TINJAUAN PUSTAKA
Intoleransi Laktosa Atan Baas Sinuhaji Departemen Ilmu Kesehatan Anak Fakultas Kedokteran Universitas Sumatera Utara/Rumah Sakit H. Adam Malik Medan
Abstrak: Laktosa merupakan karbohidrat utama pada ASI dan memberikan hampir setengah dari kalori yang terdapat di ASI. Defisiensi laktase menyebabkan laktosa tidak dapat diserap (malabsorpsi laktosa). Defisiensi laktase bisa primer atau sekunder (mis. kerusakan mukosa usus). Laktosa yang tidak diserap menyebabkan timbulnya berbagai gejala klinik (intoleransi laktosa). Defisiensi laktase sekunder paling sering di jumpai pada masa bayi. Hal ini penting diingat oleh dokter anak, bila ada diare dengan intoleransi laktosa kemungkinan adanya alergi protein susu sapi dan intoleransi lemak harus dipertimbangkan. Kata kunci: defisiensi laktase, malabsorpsi laktosa, intoleransi laktosa, alergi protein susu sapi
Abstract: Lactose, the primary carbohydrate in human milk, is contributed account for roughly half of the total calories in human milk. Lactose can not be absorbed (malabsorption) if there are lactase deficiency of the primary or secondary (i.e those associated with mucosal damage). In the setting of failure to either digest or absorp lactose, a distinct clinical symptoms is observed (intolerance). Secondary lactase deficiency is by far the most common entity in infancy. It is important for pediatricians, who treat large number of infant with gastroenteritis who have symptoms lactose intolerance, to realize the possibility of cow’s milk protein sensitive enteropathy and fat intolerance. Keywords: lactase deficiency, lactose malabsorption, lactose intolerance, cow’s milk protein sensitive enteropathy
PENDAHULUAN Susu merupakan sumber nutrient yang penting untuk pertumbuhan bayi mamalia, termasuk manusia, yang mengandung karbohidrat, protein, lemak, mineral dan vitamin. Laktosa merupakan satu-satunya karbohidrat dalam susu mammalia, merupakan disakarida yang terdiri dari gabungan monosakarida: glukosa dan galaktosa.1,2 Laktosa hanya dibuat di sel-sel kelenjar mamma pada masa menyusui melalui reaksi antara glukosa dan galaktosa uridin difosfat dengan bantuan lactose synthetase.3 Kadar laktosa dalam susu sangat bervariasi antara satu mammalia dengan yang lain. ASI mengandung 7% laktosa, sedangkan susu sapi hanya mengandung 4%. Singa laut merupakan satu-satunya mammalia yang tidak mengandung laktosa dalam air susunya, juga enzim untuk pemecahan laktosa (laktase).1,2
424
Dalam tulisan ini akan diuraikan secara ringkas manfaat laktosa juga manifestasi klinis, diagnosa dan pengobatan intoleransi laktosa. MANFAAT LAKTOSA Laktosa merupakan sumber energi yang memasok hampir setengah keseluruhan kalori susu (35 – 45%). Di samping itu laktosa juga penting untuk absorpsi kalsium. Namun studi klinis menunjukkan, mineralisasi tulang bayi yang mendapat formula susu sapi (mengandung laktosa) maupun formula kedelai (karbohidratnya terdiri dari polimer glukosa), tidak ada perbedaan.4,5 Galaktosa yang merupakan hasil hidrolisa laktosa, merupakan senyawa yang penting untuk pembentukan serebrosida. Serebrosida ini penting untuk perkembangan dan fungsi otak. Galaktosa ini juga dapat dibentuk oleh tubuh (di hati) dari bahan lain (glukosa).3 Karena itu keberadaan laktosa sebagai karbohidrat utama yang terdapat di susu
Majalah Kedokteran Nusantara Volume 39 y No. 4 y Desember 2006
Atan Baas Sinuhaji
mammalia, termasuk ASI, merupakan hal yang unik. Proses evolusi terpilihnya laktosa menjadi karbohidrat satu-satunya yang terdapat di susu mammalia, mungkin merupakan cerminan dari adanya fungsi laktosa yang penting pada masa bayi mammalia yang belum diketahui.2 Apakah sehubungan dengan pertahanan/pencernaan, masih merupakan kemungkinan.6 MANIFESTASI KLINIS Karbohidrat yang dimakan diserap dalam bentuk monosakarida (glukosa, galaktosa dan fruktosa). Karena itu laktosa harus dihidrolisa menjadi glukosa dan galaktosa agar proses absorpsi dapat berlangsung. Hidrolisa ini dilakukan oleh laktase (β-galactosidase), suatu enzim yang terdapat di brush border mukosa usus halus. Enzim lain yang terdapat di brush border adalah sukrase, maltase dan glukoamilase. Laktase dijumpai pada bagian luar brush border dan di antara semua disakaridase, laktase yang paling sedikit. Bila ada kerusakan mukosa (serangan gastroenteritis), enzim laktase yang selalu mendapat gangguan (defisiensi laktase sekunder) dan hal ini yang paling sering dijumpai.1,8 Laktase akan kembali normal kalau mukosa usus mengalami penyembuhan, namun memerlukan waktu. Pada janin manusia aktivitas laktase telah kelihatan pada usia kehamilan 3 bulan dan aktifitas laktase pada minggu 35- 38 meningkat sampai 70 % dari bayi lahir aterm. Karena itu defisiensi laktase primer dijumpai pada bayi prematur sehubungan dengan perkembangan usus yang immatur (developmental lactase deficiency). Congenital lactase deficiency pada bayi baru lahir, merupakan keadaan yang jarang dijumpai. Penyakit ini diturunkan secara autosomal recessive.1 Aktifitas laktase ini menurun secara nyata sejak umur 2 – 5 tahun (late onset lactase deficiency) walau laktosa terus diberikan. Ini menandakan laktase bukan enzim adaptif.1,9 Pada beberapa ras , terutama orang kulit putih di Eropa Utara, beberapa suku nomaden di Afrika,
Intoleransi Laktosa
aktifitas laktase pada manusia dewasa tetap tinggi (persistence of lactase activity). Bila ada defisiensi laktase, laktosa tidak akan didigesti akibatnya tidak ada penyerapan oleh mukosa usus halus. Disakarida ini merupakan bahan osmotik yang akan menarik air ke lumen. Jumlah air yang keluar sebanding dengan jumlah laktosa yang tinggal di lumen usus. Penambahan volume lumen usus akan menyebabkan rasa mual , muntah dan peningkatan peristaltik. Peristaltik usus yang meninggi menyebabkan waktu transit usus makin pendek sehingga mengurangi kesempatan untuk digesti dan absorpsi. Laktosa dan air/elektrolit yang tidak diserap meninggalkan usus halus sampai di kolon. Di kolon, laktosa ini akan difermentasi oleh flora normal menjadi gas (CO2, H2 dan CH4), asam lemak rantai pendek (butirat, propional dan asetat) dan asam laktat.10 Pembentukan gas menyebabkan perut kembung dan sakit perut. Pembentukan gas hidrogen oleh flora di kolon dapat dideteksi di udara pernafasan. Ini yang menjadi dasar uji hidrogen pernafasan. Pembentukan asam lemak rantai pendek tadi diperlukan oleh tubuh karena asam lemak ini dapat digunakan sebagai sumber energi. Di samping itu pembentukan asam lemak rantai pendek ini berguna untuk nutrisi kolon, membantu absorpsi air/elektrolit dan motilitas kolon. Lebih kurang 70 % dari nutrisi kolon berasal dari intraluminal.11 Karena itu secara fisiologis, dalam keadaan normal dijumpai malabsorpsi laktosa/karbohidrat. Sedangkan penyerapan asam laktat oleh kolonosit menyebabkan asidosis metabolik. Air/elektrolit yang sampai di kolon dan hasil fermentasi tadi diserap oleh kolonosit (colonic salvage). Bila colonic salvage dilewati, maka asam laktat banyak dijumpai di tinja yang akan menyebabkan penurunan pH tinja. Demikian juga bila air/elektrolit dan laktosa yang sampai ke kolon melewati colonic salvage, maka akan menyebabkan kadar air tinja meningkat (diare osmotik) dan bahan-bahan reduksi (laktosa) dijumpai dalam tinja.8,10 (lihat gambar 1)
Majalah Kedokteran Nusantara Volume 39 y No. 4 y Desember 2006
425
Tinjauan Pustaka
Laktosa tidak diserap
H2
Menarik air
CO2
Kolon
Fermentasi
Diserap
Air
Laktosa
Colonic Salvage
Gas
CH4
Asam lemak rantai pendek
Asam laktat
Diare Osmotik Bahan reduksi Asam Laktat
Gambar 1. Patogenesa intoleransi laktosa
Gastroenteritis akut
Rusak mukosa
Defisiensi SIgA
Absorpsi makromolekuler
Defisiensi laktase sekunder
Intoleransi Laktosa
Sistemik
Sensitisasi
Cow’s Milk Protein Sensitive Enteropathy ( CMPSE )
Gambar 2. Hubungan antara gastroenteritis , intoleransi laktosa, dan CMPSE
426
Majalah Kedokteran Nusantara Volume 39 y No. 4 y Desember 2006
Atan Baas Sinuhaji
Ada beberapa terminologi yang perlu dipahami sehubungan dengan gangguan absorpsi laktosa yaitu:1,9 1. Defisiensi laktase: rendah (atau tidak ada) aktifitas laktase pada pemeriksaan hasil biopsi mukosa usus halus. 2. Malabsorpsi laktosa: ketidak mampuan usus halus mengabsorpsi laktosa yang dibuktikan dengan pemeriksaan yang sesuai (uji beban laktosa, uji hidrogen pernafasan). 3. Intoleransi laktosa: munculnya gejalagejala klinis setelah makan/minum bahan yang mengandung laktosa (mencret, mual, muntah, perut kembung dan sakit perut). Hal ini perlu diperhatikan karena seorang dengan defisiensi laktase belum tentu mengalami malabsorpsi laktosa. Malabsorpsi laktosa juga bisa disebabkan kerusakan mukosa usus halus. Juga penderita malabsorpsi laktosa belum tentu mengalami intoleransi laktosa. Disamping aktifitas laktase di mukosa usus halus, laktosa yang didigesti dan ditoleransi dipengaruhi oleh beberapa faktor yaitu:1 a. Jumlah laktosa yang dimakan (dose dependent). b. Waktu pengosongan lambung dan waktu transit usus. c. Pelarut yang digunakan untuk memberi laktosa. d. Flora normal yang terdapat di kolon. Hal ini memperngaruhi gejala-gejala intoleransi laktosa pada satu individu dengan individu lain sehingga menimbulkan permasalah diagnosa dan angka kejadian. DIAGNOSA Diagnosa intoleransi laktosa merupakan gabungan gejala klinis dan uji/pemeriksaan yang sesuai. Secara klinis dengan uji toleransi laktosa. Setiap bayi minum bahan yang mengandung laktosa akan timbul gejala klinis (diare, perut kembung dan lain-lain). Bila laktosa dieliminasi dari dietnya, maka gejala tersebut akan hilang.1,8 Uji/pemeriksaan yang dilakukan bertujuan untuk menentukan adanya malabsorpsi laktosa.10 Adanya bahan-bahan reduksi dan pH tinja yang asam mengindikasikan adanya malabsorpsi laktosa. Walaupun pemeriksaan ini bersifat uji saring dan kualitatif, uji ini valid bila: hanya laktosa yang diminum, waktu transit usus yang cepat, tinja yang segar dan harus diperiksa segera, dan degradasi laktosa oleh flora kolon tidak komplit.
Intoleransi Laktosa
Uji hidrogen pernafasan merupakan pemeriksaan yang saat ini dianjurkan untuk mendiagnosa malabsorpsi laktosa. Uji ini tidak invasif dan dapat dilakukan pada bayi. Peningkatan produksi gas hidrogen pada udara pernafasan, menunjukkan adanya fermentasi laktosa yang tidak dicerna yang sampai ke kolon. Setelah puasa malam hari, peningkatan gas hidrogen > 20 ppm sehabis minum laktosa, mengindikasikan adanya malabsorpsi laktosa.1,10 PENGOBATAN Pengobatan intoleransi laktosa yang disebabkan defisiensi laktase primer dapat diberikan susu rendah/bebas laktosa tergantung toleransi. Ataupun penambahan laktase (Lactaid®)/Yoghurt ke dalam susu. Pemberian susu yang diencerkan tidak disukai karena menimbulkan pengaruh buruk pada gizi bayi, apalagi kalau diberikan pada waktu yang lama.12 Pada bayi prematur (dengan developmental lactase deficiency), pemberian ASI dapat diteruskan karena defisiensi laktase hanya transient. Bila digunakan susu sebaiknya kandungan karbohidratnya merupakan gabungan laktosa yang direndahkan dan polimer glukosa. Pemberian polimer glukosa memberikan keuntungan berupa penurunan osmolalitas dan mempercepat waktu pengosongan lambung. Hal ini akan berbeda , bila intoleransi laktosa yang disebabkan defisiensi laktase sekunder (kerusakan mukosa misalnya oleh karena gastroenteritis). Pada keadaan ini ASI tetap diberikan walau kadar laktosanya lebih tinggi dari susu sapi. Sebab pastinya kenapa dapat ditoleransi belum diketahui, walau banyak kemungkinan-kemungkinan yang menjelaskan.13 Karena itu ASI harus diteruskan pada bayi/anak dengan diare.13-15 Intoleransi laktosa setelah serangan gastroenteritis akut, umumnya temporer tetapi dapat berlangsung sampai 4 bulan. Karena itu wajar bila intoleransi laktosa setelah serangan gastroenteritis akut, diberikan susu yang diencerkan dan susu rendah/bebas laktosa. Namun adanya intoleransi laktosa (setelah serangan gastroenteritis akut), tidak menyingkirkan kemungkinan adanya cow’s milk protein sensitive enteropathy dan intoleransi lemak.16,17 (lihat gambar 2). Dengan demikian pemberian susu yang diencerkan dan susu rendah/bebas laktosa dapat menemui kegagalan yang bervariasi antara 7,7 - 47 %.18 Pemberian susu bebas laktosa, kelihatan hanya sedikit manfaatnya pada pengobatan anak dengan diare.12
Majalah Kedokteran Nusantara Volume 39 y No. 4 y Desember 2006
427
Tinjauan Pustaka
Iacono, mendapatkan bila didapati nilai steatokrit patologis pada masa serangan gastroenteritis akut ,- terlebih bila bayi usia di bawah 2 bulan -, sangat besar resiko untuk timbulnya cow’s milk protein sensitive enteropathy.19 Fayat membandingkan manfaat pemberian susu kacang kedelai yang mengandung sukrosa dengan susu kacang kedelai yang mengandung laktosa pada masing-masing 100 bayi umur 3 – 18 bulan dengan diare. Angka kegagalan pemberian susu yang mengandung laktosa sebesar 6 % dan yang mengandung sukrose sebesar 2 %.20 Walaupun kegagalan pemberian susu yang mengandung sukrose lebih kecil, kegagalan ini dapat berakibat fatal kalau tidak di bawah pengawasan klinisi.13 Karena itu bila mencret berlangsung terus/makin hebat setelah pemberian susu, sebaiknya susu distop dan diberikan kembali setelah ada perbaikan. KESIMPULAN Diare dapat disebabkan intoleransi laktosa. Tetapi diare (dalam hal ini gastroenteritis) juga dapat menyebabkan intoleransi laktosa. Karena itu pada penderita gastroenteritis disamping intoleransi laktosa harus dipikirkan intoleransi terhadap bahan-bahan lain yang terdapat di susu agar dapat diberikan diet yang sesuai. Walaupun kadar laktosa di ASI tinggi, ASI tetap diberikan pada penderita gastroenteritis dengan intoleransi laktosa. DAFTAR PUSTAKA 1. Alliet P, Kretchmer N, Lebenthal E. Lactase deficiency, lactose malabsorption, and lactose intolerance. Dalam: Lebenthal E, penyunting. Textbook of Gastroenterology and Nutrition in Infancy. Edisi ke-2. New York: Raven Press, 1989. h. 459-72. 2.
George DE, DeFrancesca BA. Human milk in comparison to cow milk. Dalam: Lebenthal E, penyunting. Textbook of Gastroenterology and Nutrition in Infancy. Edisi ke-2. New York: Raven Press, 1989. h. 239-61.
3.
Mayes PA. Gluconeogenesis and control of blood glucose. Dalam: Murray RK, Granner DK, Mayes PA, Rodwell VW, penyunting. Harper’s Biochemestry. Edisi ke-22. Connecticut: Prentice-Hall International Inc., 1990. h. 179-98.
4.
428
Steichen J, Tsang RC. Bone mineralisation and growth in term infants fed soy based or
cow milk based formula. J Pediatr 1987; 110:687-92. 5.
Mimouni F, Campaigne B, Neylan M, Tsang RC. Bone mineralisation in the first year of life in infants fed human milk, cow milk formula, or soy based formula. J Pediatr 1993; 122:348-54.
6.
Jackson AA, Golden MH. The human rumen. Lancet 1978; II:764-7.
7.
Lifshitz F. Food intolerance and sensitivity. Dalam: Lebenthal E, penyunting. Advances in pediatrics gastroenterology and nutrition. Mead Johson symposium series No. 1; Manila, 1983: 131-40.
8.
Heitlinger LA, Lebenthal E. Disorders of carbohydrate digestion and absorption. Pediatr Clin North Am 1988; 35:239-55.
9.
Sahi T. Dietary lactose and the aetiology of human small intestinal hypolactasia. Gut 1978; 19:1074-86.
10. Sinuhaji AB. Beberapa uji fungsi usus yang penting dalam mendiagnosis penyakit gastrointestinal pada anak. Disampaikan pada Kongres Nasional Ilmu Kesehatan Anak IX, Semarang, 13-17 Juni, 1993. 11. Roediger WEW. Metabolic basis of starvation diarrhoea : Implication for treatment. Lancet 1986; I:1082-4. 12. Lembcke JL. Dietary management of acute childhood diarrhoea : A developing world perspective. International Seminar in Pediatric Gastroenterology and Nutrition : Refeeding and diarrhoea 1994; 3:10-5. 13. Brown KH. Dietary management of acute childhood diarrhea : Optimal timing of feeding and appropriate use of milks and mixed diets. J Pediatr 1991; 118:S92-8. 14. Sinuhaji AB. Patofisiologi dan tatalaksana diare akut pada neonatus dan bayi. Dalam: Pasaribu S, Lubis M, Lubis B, Khainir A, Haris MS, penyunting. Penatalaksanaan diare pada bayi dan neonatus. Naskah lengkap Pendidikan Kedokteran Berkelanjutan Ilmu Kesehatan Anak Fakultas Kedokteran Universitas Sumatera Utara Medan, 1999: 1-20. 15. Armon K, Stephenson T, MacFaul R, Eccleston P, Werneke U. An evidence and consensus based guideline for acute diarrhoea management. Arch Dis Child 2001; 85:132-42.
Majalah Kedokteran Nusantara Volume 39 y No. 4 y Desember 2006
Atan Baas Sinuhaji
16. Walker-Smith JA, Nazer H, Manuel P, Jackson D, Philips AD, Soeparto P. Protein intolerance as a cause of posenteritis diarrhea. Dalam: Lebenthal E, penyunting. Chronic diarrhea in child. New York: Raven Press, 1984. h. 407-23. 17. Patrick MK, Gall DG. Protein intolerance and immunocyte and enterocyte interaction. Pediatr Clin North Am 1988; 35:17-34. 18. Sinuhaji AB, Lubis AH, Metrisal, Sutanto AH. Penatalaksanaan diare kronik pada anak. Dalam: Aldy D, Sutjipto A, Siregar AA, Siregar RR, Lubis U, penyunting. Masalah gizi, immunisasi, psikologi anak, penyakit infeksi dan rooming in. Naskah lengkap Pendidikan Ilmu Kesehatan Anak Berkelanjutan II Fakultas Kedokteran
Intoleransi Laktosa
Universitas Sumatera Utara Medan; 1987: 68-92. 19. Iacono G, Carrocio A, Alongi A, et al. The steatocrit test a guide in the prevention of cow’s milk enteropathy following acute infectious enteritis. J Pediatr Gastroenterol Nutr 1990; 11:48-52. 20. Fayad IM, Hashem M, Hussein A, Abouzikri M, Abuzikri M, Santosham M. Comparison soy based formula with lactose and with sucrose in the treatment of acute diarrhea in infant. Arch Pediatr Adolesc Med 1999; 153:675-80.
Majalah Kedokteran Nusantara Volume 39 y No. 4 y Desember 2006
429