DIALEKTIKA Volume 3 No. 1. Maret 2016, Hlm.
KOMUNIKASI DAN INTOLERANSI POLITIK: Sebuah Tinjauan Psikologi Komunikasi Firman Alamsyah Taufik Robbi Program Studi Ilmu Komunikasi Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik Universitas Langlangbuana Email:
[email protected]
Abstrak: Hakikat demokrasi adalah meletakkan masyarakat sebagai pemegang kedaulatan tertinggi dalam menentukan bagaimana cara yang terbaik suatu negara diselenggarakan melalui partisipasi politik yang bersifat aktif, bebas dan bersifat sukarela. Permasalahannya adalah pelibatan tersebut, ternyata tidak cukup di Indonesia mengingat sisa-sisa otoritarianisme di masa lalu ternyata membentuk kepribadian politik yang intoleran dan tercermin pada konflik di seputar pemilihan pimpinan lembaga eksekutif. Dalam kerangka ini, komunikasi sebagai sarana transmisi, transaksi dan interaksi iymbol-simbol yang bermakna memainkan peran melalui identifikasi perasaan keterancaman dan sosialisasi edukasi modalitas sosial, sehingga terbangun persepsi tentang kekuasaan lebih bersifat sebagai kontestasi program dibandingkan masalah perebutan kekuasaan belaka Kata Kunci: Komunikasi, Intoleransi Politik Abstract: The essence of democracy is to put people as the highest sovereign in deciding how best a country organized through political participation was active , free and voluntary. The problem is the engagement , it was not enough in Indonesia given the remnants of authoritarianism in the past turned out to form a political personality that is intolerant and reflected on the conflict surrounding the election of the leadership of the executive board. Within this framework , communication as a means of transmission , transaction and interaction symbol - a symbol that means playing a role through the identification and dissemination of feeling threatened social education modality , thereby building the perception of power contestation program more as compared to a mere struggle for power problems Keywords: Communication, Political Intolerance
Sebagai warganegara, setiap individu
Latar Belakang Hakikat
demokrasi
adalah
memiliki kedudukan yang sama serta
menjadikan masyarakat sebagai otoritas
memiliki
tertinggi dalam menentukan bagaimana
pendapat. Tanpa adanya partisipasi aktif
caranya sebuah negara diselenggarakan.
dari
Otoritas
dengan sendirinya tidak pernah ada
tersebut
berbentuk
pada
kepemilikan atas hak menentukan atau memutuskan bagaimana kebijakan dan siapa penyelenggara kekuasaan negara.
kebebasan
masyarakat,
menyampaikan
maka
demokrasi
(Verba, et.al., 1995). Eksistensi
suatu
proses
demokratisasi sangat tergantung dari
Firman Alamsyah, KOMUNIKASI DAN INTOLERANSI POLITIK..
sejauhmana
masyarakat
secara
aktivitas
individual
sebagai
berkesinambungan dan melalui cara
warganegara
damai berusaha memberikan dukungan
mempengaruhi dan memilih struktur,
terhadap nilai, norma dan prosedur
otoritas, dan kebijakan pemerintahan
demokrasi itu sendiri. Finkel, et.al.,
(Conway, 1991). Huntington & Nelson
(1999) mengungkapkan bahwa tanpa
(1994) menambahkan bahwa karakter
komitmen
proses
khas dari partisipasi politik adalah
pada
dilakukan oleh warganegara biasa dan
kecenderungan otoritarianisme sebagian
bersifat sukarela dalam menentukan
elite politik yang justru merefleksikan
keputusan yang berkaitan dengan publik.
tersebut,
demokratisasi
maka
akan
jatuh
perilaku despotik. Salah satu wujud dari
dalam
sebagai
Substansi
upayanya
dari
keterlibatan
proses berdemokrasi adalah keterlibatan
individu dalam proses politik adalah
masyarakat
bagaimana
secara
berpartisipasi
aktif
untuk
dalam
menyampaikan
aspirasi dan kepentingannya. Verba,
mewujudkan
suatu
pemerintahan yang bekerja secara dalam bingkai responsif dan efisien, yakni
et.al.,
(1995)
bagaimana
sebuah
pemerintahan
mengungkapkan, bahwa hakikat dari
bertanggung jawab kepada masyarakat
demokrasi adalah partisipasi politik.
dalam menjalankan pelayanan publik di
Selain
mana seluruh kebijakan yang dibuat
itu,
Conway
(1991)
juga
menambahkan, bahwa partisipasi politik
berorientasi
merupakan aktivitas yang dilakukan
kebajikan masyarakat. (Putnam, 1993).
warganegara biasa (bukan kelas elite
dan
berpihak
kepada
Keterlibatan masyarakat dalam
politik) yang bersifat sukarela dalam
politik
menentukan keputusan yang berkaitan
dengan kepentingan pribadi, melainkan
dengan
bagaimana
publik.
Proses
keterlibatan
tidaklah
berkaitan
keuntungan
langsung
tersebut
masyarakat tidak selalu terkait dengan
dinikmati secara bersama-sama, dalam
upaya meningkatkan kesejahteraan atau
pengertian bahwa
kepentingan sendiri, melainkan lebih
partisipasi politik adalah lahirnya suatu
pada keberbagian keuntungan bersama
kebijakan-kebijakan pemerintah
(Putnam, 2000)
sifatnya menguntungkan pada tataran
Terminologi partisipasi politik memiliki
makna
sebagai
seluruh
konsekuensi dari
yang
masyarakat. Program atau kebijakan yang diambil pemerintah tidak dalam
DIALEKTIKA Volume 3 No. 1. Maret 2016, Hlm.
bentuk
khusus
orang
per
orang,
dan bagaimana kehendak masyarakat.
melainkan dalam bentuk terpenuhinya
Selain itu juga menunjukkan tidak
keinginan masyarakat. Menurut Putnam
mengikuti Pemilu adalah salah satu
(2000), hal yang paling substansial dari
bentuk
format aktivitas politik adalah terlibat
membangun suatu pemerintahan yang
dalam proses pemilihan umum.
public-oriented
dari
ketidakpedulian
dalam
“ voting is by a substantial
Namun masalah penting yang
margin of the most common form
sering dihadapi oleh pemerintahan yang
political activity, and it embodies
mengupayakan transformasi demokrastis
the most fundamental democratic
adalah adanya intoleransi politik sebagai
principle of equality “ (h.35)
warisan budaya rezim lama. Lusiana
Melalui
Pemilu,
(2004) mengungkapkan, dalam proses
untuk
transisi demoklrasi maka yang muncul
menyatakan kedaulatan atas negara dan
adalah radikalisme dan anarkisme politik
pemerintahan,
yang
masyarakat
mekanime
memiliki
serta
melakukan pemimpin
sarana
memilih
pengawasan dan
wakil
di
dan
merupakan
gejala
intoleransi.
terhadap
DItambahkannya,
intoleransi
politik
lembaga
merupakan ancaman paling serius bagi
parlemen. Selain itu, Pemilu yang jujur,
terciptanya
sistem
adil, dan berkala dipahami sebagai suatu
demokrasi
sebagai
sistem politik yang meletakkan rakyat
pemerintahan dan cara hidup akan stabil
sebagai pembuat keputusan kolektif
dan
tertinggi (Huntington & Nelson, 1994).
mempertahankan
Keterlibatan memungkinkan kepentingan diinginkan kehidupan
dalam
Pemilu
terfasilitasinya
atau dalam
kebutuhan rangka
yang
perbaikan
masyarakat
berdaya
demokras suatu
guna
pemeliharaan
hanya
toleransi identitas
dan bentuk
jika
ia
politik budaya,
kekuataan ekonomi, dan keadilan sosial. Sullivan (1999) mengungkapkan bahwa masyarakat
dan
pemimpin
yang
melalui
membiarkan orang atau kelompok lain
pemerintahan yang dipilih sendiri oleh
untuk berbeda dalam aspirasi politiknya
masyarakat.
dalam
merupakan condition sine quanon dalam
proses ini berarti menghilangkan satu
keberlanjutan proses demokratisasi itu
kesempatan bagi terbentuknya suatu
sendiri.
Ketidakterlibatan
pemerintahan yang bersumber dari apa
Firman Alamsyah, KOMUNIKASI DAN INTOLERANSI POLITIK..
Demokratisasi di Indonesia pun
semuanya – tidak dapat tidak – akan
ternyata mengalami wabah intoleransi,
diwarnai
oleh
khususnya yang terjadi pasca pilihan
Melalui
komunikasi,
kepala daerah. Berbagai daerah marak
orang tengah menyatakan eksistensi diri,
terjadi unjuk
memupuk suatu hubungan, menemukan
rasa bahwa diwarnai
aktivitas
komunikasi. sesungguhnya
dengan kekerasan fisik pula. Kasus yang
kebahagiaan,
paling mutakhir adalah konflik pasca
kehidupan dan bagian dalam membentuk
pilihan
pemahaman konsepsi diri secara utuh
kepala
daerah
/
gubernur
menjalani
Sulawesi Selatan hingga pemerintah
dan terintegrasi.
pusat terpaksa menunda pengangkatan
Gamble
&
proses
Gamble
(2002)
kepala daerah terpilih bahkan justru
menggambarkan, bahwa setiap manusia
mengangkat pejabat sementara.
tidak mungkin dapat menghindarkan diri
Sebuah
pertanyaan
kemudian
dari komunikasi. Ketika kita terdiam,
muncul, mengapa .fenomena tersebut
menghindarkan diri dari banyak orang –
begitu maraknya? Apakah tidak ada satu
dan
pun mekanisme komunikasi dialogis
berkomunikasi – maka sesungguhnya
yang dapat dibangun untuk mereduksi
kita telah berkomunikasi dengan orang
konflik bahkan hingga mampu menerima
lain,
secara lapang dada kekalahan politik
ketidakhadiran
sebagai sebuah permainan belaka ?
komunikasi. Selanjutnya dalam tindak
kita
dengan
komuniaksi, Komunikasi
dan
Faktor-faktor
merasa
telah
tidak
enunjukkan kita
kita
dalam
tidaklah
diri situasi
berbcara
tentang apa yang hendak disampaikan melainkan juga terkait dengan hubungan
Kepribadian Politik Peristiwa komunikasi menjadi
antara
pelaku-pelaku
komunikasi.
sesuatu yang terberikan dan melekat
Kesejatian komunikasi tidaklah terbentur
dalam rentang perjalanan kehidupan
pada taburan kata-kata verbal, melainkan
manusia di dunia. Saat seorang ibu
keseluruhan unsur ketubuhan dalam
merasakan
bentuk non-verbal di mana kesemuanya
gerakan
janin
dalam
rahimnya, saat bayi menangis untuk kali
saling melengkapi
pertama
kesemestaan hakikat interaksi secara
melihat
dunia,
menelusuri
rentang waktu kanak-kanak, remaja, menjadi
dewasa
dan
tutup
usia,
menyeluruh.
dan
memperkuat
DIALEKTIKA Volume 3 No. 1. Maret 2016, Hlm.
Mulyana
(2007)
melakukan
dan atau sekaligus keduanya. Simbol,
identifikasi atas 3 (tiga) sudut pandang
merupakan
atau cara untuk memahaminya, yakni
penginderaan dan pemahaman manusia
sebagai aktivitas transmisi, interaksi dan
atas objek untuk kemudian dimaknai
transaksi informasi. Ketiga perspektif ini
sebagai representasi dari objek yang
boleh dikatakan sebagai interpretasi
didiskursuskan.
longgar atas ragam pemaknaan tentang komunikasi.
Namun,
ekstensifikasi
dari
Cottam, et.al (2004) menegaskan,
kesemuanya
dalam ihkwal politik, seseorang tidaklah
merujuk pada suatu hal yang tak
menjadi pemrosesor informasi yang
terbantahkan, yakni komunikasi secara
sempurna atau juga suatu tabula rasa.
hakiki melibatkan interaksi manusia
Situasi ini menuntut adanya mekanisme
dengan manusia lain. Proses pembuatan
psikologi tertentu untuk memfasilitasi
pesan, desain pesan dan pengemasannya
diri dalam melakukan pemrosesan itu
serta penelaahan akan implikasi dari
sendiri. Bullock dan Stallybrass (1977)
tersampaikannya pesan serta bagaimana
menjelaskan bahwa diperlukan suatu
dialektika atas pesan yang dikonstruksi
proses psikis yang secara terintegratif
bahkan direkonstruksi adalah sebuah
memadukan
unsur-unsur
kemahiran,
produk manusia
pengelolaan
dan
penggunaan
Oleh
karenanya,
maka
pengetahuan yang lebih akrab dikenal
komunikasi
sejatinya
dengan istilah kognisi. Hal ini sejalan
merupakan proses yang sistemik di mana
dengan pemikiran Scheerer (dalam Shaw
manusia saling berinteraksi satu sama
& Costanzo, 1980) di mana kognisi
lain dengan dan melalui simbol sebagai
dibutuhkan
suatu informasi yang didesain dan
peristiwa di luar dengan di dalam diri
memiliki
individu. Dengan kata lain, seseorang
sesungguhnya
makna
(Wood,
2004).
untuk
Meskipun ditelaah dalam perpsektif
akan
yang
menterjemahkan
beragam,
namun
aktivitas
menjembatani
cenderung
berusaha informasi
untuk untuk
komunikasi senantiasa bersandar pada
kemudian dievaluasinya. Hal ini terjadi
dua pilar, manusia dan simbol. Manusia,
karena
dalam
bilamana memiliki independensi dalam
maupun
konteks
transmisi,
transaksi
interaksi informasi
menempatkan diri sebagai subjek, objek
dia
menyaring
akan
menjadi
informasi
apakah
nyaman
sesuai
dengan ide-ide atau nilai yang mereka
Firman Alamsyah, KOMUNIKASI DAN INTOLERANSI POLITIK..
miliki sehingga kemudian mereka akan
bagaimana
menggunakannya atau sebaliknya. Hal
dengan pengalaman emosional di masa
senada juga diungkapkan oleh Weiner
lalu dan
kedekatan peristiwa dengan
(1986) yang memaparkan bahwa orang
produksi
emosi
memproses informasi secara naif melalui
Bentuk-bentuk afeksi politik ditunjukkan
dugaan-dugaan tertentu mengapa mereka
dalam
membutuhkannya.
emosi positif dengan kelompok sebagai
Selain itu, ketika dihadapkan
peristiwa
bentuk
yang
pemandu
pada informasi cenderung berlimpah,
partisipasi
politik.
maka seseorang akan cenderung fokus
keterikatan
pada satu atau sejumlah informasi yang
memfasilitasi
dianggap
mendapatkan
relevan
dengan
dimilikinya.
penggunaan
mekanisme
paling
diintegrasikan
orientasi
dalam
proses
Secara
positif,
kelompok
dapat
dirinya
untuk
sesuatu
dimilikinya
menggambarkan,
kelompok (Byron dan Byrne, 2000).
informasi
diterima untuk kemudian disesuaikan asumsi
memori yang setiap saat dapat digunakan
memperlakukan
ketika
berlaku
dalam
proses
bahwa
melainkan
individu juga mengelaborasi dinamika
Pemrosesan
emosi dan afeksinya. Richard & Gross
meniadakan
(1999)
menempatkan
berperan
dalam
bahwa
proses
emosi
seseorang informasi
unsur
pengambilan keputusan. Di sisi lain,
menuturkan
di
luar
Fenomena di atas memunculkan
diukur untuk kemudian disimpan dalam
seseorang
berada
tidak
kebutuhannya. Ottati dan Wyer (1990) bahwa
ketika
yang
tidaklah
kognitifnya
pula
dimensi
informasi unsur
dalam
saja afektif. dengan
kognitif
individu
akan dalam
penentuan
pembentukan sikap politiknya lebih
pengambilan keputusan. Sejalan dengan
didominasi oleh preferensi, emosi dan
mereka, Isen (1993) mengungkapkan
mood belaka dengan mengabaikan set
bahwa afeksi positif dapat meningkatkan
mental dalam organisasi pesan yang
upaya – upaya politik yang damai seperti
hadir. Sebaliknya, ketika individu lebih
penyelesaian masalah, negoisasi dan
menempatkan informasi untuk dikelola
pengambilan
dalam skema-skema asimetrik, maka
keputusan
bersama,
Cottam, et.al, (2004) menjelaskan bahwa
orang
aspek-aspek
afeksi
pemrosesan
informasi
tersebut
bekerja
dalam
proses
evaluasi
dalam
wujud
lingkungan
di
menafikkan dan mana
adanya
keterlibatan dia
banyak
DIALEKTIKA Volume 3 No. 1. Maret 2016, Hlm.
melakukan
proses
penjangkaran
pemahaman
politiknya
terdapat
adanya
perasaan
informasi. Pemikiran ini diperkuat oleh
kecenderungan
Stephan
yang
keterancaman di dalam dirinya yang
mengungkapkan bahwa manusia dalam
membatasi kesediaan untuk melakukan
menghadapi
transmisi,
&
Stephan
(1993)
informasi
akan
transaksi
dan
interaksi
menggunakan sisten interkoneksi pararel
informasi dengan mereka yang dinilai
antara
berbeda
kognitif
dan
afektifnya.serta
secara
politik
ideologis.
Cottam, et.al, (2004) yang melihat
Pengalaman politik yang apolitik selama
bahwa
ini, perspektif dalam memahami jagad
untuk
memahami
politik
diperlukan interaksi kognisi dan emosi di
politik
mana wujud interaksi tersebut akrab
dikonstruksi pada satu kebijakan yang
dikenal dengan konsepsi sikap.
meniadakan
Dengan kerangka tersebut, maka kita
dapat
merujuk
pada
konsep
intoleransi politik yang digagas oleh
yang
senantiasa
perbedaan
telah
prinsipal
membangun kepribadian yang senantiasa melihat bahwa perbedaan pandangan adalah sebuah ancaman.
Sullivan (1999). Menurutnya, seseorang
Sedangkan
dari
persepktif
akan menjadi bersikap toleran atau
eksternal, maka Sears, et.al (1985)
sebaliknya disebabkan oleh faktor-faktor
melihat bahwa informasi politik lebih
yang
mudah
bersifat
lingkungan tersebut
di
individual
sekaligus
dipahami
setelah
dilakukan
mana
kedua
faktor
kategorisasi atau identifikasi. Selain itu,
memainkan
peran
yang
melalui identifikasi atas nilai-nilai yang
berbeda-beda tiap individunya. Faktor
memiliki
individual
akumulasi
memiliki kaitan erat dengan derajat
pengalaman kehidupannya yang telah
partisipasi politiknya. Namun demikian,
mengakar dan berperan sebagai penentu
kategorisasi
arah sikap serta tingkah laku. Lusiana
identifikasi kelompok politik secara
(2004) menandaskan, bahwa akumulasi
ekstrim akan memungkinkan terjadinya
yang ada sejatinya adalah predisposisi
diskriminasi dan kecenderungan untuk
kepribadian, pengalaman politik dan cara
memanifestasikan
pandang terhadap dunia. Berangkat dari
dengan kelompok atau informasi politik
kerangka tersebut, jelaskah bahwa dalam
tertentu semata di mana
mengidentifikasi
identifikasi
merupakan
dan
merekonstruksi
makna
politik
dengan
signifikan
penggunaan
kesesuaian
kelompok
atau
dirinya
proses ideologi
Firman Alamsyah, KOMUNIKASI DAN INTOLERANSI POLITIK..
tertentu
hanya
diskriminan
berfungsi
pada
saat
sebagai terjadinya
perasaan keterancaman.
sosial. Melalui modalitas sosial, individu akan
terbiasa
dengan
jaringan,
kesepahaman dan saling mempercayai sebagai dasar partisipasi politik. Ketika kedua aspek tersebut –
Reduksi Keterancaman dan Modal
individual dan lingkungan –
faktor
Sosial: Sebuah Solusi Berangkat dari fenomena secara
terintegrasi,
maka
akan
terbangun
psikologis, bahwa komunikasi politik
kesamaan persepsi di mana politik akan
dapat tergagalkan sebagai akibat dari
lebih
sikap intoleran, maka solusi dalam
program
mereduksi konflik adalah : Pertama,
persinggungan
melakukan pemetaan terhadap penyebab
ketersinggungan
perasaan
terhadap perasaan keterancaman dan
keterancaman
yang
ditafsirkan
sebagai
kontestasi
dibandingkan
sebuah
kepentingan pribadi.
diasumsikan sebagai faktor kepribadian
modalitas
sosial
pemicu
berlangsung
ketika
komunikasi
yang
intoleran,
apalagi Pemetaan
hanya setiap
dapat individu
apakah ancaman yang dirasakan oleh
mampu membangun dialog konstruktif
para pelaku politik bersifat realistik,
sehingga
simbolik ataukah stereotipe belaka ?
seseorang/institusi
Dengan identifikasi yang jelas, maka
seseorang/banyak
desain komunikasi dialogis akan lebih
dengan asumsi akan terjadi penyesuaian
terancang secara cermat, apakah proses
sikap dan perilaku sebagaimana yang
dialektika antara mereka yang berkonflik
dikehendaki
langsung bicara pada tataran substansi
menerima pesan, berlangsung umpan
permasalahan
balik serta pencapaian tafsir makna yang
ataukah
lebih
karena
pesan/simbol
searah
kepada orang/institusi
penyampai
perbedaan cara pandang. Identifikasi ini
diusahakan
oleh
menjadi sangat penting sebagai dasar
penerima
pesan/simbol
rekonsiliasi pasca konflik atau preparasi
bersamaan.
aktivitas politik yang rentan konflik di masa mendatang. Kedua, membangun sebuah
pendidikan
politik
sedini
mungkin
yang
berbasis
kesetaraan
dengan
mengedepankan
modalitas
Daftar Pustaka:
dari
penyampai
lain
setelah
dan secara
DIALEKTIKA Volume 3 No. 1. Maret 2016, Hlm.
Baron, R.A & Byrne, D. 2000. Social Psychology 9th edition. Allyn & Bacon, Massachuchets Bullock, A and Stallybrass, O. 1977. The Harper Dictionary of Modern Thought. Harper & Row, New York Conway, M. 1991. Political participation in the united states 2nd ed, Washington DC, A Division of Congressional Quarterly Inc. Cottam, M, Uhler, B.D., Mastors, E., Preston, T. 2004. Introduction to Political Psychology. Lawrence Erlbaum, London Finkel, S.E., Sigelman, L. and Humphries, S. 1999. Democratic Values And Political Tolerance. Measures of Social Psychology Attitude, 2, 203-296, San Diego California, Academic Press Gamble, T.K & Gamble, M. 2002. Communication work. Mc Graw Hill, New York Huntington, S.P. and Nelson, J.M. (1994). Partisipasi politik di negara berkembang, Jakarta, Rineka Cipta. Lusiana, Y. 2004. Model Integrasi Intoleransi Politik. Tesis Fakultas Psikologi UI, tidak diterbitkan Mulyana, Deddy. 2007. Ilmu komunikasi : Suatu Pengantar, Bandung: Remaja Rosdakarya Ottati, V.C & Wyer, R.S. 1990. The Cognition Mediators Of
Political Choice. University of Illinois Press, Illinois Putnam, R.D. 2000. Bowling Alone: The Collaps And Revival Of American Community. New York: Simon and Schuster. Richards, J.M & Gross, J.J. 1999. Composure At Any Cost? The Cognitive Consequent Of Emotion Suppression, Personality and Social Psychology Bulletin 25 Sears, D.O, Freedman, J.L, Peplau, L.A. 1985. Social psychology 5th edition. Prentice-Hall, Inc, Englewood Cliffs-New Jersey Stephan, W & Stephan C. 1993. Cognition And Affect In Stereotyping: Pararell Interactive Networks, Academic, New York Sullivan, J.L. and Transue, J.E. 1999. The Psychological Underpinning Of Democracy, A Selective Review Of Research On Political Tolerance, Interpersonal Trustand Social Capital, Annual Review Of Psychology, 50, 625-650. Verba, S., Scholzman, K.,& Brady, H. 1995. Voice And Equality: Civic Voluntarism In American Public, Cambridge, Harvard University Press Weiner, B (1986). An Attribution Theory of Motivation And Emotion. New York: Springer-Verlag.