2 TINJAUAN PUSTAKA
2.1 Antioksidan 2.1.1 Definisi antioksidan Antioksidan secara umum dapat didefinisikan sebagai substansi apapun yang ketika hadir dalam konsentrasi yang rendah jika dibandingkan dengan substrat yang dapat teroksidasi, secara signifikan dapat mencegah atau menghambat oksidasi didalam substrat tersebut (Halliwell dan Gutteridge 1990). Dalam kata lain antioksidan adalah senyawa yang dapat menghambat oksidasi dari molekul lain dengan cara menghambat inisiasi atau propagasi oksidasi rantai reaksi. Penelitian menunjukkan bahwa radikal bebas pada manusia dapat menyebabkan kerusakan oksidatif terhadap molekul lain seperti lemak, protein, dan asam nukleat yang merupakan bagian dari fase inisiasi beberapa penyakit degenaratif. Menyikapi hal tersebut
peranan antioksidan menyita banyak
perhatian sebagai kandidat yang dapat menghambat penyakit tertentu dan mencegah proses penuaan (Slater 1991 in Yee et al. 2007). Antioksidan sangat beragam jenisnya. Berdasarkan sumbernya antioksidan dibagi dalam dua kelompok, yaitu antioksidan sintetis (antioksidan yang diperoleh dari hasil sintesis reaksi kimia) dan antioksidan alami (antioksidan hasil ekstraksi bahan alami) Antioksidan alami dalam makanan dapat berasal dari (a) senyawa antioksidan yang sudah ada dari satu atau dua komponen makanan, (b) senyawa antioksidan yang terbentuk dari reaksi-reaksi selama proses pengolahan, (c) senyawa antioksidan yang diisolasi dari sumber alami dan ditambahkan ke makanan sebagai bahan tambahan pangan (Pratt 1992).
2.1.2 Mekanisme kerja antioksidan Sesuai mekanisme kerjanya, antioksidan memiliki dua fungsi. Fungsi pertama merupakan fungsi utama dari antioksidan yaitu sebagai pemberi atom hidrogen. Antioksidan (AH) yang mempunyai fungsi utama tersebut sering disebut sebagai antioksidan primer. Senyawa ini dapat memberikan atom
7 hidrogen secara cepat ke radikal lipida (R*, ROO*) atau mengubahnya ke bentuk lebih stabil, sementara turunan radikal antioksidan (A*) tersebut memiliki keadaan lebih stabil dibanding radikal lipida. Fungsi kedua merupakan fungsi sekunder antioksidan, yaitu memperlambat laju autooksidasi dengan berbagai mekanisme diluar mekanisme pemutusan rantai autooksidasi dengan pengubahan radikal lipida ke bentuk lebih stabil (Shoaib 2008). Antioksidan dapat memainkan peran dalam anti oksidasi sebagai penghambat radikal bebas, agen penghambat, pengkelat, dan atau penghambat singlet oksigen. Berbagai antioksidan sintetis telah terdaftar, tetapi hanya beberapa yang diijinkan oleh undang-undang sebagai bahan tambahan makanan karena adanya efek toksik dan efek lainnya. Beberapa jenis antioksidan sintetis yang diizinkan sebagai bahan tambahan makanan adalah butylated hydroxy anisole (BHA), butylated hydroxy toluene (BHT), pueraria glycoside (PG) dan tertiary butylatedhydroquinone (TBHQ) (Yuan 2006). Antioksidasi dapat ditunjukkan dengan rantai reaksi berikut : R -H
R. + H.
R. + O=O
ROO.
ROO. + R-H
ROOH+R.
R.+R.
R-R
Ada dua cara rantai reaksi ini diinisiasi, yang pertama dengan penambahan reagen yang dapat memperlambat pembentukan radikal bebas dan yang kedua adalah dengan penambahan antioksidan sebagai penerima radikal bebas (Shoaib 2008).
2.1.3 Antioksidan alami bersumber dari tumbuhan Metabolit sekunder pada tanaman, termasuk enzim dan protein, diproduksi oleh tanaman untuk mengatur fisiologi dan pola pertumbuhan (Daniel et al. 1999 in Benbrook 2005). Beberapa metabolit sekunder membantu tanaman mengatasi kondisi lingkungan yang ekstrim, mencegah serangan serangga, atau merespon terhadap kerusakan yang disebabkan oleh hewan pengganggu atau penyakit. Beberapa metabolit sekunder berperan dalam penyembuhan daun yang luka atau jaringan buah yang rusak melalui pembentukan pigmen. Ada lebih dari 50.000
8 metabolit sekunder tanaman, dan sekitar 4.000 metabolit sekunder tanaman merupakan flavonoid, dimana diantaranya adalah antioksidan (Daniel et al. 1999 in Benbrook 2005). Tanaman memiliki antioksidan sebagai sistem pertahanan yang membantu penyembuhan penyakit tanaman. Sejumlah antioksidan tanaman menghasilkan warna yang kaya dan rasa pada buah dan sayuran tertentu di beberapa daerah. Setelah pemanenan dan selama penyimpanan, buah dan sayuran dengan tingkat antioksidan yang tinggi cenderung dapat memperlambat serangan infeksi setelah pemanenan. Antioksidan pada tanaman dapat membantu memperpanjang umur simpan dan resiko terkena mycotoxin (Daniel et al. 1999 in Benbrook 2005). Menurut Pratt dan Hudson (1990), kebanyakan senyawa antioksidan yang diisolasi dari sumber alami adalah berasal dari tumbuhan. Kingdom tumbuhan, Angiosperm memiliki kira-kira 250.000 sampai 300.000 spesies dan dari jumlah ini kurang lebih 400 spesies yang telah dikenal dapat menjadi bahan pangan manusia. Isolasi antioksidan alami telah dilakukan dari tumbuhan yang dapat dimakan, tetapi tidak selalu dari bagian yang dapat dimakan. Antioksidan alami tersebar dibeberapa bagian tanaman, seperti pada kayu, kulit kayu, akar, daun, buah, bunga, biji, dan serbuk sari (Pratt 1992). Antioksidan alami dan sintesis dapat menghalangi atau menunda proses oksidasi lemak. Antioksidan mengacu pada berbagai substansi yang hadir dengan konsentrasi lemah didalam bahan pangan dan dapat secara signifikan mencegah oksidasi yang dilakukan oleh prooksidan. Prooksidan dapat dikatakan sebagai sinonim dari spesies oksigen reaktif, yang mengacu kepada berbagai substansi yang ketika hadir dalam konsentrasi yang rendah dalam makanan dapat menyebabkan atau mempromosikan reaksi oksidatif (Yuan 2006). Saat ini, perhatian publik mengenai masalah kesehatan manusia yang disebabkan oleh bahan tambahan membuat para ilmuwan pangan antusias dalam mencari antioksidan alami dari berbagai sumber. Hingga saat ini ada satu pemahaman bahwa antioksidan alami adalah senyawa fenolik yang terdapat pada seluruh bagian tanaman. Antioksidan dari senyawa fenolik yang bersumber dari tanaman meliputi senyawa flavonoid, asam cinamat, kumarin, tokoferol, kerotenoid dan asam polifungsional organik (Shahidi dan Wanasundara 1992).
9 Senyawa antioksidan alami polifenolik ini adalah multifungsional dan dapat beraksi sebagai (a) pereduksi, (b) penangkap radikal bebas, (c) pengkelat logam, (d) peredam terbentuknya singlet oksigen (Pratt dan Hudson 1990). Tokoferol sebagai senyawa monofenolik sudah digunakan untuk industri pangan dalam beberapa dekade. Penggunaan tokoferol berdasarkan pada kemampuannya dalam mencegah oksidasi dari asam lemak bebas pada makanan yang mengandung lemak atau minyak (Khan dan Shahidi 2001). Tokoferol adalah antioksidan fenolik yang secara alami terkandung dalam minyak nabati yang berfungsi untuk menjaga kualitas minyak dengan melakukan terminasi terhadap radikal bebas (Evans 2002). Flavonoid adalah senyawa yang terdapat secara luas di alam dan dikategorikan menurut struktur kimia kedalam flavonols, flavon, flavonon, isoflavon, katekin, antosianin dan kalkon (Buhler 2002). Sekitar 2 % dari seluruh karbon yang difotosintesis oleh tumbuhan diubah menjadi flavonoid atau senyawa yang berkaitan erat dengannya, sehingga flavonoid merupakan salah satu golongan fenol alam terbesar. Lebih dari 4.000 flavonoid telah teridentifikasi, sebagian terkandung pada buah, sayur dan minuman (teh, kopi, bir, anggur dan minuman sari buah) (Heim et al. 2002). Flavonoid saat ini menjadi fokus perhatian karena potensinya yang menguntungkan terhadap kesehatan dan flavonoid dilaporkan mengandung anti virus, anti alergi, anti platelet, anti inflamasi, anti tumor dan aktivitas antioksidan (Heim et al. 2002). Menurut Pratt dan Hudson (1990) kebanyakan dari golongan flavonoid dan senyawa yang berkaitan erat dengannya memiliki sifat-sifat antioksidan baik dalam lipida cair maupun dalam makanan berlipida. Kapasitas flavonoid sebagai antioksidan bergantung pada struktur molekulnya. Posisi grup hidroksil dan grup lain dalam struktur kimia flavonoid sangat penting untuk mencegah radikal bebas. Golongan flavonoid yang memiliki aktivitas antioksidan meliputi flavon, flavonol, isoflavon, kateksin, flavonol, quercetin dan kalkon. Quercetin, flavonols yang jumlahnya terbanyak dalam makanan adalah antioksidan yang potensial karena memiliki bentuk struktur yang benar sebagai penghambat aktivitas radikal bebas (Buhler 2002).
10 Asam askorbat adalah antioksidan karena bentuk radikal semi hidro askorbat dari asam askorbat dan radikal bebas jauh kurang reaktif dibandingkan dengan pembasmi radikal oleh askorbat (Baskin 1997). Karotenoid dikategorikan sebagai senyawa alami yang larut lemak yang tersebar luas di seluruh bagian tanaman. Karotenoid umumnya berlokasi didalam sistem membran dari sel dimana salah satu fungsi utama dari senyawa tersebut bersangkutan dengan fotosintesis dan bertanggung jawab terhadap warna merah, orange, dan kuning pada daun, buah dan bunga (Delgado-Vargas et al. 2000 dalam Yuan 2006). Karotenoid juga ditemukan dalam alga, bakteri fotosintesis, bakteri non fotosintesis, jamur, dan ragi (Delgado-Vargas et al. 2000 in Yuan 2006).
2.1.4 Antioksidan dalam rumput laut Berbagai penelitian melaporkan mengenai kemampuan antioksidan rumput laut dan ekstrak rumput laut (Yan et al. 1999; Duval et al. 2000; Ruperez et al. 2002; Heo et al. 2005; Yuan 2006 in Je et al. 2009; Chandini et al. 2008). Berbagai ekstrak
dengan pelarut berbeda dari Kapaphycus alvarezii
menunjukkan kemampuan penghambatan yang baik pada analisis DPPH, kekuatan penghambatan, pengkelatan ion besi dan properti antioksidan dalam sistem asam linoleat (Kumar 2008). Benzoylated dan acetylated turunan fukoidan dari
Laminaria japonica
memiliki aktivitas antioksidan (Wang 2009). Polisakarida terlarut dari Turbinaria conoides dapat menjadi antioksidan yang baik. Aktivitas antioksidan polisakarida Turbinaria
berdasarkan
pada aktivitas
donor proton
yang dimilikinya
(Chattopadhyay 2009). Penambahan tiga rumput laut yang umum dikonsumsi yaitu Wakame (Undaria pinnatifida), Nori (Porphyra umbilicalis) dan Spaghetti laut (Himanthalia elongata) yang ditambahkan pada sampel daging dengan senyawa polifenol terlarut mampu menambah kapasitas antioksidan dalam sistem. Pada sampel yang mengandung Spaghetti laut (Himanthalia elongata) memiliki kandungan polifenol dan antioksidan tertinggi dibandingkan dengan kedua sampel lainnya (p < 0.05) (Lopez 2009).
11 Aktivitas antioksidan invitro dari tiga rumput laut merah terpilih yaitu Eucheuma cotonii, Gracilaria edulis dan Acanthophora spicifera telah dievaluasi. Dari penelitian ini dapat disimpulkan bahwa rumput laut atau makro alga laut dapat digunakan sebagai antioksidan alami (Ganesan 2008). Aktivitas antioksidan dari polisakarida alami dari alga
hijau Ulva pertusa telah dievaluasi secara
invitro, meliputi aktivitas penghambatan terhadap super oksida dan radikal hidroksil, kekuatan penghambatan, kemampuan pengkelatan. Hasil analisis menunjukkan tingginya aktivitas penghambatan terhadap radikal hidroksil dan kemampuan pengkelatan (Qi et al. 2006). Penambahan Ulva segar dan Ulva yang diproses terhadap hamsters yang mengalami atherosklerotis, efektif dalam menurunkan stress oksidatif dengan meningkatkan aktivitas enzim seperti SOD dan GSHPx, terbatasnya peroksidasi lemak dan produksi anion superoksida (Godard 2009). Kandungan total fenol, aktivitas antioksidan, aktivitas antioksidan dan aktivitas antibakteri
Ecklonia
stolorifera dan Ecklonia kurome cukup tinggi, dimana setiap properti bervariasi tergantung pada proses pengolahannya (Kuda 2007). Polisakarida sulfat larut air panas dari rumput laut berfungsi sebagai penghambat radikal bebas dan sebagai antioksidan, properti ini sangat penting dalam mencegah radikal bebas yang dapat menyebabkan kerusakan yang berkontribusi terhadap karsinogenesis (Kwon 2007). Astaxanthin dalam rumput laut memiliki kemampuan penghambatan melawan paparan ultra violet dan juga memiliki efek penghambatan melawan pembentukan radikal bebas yang disebabkan karena efek foto-oxidatif yang disebabkan karena tingginya tingkat radiasi ultra violet pada sinar matahari. Hawkins (2003) dan Stahl et al. (2000) dalam Munifah (2007) telah mempelajari efek perlindungan dari astaxanthin, βcaroten dan retinol melawan efek foto-oxidatif yang disebabkan karena paparan ultra violet. Hasil penelitian ini membuktikan fakta bahwa astaxanthin sangat efektif untuk mengurangi kerusakan kulit karena pembentukan senyawa polyamine. Organisme laut yang diketahui merupakan sumber astaxanthin yang kaya adalah rumput laut hijau Haematococcus pluvialis yang juga mengandung beberapa senyawa bioaktif berupa karoten seperti lutein, likopen dan β-karoten.
12 Kehadiran astaxanthin dalam makro-alga terbentuk sebagai ester dari beberapa asam lemak, yang memiliki pengaruh signifikan sebagai prekursor untuk pembentukan karoten yang seringkali terdeteksi sebagai senyawa karoten minor (terdeteksi sebagai senyawa echinenone atau senyawa cathaxanthin) (Delia 2001 in Munifah 2007).
2.1.5 Metode pengukuran aktivitas antioksidan Aktivitas antioksidan dapat dievaluasi dengan cara menentukan proteksi antioksidan terhadap oksidasi lemak atau minyak, dengan kata lain sejauh mana daya tahan minyak atau lemak tersebut terhadap proses oksidasi. Oksidasi lipid dipengaruhi oleh suhu, cahaya, oksigen dan adanya ion logam (Tensika 2001). Penentuan aktivitas antioksidan bisa pada tahap oksidasi yang berbeda, yaitu tahap awal oksidasi menghasilkan produk primer seperti bilangan peroksida (PV), diene terkonyugasi. Semua antioksidan alami memiliki fungsi yang berbeda-beda dalam bahan makanan yang kompleks dan bermacam-macam, dimana aktivitasnya tidak dapat diuji hanya berdasarkan satu metode saja. Banyak metode analisis menghasilkan hasil yang tidak konsisten, yang disebabkan karena ketidak cocokan aplikasi dan spesifikasi kapasitas antioksidan (Prior 2005 in Oufnac 2006). Analisis DPPH (2,2-Diphenyl-1-picrylhydrazyl) merupakan salah satu metode dalam menganalisis aktivitas antioksidan. Molekul 1,1-diphenyl-2picrylhydrazyl dikarakteristik sebagai radikal bebas yang stabil karena ada dekolisasi elektron cadangan melewati seluruh molekul. Delokalisasi juga menghasilkan warna ungu yang kuat dikarakterisasi oleh pita absorspsi dalam larutan etanol pada panjang gelombang 520 nm (Molyneux 2004). DPPH adalah radikal bebas yang stabil dan menerima elektron dan radikal hidrogen menjadi molekul diamagnetic stabil (Siddaraju dan Dharmesh 2007 in Ghimeray 2009). Elektron ganjil pada radikal bebas DPPH menghasilkan penyerapan kuat maksimum pada panjang gelombang 517 nm dan berwarna ungu. Warna ungu berubah menjadi kuning ketika elektron ganjil radikal DPPH menjadi berpasangan dengan hidrogen dari antioksidan penangkal radikal bebas untuk membentuk DPPH-H (Prakash 2001). Efek dari senyawa fenolik pada
13 penghambatan radikal DPPH disebabkan karena kemampuannya mendonorkan hidrogen.
2.2 Pengenalan Genus Caulerpa Caulerpa adalah salah satu genus alga yang dapat diidentifikasi berdasarkan bentuk pertumbuhan dan morfologinya (Silva 2002). Semua spesies dan subspesies Caulerpa hidup di laut, tetapi ada juga yang dapat hidup di laguna (Silva 2003). Laporan mengenai jumlah spesies Caulerpa bervariasi antara 70 (Meinesz 2002) hingga 100 (Dumay et al. 2002). Anggota famili Caulerpaceae bersifat invasive (Davis et al. 1997). Beberapa spesies Caulerpa memiliki bentuk morfologi dan fisiologi yang dapat beradaptasi dengan lingkungan yang berbeda. Spesies Caulerpa yang bersifat endemis pada habitat laguna, cenderung memiliki jarak rhizoma antar assimilator yang lebih panjang, sementara itu Caulerpa yang tumbuh pada ekosistem terumbu karang dengan energi gelombang yang tinggi, cenderung memperlihatkan bentuk yang rapi dan tersusun rapat. Caulerpa racemosa dan Caulerpa cupressoides, yang hidup pada lingkungan dengan intensitas cahaya yang tinggi memiliki kandungan klorofil yang lebih rendah, dibandingan spesies seperti Caulerpa verticillata yang beradaptasi untuk tumbuh rapat dengan alga lain atau rumput laut lain (Collado 1999). Beberapa karakteristik biologi spesies Caulerpa meliputi : 1. Kecepatan pertumbuhan yang tinggi Jumlah meristem stolon Caulerpa taxifolia yang tumbuh di Pelabuhan Hutingon, California adalah 555 + 182 per meter persegi. Tingginya kepadatan meristem ini menunjukkan kemampuan untuk berproliferasi melintasi sedimen dan melewati organisme lain (Williams 2002). 2. Kemampuan membelah diri Implikasi ekologi dari reproduksi membelah diri adalah adanya gangguan seperti badai atau pemangsaan oleh hewan herbivora dapat menghasilkan fragmen-fragmen yang dapat menyebar dan menjadi Caulerpa yang baru (Smith 1999). Kemampuan spesies untuk membelah diri dapat menjadi keuntungan dalam berkompetisi dengan makhluk hidup multiselluler yang bereproduksi secara seksual (Vroom 2001). Kesuksesan penyebaran melalui fragmentasi
14 tampaknya menjadi faktor kritis bagi spesies Caulerpa untuk mengkolonisasi area yang baru (Smith 1999). 3. Kemampuan mengambil nutrient dari sedimen Tidak seperti kebanyakan makroalga, yang menempel pada sedimen dan mengambil nutrient dari kolom air, spesies dari genus Caulerpa memiliki rhizoid yang dapat masuk ke dalam sedimen dan mengambil nutrient dari sedimen. Rhizoid dari Caulerpa taxifolia yang menyerupai akar dari tanaman berpembuluh dapat secara langsung mengikat karbon, nitrogen, dan fosfor dari subrat (Chisholm et al. 1996). Kemampuan mengakses nutrient dari substrat membuat Caulerpa menjadi kompetitor unggulan di lingkungan yang miskin nutrient (Williams 1984). 4. Kemampuan mentoleransi temperatur air yang rendah Spesies Caulerpa adalah salah satu alga yang dapat menyebar luas baik di perairan tropis ataupun subtropis (Silva 2003). Kemampuan spesies Caulerpa untuk bertahan pada temperatur yang relatif rendah menyebabkan spesies ini dapat mengeksploitasi tempat hidup yang baru jika mereka diintroduksi. Penelitian yang dilakukan pada tahun 2001 menunjukkan bahwa 12 dari 14 spesies Caulerpa yang biasa tersedia untuk diperdagangkan di California Selatan memiliki distribusi alami yang luas hingga ke perairan tropis (Frish 2003). 5. Sedikitnya konsumen Vetebrata dan invetebrata di daerah subtropis ditemukan mudah sekali terkena senyawa toksik dari Caulerpa (caulerpenyne) dan tidak dapat memangsa Caulerpa (Paul 1986).
2.3 Pengenalan Spesies Caulerpa racemosa Caulerpa racemosa (Caulerpales, Chlorophyta) (Gambar 1 dan 2) secara luas terdistribusi di daerah tropis hingga subtropis (Verlaque 2003). Analisis genetik menunjukkan tidak seperti Caulerpa taxifolia, yang hampir semua berasal dari satu sumber, populasi Caulerpa racemosa di Laut Mediterania menunjukkan variasi genetik (Fama et al. 2000).
15
Gambar 1 Caulerpa racemosa yang tumbuh pada substrat karang.
Keterangan : F= frond (frond primer) ; FR= cabang frond (frond sekunder) ; B= branclets (juga dinamakan ramuli) ; S = stolon ; RP= rhizoidal pillars (percabangan stolon berbentuk kerucut memiliki sejumlah rhizoid yang tipis); R=rhizoid
Gambar 2 Caulerpa racemosa var. Cylindracea : thallus yang berbeda (Capiomont 2005). 2.3.1 Toleransi lingkungan Caulerpa racemosa Caulerpa racemosa ditemukan pada kedalaman 47 meter dengan jarak penglihatan 27 meter dan temperatur 19 oC di pantai Florida Selatan. Adaptasi fisiologi dicatat pada Caulerpa racemosa, ketika diperbandingkan dengan sampel yang ditemukan pada kedalaman 37 meter, yang mana menunjukkan kemampuan mentoleransi tingkat cahaya yang lebih rendah pada daerah yang lebih dalam (Riechert 1986).
16 Pertumbuhan
Caulerpa
racemosa
menunjukkan
peningkatan
ketika
kepadatan meningkat, tetapi dengan derajat yang lebih rendah dibandingkan Caulerpa taxifolia (Piazzi 2002). Bagaimanapun, pada penelitian kompetisi menunjukkan ketika Caulerpa racemosa dan Caulerpa taxifolia hadir bersamasama, Caulerpa racemosa akan menjadi spesies yang lebih unggul (Piazi 2002). Dalam kondisi di laboratorium, Caulerpa racemosa berhenti tumbuh ketika salinitas turun hingga 20 ppt, tetapi tidak mati hingga dua puluh hari. Caulerpa racemosa dapat bertahan sebentar ketika terkena paparan salinitas yang lebih rendah dari 20 ppt (Carruterss et al. 1993).
2.3.2 Sistem reproduksi Caulerpa racemosa Caulerpa racemosa diketahui bereproduksi secara seksual maupun aseksual dengan fragmentasi acak (Renocourt 2002). Caulerpa racemosa dapat menyebar melalui fragmentasi (Smith dan Walters 1999 ; Ceccherelli 2001 in Capiomont 2005). Caulerpa racemosa juga diketahui memproduksi propagula vegetatif yang dapat menjelaskan menghilangnya hamparan Caulerpa racemosa selama musim dingin dan kehadirannya pada akhir musim semi (Renocourt 2002 in Capiomont 2005). Penelitian menunjukkan bahwa Caulerpa racemosa tidak berkompetisi dengan Caulerpa taxifolia dan kehadiran Caulerpa taxifolia dapat memfasilitasi penyebaran Caulerpa racemosa (Ceccherelli 2002). Pada lingkungan yang sama Caulerpa racemosa memiliki kecepatan penyebaran
yang lebih tinggi
dibandingkan Caulerpa taxifolia yang mengindikasikan tingginya potensi penyebaran dari Caulerpa racemosa (Piazzi et al. 2001).
2.3.3 Mekanisme pertahanan Caulerpa racemosa Beberapa spesimen Caulerpa racemosa ditemukan mengandung senyawa pertahanan yang dikenal sebagai caulerpenyne (Cimino 1998 in CWG 2005). Di Teluk Discovery, Jamaika penelitian menemukan bahwa Caulerpa racemosa dapat bertahan terhadap pemangsaan ikan karang seperti parrot fish (Scaridae), tetapi tidak dapat bertahan terhadap pemangsaan bulu babi (Diadema antillarum) (Morrison 1988 in CWG 2005).
17 2.3.4 Kontrol alami Sacoglossan mollusk (Lobiger serradifalci) diketahui memangsa Caulerpa racemosa di pesisir California (Cimino 1998 in CWG 2005). Siput laut Lobiger serradifalci, memodifikasi senyawa pertahanan dari Caulerpa racemosa menjadi metabolit oxytocin -1 dan oxytocin-2 yang digunakannya sendiri untuk bertahan dari pemangsaan (Cimino dan Ghiselin 1998 in CWG 2005). Ikan herbivora di Mediterrania Boops boops dan Sarpa salpa, melakukan pemangsaan terhadap Caulerpa racemosa pada akhir musim panas dan awal musim gugur (Ruiton 2006).
2.4 Faktor yang Mempengaruhi Tingkat Antioksidan pada Tanaman 2.4.1 Faktor lingkungan dan genotif Ada banyak faktor yang dapat mempengaruhi polifenol dan antioksidan yang diproduksi oleh tanaman. Faktor-faktor ini meliputi tipe tanah dan komposisi kimia, ketersediaan nitrogen dan tingkat nutrisi pada tanaman, tingkat kelembaban, temperatur dan tekanan herbivora. Secara umum faktor yang dapat mendorong stres pada tanaman cenderung mendorong terbentuknya mekanisme defensif dan mekanisme ini digerakan oleh pembentukan antioksidan (Benbrook 2005). Terdapat variasi yang sangat berarti dalam tingkat metabolit sekunder seperti polifenol yang diproduksi oleh tanaman pada kondisi yang berbeda atau waktu yang berbeda (Benbrook 2005). Belum ada data yang komprehensif, yang dapat memisahkan efek genotif dan lingkungan dan kuantifikasi kontribusi dari masing-masing faktor terhadap variasi antioksidan properti (Moore 2006).
2.4.2 Faktor waktu pemanenan dan kematangan Penelitian terhadap tiga kultivar cabai, menunjukkan bahwa kandungan polifenol meningkat sejalan dengan kematangan dan cabai mengandung tingkat vitamin C diatas Recommended Dietary Allowance berdasarkan tipe penyajian (Howard et al. 2000). Kandungan fenolik bervariasi antar kultivar dan perubahan bersifat relatif satu sama lain sebagai fungsi kematangan. Pada penelitian lain flavonoid pada 23
18 cabai diteliti berdasarkan empat tingkat kematangan. Cabai hijau yang belum matang memiliki kandungan fenol yang tinggi, sementara itu cabai merah yang belum matang, dan sudah matang memiliki kandungan fenol empat sampai lima kali lebih rendah. Asam askorbat adalah antioksidan yang dominan dan konsentrasinya meningkat sejalan dengan kematangan (Marin et al. 2004).
2.4.3 Faktor pengolahan makanan dan metode produksi Bagaimana makanan diproses, dicampur dengan makanan lain, dimasak, diawetkan dan disiapkan untuk penyajian akhir dapat secara dramatis mempengaruhi
tingkat antioksidan dan polifenol. Dengan kata lain,
meningkatkan retensi antioksidan dalam makanan ketika mereka diproses dan disiapkan dapat meningkatkan potensi yang besar meningkatkan masukan antioksidan, terutama apabila konsumen memiliki perhatian dan mau membayar lebih untuk suatu pola yang membuat retensi antioksidan menjadi prioritas pada pengolahan makanan dan industri pengolahan. Antioksidan larut air cenderung menurun ketika jus buah atau makanan olahan diperlakukan dengan air, baik itu dengan cara stem, blanching, atau proses panas yang termasuk pasteurisasi. Teknik pengolahan tanpa panas atau metode yang menggunakan temperatur yang rendah harus dipelajari lebih lanjut untuk dapat lebih detail menentukan tingkat antioksidan yang ingin dijaga pada makanan segar karena pengolahan (Benbrook 2005).
2.5 Ekstraksi Senyawa antioksidan dapat berupa senyawa larut air, larut lemak, tidak larut air dan lemak atau menempel pada dinding sel. Karena itu efisiensi ekstraksi adalah sangat penting dalam mengkuantifikasi aktivitas antioksidan dalam makanan. Ekstraksi adalah proses pemisahan dari satu atau banyak material baik solid maupun tidak solid dengan bantuan pelarut. Ada dua macam tipe ekstraksi yaitu ekstraksi liquid-liquid dan ekstraksi solid liquid. Pada ekstraksi liquidliquid, komponen liquid diekstrak kedalam liquid lain. Pelarut yang digunakan dalam ekstraksi umumnya adalah larutan yang dapat melarutkan padatan, larutan, atau substansi gas, yang menghasilkan pembentukan larutan baru (Prakash 2001).
19 Pelarut
digunakan untuk mengekstrak senyawa terlarut dari campuran.
Ketika pelarut melarutkan senyawa, hal ini akan membentuk berbagai variasi interaksi kimia yang lemah dengan terlarut, yang bertujuan untuk melarutkannya. Interaksi yang umum terjadi adalah meningkatnya kekuatan atau interaksi yang terdiri atas interaksi dipole, dipole-dipole, dan interaksi ikatan hidrogen (Miller et al. 1981 in Holiday 2006 ). Literatur mengenai kapasitas antioksidan dalam rumput laut berdasarkan ekstraksi yang berbeda masih terbatas. Pertama karena prosedur yang digunakan dalam mengekstrak antioksidan masih belum lengkap. Pada hampir semua penelitian ini, pelarut yang digunakan umumnya metanol yang bersifat polar (Santoso et al 2004, Chew et al 2008 ; Patra 2008; Ganeshan 2008). Metanol dan air dengan proporsi yang berbeda (Esrig 2001), atau metanol dan kloroform (Chandini 2008). Ekstraksi solid-liquid bersifat heterogen, multikomponen meliputi nonsteady transfer terlarut dari padat ke larutan (Diaz et al. 2006 in Oufnac 2006).