KOMISI NASIONAL ANTI KEKERASAN TERHADAP PEREMPUAN
Kekerasan Terhadap Perempuan 2005:
KDRT & PEMBATASAN ATAS NAMA KESUSILAAN
CATATAN TAHUNAN TENTANG KEKERASAN TERHADAP PEREMPUAN Jakar ta, 8 Maret 2006
KDRT & PEMBATASAN ATAS NAMA KESUSILAAN R I N GK A S AN E K S E K U T I F
2
P E N GA N TA R
Catatan Tahunan tentang Kekerasan terhadap Perempuan tahun 2005 merupakan upaya kelima Komnas Perempuan mengumpulkan data dari berbagai lembaga mitra yang mengangani kasus kekerasan terhadap perempuan guna menghasilkan gambaran utuh di tingkat nasional tentang persoalan ini. Komnas Perempuan sangat bergembira bahwa tingkat partisipasi lembaga-lembaga pemerintah dan masyarakat pada tahun 2006 ini meningkat dari 179 lembaga (2005) menjadi 218 lembaga (2006). Di tahun 2005, upaya membangun kesadaran akan pentingnya data dasar nasional tentang kekerasan terhadap perempuan terus digalang bersama di antara lembaga mitra pengada layanan. Komnas Perempuan juga berupaya meningkatkan kualitas pendataan dengan mengadakan lokakarya selama dua setengah hari bersama lembaga-lembaga mitranya, pada tanggal 30 November sampai 2 Desember 2005, guna menyamakan persepsi tentang sistem kategorisasi bentuk-bentuk kekerasan terhadap perempuan. Diharapkan melalui pendataan yang berkesinambungan dari tahun ke tahun, kita akan dapat terus memantau besaran dan kompleksitas masalah kekerasan terhadap perempuan sebagai persoalan bersama dan sekaligus menilai sejauhmana kita sebagai bangsa telah maju (atau mundur) dalam menangani dan mengatasi bentuk pelanggaran HAM perempuan yang meluas ini. M E TO DO L O GI PENGALAMAN MENYUSUN CATATAN TAHUNAN yang sudah dilakukan sejak tahun 2003 menyadarkan Komnas Perempuan akan kendala utama yang dialami ketika mengumpulkan data dari sejumlah lembaga mitra, yaitu beragamnya kategorisasi kekerasan terhadap perempuan (KTP) menurut interpretasi masing-masing lembaga yang berbeda. Perbedaan dan keberagaman sistem pengkategorisasian yang dikembangkan oleh masing-masing lembaga ini menjadi tantangan utama Komnas Perempuan ketika kemudian melakukan kompilasi data bentuk-bentuk KTP menurut definisi Deklarasi Anti Kekerasan Terhadap Perempuan. Tantangan lain adalah tidak meratanya pemahaman bersama akan pentingnya mempunyai data dasar nasional tentang KTP, yang dapat dimanfaatkan untuk membangun sistem monitoring dan evaluasi terhadap implementasi UU PKDRT. Data dasar nasional ini juga bermanfaat bagi upaya advokasi berbagai pihak dalam rangka mengurangi tindak kekerasan. Oleh karena itu, penyusunan catatan tahunan kali ini diawali dengan melakukan lokakarya nasional, dan mengundang sejumlah lembaga mitra dari berbagai kota/provinsi. LOKAKARYA ini dilakukan selama dua setengah hari (30 November – 2 Desember 2005) dengan tujuan utama untuk menyamakan persepsi mengenai kategorisasi bentuk KTP dan secara bersama membangun kesadaran akan pentingnya memiliki data dasar nasional. Berdasarkan hasil lokakarya, Komnas Perempuan menyusun satu kuesioner pendataan yang seragam untuk semua lembaga mitra (organisasi perempuan, pengadilan agama, pengadilan tinggi, rumah sakit, ruang perawatan khusus, kejati). Pada tahun-tahun yang lalu, Komnas Perempuan mengirimkan kuesioner yang berlainan bagi masing-masing lembaga mitra tersebut, disesuaikan dengan keadaan atau cara lembaga mitra biasa mengompilasikan data KTP-nya. Perubahan kuesioner yang cukup mendasar ini sungguh disadari akan membawa sejumlah konsekuensi, diantaranya kesulitan lembaga mitra mengolah data yang dimiliki sesuai dengan kuesioner yang baru sehingga berakibat pada keterlambatan serta berkurangnya
3
partisipasi lembaga mitra dalam mengembalikan kuesioner. Dalam kondisi seperti ini, upaya kerja sama dari berbagai pihak perlu ditingkatkan (salah satunya dengan menjaga komunikasi). PARTISIPASI DAN RESPON LEMBAGA MITRA yang meningkat seperti dapat dilihat
Sumber Data
dalam Grafik Sumber Data di samping menunjukkan keberhasilan upaya kerja sama yang telah dilakukan oleh berbagai pihak. Komnas perempuan mulai mengirimkan kuesioner kepada sejumlah 887 lembaga mitra (dengan sebaran di 29 provinsi) pada pertengahan bulan Desember 2005, setelah selesai lokakarya. Jumlah lembaga mitra yang dikirimi kuesioner ini hampir dua kali lipat lebih banyak dari pada tahun sebelumnya. Dari jumlah yang dikirim tersebut, diperoleh
70 59 50
49 43
36
35
28 14 12 OP
PN th 2003
PA
11
RPK th 2004
27 11
8
15
3 RS
KEJATI
th 2005
respon dari 230∗ lembaga mitra (26%). Grafik Sumber Data menunjukkan tingkat respon dari lembaga-lembaga mitra meningkat dibandingkan dengan tahun-tahun yang lalu, kecuali Pengadilan Negeri (PN) dan Rumah Sakit (RS). Secara rinci, lembaga mitra yang memberikan data terdiri dari: 59 organisasi perempuan (OP) dari 20 provinsi, Rumah Sakit (RS) 8 dari 6 provinsi, 44 Pengadilan Agama (PA) dari 20 provinsi, Pengadilan Negeri (PN) 31 dari 17 provinsi, 48 Ruang Pelayanan Khusus (RPK) dari 14 provinsi, dan 27 Kejaksaan Tinggi (Kejati) dari 27 provinsi. Partisipasi empat lembaga pengada layanan (OP, PA, RPK, Kejati) meningkat cukup signifikan dibandingkan tahun 2003 dan tahun 2004. Khusus untuk Kejati kuesioner dikirimkan kepada unit gender focal point di tingkat pusat, dan respon diperoleh dari seluruh kejaksaan yang mencakup 27 provinsi di Indonesia. Sedangkan Pengadilan Negeri (PN) dan Rumah Sakit (RS) menunjukkan penurunan respon dibandingkan pada tahun 2004. Sehubungan dengan turunnya respon ini, beberapa kendala yang diungkapkan oleh lembaga pengada layanan, di antaranya: keterbatasan tenaga untuk mengolah kembali data sesuai dengan permintaan, kelangkaan sistem dalam lembaga yang mendukung pertukaran data, kesadaran akan pemanfaatan data bagi kepentingan yang lebih luas, dan kendala lain berkaitan dengan masalah teknis (seperti lembaga tidak/belum menerima kuesioner karena lokasi terpencil, ketidakjelasan kueioner yang diterima melalui fax, dan ketidakpahaman petugas lembaga dengan istilah-istilah yang dipakai dalam kuesioner). Di pihak Komnas Perempuan, sebagai pengumpul dan pengolah data dari berbagai lembaga mitra pengada layanan, pengalaman pengolahan data pada tahun 2005 ini dianggap lebih cepat dan lebih ’rapi’. Lebih cepat karena lembaga mitra mengisi dan mengembalikan kuesioner yang sama sehingga pengkategorisasian bentuk KTP (tahapan paling sulit dilakukan sebelumnya) lebih cepat dan akurat dilakukan dibandingkan tahun lalu. Dan lebih ’rapi’ dalam arti interpretasi yang biasa secara otomatis terjadi dalam rangka kategorisasi bentuk KTP, kali ini tidak terlalu banyak dibutuhkan karena masing-masing lembaga mencoba menuruti petunjuk kategorisasi yang sama. Meskipun demikian, karena keunikan masing-masing ∗
Termasuk dalam respon ini, 3 Pengadilan Agama tidak mengisi kuesioner dengan alasan tidak ada indikasi terjadinya KTP dari kasus perceraian yang ditangani, dan 12 lembaga mitra (6 Pengadilan Negeri, 5 Pengadilan Agama, dan 2 RPK) yang terlambat mengirimkan data sehingga tidak masuk dalam pengolahan data. Keterbatasan waktu penyusunan catatan tahunan ini mendesak Komnas Perempuan mulai pengolahan data sejak pertengahan bulan Februari 2006 dan data yang masuk setelah pertengahan bulan Februari terpaksa tidak dapat diproses untuk catatan tahunan tahun ini.
4
lembaga, penyamaan persepsi dan kategorisasi bentuk KTP masih membutuhkan proses pembelajaran bersama dalam kurun waktu cukup lama. Data tentang pola kekerasan dalam kategori KDRT/RP yang diklasifikasikan menurut UU PKDRT menjadi contoh perbedaan mendasar dari keunikan masing-masing lembaga ini. Dalam UU PKDRT, KTP diklasifikasikan menjadi kekerasan fisik, psikis, seksual, penelantaran (termasuk di dalamnya kekerasan ekonomi). Apabila data KDRT yang diperoleh dari berbagai lembaga mitra pengada layanan diklasifikasikan menurut kategorisasi ini, maka diperoleh diperoleh angka kekerasan psikis 3,1%, kekerasan seksual 4,4%, kekerasan fisik 6,7%, penelantaran 9%, dan lain-lain sebesar 76,6%. Klasifikasi lain-lain yang paling besar berasal dari data OP dan PA. Kedua lembaga ini lebih banyak menggunakan klasifikasi menurut keunikan lembaganya sendiri: OP menggunakan kategorisasi KTP berdasarkan Deklarasi Anti Kekerasan terhadap Perempuan, dan PA mengklasifikasikan kasus yang masuk berdasarkan UU No. 7 Tahn 1989 (tentang Peradilan Agama) dan Kompilasi Hukum Islam (KHI). G A M B AR AN U M U M
Pada tahun 2005 tercatat sejumlah 20.391 KTP ditangani oleh lembaga mitra pada tahun Jumlah Kasus KTP 2005, dibandingkan 14.020 kasus pada tahun 2004 20391 yang lalu. Pencatatan yang diikuti sejak tahun 2001 menunjukkan peningkatan jumlah KTP 14.020 secara konsisten dan dengan jumlah yang 7.787 signifikan. Grafik Jumlah Kasus KTP di samping 5.163 menunjukkan peningkatan besaran kasus kasus yang dicatat oleh lembaga-lembaga pengada 3.169 layanan: tahun 2002 meningkat 61% dari tahun 2001, tahun 2003 meningkat 66%, tahun 2004 th 2001 th 2002 th 2003 th 2004 th 2005 meningkat 56%, dan tahun 2005 meningkat 69% dari tahun sebelumnya. Seperti dijelaskan pada catatan tahunan tahun yang lalu, peningkatan ini di satu pihak dikarenakan adanya kesadaran korban (dan masyarakat) pada umumnya bahwa KTP tidak lagi tabu dibicarakan dan menjadi rahasia dalam rumah tangga. Dengan diberlakukannya UU PKDRT berarti komitmen pemerintah dan masyarakat luas untuk memerangi KTP semakin nyata dan ini mendukung upaya terwujudnya zero tolerance terhadap KTP. Khususnya pada tahun ini, salah satu kemungkinan meningkatnya jumlah kasus KTP adalah karena jumlah lembaga mitra yang berpartisipasi juga meningkat cukup signifikan. Namun demikian, kenyataan bahwa sudah ada kesadaran dari berbagai pihak untuk melaporkan kasus-kasus KTP, baik yang dialami sendiri atau yang dilihatnya, tidak dapat dipungkiri. Di sisi lain, peningkatan secara konsisten jumlah KTP dari tahun ke tahun ini merupakan keprihatinan tersendiri karena semakin menunjukkan adanya fenomena gunung es, yaitu jumlah yang terdata tidak/kurang menunjukkan besaran kasus yang sesungguhnya terjadi, dan keberanian mengungkapkan KTP membutuhkan dukungan berbagai pihak serta melalui proses yang panjang. Seiring dengan semakin banyaknya pihak yang mulai terbuka memberikan layanan bagi korban KTP, semakin banyak pula korban yang berani mendatakan kasusnya untuk ditangani oleh lembaga-lembaga pengada layanan tersebut.
5
Dari data yang diolah tahun ini, Jumlah Kasus Menurut Lembaga peningkatan kasus KTP yang didata oleh 592 PN dan PA mengalami peningkatan paling KP tinggi dibandingkan dengan jumlah KTP dari lembaga-lembaga lain (11.169 kasus dari Kejaksaan 487 1.424 kasus pada tahun 2004). Jumlah kasus 1168 yang cukup besar ini tercatat dari data PA, RS yaitu 10.810 dari total jumlah kasus 1267 PA+PN sebesar 11.169 kasus. Memang jika RPK ditinjau lebih lanjut partisipasi PA tahun ini 11169 meningkat lebih dari 20 kali lipat PN+PA dibandingkan tahun lalu. Sedangkan jumlah 5708 PN yang berpartisipasi memberikan data OP/LSM pada tahun ini justru menurun sampai setengah jumlah tahun lalu (lihat Grafik th 2003 th 2004 th 2005 Sumber Data). Pengaduan langsung ke Komnas Perempuan juga mengalami peningkatan lebih dari dua kali lipat: 211 kasus pada tahun 2004, 592 pada tahun 2005. Meskipun Komnas Perempuan dalam mandatnya bukan merupakan lembaga pengada layanan, tetapi banyak pengaduan kasus KTP datang langsung dan tetap diterima untuk kemudian dirujuk kepada lembaga mitra yang sesuai atau yang diperlukan. Peningkatan jumlah kasus yang masuk ke Komnas Perempuan ini sekali lagi dapat menjadi indikator bahwa kesadaran masyarakat akan pentingnya melaporkan tindak kekerasan (terhadap perempuan) sudah mulai meningkat. Kesadaran masyarakat ini sedikit banyak dapat ditunjukkan dari sumber kasus yang melapor ke masing-masing lembaga mitra seperti terlihat dari Grafik Sumber Kasus di samping. Korban KTP saksi sendiri merupakan pihak yang paling korban 13% banyak mengadukan kasusnya ke lembaga sendiri pengada layanan yang menurutnya bisa 74% telpon menangani kasus. Ada pula saksi/pelapor yang datang ke lembaga mitra untuk 6% membantu korban melaporkan kasusnya. surat rujukan Dalam hal ini, saski/pelapor bisa anggota 1% 6% keluarga atau orang lain yang mengetahui terjadinya KTP. Telpon atau hotline dan surat merupakan sarana lain yang dipakai oleh korban atau saksi untuk melaporkan kasus KTP. Selain itu, lembaga-lembaga mitra juga menerima kasus yang dirujuk dari lembaga lain (rujukan). Sumber Kasus
Seperti dijelaskan terdahulu, data dari lembaga-lembaga mitra tahun ini lebih mudah dan lebih akurat dikategorikan ke dalam 3 bentuk KTP menurut lokus terjadinya dan hubungan antara korban-pelaku, yaitu: kekerasan dalam rumah tangga dan relasi personal (KDRT/RP), kekerasan dalam komunitas (Komunitas), kekerasan terhadap perempuan dan peran negara (Negara). KDRT/RP mencakup semua tindak kekerasan yang terjadi dalam keluarga dan yang dilakukan oleh orang-orang yang dikenal, orang dekat (misal: pacar, mantan pacar, dan lainlain), atau anggota keluarga sendiri. Sedangkan kekerasan dalam komunitas meliputi semua tindak kekerasan yang terjadi di luar rumah, di tempat kerja (atau dalam rangka mencari kerja),
6
perdagangan perempuan dan anak, dan kekerasan yang disebabkan oleh media dan interpretasi agama. Dan kekerasan negara adalah semua tindak kekerasan yang terjadi karena adanya perangkat hukum, penegak hukum, dan budaya penegakan hukum yang tidak berperspektif jender, serta kekerasan terhadap perempuan di wilayah konflik. Kategori terakhir (Lain-lain, tahun lalu dikategorikan sebagai RT/KOM) merupakan kumpulan dari kasus-kasus KTP yang tidak cukup informasi untuk ditelusuri lokus kejadian serta hubungan korban dan pelaku sehingga sulit dikategorikan ke dalam salah satu kategori dimaksud. Berkurangnya jumlah kasus yang dimasukkan ke dalam kategori lain-lain ini juga menjadi pertanda sudah mulai adanya persepsi yang sama di antara lembaga Jumlah Kasus per Kategori pengada layanan, sehingga proses kategorisasi menjadi lebih mudah, lebih baik dan semakin akurat. Satu hal yang menarik untuk dikaji lebih jauh adalah jumlah KDRT/RP yang mendominasi jumlah total KTP, yaitu mencapai 82% (16.615) dari seluruh KTP yang didata oleh lembagalembaga mitra. Sedangkan kasus kekerasan dalam komunitas mencapai 15% (3.129), sisanya masuk Negara 61 ke dalam kategori kekerasan negara (0,3%, 61 Lain 558 kasus) dan kategori lain-lain (2,7%, 558 kasus). Catatan tahunan Komnas Perempuan tahun lalu menunjukkan kasus KDRT dan RT/KOM mencapai 78% dan pada waktu itu dicurigai kasuskasus yang banyak dikategorikan ke dalam RT/KOM (karena tidak bisa dengan jelas digolongkan ke dalam salah satu kategori) separuhnya merupakan kasus KDRT. Melihat peningkatan signifikan jumlah kasus KDRT/RP pada tahun ini, kecurigaan ini cukup beralasan. KDRT/RP 16615
Komunitas 3157
Data juga menunjukkan bahwa korban KTP tidak mengenal usia: dari usia di bawah Usia Korban dan Pelaku 5 tahun, sampai di atas 40 tahun bisa menjadi korban KTP seperti dapat dilihat 1782 # tahu 919 dalam grafik berikut. Pada tahun 2005 2093 >40 th tercatat ada sejumlah 197 korban KTP 1372 4923 berusia di bawah 5 tahun, dan sebanyak 25-40 th 4506 1.372 korban di atas usia 40 tahun. 1633 19-24 th 2244 Sedangkan pelaku yang teridentifikasi 369 13-18 th berusia antara 6 sampai di atas 40 tahun. 1428 44 Usia pelaku paling rendah antara 6 – 12 6-12 th 765 tahun (ada 44 pelaku). Mempelajari data <5 th 197 yang ada, rentang usia antara 25 – 40 tahun korban pelaku merupakan usia yang paling rentan menjadi korban maupun pelaku kekerasan (antara 40% - 50%). Meskipun tidak ada uji statistik dalam pengolahan data ini, rentang usia 25 -40 tahun (pelaku dan korban) ini dapat dipastikan kasus KTP terbanyak terjadi di lingkup KDRT/RP. Dan jika mencermati rentang usia korban dimulai sejak usia 13 – 18 tahun, maka kiranya diperlukan kajian lebih dalam mengenai adanya kasus KTP dalam kaitannya dengan kekerasan seksual dan pernikahan dini. Mengingat pentingnya data mengenai usia korban dan pelaku ini, maka lembaga pengada layanan perlu lebih teliti dalam mendata kasus karena ada sejumlah 8% - 16% kasus tidak teridentifikasi usianya.
7
Demikian pula dengan tingkat Pendidikan Korban dan Pelaku pendidikan korban dan pelaku. Data menunjukkan bahwa baik korban maupun 1487 pelaku mempunyai tingkat pendidikan # tahu 649 235 yang beragam, dari tidak lulus SD sampai LAIN 213 Perguruan Tinggi (PT) dan tingkat 949 PT pendidikan lain di atas SLTA (LAIN). 1284 2247 Korban yang paling banyak didata SLTA 2649 berpendidikan setingkat SLTA, sedangkan 1722 SLTP 1898 pelaku paling banyak berpendidikan 2401 setingkat SD. Melihat sebaran data SD 1971 demikian dapat dikatakan bahwa tingkat 679 <SD pendidikan tidak merupakan faktor 746 korban pelaku penentu atau alasan melakukan dan menjadi korban kekerasan. Pelaku dengan tingkat pendidikan apa pun dapat melakukan tindak kekerasan kepada perempuan (korban) yang berpendidikan apa saja, tidak pandang bulu. Informasi lain yang dapat diperoleh dari data yang masuk adalah tentang jenis pekerjaan korban dan pelaku. Data menunjukkan ada beragam jenis pekerjaan baik korban maupun pelaku, yaitu: ibu rumah tangga, pegawai swasta, PNS, TNI/POLRI, wirausaha, pelajar, petani, dan lainnya. Ibu rumah tangga (IRT) merupakan korban dan pelaku yang paling banyak di antara jenis pekerjaan lain. Sekali lagi data ini menunjukkan bahwa KTP memang banyak terjadi di lingkup rumah tangga dan relasi personal (KDRT/RP). Secara rinci prosentase jenis pekerjaan dari korban di antaranya mencakup: IRT (45,6%), tidak bekerja (6,6%), pegawai swasta (9,6%), wirausaha (9,2%), pelajar (6,3%), petani (4%), TNI/POLRI (0,1%). Sedangkan pelaku di antaranya mencakup: IRT (20,4%), pegawai swasta (15,3%), wirausaha (12,8%), tidak bekerja (9,5%), petani (9,2%). KECENDERUNGAN
Beberapa kecenderungan besar dalam permasalahan kekerasan terhadap perempuan pada tahun 2005 yang baru lalu mencakup: (1) perempuan terjebak dalam lingkaran kekerasan dalam rumah tangga; (2) serangan terhadap kedaulatan perempuan atas nama kesusilaan; (3) perdagangan perempuan dan perkosaan; (4) intimidasi terhadap perempuan yang memperjuangkan haknya; (5) tubuh perempuan sebagai alat teror. Perempuan Terjebak dalam Lingkaran Kekerasan Dalam Rumah Tangga
Apa yang dimaksudkan dengan ‘lingkaran kekerasan’? Lingkaran kekerasan adalah pola di mana tindak kekerasan yang tidak ditangani secara tuntas telah mengakibatkan terus terulangnya kekerasan. Dalam pola ini, korban kekerasan – apakah itu anak ataupun perempuan – dapat berkembang menjadi pelaku kekerasan terhadap pihak lain yang posisinya lebih lemah dari mereka. Tahun 2005 ini menunjukkan dengan jelas bagaimana perempuan adalah sekaligus korban kekerasan dalam rumah tangga (KDRT) dan pelaku kekerasan terhadap anaknya sendiri. Kekerasan terhadap perempuan yang terjadi di dalam rumah berlangsung sebagai bagian dari suatu pola hubungan personal yang kompleks antara suami dan istri, orang tua dan anak, majikan dan pekerja serta antar dua orang yang sedang berpacaran. Berdasarkan data yang ada, rumah bukan lagi merupakan tempat yang aman bagi anggota keluarga atau bagi orang-orang yang tinggal di dalamnya.
8
JML
JENIS KDRT/RP
4.886 Kerasan terhadap istri (KTI) 635
Kekerasan dalam pacaran (KDP)
421
Kekerasan terhadap anak perempuan (KTA/P)
87
Kekerasan terhadap pekerja rumah tangga (PRT)
10.586 KDRT/RP (Relasi Personal)
Sejumlah 16.615 kasus KTP dikategorikan sebagai KDRT/RP mencakup kekerasan terhadap istri (KTI) 4.886 kasus (29,41%), kekerasan dalam pacaran (KDP) 635 kasus (3,82%), kekerasan terhadap anak (perempuan) – KTA sebanyak 421 kasus (2,53%), kekerasan terhadap pekerja rumah tangga 87 kasus (0,52%), dan kasus-kasus KDRT/RP mencapai 63,71% dari seluruh kategori ini. Kategori terakhir merupakan kumpulan data KDRT/RP yang pelakunya mantan suami, mantan pacar, kakak/adik ipar, mertua, paman, teman dekat ’ibu’, suami tidak sah.
Perempuan tidak saja menjadi korban paling besar dalam kasus KTP di lingkup rumah tangga dan relasi personal ini. Data menunjukkan bahwa perempuan (IRT) juga menjadi pelaku kekerasan. Jika kita membaca data kekerasan terhadap anak yang baru-baru ini dikeluarkan oleh Komnas Perlindungan Anak, maka dapat dijumpai ibu kandung, ibu tiri, atau pengasuh anak merupakan pelaku kekerasan terhadap anak. Perlu diakui bahwa belum ada penelitian yang mendalam mengenai akar permasalahan mengapa perempuan menjadi pelaku kekerasan (khususnya kekerasan terhadap anak) di dalam rumah tangga. Salah satu alasan yang sempat dikemukakan dalam diskusi dengan Komnas PA adalah adanya tekanan ekonomi dalam keluarga yang mengakibatkan tekanan kepada orang tua (ayahibu/suami-isteri), dan dalam keadaan demikian isteri atau ibu merupakan orang yang menanggung beban lebih besar: salah satu kemungkinan merupakan sasaran kekerasan dari suami/ayah. Indikasi apa pun yang diprediksi dari data yang ada, kajian lebih dalam mengenai masalah ini perlu dilakukan lebih dalam. Sementara itu, Laporan Tahunan Komnas Perlindungan Anak tentang kasus kekerasan terhadap anak untuk tahun 2005 menyatakan bahwa perempuan – khususnya ibu – adalah pelaku kekerasan fisik dan psikis terhadap anaknya. Atas dasar kajiannya, Komnas Perlindungan Anak memberikan latar belakang faktor-faktor mengapa perempuan menjadi pelaku kekerasan terhadap anaknya sendiri, yaitu1: 1. perceraian dan disfungsi keluarga 2. tekanan ekonomi 3. trauma masa lalu dari pelaku
Dari data yang dihimpun oleh Komnas Perlindungan Anak tersebut, ketiga faktor saling terkait dan tidak bisa dipisahkan satu sama lain dan menjadi satu lingkaran kekerasan yang terus memakan korban: pertama, istri jadi korban suaminya, dan kemudian, anak jadi korban ibunya. Simak pemberitaan media masssa tentang keterkaitan ini: Seorang ibu rumah tangga berusia 22 tahun, bernama Y dari Serpong ditangkap Polsek Serpong, karena membakar kedua anak kandungnya, Indah (3 tahun) dan Lintang (11 bulan). Perbuatan Y membakar kedua anaknya tidak direncanakan tetapi lebih sebagai percobaan bunuh diri yang akan dilakukan oleh Y bersama kedua anaknya. Akibat Y mengalami kekerasan dari suaminya yang menganggur dan sering minum. (Kompas, 4 Januari 2006, hlm. 26) Dalam konteks ini, perempuan semakin terpuruk dalam stigmatisasi oleh masyarakat. Media massa penuh dengan tuntutan masyarakat bahwa perempuan pelaku kekerasan 1
Komnas Perlindungan Anak, ‘Refleksi Akhir Tahun 2005’, Januari 2006, hlm. 13.
9
sepatutnya dihukum berat, karena perempuan semestinya melindungi anaknya. Padahal, jika kita menyimak penjelasan Komnas Perlindungan Anak, hal ini terjadi sebagai bagian yang tak terpisahkan dari proses pemiskinan, tekanan ekonomi dan trauma kekerasan yang semakin melilit perempuan dalam lingkaran kekerasan di dalam rumahnya sendiri. Stigma sosial terhadap perempuan pelaku kekerasan tidak lepas dari konstruksi “kodrat” perempuan sebagai ibu, pendidik dan penjaga harmoni keluarga, seperti yang diyakini oleh masyarakat. Domestikasi dan idealisasi peran perempuan oleh konstruksi patriarkhi tersebut menjadikan perempuan seakan-akan sebagai “milik” keluarga, komunitas dan Negara, sehingga sebagai perempuan, hak-haknya sebagai manusia tidak lagi melekat dalam dirinya. Situasi demikian menjadikan perempuan semakin rentan terhadap berbagai bentuk kekerasan yang terjadi di seluruh lini kehidupan. Oleh sebab itu, ketika perempuan melakukan kekerasan terhadap anak kandungnya, masyarakat dan Negara menilai si perempuan telah melakukan “penyimpangan” dari pranata sosial patriarkis yang telah dibangun dan menganggapnya sebagai aib besar yang harus dihukum secara luar biasa. Serangan terhadap kedaulatan perempuan atas nama kesusilaan
Kedaulatan perempuan untuk menentukan jati dirinya sendiri, termasuk kebebasan untuk mengekspresikan diri melalui pakaian dan perilaku, mengalami pembatasan-pembatasan yang disahkan melalui aturan kebijakan, baik di tingkat lokal maupun nasional. Berbagai peraturan daerah dan rancangan perundangan di tingkat nasional telah dibuat dengan sasaran utamanya warga negara yang berjenis kelamin perempuan, dan merupakan tindakan diskriminatif terhadap perempuan. Tangerang
Pada tahun 2005, Pemerintah Kota Tangerang memberlakukan sebuah Perda tentang Larangan Pelacuran Tanpa Pandang Bulu yang menyatakan bahwa Setiap orang yang sikap atau perilakunya mencurigakan, sehingga menimbulkan suatu anggapan bahwa ia/mereka pelacur, dilarang berada di jalan-jalan umum, di lapanganlapangan, di rumah penginapan, losmen, hotel, asrama, rumah penduduk/kontrakan, warungwarung kopi, tempat hiburan, gedung tempat tontonan, di sudut-sudut jalan atau di loronglorong jalan atau tempat lain di Daerah (Pasal 4 Perda No. 8/2005) Atas dasar Perda ini, harian Kompas memberitakan peristiwa penangkapan seorang perempuan yang dituduh sebagai pelacur dan langsung disidang tanpa mendapatkan kesempatan membela diri sebagaimana dijamin dalam sistem hukum nasional Indonesia. Upaya perempuan terdakwa untuk menghubungi suaminya dan mendatangkan saksi yang mendukung penolakannya atas tuduhan pelacur tidak diizinkan oleh aparat penegak hukum setempat. (Kompas, 2 Maret 2006). Substansi Perda No. 8/2005 ini menjadikan semua warga perempuan Kota Tangerang rentan terhadap penangkapan sewenang-wenang yang melawan hukum, karena kecurigaaan dan anggapan aparat atas perilaku perempuan cukup untuk menindaknya sebagai kriminal. Perda ini bertentangan dengan asas hukum pidana dan, terutama, UUD 45 Amandemen IV yang menjamin kepastian hukum serta perlakuan sama di hadapan hukum bagi semua warga Indonesia, termasuk perempuan dan pelacur. Menurut UU No. 32/2004 tentang Pemerintahan Daerah sendiri (pasal 145, nomor 2), Perda yang bertentangan dengan kepentingan umum dan/atau peraturan perundang-undangan yang leibh tinggi dapat dibatalkan.
10
Aceh
Pada tahun 2005, kebijakan tentang pemberlakuan syariat Islam di NAD mulai dijalankan. Infrastruktur penegakan hukum telah dibentuk. Hukum cambuk yang pertama telah dilaksanakan di Aceh pada 25 Juni 2005. Pelembagaan syariat Islam di NAD ditandai dengan munculnya organ-organ negara yang baru, seperti Dinas Syariat Islam, Wilayatul Hisbah, Majelis Permusyawaratan Ulama, dan Mahkamah Syar’iyah. Lebih lanjut, Pemda NAD sedang merencanakan penerbitan hukum acara jinayah untuk mengadili tindak pelanggaran syariat Islam yang lebih luas. Rencana Mahkamah Agung RI untuk menciptakan mekanisme tersendiri untuk kasus-kasus banding dari Mahkamah Syar’iyah NAD semakin memastikan integrasi syariat Islam NAD ke dalam kelembagaan hukum nasional. Berdasarkan pemantauan media lokal di NAD2, selama tahun 2005, tercatat 46 kasus pelanggaran qanun. Dari total 46 kasus tersebut, 32 (70%) adalah kasus-kasus dimana perempuan menjadi terdakwa dan terhukum. Ini berarti bahwa, de facto, sasaran utama dalam praktik penerapan syariat Islam di NAD pada umumnya adalah perempuan. Secara spesifik:
8 kasus pencambukan untuk tuduhan mesum (5), minuman keras (2), judi (1) 5 kasus penahanan untuk tuduhan mesum 8 kasus sedang dalam proses peradilan untuk tuduhan mesum 2 kasus penangkapan untuk tuduhan mesum dan judi 2 kasus pengarakan untuk tuduhan mesum 2 kasus penggrebekan untuk tuduhan mesum 3 kasus penangkapan dan diserahkan ke Dinas Syariah Islam untuk tuduhan mesum 2 kasus razia busana muslim
Di Aceh Besar kegiatan sosialisasi syariat Islam dilakukan melalui razia terhadap puluhan perempuan berpakaian ketat di Lambaro, Kecamatan Inginjaya dan Simpang Ketapang, yang dilakukan oleh Wilayatul Hisbah dan kepolisian. Di Lhokseumawe, seorang perempuan yang mengalami razia jilbab mendapati pernyataan “inilah salah satu bencana terjadi di Aceh, karena perempuan nggak pakai jilbab” dari aparat Wilayatul Hisbah.3 Di Lhokseumawe dan Aceh Timur, perempuan yang terkena kasus mesum digrebek dan diarak masyarakat. Walaupun pengarakan tidak dikenal dalam sistem peradilan Indonesia, di Aceh Timur hukuman pengarakan ini dilakukan atas izin dari tokoh masyarakat. Di Takengon, Aceh Tengah, pemda setempat memberlakukan jam malam, dimana di atas jam 22.00 perempuan hanya bisa keluar rumah bila ditemani muhrimnya. Eksekusi hukum cambuk, yang bertujuan memperlakukan terhukum di muka publik, membuka peluang kepada pers dan masyarakat untuk menghujat dan mendiskriminasikan perempuan. Sementara itu, UU No. 7/1984 telah memberikan jaminan perlindungan hukum bagi perempuan dari segala bentuk diskriminasi. Secara terpisah, LBH APIK Aceh melaporkan bahwa sepanjang tahun 2005 terdapat 30 kasus penangkapan terhadap perempuan terkait pemberlakuan syariah Islam. Diantaranya, 28
2
Data ini diambil dan diolah berdasarkan laporan dan artikel koran lokal: Serambi dan Waspada, tahun 2005.
3
Wawancara KP dengan aktivis perempuan NAD, 2006.
11
kasus penangkapan dilakukan oleh masyarakat, 11 kasus penangkapan dan razia oleh Wilayatul Hisbath (WH) dan 1 kasus yang diadili oleh Mahkamah Syar’iyah.4 Saat ini, kaum perempuan Aceh harus berhadapan dengan tiga sistem hukum sekaligus, yaitu hukum adat, hukum syariat Islam, dan hukum nasional. Dalam prakteknya, jurisdiksi antara ketiga sistem hukum ini tidak jelas batasannya. Akibatnya, para terdakwa perempuan berpotensi mengalami penghukuman ganda: setelah dihukum melalui hukum hukum adat, dapat dihukum lagi melalui qanun atau hukum nasional. Nasional
Parlemen nasional saat ini sedang menggagas sebuah RUU yang membatasi ruang gerak perempuan atas nama penanggulangan masalah pornografi. RUU ini disebut ‘RUU Anti Pornografi dan Pornoaksi’ dan mengandung delapan (8) pasal yang menetapkan perempuan yang berpakaian terbuka dan berperilaku sensual, termasuk ketika menari, sebagai pelaku tindak kriminal dan akan mendapatkan ganjaran sanksi penjara (2-10 tahun) atau denda (Rp 200 juta – Rp 1 milyar). Akademisi Universitas Indonesia, Dr. Gadis Arivia, menyatakan RUU ini bersifat ‘misoginis’, yaitu memusuhi perempuan (Kompas, 4 Maret 2006, hlm.56). Jika disahkan, RUU ini akan mendirikan sebuah badan nasional khusus yang akan menerapkan larangan-larangan yang tersebut dalam rancangan UU, antara lain dengan membentuk satgas-satgas. Jika hal ini sampai terlaksana, maka, melalui badan nasional dan satgas ini, negara akan menjadi pelaku diskriminasi sistematik terhadap warga negaranya sendiri, khususnya yang berjenis kelamin perempuan. RUU ini mendapatkan penolakan besar dari kaum perempuan maupun dari komunitas budaya, seni dan media. Perkembangan di atas tidak terlepas dari 14 produk kebijakan sejenis – yang menayasar pada pengaturan cara berpakaian dan perilaku perempuan – di 7 kabupaten (Cianjur, Garut, Tasikmalaya, Enrekang, Maros, Bulukumba, Tangerang) di 3 propinsi (Jawa Barat, Banten, Sulawesi Selatan) dan di tingkat nasional (lihat lampiran). Semua ini merupakan bagian dari sebuah kecenderungan umum yang dimulai sejak tahun 2000 dan tekait dengan semakin menguatnya semangat konservatisme dan fundamentalisme agama. Perdagangan Perempuan dan Perkosaan
Perempuan yang mencari nafkah di luar negeri terus menjadi sasaran praktik perdagangan manusia. Menurut laporan media massa, jumlah buruh migran yang mengalami masalah pada tahun 2005 mencapai ribuan orang, di mana sebagian besar adalah para TKI yang menjadi korban proses deportasi masal dari Malaysia.
4
LBH Apik Aceh, 2006.
12
Tabel: Kasus Buruh Migran Bemasalah menurut Pemberitaan Media Massa
No Sumber 1 Neraca, 3 jan 05 dan Sinar Harapan, 6 Jan 06 2 Media Indonesia, 2 Feb 06 3 Kompas, 14 Feb 05, Maret 05 4 Republika, 17 Feb 05 5 Indo Pos, 18 Feb 6 7 8 9 10 11 12 13 14 15 16 17 18
Media Indonesia , 7 Maret 05 Republika, 10 April 05 Media Indonesia, 11 April 05 Kompas, 7 April 05 Koran tempo, 17 Mei 05 Warta Kota, 25 Mei Koran tempo, 25 Mei Media Indonesia , 30 Mei Warta Kota, 28 Mei Koran tempo, 6 Juni Koran Tempo, 10 Juni Indo Pos, 14 Juni Warta Kota, 22 Juni Total
Kasus Dideportasi dan mengalami banyak penyakit selama di penampungan Diperas membeli tiket lebih mahal menuju daerah asal Gaji tidak dibayar dan dianiaya Akan diperkosa dan dianiaya Pelecehan Calon TKI seksual dan ditipu Diculik, disiksa dan diperkosa Disiksa, diperkosa Disiksa majikan Disiksa, diintimidasi Ditembak hingga tewas Disiksa hingga cacat Trafficking Dianiaya Disiksa Disiksa hingga lumpuh Disiksa hingga lumpuh Disiksa dan dilempari pisau Gaji tidak dibayar dan dianiaya
Lokasi Tarakan
Total 5000
Malaysia Arab Saudi Jakarta
111 1 30
Kuwait Arab Saudi Malaysia Arab Saudi Malaysia Arab Saudi Malaysia Malaysia Taiwan Singapura Arab Sadui Malaysia Arab Saudi
1 1 35 1 1 1 94 1 1 1 1 1 1 5282
Sepanjang tahun ini, jumlah buruh migran yang tercatat mengajukan bantuan kepada 24 lembaga swadaya masyarakat yang berkiprah 14 kota (Medan, Riau, Palembang, Dumai, Bengkulu, Mataram, Flores, Pontianak, Sidoarjo, Jombang, Cipasung, Manado, Semarang, dan Jakarta) mencapai angka 1150 orang. Dua masalah yang paling banyak diadukan adalah kasus perdagangan perempuan (739 kasus) dan kekerasan terhadap buruh migran perempuan (300 kasus). Tabel: Pengaduan Kasus ke Lembaga Layanan & Advokasi pada 24 Lembaga layanan dan Advokasi hak Buruh Migran, Tahun 2005 No 1 2 3 4 5 6 7
Jenis Kasus Perdagangan perempuan Kekerasan terhadap buruh migran perempuan Konflik perburuhan Hilang kontak Deportasi Kematian di tempat kerja Perdagangan anak perempuan Total
Jumlah 739 300 54 53 13 2 4 1165
% 63,4 26,2 4,5 4,5 1,1 0,1 0,2 100%
Sumber: Laporan 24 lembaga layanan dan advokasi hak asasi buruh migran
Pada tahun ini, data KOPBUMI menunjukkan adanya sembilan negara di mana buruh migran Indonesia banyak menemui masalah, yaitu empat di kawasan Asia dan lima di kawasan
13
Timur Tengah. Tiga negara yang paling banyak masalah pada tahun ini adalah Singapore, Jepang, dan Saudi Arabia. Dua negara berikutnya adalah Malaysia dan Uni Arab Emirat. Tabel: Persebaran Kasus Buruh Migran Indonesiaper Negara Tempat Kerja, Tahun 2005 No
Negara
Kasus yang Diadukan Konflik Kekerasan Buruh 5 11 9 18 4 5 5 4 1 2 1 1 1 1 1 1 29 (41%) 23 (33%) 18 (26%)
Total
%
Trafiking 1 2 3 4 5 6 7 8
Singapura Jepang Saudi Arabia Uni Arab Emirat Malaysia Yordania Kuwait Taiwan Jumlah
25 18 14 5 4 2 1 1 70
36 26 20 7 6 3 1 1 100%
Sumber: Kopbumi, 2005
Kasus perkosaan yang tercatat dalam pendataan kasus tahun ini mencapai jumlah 1.128 kasus: 763 kasus dapat diidentifikasi hubungan antara pelaku dan korban, sedangkan sejumlah 365 kasus sisanya tidak bisa diidentifikasi hubungan antara palaku-korban. Berdasarkan data yang ada sehubungan dengan hubungan pelaku dan korban ini dapat digolongkan menjadi 4 kategori besar, yaitu: adanya relasi antara atasan dan bawahan (47 kasus), tokoh masyarakat (80 kasus), relasi pertemanan (388 kasus), dan pihak tidak dikenal oleh korban (248 kasus). Kategori relasi antara atasan dan bawahan di antaranya mencakup: muncikari, agen, majikan, mandor kebun, pemilik toko, juragan. Tokoh masyarakat dalam hal ini meliputi: guru, pendeta, dukun, kepala sekolah. Sedangkan relasi pertamanan termasuk: tetangga, pelanggan, dan teman. Dan pihak tidak dikenal oleh korban dalam hal ini termasuk orang yang baru kenal, sopir bus, tukang kebun, tukang ojek, penjual (sales). Menilik terjadinya kasus perkosaan ini, data mengungkapkan sejumlah tempat yakni rumah majikan, tempat penampungan, hotel, pondok, kebun, stasiun kereta api, tepi jurang, pinggir sungai, gudang, pinggir jalan, penjara, pasar, kendaraan, rumah sakit, toko atau kios, losmen, rumah kos, sekolah, sawah, dan tempat umum lain. Intimidasi terhadap Perempuan yang Memperjuangkan Haknya
Perempuan yang memperjuangkan hak-hak diri dan masyarakat sekitarnya justru sering menjadi sasaran intimidasi dari pihak-pihak yang berwenang dan berkuasa. Pada tahun 2005 ini, tercatat empat kasus di mana hal ini terjadi. Perempuan Desa yang Berorganisasi
Perempuan desa secara konsisten mengambil bagian dalam konflik agararia telah terjadi sejak masa kolonial dan setelah kemerdekaan. Tanah, sawah, ladang dan kebun adalah identitas dari kaum perempuan. Mulai dari penyemaian bibit dan pengolahan sawah dan ladang menjadi bagian dari siklus hidup perempuan.Sampai mitos dan ritual tentang kesuburanpun diidentikan dengan kesuburan perempuan. Karena disitulah hidup komunitas digantungkan. Perempuan tidak saja bertanggungjawab pada reproduksi biologis, tapi perempuan bertanggungjawab pada reproduksi ekonomi, sosial dan budaya dari sebuah komunitas. Maka ketika tanah, sawah dan 14
ladang, dimana identitas perempuan diambil alih secara paksa. Rasa keadilan kaum perempuan terusik dan bangkit melawan mempertahankan identitas hidupnya dan komunitasnya. Di NTT, Mama Aleta Baun memimpin para perempuan adat di Timor Tengah Selatan, untuk membuat gerakan bersama guna mencegah aparat kehutanan melakukan pemagaran terhadap wilayah hutan adat yang bernama Tabun Nai Mutis. Untuk itu, mereka melakukan penanaman tanaman pangan di kawasan hutan tersebut. Mereka juga mendorong dua perempuan untuk duduk menjadi anggota Dewan Adat agar bisa ikut menentukan kebijakan Dewan Adat atas penggunaan tanah adat. Gerakan Mama Aleta untuk peduli terhadap kelestarian hutan dan lingkungan hidup mendapatkan dukungan dari perempuan dan laki-laki di komunitasnya. Akibat perjuangannya, Mama Aleta Baun telah dijadikan tersangka dalam perkara perusakan hutan lindung, dan dikenai pasal 50 ayat (3), UU No. 41 Tahun 1999 tentang kehutanan, tanpa didampingi pengacara. Sejak Januari 2005, ia diintimidasi, termasuk dituduh komunis (PKI), dan diberi ancaman akan ditangkap jika tetap meneruskan perjuangannya. Tekanan terhadap Mama Aleta Baun juga dilakukan melalui orang-orang di sekelilingnya. Suami Mama Aleta diintimidasi agar melarang Mama Aleta melakukan pengorganisasian masyarakat, dan para perempuan yang ikut bergabung dalam gerakan Mama Aleta ditakuttakuti sehingga mereka mengalami trauma.5 Di Pematang Siantar, Sumatera Utara, sejumlah petani perempuan mendirikan Forum Tani Sejahtera untuk menuntut pengembalian tanah seluas 430 hektar yang dijadikan perkebunan berdasarkan keputusan Walikotanya. Akibat kebijakan ini, sebanyak 1000 KK telah tergusur. Pengorganisasian oleh petani perempuan ini ditanggapi dengan tuduhan bahwa mereka adalah komunis dan ancaman akan ditahan atau diculik. Para pemimpin organisasi bahkan mendapatkan ancaman akan diperkosa.6 Warga Perempuan yang Berpendapat
Di Lhokseumawe, seorang ketua Ikatan Wanita Pengusaha Indonesia (IWAPI) setempat telah dituduh melakukan penghinaan pribadi dan institusi terhadap Dinas Syariat Islam Lhokseumawe akibat masukan yang diberikan, sbb.: … agar dilibatkan perempuan dalam pembangunan daerah dan, untuk pelaksanaan Syariat Islam, agar Wilayatuh Hisbah (WH) yang melakukan pengawasan pelaksanaan syariat Islam di masyarakat, direkrut dari orang-orang yang bisa menjadi panutan masyarakat, misalnya tengkutengku atau ulama. Hal ini harus dilakukan karena WH adalah orang-orang yang langsung terjun di masyarakat membawa syiar agama. Jika salah dalam merekrut akan terjadi hal-hal yang tidak diinginkan, misalnya, di kampung saya, WH direkrut dari mantan penjudi dan pemabok.7 Masukan ini ditanggapi oleh Ketua Wilayatul Hisbah Lhokseumawe sebagai penghinaan. Kemudian, atas perintah Walikota Lhokseumawe, Ketua WH kemudian melaporkan kasus itu sebagai penghinaan kepada Polres Lhokseumawe. Kasus ini hingga sekarang masih dalam proses hukum.
5
Laporan kunjungan Komnas Perempuan ke Timor Tengah Selatan untuk kasus Mama Aleta Baun, 2005.
6
Sumber: pengaduan oleh perempuan petani yang tergabung dalam Forum Tani Sejahtera ke Komnas Perempuan, 19 Juli 2005. 7
Laporan LBH APIK Aceh, 2005.
15
Istri yang Menggugat
Pada tanggal 21 September 2005, di tengah persidangan Pengadilan Agama Sidoarjo, Eka Suhartini ditikam mati oleh mantan suaminya, Kolonel Laut M. Irfan Djumroni, ketika ia sedang memperkarakan kasus pembagian harta gono-gini ke pengadilan. Bersamaan dengan ini, pelaku juga membunuh hakim yang sedang memimpin sidang, yaitu Achmad Taufik. Pada tanggal 2 Maret 2006, pelaku pembunuhan Kolonel Laut M. Irfan Djumroni mendapatkan vonis pidana mati, dan dipecat sebagai anggota TNI AL oleh Majelis hakim Pengadilan Militer Tinggi (Dilmilti) III Surabaya. Kasus pembunuhan di ruang sidang pengadilan agama Islam di Sidoarjo ini, menunujukkan dua hal penting. Pertama, rentannya posisi seorang perempuan yang sedang mencari keadilan, dan kedua, tidak adanya mekanisme perlindungan saksi dalam proses peradilan. Tubuh Perempuan sebagai Alat Teror
Pada tahun 2005, konflik Poso yang tidak pernah reda kembali dipertajam dengan penyerangan terhadap perempuan. Pada tanggal 31 Oktober 2005, tiga siswi SMU Kristen di Poso dipenggal kepalanya dalam perjalanan mereka menuju sekolah. Delapan hari kemudian, tepatnya tanggal 8 November 2006, dua remaja perempuan ditembak oleh orang tak dikenal. Penyerangan terhadap perempuan tidak hanya dilakukan langsung pada tubuh perempuan, tetapi juga pada tempat perempuan melakukan aktifitasnya sehari-hari, seperti di pasar. Pada akhir Mei 2005, sebuah pasar di Tentena yang sedang ramai pengunjung diledakkan, 10 perempuan tewas dan 26 perempuan luka berat. Menjelang Natal akhir Desember 2005, peledakan bom kembali terjadi di sebuah warung penjual daging babi yang sedang ramai pembeli, mengakibatkan sepasang suami isteri anggota Polri tewas dan melukai sejumlah orang. Berdasarkan rangkaian kekerasan di Poso, ternyata tubuh perempuan menjadi “sasaran antara” dari serangakaian kejahatan yang dirancang untuk menimbulkan ketakutan dan ketidakpercayaan di masyarakat, dengan sasaran memunculkan serangan balas-membalas yang baru. Mengapa tubuh perempuan? Karena tubuh perempuan dalam sistem budaya patriarki adalah simbol dari kehormatan dan martabat sebuah komunitas, merupakan sarana reproduksi sosial dan budaya, dan diperlakukan sebagai “milik” komunitas dan keluarga. Dengan demikian, nilai dan martabat sebuah kelompok sering ditentukan oleh kepemilikan dan penguasannya terhadap tubuh perempuan. Oleh sebab itu, serangan terhadap perempuan tidak semata-mata ditujukan untuk melukai dan menghancurkan perempuan, tetapi justru untuk menyerang kehormatan dan martabat kelompok lawan, yang, pada gilirannya, akan menentukan reaksi balik dari kelompok yang diserang. Inilah lingkaran kekerasan berbasis gender yang menjelaskan bagaimana tubuh perempuan dijadikan “alat” dalam konflik. Ketika tubuh perempuan diserang, maka hal ini memberikan keabsahan bagi warga komunitasnya untuk balas dendam, dan, pada akhirnya, akan kembali menjadikan perempuan sebagai korban kekerasan. Kekerasan terhadap perempuan di Poso, sebagaimana di daerah konflik bersenjata lainnya, bukan hanya merupakan dampak dari konflik, tetapi justru merupakan kekerasan sistemik berdimensi gender itu sendiri.
16
PE NA N G A NA N
Kapasitas dan Fasilitas Lembaga Mitra dalam Menangani Kasus KTP
Seperti dijelaskan terdahulu, lembaga mitra pengada layanan yang berpartisipasi memberikan datanya ada 214 lembaga: organisasi perempuan, rumah sakit, ruang palayanan khusus, pengadilan agama, pengadilan negeri, dan kejaksanaan tinggi. Lembaga-lembaga ini tersebar di 29 provinsi dengan beragam kapasitas dan fasilitas penanganan yang dimiliki serta keunikan masing-masing. Organisasi Perempuan
Organisasi Perempuan (OP) yang berpartisipasi dalam rangka pengumpulan data untuk Catatan Tahunan 2005 berjumlah 59 lembaga dari 20 provinsi. Di antara lembaga mitra lain, organisasi perempuan sudah menjadi mitra Komnas Perempuan sejak pertama didirikan Jumlah Kasus per Kategori (tahun 1998) dan turut serta dalam proses (Sumber Data: OP) pemetaan KTP di Indonesia. Oleh karena itu, Komunitas, 1765 pencatatan kasus KTP yang dilakukan oleh OP ini juga relatif sama dengan kategorisasi yang KDRT/RP, 3717 dilakukan oleh Komnas Perempuan. Keadaan seperti ini mempermudah dan mempercepat kompilasi serta rekapitulasi data yang diperlukan: Negara, 36 KDRT/RP sebanyak 3.717 kasus (65%), LAIN, 190 komunitas sejumlah 1.765 (31%), negara sebesar 36 (0,6%), dan lain-lain sebanyak 190 (3,3%). Menurut informasi yang diperoleh dari masing-masing OP, ada sebelas macam pelayanan yang disediakan oleh lembaga bersangkutan bagi perempuan korban kekerasan yang menghubungi mereka untuk mencari bantuan, yaitu berupa: layanan konseling, support group, pendampingan hukum, rujukan ke lembaga lain, penyelesaian adat, penyediaan rumah aman atau shelter, terapi psikologi, pendampingan berkelanjutan, layanan hotline, pelayanan medis, dan penguatan ekonomi. Untuk menjalankan pelayanan ini, OP mempunyai sejumlah fasilitas seperti ruang khusus konseling (33 OP), ruang khusus pemeriksaan medis (3 OP), line telpon untuk hotline (19 OP), rumah aman – shelter (18 OP). Selain itu, data yang diberikan oleh 48 OP menunjukkan adanya sumber daya yang siap melayani kasus, yaitu: tim konselor (38 OP), tim medis (6 OP), tim hukum (27 OP), relawan (1). Sejumlah 22 OP menyatakan ada sumber dana lain (misalnya lembaga donor, bantuan pemerintah daerah, atau iuran anggota) yang dialokasikan untuk menangani kasus-kasus KTP. Dalam memberikan pelayanannya, OP juga membangun kerjasama dengan berbagai pihak lain. Ada 31 OP yang menyatakan sudah membangun kerja sama dengan pihak lain dengan menggunakan perjanjian atau MoU. Kerja sama formal (dengan MoU) ini dilakukan dengan organisasi perempuan lain, lembaga pemerintah (lokal), dan rumah sakit. Bagi OP yang menyatakan tidak mempunyai MoU menyatakan bahwa kerja samanya dilakukan sesuai dengan kebutuhan, dan dilakukan dalam konteks/hubungan personal, bantuan individual atau kerja sama antara anggota jaringan. Dalam rangka proses litigasi, sejumlah 37 OP menangani 48 kasus menggunakan UU Perlindungan Anak (UU No. 23 tahun 2002), 44 kasus menggunakan UU PKDRT, 25 kasus merujuk pada UU Perkawinan (no. 1 tahun 1974), 10 kasus merujuk pada UU Penempatan dan Perlindungan tenaga Kerja di Luar Negeri (UU No. 39 tahun 2004). Dari data ini dapat dikatakan bahwa sejumlah organisasi perempuan sudah menerapkan UU PKDRT dalam 17
menangani kasus-kasus yang masuk. Organisasi-organisasi perempuan lain yang belum atau tidak menggunakan UU PKDRT dikarenakan memang tiak menangani kasus sampai proses ke pengadilan, atau karena menangani kasus yang bukan menyangkut kasus KDRT. Alasan apa pun yang dinyatakan oleh organisasi perempuan dalam hal ini, sosialisasi UU PKDRT masih perlu ditingkatkan sehingga ada persepsi dan sikap yang sama dalam rangka menangani kasuskasus KDRT/RP. Hal ini juga selaras dengan hambatan teknis yang dikemukakan oleh kebanyakan organisasi perempuan, yaitu aparat hukum seringkali menggunakan peraturan lama, atau masih belum adanya petunjuka pelaksanaan dari pusat, atau masih banyak aparat yang menyelesaikan kasus KDRT dengan peraturan adat. Hambatan lain, yang lebih substansial sifatnya, adalah adanya kesan menyalahkan korban KDRT sehingga korban lalu menarik kasusnya. Rumah Sakit (RS)
Kasus KTP yang ditangani oleh rumah sakit selama tahun 2005 dilaporkan sejumlah 1.168 kasus, yang dikelompokkan menjadi: kasus KDRT/RP (667), komunitas (177), dan lain-lain (324). Seperti halnya dengan organisasi perempuan, data rumah sakit juga menunjukkan kasus KDRT/RP merupakan kasus terbanyak yang ditangani.
Jumlah Kasus per Kategori (Sumber Data: RS) Komunitas, KDRT/RP,
177
667
LAIN, 324 Dari data yang masuk (6 RS), sejumlah fasilitas yang digunakan untuk melayani kasus KTP ini, yaitu: ruang khusus konseling, ruang khusus pemeriksaan medis, line telpon (3 RS), rumah aman (1 RS). Disamping fasilitas, sarana lain yang dimiliki rumah sakit adalah sumber daya manusia, seperti tim konselor (5 RS), tim medis, tim hukum (1 RS), petugas yang berperspektif jender (3 RS). Ada 3 RS yang juga menyatakan mempunyai alokasi dana dari sumber lain (misalnya pemerintah daerah, lembaga donor, atau iuran pribadi) untuk penanganan kasus-kasus KTP ini.
Dalam menangani kasus KTP ini, RS juga menjalin kerja sama dengan berbagai lembaga lain yang sudah dilandasi dengan perjanjian kerja sama, seperti OP dan lembaga pemerintah. Kerja sama secara informal juga terjadi karena memang sudah ada jaringan kerja sama antara sesama rumah sakit (berjaringan). Fasilitas dan pelayanan rumah sakit serta dukungan dari pemerintah maupun dari pihak lain tidak menjamin lancarnya penanganan kasus KTP di rumah sakit. Sejumlah hambatan diidentifikasi oleh pihak rumah sakit, yaitu: keterbatasan dana, tenaga dan fasilitas lain khusus yang dialokasikan untuk menangani kasus ini. Rumah sakit juga menyatakan adanya hambatan dari pihak korban karena terlambat datang atau melaporkan kasusnya dan kurangnya pengalaman dalam menangani kasus-kasus KTP dari tenaga profesional yang ada. Hambatan lain datang dari perangkat adat/desa, yang banyak juga menyelesaikan kasus dengan cara damai karena takut desanya tercoreng atau belum tersosialisasinya prosedur pelaporan dan penangana kasus KTP. Sehubungan dengan UU PKDRT, 6 RS menyatakan sudah mengetahui adanya undangundang tersebut dan 1 RS menyatakan sudah melakukan sosialisasi ke masyarakat bekerja sama dengan OP setempat. Dalam hal ini ada juga 5 RS yang sudah menerapkan UU PKDRT dalam melakukan pelayanan terpadu, sedangkan 1 RS menyatakan menginformasikan adanya UU PKDRT kepada korban dan menyerahkan keputusan kepada korban tentang jalur hukum yang akan ditempuh untuk kasusnya. Dalam hal ini dapat dikatakan rumah sakit-rumah sakit yang 18
tidak menjalankan pelayanan terpadu belum secara sistematis/prosedural menerapkan UU PKDRT. Diakui pula bahwa ada sejumlah hambatan dalam penerapan undang-undang ini, di antaranya: aparat hukum dan masyarakat masih belum memahami UU PKDRT, masalah KDRT masih dianggap aib keluarga, sebagian besar kasus diselesaikan dengan upaya damai. Selain UU PKDRT, rumah sakit yang menjalankan penanganan terpadu juga mendampingi korban dalam proses litigasi dengan menggunakan undang-undang lain, seperti KUHP dan UU Perlindungan Anak. Lembaga Penegak Hukum
Respon lembaga-lembaga penegak hukum – dalam hal ini kepolisian, kejaksaan dan pengadilan – dapat dilihat dari partisipasinya dalam penyususnan catatan tahunan pada tahun 2005 ini. Ada 163 (70,9%) dari seluruh respon yang masuk ke Komnas Perempuan. Memberikan respon dengan mengisi kuesioner yang dikirim oleh Komnas Perempuan merupakan merupakan indikasi kerja sama yang sungguh nyata karena lembaga-lembaga penegak hukum dengan keunikan masing-masing perlu mengusahakan penyesuaian yang tidak sedikit (khususnya dalam rangka kategorisasi KTP).
Kepolisian: Ruang Pelayanan Khusus (RPK)
Tahun ini RPK mencatat kasus KDRT/RP sebanyak 654 kasus, komunitas 590 kasus, dan negara 23 kasus. Dalam penanganan kasus, RPK banyak bekerja sama dengan lembaga pemerintah (lokal) dan organisasi perempuan, serta rumah sakit. Dalam menangani kasus KTP Jumlah Kasus per Kategori ini, RPK menyediakan fasilitas penangan seperti (Sumber Data: RPK) ruang konseling, ruang pemerikasaan medis, line Komunitas , 590 telpon khusus pengaduan, rumah aman. Bersama dengan fasilitas ini sejumlah saranya disiapkan pula, misalnya tim konselor, tim medis, tim hukum, dan petugas yang sudah sensitif jender. RPK juga melakukan pendampingan korban dalam proses litigasi. Dari 35 RPK yang menangai proses litigasi, ada 39 kasus yang diproses dengan UU PKDRT, 45 kasus menggunakan UU Perlindungan Anak, 4 kasus dengan UU Perkawinan, 3 kasus dengan UU Penghapusan Diskriminasi terhadap perempuan (UU No. 7 tahun 1984), 2 kasus dengan UU Penempatan dan Perlindungan Tenaga kerja Luar Negeri (UU No. 39 tahun 2004). KDRT/RP, 654
Negara, 23
Khusus mengenai UU PKDRT, ada 46 RPK menyatakan sudah mengetahui adanya UU PKDRT, dan 4 RPK yang sudah melakukan sosialisasi ke masyarakat maupun kepada jajaran kepolisian sendiri). Dan secara nyata 42 RPK menyatakan sudah menerapkan UU PKDRT dalam menangani kasusnya. Namun demikian, dalam penerapannya ada sejumlah kendala yang dikemukakann oleh RPK di antaranya: adanya kendala dalam pembuktian visum (tidak ada visum), laporan dicabut kembali oleh korban karena adanya ketergantungan ekonomi, keterbatasan definisi khususnya tentang penelantaran ekonomi dan kekerasan psikis (kurang dijelaskan dalam UU PDKRT), JPU tetap minta saksi pendukung meskipin sudah ada saksi korban dan visum, kesulitan minta ijin perlindungan dari pengadilan, tidak ada rumah aman, kurangnya saksi, dan masih ada yang menganggap kasus KDRT merupakan aib keluarga. Secara umum, RPK menyatakan sejumlah kendala dalam menangani kasus KTP ini, yaitu: ditengarai masih kurangnya lembaga (lain) yang peduli terhadap kasus KTP, kurang jelasnya
19
pasal-pasal dalam UU PKDRT, korban masih anak-anak sehingga sulit diajak berkomunikasi, korban mengalami depresi atau cacat mental sehingga tidak dapat diajak bicara, keengganan korban meneruskan kasusnya karena adanya relasi personal antara korban dan pelaku, saksi pendukung takut dianggap mencampuri urusan rumah tangga orang lain. Di samping itu, diakui pula adanya keterbatasan jumlah polwan dan/atau personil lain di RPK yang menangani kasus KTP, tidak ada MoU untuk kerja sama dengan lembaga lain yang diperlukan dalam penanganan KTP, tidak adanya undang-undang yang mengatur tentang hamil di luar nikah, tidak ada data yang sama dari lembaga-lembaga sejenis (misalnya LBH), kurangnya fasilitas dan dukungan pendanaan untuk menangani kasus KTP.
Kejaksaan Jumlah Kasus per Kategori (Sumber Data: Kejaksaan)
Komunitas , 335
Data dari kejaksaan di 27 provinsi diperoleh lewat gender focal point Kejaksaan Tinggi di tingkat pusat. Dua kategori besar kasus KTP yang dicatat kejaksaan dalam tahun 2005: Komunitas (335 kasus) dan KDRT/RP (152 kasus). Secara umum, kejaksaan mempunyai sejumlah sarana untuk menangani KTP, seperti tim hukum, dan hakim atau/dan jaksa perempuan yang sudah sensitif jender. Kejaksaan juga mengalokasikan dana secara rutin untuk menangani kasus KTP ini. Dalam hal ini terlihat adanya dukungan nyata lembaga dengan adanya alokasi dana rutin tersebut.
KDRT/RP, 152
Dalam proses litigasi, kejaksaan tinggi menggunakan UU PKDRT, KUHP, dan UU Perlindungan Anak. Secara khusus kejaksaan tinggi mengindikasikan adanya kelemahan dalam UU PKDRT, yaitu ancaman hukuman alternatif berupa kurungan atau denda, ancaman hukuman terlalu ringan untuk kasus tindak kejahatan/kekerasan yang berencana dan kasus yang korbannya meninggal, kekerasan seksual dan psikis yang dilakukan suami terhadap isteri masih merupakan delik aduan.
Pengadilan Negeri (PN)
Jumlah Kasus per Kategori (Sumber Data: PN)
KDRT/RP, 121 Komunitas , 193
Lain, 44
Sepanjang tahun 2005, Pengadilan Negeri mencatat kasus KTP yang dikategorisasikan ke dalam: KDRT/RP sejumlah 121 kasus, komunitas sebanyak 193, negara 1 kasus, dan kategori lain-lain sejumlah 44 kasus. Dalam hal penanganan kasus, ada beberapa sarana (dan fasilitas) yang disediakan oleh Pengadilan Negeri: 4 PN menyediakan tim hukum, 1 PN mempunyai rumah aman, 13 PN menyediakan hakim/jaksa yang sudah sensitif jender. Dalam hal pendanaan untuk penanganan kasus, pengadilan negeri mengusahannya dari sumber dana lain.
Negara, 1
Secara umum, paling banyak kasus diproses (litigasi) dengan KUHP ( 34 kasus), UU Perlindungan Anak (9 kasus), UU PKDRT (5 kasus), dan 2 kasus ditangani dengan UU Perkawinan (UU No. 1 tahun 1974). Untuk proses pengadilan sendiri, ada 90 kasus yang diputus dengan KUHP, 43 kasus diputus dengan UU
20
Perlindingan Anak, 14 kasus menggunakan UU PKDRT, dan 1 kasus dengan UU Perkawinan (UU No. 1 tahun 1974). Satu Pengadilan Negeri menyebutkan hambatan dalam penanganan kasus KTP adalah adanya keraguan korban melanjutkan proses perceraian (takut akan kehancuran keluarga), dan ada pengadilan negeri yang hanya menunggu (datangnya) kasus (KTP) dari kejaksaan. Secara umum, pengadilan negeri juga menyatakan belum ada kerja sama dengan lembaga lain dalam hal penanganan kasus KTP.
Pengadilan Agama (PA)
Semua kasus KTP yang ditangani oleh pengadilan agama dikategorikan ke dalam KDRT/RP, yaitu sejumlah 10.810. Kasus-kasus ini mencakup: kekerasan terhadap isteri (KTI) sejumlah 4.540, KDRT/RP sebesar 6.274 (klasifikasi ini termasuk kekerasan yang dilakukan dalam relasi personal, seperti kekerasan oleh mantan suami, mertua, ipar, saudara/famili, pacar, suami belum/tidak sah), dan kekerasan terhadap anak (KTA) sejumlah 3 kasus. Pengadilan agama mencatat kasus cerai talak yang cukup tinggi pada tahun 2005 ini, yaitu sejumlah 2.499 yang dimasukkan ke dalam klasifikasi KTI. Dalam hal cerai talak ini pengadilan agama memasukkannya ke dalam KTP dengan memberikan penegasan yang termuat dalam Kutipan Akta Nikah sebagai berikut: (talak terjadi jika sewaktu-waktu saya) 1. meninggalkan isteri saya dua tahun berturut-turut; 2. atau saya tidak memberi nafkah wajib kepadanya tiga bulan lamanya; 3. atau saya menyakiti badan/jasmani isteri saya; 4. atau saya membiarkan tidak memperdulikan isteri saya enam bulan lamanya, kemudian isteri saya tidak ridha dan mengadukan halnya kepada Pengadilan Agama dan pengaduannya dibenarkan serta diterima pengadilan tersebut, dan isteri saya membayar uang sebesar Rp. 10.000 (sepuluh ribu rupiah) sebagai iwadl (pengganti) kepada saya maka jatuhlah talak saya satu kepadanya. Dalam menangani kasus, pengadilan agama menyediakan sarana dan fasilitas seperti tim konselor (2 PA), tim hukum (11 PA), hakim/jaksa yang berperspektif jender, ruang khusus konseling (4 PA), line telpon (1 PA). Namun demikian diakui oleh pengadilan agama bahwa sarana dan prasarana (khususnya berkaitan dengan ruang sidang dan perlengkapannya) masih kurang memadai sehingga mengganggu proses persidangan maupun penyelesaian kasus. Hambatan lain yang dirasakan dalam hal penanganan kasus adalah karena penggugat tidak cukup bukti dan saksi karena saksi menghilang, tergugat tidak bersedia hadir, dan tidak jarang korban dan petugas mendapat ancaman. Berkaitan dengan masalah pendanaan, ada 8 pengadilan agama yang mengalokasikan secara rutin dana untuk penanganan kasus dan 1 PA yang mengusahakan dana dari sumber lain. Dalam hal in, pengadilan agama mengakui perlunya ada penambahan alokasi dana khusus dari pemerintah daerah untuk perbaikan sarana dan prasarana persidangan. Untuk proses litigasi, pengadilan agama menggunakan UU Perkawinan (no. 1 tahun 1974), UU Perlindungan Anak, UU PKDRT (1 kasus), dan KUHP (1 kasus). Sedangkan berkaitan dengan keputusan pengadilan menyangkut KTP ini, ada 90 kasus yang diputus dengan KUHP, 43 kasus menggunakan UU Perlindungan Anak, 14 kasus dengan UU PKDRT, dan 1 kasus dengan UU Perkawinan.
21
Komnas Perempuan
Komnas Perempuan, atau Komisi Nasional Anti Kekerasan terhadap Perempuan, bukanlah lembaga pemberi layanan ataupun lembaga penegak hukum, melainkan sebuah komisi independen yang didirikan berdasarkan surat Keputusan Presiden untuk menciptakan kondisi yang kondusif bagi penghapusan segala bentuk kekerasan dan penegakan HAM perempuan. Komnas Perempuan tidak menangani kasus-kasus KTP yang terjadi perorangan, melainkan fokus pada permasalahan KTP yang terjadi secara sistemik, tersebar luas dan mencakup harkat perempuan sebagai suatu komunitas khusus.
Jumlah Kasus per Kategori (Sumber Data: KP)
KDRT/RP, 494
Sepanjang tahun 2005, Komnas Perempuan menerima pengaduan sebanyak 595 kasus kekerasan terhadap perempuan dari 20 provinsi. Pengaduan ini dilakukan lewat telpon (425 kasus), surat (73 kasus), dan datang langsung (94 kasus). Dan kasuskasus KTP mencakup KDRT/RP (494 kasus), kekerasan komunitas (100 kasus) dan kekerasan negara (1 kasus).
Untuk pelaku KDRT yang dilaporkan terdiri dari suami, mantan suami, pacar, ayah kandung, kakak kandung, mertua laki-laki dan majikan. Komunitas Pelaku kekerasan komunitas terdiri dari tetangga, , 100 Negara, 1 guru dan pihak-pihak dari daerah konflik. Sedangkan kekerasan negara mencakup kekerasan yang pelakunya aparat negara. Usia pelaku yang paling banyak adalah 25 – 40 tahun dan usia terendah pelaku adalah usia antara 13 – 18 tahun. Sehubungan dengan tingkat pendidikan pelaku yang paling banyak mereka yang berpendidikan sampai perguruan tinggi dan yang sedikit pelaku tidak tamat SD. Data tentang pekerjaan pelaku menunjukkan pegawai swasta yang paling banyak melakukan KTP, dan diikuti dengan kelompok wirausaha dan PNS serta TNI/POLRI. Seperti dijelaskan terdahulu, korban KTP tidak mengenal usia karena semua kelompok usia bisa menjadi korban: paling banyak di kelompok usia 25 – 40 tahun dan paling sedikit kelompok usia 6 – 12 tahun. Data tentang tingkat pendidikan menunjukkan korban terbanyak berpendidikan perguruan tinggi dan terendah mereka yang tidak tamat SD. Sehubungan dengan pekerjaan korban yang tertinggi adalah mereka yang bekerja sebagai ibu rumah tangga disusul oleh pegawai swasta dan yang terendah mereka yang tidak bekerja. Selain pengaduan kasus-kasus KTP tersebut, Komnas Perempuan juga menerima pengaduan kasus KTP yang berdampak politis, yaitu pengaduan kekerasan yang dialami perempuan terkait dengan konflik di Poso, perempuan petani yang mempertahankan lahannya di Siantar, Sumatera Utara dan perempuan adat yang melawan penambangan marmer di NTT. Oleh karena jumlah pengaduan yang masuk ke Komnas Perempuan semakin meningkat dari tahun ke tahun, dan mandat Komnas Perempuan tidak menangani kasus, maka pada tahun 2005 dibentuk Unit Pengaduan dan Rujukan. Unit ini berperan untuk merujuk pengaduan kepada lembaga layanan yang dibutuhkan oleh korban, yaitu OP yang memberikan layanan konseling dan bantuan hukum, RPK, pusat layanan korban di Rumah Sakit maupun komisi HAM yang lain. Khusus untuk pengaduan kasus KTP yang berdampak politis, Komnas Perempuan meresponnya dengan cara melakukan fact finding dan mengembangkan simpul pemantau di wilayah tempat kekerasan terjadi.
22
Selain menerima pengaduan kasus KTP yang berbasis jender, Komnas Perempuan juga menerima 17 pengaduan kasus yang tidak berbasis jender. Kasus-kasus tersebut berupa kasus PHK, penolakan kerja karena cacat, permohonan untuk diperiksa sebagai saksi, permintaan dukungan untuk tidak memilih salah satu calon bupati, permintaan untuk membebaskan kasus tersangka pembunuhan, pengusiran mahasiswa dari asrama, yang pada kasus-kasus tersebut tidak terdapat unsur penyerangan atau penelantaran yang berbasis jender. Pemulihan Korban Pelanggaran HAM Masyarakat Colol, Manggarai
Peristiwa “Ruteng Berdarah, Tragedi 10 Maret 2003” menorehkan luka mendalam bagi petani kopi Colol, Manggarai, termasuk petani perempuan8. Konflik masalah tanah adat antara petani kopi dengan Pemerintah Kabupaten Manggarai mendorong peristiwa berdarah itu terjadi. Dampak dari tewasnya petani karena bentrokan dengan aparat kepolisian tidak hanya berupa hilangnya nyawa, tetapi isteri dan anak-anak para korban menjadi menderita berkepanjangan dalam upaya mereka mempertahankan kelangsungan hidup diri dan keluarganya. Sejak terjadinya peristiwa di tahun 2003 hingga Mei 2005, kasus Colol belum tertangani secara tuntas. Para korban kasus Ruteng berdarah yang terluka belum mendapatkan pengobatan yang memadai sehingga mereka tidak mampu bekerja untuk mempertahankan hidup keluarganya. Perempuan terpaksa alih kerja, semula bekerja di kebun kopi, sekarang mereka tidak mempunyai tanah. Mereka mencoba beternak babi, ayam dan kambing, kerajinan membuat tikar, serta bertanam sayuran di tanah sekitar rumah (uma). Komunitas agama dan organisasi-organisasi perempuan di Manggarai terus mendampingi para perempuan korban untuk melakukan upaya bersama. Namun karena belum biasa mencari penghasilan di luar berkebun kopi dan menjual kopi, maka tidak mudah untuk mengajak kaum perempuan Colol untuk memasuki bidang kerja baru, seperti industri rumahan dan berternak. Berkat dorongan jaringan organisasi perempuan Manggarai, Biro Pemberdayaan Perempuan mulai mengadakan pelatihan peternakan lebah bagi para perempuan korban. Sayangnya, hal ini belum berjalan lancar karena masyarakat Colol tidak terbiasa dengan kerja selain bertani kopi. Pemulihan yang dibutuhkan sesungguhnya masyarakat mencakup: pemberdayaan ekonomi, pendidikan luar sekolah bagi anak-anak yang putus sekolah, pelayanan kesehatan untuk korban terluka dan kesehatan masyarakat, pelayanan konseling dan penyembuhan trauma. Selama tahun 2005, upaya pemulihan yang dilakukan oleh pemda setempat masih terbatas pada pemulihan ekonomi, yaitu melalui usaha ternak dan home industri. Ketika dikunjungi oleh Komnas Perempuan, DPRD Kabupaten Manggarai, khususnya Komisi A dan D, berjanji akan mengalokasikan dana APBD khusus untuk pemulihan masyarakat Colol yang pokon kopinya ditebang. Namun, sampai saat ini, belum ada realisasi dari janji ini. Masyarakat Buyat, Sulawesi Utara
Pencemaran logam berat akibat pembuangan limbah di Kecamatan Ratatotok, Kabupaten Minahasa Selatan, telah mengakibatkan warga – khususnya para perempuan nelayan pencari nener di wilayah teluk Buyat – mengalami gangguan kesehatan, mulai dari gatal-gatal, kanker sampai keracunan arsenik. Hingga saat ini, belum ada penyelesaian tuntas dan komprehensif 8
Lihat Catatan Tahunan Komnas Perempuan 2005.
23
yang dapat memulihkan kembali kehidupan masyarakat Buyat yang terkena pencemaran, selain apa yang diupayakan oleh warga sendiri dengan dukungan organisasi masyarakat. Warga Buyat, melalui kantor Menteri Negara Lingkungan Hidup, menggugat PT Newmont Minahasa Raya berdasarkan tiga kerugian hidup: lingkungan, sosial ekonomi dan masyarakat, dan kesehatan. Gugatan tersebut dikalahkan oleh Pengadilan Negeri Jakarta Selatan, dengan alasan bahwa Menteri Negara Lingkungan Hidup tidak memiliki hak untuk menggugat PT Newmont karena kontrak karyanya ditandatangani sendiri oleh Pemerintah RI. Dengan demikian, warga Buyat tidak mendapatkan pengakuan kesalahan dan reparasi dari PT Newmont, sebagaimana yang mereka harapkan. Warga Buyat sendiri, dengan bantuan oleh Komite Kemanusiaan Teluk Buyat (KKTB), berinisiatif membeli tanah seluas lima hektar di Duminang, Kabupaten Bolaang Mongondow, Sulawesi Utara. Tanah ini dimaksudkan sebagai daerah relokasi bagi 68 warga yang tidak bisa lagi hidup dari daerah tercemar di Buyat Pante. Tetapi, penjabat Gubernur Sulawesi Utara, Lucky H. Korah, menyatakan tidak setuju dengan upaya ini, dengan alasan karena lokasinya dianggap terlalu jauh dan tidak layak huni dan langkah warga ini dianggap mengacaukan program pemerintah karena dilakukan secara sepihak tanpa koordinasi dengan pemerintah lokal. Pihak pemerintah daerah kemudian menyiapkan dana sebesar 8 milyar rupiah dan tanah seluas 10 hektar di Minahasa yang dianggap lebih layak huni, walaupun warga Buyat Pante tidak ada yang menempatinya. Sedangkan upaya pemulihan kesehatan dan pemberian bantuan obat-obatan bagi warga Buyat Pante yang tercemar limbah, khususnya kaum perempuan, dilakukan oleh sebuah organisasi masyarakat internasional bekerja sama dengan KKTB. T E RO B O S A N
Pada tahun 2005, terdapat delapan produk kebijakan di tingkat daerah dan nasional yang dapat dikatakan sebagai terobosan signifikan dalam upaya menghapuskan kekerasan terhadap perempuan dan penegakan hak perempuan. Terobosan kebijakan ini berkaitan dengan perlindungan hukum bagi korban kekerasan, pemberian layanan terpadu bagi pemulihan korban, dan penanganan perkara perdagangan perempuan. Dua propinsi di mana terobosan kebijakan ini terjadi adalah Bengkulu dan Jawa Timur. Di Bengkulu, tampak terbangun persamaan persepsi antara beberapa penentu kebijakan di Kabupaten Bengkulu Selatan dan Kabupaten Bengkulu Utara. Bupati Bengkulu Selatan dan Kepala Desa di Kabupaten Bengkulu Utara telah sama-sama mengambil langkah maju dalam penanganan masalah kekerasan terhadap perempuan. Bupati Bengkulu Selatan telah mengeluarkan Surat Keputusan tentang pembentukan Tim Penanganan Terpadu bagi perempuan dan anak korban kekerasan. SK Bupati ini mencakup: 1. pembentukan tim penanganan yang terdiri dari unsur dinas/instansi/unit kerja yang terkait serta organisasi dan LSM yang peduli perempuan dan anak 2. penentuan komposisi tim yang terdiri dari tim pengarah, tim teknis dan kelompok kerja bidang pencegahan, penanganan dan pemulihan, serta bidang pendidikan dan advokasi. 3. pengaturan tugas dari masing-masing tim: Tim Pengarah: mengkoordinir perencanaan, pelaksanaan, pemantauan dan evaluasi seluruh program dan kebijakan yang terkait penanganan Tim Teknis: mengkoordinir kegiatan teknis di masing-masing kelompok kerja
24
Kelompok Pencegahan: mengembangkan sistem informasi untuk Kekerasan Terhadap Perempuan dan Anak (KTPA), mensosialisasikan isu KTPA dan Pusat Pelayanan Terpadu (PPT) di jajaran masing-masing, membuat perencanaan, pelaksanaan, monitoring dan evaluasi terhadap upaya pencegahan KTP Kelompok Kerja Bidang Penanganan dan Pemulihan: memfasilitasi layanan terpadu, SDM, rumah aman dan panduan pedoman standar dan prosedur layanan terpadu; Kelompok Kerja Bidang Pendidikan dan Advokasi: mengadvokasi anggaran untuk penanganan, pelatihan-pelatihan penunjang dan perencanaan pelaksanaan program kerja bidang pendidikan dan advokasi. 4. keputusan pembiayaan yang timbul akibat ditetapkannya keputusan ini dibebankan kepada APBD Kabupaten Bengkulu Selatan dan anggaran dari masing-masing dinas/instansi dan organisasi terkait.
Desa Sido Urip, Kecamatan Kota Argamakmur, Kabupaten Bengkulu Utara, mengeluarkan sebuah Peraturan Desa tentang perlindungan hukum bagi korban kekerasan dan sebuah SK Kepala Desa tentang alur penyelesaian kasus kekerasan yang terjadi di wilayah desanya. Peraturan Desa Sido Urip No. 1/2005 menyatakan: 1. larangan bagi setiap orang untuk melakukan kekerasan dalam lingkup wilayah Desa Sido Urip, berupa kekerasan fisik, psikologis, seksual dan penelantaran rumah tangga (pasal 4). 2. pengaturan hak-hak korban terkait layanan medis, dampingan lembaga sosial, tokoh masyarakat dan lembaga bantuan hukum, pelayanan bimbingan rohani untuk pemulihan psikologis korban oleh tokoh masyarakat (pasal 9). 3. kewajiban kepala desa dan BPD untuk memberikan perlindungan dalam waktu 1 X 24 jam sejak menerima laporan (pasal 10). 4. kewajiban pemerintah desa dan BPD untuk menginformasikan hak korban atas layanan dan pendampingan dan penyelidikan (pasal 11 & 12) 5. selain denda dan diserahkan kepada polisi pelaku dikenai sangsi sosial berupa tidak boleh mencalonkan diri menjadi atau menjabat sebagai perangkat desa dan jajarannya maupun pejabat sebagai ketua atau pimpinan kelompok atau organisasi kelembagaan yang berada di wilayah desa Sido Urip (pasal 17). Sedangkan SK Kepala Desa Sido Urip No. 2/2005 tentang alur penyelesaian kasus kekerasan mengatur hal-hal sbb.: 1. hak setiap pihak/keluarga yang mengalami tindak kekerasan untuk melapor sebagai korban kepada masyarakat, majelis taklim, ketua lingkungan atau tokoh masyarakat, BPD dan perangkat desa 2. kewajiban setiap warga meneruskan laporan tentang kekerasan terhadap perempuan dan anak kepada kepala desa 3. hak korban/pelaku menunjuk warga lain untuk jadi juru bicara sekaligus pembela. (Pasal 3) 4. peran masing-masing perangkat desa, tokoh masyarakat/agama, terdakwa dan pembela dalam persidangan musyawarah desa untuk penanganan kasus (pasal 4). Di Jawa Timur, DPRD Tingkat I telah mengeluarkan Perda No. 9/2005 tentang penyelenggaraan perlindungan perempuan dan anak korban kekerasan yang menyatakan bahwa:
25
1. korban berhak untuk mendapatkan perlindungan, informasi, pelayanan terpadu, penanganan berkelanjutan sampai tahap rehabilitasi dan penanganan secara rahasia baik dari individu, kelompok/lembaga pemerintah provinsi maupun non pemerintah. (pasal 4) 2. kewajiban dan tanggung jawab pemerintah provinsi adalah untuk mengumpulkan informasi tentang data kekerasan, melakukan sosialisasi peraturan terkait perlindungan korban, melakukan pemantauan, menyelenggarakan layanan terpadu untuk korban dengan melibatkan unsur masyarakat dan melakukan evaluasi terhadap penyelenggaraan perlindungan korban kekerasan (pasal 8) 3. bentuk layanan berupa medis, medicolegal, psikososial, hukum dan kemandirian ekonomi, termasuk pelatihan keterampilan dan memberi akses ekonomi (pasal 9) 4. prinsip layanan adalah cuma-cuma, cepat, aman, empati dan non diskrimininasi, mudah dijangkau dan menjamin kerahasiahan (pasal 10) 5. pemberian sanksi bagi setiap orang yang tidak memberikan perlindungan, pejabat yang tidak melaksanakan kewajiban penyelenggaraan perlindungan dan pengelola layanan yang melanggar prinsip-prinsip layanan. Indikasi dari daerah lain menunjukkan bahwa perkembangan positif seperti ini masih akan terus berkembang. Di Jawa Tengah, misalnya, masyarakat setempat tengah aktif mendorong lahirnya kebijakan-kebijakan lokal tentang penanganan kekerasan terhadap perempuan dan anak. Substansi dari usulan kebijakan ini umumnya menyangkut penyediaan layanan terpadu bagi perempuan dan anak korban kekerasan dan pengaturan sanksi bagi pejabat yang tidak melaksanakan kewajiban penyelenggaraan perlindungan. Proses ini sedang terjadi di 8 kabupaten, yaitu Karanganyar, Sragen, Wonogiri, Klaten, Boyolali, Surakarta dan Sukoharjo. Di tingkat nasional, Kejaksaan Agung RI telah mengeluarkan dua Surat Edaran yang dibuat untuk meningkatkan kapasitas penegak hukum dalam menangani kasus-kasus perdagangan perempuan. Secara spesifik: 1. Surat Edaran Kejaksaan Agung Nomor B-185/E/Ejp/03/2005 perihal pola penanganan perkara tindak pidana perdagangan orang dan permintaan data, yang berisi: himbauan bahwa (1) untuk menuntut pelaku tindak pidana perdagangan orang dapat menggunakan pasal-pasal yang ada – misalnya, KUHP, UU Perlindungan Anak – dengan melihat modus operandi yang dilakukan pelaku, sedangkan untuk mengidentifikasi dan menganalisisnya, merujuk pada definisi menurut konvensi internasional; (2) agar koordinasi dan keterpaduan penyidik diintensifkan untuk mengarah pada penyilidikan yang dapat menyajikan segala data dan fakta yang diperlukan pada tahap tuntutan; (3) perkara-perkara yang berkaitan dengan perdagangan orang termasuk perkara penting, yang cara penanganan dan penyelesaiannya harus dilaksanakan sesuai Instruksi Jaksa Agung R.I Nomor Ins/004/JA/3/1994, surat Jaksa Agung Muda Tindak Pidana Umum nomor: R16/E/3/1994 dan Nomor: R-05/E/Es/1995. sosialisasi bahwa Pemerintah RI telah menandatangani Konvensi PBB Mengenai Kejahatan Transnasional yang terorganisir (United Nations Convention Against Transnasional Organised Crime) pada Desember 2000, serta adanya 3 protokol tambahan yang menyertai konvenan tersebut, dan pemerintah RI menandatanganai dua diantaranya yaitu; protokol to prevent, suppress and punish trafficking in person, especially woman and children; dan protocol against the struggling of migrants by lands, sea and air.
26
2. Surat Edaran Kejaksaan Agung Nomor B-62/E/Ejp/02/2006 perihal penerapan pasal 297 KUHP dalam kasus perdagangan perempuan, yang berisi: anjuran penafsiran yang sama terhadap pasal 297 KUHP yang pada prinsipnya bahwa memperniagakan/memperdagangkan perempuan yang tersebut pada pasal itu, tidak termasuk yang harus dipersyaratkan apakah perempuan itu sudah dewasa, masih gadis, atau sudah pernah menikah. Terobosan ini merupakan jawaban atas silang pendapat dan kontorvesial atas praktek penegakan hukum untuk tindak pidana perdagangan perempuan yang korbannya sudah berusia dewasa. anjuran menggunakan pasal 297 KUHP dengan penafsiran tersebut dalam rangka membangun kesamaan pendapat, persepsi dan sikap dalam kebijakan penuntutan sambil menunggu dibentuknya undang-undang khusus tentang perdagangan orang anjuran dalam proses penanganan sebagai perkara penting. TA N TA N G AN
Tantangan terbesar bagi upaya penghapusan kekerasan terhadap perempuan setahun ke depan ini menyangkut: (1) perangkat pelaksanaan UU No. 23/2004 tentang Penghapusan KDRT, dan (2) pembatasan kedaulatan perempuan akibat meningkatnya fundamentalisme agama. Perangkat Pelaksanaan UU P KDRT
Pada peringatan satu tahun disahkannya UU No. 23/2004 tentang Penghapusan Kekerasan Dalam Rumah Tangga, Komnas Perempuan menyimpulkan bahwa9: 1. Kendati ada niat baik dari para penegak hukum untuk menggunakan UU baru ini dalam penanganan kasus-kasus kekerasan dalam rumah tangga, masih terlalu banyak perbedaan persepsi antar penegak hukum sendiri yang mengakibatkan terhambatnya penerapan UU ini. Perbedaan persepsi ini menyangkut pemahaman tentang bentukbentuk kekerasan dan elemen-elemennya, cakupan ‘rumah tangga’, peran dan kualifikasi pendamping korban, peran pemerintah, hak pelaporan oleh komunitas serta pengelolaan dana denda yang harus dibayarkan pelaku. 2. Payung kebijakan di bawah UU, seperti peraturan-peraturan pelaksanaan dan alokasi anggaran negara, masih jauh dari memadai sehingga mempersulit penanganan yang sesuai dengan apa yang dimandatkan dalam UU No. 23/2004 ini. Hal ini terutama terjadi pada tahap awal penanganan, yang melibatkan polisi, lembaga layanan kesehatan dan pendamping korban. 3. Kendala budaya masih sangat besar bagi para perempuan korban KDRT untuk menjalankan proses hukum sampai tuntas, sehingga banyak perkara yang ditarik kembali setelah mulai diproses oleh polisi. Akibatnya, prosentase perkara KDRT yang sampai ke meja persidangan sangat kecil dibandingkan total kasus KDRT yang terjadi di masyarakat. Kesimpulan ini diperoleh berdasarkan sebuah proses konsultasi dengan penegak hukum di lingkungan DKI Jakarta pada tanggal 24 November 2005. 9
Simak Pernyataan Pers Komnas Perempuan dalam rangka Hari Internasional Anti Kekerasan terhadap Perempuan, 24 November 2005.
27
Mengingat besarnya jumlah kasus KDRT yang dialami oleh perempuan dan anak Indonesia, jelaslah bahwa tantangan terbesar pada tahun 2006 ini adalah bagi pemerintah untuk segera menciptakan perangkat pelaksanaan UU P KDRT yang efektif. Salah satu bagian yang tak terpisahkan dari perangkat pelaksanaan UU P KDRT adalah adanya database nasional yang akurat dan komprehensif tentang KDRT dan bentuk-bentuk kekerasan lainnya yang dialami perempuan Indonesia. Sampai saat ini masih belum ada kebijakan khusus untuk membangun database nasional secara sistematis, khususnya di lingkungan instansi pemerintahan. Inisiatif Komnas Perempuan untuk mengkompilasi data nasional dari lembaga-lembaga pemberi layanan bagi perempuan korban kekerasan sering mengalami kendala akibat tidak adanya kebijakan yagn mendukung. Tanpa kerangka kebijakan yang kondusif, inisiatif Komnas Perempuan pun akan terancam keberlanjutannya. Secara tak terduga, data tentang kekerasan terhadap perempuan tahun 2005 yang terbesar berasal dari pengadilan-pengadilan agama di berbagai daerah Indonesia. Sebanyak 65% dari kasus KDRT yang tercatat pada tahun 2005 terkait dengan kasus cerai yang sedang ditangani dalam sistem peradilan agama. Alasan perceraian yang diajukan oleh pihak istri umumnya berlatar belakang kekerasan terhadap perempuan, sebagaimana didefinisikan dalam UU P KDRT. Padahal, jurisdiksi UU P KDRT tidak mencakup pengadilan agama. Ini merupakan kekosongan hukum yang masih membutuhkan kajian dan penanganan khusus. Kasus pembunuhan yang dilakukan oleh seorang mantan suami terhadap mantan istrinya, di tengah persidangan tentang pembagian harta gono-gini di Sidoarjo, menunjukkan bahwa RUU Perlindungan Saksi yang kini sedang dibahas di DPR RI sudah sangat mendesak untuk diberlakukan. Selain penting untuk melindungi para pelapor kasus-kasus korupsi dan pelanggaran HAM berat, UU ini juga jelas dibutuhkan oleh perempuan yang sedang menggugat pelaku kekerasan ke meja hijau. Fundamentalisme Agama
Adanya minimal 16 produk kebijakan di tingkat daerah dan nasional yang merupakan pembatasan terhadap kedaulatan perempuan berpotensi menjadi sumber-sumber baru bagi tindak kekerasan terhadap perempuan. Jika dibandingkan dengan 6 produk kebijakan baru di tingkat daerah dan nasional yang mendukung penangangan kekerasan terhadap perempuan, maka arah perkembangan masih lebih banyak merugikan perempuan. Produk-produk kebijakan yang membatasi kedaulatan perempuan merupakan bagian yang tak terpisahkan dari produk-produk kebijakan lain yang bertentangan dengan asas keberagaman dalam kehidupan berbangsa dan bernegara. Fakta memang menunjukkan bahwa korban pertama dari konservatisme dan fundamentalisme agama adalah perempuan. RE K O M E N DA SI
Berkaitan dengan penanganan bentuk kekerasan terhadap perempuan yang terbesar, yaitu KDRT: 1. Pimpinan Kepolisian, Kejaksaan Agung, Mahkamah Agung RI, bekerjasama dengan Kementrian Pemberdayaan Perempuan, Departemen Hukum dan HAM dan organisasiorganisasi pendamping perempuan korban kekerasan, segera menyepakati dan mengeluarkan segala peraturan pelaksanaan yang diperlukan untuk memastikan pelaksanaan UU secara tepat sasaran dan mengatasi kevakuman hukum terhadap kasuskasus KDRT yang melatarbelakangi perkara cerai di Pengadilan Agama. 28
2. Menteri Pemberdayaan Perempuan segera mencari terobosan-terobosan baru yang inovatif untuk mendorong terrealisasinya koordinasi lintas sektoral antar lembagalembaga terkait (penegak hukum, kesehatan, kesejahteraan sosial, lembaga pendamping) serta koordinasi dengan jajaran pemerintahan daerah, termasuk untuk mengembangkan database nasional tentang kekerasan terhadap perempuan dan penanganannya. 3. DPR RI melengkapi perangkat peraturan-perundangan yang melindungi perempuan korban kekerasan dengan segera mengesahkan RUU Perlindungan Saksi, yang secara substansi, peka terhadap ketimpangan jender dan kerentanan perempuan. 4. Tokoh-tokoh masyarakat, khususnya para pemimpin agama, ikut mendukung para perempuan korban KDRT untuk mendapatkan perlindungan hukum melalui UU ini, sehingga keluarga bangsa Indonesia dapat hidup dalam kesejahteraan dan kedamaian, bebas dari kekerasan di dalam lingkungan rumahnya sendiri. Berkaitan dengan kekerasan yang dialami oleh perempuan migran, perempuan pembela HAM, perempuan di wilayah konflik bersenjata dan pasca konflik: 5. Organisasi-organisasi perempuan dan HAM melakukan pemantauan yang sistematis, komprehensif, berkelanjutan dan akuntabel tentang situasi HAM perempuan sebagai landasan advokasi untuk menjamin keadilan gender dalam seluruh aspek kehidupan perempuan. Berkaitan dengan upaya-upaya pembatasan kedaulatan perempuan atas nama kesusilaan: 6. Mahkamah Agung dan Mahkamah Konstitusi melakukan judicial review terhadap produkproduk kebijakan daerah yang bertentangan dengan kepentingan umum dan/atau peraturan-perundangan yang lebih tinggi, termasuk UU No. 7/1984. 7. Lembaga penegak hukum di tingkat nasional dan daerah mengambil tindakan hukum terhadap aparat maupun warga yang menerapkan peraturan tentang kesusilaan secara sewenang-wenang dan melawan hukum. 8. Organisasi-organisasi perempuan dan HAM mengambil langkah-langkah proaktif dan komprehensif dalam menyikapi gejala konservatisme dan fundamentalisme agama yang diskriminatif terhadap perempuan.
29
T E RI M A K A S I H Komnas Perempuan mengucapkan terimakasih kepada lembaga-lembaga di bawah ini atas kerja samanya memberikan bantuan data dalam menyusun Catatan Tahunan tentang Kekerasan Terhadap Perempuan – 2005. 1. 2. 3. 4. 5. 6. 7. 8. 9. 10. 11. 12. 13. 14. 15. 16. 17. 18. 19. 20. 21. 22. 23. 24. 25. 26. 27. 28. 29. 30. 31. 32. 33. 34. 35. 36. 37. 38. 39. 40. 41. 42. 43. 44.
Arikal Mahina, Maluku Utara Divisi Perempuan Truk Flores, Nusa Tenggara Timur Forum Pemerhati Masalah Perempuan (FPMP), Sulawesi Selatan FPPA, Nusa Tenggara Timur International Organizattion of Migrant (IOM) KPKP-ST Palu, Sulawesi Tengah Lambuno Inaku, Sulawesi Tenggara LBH APIK Aceh, Nangroe Aceh Darussalam LBH APIK Jakarta, DKI Jakarta LBH APIK Kalimantan Timur, Kalimantan Timur LBH APIK NTB, Nusa Tenggara Barat LBH Jakarta, DKI Jakarta Lembaga Advokasi Perempuan Anti Kekerasan "Damar", Lampung Lembaga Bantuan Hukum Pemberdayaan Perempuan Indonesia (LBH P2i), Sulawesi Selatan Lembaga Konsultasi Bantuan Hukum Perempuan Kepala Keluarga (LKBH PeKKa), DKI Jakarta Lembaga Kajian untuk Transformasi Sosial (LKTS), Jawa Timur LPP Bone, Sulawesi Selatan LRC KJHAM, Jawa Tengah Mitra Perempuan, DKI Jakarta P2T P2A Lumajang, Jawa Timur PEKKA, DKI Jakarta Perempuan Manggarai Anti Kekerasan (PEMANTIK), Nusa Tenggara Timur Perkumpulan Sada Ahmo, Sumatera Utara PIPPA BKOW, Sulawesi Utara PP Amal Hayati As-Sakienah, Jawa Barat PP Amal Hayati Cipasung, Jawa Barat PP Amal Hayati Syekh Abdul Qodir Jaelani, Jawa Timur Pusat Kajian dan Perlindungan Anak (PKPA), Sumatera Utara Pusat Perlindungan Perempuan dan Anak (P3A) Sidoarjo, Jawa Timur Rahima Rumah Kita, DKI Jakarta Rumah Perempuan, Nusa Tenggara Timur Rumpun Tjoet Nyak Dien, DI Yogyakarta Sahabat Perempuan, Jawa Tengah Samitra Abhaya-KPPD, Jawa Timur SBMI pusat, DKI Jakarta Seknas Kopbumi, DKI Jakarta Serikat Perempuan Independen (SPI-Labuhan Batu), Sumatera Utara Seruni, Jawa Tengah Solidaritas Buruh Migran Indonesia (SBMI), Jawa timur Solidaritas Perempuan – LABMI, Jawa Barat SPEK HAM, Jawa Tengah SPI Deli Serdang, Sumatera Utara Swara Bobato, Sulawesi Utara
30
45. 46. 47. 48. 49. 50. 51. 52. 53. 54. 55. 56. 57. 58. 59. 60. 61. 62. 63. 64. 65. 66. 67. 68. 69. 70. 71. 72. 73. 74. 75. 76. 77. 78. 79. 80. 81. 82. 83. 84. 85. 86. 87. 88. 89. 90. 91. 92. 93. 94. 95. 96. 97. 98. 99.
Swara Parangpuan, Sulawesi Utara Urban Poor Consortium (UPC), DKI Jakarta WCC Cahaya Perempuan, Bengkulu WCC Jombang, Jawa Timur WCC Lentera Perempuan Purwokerto, Jawa Tengah WCC Madiun, Jawa Timur WCC Nurani Perempuan, Sumatera Barat WCC Palembang, Sumatera Selatan WCC Rifka Annisa, DI Yogyakarta WCC Savy Amira, Jawa Timur WCC Suara Nurani Perempuan "Yabinkas", DI Yogyakarta Yayasan Advokasi (Yasva) Perempuan & Anak, Bengkulu Yayasan Krida Paramita (YKP) Solo, Jawa Tengah Yayasan LBH-PIK Pontianak, Kalimantan Barat Yayasan Sanggar Suara Perempuan, Nusa Tenggara Timur Yayasan Utama Riau, Riau PKT Melati RSAL Dr. Mintohardjo, DKI Jakarta PKT RS Cipto Mangunkusumo, DKI Jakarta PPT RS Bhayangkara Andi Mappa Ouddang, Sulawesi Selatan PPT RS Bhayangkara Mataram, Nusa Tenggara Barat PPT RS Bhayangkara Moestadjab Nganjuk, Jawa Timur PPT RS Bhayangkara TR III Trijata Polda Bali, Bali PPT RS Kepolisian Pusat Soekanto, DKI Jakarta UPP RS Panti Rapih, DI Yogyakarta Renata Polres Gresik, Jawa Timur RPK Ditreskrim Jawa Tengah, Jawa Tengah RPK Kota Besar Makassar, Sulawesi Tengah RPK Kota Besar Pontianak, Kalimantan Barat RPK Polda Jawa Timur, Jawa Timur RPK Polda Metro Jaya, DKI Jakarta RPK Polda Sulawesi Tengah, Sulawesi Tengah RPK Polda Sumatera Selatan, Sumatera Selatan RPK Polres Buleleng, Bali RPK Polres Bulungan, Kalimantan Timur RPK Polres Ciamis, Jawa Barat RPK Polres Gianyar, Bali RPK Polres Grobogan, Jawa Tengah RPK Polres Jakarta Utara, DKI Jakarta RPK Polres Karawang, Jawa Barat RPK Polres Karimun, Kepulauan Riau RPK Polres Kediri, Jawa Timur RPK Polres Klungkung, Bali RPK Polres Kutai Kertanegara, Kalimantan Timur RPK Polres Labuhan Batu, Sumatera Utara RPK Polres Magelang, Jawa Tengah RPK Polres Mimika, Papua RPK Polres Ngawi, Jawa Timur RPK Polres Rembang, Jawa Tengah RPK Polres Sambas, Kalimantan Barat RPK Polres Situbondo, Jawa Timur RPK Polres Sumenep, Jawa Timur RPK Polres Tabanan, Bali RPK Polres Tangerang, Banten RPK Polres Tegal, Jawa Tengah RPK Polres Wonogiri, Jawa Tengah
31
100. 101. 102. 103. 104. 105. 106. 107. 108. 109. 110. 111. 112. 113. 114. 115. 116. 117. 118. 119. 120. 121. 122. 123. 124. 125. 126. 127. 128. 129. 130. 131. 132. 133. 134. 135. 136. 137. 138. 139. 140. 141. 142. 143. 144. 145. 146. 147. 148. 149. 150. 151. 152. 153. 154.
RPK Polres Wonosobo, Jawa Timur RPK Polresta Pare Pare, Sulawesi Selatan RPK Polwil Madiun, Jawa Timur RPK Polwiltabes Bandung, Jawa Barat RPK Polwiltabes Semarang, Jawa Tengah RPK Polwiltabes Surabaya, Jawa Timur RPK Resor Banyuwangi, Jawa Timur RPK Resor Batu, Jawa Timur RPK Resor Jember, Jawa Timur RPK Resor Kota Cirebon, Jawa Barat RPK Resor Kulonprogo, DI Yogyakarta RPK Resor Lumajang, Jawa Timur RPK Resor Madiun, Jawa Timur RPK Resor Magetan, Jawa Timur RPK Resor Ponorogo, Jawa Timur RPK Resor Probolinggo, Jawa Timur RPK Resor Tarakan, Kalimantan Timur RPK Resor Trenggalek, Jawa Timur Sat Reskrim KPPP Tg Perak Surabaya, Jawa Timur Gender Focal Point Kejaksaan Agung, DKI Jakarta Kejaksaan Tinggi Bali Kejaksaan Tinggi Bangka Belitung Kejaksaan Tinggi Banten Kejaksaan Tinggi Bengkulu Kejaksaan Tinggi Gorontalo Kejaksaan Tinggi Jambi Kejaksaan Tinggi Jawa Barat Kejaksaan Tinggi Jawa Tengah Kejaksaan Tinggi Jawa Timur Kejaksaan Tinggi Kalimantan Barat Kejaksaan Tinggi Kalimantan Selatan Kejaksaan Tinggi Kalimantan Tengah Kejaksaan Tinggi Kalimantan Timur Kejaksaan Tinggi Lampung Kejaksaan Tinggi Maluku Utara Kejaksaan Tinggi Nangroe Aceh Darussalam Kejaksaan Tinggi Nusa Tenggara Barat Kejaksaan Tinggi Nusa Tenggara Timur Kejaksaan Tinggi Papua Kejaksaan Tinggi Sulawesi Selatan Kejaksaan Tinggi Sulawesi Tengah Kejaksaan Tinggi Sulawesi Tenggara Kejaksaan Tinggi Sulawesi Utara Kejaksaan Tinggi Sumatera Barat Kejaksaan Tinggi Sumatera Selatan Kejaksaan Tinggi Sumatera Utara Kejaksaan Tinggi Yogjakarta Pengadilan Negeri Amlapura, Bali Pengadilan Negeri Bangli, Bali Pengadilan Negeri Bantaeng, Sulawesi Selatan Pengadilan Negeri Barabai, Kalimantan Selatan Pengadilan Negeri Batang, Jawa Tengah Pengadilan Negeri Baturaja, Sumatera Selatan Pengadilan Negeri Banyumas, Jawa Tengah Pengadilan Negeri Cianjur, Jawa Barat
32
155. 156. 157. 158. 159. 160. 161. 162. 163. 164. 165. 166. 167. 168. 169. 170. 171. 172. 173. 174. 175. 176. 177. 178. 179. 180. 181. 182. 183. 184. 185. 186. 187. 188. 189. 190. 191. 192. 193. 194. 195. 196. 197. 198. 199. 200. 201. 202. 203. 204. 205. 206. 207. 208. 209.
Pengadilan Negeri Cirebon, Jawa Barat Pengadilan Negeri Enrekeng, Sulawesi Selatan Pengadilan Negeri Garut, Jawa Barat Pengadilan Negeri Jambi Klas IA, Jambi Pengadilan Negeri Jeneponto, Sulawesi Selatan Pengadilan Negeri Kabanjahe, Sumatera Utara Pengadilan Negeri Kayu Agung, Sumatera Selatan Pengadilan Negeri Kediri, Jawa Timur Pengadilan Negeri Klas IB Pariaman, Sumatera Barat Pengadilan Negeri Klas IB Poso, Sulawesi Tengah Pengadilan Negeri Kota Baru, Kalimantan Selatan Pengadilan Negeri Kuala Simpang, Nangroe Aceh Darussalam Pengadilan Negeri Lumajang, Jawa Timur Pengadilan Negeri Makassar, Sulawesi Utara Pengadilan Negeri Merauke, Papua Pengadilan Negeri Muara Teweh, Kalimantan Tengah Pengadilan Negeri Muaro, Sumatera Barat Pengadilan Negeri Probolinggo, Jawa Timur Pengadilan Negeri Purwakarta, Jawa Barat Pengadilan Negeri Purwodadi, Jawa Tengah Pengadilan Negeri Ruteng, Nusa Tenggara Timur Pengadilan Negeri Salatiga, Jawa Tengah Pengadilan Negeri Sukoharjo, Jawa Tengah Pengadilan Negeri Sumedang, Jawa Barat Pengadilan Negeri Takalar, Sulawesi Selatan Pengadilan Negeri Tanjung Pinang, Kepulauan Bangka Pengadilan Negeri Tulung Agung Pengadilan Negeri Waikabubak, Nusa Tenggara Timur Pengadilan Mahkamah Syariah Kuala Simpang, Nangroe Aceh Darussalam Pengadilan Mahkamah Syariah Meureudu, Nangroe Aceh Darussalam Pengadilan Agama Ambarawa, Jawa Tengah Pengadilan Agama Bandung, Jawa Barat Pengadilan Agama Barabai, Kalimantan Selatan Pengadilan Agama Batang Klas IB, Jawa Tengah Pengadilan Agama Bekasi, Jawa Barat Pengadilan Agama Bengkulu Klas IA, Bengkulu Pengadilan Agama Bima, Nusa Tenggara Barat Pengadilan Agama Bitung, Sulawesi Utara Pengadilan Agama Brebes Klas IA, Jawa Tengah Pengadilan Agama Cibadak, Jawa Barat Pengadilan Agama Cikarang, Jawa Barat Pengadilan Agama Demak, Jawa Tengah Pengadilan Agama Dompu Klas II, Nusa Tenggara Barat Pengadilan Agama Garut, Jawa Barat Pengadilan Agama Jakarta Barat, DKI Jakarta Pengadilan Agama Jakarta Selatan, DKI Jakarta Pengadilan Agama Jakarta Utara, DKI Jakarta Pengadilan Agama Jeneponto, Sulawesi Selatan Pengadilan Agama Jepara, Jawa Tengah Pengadilan Agama Karangnyar Klas IB, Jawa Tengah Pengadilan Agama Ketapang, Kalimantan Selatan Pengadilan Agama Kotamobagu, Sulawesi Tenggara Pengadilan Agama Kupang, Nusa Tenggara Timur Pengadilan Agama Lewoleba, Nusa Tenggara Timur Pengadilan Agama Madiun, Jawa Timur
33
210. 211. 212. 213. 214. 215. 216. 217. 218. 219. 220. 221. 222. 223. 224. 225. 226. 227. 228. 229. 230. 231.
Pengadilan Agama Majene, Sulawesi Selatan Pengadilan Agama Malang, Jawa Timur Pengadilan Agama Manado, Sulawesi Utara Pengadilan Agama Medan, Sumatera Utara Pengadilan Agama Muara Bulian, Jambi Pengadilan Agama Muara Bungo, Jambi Pengadilan Agama Negara, Kalimantan Selatan Pengadilan Agama Pamekasan, Jawa Timur Pengadilan Agama Pangkajene, Sulawesi Selatan Pengadilan Agama Pati, Jawa Tengah Pengadilan Agama Pontianak Klas IA, Kalimantan Barat Pengadilan Agama Poso, Sulawesi Utara Pengadilan Agama Salatiga, Jawa Tengah Pengadilan Agama Sampit, Kalimantan Tengah Pengadilan Agama Sleman, DI Yogyakarta Pengadilan Agama Tanah Grogot, Kalimantan Timur Pengadilan Agama Tanjung Karang Klas IA, Bandar Lampung Pengadilan Agama Tebing Tinggi, Sumatera Barat Pengadilan Agama Tembilahan, Riau Pengadilan Agama Trenggalek, Jawa Timur Pengadilan Agama Waikabubak, Nusa Tenggara Timur Pengadilan Agama Wates, DI Yogyakarta
34