TINJAUAN PUSTAKA Kelentingan Keluarga Kelentingan adalah proses dinamis untuk bertahan dari krisis serta kemampuan beradaptasi secara positif (Walsh 2002). Kelentingan merupakan karakteristik keluarga dalam beradaptasi terhadap situasi krisis, misalnya tingkat kerentanan, tipe keluarga, sumber daya, tingkat stres, pemecahan masalah, kemampuan koping, serta pandangan hidup (McCubbin & McCubbin 1988) diacu dalam Lazarus A (2004). Situasi krisis dapat terjadi akibat akumulasi permasalahan dalam keluarga yang salah satunya adalah keluarga dengan penyakit TB paru. Situasi ini dinilai keluarga tidak mampu mengatasi stresor yang timbul. Dalam mewujudkan kelentingan keluarga yang baik yaitu dengan meningkatkan keberfungsian dan kesejahteraan keluarga serta mencegah anggota keluarga terinfeksi penyakit. Kelentingan keluarga tidak hanya mencakup manajemen stres tetapi juga bertahan dari cobaan yang berat. Adanya krisis dan tekanan yang berlangsung lama dapat mengganggu keberfungsian keluarga dan akan berdampak pada seluruh anggotanya. Kemampuan keluarga dalam menghadapi ancaman, menahan stres, dan mengorganisir ulang masalah secara efektif akan mempengaruhi seluruh anggota keluarga (Walsh 2002). Menurut Mackay (2003) kelentingan keluarga terdiri dari tiga aspek, yaitu family cohesion, family belief system, dan komunikasi. Family Cohesion Hubungan emosional antar anggota keluarga sangat penting bagi keberfungsian keluarga. Keluarga yang memiliki ikatan emosional yang baik mampu menghadapi tantangan dan mengatasi stres dengan baik. Mackay (2003) mengemukakan kunci hubungan emosional antar anggota keluarga terdiri dari 3 aspek, yaitu: family cohesion, connectedness, affective involvement. Rendahnya family cohesion merupakan salah satu indikasi disfungsi keluarga namun family cohesion yang sangat tinggi juga dapat mengakibatkan disfungsi keluarga karena hubungan emosional antar anggota keluarga harus seimbang untuk memenuhi kebutuhan otonomi individu.
6
Hasil penelitian menunjukkan bahwa terdapat hubungan antara family cohesion dan fungsi keluarga. Olson et al (1988) diacu dalam Mackay (2003) menunjukkan bahwa keluarga dengan family cohesion yang tinggi tetapi seimbang, sedikit mengalami tekanan dan tingkat kesejahteraan keluarga tinggi. Family Belief System Family belief system merupakan inti dari fungsi keluarga yang mencakup nilai, sikap, keyakinan, bias, dan asumsi. Family belief system merupakan asumsi dasar yang memicu respon emosional serta menginformasikan keputusan dan tindakan. Family belief system yang dominan dapat membentuk keluarga dalam upaya menghadapi krisis dan kesulitan (Walsh 1998) diacu dalam Mackay (2003). Terdapat tiga dimensi penting family belief system, yaitu: capacity to make meaning out of adversity (kemampuan dalam memaknai kesulitan), a positive outlook (pandangan positif) and spirituality or transcendence (spiritual atau transedensi). Keluarga yang berfungsi dengan baik memiliki kemampuan untuk memahami yang telah terjadi dan memperkirakan masa mendatang. Kelentingan keluarga juga dicirikan oleh ketekunan, kegigihan, dan optimisme dalam mengatasi rintangan. Family belief system sebagai kunci kelentingan keluarga karena pentingnya agama dan budaya sebagai sumber utama spirituality or transcendence (Walsh 1998) diacu dalam Mackay (2003). Komunikasi Komunikasi merupakan aspek kunci dari fungsi keluarga. Komunikasi adalah proses pemaknaan diri, hubungan interpersonal, dan adaptasi masalah. Komunikasi efektif sangat penting dalam pengambilan keputusan bersama yang dicapai melalui negosiasi, kompromi, dan umpan balik (Mackay 2003). Komunikasi
efektif
dalam
keluarga
merupakan
proses
saling
menginformasikan pesan kepada anggota keluarga. Walsh mengidentifikasi tiga komponen penting komunikasi yang efektif, yaitu: clarity of expression (kejelasan pesan), open emotional expression (keterbukaan penyampaian emosi) dan collaborative problem solving (kolaboratif dalam pemecahan masalah). Clarity of expression mengacu pada pengiriman pesan yang jelas dan konsisten, baik dalam kata-kata atau tindakan. Open emotional expression mengacu pada berbagi perasaan dan emosi dalam hubungan, ditandai dengan saling empati
7
dan toleransi terhadap perbedaan. Collaborative problem solving melibatkan identifikasi masalah untuk mengatasi masalah keluarga (Walsh 1998) diacu dalam Mackay (2003). Kelentingan yang baik menunjukkan bahwa keluarga mampu mengelola konflik dengan baik. Pengelolaan konflik sangat tergantung pada komunikasi dan keterampilan penyelesaian masalah. Mekanisme Koping Kondisi krisis atau dalam tekanan yang berlangsung lama dapat menyebabkan stres pada individu. Keith (2009) mengemukakan beberapa faktor yang mempengaruhi tingkat stres seseorang, yaitu: (1) sifat menerima keadaan; (2) pengalaman dalam mengatasi stres; (3) karakteristik individu; (4) persepsi tentang stres; (5) strategi koping; dan (6) dukungan sosial. Synder CR (2001) menjelaskan bahwa koping merupakan proses berfikir, merasakan atau melakukan sesuatu sebagai pemenuhan kepuasan psikologi. Koping merupakan beberapa respon yang berkesinambungan sebagai akibat dari stres. Faktor dari keterampilan koping yaitu: (1) fokus masalah; (2) pengaturan lingkungan; (3) fokus emosi; dan (4) pengaturan diri. Koping didefinisikan sebagai usaha kognitif dan perilaku seseorang untuk mengorganisasikan berbagai tuntutan permasalahan. Berdasarkan proses koping, individu dapat: (1) memperkirakan ancaman atau peluang pada lingkungannya; (2) mengevaluasi tuntutan dan sumberdaya atau daya dukung lingkungan,
serta
kemampuan
untuk
mengorganisasikan
elemen-elemen
tersebut; dan (3) menggunakan strategi untuk mengurangi konsekuensi negatif yang kemungkinan timbul dalam situasi penuh tekanan. Ketika menghadapi faktor
penyebab stres,
seseorang menggunakan
strategi koping untuk
mengurangi tekanan yang timbul (Lazarus & Folkman 1984). Untuk menghadapi stres, keluarga perlu meningkatkan koping yang efektif. Strategi dan proses koping keluarga yang efektif berfungsi sebagai mekanime agar fungsi-fungsi keluarga tercapai. Tanpa koping yang efektif, fungsi ekonomi, sosialisasi, perawatan keluarga tidak dapat dicapai secara optimal (Friedman 1998). Oleh sebab itu, koping keluarga merupakan proses penting yang membuat keluarga mampu mencapai fungsi-fungsi keluarganya secara optimal. Lazarus dan Folkman (1984) mengemukakan dua jenis koping, yaitu emotionfocused coping dan problem-focused coping.
8
Emotion-Focused Coping Bentuk koping ini bertujuan untuk mengontrol respon emosional yang muncul dalam menghadapi stresor. Individu cenderung menggunakan bentuk ini berdasarkan keyakinannya untuk mengubah keadaan. Beberapa strategi yang berhubungan dengan bentuk koping ini antara lain kontrol diri, mengambil jarak dengan stresor, berusaha untuk melihat dari sudut pandang lain, menerima atau melarikan diri dari keadaan (Lazarus dan Folkman 1984). Problem-Focused Coping Bentuk koping ini bertujuan untuk mengurangi stresor atau meningkatkan sumber daya dalam menghadapi stres. Individu cenderung menggunakan bentuk ini berdasarkan keyakinannya bahwa tuntutan stresor atau sumber daya masih dapat diubah. Beberapa strategi yang berhubungan dengan bentuk koping ini antara lain melakukan konfrontasi dengan menolak perubahan, berusaha mengubah keyakinan orang lain, bergantung pada dukungan sosial, dan melakukan strategi pemecahan masalah yang terencana (Lazarus dan Folkman 1984). Stres McKinnon
(1998)
memandang
stres
sebagai
kondisi
yang
tidak
menyenangkan baik secara emosional, fisik, mental, atau kombinasi dari ketiganya. Kondisi tersebut disebabkan oleh ketidakmampuan untuk memenuhi harapan
dalam
kehidupan.
Caplan
(1964)
diacu
dalam
Miller
(1988)
mendefinisikan stres sebagai gangguan secara kontinu sehingga sistem tidak berada dalam keseimbangan. Stres menurut Poerwandari (2005) adalah suatu keadaan dimana individu terganggu keseimbangannya karena situasi internal maupun eksternal. Lazarus dan Folkman (1984) menyatakan bahwa stres adalah keadaan yang menekan dan membahayakan individu serta telah melampaui sumberdaya yang dimiliki, namun stres tidak hanya mempunyai nilai negatif tetapi juga positif. Stres juga dapat diartikan sebagai: (1) stimulus, merupakan kondisi yang menimbulkan stres atau disebut dengan stresor; (2) respon, merupakan suatu perilaku individu yang muncul karena adanya situasi tertentu yang menimbulkan stres. Respon yang muncul dapat secara fisiologis seperti: jantung berdebar, gemetar, dan pusing. Sedangkan secara psikologis seperti: takut, cemas, sulit
9
berkonsentrasi, dan mudah tersinggung; (3) proses, merupakan kondisi dimana individu secara aktif dapat mempengaruhi dampak stres melalui strategi tingkah laku, kognisi, maupun afeksi. Faktor Stres (Stresor) Ada dua faktor penyebab stres yaitu berhubungan dengan individu itu sendiri dan situasi yang dialami individu. Situasi yang berhubungan dengan individu dapat berupa kondisi tubuh, seperti hawa panas atau dingin yang berlebihan dan luka atau penyakit. Keadaan sakit menyebabkan munculnya tuntutan pada kebutuhan biologis dan psikologis individu. Derajat stres yang timbul tergantung pada keseriusan penyakit dan usia individu tersebut. Sedangkan situasi yang dialami individu dapat berupa pertambahan anggota keluarga, perceraian, kematian, pekerjaan, serta keadaan lingkungan (Sarafino 1998). Menurut Florence dan Setright (1994) diacu dalam Sunarti (2008), faktor stres atau sumber stres dapat dikelompokkan dalam 3 kategori, yaitu: (1) faktor fisik, contohnya : obat, keributan, suhu; (2) faktor sosial, contohnya : sakit kronis atau akut, kematian pasangan, putus hubungan, kesepian, perkawinan, kehilangan pekerjaan, perampokan; (3) faktor psikologi, merupakan bentuk stres yang paling merusak dan melibatkan rasa takut, cemas, cemburu, benci, cinta, rasa bersalah. Contohnya adalah kehilangan harapan, kegagalan, penolakan dan kekecewaan. Tipe Stres Lazarus
(2000)
menyatakan
bahwa
The
American
Psychological
Association (APA) mengklasifikasikan stres menjadi empat tipe, yaitu: 1. Stres akut, diakibatkan karena terhambatnya rencana dalam kehidupan sehari-hari, misalnya: terlambat bekerja karena masalah transportasi dan deadline tugas yang belum selesai. Gejala dari stres akut yaitu: (1) emosional (khawatir, marah, mudah tersinggung, cemas, frustasi, tidak sabar); (2) masalah fisik (letih, pusing, sakit punggung dan rahang, gemetar, kedinginan, sakit otot, urat, dan sendi); (3) masalah pencernaan (liver, maag, diare, konstipasi, kembung, sakit perut); (4) gangguan organ vital (hipertensi, serangan jantung, detak jantung cepat, detak jantung cepat, berkeringat, pusing, nafas pendek, sakit dada); (5) gangguan mental (bimbang,
10
ketidakmampuan konsentrasi, tidak dapat mengambil keputusan, pikiran melayang, lambat berpikir, berpikiran kosong) 2. Stres akut sebagian, yaitu reaksi terhadap kondisi yang seketika terjadi, misalnya tergesa-gesa. Gejala yang timbul antara lain: sakit kepala keras, sakit dada, asma, hipertensi, dan serangan jantung. 3. Stres kronis, yaitu stres jangka panjang yang dapat diasosiasikan dengan masalah kemiskinan, sakit, ketidakberfungsian keluarga, dan ketidakpuasan bekerja. Gejala yang ditimbulkan antara lain: tidak nafsu makan atau nafsu makan berlebih, perasaan tidak aman, kekurangan sistem imun, serangan jantung, sakit kronis di bagian tubuh, pesimis, pemarah, ketidakmampuan konsentrasi, ketidakmampuan bertindak, letih luar biasa, sakit kepala migrain, cemas tinggi, kesepian, selalu tersinggung, depresi, sinis, rendah diri, dan gangguan pencernaan. 4. Stres trauma, yaitu stres ketika individu memiliki pengalaman yang berakibat trauma, misalnya: kecelakaan, korban kriminal, kehilangan pekerjaan, bencana alam, dan perampokan. Stres ini dapat berakibat penolakan terhadap mekanisme koping. Gejala yang dapat ditimbulkan antara lain: (1) perasaan tidak dapat diprediksikan, moody, cemas, gugup, depresi; (2) mudah mengingat kejadian dan ketidakmampuan konsentrasi; (3) serangan jantung, berkeringat, sakit kepala, sakit dada, gangguan pencernaan; (4) tertekan, kurangnya frekuensi komunikasi dengan anggota keluarga, menarik diri dari aktivitas kelompok. Dampak Stres Stres dapat mempengaruhi kesehatan individu dalam dua cara. Pertama, perubahan yang diakibatkan stres secara langsung mempengaruhi kesehatan. Kedua, secara tidak langsung stres mempengaruhi perilaku individu sehingga menyebabkan timbulnya penyakit atau memperburuk kondisi yang sudah ada (Sarafino 1998). Andersen (1988) diacu dalam Sarafino (1998) juga menjelaskan hubungan stres dengan penyakit sebagai berikut: 1. Stres sebagai penyebab penyakit, merupakan efek langsung psikologis dimana stres akan mempengaruhi fungsi fisik tubuh. Akibatnya tubuh menjadi lemah sampai beberapa sistem organ tidak berfungsi secara normal. 2. Penyakit sebagai penyebab stres, merupakan efek dari keadaan sakit menyebabkan tuntutan untuk menyesuaikan diri. Dibandingkan dengan jenis
11
penyakit lainnya, penyakit kronis melibatkan penyesuaian diri selama kurun waktu tertentu. Bentuk Stres Terdapat dua bentuk stress yaitu eustress dan distress. Eustress adalah kondisi stres yang membawa efek positif dikarenakan pengelolaan stres yang baik.
Sebaliknya,
distress
adalah
kondisi
negatif
stres
diakibatkan
ketidakmampuan pengelolaan stres karena tingginya tingkat stres yang diderita. Distress merupakan suatu kondisi subjektif yang tidak menyenangkan. Dua bentuk utama distress adalah depresi dan kecemasan. Kecemasan merupakan keadaan diri yang ditandai dengan tegang, tidak dapat istirahat, khawatir, lekas marah, dan takut. Sedangkan depresi merupakan keadaan diri yang ditandai dengan perasaan sedih, kesepian, demoralisasi, putus asa, sulit tidur, dan menginginkan kematian (Mirrowsky & Ross 1989) diacu dalam Sunarti (2008). Kecemasan Kecemasan adalah kondisi membingungkan yang muncul tanpa alasan dari kejadian yang akan datang. Kecemasan akan muncul pada keluarga yang salah satu anggota keluarganya sedang sakit. Bila salah satu anggota keluarga sakit maka hal tersebut akan menyebabkan terjadinya krisis pada keluarga. Post (1978) diacu dalam Trismiati (2004) mengemukakan bahwa kecemasan adalah kondisi emosional yang tidak menyenangkan, yang ditandai oleh perasaan subjektif seperti ketegangan, ketakutan, dan kekhawatiran. Menurut Bucklew (1980) diacu dalam Trismiati (2004), para ahli membagi bentuk kecemasan terbagi menjadi dua, yaitu: (1) psikologis yaitu kecemasan yang terlihat sebagai gejala kejiwaan, seperti tegang, bingung, khawatir, sukar berkonsentrasi, dan perasaan tidak menentu; (2) fisiologis yaitu kecemasan yang terlihat sebagai gejala fisik, misalnya tidak dapat tidur, jantung berdebar-debar, gemetar, dan perut mual. Dukungan Sosial Dukungan sosial adalah informasi dari orang lain bahwa ia dicintai dan diperhatikan, dihargai, serta merupakan bagian dari jaringan komunikasi (Taylor 1999). Smet (1994) mengatakan bahwa dukungan sosial merupakan salah satu fungsi dari ikatan sosial yang menggambarkan kualitas hubungan interpersonal.
12
Hubungan interpersonal dianggap sebagai aspek kepuasan secara emosional dalam kehidupan individu. Dukungan sosial yang diterima dapat membuat individu merasa percaya diri, tenang, diperhatikan, dicintai, dan kompeten. Dukungan sosial terdiri dari informasi verbal, non verbal, dan tindakan yang diberikan oleh orang lain sehingga mempunyai manfaat emosional bagi individu. Jenis Dukungan Sosial Smet (1994) dan Sarafino (1998) membedakan empat jenis dukungan sosial yaitu : a. Dukungan emosional, mencakup ungkapan dan perilaku empati, afeksi, kepedulian, sehingga individu tersebut merasa nyaman, dicintai dan diperhatikan. b. Dukungan penghargaan, mencakup ungkapan hormat positif, dorongan, dan persetujuan atas gagasan atau perasaan individu. Pemberian dukungan ini membantu individu melihat segi positif dalam dirinya yang berfungsi untuk menambah penghargaan dan kepercayaan diri saat mengalami tekanan. c. Dukungan instrumental, mencakup bantuan secara langsung sesuai dengan yang dibutuhkan individu, seperti bantuan finansial atau pekerjaan pada saat mengalami stres. d. Dukungan informatif, mencakup pemberian nasehat, petunjuk, saran atau umpan balik yang diperoleh dari orang lain, sehingga individu dapat mencari jalan keluar untuk memecahkan masalahnya. Sumber Dukungan Sosial Menurut Rook dan Dooley (1985) diacu dalam Febriasari (2007) ada dua sumber dukungan sosial, yaitu : a. Sumber natural: dukungan sosial yang diterima seseorang melalui interaksi sosial secara spontan dengan orang-orang yang berada di sekitarnya, misalnya anggota keluarga (anak, istri, suami), teman dekat atau relasi. Dukungan sosial ini bersifat non formal. b. Sumber artificial: dukungan sosial untuk kebutuhan primer seseorang, misalnya dukungan sosial akibat bencana alam melalui berbagai sumbangan.
13
Perilaku Hidup Sehat Perilaku adalah segala perbuatan atau tindakan yang dilakukan oleh mahluk hidup. Sehat menurut WHO adalah keadaan sempurna baik fisik, mental, maupun sosial. Sedangkan menurut UU Kesehatan No.23 Tahun 1992, kesehatan
adalah
keadaan
sejahtera
badan,
jiwa,
dan
sosial,
yang
memungkinkan setiap orang hidup produktif secara sosial dan ekonomi (Notoatmodjo 2007). Menurut Notoatmodjo (2007) perilaku hidup sehat adalah segala respon seseorang yang berkaitan dengan penyakit, pelayanan kesehatan, makanan dan minuman, serta lingkungan. Dari batasan ini, perilaku kesehatan dapat diklasifikasikan dalam tiga kelompok yaitu: 1. Pemeliharaan kesehatan (health maintanance): perilaku seseorang untuk memelihara atau menjaga kesehatan agar tidak sakit dan usaha untuk penyembuhan ketika sakit. 2. Penggunaan fasilitas pelayanan kesehatan (health seeking behavior): Perilaku ini menyangkut upaya seseorang pada saat menderita penyakit atau kecelakaan. 3. Kesehatan lingkungan: respon seseorang terhadap lingkungan agar tidak mempengaruhi kesehatannya. Adapun penyebab yang menentukan perilaku kesehatan dibedakan menjadi dua, yaitu : (1) faktor internal (karakteristik seseorang), misalnya tingkat kecerdasan, tingkat emosional, jenis kelamin; (2) faktor eksternal yaitu lingkungan fisik, sosial, budaya, ekonomi, politik. faktor yang paling dominan menetukan perilaku kesehatan yaitu faktor lingkungan. Tindakan pencegahan penyakit TB paru, merupakan upaya pencegahan agar penyakit ini tidak menyebar dan menulari orang lain. Upaya tersebut antara lain: pengobatan TB paru dan menerapkan perilaku hidup bersih dan sehat (Notoatmodjo 2007). Menurut Depkes (2007), terdapat sepuluh indikator yang meliputi tujuh indikator perilaku hidup bersih sehat dan tiga indikator gaya hidup sehat, yaitu: (1) membuka jendela pada pagi hari sampai sore hari agar rumah mendapat sinar matahari dan udara yang cukup; (2) menjemur kasur, bantal, dan guling secara teratur sekali seminggu; (3) kesesuaian luas lantai dengan jumlah hunian; (4) menjaga kebersihan diri, rumah, dan lingkungan sekitar rumah; (5) lantai diplester atau dipasang keramik; (6) bila batuk, mulut ditutup; (7) tidak meludah
14
disembarang tempat tapi menggunakan tempat khusus; (8) istirahat cukup dan tidak tidur larut malam; (9) makan makanan bergizi seimbang; dan (10) hindari polusi udara dalam rumah seperti asap dapur dan asap rokok. Tuberkulosis (TB) Paru Tuberkulosis
(TB)
adalah
suatu
infeksi
yang
disebabkan
oleh
Mycobacterium tuberculosis. Infeksi ini paling sering mengenai paru tetapi dapat juga mengenai organ-organ tertentu (Brewis 1983) diacu dalam Nawas A (1990). TB paru merupakan salah satu masalah kesehatan utama di Indonesia. Hal ini tercermin pada prevalensi TB paru dengan BTA (+) yang cukup tinggi yaitu 0,3% artinya diantara 1000 orang penduduk Indonesia dapat dijumpai 3 orang penderita TB paru yang masih potensial menular. Di Indonesia, TB paru merupakan penyebab kematian selain penyakit ISPA, diare dan penyakit jantung koroner (Handoko T 1984) diacu dalam Nawas A (1990). Gambaran Klinis TB Paru Menurut Rasmin R (1987) diacu dalam Nawas A (1990), mengemukakan gambaran klinis TB paru dapat dibagi atas dua gejala, yaitu: 1. Gejala sistemik (umum) meliputi demam, tidak enak badan, nafsu makan berkurang yang menyebabkan penurunan berat badan, sakit kepala dan badan pegal. Pada wanita dapat dijumpai gangguan siklus haid. 2. Gejala respiratorik (paru) melipuit batuk, batuk darah, sesak napas, dan nyeri dada. Faktor Resiko TB Paru Terdapat tiga faktor resiko TB paru, yaitu kepadatan tempat tinggal, kopndisi rumah, dan sosial ekonomi keluarga. Kepadatan
Tempat
Tinggal.
Kepadatan
tempat
tinggal
dapat
mempengaruhi penyebab penularan penyakit. Semakin padat tempat tinggal, penyakit semakin cepat menular melalui udara. Suhu didalam ruangan erat kaitannya dengan kepadatan tempat hunian dan ventilasi rumah. Kuman TB paru akan menjadi inaktif oleh cahaya matahari yang dapat mematikan fungsi vital organisme (Starke JR & Munoz F 2003). Kepadatan tempat tinggal yang ditetapkan oleh Depkes (2008), yaitu rasio luas lantai seluruh ruangan dibagi jumlah penghuni. Adapun batas minimal
15
kepadatan tempat tinggal adalah 10 m2/orang. Luas kamar tidur minimal 8 m2 dan tidak dianjurkan digunakan lebih dua orang tidur dalam satu ruang tidur, kecuali anak dibawah umur lima tahun. Di daerah perkotaan yang lebih padat penduduknya, peluang terjadinya kontak dengan penderita TB paru lebih besar (Karyadi E et al. 2006). Kondisi Rumah. Tempat tinggal merupakan kebutuhan dasar bagi setiap manusia. Tingkat kesejahteraan sosial ekonomi masyarakat dan kesehatan lingkungan dapat terlihat dari kondisi lingkungan tempat tinggal. Rumah dapat dikatakan aman dan sehat jika memenuhi syarat tertentu. Sesuai dengan Kepmenkes No.829/MenKes/SK/VII/1999 diacu dalam Azwar (1999) terdapat indikator rumah yang sehat yaitu : (1) lantai tidak berdebu pada musim kemarau dan tidak basah pada musim hujan; (2) sebaiknya dinding dari tembok namun bila di daerah tropis dan ventilasi kurang akan lebih baik dinding dari papan; (3) atap genting cocok untuk daerah tropis, sedangkan atap seng atau asbes tidak cocok untuk rumah pedesaan karena menimbulkan suhu panas di dalam rumah; (4) ventilasi cukup, yaitu minimal luas ventilasi adalah 15% dari luas lantai. Ventilasi mempunyai fungsi: menjaga aliran udara di dalam rumah tetap segar sehingga keseimbangan oksigen (O2) yang diperlukan oleh penghuni rumah tetap terjaga, menjaga udara di ruangan rumah selalu tetap dalam kelembaban yang optimum, dan membebaskan udara ruangan dari bakteri patogen (pembawa penyakit); (5) cahaya matahari cukup, yang diperoleh dari ventilasi maupun genting kaca. Suhu udara yang ideal antara 18 - 30°C dan sinar matahari selama lima menit dapat membunuh Mycobacterium tuberculosis; (6) luas bangunan rumah cukup, yaitu luas lantai bangunan rumah harus cukup sesuai dengan jumlah penghuninya. Rumah yang tidak sehat disebabkan kurangnya O2 dan mudahnya proses penularan penyakit. Sosial Ekonomi Keluarga. WHO (2003) menyebutkan bahwa 90% penderita TB di seluruh negara menyerang kelompok sosial ekonomi lemah. Menurut Enarson DA et al. (1993) TB merupakan penyakit terbanyak yang menyerang negara dengan penduduk berpendapatan rendah. Sosial ekonomi yang rendah akan menyebabkan kondisi kepadatan tempat tinggal yang tinggi. Selain itu, kurang gizi dan rendahnya kemampuan untuk mendapatkan pelayanan kesehatan yang layak juga menjadi masalah bagi golongan sosial ekonomi rendah.
16
Karakteristik Keluarga Keluarga adalah unit terkecil dalam masyarakat yang terdiri dari suami, istri, atau suami istri dan anaknya atau ayah dan anaknya atau ibu dan anaknya (UU No.52 tahun 2009). Keluarga menyediakan keseimbangan kebutuhan antar individu sebagai anggota keluarga dan tuntutan serta harapan dari masyarakat yang ada. Empat ciri keluarga yaitu : (1) susunan orang-orang yang disatukan oleh perkawinan, darah atau adopsi; (2) hidup bersama di bawah satu atap (rumah tangga); (3) kesatuan orang-orang yang berinteraksi dan berkomunikasi (peran sosial); dan (4) pemeliharaan suatu kebudayaan (Puspitawati 2006). Terdapat 8 fungsi keluarga menurut PP No.21 tahun 1994, diacu dalam Puspitawati (2006) tentang Penyelenggaraan Pembangunan Keluarga Sejahtera yang dijalankan untuk mencapai tujuan keluarga, yaitu : fungsi keagamaan, sosial budaya, cinta kasih, perlindungan, reproduksi, sosial dan pendidikan, ekonomi, dan pembinaan lingkungan. Pendapatan Keluarga Pendapatan keluarga adalah jumlah seluruh hasil perolehan yang didapat oleh anggota keluarga dalam bentuk uang sebagai hasil pekerjaannya. Sajogjo (1994) menyatakan bahwa pendapatan keluarga meliputi penghasilan ditambah dengan hasil-hasil lain. Menurut BPS (2002) diacu dalam Shinta (2008), pendapatan rumah tangga atau keluarga adalah seluruh penghasilan atau penerimaan berupa uang dari seluruh anggota yang diperoleh berupa upah atau gaji, pendapatan dari usaha rumah tangga atau penerimaan lainnya. Pendapatan keluarga merupakan aspek yang sangat penting dan sangat berpengaruh pada keluarga dengan penyakit kronis, karena tidak jarang mereka membatalkan pengobatan medis meskipun telah menderita penyakit kronis sehingga memunculkan komplikasi penyakit (Sugianto 2007). Goldsmith (2005) diacu dalam Mimbs & Lewis (2009) menyatakan bahwa setiap tindakan memiliki konsekuensi sehingga manajemen input menentukan outcome yang dihasilkan. Jika keluarga dengan penyakit kronis memiliki kemampuan manajemen sumber daya dengan baik, maka kendala keuangan dapat diatasi.
17
Pendidikan Pendidikan formal dan non-formal serta pengetahuan orang tua dan anakanak sangat penting dalam menetukan status kesehatan dan gizi keluarga. Pendidikan dapat membantu memperlancar komunikasi serta mempengaruhi proses pemberian dan penerimaan informasi tentang kesehatan sehingga dapat dengan mudah diterima oleh keluarga. Tingkat pendidikan ibu dapat berpengaruh terhadap status anak dan keluarga (Sukarni 1994). Pekerjaan Mata
pencaharian
kepala
keluarga
sangat
berpengaruh
terhadap
ketahanan keluarga terutama status kesehatan keluarga (Sukarni 1994). Terdapat kaitan antara pekerjaan orang tua dengan karakteristik keluarga yaitu gambaran mengenai tingkat kesejahteraan keluarga. Keluarga bisa dikategorikan miskin atau tidak miskin berdasarkan beberapa indikator dan pendekatan. Pendekatan kemiskinan menurut Hamudy (2008) diacu dalam Shinta (2008), yaitu: (1) pendapatan: seseorang dikatakan miskin jika pendapatan dan pengeluaran berada di bawah batas secara sosial; (2) kebutuhan dasar: miskin jika tidak mampu memenuhi kebutuhan dasar, seperti sandang, pangan, papan, pendidikan dasar; (3) aksesibilitas: miskin karena kurang akses terhadap infrastruktur sosial dan fisik, informasi, pasar, dan teknologi; (4) kemampuan manusia: miskin jika tidak memiliki kemampuan minimal yang dapat berfungsi. Tingkat kesejahteran dapat diukur dengan kriteria BPS dan kriteria pengeluaran pangan. Untuk mengukur garis kemiskinan, BPS menggunakan batas pendapatan perkapita yang diturunkan dari kebutuhan dasar kalori minimal 2100 kkal/kapita/bulan. Garis kemiskinan di Jawa Barat untuk wilayah perkotaan Rp. 203.751,00/kapita/bulan dan untuk perdesaan Rp. 175.193,00/kapita/bulan (BPS 2009). Garis kemiskinan Kota Bogor yaitu apabila pendapatan kurang dari Rp. 223.218,00/kapita/bulan (BPS Bogor 2009). Adapun untuk mengukur garis kemiskinan
yaitu
berdasarkan
jumlah
pengeluaran
pangan
>50%
dari
keseluruhan pengeluaran keluarga (BPS 2009). Usia Umur orang tua, terutama ibu berkaitan dengan pengalaman ibu dalam mengatur keluarga. Ibu dengan usia muda cenderung lebih memperhatikan kepentingannya sendiri daripada kepentingan keluarganya. Usia dewasa dibagi
18
menjadi 3 kategori (Hurlock 1993), yaitu: dewasa muda (19-29 tahun), dewasa madya (30-49 tahun), dan dewasa akhir (50-69 tahun). Besar Keluarga Sanjur (1982) diacu dalam Devi (2004) menyatakan bahwa besar keluarga akan mempengaruhi pengeluaran rumah tangga. Harper (1988) diacu dalam Fitriyani (2008) menyatakan bahwa keluarga miskin dengan jumlah anggota keluarga yang banyak akan lebih sulit untuk memenuhi kebutuhan pangannya. Keluarga dengan kondisi krisis bergantung pada besar keluarga, semakin besar keluarga maka semakin sulit memenuhi kebutuhan hidup. Besar keluarga akan mempengaruhi status kesehatan keluarga. Sanitasi Sanitasi lingkungan biasanya sangat erat kaitannya dengan kondisi permukiman. Kusnoputranto (1983) diacu dalam Fitriyani (2008) mendefinisikan sanitasi lingkungan sebagai usaha pengendalian dari faktor-faktor lingkungan fisik yang mungkin menimbulkan kerugian bagi perkembangan fisik, kesehatan dan daya tahan hidup manusia. Dapat disimpulkan bahwa sanitasi lingkungan merupakan pengelolaan berbagai faktor yang mempengaruhi kesehatan manusia. Pengelolaan sanitasi lingkungan meliputi: (1) penyediaan air rumah tangga yang baik; (2) pengaturan pembuangan kotoran manusia; (3) pengaturan pembuangan sampah; (4) pengaturan pembuangan air limbah ; (5) pengaturan rumah sehat; (6) pembasmian binatang-binatang penyebar penyakit seperti lalat dan nyamuk; (7) pengawasan polusi udara; dan (8) pengawasan radiasi dari sisa-sisa zat radio aktif. Untuk mengukur sanitasi keluarga terdiri dari tiga aspek, yaitu kondisi fisik rumah, sarana rumah tangga, dan sumber air. Kondisi Fisik Rumah. Rumah merupakan bagian dari kebutuhan dasar dalam kehidupan manusia selain sandang dan pangan. Rumah tidak hanya befungsi sebagai tempat berlindung, tetapi juga sebagai tempat tinggal. Aspek kesehatan, kenyamanan, dan estetika berkaitan dengan tingkat kesejahteraan penduduk (BPS 2000). Sarana Rumah Tangga. Rumah yang sehat menurut Notoatmodjo (2007) harus mempunyai berbagai fasilitas, seperti penyediaan air bersih, pembuangan tinja, pembuangan air limbah pembuangan sampah, dapur, dan ruang berkumpul
19
keluarga. Untuk perumahan di pedesaan, biasanya disediakan gudang sebagai tempat penyimpanan hasil panen dan kandang ternak. Sumber Air. Air merupakan kebutuhan yang paling penting bagi manusia. Fungsi air dalam kehidupan sehari-hari antara lain: untuk memasak, minum, mandi, dan mencuci. Adapun syarat air minum yang baik dapat dilihat melalui fisik, meliputi tidak berwarna (jernih), berasa, berbau, mengandung bahan kimia dan bakteri. Menurut Sukarni (1994), air dapat dibedakan berdasarkan sumbernya, yaitu: (1) air hujan, yaitu air yang diperoleh dari proses prespitasi awan dan atmosfer yang mengandung air; (2) air permukaan tanah, yaitu air tergenang atau air mengalir, misalnya: sungai, danau, laut; (3) air tanah, yaitu air permukaan tanah yang telah masuk ke dalam tanah dan mengalami penyaringan oleh tanah, batu-batuan, atau pasir.