TINJAUAN PUSTAKA Biologi Liriomyza huidobrensis L. huidobrensis termasuk Subfarnili Phytomyzinae, Famili Agromyzidae,
Ordo Diptera (Spencer & Steyskal 1986). Liriomyza dideskripsikan pertama kali oleh Blanchard tahun 1926 dari tanaman Cineraria di Argentina (Parrella 1982) Telur.
Imago Liriomyza meletakkan telur dengan menyisipkannya di
bawah epikutikula permukaan daun bagian atas atau di atas epikutikula permukaan daun bagian bawah.
Telur berbentuk ginjal dengan warna agak
keputihan dan tembus pandang dengan ukuran 0,28 mm x 0,15 mm (Parrella 1987). Telur diletakkan satu persatu saling berdekatan satu sama lain dengan lama stadium telur 2-3 hari. Selama hidupnya, imago betina mampu meletakkan telur 42-30 1 butir (Supartha 1998). Larva. Larva L. huidobrensis yang baru menetas langsung makan dan berlanjut sampai keluar dari daun. Larva instar terakhir keluar dari daun menuju ke tanah untuk berkepompong.
Stadium larva berkisar 6- 12 hari, dengan
perincian instar -1 berkisar 2-4 hari, instar -2 berkisar 2-4 hari dan instar -3 berkisar 2-4 hari (Supartha 1998). Larva berbentuk silinder yang mengecil ke depan menyerupai ternpayak.
Ujung anterior tubuh pipih, sedangkan ujung
posterior terpancung. Larva bergerak melalui gerakan peristaltik dengan tekanan hidrostatik kerangka luarnya (Parrella 1987). Prapupa dan pupa.
Periode di antara fase larva dan pembentukan
puparium disebut fase prapupa. Periode prapupa Liriomyza berkisar antara 2-4
5
jam (Leibee 1984). Lama stadium pupa berkisar antara 8-1 1 hari (Parrella 1987). Pada spesies L. huidobrensis berkisar antara 9- 12 hari (Supartha 1998) Imago. Imago Liriomyza muncul dari bagian dorsal posterior puparium
yang prosesnya memerlukan waktu 5 menit sampai satu jam atau lebih. Kematian imago sering terjadi selama proses tersebut. Imago yang baru muncul bersifat fototaksis posistif dan naik ke batang tanaman. Ukuran tubuh imago betina lebih besar daripada jantan dan muncul dari pupa yang lebih besar. Gejala Serangan Liriomyza
Lalat pengorok daun L. huidobrensis menyebabkan kerusakan pada daun tanaman karena tusukan ovipositor dan pengisapan cairan daun oleh imago. Kerusakan yang lebih parah lagi akibat korokan larva Liriomyza dalam daun tanaman menyebabkan daun menjadi kecoklatan karena matinya jaringan tanaman (Cisneros & Mujica 2000). Sedangkan serangan pada daun kentang menyebabkan tanaman mengering seperti gejala penyakit busuk daun (Rauf 1999). Gejala serangan dimulai pada daun bagian bawah, kemudian daun bagian tengah, dan serangan lebih parah dapat menyerang bagian pucuk (Cisneros & Mujica 2000). Chavez dan Raman (1987) melaporkan bahwa di Amerika Serikat dan Peru, serangan L. huidobrensis dapat mengakibatkan kehilangan hasil pada kentang sekitar 35% sedangkan di Lembang kehilangan hasil sekitar 34% (Soeriaatmadja & Udiarto 1996). Lebih lanjut dikemukakan oleh Rauf et al. (2000) bahwa berdasarkan hasil survei di Bandung dan Garut (Jawa Barat), Banjar Negara dan Wonosobo (Jawa Tengah), Alahan Panjang (Sumatera Barat), dan
6
Karo (Sumatera Utara), petani setempat melaporkan kehilangan hasil akibat serangan Lyriomyza pada tanaman kentang sekitar 30 - 70%. Biologi Parasitoid Braconidae
Famili Braconidae merupakan salah satu kelompok utama parasitoid yang terdiri dari spesies-spesies yang sangat efektif untuk menekan kenaikan populasi hama penting tanarnan (Wharton 1993). Opius fletcheri Silv. dan Opius tryoni Cam. merupakan spesies dari Famili Braconidae yang mempunyai nilai tinggi dalam pengendalian hayati lalat buah di Hawai. Parasitoid Braconidae dapat bersifat endoparasotoid atau ektoparasitoid. Umumnya parasitoid endoparasitoid terdapat pada inang yang hidup terbuka (Clausen 1940). Menurut Goulet dan Huber (1933), serangga Famili Braconidae umumnya merupakan serangga kecil yang berukuran jarang melebihi 15 mm. Sayap depan serangga famili ini tidak mempunyai sel costa dan vena 2m-cu. Ciri-ciri lain dari Famili Braconidae adalah tergum ke-2 metasoma bergabung dengan tergum ke-3. Siklus hidup sebagian besar anggota Braconidae relatif singkat. Salah satu contoh spesies pada Subfamili Microgasterinae, dalam
setahun dapat
menghasilkan keturunan hingga beberapa generasi dengan stadia telur 2 sampai 5 hari, stadia larva 6 sampai 15 hari, dan stadia pupa 5 sampai 10 hari (Clausen 1940). Telur. Pada umumya bentuk telur Famili Braconidae sederhana mulai dari
bentuk oval sampai hampir silindris, kadang-kadang seperti buah pir atau bentuk yang memanjang dan menyempit kedua ujungnya yang termasuk ke dalam tipe himenopteriforrna.
Empat tipe telur yang lain dari lima tipe telur Famili
7
Braconidae adalah tipe mikro, pedikulat, bertangkai dan ensitiforma (Clausen 1940). Larva. Menurut Hagen (1973), jumlah instar larva parasitoid mulai dari
instar pertama sampai instar terakhir sangat beragam tergantung dengan genus dan spesiesnya. Selanjutnya Clausen (1940) mengelompokkan larva instar pertama dalam 5 tipe yaitu himenopteriforma, mandibulata, kaudata, vesikulata dan polipodeiforma Pada umumnya tubuh larva terdiri atas 13 ruas. Larva instar terakhir spesies-spesies yang tergolong Braconidae memiliki bentuk umum dengan beberapa ciri yang membedakan. Bentuk umum larva instar terakhir itu adalah tipe himenopteriforma (Clausen 1940) Pupa. Pupa Hymenoptera parasitoid bertipe eksarata yang berkokon atau
tidak berkokon. Parasitoid yang larvanya hidup di dalam inang atau pada inang yang hidup tersembunyi membuat atau tidak membuat kokon sedang parasitoid yang menyerang inang yang hidupnya terbuka umumnya membuat kokon (Clausen 1940; Hagen 1973). Imago. Hymenoptera parasitoid jantan dan betina yang baru keluar dari pupa dapat segera melakukan kopulasi bila keluar secara bersamaan (Doutt 1973). Namun pada beberapa spesies kopulasi kadang-kadang terjadi setelah beberapa hari keluar dari pupa. Beberapa spesies Hymenoptera parasitoid mengalami periode praoviposisi, yaitu selang waktu sejak imago betina keluar dari pupa hingga saat peletakkan telur pertama (Doutt 1973).
Periode praoviposisi umumnya singkat, hanya
beberapa hari. Menurut Clausen (1940) spesies dari Famili Braconidae dapat
8
meletakkan telurnya pada saat hari yang sama setelah imago betina keluar dari Pupa. Pemilihan Inang oleh Parasitoid
S.ebagian besar parasitoid Hymenoptera dapat memarasit beberapa jenis inang dan hanya sedikit spesies yang spesifik memarasit satu spesies inang. Parasitoid yang spesifik tersebut, pada kondisi laboratorium bahkan juga sering dapat dipelihara pada inang lain yang secara alamiah bukan merupakan inang karena adanya hambatan waktu dan ruang yang memisahkannya. Kenyataan bahwa parasitoid dapat dibiakkan di laboratorium dengan serangga bukan inang alamiah menjadi penting dalam pembiakkan masal parasitoid (Doutt 1959). Menurut Doutt (1959) terdapat empat tahapan yang harus dilewati agar parasitoid berhasil memarasit inangnya, yaitu 1) penemuan habitat inang, 2) penemuan inang, 3) penerimaan inang, dan 4) kesesuaian inang. Selanjutnya Vinson (1976) menambahkan pengaturan inang sebagai tahap yang kelima karena keberhasilan parasitisme juga ditentukan oleh kemampuan parasitoid dalam mengatur fisiologi inangnya. Dalam penemuan habitat inang, parasitoid terutama dipandu oleh rangsangan kimia yang berasal dari senyawa-senyawa volatil.
Rangsangan
tersebut dapat berupa bau yang berasal dari makanan atau tanaman yang terluka atau yang rusak, organisme yang berasosiasi dengan inang atau inang itu sendiri. Tanaman merupakan isyarat utama karena tanaman mempunyai peran yang dominan dalam mendukung suatu habitat yang khas. Akibatnya, suatu parasitoid kadang-kadang tertarik pada tanaman tertentu meskipun di situ tidak terdapat
inang. Parasitoid kadang-kadang juga memarasit inang yang terdapat pada jenis tanaman tertentu dan tidak pada jenis tanaman yang lain (Vinson 1981). Penemuan inang oleh parasitoid dipandu oleh rangsangan fisik dan kimia. Rangsangan fisik yang berperan terutama suara dan gerakan. Rangsangan kimia dapat dibagi menjadi dua kelompok. Pertama, rangsangan kimia yang dapat diterima dari jarak jauh misalnya bau inang.
Rangsangan yang diterima
memungkinkan parasitoid untuk melokalisasi areal pencarian inang. Kedua, rangsangan kimia yang dapat dideteksi hanya dari jarak dekat, yaitu setelah terjadi kontak fisik. Rangsangan ini biasanya berasal dari senyawa-senyawa padat atau cair misalnya kotoran inang, sekresi dari kelenjar labium inang, produk inang lain dan bekas parasitoid lain. Adanya rangsangan ini memungkinkan terjadinya kontak antara parasitoid dengan inangnya yang dicirikan oleh perilaku pengujian oleh parasitoid berupa pergerakan memutar dengan cepat dan perubahan kecepatan pergerakan. Faktor lain yang ikut menentukan penemuan inang adalah pengalaman dan perilaku orientasi parasitoid (Weseloh 1981). Penerimaan inang atau pengenalan inang adalah proses diterima atau ditolaknya inang untuk peletakkan telur setelah terjadi kontak (Arthur 1981). Proses tersebut dibagi dalam empat fase yaitu:l) kontak dan pemeriksaan, 2) penusukan dengan ovipositor, 3) pemasukan ovipositor dan 4) peletakan telur. Keempat fase tersebut harus lengkap dan berurutan sehingga bila terjadi hambatan pada salah satu fase, proses dimulai lagi dari awal. Seperti halnya tahap sebelumnya, penerimaan inang juga dipandu terutama oleh rangsangan fisik dan kimia. Selain itu, pengalaman parasitoid sebelumnya, termasuk tempat perkembangan parasitoid, juga akan berpengaruh pada proses
10
peneriman inang. Rangsangan fisik yang berperan adalah kondisi fisik inangnya seperti ukuran, bentuk, tekstur atau bentuk perrnukaan, warna dan kandungan air. Rangsangan lainnya adalah pergerakan inang misalnya kegiatan makan inang dan perkembangan embrio dalam telur. Rangsangan kimia dapat berasal dari senyawasenyawa yang terdapat di luar dan di dalam tubuh inang yang dapat dideteksi dengan antena, tarsi atau ovipositor.
Senyawa-senyawa tersebut dapat
disekresikan melalui kutikula, diekskresikan bersama-sama kotoran atau terdapat pada jaringan-jaringan tertentu dalam tubuh inang (Arthur 1981). Kesesuaian inang yang menentukan keberhasilan perkembangan parasitoid sampai menjadi imago tergantung pada beberapa faktor, yaitu: 1) kemampuan parasitoid dalam menghindari atau melawan sistim pertahanan inang, 2) kompetisi dengan parasitoid lain, 3) adanya toksin yang mengganggu atau merusak telur atau larva parasitoid, dan 4) kesesuaian makanan parasitoid.
Faktor lain yang
berpengaruh adalah infeksi patogen, kerentanan inang, faktor lingkungan dan pengaruh hormon-hormon pengendali serangga (Vinson dan Iwantsch 1980) Reproduksi dan Penentuan Nisbah Kelamin
Proses produksi telur serangga Hymenoptera dibagi dalam dua kelompok yaitu sinovigenik dan proovigenik (Doutt 1959; 1973). Pada serangga sinovigenik telur diproduksi selama hidup imago betina. Banyaknya telur yang diproduksi lebih tergantung pada makanan imago betina dibanding metabolit yang disimpan pada stadia pradewasa.
Pada serangga proovigenik imago betina yang baru
muncul mengandung telur yang telah matang dan tidak menghasilkan telur lagi bila semua telur telah diletakkan.
11
Reproduksi pada
serangga
Ordo Hymenoptera berlangsung secara
partenogenetik. Terdapat tiga tipe reproduksi, yaitu teliotoki, deuterotoki dan arenotoki.
Arenotoki merupakan tipe reproduksi yang paling umum pada
Hymenoptera, sedangkan teliotoki dan deuterotoki hanya terjadi pada beberapa spesies (Doutt 1959). Pada arenotoki, telur dapat berkembang baik secara partenogenetik maupun melalui pembuahan.
Telur yang dibuahi menjadi diploid dan akan
berkembang menjadi individu-individu betina, sedangkan telur yang tidak dibuahi tetap haploid dan akan berkembang menjadi individu jantan (Clausen, 1940). Pada imago betina dari sebagian besar anggota Ordo Hymenoptera terdapat spermateka yang berfungsi sebagai organ penyimpan sperma yang diterima ketika kopulasi (Doutt 1973). Jenis kelamin individu ditentukan selama proses peletakan telur, yaitu ada atau tidaknya pengeluaran sperrna ketika telur melewati muara spermateka. Oleh karena itu, nisbah kelamin spesies serangga yang demikian sering sangat beragam dan berfluktuasi tergantung pada kondisi lingkungan. Faktor-faktor lingkungan sangat berpengaruh pada perilaku imago betina termasuk perilaku peletakkan telur dan pengaturan pengeluaran sperma yang akhirnya dapat menentukan jensi kelamin keturunannya. Nisbah kelamin suatu spesies parasitoid yang berfluktuasi dapat menjadi kendala penggunaan spesies tersebut dalsun program pengendalian hayati, baik dalam pembiakan massal di laboratorium maupun dalam kolonisasi. Proporsi jantan dan betina (nisbah kelamin) keturunan parasitoid ditentukan oleh beberapa faktor seperti suhu, umur imago, kesesuaian nutrisi, selain kemampuan imago jantan untuk mengawini imago betina (Vinson dan
12
Iwantsch 1980). Flanders (1946) menekankan faktor instrinsik dan ekstrinsik yang mempengaruhi nisbah kelamin serangga arenotoki. Faktor intrinsik nisbah kelamin ditentukan oleh: 1) jumlah telur yang d.iletakkan pada setiap peletakan inang, 2) banyaknya telur dalam ovari yang siap untuk diletakkan, dan 3) perbedaan kecendrungan kelamin pada perkembangan poliembrionik. Faktor ekstrinsik yang mempengaruhi nisbah kelamin adalah: 1) perbedaan mortalitas selama masa perkembangan, 2) interval kawin setelah imago muncul dari pupa, terutama perbandingan telur yang diletakkan sebelum dan sesudah kawin, 3) terlalu sering kawin, 4) adanya perbedaan tanggap peletakkan telur sesudah dan sebelum kawin, 5) adanya unsur pemilihan tempat peletakan telur, dan 6) kecepatan peletakkan telur, Pengaruh Instar Inang Fase perkembangan inang dapat mempengaruhi proses penemuan inang dan penerimaan inang (Hendrikse et al. 1980; Van Alphen & Drijver 1982). Fase inang juga mempengaruhi kesesuaian parasitoid dan kemarnpuan parasitoid untuk berhasil dalam pengaturan inangnya (Vinson & Iwantsch 1980; Beckage 1985; Lawrence 1986). Parasitisasi pada instar inang yang berbeda dan ukuran inang yang berbeda mempengaruhi kebugaran dan jumlah parasitoid (Hendrikse et al. 1980; Van Alphen & Drijver 1982), nisbah kelamin (King 1989), masa perkembangan (Lawrence et al. 1976) atau ukuran parasitoid (Lawrence et al. 1976; Liu 1985). Ukuran parasitoid juga berkorelasi yang positif dengan jumlah telur yang dihasilkan dan effisiensi dalam kemampuan mencari dan memarasit inang (Boldt 1974; Liu 1985; Hurlbutt 1987).
Hasil penelitian Petitt dan
13
Wietlisbach (1993), menunjukkan bahwa 0. dissitus Muesebeck lebih tertarik memarasit inang instar lanjut. Bila parasitoid memarasit instar lanjut maka akan menghasilkan
masa perkembangan lebih singkat
dan nisbah kelamin
keturunannya berbias ke arah jantan. Biologi Opius sp.
Parasitoid Opius sp. merupakan endoparasit larva-pupa. Studi biologi dan morfologi 0. dissitus pada inang L. trfolii telah diteliti oleh Bordat et al. 1995 dan 0. melleus Gahan pada larva lalat buah Famili Tephritidae (Lathrop & Newton 1933) Telur 0. dissitus berbentuk lonjong dengan warna putih dan tembus pandang. Ukuran telur rata-rata 0,22 mm dan lama stadium telur 1-3 hari (Bordat et al. 1995), sedangkan 0. melleus lama stadium telur lebih panjang yakni 3-6 hari
(Lathrop & Newton 1933).
Setelah telur diletakkan, telur mengalami
pertumbuhan dan perkembangan di dalam tubuh inang. Larva 0. dissitus terdiri atas dua instar, dengan ukuran masing masing 0,47 mm dan 0,99 mm, sedangkan 0. melleus dan Diachasma tryoni (Hyrnenoptera : Braconidae), larva terdiri atas empat instar (Pemberton & Willard 1918; Lathrop & Newton 1933; Bordat et al. 1995). Larva instar satu mempunyai bagian kapsul
kepala yang kokoh dengan dua pengait yang runcing, tubuhnya ramping dan pada ujungnya terlihat kasar. Larva instar dua berbentuk bulat, dimana pengaitnya telah hilang dan berada dalam pupa inang yang panjang dengan warna putih krem (Bordat et al. 1995) dan bersifat tidak aktif (Lathrop & Newton 1933).
Pembentukan pupa ditandai dengan terbentuknya tonjolan tungkai dan antena yang dapat dibedakan dengan mudah dari bentuk larva. Bagian tubuh, kepala, toraks dan abdomen dapat terlihat jelas. Awalnya pupa berwarna kuning pucat dan lama kelamaan bewarna gelap.
Tubuh pupa yang berusia lanjut
berwarna hitam dengan ukuran 1,52 mm (Bordat et al. 1995), dan pembentukan pupa terjadi di dalam tubuh inang (Pemberton & Willard 1918). Imago 0.dissitus berwarna hitam, dengan ukuran yang hampir sama antara jantan dan betina, yaitu rata-rata 1,50 mm dan 1,49 mm. Jantan dan betina sulit dibedakan dengan mata biasa. Antena imago panjang, hitam, dan panjangnya hampir sama dengan tubuhnya (Bordat et al. 1995). Pada 0. melleus ovipositor relatif panjang dan merupakan ciri khasnya (Lathrop & Newton 1933). 0. dissitus betina yang baru muncul langsung menusukkan ovipositomya
ke dalam rongga tubuh larva inang tanpa mematikan atau melumpuhkannya. Larva inang terparasit tetap hidup dan mengorok daun hingga menjadi pupa. dan telur parasitoid tetap berkembang di dalam tubuhnya sampai keluar menjadi imago (Bordat et al. 1995).
Clausen (1940) melaporkan bahwa imago betina 0. .".
fulvicornis dapat langsung meletakkan telur setelah keluar dari pupa inang.