http://sinarharapan.co/news/read/140614714/pendidikan-intoleransi
Pendidikan Intoleransi Kekerasan terhadap agama masih terjadi di Indonesia. Kekerasan atas nama agama tiba-tiba menyeruak di Daerah Istimewa Yogyakarta (DIY). Daerah yang selama ini dikenal ayem tata tentrem (tenang dan damai sejahtera), terlepas dari segala isu yang berbau SARA (suku, agama, dan ras), tiba-tiba dalam setahun terakhir bermunculan kasus SARA. Lembaga Bantuan Hukum (LBH) Yogyakarta mencatat, ada delapan kasus kekerasan atas nama agama terjadi di DIY dalam lima bulan terakhir (Januari-Mei 2014). Tindak kekerasan atas nama agama tersebut tidak hanya terjadi di Kota Yogyakarta yang memiliki semboyan “Yogyakarta Berhati Nyaman”, tapi juga terjadi di Kabupaten Sleman, Bantul, dan Gunung Kidul. Kekerasan tersebut tidak hanya menimpa umat kristiani, tapi juga penganut Syiah. Intinya, kekerasan dilakukan terhadap kelompok minoritas. Bagi yang mengenal DIY, tentu tahu daerah ini memiliki komposisi penduduk beragam antara pendatang dan asli terbanyak di Sleman, Yogyakarta, dan Bantul. Kabupaten Gunung Kidul, karena letak ibu kotanya 40 km dari Kota Yogyakarta dan tidak ada pusat kegiatan yang menonjol, memiliki komposisi penduduk pendatang paling sedikit. Oleh karena itu, selama ini Kabupaten Gunung Kidul dikenal paling damai di antara wilayah DIY lainnya, apalagi ditunjang dengan kondisi alamnya yang mistis dan masyarakatnya yang masih gemar budaya tradisional (wayang kulit, ketoprak, dan jathilan/kuda lumping) sehingga sering menjadi tujuan wisaya alam atau budaya. Semuanya itu membuat daerah tersebut terasa damai. Tapi, mengapa tiba-tiba menjelang pemilihan umum (pemilu), termasuk pemilihan presiden (pilpres), kekerasan atas nama agama muncul di sana? Secara umum, masyarakat di DIY selama ini dikenal sebagai masyarakat yang amat toleran terhadap sesamanya, termasuk terhadap para pendatang. Semua tahu, yang menguasai pedagang kaki lima (PKL) di pelataran 1
Malioboro itu bukan orang Yogyakarta asli, melainkan orang-orang dari Padang dan Palembang. Tapi, tidak pernah ada gejolak karena masyarakat Yogyakarta asli berperan sebagai penyuplai barang-barang dagangan. Bahkan selama ini, Yogyakarta menjadi kiblat belajar tentang toleransi dalam banyak hal. Oleh karena itu, ketika muncul kekerasan atas nama agama secara bertubi-tubi, mulai muncul pertanyaan kritis, mengenai yang sesungguhnya terjadi di daerah tersebut. Apakah betul masyarakatnya telah berubah menjadi tidak toleran ataukah kekerasan tersebut sengaja diciptakan (by design) oleh kelompok tertentu untuk menciptakan kondisi yang keruh sehingga orang menjadi merasa tidak memiliki tempat yang nyaman lagi di negeri ini? Andil Pendidikan Sistem pendidikan nasional, diakui atau tidak, berandil besar dalam menciptakan masyarakat yang toleran/intoleran. Semua amat tergantung kepada sistem yang dikembangkan. Praksis pendidikan yang sejak awal menghargai perbedaan atau keragaman akan melahirkan masyarakat yang toleran. Sebaliknya, sistem pendidikan yang tidak menghargai keragaman tentu melahirkan masyarakat yang intoleran. Menurut pemahaman penulis, sistem pendidikan nasional yang menghargai keragaman itu berlangsung antara kurun 1946 (awal kemerdekaan) hingga 1983, ketika menteri pendidikan dan kebudayaan (mendikbud) dijabat Dr Daoed Joesoef (Maret 1978-Maret 1983). Pascamasa Menteri Daoed Joesoef tersebut, praksis pendidikan bergeser ke arah kurang menghargai keragaman. Mendikbud Nugroho Notosusanto yang menggantikan Daoed Joesoef mulai menerapkan kebijakan baru yang cukup mengagetkan, yaitu keharusan para murid baru (mulai tahun ajaran 1984/1985) harus mengisi formulir mengenai mata pelajaran agama yang akan diikuti di sekolah dengan dalih pemetaan kebutuhan guru agama. Meskipun sampai sekarang kebutuhan guru agama untuk agama tertentu tidak terpenuhi, aturan mengenai mata pelajaran agama yang akan diikuti tersebut tetap dijalankan. Tanpa disadari, implementasi dari aturan ini berkekuatan memaksa. Ini mengingat, tidak semua warga menganut agama resmi yang ditentukan 2
pemerintah. Bahkan masih banyak juga yang memiliki kepercayaan lain (aliran kepercayaan). Perlu diketahui, agama resmi yang diakui pemerintah saat itu hanya lima, yaitu Islam, Kristen Protestan, Katolik, Hindu, dan Buddha. Konghucu saat itu belum masuk daftar agama resmi karena baru masuk daftar resmi pada masa Presiden Abdurrahman Wahid alias Gusdur, Oktober 1999-21 Juli 2001. Demikian pula realitas budayanya, banyak masyarakat yang masih menganut agama lokal, seperti Kejawen (Jawa Tengah dan Jawa Timur), Sunda Wiwitan (Kanekes, Banten) Jawa Sunda (Kuningan, Jawa Barat), Budi Luhur dan Buhun (Jawa Barat), Parmalim (Sumatra Utara), Kaharingan (Kalimantan), Tolottang (Sulawesi Selatan), Tonaas Walian (Minahasa Sulawesi Utara), Marapu (Sumba), atau Wetu Telu (Lombok). Keharusan mengisi formulir mata pelajaran agama yang akan diikuti itu ibarat teror bagi mereka karena tidak bisa mengelakknya. Tapi ketika akan mengisi sesuai keyakinan yang dianut, tidak tersedia pilihan di formulir tersebut lantaran negara sewenang-wenang menentukan jenis agama yang sah boleh dianut warganya. Agama yang tidak termasuk daftar resmi dinilai tidak sah dan berarti tidak boleh dipelajari (di sekolah). Mau tidak mau, calon murid mengisi jenis agama yang sudah disediakan pemerintah, bukan menurut keyakinan dan kepercayaannya. Ini berarti, negara melalui institusi pendidikan, melakukan kekerasan budaya dan mengajarkan intoleransi kepada warganya. Warga negara yang memiliki pilihan kepada kepercayaan di luar agama resmi itu disebut liyan (others) sehingga bukan tanggung jawab negara. Agamanisasi di sekolah tidak hanya berhenti di sana, tapi berlanjut sampai pembangunan prasarana/sarana pendidikan. Keberadaan tempat ibadah di sekolah-sekolah masuk menjadi salah satu indikator penilaian dalam akreditasi sekolah. Namun entah karena masalah teknis atau politis, sampai saat ini yang terbangun hanya tempat ibadah untuk mayoritas. Kondisi yang sama terjadi di kampus-kampus perguruan tinggi negeri (PTN). Hanya agama mayoritas yang memiliki tempat ibadah dalam kampus. Padahal bila mau konsisten, semestinya semua agama difasilitasi tempat ibadah di sekolah/kampus. Dengan kata lain, institusi pendidikan secara gamblang mempertontonkan perlakuan yang diskriminatif terhadap pemeluk 3
agama minoritas dan cenderung tidak toleran terhadap pihak yang memiliki keyakinan berbeda. Lahirnya Undang-Undang (UU) No 2/1989 tentang Sistem Pendidikan Nasional (UU Sisdiknas), revisi terhadap UU No 4/1950 tentang Dasar-dasar Pendidikan Pengajaran di Sekolah –UU Pendidikan yang nasionalis—semakin memperkokoh agamanisasi di sekolah. Ciri khusus sekolah-sekolah swasta yang didirikan atas dasar keyakinan agama dihancurkan UU Sisdiknas 1989 dengan amanat untuk mengajarkan pendidikan agama yang sesuai agama muridnya (penjelasan Ayat 1 Pasal 28). Amanat ini diperkuat dengan lahirnya UU Sisdiknas No 20/2003, merupakan revisi terhadap UU Sisdiknas 1989. Jika dalam UU Sisdiknas 1989 amanat tersebut hanya ada dalam penjelasan, dalam UU Sisdiknas 2003, amanat tersebut diangkat dalam Pasal 12 Ayat (1) Butir a, “Setiap peserta didik pada setiap satuan pendidikan berhak mendapatkan pendidikan agama sesuai agama yang dianutnya dan diajarkan oleh pendidik yang seagama”. Ini artinya, ciri khusus di sekolah-sekolah swasta yang didirikan atas dasar keyakinan agama tertentu tidak ada lagi. Berbeda dengan UU No 4/1950 tentang Dasar-dasar Pendidikan Pengajaran di Sekolah, yang dalam Pasal 13 Ayat (1) menyatakan, “Atas dasar kebebasan, tiap-tiap warga negara menganut sesuatu agama untuk keyakinan hidup maka kesempatan leluasa diberikan untuk mendirikan dan menyelenggarakan sekolah-sekolah partikulir”. Sebelumnya antara kurun 1989-2003, telah terjadi perubahan yang fundamental dalam praksis pendidikan nasional, yaitu diperbolehkannya jilbab sebagai seragam resmi di sekolah pada 1993, bersamaan dengan menguatnya peran politik ICMI (Ikatan Cendekiawan Muslim Indonesia). Sekarang ini, seragam dengan identitas agama telah menjadi penanda keberagamaan seseorang murid di sekolah-sekolah negeri. Ini ironis sekali karena sekolah negeri yang seharusnya menjadi sekolah publik justru menjadi sekolah bercirikan agama. Tidak mengherankan bila ada penelitian yang menyatakan, 65 persen murid SMAN di Jabodatebek menyetujui tindak kekerasan atas dasar agama karena sistem maupun praksis pendidikan yang ada memang mengondisikannya untuk itu. 4
*Penulis adalah Ketua Departemen Pendidikan dan Kejuangan Nilai-nilai 45, Dewan Harian Nasional 45 (DHN 45).
5