2
TINJAUAN PUSTAKA Mikroalga Mikroalga merupakan mikroorganisme fotosintetik yang ditemukan pada perairan darat maupun laut. Berukuran mikroskopis dengan diameter antara 3-30 µm serta tidak mempunyai akar, batang, dan daun. Biasanya ditemukan hidup secara individual ataupun berkelompok. Mikroalga bergerak secara pasif dengan mengikuti arus air. Morfologi selnya sangat bervariasi, baik bersel tunggal maupun bersel banyak, Mikroalga juga memiliki bentuk yang bervariasi seperti filamen atau lembaran, spiral, dan bulat (Kabinawa 2001). Penelitian ini menggunakan mikroalga isolat BTM 11 (Gambar 1). Taksonomi mikroalga selama ini lebih banyak menggunakan karakteristik morfologi berdasarkan bentuk, warna, ukuran sel dan lain-lain. Berdasarkan warna pigmen dibagi menjadi lima kelompok, yaitu Chlorophyceae (alga hijau), Phaeophyceaae (alga coklat), Chrysophyceae (alga kuning keemasan), Rhodophyceae (alga merah), dan Pyrrophyceae (dinoflagellata). Namun secara garis besar, mikroalga dibagi menjadi 4 kelompok, yaitu Diatom (Bacillariophyceae), ganggang hijau (Chlorophyceae), ganggang emas (Chrysophyceae), dan ganggang biru (Cyanophyceae) (Borowitzka & Borowitzka 1988). Biomassa mikroalga mengandung komponen kimia yang potensial, misalnya protein, karbohidrat, pigmen (klorofil dan karetenoid), asam amino, lipid, dan hidrokarbon. Mikroalga mempunyai kemampuan untuk mensintesis semua asam amino, baik esensial maupun nonesensial. Karbohidrat yang dihasilkan dapat ditemukan dalam bentuk pati, glukosa, gula, dan polisakarida lainnya. Kandungan lipid dari mikroalga sangat bervariasi berkisar antara 1%-2%. Lemak mikroalga pada umumnya terdiri atas asam lemak tidak jenuh, seperti linoleat, asam eikosapentanoat, dan asam dokosaheksanoat. Mikroalga mengandung lemak dalam jumlah yang besar terutama asam arakidonat dan sejumlah asam eikosapentaenoat. Selain itu, lemak mikroalga juga kaya akan asam lemak tidak jenuh dengan empat atau lebih ikatan rangkap. Mikroalga juga menghasilkan beberapa vitamin penting, seperti: A, B1, B2, B6, B12, C, E, nikotinamida, biotin, asam folat, dan asam pantotenat. Pigmen yang dihasilkan
meliputi klorofil, karotenoid, dan fikobiliprotein (Borowitzka & Borowitzka 1988). Kandungan senyawa kimia dari mikroalga tergantung pada spesies dan kondisi kultur. Pertumbuhan dari mikrolaga dipengaruhi oleh beberapa faktor, seperti salinitas, cahaya, suhu, derajat keasamaan, nitrogen, karbondioksida, dan nutrien. Kisaran suhu 25oC-30oC merupakan kondisi umum bagi pertumbuhan mikroalga. Derajat salinitas bergantung pada tiap spesies mikroalga. Cahaya diperlukan bagi pertumbuhan mikroalga dan berperan dalam proses metabolisme sel seperti kemampuan berfotosintesis. Kisaran derajat keasaman (pH) juga sangat bervariasi mulai dari pH 6-8. Nitrogen dan karbondioksida diperlukan dalam metabolisme sel (Borowitzka & Borowitzka 1988).
Gambar 1 Mikroalga BTM perbesaran 1000x Laboratorium Lingkungan, Dwi 2010).
11 dengan (dokumentasi Biorekayasa Susilaningsih
Hepatitis C Hepatitis C merupakan penyakit yang menyerang hati dan menyebabkan peradangan. Penyakit ini disebabkan oleh virus hepatitis C. Pertama kali diidentifikasi pada tahun 1989 sebagai hepatitis Non-A dan Non-B. Hepatitis C menginfeksi hampir 170 milyar orang di seluruh dunia. Penyakit ini dalam jangka panjang dapat menimbulkan kanker hati yang berujung pada sirosis hati (Worman & Lin 2000). Hepatitis C menyerang semua kalangan umur dengan tingkat penularan yang tinggi. Penularan hepatitis C umumnya melalui penggunaan jarum suntik, dan transfusi darah yang telah tercemar virus hepatitis C. Penyakit ini sangat sulit dideteksi karena gejala yang ditimbulkan hampir mirip dengan penyakit yang lain. Gejala-gejala yang ditimbulkan seperti mual, pusing, urin berwarna gelap, mudah lelah, tidak nafsu makan, dan kadang-
3
kadang timbul jaundice (kekuningan) pada tubuh. Hepatitis C biasanya terdeteksi apabila sudah mencapai tingkat akut sekitar 30%-80% infeksi (Jawaid & Khuwaja 2008). Terdapat dua cara dalam mendeteksi penyakit ini, yaitu tes serologi dan tes secara molekuler untuk partikel virusnya. Keduanya menggunakan darah penderita sebagai analit. Tes serologi menggunakan antibodi atau anti HCV (virus hepatitis C), apabila terinfeksi maka antibodi penderita menurun drastis. Tes secara molekuler menggunakan reverse transcriptase polymerase chain reaction (RT PCR). Tes secara nonspesifik diperoleh dari pengukuran jumlah enzim alanin transferase dalam tubuh. Tes ini dapat digunakan untuk mengidentifikasi penyakit hepatitis C maupun untuk mengontrol keefektifan terapi pengobatan penyakit tersebut. Jumlah alanin transferase yang meningkat mengindikasikan bahwa kinerja hati menurun (Lauer & Walker 2001). Terapi hepatitis C pada umumnya dengan pemberian interferon seminggu sekali yang dimasukkan ke tubuh melalui injeksi subkutan. Pemberian interferon tersebut dikombinasikan dengan ribavirin. Mekanisme terapi untuk hepatitis C dari kedua bahan tersebut masih belum banyak diketahui. Selain itu, terapi tersebut kurang efektif karena menimbulkan efek samping, seperti mual, anemia, depresi, dan harganya relatif mahal. Manfaat terapi kedua bahan tersebut berbeda hasilnya ditiap individu tergantung pada genotip dari virus hepatitis C (Jawaid & Kuwaja 2008). Virus Hepatitis C (HCV) Virus hepatitis C pertama kali diidentifikasi pada tahun 1989 dan disebut sebagai virus Non-A dan Non-B. Virus ini menyerang hepatosit dan sel limfosit B. Selain itu, virus hepatitis C terdiri atas satu open reading frame (ORF) dan dua daerah tidak tertranslasi atau untranslation regions (UTRs) (Wardell et al. 1999). Secara taksonomi virus ini termasuk dalam famili Flaviviridae dengan genus Hepacivirus. Virus ini merupakan virus RNA positif. Seperti yang terlihat pada Gambar 2, virus berbentuk bulat dengan diameter partikelnya berkisar antara 55-65 nm, dan mempunyai selubung protein atau amplop glikoprotein (envelope glycoprotein). Selain itu, terdapat inti (core) dan di dalamnya terdapat viral RNA. Virus hepatitis C dibagi menjadi enam genotipe yang disandikan
dengan angka, yaitu genotipe satu sampai enam (Worman & Lin 2000). Genom HCV berukuran 9.6 kilobasa yang mengkodekan sekitar 3011 asam amino. Poliproteinnya dipotong setelah proses translasi dan dibagi menjadi peptida struktural dan peptida nonstruktural (nonstructural atau NS) (Gambar 3). Peptida struktural terdiri dari sebuah nukleokapsid inti, p7, dan dua glikoprotein selubung virusnya (E1 dan E2) (Gambar 2). Dua daerah pada E2 merupakan daerah hipervariabel 1 dan 2 (HVR 1 dan HVR 2). Daerah tersebut menunjukkan hipermutasi dari selubung virus sehingga sangat spesifik terhadap antibodi. Daerah E2 juga terdapat sisi pengikatan terhadap cluster of diffrerentiation 81 (CD81), reseptor virus pada hepatosit dan sel limfosit B (Tellinghuisen et al. 2007). Peptida nonstruktural terbagi menjadi empat macam, yaitu NS1, NS2, NS3, NS4 (NS4A dan NS4B), dan NS5 (NS55A dan NS5B). Protein nonstruktural tersebut berfungsi dalam reaksi enzimatis yang berperan dalam replikasi virus. NS1 berinteraksi dengan NS4A dibutuhkan untuk replikasi RNA. NS2A bersifat hidrofobik berfungsi dalam perakitan virion (partikel virus baru) dan pelepasan partikel virus. NS2B membentuk kompleks dengan NS3 berperan sebagai kofaktor bagi serin protease dari NS3. Protein NS3 mengkodekan RNA helikase yang berperan dalam replikasi virus. NS5A merupakan daerah yang sensitif terhadap interferon, sedangkan NS5B berperan didalam aktivitas RNA-dependent RNA polimerase (RdRp) (Tellinghuisen et al. 2007). Pelindung glikoprotein (E2)
Inti virus
Pelindung virus (E1)
Viral RNA Diameter 60 nm
Gambar 2 Struktur virus hepatitis C (HCV) (Moradpour et al. 2007).
4
Gen yang menyandikan prekusor poliprotein
Protein struktural
Pelindung glikoprotein
nukleokapsid
Protein non struktural
RNA helikase
Protein transmembran
kofaktor
RNA polimerase
Protein resisten interferon
Gambar 3 Peta Genomik Virus Hepatitis C (Tellinghuisen et al. 2007) Virus hepatitis C memiliki tingkat replikasi yang sangat tinggi. Sekitar satu miliar partikel dihasilkan setiap hari pada individu yang terinfeksi. Replikasi dari virus tersebut membutuhkan lingkungan yang tepat. Pertama, virus menginfeksi hepatosit atau sel limfosit B. Daerah pada E2 virus dikenali oleh CD81 ataupun human scavenger class B1 (SR-B1) yang merupakan reseptor dari virus hepatitis C. Setelah terjadi pengikatan virus ke sel, partikel virus masuk ke dalam sel dan mengalami lisis. Utas tunggal sense positif RNA membentuk antisense negatifnya dengan bantuan RNA polimerase. Rantai negatif RNA tersebut berfungsi sebagai cetakan untuk membentuk rantai positif RNA. RNA helikase membuka ikatan ganda antara rantai sense dan antisense dan akhirnya membentuk duplikat dari rantai sense positif RNA. Rantai RNA hasil translasi dilepaskan dan berasosiasi dengan membran. Selanjutnya, terjadi morfogenesis virion (pengemasan partikel virion baru) dan pematangan. Setelah proses pematangan selesai, kompleks virion yang lengkap dilepaskan keluar sel untuk selanjutnya menginfeksi sel yang lain (Moradpour et al. 2007). RNA Helikase RNA helikase ditemukan pada bakteri, khamir, dan virus. Pertama kali ditemukan pada bakteri E. coli. Pada virus hepatitis C, enzim ini dikodekan oleh protein NS3 RNA helikase (Kadare & Haenni 1997).
Enzim ini diperlukan dalam replikasi virus hepatitis C (HCV). RNA helikase HCV memiliki tiga aktivitas, yaitu mengikat rantai RNA, menghidrolisis NTP (nukleotida trifosfat), dan membuka ikatan dupleks RNA. Enzim ini berperan dalam membuka ikatan dupleks antar rantai RNA dari 3’-5’. RNA helikase merusak ikatan hidrogen antara rantai RNA yang berpasangan. Reaksi enzimatis tersebut memerlukan energi yang diperoleh dari hidrolisis NTP menjadi NDP dan P dan juga kation divalen, seperti Mg2+ (Kadare & Haenni 1997). Kromatografi Lapis Tipis (KLT) Kromatografi lapis tipis (KLT) merupakan teknik kromatografi yang menggunakan plat silika atau alumina sebagai fase diamnya. Fase diam yang digunakan dapat juga memakai bahan yang berpendar dalam sinar ultra violet (UV). Teknik ini biasa digunakan untuk memisahkan komponen dari suatu campuran senyawa organik alam, sintetis, dan campuran kompleks anorganik. Fase gerak yang digunakan tergantung dari senyawa yang ingin dipisahkan (Harjadi 1976). Pemisahan komponen yang akan dipisahkan ditotolkan pada plat silika yang telah didesain. Plat silika pada bagian bawah diberi sebuah garis untuk menandakan posisi awal penotolan. Selanjutnya dibuat pula sebuah garis akhir menggunakan pensil. Jarak antara garis awal dengan garis akhir biasanya 5 cm. Plat yang telah ditotol dengan sampel dimasukkan
5
kedalam bejana pengembang yang berisi eluen yang telah dijenuhkan. Proses penjenuhan berlangsung sekitar 20 menit. Penjenuhan berfungsi agar eluen lebih efektif dalam memisahkan komponen tersebut. Eluen akan memisahkan komponen hingga garis akhir yang telah didesain. Semakin dekat kepolaran antara sampel dengan eluen maka sampel akan semakin terbawa oleh fase gerak tersebut (Wilson & Walker 1994). Tahapan selanjutnya adalah visualisasi atau deteksi. Deteksi atau visualisasi sampel yang tidak berwarna dapat menggunakan dua cara, yaitu penyinaran dengan sinar UV (254 nm dan 366 nm) dan pereaksi kimia (ninhidrin, FeSO4, dragendroff, dan anilin). Pada saat disinari dengan sinar UV, komponen yang terpisahkan akan terlihat seperti spot atau bidang kecil yang berwarna gelap. Deteksi komponen juga dapat dilakukan dengan menempatkan kromatogram pada bejana tertututp yang telah dijenuhkan dengan kristal iod. Uap kristal iod bereaksi dengan komponen yang terpisahkan dan terlihat seperti noda-noda kecoklatan (Walker & Wilson 1994). Aplikasi dari teknik ini dapat digunakan untuk mengukur nilai retardation factor (Rf) atau jarak relatif pemisahan suatu senyawa pada kromatogram. Nilai Rf dari suatu senyawa bernilai sama meskipun jarak plat yang digunakan berbeda (Wilson & Walker 1994). Pengukuran ini berdasarkan pada jarak yang ditempuh oleh pelarut dan jarak yang tempuh oleh noda warna masing-masing. Nilai Rf dari suatu komponen dihitung sebagai berikut:
Matriks gel atau matriks berpori yang bertindak sebagai fase diam disesuaikan dengan komponen yang akan dipisahkan. Matriks gel yang digunakan bermacammacam jenisnya tergantung dari komponen yang ingin dipisahkan, contohnya: silika gel, sephadex, sepharosa, dan superdex. Penelitian ini menggunakan matriks silika gel F60. Pada prinsipnya, komponen yang dipisahkan akan terjerap sesuai dengan ukuran pori matriks yang digunakan. Komponen yang memiliki ukuran molekul yang sama akan terelusi bersama-sama. Komponen yang berukuran besar daripada matriks gel akan terelusi terlebih dahulu oleh eluen dengan laju yang tinggi, sedangkan komponen yang berukuran lebih kecil akan terdistribusi pada fase diam dan terelusi lebih akhir (Hagel 1993). Fase diam atau matriks berpori yang akan digunakan untuk pemisahan terlebih dahulu harus diseimbangkan dengan pelarut pengembang. Penyesuaian kolom dilakukan dengan mencuci kolom dengan larutan pengembang. Untuk mendapatkan resolusi pemisahan yang baik, sampel yang dipisahkan sebaiknya bervolume sekitar 1-5% dari volume matriks gel (Hagel 1993).
Fase gerak sampel
Fase diam
Rf = jarak yang ditempuh oleh komponen jarak yang ditempuh oleh pelarut Kromatografi Gel Filtrasi Kromatografi gel filtrasi merupakan salah satu contoh jenis kromatografi padat-cair. Kromatografi ini (Gambar 4) merupakan teknik pemisahan komponen berdasarkan bentuk dan ukuran molekulnya. Teknik ini melibatkan fase diam berupa matriks gel atau matriks berpori, sedangkan fase geraknya berupa cairan atau eluen dengan perbandingan tertentu sesuai dengan sampel yang ingin dipisahkan. Teknik ini sangat baik memisahkan molekul yang berukuran besar dengan yang berukuran kecil tanpa mengganggu jalannya pemisahan. Selain itu, teknik ini mudah dan menghasilkan hasil pemisahan yang baik (Wilson & Walker 1994).
Gambar
4
Kromatografi gel filtrasi (dokumentasi Laboratorium Bakteriologi dan Virologi Molekuler 2010).
Kromatografi Cair Kinerja Tinggi (KCKT) Kromatografi cair kinerja tinggi (KCKT) merupakan kromatografi partisi dengan fase gerak dan fase diamnya berupa cairan (Adnan 1997). Menurut Nur et al. (1992) teknik analisis dengan KCKT prinsipnya adalah interaksi antara molekul dengan fase gerak dan fase diam akan memisahkan beberapa komponen dari senyawa tersebut sesuai
6
dengan tingkat kepolarannya. Molekul polar akan lebih kuat berinteraksi dengan eluen polar sehingga mudah terelusi, begitu juga sebaliknya dengan molekul nonpolar. Komponen utama KCKT adalah tempat untuk fase gerak, pompa, injektor, kolom, detektor, dan rekorder (Adnan 1997). Pelarut yang dipakai untuk analisis sampel pada KCKT memiliki polaritas yang berbedabeda tergantung pada senyawa yang akan dianalisis. Hal terpenting yang harus diperhatikan adalah tempat pelarut yang digunakan harus memungkinkan untuk terjadinya proses penghilangan gas atau udara yang ada dalam pelarut tersebut. Cara yang dapat dipakai bemacam-macam, seperti pemanasan, perlakuan vakum, atau dengan mengalirkan gas yang bersifat lembam (Adnan 1997). Penggunaan pompa juga sangat berpengaruh terhadap kerja KCKT. Pompa diperlukan untuk mengalirkan pelarut sebagai fase gerak dengan kecepatan dan tekanan yang tetap. Gangguan pada pompa biasanya disebabkan oleh perawatannya yang kurang teratur, adanya gangguan pelarut yang tidak difiltrasi dengan baik, adanya elektrolit yang mengandung kadar klorida tinggi pada pH rendah, dan terjadinya endapan dalam pompa (Adnan 1997). Tekanan yang diperlukan tergantung pada ukuran kolom dan viskositas dari pelarut. Kolom yang memilki diameter lebih kecil memiliki kecepatan alir yang lebih kecil juga. Sebaliknya kolom yang lebih lebar memilki kecepatan alir yang lebih besar pula. Pompa yang baik dapat mengatur kecepatan aliran 10-20 µl/meni (Adnan 1997). Kolom yang digunakan pada KCKT juga harus memenuhi kriteria tertentu. Ukuran kolom yang umum dipakai memiliki panjang 10-25 cm dan berdiameter 4.5-5.0 mm. Efisiensi kolom tergantung pada besarnya partikel fase diam. Kolom yang pendek dan efisien akan menyebabkan pemisahan berjalan lebih cepat (Adnan 1997). Komponen yang tidak kalah penting dari komponen-komponen yang sebelumnya disebutkan adalah detektor. Detektor yang digunakan harus memenuhi persyaratan, yaitu memiliki sensitivitas yang tinggi, bersifat linier untuk jangka konsentrasi tertentu, dan dapat mendeteksi eluen tanpa mempengaruhi reolusi kromatogram. Detektor harus tidak peka terhadap perubahan berbagai parameter terutama suhu dan tekanan. Detektor yang digunakan pada penelitian ini adalah photo diode array (PDA) (Adnan 1997).
Waktu yang dibutuhkan oleh senyawa untuk bergerak melalui kolom menuju detektor disebut sebagai waktu retensi. Waktu retensi diukur ketika sampel diinjeksikan sampai sampel menunjukkan ketinggian puncak yang maksimum dari senyawa itu. Senyawa-senyawa yang berbeda memiliki waktu retensi yang berbeda pula. Waktu retensi ini tergantung pada tekanan yang digunakan karena berpengaruh pada laju alir dari pelarut, kondisi dari fase diam, komposisi yang tepat dari eluen, dan temperatur pada kolom (Hostettmann et al. 1986). Keuntungan penggunaan KCKT adalah mampu memisahkan molekul-molekul dari campuran, sampel yang digunakan sedikit, kecepatan analisis dan kepekaan yang tinggi, dapat dihindari terjadinya dekomposisi atau kerusakan bahan yang dianalisis, resolusi yang baik, dapat digunakan bermacam-macam detektor, dan kolom dapat digunakan kembali (Hostettmann et al. 1986).
BAHAN DAN METODE Bahan dan Alat Bahan-bahan yang digunakan untuk isolasi dan pemurnian enzim RNA Helikase meliputi bakteri E. coli pET BL21 (DE3) pLysS yang membawa gen NS3 RNA helikase virus hepatitis C dalam plasmid 21b (koleksi Andi Utama, Puslit Bioteknologi LIPI), media Luria Bertani (LB), akuades, ampisilin, isopropil β-D-thiogalaktopiranosidase (IPTG) 0.3 M, bufer B (10 mM Tris HCl pH 8.5, 100 mM NaCl, dan 0.25% Tween 20), resin TALON, dan bufer elusi (400 mM imidazola dalam bufer B). Bahan-bahan yang digunakan untuk isolasi dan pemurnian bahan aktif dari mikroalga BTM 11 adalah isolat BTM 11 (koleksi Dwi Susilaningsih, Puslit Bioteknologi LIPI), metanol 80%, media modified bristol medium sea water (MBM SW), 0.1 mM adenosin trifosfat (ATP), 0.1 mM 4-asam morfolinopropana sulfonat (MOPS), 1 mM MgCl2, larutan hijau malakit, 2.3% polivinil alkohol, amonium molibdat, natrium sitrat, kloroform, gel silika (0.063 mm-0.200 mm), plat silika gel F254, dan akuades. Alat-alat yang digunakan untuk isolasi RNA helikase adalah sonikator (Labsonic), ultrasentrifus Sorvall RC-26 plus, tabung sentrifus, Erlenmeyer 2000 mL, inkubator, mikrosentrifus, dan rotator (N-Biotec). Peralatan untuk pemurnian dan pengujian kolorimetri ATPase BTM 11 meliputi