EDITORIAL
Berlatar belakang budaya, pendidikan, profesi dan tingkat perekonomian yang berbeda,waria sering kali terlihat berbeda dengan masyarakat pada umumnya. Penampilan, gaya bicara, dan beberapa pe rubahan bentuk tubuh yang mereka lakukan seringkali dianggap tidak lazim dalam masyarakat. Namun, dari beberapa hal tersebut waria mampu menunjukkan eksistensi di masyarakat dalam sebuah karya. Salah satu bentuk eksistensiya kini salah satunya berdirinya orgaisasi-organisasi waria yang terorganisir dan juga resmi. Dalam rubrik situs, penulis mencoba menceritakan bagaimana eksistensi dan juga peranan pondok pesantren waria Al-Fatah Kotagedhe, dimana pondok pesantren ini merupakan pesantren waria satu-satunya yang ada di Indonesia bahkan di dunia. Adanya pondok pesantren Al-Fatah yang semuanya santrinya yakni para waria, setidaknya menunjukkan bahwa waria juga mempunyai hak yang sama dan juga ada kepentingan yang sama juga.
Selamat Membaca
1
Edisi Maret-April 2017
Pelindung: Dr. Dyah Kumalasari, M.Pd Penanggungjawab: Kurniawan Ivan Prasetyo Pemimpin Umum: Muhammad Afrizal Pemimpin Redaksi: Nossis Noer Dimas Hertanto Reporter: Muhammad Afrizal, Nossis Noer Dimas Hertanto, Gossy Cahya Puspita, Hasanudin, Rizki Bayundhita, Muarifah, Nurul Mustafidah, Eti Refianti, Zulita Andan Sari, Dian Amalia Kusumaningtyas Desain dan Tata Letak: Rizki Bayundhita, Zulita Andan Sari, Nossis Noer Dimas Hertanto Editor: Nurul Mustafidah, Eti Refianti Fotografer: Dian Amalia Kusumaningtyas Sirkulasi: Jurnalistik dan Pers HMPS Alamat: Gedung PKM FIS UNY Redaksi menerima opini, artikel, maupun gambar namun tidak mengandung unsur SARA. Redaksi berhak mengedit tulisan tanpa me ngubah isi
Viva Historia
FOKUS
Edisi Maret-April 2017
Gender Ketiga: Ketika Ibadah pun Dipermasalahkan “Beribadah adalah kebutuhan manusia, dan waria adalah manusia”
Ketika waria mendapatkan ketidaknyamanan untuk beribadah di ruang publik sehingga ibadah di masjid menjadi sia-sia. Hal itulah yang mela tarbelakangi lahirnya pondok pesantren waria Al-Fatah yang berada di Celenan, Kotagede, Yogyakarta. Pengasuh Pondok Pesantren Al-Fatah, Shinta Ratri, menjelaskan bahwa didirikannya pondok waria ini untuk memberikan ruang yang nyaman kepada teman-teman waria untuk mela kukan ibadah, karena di ruang publik, seperti di masjid, teman-teman waria tidak mendapatkan kenyamanan sebab mereka menjadi pusat perhatian se hingga ibadahnya menjadi sia-sia. "Hal itulah yang kita sikapi bersama untuk memiliki ruang yang nyaman untuk berkumpul dan beribadah dengan latar belakang serta keadaan yang sama" jelas Sinta. Namun, ketika Front Jihad Islam (FJI) mendatangi untuk menutup pondok pada 24 Februari 2016. “Teman-teman waria mengalami depresi sehingga kami membawanya ke psiki ater”, ungkap Sinta. Awalnya sebelum kedatangan FJI, masyarakat (disini) biasa-biasa saja, karena menurut analisis beliau, sejak April 2014 mereka pindah di sini dan selama itu warga tidak keberatan atas keberadaan mereka. Teman-teman waria memang sejak ta-
Viva Historia
hun 2000'an sudah sering mengadakan kegiatan di kediamam beliau, dan sejak itu pula beliau dan teman-teman waria mengundang masyarakat luar, seperti pelatihan memasak praktis dan kreasi hijab sederhana. Heru Baskoro, atau yang kerap dipanggil dengan Mbak Yes, mengatakan bahwa mereka tidak gentar dan juga tidak mau pindah, karena sebetulnya masyarakat tidak sepenuhnya tidak menerima, mereka tidak mengadakan karaoke dan pesta miras berkedok aga ma. Jadi, Mbak Yes yakin apa yang dia dan teman-teman waria lakukan sebagai sesuatu yang benar dan mereka juga mendapatkan dukungan dari berbagai pihak, oleh sebab itulah mereka masih tetap melakukan kegiatan ini. Ini adalah hak mereka sebagai manusia yang berhak untuk beribadah, belajar, berserikat, dan berkumpul. "Beribadah adalah kebutuhan manusia dan waria adalah manusia, jadi bagaimanapun pondok pesantren ini memang untuk kawan-kawan waria dalam belajar agama dan menyalurkan hasrat religius dan hasrat spiritual" tambah Mbak Yes. Salah satu reporter kami, Rizki Bayundhita, pada 15 Maret 2017 siang, yang bertugas untuk melakukan survei lokasi juga bertanya pada beberapa war ga mengenai lokasi pondok pesantren. Ibu penjual sayur mengatakan bahwa ia
2
Edisi Maret-April 2017
FOKUS tidak tahu dimana pondok itu sekarang berada, karena isu-isunya pondok itu sudah ditutup, sudah tidak beroperasi lagi. Namun, ibu itu tahu dimana pondok itu dulu berada, tetapi tidak tahu apakah masih di tempat itu karena sempat beredar kabar penghentian sehingga ibu itu berasumsi bahwa pondok itu sudah tidak berada disana lagi, dan warga yang lain mengatakan, "Kalau mau observasi ke pondok harus ijin ke RT karena pondok itu kan sebenernya ilegal, gak ada izinnya". Jawab Mbak Yes bahwa untuk bertemu kok melapor ke RT, kecuali jika kita menginap tiga kali 24 jam. Menanggapi isu yang mengata kan bahwa pondok itu telah ditutup, Sinta pun mengatakan "Memang itu segmen sepihak dari mereka yang bilang kami sudah tergusur, kemudian mereka bilang masyarakat tidak menerima pondok pesantren, bahkan kami diancam di manapun kami pindah, kami tetap akan dikejar". Sinta juga menambahkan bahwa mereka didatangi Komnas HAM dan Komnas Perempuan karena mereka dianggap sebagai korban atas kebeba san beragama dan berkeyakinan. Kasus mereka itu merupakan perbuatan oleh pihak yang mempunyai kepentingan. Masyarakat masih mengalami kesulitan dalam membedakan waria dan gay karena menurut mereka wa riadan gay memiliki orientasi seksual yang sama. Satu hal yang membedakan antara kaum gay dengan waria adalah cara mereka berpakaian (Pus-
3
pitosari 2005 :18). Seorang gay tidak perlu berpenampilan dengan menggunakan atribut perempuan, sedangkan waria yang menganggap dirinya wanita karena dorongan psikis, mereka merasa perlu memakai pakaian dan berpenampilan sebagaimana layaknya wanita. Waria memiliki permasalahan lebih banyak berkaitan dengan identitas dirinya. Mereka mengalami krisis identitas sehingga sulit untuk dapat diterima di masyarakat terutama dalam lingkungan kerja. Mereka dianggap sebagai orang yang tidak mempunyai identitas yang jelas. Hal inilah yang seringkali membuat mereka tersisih dalam masyarakat, bahkan tersisih di dalam negaranya. Shinta mengatakan bahwa teman-teman waria kesulitan untuk membuat KTP karena di dalam KTP hanya ada dua gender dan teman-teman waria tidak bisa memdapatkan surat pengantar KTP
Rizki | Historia
Viva Historia
FOKUS karena ketika teman-teman waria tidak bisa diterima keadaannya oleh keluarga maka waria akan pergi dari tempat asalnya. "Kami berusaha agar teman waria punya KTP dan diakui keberadaannya sebagai warga negara Indonesia” tambah Shinta. Menurut Pratiwi, Dosen Psikologi Universitas Negeri Yog ya karta, waria atau wanita pria itu ada, ada beberapa yang berkelamin ganda, ada yang fisiknya pria, tetapi sifatnya yang feminin dan sebaliknya, ada juga yang terbentuk karena lingkungan. “Ketika masyarakat ingin mengembalikan, kembalikan kemana? Padahal dia sendiri juga bingung mau memilih menjadi pria atau wanita”. Dalam psikologi gender ketiga itu ada, karena psikologi hanyamendiskusikan bukan mengenakan pada nilainya, tetapi ada alternatif lain diluar kedua gender itu" tambah Prati wi. Benni Setiawan, Dosen Pendidikan Agama Islam Universitas Nege riYogyakarta, menjelaskan bahwa waria dalam Islam adalah orang-orang yang berkelainan seksual yang harus dilindu ngi. Di dalam Islam waria disebut sebagai khunsa. Waria harus dididik supa ya mengetahui fiqih-fiqih khunsa itu seperti apa. "Mengenai aturan hukum Islam itu tergantung kepada kecende rungannya, bukan pada jenis kelamin bawaannya" ungkap Benni. Jika ditilik dari sejarah kebuda yaan manusia di Indonesia, sudah sejak lama fenomena Gemblak, dalam dunia
Viva Historia
Edisi Maret-April 2017
Warok di Jawa Timur ataupun kesenian Ludruk menampilkan tokoh perempu anyang diperankan oleh laki-laki atau sebut saja waria. Namun, kenyataan nya sampai sekarang keberadaan waria masih tergolong dalam masyarakat yang tersisih, yakni identik dengan dunia pelacuran (Koeswinarno, 2004 : 6-7). Istilah waria dahulunya adalah banci. Istilah “bencong” menguat pada dekade 1960'an, sejalan dengan pertum bu han populasi banci. Perubahan perlahan -lahan terjadi. Ketika budaya agama Kristen dan Islam menempat kanpembagian gender hanya ada dua, laki-laki dan perempuan secara kodrati. "Dari sinilah, Calalai, Calabai dan Bissu akhirnya menjadi masyarakat kelas dua" Kata Muhlis. Bagi Pelras, Calabai yang dituliskannya sebagai 'Jenis kelamin ketiga' dan Calalai sebagai 'jenis kelamin keempat'. Banci pun terpojok di sudut kehidupan. "Penghidupan para banci itu sangat sulit pula akibat gencetan ekonomi dan sosial" tulis Siasat. Untuk bertahan hidup tanpa pendidikan dan keahlian memadai, mereka menerapkan strategi sederhana: menjual tubuh di jalanan. Kemudian jalanan membentuk solidaritas antar banci yang kuat dan guyub, tambah Siasat dalam Historia.id (Muarifah)
4
SITUS
Edisi Maret-April 2017
Pondok Pesantren Waria Al Fatah: Mengubah Stigma Untuk Menginspirasi “akses dan fasilitas bagi waria untuk berhubungan dengan Tuhan-nya”
5
Dian | Historia
Berbicara mengenai waria, maka yang ditimbul di benak masya ra katpada umumnya adalah stigma negatif mengenai waria itu sendiri. Di Indonesia, waria sering dianggap kaum yang termarginalkan karena perilaku atau penampilannya yang tidak sesuai. Sehingga, mereka sering diasingkan dari kegiatan sosial dan membuat dirinya seakan terisolasi. Kaum waria juga kurang memilikiakses dan fasilitas di tempat-tempat umum, bahkan akses untuk beribadah. Kurangnya akses dan fasilitas waria dalam beribadah, membuat mere kaberpikir untuk mendirikan sebuah tempat ibadah. Sehingga, pada tanggal 28 Juli 2008 dibangunlah sebuah pon dokpesantren khusus waria di Yogya karta. Pondok pesantren tersebut diberi nama Pondok Pesantren Waria Al Fatah. Selain itu, bencana gempa bumi yang pernah melanda Yogyakarta 2006 silam, juga menjadi latar belakang berdirinya pondok ini. Ketika itu, banyak kaum waria yang menjadi korban bencana alam itu. Hal tersebut, membangkitkan rasa spiritual kaum waria, sehingga di adakanlah doa bersama untuk korban gempa, khususnya waria. Doa bersama tersebut bertempat di kediaman Mar yani (Alm) dengan mengundang K.H. Hamrolie (Alm) sebagai pengisi tausiah.
Pondok Pesantren Waria Al-Fatah, Yogyakarta
Kegiatan tersebut tidak berhen tisampai di situ saja. Tetapi masih te rusberlanjut menjadi Pengajian Senin Wage dengan pengisi pengajian K.H. Hamrolie (Alm). Berawal dari pengajian tersebut, maka tercetuslah sebuah ide dari K.H. Hamrolie dan teman-teman waria untuk mendirikan sebuah pondok pesantren yang memfasilitasi kalangan waria dalam beribadah dan memperda lamagama.Pondok pesantren ini bertempat di rumah Maryani (Alm). Ponpes Waria Al-Fatah menga la milika-liku dalam mendirikannya. Ponpes ini sempat berhenti beraktivitas, karena berubahnya pandangan K.H. Hamrolie yang ingin menjadikan waria menjadi laki-laki seutuhnya. Hal ini ten tunya ditolak oleh santri-santrinya yang semuanya adalah seorang waria. Sejak saat itu, K.H. Hamrolie (Alm) mundur menjadi pembina dan pengajar di PondokPesantren Waria.
Viva Historia
SITUS Tak ingin pondok ini berhenti, maka diundanglah Drs. Abdul Muis sebagai pengganti K.H.Hamrolie, dan dilanjutkan Ustad Maulidi di tahun 2010. Pada tahun tersebut, jumlah santri yang aktif sebanyak 20 orang. Tahun 2012, Ustad Murtejo bergabung dan menjadi ketua pembina pesantren waria bersama Ustad Arif. Wafatnya Maryani selaku pe mi lik tempat Ponpes Waria Al-Fatah pada tahun 2014, juga sempat menjadi kendala bagi pondok pesantren ini. Oleh karena itu, pondok pesantren w aria di pindahkan di rumah peninggalan nenek Ibu Shinta Ratri, yang berlokasi di Kota Gede. Beliau juga menggantikan Maryani (Alm) sebagai ketua pondok pesantren. Selain itu, munculnya isu LGBT pada tahun 2016 sempat menghentikan aktifitas pondok pesantren selama beberapa bulan. Bahkan, pondokpesantren juga sempat didatangi ormas fundamentalis Islam From Jihad Islam (FJI) untuk menutup paksa pondok pesantren dengan mengatas namakan masyarakat yang tidak setujudengan pondok pesantren tersebut. Akan tetapi, hal itu hanyalah rekayasa FJI belaka. Pondok pesantren akhirnya beroperasi kembali setelah mendapat dukungan dari beberapa pihak, seperti LBH Jogja, ANBTI, PKBI, JPY, FPUB, dll. Ponpes Waria Al-Fatah mempu nyai kegiatan sosial maupun
Viva Historia
Edisi Maret-April 2017
keagamaan. Kegiatan sosial yang diada kan Ponpes Waria Al-Fatah adalah bazar dan klinik gratis bagi masyarakat seki tar ponpes, yang banyak dihadiri oleh masyarakat. Kegiatan keagaamaan yang dilakukan antara lain diskusi umum keagamaan, pengajian, ziarah, dll. Selain itu, diadakan pula trauma healing dan konsolidasi ke ber bagai instansi dan jaringan untuk menghilangkan trauma pasca kedatangan FJI. Pondok pesantren waria Al Fatah saat ini memiliki santri se ba nyak 42 orang, yang semuanya adalah se orang waria, dan merupakan pondok pesantren khusus waria pertama di dunia. Dari 42 santri tersebut, tidak semuanya seorang muslim, terdapat 4 santri yang beragama non muslim. Pondokpesantren ini bekerja sama de nganUniversitas Kristen Duta Wacana (UKDW) untuk mendatangkan pendeta bagi ke empat santri non muslim dan juga bekerjasama dengan Universitas Islam Nadhatul Ulama (UNISNU), Jepara dengan menggandeng K.H. Ab dul Muhaimin sebagai penasehat. Setelah beberapa tahun berkegiatan, nama Ponpes Waria Al-Fa tahsemakin dikenal masyarakat luas. Bahkan, seringkali digunakan sebagai tempat observasi maupun penelitian bagi mahasiswa. Hal ini, membuktikan eksistensi waria sebagai kaum marginal dapat mengubah stigma negatif dan menjadikan inspirasi bagi masyarakat. (Nurul)
6
TOKOH
Edisi Maret-April 2017
Mbak Yes, Secarik Harapan untuk Waria “Manusia adalah seseorang yang mampu memperjuangkan hak-haknya, tak terkecuali seorang waria”
7
tan Waria Yogyakarta(IWAYO). IWAYO sendiri merupakan payung besar bagi komunitas-komuni tas waria yang ada di Yogyakarta. Meski sebagai payung besar bagi komunitas-komunitas waria yang ada, IWAYO, Kebaya dan Ponpes Waria ini memiliki kesetaraan yang sama satu sama lainya. IWAYO sendiri bergerak di bidang ad vokasi, kebaya di bidang kesehatan, dan Ponpes Waria ini bergerak dibidang re ligi melalui tiga point, yaitu pendidikan ke dalam (komunitas), pendidikan ke luar (masyarakat) dan advokasi. Mbak Yes mulai aktif dalam memperjuangkan hak-hak waria ini mulaitahun 2011 sampai dengan sekara ng. Perjuangan yang dilakukan Mbak Yes dan Ibu Shinta dilakukan melalui konsolidasai dengan pemerintah baik pusat maupun daerah, salah satunya dengan mengunjungi salah satu kemente rian yang megur usi hak-hak perempu an serta menjalin kerjasama dengan pemeri nt ah a n Mbak Yes
Viva
Dian | Historia
Mbak Yes lahir di Yog ya kar ta, 2 Ok to ber 1967. Se ma sa kecilnya ia pernahmengenyam pendidikan di SD Kanisius, Kotabaru, Yogyakarta. Setelah menamatkan pendidikan di SD Kanisius, Mbak Yes kemudian melanjutkan pendidikannya ke jenjang pendidikan tingkat menengah pertama, tepatnya di SMP N 8 Yogyakarta. Tidak hanya sampai ditingkat menengah, setelah tamat dari pendidikan tingkat menengah pertama, Mbak Yes kemudianmelanjutkan pendidikan di SMA N 2 Yogyakarta. Setelah lulus SMA kemudian Mbak Yes bergabung dengan komunitas waria, Mbak Yes menyadari bahwa ba nyak hak-hak waria yang tersingkirkan dan ini menggugah hati nurani mbak yes untuk mempelajari hukum-hukum dan muai memperjuangkan hak-haknya sebagai waria. Kiprahnya dalam memperjuangkan hak-hak waria memang sudah tidak tangung-ta nggung. Bersama Ibu Shinta pemilik Ponpes Waria, Mbak Yes mulai memperjuangkanhak-hak waria sebagai salah satu bagian masyarakat yang memiliki hak yang sama dengan yang lain. Mbak Yes sendiri sudah sejak lama mengenal de ngan Ibu Shinta, keduanya sudah saling mengenal ketika tergabung dengan Ika-
TOKOH kabupaten/kota setempat. Perjuangan yang dilakukan oleh Ibu Shinta dan Mbak Yes dalam menempuh untuk melegalkan adanya Ponpes Waria ini akhirnya menemui titik terang, sehingga Ponpes ini akhirnya mempunyai status yang legal dan sudah mempunyai akta notaris. Awalnya Mbak Yes dan Ibu shinta tinggal di lingkup komunitas yang berbeda, Ibu Shinta fokus di IWAYO dan Mbak Yes sendiri lebih fokus di Kebaya. Mereka berdua bertemu karena mereka sama-sama menjadi wakil dari kedua oraganisasi tersebut. Kebetu lanMbak Yes sendiri adalah sekretaris di Kebaya itu sendiri dan Ibu Shinta sendiri adalah mantan ketua IWAYO, sehingga keduanya sudah tidak asing lagi karena sudah saling mengenal satu sama lainya. Usaha yang dilakukan oleh Ibu Shinta dan Mbak Yes lakukan dalam memperjuangkan hak kawan-kawan waria salah satunya adalah memberikan kenyamanan dalam beribadah, Mbak Yes mengungkapkan bahwa ibadah merupakan hak setiap individu. Dalam artian bahwa setiap orang berhak melaksanakan ibadah dengan nyaman dan tidak ada gangguan dari siapa pun. Bukan hanya itu saja, Mbak Yes juga memperjuangkan hak-hak sosial mengenai kesehatan sehingga kawan-kawan waria mempunyai akses kesehatan ke rumah sakit dengan kartu Jaminan Kesehatan Sosial (JAMKESSOS). Hal ini dilakukan karena pada
Viva Historia
Edisi Maret-April 2017
kurun dua tahun kebelakang, kawan-ka wanwaria kesulitan dalam mendapatkan akses kesehatan. Tetapi untuk seka rang karena sudah mendapatkan kartu JAMKESSOS, kawan-kawan waria bisa mendapatkan akses kesehatan yang le bihbaik. Ini membuktikan, bahwa perjuangan yang dilakukan tidak sia-sia dan mendapatkan hasil yang baik untuk kawan-kawan waria. Kesadaran akan mengenai hakhak yang dimilikinya masih kurang, sehingga kebanyakan dari mereka pasrah dengan keadaan dan diam seakan tak peduli dengan hak-haknya yang selama ini terabaikan. Akan tetapi, ini tidak terjadi kepada dua tokoh yang sekiranya dapat menjadi inspiratif bagi banyak waria, yaitu Ibu Shinta dan Mbak Yes. Mereka berdua mempunyai kesadaran yang tinggi akan pentingnya hak-hak waria. Keduanya terus berjuang menun tut persamaan hak yang sama dengan yang lainnya, tidak ada perbedaan dan tidak ada deskriminasi terhadap waria. Harapan kedepannya bagi para kawan-kawan waria dari Mbak Yes adalah tetap ‘be your self ’’, janganlah mengekslusifkan diri mulailah keluar dan bersinggungan dengan lingkungan oarang-orang sekitar. Serta harapannya kepada pemerintah adalah pemerintah mau mengakui bahwa waria juga sebagai warga negara yang mempunyai hak dan kewajiban yang sama dengan masyarakat lainya. Itulah secarik harapan dari seorang pejuang hak-hak waria. (Hasanudin)
8
OPINI
Edisi Maret-April 2017
MELIRIK POTENSI “PELITA DESA” Bagi pecandu film Indonesia, tentu tak asing dengan film Semesta Mendukung (Mestakung) dan Mimpi Ananda Raih Semesta (MARS). Dua film dengan genre pendidikan di suasana kekeluargaan tersebut memang tidak booming layaknya film berbalut kisah cinta yang membuat penonton baper atau terbawa perasaan. Namun, setidaknya esensi tentang pentingnya pendidikan untuk semua kalangan dapat didapatkan di dua dalam film tersebut. Semesta Mendukung adalah kisah tentang anak SMP di pedesaan Madura dengan segala eksperimen sainsnya membuat ia dilirik menjadi anggota tim fisika untuk siswa Indonesia (FUSI). Akan tetapi, seperti yang diceritakan pada awal film, dukungan dari orang tua yang broken membuat dia sedikit terhambat. Namun, pada akhirnya ia menang olimpiade sains internasional. Lain lagi dengan Mimpi Ananda Raih Semesta. Film tersebut berkisah tentang kehidupan anak desa di Gunung Kidul yang lahir dari ibu buta huruf namun sadar tentang pentingnya pendidikan meski orang-orang sekitar tidak mendukungnya . Akan tetapi, berkat usaha si ibu maka si anak pun mampu mengenyam pendidikan di Oxford University, Inggris dengan beasiswa prestasi. Dua film tersebut menarik untuk disimak karena yang digambarkan sebagai tokoh utama adalah anak-anak bersemangat baja yang patut disebut “Pelita Desa”.
9
“Pelita Desa” sendiri dapat ditafsirkan secara bebas sebagai anakanak desa yang memiliki kemampuan unggul, luhur budi, dan bersema ngat untuk meraih masa depan namun terkendala dalam melangkah. Hal yang disayangkan adalah “Pelita Desa” terkadang kalah dengan keminderannya sendiri. Mereka merasa “hanya” sebagai seorang anak desa yang tidak diizinkan oleh situasi untuk bercita-cita tinggi. Hal tersebut terjadi lantaran stigma negatif di masyarakat tentang anak desa yang tidak perlu muluk-muluk dalam mengha dapi hidup masih mengakar kuat, lebih parah lagi jika hal tersebut ditambahi oleh kurangnya dukungan moral dari orang tua, pematahan semangat dari orang-orang sekitar, hingga hinaan yang diterima lantaran skeptis di masyarakat terhadap “Pelita Desa” Anak-anak kota memang lebih memilih kampus yang sejak awal sudah memposisikan diri sebagai kampus ilmu murni dan terapan. Pemilihan tersebut selain didasari faktor keilmuan, juga faktor gengsi dan faktor X lainnya yang berdampak pada melesatnya eksistensi kampus-kampus tersebut karena anak kota bagaikan palem botol dan “Pelita Desa” ibarat tanaman yang harus tela ten disemai dan dirawat agar tumbuh. Dampaknya, persentase “Pelita Desa” memang kurang di kampus ilmu murni
Viva Historia
OPINI dan terapan. Maka dari itu, inilah kesempatan ex IKIP untuk meminang “Pelita Desa” agar menjadi civita academica-nya guna menggarap potensi-potensi yang sebenarnya sangat besar itu. Mereka (Pelita Desa) bisa menjelma menjadi anak-anak pintar yang tidak terakomodir, anak-anak berbakat yang tidak punya arena laga, anak-anak hafidz-hafidz Qur’an, hingga anak-anak terpinggirkan karena situasi sosial-kemasyarakatan yang kurang mendukung. Ex IKIP harus kembali kepada semangat IKIP yang sarat deng anpengabdian tanpa pamrih berbekal potensi-potensi yang telah digarap dari “Pelita Desa”. Bisa dibayangkan apabila “Pelita Desa” lahir dari ex IKIP, terlebih dari prodi kependidikan maka bisa dipastikan di
Edisi Maret-April 2017
dalam masyarakat Indonesia akan lahir pengabdi-pengabdi keilmuan tanpa pamrih yang merupakan “Pelita Desa” hasil didikan ex IKIP sehingga apriori masyarakat bahwa ex IKIP adalah kampus kelas dua sedikit demi sedikit akan hilang lalu berubah menjadi anggapan dan kenyataan bahwaex IKIP bukanlah kampus yang pantas dianggap sekunder namun adalah kampus utama dan unggulan. Muhammad Bintang Akbar ( Mahasiswa Pendidikan Sejarah 2016 A )
Nossis | Historia
Viva Historia
10
Edisi Maret-April 2017
RESENSI Beauty and the Beast Genre : Drama Sutradara : Bill Condon Produser : David Hoberman dan Todd Lieberman Skenario : Stephen Chbosky dan Evan Spiliotopoulos Musik : Alan Menken Durasi : 123 menit Tanggal Rilis : 17 Maret 2017 Produksi : Walt Disney Pictures dan Mandeville Films Pemain : Emma Watson, Dan Stevens, Luke Evans, Kevin Kline, Josh Gad, Ewan McGregor, Stanley Tucci, Gugu Mbatha-Raw, Audra McDonald, Ian McKellen, Emma Thompson Disney tidak henti-hentinya membuat para penikmat film merasa terkagum-kagum setelah film Cinde rella, kali ini sebuah film karya sutradara Bill Condon yang mengangkat sebuah cerita fiksi animasi kisah si Cantik dan si Buruk Rupa dikemas menjadi sebuah film yang luar biasa indah dengan diser tai alunan musik yang akan membuat penontonnya merasa takjub, diperankan oleh Emma Watson sebagai Belle, Dan Stevens Sebagai Pangeran. Berceritakan sebuah gadis cantik dan juga sederhana bernama Belle di sebuah desa kecil negara Prancis, dimana orang-orang tidak memperdulikan tentang pendidikan dan ilmu pengetahuan. Belle dianggapaneh karena kegemarannya membaca buku dan melamun, akan tetapi ia
11
Doc. Istimewa
tidak memperdulikan apa kata orangorang yang selalu menertaiwannya dan meganggapnya aneh. Disisi lain diceritakan ada sebuah kerajaan dengan pangeran yang diidam-idamkan para wanita karena ketampanannya, akan tetapi sang pangeran digambarkan sebagai sosok yang angkuh, sombong, tidak berperasaan, dan juga selalu memikirkan dirinya sediri. Suatu hari di istana sedang berlangsung sebuah pesta yang meriah dengan alunan musik yang i ndah dihadiri oleh para wanita bangsawan, tiba-tiba hujan lebat turun bersamaan datannganya seorang nenek tua yang ingin meneduh dari derasnya hujan, dengan
Viva Historia
RESENSI membawa setangkai mawar sebagai imbalan agar sang pangeran mengizinkannya. Namun sang pangeran merasa jijik dan merasa nenek tua itu tidak sederajat denganya, maka ia tidak mengizinkannya untuk meneduh. Melihathal tersebut para tamu menertawai nenek tua tersebut, mendapatkan perlakuan tersebut nenek tua tadi berubah menjadi seorang penyihir cantik yang membuat sang pangeran dan para tamu terkejut dan takut. Akhirnya sang pangerandikutuk oleh penyihir tadi menjadi manu siaburuk rupa, kutukan tersebut dapat hilang apabila ada seseorang yang dap atmencintainya dengan tulus sebelum kelopak bunga mawar terakhir terlepas dari tangkainya. Setelah peristiwa terse butkerajaan itu mulai terlupakan. Suatu hari ayah Belle bernama Maurice diperankan oleh Kevin Kline pergi untuk berdagang dengan perjala nan yang cukup jauh, seperti biasa Belle selalu meminta setangkai mawar untuk dirinya. Belle memang gadis yang berbeda dengan gadis-gadis yang ada di desanya. Hal ini yang membuat Gas ton yang diperanka oleh Luke Evans menyukai Belle, akan tetapi tidak deng anBelle, Gaston selalu berusaha un tukmenapatkan hati Belle agar dapat menikah denganya. Namun Belle tidak ingin menikah dengan orang yang ada di desanya. Dalam perjalanan berdagang, Maurice dengan mengendarai kere ta kuda tersesat di sebuah hutan. Hari
Viva Historia
Edisi Maret-April 2017
mulai gelap, di hutan Maurice diserang oleh serigala-serigala yang kelaparan, Untung saja ia dapat menyelamatkan diri dan keluar dari hutan itu, kemudian ia menuju sebuah tempat untuk sesaat beristirahat dari badai salju. Didalam tempat tersebut ia tidak menjumpai pemilik rumah, ketika ia sedang duduk di meja makan ia terkejut melihat gelas dapat berbicara. Dengan rasa takut ia langsung berlari dan keluar dari tempat aneh tersebut. Ia melihat pohon mawar dan ia teingat akan Belle yang memin tauntuk dibawakan setangkai mawar. Namun ia ditangkap oleh manusia bu rukrupa karena telah mencuri mawar miliknya. Dengan pandainya kuda yang dikendarai Maurice yakni Philippe membawa Belle untuk menyelamatkan ayahya. Belle merelakan dirinya meng gantikan Maurice sebagai tawanan. Belle dan Beast selalu bertengkar akan tetapi lambat laun mereka berdua se ma kin akrab dan hal ini membuat para pela yanbeast merasa ada harapan untuk mematahkan kutukan. Beauty and the Beast dibu atversi live action sangat membuat pe nonton merasa terhibur dengan suasana nostalgia yang indah menjadikan film ini sangat diminati pecinta film. (Eti)
12
INFO
Edisi Maret-April 2017
Sosok Putih Dalam Perjalanan Gerilya Jendral Soedirman Ketika bergerilya Jendral Soe dirman menderita sakit parah. Dengan hanya sebalah paru-paru yang berfung si , ia memimpin perlawanan pasukan TNI melawan militer Belanda. Menurut penuturan mantan pegawai Jendral Soedirman di perang kemerdekaan, Letjen TNI Angkatan Darat (purn) Tjo kropranolo, perjuangan Jendral Soedirman saat itu memang berat. Dengan ditandu karena semakin parah penyakitnya, beliau tetap bergerilya keluar masuk hutan, naik turun bukit, serta menyusup ke perkampungan. Sementa rakota-kota besar di Jawa dikuasai mi liter Belanda, sehingga Jendral Soedir manmenghindari kawasan tersebut. Dalam perjalanan, ketika para kelompok gerilyawan hendak me mo tong jalan Ponorogo-Trenggalek. Tjokropranolo seperti biasa terlebih dahulu mencari seorang penunjuk jalan. Oleh penduduk daerah itu, Tjokropra no lo diperkenalkan pada seorang pe nunjuk jalan bernama Putih. Mula-mula Tjokropranolo merasa aneh, mengapa justru orang berperawakan kecil dan berkulit putih itu yang dipilih sebagai pemandu. Sedangkan di sekeliling dia banyak orang lain yang postur badan nyabesar dan kokoh. Dalam perjala nanantara Desa Gunungtukul ke Desa Ngideng, si Putihlah yang menjadi pe mandu. Si Putih ini orangnya memang sedikit aneh, tetapi perangainya lembut
13
dan gerakannya lincah. Suatu hari, rombongan gerilya ber istirahat sejenak di rumah warga desa setempat. Tidak jauh dari rumah tersebut, terdapat sungai yang airnya cukup de ras. Sehingga banyak yang lebih senang mandi dan buang air di sungai daripada di sumur. Disini, Tjokropranolo mera sacuriga terhadap si Putih. Karena dia tidak mau mandi bersama para rombo ngan gerilyawan ia malah memilih man di di tempat yang jauh. Tjokropranolo pun memerintahkan seorang anggota rombongan Mustafa mengikuti si Putih. Ia khawatir si Putih sudah tahu siapa yang ditandu dan takut membelot ke pada Belanda serta melaporkannya yang tengah berada di Ponorogo. Setelah mengamati si Putih, Mus tafa dengan tertawa lebar melaporkan kepada Tjokropranoto bahwa si Putih adalah seorang wanita yang ber ta bi atkelaki-lakian atau tomboy. Kendati Tjokropranolo tidak mengira telah di tuntun oleh seorang waria, namun dia mengakui peranannya. “Sungguh tidak mengira kita selamat”. Konon menurut cerita, di daerah Ponorogo pada masa lalu memang ada anak laki-laki (gem blak) yang mempunyai sifat kewanita anyang memang disenangi oleh para Warok. Bagi pembaca yang memahami budaya Reog Ponorogo tentunya bisa memahami hal ini. (Gossy)
Viva Historia
GORESAN
Edisi Maret-April 2017
Sepenggal Harapan untuk Masa Depan Waktu yang terus berjalan, membuat jiwa ini terus memberontak. Memberontak untuk melangkah ke depan mengikuti perubahan zaman. Ya, hidup memang harus berjalan terus. Tidak hanya berhenti pada satu titik. Jika menyerah, menyerahlah pada tempat dan waktu yang tepat. Aku membuat keputusan ini bukan tanpa sebab yang jelas. Keputu sanku untuk menerima apa yang telah dibebankan kepadaku, akan aku terima dengan lapang dada. Meskipun pada kenyataannya, masih tetap ada yang membuatku ingin berteriak sekeras mungkin untuk mengubah keputusan ini. Semua sudah terlambat. Menjalani sesuatu yang tidak sesuai dengan kehen dak, memang rasanya berat. Tetapi aku percaya, akan ada pelangi setelah hujan. Pena ini terus menari di atas kertas putih. Entah apa yang sedang aku tulis. Perasaanku campur aduk kala itu. Ikhlas atau tidak semua harus dilalui. Jika tidak? berakhirlah cita-citaku untuk mendapat ilmu yang lebih tinggi. “Cia, Cia,” teriakan itu meru saklamunan yang aku ciptakan. Suara itu sudah tidak asing lagi di telingaku. Akan tetapi, aku tetap fokus dengan buku dan pena ini, juga membiarkan perempuan itu masuk kamar tidurku. Perempuan yang selalu mendukungku dari belakang, perempuan tempat untuk menceritakan semua perasaan yang aku pendam, dan perempuan yang selalu
Viva Historia
ada saat aku bahagia maupun sedih. Namanya Sella. Sosok perem puanyang periang, hampir seluruh hidupnya tidak pernah ada beban. Entah ia pendam sendiri atau bagaimana tidak ada orang yang tahu. Sella memili kiperawakan yang tinggi, berkulit sawo matang, berhidung mancung, bermata bulat, dan berambut lurus sepanjang pundak. Ia merupakan sahabatku sejak SD hingga SMA. “Bagaimana hasil tes Seleksi Masuk Universitas Garudamu? Kamu lolos?” pertanyaan yang terus dilontar kansetiap orang saat bertemu dengan ku. Pertanyaan yang sangat sulit untuk aku jawab. Jika aku mengatakan “Ya”, maka aku harus mempertanggung jawabkannya dengan menerima hasil tersebut. Namun, jika aku mengatakan “Tidak”, tandanya aku tidak bersyukur atas hasil yang telah aku peroleh. Suasana hening dan dingin menyelimuti kamar tidurku. Tidak ada kalimat yang terucap dari sosok periang itu. Sampai akhirnya aku yang memulai percakapan ini.
N.A. Fachri (Pendidikan Sejarah 2016)
14
GORESAN “Aku diterima di Universitas Garuda, dengan jurusan yang sama se ka litidak aku mimpikan sebelumnya. Aku ingin bisa sekolah lagi, aku ingin bisa dapat gelar sarjana. Tapi, apakah aku bisa menikmati hari-hariku dengan penuh keterpaksaan?” “Sekarang aku tanya sama kamu, Cia! Kamu yang memilih jurusan ini dari awal, kamu mengikuti tes seleksi masuk dengan persiapan yang matang, kamu setiap hari belajar, kamu setiap hari bimbingan belajar. Sekarang, kamu mau melepaskan begitu saja? Banyak orang di luar sana yang berebut kursi dengan kamu!” ucap Sella dengan ke marahan yang memuncak. “Tapi, aku…” belum selesai aku menjawab, Sella melanjutkan pem bicaraannya. “Tapi apa? kamu belum mera sa kan kuliah yang sebenarnya! Kamu belum tahu apa yang akan kamu per olehdari jurusan itu! Jika belum kamu coba, kamu tidak akan pernah tahu aslinya! Ini memang sudah jalan kamu, Cia. Jalan yang Allah kasih ke kamu.” Perkataan itu tamparan bagiku. Memang benar, tidak ada orang yang bisa menyimpulkan sebelum ia men cobanya. Tidak ada jalan yang buruk di dunia ini, yang ada hanyalah jalan yang salah. Jalan yang Tuhan gariskan adalah jalan yang terbaik bagiku. Malam semakin larut akan tetapi Sella masih berada di samping ku. Malam ini aku sadar akan suatu hal, bahwa hidup harus selalu berjalan.
15
Edisi Maret-April 2017
Meratapi kenyataan pahit tidak akan pernah selesai. Prinsip hidupku adalah mendapatkan ilmu dari apa saja dan dimana saja. Tidak harus dari hal yang aku suka dan aku impikan. Tetapi, semua hal bisa menjadi pelajaran. “Sella, terimakasih ya ma su kannya. Aku bersyukur banget punya teman seperti kamu. Oh iya, kamu sendiri bagaimana? Lolos seleksi di Universitas Pendidikan?” aku mencoba mengalihkan pembicaraan. “Aaaa, aku senang sekali aku diterima disana. Besok hari Selasa aku ada jadwal registrasi berkas. Aku pe ngenkamu menemaniku. Sehari saja kamu full time sama aku, hehe.” dengan suara khas Sella yang terkenal meleng king. “Maaf ya, Sella. Aku hari itu juga ada registrasi berkas untuk maha siswa baru. Maaf banget. Mungkin lain kali kita bisa quality time, hehe.” dengan nada tegar, aku berusaha untuk mulai menerima kenyataan ini. Tepat hari Senin, minggu per tamadi bulan Agustus ini aku memulai hari baruku. Bersama dengan orangorang pilihan, para pejuang yang pan tangmenyerah, dan juga para generasi penerus bangsa. Entah apa yang Tuhan rencanakan terhadap diriku, semua ini diluar dugaan. Disini, aku dituntut un tuk menjadi dewasa dan berpikiran luas. (Zulita)
Viva Historia
KILAS HMPS Assalamualaikum wr.wb Salam Sejahtera VIVA HISTORIA !!! Himpunan Mahasiswa Pen di dikanSejarah atau yang lebih dikenal dengan HMPS merupakan wadah bagi seluruh mahasiswa Pendidikan Sejarah dalam mengembangkan kreatifitas serta menyalurkan aspirasinya. Satu hal yang membedakan HMPS dengan ormawaormawa lain adalah kultur kekeluarga annyayang begitu kental. Hal tersebut tercermin dalam semangat gotong ro yongpengurus serta anggota HMPS. Pada kepengurusan tahun ini HMPS diketuai oleh Kurniawan Ivan Prasetyo, dengan wakilnya Novendy Yusuf. Masih sama dengan kepengur u santahun lalu, HMPS tahun ini terdiri dari pengurus inti yang didukung oleh lima divisi yakni Pengembangan Sum berDaya Mahasiswa (PSDM) dengan kepala divisi Pradipta Bagas Trisnaputra, Minat dan Bakat (MIBA) dengan kepala divisi Muhammad Feris Dumadi, Jurnalistik dan Pers (JUPE) dengan ke paladivisi Moh Afrizal, Penelitian dan Pengembangan (LITBANG) dengan kepala divisi Hasna Anggraini, dan Ja ri nganAdvokasi Mahasiswa (JAM) de ngankepala divisi Danang Setyo Jatmiko. Secara garis besar HMPS peri ode ini masih mempertahankan prokerproker sebelumnya, antara lain Seminar Nasional (LITBANG), History Cup (MIBA), Majalah SWARA (JUPE),
Viva Historia
Edisi Maret-April 2017
spek dan Hakrab (PSDM), serta Kun O junganOrmawa (JAM). Namun, di ke pengur usantahun ini terdapat 2 proker baru, yakni Pengabdian Masyarakat (JAM) serta Kajian Mengenal Sejarah (LITBANG). Proker Pengabdian Masyarakat bertujuan untuk memupuk rasa solida ritassosial mahasiswa Pendidikan Se ja rah. Diharapkan melalui proker Pe ngabdian Masyarakat pengurus HMPS dapat menyalurkan ilmu pengetahuan yang sudah mereka dapatkan di bangku perkuliahan demi kemajuan masyarakat sekitar. Sedangkan, untuk proker Kaji anMengenal Sejarah bertujuan untuk menambah wawasan mahasiswa Pendi dikanSejarah tentang situs-situs sejarah di sekitar Jogja yang belum diketahui banyak orang. Pada kepengurusan tahun ini HMPS mengusung Grand Desain Se ja rahdan Sosial. Tujuan dari grand desain Sejarah dan Sosial adalah untuk menumbuhkan rasa solidaritas sosial mahasiswa Pendidikan Sejarah serta sikap dan pemikiran kritis mahasiswa Pendidikan Sejarah terhadap isu-isu sosial yang sedang hangat di tengah masyarakat. Dengan mengedepankan rasa kekeluargaan serta semangat go tong royong, diharapkan HMPS mampu menjadi organisasi yang solid di segala bidang serta mampu bersinergi dengan masyarakat luas. (Kurniawan Ivan Prasetyo, Ketua HMPS 2017)
16
SUARA MAHASISWA
Edisi Maret-April 2017
Kualitas Diskusi Kelas Rendah Menurut Rianda Usmi, Ketua BEM FIS UNY 2017, budaya diskusi mahasiswa FIS saat ini mengalami kemerosotan dibandingkan tahun sebelumnya. Salah satu contoh yang ia tuturkan ialah, bahwa Taman Ganesha tidak lagi dipenuhi oleh ma hasiswa yang rajin berdialektika, melainkan obrolan yang tidak penting. Dari perbincangan mengenai keburukan orang lain, hingga perdebatan siapa aktor drama Korea terkeren. Bagi se bagian orang mungkin menganggap hal tersebut pantas untuk dibicarakan, Tapi ayolah! Mahasiswa punya masa lahyang lebih urgent untuk didiskusi kan. Tidak perlu jauh-jauh da lam menilik budaya diskusi di FIS, diskusi dalam kelas juga masih abal- abal karena tidak dilakukan dengan se rius. Padahal, sebagai salah satu proses belajar, diskusi kelas mempu nyaiperanan penting dalam melatih pemahaman mahasiswa dalam ma teri perkuliahan. Ketika budaya dis ku si dikalangan mahasiwa semakin menurun, dihadapkan pula pada per masalahan lain: kualitas diskusi yang rendah. Bisa jadi kita sudah sering me li hathal yang seperti ini dalam diskusi kelas. Ada yang bertanya den gan tidak serius, tidak bermutu, mak sudnya melawak, mungkin juga men cari perhatian mahasiswa lain atau hanya sekedar mendapat se nyuman
17
sum ringah dari si dosen. Tindakan yang naif. Kebanyakan mahasiswa mungkin beranggapan, bahwa disku si dalam kelas merupakan sebuah for malitas sesuai dengan yang tertulis da lam silabus. Namun, apabila kita lebih kritis lagi, sebenarnya diskusi meru pakan media untuk melatih kemam puankognitif mahasiswa. Sebenarnya, apasih esensi kita berdiskusi dalam se tiap mata kuliah? Pemahaman, pengetahuan, dan analisis mahasiswa masih rendah. Presentator belum siap secara materi, sehingga dalam menjawab pertanya an, mereka menggunakan logika dan intusisinya. Dengan demikian, dis kusi tidak menemukan tujuannya yaitu menemukan pemahaman. Tidak berbeda, audien yang me nanggapi jawaban presentator juga masih ba nyak yang menggunakan logika. Akibat nya, jawaban yang dilontar kan, tidak jelas kebenarannya. Mere ka punya permasalahan yang sama: kurang referensi bacaan. Sebenarnya, kegunaan mem ba careferensi sebelum presentasi adalah sebagai sarana untuk lebih menguasai materi yang digunakan sebagai data penguat jawaban kepada audien. Sebab, gagasan-gagasan yang tersebut mempunyai kekuatan sebagai ilmu.Sehingga jawaban yang di sam pai kan memiliki kredibilitas. (Ilmu Sejarah 2016)
Viva Historia
MATA LENSA FOKUS
Edisi Maret-April 2017
Kegiatan mengaji di Pondok Pesantren Waria Al-Fatah Yogyakarta
Dian | Historia
Salah satu piagam penghargaan dari Universitas Nahdlatul Jepara
Dian | Historia
Viva Historia
18
FOKUS SUDUT
Edisi Maret-April 2017
Nossis | Historia
19
Viva Historia