TINJAUAN PUSTAKA Manfaat Vitamin E Sebagai Antioksidan Vitamin E dalam sejarahnya pertama kali ditemukan oleh seorang Fisikawan Amerika bernama Herbert Evans bersama asistennya, Kathrine dari Universitas California tahun 1922. Vitamin E merupakan substansi larut lemak sebagai antioksidan utama yang terdapat pada eritrosit dan lipoprotein plasma yang mampu mempertahankan integritas membran (Winarsi, 2007).Sifat umum vitamin E antara lain tahan terhadap panas, mudah dioksidasikan dan rusak apabila terdapat dalam lemak tengik. Vitamin E (tokoferol) adalah salah satu fitonutrien yang penting dalam minyak makan dan memiliki 8 isomer yaitu 4 tokoferol (α, β, γ, dan δ) dan 4 tokotrienol (α, β, γ, dan δ) homolog. Sebagai antioksidan, α-tokotrienol memiliki potensi lebih tinggi dibandingkan α-tokoferol (Winarsi, 2007). Fungsi lain vitamin E menurut Llyod et al. (1978) yaitu sebagai antioksidan pada jaringan ternak dan tanaman, esensial dalam respirasi sel dan regulator dalam sintesis komponen tubuh.Gropper et al. (2005) menambahkan bahwa vitamin E juga berfungsi memelihara integritas sel tubuh, mencegah peroksidasi asam-asam lemak tidak jenuh yang berada pada fosfolipid membran mitokondria dan endoplasmik retikulum. Supelementasi vitamin E dapat diperoleh dari vitamin E sintetis maupun alami. Sumber vitamin E yang alami yaitu pada lemak dan minyak hewan atau pada tanaman terutama pada bagian kecambah jagung, telur dan kolostrum susu sapi. Penambahan vitamin E sebagai antioksidan ke dalam pakan memberikan hasil yang bervariasi terhadap peranan lemak di dalam pakan tersebut. Sejumlah kecil vitamin E akan tersimpan di dalam tubuh dalam waktu yang lama. Setelah menjalankan fungsinya, vitamin E tidak didaur ulang, sehingga untuk meneruskan peran biologisnya di dalam sel harus digantikan. Vitamin E yang tidak tersimpan akan diekskresikan dengan jalur utama adalah empedu. Biasanya kurang dari 1% konsumsi vitamin E akan diekskresikan melalui urin (McDowell, 2000). Manfaat Selenium Sebagai Antioksidan Selenium memiliki nomor atom 34 dan berat atom 78,96. Banyak penemuan yang mengindikasikan bahwa struktur organik dari Se memiliki daya serap yang lebih tinggi dibandingkan dengan selenit,namun dari penelitian Dilaga (1992) tidak
semua Se organik diretensi oleh tubuh lebih tinggi daripada Se inorganik pada seluruh keadaan, tetapi paling tidak untuk jaringan tertentu, keadannya berbeda. Se inorganik yang biasa disupelementasikan pada hewan adalah selenit (Spears dan Hansen, 2008). Fungsi Se berhubungan erat dengan vitamin E, keduanya berfungsi untuk melindungi membran biologis dari degenerasi oksidatif. Mekanisme kerja antara Se dan vitamin E yaitu, vitamin E mencegah penempelan radikal bebeas pada membrane sel, sedangkan Se-GSH-Px mencegah terbentuknya OH- dari H2O2 (sebagai antioksidan) (Dilaga, 1992). Se dan vitamin E juga berhubungan dengan insiden dan keparahan mastitis pada sapi perah. Vitamin E dan Se juga dilaporkan diperlukan untuk fungsi kekebalan tubuh optimal dalam ayam (McDowell, 2003). Fungsi lain Se yaitu untuk komponen pembentuk enzim Glutathione Peroksidase (GSH-Px) dan daya kebal tubuh (Dilaga, 1992) dan membantu melindungi membran sel dari proses autooksidasi (Cheeke, 2005). Absorbsi Se pada hewan poligastrik lebih sedikit (35%) dibandingkan pada monogastrik (85%), karena terjadi reduksi selenite menjadi bentuk yang sukar larut dalam rumen (Dilaga, 1992). Spears dan Hansen (2008) menyatakan bahwa hewan non-ruminan mampu mengabsorbsi Se organik dan inorganik lebih baik.Kebutuhan minimum selenium bergantung pada bentuk Se yang dikonsumsi dan sifat ransum, terutama kadar vitamin E-nya (Parakkasi, 1999). Sapi yang sedang tumbuh (sapi kebiri maupun sapi dara) memiliki kebutuhan sekitar 0,10 mg/kg ransum kering, sapi jantan yang sedang kawin atau sapi induk yang sedang bunting dan atau laktasi kebutuhannya antara 0,05-0,10 mg/kg ransum kering (Parakkasi, 1999). Sementara itu, rekomendasi supplementasi Se untuk ternak ruminansia sebesar 0,1 ppm (NRC, 1996) dengan batas toleransi maksimum untuk sapi perah sebesar 5 ppm (Dilaga, 1992). Rumen Perut hewan ruminansia terdiri atas rumen, retikulum, omasum dan abomasum.Rumen merupakan tabung besar untuk menyimpan dan mencampur ingesta bagi fermentasi oleh mikroba. Kerja ekstensif bakteri dan mikroba lain terhadap nutrien menghasilkan produk akhir yang dapat dimanfaatkan ternak untuk memenuhi kebutuhan nutrien.Tekanan osmosis pada rumen mirip dengan tekanan
4
aliran darah, pH dipertahankan oleh adanya absorpsi asam lemak dan amonia. Isi rumen mempunyai karakteristik yang khas untuk mendukung proses fermentasi oleh mikroba rumen. Penambahan asam lemak tidak jenuh dalam ransum ternak ruminansia akan mengalamibiohidrogenasi di dalam rumen oleh mikroba rumen menjadi asam lemak jenuh (Cheeke, 2005 dan Tiven et al., 2011), sehingga semua lipida pakan yang masuk ke duodenum sebagian besar berupa asam lemak jenuh (Wood et al., 2008). Proses biohidrogenasi asam lemak tidak jenuh pada kondisi netral dalam rumen (pH 6-7) dapat dicegah karena adanya ikatan antara protein dengan formaldehida yang mengelilingi partikel minyak, namun pada kondisi asam di dalam abomasum (pH 23) ikatan tersebut akan terpecah, asam lemak tidak jenuh dapat diabsorbsi dan dicerna di dalam usus halus (Tiven et al., 2011). Asam Lemak Berbeda dengan karbohidrat, bahan makanan utama ruminan (hijauan) tidak banyak mengandung lemak (hanya sekitar 3%). Lemak ransum umumnya berasal dari penambahan minyak baik minyak sumber asam lemak jenuh maupun tidak jenuh. Penambahan lemak atau minyak ke dalam ransum memiliki pengaruh positif dan pengaruh negatif terhadap proses fermentasi dalam rumen ternak ruminansia. Pengaruh positif tersebut antara lain kandungan energinya yang tinggi (2,25 x karbohidrat), dapat menurunkan heat increament, mengurangi sifat berdebu dari ransum, meningkatkan kadar asam lemak tidak jenuh (sebagai sumber asam lemak esensial bagi anak ruminan), meningkatkan palatabilitas ransum, menurunkan produksi gas metan dalam rumen pada pemberian pakan ruminansia yang tinggi hijauan dan memperbaiki rasio asetat : propionat sehingga dapat meningkatkan efisiensi ransum secara umum (Parakkasi, 1999). Parakkasi (1999) serta Wilson dan Brigstocke (1981)melaporkan bahwa penambahan lemak memiliki pengaruh negatif terhadap ruminan yaitu menurunkan kecernaan serat ransum terutama terlihat pada ruminan yang diberikan ransum tinggi hijauan, dapat mengganggu penggunaan N (dengan pemberian 5% lemak dan urea dalam ransum) dan menyebabkan flavor daging kurang disukai (dengan penambahan minyak biji kapas 5% dengan ransum 30%-50% tongkol jagung).
5
Lemak di dalam rumen akan mengalami proses pembebasan asam lemak yang teresterifikasi (lypolisis), fermentasi gliserol dan proses biohidrogenasi asam lemak tidak jenuh(Garton, 1967). Minyak selain mengalami lypolisis juga mengalami proses oksidasi jika terdapat dalam keadaan aerob. Oksidasi minyak dapat menyebabkan ketengikan pada bahan pakan.Mekanisme reaksi oksidasi asam lemak tidak jenuh dapat dilihat pada gambar berikut: R1─ CH2─ CH═ CH─ CH2─ R2Energi ► R1─ CH─ CH═ CH─ CH2─ R2 + H Asam Lemak Tidak Jenuh
Panas/UV
●
●
Radikal Bebas
Hidrogen Labil
+O
2
R1─ CH─ CH═ CH─ CH2─ R2 │ O─O Peroksida Aktif + R ─ CH─ CH═ CH─ CH ─ R 1 2 2
R1─ CH─ CH═ CH─ CH2─ R2 │
+ R1─ CH─ CH═ CH─ CH2─ R2
O ─O Gambar 1. Reaksi Oksidasi Asam Lemak Tidak Jenuh Sumber : Rorong et al., 2008.
Jika proses biohidrogenasi dibiarkan terjadi di dalam rumen, maka dapat menyebabkan lemak yang terserap pada dinding usus halus banyak berupa asam lemak
jenuh.
Pencegahan
atau
minimalisasi
proses
biohidrogenasi
dapat
dilakukandengan adanya penambahan agen perlindungan terhadap asam lemak tidak jenuh tersebut. Menurut Parakkasi (1999), prinsip perlindungan lemak yaitu dengan cara melindungi protein dari degradasi mikrobial.Manfaat adanyaperlindungan terhadap lemak memungkinkan penggunaaan minyak dalam jumlah banyak di dalam rumen tanpa menyebabkan kerusakan kecernaan selulosa dan pembentukan gas metan (Scott dan Ashes, 1993). Beberapa agensia yang sering digunakan dalam penelitian sebagai pelindung lemak tidak jenuh adalah tanin dan aldehid (formaldehid), gum Arab dan sabun kalsium sebagai agensia perlindungan asam lemak tidak jenuh (Mirwandhono, 2003).
6
Minyak Jagung dan Crude palm oil Kecukupan energi dan asam lemak esensial pada ternak ruminansia dapat terpenuhi dengan adanya penambahan minyak seperti minyak jagung, minyak kacang tanah atau minyak ikan (Tanuwiria et al., 2011). Umumnya, peternak mendapatkan tambahan energi dengan penambahan minyak sawit kasar (CPO/crude palm oil) yang mengandung asam lemak jenuh tinggi. Minyak jagung sebagai sumber asam lemak tidak jenuh banyak mengandung asam linoleat (C18:2n-6)(Ketaren, 1986). Sementara itu, CPO sebagai asam lemak jenuh memiliki kandungan asam palmitat (C16:0) yang tinggi. CPO juga dapat dijadikan sumber asam lemak tidak jenuh, terutama CPO yang diekstrak dari mesokarp buah sawit (Loi et al.,2010).Berikut adalah kandungan asam lemak pada CPO dan minyak jagung. Tabel 1. Komposisi Asam Lemak pada Minyak Jagung dan CPO Asam Lemak
Minyak Jagung (%)a
CPO (%)b
Miristat (C14:0)
0,1
1,36
Palmitat (C16:0)
11,6
42,59
Stearat (C18:0)
2,1
0,13
Oleat (C18:1)
36,6
43,24
Linoleat (C18:2)
48,7
12,15
Linolenat (C18:3)
0,8
0,29
Sumber : a = Wildan (1997), b =Suharyanto (2006)
Kecernaan Nutrien Kecernaan adalah perubahan fisik dan kimia yang dialami pakan dalam alat pencernaan, perubahan tersebut berupa penghalusan pakan menjadi butir-butir atau partikel kecil.Kecernaan didefinisikan sebagai bagian pakan yang tidak diekskresikan dalam feses sehingga diasumsikan bagian tersebut diserap oleh tubuh hewan (Kurniawati, 2009). Pengukuran kecernaan pada ruminansia dapat dilakukan melalui dua teknik yaitu teknik in vivo dan in vitro. Kecernaan in vitro dipengaruhi beberapa hal yaitu pencampuran pakan, cairan rumen dan inokulan, pH kondisi fermentasi, pengaturan suhu fermentasi, lamanya waktu inkubasi, ukuran partikel sampel dan buffer (Selly, 1994).Derajat keasaman (pH) cairan rumen merupakan faktor penting dalam 7
pemanfaatan bahan organik pada sistem pencernaan ruminansia, sedangkan faktor yang mempengaruhi degradasi ransum dalam saluran pencernaan ruminansia adalah struktur makanan, ruminansi, produk saliva dan pH optimum (Anggorodi, 1994). Pakanruminansia akanmengalami perombakan sehingga sifat-sifat kimianya berubah secara fermentatif sehingga menjadi senyawa lain yang berbeda dengan zat makanan asalnya. Kecernaan adalah indikasi awal ketersediaan nutrien yang terkandung dalam bahan pakan tertentu bagi ternak yang mengkonsumsinya dan dinyatakan dengan dasar bahan kering (McDonald et al., 2002). Kecernaan yang tinggi mencerminkan besarnya sumbangan nutrien pada ternak, sementara itu pakan yang mempunyai kecernaan rendah menunjukkan bahwa pakan tersebut kurang mampu menyuplai nutrien baik untuk hidup pokok maupun untuk tujuan produksi ternak. Kecernaan bahan organik merupakan faktor penting yang menentukan kualitas pakan. Setiap jenis ternak ruminansia memiliki mikroba rumen dengan kemampuan yang berbeda-beda dalam mendegradasi pakan yang mengakibatkan perbedaan pula pada kecernaan dalam rumen(Sutardi, 1979).Nilaikoefisien cerna bahan kering (KCBK) yang tinggimenunjukkan peluang nutrien yang dapat dimanfaatkan ternak untuk pertumbuhannya tinggi pula. Koefisien cerna bahan organik (KCBO) menggambarkan senyawa protein, karbohidrat, lemak yang dapat dicerna oleh ternak. Kecernaan
bahan
kering
dan
bahan
organik
dapat
diduga
denganmenggunakan metode Tilley and Terry (1963).Metode produksi gas dilakukan berdasarkan laju gas (CO2 dan CH4) yang diproduksi dari inkubasi in vitro pakan dengan media cairan rumen. Kadar VFA (Volatile Fatty Acid) Cairan Rumen Proses pencernaan karbohidrat di dalam rumen ternak ruminansia akan menghasilkan asam-asam lemak atsiri (VFA) antara lain yaitu asetat, propionat, butirat, valerat dan asam lemak lainnya seperti format. Menurut Hungate (1966), proporsi VFA dalam rumen berkisar 63% asetat, 21% propionat, 16% butirat dan asam lemak lainnya. Proses metabolisme karbohidrat dan pembentukan VFA disajikan pada Gambar 2.
8
Selulosa
Pati
Selubiosa
Maltosa
Glukosa-1-phospat
Isomaltosa Glukosa
Glukosa-6-phospat Pektin
Asam Uronat
Hemiselulosa
Sukrosa
Pentosa
Pentosan
Fruktosa-6-phosphat
Fruktosa
Fruktan
Fruktosa-1,6-diphosphat Asam piruvat
Format CO2
Asetil CoA
H2
Laktat
Oksaloasetat Metilmalonil CoA
Malonil Asetoasetil Laktil CoA CoA CoA
Metan B-Hidroksibutiril Akrilil Asetil phosphat CoA CoA Krotonil CoA
Propionil CoA
Butiril CoA Asetat
Butirat
Malat Fumarat Suksinat Suksinil CoA
Propionat
Gambar 2. Proses Metabolisme Karbohidrat dalam Rumen Ternak Ruminansia Sumber : McDonald et al., 2002.
Produksi VFA di dalam cairan rumen dapat digunakan sebagai tolak ukur fermentabilitas pakan(Hartati, 1998). Konsentrasi VFA mengindikasikan mudah tidaknya pakan tersebut didegradasi oleh mikroba rumen. Komposisi VFA di dalam rumen dapat berubah dengan adanya perbedaan bentuk fisik, komposisi pakan, taraf dan frekuensi pemberian pakan serta pengolahan.Produksi VFA yang tinggi merupakan petunjuk kecukupan energi bagi ternak (Sakinah, 2005). Kisaran produksi
9
VFA cairan rumen yang mendukung pertumbuhan mikroba yaitu 80 mM sampai 160 mM dengan titik optimumnya 110 mM (Suryapratama, 1999). Produksi VFA dapat dipengaruhi oleh protozoa melalui mekanisme pencernaan partikel pati sehingga VFA menjadi rendah dan rasio butirat : propionat dari 0,5 menjadi 1,7 (Whitelaw et al., 1972). Sebagian besar ransum ternak ruminansia mengandungpolisakarida atau karbohidrat struktural seperti selulosa, hemiselulosa dan karbohidrat lain yang tidak dapat dihidrolisa oleh enzim yang dihasilkan oleh alat pencernaan. Polisakarida akan dihidrolisa menjadi monosakarida terutama glukosa oleh enzim yang dihasilkan mikroba. Selanjutnya glukosa akan difermentasi menjadi VFA, terutama asetat (C2), propionat (C3) dan butirat (C4), disamping itu dihasilkan juga isobutirat (iC4), isovalerat (iC5), valerat (C5) serta gas CH4 dan CO2 (Sutardi, 1977). Sekitar 75% dari total VFA yang diproduksi akan diserap langsung oleh retikulo-rumen yang masuk ke darah, sekitar 20% diserap abomasum dan omasum, dan sisanya sekitar 5% diserap di usus halus (McDonald et al., 2002). Parakkasi (1999) menambahkan bahwa sebagian besar VFA diserap langsung melalui dinding rumen, hanya sedikit asetat, beberapa propionat, dan sebagian besar butirat termetabolisme dalam dinding rumen. Sedangkan, pakan yang tidak dicerna akan disalurkan ke abomasum dan dicerna secara hidrolitik oleh enzim-enzim pencernaan sama seperti yang terjadi pada hewan monogastrik. Kadar Amonia (NH3) Cairan Rumen Protein pakan di dalam rumen dipecah oleh mikroba menjadi peptida dan asam amino, beberapa asam amino dipecah lebih lanjut menjadi amonia. Amonia diproduksi bersama dengan peptida dan asam amino yang akan digunakan oleh mikroba rumen dalam pembentukan protein mikroba (McDonald et al., 2002). Produksi NH3 berasal dari protein yang didegradasi oleh enzim proteolitik. Di dalam rumen, protein dihidrolisis pertama kali oleh mikroba rumen. Tingkat hidrolisis protein bergantung dari daya larutnya yang berkaitan dengan kenaikan kadar NH3(Arora, 1989). Kadar amonia dalam rumen merupakan petunjuk antara proses degradasi dan proses sintesis protein oleh mikroba rumen. Jika pakan defisien akan protein atau proteinnya tahan degradasi maka konsentrasi amonia dalam rumen akan rendah dan pertumbuhan mikroba rumen akan lambat yang menyebabkan
10
turunnya kecernaan pakan (McDonald et al., 2002). Amonia hasil fermentasi tidak semuanya disintesis menjadi protein mikroba, sebagian diserap ke dalam darah, dan amonia yang tidak terpakai akan dibawa ke hati kemudian diubah menjadi urea dan sebagian disalurkan melalui urin serta lainnya akan di bawa ke saliva.Berikut adalah gambar proses metabolism protein di dalam rumen: Pakan Protein Sulit Didegradasi
Non-protein N
Mudah Didegradasi
Non-protein N
Kelenjar Saliva
Enzim Protease Peptida Enzim Peptidase Deaminasi
Asam Amino
Amonia
Hati Urea
NH3
Rumen Protein Mikroba Dicerna di Usus Halus
Disekresikan (Urine)
Ginjal
Gambar 3. Proses Metabolisme Protein dalam Rumen Ternak Ruminansia Sumber : McDonald et al., 2002.
Amonia merupakan sumber nitrogen utama untuk sintesis protein mikroba oleh karena itu konsentrasinya dalam rumen merupakan suatu hal yang perlu diperhatikan. Konsentrasi amonia 5 persen setara dengan 3,57 mM sudah mencukupi kebutuhan nitrogen mikroba. Kisaran konsentrasi NH3 yang optimal untuk sintesis protein oleh mikroba rumen menurut McDonald, et al. (2002) adalah 6-21 mM. Protozoa Rumen Protozoa merupakan salah satu mikroorganisme rumen. Populasi protozoa lebih sedikit jika dibandingkan dengan populasi bakteri yaitu hanya sekitar 105-106 sel/ml (McDonald et al., 2002). Jumlah protozoa dari setiap ternak berbeda
11
bergatung dari jenis makanan, umur dan keturunan hewan tersebut (Arora, 1989).Ukuran tubuhnya lebih besar dengan panjang tubuh sekitar 20-200 mikron, oleh karena itu biomassa total dari protozoa hampir sama dengan biomassa total bakteri (McDonald, et al., 2002).
Gambar 4. Protozoa Rumen Sumber : Wallace (2010)
Populasi protozoa rumen umumnya disominasi oleh spesies ciliata. Spesies flagellata biasanya banyak terdapat pada anak sapi (pedet), sebelum populasi spesies ciliata
berkembang
dengan
pesat.
Protozoa
diklasifikasikan
berdasarkan
morfologinya sebab mudah dilihat berdasarkan penyebaran silianya. Menurut morfologinya, protozoa dibagi menjadi 2 yaitu: Holotrichsmirip sel-sel paramecium dan
memiliki
dua
ukuran
yaitu
Isotricha
dan
Dasytricha,
sedangkan
Oligotrichsberbentuk oval panjang dengan ”syncitia” dan diklasifikasikan menjadi 5 kelas yaitu Epidinium ecaudatum caudatum, Entodinium caudatum, Polyplastron multiresiculatum, Ophyroscolexdan Diplodinium(Arora, 1989). Pola pertumbuhan bakteri dan protozoa rumen dipengaruhi oleh pola fermentasi yang ditunjukkan oleh proporsi molar VFA dan pH rumen (Sunaryadi, 1999). Ketika pH rumen 6,0 kemungkinan protozoa jenis entodinia, pH 6,5 didominasi oleh ophyroscolecids dan holotrichs, sedangkan pada pH 6,5 sebelum inkubasi maka semua spesies protozoa ada (Hungate, 1966). Kondisi pakan yang rendah gula dan pati menyebabkan protozoa yang berada dalam populasi tersebut akan memangsa bakteri yang merupakan mikroba utama dalam rumen. Sunaryadi (1999) menyatakan bahwa protozoa dan bakteri bersaing dalam menggunakan beberapa bahan makanan, protozoa akan menggunakan bakteri sebagai sumber protein untuk kehidupannya sehingga populasi bakteri dalam rumen berkurang
12
setengah atau lebih. Sifat negatif protozoa lainnya adalah dapat menghidrogenasi asam lemak tidak jenuh menjadi asam lemak jenuh (Arora, 1989). Faktor utama berkurangnya populasi protozoa adalah kelaparan atau kekurangan makanan dalam jangka waktu yang lama karena akan menyebabkan menurunnya pH. Jika pH rendah, maka populasi protozoa akan menurun secara drastis sehingga mengganggu aktivitas bakteri rumen. Populasi protozoa juga dapat dikurangi dengan sengaja yaitu dengan menambahkan agen defaunasi ke dalam ransum. Defaunasi adalah suatu upaya yang dilakukan untuk mengurangi sebagian (defaunasi parsial) atau menghilangkan seluruh populasi protozoa (defaunasi total) di dalam rumen suatu ternak.Pengaruh defaunasi terhadap mikroba rumen yaitu fungsi protozoa mungkin digantikan oleh bakteri (Hungate, 1966). Efek defaunasi sangat dipengaruhi oleh situasi pakan, ternak, dan mikroba rumen. Oleh karena itu, perlu tindakan yang cermat untuk mempelajari ekosistem di dalam rumen terutama peranan ptrotozoa, sehingga didapatkan suasana yang kondusif dalam proses pencernaan dan metabolisme ternak ruminansia (Sunaryadi, 1999). Penerapan defaunasi sebaiknya mempertimbangkan hal-hal berikut, tidak berbahaya bagi ternak, tidak mengganggu pertumbuhan bakteri dan fungi dan tidak perlu menghilangkan seluruh populasi protozoa karena diketahui protozoa memiliki peran di dalam rumen. Oleh karena itu, penerapan defaunasi parsial mungkin lebih baik daripada defaunasi total. Bahan yang dapat digunakan sebagai agen defaunasi dibagi menjadi 2 yaitu bahan alami dan bahan sintetis. Bahan alami meliputi minyak berupa minyak kelapa dan minyak jagung atau bahan-bahan yang mengandung saponin seperti kembang sepatau (Hibatus rosasinensis) dan saponin dari buah lerak (Sapindus rarak). Sunaryadi (1999) melaporkan bahwa ekstrak saponin buah lerak dapat digunakan sebagai agen defaunasi parsial yang aman namun, penggunaannya harus memperhatikan kadar amonia rumen. Sedangkan, produk komersial yang dapat dijadikan sebagai agen defaunasi adalah Teric GN9 (alcohol ethoxylate), alkanet 3SL3 (calcium peroxide = Ixper 80C), monoxol, dan sodium dioctylsulphosuccinate. Namun, pemakaian bahan kimia tersebut dapat berbahaya jika dosis yang diberikan tidak tepat, karena selain membunuh protozoa bahan tersebut juga bersifat toksik bagi bakteri dan fungi.
13
Penerapan teknologi defaunasi telah diketahui dapat meningkatkan efisiensi pertumbuhan mikroba rumen dan aliran protein asal mikroba rumen serta protein pakan ke organ pasca rumen (Nolan et al., 1989). Hal senada juga disampaikan oleh Merchen dan Titgemeyer (1992), yang menyatakan bahwa defaunasi dapat meningkatkan aliran protein kasar ke organ pencernaan pasca rumen sebesar 18%.
14