungan yang tidak mendukung, terutama suhu tinggi > 200 C. Menurut Rabinowitch (1990) tanaman bawang merah memerlukan suhu 7 – 120 C untuk terjadinya inisiasi pembungaan dan suhu 17 – 190 C untuk perkembangan umbel dan bunga mekar. Pembentukan biji yang rendah pada tanaman bawang genus Allium diantaranya diduga disebabkan oleh viabilitas serbuk sari yang rendah
dan penyerbukan yang
terbatas. Ockendon dan Gates (1976) melaporkan bahwa pada tanaman bawang bombay varietas Rijnsburger ditemukan 67.46% antera yang mempunyai serbuk sari yang tidak viabel (0-1%), 20.8% mempunyai viabilitas 1-20% dan sisanya mempunyai viabilitas sekitar 21-100%. Yucel dan Duman (2005), Gure et al. (2009) menyatakan bahwa penyerbukan yang efektif sulit terjadi dalam produksi biji bawang bombay karena tanaman menyerbuk silang. Pembungaan bawang dapat ditingkatkan dengan pemberian zat pengatur tumbuh (ZPT). Benzyl Amino Purine (BAP) merupakan ZPT golongan sitokinin yang berperan dalam merangsang pembungaan sebagaimana terjadi pada tanaman Cajanus cajan (Barclay & McDavid 1998), kedele (Youngkoo et al. 2006), dan tanaman Chamomile (Prat et al. 2008) dengan konsentrasi 20-50 ppm. Serbuk sari yang viabel merupakan syarat untuk pembentukan biji dan kapsul (Shivanna & Sawhney 1997).
Salah satu usaha untuk memperbaiki
pembentukan biji dapat dilakukan melalui peningkatan viabilitas serbuk sari. Garg et al. (1979) melaporkan bahwa untuk memperbaiki viabilitas serbuk sari
4
padi dapat digunakan unsur hara boron. Pemberian boron juga menunjukkan respon yang positif terhadap peningkatan produksi biji tanaman tomat dan paprika (Sharma 1995; Sharma 1999), terutama boron pada dosis 1-2 kg boron/ha. Selain viabilitas serbuk sari, penyerbukan yaitu perpindahan serbuk sari dari antera ke permukaan putik (stigma), juga menentukan pembentukan dan perkembangan biji.
Yucel dan Duman (2005), Kameyama dan Kudo (2009)
mengemukakan bahwa lebah memainkan peranan penting dalam membantu penyerbukan tanaman bawang. Menurut Gure et al. (2009) kelebihan lebah sebagai penyerbuk adalah meningkatkan terjadinya penyerbukan silang, sehingga meningkatkan hasil benih dan memperbaiki mutu benih yaitu viabilitas dan bobot benih. Sajjad et al. (2008) melaporkan bahwa selain lebah, serangga pengunjung bunga bawang bombay yang utama juga beberapa jenis lalat. Lokasi penanaman juga mempengaruhi hasil biji bawang merah. Pada umumnya, dataran tinggi (suhu 16-180 C) merupakan lokasi yang cocok untuk menghasilkan pembungaan yang tinggi. Menurut Sumarni et al. (2009) kondisi cuaca di dataran rendah tidak cocok untuk terjadinya inisiasi pembungaan bawang merah.
Sumarni et al. (2009) juga melaporkan ada indikasi bahwa untuk
pembentukan kapsul dan biji, kondisi cuaca di dataran rendah lebih cocok dibanding dataran tinggi.
Hal ini tercermin dari hasil bobot benih TSS per
tanaman dan bobot 100 Benih TSS serta daya berkecambah benih bawang merah di dataran rendah lebih tinggi dibanding di dataran tinggi. Berdasarkan permasalahan tersebut di atas maka perlu dilakukan penelitian peningkatan pembungaan, viabilitas serbuk sari, produksi dan mutu benih botani bawang merah (TSS) dengan menggunakan BAP dan Boron di dataran tinggi dan dataran rendah. Penelitian terkait serangga penyerbuk yang dapat meningkatkan penyerbukan silang dan pembentukan benih dan dampaknya terhadap produksi dan mutu benih bawang merah juga perlu dipelajari. Dari hasil penelitian ini diharapkan akan diperoleh teknik produksi biji (TSS) bawang merah untuk varietas Bima di dataran tinggi dan dataran rendah dalam rangka meningkatkan produksi benih (TSS) bawang merah.
5
Tujuan 1. Mempelajari pengaruh Benzyl Amino Purine (BAP) dan Boron terhadap pembungaan dan viabilitas serbuk sari, serta produksi dan mutu TSS di dataran tinggi dan dataran rendah. 2. Mempelajari sistem perkawinan bawang merah terhadap produksi dan mutu benih botani bawang (TSS) di dataran tinggi dan dataran rendah. 3. Mempelajari peran serangga penyerbuk dalam meningkatkan produksi TSS di dataran tinggi dan dataran rendah.
Hipotesis 1. BAP 50 ppm dan Boron 2 kg/ha dapat meningkatkan pembungaan dan viabilitas serbuk sari sehingga meningkatkan produksi benih botani. 2. Penyerbukan silang menghasilkan produksi dan mutu benih lebih baik daripada penyerbukan sendiri 3. Lalat hijau lebih efisien dalam membantu penyerbukan bawang merah daripada serangga penyerbuk lainnya.
6
TINJAUAN PUSTAKA
Botani Bawang Merah Bawang merah (Allium cepa var. ascalonicum) termasuk tanaman semusim yang merupakan salah satu bentuk dari bawang bombay (A. cepa) yang dikembangbiakan secara vegetatif yang berasal dari seleksi terhadap varian-varian yang terjadi secara alami dalam populasi bawang bombay. Bawang merah mempunyai struktur bunga yang sama dengan bawang bombay, dan hibrida antara keduanya memiliki meiosis yang teratur dan sepenuhnya fertile demikian pula seedling pada F2 atau generasi berikutnya dari hibrid semuanya dapat tumbuh (Jones 1990). Perbedaan antara bawang merah dan bawang bombay terletak antara lain pada sifat perbanyakannya secara vegetative.
Menurut DeMason
(1990) pada bawang bombay umbi terbentuk dari seludang daun yang mengandung dua atau tiga calon tunas, sedangkan pada bawang merah umbi terbentuk dari pertumbuhan tunas samping umbi induknya dan biasanya mengandung banyak calon tunas . Bawang merah dimasukkan ke dalam grup Agregatum.
Dalam tipe
Agregatum terdapat 2 bentuk, yaitu: (a) bawang merah biasa (shallot) dan (b) bawang Bombay (multiplier onion) (Hanelt 1990).
Tipe multiplier onion lebih
besar dari pada bawang merah biasa, jumlah umbi per tanaman lebih sedikit, umbinya lebih besar dan berbentuk lebih gepeng, umbi terbentuk di dalam tanah dan umbi-umbi tersebut lebih rapat serta dikelilingi seludang. Menurut Permadi (1995) pada bawang merah biasa umbi-umbi serumpun tumbuh mandiri hanya bagian dasarnya saja yang berhubungan dan jumlahnya mencapai 16 umbi per rumpun. Pada tipe Agregatum terdapat tipe-tipe yang dapat berbunga maupun yang tidak dapat berbunga. Ciri-ciri morfologis bawang merah berakar serabut, berumbi lapis, dan berdaun silindris. Bawang merah memiliki batang sejati yang berbentuk cakram tipis dan pendek sebagai tempat melekatnya perakaran dan mata tunas yang disebut subang atau diskus. Mata tunas akan tumbuh menjadi tanaman baru yang disebut tunas lateral atau anakan. Tunas-tunas lateral tersebut akan membentuk subang baru hingga dapat membentuk umbi lapis pula. Dengan demikian bawang
7
merah mempunyai sifat merumpun dan tiap umbi menjadi beberapa umbi (anakan). Pada dasar cakram akan tumbuh akar serabut. Pada tengah cakram terdapat tunas apikal yang merupakan mata tunas utama dan tumbuh paling dulu. Dalam keadaan lingkungan yang sesuai pada tunas apikal dapat tumbuh bakal bunga atau primordia bunga (Currah & Proctor 1990). Bunga bawang adalah bunga sempurna (hermaphrodite), yang pada umumnya terdiri atas 5-6 stamen, satu stigma, dengan mahkota yang berwarna putih. Bakal kapsul membentuk bangunan bersegi tiga seperti kubah. Bakal kapsul ini terbentuk dari 3 ruang dan dalam tiap ruang tersebut terdapat 2 bakal biji (ovulum). Stamen tersusun membentuk 2 lingkaran, yaitu lingkaran luar (outer whorl) dan lingkaran dalam (inner whorl). Pada lingkaran luar terdapat 3 stamen, demikian pula pada lingkaran dalam.
Dalam 2-3 hari semua antera
menjadi dewasa, tetapi umumnya antera yang terletak pada lingkaran dalam lebih cepat dewasa (Rabinowitch 1990). Bawang merah merupakan tanaman menyerbuk silang sehingga populasi bawang merah (yang berasal dari biji) terdiri atas individu-individu dengan genotipe berbeda (Currah & Proctor 1990). Gure et al. (2009) melaporkan bahwa penyerbukan sendiri pada tanaman bawang bombay kecil kemungkinannya dan hanya terjadi sampai 9%.
Bawang merah, seperti halnya bawang bombay,
memiliki keragaman yang besar baik mengenai sifat-sifat umbinya (bentuk, ukuran, warna, kandungan bahan kering maupun kandungan gula dan kepedasan atau prugency), maupun dalam warna daun, resistensi hama dan penyakit, serta respon terhadap lingkungan (suhu dan panjang hari), dll. Kultivar-kultivar bawang merah yang ada di Indonesia sampai saat ini masih dikembangbiakkan secara vegetatif. Pembiakan secara vegetatif ini menyebabkan semua individu di dalam populasi suatu kultivar memiliki susunan genetik (genotipe) yang sama, sehingga tiap individu dalam satu kultivar memiliki potensi yang sama dalam daya hasil, resistensi hama dan penyakit, kualitas umbi dll (Permadi 1995). Kultivar-kultivar lokal bawang merah yang berkembang di dataran rendah antara lain Bima, Kuning, Banji, Timor, Benthok dan Bangkok Warso, sedangkan di dataran medium/tinggi antara lain Maja, Menteng, Batu, Sumenep.
8
Bawang
merah
juga
dapat
dibiakkan
secara
generatif
dengan
menggunakan biji (true shallot seed = TSS). Biji yang masih muda berwarna putih dan setelah tua berwarna hitam. Biji berasal dari bunga tanaman bawang merah yang berhasil menjadi buah yang disebut kapsul. Kapsul berbentuk bulat dengan ujungnya tumpul membungkus biji (Putrasamedja 1995b). Semua kultivar bawang merah di Indonesia kecuali kultivar Sumenep mampu berbunga dan berbiji secara alami, meskipun tingkat pembungaan dan pembentukan biji sangat rendah (Permadi & Putrasamedja 1991).
Pembungaan dan Pembentukan Biji Bawang Bolting atau inisiasi pembungaan merupakan masalah yang umum terjadi pada genus Allium (Currah & Proctor 1990).
Faktor yang mempengaruhi
pembungaan genus Allium terutama bawang bombay antara lain suhu rendah, panjang hari, intensitas cahaya, nutrisi, hormon dan vitamin (Brewster & Salter 1980). Menurut Fita (2004), suhu adalah faktor perangsang dalam proses bolting. Suhu mempengaruhi transisi dari fase vegetatif ke reproduktif yang umumnya disebut suhu kritis untuk pembungaan dan pembentukan biji bawang merah. Fase pertumbuhan vegetatif berakhir jika primordia daun berubah menjadi primordia bunga. Untuk menginduksi pembungaan bawang merah di daerah tropis diperlukan perlakuan suhu dingin atau vernalisasi (Shishido & Saito
1977).
Vernalisasi dapat menginduksi meristem vegetatif yang telah menghasilkan struktur vegetatif seperti daun untuk mengalihkan ke struktur reproduktif seperti meristem bunga. Menurut Rashid dan Singh (2000) bawang bombay mengalami bolting pada suhu antara 10 – 15o C. Bawang bombay tidak dapat menginisiasi bunga (bolting) sampai menerima stimulus suhu rendah. Suhu 20 - 22o C dapat mendukung pertumbuhan vegetatif bawang, sementara untuk pembentukan organ reproduksi suhu yang cocok adalah 12-13o C. Bakal bunga berkembang selama perkembangan dan pertumbuhan awal pada suhu rendah dan akhirnya biji diproduksi. Menurut Khokhar (2009) dan Badawi et al. (2010) secara umum pada genus Allium bolting meningkat dengan suhu penyimpanan umbi yang lebih rendah pada 5o C, sementara suhu yang lebih tinggi (25 atau 30 oC) menekan
9
bolting dan menunda pemekaran bunga pada umbel (karangan bunga) sehingga mempengaruhi pembentukan biji. Hal ini kemungkinan karena perkembangan bunga terhenti atau terhambat oleh tingginya suhu. Rendahnya persentase pembungaan bawang merah di daerah tropis seperti Indonesia juga karena kondisi lingkungan cuaca, terutama suhu udara yang cukup tinggi (> 18o C) yang tidak mendukung insiasi pembungaan (Sumiati 1997). Menurut Rashid & Singh (2000), pada suhu 18o C umumnya bawang tidak mampu menginisiasi bunga. Untuk meningkatkan pembungaan bawang merah selain perlakuan vernalisasi, penanaman dilakukan di dataran tinggi yang mempunyai suhu 16 – 18 oC. Hasil penelitian Putrasamedja dan Permadi (1994) menunjukkan bahwa semua kultivar bawang merah yang ditanam di dataran tinggi Gunung Putri, Cipanas Cianjur (ketinggian 1 400 m dpl) dapat berbunga kecuali Sumenep. Kultivar-kultivar bawang merah yang mempunyai persentase pembungaan mencapai lebih 70% antara lain Cipanas (78.6 %), Kuning Tablet (74.3 %), Kuning Sidapurna (78.6%), Bima Brebes (72.2 %) , sedangkan kultivar lainnya memiliki persentase pembungaan di bawah 70% yaitu Kuning Juwita (13 %), Bangkok (66.3%), Maja (54.4%), dan Philipine (34.6%) sedangkan Sumenep tidak dapat berbunga. Kultivar-kultivar yang memiliki persentase pembungaan > 70%, berpotensi untuk digunakan sebagai tanaman induk TSS.
Meskipun
demikian beberapa penelitian yang telah dilakukan Sumarni & Soetiarso (1998); Sumarni & Sumiati (2001); Rosliani et al. (2005); Sumarni et al. (2009) menunjukkan bahwa persentase pembentukan biji bawang merah umumnya masih rendah. Keberhasilan produksi biji tanaman tergantung pada proses reproduksi; sifat struktur bunga, jumlah transfer serbuk sari, self-incompability dan pengaruh inbreeding terhadap vigor (Fita 2004), dan faktor cuaca yaitu suhu agak hangat dan udara kering untuk bawang merah (Rashid & Singh 2000).
Menurut Gross
dan Warner (1983) pada tanaman solidago (Compositae) peningkatan pembentukan biji terkait dengan serangga penyerbuk dan fenologi pembungaan.
10
Benzyl Amino Purine Induksi pembungaan dapat dilakukan dengan pemberian zat pengatur tumbuh. Menurut Amanullah et al. (2010) zat pengatur tumbuh dapat meningkatkan translokasi source-sink dan mendorong translokasi photo-asimilat yang membantu dalam pembentukan bunga, perkembangan biji dan kapsul yang efektif dan akhirnya meningkatkan produktivitas tanaman. Hal ini terjadi karena zat pengatur tumbuh dapat memperbaiki efisiensi fisiologis yang meliputi kemampuan fotosintetik dan dapat meningkatkan pembagian asimilat dari source ke sink tanaman. Menurut Davies (2004) zat pengatur tumbuh endogen atau fitohormon adalah senyawa organik bukan nutrisi yang aktif dalam jumlah kecil yang disintesis pada bagian tertentu dari tanaman dan pada umumnya diangkut ke bagian lain tanaman dimana zat tersebut menimbulkan tanggapan secara biokimia, fisiologis dan morfologis. Fitohormon dikelompokkan dalam lima golongan yaitu auksin, giberelin, sitokinin, asam absisat dan etilen. Sitokinin merupakan zat pengatur tumbuh yang mendorong pembelahan sel. Menurut Amanullah et al. (2010) selain pembelahan sel, sitokinin juga dapat mempengaruhi pembesaran sel, diferensiaisi jaringan, dormansi, fase pembungaan dan pembuahan serta menghambat penuaan daun. Pengaruh sitokinin pada berbagai proses itu semua diduga pada tingkat pembuatan protein mengingat kesamaan struktur sitokinin dengan adenin yang merupakan komponen dari DNA dan RNA. 6-Benzyladenin (6-Benzyl amino purine) merupakan sitokinin sintetik yang mempunyai struktur yang serupa dengan kinetin. Turunan-turunan adenin yang disubstitusi pada posisi 6 (seperti BA atau BAP) adalah yang paling aktif. Substitusi pada posisi lain dari sifat adenin harus diubah ke posisi 6 untuk bisa aktif. Prat et al. (2008) yang meneliti histologi tunas aksilar pada tanaman jojoba mengungkapkan bahwa aplikasi sitokinin sintetik seperti BA memperbesar meristem bunga dan meningkatkan produksi bunga. Pada tanaman chamomile Reda et al. (2010) menyatakan bahwa kandungan fotosintat dan ion mineral (Ca, K, and Mg) secara gradual meningkat setelah umur 90 hst. Pemberian 50 ppm kinetin meningkatkan jumlah bunga dan kandungan minyak dalam bunga pada
11
dua periode pembungaan.
Jenis sitokinin lainnya yaitu Benzyl Amino Purin
(BAP) dapat meningkatkan bobot 100 biji dan produksi biji per tanaman kedele (Youngkoo et al. 2006). Pada tanaman pigeonpea, BAP 20 ppm menghasilkan produksi biji tertinggi (Barclay & McDavid 1998).
Boron Pemupukan merupakan suatu usaha untuk menyediakan unsur hara atau nutrisi yang dibutuhkan tanaman. Nutrisi atau unsur hara tanaman adalah unsur penting yang dibutuhkan tanaman untuk pertumbuhan dan perkembangannya. Translokasi fotosintat dari source ke sink sangat penting untuk perkembangan organ-organ reproduksi. Selain unsur hara makro primer (nitrogen, fosfor dan kalium) dan makro sekunder (kalsium, magnesium dan sulfur), tanaman juga membutuhkan unsur hara mikro untuk pertumbuhan dan metabolisme tanaman meskipun jumlah yang dibutuhkan sangat sedikit. Tujuh unsur mikro yang dibutuhkan tanaman yaitu boron (B), besi (Fe), seng (Zn), Mangan (Mn), tembaga (Co), klorine (Cl) dan molibdenum (Mo).
Menurut Keefe (1998) boron
merupakan bagian integral dari siklus reproduksi tanaman yaitu dalam mengendalikan pembungaan, produksi serbuk sari, perkecambahan serbuk sari, serta perkembangan kapsul dan biji. Boron membantu transmisi gula dari daun tua ke bagian meristem dan perakaran. Garg et al. (1979) menjelaskan bahwa efek stimulasi boron terhadap ketersediaan gula yang lebih besar, serta aktivitas enzimatik dan respirasi yang meningkat pada tanaman padi menyebabkan viabilitas serbuk sari bunga padi menjadi lebih baik. Namun, pada konsentrasi yang tinggi boron menyebabkan depresi fisiologis dan kerusakan pada protoplasma. Pengaruh boron berhubungan dengan perkembangan dinding sel. Menurut Blevins dan Lukaszewski (1998) boron mempengaruhi jalur metabolisme melalui ikatan protein appoplastik menjadi group cis-hidroksil pada membran dan dinding sel. Komposisi dinding sel ini sangat menentukan jumlah boron yang dibutuhkan untuk pertumbuhan dimana jumlah boron yang dibutuhkan untuk pertumbuhan reproduktif lebih tinggi dibandingkan untuk pertumbuhan vegetatif.
Peranan
boron pada pertumbuhan reproduktif adalah untuk perpanjangan tabung polen.
12
Pertumbuhan tabung polen yang cepat tergantung dari fusi vesikel yang membentuk plasmalemma dan sekresi yang terus menerus dari dinding sel. Amanullah et al. (2010) melaporkan bahwa boron juga merupakan unsur mikro penting yang berkaitan dengan metabolisme asam nukleid, karbohidrat, protein, hormon auksin dan fenol. Pada sebagian besar spesies tanaman, boron memiliki mobilitas terbatas. Namun boron berada dalam phloem dan ditranslokasikan kembali dalam phloem dalam jumlah yang cukup untuk memenuhi kebutuhan sink yang berkembang seperti organ reproduksi (Brown & Shelp 1997). Boron terutama mempengaruhi jaringan-jaringan tanaman yang mampu melakukan aktivitas meristematik, seperti jaringan kambium dan phloem pada akar penyimpanan atau batang, meristem apikal daun, vaskular kambia kapsul dan organ lain (Meena 2010). Boron dapat diaplikasikan dalam bentuk borax, asam borat, ataupun bentuk pupuk boron lainnya seperti solubor dan fertibor. Unsur boron dalam bentuk
borax
menunjukkan
respon
positif
terhadap
pertumbuhan
dan
perkembangan organ reproduksi beberapa tanaman. Pada tanaman tomat, aplikasi boron dalam bentuk borax (15 kg/ha) melalui tanah menghasilkan jumlah buah per tanaman, bobot buah dan hasil buah lebih tinggi dibandingkan tanpa pupuk boron (Kiran 2006). Aplikasi borax 20 kg/ha melalui tanah juga dilaporkan dapat meningkatkan produksi biji tomat (Sharma 1995) dan perkecambahan biji paprika (Sharma 1999). Borax yang diaplikasikan melalui daun pada tanaman brinjal atau terung (Solanum melongena) dapat meningkatkan jumlah bunga per tanaman, jumlah bunga produktif maupun produksi buah per tanaman dan ukuran buah (Kiran 2006). Pada tanaman bunga matahari, borax yang diaplikasikan pada dosis 2 kg B/ha selama fase pengisian biji dapat meningkatkan hasil biji sekitar 87% dibandingkan kontrol serta meningkatkan daya berkecambah dan indeks vigor (Amanullah et al. 2010). Defisiensi unsur B menyebabkan beberapa perubahan anatomi, fisiologi dan biologi. Pada tanaman brokoli, masalah utama produksi umumnya karena defisiensi B. Aplikasi B sebanyak 1 kg/ha telah memperbaiki produksi krop brokoli yang merupakan dosis optimum (Firoz et al. 2008).
13
Pada tanah salin dan sodik salin, aplikasi B 1.5 kg B/ha dapat memperbaiki hasil padi dan jerami berturut-turut sampai 128.79% dan 83.61% (Mehmood et al. 2009). Namun pemberian boron yang terlalu tinggi yaitu 6 kg B/ha berpengaruh negatif terhadap produksi padi dan jeraminya.
Pengaruh
menguntungkan dari boron yaitu karena konsentrasi Na- dan Cl- dalam pucuk dikurangi dan rasio K+ dan Na- diperbaiki, sehingga dapat memperbaiki pembentukan biji.
Penyerbukan Penyerbukan merupakan faktor penting dalam menghasilkan benih bermutu tinggi pada bawang bombay (Yucel & Duman 2005). Menurut Gure et al. (2009) penyerbukan dan pembentukan biji pada tanaman bawang Bombay kurang efektif, karena kematangan gamet jantan dan betina tidak bersamaan. Bawang bombay merupakan tanaman menyerbuk silang karena benabg sari masak sebelum
bunga
betina
matang
(reseptif).
Yucel
dan
Duman
(2005)
mengemukakan bahwa serangga penyerbuk memainkan peranan penting dalam membantu penyerbukan bawang bombay. Bantuan penyerbukan lainnya seperti penggunaan atraktan diperlukan jika di sekitar tanaman bawang ada tanaman kompetitif dengan bunga yang lebih menarik atau populasi serangga yang rendah (Woyke 1981).
Pembungaan dan pembentukan biji bawang merah diduga
mengikuti sifat-sifat reproduksi bawang bombay, karena keduanya termasuk dalam grup agregatum. Bunga bawang memiliki jumlah nectar yang banyak.
Hal ini
menyebabkan bawang sangat menarik untuk beberapa jenis serangga penyerbuk seperti lebah madu, lebah soliter, dan beberapa spesies hymenoptera lainnya. Yucel dan Duman (2005) melaporkan bahwa ada 267 spesies serangga pengunjung bunga bawang bombay, terutama lebah madu, lalat Syrphid, Megachile rotundata, lebah Halictid dan lalat. Menurut Gure et al (2009) penyerbukan dengan lebah merupakan salah satu faktor penting dalam produksi benih bawang bombay. Penyerbukan oleh lebah dapat meningkatkan keragaman genetik melalui penyerbukan silang, meningkatkan hasil tanaman dan memperbaiki mutu benih dan kapsul dan
14
memungkinkan terjadinya seleksi polen yang menyebabkan viabilitas dan bobot benih meningkat sehingga perkecambahan meningkat. Sebelumnya Yucel dan Duman (2005) telah melaporkan bahwa lebah madu Apis mellifera L. merupakan serangga penyerbuk yang efektif dalam meningkatkan produksi biji bawang Bombay, dengan kebutuhan paling sedikit
12-15 koloni per hektar untuk
penyerbukan yang memadai. Muatan serbuk sari pada tubuh serangga dan perilaku berkelibang merupakan kriteria yang digunakan untuk menentukan efektivitasnya sebagai serangga. Perpindahannya antar bunga dalam satu umbel atau antara umbel atau antar tanaman menentukan proporsi penyerbukan silang yang terjadi. Menurut Yucel dan Duman (2005) lebah madu berkelibang pada tanaman bawang Bombay dari jam 8.15 sampai 16.30 dengan puncaknya antara jam 11.00 sampai jam 12.00.
Pada jam 9.00, 12.00 dan 15.00 masing-masing lebah rata-rata
mengunjungi 8, 13 dan 4 bunga per menit dan mengoleksi 8, 10 dan 6 mg serbuk sari. Menurut Oz et al. (2009) penyebaran serbuk sari oleh penyerbuk menentukan persentase penyerbukan efektif dan mempengaruhi hasil biji per area pada tanaman bunga matahari.
Breazeale et al. (2008) melaporkan bahwa
penyebaran serbuk sari oleh penyerbuk ditentukan oleh 1) jarak terbang antara dua bunga yang dikunjungi, 2) hinggapnya lebah pada jarak paling dekat kepala bunga setelah lebah mengunjungi bunga dan 3) jarak dari sumber serbuk sari dimana semakin jauh jarak dari sumber serbuk sari maka semakin menurun pembentukan biji. Menurut Kameyama dan Kudo (2009) bahwa selama periode pembungaan, aktivitas dan perilaku lebah sangat berubah. Perubahan musim sangat jelas dalam aktivitas penyerbuk. Pada tanaman early-flowering tingkat pembentukan biji yang rendah disebabkan oleh keterbatasan serbuk sari karena aktifitas penyerbuk rendah. Kemudian situasi penyerbuk secara dramatis berubah dimana pada periode pembungaan yang tinggi frekuensi kunjungan ke infloresens didominasi lebah pekerja yang 100 kali lebih banyak dari lebah ratu.
15
BAHAN DAN METODE Tempat dan Waktu Percobaan dilaksanakan di Kebun Percobaan Balai Penelitian Tanaman Sayuran (Balitsa) Lembang (ketinggian tempat 1250 m di atas permukaan laut/dpl) dan di Kebun Percobaan Balai Penelitian Tanaman Sayuran (Balitsa) Subang (ketinggian tempat 100 m dpl).
Percobaan dilaksanakan dari bulan
Agustus 2011 sampai Agustus 2012. Pengujian viabilitas serbuk sari serta mutu benih dilakukan di Laboratorium Penyakit dan Laboratorium Benih Balitsa Lembang.
Bahan dan Alat Bahan yang digunakan pada percobaan ini yaitu umbi bawang merah varietas Bima Brebes ukuran 5-7 gram (Lampiran 1 dan 2), Benzyl Amino Purine (BAP), Borax (Boron), pupuk SP 36 (90 kg P2O5/ha), pupuk NPK (16-16-16) 600 kg/ha, pupuk kandang ayam 10 ton/ha, dolomit 1.0 ton/ha, serangga penyerbuk (Apis mellifera, Apis cerana, Trigona sp., Lucillia sp.), kain kasa, bambu, PGM (Polen Germination Media), pestisida selektif, plastik putih untuk atap, polybag, substrat kertas, aquadest, gula merah, udang busuk. Alat yang digunakan terdiri atas termohygrometer, haemocytometer, pipet, objek glass, cawan petri, mikroskop cahaya, timbangan dan alat pengecambah Copenhagen table, serta Cool storage untuk vernalisasi umbi.
Metode Penelitian Penelitian terdiri atas tiga percobaan, yaitu Percobaan 1. Pengaruh perlakuan BAP dan boron terhadap pembungaan, viabilitas serbuk sari dan produksi serta mutu benih TSS. Percobaan dilakukan di Kebun Percobaan Balitsa Lembang (dataran tinggi/1250 m dpl) dari bulan Agustus 2011 sampai bulan Januari 2012, dan di
16
Kebun Percobaan Balitsa Subang (dataran rendah/100 m dpl) dari bulan Maret sampai bulan Mei 2012. Perlakuan disusun dalam rancangan faktorial (dua faktor) dengan rancangan lingkungan menggunakan acak kelompok lengkap.
Faktor pertama
yaitu konsentrasi BAP terdiri atas lima taraf yaitu 0, 50, 100, 150, dan 200 ppm. Faktor kedua yaitu boron terdiri atas lima taraf yaitu 0, 1, 2, 3, dan 4 kg/ha. Dari kedua faktor tersebut diperoleh 25 kombinasi perlakuan dan tiap perlakuan diulang tiga kali, sehingga terdapat 75 satuan percobaan masing-masing untuk dataran tinggi dan dataran rendah. Tiap satuan percobaan terdiri atas empat polibag dan setiap polibag ditanami tiga tanaman, maka jumlah umbi bibit bawang merah yang digunakan ada 900 umbi. Varietas bawang merah yang digunakan adalah Bima. Peubah yang diamati meliputi waktu berbunga (sekitar 50% tanaman), jumlah tanaman berbunga, jumlah umbel per tanaman, jumlah bunga per umbel, jumlah dan viabilitas serbuk sari, jumlah kapsul per umbel, jumlah TSS per umbel, bobot TSS per umbel, bobot TSS per tanaman, bobot TSS per plot (12 tanaman), bobot TSS 100 butir, daya berkecambah dan potensi tumbuh maksimum. Model linier yang digunakan yaitu sebagai berikut: Yijk = µ + αi + βj + (αβ)ij + ρk + εijk, dimana i = 1,2,3,4,5; j= 1,2,3,4,5; k = 1,2,3 Yijk = nilai pengamatan dari pengaruh BAP ke-i, pengaruh boron ke-j dan kelompok ke-k; µ
= rataan umum;
α i,
= pengaruh BAP ke-i;
βj
= pengaruh boron ke-j;
(αβ)ij = interaksi BAP dan boron ke-i dan ke-j; ρk
= pengaruh kelompok ke-k;
εijk = pengaruh galat percobaan pada dosis BAP ke-i, dosis boron ke-j, dan kelompok ke-k Data yang diperoleh dianalisis dengan uji F dan jika berpengaruh nyata secara statistik dilakukan uji lanjut menggunakan DMRT (Duncan Multiple
17
Range Test) pada taraf 5%. Antar lokasi penanaman (dataran tinggi dan dataran rendah) dianalisis dengan uji t.
Percobaan 2. Sistem perkawinan bawang merah dalam produksi benih TSS Percobaan dilakukan di Kebun Percobaan Balitsa Lembang (dataran tinggi/1250 m dpl) dari bulan Maret sampai bulan Agustus 2012, dan di Kebun Percobaan Balitsa Subang (dataran rendah/100 m dpl) dari bulan Mei sampai bulan Agustus 2012. Perlakuan terdiri atas penyerbukan silang dan penyerbukan sendiri, yang dilakukan secara manual menggunakan bantuan tangan.
Pada percobaan ini
terdapat 150 tanaman bawang merah yang ditanam pada 50 polibag dengan tiga tanaman per polibag sehingga jumlah benih bawang merah yang digunakan sebanyak 150 umbi varietas Bima Brebes (ukuran umbi 5-7 g) untuk masingmasing lokasi (dataran tinggi dan dataran rendah). Setiap perlakuan mendapatkan aplikasi perlakuan BAP dan boron yang paling baik dari hasil Percobaan 1. Peubah yang diamat meliputi jumlah bunga per umbel, jumlah kapsul per umbel, jumlah TSS per umbel, bobot TSS per umbel, bobot TSS 100 butir, daya berkecambah dan potensi tumbuh maksimum. Data yang diperoleh dianalisis dengan uji t pada taraf 5%.
Percobaan 3. Peran serangga penyerbuk dalam produksi dan mutu TSS Percobaan dilakukan di Kebun Percobaan Balitsa Lembang (dataran tinggi/1250 m dpl) dari bulan Maret sampai bulan Agustus 2012, dan di Kebun Percobaan Balitsa Subang (dataran rendah/100 m dpl) dari bulan Mei sampai bulan Agustus 2012. Perlakuan disusun dalam rancangan faktor tunggal dengan rancangan lingkungan acak kelompok lengkap.
Perlakuan yang digunakan yaitu jenis
serangga penyerbuk terdiri atas lebah madu Apis mellifera dan Apis cerana serta lebah hutan Trigona sp. (Apidae), lalat hijau Lucilia sp. (Calliphoridae) serta penyerbukan terbuka. Tiap perlakuan diulang lima kali, sehingga terdapat 25 satuan percobaan. Tiap satuan percobaan terdiri atas 20 polibag yang berisi tiga
18
tanaman per polibag, maka jumlah benih bawang merah yang digunakan sebanyak 1500 umbi (ukuran umbi 5-7 g) untuk masing-masing lokasi (dataran tinggi dan dataran rendah). Setiap perlakuan akan mendapatkan aplikasi perlakuan BAP dan Boron yang paling baik dari hasil Percobaan 1. Varietas bawang merah yang digunakan adalah varietas Bima Brebes. Peubah yang diamati meliputi jumlah umbel per plot, jumlah umbel per tanaman, jumlah bunga per umbel, jumlah kapsul per umbel, jumlah TSS per umbel, bobot TSS per umbel, bobot TSS per tanaman, bobot TSS per plot (60 tanaman), bobot 100 benih TSS, daya berkecambah dan potensi tumbuh maksimum. Model linier yang digunakan yaitu sebagai berikut: Yij = µ + αi + ρj + εij, dimana i = 1,2,3,4,5; j= 1,2,3,4,5 Yij = nilai pengamatan dari pengaruh serangga penyerbuk ke-i, dan kelompok pada taraf ke-j; µ = rataan umum; αi, = pengaruh serangga penyerbuk ke-i; ρj = pengaruh kelompok ke-j; εij = pengaruh galat percobaan pada perlakuan serangga penyerbuk ke-i dan kelompok ke-j Data yang diperoleh dianalisis dengan uji F pada taraf 5% menggunakan program SAS (Statistical Analysis System) dan jika berpengaruh nyata secara statistic maka dilakukan uji lanjut Tukey pada taraf 5% untuk membandingkan antar perlakuan. Produksi dan mutu benih dari serangga penyerbuk yang terbaik dari dua lokasi (dataran tinggi dan dataran rendah) dianalisis dengan uji t.
Pelaksanaan Penelitian Persiapan Bibit Umbi bawang merah yang digunakan sebagai bibit (benih vegetatif) berukuran 5 - 7 gram per umbi dan berumur 2 bulan dari panen (Lampiran 2). Sebelum ditanam umbi divernalisasi di dalam cool storage pada suhu 10o C selama 4 minggu. Satu hari sebelum tanam, umbi dikeluarkan dari cool storage.
19
Untuk mencegah infeksi penyakit, umbi bawang merah dicampur fungisida berbahan aktif mankozeb sebanyak 2 gram/kg umbi bawang.
Persiapan Media Tanam Media tanam yang digunakan yaitu campuran tanah, dolomit dan pupuk kandang ayam yang diaduk rata dan dimasukkan ke dalam polybag kemudian dibiarkan selama seminggu.
Untuk satu polibag diisi tanah sebanyak 8 kg,
dolomit 13 gram dan pupuk kandang ayam 130 gram. Satu hari sebelum tanam pupuk P diaplikasikan ke media tanam dalam polibag sebanyak 3 gram SP-36.
Penanaman Umbi bawang merah ditanam di dalam polibag sebanyak 3 umbi per polibag dan diatur jaraknya sekitar 15 cm antar umbi (Lampiran 2). Sebelumnya media tanam sudah disiram air sampai kondisinya cukup lembab (tidak becek). Umbi ditanam ke dalam media tanam sampai sebatas leher umbi. Polybag ditempatkan pada bedengan yang ditutup mulsa plastik hitam perak dan diberi naungan plastik putih.
Pemupukan Tanaman bawang merah dipupuk seminggu sekali dengan 100 ml larutan pupuk (0.8 g NPK/polibag). Larutan pupuk diaplikasikan selama 10 kali mulai umur satu minggu. Cara pemberian pupuk yaitu dengan disiramkan ke tanah sekitar tanaman.
Pemeliharaan Pemeliharaan tanaman dilakukan supaya tanaman dapat tumbuh dan berproduksi yang baik meliputi pemberian pupuk, penyiraman, pengendalian gulma dan penyemprotan pestisida untuk mencegah dan mengendalikan hama penyakit tanaman. Penyiraman dilakukan dua hari sekali untuk menjaga media dalam kondisi lembab tetapi tidak sampai terlalu basah (becek). Untuk menghilangkan embun yang menempel di ujung daun, setiap pagi sebelum pukul 7.00 daun tanaman
20
disemprot air.
Embun yang menempel di daun jika tidak dihilangkan akan
menimbulkan penyakit bercak ungu yang disebabkan oleh Alternaria porri. Untuk mencegah berkembangnya penyakit daun tersebut, selain disemprot air juga dua minggu sekali di semprot fungisida berbahan aktif difenokonazol. Untuk mengendalikan hama terutama ulat daun pada awal pertumbuhan tanaman sampai umur 6 minggu disemprot insektisida berbahan aktif emamektin benzoat dan klorantranilinprol. Abamectin disemprotkan untuk mengendalikan kutu yang menyerang tangkai dan bunga bawang pada tahap pembungaan dan pembuahan. Setelah penyerbuk dimasukkan ke dalam kerodong, untuk mengendalikan hama dan penyakit digunakan Agonal (campuran nimba, lengkuas dan sereh wangi). Pengendalian rumput atau gulma lainnya dilakukan secara manual dengan mencabutnya sampai bersih di sekitar bedengan maupun pada polybag. Antar barisan polybag tanaman diberi tali supaya tanaman bawang tidak rebah.
Aplikasi Perlakuan BAP dan Boron Perlakuan BAP diaplikasikan tiga kali yaitu pada umur 1, 3 dan 5 minggu setelah tanam (MST) dengan cara menyiramkan BAP sesuai perlakuan (50, 100, 150 dan 200 ppm) sebanyak 100 ml setiap polibag ke bagian titik tumbuh apikal pada umbi. Perlakuan unsur Boron (Borax) diaplikasikan tiga kali pada umur 3, 5 dan 7 MST sesuai perlakuan (0.093 g, 0.186 g, 0.278, dan 0.371 g/polibag). Borax dilarutkan dalam air sebanyak 100 ml setiap polibag dan disiramkan ke bagian titik tumbuh apikal dan bunga.
Perlakuan system perkawinan Perlakuan penyerbukan silang dan penyerbukan sendiri dilakukan secara manual yang dilakukan setiap hari dari pukul 07.00 sampai 12.00 selama bunga mekar atau sekitar satu bulan. Perlakuan penyerbukan silang dilakukan dengan cara mengusapkan antera pada umbel yang berbeda dari tanaman berbeda atau tanaman yang sama, sedangkan pada perlakuan penyerbukan sendiri dengan cara mengusapkan antera dari bunga yang berbeda dalam satu umbel. Pengambilan sampel untuk penyerbukan silang dan penyerbukan sendiri dilakukan dengan cara
21
memilih ukuran umbel yang sama dari satu tanaman atau tanaman yang sama. Jumlah sampel yang berhasil dipilih ada 46 tanaman yang terdiri atas 46 umbel untuk penyerbukan silang dan 46 umbel untuk penyerbukan sendiri. Pengerodongan umbel dengan kain kasa dilakukan setelah selaput umbel pecah dan antar perlakuan dibedakan warna kain kasanya. Pada perlakuan penyerbukan silang, setiap hari antera dari bunga yang baru mekar pada setiap umbel dibuang anteranya.
Kemudian stigma bunga setiap umbel diusap kuas yang sudah
diusapkan pada antera dari umbel lain. Pada perlakuan penyerbukan sendiri, kerodong kain kasa dibuka setiap hari dan antera diusap kuas kemudian diusapkan ke stigma bunga yang lain di dalam satu umbel.
Perlakuan serangga penyerbuk Pada perlakuan serangga penyerbuk terdapat 20 kerodong kain kasa nylon masing-masing 5 kerodong kain kasa nylon untuk A. mellifera, A. cerana, Trigona sp. dan Lucilia sp., serta lima tanpa kerodong kain kasa untuk perlakuan penyerbukan terbuka sebagai kontrol. Introduksi serangga penyerbuk dilakukan pada saat bunga mulai ada yang mekar sampai semua umbel membentuk buah. Kotak kayu (sarang lebah) yang berisi masing-masing lebah Apis mellifera, Apis cerana, serta Trigona sp. dimasukkan ke dalam kerodongan kain kasa. Satu kotak kayu berisi 400-500 ekor lebah. Kotak kayu yang berukuran 5 cm x 35 cm diletakkan setinggi 1.5 m dari permukaan tanah di dalam kerodongan kain kasa. Bagian atas ditutup plastik putih transparan untuk menghindari siraman air hujan terhadap lebah dan bunga. Pada bagian atas kotak kayu diberi tutup dari kardus untuk mengurangi panas matahari. Sebagai sumber makanan lebah, baki plastik kecil berisi cairan gula merah yang diberi kertas tissue disimpan pada bedengan di bawah kotak kayu. Seminggu sekali baki plastik dengan cairan gula dan tissue diganti dengan yang baru. Gulma-gulma yang tumbuh baik pada polibag tanaman bawang maupun pada pinggir bedengan di dalam kerodongan kain kasa dibersihkan. Untuk perlakuan lalat hijau Lucilia sp., sekitar 400-500 ekor lalat juga dimasukkan ke dalam kerodongan kain kasa. Agar lalat hijau tersebut dapat bertahan hidup selama fase pembungaan, maka di dalam kerodongan tersebut
22
diletakkan baki plastik yang berisi udang segar sebanyak ½ kg dan setiap seminggu sekali baki plastik akan diisi kembali dengan udang segar yang baru sampai berakhir masa pembungaan. Untuk perlakuan penyerbukan terbuka, plot tanaman bawang dibiarkan terbuka atau tidak dikerodong kain kasa sehingga berbagai serangga di alam dapat mengunjungi bunga bawang. Untuk menarik serangga penyerbuk mengunjungi bunga bawang, dipinggir plot percobaan ditanami tanaman tagetes yang berbunga kuning. Dalam satu satuan percobaan terdapat 60 tanaman atau tanaman bawang merah dan setiap tanaman dibiarkan rata-rata empat tangkai umbel sehingga dalam satu satuan percobaan ada sekitar 240 umbel. Sampel umbel diambil dari enam tanaman bawang dengan ukuran yang hampir sama dari fase bunga pertama, kedua dan ketiga.
Pengamatan 1. Waktu berbunga 50%. Penghitungan dilakukan berdasarkan jumlah umbel yang muncul sebanyak 50% tanaman dari setiap satuan percobaan/plot (hari setelah tanam) 2. Persentase tanaman berbunga. Penghitungan dilakukan berdasarkan jumlah tanaman berbunga pada satuan percobaan atau plot (12 tanaman). 3. Jumlah umbel per tanaman.
Penghitungan dilakukan berdasarkan jumlah
umbel yang terdapat pada satu tanaman. 4. Jumlah bunga per umbel. Penghitungan dilakukan berdasarkan jumlah bunga yang terbentuk pada satu umbel. 5. Jumlah kapsul per umbel. Penghitungan dilakukan berdasarkan jumlah kapsul yang terbentuk pada satu umbel. 6. Jumlah TSS per umbel. Penghitungan dilakukan berdasarkan jumlah TSS yang terbentuk pada satu umbel 7. Bobot TSS per umbel, per tanaman dan per plot (g). Pengukuran dilakukan dengan menimbang jumlah benih yang terbentuk pada setiap umbel, pada setiap tanaman dan pada setiap plot.
23
8. Bobot 100 butir. Pengukuran dilakukan dengan menimbang berat 100 butir benih. 9. Daya berkecambah.
Pengujian dilakukan dengan metode uji diatas kertas
(UDK) menggunakan alat pengecambah benih Copenhagen table. Substrat yang digunakan adalah kertas stensil tiga lembar.
Suhu media
pengecambahan yang digunakan adalah konstan 20 0C. Penghitungannya menggunakan rumus: DB = ( KN I + KN II) x 100% ∑ benih Dimana: KN I : Jumlah kecambah normal pada hitugan pertama (6 hari) KN II : Jumlah kecambah normal pada hitungan kedua (12 hari) 10. Potensi tumbuh maksimum adalah proporsi benih yang berkecambah, baik kecambah normal maupun abnormal pada waktu tertentu (12 hari setelah benih dikecambahkan). Benih dikatakan berpotensi tumbuh apabila radikula telah muncul. 11. Viabilitas serbuk sari Penghitungan viabilitas serbuk sari didasarkan persentase serbuk sari yang berkecambah (fertil) dengan ciri serbuk sari yang berkecambah akan membentuk tabung sepanjang minimal sama dengan diameter serbuk sari. Pengambilan serbuk sari dilakukan pada waktu bunga mekar dan satu hari setelah bunga mekar. Penghitungan viabilitas dengan metode perkecambahan menggunakan rumus: Viabilitas serbuk sari =
∑ serbuk sari yang berkecambah
x100%
∑ serbuk sari yang dikecambahkan 12. Jumlah serbuk sari Pengamatan jumlah serbuk sari per antera dengan menggunakan alat haemocytometer.
Cara pengamatan yaitu meletakkan coverglass di atas
haemocytometer. Sebanyak 50 µl larutan serbuk sari diteteskan dalam parit kaca haemocytometer. Larutan menyebar di dalam parit secara merata hingga diam di tempat kemudian dihitung jumlah serbuk sari di bawah mikroskpenyerbukan terbuka pada perbesaran 40x. Sampel dihitung paling
24
tidak sebanyak 5 kotak sedang. Hasil perhitungan dirata-rata dan hasil rataan dimasukkan rumus untuk kotak sedang. 11. Data pendukung : suhu, kelembaban, dan curah hujan
25
HASIL DAN PEMBAHASAN Kondisi Umum Lapangan Tanaman bawang merah dari awal penanaman sampai pembungaan dan pembentukan kapsul selama 15 minggu menunjukkan pertumbuhan yang baik. Serangan hama pada tanaman bawang merah relatif rendah. Hama yang menyerang yaitu ulat bawang (Spodoptera exigua) dan kutu daun (Toxoptera spp). Hama ulat merupakan hama utama yang dapat menyebabkan kerusakan pada daun dan umbel, sedangkan kutu daun bukan merupakan hama penting dan menyerang jika media agak kering. Serangan hama ulat dapat diatasi dengan pengendalian mekanis yaitu dengan membuang daun yang terserang, dan penyemprotan insektisida selektif yang berbahan aktif spinosad dan abamectin sesuai anjuran. Pada umur 2-3 minggu setelah tanam (MST) ada gangguan embun pada ujung-ujung daun di pagi hari yang dapat menimbulkan penyakit bercak ungu (Alternaria porri), antraknose (Colletrotichum sp.) dan embun bulu (Peronospora destructor). Penyakit tersebut juga menyerang tangkai bunga, dan menyebar dengan cepat apabila kelembaban udara tinggi, dengan gejala ujung daun berwarna kuning dan berkembang ke pangkal daun. Tangkai bunga berwarna kuning kecoklatan berbentuk silindris dan akhirnya menghitam. Pengendalian dilakukan dengan menyemprotkan air dan fungisida selektif yang berbahan aktif difenoconazol pada ujung-ujung daun tersebut sesuai anjuran. Selama periode pembungaan di dataran tinggi baik pada musim kemarau maupun pada musim hujan berbagai serangga yang banyak mengunjungi bunga bawang yaitu tabu-tabuan, lebah, lalat, capung, semut dan kupu-kupu. Lebah yang ditemukan yaitu lebah besar berwarna hitam, lebah kecil seperti Apis cerana sedangkan lalat yang ditemukan yaitu lalat hijau dengan tubuh bulat, lalat besar dengan sayap lebar dan lalat kecil. Serangga yang dominan mengunjungi bunga adalah kupu-kupu dan capung (> 50%) pada musim kemarau dan lebah soliter berwarna hitam pada musim hujan. Pada musim kemarau sekitar 80% serangga yang mengunujungi bunga bawang merah didominasi oleh kupu-kupu. Puncak kunjungan terjadi pada pukul 09.00 – 12.00, karena pada waktu tersebut cuaca cerah dan suhu di sekitar pertanaman tidak terlalu panas (22-230 C). Pada waktu cuaca mendung atau hujan, lalat lebih banyak mengunjungi bunga bawang. Di
26
dataran rendah, serangga yang dominan adalah lebah berwarna hitam dan lalat kecil. Perkembangan Bunga dan Kapsul Lama fase perkembangan bunga dan pembentukan kapsul bawang merah di dataran tinggi berbeda dengan di dataran rendah (Tabel 1). Di dataran tinggi, fase pembungaan lebih lama sekitar 47-48 hari dari sejak muncul tunas umbel pertama sampai > 75% bunga mekar dalam satu umbel, sedangkan di dataran rendah hanya 30-31 hari. Periode pembungaan yang lebih pendek di dataran rendah diduga disebabkan oleh suhu udara yang lebih tinggi (Lampiran 6) sehingga pertumbuhan dan perkembangan tanaman lebih cepat (Rasul et al. 2011). Fase perkembangan bunga dapat dibagi menjadi enam tahap. Pada tahap pertama di dataran tinggi tunas umbel muncul pada 14-19 hari setelah tanam (HST) (Gambar 1-1).
Pada tahap kedua tunas umbel berkembang mencapai
maksimum dan terbungkus oleh selaput umbel berwarna hijau muda (Gambar 12A) sampai 44-51 HST (30-32 hari dari tahap 1 atau setelah umbel muncul) ketika selaput umbel mulai pecah (Gambar 1-2B). Pada tahap ketiga 5-10% bunga mulai mekar (Gambar 1-3) yang terjadi pada sekitar 55-59 HST (40-41 hari setelah umbel muncul). Tahap empat tercapai saat > 75% bunga dalam satu umbel mekar (Gambar 1-4) yang terjadi sekitar 62-67 HST (47-48 hari setelah umbel muncul). Pembentukan kapsul terjadi + 14 hari setelah bunga mekar penuh dalam satu umbel (> 75%). Bunga yang terserbuki dicirikan dengan kubah yang berwarna putih berkembang menjadi kapsul, baik bernas atau hampa. Bunga yang tidak terserbuki akan luruh. Kapsul bernas dengan tiga lokul yang berkembang berwarna hijau, dan lokul yang berisi biji bernas akan membengkak. Pada kapsul hampa, kubah tidak berkembang, berwarna coklat tapi tidak luruh. Kapsul mulai terbentuk (5-10%) pada 70-75 HST (61-62 hari setelah umbel muncul) (Gambar 1-5). Proses pematangan kapsul berlangsung selama 32-37 hari, pada saat kapsul yang terbentuk dalam satu umbel sudah maksimum (Gambar 1-6A) dan kemudian kapsul mulai mengering dan keriput (Gambar 1-6B).
Ciri kapsul yang siap
dipanen yaitu dalam satu umbel 1-3 kapsul ada yang pecah atau sebagian besar kapsul berwarna kekuningan (Gambar 1-6C). Pemanenan kapsul dilakukan secara
27
Tabel 1. Fase perkembangan bunga dan pembentukan kapsul bawang merah di dataran tinggi Lembang dan dataran rendah Subang Fase perkembangan bunga dan pembentukan kapsul
Dataran tinggi*
Dataran rendah**
1. Umbel muncul
14 – 19 HST
30 – 33 HST
2. Selaput umbel pecah
44 – 51 HST (30 – 32 hari dari tahap 1)
57 – 60 HST (27 hari dari tahap 1)
3. Awal bunga mekar
55 – 59 HST (40 – 41hari dari tahap 1 )
59 – 62 HST (29 hari dari tahap 1)
4. > 75% bunga mekar
62 – 66 HST (47 – 48 hari dari tahap 1 )
61 – 63 HST (30 – 31 hari dari tahap 1)
5. Kapsul terbentuk + 5-10%
70 – 75 HST (61 – 62 hari dari tahap 1)
68 – 69 HST (36 – 38 hari dari tahap 1)
6. Panen
107 HST (88 – 93 hari dari tahap 1 )
86 HST (56 hari dari tahap 1)
Keterangan : HST = hari setelah tanam; *lima kali panen dengan interval lima hari sekali; **satu kali panen.
1
2A
3
4
6A
6B VVI
2B
5
6C VI
Gambar 1. Fase pembungaan dan pembentukan kapsul bawang merah
28
bertahap. Panen pertama dilakukan pada 107 HST (88-93 hari setelah umbel muncul), panen kedua 5 hari setelah panen pertama. Begitu juga dengan panen ketiga sampai kelima dilakukan 5 hari sekali dan panen kelima (terakhir) dilakukan pada 127 HST (107-112 hari setelah umbel muncul). Di dataran rendah, fase perkembangan bunga berlangsung lebih cepat. Munculnya tunas umbel lebih lama terjadi dibandingkan di dataran tinggi, yaitu 30-33 HST, akan tetapi fase perkembangan selanjutnya terjadi lebih singkat. Selaput umbel pecah 27 hari setelah umbel muncul,dan bunga mulai mekar dua hari setelah selaput umbel pecah (59-62 HST). Bunga dalam satu umbel mekar penuh (> 75%) 3-5 hari setelah selaput umbel pecah (61-63 HST), dalam 1-2 hari bunga mekar secara serempak. Proses pembentukan kapsul berlangsung serempak sekitar satu minggu (68-69 HST) sebagian besar bunga (60-70%) telah menjadi kapsul. Panen kapsul hanya satu kali pada umur 86 HST (56 hari setelah umbel muncul) karena pembungaan di dataran rendah sedikit. Pematangan kapsul dalam satu umbel lebih serempak, >90% warna kapsul kekuningan dengan tangkai masih hijau segar sehingga pengeringan lebih mudah dan lebih cepat.
Percobaan 1. Pengaruh BAP dan Boron terhadap Pembungaan, Viabilitas Serbuk Sari dan Produksi serta Mutu Benih Botani (TSS) di Dataran Tinggi Lembang Pembungaan Hasil uji F menunjukkan tidak terjadi interaksi antara BAP dengan boron terhadap pembungaan dan pembentukan kapsul bawang merah. Pemberian BAP mempengaruhi persentase tanaman berbunga, jumlah bunga per umbel dan jumlah kapsul per umbel, tetapi tidak berpengaruh terhadap waktu berbunga, jumlah umbel per tanaman dan persentase pembentukan kapsul (Tabel 2 dan 3). Waktu pembungaan tidak dipengaruhi oleh aplikasi BAP. Rata-rata tunas umbel muncul sekitar 20 hari setelah tanam, yang menunjukkan bahwa perlakuan vernalisasi cukup efektif dalam menginduksi pembungaan (Satjadipura 1990). Selain itu diduga karena kondisi lingkungan yang cukup mendukung sehingga tanaman cepat berbunga. Di dataran tinggi Lembang suhu udara minimum pada awal penanaman bawang merah yaitu 130C dengan suhu rata-rata bulanan
29
(Agustus) 190C (Lampiran 3), yang merupakan suhu optimum untuk perkembangan umbel (Rabinowitch 1990). Pada kondisi yang optimum tersebut perlakuan BAP tidak dapat mempercepat waktu muncul bunga. Tabel 2. Pengaruh perlakuan BAP dan boron terhadap waktu muncul umbel, persentase tanaman berbunga dan jumlah bunga per umbel bawang merah di dataran tinggi Lembang Perlakuan
Waktu muncul umbel 50% (HST)
Konsentrasi BAP (ppm) 0 50 100 150 200 rerata Dosis Boron (kg/ha) 0 1 2 3 4 rerata BAP x boron KK (%)
Persentase tanaman Jumlah bunga berbunga (%) per umbel
20.1 a 19.9 a 20.0 a 19.8 a 19.6 a 19.9
91.11 bc 97.22 a 95.56 ab 93.89 ab 89.44 c
108.1 c 113.8 ab 116.5 a 113.0 abc 108.9 bc
20.0 a 19.9 a 18.9 a 20.3 a 20.3 a 19.9
93.89 a 92.78 a 92.78 a 93.89 a 93.89 a 93.44
103.9 b 114.4 a 113.5 a 115.5 a 113.0 a
tn 15.34
tn 7.61
tn 5.85
Keterangan: Angka yang diikuti oleh huruf yang sama pada kolom yang sama pada masing-masing perlakuan tidak berbeda nyata pada uji DMRT taraf 5%; HST= hari setelah tanam; tn= tidak nyata
Pemberian BAP pada konsentrasi rendah dapat meningkatkan persentase tanaman berbunga dan jumlah bunga per umbel.
Perlakuan BAP 50 ppm
meningkatkan persentase tanaman berbunga (97.22%) dan jumlah bunga per umbel (113.8) lebih tinggi dibanding kontrol (berturut-turut 91.11% dan 108.1) (Tabel 2). Werner et al. (2001) menyatakan bahwa sitokinin mempunyai peranan penting dalam morfogenesis meristem Nicotiana tabacum yang meningkatkan ukuran meristem sehingga kemungkinan berkembangnya meristem bunga lebih besar. Dalam penelitian ini vernalisasi umbi dapat digunakan untuk menginisiasi primordia bunga, sedangkan pemberian BAP dapat meningkatkan ukuran meristem sehingga produksi bunga per umbel meningkat. Pengaruh BAP seperti
30
ini juga diperoleh Prat et al. (2008) dalam penelitian mereka yang menunjukkan perluasan zona meristematik axilar pada tanaman jojoba akibat pengaruh benzyladenin atau benzylaminopurine. Pada konsentrasi yang lebih tinggi peningkatan jumlah tanaman berbunga menurun dan pada konsentrasi 200 ppm BAP menghambat pembungaan bawang merah (Tabel 2), yang menghasilkan tanaman berbunga sebesar 89.44% atau turun sekitar 1.67% dari kontrol. Data ini menunjukkan bahwa BAP 50 ppm merupakan konsentrasi optimum untuk mendorong pembungaan bawang merah di dataran tinggi. Tabel 3. Pengaruh perlakuan BAP dan boron terhadap jumlah umbel per tanaman, jumlah kapsul per umbel dan persentase pembentukan kapsul bawang merah di dataran tinggi Lembang Perlakuan
Jumlah umbel per tanaman Konsentrasi BAP (ppm) 0 3.4 a 50 3.1 a 100 3.4 a 150 3.3 a 200 3.6 a 3.4 rerata Dosis Boron (kg/ha) 2.9 b 0 1 3.4 a 2 3.6 a 3 3.4 a 3.5 a 4 rerata BAP x boron KK (%)
tn 16.47
Jumlah kapsul per umbel
Pembentukan kapsul (%)
62.3 ab 55.9 b 66.6 a 64.7 a 54.9 b
57.05 a 48.95 a 57.15 a 55.89 a 50.24 a 53.86
52.4 b 59.8 a 64.9 a 64.1 a 63.1 a
47.55 a 53.78 a 57.76 a 55.60 a 54.61 a 53.86
tn 16.71
tn 22.21
Keterangan: Angka yang diikuti oleh huruf yang sama pada kolom yang sama pada masing-masing perlakuan tidak berbeda nyata pada uji DMRT taraf 5%; tn= tidak nyata
Pemberian BAP konsentrasi 50 dan 100 ppm meningkatkan jumlah bunga per umbel (Tabel 2), tetapi tidak dapat meningkatkan persentase pembentukan kapsul dengan rata-rata 53.86% (Tabel 3), yang memberi indikasi bahwa proporsi bunga yang berkembang menjadi kapsul konstan. Fenomena seperti ini umumnya terjadi pada tanaman tahunan yang menghasilkan buah basah seperti sweet cherry
31
(Roversi et al. 1984) atau Prunus mahaleb (Guitian 1994), yang diduga dikendalikan oleh tanaman induknya untuk menghasilkan benih yang viabel. Meskipun persentase pembentukan kapsul tidak berbeda nyata antar perlakuan konsentrasi BAP, akan tetapi jika jumlah bunga per umbel meningkat maka jumlah kapsul per umbel akan meningkat pula. Persentase pembentukan kapsul yang konstan dalam penelitian ini perlu diverifikasi lebih lanjut dalam upaya meningkatkan produktivitas benih (TSS). Pemberian boron meningkatkan jumlah umbel per tanaman, jumlah bunga per umbel dan jumlah kapsul per umbel, akan tetapi tidak berpengaruh terhadap waktu berbunga, persentase tanaman berbunga dan proporsi bunga yang menjadi kapsul atau pembentukan kapsul (Tabel 2 dan 3). Seperti halnya pada BAP, aplikasi boron tidak mempengaruhi waktu berbunga. Hal ini menegaskan bahwa waktu berbunga umbi yang sudah diberi perlakuan vernalisasi lebih ditentukan oleh kondisi lingkungan. Boron dengan dosis 1 - 4 kg/ha dapat meningkatkan jumlah umbel yang dihasilkan dengan kisaran 3.4 – 3.6 umbel per tanaman, lebih banyak dibandingkan umbel yang dihasilkan tanaman kontrol sebanyak 2.9 umbel per tanaman. Menurut Marschner (1995), boron menyebabkan terjadinya keseimbangan auksin dan sitokinin yang mendorong pembelahan sel pada bagian bunga. Peningkatan tersebut diikuti oleh peningkatan jumlah bunga per umbel (sekitar 114 bunga/umbel) dan jumlah kapsul per umbel (sekitar 63 kapsul/umbel) lebih tinggi daripada kontrol (masing-masing 103.9 bunga/umbel dan 52.4 kapsul/umbel). Sebagaimana pada pemberian BAP, pemberian boron juga tidak mempengaruhi persentase bunga menjadi buah. Data ini memperkuat indikasi bahwa proporsi bunga menjadi kapsul dikendalikan oleh tanaman induk.
Viabilitas dan Jumlah Serbuk Sari Viabilitas serbuk sari dipengaruhi oleh fase perkembangan bunga, yaitu pada saat bunga mekar penuh (antesis) dan satu hari setelah antesis (Gambar 2). Viabilitas serbuk sari pada saat bunga mekar (1.48%) lebih rendah daripada satu hari setelah bunga mekar (5.83%). Hasil pengamatan di lapangan menunjukkan bahwa antera pecah 22 – 26 jam setelah bunga mekar. Hasil pengamatan ini menunjukkan bahwa serbuk sari masih belum masak pada saat bunga mekar
32
(antesis). Pengamatan terhadap masa reseptif stigma akan memberikan informasi apakah dikogami menjadi kendala pembentukan biji. Secara umum viabilitas serbuk sari bawang merah tergolong rendah sebagaimana dikemukakan Ockendon dan Gates (1976) yang meneliti tanaman bawang bombay var. Rijnsburger. Mereka menemukan inviabilitas serbuk sari yang sangat tinggi. Serbuk sari yang tidak viabel mencapai 67.46% sedangkan serbuk sari dengan viabilitas antara 120% mencapai 20.8% walaupun tanaman fertil jantan secara normal.
Gambar 2. Viabilitas serbuk sari pada fase perkembangan bunga Hasil uji F menunjukkan bahwa tidak terjadi interaksi antara BAP dengan boron terhadap viabilitas dan jumlah serbuk sari bawang merah. Akan tetapi pemberian BAP meningkatkan viabilitas serbuk sari yang dipanen satu hari setelah antesis (Tabel 4). Semakin tinggi konsentrasi BAP semakin tinggi pula viabilitas serbuk sari. BAP pada konsentrasi 50 ppm meningkatkan viabilitas serbuk sari empat kali lipat dibandingkan kontrol dan pada konsentrasi 200 ppm viabilitas meningkat sepuluh kali lipat (Tabel 4). Namun demikian peningkatan viabilitas serbuk sari ini tidak meningkatkan jumlah kapsul per umbel dan persentase pembentukan kapsul. Dengan demikian viabilitas serbuk sari bukan merupakan faktor pembatas pembentukan kapsul bawang merah. Jumlah serbuk sari hanya meningkat pada konsentrasi BAP 200 ppm, mencapai 925.8 butir/antera. Penggunaan BAP pada konsentrasi yang lebih tinggi dari 200 ppm perlu dikaji untuk mempelajari pengaruhnya terhadap peningkatan viabilitas dan jumlah serbuk sari yang dihasilkan. Salah satu peran BAP yang penting adalah pembelahan dan pembesaran sel (Davies 2004). Pemberian BAP
33
diduga meningkatkan pembelahan sel-sel induk mikrospora maupun sel tapetum di dalam mikrosporangium sebelum meiosis sehingga menghasilkan serbuk sari yang lebih banyak dengan viabilitas yang lebih tinggi (Xiaoqi & Dickinson 2010). Boron memberikan pengaruh yang positif terhadap peningkatan viabilitas dan jumlah serbuk sari (Gambar 3 dan Tabel 4).
Aplikasi boron dengan
konsentrasi 4 kg/ha meningkatkan viabilitas dan jumlah serbuk sari. Aplikasi boron dalam penelitian ini diduga meningkatkan ketersediaannya untuk tanaman, karena kandungan boron dalam tanah hanya 0.08 ppm. Boron mempunyai peranan dalam siklus reproduksi tanaman antara lain dalam produksi serbuk sari dan perkecambahannya (Keefe 1998). Garg et al. (1979) menyatakan bahwa perbaikan viabilitas serbuk sari pada tanaman padi merupakan efek stimulasi boron dalam meningkatkan ketersediaan gula, aktivitas enzimatik dan respirasi Tabel 4. Pengaruh perlakuan BAP dan boron terhadap viabilitas dan jumlah serbuk sari bawang merah satu hari setelah antesis di dataran tinggi Lembang Perlakuan Konsentrasi BAP (ppm) 0 50 100 150 200 Dosis Boron (kg/ha) 0 1 2 3 4 BAP x Boron KK (%)
Viabilitas serbuk sari (%)
Jumlah serbuk sari per antera
1.2 c 5.1 b 4.4 b 6.2 b 12.3 a
841.1 b 792.3 b 866.1 ab 812.5 b 925.8 a
2.9 c 3.5 bc 3.8 bc 6.1 b 12.8 a tn 5.85
809.4 b 815.3 ab 833.5 ab 881.2 ab 898.4 a tn 18.39
Keterangan: Angka yang diikuti oleh huruf yang sama pada kolom yang sama pada masing-masing perlakuan tidak berbeda nyata pada uji DMRT taraf 5%; tn= tidak nyata
yang diperlukan untuk perbaikan pertumbuhan serbuk sari. Namun konsentrasi boron yang tinggi menimbulkan efek menghambat yang disebabkan karena fisiologis dan kerusakan pada protoplasma. Kerusakan protoplasma ini diduga
34
adalah bagian membran plasma yang rusak yang menyebabkan aktivitas H+ATPase terhambat. Orbemeyer dan Blatt (1995) dalam Wang et al. (2003) melaporkan bahwa boron mempengaruhi aktivitas H+-ATPase untuk menginisiasi perkecambahan dan pertumbuhan tabung serbuk sari.
A
B
Gambar 3. Serbuk sari yang berkecambah dari tanaman yang diberi perlakuan Boron (A), serbuk sari yang tidak berkecambah dari tanaman kontrol (B) di dataran tinggi Lembang
Produksi TSS Hasil uji F menunjukkan bahwa tidak terjadi interaksi antara BAP dengan boron dalam mempengaruhi produksi TSS. Aplikasi BAP berpengaruh terhadap bobot TSS per tanaman dan persentase TSS bernas (Tabel 5) serta bobot TSS per plot (Gambar 4). Ada indikasi konsentrasi BAP yang semakin tinggi berpotensi menurunkan bobot TSS baik per tanaman maupun bobot per plot. Meskipun jumlah tanaman berbunga dan jumlah bunga per umbel (Tabel 2) serta viabilitas serbuk sari (Tabel 4) meningkat dengan aplikasi BAP sampai konsentrasi tertentu akan tetapi secara umum benih yang dihasilkan tidak berbeda nyata (Tabel 5) dengan kontrol bahkan pada konsentrasi 200 ppm bobot TSS per tanaman dan per plot lebih rendah. Dalam hal ini peningkatan produksi bunga yang dihasilkan dengan aplikasi BAP tidak cukup tinggi sehingga dengan persentase pembentukan kapsul yang tidak berbeda nyata pada semua perlakuan menghasilkan jumlah dan bobot TSS per umbel yang tidak berbeda pula. Hasil serupa juga terjadi pada tanaman jojoba (Simmondsia chinensis (Link) Schneider) yang diberi BAP (Prat
35
et al. 2008), yang dalam hal ini diduga karena adanya kompetisi absorbsi asimilat antar kapsul dalam satu umbel. Ketika intensitas pembungaan lebih tinggi, kompetisi yang terjadi untuk memperoleh metabolit juga lebih tinggi sehingga translokasi ke masing-masing bunga untuk berkembang menjadi kapsul lebih rendah. Tabel 5. Pengaruh perlakuan BAP dan boron terhadap jumlah TSS per umbel, persentase TSS bernas, bobot TSS per umbel dan bobot TSS per tanaman di dataran tinggi Lembang Perlakuan
Jumlah TSS per umbel
Konsentrasi BAP (ppm) 0 156.7 a 50 161.8 a 100 174.1a 150 157.4 a 200 134.3 a 152.6 rerata Dosis Boron (kg/ha) 121.5 b 0 155.8 a 1 158.5 a 2 182.8 a 3 4 165.7 a rerata BAP x boron tn KK (%) 28.23
Persentase TSS bernas (%)
Bobot TSS per umbel (g)
Bobot TSS per tanaman (g)
78.30 b 83.26 a 81.68 ab 82.17 ab 86.12 a
0.435 a 0.420 a 0.476 a 0.424 a 0.373 a 0.426
0.967 ab 0.784 bc 1.023 a 0.894 abc 0.758 c
81.44 a 81.81 a 83.16 a 83.49 a 81.62 a 82.30 tn 6.82
0.325 b 0.418 a 0.467 a 0.477 a 0.441 a
0.567 b 0.882 a 0.938 a 1.054 a 0.984 a
tn 25.22
tn 26.94
Keterangan: Angka yang diikuti oleh huruf yang sama pada kolom yang sama pada masing-masing perlakuan tidak berbeda nyata pada uji DMRT taraf 5%; tn= tidak nyata
Respon bobot benih atau TSS per plot dipengaruhi oleh BAP (R2=0.483) dengan pola pengaruh bersifat kuadratik dimana konsentrasi BAP yang optimum adalah 37.5 ppm untuk menghasilkan bobot TSS sebesar 10.672 g/12 tanaman (Y = -0.00008x2 + 0.006x + 10.56) (Gambar 4A). BAP pada konsentrasi 200 ppm justru menghambat produksi TSS dengan penurunan bobot TSS total per plot sebanyak 27.82%. Pemberian BAP hanya berpengaruh positif terhadap persentase TSS bernas (Tabel 5), dengan peningkatan persentase TSS bernas pada tanaman yang mendapat perlakuan BAP 4 - 5% lebih tinggi dibanding kontrol.
36
A
B
Gambar 4. Kurva respon bobot TSS terhadap konsentrasi BAP (A) dan terhadap dosis boron (B) di dataran tinggi Lembang
A
B
Gambar 5. Produksi TSS per plot dari perlakuan dosis Boron 3 kg/ha (A) dan dari perlakuan kontrol (B) di dataran tinggi Lembang Aplikasi boron meningkatkan jumlah TSS per umbel, bobot TSS per umbel dan bobot TSS per tanaman (Tabel 5), serta bobot TSS per plot (Gambar 4B), tetapi tidak berpengaruh nyata terhadap persentase benih bernas. Semakin tinggi dosis boron semakin tinggi bobot TSS per plot sampai taraf tertentu. Seperti halnya pada perlakuan BAP, Gambar 4B menunjukkan bahwa pola pengaruh boron juga bersifat kuadratik, akan tetapi pengaruh boron terhadap peningkatan bobot TSS per plot sangat kuat (R2 = 0.979), dengan dosis boron optimum adalah 2.9 kg/ha untuk menghasilkan bobot TSS sebesar 11.78 g/12 tanaman (Gambar 5) atau setara dengan 206.15 kg/ha (populasi 210 000 tanaman /ha). Peningkatan hasil yang dicapai pada dosis tersebut sekitar 107.16% dari kontrol. Peningkatan bobot TSS ini disebabkan oleh peningkatan jumlah bunga per umbel, jumlah umbel per tanaman dan jumlah kapsul per umbel (Tabel 2 dan
37
3) yang nyata, yang didukung oleh adanya peningkatan viabilitas dan jumlah serbuk sari (Tabel 4). Menurut Misra dan Patil (1987), boron dapat meningkatkan bobot benih dengan merangsang proses-proses fisologis, terutama proses perkecambahan serbuk sari dan pemanjangan tabung serbuk sari, selama fase reproduksi. Amanullah et al. (2010) menyatakan boron juga terlibat dalam sistem translokasi karbohidrat dalam tanaman termasuk pengisian biji. Pada percobaan di dataran tinggi Lembang, tampak bahwa tanaman bawang merah sangat responsif terhadap pemberian boron. Hal ini disebabkan kandungan boron yang tersedia di dalam tanah andisol Lembang sangat rendah yaitu 0.08 ppm (Laboratorium Pengujian Tanah dan Tanaman Balitsa Lembang 2011). Kandungan boron tanah yang tersedia untuk tanaman yaitu 0.4-5 ppm (Marschner 1995; Kelling 1999). Jenis tanah dengan karakteristik kandungan bahan organik rendah, tekstur tanah berpasir dan kelembaban tanah tinggi umumnya mempunyai ketersediaan boron tanah rendah (Kelling 1999), seperti tanah andisol Lembang. Penambahan boron 1-4 kg/ha pada tanah andisol meningkatkan boron tersedia dalam tanah yaitu rata-rata menjadi 2.06 ppm (Laboratorium Tanah dan Tanaman Balitsa Lembang 2012) yang menunjukkan bahwa penambahan boron sampai dosis 4 kg/ha tidak memberikan pengaruh yang negatif terhadap tanaman bawang merah. Menurut Kelling (1999), umumnya tanaman dapat mengalami keracunan di atas 5 ppm.
Menurut Marschner (1995), aplikasi boron pada tanah yang
kekurangan boron dapat mendorong peningkatan konsentrasi boron di daerah perakaran sehingga menekan auksin akar yang tinggi dan terjadi keseimbangan dengan sitokinin yang mendorong pembelahan sel dalam organ reproduktif. Selain itu menurut Meena (2010), boron yang diserap dalam bentuk BO3- dalam tanah terlibat dalam metabolisme protein, mensintesis kembali adenosin triphosphat (ATP) dan translokasi gula pada tahap perkembangan bunga, biji dan buah.
Mutu TSS Hasil uji F menunjukkan bahwa tidak terjadi interaksi antara BAP dengan boron terhadap mutu TSS. Aplikasi BAP tidak berpengaruh terhadap mutu TSS sebagaimana ditunjukkan oleh bobot 100 butir, daya berkecambah dan potensi
38
tumbuh maksimum (Tabel 6). Hal ini diduga karena aplikasi BAP yang berkaitan dengan pembelahan sel pada jaringan meristematik tunas apikal tanaman bawang merah. Mutu benih yang dihasilkan lebih ditentukan oleh pertumbuhan tanaman induk yang cukup baik karena kondisi lingkungan yang optimum. Daya berkecambah TSS yang dihasilkan dari perlakuan BAP 50 – 100 ppm di atas standar sertifikasi mutu benih (75%) yang ditentukan oleh Direktorat Bina Perbenihan (2007), yaitu mencapai 77.87 – 78.13%.
Data ini menunjukkan
bahwa walaupun konsentrasi BAP tidak berpengaruh terhadap daya berkecambah benih yang dihasilkan, namun BAP 50-100 ppm menghasilkan benih yang memenuhi syarat untuk dipasarkan. Tabel 6. Pengaruh perlakuan BAP dan boron terhadap bobot TSS 100 butir, daya berkecambah, potensi tumbuh maksimum TSS di dataran tinggi Lembang Perlakuan Konsentrasi BAP (ppm) 0 50 100 150 200 rerata Dosis Boron (kg/ha) 0 1 2 3 4 BAP x boron KK (%)
Bobot 100 butir Daya berkecambah (g) (%)
Potensi tumbuh maksimum (%)
0.360 a 0.365 a 0.372 a 0.369 a 0.367 a 0.367
69.54 a 77.87 a 78.13 a 73.30 a 72.80 a 74.49
79.73 a 83.47 a 84.79 a 82.66 a 79.47 a 82.02
0.357 c 0.367 abc 0.372 ab 0.376 a 0.361 bc tn 4.88
62.67 b 74.13 a 78.93 a 78.04 a 77.87 a tn 15.37
76.00 b 81.32 ab 83.99 a 84.27 a 84.53 a tn 10.69
Keterangan: Angka yang diikuti oleh huruf yang sama pada kolom yang sama pada masing-masing perlakuan tidak berbeda nyata pada uji DMRT taraf 5% ; tn= tidak nyata
Aplikasi boron sebanyak 1 – 4 kg/ha meningkatkan bobot 100 butir, daya berkecambah dan potensi tumbuh maksimum (Tabel 6). Boron merupakan unsur mikro esensial yang memiliki peran dasar dalam proses-proses fiologis tanaman seperti meningkatkan peran Ca dalam menjaga integritas struktur dinding sel dan
39
membran plasma, peningkatan pembelahan sel, diferensiasi jaringan dan metabolisme asam nukleat, karbohidrat, protein, fenol dan auksin sehingga dapat meningkatkan viabilitas benih dan persentase seedling normal (Marschner 1995). Dosis boron 3 kg/ha merupakan dosis optimum untuk meningkatkan bobot 100 butir. Pemberian boron 2 – 4 kg/ha meningkatkan daya berkecambah mencapai diatas 77% dan potensi tumbuh maksimum diatas 83%. Hasil ini telah memenuhi persyaratan untuk sertifikasi benih sehingga dapat dipasarkan. Mutu benih yang dicapai dari hasil penelitian ini juga menunjukkan perbaikan yang sangat signifikan dibandingkan hasil penelitian sebelumnya terhadap mutu TSS varietas Bima Brebes dengan daya berkecambah sekitar 14.33-16.33% (Sumarni et al. 2010). Masing-masing perlakuan menghasilkan kecambah yang normal namun kecambah normal yang dihasilkan dari perlakuan BAP maupun boron mempunyai ukuran yang lebih besar daripada kecambah normal pada kontrol (tanpa BAP dan tanpa boron) (Gambar 6). Pada kurun waktu pengecambahan yang sama (satu bulan setelah panen) kecambah normal dari perlakuan BAP atau boron membentuk hipokotil dan akar yang lebih panjang daripada kecambah normal dari kontrol.
Gambar 6. Ukuran kecambah normal pada satu bulan setelah panen dari perlakuan tanpa BAP/tanpa boron (A), pada perlakuan boron (B) dan pada perlakuan BAP (C) di dataran tinggi Lembang Dari hasil dan pembahasan di atas maka dapat disimpulkan bahwa aplikasi BAP mampu meningkatkan pembungaan, viabilitas dan jumlah serbuk sari serta
40
produksi TSS pada konsentrasi yang berbeda-beda. Mutu benih yang tercermin dari bobot 100 butir, daya berkecambah dan potensi tumbuh maksimum tidak dipengaruhi oleh aplikasi BAP. Konsentrasi BAP yang optimum untuk produksi TSS per plot di dataran tinggi Lembang yaitu 37.5 ppm. Aplikasi boron dapat meningkatkan pembentukan bunga dan kapsul, viabilitas dan jumlah serbuk sari, maupun produksi dan mutu TSS. Dosis boron yang optimum untuk produksi TSS di dataran tinggi Lembang yaitu 2.9 kg/ha. Aplikasi BAP 37.5 ppm dan boron 2.9 kg/ha digunakan sebagai perlakuan dasar untuk semua perlakuan pada percobaan 2 dan 3 di dataran tinggi Lembang.
Percobaan 1. Pengaruh BAP dan Boron terhadap Pembungaan, Viabilitas Serbuk Sari dan Produksi serta Mutu Benih Botani (TSS) di Dataran Rendah Subang Pembungaan Seperti di dataran tinggi, hasil uji F di dataran rendah juga menunjukkan tidak terjadi interaksi antara BAP dengan boron baik terhadap pembentukan bunga dan kapsul maupun terhadap viabilitas serbuk sari, produksi dan mutu benih botani bawang merah (TSS). Aplikasi BAP memperlambat pembungaan, sehingga memperpanjang waktu muncul umbel 50% (berkisar antara antara 29.6 – 34.8 HST) dibandingkan kontrol (rata-rata 20.5 HST) (Tabel 7). Hal ini disebabkan karena persentase tanaman berbunga dan jumlah umbel per tanaman meningkat dengan aplikasi BAP dan muncul secara bertahap, sehingga walaupun umbel pertama dari tanaman yang diberi perlakuan BAP dan kontrol muncul bersamaan, akan tetapi 50% tanaman berbunga dicapai pada waktu yang berbeda. Pemberian BAP pada berbagai konsentrasi juga berpengaruh nyata terhadap persentase tanaman berbunga. Pada perlakuan kontrol tanaman yang berbunga hanya 11.67%, sedangkan pada perlakuan BAP 50-200 ppm berkisar antara 28.89 - 39.44% (Tabel 7), meningkat sebesar 147.55 - 237.96%, walaupun diantara perlakuan BAP pada berbagai konsentrasi tidak ada perbedaan yang nyata terhadap persentase tanaman berbunga. Data ini memberi indikasi bahwa semakin tinggi konsentrasi BAP yang diberikan semakin tinggi persentase
41
tanaman yang berbunga. Begitu pula dengan peubah jumlah umbel per tanaman yang meningkat dengan aplikasi BAP tetapi tidak ada perbedaan diantara konsentrasi BAP yang diberikan. Rata-rata diperoleh 0.9 umbel/tanaman dari tanaman kontrol dan 1.2 – 1.5 umbel/tanaman dari tanaman yang diberi perlakuan BAP (Tabel 7). Brewster dan Salter (1980) menyatakan bahwa faktor-faktor yang mempengaruhi pembungaan bawang bombay (Allium sp) antara lain suhu rendah, Tabel 7. Pengaruh perlakuan BAP dan boron terhadap waktu muncul tunas umbel, persentase tanaman berbunga dan jumlah umbel per tanaman bawang merah di dataran rendah Subang Perlakuan Konsentrasi BAP (ppm) 0 50 100 150 200 Dosis Boron (kg/ha) 0 1 2 3 4 Rerata BAP x boron KK (%)
Waktu muncul umbel 50% (HST)
Persentase tanaman berbunga (%)
Jumlah umbel per tanaman
20.5 b 29.6 a 32.3 a 34.3 a 34.8 a
11.67 b 28.89 a 34.44 a 35.00 a 39.44 a
0.9 b 1.3 a 1.3 a 1.2 a 1.5 a
31.5 a 27.9 a 29.7 a 33.1 a 29.3 a 30.3 tn 28.82
31.67 a 33.33 a 29.45 a 27.78 a 27.22 a 29.89 tn 12.83
1.2 a 1.3 a 1.2 a 1.3 a 1.2 a 1.2 tn 10.48
Keterangan: Angka yang diikuti oleh huruf yang sama pada kolom yang sama pada masing-masing perlakuan tidak berbeda nyata pada uji DMRT taraf 5%; tn= tidak nyata
panjang hari, intensitas cahaya, nutrisi, hormon dan vitamin. Rabinowitch (1990) menyatakan bahwa bawang genus Allium membutuhkan suhu 7-12 0C untuk terjadinya bolting dan 17-19 0C untuk perkembangan umbel dan mekar bunga. Dalam penelitian ini vernalisasi pada suhu 100 C selama 4 minggu menghasilkan 11.67 % tanaman berbunga di dataran rendah Subang, lebih rendah daripada di dataran tinggi yang mencapai 91.11% (Tabel 2). Pada suhu lingkungan yang tinggi di dataran rendah Subang (rata-rata suhu 25.84-28.81 0C) (Lampiran 6), meristem apikal yang telah terinduksi sebagian diduga mengalami devernalisasi
42
sehingga tidak semua tanaman berbunga (Khokhar 2009 dan Badawi et al. 2010). Menurut Amanullah et al. (2010), 6-Benzyladenin (6-Benzyl amino purine) merupakan sitokinin sintetik yang paling aktif pada berbagai proses fisiologis tanaman seperti pembelahan sel, pembesaran sel, diferensiasi jaringan dan perkembangan fase pembungaan. Pemberian BAP dalam penelitian ini diduga mampu mengurangi laju devernalisasi, sehingga tanaman menghasilkan tunas umbel yang lebih banyak. Aplikasi BAP juga berpengaruh terhadap perkembangan jumlah bunga per umbel, namun tidak ada perbedaan diantara berbagai konsentrasi yang dicobakan. Jumlah bunga per umbel pada perlakuan kontrol adalah 59.6 bunga, sedangkan pada perlakuan BAP 50-100 ppm lebih tinggi daripada kontrol yaitu sekitar 89.9105.0 bunga per umbel (Tabel 8). Aplikasi BAP hanya berpengaruh terhadap pembungaan bawang merah, tetapi tidak terhadap pembentukan kapsul sebagaimana ditunjukkan oleh jumlah kapsul per umbel dan persentase pembentukan kapsul. Hasil ini serupa dengan hasil di dataran tinggi (Tabel 3), yang menunjukkan persentase pembentukan kapsul per umbel konstan, sehingga diduga dikendalikan oleh tanaman induk. Suhu lingkungan yang tinggi diduga mengurangi respon tanaman terhadap aktivitas BAP sehingga persentase pembentukan kapsul per umbel di dataran rendah Subang lebih rendah daripada di dataran tinggi Lembang. Boron tidak berpengaruh terhadap pembentukan bunga maupun kapsul, seperti terlihat pada kecepatan muncul tunas umbel, persentase tanaman berbunga, jumlah umbel per tanaman, jumlah bunga per umbel maupun jumlah kapsul dan persentase pembentukan kapsul (Tabel 7 dan 8). Hal ini diduga karena ketersediaan boron di dalam tanah telah mencukupi kebutuhan tanaman. Hasil pengujian kandungan boron tanah yang dilakukan di Laboratorium Tanah dan Tanaman Balitsa menunjukkan bahwa tanah latosol Subang mengandung 0.43 ppm boron.
Menurut Marschner (1995) kandungan boron di dalam tanah
sebanyak 0.4 – 5 ppm memenuhi kriteria tersedia untuk tanaman.
43
Tabel 8. Pengaruh perlakuan BAP dan boron terhadap jumlah bunga per umbel, jumlah kapsul per umbel dan persentase pembentukan kapsul bawang merah di dataran rendah Subang Perlakuan Konsentrasi BAP (ppm) 0 50 100 150 200 rerata Dosis Boron (kg/ha) 0 1 2 3 4 rerata BAP x boron KK (%)
Jumlah bunga per umbel
Jumlah kapsul per umbel
Pembentukan kapsul (%)
59.6 b 105.0 a 90.7 a 100.0 a 89.9 a
25.9 a 35.3 a 30.3 a 37.2 a 35.2 a 32.8
31.67 a 38.62 a 40.09 a 36.01 a 41.79 a 37.62
85.8 a 88.1 a 85.1 a 94.2 a 92.0 a 89.2 tn 28.64
31.5 a 29.9 a 28.4 a 35.7 a 38.4 a 32.8 tn 33.81
36.97 a 35.57 a 32.79 a 41.70 a 41.16 a 37.62 tn 15.96
Keterangan: Angka yang diikuti oleh huruf yang sama pada kolom yang sama pada masing-masing perlakuan tidak berbeda nyata pada uji DMRT taraf 5%; tn= tidak nyata
Viabilitas dan Jumlah Serbuk Sari Pengamatan serbuk sari dilakukan enam jam setelah bunga mekar dengan ciri antera sudah berwarna hijau tua sebelum menjadi berwarna hitam dan pecah. Suhu lingkungan yang tinggi di dataran rendah Subang mempercepat perkembangan bunga sehingga kematangan antera lebih cepat (sekitar 6 jam setelah antesis) dibandingkan dengan di dataran tinggi Lembang (22-26 jam setelah antesis). Viabilitas serbuk sari dipengaruhi oleh aplikasi BAP pada konsentrasi tinggi (200 ppm) (Tabel 9). Peningkatan viabilitas serbuk sari terjadi pada BAP konsentrasi 200 ppm, sebesar 2.33%, dibandingkan perlakuan kontrol sebesar 1.57%. BAP tidak berpengaruh nyata terhadap jumlah serbuk sari per antera. Rata-rata jumlah serbuk sari pada setiap perlakuan adalah 817.1 serbuk sari per antera. Seperti pada BAP, boron hanya berpengaruh nyata terhadap viabilitas serbuk sari tetapi tidak berpengaruh terhadap jumlah serbuk sari per antera (Tabel
44
9). Pemberian boron meningkatkan viabilitas serbuk sari. Pada perlakuan tanpa boron viabilitas serbuk sari sekitar 1.40%, dan meningkat dengan aplikasi boron 1- 4 kg/ha. Pada dosis boron yang tinggi (4 kg/ha), peningkatan viabilitas serbuk sari mencapai 73.57%. Viabilitas serbuk sari yang rendah di dataran rendah Subang diduga menjadi salah satu faktor pembatas persentase pembentukan kapsul per umbel, yang lebih rendah dibandingkan dengan di dataran tinggi Lembang (Tabel 3). Menurut Shivanna dan Sawhney (1997) selain viabilitas serbuk sari, jumlah serbuk sari per antera dapat berpengaruh terhadap pembentukan kapsul dan biji. Pada percobaan ini, jumlah serbuk sari per antera tidak dipengaruhi oleh aplikasi boron. Rata-rata jumlah serbuk sari dari semua perlakuan adalah 817.1 serbuk sari per antera. Tabel 9. Pengaruh perlakuan BAP dan boron terhadap viabilitas dan jumlah serbuk sari bawang merah di dataran rendah Subang Perlakuan
Viabilitas serbuk sari (%)
Jumlah serbuk sari per antera
1.57 b 1.77 b 2.00 ab 1.90 ab 2.33 a
813.1 a 830.1 a 829.4 a 824.8 a 788.3 a 817.1
1.40 c 1.77 bc 2.17 ab 1.80 bc 2.43 a
779.2 a 799.1 a 832.7 a 829.9 a 852.0 a 817.1 tn 15.33
Konsentrasi BAP (ppm) 0 50 100 150 200 rerata Dosis Boron (kg/ha) 0 1 2 3 4 rerata BAP x Boron KK (%)
tn 14.94
Keterangan: Angka yang diikuti oleh huruf yang sama pada kolom yang sama pada masing-masing perlakuan tidak berbeda nyata pada uji DMRT taraf 5% ; tn= tidak nyata
Produksi TSS Aplikasi BAP berpengaruh nyata terhadap jumlah TSS botani bawang (TSS) per umbel dan persentase TSS bernas (Tabel 10). Peningkatan konsentrasi
45
Tabel 10. Pengaruh perlakuan BAP dan boron terhadap jumlah benih per umbel, persentase TSS bernas, bobot TSS per umbel, bobot TSS per tanaman dan bobot TSS per plot di dataran rendah Subang Perlakuan
Jumlah TSS per umbel Konsentrasi BAP (ppm) 0 69.7 abc 50 100.1 a 100 69.6 abc 150 52.2 c 200 85.7 ab rerata
Persentase TSS bernas (%)
Bobot TSS per umbel (g)
Bobot TSS per tanaman (g)
Bobot TSS per plot (g/12 tanaman)
54.15 b 81.75 a 79.47 a 52.04 b 77.58 a
0.337 a 0.410 a 0.300 a 0.267 a 0.299 a 0.323
0.481 a 0.525 a 0.383 a 0.319 a 0.451 a 0.432
0.994 a 1.131 a 1.053 a 1.240 a 1.271 a 1.138
68.12 a 78.28 a 61.27 a 66.85 a 70.47 a 68.99
0.331 a 0.311 a 0.323 a 0.299 a 0.340 a 0.323
0.394 a 0.441 a 0.443 a 0.431 a 0.449 a 0.432
1.309 a 1.049 a 0.940 a 1.052 a 1.340 a 1.138
Dosis Boron (kg/ha) 0 1 2 3 4 rerata
79.9 a 79.9 a 61.1 a 77.6 a 78.7 a 75.5
BAP x boron tn tn tn tn tn KK (%) 21.07 29.95* 8.29 10.19 18.34 Keterangan: Angka yang diikuti oleh huruf yang sama pada kolom yang sama pada masing-masing perlakuan tidak berbeda nyata pada uji DMRT taraf 5%; tn= tidak nyata;*transformasi√x+1
BAP terhadap jumlah TSS bernas per umbel yang dihasilkan tidak konsisten. BAP pada konsentrasi 50 dan 200 ppm BAP meningkatkan jumlah TSS bernas, sedangkan pada konsentrasi 150 ppm cenderung menurunkan jumlah TSS bernas per umbel.
Hasil serupa juga terjadi pada persentase benih TSS per umbel.
Aplikasi BAP umumnya meningkatkan persentase jumlah TSS bernas per umbel kecuali BAP konsentrasi 150 ppm.
Peningkatan jumlah TSS bernas pada
perlakuan BAP 50, 100 dan 200 ppm adalah sekitar 23.43 – 27.6% dari kontrol tetapi peningkatan tersebut tidak meningkatkan bobot TSS bernas per umbel, per tanaman maupun per plot. Rata-rata bobot TSS per umbel pada setiap perlakuan adalah 0.323 g, sedangkan rata-rata bobot TSS per tanaman sekitar 0.432 g. Jumlah umbel per tanaman yang hanya sekitar 1.2 umbel menyebabkan bobot TSS per umbel hampir sama dengan bobot benih per tanaman. Jumlah umbel yang dipanen per plot juga sangat rendah yaitu rata-rata 3.5 umbel per plot. Hal ini juga yang menyebabkan bobot TSS per plot sangat rendah.
Selain tingkat
46
pembungaannya rendah, juga umbel yang berkembang sebagian terkena penyakit bercak ungu yang disebabkan oleh cendawan Alternaria porri, yang dipicu oleh suhu udara dan kelembaban tinggi.
Tangkai umbel yang terserang penyakit
bercak ungu berwarna coklat-hitam sehingga bunga tidak dapat berkembang menjadi kapsul karena aliran nutrisi terhambat. Aplikasi boron tidak berpengaruh nyata terhadap produksi TSS (Tabel 10) di dataran rendah Subang dengan jenis tanah latosol. Hal ini disebabkan karena boron tanah dapat memenuhi kebutuhan tanaman sehingga penambahan boron tidak mampu memperbaiki produksi benih TSS. Namun penambahan boron sampai dosis 4 kg/ha juga tidak sampai menjadi racun bagi tanaman, seperti yang tercermin dari produksi TSS sampai dosis 4 kg boron/ha yang memberikan hasil yang tidak menurun dari kontrol meskipun kandungan boron tanah setelah diberi pupuk boron meningkat hingga rata-rata 2,81 ppm (Laboratorium Tanah dan Tanaman Balitsa Lembang 2012).
Mutu TSS Tabel 11 menunjukkan bahwa perlakuan BAP tidak berpengaruh nyata terhadap bobot benih 100 butir, daya berkecambah dan potensi tumbuh maksimum. Rata-rata bobot 100 butir, daya berkecambah dan potensi tumbuh maksimum pada semua perlakuan berturut-turut adalah 0.395 g, 75.44% dan 80.32%. Rata-rata daya berkecambah pada semua perlakuan diatas 75%, yang merupakan standar sertifikasi mutu benih bawang merah berdasarkan Direktorat Bina Perbenihan (2007). Aplikasi boron juga tidak berpengaruh nyata terhadap bobot benih 100 butir, daya berkecambah maupun potensi tumbuh maksimum. Berdasarkan hasil percobaan ini dapat disimpulkan bahwa pemberian BAP dan boron pada tanaman bawang merah di dataran rendah Subang tidak mampu meningkatkan produksi dan mutu benih TSS.
Aplikasi BAP hanya mampu
meningkatkan pembungaan dan viabilitas serbuk sari bawang merah. Aplikasi BAP konsentrasi 50 ppm cukup memadai untuk meningkatkan pembungaan bawang merah di dataran rendah Subang, yang selanjutnya menjadi perlakuan dasar untuk Percobaan 2 dan 3 di lokasi yang sama. Sementara boron tidak dapat dijadikan perlakuan dasar untuk percobaan selanjutnya karena tidak mampu
47
memperbaiki tingkat pembungaan maupun produksi dan mutu benih TSS. Boron hanya mampu memperbaiki viabilitas serbuk sari bawang merah saja. Tabel 11. Pengaruh perlakuan BAP dan boron terhadap bobot TSS 100 butir, daya berkecambah, potensi tumbuh maksimum TSS di dataran rendah Subang Perlakuan
Bobot 100 butir Daya berkecambah (g) (%)
Konsentrasi BAP (ppm) 0 50 100 150 200 rerata Dosis Boron (kg/ha) 0 1 2 3 4 rerata BAP x boron KK (%)
Potensi tumbuh maksimum (%)
0.402 a 0.405 a 0.384 a 0.395 a 0.391 a 0.395
79.40 a 74.40 a 71.00 a 77.00 a 75.40 a 75.44
83.00 a 79.20 a 76.80 a 82.20 a 80.40 a 80.32
0.391 a 0.404 a 0.395 a 0.395 a 0.392 a 0.395 tn 7.03
76.60 a 73.80 a 78.40 a 73.20 a 75.20 a 75.44 tn 11.93
80.60 a 78.40 a 81.80 a 79.40 a 81.40 a 80.32 tn 10.18
Keterangan: Angka yang diikuti oleh huruf yang sama pada kolom yang sama pada masing-masing perlakuan tidak berbeda nyata pada uji DMRT taraf 5%; tn= tidak nyata
Produksi dan Mutu TSS di Dua Lokasi Produksi TSS sangat dipengaruhi oleh faktor ketinggian tempat. Ketinggian tempat berkaitan dengan kondisi cuaca yang mendukung untuk inisiasi pembungaan dan perkembangan umbel. Dataran tinggi merupakan daerah agroekosistem yang mempunyai suhu rendah yang cocok untuk mendukung terjadinya pembungaan tanaman. Menurut Rabinowitch (1990) bawang merah memerlukan suhu rendah 7-120 C untuk inisiasi pembungaannya dan suhu 17-190 C untuk perkembangan umbel dan mekar bunga. Inisiasi pembungaan (bolting) pada bawang sangat penting untuk produksi biji.
Di Indonesia, kondisi
lingkungan dengan rata-rata suhu udara yang tinggi (> 180 C) menjadi salah satu penyebab rendahnya tingkat pembungaan bawang merah. Pembungaan yang
48
A
B
Gambar 7. Pembungaan bawang merah di dataran tinggi (A) dan dataran rendah (B) tinggi menyebabkan peluang tanaman untuk menghasilkan benih menjadi lebih tinggi (Gambar 7). Umumnya hasil penelitian pada percobaan ini menunjukkan bahwa produksi TSS di dataran tinggi Lembang (1250 m dpl) dengan suhu 13-260 C lebih tinggi dibanding di dataran rendah Subang (100 m dpl) dengan suhu 21300 C sebagaimana ditunjukkan oleh bobot TSS per plot pada Percobaan 1 (Gambar 8A). Produksi TSS di dataran tinggi rata-rata per plot mencapai 8.12 g/12 tanaman, sedangkan di dataran rendah hanya mencapai 1.02 g/12 tanaman atau produksi benih di dataran tinggi 8 kali lipat produksi di dataran rendah. Hasil ini setara 142.10 kg/ha (populasi 210 000 tanaman/ha) di dataran tinggi Lembang, dan 19.47 kg/ha di dataran rendah Subang (populasi 210 000 tanaman/ha). Hal ini disebabkan karena tingkat pembungaan yang tinggi di dataran tinggi (Tabel 2 dan 3) jauh di atas pembungaan di dataran rendah (Tabel 7 dan 8), sebagaimana tercermin dari peubah jumlah tanaman berbunga, jumlah umbel per tanaman dan jumlah bunga per umbel. Tanaman bawang merah yang berbunga di dataran tinggi rata-rata mencapai 93.44% jauh di atas jumlah tanaman yang berbunga di dataran rendah yang hanya 29.89%. Jumlah umbel per tanaman di dataran tinggi yang mencapai 3.36 umbel juga berkontribusi terhadap produksi TSS yang tinggi dibandingkan dengan di dataran rendah yang hanya menghasilkan 1.3 umbel per tanaman. Produksi bunga per umbel di dataran tinggi (Tabel 2) yaitu 40% lebih tinggi daripada di dataran rendah (Tabel 8) sehingga peluang bunga menjadi kapsul yang berisi benih menjadi lebih tinggi.
Namun demikian dari hasil
49
percobaan ini ada indikasi bahwa di dataran rendah terbuka peluang untuk peningkatan pembungaan tanaman bawang merah yang dapat meningkatkan produksi TSS. Hasil percobaan di dataran tinggi ini juga menghasilkan tingkat pembungaan dan produksi TSS yang jauh lebih tinggi daripada hasil-hasil penelitian sebelumnya. Hasil-hasil penelitian tentang pembungaan dan produksi TSS di dataran tinggi yang dilaporkan oleh Satjadipura (1990), Sumarni dan Soetiarso (1998), Sumarni dan Sumiati (2001), Rosliani et al. (2005), Sumarni et al. (2009), Sumarni et al. (2010), dan Sumarni et al. (2011) menunjukkan bahwa rata-rata tingkat pembungaan yang lebih rendah < 50% dengan rata-rata jumlah umbel < 1.5 per tanaman yang menghasilkan TSS setara +30 kg/ha.
Gambar 8. Perbandingan bobot TSS per plot (A), bobot 100 butir (B) dan daya berkecambah TSS (C) di dataran tinggi dan dataran rendah Pengaruh ketinggian tempat terhadap bobot benih 100 butir menunjukkan bahwa bobot benih 100 butir di dataran rendah (0.398 g) lebih tinggi daripada di dataran tinggi (0.368 g) (Gambar 8B). Artinya bahwa benih yang diproduksi di dataran rendah lebih bernas atau secara fisik lebih baik daripada yang diproduksi di dataran tinggi. Hal ini sesuai dengan hasil penelitian sebelumnya yang dilakukan oleh Sumarni et al. (2009), bahwa ada indikasi dataran rendah dengan suhu yang tinggi cocok untuk pembentukan kapsul dan biji. Rabinowitch (1990b) melaporkan bahwa untuk pembentukan kapsul dan biji bawang-bawangan genus Allium suhu yang dibutuhkan adalah 350 C sedangkan Putrasamedja (1995b) melaporkan bahwa untuk pengisian biji bawang merah lebih cocok di daerah yang bersuhu sekitar 250 C, yang berada di ketinggian tempat kurang dari 700 m dpl. Namun benih TSS asal dataran tinggi mempunyai daya berkecambah yang lebih
50
tinggi daripada TSS asal dataran rendah (Gambar 8C). Daya berkecambah yang lebih tinggi di dataran tinggi disebabkan penanaman di dataran tinggi dilakukan pada musim kemarau, sedangkan di dataran rendah dilakukan pada musim hujan yang dilakukan untuk mengatasi kerontokan bunga akibat cuaca yang sangat panas. Pembentukan kapsul dan benih yang terjadi pada kondisi kering tidak banyak hujan menyebabkan benih yang dipanen memiliki viabilitas benih yang baik.
Percobaan 2. Sistem Perkawinan Bawang Merah terhadap Produksi dan Mutu Benih Botani (TSS) di Dataran Tinggi Lembang Pada percobaan ini perlakuan penyerbukan sendiri dan silang dilakukan pada tanaman yang sama, dan dari hasil seleksi diperoleh tanaman yang cukup seragam. Dari 46 umbel untuk penyerbukan sendiri hanya 22 umbel (47.83 %) yang membentuk kapsul, sedangkan pada penyerbukan silang 32 umbel (69.57%) mampu membentuk kapsul. Pada umbel yang tidak berkembang menjadi kapsul umumnya seluruh bunga menjadi layu diduga karena tidak terjadi fertilisasi. Tabel 12. Pengaruh sistem perkawinan bawang merah terhadap jumlah kapsul dan persentase pembentukan kapsul per umbel di dataran tinggi Lembang Perlakuan Penyerbukan sendiri Penyerbukan silang
Jumlah bunga per umbel 134.8 a 136.8 a
Jumlah kapsul per umbel 6.4 b 20.6 a
Pembentukan kapsul (%) 6.7 b 14.8 a
Keterangan: Angka yang diikuti oleh huruf yang sama pada kolom yang sama pada masing-masing perlakuan tidak berbeda nyata pada uji t taraf 5%
Pada perlakuan penyerbukan sendiri, rata-rata persentase pembentukan kapsul per umbel hanya 6.7% atau dari 134.8 bunga per umbel terdapat 6.4 bunga yang menjadi kapsul (Tabel 12).
Hasil percobaan ini menunjukkan bahwa
pembentukan kapsul bawang merah melalui penyerbukan sendiri masih terjadi, meskipun dengan persentase yang sangat rendah. Menurut Williams dan Free (1993) tanaman bawang bombay adalah self-compatible, sehingga penyerbukan sendiri dapat menghasilkan biji. Namun Chandel et al. (2004) melaporkan bahwa penyerbukan silang merupakan penyerbukan yang umum terjadi pada bawang
51
grup Agregatum dan menghasilkan pembentukan biji yang lebih tinggi. Penyerbukan silang terjadi jika serbuk sari diperoleh dari umbel lain dari tanaman yang sama atau tanaman berbeda (Zdzislaw et al. 2004). Jumlah kapsul per umbel dan persentase pembentukan kapsul dari penyerbukan silang lebih tinggi daripada penyerbukan sendiri. Namun demikian, penyerbukan silang dengan tangan (hand crossed-pollination) menghasilkan persentase pembentukan kapsul yang cukup rendah. Dari rata-rata 136.8 bunga per umbel, hanya 14.8 % atau sekitar 20.6 bunga yang berkembang membentuk kapsul. Rendahnya pembentukan kapsul dari penyerbukan silang tanaman bawang merah diduga disebabkan emaskulasi antera menimbulkan pelukaan pada bunga sehingga menurunkan vigor bunga dan mempengaruhi proses fertilisasi, yang pada akhirnya mempengaruhi pembentukan kapsul. Data pada Tabel 13 menunjukkan bahwa rata-rata jumlah TSS bernas per umbel hanya 9.5 benih dengan bobot 0.029 g dari penyerbukan sendiri. Dari total jumlah TSS yang terbentuk hanya 29.45% yang merupakan benih bernas. Data ini menunjukkan bahwa produksi TSS dari penyerbukan sendiri sangat rendah. Produksi TSS dari penyerbukan silang lebih tinggi daripada penyerbukan sendiri. Penyerbukan silang menghasilkan jumlah TSS bernas per umbel rata-rata 33.1 biji dengan bobot 0.08 g dan dengan persentase benih bernas per umbel sebesar 41.93%. Produksi TSS yang diperoleh dari hasil penyerbukan silang dengan bantuan tangan pada percobaan ini sangat rendah, seperti yang diperoleh Rao dan Suryanaraya (1989) dan Chandel et al. (2004) yang meneliti bawang bombay. Namun Oz et al. (2009) melaporkan sebaliknya bahwa penyerbukan silang dengan bantuan tangan menghasilkan produksi benih yang lebih tinggi (226%) dibandingkan dengan penyerbukan terbuka maupun dengan bantuan serangga penyerbuk. Bobot TSS per umbel yang sangat rendah (0.08 g) dari percobaan ini diduga disebabkan oleh waktu pengambilan serbuk sari untuk penyerbukan yang kurang tepat. Berdasarkan pengamatan di lapangan diduga serbuk sari masak atau antera pecah pukul 09.00 – 12.00 pada saat cuaca cerah. Viabilitas serbuk sari cepat menurun pada suhu tinggi sehingga ada kemungkinan sewaktu digunakan untuk penyerbukan viabilitasnya sudah menurun. Kelembaban udara yang tinggi menyebabkan banyak bunga yang terkena embun bulu oleh cendawan
52
Peronospora destructor akibat adanya pelukaan pada stamen karena emaskulasi antera. Penyerbukan silang dengan tangan dilakukan pada bulan April dan Mei dengan curah hujan berkisar 201.5-297.5 mm/bulan dan RH 86.75-87.35% yang optimum untuk pertumbuhan cendawan Peronospora destructor, menyebabkan bunga yang diserbuk silang berwarna hitam. Keadaan ini berbeda dengan umbel yang diserbuk sendiri tanpa emaskulasi sehingga umbel tidak terserang cendawan Peronospora destructor, akan tetapi sebagian besar bunga layu dan kecoklatan karena tidak terjadi fertilisasi. Penyakit lain yang banyak menyerang tanaman bawang merah pada kondisi cuaca tersebut adalah penyakit bercak ungu (trotol) yang disebabkan oleh cendawan
Alternaria
porri
dan
penyakit
antraknosa
oleh
cendawan
Colletrotichum sp. Serangan penyakit cepat menyebar terutama jika ada pelukaan pada bagian tanaman. Penyakit embun bulu menyerang pada umbel, sedangkan tangkai umbelnya banyak terserang penyakit bercak ungu dan antraknose, terutama pada perlakuan penyerbukan silang yang disebabkan karena penyebaran penyakit melalui tangan dari satu tangkai ke tangkai umbel lainnya. Tabel 13. Pengaruh sistem perkawinan bawang merah terhadap jumlah TSS per umbel, persentase TSS bernas dan bobot TSS per umbel di dataran tinggi Lembang Perlakuan/ Penyerbukan sendiri Penyerbukan silang
Jumlah TSS per umbel 9.5 b 33.1 a
Persentase TSS bernas 29.45 b 41.93 a
Bobot TSS per umbel (g) 0.029 b 0.080 a
Keterangan: Angka yang diikuti oleh huruf yang sama pada kolom yang sama pada masing-masing perlakuan tidak berbeda nyata pada uji t taraf 5%
Hasil uji t menunjukkan bahwa mutu TSS yang ditunjukkan oleh bobot benih 100 butir, daya berkecambah dan potensi tumbuh maksimum tidak berbeda nyata antara perlakuan penyerbukan sendiri dengan penyerbukan silang (Tabel 14). Namun ada indikasi bahwa benih dari penyerbukan silang mempunyai daya berkecambah dan potensi tumbuh maksimum lebih tinggi dibandingkan dengan benih dari penyerbukan sendiri.
53
Tabel 14. Pengaruh sistem perkawinan bawang merah terhadap mutu TSS di dataran tinggi Lembang Perlakuan Penyerbukan sendiri Penyerbukan silang
Bobot 100 butir (g) 0.240 a 0.250 a
Daya berkecambah (%) 49.71 a 60.00 a
Potensi tumbuh maksimum (%) 53.43 a 65.71 a
Keterangan: Angka yang diikuti oleh huruf yang sama pada kolom yang sama pada masing-masing perlakuan tidak berbeda nyata pada uji t taraf 5%
Percobaan 2. Sistem Perkawinan Bawang Merah terhadap Produksi dan Mutu Benih Botani (TSS) di Dataran Rendah Subang Percobaan 2 di dataran rendah Subang menghasilkan tingkat pembungaan bawang merah yang rendah sehingga pengambilan sampel sangat terbatas. Dari 150 tanaman hanya 10 tanaman dapat dijadikan sampel yang mempunyai jumlah umbel memadai untuk penyerbukan sendiri dan penyerbukan silang dalam satu tanaman. Meskipun demikian rata-rata jumlah bunga per umbel untuk penyerbukan sendiri lebih tinggi daripada yang digunakan untuk penyerbukan silang (Tabel 15).
Hasil uji t menunjukkan bahwa penyerbukan sendiri
menghasilkan jumlah kapsul per umbel dan persentase pembentukan kapsul yang sama dengan penyerbukan silang, meskipun jumlah bunga per umbel yang digunakan dalam penyerbukan sendiri lebih tinggi daripada penyerbukan silang. Tabel 15. Pengaruh sistem perkawinan bawang merah terhadap jumlah kapsul dan persentase pembentukan kapsul per umbel di dataran rendah Subang Perlakuan Penyerbukan sendiri Penyerbukan silang
Jumlah bunga per umbel 97.1 a 79.6 b
Jumlah kapsul per umbel 10.9 a 12.4 a
Pembentukan kapsul (%) 11.55 a 16.19 a
Keterangan: Angka yang diikuti oleh huruf yang sama pada kolom yang sama pada masing-masing perlakuan tidak berbeda nyata pada uji t taraf 5%
Antara penyerbukan silang dan penyerbukan sendiri juga tidak ada perbedaan yang nyata terhadap jumlah TSS, bobot TSS maupun persentase TSS bernas per umbel (Tabel 16). Hal ini menunjukkan bahwa penyerbukan sendiri dan penyerbukan silang tidak berpengaruh terhadap produksi TSS. Keberhasilan
54
penyerbukan silang salah satunya dipengaruhi oleh ketepatan tingkat kematangan serbuk sari yang akan diserbukkan ke stigma yang reseptif. Pembentukan kapsul dan biji yang rendah dapat disebabkan oleh waktu penyerbukan yang tidak tepat antara serbuk sari yang matang dengan stigma reseptif, yang akan berpengaruh terhadap mutu TSS (Tabel 17). Hal ini terlihat pada daya berkecambah dari penyerbukan silang yang lebih rendah daripada penyerbukan sendiri. Daya berkecambah pada penyerbukan sendiri memenuhi persyaratan benih bermutu >75%), sedangkan dari penyerbukan silang diperoleh TSS dengan daya berkecambah 66.67%, yang tidak memenuhi persyaratan benih bermutu. Bobot benih 100 butir dan potensi tumbuh maksimum antara kedua sistem perkawinan juga tidak berbeda nyata.
Tabel 16. Pengaruh sistem perkawinan bawang merah terhadap jumlah TSS per umbel, persentase TSS bernas dan bobot TSS per umbel di dataran rendah Subang Perlakuan Penyerbukan sendiri Penyerbukan silang
Jumlah TSS per umbel 14.2 a 18.8 a
Persentase TSS bernas 75.94 a 79.66 a
Bobot TSS per umbel (g) 0.060 a 0.070 a
Keterangan: Angka yang diikuti oleh huruf yang sama pada kolom yang sama pada masing-masing perlakuan tidak berbeda nyata pada uji t taraf 5%
Tabel 17. Pengaruh sistem perkawinan bawang merah terhadap mutu TSS di dataran rendah Subang Perlakuan Penyerbukan sendiri Penyerbukan silang
Bobot 100 butir (g) 0.350 a 0.310 a
Daya berkecambah (%) 76.67 a 66.67 b
Potensi tumbuh maksimum (%) 80.00 a 74.00 a
Keterangan: Angka yang diikuti oleh huruf yang sama pada kolom yang sama pada masing-masing perlakuan tidak berbeda nyata pada uji t taraf 5%
Dari hasil percobaan di atas diketahui bahwa di dataran tinggi Lembang penyerbukan silang menghasilkan produksi TSS yang lebih tinggi daripada penyerbukan sendiri, walaupun mutu TSS yang dihasilkan tidak berbeda nyata (Tabel 13 dan 14). Sementara di dataran rendah Subang penyerbukan sendiri dan silang menghasilkan produksi TSS yang tidak berbeda nyata (Tabel 16 dan 17),
55
akan tetapi daya berkecambah TSS dari penyerbukan sendiri lebih tinggi daripada penyerbukan silang. Data ini menegaskan hasil percobaan sebelumnya bahwa kondisi lingkungan dataran rendah cukup optimum untuk pemasakan kapsul. Selain itu hasil ini juga memberikan indikasi pentingnya peran polinator dalam meningkatkan produksi TSS terutama di dataran tinggi, sementara di dataran rendah upaya peningkatan pembungaan bawang merah masih diperlukan.
Percobaan 3. Peran Serangga Penyerbuk dalam Meningkatkan Produksi dan Mutu Benih Botani (TSS) dengan di Dataran Tinggi Lembang Pembentukan Kapsul Pengamatan jumlah bunga per umbel dilakukan sebelum pelepasan serangga penyerbuk ke dalam kerodong kain kasa. Rerata jumlah bunga per umbel adalah 172.7 bunga (Tabel 18). Serangga penyerbuk yang digunakan ada empat jenis yaitu lebah madu introduksi Apis mellifera, lebah madu lokal Apis cerana, lebah hutan Trigona sp. dan lalat hijau Lucilia sp dan penyerbukan terbuka sebagai control. Hasil pengamatan pada penyerbukan terbuka diketahui bahwa serangga penyerbuk yang mengunjungi bunga bawang merah antara lain tabu-tabuan, lebah besar, lalat hijau, lalat kecil, semut dan kupu-kupu (Gambar 9). Umumnya serangga tersebut mengunjungi bunga bawang pada cuaca cerah antara pukul 09.00 - 12.00, tetapi pada saat cuaca mendung atau hujan hanya lalat yang masih mengunjungi bunga bawang merah. Serangga penyerbuk berperan nyata dalam pembentukan kapsul per umbel (Gambar 10 dan Tabel 18). Lebah madu A. cerana merupakan penyerbuk yang paling efektif diantara penyerbuk lainnya dalam menghasilkan kapsul bawang merah. Jumlah kapsul bernas per umbel yang terbentuk dengan bantuan A. cerana tidak berbeda nyata dengan A. mellifera dan penyerbukan terbuka, berkisar antara 56.6-66.5 buah/umbel, dan proporsi bunga menjadi kapsul (persentase pembentukan kapsul bernas per umbel) berkisar antara 33.45-38.74%. Persentase kapsul bernas per umbel yang dihasilkan pada perlakuan A. cerana lebih tinggi jika dibandingkan dengan Trigona sp. dan Lucilia sp.
56
Gambar 9. Berbagai jenis serangga penyerbuk pada perlakuan penyerbukan terbuka: lebah, kupu-kupu, semut, lalat, dan tabu-tabuan, di dataran tinggi Lembang Kapsul yang terbentuk dalam satu umbel baik pada perlakuan serangga penyerbuk maupun pada perlakuan penyerbukan terbuka terdiri atas kapsul bernas dan kapsul hampa.
Kapsul bernas berwarna hijau (Gambar 10) mempunyai
ukuran yang besar dengan tiga lokul yang membengkak yang berisi biji (bernas atau hampa), sedangkan kapsul yang hampa berwarna coklat dengan ukuran lebih kecil dan tidak beruang (tidak berbiji). Persentase pembentukan kapsul bernas per umbel dari Trigona sp. dan Lucilia sp. rendah yaitu masing-masing 14.15% dan 23.40% (Tabel 18). Hasil penelitian Rao dan Suryanaraya (1989) melaporkan bahwa tanpa bantuan serangga penyerbuk atau ketidaktersediaan penyerbuk efektif selama periode pembungaan, penyerbukan silang pada bawang bombay hanya menghasilkan pembentukan kapsul bernas sebesar 17%.
57
Tabel 18. Jumlah kapsul bernas per umbel dan persentase pembentukan kapsul per umbel pada perlakuan serangga penyerbuk di dataran tinggi Lembang Perlakuan Apis mellifera (Lebah madu) Apis cerana (Lebah madu) Trigona sp. (Lebah hutan) Lucilia sp. (Lalat Hijau) Penyerbukan terbuka Rerata KK (%)
Jumlah bunga per umbel 170.0 a
Jumlah kapsul bernas per umbel 56.6 a
Pembentukan kapsul bernas per umbel (%) 33.45 ab
176.1 a
66.5 a
38.74 a
179.0 a
25.3 c
14.15 c
168.6 a
39.7 b
23.40 bc
169.9 a
57.7 a
34.53 ab
172.7 10.11
14.88
21.90
Keterangan: Angka yang diikuti oleh huruf yang sama pada kolom yang sama pada masing-masing perlakuan tidak berbeda nyata pada uji Tukey taraf 5%; transformasi √(x+1)
Gambar 10. Kapsul bawang merah yang terbentuk dari penyerbukan dengan bantuan A. mellifera (A), A. cerana (B), Trigona sp. (C), Lucilia sp. (D), penyerbukan terbuka (E) di dataran tinggi Lembang . Perilaku A. cerana dalam menyerbuki bunga bawang merah berbeda dengan penyerbuk lainnya, termasuk A. mellifera yang sama-sama lebah madu. A. cerana umumnya lebih lama mengunjungi bunga dan aktif bergerak mengitari seluruh bunga dalam satu umbel. Lebah madu tersebut biasanya bergerombol 3-6
58
ekor pada satu umbel dari pukul 9.00 – 13.00 pada saat cuaca cerah. Apis mellifera cenderung hinggap sebentar saja pada satu umbel tetapi berpindahpindah antar umbel dan tidak bergerombol. Pada penyerbukan terbuka, serangga yang berperan dalam produksi kapsul diduga lebah besar berwarna hitam yang mempunyai perilaku seperti A. cerana tetapi populasi di alam terbatas, dipengaruhi tanaman lain yang sedang berbunga di sekitar pertanaman bawang merah. Pada percobaan ini di sekitar pertanaman bawang merah ditanami tagetes yang berbunga kuning untuk menarik serangga pengunjung lainnya. Perilaku Lucilia sp. atau lalat hijau hampir seperti lebah besar yang soliter. Trigona sp hanya sesekali hinggap di bunga bawang dengan frekuensi yang rendah dan waktu yang singkat, umumnya hanya terbang di atas tanaman dan hinggap dari satu bunga ke bunga lainnya. Perbedaan perilaku serangga tersebut menunjukkan efektivitasnya dalam membantu penyerbukan dan produksi kapsul bawang merah. Menurut Yucel dan Duman (2005) perilaku berkelibang serangga digunakan untuk menentukan penyerbuk yang efektif dalam kaitannya dengan peningkatan penyerbukan silang. Perpindahannya antar bunga dalam satu umbel atau antar umbel dalam satu tanaman atau antar tanaman mempengaruhi keberhasilan penyerbukan dan fertilisasi terutama pada tanaman yang menyerbuk silang. Berdasarkan jumah kapsul per umbel, Trigona sp. merupakan penyerbuk yang tidak efektif untuk tanaman bawang merah sebagaimana dilaporkan oleh Heard (1999) bahwa meskipun menjadi pengunjung utama tanaman bawang bombay tetapi Trigona sp. hanya kadang-kadang menyerbuki bunganya.
Produksi TSS Sejalan dengan pembentukan kapsulnya, A. cerana menghasilkan jumlah dan bobot TSS (benih bernas) per umbel paling tinggi (Tabel 19). Banyaknya benih bernas dari satu umbel yang dihasilkan oleh A. cerana yaitu 155.5 butir dengan bobot 0.494 g memberikan indikasi tingginya penyerbukan oleh A. cerana. Persentase TSS bernas per umbel pada perlakuan A. cerana yang mencapai 93.12% dari total TSS per umbel menunjukkan bahwa hampir semua benih yang dihasilkan merupakan benih bernas yang viabel. Hasil uji Tukey menunjukkan bahwa jumlah benih bernas per umbel pada perlakuan A. cerana
59
berbeda nyata dengan perlakuan penyerbuk lainnya. Perlakuan A. mellifera, lalat hijau dan penyerbukan terbuka menghasilkan jumlah dan bobot TSS bernas per umbel yang tidak berbeda nyata (Tabel 19). Trigona sp. merupakan penyerbuk yang menghasilkan produksi benih bernas yang paling rendah (0.164 g/umbel), yang ditunjukkan juga dalam persentase pembentukan kapsul per umbel yang rendah (Tabel 18). Perilaku Trigona sp. yang kurang aktif berkelibang pada bunga diduga menyebabkan serangga ini tidak banyak membantu transfer serbuk sari dari antera ke permukaan stigma, sehingga kurang efektif membantu penyerbukan. Selain banyaknya bunga yang terserbuki, pembentukan benih per umbel terkait dengan banyaknya serbuk sari viabel yang dapat menempel pada stigma. Diduga dengan semakin aktif serangga penyerbuk semakin banyak serbuk sari viabel yang menempel pada stigma. Tabel 19. Jumlah TSS, persentase TSS bernas dan bobot TSS per umbel pada perlakuan serangga penyerbuk di dataran tinggi Lembang Perlakuan Apis mellifera (Lebah madu) Apis cerana (Lebah madu) Trigona sp. (Lebah hutan) Lucilia sp. (Lalat Hijau) Penyerbukan terbuka rerata KK (%)
Jumlah TSS per umbel 105.2 b
Persentase TSS bernas per umbel (%) 86.45 a
Bobot TSS per umbel (g) 0.318 b
155.5 a
93.12 a
0.494 a
46.9 c
88.76 a
0.164 c
92.2 b
91.39 a
0.322 b
115.7 b
84.65 a
0.316 b
23.04
88.87 6.13
23.29
Keterangan: Angka yang diikuti oleh huruf yang sama pada kolom yang sama pada masing-masing perlakuan tidak berbeda nyata pada uji Tukey taraf 5%
Hasil uji Tukey menunjukkan bahwa bobot TSS bernas per tanaman berbeda nyata antar perlakuan (Tabel 20). Hasil tertinggi dicapai oleh perlakuan A. cerana (1.328 g/tanaman), namun hasil tersebut tidak berbeda nyata dengan perlakuan Lucilia sp. (0.898 g/tanaman) dan A. mellifera (0.888 g/tanaman). Berdasarkan bobot benih per umbel dan per tanaman tampaknya lalat hijau Lucilia sp. merupakan penyerbuk kedua yang efektif untuk produksi TSS di
60
dataran tinggi setelah A. cerana. Sajjad et al. (2008) juga melaporkan penyerbuk tersebut merupakan penyerbuk efektif kedua setelah lebah madu dan penyerbuk paling baik diantara golongan Diptera pada bawang bombay. Kelemahan lalat hijau sebagai penyerbuk adalah karena lalat meninggalkan kotoran pada bunga yang menyebabkan bunga membusuk sehingga justru mengganggu pembentukan kapsul dan benih. Kendala ini yang mengurangi produksi TSS oleh lalat hijau. Dari penyerbukan terbuka bobot TSS bernas per tanaman yang dihasilkan cenderung lebih rendah daripada A. mellifera dan lalat hijau. Bobot TSS bernas per tanaman pada Trigona sp. paling rendah, hanya 0.464 g (Tabel 20). Bobot TSS per tanaman ini setara dengan hasil bobot TSS per umbel pada perlakuan A. cerana (Tabel 19). Tabel 20. Bobot TSS per tanaman, bobot TSS per plot dan jumlah umbel dipanen per plot pada perlakuan serangga penyerbuk di dataran tinggi Lembang Perlakuan Apis mellifera (Lebah madu) Apis cerana (Lebah madu) Trigona sp. (Lebah hutan) Lucilia sp. (Lalat Hijau) Penyerbukan terbuka KK (%)
Bobot TSS per tanaman (g) 0.888 ab
Bobot TSS per plot (g/60 tanaman) 21.94 bc
Jumlah umbel dipanen per plot 167.4 b
1.382 a
62.15 a
161.6 b
0.464 c
8.82 c
162.6 b
0.898 ab
38.77 ab
167.2 b
0.884 bc 8.99*
42.18 ab 7.75*
222.2 a 12.12
Keterangan: Angka yang diikuti oleh huruf yang sama pada kolom yang sama pada masing-masing perlakuan tidak berbeda nyata pada uji Tukey taraf 5%; *transformasi √(x+1)
Jumlah umbel yang dipanen pada setiap plot perlakuan menunjukkan perbedaan yang nyata antara perlakuan penyerbukan terbuka dengan perlakuan serangga penyerbuk (Tabel 20). Pada plot perlakuan penyerbukan terbuka umbel yang dipanen sebanyak 222.2 umbel. Semua plot perlakuan serangga penyerbuk menghasilkan jumlah umbel dipanen yang tidak berbeda nyata, berkisar 161-167 umbel. Rendahnya umbel yang dapat dipanen pada plot serangga penyerbuk disebabkan karena kondisi iklim mikro di dalam kerodong kain kasa sangat
61
mendukung untuk perkembangan penyakit bercak ungu (cendawan Alternaria porri), antraknose (cendawan Colletrotichum sp.) dan embun bulu (cendawan Peronospora destructor) yang menyerang daun dan tangkai bunga bawang merah (Gambar 11). Suhu di dalam kerodong kain kasa berkisar 23 – 240 C dengan kelembaban antara 70 – 75% (Lampiran 5), sedangkan suhu di luar kerodong kain kasa antara 19 – 200 C dengan kelembaban antara 82 – 87% (Lampiran 4). Kurangnya sirkulasi udara di dalam kerodong kain kasa menyebabkan penyakit cepat menyebar ke tangkai bunga yang berdekatan.
Serangan penyakit pada
stadia kapsul telah terbentuk masih memungkinkan panen kapsul. Namun serangan yang terjadi pada stadia bunga menyebabkan tangkai umbel yang terkena penyakit menghitam sehingga umbel tidak dapat berkembang menjadi kapsul karena tidak ada pasokan nutrisi ke umbel untuk perkembangan kapsul dan biji. Beberapa umbel tetap segar sampai panen walaupun bunga tidak berkembang menjadi kapsul.
A
B
Gambar 11. Tiga penyakit utama bawang merah yang menyerang tangkai umbel (A) dan daun (B): bercak ungu, antraknose dan embun bulu di dataran tinggi Lembang Bobot TSS per plot dari perlakuan A. mellifera dan Lucilia sp. lebih rendah daripada penyerbukan terbuka (Tabel 20 dan Gambar 12), meskipun bobot TSS bernas per umbel dan per tanaman lebih tinggi. Bobot TSS per plot dari perlakuan A. cerana paling tinggi (62.15 g/60 tanaman) diantara perlakuan lainnya meskipun jumlah umbel yang dipanen lebih rendah daripada perlakuan penyerbukan terbuka, karena bobot TSS per umbel dan per tanaman lebih tinggi
62
daripada perlakuan lainnya. Produksi TSS yang dihasilkan dari perlakuan A. cerana meningkat sebesar 56.8% dibanding penyerbukan terbuka. Trigona sp. hanya dapat memproduksi benih botani bawang merah sebanyak 8.82 g/60 tanaman yang merupakan hasil terendah diantara semua perlakuan (Tabel 20 dan Gambar 12).
Gambar 12. Produksi TSS per plot (60 tanaman) di dataran tinggi pada perlakuan A. mellifera (A), A cerana (B), Trigona sp.(C), Lucilia sp. (D) dan penyerbukan terbuka (E) di dataran tinggi Lembang. Hasil pengamatan di atas memberikan indikasi bahwa A. cerana dapat membantu penyerbukan bawang merah dan meningkatkan produksi TSS, akan tetapi tidak satupun koloni yang digunakan dalam penelitian ini bertahan sampai penelitian selesai. Semua koloni bubar diduga karena nectar bawang merah bukan nectar yang disukai serangga tersebut untuk mempertahankan koloninya. Oleh karena itu pemanfaatan A. cerana dalam skala luas untuk meningkatkan produksi TSS bawang merah perlu pengkajian yang lebih mendalam.
Mutu TSS Mutu TSS yang diamati meliputi bobot 100 butir, daya berkecambah dan potensi tumbuh maksimum (Tabel 21). Bobot 100 butir dan potensi tumbuh maksimum tidak dipengaruhi oleh jenis penyerbuk. Rata-rata bobot benih 100 butir yang dihasilkan dari berbagai perlakuan jenis penyerbuk sebesar 0.359 g,
63
sedangkan potensi tumbuh maksimum yang dihasilkan oleh berbagai perlakuan rata-rata 77.09%. Namun daya berkecambah dipengaruhi oleh jenis serangga penyerbuk, dimana benih yang diproduksi oleh penyerbuk A. cerana mempunyai daya berkecambah yang lebih tinggi (77%) diantara perlakuan lainnya, dan memenuhi kriteria benih bermutu.
Disamping A.cerana,
Lucilia sp juga
menghasilkan benih dengan daya berkecambah memenuhi kriteria benih bermutu sebesar 75.8% (Tabel 21). Tabel 21. Bobot TSS 100 butir, daya berkecambah dan potensi tumbuh maksimum TSS pada perlakuan serangga penyerbuk di dataran tinggi Lembang Perlakuan Apis mellifera (Lebah madu) Apis cerana (Lebah madu) Trigona sp. (Lebah hutan) Lucilia sp. (Lalat Hijau) Penyerbukan terbuka Rerata KK (%)
Bobot 100 butir (g) 0.334 a
Daya berkecambah (%) 68.40 b
Potensi tumbuh maksimum (%) 72.73 a
0.374 a
77.00 a
78.00 a
0.356 a
71.80 ab
75.82 a
0.366 a
75.80 ab
79.45 a
0.366 a 0.359 6.23
74.60 ab
79.46 a 77.09 8.55
8.92
Keterangan: Angka yang diikuti oleh huruf yang sama pada kolom yang sama pada masing-masing perlakuan tidak berbeda nyata pada uji Tukey taraf 5%
Berdasarkan hasil dan pembahasan tersebut di atas, maka lebah madu lokal Apis cerana merupakan penyerbuk yang efektif dalam meningkatkan produksi dan mutu benih bawang merah dari biji (TSS).
Produksi Umbi Bawang Merah Tanaman bawang merah yang memproduksi bunga dan TSS ternyata juga dapat menghasilkan umbi (Tabel 22 dan Gambar 13). Jumlah umbi dan bobot umbi bawang merah per tanaman tidak berbeda nyata antar perlakuan serangga penyerbuk. Rata-rata setiap tanaman menghasilkan sekitar 5.9 umbi dengan bobot 29.327 g. Namun ukuran umbi yang dihasilkan berbeda antar perlakuan serangga penyerbuk. Tanaman bawang merah yang menghasilkan TSS paling rendah
64
Tabel 22. Jumlah umbi per tanaman, bobot umbi per tanaman, dan ukuran umbi bawang merah pada perlakuan serangga penyerbuk di dataran tinggi Lembang Perlakuan Apis mellifera (Lebah madu) Apis cerana (Lebah madu) Trigona sp. (Lebah hutan) Lucilia sp. (Lalat Hijau) Penyerbukan terbuka rerata KK (%)
Jumlah umbi per tanaman 6.7 a
Bobot umbi per tanaman (g) 33.866 a
Ukuran umbi (g)
5.6 a
23.200 a
4.074 b
6.1 a
34.566 a
5.582 a
5.7 a
25.834 a
4.630 ab
5.4 a 5.9 27.66
29.168 a 29.327 28.37
5.360 ab 4.937 15.78
5.040 ab
Keterangan: Angka yang diikuti oleh huruf yang sama pada kolom yang sama pada masing-masing perlakuan tidak berbeda nyata pada uji Tukey taraf 5%
A
B
Gambar 13. Produksi umbi pada tanaman bawang merah yang memproduksi TSS di dataran tinggi (A) dan di dataran rendah (B) (Tabel 20) menghasilkan ukuran umbi paling besar (pada perlakuan Trigona sp.) (Tabel 22). Sebaliknya tanaman yang menghasilkan TSS paling tinggi menghasilkan ukuran umbi paling kecil (pada perlakuan A. cerana). Perlakuan A.mellifera, Trigona sp. dan penyerbukan terbuka mempunyai ukuran umbi yang besar (> 5 g), sedangkan A. cerana dan Lucilia sp. mempunyai ukuran umbi yang sedang (4-5 g). Umumnya produksi umbi yang dihasilkan pada setiap perlakuan serangga penyerbuk menunjukkan hasil yang cukup tinggi, yaitu 29.327 g per tanaman, tetapi umbi yang dipanen berbentuk protolan karena umbi tidak
65
memiliki daun sebagaimana panen umbi umumnya. Hasil percobaan tersebut menunjukkan bahwa ada dua keuntungan atau nilai tambah dalam memproduksi TSS, karena sekaligus juga dapat menghasilkan umbi.
Percobaan 3. Peran Serangga Penyerbuk dalam Meningkatkan Produksi dan Mutu Benih Botani (TSS) di Dataran Rendah Subang
Pembentukan Kapsul Intensitas pembungaan di dataran rendah Subang lebih rendah daripada di dataran tinggi Lembang. Tanaman yang berbunga rata-rata berkisar 60 - 70 % pada setiap plot perlakuan dan rata-rata jumlah umbel per tanaman adalah 1.06 umbel, sedangkan rata-rata jumlah bunga per umbel yaitu 87.79 bunga/umbel. Seperti di dataran tinggi, perbedaan jenis serangga penyerbuk menyebabkan terjadinya perbedaan jumlah kapsul bernas per umbel dan persentase pembentukan kapsul per umbel (Tabel 23). Tabel 23. Jumlah kapsul bernas per umbel dan persentase pembentukan kapsul per umbel pada perlakuan serangga penyerbuk di dataran rendah Subang Perlakuan Apis mellifera (Lebah madu) Apis cerana (Lebah madu) Trigona sp. (Lebah hutan) Lucilla sp. (Lalat Hijau) Penyerbukan terbuka Rerata KK (%)
Jumlah bunga per umbel 86.4 a
Jumlah kapsul bernas per umbel 37.3 abc
Pembentukan kapsul per umbel (%) 43.83 ab
88.4 a
59.1 a
66.77 a
87.7 a
12.8 c
14.30 b
88.9 a
23.3 bc
26.40 b
87.6 a
37.7 ab
37.54 ab
17.26
17.53*
87.8 7.22
Keterangan: Angka yang diikuti oleh huruf yang sama pada kolom yang sama pada masing-masing perlakuan tidak berbeda nyata pada uji Tukey taraf 5%;*transformasi √(x+1)
A. cerana menghasilkan jumlah kapsul bernas per umbel tertinggi, disusul oleh perlakuan penyerbukan terbuka dan A. mellifera. Dari rata-rata 88.4 bunga
66
per umbel, sebanyak 59.1 bunga (66.77%) berkembang menjadi kapsul bernas oleh bantuan A.cerana (Tabel 23). Apis mellifera menghasilkan persentase pembentukan kapsul yang tidak berbeda nyata dengan penyerbukan terbuka. Lalat hijau Lucilia sp. ternyata menghasilkan persentase pembentukan kapsul yang rendah (26.40%) diikuti oleh Trigona sp. (14.3%). Serangga yang membantu penyerbukan secara terbuka adalah lebah besar berwarna hitam sebagaimana ditemukan di dataran tinggi dan merupakan serangga yang aktif mengunjungi bunga bawang dengan perilaku berkelibang menyerupai A. cerana.
Selain lebah besar, yang datang mengunjungi bunga
bawang di dataran rendah adalah lalat kecil bukan lalat hijau. Populasi kedua serangga tersebut sangat terbatas, tidak sebanyak di dataran tinggi. Suhu udara yang lebih tinggi diduga mempengaruhi perilaku berkelibang serangga penyerbuk di dataran rendah.
Produksi TSS A. cerana menghasilkan jumlah TSS per umbel dan bobot TSS per umbel yang paling tinggi diantara serangga penyerbuk yang lain, berturut-turut sebesar 124.7 butir/umbel dan 0.453g/umbel. Persentase TSS bernas per umbel tidak berbeda antara serangga penyerbuk, berkisar antara 72.64-87.04 %, sehingga produksi TSS lebih ditentukan oleh persentase pembentukan kapsul dan jumlah TSS per umbel. (Tabel 24). Efektivitas A. cerana diikuti oleh A. mellifera yang menghasilkan benih bernas sebanyak 85.4 butir/umbel dengan bobot 0.303 g, yang tidak berbeda nyata dengan perlakuan penyerbukan terbuka dengan hasil benih bernas sebanyak 90.3 butir/umbel seberat 0.303 g (Tabel 24). Lalat hijau Lucilia sp menghasilkan jumlah dan bobot TSS per umbel yang rendah, yaitu 40.3 butir/umbel dengan bobot 0.143 g. Hasil tersebut cenderung tidak berbeda nyata dengan Trigona sp. yang mempunyai jumlah dan bobot TSS sangat rendah yaitu 20.3 butir/umbel dengan bobot 0.077 g yang menunjukkan bahwa Trigona sp tidak efektif dalam penyerbukan bunga bawang merah.
67
Tabel 24. Jumlah TSS, persentase TSS bernas dan bobot TSS per umbel pada perlakuan serangga penyerbuk di dataran rendah Subang Perlakuan
Apis mellifera (Lebah madu) Apis cerana (Lebah madu) Trigona sp. (Lebah hutan) Lucilia sp. (Lalat Hijau) Penyerbukan terbuka rerata KK (%)
Jumlah TSS per umbel
Bobot TSS per umbel (g)
85.4 ab
Persentase TSS bernas per umbel (%) 81.54 a
124.7 a
87.04 a
0.453 a
20.3 c
72.64 a
0.077 c
40.3 bc
77.93 a
0.143 bc
90.3 ab
80.84 a
0.303 ab
80.00 8.93
29.16
19.13
0.303 ab
Keterangan: Angka yang diikuti oleh huruf yang sama pada kolom yang sama pada masing-masing perlakuan tidak berbeda nyata pada uji Tukey taraf 5%
Jumlah umbel yang dipanen tidak berbeda antar perlakuan (Tabel 25), namun ada kecenderungan jumlah umbel yang dipanen pada A. cerana, Lucilia sp. dan penyerbukan terbuka lebih tinggi daripada A.mellifera dan Trigona sp. Banyaknya jumlah umbel yang dipanen dapat mempengaruhi bobot TSS per plot. Bobot TSS total per plot tertinggi dihasilkan dari perlakuan A. cerana dan dapat meningkatkan produksi TSS per tanaman sebesar 61.3% daripada penyerbukan terbuka (Tabel 25 dan Gambar 14).
Bobot TSS per plot dari perlakuan
penyerbukan terbuka lebih tinggi daripada A.mellifera maupun Lucilia sp. dan Trigona sp. menghasilkan bobot TSS per plot terendah, sebesar 0.957g. Tingginya bobot benih yang dihasilkan dari penyerbukan terbuka diduga karena peran lebah besar yang efektif dalam membantu penyerbukan walaupun populasinya rendah. Kondisi yang serupa dilaporkan Parker (1982) bahwa umbel bawang bombay yang dikunjungi oleh lebah soliter seperti Halictus farinosus menghasilkan benih yang lebih banyak daripada lebah madu terutama ketika penyerbuk tersebut banyak, karena benih yang gugur pada umbel yang diserbuki lebah tersebut lebih sedikit. Oleh karena itu upaya untuk meningkatkan populasi lebah besar yang soliter tersebut diduga dapat meningkatkan produksi TSS.
68
Tabel 25. Bobot TSS per tanaman, bobot TSS per plot dan jumlah umbel dipanen per plot pada perlakuan serangga penyerbuk di dataran rendah Subang Perlakuan Apis mellifera (Lebah madu) Apis cerana (Lebah madu) Trigona sp. (Lebah hutan) Lucilia sp. (Lalat Hijau) Penyerbukan terbuka rerata KK (%)
Bobot TSS per tanaman (g) 0.323 b
Bobot TSS per plot (g/60 tanaman) 4.020 b
Jumlah umbel dipanen per plot 18.3 a
0.503 a
9.560 a
26.1 a
0.077 d
0.957 c
17.4 a
0.143 cd
3.813 b
26.6 a
0.313 bc
5.063 ab
26.7 a
23.46
14.29
23.0 12.56
Keterangan: Angka yang diikuti oleh huruf yang sama pada kolom yang sama pada masing-masing perlakuan tidak berbeda nyata pada uji Tukey taraf 5%
Gambar 14. Produksi TSS per plot (60 tanaman pada perlakuan A. mellifera (A), A. cerana (B), Trigona sp. (C), Lucilia sp. (D) dan penyerbukan terbuka (E) di dataran rendah Subang Lalat hijau Lucilia sp menghasilkan produksi benih yang rendah. Dari hasil pengamatan di lapangan lalat hijau kurang aktif mengunjungi bunga bawang, lebih banyak hinggap pada umpan udang busuk sebagai makanannya dan bahkan banyak yang tidak dapat bertahan hidup selama penelitian berlangsung. Kondisi
69
lingkungan yang panas dengan rata-rata suhu 25 – 280 C diduga sebagai salah satu penyebabnya. Oleh karena itu pemanfaatan lalat hijau untuk meningkatkan produksi TSS tidak sesuai untuk dataran rendah. Menurut Munawar et al. (2011), lalat memang tidak efektif sebagai serangga penyerbuk untuk memproduksi benih pada kondisi lingkungan bersuhu tinggi karena suhu tinggi tidak cocok untuk kehidupan lalat. Berbeda dengan lebah madu yang dapat bertahan pada suhu hingga 40 0C.
Mutu TSS Hasil uji Tukey menunjukkan adanya perbedaan pengaruh perlakuan serangga penyerbuk terhadap bobot benih 100 butir (Tabel 26). A. mellifera menghasilkan bobot 100 butir yang lebih rendah (0.350 g) daripada penyerbuk lainnya. Meskipun Trigona sp. menghasilkan bobot TSS per umbel rendah (Tabel 24) tetapi bobot 100 butir cukup tinggi, 0.360 g. Hal ini diduga karena benih bernas yang berkembang dalam satu umbel lebih sedikit, maka ketersediaan asimilat untuk perkembangan masing-masing benih lebih tinggi sehingga menghasilkan benih yang lebih bernas. Tabel 26. Bobot TSS 100 butir, daya berkecambah dan potensi tumbuh maksimum TSS pada perlakuan serangga penyerbuk di dataran rendah Subang Perlakuan Apis mellifera (Lebah madu) Apis cerana (Lebah madu) Trigona sp. (Lebah hutan) Lucilia sp. (Lalat Hijau) Penyerbukan terbuka rerata KK (%)
Bobot 100 butir (g) 0.350 b
Daya berkecambah (%) 79.60 a
Potensi tumbuh maksimum (%) 84.80 a
0.397 a
83.20 a
85.20 a
0.360 ab
77.20 a
84.80 a
0.367 ab
80.80 a
86.40 a
0.397 a
82.00 a
84.40 a
4.47
80.56 8.09
85.12 6.83
Keterangan: Angka yang diikuti oleh huruf yang sama pada kolom yang sama pada masing-masing perlakuan tidak berbeda nyata pada uji Tukey taraf 5%
70
Bobot 100 butir yang dihasilkan A.cerana tidak berbeda dengan hasil perlakuan penyerbukan terbuka sebesar 0.397 g, lebih tinggi daripada perlakuan penyerbuk lainnya (Tabel 26). Bobot TSS bernas diduga berkaitan dengan banyaknya serbuk sari viabel yang menempel pada stigma sebagai akibat dari aktivitas A. cerana dan lebah besar pada perlakuan penyerbukan terbuka. Daya berkecambah dan potensi tumbuh maksimum tidak menunjukkan perbedaan diantara perlakuan.
Semua perlakuan penyerbuk menghasilkan benih dengan
daya berkecambah diatas 75%.
Potensi tumbuh maksimum dari benih yang
dihasilkan umumnya juga menunjukkan viabilitas yang tinggi. Berdasarkan hasil penelitian ini memproduksi TSS di dataran tinggi dan dataran rendah dapat ditingkatkan dengan bantuan Apis cerana dengan harapan peningkatan produksi TSS sebesar 56.8 – 61.3 %. Produksi Umbi Bawang Merah Di dataran rendah Subang, umbi yang dihasilkan dari tanaman bawang merah yang memproduksi TSS tidak berbeda nyata antar perlakuan serangga penyerbuk. Rata-rata jumlah umbi dan bobot umbi per tanaman yang dihasilkan berturut-turut 2.8 umbi dan 16.667 g/tanaman, tetapi ukuran umbi yang dihasilkan Tabel 27. Jumlah umbi per tanaman, bobot umbi per tanaman, dan ukuran umbi bawang merah pada perlakuan serangga penyerbuk di dataran rendah Subang Perlakuan Apis mellifera (Lebah madu) Apis cerana (Lebah madu) Trigona sp. (Lebah hutan) Lucilia sp. (Lalat Hijau) Penyerbukan terbuka rerata KK (%)
Jumlah umbi per tanaman 2.9 a
Bobot umbi per tanaman (g) 18.000 a
Ukuran umbi (g)
2.3 a
15.333 a
6.490 a
2.2 a
15.333 a
4.723 a
3.7 a
20.667 a
5.693 a
3.0 a 2.8 18.03
14.000 a 16.667 29.29
4.643 a 5.549 19.99
6.197 a
Keterangan: Angka yang diikuti oleh huruf yang sama pada kolom yang sama pada masing-masing perlakuan tidak berbeda nyata pada uji Tukey taraf 5%
71
rata-rata 5.549 g atau umbinya berukuran besar (Tabel 27 dan Gambar 13). Jumlah maupun bobot umbi yang dapat dipanen tersebut lebih rendah daripada umbi yang dipanen di dataran tinggi Lembang. Waktu pertumbuhan dan perkembangan tanaman yang lebih singkat di dataran rendah menyebabkan akumulasi asimilat pada organ reproduktif juga rendah (Rasul et al. 2011), dalam hal ini organ reproduktif adalah umbi.
Peran A. cerana dalam Produksi dan Mutu TSS di Dua Lokasi Hasil uji t menunjukkan bahwa produksi TSS, sebagaimana ditunjukkan oleh bobot TSS per plot, yang dihasilkan A. cerana di dataran tinggi tujuh kali lebih tinggi daripada di dataran rendah (Gambar 15A) yang disebabkan oleh tingkat pembungaan yang lebih
tinggi dengan persentase tanaman berbunga
100%, 3-4 umbel per tanaman dan 170 bunga per umbel.
A
Gambar 15. Bobot TSS per plot (A), bobot 100 butir (B) dan daya berkecambah (C) di dataran tinggi dan dataran rendah yang dibantu A. cerana. Bobot 100 butir benih dari dataran tinggi tidak berbeda dengan dataran rendah, namun ada indikasi secara fisik mutu benih di dataran rendah lebih baik (Gambar 15B). Begitu pula dengan viabilitas TSS yang tercermin dari daya berkecambah (DB) yang dihasilkan A. cerana pada musim tanam yang sama di dataran rendah lebih baik daripada di dataran tinggi (Gambar 15C). Di dataran rendah A. cerana dapat menghasilkan daya berkecambah hingga 83%, namun daya berkecambah dari perlakuan A. cerana di dataran tinggi juga menunjukkan hasil yang dapat memenuhi mutu yang baik. Percobaan ini memberikan gambaran
72
bahwa serangga penyerbuk dapat meningkatkan produksi benih botani bawang yang bermutu. Serangga penyerbuk berperan penting terhadap perbaikan mutu benih tersebut, sebagaimana dijelaskan oleh Chandel et al. (2004). Hasil penelitian ini menunjukkan bahwa produksi TSS tidak hanya dapat dilakukan di dataran tinggi, tetapi juga dapat dilakukan di dataran rendah. Kendala yang masih harus dihadapi dalam produksi TSS di dataran tinggi adalah meningkatkan persentase pembentukan biji dan meningkatkan mutu TSS yang dihasilkan, karena teknik budidaya untuk meningkatkan pembungaan telah diperoleh. Sementara itu tantangan yang masih harus dihadapi dalam produksi TSS di dataran rendah adalah meningkatkan pembungaan dan persentase pembentukan biji, karena teknik budidaya yang diamati dalam hasil penelitian ini belum memadai. Kondisi lingkungan di dataran rendah cukup optimum untuk perkembangan dan pemasakan biji sehingga mutu TSS yang dihasilkan memenuhi kriteria benih bermutu. Teknologi produksi TSS yang dihasilkan pada varietas Bima merupakan terobosan yang potensial untuk dikembangkan mengingat varietas tersebut merupakan varietas lokal yang paling disukai oleh petani maupuan konsumen dibanding varietas-varietas lain termasuk varietas impor
seperti Bangkok,
Philipine, dan Tandayung (Basuki, 2009b). Penyediaan benih bawang merah bermutu varietas Bima melalui TSS diharapkan dapat mengatasi masalah kekurangan benih bawang merah di Indonesia sehingga dapat mengurangi impor bawang merah. Selain varietas Bima, varietas bawang merah lokal yang berpotensi menjadi tanaman induk TSS dan dapat dikembangkan dengan teknologi produksi TSS yang telah dihasilkan ini yaitu varietas Kuning dan Cipanas. Pengembangan teknologi produksi TSS untuk varietas-varietas lokal diharapkan dapat menghasilkan umbi bibit yang lebih sehat dengan produktivitas tinggi untuk kebutuhan benih bawang merah yang spesifik lokasi. Untuk varietasvarietas lokal lainnya seperti Maja, yang masih memiliki potensi menjadi tanaman induk TSS, teknologi produksi TSS ini perlu diverifikasi lebih lanjut sehingga secara teknis layak untuk dikembangkan di lokasi yang banyak membudidayakan varietas tersebut.
73
Hasil percobaan teknologi produksi TSS yang dihasilkan masih memerlukan tahapan penelitian di lapangan dalam skala yang cukup luas sebelum dapat diaplikasikan ke pengguna (penangkar benih dan petani). Upaya mengatasi kendala alih teknologi ke petani juga perlu dilakukan untuk mempercepat teknologi produksi TSS dapat diadopsi pengguna melalui sosialisasi teknologi dan pelatihan yang dilakukan secara integrasi antara peneliti, pengguna dan instansi terkait. TSS yang dihasilkan dapat digunakan sebagai sumber benih untuk produksi umbi konsumsi atau umbi mini. Pengembangan TSS untuk menghasilkan umbi mini/umbi bibit dapat dilakukan di dataran tinggi yang dikelola oleh para penangkar benih. Pengembangan TSS untuk menghasilkan umbi mini/umbi bibit didasarkan pada hasil penelitian Sumarni dan Rosliani (2002) dan Sumarni et al. (2005) yang menunjukkan bahwa produksi umbi yang dihasilkan asal TSS di atas 70% berupa umbi berukuran besar (> 7-8 g) dan sisanya umbi berukuran kecil (2.5-5 g). Namun banyaknya anakan yang dihasilkan dari benih asal TSS hanya 1-2 umbi (Putrasamedja 1995a), padahal jumlah anakan per tanaman asal umbi tradisional mencapai 7-12 umbi (Lampiran 1).
Ukuran umbi yang besar dengan jumlah yang sedikit tidak efisien jika
digunakan sebagai umbi bibit/benih sehingga perlu mencari teknologi budidaya yang menghasilkan umbi berukuran kecil sebagai turunan kedua dari TSS atau sebagai benih penjenis. Pengembangan umbi mini ataupun umbi bibit asal TSS lebih layak sebagai sumber benih bermutu yang lebih efisien yang dapat dikembangkan oleh para penangkar benih. Selanjutnya umbi mini dapat dikembangkan menjadi umbi bibit yang dapat dilipatgandakan produksinya sampai dua kali penanaman sebelum menjadi benih sebar yang akan digunakan oleh petani. Penangkar benih dapat menyediakan umbi mini (1-2.5 g) atau umbi bibit (3-4 g) yang dapat memenuhi kebutuhan benih (umbi bibit) bawang merah bermutu dengan daya hasil tinggi. Penggunaan umbi mini atau umbi bibit sebagai benih sebar dapat lebih efisien dan lebih praktis dari segi penanganan benih maupun pengangkutan antar lokasi terutama antar pulau. Penggunaan TSS langsung untuk umbi konsumsi dapat dilakukan di dataran rendah jika teknologi produksi TSS telah tersedia. Hal ini dilakukan
74
dengan pertimbangan bahwa produksi TSS dan umbi dilakukan pada ekosistem yang sama sehingga diharapkan lebih ekonomis dan tidak terjadi penurunan daya hasil umbi. Petani sebagai pengguna dapat memproduksi TSS sekaligus langsung memproduksi umbi konsumsi asal TSS. Umur panen umbi asal TSS 19-26 hari lebih lama dibanding panen umbi asal umbi bibit, tetapi produksi umbi bawang merah yang dihasilkan asal TSS lebih tinggi dua kali lipat dengan ukuran umbi lebih besar (Basuki 2009a). Waktu yang lebih lama pada budidaya bawang merah asal TSS disebabkan adanya tambahan kegiatan untuk persemaian.
Produksi
umbi yang tinggi pada budidaya bawang merah dengan TSS disebabkan populasi tanaman yang lebih banyak. Dalam memproduksi umbi konsumsi dari TSS petani dapat menempuh dua cara, yaitu produksi langsunbg dari TSS atau melalui persemaian TSS untuk memproduksi umbi mini lebih dahulu. Budidaya produksi umbi konsumsi asal umbi mini akan lebih mudah diadopsi petani daripada budidaya langsung dari TSS. Hal ini disebabkan teknik budidaya dengan umbi mini tidak banyak perubahan dengan kebiasaan petani dalam memproduksi umbi konsumsi asal umbi tradisional. Namun secara teknis, budidaya umbi mini masih sulit diperoleh (Sumarni dan Rosliani 2002, Sumarni et al. 2005) dengan produksi umbi mini yang dapat dicapai masih di bawah 30% (Rosliani et al. 2002). Oleh karena itu yang menjadi tantangan agar TSS dapat berkembang untuk memenuhi kebutuhan benih bermutu bawang merah adalah penyiapan teknologi budidaya umbi mini asal TSS dan teknologi budidaya umbi konsumsi asal umbi mini yang efisien. Teknologi budidaya umbi konsumsi asal umbi tradisional akan berbeda dengan teknologi budidaya umbi konsumsi asal umbi mini terkait perbedaan jarak tanam, kebutuhan pupuk maupun pengelolaan hama dan penyakit.
75
SIMPULAN DAN SARAN
SIMPULAN BAP mampu meningkatkan pembungaan dan viabilitas serbuk sari, tetapi BAP tidak meningkatkan mutu TSS di dataran tinggi Lembang. BAP 37.5 ppm yang diaplikasikan pada umur 1, 3 dan 5 minggu setelah tanam sebanyak 100 ml/polibag dapat menghasilkan produksi TSS sebesar 10.672 g/12 tanaman di dataran tinggi Lembang. BAP tidak mampu meningkatkan produksi dan mutu TSS di dataran rendah Subang tetapi BAP 50 ppm yang diaplikasikan pada umur 1, 3 dan 5 minggu setelah tanam mampu meningkatkan pembungaan bawang merah. Boron mampu meningkatkan pembungaan, viabilitas serbuk sari, produksi dan mutu TSS di dataran tinggi Lembang. Dosis boron optimum (2.9 kg/ha) yang diaplikasikan pada umur 3, 5 dan 7 minggu setelah tanam sebanyak 100 ml/polibag mampu meningkatkan produksi TSS sekitar 107.16 % dibanding kontrol dengan produksi TSS yang dihasilkan 11.78 g/12 tanaman. Daya berkecambah TSS pada perlakuan boron dapat mencapai 78% yang telah memenuhi syarat benih bermutu. Di dataran rendah boron hanya mampu meningkatkan viabilitas serbuk sari saja. Produksi TSS di dataran tinggi lebih tinggi daripada di dataran rendah. Namun mutu TSS yang diproduksi di dataran rendah lebih tinggi daripada di dataran tinggi. Penyerbukan silang meningkatkan produksi TSS di dataran tinggi Lembang. Apis cerana dapat meningkatkan produksi dan mutu benih botani bawang merah (TSS). Produksi benih botani (TSS) dari perlakuan A. cerana di dataran tinggi Lembang lebih tinggi daripada di dataran rendah Subang tetapi daya berkecambah TSS di dataran rendah lebih tinggi daripada di dataran tinggi.
76
SARAN Di dataran tinggi persentase pembentukan biji dan mutu benih masih rendah, oleh karena itu masih perlu upaya untuk meningkatkan pembentukan biji agar mendapatkan produksi benih botani bawang merah (TSS) dengan mutu yang tinggi. Pemberian boron untuk meningkatkan pembungaan dan produksi benih botani bawang merah perlu dilakukan pada tanah-tanah dengan kandungan boron rendah. Teknik budidaya untuk pembungaan dan pembentukan biji di dataran rendah belum memadai, tetapi kondisi lingkungan optimum untuk perkembangan dan pemasakan biji sehingga perlu upaya untuk memecahkan masalah peningkatan pembungaan dan pembentukan biji bawang merah agar produksi TSS yang bermutu di dataran rendah dapat berkembang. Sebelum dapat diadopsi oleh petani, perlu adanya tahapan upscaling di lapangan sehingga teknologi produksi TSS layak secara teknis.
Penelitian untuk mendapatkan teknologi budidaya
produksi umbi mini asal TSS dan teknologi budidaya umbi konsumsi asal umbi mini perlu dilakukan agar alih teknologi TSS dalam menyediakan benih bermutu dapat diadopsi pengguna.
77
DAFTAR PUSTAKA Amanullah MM, Sekar S, Vincent S. 2010. Plant growth substances in crop production: A Review. Asian J Plant Sci 9:215-222 Badawi MA, Seadh SE, EL-Emery MI, Shalaby AEM. 2010. Onion seed yield and its quality as influenced by storage methods, mother bulb size and harvesting time. Giza: Seed Technology Research Department, Field Crops Research Institute, Agricultural Research Center. [BPS] Badan Pusat Statistik. 2006. Statistik Luas Panen dan Produktivitas Bawang Merah Nasional. Tersedia dari: http://www.bps.go.id. [ 9 Mei 2011]. [BPS] Badan Pusat Statistik. 2010. Statistik Luas Panen dan Produktivitas Bawang Merah Nasional. Tersedia dari: http://www.bps.go.id. [ 9 Mei 2011]. Barclay GF, McDavid CR. 1998. Effect of benzylaminopurine on fruit set and seed development in pigeonpea (Cajanus cajan). Scientica Hort 72(2):81-86. Basuki RS. 2009a. Analisis kelayakan teknis dan ekonomis teknologi budidaya bawang merah dengan benih biji botani dan benih umbi tradisional. J Hort 19(3):5-8 Basuki RS. 2009b. Analisis tingkat preferensi petani terhadap karakteristik hasil dan kualitas bawang merah varietas lokal dan impor. J Hort 19(2):237-248 Blevins DG, Lukaszewski KM. 1998. Boron in plant structure and function. Annu Rev Plant Physiol 49:481-500 Breazeale D, Fernandez G, Narayanan R. 2008. Modeling pollination factors that influence alfalfa seed yield in north-central nevada. J Cent European Agric 9(1):107-116. Brewster JL, Salter PJ. 1980. Effect of planting spacing on yield and bolting of two cultivars of over wintered bult. onion. Hortscience. 55(2):97-102 Brown PH, Shelp BJ. 1997. Boron mobility in plants. Plant and Soil 193:85-101 Chandel RS, Thakur RK, Bhardwaj NR, Pathania N. 2004. Onion seed crop pollination: a missing dimension in mountain horticulture. Acta Hort 631:7986 Copeland LO, McDonald MB. 1995. Seed Science and Technology. Ed ke-3. New York: Chaman & Hall. Currah L, Proctor FJ. 1990. Onions in Tropical Regions. Volume ke-35. Chatham: Natural Resource Institute.
78
Davies PJ. 2004. The plant hormones: Their nature, occurence, and function. Di dalam: Davies PJ, editor. Plant Hormones: Biosythesis, Signal Transduction, Action. Prentice-Hall. Inc., New York. DeMason DA. 1990. Morphology and anatomy of Allium. Di dalam: Rabinowitch HD, Brewster JL, editor. Onions and Allied Crops. Florida: CRC Press, Inc. hlm27-52 Direktorat Bina Perbenihan, Direktorat Jenderal Tanaman Pangan dan Hortikultura. 2007. Pedoman sertifikasi dan pengawasan peredaran mutu benih. Jakarta: Direktorat Bina Perbenihan Direktorat Jenderal Hortikultura. 2010. Perbenihan http://www.ditjenhortikultura.go.id. [9 Mei 2011]
bawang
merah.
Firoz ZA, Jaman MM, Alam MS, Alam MK. 2008. Effect of boron application on the yield of different varieties of broccoli in hill valley. Bangladesh J Agri Res 33(3):655-657 Fita GT. 2004. Manipulation of flowering for seed production of shallot [Disertation]. Hanover: Universitat Hanover. Garg OK, Sharma AN, Kona GRSS. 1979. Effect of boron on the pollen vitality and yield of rice plants (Oryza sativa L. var. jaya). Plant and Soil 52(4):591594. Abstrak. http://link.springer.com/article/10.1007%FBF02277956?LI=true [5 Juli 2011]. Guitian J. (1994). Selective fruit abortion in Prunus mahaleb (Rosaceae). Amer. J. Bot. 81 (12): 1555-1558 Gure C, Gullale W, Abdissa T. 2009. What we know is beyond what we think about honeybees on onion seed production. FRG update 6:1-4 Gross RS, Werner PA. 1983. Relationships among flowering phenology, insect visitors, and seed-set of individuals: experimental studies on four co-occurring species of goldenrod (Solidago: Compositae). Ecol Monographs 53:95-117: Abstract. http:// www.jstor.org/stable/1942589. [25 Mei 2011]. Hanelt P. 1990. Taxonomy, evolution, and history. Di dalam: Rabinowitch HD, Brewster JL, editor. Onions and Allied Crops. Florida: CRC Press, Inc. hlm1-26. Heard TA. 1999. The Role of stingless bees in crop pollination. Annu Rev Entomol 44:183-206 Jones RN. 1990. Di dalam: Rabinowitch HD, Brewster JL, editor. Onions and Allied Crops. Florida: CRC Press, Inc. hlm 200-214.
79
Kameyama Y, Kudo G. 2009. Flowering phenology influences seed production and out-crossing rate in populations of an alpine snowbed shrub, Phillodoce aleutica: Effects of pollinators and self-incompatibility. Annals of Botany 110 Kartapradja R, Sartono P. 1990. Percobaan varietas bawang merah di Sukamandi. Bul Penel Hort 18(2):57-60 Keefe S. 1998. In the green: update on boron’s role as an essential plant micronutrient. http://www.borax.com_fr/files/micro.pioneer.pdf. [25 Mei 2011] Kelling KA. 1999. Soil and Applied Boron. Wisconsin: University of Wisconsin System Board of Regent and University of Wisconsins-Extension, Cooperarative Extension.http://www.soils.wisc.edu/extension/pubs/a2522.pdf. [7 Nopember 2012] Khokhar KM. 2009. Effect of set-size and storage temperature on bolting, bulbing and seed yield in two onion cultivars. Scientia Hort 122:187-194 Kiran J. 2006. Effect of fertilizer, biofertilizer and micronutrients on seed yield and quality of brinjal (Solanum molongena L.) [Tesis]. Dharwad: Department of Seed Science and Technology College of Agriculture, University of Agricultural Sciences. Marschner H. 1995. Mineral Nutrition of Higher Plants. London: Academic Press Limited. Meena RS. 2010. Effect of boron on growth, yield and quality of tomato (Lycopersicon esculentum Mill.) cv. Pusa Ruby grown under semi-arid conditions. Int J Chem Eng Res 2(2):167-172 Mehmood E, Kausar R, Akram M, Shazad SH. 2009. Is boron required to improve rice growth and yield in saline environment? Pak J Bot 41(3):13391350 Misra SM, Patil BD. 1987. Effect of boron on seed yield in lucerne (Medicago sativa L.). J Agron Crop Sci 158(1):34–37. Munawar MS, Raja S, Niaz S, Sarwar G. 2011. Comparative performance of honeybees (Apis mellifera) and blow flies (Phormia terronovae) in onion (Allium cepa l.) seed setting. J Agric Res 49(1):49-56 Ockendon DJ, Gates PJ. 1976. Variation in pollen viability in the onion (Allium cepa L.). Euphytica 25:753-759
80
Oz M, Karasu A, Cakmak I, Goksoy AT, Turan ZM. 2009. Effect of honeybee (Apis mellifera) pollination on seed set in hybrid sunflower (Helianthus annuus L.). African J Biotech 8(6):1037-1043 Parker FD. 1982. Efficiency of bees in pollinating onion flower. Entomol Soc 55(1):171-176
J Kansas
Permadi AH, Putrasamedja S. 1991. Penelitian pendahuluan variasi sifat-sifat bawang merah yang berasal dari biji. Bul Penel Hort 20(4):120-134 Permadi, AH. 1995. Pemuliaan bawang merah. Di dalam: Sunarjono H, Suwandi, Permadi AH, Bahar FA, Sulihantini S, Broto W, editor. Teknologi Produksi Bawang Merah. Jakarta: Pusat Penelitian dan Pengembangan Hortikutura. Badan Penelitian dan Pengembangan Pertanian. hlm 26-45 Prat L, Botti C, Fichet T. 2008. Effect of plant growth regulators on floral differentiation and seed production in jojoba (Simmondsia chinensis (Link) Schneider). Industrial Crops and Products 27:44–49. Putrasamedja S, Permadi AH. 1994. Pembungaan beberapa kultivar bawang merah di dataran tinggi. Bul Penel Hort 26(4):145-150 Putrasamedja S. 1995a. Pengaruh jarak tanam terhadap pembentukan anakan pada kultivar bawang merah. Bul Penel Hort XXVII(4):87-92 Putrasamedja S. 1995b. Teknik budidaya produksi biji bawang merah. Di dalam: Sunarjono H, Suwandi, Permadi AH, Bahar FA, Sulihantini S, Broto W, editor. Teknologi Produksi Bawang Merah. Jakarta: Pusat Penelitian dan Pengembangan Hortikutura. Badan Penelitian dan Pengembangan Pertanian. hlm 46-50 Rabinowitch HD. 1990a. Physiology of flowering. Di dalam: Rabinowitch HD, Brewster JL, editor. Onions and Allied Crops. Florida: CRC Press, Inc. hlm 113-134. Rabinowitch HD. 1990b. Seed development. Di dalam: Rabinowitch HD, Brewster JL, editor. Onions and Allied Crops. Florida: CRC Press, Inc. hlm 151-158. Rao GM, Suryanarayana MC. 1989. Effect of honeybee pollination on seed yield in onion (Allium cepa). Indian Bee J 51:9-11 Rashid MA, Singh DP. 2000. A Manual on vegetable seed production in Bangladesh. Bangladesh: AVRDC-USAID-Bangladesh project, Horticulture Research Centre, Bangladesh Agriculture Research Institute, Joydebpur, Gazipur-1701.
81
Rasul G, Chaudary QZ, Mahmood A, Hyder KW. 2011. Effect of temperature rise on crop growth & productivity. Pak J Meteorol 8(15):53-62 Reda MSAF, Abdel el-Wahed, Gamal el-Din KM. 2010. Effect of indole acetic acid, gibberelic acid and kinetin on vegetatif growth, flowering, essential oil pattern of chamomile plant (Chamomile recutita l. rausch). Wourld J Agri Sci 6(5):595-600 Ridwan H, Sutapradja H, Margono. 1989. Daya produksi dan harga pokok benih/biji bawang merah. Bul Penel Hort 17(4):1989 Rosliani R, Sumarni N, Suwandi. 2002. Pengaruh kerapatan tanaman, naungan, dan mulsa terhadap pertumbuhan dan produksi umbi bawang merah mini. J Hort 12(1):28-34 Rosliani R, Suwandi, Sumarni N. 2005. Pengaruh waktu tanam dan zat pengatur tumbuh mepiquat klorida terhadap pembungaan dan pembijian bawang merah tss. J Hort 15(3):192-198 Roversi A, Ughini V , Tavella M. 1984. Fruit set in sweet cherry. I. Role of some agronomic variables. Frutticulture 46:49-54 Sajjad A, Saeed S, Masood A. 2008. Polinator community of onion (Allium cepa L.) and its role in crop reproductive succes. Pak J Zool 40(6):451-456 Sharma SK. 1995. Respon of boron and calcium nutrition on plant growth, fruit and seed yield of tomato. Vegetable Sci 22: 27-29 Sharma SK. 1999. Effect of boron and calcium on seed production of bell pepper (Capsicum annuum L.). Vegetable Sci 26: 87-88 Satjadipura S. 1990. Pengaruh vernalisasi terhadap pembungaan bawang merah. Bul Penel Hort 18(2):61-70 Shishido Y, Saito T. 1977. Studies on the flower bud formation in onion plants. III. Effects of physiological conditions on the low temperature induction of flower buds in bulbs. J Jpn Soc Hort Sci 46:310-316 Shivanna KR, Sawhney VK. 1997. Pollen biology and pollen biotechnology: an introduction. Di dalam: Shivanna KR, Sawhney VK, editor. Pollen Biotechnology for Crop Production and Improvement. Cambridge: Cambridge University Press. hlm 1-12 Suherman R, Basuki RS. 1990. Strategi pengembangan luas usahatani bawang merah di Jawa Barat: tinjauan dari segi biaya usahatani terendah. Bul Penel Hort 18(1):11-18
82
Sumarni N, Soetiarso TA. 1998. Pengaruh waktu tanam dan ukuran umbi bibit terhadap pertumbuhan, produksi dan biaya produksi biji bawang merah. J Hort 8(2):1085-1094 Sumarni N, Sumiati E. 2001. Teknik produksi biji botani bawang merah/TSS menggunakan vernalisasi dan zat pengatur tumbuh: GA3. J Hort 11(1):1-8 Sumarni N, Rosliani R. 2002. Pengaruh kerapatan tanaman dan konsentrasi larutan NPK (15-15-15) terhadap produksi umbi bawang merah mini dalam agregat hidroponik. J Hort 11(3):163-169 Sumarni N, Sumiati E, Suwandi. 2005. Pengaruh kerapatan tanaman dan aplikasi zat pengatur tumbuh terhadap produksi umbi bibit bawang merah asal biji kultivar Bima. J Hort 15(3):208-214 Sumarni N, Guswanto R, Basuki RS. 2009. Implementasi teknologi TSS untuk memenuhi kebutuhan benih bawang merah sebanyak > 30% pada waktu tanam off season. J Hort, in Press Sumarni N,. Setiawati A, Basuki RS, Sulastrini I, Hidayat I. 2010. Pengaruh dosis dan waktu pemupukan NPK terhadap produksi benih TSS varietas Maja dan Bima. J Hort, in Press Sumarni N, Setiawati W, Wulandari A, Hasyim A. 2011. Perbaikan teknologi produksi benih bawang merah (TSS) untuk peningkatan seed set (25%). J Hort, in Press Sumiati E. 1997. Pertumbuhan serta hasil umbi dan biji bawang bombay (Allium cepa L.) kultivar hari pendek dengan vernalisasi dan aplikasi asam giberelat di datarn tinggi Lembang Jawa Barat [Disertasi]. Bandung: Program Pascasarjana, Universitas Padjadjaran. Suwandi, Hilman Y. 1995. Budidaya tanaman bawang merah. Di dalam: Sunarjono H, Suwandi, Permadi AH, Bahar FA, Sulihantini S, Broto W, editor. Teknologi Produksi Bawang Merah. Jakarta: Pusat Penelitian dan Pengembangan Hortikutura. Badan Penelitian dan Pengembangan Pertanian. hlm 51-56 Wang Q, Lu L, Wu X, Li Y, Lin J. 2003. Boron influences pollen germination and pollen tube growth in picea meyeri. Tree Physiol 23: 345–351 Werner T, Motyka V, Strnad M, Schmulling T. 2001. Regulation of plant by cytokinin. Plant Biol 98 (18): 10487–10492 William IH, Free JB. 1974. The Pollination of onion (Allium cepa L.) to produce hybrid seed. J Applied Ecol 11(2):409-417
83
Woyke HW. 1981. Some aspect of the role of the honeybees in onion seed production in Poland. ISHS Acta Hort 111:91-98. Xiaoqi F, Dickinson HG. 2010. Tapetal cell fate, lineage and proliferation in the Arabidopsis anther. Development 137: 2409-2416. Youngkoo CS, Park HK, Wood A. 2006. Impact of 2,4-DP and BAP upon pod set and seed yield in soybean treated at reproductive stages. Plant Growth Reg 36(3):215-221 Yucel B, Duman I. 2005. Effect of foraging activity of honeybees (Apis mellifera l.) on onion (Allium cepa) seed production and quality. Pak J Biol Sci 8(1):123-126 Zdzislaw W, Giejdasz J, Proszynski G. 2004. Effect of pollination on onion seeds under isolation by the mason bee (Osmia rufa L.) (Apoidea, Megachilidae) on the setting and quality of obtained seeds. J Apic Sci 48:35-41
84
LAMPIRAN
85
Lampiran 1 Deskripsi bawang merah varietas Bima Brebes Asal
:
lokal Brebes
Umur
:
mulai berbunga 50 hari panen (60% batang melemas) 60 hari
Tinggi tanaman
:
34,5 cm (25-44 cm)
Kemampuan berbunga (alami)
:
agak sukar
Banyak anakan
:
7-12 umbi per rumpun
Bentuk daun
:
silindris, berlubang
Warna daun
:
hijau
Banyak daun
:
14-50 helai
Bentuk bunga
:
seperti payung
Warna bunga
:
putih
Banyak buah/tangkai
:
60-100 (83)
Banyak bunga/tangkai
:
120-160 (143)
Banyak tangkai bunga/rumpun
:
2-4
Bentuk biji
:
bulat, gepeng, berkeriput
Warna biji
:
hitam
Bentuk umbi
:
lonjong bercincin kecil pada leher cakram
Warna umbi
:
merah muda
Produksi umbi
:
9,9 ton per hektar umbi kering
Susut bobot umbi (basah-kering)
:
21,5%
Ketahanan terhadap penyakit
:
cukup tahan terhadap busuk umbi (Botrytis allii)
Kepekaan terhadap penyakit
:
peka terhadap busuk ujung daun (Phytophtora porri)
Keterangan
:
baik untuk dataran rendah
Peneliti
Hendro Sunarjono, Prasodjo, Darliah dan Nasran Horizon Arbain
86
B
A
Lampiran 2. Umbi bibit setelah divernalisasi 1 bulan siap tanam (A); Penanaman tiga umbi per polibag (B)
Lampiran 3. Rata-rata suhu dan kelembaban di dataran tinggi Lembang (1250 m dpl) pada bulan Agustus sampai Desember 2011 Pengamatan Suhu (0C) Kelembaban (%) Curah Hujan (mm/bln)
Rata-rata Maksimum Minimum Rata-rata
Agust 19.09 25.65 13.19 85.13 0
Sept 20.40 24.43 14.90 85.83 57.6
Okt 21.56 26.30 14.70 88.90 294
Nop 20.34 24.47 15.50 86.77 210.5
Des 21.34 25.8 15.87 89.50 334.5
Lampiran 4. Rata-rata suhu udara, kelembaban relatif dan curah hujan di dataran tinggi Lembang (1250 m dpl) pada bulan Maret sampai Juli 2012 Pengamatan Suhu (0 C) Kelembaban (%) Curah Hujan (mm)
Rata-rata Maksimum Minimum Rata-rata
Maret 20.19 24.29 15.38 82.65 164
April 20.26 24.5 15.33 86.73 297.5
Mei 20.17 24.61 15.48 87.35 201.5
Juni 19.25 23.90 14.90 84.13 96.5
Juli 19.78 24.17 14.83 86.53 44.40
87
Lampiran 5.
Rata-rata suhu dan kelembaban di dalam kerodongan kain kasa di dataran tinggi Lembang (1250 m dpl) pada bulan Maret sampai Juli 2012
Pengamatan Suhu (0 C)
Kelembaban (%)
Pukul 07.00 12.00 16.00 Rata-rata 07.00 12.00 16.00 Rata-rata
Maret 21.03 27.10 23.00 23.71 81.55 60.30 79.00 73.61
April 21.15 27.31 23.33 23.93 83.05 63.40 80.25 75.57
Mei 21.43 27.61 22.76 23.93 85.00 58.35 80.80 74.72
Juni 20.40 26.85 22.90 23.38 80.67 57.00 76.20 71.29
Juli 20.67 28.20 23.45 24.11 80.60 55.30 75.80 70.57
Lampiran 6. Rata-rata suhu dan kelembaban di dataran rendah Subang (100 m dpl) pada bulan Maret sampai Juli 2012 Pengamatan Suhu (0 C) Kelembaban (%) Curah Hujan (mm)
Maret Rata-rata 27.83 Maksimum 32.44 Minimum 24.07 Rata-rata 84.93 Rata-rata 260
April 27.36 31.68 24.61 82.48 370
Mei 28.81 33.25 25.01 81.23 113
Juni 28.28 32.73 24.15 81.47 48
Juli 25.84 31.06 21.26 72.37 0