INTOLERANSI ATAS NAMA TIRANI MAYORITAS LAPORAN FIELD TRIP “Peningkatan Pemahaman Perdamaian Berperspektif HAM dan Islam” Kunjungan dan Dialog Ke Gereja Katolik Paroki Santa Bernadette, Ciledug, Tangerang Kamis, 25 Februari 2016 Tim Penulis: Munawir Ikhsan (PP. Ummul Qura) Badru Hawazi (PP. Darul Hikam) Ikhda Khullatil Mardliyah (PP. Luhur Sabilussalam) Azaria Hashina (PP. Al Ghazali) Anisa Fauziah (PP. An Najah)
Editor: Sholehudin A. Aziz
Pesantren for Peace (PFP): A Project Supporting the Role of Indonesian Islamic Schools to Promote Human Rights and Peaceful Conflict Resolution
1
Pengantar Adalah sunnatullah dan takdir Tuhan untuk menjadikan manusia hadir di muka bumi ini dengan segala bentuk perbedaan sifat, kepentingan, keinginan, keyakinan, etnisitas, dan lain sebagainya. Menolak kemajemukan sama halnya mengingkari karunia dan rahmat Allah Swt. Namun mengapa keberagaman (pluralisme) itu menjadi cikal bakal manusia untuk terus berkubang dengan lumpur konflik yang tak kunjung berakhir. Perbedaan mengenai pemahaman atas sebuah ideologi (agama), seharusnya tidak lantas disikapi dengan melakukan tindak kekerasan, apalagi dengan mengatasnamakan agama. Di Indonesia, kekerasan atas nama agama, perampasan atas hak kaum minoritas, diskriminasi terhadap hak kaum marginal, masih sangat rentan terjadi tiap tahunnya. Situasi penghormatan dan perlindungan atas jaminan kebebasan menjalankan ibadah, beragama, dan berkeyakinan belum sepenuhnya berjalan dengan baik. Setidaknya menurut laporan KONTRAS, pada 2015, masih terdapat 96 kasus intoleransi kebebasan beragama, dimana terdapat 3 daerah yang paling banyak melakukan praktek ini yaitu Jawa Barat (18 kasus), menyusul DKI Jakarta dan Banten (masing-masing 11 kasus), serta Aceh (9 kasus). Jenis tindakan pelanggaran yang dilakukan berupa intoleransi, penyesatan agama, penyebaran kebencian, perusakan rumah ibadah, dan penghentian kegiatan keagamaan lain. Realitas ini menunjukkan betapa kebebasan beragama masih menjadi batu kerikil implementasi HAM di negeri ini. Salah satu kasus penting yang banyak disorot publik perihal intoleransi kebebasan beragama adalah kasus penyegelan Gereja Paroki St. Bernadette di Bintaro, Tangerang Selatan, yang terjadi pada Minggu 22 September 2013 lalu. Kala itu, Gereja didemo sekelompok massa yang mengatasnamakan ummat Islam dengan nama “Forum Komunikasi Ummat Islam (FKUI)” yang meminta kegiatan ibadah dan pembangunan gereja dihentikan. Mereka berdalih, kehadiran gereja sangat meresahkan warga karena ditakutkan tersebarnya doktrin-doktrin ajaran
Kristen
kepada
masyarakat
sekitarnya
(kristenisasi),
dan
adanya
kecurigaan akan dijadikannya gereja ini sebagai gereja terbesar di Asia tenggara. Walau tuduhan tanpa bukti tersebut sudah dijelaskan dan dibantah, namun massa ini tetap memaksakan kehendaknya untuk terus menyegel dan menutup seluruh aktivitas kegiatan ibadah di gereja tersebut.
2
Kasus penyegelan dan penolakan pembangunan Gereja ini jelas-jelas mengganggu rasa keadilan ummat Kristiani sebagai kelompok minoritas. Sebagai ummat beragama, mereka memiliki hak untuk dapat menjalankan ibadah sesuai keyakinannya masing-masing tanpa ada satu orangpun bisa menghalanginya. Begitu juga dengan hak untuk mendirikan rumah ibadah. Apalagi jelas-jelas mereka sudah mengantongi Ijin Mendirikan Bangunan (IMB) dari pemerintah setempat dan mendapatkan persetujuan dari warga di sekitarnya. Sepak terjang kelompok-kelompok Islam yang berhaluan radikal di atas sungguh bertentangan dengan spirit Islam yang sesungguhnya, dimana Islam sangat menghargai hadirnya setiap
perbedaan, penuh toleransi dan cinta
perdamaian. Makna kata “Islam” itu sendiri pun mengandung makna “damai” (salaam). Makna Islam sebagai agama damai telah termaktub dalam ayat-ayat suci al-Qur’an dan Hadits-hadits Nabi yang merupakan petunjuk hidup bagi umat Islam. Semangat ajaran itu tidak hanya tertulis dalam rangkaian kata-kata, tapi telah diamalkan dalam kehidupan nyata oleh Nabi Muhammad SAW dan para sahabat. Kisah ini barangkali bisa menjadi renungan bersama. “Sewaktu menerima penyerahan kota Yerussalem dari penguasa Romawi ke tangan ummat Islam, setibanya di bukit Zion, Khalifah Umar ibn Khattab hendak menunaikan shalat dhuhur,
serta
merta
uskup
agung
Sophronius
menawarkan
gereja
yang
dipandang suci oleh orang kristen untuk menjadi tempat shalat. Tawaran ramah ini disambut hangat oleh umar dengan sebuah ucapan,” sungguh senang menerima tawaran tuan, tetapi kalau saya shalat disitu, saya khawatir suatu saat nanti orang islam akan merampas gereja tuan untuk dijadikan masjid. Karena itu, izinkanlah saya shalat di sisi gereja tuan saja”. Dikemudian hari, dibangunlah masjid di bekas sujudnya umar, berdampingan dengan gereja suci ummat Kristen tersebut”. ( Johan Effendi, Agama di tengah kemelut, 2001). Kisah diatas, menunjukkan betapa besar jiwa keteladanan, sikap toleran dan kedewasaan masing-masing tokoh agama saat itu. Mereka berpegang teguh kepada keyakinan agamanya masing-masing, namun pada saat yang bersamaan mereka tetap menaruh simpati yang dalam dan rasa hormat yang tinggi kepada pemeluk agama lain tanpa halangan kejiwaan apapun. Lantas kini, mengapa sebagian ummat Nabi Muhammad SAW, memiliki pandangan yang berbeda 180 derajat dengan apa yang dicontohkan nabi dan para sahabat? Entahlah, sepertinya tafsir “lain” mengenai ajaran Islam sudah menghinggapi pemahaman mereka. Mereka berdalil demi memurnikan ajaran
3
Islam padahal sesungguhnya mereka telah merendahkan nilai ajaran Islam itu sendiri. Realitas diatas sungguh menjadi pil pahit bagi kebebasan beragama dan berkeyakinan sebagai hak asasi yang harus dimiliki dan dijunjung tinggi oleh siapapun tanpa terkecuali. Selain keluar dari nilai-nilai ajaran Islam, kasus intoleransi di atas juga bertentangan dengan Undang-Undang Dasar Tahun 1945 terutama pasal 28 E ayat (1) tentang dasar hukum yang menjamin kebebasan beragama di Indonesia, yang berbunyi sebagai berikut: “Setiap orang bebas memeluk agama dan beribadat menurut agamanya, memilih pendidikan dan pengajaran, memilih pekerjaan, memilih kewarganegaraan, memilih tempat tinggal di wilayah negara dan meninggalkannya, serta berhak kembali.” Maraknya kasus tindakan intoleransi oleh kelompok kelompok intoleran seperti kasus di atas, lagi-lagi tak bisa dilepaskan dari absennya pemerintah—tak jarang malah angkat tangan dan bungkam—manakala terjadi kasus kekerasan atau diskriminasi yang merenggut hak kaum minoritas. Padahal, negara memiliki kewajiban untuk untuk melindungi hak-hak asasi manusia setiap masyarakat dari segala ancaman atau tindakan siapapun (non-state) khususnya kepada kelompok yang terdiskriminasi, yakni kelompok minoritas agama. Sungguh beruntung bagi kami, 29 orang peserta dari 29 pesantren di sekitar
Jabodetabek
sebagai
peserta
kegiatan
pelatihan
“Peningkatan
Pemahaman Perdamaian di Pesantren Berperspektif HAM dan Islam” yang diadakan oleh Center for the Study of Religion and Culture (CSRC) Universitas Islam Negeri (UIN) Syarif Hidayatullah Jakarta bekerjasama dengan KonradAdenauer-Stiftung (KAS) dengan dukungan Uni Eropa dapat melakukan field trip ke Gereja Paroki Santa Bernadette untuk berdialog langsung dengan saksi penting
peristiwa
“Penutupan
Gereja
Paroki
Santa
Bernadette,
Ciledug
tangerang”. Bagi para peserta yang notabene merupakan santri pesantren, inilah pengalaman pertama yang sangat berkesan karena bisa melihat secara langsung rumah ibadah ummat Kristen dan segala atribut di dalamnya. Kasus ini sesungguhnya merupakan potret kelam pudarnya budaya toleransi ditelan derasnya pemahaman radikal yang berkembang pesat di kawasan Tangerang dan sekitarnya. Kami diterima dengan sangat baik dan penuh keramahan oleh seluruh jajaran pengurus Gereja Paroki Santa Bernadette dibawah bimbingan Pdt Lamarudut Sihombing selaku pimpinan tertinggi disertai oleh
para
pengurus
lainnya di
ruang
Bernadette, Ciledug Tangerang.
4
pertemuan
Komplek Gereja
Santa
Sekilas tentang Gereja Paroki Santa Bernadette Paroki St. Bernadet adalah gereja Katolik di bawah dekenat Tangerang, Keuskupan Agung Jakarta. Paroki ini didirikan pada 11 Februari 1990 dengan ditandai pembentukan Pengurus Gereja Dana Papa (PGDP) Roma Katolik Santa Bernadette, Ciledug oleh Uskup Agung Jakarta, Leo Sukoto, S.J. (Alm.). Karena tidak
memiliki
tempat
ibadah
permanen,
kebaktian
Minggu
dankegiatan
keagamaan di hari raya Kristiani secara bergantian dilaksanakan berpindahpindah. Misalnya, bekas bedeng kompleks perumahan Ciledug Indah, bekas gudang padi dikompleks Asrama Polri Ciledug, dan Gudang Arsip Kompleks Keuangan Karang Tengah Ciledug. Dua tahun kemudian, pengurus gereja mengajukan
permohonan
kepada
Bupati
Tangerang
(20/07/92)
untuk
memanfaatkan Bangunan Sementara Sekolah (BSS) Sang Timur di Kompleks Barata/Keuangan Karang Tengah, Ciledug sebagai tempat menjalankan ibadah. Pujuk dicinta ulam pun tiba. Begitulah perumpamaan yang tepat untuk menggambarkan cerita ini. PGDP kemudian mendapatkan surat rekomendasi untuk bisa melaksanakan kegiatan keagamaan umat Katolik melalui Kepala Desa Karang Tengah melalui surat No. 192/Pem/VII/1992, tanggal 21 Juli 1992, dengan tembusan disampaikan kepada Bupati Tangerang, Walikota Tangerang, Musyawarah Pimpinan Kecamatan Ciledug, Ketua RW dan ketua RT sekompleks Barata
Karang
Tengah.
Sejak
itu
kegiatan
peribadatan
berlangsung
dan
terkonsentrasi di BSS Sang Timur dengan aman, dan tenteram untuk seluruh Umat Katolik Paroki Santa Bernadette Ciledug (8.975 jiwa) yang berasal
dari
enam kecamatan (Karang Tengah, Ciledug, Larangan, Cipondoh, Pondok Aren dan sebagian Serpong). Setelah 12 tahun berjalan, tanpa ada pembicaraan atau berita sebelumnya, Sekolah Sang Timur memperoleh tiba-tiba memperoleh surat dengan nomor: Kd.258.5/BA.00/248/2004
dari
Kepala
Depatemen
Agama
Kantor
Kota
Tangerang, 29 Juli 2004, yang meminta menghentikan kegiatan keagamaan dengan menggunakan gedung sekolah. Sebulan kemudian, tiba-tiba Ketua Pengurus Gereja dan Dana Papa (PGDP) Paroki Santa Bernadette Karang Tengah, menerima surat dengan nomer 642/71-KRT/04, tanggal 30 Agustus 2004, perihal Pencabutan Rekomendasi Surat Lurah Karang Tengah No. 192/Pem/VUU/92. Setelah pencabutan surat rekomendasi tersebut, beberapa kali ibadah kami diganggu
dengan
demonstrasi
dan
orasi
oleh
sekelompok
warga
yang
menamakan dirinya Forum Komunikasi Umat Islam Karang Tengah yang
5
menginginkan dihentikannya kegiatan keagamaan di BSS Sang Timur Karang Tengah Ciledug. Puncaknya pada Minggu, 3 Oktober 2004, massa yang menyebut perwakilan masyarakat sekitar melakukan demonstrasi dan meminta gereja tidak lagi digunakan untuk ibadah. Mereka bahkan membangun tembok di pintu gerbang menuju sekolah itu, dan memblokir akses ke sekolah. Mereka juga mengusir umat yang sedang beribadah. Jemaat Paroki St. Bernadette pun nomaden. Jemaat paroki ini kemudian menggelar misa dengan menumpang di sejumlah tempat. Mereka paling sering beribadah di Gereja Maria Kusuma Karmei, Gedung Lokagenta di Perumahan Ciledug Indah I, Balai Pertemuan RW di Metro Permata I, dan Pondok Lestari. Tempat-tempat
tersebut
dipilih
karena
lokasinya
dekat
dengan
gereja
sebelumnya. Akhirnya, Paroki menemukan lokasi di Kelurahan Sudimara Pinang dan memutuskan membangun gereja di sana.Tetapi hingga saat ini, Jemaat Paroki Santa Bernadette masih mengalami penolakan pembangunan gereja, walaupun mereka sudah mendapatkan IMB (Izin Mendirikan Bangunan) pada 11 September 2013 dari pemerintah setempat.
Kasus Kekerasan Dan Akar Penyebab Konflik 1. Kasus kekerasan yang dialami Praktik pluralisme yang sehat mensyaratkan tersedianya ruang bagi setiap pemeluk agama untuk beribadah dan mendirikan tempat ibadah. Sebagai sebuah hal yang hakiki, sudah selayaknya negara melindungi hak tersebut. Namun kenyataannya, terlepas dari ideal normatif tersebut, masih banyak ditemui polemik-polemik terkait pendirian rumah ibadah. Dalam beberapa tahun terakhir, tercatat beberapa rumah ibadah dipermasalahkan pendiriannya, diantaranya termasuk greja santa bernadet yang mengalami berbagai
rintangan
dan
halangan
dalam mendirikan
tempat
ibadahnya
tersebut. Disisi lain, beberapa rumah ibadah justru berhasil mengatasi polemik pendiriannya dengan berbagai strategi. Jemaat katolik Gereja Paroki Santa Bernadette mengalami tindakan kekerasan baik secara fisik maupun non fisik dari masyarakat setempat ataupun masyarakat luar yang mengatasnamakan agama islam. Mereka mereka diusir oleh massa intoleran untuk berpindah dari
pusat keagamaan
mereka di Sekolah Sang Timur Ciledug , mereka juga diserang dan diberhentikan
secara
paksa
ketika
6
melaksanakan
ibadatnya,
mereka
mendapatkan
ancaman
dan
penolakan
dari
berbagai
bentuk,
seperti
pemasangan spanduk-spanduk yang bertuliskan penolakan terhadap mereka yang di pasang disetiap sudut-sudut jalan dan bahkan sampai pada bentuk penolakan yg bersifat kriminal, seperti demo atau unjuk rasa dari warga yang mengakibatkan banyak kerusakan-kerusakan sarana ataupun prasarana dan lain-lain yang sangat merugikan. Selain dari itu, masih banyak kekerasan-kekerasan yang menimpa jemaat Gereja Santa Bernadettek, kekerasan yang bersifat non fisik misalnya, dalam bidang pendidikan, sekolah-sekolah mereka ditutup sehingga mereka tidak
bisa
mendapatkan
hak
pendidikan
sebagaimana
layaknya
warga
indonesia yang lain, hak keamanan mereka di rampas sehingga kehidupan keseharian mereka terutama anak-anak kecil berada dalam kekhawatiran, ketakutan dan ketidak tenangan. Mereka juga kehilangan hak penyamarataan di depan hukum pemerintahan, misalnya penolakan-penolakan terhadap perijinan yang mereka ajukan kepada pihak pemerintahan yang padahal menurut sisi persyaratan mereka sudah memenuhinya. Padahal untuk beribadah dan mendirikan rumah ibadah merupakan bagian integral dari kebebasan beragama yang dijamin oleh Negara Kesatuan Republik Indonesia (NKRI). Namun pada praktiknya ditemui berbagai macam halangan dan kendala, yang menempatkan kelompok agama minoritas dalam posisi sulit di dalam mendirikan rumah ibadah mereka. 2. Akar penyebab konflik Dalam kehidupan bersosial dan bermasyarakat kita tidak akan terlepas dari sebuah perbedaan, sebab perbedaan merupakan sesuatu yang bersifat aksioma. Namun terkadanga bahkan sering kita temukan dari sebuah perbedaan itu malah melahirkan sebuah permasalahan yang mengakibatkan perpecahan yang menimbulkan konflik berkelanjutan dan tidak berujung. Lebih-lebih jika konflik tersebut diakibatkan karena perbedaan dalam ranah keyakinan atau kepercayaan dalam beragama, sebab agama merupakan sesuatu yang sangat sensitif. Oleh karenanya banyak sekali oknum-oknum yang
tidak
bertanggung
jawab
yang
ingin
memecah
belah
persatuan
mengalihfungsikan agama sebagai sarana untuk mengadu domba antar kelompok beragama. Seperti halnya yang terjadi pada jemaat katolik paroki Santa Bernadet Tangerang, yang pernah mengalami kontroversi dengan masyarakat yang
7
memeluk agama islam hingga saat ini. Menurut pengakuan salah satu pengurus gereja katolik Santa Bernadet bahwasanya sebelum terjadinya konflik tersebut, hubungan antara jemaat katolik dengan masyarakat setempat dibilang sangat harmonis, dari kehidupan keseharian, mereka berbaur dengan yang lainnya, dari mulai mengadakan sarana pendidikan, kesehatan gratis untuk masyarakat bahkan pembagian bantuan berupa sembako pun di sambut dengan baik oleh warga setempat. Jadi konflik tersebut di akibatkan karena adanya oknum yang ingin memecah belah persatuan, dengan cara mengarahkan masyarakat untuk menentang mereka dengan menebar fitnah-fitnah terhadap jemaat katolik santa bernadet, seperti fitnah tentang kristenisasi dan pembangunan greja terbesar se Asia dengan dukungan dari pemerintah Amerika Serikat dan hal itu bisa menggugah dan menarik perhatian dari masyarakat mayoritas yang memeluk agama islam untuk melakukan penolakan terhadap mereka. Ibu Pur, Pengurus jemaat Paroki Santa Bernadette dalam sesi dialog (Kamis, 25/02/16) misalnya mengungkapkan bahwa kelompok intoleran yang berdemo di St. Bernadette adalah kelompok yang mobile, tidak menetap di sekitar paroki, tetapi sebagian dari mereka mengatasnamakan warga. Mereka aktif bergerak dan mengajak warga untuk menolak pembangunan gereja dan memasang spanduk-spanduk penolakan di sekitar tempat mereka tinggal. 3. Aktor yang terlibat dalam konflik (kekerasan) Ada banyak pihak yang terlibat dalam konflik yang terjadi antara jemaat katolik Santa Bernadet dengan masyarakat yang mayoritas memeluk agama Islam. Diantaranya sebagai berikut : 1. Jemaat katolik paroki Santa Bernadet (khususnya yang bertempat tinggal di daerah pinang). 2. Kelompok yang mengatasnamakan Front Pemuda Islam Karang Tengah. 3. Tokoh masyarakat. 4. Tokoh agama. 5. Ormas-ormas Islam.
8
Pelanggaran Hak Asasi Manusia (HAM) Yang Terjadi 1. Bentuk pelanggaran HAM Berdasarkan rekaman kejadian, sebagaimana yang diungkapkan dalam dialog dan sumber-sumber lain yang kami dapatkan, pelanggaran HAM yang mereka alami antara lain pelanggaran Hak Beragama, Hak Beribadah, Hak Hidup secara aman, Hak Perlindungan dari pemerintah. Jemaat Gereja Paroki Santa Bernadette juga tidak mendapatkan hak kebebasan untuk beribadat dan menjalankan segala kegiatan sesuai agama dan kepercayaan mereka. Padahal kebebasan beragama telah dijamin oleh undang-undang, yaitu Pasal 28 E ayat (1) Undang-Undang Dasar Tahun 1945 :“Setiap orang bebas memeluk agama dan beribadat menurut agamanya, memilih pendidikan dan pengajaran, memilih pekerjaan, memilih kewarganegaraan, memilih tempat tinggal di wilayah negara dan meninggalkannya, serta berhak kembali”. Pasal 28 E ayat (2) UUD 1945 juga menyatakan bahwa setiap orang berhak atas kebebasan meyakini kepercayaan. Selain itu, dalam Pasal 281 ayat (1) UUD 1945 juga diakui bahwa hak untuk beragama merupakan hak asasi manusia. Selanjutnya Pasal 29 ayat (2) UUD 1945 juga menyatakan bahwa Negara menjamin kemerdekaan tiap-tiap penduduknya untuk memeluk agama. 2. Akibat dan dampak yang ditimbulkan pasca kasus Setiap konflik yang terjadi di tengah masyarakat pasti menimbulkan dampak yang sangat besar bagi berbagai pihak, terutama bagi pihak yang menjadi korban kekerasan tersebut. Begitupun halnya yang menimpa jemaat katolik paroki Santa Bernadet yang berada di daerah Ciledug, dampak yang dirasakan oleh mereka sangat besar, mereka merasakan ketidaktenangan dalam
menjalani
kehidupan
kesehariannya,
merasa
dimarginalkan
dari
masyarakat dan lebih-lebih bagi psykologi anak-anak mereka yang melihat tindak kekerasan yang menimpanya. Dalam benak pemikiran mereka terlintas bahwa
agama
islam
adalah
agama
yang
keras,
kejam
dan
tidak
berprikemanusiaan. Hal tersebut diakibatkan karena tindak kekerasan yang dilakukan oleh sekelompok yang tidak bertanggung jawab yang mengatasnamakan agama islam. Dan hal itupun berdampak negatif pada agama islam sendiri yang merupakan kerugian yang sangat besar, dimana agama islam di mata dunia
9
dianggap sebagai agama garis keras yang tidak menjunjung tinggi perdamaian yang pada hakikatnya agama islam adalah agama yang cinta dama. Dampak lain juga dirasakan oleh semua masyarakat diluar yang terkait konflik, hubungan antara masyarakat muslim dengan non muslim menjadi renggang seolah ada jurang pemisah antara mereka, walaupun sebelumnya tidak ada konflik antara mereka. Dampak yang ditimbulkan dari adanya kekerasan, teror, penolakan, bahkan pengusiran dalam kasus ini adalah sebagai berikut: a)
Dampak Sosial Konflik tersebut sangat berpengaruh dalam kehidupan sosial, terutama antara umat beragama. Kesenjangan antara umat beragama akan timbul, terciptanya keretakan hubungan antar kelompok, keharmonisan dan kerukunan akan terpecah karena masing-masing penganut agama akan memihak kelompok yang menganut agama sesuai dengan agama mereka dalam konflik tersebut.
b)
Dampak Psikis Dampak psikis adalah adanya tekanan beban psikologi bagi seseorang karena pembelajaran terhadap perilaku situasi sosial. Perkara ini sangat berpengaruh pada anak-anak, karena fikiran mereka yang belum dewasa dan masih labil, belum mampu mengkaji sesuatu secara mendalam, hanya penglihatan dan pendengaran lah yang berfungsi memberikan gambaran pada fikiran mereka. Akibatnya, kericuhan dan kekerasan yang terjadi dalam
konflik
menjadi
suatu
momok
bagi
mereka,
hal
tersebut
menggambarkan bahwa pelaku konflik adalah seseorang yang jahat. Dalam kasus ini misalnya, Sekelompok warga muslim intoleran mengusir para jemaat, meneror dan menolak dengan demonstrasi, maka yang terfikirkan oleh anak-anak korban konflik adalah citra buruk dari kelompok pelaku konflik. Penyelesaian kasus Pelanggaran HAM yang Terjadi Penyelesaian kasus pelanggaran HAM yang dialami oleh jemaat Gereja Paroki Santa Bernadette belum sepenuhnya diusut tuntas dan diselesaikan oleh pemerintah dan aparat kepolisian. Semenjak kasus ini bergulir di tahun 2012 hingga 2016, kasus ini belum menemukan titik akhir penyelesaiannya.
10
Inisiatif Perdamaian dan Resolusi Konflik Secara Damai 1. Inisiatif perdamaian yang pernah dilakukan Berbagai usaha telah dilakukan untuk meredakan konflik yang tengah terjadi tersebut, sebagaimana yang telah dikatakan oleh beberapa pengurus gereja
bahwasanya
mereka
telah
melakukan
berbagai
upaya
untuk
menyelesaikan konflik tersebut. Dimulai dari pendekatan terhadap masyarakat setempat dan berdialog empat mata dengan tokoh-tokoh agama yang bersangkutan yang menolak terhadap mereka, namun kesemuanya belum membuahkan hasil yang maksimal, bahkan terhadap pihak pemerintah sekalipun yang memiliki kewenangan terhadap itu tidak menanggapinya dengan serius, mereka sangat kecewa terhadap pihak yang erwajib karena tidak ikut andil dalam menyelesaikan konflik tersebut. Namun disisi lain, penyelesaian konflik tersebut pun telah dilakukan dengan berbagai cara mulai dari bernegosiasi dan lain sebagainya, namun tanggapan dari berbagai pihak tidak sesuai dengan yang diharapkan. Berikut ini beberapa inisiatif perdamaian yang pernah dilakukan, diantaranya : a) Kompromi Jemaat Paroki St. Bernadette berkompromi dalam pertemuan dengan tim dari kementrian agama pada 29 Oktober 2004, disepakati Jemaat Paroki St. Bernadette mencari lahan baru. b) Bakti Sosial Para Jemaat Paroki St. Bernadette telah beberapa kali melakukan bakti sosial berupa bazar sembako murah dan pengobatan gratis, serta bimbingan belajar bagi siswa kurang mampu di daerah sekitar. Hal tersebut diupayakan dapat menjadi akses perdamaian antara jemaat dengan
warga,
walaupun
pada
akhirnya
tetap
ada
warga
yang
beranggapan bahwa kegiatan bakti sosial tersebut adalah program Kristenisasi. c) Musyawarah Pihak Pengurus Paroki St. Bernadette telah beberapa kali mendatangi pemuka agama di daerah tersebut untuk saling membicarakan keinginan masing-masing
namun
hingga
penyelesainnya.
11
kini
belum
menemukan
titik
temu
2. Cara menyelesaikan konflik yang terjadi Upaya penyelesaian konflik yang dilakukan oleh berbagai pihak terkait telah dilakukan dengan cara damai seperti dengan melakukan dialog dengan beberapa tokoh masyarakat ataupun tokoh agama yang bersangkutan, bermusyawarah penolakannya.
dengan
masyarakat
Bernegosiasi
dengan
terhadapa berbagai
alasan pihak
mereka
yang
didalam
terkait,
baik
masyarakat setempat, tokoh masyarakat ataupun meminta bantuan kepada lembaga yang dianggap memiliki kewenangan dalam hal tersebut. Sebagaimana pengakuan dari ibu Pur yeng merupakan salah satu pengurus di greja paroki santa Bernadet tersebut, beliau mengatakan bahwasanya kami telah berusaha untuk mencari tahu alasan kenapa mereka melakukan kekerasan terhadap kami, beliau mendatangi langsung ke rumahrumah tokoh yng bersangkutan, diantaranya rumah salah satu tokoh agama yang
ikut
dalam
demo
penentangan
tersebut,
namun
hasilnya belum
maksimal. Berikut ini beberapa cara penyelesaian konflik yang telah ditempuh dalam konflik ini adalah sebagai berikut : a) Negosiasi Dari video yang diunggah di situs (youtube.com) oleh akun yang bernama “leo utomo” dengan judul “Gereja Bernadette-Ciledug Diserang Ormas yg Mengatasnamakan Islam” tampak kedua pihak saling bernegosiasi setelah adanya aksi penolakan. Dalam video yang berdurasi 4 menit 22 detik tersebut, masing-masing pihak saling mengutarakan keinginan yang ingin dicapai oleh masing-masing pihak. b) Mediasi Dari hasil dialog Kamis pekan lalu (25/02/16), pihak gereja menyatakan telah mengadakan mediasi dalam rangka menyelesaikan masalah ini. Mereka meminta pihak Pengurus Besar Nahdatul Ulama waktu itu, KH. Abdurrahman Wahid untuk membantu menyelesaikan kasus tersebut. Namun hal tersebut tidak menyurutkan kelompok intoleran untuk tetap bersikeras menuntut dihentikannya semua kegiatan ibadah di gereja tersebut. c) Kompromi Kompromi ini dilakukan oleh jemaat Paroki St. Bernadette dengan pihak Kementrian Agama pada 29 Oktober 2004. Disepakati bahwa jemaat Gereja diminta mencari lahan baru. Menteri Agama waktu itu, Muhammad
12
M. Basyuni menegaskan bahwa persoalan
atas pengusiran di Sekolah
Sang Timur telah selesai. 3. Tantangan dan problem yang dihadapi Tantangan yang dihadapi dalam penyelesaian konflik ini adalah : a) Pemerintah gamang dan kurang tegas menyelesaikan kasus ini secara hokum. Sepertinya aparat pemerintah dan pihak kepolisian memiliki banyak kepentingan dan terkesan tunduk kepada keinginan kelompok mayoritas. b) Provokasi dari kelompok intoleran yang mengajak warga untuk terus menolak pembangunan gereja. c) Tekanan dari warga sekitar yang terpengaruh oleh kelompok intoleran sehingga
terus
menebarkan
teror
berupa
spanduk,
bahkan
orasi
penolakan. 4. Upaya yang dilakukan dalam menyelesaikan konflik Seluruh komponen pihak gereja Paroki St. Bernadette tentunya tidak hanya diam dalam menghadapi persoalan ini. Upaya-upaya yang mereka lakukan diantaranya adalah : a) Kompromi b) Negosiasi c) Mediasi d) Laporan kepada pihak berwenang e) Memperbaiki hubungan sosial dengan bakti sosial f)
Tidak membalas kekerasan dengan kekerasan
g) Pasrah pada ketentuan pemerintahan REKOMENDASI Sesungguhnya hidup rukun dan damai itu indah. Karena sesungguhnya hidup rukun, damai, dan toleran merupakan ajaran Islam. Sungguh miris memang ketika sekelompok muslim mengatasnamakan Islam untuk menyerang kelompok agama lain, mereka berdalih membela agama Islam, namun justru perbuatan merekalah yang mencederai agama islam. Dalam kasus penolakan pendirian Gereja Paroki Santa Bernadette ini, jelas terdapat
upaya
pemaksaan
kehendak
dari
kelompok
intoleransi
untuk
menghentikan kegiatan ibadah dan menolak pembangunan gereja padahal gereja
13
tersebut sudah diterima oleh warga sekitar dan telah mendapatkan surat Ijin Mendirikan Bangunan (IMB). Kasus ini jelas
menimbulkan banyak pelanggaran
HAM yang tidak boleh terjadi lagi. Hal ini jelas-jelas melanggar HAM para jemaat dan pengurus Gereja Paroki Santa Bernadette yaitu hak beragama, hak beribadah, Hak hidup secara aman, dan mendapat perlindungan dari pemerintah. Sesungguhnya Islam adalah agama yang sangat damai, maka dari itu tidak seharusnya kita sebagai umat Muslim melakukan tindakan-tindakan kekerasan, karena segala bentuk kekerasan sebagaimana yang akhir-akhir ini banyak terjadi telah mengubah citra Islam yang damai dan sejuk menjadi islam yang
penuh
kekerasan.
Ummat
Islam
berada
di
garda
terdepan
pengarusutamaan toleransi dan nilai-nilai damai. Dan bagi pemerintah, terdapat kewajiban untuk melindungi hak asasi warga negara tanpa kecuali. Konstitusi atau undang-undang dasar kita dengan jelas memberi jaminan bagi kebebasan beragama, karena itu setiap warga seyogyanya memperoleh perlindungan negara untuk memiliki keyakinan dan beribadah sesuai dengan hati nuraninya. Pemerintah juga diharapkan dapat menyelesaian setiap kasus konflik dan kekerasan secepat mungkin berdasarkan hukum
yang
berlaku
dengan
bersikap
tegas
terhadap
siapapun
pelaku
pelanggaran HAM. Bagi generasi muda umat Islam, diharapkan untuk terus meneguhkan perdamaian
sebagai
prinsip
kehidupan,
menjadi
duta
perdamaian
umat,
menanamkan budaya toleransi yang kuat sehingga masyarakat dapat menerima perbedaan baik secara suku, agama,ras ataupun antargolongan, karena Islam merupakan sebagaimana
agama
yang
ditegaskan
sungguh-sungguh dalam
al-Qur’an
memperjuangkan maupun
Hadits.
perdamaian
Teladan
Nabi
Muhammad Sungguh bisa menjadi panutan kita bersama dalam menjunjung tinggi nilai-nilai toleransi , HAM dan perdamaian.
14