ACEH
KontraS, yang lahir pada 20 Maret 1998 merupakan gugus tugas yang dibentuk oleh sejumlah organisasi civil society dan tokoh masyarakat. Gugus tugas ini semula bernama KIP-HAM yang telah terbentuk pada tahun 1996. Sebagai sebuah komisi yang bekerja memantau persoalan HAM, KIP-HAM banyak mendapat pengaduan dan masukan dari masyarakat, baik masyarakat korban maupun masyarakat yang berani menyampaikan aspirasinya tentang problem HAM yang terjadi di daerah. Pada awalnya KIP-HAM hanya menerima beberapa pengaduan melalui surat dan kontak telefon dari masyarakat. Namun lama kelamaan sebagian masyarakat korban menjadi berani untuk menyampaikan pengaduan langsung ke sekretariat KIP-HAM. Dalam beberapa pertemuan dengan masyarakat korban, tercetuslah ide untuk membentuk sebuah lembaga yang khusus menangani kasus-kasus orang hilang sebagai respon praktik kekerasan yang terus terjadi dan menelan banyak korban. Pada saat itu seorang ibu yang bernama Ibu Tuti Koto mengusulkan dibentuknya badan khusus tersebut. Selanjutnya, disepakatilah pembentukan sebuah komisi yang menangani kasus orang hilang dan korban tindak kekerasan dengan nama KontraS. Dalam perjalanannya KontraS tidak hanya menangani masalah penculikan dan penghilangan orang secara paksa tapi juga diminta oleh masyarakat korban untuk menangani berbagai bentuk kekerasan yang terjadi baik secara vertikal di Aceh, Papua dan Timot-Timur maupun secara horizontal seperti di Maluku, Sambas, Sampit dan Poso. Selanjutnya, ia berkembang menjadi organisasi yang independen dan banyak berpartisipasi dalam membongkar praktik kekerasandan pelanggaran hak asasi manusia sebagai akibat dari penyalahgunaan kekuasaan. Dalam perumusan kembali peran dan posisinya, KontraS mengukuhkan kembali visi dan misinya untuk turut memperjuangkan demokrasi dan hak asasi manusia bersama dengan entitas gerakan civil society lainnya. Secara lebih khusus, seluruh potensi dan energi yang dimiliki KontraS diarahkan guna mendorong berkembangnya ciri-ciri sebuah sistim dan kehidupan bernegara yang bersifat sipil serta jauhnya politik dari pendekatan kekerasan. Baik pendekatan
kekerasan yang lahir dari prinsip-prinsip militerisme sebagai sebuah sistem, perilaku maupun budaya politik. Artinya, kekerasan disini bukan semata-mata persoalan intervensi militer ke dalam kehidupan politik. Akan tetapi, lebih jauh menyangkut kondisi struktural, kultural dan hubungan antar komunitas sosial, kelompokkelompok sosial serta antar strata sosial yang mengedepankan kekerasan dan simbolsimbolnya. Visi Terwujudnya demokrasi yang berbasis pada keutuhan kedaulatan rakyat melalui landasan dan prinsip rakyat yang bebas dari ketakutan, penindasan, kekerasan dan berbagai bentuk pelanggaran hak asasi manusia atas alasan apapun, termasuk yang berbasis gender. Misi Memajukan kesadaran rakyat akan pentingnya penghargaan hak asasi manusia, khususnya kepekaan terhadap berbagai bentuk kekerasan dan pelanggaran berat hak asasi manusia sebagai akibat dari penyalahgunaan kekuasaan negara. Memperjuangkan keadilan dan pertanggungjawaban negara atas berbagai bentuk kekerasan dan pelanggaran berat hak asasi manusia melalui berbagai upaya advokasi menuntut pertanggung jawaban negara. Mendorong secara konsisten perubahan pada sistem hukum dan politik, yang berdimensi penguatan dan perlindungan rakyat dari bentuk-bentuk kekerasan dan pelanggaran hak asasi manusia. Nilai-nilai Dasar Sebagai organisasi, KontraS berusaha memegang prinsipprinsip antara lain adalah non-partisan dan non-profit, demokrasi, anti kekerasan dan diskriminasi, keadilan dan kesetaraan gender, dan keadilan sosial. Jl. Borobudur No.14 Menteng | Jakarta Pusat 10320 Tlp: 021-3926983, 3928564 | Fax: 021-3926821 | Email:
[email protected] | Webmaster:
[email protected]
Atas Nama Kontras Setelah melewati proses pengerjaan yang cukup panjang dan melelahkan, akhirnya, majalah yang kami buat sebagai bentuk perhatian dan sumbangsih masyarakat sipil di Indonesia, untuk membangun Hak Asasi Manusia (HAM) yang lebih baik di Nanggroe Aceh Darrussalam (NAD) ini, tuntas disusun dan diterbitkan secara meluas. Kali ini, KontraS memilih Qanun Komisi Kebenaran dan Rekonsisliasi (KKR) di Bumi Serambi Mekkah sebagai tema. Mulai proses penyusunan, pengesahan hingga implementasi Qanun KKR selama ini. Tim Redaksi berupaya semaksimal mungkin untuk mendokumentasikan proses bersejarah yang pernah terjadi di Aceh, yang terkait dengan KKR. Seperti kasus pelanggaran HAM, harapan dan ungkapan jujur masyarakat Aceh, serta upaya advokasi berbagai komponen masyarakat yang peduli dengan apa yang terjadi di Bumi Serambi Mekkah. Tentu saja, dukungan masyarakat Aceh, diantaranya para korban dan keluarga korban pelanggaran HAM, sangat berarti bagi kami dalam proses pembuatan majalah ini. Dengan penuh keikhlasan dan keberanian, mereka menyampaikan secara terbuka harapan dan impian atas kasus-kasus yang mereka alami. Apalagi, tak sedikit dari para korban dan keluarga korban itu mengambil bagian dalam proses penyelesaian kasus-kasus yang pernah terjadi di Aceh. Tidak berlebihan bila kemudian dalam edisi ini, KontraS memberikan penghargaan dan apresiasi setingi-tingginya pada keluarga korban pelanggaran HAM di Aceh. Seperti kita ketahui, upaya penyelesaian kasus pelanggaran HAM di Aceh mulai dilakukan secara terbuka sejak perjanjian Helsinki disepakati dan ditandatangani pada 2005. Salah satu butir kesepakatan itu tertulis tentang rencana pembentukan pengadilan HAM dan KKR. Hingga kemudian DPR Aceh (DPRA) dan Pemerintah NAD membuat Qanun KKR. Bagaimana pelaksanaan kesepakatan itu setelah delapan tahun dilakukan di Aceh? KontraS menemukan fakta, pelaksanaan butir perjanjian Helsinki itu, khususnya ada Qanun KKR belum berjalan secara optimal. Banyak persoalan yang masih melingkupi. Seperti rancangan akhir Qanun KKR yang tidak sepenuhnya dikonsultasikan dengan para korban dan keluarga korban. Juga dari sisi isi Qanun KKR yang menyisakan lubang-lubang persoalan yang akan memunculkan problem lanjutan dikemudian hari, dan berbagai hal lain yang kami upayakan tersaji dengan bahasa yang mudah dipahami. Seperti halnya penerbitan lain yang pernah dilakukan KontraS, majalah ini berisi materi-materi yang secara jujur kami kumpulkan, kami olah dan kami sebarluaskan, Kami sangat mengharapkan adanya kritik dan saran untuk bisa memperkaya pengetahun dan pemahaman kita semua atas perbaikan HAM di Aceh pada khususnya, dan Indonesia pada umumnya.
Selamat membaca
MENGURAI KONFLIK DI JANTUNG SERAMBI
kekayaan alam dan dukungan yang diberikan Aceh pada Indonesia. Tak heran bila kemudian Soekarno berjanji untuk memenuhi keinginan masyarakat Aceh untuk membangun daerah syariat Islam di wilayah berjuluk Serambi Mekkah itu. Janji itu dikatakan di depan tokoh Aceh, Daud Beureueh pada 1948. Namun janji tinggal janji. Soekarno justru menggabungkan Aceh dengan pemerintahan daerah Sumatera Utara, tanpa memberikan “keistimewaan” pelaksanaan Syariat Islam Aceh di dalamnya. Pemerintah di bawah Soekarno juga terkesan mengabaikan Aceh, dengan tidak membangun kembali kerusakan-kerusakan di Aceh akibat serangan Belanda pada provinsi itu. Kabar yang berkembang, langkah politik Soekarno membubarkan Partai Masyumi, diwarnai pula dengan penangkapan tokoh-tokoh Aceh yang menjadi pentolan Masyumi.
Sejak sebelum kemerdekaan, Aceh sudah menorehkan cerita dan hanya dari sedikit cerita yang berbuah bahagia SEPERTI sebagian besar masyarakat Indonesia pada umumnya, masyarakat Aceh pun bersorak gembira ketika Jenderal Soeharto diambil sumpahnya sebagai Presiden RI, menggantikan Soekarno pada Sidang Majelis Permusyawaratan Rakyat Sementara (MPRS) pada 1967. Masyarakat Aceh pun menitipkan harapan kepada Soeharto untuk bisa dengan cepat membangun sisi sosial dan ekonomi Indonesia yang selama bertahuntahun ditinggalkan rezim Soekarno. Sejarah mencatat, masyarakat Aceh dan Soekarno memiliki hubungan yang baik di awal, namun berbuah kekecewaan di akhirnya. Masyarakat Aceh disebut-sebut sebagai pihak yang mendanai Pemerintah Darurat RI di Bukittinggi, Sumatera Barat, setelah Belanda menangkapi pentolan republik di Yogyakarta. Aceh juga tercatat sebagai penyumbang pesawat udara pertama yang dimiliki oleh RI. Presiden Soekarno bahkan penyebut Aceh sebagai “modal republik”, karena
Kondisi itu berbalik 180 derajat, ketika Soeharto berkuasa. Harapan kepada bapak Orde Baru pun muncul. Soeharto diharapkan menjadi tokoh yang mampu membangun Aceh yang porak poranda di bawah Soekarno. Namun seiring perjalanan waktu, masyarakat Aceh kembali menelan kekecewaan. Soeharto tidak mampu memenuhi harapan itu. Aceh tetap menjadi ladang eksploitasi, dengan mengorbankan rakyat Aceh yang miskin. Bahkan ketika ditemukan ladang gas Arun di Aceh Utara, kondisi rakyat Aceh tetap tidak berubah. Mereka hanya bisa menjadi penonton dan semakin terpuruk. Kondisi tersebut mulai memunculkan bibit perlawanan. Pada 4 Desember 1976, sebuah gerakan bersenjata bernama Gerakan Aceh Merdeka (GAM) pimpinan Hasan Tiro dideklarasikan. Babak baru perlawanan masyarakat Aceh kepada Pemerintah Indonesia pun dimulai. GAM yang juga dikenal dengan sebutan Aceh Sumatera National Liberation Front (ASNLF) ini adalah gerakan yang bertujuan untuk membebaskan rakyat Aceh dari belenggu ketidakadilan Pemerintah Indonesia. Bagi masyarakat Aceh, GAM lebih dikenal dengan sebutan Atjeh Meurdehka. Tentu saja, Orde Baru di bawah Soeharto tidak tinggal diam atas hal ini. Secara khusus, pemerintah menyebut GAM sebagai Gerakan Pengacau Keamanan (GPK). Layaknya
penanganan kepada kelompok pengacau di wilayah republik lainnya, GAM harus ditumpas. Melalui Angkatan Bersenjata Republik Indonesia (ABRI)-dan kemudian berubah menjadi TNI di era Reformasi-, pemerintah melakukan berbagai upaya untuk menghentikan perlawanana GAM. Diantaranya dengan menyebarkan foto para pemimpin GAM seperti Hasan Tiro, Dr. Muchtar Hasbi, Daud Paneuk, Ir. Asnawai, Ilyas Leubee, Dr. Zaeni, Dr. Husaini, Amir Ishak, dan Dr. Zubair Machmud, di berbagai sudut kota. Masyarakat Aceh diharap mau memberitahukan kepada pemerintah tentang keberadaan tokoh-tokoh itu. Atau, menangkap dan menyerahkan Pemantauan Tim Ad Hoc Aceh Komnas HAM mereka dalam keadaan hidup atau mati kepada 2004 melaporkan, setidaknya ada 1000-3000 pemerintah. orang tewas, 900-1400 hilang dan diperkirakan sudah meninggal dunia, 500 orang cacat dan Kondisi semakin tidak menentu saat Orde Baru ratusan rumah dibakar. Data lain yang dimiliki melaksanakan program pemindahan penduduk Forum Peduli HAM Aceh menyebutkan, 1.321 dari daerah padat penduduk, ke wilayah lain orang tewas, 1.958 orang hilang, 3.430 disiksa, yang lebih jarang penduduknya, dengan tujuan 128 diperkosa dan 500 lebih bangunan dibakar pemerataan jumlah penduduk. Program ini dikenal selama periode DOM. dengan sebutan transmigrasi. Aceh adalah salah satu wilayah tempat tujuan transmigrasi. Khusus Pada 1 Juni 1991, Harian Serambi Indonesia di Aceh, personel militer dan pegawai negeri memuat sebuah peristiwa hilangnya tiga warga adalah kelompok yang banyak dikirim sebagai setelah razia Kartu Tanda Penduduk (KTP) digelar transmigran. Problem baru pun muncul pasca di sebuah wilayah di Lhokseumawe. Ketika itu, pelaksanaan program itu. TNI mengumpulkan sejumlah warga di sebuah lapangan untuk diperiksa KTP. Usai razia itu, tiga Dalam buku berjudul Sang Martit Tengku warga dinyatakan tidak kembali ke rumahnya. Bantaqiah, karya Otto Syamsuddin Ishak (terbitan Mereka adalah Teuku Usman Raden (Imam Yappika 2003) termuat, amuk massa terjadi Meunasah/mushola setempat], Teuku Abdullah berulang-ulang pada kurun waktu 1988-1989. Husen (wiraswasta), dan Abdurrahman Sarong Tidak tanggung-tanggung, massa yang marah (PNS di Dinas Pekerjaan Umum, Sigli). karena kesenjangan menyerang bangunan umum, hingga simbol pemerintah, seperti kantor Pihak keluarga tidak memahami alasan polisi dan markas militer. penculikan itu. Lantaran, ketiga orang yang hilang itu adalah warga biasa yang dilengkapi dengan Orde Baru menunjukkan watak aslinya. KTP. Bahkan, salah satunya adalah PNS taat yang Dengan alasan memburuknya situasi di Aceh, bertugas di Sigli. Belum juga berbagai tanda tanya pemerintah menetapkan Aceh sebagai Daerah itu terjawab, Teuku Usman, Teuku Abdullah dan Operasi Militer (DOM). Secara sederhana, dengan Abdurrahman ditemukan sudah menjadi mayat di diberlakukannya DOM, maka Aceh menjadi daerah daerah Batee, dekat waduk Lhokseumawe. Tubuh “khusus” yang memberlakukan pendekatan mereka membusuk. militer untuk masyarakat sipilnya. Lain lagi dengan cerita buruk yang dikenang Sejak diberlakukan pada 1989, Aceh menjadi Asmaniah, warga Aceh Utara. Hingga saat ini, daerah menakutkan, dan dipenuhi dengan aksi perempuan setengah baya ini masih ingat kekerasan. Penangkapan, penahanan sewenang- peristiwa yang terjadi pada 1990 itu. Saat aparat wenang, penyiksaan, penculikan, penghilangan TNI mendatangi kampungnya, dan melakukan secara paksa, pemerkosaan, pembunuhan, dan penggeledahan di rumah-rumah penduduk. berbagai tindakan tidak manusiawi lainnya Termasuk rumahnya. berulang kali terjadi, tanpa ada penyelesaian secara hukum. Entah, apa yang ditemukan saat penggeledahan
sayang, prinsip peradilan yang jujur (fair trail) tidak dilakukan dalam dua peradilan itu. Kebijakan pemerintah RI sedikit lebih lentur saat Presiden Abdurrahman Wahid atau Gus Dur berkuasa. Di jaman Gus Durlah, disetujinya jeda kemanusiaan di Aceh yang ditandatangani di Jenewa.Hanya saja, Dewi Keberuntungan agaknya masih belum berpihak pada masyarakat Aceh. itu, yang pasti, aparat meminta penghuni lakilaki yang ada di rumah, untuk keluar. Mertua, suami dan adik iparnya pun menuruti perintah itu. Asmaniah hanya bisa menangis, tanpa tahu kesalahan ketiganya, yang jelas-jelas bukan anggota GAM. Mertua dan adik iparnya kembali ke rumah, tapi tidak dengan sang suami. “Sampai sekarang suami saya belum ketemu,” katanya. Angin segar sempat berhembus ketika Reformasi terjadi di Indonesia, dan membuat Soeharto turun dari jabatannya. DOM dinyatakan berakhir pada 1998. Secara khusus, para korban dari beragam peristiwa pelanggaran HAM di Aceh menaruh harapan besar atas proses penyelesaian kasus-kasus kekerasan yang mereka alami. Beragam upaya dilakukan oleh segenap elemen masyarakat sipil, baik di Aceh maupun di tingkat nasional, untuk mengungkap berbagai peristiwa pelanggaran HAM itu. Indonesia yang masih disorot dunia setelah Soeharto turun pada 20 Mei 1998 itu, kembali mendapat berbagai pertanyaan menyangkut Aceh. Berbagai desakan itu “memaksa” Pemerintah RI di bawah Presiden BJ Habibie mengeluarkan Keputusan Presiden (Keppres) No. 88 tahun 1999 tentang Komisi Independen Pengusutan Tindak Kekerasan di ACEH (KIPTKA). KIPTKA bertugas mencari fakta adanya keterlibatan negara, baik sipil maupun militer, dalam beragam kasus pelanggaran HAM terhadap warga sipil selama konflik berlangsung. Kondisi membaik? Tidak. Namun lacur, dalam periode yang sama, Pemerintah RI juga membentuk apa yang disebut Pasukan Penindak Rusuh Massa. KontraS mencatat, selain KIPTKA, ada dua Pengadilan yang dibentuk untuk mengadili pelaku kekerasan di Aceh. Pengadilan Militer atas kasus kekerasan militer terhadap warga sipil di gedung KNPI, dan Pengadilan Koneksitas yang dibentuk untuk mengadili peristiwa penyerbuan TNI/Militer ke pesantren Tgk Bantaqiah. Namun
Tiga tahun keberadaan KIPTKA dan Jeda Kemanusiaan Jenewa, tidak secara otomatis mengubah situasi di Aceh menjadi membaik. Bahkan, Aceh kembali menghadapi operasi militer. Pemerintah pusat melalui Presiden Megawati Soekarnoputri, mengeluarkan kebijakan Darurat Militer (DM) di Aceh. Kebijakan itu tertuang dalam Keppres No. 28 Tahun 2003 tentang Pernyataan Keadaan Bahaya dengan Tingkatan Keadaan Darurat Militer di Provinsi Nanggroe Aceh Darussalam. Regulasi itu diperpanjang dengan Keppres Nomor 97 Tahun 2003 tentang Pernyataan Perpanjangan keadaan Bahaya dengan Tingkatan Keadaan Darurat Militer di Aceh. Dengan bahasa lain, pemerintah kembali memberlakukan status Darurat Militer di Aceh, yang mengakibatkan warga sipil kembali menjadi korban. Meski hanya berlangsung selama satu tahun, karena berakhir pada 2004, KontraS mencatat setidaknya ada 1300 lebih kasus pembunuhan, penculikan, penembakan, penangkapan, penghilangan hingga pemerkosaan. Kondisi mulai mereda saat darurat sipil diberlakukan. Lalu, masuklah episode baru di jaman Presiden Susilo Bambang Yudhoyono. Diwakili Hamid Awaluddin yang juga Menteri Hukum dan HAM, Pemerintah RI dan GAM, menandatangani Nota Kesepahaman di Helsinki, Finlandia, 15 Agustus 2005. Melalui Nota Kesepahaman ini, Aceh memiliki kesempatan luas untuk mengakses sumberdaya dan membangun sistem pemerintahan yang mandiri melalui Undangundang No. 11 tahun 2006 tentang Pemerintahan Aceh.
*IDN
SATU KOMISI BERJUTA HARAPAN Beban berat berada di pundak Komisi Kebenaran dan Rekonsiliasi (KKR) Aceh. Mampukah KKR mewujudkan harapan publik? NOTA, Kesepahaman antara Pemerintah Indonesia dan Gerakan Aceh Merdeka (GAM) yang diteken di Helsinki, Filandia pada 15 Agustus 2005 lalu, bagaikan angin segar bagi masyarakat Aceh. Tidak berlebihan, lantaran melalui nota kesepahaman itulah, Aceh diharapkan melepas beban berat konflik bersenjata sejak 1976. Ada enam poin penting yang termaktub dalam Nota Kesepahaman Helsinki itu. Penyelenggaraan Pemerintahan di Aceh, Hak Asasi Manusia, Amnesti dan Reintegrasi ke dalam Masyarakat, Pengaturan Keamanan, Pembentukan Misi Monitoring Aceh dan Penyelesaian Perselisihan. Bagi KontraS, poin kedua tentang Hak Asasi Manusia (HAM) di Aceh, menjadi modal penting bagi penyembuhan “luka” yang selama ini dirasakan masyarakat Bumi Serambi Mekkah. Dalam poin itu dijelaskan, Pemerintah RI tertulis akan mematuhi Kovenan Internasional Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB) mengenai Hak-hak Sipil, Politik dan mengenai Hak-hak Ekonomi, Sosial, Budaya. Pemerintah RI dan GAM sepakat untuk membentuk Pengadilan HAM di Aceh, serta dibuatnya Komisi Kebenaran dan Rekonsiliasi (KKR) Aceh oleh Komisi Kebenaran dan Rekonsiliasi (KKR) Indonesia dengan tugas merumuskan dan menentukan upaya rekonsiliasi. Mengapa KKR? Komisi Kebenaran dan Rekonsiliasi (KKR) adalah sebuah mekanisme non-yudisial yang dibentuk oleh negara pada masa transisi, dari periode otoritarianisme menuju demokrasi. Komisi ini biasanya diberi
mandat untuk melakukan penyelidikan, memberi dukungan kepada korban, melakukan klarifikasi sejarah, hingga membuat rekomendasirekomendasi yang secara khusus ditujukan kepada pemerintah. Pada prinsipnya, KKR dan sejenisnya dibentuk untuk membantu negara menyelesaikan beragam pelanggaran HAM yang terjadi di masa lalu. Baik yang dilakukan oleh aktor negara maupun non-negara, dalam periode konflik atau krisis kemanusiaan. Salah satu fungsi utama KKR adalah memulihkan hak para korban dan (atau) keluarga korban. Mekanisme yang sama dilakukan di berbagai negara. Di Ghana misalnya, ada Komisi Nasional Rekonsiliasi. Sementara di Guatemala terdapat Komisi Klarifikasi Sejarah (CEH). Juga Komisi Nasional Orang Hilang (CONADEP) di Argentina, dan Komisi Penerimaan Kebenaran dan Rekonsiliasi (CAVR) di Timor Leste. Dari studi yang dilakukan Amnesty Internasional menyebutkan, ada 40 negara yang menggunakan KKR dalam kurun waktu 1974-2010. Dalam laporan itu menyebutkan pula, KKR memberi kontribusi bagi pemulihan hak korban dan mengantarkan transisi sebuah negara menuju negara demokrasi. Hanya saja, dalam laporan Amnesty International, Commission Justice; Truth Commission and Criminal Justice tahun 2010 memastikan tidak semua KKR yang dibentuk sesuai dengan standar HAM internasional.
Lalu, bagaimana dengan KKR Aceh? Sejak awal ditetapkan, KKR Aceh tidak semulus konsepnya. Bahkan, pembentukannya sempat terganjal dengan birokrasi yang tidak pernah diperkirakan sebelumnya. Pemerintah RI dan DPR Aceh misalnya, sempat berpendapat bahwa KKR Aceh tidak bisa segera dibentuk karena terkendala dengan tidak dibentuknya KKR Nasional, sesuai pasal 229 ayat (3) UU No 11/2006 tentang Pemerintahan Aceh. Keputusan itu dikuatkan Mahkamah Konstitusi (MK) yang mengeluarkan keputusan untuk menolak dibentuknya KKR Nasional. Melihat hal itu, Gubernur Aceh Irwandi mengeluarkan statemen senada. “Pembentukan KKR Aceh harus mengacu pada UU KKR Nasional, namun UU KKR nasional sudah ditolak oleh MK, sehingga pembentukan KKR di Aceh tidak bisa dilaksanakan,” tutur Irwandi, sebagaimana dimuat inilah.com, 7 Mei 2008. Namun, karena pentingnya proses pengungkapan kebenaran, sebagaimana selalu didesakkan korban dan keluarga korban, maka pada tahun 2012 DPR Aceh mengambil inisiatif untuk menyusun rancangan Qanun KKR Aceh.
Rancangan inilah yang kemudian disahkan menjadi Qanun KKR oleh DPR Aceh melalui Rapat Paripurna DPR Aceh pada 27 Desember 2013. Secara ideal, KKR setidaknya memiliki otoritas untuk melakukan proses penyelidikan. Seperti mulai mengumpulkan informasi dari berbagai sumber, -termasuk sumber pejabat pemerintah-, kewenangan untuk memaksa pihak yang dinilai tahu materi yang didalami KKR, namun enggan mengungkapkan dengan alasan tertentu, hingga melindungi seseorang dari tekanan atas statemen yang dibuatnya. Termasuk pula, memberikan perlindungan kepada saksi, bila diperlukan. Hal yang tidak kalah penting adalah jaminan bagi para komisioner dan staf KKR untuk mendapatkan perlindungan dalam menjalankan pekerjaannya. Komisioner, staf, atau pihak yang melakukan pekerjaan atas nama Komisi harus diberi kekebalan hukum dari tuntutan yang mungkin muncul dari laporan, temuan, sudut pandang, atau rekomendasi yang dibuat demi kebaikan. Dalam perjalanannya, kehadiran KKR sudah dibekali dengan kekewangan-kewenangan
itu. Sayangnya, fakta juga yang membuktikan, kehadiran Nota Kesepahaman Helsinki tidak berbanding lurus dengan nasib para korban dan keluarga korban. Pengadilan HAM dan KKR yang disebutkan dalam perjanjian damai, pelan-pelan diingkari. Bahkan suara-suara yang menuntut realisasi isi perjanjian, kian melemah. Seolah tidak menjadi agenda prioritas bagi pemerintah Aceh dan pemerintah Pusat. Hal tersebut dapat dibuktikan dengan lambannya kinerja Komnas HAM dalam melakukan pemantauan dan penyelidikan atas sejumlah peristiwa pelanggaran HAM di Aceh. Padahal secara tegas dan jelas, mandat pemantauan telah diatur dalam Pasal 76 ayat 1 UU No 39 Tahun 1999 tentang HAM. Pada 2003, Komnas HAM membentuk tim bernama Tim Pengkajian Pelanggaran HAM Soeharto. Dalam salah satu butir mandat pembentukan tim itu disebutkan, tim akan melakukan pengkajian terhadap pelanggaran HAM di Aceh selama periode DOM. Tidak hanya itu, pada tahun 2009, Komnas HAM periode 2007-2012 juga membentuk Tim Pemantauan Kekerasan di Aceh. Sayangnya, sejarah mencatat, hasil pemantauan tim tersebut tidak ditindaklanjuti ke tahap penyelidikan pro-justisia atau penyelidikan untuk kepentingan proses hukum. Sebagaimana yang diamanatkan dalam pasal 18 ayat 1 UU
Nomor 26 tahun 2000 tentang Pengadilan HAM. Baru-baru ini, atas pengaduan dan desakan korban, Komnas HAM periode 2012-2017 membentuk Tim Pemantauan dan Penyelidikan Pelanggaran HAM pada Masa DOM (1989-1998) hingga periode transisional (1998-2003) di Aceh. Pemantauan dan penyelidikan tersebut merupakan bagian dari tindak lanjut langkah Komnas HAM periode sebelumnya. Hasilnya, Komnas HAM membentuk Tim Ad Hoc Penyelidik Pro-Justisia untuk kasus-kasus yang dinilai melanggar HAM. Sebut saja insiden Rumoh Geudong di Pidie, pembunuhan massal di Simpang KKA Aceh Utara, insiden di Bumi Flora Aceh Timur, penghilangan orang secara paksa dan kuburan massal di Bener Meriah, serta pembantaian massal di Jambo Keupok. Keputusan Komnas HAM memilih 5 (lima) kasus kekerasan di Aceh dalam proses penyelidikan pro-justisia, tentu saja masih jauh dari gambaran utuh kejadian atau peristiwa kekerasan di Aceh periode 1989-2005. Hasil pertemuan KontraS dengan korban DOM dari 12 Kabupaten di Aceh misalnya, muncul beberapa fakta yang selama ini tidak pernah banyak diungkap. Para korban yang dihilangkan secara paksa sebagian besar “diambil” dari
rumah sejak periode konflik mulai dari tahun 2000, 2001 sampai penerapan Darurat Militer 2003. Banyak diantara mereka yang hingga kini belum kembali. Keluarga korban juga mengalami kekerasan, penderitaan dan kerugian. Baik saat keluarga (kebanyakan anggota keluarga laki-laki), “diambil”, maupun setelah kejadian. Para keluarga dipaksa untuk tidak melapor ke mana pun. Harta benda keluarga korban, seperti rumah, dirusak dan dibakar. Tak sedikit keluarga korban (istri dan anak) harus hidup berpindahpindah. Hingga saat ini, kondisi korban dan keluarga korban masih banyak yang hidup memprihatinkan. Khususnya keluarga korban yang sama sekali tidak terafiliasi dengan GAM. Bantuan Reintegrasi Aceh (BRA) justru sulit didapatkan. Bahkan, sebagian tidak pernah mendapatkan sama sekali. Kondisi berbeda dialami mantan anggota GAM yang juga merupakan korban DOM, yang jauh lebih mudah mendapatkan bantuan diyat. Bantuan itu didapatkan usai nota kesepahaman Helsinki ditanda tangani, dan baru berhenti diberikan di masa Gubernur Baru, Zaini Abdullah. Yang tidak kalah menyakitkan, hingga kini, keluarga korban masih mengalami trauma akibat intimidasi dan kekerasan fisik yang dialami, dalam proses pengambilpaksaan anggota keluarga dari rumah. Banyak dari mereka juga mengalami kekerasan fisik dalam proses itu, masih merasakan sakitnya hingga ini. Berbagai hal itu membuat keluarga korban DOM Aceh menaruh harapan besar kepada KKR. Dalam pertemuan dengan organisasi masyarakat sipil (termasuk KontraS), harapanharapan itu mengucur deras. Marzuki, warga Bireuen, misalnya. Menurut Marzuki, hal terpenting yang harus dilakukan di Aceh adalah pengungkapan kebenaran dan penegakan hukum untuk memulihkan kondisi
kejiwaan warga Aceh. “Sampai saat ini masih banyak korban yang dendam terhadap pelaku pelanggaran HAM. Perihal reparasi atau ganti rugi, memang sudah ada yang menerima bantuan, baik rumah maupun yang lainnya. Namun belum sesuai dengan apa yang dialami oleh korban,” katanya. Sementara warga Aceh Jaya bernama Zulfikri berharap, KKR berpihak pada korban. Jika tidak, maka keberadaan KKR justru tidak ada gunanya. “Jika tidak untuk kepentingan dan berpihak pada korban, lebih baik ditiadakan.” Hampir senada, Nasrullah, warga Aceh Besar menilai, perlu adanya perbaikan dalam kewenangan KKR, untuk bisa mewujudkan harapan masyarakat korban DOM. “Lahirnya KKR karena banyaknya korban di Aceh. Namun demikian, ada butir-butir dalam KKR yang perlu direvisi atau ditambahkan, sehingga harapan korban bisa terpenuhi,” kata Nasrullah. Lain halnya dengan Nurjanah, warga Pidie. Ia menyoroti keterwakilan perempuan dalam Komisioner KKR. Menurutnya, jumlah perempuan dalam lembaga itu menentukan nasib korban DOM dari pihak perempuan. Seperti yang dideskripsikan Suraeni, warga Aceh Timur. “Harus ada pemulihan bagi jandajanda korban agar mandiri dan tidak tergantung pada pemerintah,” katanya. Selain perempuan, korban DOM yang masih anak-anak juga patut diperhatikan. Seperti yang diungkapkan Saburan, warga Jambe Kepok, Aceh Selatan. “Anak-anak korban di wilayah kami sebagian besar putus sekolah karena ketidakjelasan prosedur beasiswa.” Sampai saat ini, kata Jasmawati, warga Aceh Barat, anak-anak korban konflik banyak yang tidak merasakan bangku kuliah. Tak sedikit dari mereka yang terlantar. “DPR Aceh sebaiknya menyediakan reparasi korban dalam bentuk pendidikan sampai jenjang sarjana,” jelasnya.
Tak Kenal, Tak Sayang Satu hal yang patut menjadi catatan dalam kehadiran KKR ini adalah minimnya informasi karena tidak maksimalnya sosialisasi. Pihak yang patut dipersalahkan dalam hal ini adalah DPR Aceh, sebagai tim perumus dalam proses penyusuan dan pembuatan Qanun KKR. KontraS mencatat, bahwa DPR Aceh baru melakukan sosialisasi di akhir pembahasan pada 2-3 Desember 2013, dengan melakukan dialog publik di dua Kabupaten saja, Meulaboh dan Lhokseumawe. Padahal di dalam UU No 11/2006 tentang Pemerintahan Aceh, secara khusus diatur dalam Pasal 238 ayat (2) tertulis “Setiap tahapan penyiapan dan pembahasan qanun harus terjamin adanya ruang partisipasi publik”. Dalam diskusi publik dan Rapat Dengar Pendapat Umum (RDPU) di Kantor DPR Aceh pada 9-10 Desember 2013, terungkap kekecewaan para korban dan aktivis HAM di Aceh. Mereka mengingatkan DPR Aceh agar benar-benar membawa aspirasi korban dalam penyusunan Qanun KKR. “Hal yang penting dari KKR adalah harus diungkapnya kebenarannya (siapa pelakunya)” kata Munadi, korban DOM dari Pidie Jaya. Para korban yang lain juga mendesak pemulihan yang komprehensif. Proses hukum tidak boleh dihentikan bagi para pelaku. Gilang Destika Lestari, Koordinator KontraS Aceh menegaskan hal itu. “Pelaku harus diadili di pengadilan HAM dan harus ada pemulihan bagi janda-janda korban konflik agar tidak terus bergantung pada Pemerintah,” katanya. “Banyak korban yang masih trauma sehingga penting untuk dipulihkan terutama korban yang mengalami kekerasaan seksual saat konflik.” Secara umum, para penggiat HAM di Aceh mendorong kembali agar semua persoalan yang ada pada korban harus bisa dijawab melalui KKR Aceh, mengingat hal mendasar dari KKR adalah untuk kepentingan pengungkapan kebenaran atas peristiwa yang dialami oleh korban.
Sayangnya, kritikan untuk sosialisasi Qanun KKR itu tidak banyak ditanggapi oleh DPR Aceh. Hal itu terbukti dengan tidak dilakukannya sosialisasi tambahan, hingga Qanun KKR diberlakukan. Tak heran bila kemudian, banyak “lubang” dalam regulasi itu. Analisa yang dilakukan KontraS menemukan setidaknya ada lima pasal yang bermasalah. Yakni, pasal 6, pasal 9, pasal 11, pasal 30 dan pasal 33. Dalam pasal 6 misalnya, tertulis tentang struktur KKR Aceh yang komisionernya dipilih oleh DPR Aceh. Hal ini, berpotensi menghilangkan independensi lantaran proses politik pemilihan oleh DPR Aceh, rentan membawa kepentingan politik partai. Berbeda bila komisioner KKR dipilih oleh panitia seleksi yang terdiri dari ahli HAM dan perwakilan korban. Penjelasan dalam pasal 11 yang berbunyi “Syarat dan kriteria menjadi anggota KKR Aceh adalah: (c) mampu membaca Al-Quran” juga mendapatkan sorotan. Hal itu secara tidak langsung menutup kemungkinan warna non muslim – yang memahami HAM – untuk menjadi komisioner. Begitu juga pasal 9 yang menjelaskan fungsi KKR untuk memastikan ketersediaan sumber daya dan mengontrol anggaran yang berkaitan dengan pelaksaan qanun. Dalam prakteknya, hal ini akan membuat KKR terganggu dalam melaksanakan tugas intinya. Jauh lebih baik bila hal pendanaan diserahkan kepada gubernur dan DPR Aceh. Sementara pasal 30 dan pasal 33 yang menitikberatkan pada hal rekonsiliasi, juga dinilai tidak memperkuat KKR, melainkan justru mampu menciptakan titik lemah baru. Selain pasal-pasal bermasalah tersebut, KontraS juga mencatat bahwa Qanun KKR tidak memiliki beberapa ketentuan yang seharusnya diatur dalam kaitannya dengan akuntabilitas penyelesaian kasus pelanggaran HAM masa lalu. *IDN
DUKUNGAN MINIM TUAN-TUAN,..
Secara esensi, tugas penting KKR Aceh tidak sepenuhnya mendapatkan dukungan penuh dari DPR Aceh, maupun pemerintah.
KETIKA DPR Aceh menggelar Sidang Paripurna ke-7 di Banda Aceh, Jumat, 27 Desember 2013 lalu, banyak pihak menanti adanya berbagai terobosan. Terutama ketika agenda sidang itu membicarakan tentang Komisi Kebenaran dan Rekonsiliasi (KKR) di Bumi Serambi Mekkah. Apa yang terjadi dalam persidangan itu tidak sepenuhnya keluar dari harapan. Hampir seluruh fraksi menyatakan dukungannya kepada KKR. Bahkan semuanya memberikan harapan agar KKR mampu membawa Aceh menjadi lebih baik. Namun, justru dukungan itu yang menjadi “masalah”. Banyak pihak berpendapat, dukungan itu hanyalah “sapuan angin di kulit ari”. Sama sekali tidak mencapai esensi persoalan yang sebenarnya terjadi.
Simak saja. Dalam pandangan fraksinya, Dalimi, juru bicara Partai Demokrat menyatakan sependapat dengan pendapat Gubernur Aceh, Zaini Abdullah. Zaini menyatakan KKR Aceh harusnya bersifat independen dan ad hoc, sesuai dengan pasal 228 UU Pemerintah Aceh. Namun mengenai keberadaan Sekretariat KKR Aceh, Fraksi Demokrat sepakat dengan usulan Komisi A DPR Aceh yang menyatakan bahwa keberadaan Sekretariat KKR Aceh sangat diperlukan, mengingat banyaknya kasus yang harus diselesaikan oleh komisi ini. Kasus-kasus itu sebagian memakan waktu lebih dari 5 tahun untuk penyelesaiannya. Oleh karena itu, diperlukan sebuah sekretariat yang tetap untuk menjamin keberlangsungan semua berkas dan menjaga kesinambungan permasalahan. Apalagi, terjadi pergantian anggota komisi yang akan dilakukan dalam setiap jangka waktu 5 tahun. Pandangan Fraksi Golongan Karya, melalui juru bicaranya Nurlelawati menilai kehadiran Qanun KKR adalah wujud dan tuntutan MoU Helsinki. Oleh karenanya, Fraksi Golkar berharap agar rancangan Qanun ini segera dapat disahkan menjadi Qanun.
Bagi Gokar, kehadiran Qanun ini akan menjadikan Aceh bermartabat dalam bingkai Negara Kesatuan Republik Indonesia (NKRI), di mana prinsip kedamaian dan saling menghargai menjadi rohnya. “Maka, menurut Fraksi Golkar, meminta maaf sangatlah penting dalam hidup ini, akan tetapi memberi maaf jauh lebih penting,” kata Nurlelawati. Pandangan yang berbeda muncul dari Fraksi Partai Aceh, melalui Tgk M Harun. Menurutnya, kebutuhan terhadap keadilan bagi seluruh masyarakat Aceh yang menjadi korban selama konflik berlangsung di Aceh, dan pelurusan kebenaran sejarah Aceh, merupakan tanggung jawab seluruh elemen masyarakat. Hal ini merupakan kewajiban, bukan hanya bagi Pemerintah Aceh, tapi juga bagi semua negara atau pemerintahan di dunia yang sedang menjalani proses transisi setelah konflik selesai. Dalam pemahaman dunia internasional, proses transisi pasca konflik harus diisi dengan pengungkapan kebenaran, reparasi, reformasi institusi dan pengadilan Hak Asasi Manusia (HAM). Hal ini wajib dilakukan untuk memastikan tegaknya keadilan dan pelurusan sejarah. Apalagi di dalam MoU Helsinki telah ditegaskan, mekanisme penyelesaian permasalahan HAM dan diformalkan ke dalam Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 11 tahun 2006 Tentang Pemerintahan Aceh. Oleh karena itu, keberadaan lembaga KKR di Aceh merupakan mutlak adanya. Juru bicara Fraksi PPP-PKS, Ghufran Zainal Abidin dalam pandangan fraksinya menyatakan dukungannya terhadap upaya pengungkapan kebenaran melalui Qanun KKR Aceh. Secara garis besar, Fraksi PKS mendukung langkah-langkah pengungkapan kebenaran melalui pembentukan qanun ini.
SOLUSI SETENGAH HATI
pada 2014, tidak melaksanakan rekomendasi KIPTKA.
Posisi berbeda bisa terbaca dalam sikap Pemerintah Pusat di Jakarta. Pemerintah RI di bawah Presiden Susilo Bambang Yudhoyono (SBY), yang notabene adalah pihak yang ikut berperan dalam Nota Kesepahaman Helsinki, justru tidak banyak berbuat untuk KKR. Presiden SBY seakan menutup mata dari dinamika dan perkembangan yang terjadi di Aceh.
Pemerintah, seharusnya adalah pihak yang paling bertanggungjawab untuk mendorong proses pengungkapan kebenaran atas semua peristiwa pelanggaran HAM yang telah terjadi di Aceh. Apalagi dalam soal KKR, sudah tercantum secara jelas dalam MoU antara Pemerintah Indonesia dan GAM, khususnya pada bagian 2 tentang HAM yang merekomendasikan Pemerintah Indonesia untuk melakukan sejumlah hal.
Undang-Undang Dasar Negara Tahun 1945 dan Undang-Undang Nomor 39 Tahun 1999 tentang HAM telah memberikan penegasan kepada Pemerintah tentang kewajibannya dalam pemenuhan, penegakan, perlindungan dan penghormatan HAM. Berbeda dengan sikap pemerintah saat BJ Habibie masih menjadi Presiden. Ketika itu, BJ Habibie mengeluarkan Keputusan Presiden (Keppres) No 88 tahun 1999 tentang Komisi Independen Pengusutan Tindak Kekerasan di ACEH (KIPTKA), dan diperpanjang masa tugasnya melalui Keppres No 27 tahun 2000. Komisi ini telah merekomendasikan beberapa hal. Diantaranya, reformasi institusi dan mendorong proses hukum atas sejumlah kasus kekerasan yang terjadi di masa lampau. Sayangnya, temuan dan rekomendasi yang dikeluarkan KIPTKA justru dianggap angin lalu oleh Pemerintah SBY. Selama SBY berkuasa dua periode, hingga akhirnya digantikan Joko Widodo
Seperti mematuhi konvensi internasional PBB mengenai hak-hak sipil dan politik dan mengenai ekonomi, sosial dan budaya. Juga, membentuk Pengadilan HAM di Aceh, dan membuat Komisi Kebenaran dan Rekonsiliasi (KKR), dan Komisi Kebenaran dan Rekonsiliasi (KKR) Indonesia dengan tugas merumuskan dan menentukan upaya rekonsiliasi. Hasil kesepahaman tersebut harus dijadikan ukuran bagi pemerintah pusat untuk mendorong proses pengungkapan kebenaran di Aceh. Sikap Presiden SBY yang mengabaikan KIPTKA diikuti pula oleh sikap serupa Kementrian Hukum dan HAM. Dalam sebuah diskusi publik di Jakarta pada 12 November 2013, Kemenkum HAM menyatakan bahwa Pemerintah memberikan dua solusi untuk Qanun KKR Aceh. Pertama, DPR Aceh menunggu proses Undang-Undang KKR nasional selesai disusun.
Dan Kedua, DPR Aceh dan pemerintah provinsi Aceh bisa menyusun qanun KKR dengan merujuk pada Undang-Undang Keistimewaan Aceh (Hukumonline.com, 12 November 2013). Tetapi, jika nanti UU KKR pengganti UU No 27 tahun 2004 disahkan, qanun harus disesuaikan.
Pemerintah Provinsi Aceh pun tidak lebih baik dalam bersikap. Gubernur Aceh, Zaini Abdullah sempat mengatakan keteguhannya untuk merealisasikan pembentukan KKR Aceh, sebelum Presiden SBY habis masa jabatannya, pada Oktober 2014 ini.
Ironisnya, di tengah situasi Qanun KKR yang masih memiliki banyak catatan, Kementerian Dalam Negeri mengeluarkan pernyataan yang melemahkan Qanun KKR. Melalui Kepala Biro Hukum Kementerian Dalam Negeri, Zudan Arif Fakhrulloh, Kemendagri mengatakan KKR Aceh merupakan bagian dari KKR di tingkat nasional, sehingga pembentukannya harus menunggu pengesahan Undang-Undang KKR.
“Kita harapkan sebelum habis jabatan SBY sebagai Presiden, maka KKR terbentuk di Aceh,” kata Zaini seperti dimuat dalam Acehterkini.com edisi 21 April 2013. Selanjutnya dalam substansi Qanun KKR, Gubernur Aceh melalui Sekretaris Daerah juga menyampaikan harapannya agar KKR merupakan lembaga independen dan ad hoc, serta bukan lembaga permanen menurut amanah UUPA.
“Sistem hukumnya itu, UU KKR-nya terlebih dahulu (disahkan), baru Perda atau qanun KKR Aceh dibentuk,” katanya sebagaimana dimuat BBC Indonesia, 27 Desember 2013.
“Sehingga, bila anggota DPR Aceh sependapat dengan kami, perlu dipertimbangkan kembali soal keberadaan Sekretariat KKR Aceh,” katanya sebagaimana dibuat di Tribunews.com, 28 Desember 2013.
TIDAK ESENSIAL Ada beberapa hal yang bisa “dibaca” dalam sikap DPR Aceh, Pemerintah SBY maupun Pemerintah Provinsi NAD. Secara umum, pandangan fraksifraksi tersebut tidak ada yang anti ataupun menentang pembentukan mekanisme KKR. Namun demikian, pandangan tersebut mencerminkan minimnya pemahaman tentang KKR, dan sebaliknya yang lebih menonjol adalah menyederhanakan mekanisme KKR dengan hanya menyebut sekretariat dan saling memafkan. Meski kedua pandangan ini penting, tapi inti dari KKR tentu lebih dari sekedar dua hal itu. Dalam paparannya, PA memiliki pandangan yang sedikit lebih baik dan tegas tentang KKR. Hanya saja, secara keseluruhan, belum ada yang berani memastikan bahwa KKR ini tidak boleh menggantikan pengadilan. Juga, tidak ada yang menegaskan, KKR bukanlah satu-satunya upaya, sebagaimana dimandatkan dalam perjanjian Helsinki untuk menyelesaikan persoalan pelanggaran HAM di Aceh. Dari pendapat Kemenkum HAM tampak adanya ketidaktegasan dalam mencari solusi problem Qanun KKR Aceh. Seharusnya Kemenkum HAM
bisa memberikan penegasan dan informasi yang komprehensif perihal Qanun KKR Aceh yang sedang dibahas oleh DPR Aceh.
Dalam hal ini, proses pengungkapan kebenaran sesuai dengan mandat dari Nota Kesepahaman antara Pemerintah RI dan GAM, harus ditafsirkan sebagai sebuah rekomendasi politik yang mutlak dijalankan oleh Pemerintah Aceh tanpa harus mengunggu adanya KKR Nasional terlebih dahulu. Begitu juga pendapat Kemendagri yang jauh dari relevan. Mengingat proses pengungkapan kebenaran melalui Qanun KKR Aceh berdasarkan rekomendasi politik dari Nota Kesepahaman antara Pemerintah Indonesia dan GAM. Selain itu, kekerasan saat konflik terjadi di Aceh berlangsung cukup lama (1976-2005) sehingga dibutuhkan sebuah upaya untuk mengungkap kebenaran atas semua peristiwa pelanggaran HAM yang terjadi di Aceh. Agaknya, tuan-tuan memang minim dukungan,...
*IDN
TAK ENGGAN TURUN TANGAN Suatu hari di tahun 2006. Sebuah pertemuan di Banda Aceh yang dilakukan beberapa organisasi masyarakat sipil menyepakati terbentuknya Koalisi Pengungkap Kebenaran (KPK). Satu tujuan besar koalisi ini adalah mewujudkan apa yang mereka sebut sebagai Komisi Kebenaran dan Rekonsiliasi (KKR). Jalan panjang dan berliku pun dimulai,.. Dalam catatan KontraS, hal pertama yang dilakukan KPK untuk memperkuat KKR Aceh, adalah dengan kunjungan lapangan untuk melakukan pertemuan dengan korban. Melalui forum ini, KPK mengharapkan mampu mengetahui dengan pasti kebutuhan dan kondisi aktual korban para korban dan keluarganya. Langkah awal yang tidak semudah membalik telapak tangan. Pertemuan dilakukan dalam dua tahap. Tahap pertama, menemui korban di lima kabupaten yang tersebar di Provinsi Nanggroe Aceh Darussalam, pada tanggal 9-14 November 2013. Yakni di Kabupaten Aceh Utara, Bireun, Bener Meriah, Aceh Selatan, Bakongan dan Jamboe Kepok. Selain melakukan pertemuan itu, KontraS dan kelompok sipil juga melakukan kunjungan ke keluarga korban di Tengku Bantaqiyah, Beutong Atjeh. Sebuah perjalanan panjang yang melelahkan, mengingat lokasi tempat mereka tinggal, pondok pesantren Tengku Bantaqiyah, berada di lereng perbukitan di Aceh Tengah. Rombongan membutuhkan waktu lima jam perjalanan untuk menjangkau tempat itu. Pertemuan tahap kedua dilakukan di 12 Kabupaten yang tersebar di Provinsi Aceh. Cakupan pertemuan kedua ini, jauh lebih luas dan rumit. Waktunya pun dilakukan lebih lama.
Agenda penting yang digelar dalam pertemuan itu adalah sosialisai pentingnya KKR pada korban dan keluarga korban. Sekaligus menggali masukan hal-hal yang baiknya ada dalam qanun yang digelar atas “perintah” Nota Kesepahaman Helsinki itu. Harapannya, substansi Qanun KKR Aceh dapat mengakomodir kepentingan para korban, terutama dalam hal akses keadilan dan pemulihan secara komprehensif. Saat pertemuan berlangsung, hal pertama yang dihadapi KontraS adalah ketidakpahaman audiens atas KKR. Tak sedikit di antara korban dan keluarga korban belum pernah mendengar adanya upaya DPR Aceh membentuk KKR Aceh. Setiap anggota KPK menyadari, apa yang sedang mereka gagas bukanlah hal yang mudah. Mereka harus berhadapan dengan logika “membuka luka lama”. Lantaran setiap peristiwa yang masuk dalam sorotan KKR sudah terjadi di masa lalu, dan belum selesai sampai saat ini. Namun, bagaimana pun resikonya, KKR harus terbentuk. Tidak ada lagi cara untuk menyelesaikan berbagai persoalan itu, tanpa melalui sebuah mekanisnya untuk menyelesaikan seluruh persoalan secara tuntas, tanpa menghilangkan prinsip keadilan di dalamnya. Tentu saja, sekaligus memberikan rambu-rambu agar peristiwa serupa tidak kembali terjadi. Setahun kemudian, pembentukan KPK mulai membuahkan hasil. Konsolidasi tanpa henti yang dilakukan KPK kepada komunitas korban dan keluarganya, berhasil membentuk enam komunitas korban. Antara lain, Komunitas Korban Aceh Utara, SPKPJ Pidie, SKOB HAM Bireun, JHK3AT Aceh Tengah, K3BM Bener Meriah, dan Solidaritas persaudaraan Korban Pelanggaran
HAM Aceh (SPKP HAM Aceh). Semuanya tersebar di 13 kabupaten. Keberadaan komunitas ini, selain memperkuat jaringan KPK, juga memperkuat kapasitas korban dalam mendorong keadilan. Hal itu secara tidak langsung menjadi pondasi dari kesadaran korban atas langkah pembentukan Qanun KKR. Korban dan keluarganya adalah bagian dari kelompok ini untuk perjuangan itu. Tahun 2008, perjuangan KPK dilanjutkan dengan membangun jaringan yang lebih luas. Dalam fase ini, KPK menginisiasi pertemuan dengan sejumlah pakar, akademisi, praktisi, untuk menyusun sebuah rancangan qanun tentang KKR. Koalisi masyarakat sipil, keluarga korban dan para pakar dari berbagai latar belakang mencoba membedah apa dan bagaimana Qanun KKR. Selama setahun, penggodokan Qanun KKR versi masyarakat sipil itu dilakukan. Rancangan itu tuntas dibuat pada akhir 2008. Tepat pada Desember 2008, KPK menyerahkan rancangan qanun KKR versi masyarakat sipil kepada DPR Aceh. Untuk selanjutnya, proses legislasi diserahkan sepenuhnya pada DPR Serambi Mekkah itu. Namun kenyataan “jauh panggang dari pada api”. Selama setahun pascapenyerahan itu, DPR Aceh tidak pernah membahas rancangan Qanun KKR versi masyarakat sipil. Begitu juga ketika digelar
sidang paripurna DPRA. Tentu saja, hal itu tidak membuat perjuangan untuk membuan Qanun KKR berhenti. Melalui media massa, kelompok masyarakat sipil melakukan pembangunan opini. Mereka mengabarkan kepada khalayak luas tentang perlunya membuat Qanun KKR di Aceh, sebagai realisasi dari Nota Kesepakatan Helsinki, Finlandia. Pada 2010, Korban Simpang KKA membuat acara pengungkapan kebenaran atas peristiwa Simpang KKA. Kali ini, segala informasi tentang peristiwa itu diungkap dari cerita versi korban. Acara berlanjut dengan peringatan peristiwa KNPI dan peringatan HAM sedunia di Banda Aceh. Perlahan-lahan, berbagai kegiatan itu membuka mata publik tentang perlunya segera dibuat sebuah badan yang memiliki tugas mencari kebenaran dan perlunya melakukan rekonsiliasi atas peristiwa pelanggaran HAM di Aceh. Gelombang kesadaran pun semakin besar dan tidak terbendung. DPR Aceh tidak kuasa lagi untuk tidak merealisasikan Qanun KKR. Setahun kemudian, rancangan qanun KKR masuk prioritas program legislasi daerah di tahun 2011. Rancangan qanun itu berada di urutan 11 usulan legislatif. Namun belum ada jaminan kapan akan dibahas karena tidak menjadi prioritas pemerintah Aceh.
Tahun 2012 terdengar kabar menggembirakan. Rancangan Qanun KKR Aceh masuk dalam prioritas nomor urut 2 dalam keputusan DPR Aceh. Angin segar pun berhembus kencang. Sayangnya, hal itu bukan berarti tidak tanpa hambatan. Karena pada Oktober 2012, DPRA kembali menunda pembahasan qanun tersebut. Kesabaran kembali diuji. Pada bulan Oktober hingga November 2013, sebuah langkah besar dilakukan. KontraS, KontraS Aceh, dan LBH Aceh serta elemen masyarakat sipil di Aceh melakukan kunjungan dan sosialisasi Qanun KKR kepada komunitas korban. Langkah itu membuahkan hasil yang luar biasa. Sebulan kemudian, Desember, DPR Aceh menggelar diskusi publik dan rapat dengar pendapat umum untuk meminta masukan dari berbagai pihak tentang Qanun KKR Aceh. Momen itu tidak disia-siakan. Korban dan keluarga korban pelanggaran HAM semasa DOM bersama elemen masyarakat sipil lainnya memberikan surat masukan versi masyarakat sipil perihal rancangan Qanun KKR Aceh. Dan pada 27 Desember 2013, DPRA mengesahkan rancangan Qanun KKR menjadi Qanun KKR. Qanun ini kemudian diundangkan oleh pemerintah Aceh pada 31 Desember 2013 dengan nomor 17 tahun 2013 tentang Komisi Kebenaran dan Rekonsiliasi Aceh. Kemudian, Gubernur Aceh Zaini Abdullah pada 3 Februari 2014 menyerahkan Qanun KKR Aceh kepada Menteri Dalam Negeri Gamawan Fauzi, untuk dimintai tanggapan dan pandangan. Namun hingga tulisan ini dibuat, Kemendagri belum menyampaikan tanggapan apapun atas Qanun KKR Aceh tersebut. Usaha untuk mengungkap kebenaran di Aceh tidak hanya berhenti saat Qanun KKR berhasil disahkan. Hal lain yang penting dalam menjamin efektivitas KKR adalah adanya komisioner KKR Aceh yang akuntabel dan memiliki integritas. Sedapat mungkin, proses pemilihan calon anggota KKR harus selektif, dengan melibatkan panitia yang terdiri dari semua unsur, organisasi non-pemerintah/LSM, akademisi, tokoh agama dan masyarakat. bukan hanya unsur pemerintah. Di samping itu, syarat untuk menjadi anggota
KKR haruslah diperketat. Panitia seleksi harus memastikan rekam jejak calon anggota KKR, menguji pemahaman, dan kecakapan dalam bidang HAM. Sementara dalam hal independensi, calon anggota KKR tidak boleh memiliki ikatan dengan pelaku, baik secara langsung maupun tidak langsung. Calon anggota KKR juga tidak boleh dari kader partai politik atau berlatarbelakang Purnawirawan (TNI/Polri). Di samping itu, karena komisi Kebenaran adalah proses non-hukum, maka dibutuhkan partisipasi dan keterlibatan yang penuh dari semua korban. Bentuk partisipasinya adalah dengan melakukan identifikasi terhadap sejumlah peristiwa kekerasan yang terjadi di sekelilingnya. Meliputi jumlah dan status korban. Dalam hal ini, haruslah teridentifikasi, apakah masih ada korban penculikan yang belum kembali atau masih dihilangkan secara paksa. Penentuan lokasi kejadian dan dokumen pendukung berkaitan peristiwa kekerasan juga penting untuk ada. Dan yang tidak kalah penting, melakukan diskusi dan konsolidasi antar sesama korban, dan mendatangi pihak-pihak yang terkait KKR secara proaktif. Untuk menjamin akuntabilitas, maka KKR Aceh juga harus mengeluarkan laporan akhir pada akhir periode kerjasanya dan menyampaikan kepada pemerintah dan DPR, baik lokal maupun nasional. Penyampaian laporan akhir pun harus diumumkan kepada publik dalam waktu bersamaan. Dalam jangka waktu tertentu, laporan akhir juga harus dimasukkan ke dalam Lembaran Negara dan kemudian dibahas dalam sidang khusus DPR. Upaya ini dilakukan agar apa yang dilakukan KKR Aceh dapat dipantau dan dievaluasi bersama, baik oleh pemerintah, DPR, maupun masyarakat umum. Sungguh, semuanya tidak segampang membalik telapak tangan,..
*IDN
WAWANCARA Samsul Rizal, Keluarga korban penculikan, Univ. Malikul Shaleh
sampai saat ini belum ada titik terang terhadap pembentukan komisi ini. Harapan korban bila komisi ini sudah terbentuk, orang yang duduk di komisi tersebut harus diseleksi secara jelas. Soal kemandirian KKR banyak disorot, menurut anda?
“Seluruh korban agar bersuara” Apa harapan anda terhadap KKR? Harapan saya terhadap KKR yg telah berjalan ini, agar seluruh korban bersama-sama bersuara. Selama ini hanya satu dua korban saja di beberapa kabupaten yg bersuara, ini yang membuat seolaholah tidak ada kasus pelanggaran HAM di Aceh. Apa yang anda lakukan untuk itu? Sekarang kami sedang mendorong DPRA agar segera membentuk Pansus tentang KKR. Saya berharap komponen mahasiswa dan aktivis LSM untuk terus bersama-sama menyuarakan Qanun KKR dan Pengadilan HAM di Aceh. Komisioner/anggota KKR seperti apa yang diharapkan oleh korban, seperti kriteria dan lain-lain?
Komisi ini harus bekerja secara independen, harus memihak kepada korban dalam hal pengungkapan kebenaran. Masalah kompensasi di Qanun akan menghabiskan anggaran daerah, mengapa anggaran tidak dari pusat karena ini negara yang melakukan. Harus ada sinkronisasi lagi antara daerah dan pusat, supaya kebenaran itu jelas. Mudah-mudahan qanun KKR segera terbentuk, sebelum masa habis jabatan anggota DPRA tahun ini.
Al Chaidar, Akademisi Universitas Malikulsaleh “Banyak nuansa politisnya” Bagaimana pandangan Bapak soal KKR Aceh yang sudah disahkan oleh DPR Aceh ?
Murtala, Koordinator Suara aktivis HAM untuk Aceh
KKR ini memang banyak sekali nuansa politisnya sehingga tidak bisa terwujud di Aceh. KKR adalah mekanisme yang akan mengungkap peristiwa pelanggaran HAM yang terjadi di masa lalu seperti kekejaman masa DOM, DM I dan II, Darurat Sipil, serta kekerasan yang dituduhkan kepada kelompok minoritas. Oleh karenanya, kita harus menghilangkan budaya politik terlebih dahulu, seperti prasangka jika KKR akan menjerumuskan institusi Militer dan Polri ke dalam penghinaan, padahal sebenarnya tidak.
“Belum ada titik terang”
Apakah banyak kasus seperti itu?
Apa upaya korban dalam mendorong KKR?
Data dan dokumen sudah lengkap dan banyak masyarakat yang bisa menceritakan peristiwa yang terjadi di masa lalu dan kekerasan yang dilakukan oleh pemberontak terhadap militer/ polisi, serta terhadap masyarakat yang pro terhadap pemerintah yang dianggap cuak (informan). Saat ini partai lokal yang menjadi penguasa di Aceh hampir 90 % adalah pihak pemberontak pada saat itu. Sementara pihak yang saat itu tidak memberontak dan menjadi korban tidak mendapatkan perhatian dari KKR Ini
Pertama, dia harus mengakui dulu bahwa ada pelanggaran HAM di Aceh. Kedua, dia harus mengetahui betul bahwa banyak pembantaian yang terjadi dan bagaimana dia bisa melihat situasi dan kondisi di Aceh dulu dan sekarang.
Melihat MoU Helsinki, seharusnya pemerintah Aceh dan Indonesia sudah membentuk KKR di Aceh. Mulai tahun 2007, korban tidak henti menyuarakan di internasional dan nasional terkait pembentukan Komisi KKR, hingga 2014. Kan sudah disahkan, bagaimana komentar anda? Kami pernah mengunjungi Sekretaris komisi A di DPRA, karena Qanun KKR sudah disahkan oleh DPRA tanggal 27 Desember 2013, namun
Seberapa penting KKR bisa efektif untuk penyelesaian kasus pelanggaran HAM di Aceh ?
Harapan mahasiswa terhadap proses KKR yg sedang berjalan sekarang seperti apa?
Penting sekali, karena masyarakat masih belum bisa melupakan. Banyak keluarga korban yang masih trauma. Jika tidak ada kehadiran negara dalam penyelesaian masalah di masa lalu maka korban tidak akan bisa menerima. KKR penting untuk kembali memformat sejarah Aceh. Jika tidak, akan terus terjadi fitnah terhadap siapapun. KKR akan efektif jika memiliki kekuatan hukum yang besar, yang tidak hanya mengarah kepada oknum, tetapi institusi. Sebagai contoh, dana Diyat (ganti rugi) jangan dibayarkan dulu, tetapi menunggu pengungkapan kebenaran yang komprehensif. Rakyat Aceh pastinya akan memaafkan namun tidak akan pernah melupakan peristiwa yang terjadi di masa lalu.
Bila kita ingin adanya penegakkan HAM yg baik di Aceh, maka orang yg ada di KKR harus steril dari unsur-unsur politis, penegakkan HAM harus benar-benar dioptimalkan, jangan sampai aturan ini tidak berlaku terhadap elit-elit penguasa. Bila ketua dan anggota KKR sudah dipilih semoga itu yang terbaik agar HAM di Aceh benar-benar bisa ditegakkan.
Apa harapan setelah DPR Aceh mengesahkan Qanun KKR ? Kita berharap ada keberanian dari DPR Aceh karena ini amanat Nota Kesepahaman Damai (MoU) Helsinki. Terlebih lagi, substansi dari MoU adalah membentuk KKR dan Pengadilan HAM yang hingga saat ini belum terbentuk.
Dari harapan yang sudah disebutkan tadi, peran apa yang akan dilakukan mahasiswa agar halhal tersebut bisa tercapai? Teman-teman mahasiwa akan terus menyuarakan perihal KKR ini kepada khalayak luas. Kami sudah beberapa kali melakukan aksi guna menginformasikan bahwa KKR ini belum benar-benar mengakomodir korban.
Ridia Riski Anggita, Mahasiswa, Univ. Malikul Saleh “Semoga bisa mengungkap fakta”
Alfiandi, Mahasiswa
Sebagai seorang mahasiswa, bagaimana menurut kamu tentang proses perjalanan Qanun KKR dan apa harapan mahasiwa terhadapnya?
“Kita ingin penegakan HAM lebih baik” Sebagai seorang mahasiswa, bagaimana menurut kamu tentang proses perjalanan Qanun KKR? Bila saya lihat, pembentukan KKR banyak sekali mengalami pasang surut baik di DPRA maupun di pusat. UU KKR nasional saja di-judicial review, ini berimbas kepada UU KKR di tingkat lokal. Mekanisme perekrutan anggota KKR juga belum selesai. KKR bersifat independen tetapi kenapa dalam pemilihan difokuskan kepada DPRA yang notabene seluruh anggotanya dari partai politik, pasti banyak sekali unsur-unsur politis yang terjadi. Banyak wacana di kalangan korban yang berpendapat qanun KKR ini belum sepenuhnya mengakomodir hak korban, namun di sisi lain korban juga merasa bila tidak ada KKR, Pemerintah Aceh belum bisa mengimplementasikan UUPS.
Semoga dengan adanya KKR ini bisa mengungkapkan fakta-fakta kekerasan yang dialami korban, jangan sampai dengan adanya KKR ini tidak ada pengungkapan kebenaran dari korban. Peran apa yang akan dilakukan mahasiswa agar hal-hal tersebut bisa tercapai? Karena saya suka menulis opini, jadi saya akan memperjuangkan suara korban dari tulisan, berharap banyak yang membaca dan mengetahui apa yang sebenarnya terjadi pada korban.
Muhammad Fazil, Univ. Malikul Shaleh “Banyak kekerasan yang belum dituntas” Sebagai seorang mahasiswa, bagaimana menurut kamu tentang proses perjalanan Qanun KKR dan apa harapan mahasiswa terhadapnya? Banyak kekerasan di Aceh hingga kini belum tuntas diungkapkan kepada publik di Aceh. Harapan dan upaya kami adalah terus mendesak pihak yg berwenang untuk segera menuntaskan permasalah yang ada, agar trauma di masyarakat cepat hilang. Dari harapan yg sudah disebutkan, peran apa yg akan dilakukan mahasiswa aga hal-hal tersebut bisa tercapai? Kami punya BEM Se-Aceh sering Melakukan desakan kepada beberapa pihak yg bertanggungjawab untuk segera merealisasikan KKR dan mengawal proses perekrutan anggota KKR bila sudah ada, kami sebagai mahasiswa dan bagian dari korban konflik masa lalu akan terus menerobos batas-batas yang ada bila hal tersebut tidak sesuai dengan aspirasi kami. *IDN
PEMBUNUHAN, PENCULIKAN HINGGA PERKOSAAN Aceh dan pelanggaran Hak Asasi Manusia (HAM) seakan tak bisa dilepaskan. Mampukah Qanun Komisi Kebenaran dan Rekonsiliasi (KKR) menyelesaikannya? TAHUN 1982, menjadi tahun terakhir bagi Mochtar Y. Hasbi untuk ikut berjuang bagi Gerakan Aceh Merdeka (GAM). Dalam sebuah aksi penyebaran pengaruh HAM di wilayah Aceh Tamiang, Mochtar harus berjibaku dengan anggota TNI. Mochtar yang menyadari dirinya kepergok dalam rangkaian aksinya, berusaha melarikan diri. Mochtar tertangkap. Tokoh bernama Dr. Mochtar Hasbi ini bukanlah orang sembarangan. Sosok yang lahir dan besar di Madan Geudong, Aceh Utara ini adalah Menteri
Dalam Negeri dan Menteri Pertahanan Negara Aceh, di bawah Muhammad Hasan Tiro. Ada juga literatur yang mengatakan, Mochtar adalah Perdana Menteri Pertama GAM. Karena posisinya yang penting ketika GAM dideklarasikan, Mochtar adalah salah satu sosok paling dicari oleh TNI. Saat tertangkap itu, Mochtar baru berusia 35 tahun langsung dibawa entah kemana. Kabar yang beredar, Mochtar dibawa ke Pulau Tiga, Aceh Tamiang untuk dieksekusi. Jenazah Mochtar diserahkan ke keluarganya, yang langsung menguburkannya di Madan Geudong, tempat ia dilahirkan.
PERIODE GELAP Tahun 1986 hingga 1990, pantas disebut “periode gelap” di Aceh. Khususnya di Aceh Utara dan Aceh Tengah. Dalam catatan KontraS, di tahun-tahun itu sering terjadi berbagai kasus penghilangan dan pembunuhan. Salah satunya, kasus penghilangan paksa dan
pembunuhan oleh pasukan khusus TNI, Kopassus terhadap warga desa Guha Uleue, Kecamatan Kutamakmur Kabupaten Aceh Utara. Salah satu korban bernama M Nasir Bin M Kasem. Di periode yang sama, di Buket Tengkorak, Seurueke, Kecamatan Jambo Aye, Aceh Utara, ditemukan ratusan tengkorak manusia. Belum terjelaskan hingga kini, siapa empunya tengkorak-tengkorak itu. Begitu juga pada 1 Mei 1990. Seorang warga bernama Razali Achmad, tewas terkena tembakan. Tidak terdokumentasi, siapa yang melakukan penembakan itu. Hanya saja, mayatnya ditemukan di lapangan golf milik PT Arun LNG, Kabupaten Aceh Utara. Tragedi yang menimpa Sulaiman Ali, warga desa Alue Reubeek Seuneudon, Aceh Utara, terjadi di tahun 1990. Ketika itu, Sulaiman tewas akibat penyiksaan yang dilakukan oleh anggota TNI yang menangkapnya. Mayat korban ditenggelamkan di Sungai Sampoiniet, Aceh Utara. Penculikan dan penghilangan paksa juga dilakukan oleh Kopassus terhadap Abdurrahman dari Desa Ie Tarek, Kecamatan Simpang Keuramat, Kabupaten Aceh Utara. Hingga kini korban belum ditemukan. Di periode yang sama, seorang warga Seuneudon, Aceh Utara bernama Ishak Raja Bayan disiksa oleh TNI Yonif 125 di Kantor Koramil. Tak lama berselang, Muhammad Juned, warga Desa Rawa Itek, Panton Labu, Aceh Utara, ditembak oleh anggota TNI. Ironisnya, jenazah korban dibawa oleh pelaku penembakan, dan hingga kini tidak diketahui keberadaannya. Tragedi juga terjadi di Aceh Timur. Pada 15 April 1990, sebuah razia KTP yang dilakukan TNI berbuah kematian. Dua orang remaja, salah satunya bernama Sri, ditembak entah dengan alasan apa. Penembakan terjadi di Simpang Ulim, Aceh Timur. Masih diperiode yang sama, pada Juni 1990, Zulkifli tewas ditembak anggota TNI, di Desa Damar Tutong, Kabupaten Aceh Timur. Sebabnya, belum diketahui hingga kini. Sebulan kemudian, Ibrahim bin Ahmad, Mantan Kades Blang Krueng Pidie, tewas terkena tembakan pasukan TNI. Setelah itu, penduduk dikejutkan dengan penangkapan 22 warga Geumapang dan Tangse Pidie.
Sebuah peristiwa traumatis terjadi pada Agustus 1991, tak lama setelah Zainuddin, warga Seuneudon, Aceh Utara tewas ditembak anggota Kopassus, seorang warga desa Lueng Dua Simpang Ulim, Aceh Timur dieksekusi di depan umum. Korbannya adalah Imuen Sulaiman. Saksi mata mengatakan, Imuen disiksa dan ditembak di sebuah lapangan terbuka. Warga desa menyaksikan peristiwa itu dengan ketakutan, namun tidak kuasa memberikan pertolongan. Selain Imuen, apa yang dialami Rosli juga tidak kalah sadis. Laki-laki warga Bola Mas, Tanah Jamboe Aye, Aceh Utara ini mengalami penyiksaan dan kerja paksa sebagai tukang masak. Ia dituduh menyimpan senjata milik GAM. Di pos penjagaan TNI di Bola Mas Unit III, Rosli dipukuli. Selain itu, salah satu bentuk penyiksaannya adalah melukai korban dengan benda tajam, lalu meneteskan air jeruk nipis ke dalam luka yang menganga. Periode 1996 – 2000 kekerasan semakin menjadi-jadi. Sebuah peristiwa yang kemudian dikenal dengan Tragedi Rumoh Geudong di Kabupaten Pidie, sungguh tak terlupakan. Pasukan Kopassus TNI yang bertugas di wilayah itu melakukan penculikan, penyiksaan, pembunuhan dan tindakan kekerasan lainnya. Lalu, tragedi lain terjadi di 3 Mei 1999. Yakni, penembakan brutal yang dilakukan oleh anggota TNI dari Kesatuan Yonif 113 dan Den Rudal 001/Lilawangsa di Simpang KKA, Kecamatan Dewantara Kabupaten Aceh Utara. Para tentara bersenjata itu mengamuk lantaran rekan mereka, anggota TNI Kesatuan Den Rudal 001/Lilawangsa, Serka Adityawarman, dinyatakan hilang. Atas kejadian yang dikenal dengan sebutan Penembakan Simpang KKA itu membuat 39 orang meninggal dan 125 orang mengalami luka. Lain lagi yang terjadi di Idi Cut, Aceh Timur pada 2 Februari 1999. Anggota TNI dari kesatuan Lintas Udara (Linud) 100 dan Brimob di Idi Cut, kabupaten Aceh Timur, menembaki masyarakat sipil. Tujuh orang meninggal dunia, dan puluhan lainnya luka-luka dalam peristiwa ini.
Lima bulan kemudian, tepatnya 23 Juli 1999 anggota TNI dari kesatuan Korem 011/ Lilawangsa menyerang Pesantren Teungku Bantaqiah, Desa Blang Meurandeh Beutong Ateuh, Kabupaten Aceh Barat. Peristiwa tersebut menyebabkan puluhan masyarakat meninggal, termasuk salah satunya pimpinan pesantren Teungku Bantaqiah. Memasuki tahun 2000, ketika banyak orang berharap dunia menjadi lebih baik pada milienium kedua ini, tidak di Aceh. Pada 9 Agustus 2001 anggota TNI Non-Organik melakukan penyerangan di perkebunan PT Bumi Flora Afdeling IV, Desa Alue Ie Mirah, Kec. Julok, Kab. Aceh Timur. Peristiwa tersebut menyebabkan lebih dari 30 orang meninggal dan puluhan lainnya mengalami luka. Tragedi besar kembali terjadi tiga tahun kemudian. Pada 17 Mei 2003, Satuan Gabungan Intelijen (SGI) dan TNI Para Komando (PARAKO) melakukan penyerangan brutal di Desa Jambo Keupok, Kecamatan Bakongan, Kabupaten Aceh Selatan. Peristiwa tersebut menyebabkan 3 rumah dibakar, 1 orang perempuan terluka dan pingsan terkena serpihan senjata, 12 warga sipil mati dengan cara disiksa, ditembak, dan bahkan dibakar hidup-hidup.
AKTIVIS
Tragedi kemanusiaan di Aceh, menjadikan aktivis sebagai sasarannya. Tentu saja, aktivis ini berada di jalur perlawanan pada pelanggaran HAM yang sedang terjadi di Aceh. Pada 3 Januari 1999 terjadi aksi penyiksaan terhadap warga sipil di Gedung KNPI Lhokseumawe. Pelakunya anggota TNI. Begitu dahsyatnya peristiwa itu hingga menyebabkan 7 orang meninggal, 23 orang luka berat dan 21 lainnya luka ringan. Adalah Jafar Siddiq, Ketua International Forum for Aceh yang dinyatakan hilang diculik pada 5 Agustus 2000. Sepak terjang Jafar dalam melakukan kampanye untuk Aceh di forumforum nasional dan internasional memang tidak diragukan lagi. Justru karena itulah, Jafar diduga sengaja “dihilangkan”. Pada 25 Maret 2003, sebuah penculikan terjadi. Kali ini menimpa Zulfikar dan Mukhlis, aktivis Link of Community Development. Pelakunya, Satuan Gabungan Intelijen (SGI) Kopassus Pos
Bireun. Tidak ada informasi lebih lanjut tentang nasib keduanya.
PERKOSAAN
Medio tahun 1991 -1995, prahara di Aceh diwarnai pada aksi kekerasan pada perempuan. Pada 1991, aparat TNI tercatat melakukan pemerkosaan dan penembakan pada 4 orang gadis di Kecamatan Sawang, Kabupaten Aceh Utara. Masih di tahun yang sama, seorang ibu muda yang lagi hamil diperkosa anggota TNI di Kecamatan Sawang, Aceh Utara. Seperti sebelumnya, kasus ini pun berakhir dengan penembakan korban. Di Kecamatan Gandapura, Aceh Utara, seorang ibu rumah tangga yang sedang hamil 6 bulan, disiksa dan dibunuh oleh anggota TNI. Saat ditemukan, jenazah ibu itu terluka di bagian perut. Orok bayi tidak ada lagi di tempatnya. Penyiksaan, pelecehan seksual, pemerkosaan dan pembunuhan di Rumoh Geudong, Pos Sattis Kopassus, Desa Bili Aron kecamatan Geulumpang Tiga, Kabupaten Pidie. Desa Cot Keeng, Kecamatan Bandar Dua, Kabupaten Pidie lebih dikenal dengan nama Kampung Janda. Penduduk di desa ini kebanyakan adalah perempuan yang sudah menikah, dan anak-anak. Laki-laki dan pemuda yang sebelumnya ada di desa ini banyak yang diculik dan dibunuh dengan cara ditembak. Lakilaki yang selamat, memilih pindah ke daerah lain. Nasib malang menimpa seorang ibu di Pidie. Ia ditangkap dan disiksa dengan ditelanjangi oleh Kopassus di Pos Arun Pidie pada Maret 1998, hanya karena suaminya dinyatakan anggota GAM. Dan saat peristiwa itu terjadi, sang suami menolak untuk menyerahkan diri. Penyiksaan lain terjadi pada 4 Januari 1998. Ketika itu, seorang ibu rumah tangga ditangkap oleh anggota TNI dari Pos Sattis Pintu I Tiro. Korban disiksa dan ditelanjangi. Bahkan, vagina korban disetrum listik. Hingga kini korban menderita tuli. *IDN
WWW . KONTRAS . ORG WWW . PARTISIPASI . NET SMS CENTER : 08282217770002 081289327094