NOTULENSI Diskusi Tematik
Intoleransi dan Kekerasan KONFERENSI REGIONAL MASYARAKAT SIPIL YOGYAKARTA: MASYARAKAT SIPIL DAN PENGUATAN DEMOKRASI INKLUSIF YOGYAKARTA, 25-26 FEBRUARI 2015
Rose-In Hotel, Yogyakarta, Rabu-Kamis, 25-26 Februari 2015
Fasilitator
: Zein (LKIS)
Pemantik
:
1) Abdul Muhaimin 2) Beni Susanto (Koordinator MAKARYO)
Diskusi Sesi I : Pembukaan
Diskusi dibuka pukul 16.00 Pembukaan oleh fasilitator Pada diskusi ini kita akan mencoba mengeksplorasi isu pada tema diskusi, kita akan bicara spesifik tentang Yogya. Sedangkan besok pagi kita akan melakukan pemetaan isu, perumusan stragtegi dan rencana aksi maksyarakat sipil serta rekomendasi yang kita bisa sampaikan langsung pada stakeholder.
Sesi II : Perkenalan
Perkenalan peserta dan panitia Fasilitator dan Pemantik 1) Zein (Fasilitator) : Dari LKIS (Lembaga Kajian Islam dan Sosial) 2) Abdul Muhaimin : Pesantren Nurul Mahad, Kota gede. 3) Beni Susanto : Koordinator Makaryo (Masyarakat Anti Kekerasan Yogyakarta)
1
Peserta Wahyu Tanoto Yulita Rosi Ita Sulistyaningsih Nurul Annisa Alfari Tusiyo Sayo Indri Murni Dede
SESI III
Mitra Wacana Yogya, konsentrasi pada perempuan dan anak. Yayasan Satu nama, Pengelolaan media. Menyediakan pelatihanpelatihan. UKM Peduli Difabel UGM, kuliah di Psikologi UGM. Gerakan Pemuda Islam Yayasan Kapya Yogyakarta, Bagian buletin. Tertarik mendalami mengenai intoleransi karena sesuai dengan skripsi saya. Forum Indonesia Cerdas. Lembaga Riset FISIPOL UGM, sedang melakukan riset politik kekerasan. DPO dari Kulon Progo Forum Komunikasi ...mengurusi kekerasan dan KDRT. Noutulen, Filsafat UGM Panitia. Membantu SIGAP selama diskusi ini. Perempuan Mahardika LBH Yogyakarta
: Diskusi Pembukaan oleh fasilitator Yogya dikenal dengan kota kekerasan anti toleransi, Yogyakarta dikenal sebagai kota yang ramah, gotong royong, sangat toleran dan jauh dari kata keras. Namun dalam 5 tahun terakhir banyak sekali kasus kekerasan, apa yang terjadi? Penegak hukum sulit sekali menyelesaikan kasus kekerasan khususnya agama. Materi dari Pemantik (Abdul Muhaimin) Assalam, Salam sejahtera Secara historis, Yogya memiliki sejarah multikultur, satu contoh. Saya sering dapat tamu dari luar negeri, saya bawa ke Mesjid kota gede. Sangat unik, bangunannya dipagari oleh bentuk pagar arsitektur Hindu total, sampai pada gapuranya. Arsitektur Jawa tapi banynannya islam, membuktikan Yogya mengakomodasi, mengakulturasi sekian banyak variabel budaya, keyakinan yang masuk ke Yogya. Di dalam bahasa jawa ada “ngono yo ngono ning ojo ngono” atau”sithik eding” dalam bahasa hukum, kontradiksi, namun menggambarkan sebuah konsep interaksi anatar personal untuk mencari titik ekuilibriumnya. Kalau kita lihat di Yogya, etnis lain dimasukkan seperti prajurit bugis, daeng. Namun dengan proses modernisasi dan dialektika politik, karakter lokal
2
semakin terdesak. Tidak imbang antara akselerasi budaya dan modernisasi. Tidak sepenuhnya warga Yogya, banyak pendatang yang mengalami keterlambatan dalam adaptasi sosial. Banyak kasus konflik etnis yang saya selesaikan, misal, kasus Cebongan sudah dua kali saya pertemukan, namuan “meledaknya” di Hugos Caffee. Sekarang masing kabupaten membuat asrama sendiri, suku-susku. Misal teman dari Papua, didamaikan Sultan,Walikota tidak mau, akhirnya di pesantren dengan perwakilan 10 mahasiswa Papua. Kesepakatan boleh berdemo mengenai kebodohan, ilegalloging, dst tanpa keekrasan. Penegak hukum yang tidak tuntas. Kasus LKIS, saya juga ikut menyelesaikan. Saya kadang bertanya, ada apa kok di Yogya hukum tidak pernah selesai, korupsi, kekerasan. Apa ada kendala kultural? Atau memang disini dijadikan batu uji dari kasus kasus nasional. Karena kalau ada kejadian, dari Mabespolri, Mabes TNI, datang ke saya. Saya bilang, jangan bekerja atas nama agama namun karena hukum. Kelihatannya ada persoalan non teknis dalam penyelesaian persoalan kekerasan di Yogya. Sumbangan masyarakat sipil terhadap kasus kekerasan sudah optimal dalam kapasitasnya. Ada tiga kekuatan; 1) Tokoh agama yang pro aktif, 2) Intelektoal Yogya lebih populis/ mudah diakses baik dalam program dan pengembangan wacana, 3) Kraton bila Sultan bicara pada level tertentu, masih cukup efektif. Bila Yogya tertinggi kedua, itu by name, bila by case belum. Tidak terjadi pola yang menghasilkan dendam yang akan meletup. Catatan penting fasilitator 1) Sebetulnya kita punya akar historis yang terbuka 2) Filososfi dalam bahasa sehari-hari, menarik karena kita adalah masyarakat yang inklusif yang bisa berdampingan. 3) Kekerasan muncul akulturasi budaya yang tidak seimbang, masyarakat pendatang yang belum mampu beradaptasi Mungkin teman Makaryo akan bisa memberikan informasi lebih lanjut. Undang-Undang Keistimewaan, kebudayaan dst tidak diaktualisasikan jadi sangat sempit dalam aktualisasinya. Materi dari Beni MAKARYO Saya hanya menambahkan sedikit saja, Potret intoleransi kekerasan dalam Pemilu, yang menjadi langkah kedepan. Fakta
3
Sewaktu pilpres angka kekerasan bertambah. Pelaku dalam kekerasan di Pilpres jadi dan dilantik, namun proses hukum tidak berlangsung dan damai. Banyak masyarakat yang menjadi korban kampanye terbuka Pilpres, fasilitas umum dan pribadi. Perempuan juga menjadi korban kekerasan dalam Pemilu. Bom molotov yang menyasar kantor dinas, rumah masyarakat. Di Yogya ada spanduk Syiah bukan islam, sampai saat ini Mkaaryo belum bersikap namun sudah ada gagasan/ dibicarakan. Pengelompokan aktor Caleg atau simpatisan partai. Korban bisa penyelenggara pemilu/panwas “Oknum” dari kelompok fundamentalis (MMI, FII, FUI) terhadap kelompok lain yang berbeda paham. Oknum aparat terhadap warga. Oknum pemerintah terhadap kelompok minoritas Kelompok intoleran? Dampak terhadap masyarakat Berulangnya sejumlah kasus kekerasan tanpa penuntasan hukum yang menjadikan publik bersikap permisif dan acuh Kenyamanan dan keamanan menjadi suatu yang mahal dan langka, hanya bisa dinikmati sebagian orang. Rusaknya martabat dan citra keistimewaan Yogya Usulan Persamaan dan penegakan hukum Sinergi aparat terkait Mengembangkan kinerja deteksi dini dan cegah dini terhadap potensi kekerasan Masyarakat sipil adalah mitra kunci aparat keamanan, aplagi kampanye pemuli 2014. Misalnya: Makaryo bisa bersinergi dengan aparat keamanan. SESI IV
: Sharing dan Tanya Jawab
Fasilitator Itulah sebagian dari rangkaian kekerasan, tidak hanya agama namun etnis. Yang belum adalah variabel ekonominya. Asumsi yang berkembang adalah pergeseran akar premanisme. Sharing dan tanya jawab 1) Dede Perempuan Mahardika
4
a. Kekerasan berbasis suku. Belakangan saya disibukan dengan berbagai kasus kekerasan teman2 saya. 2014 awal, 1 Januari. Setelah perayaan di taun baru, motor bocor, tanya bengkel malah dipukul pakai rantai motor. Setelah dicari pelakunya, namun tidak ada pelaku yang keluar, warga menelpon kepolisian. Namun polisi langsung menyerang teman saya, memukul sampai kepalanya pecah. Ada bahasa yang sangat rasial “ornag timur sukanya membuat ricuh”. Dari sini ada dua teman saya yang ditahan, karena terjadi baku pukul antara teman saya dan polisi, ada rumah dan mobil yang kacanya pecah. Kami mencari keadilan dari Gubernur, ada media yang mendiskreditkan, sama yang dilontarkan Kapolresta tanpa menanyakan dari pihak korban. Kami melakukan aksi protes, 9 hari kemudian teman saya disebaskan. Problemnya, ada pembiaran, kekerasan berbasis ras/ suku. 14 Agustus, teman saya yang dipenjara waktu itu dibunuh dengan tragis di nol kilometer, yang sering digunakan untuk aksi budaya. Teman kami didatangi pengamen, tidak memberi uang, langsung dihajar oleh kelompok pengamen, karena satu bahasa yang membuat mobilisasi masa yaitu “aku wong Jogja loh”. b. Pasca kejadian Cebongan, rata rata kawan dari timur mengeluhkan yaitu. Ketika mencari kos/ kontakan ada kendala yang sukuistik. Anda punya teman yang kulitnya hitam dan rambutnya keriting tidak? Ada juga teman yang dikeluarkan dari kos nya. Ada kecenderungan yang muncul dan mendiskriminasi. Apakah warga Jogja sudah bisa beradaptasi dan menerima pendatang. Peran media? Militerisme, sktruktural? 2) Sayo a. Sekarang ada Perda untuk KDRT, bagaimana cara mendorong secepatnya Perda itu untuk diimplementasikan? 3) LBH Yogyakarta a. Dalam kasus kekerasan bila sejauh tadi yang menjadi kendala di tingkatan polisi, ada juga kendala yang datang dari organisasi masyarakat yang tidak profesiaonal dan mencederai nilai nilai demokrasi. Bapak sebagai tokoh mungkin bisa memberikan teguran. b. Di isu LGBT, di Yogya tidak mendapatkan ruang untuk berekspresi. c. Dalam konteks korban, kawan difabel juga menjadi korban kekerasan, kadang tidak dilihat. d. Dalam melihat konteks Yogya, saya tidak sepatak dalam melihat melalui agama, intelektual dan suku. Sangat sempit pandangan kita karena ada politik, ekonomi. Kita harus melebar dalam melihat persoalan. e. Warga Yogya tidak menerima orang luar itu keliru. Sejak UGM didirikan Yogya sudah terbiasa menerima orang luar. Namun ada kelompok/ organisasi tertentu yang menjadi salah satu faktor dalam kasus kekerasan. Tanggapan dari Kyai Abdul Muhaimin
5
Memang ada faktor yang belum saya sebutkan termasuk ekspansi kapitalisme yang mengakibatkan penolakan warga. Kebetulan isu yang berkembang, investor sudah menyewa preman dari indonesia timur. Ada sensitivisme yang tinggi, ada keluarga dalem dari pakualamin yang mau mengganggu UUK DIY. Yang berdiri dibelakang kekuatan kontra dibelakang pakualaman adalah orang Indonesia Timur. Teman dari Indonesia Timur perlu tau, ada unsur kecil yang memperkeruh. Yang harus dipahami, Yogya ini model NKRD. Pnegalaman saya, yang disepakati untuk anak Indoensia Timur adalah jangan demo mengenai separatisme, karena sangat sensitif. Yogya merasa model Indonesia adalah di Yogya. Radikalisme ideoligis dan kultural. Mayarakat di kelompok bawah menjadi sangat sensitif, sangat mudah tersulut. Saya menyelenggarakan penelitian dengan filsafat dan UMY mengenai radilakisme. Ternyata ekstrimisme paling banyak di daerah Bantul. Persoalannya bukan persoalan lokal, namun sebagian dari polanisasi konflik global. Beban politis dan multikultural di Yogya tidak sesederhana yang bisa kita lihat di permukaan. Soal penerimaan masyarakat Yogya terhadap orang luar: Asal ada take and give, dan penyembuhan trauma-trauma psikologis dan politis. Termasuk soal PKI, ada banyak generasi yang mungkin tidak bisa disembuhkan mengenai trauma PKI. Saya juga melatih mengenai isu gender, khusus di pesantren. Gender berbasis freedom and humanity, memeberikan wacana nilai yang berbasis relijiusitas. Fasilitator Kaitannya dengan regulasi, besok kita akan membicarakan hal itu. Terkait juga rekomendasi-rekomendasi kedepan. Mas Beni, bisa memberikan komentar, terkait intoleran terhadap masyarakat timur/ masalah agama, aparat penegak humum ikut andil. Tanggapan dari Beni MAKARYO Ada talam tebang pilih dalam intoleransi/ kekerasan. Dalam penegakan hukum butuh kekuatan masyarakat sipil. Politik kebijakan butuh tekanan dari masyarakat sipil. Bagaimana konteks demokrasi, konsolidasi masyarakat sipil harus terjadi.
SESI V : Penutupan
Fasilitator Kami adalah pemantik dari dua sesi kedepan, simpulan saya; 1) Banyak variabel yang harus kita hitung.
6
2) Variabel ekonomi, politik, agama, ras/ suku, budaya. Ada benang merah yang harus menjadi kesatuan dari variabel tersebut untuk bisa merumuskan sesuatu kedepan. Terimakasih kehadiran dan informasi yang dibagikan, sampai jumpa besok.
7
Hari kedua, Kamis, 26 Februari 2015
SESI I
Sharing dan Refleksi diskusi hari kemarin 1) Peserta : “Saya melihat beberapa persolan, saya lebih senang melihat Tom Helder Kaba, dimana negara tidak memberikan kecukupan ekonomi, sosial, budaya. Kemudian lahirlah kelompok-kelompok yang punya kepentingan, baik dari bisnis, politik dan dominasi budaya. Itu sangat mudah dijadikan alat, yang disekitar kita saat ini, pemerintah tidak mampu memenuhinya”. 2) Fasilitator : “Selain doktrin agama ada faktor kemiskinan, kekecewaan terhadap negara menjadi salah satu faktor dalam terorisme. Ada istilah “ijtihat”, cita akhir dari kehidupan adalah khusnul khotimah, mati membela agama. Yang menjadi soal adalah tafsir dalam ijtihat yang sering disalahartikan, walau tidak 100%. Yang salah adalah yang memberikan tafsir jihat itu ngebom.” 3) Fasilitator : “Faktor keimanan. Dasar semua agama adalah kasih. Namun kenapa ada satu kelompok yang tidak menanamkan imannya pada kasih? Jangan sampai anarkis.” 4) Peserta : “Bila saya melihat agama, harus secara onjektif. Sebenarnya kita punya agama masing-masing, ternate ada Malapu, dst. Kita punya agama nusantara, kenapa saya harus bakubunuh karena budaya agama lain? Agama menjadi alat kolonialisme, mengeksploitasi alam, mengubah karakter budaya dan intervensi hak politik. Boleh kita meyakini suatu agama tapi tidak meninggalkan budaya, karena itu yang menjadi karakter pembeda kita dengan yang lain.” 5) Fasilitator : “Kebhinekaan hampir tidak ada di Indonesia. Dalam rumah tangga, perekatan antar saudara dalam rumah tanggapun juga sudah ada. Pekerti tidak ada sekarang, tidak ada rasa penghormatan pada orangtua. Keluarga, pembenahan utama pada bagaimana pemerintah bisa mensejahterakan orangtua agar mampu mendidik anak. 6) Fasilitator : “Mungkin yang menjadi oenting adalah identitas. Yang terjadi adalah kebanggaan sektariat, kadang mengaburkan identitas keIndonesiaan. Pemerintah sudah punya konsep, kaitan dnegan keluarga. Spirit komite sekolah adalah “Pelibatan keluarga dan institusi pendidikan”. Namun selama ini komite sekolah hanya diundang ke sekolah untuk membicarakan dana BOS saja atau yang lain. Konsep sudah ada namun hanya penegakan hukumnya yang lemah. Hari ini coba kita petakan, bicara Jogja saja untuk kita petakan.”
8
7) Peserta : “Dalam konteks kemajemukan,di kolom “Aktor pelaku/ damai” kita seharusnya mengidentifikasi perilakunya, bukan kelompoknya.” 8) Fasilitator : “Mengapa kita butuh mengidentifikasi kelompok, kita akan mengajak mereka untuk berdiskusi atau berjejaring. Di sesi siang kita akan bicara dengan pemerintah.”
9
HARI KEDUA Diskusi kelompok “Refleksi Perdamaian dan Toleransi di Yogyakarta” Kelompok I (Non Agama : Suku/ Ras) Isu UndangUndang
Sosial Budaya
Potensi Damai Ideologi Indonesia “PANCASILA” UU No39 th 99 “HAM”
UU No 11 Th 2005 “Ecosob”
Non Agma (Suku/ RAS)
Politik
UU No 12 TH 2005 “SIPOL” UU No 6 Th 2000 “Pengadilan HAM” UUD 1945 psl 28, 28A.
Potensi konflik Aparat penegak hukum tidak dapat menjalankan tugas dan tanggungjawab sebagai pelindung masyarakat Implementasi UU Fanatisme terhadap suku tertentu Pemahaman Wawasan Nusantara Berkurang Pendidikan tidak berorientasi kebhinekaan KKN Partai politik
Aktor Damai Pemerintah
Tokoh adat Keluarga Pendidik Masyarakat umum
Media Tokoh politik/ partai politik
Lanjutan
10
Aktor Konflik Mafia Peradilan
Rekomendasi
Instansi/ pemerintah 1) ImplementasiUU sesuai dengan cita-cita yang ada dan diselaraskan dengan kondisi masy. Setempat PERDA 2) Pengakuan masy secara aktif terhadap pelaksanaan UU melalui lembaga representatif LBH, PUSHAM 3) Monitoring dari pemerintah terhadap klompok masyarakat
Kelompok masyarakat 1) Prinsip “ dimana bumi dipijak disitu langit dijunjung” menghargai budaya lokal 2) Komunikasi antar budaya ditingkatkan ruang dialog budaya dengan tujuan menciptakan kenyamanan di masyarakat Masyarakat umum 1) Menguatkan nilai-nilai kebhinekaan, identitas yang sama sebagai WNI dan nilai nilai kemanusiaan 2) Sosialisasi di masyarakat akan hasil dialog antar budaya sehingga mengobati trauma dan mengusir stigma negatif.
Paguyuban suku tertentu Preman (individu) Sanksi sosial yang terbangun di masyarakat akibat trauma dan stigma negatif yang dimarjinalkan Pemahaman yang tidak tepat akan wawasan nusantara dalam kurikulum pendidikan Kelompok bisnis keamanan Mafia peradilan Pemberitaan mafia yang berimbang
Notes : Peran keraton/ kesultanan Bila Yogya ingin menjadi jembatan bagi konflik keberagaman sangat besar potensi, karena Yogya adalah model Indonesia mini dan ditunjang dengan pendidikan melalui Ikatan-ikatan Mahasiswa di DIY. Namun negatifnya, Keraton/ kesultanan lebih banyak bicara mengenai ke pariwisataan, harusnya kita tekankan rekomendasi untuk Keraton soal budaya jangan soal industri pariwisata saja.
11
Kelompok II (Agama) Isu Undangundang
Agama
Potensi Damai -UUD 1945 pasal 28 ayat 1 dan mukadimah -RUU Kerukunan Umat Beragama -Inpres tentang PengarusUtamaaan Gender -Tafsir-tafsir agama yang lebih ramah -Konvensi HAM PBB
Potensi Konflik -Mencabut SKB 3 Menteri tentang bangunan ibadah -UU Anti Pornografi -Perda dan kebijakan yang diskriminatif, contohnya perda anti pelacuran di bantul, perda Syariah dan Qanun, dst. -Rencana Tes Keperawanan di Jember dan jambi. -Fatwa MUI -UU Perkawinan no. 1 tahun 1974 -UU PNPS (Pencegahan Penyalagunaan dan atau Penodaan Agama) th. 1965
Socialbudaya
-Upacara keagamaan -Perayaan keagamaan yang melibatkan agama lain -Dialog antar umat beragama
-Fundamentalisme agama dalam organisasi ekstrakulikuler di sekolah-sekolah di sekolah-sekolah negeri. -Jilbabisasi di dunia pendidikan (terutama di sekolah negeri) dan pelarangan jilbab -Acara-acara kerohanian, sinetron, dll di media baik cetak dan elektronik
Politik
-
-Kurikulum 2013 di dunia pendidikan -Kebijakan Militer di daerah konflik-konfli (misalnya DOM, dst) -UU Sisdiknas 2003 (kontra pluralism)
Lanjutan
Aktor Damai -Komnas HAM -Lembaga Masyarakat Sipil -Pemuka agama yang memiliki perspektif pluralism
Aktor Konflik -Pemerintah (kemenag) -Aparat Keamanan (Polri, TNI dan Satpol PP) -Kelompok ormas yang reaksioner -Ceramah dan khotbah pemuka kerohanian yang kontra pluralism -Media
Notes :
Kurikulum 2013 mengatur moralitas, jilbab juga salah satu dampak 2013. Belum ada tindak lanjut yang jelas tentang penarikan kurikulum 2013. Ketika dalam dunia pendidikan hanya 6 kepercayaan yang diajarkan, bagaimana penganut agama agama nusantara?
12
Menjadi aktorkonflik tidak berarti harus dihapuskan, namun perlu pengoptimalan, dst. Penegakan hukum? Kasus penyerangan atas nama agama sulit sekali disentuh. Polisi sering menggunakan pendekatan keamanan daripada pendekatan hukum. Kekerasan di Yogya sering terjadi karena media sering di back-up oleh keraton, maka jarang terpublikasi? Edo: Pemberitaan ada, namun pemberitaan yang diskriminatif. Orang sudah tau banyak kasus kekerasan terjadi di Yogya, namun bagaimana penegakan hukumnya? Bagaimana sikap keraton? Karena orang yang menganggap keraton sebagai pihak yang bisa menjembatani. Yang menjadi penting adalah bagaimana menjadikan media berperspektif perdamaian. Mendesak PERDA Anti Kekerasan di Yogya harus ada aksi.
Rekomendasi Kelompok II : 1. Cabut peraturan yang diskriminatif, menimbulkan potensi konflik dan pengikisan nilai-nilai kebhinekaan/pluralisme. 2. Mengsahkan peraturan /kebijakan yang berperspektif kebhinekaan/pluralisme. 3. Menggiatkan dialog-dialog antar umat beragama dan Mengikutsertakan umat beragama lain agenda-agenda keagamaan. 4. Menindak tegas ormas dan individu yang melakukan tindakan-tindakan yang mengarah pada munculnya kebencian hingga tindak kekerasan yang mengganggu ketentraman umat beragama. 5. Mengajarkan pluralisme dalam dunia pendidikan (pluralism masuk dalam kurikulm di dunia pendidikan). 6. Media Komisi Penyiaran Indonesia dan pers harus dengan tegas menghentikan acara-acara Televisi dan berita-berita media yang menebarkan kebencian antar umat beragama. 7. Hentikan kebijakan militerisme di daerah-daerah konflik. 8. Partisipasi aktif masyarakat dan CSO dalam pengambilan kebijakan khususnya mengenai keragaman umat beragama. 9. Penegakan Hukum terhadap semua kasus kekerasan yang terjadi di Indonesia 10. Mendorong DIY melahirkan Perda tentang anti kekerasan
13