Enterobacteriaceae Non Fermentasi Laktosa
Ada beberapa genus dari Enterobacteriaceae yang tidak memfermentasi laktosa yang penting dalam menimbulkan penyakit pada hewan adalah Salmonella, Proteus dan Yersinia.
Genus Salmonella
Salmonella dinamai oleh D.E. Salmon, seorang ahil bakteriostatik khusus hewan dimana dia bersama Theobald Smith mengisolasi pertama kali bakteri Hog Cholera. Kemudian organisme tersebut diberi nama Salmonella cholerasuis dan menjadi beberapa macam atau jenis. Saat ini lebih dari 2000 serovian atau serotype dari Salmonella yang menyebabkan banyak penyakit pertama kali diisolasi dari hospesnya. Studi tentang Hibrisida DNA menunjukkan bahwa semua Salmonella dan organisme yang lebih dahulu terbentuk seperti S. arizona mempunyai jenis genetik yang tunggal. Jenis genetic yang tunggal. Jenis terdiri dari 5 subgrup (subgenus atau subspecies): I.
Typical Salmonella seperti; S. cholerasuis; S. enteritidis; S. gallinarum; S. typhi; S. typhimurium.
II.
Atypical Salmonella seperti S. salamae.
III.
S. arizonae dan organisme yang berhubungan
IV.
S. houtenae dan organisme yang berhubungan
V.
S. bongor dan organisme yang berhubungan
Salmonella subgroup I lebih patogen dibandingkan dengan subgroup yang lain dan Salmonella pada subgroup Ill sedikit patogen. Penamaan penyakit Salmonella tergantung dari kasus dan tempat dimana Salmonella pertama kali diisolasi sebagai contoh S. choleraesuis dan S. dublin. Dengan menggunakan epithets yang spesifik, walaupun taksonominya (aturan tata nama) tidak tepat akan tetapi hal tersebut telah menyebar dalam literatur dunia kedokteran baik manusia ataupun hewan. Internasional Sub comitte On Enterobacteriaceae merekomendasikan beberapa serovian baru dari serogroup II, III, IV dan V yang memiliki bentuk antigen yang hampir sama.
Universitas Gadjah Mada
1
Morfologi dan Reaksi Pengecatan Termasuk gram negatif, non capsula dengan batang pendek (2-4 dengan 0,5-1,0 mikro micron) mempunyai flagella dengan bentuk penitrik dan fimbriae, S. gallinarum dan S. pullorum tidak mempunyai flagella.
Sifat Biakan dan Biokimia Salmonella termasuk golongan bakteri aerobic dan fakultatif anaerob, dapat tumbuh dalam media yang tidak diperkaya tanpa factor pertumbuhan spesies dari Salmonella. Untuk membedakan dari beberapa group dari Salmonella harus diisolasi pada media diffenensial dan media selektif. Media yang digunakan biasanya Brilliant Green Agar, Mac Conkey agar dan Bismuth Sulfit Agar. Koloni yang terbentuk berdiamater 3-4 mm, tetapi ada beberapa serotype yang mempunyai koloni yang kecil yaitu 1 mm. Sifat biokimia yang menciri atau khas dapat dilihat pada tabel 3.
Tabel 3. Formulasi Antigen dari beberapa Serotipe Umum Salmonella Serotype
Formulasi Antigen
S. abortus ovis
44,12 : c-1,6
S. choleraesuis
6,7 : c-1,5 (diphase)
S. dublin
9,12 : g, p- (monophase)
S. pullorum
9,12 : - (nonmotile)
S. typhimurium
11,4,5,112 : I-1,2 (diphase)
Salmonella dapat dibedakan dengan menggunakan kaldu tetrathionat atau sodium selenit. Selanjutnya hanya sedikit yang dapat diidentifikasi pada spesimen yang banyak kontaminan dengan media yang diperkaya. Salmonella tumbuh optimum pada temperatur 37°C tetapi Salmonella dapat tumbuh pada
suhu 43°C
yang menciri dengan
adanya
reduksi dari bakteri lain
yang
mengkontaminasi. Salmonella menghasilkan gas dari glukosa menggunakan sitrat sebagai sumber karbon. Salmonella mereduksi nitrat menjadi nitrit tetapi tidak menghasilkan indol dan urease. Reaksi dekarboksilase dan lysine dan ornitin biasanya (+). Hidrogen Sulfida dihasilkan oleh beberapa dari Salmonella. Laktosa tidak difermentasi kecuali strain dari hospes yang mempunyai plasmid yaitu S. arizonae. Beberapa strain S. arizonae memfermentasi laktosa dengan lambat, yang lainnya menfermentasi secara cepat.
Universitas Gadjah Mada
2
Biotipe Biotipe dari fermentasi menghasilkan strain yang mempunyai serotipe tunggal untuk membedakan biotipe-biotipe digunakan genetic stable termasuk diantaranya S. typhimurium, fermentasi dan Bitter’s rhamnose, mesoinositol, L-rhamnose, d-tartrate, dan mesiotartrate. Selanjutnya dari serotipe berkembang menjadi biotip sebagai contoh S. agona dibandingkan dengan S. typhimurium kenyataannya semula S. agona diambil dari S. typhimurium yang terlebih dahulu. Biotipe yang dihubungkan dengan fase tipe akan memberikan nilai yang lebih pada kajian epidemiologi dan S. typhimurium pada hewan dan manusia.
Fase Tipe Fase tipe didasarkan atas sensitivitas dari biakan dan tipe dari bakteriophage yang terlarut. Percobaan yang pertama kali digunakan untuk mengetahui fase tipe dengan S. typhi dan diaplikasikan terhadap S. typhimurium dengan Salmonella yang lain. Ini mempunyai nilai yang lebih pada studi epidemiologi. Perbedaan fase tipe dari Salmonella dari tahun ke tahun. Fase tipe dari S. typhimurium dikembangkan dengan cepat di lnggris selama beberapa tahun. Kenyataannya modifikasi dari metode pertama berkembang di lnggris. Seperti yang ada sekarang, kemudian strain dari Amerika Utara sekarang dapat diisolasi menjadi fase tipe yang sama. Plasmid dapat mengubah fase tipe dari strain Samonella dengan mengubah reseptor dari
permukaan
sel
dengan
mengkode
pemotongan
endonuklease
(restriction
endonuklease).
Antigen Ada 3 jenis antigen yang digunakan untuk identifikasi Salmonella yaitu O (Somatik), H (Flagella), dan Vi (Virulence) antigen. Ciri yang khas dari antigen O ditentukan oleh struktur dan komposisi dari lipopolisakarida dari dinding sel bakteri dan perbedaan antigen O ditandai dengan gambaran Arabian sebagai contoh 4,12. Antigen O selanjutnya mengubah lisogenik dan menghasilkan perubahan serotype. Dalam S. pullorum antigen O12 terdapat 3 bentuk yaitu 12, 12 (2), 12 (3). Strain dari S. pullorum banyak mengandung bentuk antigen O12 (2), kadang-kadang menginfeksi unggas didalam satu flok dan terdapat antigen khusus yang disiapkan dari varian. OIeh karena itu digunakan uji screening di dalam flok. Varian dari antigen O dapat menghasilkan penampakan koloni dari smooth (S) menjadi rough ®. Perubahan ini disertai hilangnya antigen O sebagai penyebab bakteri menjadi virulen. Antigen H tidak seperti antigen O, labil terhadap panas komponennya berupa protein. Mereka dapat berada dalam bentuk monophase atau diphase, hanya salah
Universitas Gadjah Mada
3
satu yang berperan. Variasi dari bentuk ini diketahui oleh Adrewess. Antigen dari fase 1 memberikan sedikit kasus (contoh a dan b), begitu juga dengan fase 2. Antigen dari flagella fase 1 dan 2 terdiri dari 2 gen yang berfungsi untuk mengkode protein dari flagella yaitu flagellin. Pembentukan H2 flagellin dikontrol oleh proses rekom. Antigen Vi hanya dapat ditemukan pada S. typhi yang menyebabkan penyakit thypus pada manusia. Formulasi antigen (serotype-serovarian) Salmonella yang umum diberikan pada tabel 3. Protein antigen dari dinding sel Salmonella tidak dipelajari sebaik pada somatic, flagella dan antigen virulen. Protein pada membran luar mempunyai berat molekul 12.000120.0000 dapat ditemukan pada S. anatum, S. enteritidis, S. infantis dan S. typhimurium. Beberapa serotype mempunyai protein yang umum yang dimiliki oleh setiap serotype. Ketika protein bergabung dengan lipopolisakarida akan menimbulkan respon imunologi juga menghasilkan antibodi. Selanjutnya dilanjutkan oleh kromosom gen H2. Ketika H2 diaktifkan gen lain yang protektif.
Epizootiologi dan Patogenesis Meskipun jalur fecooral adalah bentuk transmisi paling penting dari Salmonella pada hewan, siklus infeksi dapat lebih komplek pada beberapa populasi hewan, pada unggas, contohnya sumber infeksi mungkin dari makanan populasi hewan, pada unggas, contohnya sumber infeksi mungkin dari makanan yang terkontaminasi dan penyebaran berikutnya dapat terjadi dan jalur/rute fecooral yaitu : dari telur ke anak ayam di penetasan. Sebuah variabel persentase dari hewan ketika salah satu hewan terinfeksi akan meninggalkan sifat carier/pembawa dan meninggalkan organisme tersebut secara bergantian, kadang di feses atau kadang di susu. Distribusi dari berbagai macam serotipe S. typhimurium berasal dari satu daerah ke daerah lain secara umum terpisah. Serotipe-serotipe diklasifikasikan berdasarkan hubungan dengan hospesnya menjadi : tipe yang beradaptasi dengan hospes dan tidak beradaptasi dengan hospes (Tabel 4). Serotipe yang beradaptasi dengan hospes jarang menimbulkan penyakit pada hospes dibandingkan yang lain. S. dublin secara tradisional beradaptasi pada hospes ternak tetapi pada beberapa area ditunjukkan sebuah kecenderungan untuk meluas ke babi.
Universitas Gadjah Mada
4
Tabel 4. Beberapa serotype Salmonella yang dapat beradaptasi dengan hospes dan tidak dapat beradaptasi dengan hospes. Dapat beradaptasi dengan hospes
Tidak dapat beradaptasi dengan hospes
S. abortus equi
S. anatum
S. abortus ovis
S. derby
S. chloleraesuis
S. newport
S. dublin
S. tenessee
S. gailinarum
S. typhimurium
S. paratyphi (A, C) S. puliorum S. typhi
Hewan-hewan yang masih muda Iebih peka terhadap salmonellosis dibandingkan hewan-hewan yang lebih tua. Sanitasi yang buruk, terlalu padat, hawa yang tenlalu dingin, stress akibat berada di rumah sakit dan sehabis operasi, habis melahirkan, agen parasit., transportasi yang berlebihan, dan bersamaan dengan infeksi virus merupakan faktor-faktor predisposisi salmonellosis secara klinis pada hewan. Banyak hewan-hewan terutama babi dan unggas diberi ransum yang mengandung Salmonella tetapi tidak terbukti menginfeksi selama hidupnya. Makanan untuk hewan sering terkontaminasi oleh beragam serotipe, yang sering bercampur dengan dalam suplemen protein seperti : daging dan tepung tulang, tepung ikan dan tepung kacang kedelai. Salmonella ikut bercampur dengan pada saat material tersebut diproses. Pada daging dan tepung ikan, fase penyaringan yang menghilangkan lemak setelah pemasakan adalah tingkat kontaminasi penting karena organism-organisme dapat tumbuh dan membelah pada saat material tersebut berada dalam keadaan yang sejuk. Burung-burung liar dan rodentia seperti tikus dan mencit dapat menjadi sumber infeksi pada ternak melalui kontaminasi feses pada makanan atau pada kandang. Bakteribakteri Salmonella terkecuali beberapa strain dan S. senftenberg yang resisten terhadap panas, dapat terbunuh pada suhu 56°C selama 10-20 menit. Bakteri-bakterii tersebut dapat bertahan selama berbulan-bulan atau lebih lama pada pupuk kotoran dan endapan dari sungai dan kolam. Salmonellosis biasanya diawali dengan infeksi pada usus yang kemudian meluas setelah organisme masuk ke dalam aliran darah. Pada hewan dapat berkembang menjadi septicemia, meningitis, arthritis pneumonia, aborsi atau kombinasi dari penyakit-penyakit tersebut. Petogenesis dari enteritis yang disebabkan oleh Salmonella ada 3 fase: (1) Kolonisasi pada usus, (2) Invasi epithelium usus dan (3) Stimulasi penyerapan cairan. Universitas Gadjah Mada
5
Fase 1 : Kolonisasi usus. Kolonisasi pada usus halus bagian distal dan kolon merupakan langkah awal pada patogenesis salmonellosis yang menyerang usus. Bakteri fusiform indigenous yang tinggal pada lapisan mukosa yang menyelubungi epithelium dari usus besar secara normal menghambat pertumbuhan dari Salmonella yaitu dengan memproduksi asam organik volatil. Flora normal juga mencegah perlekatan antara Salmonella dan organ. Faktor-faktor yang dapat menghilangkan koloni flora normal seperti : terapi antibiotik, kehilangan cairan, peningkatan secara besar-besaran kemampuan hospes untuk usus. Pentingnya fimbria untuk pengikatan dan kolonisasi pada Salmonella selama fase permulaan dari patogenesis enteritis ditunjukkan pada mencit. Fimbria pada Salmonella melekat baik pada mukosa ileum dibandingkan strain isogenik tanpa fimbria dan fimbria tersebut lebih efektif. Penurunan peristaltik dapat menjadi predisposisi pada hewan untuk berkolonisasinya Salmonella karena hat tersebut dapat menimbulkan pertumbuhan yang cepat dan tetap terutama pada usus halus. Peristaltik distimulir oleh mikroflora asli secara aktif, penindasan terhadap peningkatan kemampuan untuk berkolonisasi. Babi yang mengalami stress karena transportasi menunjukkan peningkatan standar kolonisasi oleh bermacam-macam Salmonella. Dasar fisiologis dari peristiwa ini sangat susah untuk dimengerti. Fase 2: Invasi ke epithelium usus. Pada fase invasi, yaitu memasuki ujung villi-villi dari ileum dan colon. Salmonella melakukan penetrasi ke brush border dan masuk ke dalam sel terbukti tanpa harus membunuh Salmonella, sejak tidak ada perubahan morfologi sampai akhir proses penyakit. Organisme-organisme dapat membelah dan menginfeksi sel gabungan lain atau melalui lamina propria ketika melanjutkan pembelahan, fagositosis, dan terjebak pada nodulus limfatikus regional. Setelah menginvasi, ujung villi berkontraksi dan terserang netrofil. Kemampuan menginvasi pada beberapa strain dari S. typhimurium ditunjukkan dengan peningkatan pengkodean beberapa gen pada sebuah plasmid 60-70 mega Dalton. Dasar biokomia untuk meningkatkan virulensi belum diketahui. Plasmid-gen (yang sudah dikode) yang meningkatkan virulensi dari S. Dublin sudah diobservasi. Kemampuan Salmonella dalam menginvasi ditentukan juga sejumlah tipe spesifik dari monosakarida pada rantai samping polisakarida O. 3,6-dideoxyhexosa sering ditemukan pada kondisi yang virulent seperti S. Dublin, S. typhi, S. typhimurium. Hal ini tersugesti bahwa 3,6 dideoxyhexosa di beberapa jalan ditentukan oleh permukaan sel bakteri yang terikat rantai dan diaktivasi melalui jalur alternatif. Kegagalan untuk mengaktivasi penambahan / komplemen akan menyebabkan Salmonella mendapatkan keuntungan terselamatkan semenjak ia dapat mereduksi perubahan.
Universitas Gadjah Mada
6
Fase 3 : Stimulasi penyerapan cairan. Respon keradangan pada mukosa usus adalah factor penting pada penyerapan cairan usus. Prostaglandin yang dilepaskan sebagai hasil dari respon
tersebut, mengaktivasi adenilate
siklase
dengan
resultant net
mensekresikan air, bikarbonat, dan chloride ke lumen usus. Respon keradangan juga melepaskan substansi vasoaktif meningkatkan permeabilitas mukosa system vaskuler tubuh dan juga memimpin penyerapan cairan. Ada bukti yang menyatakan bahwa enterotoksin yang dihasilkan dari strain Salmonella hampir sama dengan enterotoksin LT dan E. coli, baik enterotoksin LT dan ST yang diobservasi pada sari/ekstrak bebas sel dari S. enteritidis. Pada S. typhimurium, jumlah enterotoksin itu sendiri belum phage encoded. Para pekerja lain telah gagal untuk menemukan enterotoksin dari berbagai serotype dari Salmonella dari pasien yang menderita salmonellosis usus yang berkarakteristikkan dengan diare berair. Jika tampak sejumlah kecil dari sel yang dihubungkan dengan enterotoksin LT mungkin ada strain dari Salmonella tetapi bukan merupakan hal yang penting untuk penyerapan cairan yang tampak pada enteritis karena Salmonella. Penyerapan cairan mengantarkan invasi neutrofil secara luas dari lubang villi dengan ileitis yang akut dan colitis. Neutrofil yang dicurahkan dalam stool dan keberadaannya bernilai diagnostik. Patogenesis dari septicemia, Salmonella mendekati efek yang disebabkan oleh pelepasan endotoksin dari dinding sel bakteri. Aktivitas endotoksin digabungkan dengan komponen lipid A dari dinding sel polisakarida. Banyak gejala yang ditimbulkan oleh septikemia oleh Salmonella hampir sama dengan hasil percobaan hewan yang diinjeksikan dengan endotoksin yang dimurnikan. Efek yang ditimbulkan termasuk demam, hemoragii yang digabungkan dengan pemakaian faktor koagulasi, leukopenia yang diikuti leukositosis, hipotensi dan shock yang sering fatal, pengosongan glikoprotein hepar sebagai akibat hypoglikemia.
Penyakit pada sapi. Dua serotipe terpenting pada salmonellosis sapi adalah Salmonella dublin dan Salmonella typhimurium. Perjangkitan penyakit kadang-kadang karena lain sebab, kebanyakan berasal dari pakan atau serotipenya. Salmonella dublin dapat beradaptasi dengan hospes pada sapi dan terjadi di Eropa, bagian barat Amerika dan Afrika Selatan. Salmonella typhimurium ditemukan di seluruh penjuru dunia dan menginfeksi manusia dan sejumlah hewan piaraan dan hewan liar. Hewan karier merupakan reservoir utama S. dublin. Secara klinis, sapi dewasa normal merupakan sumber infeksi bagi anaknya. Jika imunitas pasif anak sapi rendah, mungkin penyakit klinis muncul. Hewan dewasa yang karier dapat mengeluarkan organisme untuk periode yang panjang. lnfeksi yang bersamaan dengan Fasciola hepatica Universitas Gadjah Mada
7
meningkatkan kepekaan sapi terhadap S. dublin dan mempertinggi frekwensi hewan karier. Hewan dewasa karier S. dublin yang laten juga umum. Hewan-hewan tersebut dapat mengeluarkan organisme saat stress sebagai contoh saat melahirkan atau penyakit lain yang menyertai. Kebanyakan infeksi S. dublin terjadi ketika hewan digembalakan. Hewan yang dikandangkan jauh Iebih rendah kemungkinan terinfeksi daripada yang dilepas di kandang. Pada akhirnya, infeksi berlangsung dan kebanyakan hewan akhirnya menjadi aktif ataupun pasif terinfeksi. Aliran air atau sungai dapat mencemari dan menyebarkan organisme hingga ke bagian dimana sapi minum air tersebut S. dublin dapat bertahan dalam feses selama 4 bulan dan di lingkungan selama lebih dari 1 tahun. Penyakit enterik yang disebabkan oleh S. dublin biasanya teramati pada pedet umur 3-6 minggu. Penyakit pada pedet dicirikan oleh diare dengan bau busuk, depresi, anoreksia, demam, lemah, dan mati dalam 1 atau 2 hari. Kotoran mungkin berwama darah dan mengandung mukus serta ‘hancuran’ mukosa. Pemeriksaan bangkai tampak petechiae pada peritoneum dan area keradangan hemoragik pada kolon dan bagian distal usus halus. Nodus limfatikus mesentrikus juga hemoragi dan edema. Kemungkinan ada nekrosis pada hati. Pedet yang tidak mati pada fase akut dari penyakit tersebut dapat berkembang lanjut dengan gejala pada persendian dan kadang-kadang nekrosis sistemik pada ujung telinga, ekor dan kaki. Kematian dapat 75% tapi kerugian biasanya 5-10%. Kerugian biasanya lebih tinggi pada yang dibeli daripada pedet yang dihasilkan sendiri. Penyakit pada sapi dewasa bisa sangat parah, tiba-tiba demam, depresi, anoreksia, atau agalaktia diikuti dengan diare parah bercampur darah dan mukus dalam feses. Kematian dapat terjadi dalam sebuah proporsi yang substansial dari hewan-hewan tersebut jika terlambat ditangani. Hewan-hewan yang bertahan biasanya butuh 2-3 bulan untuk kembali ke kondisi sehat. Bentuk akut penyakit ini terlihat pada kawanan sapi yang riwayat infeksi S. dublin sebelumnya tidak diketahui dan yang memang benar-benar peka. Bentuk sub akut tampak pada kawanan sapi yang mengalami infeksi dengan sifat enzootik dan dicirikan oleh diare parah, demam ringan dan penurunan produksi susu. Sapi betina mungkin secara klinis tidak tampak adanya infeksi pada kelenjar mamae dan organisme terkandung dalam susu. Keguguran adalah akibat yang umum pada infeksi ini dan dapat saja didahului gejala klinis lain dan penyakit ini. Demam mungkin mendahului kejadian aborsi. Antibodi terhadap ini umum glikolipid (2-keto, 3-deoksioktonat-lipid A) dan lipopolisakarida adalah efektif dalam menetralisir efek endotoksik dan lipopolisakarida Salmonella. Efek ini dapat diekspresikan pada semua infeksi bakteri gram negatif dengan inti umumnya glikolipid yang tenlibat adalah sama. Universitas Gadjah Mada
8
Kekebalan lokal dari mukosa usus merespon antigen Salmonella, tetapi peranan respon tersebut pada perlindungan lokal terhadap mukosa masih butuh studi lebih lanjut. Antibodi telah dideteksi dalam sekresi jejenum mengikuti pemberian secara oral S. typhimurium inaktif. Pedet yang divaksin mengandung lebih sedikit S. typhimuriurn following chalenge daripada hewan kontrol. Variasi vaksin melawan S. abortus ovis telah dideskripsikan. Vaksin inaktif tampak hanya memberi penlindungan yang terbatas, meragukan karena vaksin ini gagal merangsang respon imun diperantarai sel yang cukup. Tapi rute intradermal dapat dipakai untuk merangsang respon perlindungan diperantarai sel dengan bakteri heat-killed/dimatikan dengan panas. Kontrasnya, bakteri S. abortus equi dapat dipakai dengan baik, dengan hasil bahwa penyakit tersebut sudah hilang di Amerika dan beberapa bagian dunia. Sejumlah vaksin hidup S. cholerasuis telah dipakai dengan sukses dalam kelompok babi (tabel 3) dimana imunitas perlindungan tampak sekitar 2 minggu setelah vaksinasi. Pemberian beberapa antibiotik secara bersamaan menyebabkan vaksin jadi inaktif, hewan yang divaksin bisa gagal meningkatkan repson perlindungan. Vaksin hidup S. gallinarum merangsang proteksi yang lebih baik ketimbang bakteri dan proteksi tidak tergantung pada respon humoral. Imunisasi pada ayam dengan strain 9R yang dilemahkan tidak melindungi kolonisasi intestinal oleh S. typhimurium atau S. infantis. Imunisasi pedet dengan rough S. dublin menghasilkan marka kekebalan sapi tapi rendah respon humoralnya. Imunisasi sapi betina bunting beberapa minggu sebelum melahirkan dengan bakterin S. dublin yang diformalin menghasilkan perlindungan pasif pada pedetnya dimana imunitas aktif dapat dirangsang kemudian (6 minggu kemudian) dengan pemberian oral streptomisin hidup berdasar mutan S. dublin. Mutan yang rough S. dublin secara luas dipakai sebagai vaksin di lnggris, juga melindungi terhadap serangan S. typhimurium. Meskipun level perlindungan terhadap serotipe lain rendah dan dapat hilang ketika terekspos dengan strain virulen secara berlebihan. Vaksin S. typhimurium lebih bervariasi dan kreatif daripada yang dikembangkan untuk serotipe lain. Secara genetik strain yang dimodifikasi termasuk yang rendah galakrose epimerase yang mengalami hambatan pertumbuhan dan lisis sel mengikuti uptake galaktose. Mutan yang aromatic-dependent membutuhkan para-amino benzoic benzoat dan dihidroksibenzoat untuk folat dan sintesis enterochelin. Metabolit-metabolit tersebut tak ada nilainya bagi jaringan, jadi strain vaksin pada akhirnya mati di hospes. Mutan yang streptomicin-dependent hanya bertahan selama antibiotik ada. Karena kebanyakan vaksin aktif adalah yang persisten di sistem retikuloendotelial, mutan seperti yang digambarkan tersebut adalah tak mungkin memproduksi respon perlindungan diperantarai sel sepanjang
Universitas Gadjah Mada
9
hidup (long-lived). Bakteri S. typhimurium mendatangkan respon perlindungan dengan level rendah dan tidak dapat merangsang respon apapun pada pedet yang baru lahir. Vaksin hidup adalah subyek untuk inaktivasi dengan antibiotik yang diberikan parenteral atau dalam diet hewan. Kerugian lainnya adalah meskipun vaksin hidup adalah avirulen untuk pedet normal, tapi mungkin saja jadi patogenik di dalam kolostrum yang dihilangkan atau hewan-hewan yang defisiensi imun.
Serologi Respon antibodi terhadap infeksi Salmonella dapat diukur dengan tes aglutinasi, tes antiglobulin dan ELISA. Penentuan antibodi pada pedet tidak dapat diandalkan untuk deteksi terhadap individu-individu yang terinfeksi S. dublin tapi berharga dalam deteksi bagi sekelompok. Baik titer O maupun H dapat diukur. Banyak hewan terinfeksi tapi tidak mempunyai titer yang positif, meskipun karena serumnya dikoleksi terlalu cepat, infeksinya sudah tidak parah lagi untuk merangsang respon imun atau hewan sudah tidak meresponnya. Hal ini juga dimungkinkan bagi hewan-hewan yang secara pasif mentransfer organisme sepanjang ususnya dan tanpa perkembangan respon imun. Rangsangan antigen yang diasosiasikan dengan salmonellosis klinis biasanya efektif dalam memunculkan respon antibodi dan hewan-hewan yang disembuhkan atau sapi betina yang aborsi biasanya mempunyai titer positif. Selama pedet Iebih respon terhadap antigen Salmonella yang H ketimbang O, titer H pasti terukur pada hewan tersebut. Idealnya, sampel serum yang dipasangkan sebaiknya diuji. Antibodi O melawan S. typhimurium dalam Tabel 5. Contoh dan vaksin Salmonella Serotype
Penandaan
Tipe vaksin
S. abortus ovis
RG
Extract adjuvant Vaksin
hidup
yang
Route administrasi
Referensi
Subcutaneus
Sidorchuk (1982)
Subcutaneus
Pardon et at. (1980)
Subcutaneus
Lantier et al. (1983)
dilemahkan
Rv6
Streptomicin-
Arkangel’ skil et al.
lndi\ependent reverse
(1979)
mutan, hidup
lntramuskuler
Extract enzim
Tadjbakhche and Nadalian (1980)
Subcutaneus Heat, formalin inaktif Oral Virulen, hidup S. abortus equi
Bacterin formalin
Vaksin
hidup
dilemahkan
yang
Intramuskuler,
Good and Dimock
Subcutaneus
(1972)
Intramuskuler
Fang et al (1 978b)
thallium
acetate
Universitas Gadjah Mada
10
S. cholera suis
C500
Vaksin
hidup
d,lemahkan
yang
Subcutaneus,
thallium
lntramuskuler
acetate
Fang et al. (1978b)
Scholl et aL (1980)
Suisaloral
Vaksin
Dessau
dilemahkan
hidup
yang
Subcutaneus, oral Smith (1965)
(hypoxanthine auxotroph) Mutan kasar, hidup Suscovax S. Dublin
Dessau
Intramuskuler, Subcutaneus
Avirulen, hidup
Oral
Steinbach et al.
Bacterin formalin
Intramuskuler,
(1981)
Subcutaneus
Hahn and Scholl
Oral
(1984)
Subcutaneus
Smith (1965)
Intramuskuler
Smith et aL (1984a,
Streptomisindependen
mutan,
hidup 51
Mutan
kasar
yang
dilemahkan, SL 1438
Mutan
hidup dependen
aromatik, hidup S. typhimurium
Formalin,
G30D
bacterin
1984b) Subcutaneus,
adjuvant
Intramuskuler
Galaktose
Oral
epimeraseless, hidup
Baijer et al. (1981), Suphabphant et aL (1983)
SL 1479
Mutan
dependen
Intramuskuler, Oral
Smith etal. (1984b
aromatic, hidup
cairan intestinal pedet telah diukur dengan ELISA. ELISA juga telah terbukti sebagai metode yang efektif dalam pengukuran antibodi terhadap antigen O dari S. typhimurium dalam kolostrum O dari S. typhimurium dalam kolostakterin dan dalam serum pedetnya. Serum kuda yang terinfeksi dengan S. abortus biasanya mengaglutinasi dalam cairan dan 1:500 hingga 1:5000. Hewan normal mungkin mempunyai titer 1:200. H agglutinin sebelumnya dikenal sebagai O agglutinin dan oleh karena itu waktu sekarang diindikasikan untuk infeksi yang baru. Kontrol dari penyakit S. pullorum lebih tergantung pada deteksi serologi dan eliminasi dari induk ayam karier. Serum agglutinin di deteksi dengan cara lain dengan metode tube, plate serum atau plat darah murni. Titer 1 : 25 atau lebih besar dengan tes tube menunjukkan adanya infeksi. Tes positif plate membawa beberapa interpretasi. Antigen di dalam tes ini merupakan suspensi padat dari S. pullorum. Tes mikroaglutinin lebih efektif untuk deteksi level rendah dari antibodi. Antibodi dapat juga dideteksi di dalam yolk telur dari burung yang terinfeksi. Antibodi S. gallinarum dapat dideteksi dengan jalan yang sama dan dengan memakai antigen yang sama yang digunakan untuk kontrol penyakit S. pullorum. Tes serologik lain
Universitas Gadjah Mada
11
untuk antibodi ini termasuk hemaglutinasi tidak langsung, hemaglutinasi atiglobulin, dan opsonophagocytic, cytophilic, dan antibodi bakterisidal. Titer aglutinin 1 : 25 pada antigen O dan H dari S. typhimurium mendorong terjadinya infeksi pada kalkun, tetapi beberapa burung yang terinfeksi mungkin menunjukkan pemeriksaan serologis negatif. Oleh karena itu tes ini paling bermanfaat ketika diterapkan di seluruh flock. Tes hemmagglutinasi tidak langsung juga telah dilakukan untuk mendeteksi burung yang terinfeksi. Serum agglutinin atau complement fixing antibody untuk antigen O dan H dari S. abortus ovis tampak sekitar seminggu setelah infeksi. Titer agglutinin mencapai puncak 8-15 hari setelah inokulasi oral dan bertahan sekitar 16 minggu. Prosedur serologi tidak rutin digunakan untuk mendeteksi biri-biri betina carier. Respon antibodi babi terhadap S. cholerasuis tidak konsisten atau diramalkan cukup bermanfaat untuk diagnosa hewan carier.
Diagnosa Entric salmonellosis dapat didiagnosa dengan plat langsung dari spesimen feses dan kerokan usus pada media selektif dan media yang berbeda seperti Mac Conkey agar, Brilliant green agar, Salmonella-Shigella agan, xylose lysine agar, deoxycholate agar, hektoen entenic agar dan Bismuth sulfite agar. Karaktenistik dari koloni Salmonella pada media ini ditunjukkan pada tabel 6:
Tabel 6. Karaktenstik dari koloni Salmonella pada media selektif dan differensial Medium
Karakteristik dari koloni
Mac Conkey agar
Colorless sampai keabu-abuan
Brilliant green agar
Merah, beberapa strain dari Proteus, Pseudomonas dan spesies Citrobacter koloni juga berwarna merah pada medium ini
Xylose-lysine agar
Pink-merah dengan pusat hitam
Deoxycholate agar
Pink-merah dengan pusat hitam
Hektoen enteric agar
Hijau dengan pusat hitam
Bismuth sulfite agar
Hitam dengan kemilau metallic
Salmonella-Shigella agar
Colorless dengan pusat hitam
Bismuth sulfite agar merupakan media terbaik untuk mengetahui adanya fermentasi laktosa pada Salmonella. Beberapa Salmonella contohnya S. dublin dan S. abortus ovis memproduksi koloni dalam jumlah yang sangat kecil. Sampel (10% dari volume) sebaiknya juga diinokulasi dalam media diperkaya seperti selenit atau tetrathionate broth, diinkubasi pada 43°C dan kemudian ditanam setelah 24 jam pada media selektif. S. cholerasuis tidak dapat diisolasi pada medium yang berisi selenit. Tetapi media seperti modified Rappaports’ sebaiknya digunakan untuk isolasi bakteri ini. Universitas Gadjah Mada
12
Dengan pengecatan giemsa feses dari hewan dengan salmonellosis biasanya berisi sejumlah besar dari PMN neutrofil dan ini sangat membantu dalam diagnosis. Lipopolisacharida Salmonella (serogroup B atau C2) dapat dideteksi dengan ELISA melalui feses unggas, kotoran atau karkas yang dicuci. Pada kasus aborsi organisme dapat diamati dalam isi fetus dan jaringan plasenta. Peroxidase-antiperoxidase immunoassay dikembangkan untuk mengenali S. cholerasuis, S. dublin dan S. thypimurium dalam jaringan. Diagnosa dengan rnetode serologis lebih bernilai ketika diaphkasikan pada seluruh kawanan ternak dan sampel serum yang covalescent dipakai sebagal pembanding. Respon antibody kebanyakan ada secara konsisten pada hewan-hewan yang sembuh dari infeksi yang parah. Ternak sapi yang sembuh dari infeksi S. dublin yang klinis, titer O-nya berkembarig pada kisaran 1: 80 sampai 1: 320 dan titer H-nya pada kisaran 1: 640 sampai 1: 5120 sekitar 3 sampai 4 minggu setelah penyakit muncul. Beberapa infeksi laten pada ternak secara serologis negatif. Kepekaan Antimikrobia Golongan Salmonella sensitif terhadap amikacin, ampicilli, apramycin, cephalothin, chloramphenicol, furasolidone, gentamicin, kanamycin, streptomycin, sulfamethoxazoletrimethoprim,
dan
tetracycline.
Meskipun
hanya
ampicillin,
chioramphenicol,
sulfamethoxazole-trimetoprim yang memiliki efikasi yang valid dalam terapi dari infeksi Salmonella invasive, ada keutamaan bahwa apramycin mungkin bermanfaat dalam terapi salmonellosis sistemik pada pedet. Salmonella typhimurium dan strain Salmonella yang lain hewan peliharaan memperlihatkan frekuensi yang tinggi terhadap resistensi antibiotik yang multipel. Pemilihan antimikrobial harus berdasarkan uji sensitivitas. Pemberian antibiotik pada hewan yang terinfeksi Salmonella yang resisten terhadap antibiotik tersebut mungkin akan meningkatkan derajat keparahan infeksi dan merubah infeksi enterik lokal menjadi septicemia. Pada hewan yang diobati perusakan flora berkoloni protektif menunjang pertumbuhan yang cepat dari organisme yang resisten, lebih jauh lagi sejumlah hewan yang tahan dan durasi dan volume dari ketahanan akan meningkat setelah terapi antimikrobia. Pemilihan antimikrobia secara masif ditekankan untuk pemeliharaan pedet secara intensif contohnya yang terjadi pada keadaan darurat dari strain S. typhimurium yang multiresisten dengan plasmid yang mengkode sifat seperti fermentasi laktosa atau mempertinggi persistensi di usus. Sifat-sifat tersebut meningkatkan epidemisitas, meningkatkan potensi patogenik dan membingungkan ahli diagnosa di laboratorium.
Universitas Gadjah Mada
13
Beberapa dokter menggunakan antimikrobia hanya untuk pengobatan parenteral dari sistemik atau invasive salmonellosis dan administrasi oral dihindari untuk antimikrobia.
Penyakit pada Manusia Salmonella menyebabkan gastroenteritis
febril yang
kadang-kadang disertai
bakterimia. Penyakit adalah self-limiting tetapi dapat terjadi pada yang muda dan yang Iebih tua. Infeksi pada beberapa manusia terjadi di Negara berkembang di dunia dan dihasilkan dari ingesti produk binatang termasuk telur, daging unggas, daging babi dan daging sapi.
Universitas Gadjah Mada
14