II.
TINJAUAN PUSTAKA
A. LIMBAH PETERNAKAN Limbah peternakan umumnya meliputi semua kotoran yang dihasilkan dari suatu usaha kegiatan peternakan, baik berupa limbah padat, cairan, gas ataupun sisa pakan (Soehadji, 1992). Menurut Juheini dan Sakryanu (1998), sebanyak 56,67% dari jumlah usaha peternakan sapi perah membuang limbah ke badan sungai tanpa pengelolaan, sehingga terjadi pencemaran lingkungan. Pencemaran ini disebabkan oleh aktivitas
peternakan, terutama berasal dari limbah yang
dikeluarkan oleh ternak yaitu feses, urin, sisa pakan, dan sisa air pembersihan ternak dan kandang (Prasetyo dan Padmono, 1993).
Feses dan urin yang
dihasilkan sapi sebesar 10% dari berat ternak (Mubaroq, 2009).
B. MIKROALGA 1. Pengertian Mikroalga Mikroalga adalah koloni tumbuhan renik yang hidup di seluruh wilayah perairan tawar, payau, ataupun yang asin (laut). Ganggang mikro yang tak kasatmata itu lazim disebut fitoplankton (Hidayat dan Hidayat, 2008). Mikroalga umumnya bersel satu atau berbentuk benang, sebagai tumbuhan dan dikenal sebagai fitoplankton. Mikroalga dikelompokkan dalam filum thallophyta karena tidak memiliki akar, batang, dan daun sejati, namun memiliki zat pigmen klorofil yang mampu melakukan fotosintesis (Kabinawa, 2001).
2. Karakteristik Mikroalga Mikroalga memiliki klorofil sehingga mampu melakukan fotosintesis dengan bantuan air, CO2 dan sinar matahari, serta menggunakan bahan anorganik seperti NO3-, NH4-, dan PO4-, sehingga menghasilkan energi kimiawi dalam bentuk biomassa seperti karbohidrat, lemak, protein, dan lain-lain. Kemudian energi tersebut digunakan untuk biosintesis sel, pertumbuhan dan pertambahan sel, bergerak dan berpindah serta reproduksi (Kabinawa, 2001).
Tumbuhan ini umumnya terdiri dari satu sel atau berbentuk seperti benang. Mikroalga dapat ditemukan di seluruh massa air mulai dari permukaan laut sampai pada kedalaman dengan intensitas cahaya yang masih memungkinkan terjadinya proses fotosintesis.
Dominasi kelompok mikroalga tertentu dapat
menyebabkan perairan tampak berwarna indah sesuai dengan zat warna atau pigmen yang dikandungnya. Warna hijau muda disebabkan oleh Dunaliela sp. dan Chlorella sp.
ada juga warna kuning kecoklatan yang disebabkan oleh
Chaetoceros sp., Skeletonema sp., Nitzschia sp. serta berbagai jenis lainnya (Borowitzka dan Borowitzka, 1988). Mikroalga tertentu, seperti Botryococcus sp., mampu menghasilkan hidrokarbon dengan rantai C23-C40, misalnya n-alkadiena dan n-alkena. Kemampuan ini membuat Botryococcus amat potensial sebagai sumber bahan bakar cair terbarukan, menggantikan bahan bakar minyak fosil, seperti minyak bumi, gas dan batu bara. Mikroalga yang terkenal sebagai penghasil hidrokarbon, sumber biodiesel ini, adalah diatom, cocolith, dan chlorofita, seperti Botryococcus braunii. Sel mikroalga mengandung protein, asam lemak tak jenuh, pigmen, dan vitamin tinggi sehingga dapat dijadikan suplemen pangan bergizi tinggi. (Anonim, 2009). Sifat fisiologis antara mikroalga dengan bakteri dapat dilihat pada Tabel 2.1. Tabel 2.1. Perbedaan Sifat Fisiologis antara Alga dan Bakteri Karakteristik
Alga
Bakteri
pH optimum
4 – 11
6.5 – 7.5
Suhu optimum
20 – 30oC
20 – 37oC
Kebutuhan oksigen
Aerobik
Aerobik atau anaerobik
Cahaya
Sebagian besar
Sebagian kecil
Sumber karbon
Kebanyakan organik
Organik dan anorganik
Dinding Sel
Sebagian besar selulosa, Peptidoglikan beberapa digantikan oleh xilan dan manan.
Sumber: Pelczar dan Chan (2007)
4
C. KONDISI KULTUR MIKROALGA Proses kultur sebaiknya dilakukan pada kondisi indoor karena mudah dikontrol dan diprediksi hasilnya. Sebagian besar mikroalga membutuhkan cahaya untuk proses fotosintesa. Gelombang cahaya yang biasa digunakan untuk kultur alga berkisar 400 – 700 nm yang menggunakan warna merah dan biru. Dalam kondisi indoor sumber cahaya berasal dari lampu flourecent bulb antara 20 – 40 watt (Becker, 1994). Secara umum, terdapat beberapa parameter kondisi yang umumnya harus terpenuhi dalam sistem kultur mikroalga. Kondisi-kondisi tersebut dapat dilihat pada Tabel 2.2. Bentuk wadah kultur yang ideal adalah bentuk silinder lonjong dengan bentuk dasar darat / rata atau konkav, warna transparan tembus cahaya dan mempunyai tutup tabung. Bentuk dan ukuran wasah kultur ini berhubungan dengan sistem sirkulais, aerasi, pencahayaan, pengoperasian, dan khususnya untuk mengoptimalkan agar wadah kultur dapat menghasilkan kelimpahan sel yang tinggi per satuan volume media kultur yang digunakan (Fox, 1985). Tabel 2.2. Kondisi Umum Kultur Mikroalga Parameter
Kisaran
Nilai Optimal
Temperatur (oC)
16 – 27
18 – 24
Salinitas (g.l-1)
12 – 40
20 – 24
1,000 – 10,000 (tergantung
2,500 – 5,000
Intensitas Cahaya (lux)
volume dan densitas) Periode Pencahayaan
-
(terang; gelap, jam)
24 : 0 (maximum) 7–9
pH
16 : 8 (minimum) 8.2 – 8.7
Sumber: Anonim (1991) dalam FAO (1996)
D. FAKTOR KONDISI LINGKUNGAN YANG MEMPENGARUHI PERTUMBUHAN MIKROALGA Secara umum komunitas fitoplankton dan mikroalga pada umumnya di suatu perairan dipengaruhi oleh kondisi lingkungan yang ada. Suhu, intensitas cahaya, pH, konsentrasi zat hara anorganik, senyawa pemacu dan penghambat
5
pertumbuhan, serta adanya pemangsaan akan mempengaruhi kondisi alga tersebut (Welch, 1980).
1. Intensitas Cahaya Cahaya bersama dengan klorofil sangat berperan dalam proses fotosintesis pada alga. Pemanfaatan cahaya dalam proses fotosinteis melibatkan reaksi fisik dan kimia. Dimulai dengan absorbsi dan transfer energi di dalam klorofil hingga proses konversinya menjadi energi kimia yang terlibat dalam proses pembentukan karbohidrat (Krisanti, 2003). Menurut Tjahjo et al. (2002) mikroalga merupakan organisme autotrof yang mampu membentuk senyawa organik melalui proses fotosintesis. Keberadaan cahaya menentukan bentuk kurva pertumbuhan bagi mikroalga yang melakukan fotosintesis. Setiap jenis alga membutuhkan suhu dan cahaya tertentu untuk pertumbuhan maksimumnya (Fogg, 1975). Diatom akan mendominasi perairan pada saat intensitas cahaya tinggi dan suhu rendah. Alga hijau melimpah pada kondisi intensitas cahaya tinggi dan suhu tinggi, sedangkan alga biru akan mendominasi apabila intensitas cahaya rendah dan suhu tinggi (Welch, 1980).
2. Suhu Laju fotosintesis alga selain dipengaruhi intensitas cahaya juga dipengaruhi oleh suhu. Berbagai proses dalam sel sangat tergantung pada suhu. Kecepatan proses-proses ini bertambah sejalan dengan meningkatnya suhu. Nilai maksimum kecepatan proses fotosintesis terjadi pada kisaran suhu 25-40oC (Reynolds, 1990).
Suhu secara langsung mempengaruhi efisiensi fotosintesis
dan faktor yang menentukan pertumbuhan.
Suhu optimum untuk kultur
mikroalga antara 25-32oC (Fogg, 1975). Kenaikan temperatur akan meningkatkan kecepatan reaksi. Umumnya setiap kali kenaikan 10oC dapat mempercepat reaksi 2-3 kali lipat.
Akan tetapi, temperatur tinggi yang melebihi temperatur
maksimum akan menyebabkan proses metabolisme sel terganggu. Krisanti (2003) menyatakan bahwa suhu tidak menjadi faktor pembatas pada alga alami selama banyak spesies mampu tumbuh dalam kondisi lingkungan lain yang sesuai, namun demikian suhu sangat berpengaruh terhadap cepat lambatnya pertumbuhan dan
6
reproduksi.
Menurut Fogg (1975) intensitas cahaya dan konsentrasi nutrien
tertentu dapat menyebabkan perubahan temperatur optimal bagi pertumbuhan fitoplankton, dan fitoplankton tersebut dapat beradaptasi terhadap temperatur tinggi atau rendah yang kadang-kadang terjadi.
3. pH Proses fotosintesis mengambil karbondioksida terlarut dalam air, yang mengakibatkan penurunan kandungan CO2 terlarut dalam air. Penurunan ini akan meningkatkan nilai pH berkaitan dengan keseimbangan CO2 terlarut, bikarbonat (HCO3-) dan ion karbonat (CO2-) dalam air. Oleh karena itu laju, fotosintesis akan terbatas oleh penurunan karbon dalam hal ini karbondioksida, perubahan bentuk karbon yang ada diperairan dan tingginya nilai pH (Talling, 1976
dalam
Reynolds, 1990). Menurut Boyd (1984) kesetimbangan karbonat akan bertindak sebagai buffer (penyangga) pH. Dalam keadaan basa ion bikarbonat akan membentuk ion karbonat dan melepaskan ion hidrogen yang bersifat asam sehingga keadaan menjadi netral.
Sebaliknya dalam keadaan terlalu asam, ion karbonat akan
mengalami hidrolisis menjadi ion bikarbonat dan melepaskan ion hidrogen oksida yang bersifat basa, sehingga keadaan netral kembali, seperti terlihat reaksi berikut: HCO3
H+ + CO3=
CO3= + H2O
HCO3= + OH-
4. Unsur Hara 4.1. Sumber Karbon Bentuk karbon utama yang digunakan oleh alga adalah CO2, bahkan beberapa peneliti yakin bahwa hanya CO2 yang dapat digunakan secara langsung oleh alga (Richmond, 1986). Alga mendapatkan CO2 melalui absorpsi dari udara, hasil respirasi organisme, dan alkalinitas senyawa bikarbonat (Loehr, 1974).
Karbondioksida di dalam air bisa berbentuk
senyawa gabungan C, H, dan O, yakni H2CO3, HCO3-, atau CO3- yang konsentrasinya tergantung nilai pH air (Richmond, 1986).
7
4.2. Sumber Nitrogen Nitrogen adalah nutrien penting dalam sistem biologis. Nitrogen akan terdapat sebagai nitrogen organik dan nitrogen ammonia dalam air limbah, proporsinya tergantung degradasi bahan organik yang yang berlangsung. Senyawa nitrogen organik dapat ditransformasi menjadi nitrogen amonium dan dioksidasi menjadi nitrogen nitrit dan nitrat dalam sistem biologis (Jenie dan Rahayu, 1993). Nitrogen merupakan unsur penyusun yang penting dalam sintesis protein, karena itu diperlukan data tentang nitrogen dan siklusnya agar dapat tercapai pengolahan air limbah yang tepat. Sebagian besar dari nitrogen total dalam air terikat sebagai nitrogen organik, yaitu dalam bahan-bahan yang berprotein. Sumber-sumber nitrogen dalam air dapat bermacam-macam, meliputi hancuran bahan organik, buangan domestik, limbah industri, limbah perikanan, limbah peternakan dan pupuk. Bentuk utama nitrogen di air limbah adalah material protein dan urea. Umur dari air limbah dapat ditentukan dari jumlah amonia yang ada. Bakteri dapat mengoksidasi amonia menjadi nitrit dan nitrat dalam lingkungan yang aerobik.
Jumlah nitrogen nitrat yang lebih banyak
menunjukkan bahwa air limbah telah distabilkan dengan keberadaan oksigen. Nitrat sebagai nutrien dapat digunakan oleh binatang untuk memebentuk Norganik yaitu protein (Metcalf dan Eddy, 2004). Menurut Davis dan Conwell (1991), jika NH3 dalam kondisi rendah, NO3 bertindak sebagai nutrien untuk pertumbuhan ganggang secara eksesif dan konversi dari NH3 menjadi NO3 menggunakan sejumlah besar oksigen terlarut. Menurut Richmond (1986), kebanyakan mikroalga mempunyai kemampuan menggunakan ammonium (NH4), nitrat (NO3), dan nitrit (NO2), sedangkan kemampuan mengikat nitrogen dari udara hanya dimiliki oleh mikroalga prokariotik. Anonim (2009) menjelaskan bahwa N sangat diperlukan dalam pembentukan protein dan DNA dalam sel mikroalga. Beberapa mikroalga dapat menggunakan berbagai senyawa N-organik seperti amida, urea, glutamin, dan asparagin sebagai sumber nitrogen Richmond, 1986).
8
4.3. Sumber Fosfor Fosfor adalah salah satu elemen penting yang dibutuhkan untuk pertumbuhan baik oleh tanaman maupun hewan. Fosfor dalam bentuk dasarnya sangat toksik dan penyebab bioakumulasi (Quevauviller, et.all, 2006). Fosfor merupakan salah satu elemen utama yang diperlukan untuk pertumbuhan mikroalga secara normal. Menurut Richmond (1986) kekurangan fosfor dapat menyebabkan perubahan morfologi sel, misalnya perubahan bentuk dan ukuran sel, karena fosfor berperan dalam transfer energi dan sintesa asam nukleat. Bentuk fosfor utama yang digunakan mikroalga adalah P-anorganik.
4.4. Makronutrien Lain Makronutrien lain yang esensial bagi pertumbuhan mikroalga yakni Ca, Mg, Na, K, S, dan Cl. Khusus untuk sulfur (S), Bezrra (2007) menyatakan bahwa sulfur juga merupakan unsur yang diperlukan oleh mikroalga untuk melakukan biosintesa. Sulfur ditemukan di dalam sel dalam bentuk asam amino tertentu yang strukturnya mengandung gugus sulfohydril (-SH), misalnya sistin, sistein, dan metionin.
4.5. Mikronutrien Beberapa mikronutrien yang esensial terhadap pertumbuhan alga dapat dilihat pada Tabel 2.3. Selain logam-logam mineral yang terdapat pada Tabel 2.3. mikronutrien lain yang juga sangat penting bagi pertumbuhan mikroalga adalah thiamin (vitamin B1), cyanocobalamin (vitamin B12), dan terkadang biotin (FAO, 1996). Menurut Richmond (1986), vitamin B12 dan thiamin (vitamin B1) diperlukan secara terpisah atau bersama, tetapi vitamin B12 lebih sering diperlukan dibanding dengan thiamin.
9
Tabel 2. 3. Beberapa Mikronutrien dan Peranannya pada Pertumbuhan Mikroalga Unsur Besi (Fe)
Peranan Asimilasi nitrogen, fotosintesis, sintesa pigmen fotosintesis utama (klorofil-A)
Bohr (B)
Diperlukan oleh beberapa cyanobacteria dan diatom, tetapi tidak diperlukan oleh alga hijau.
Mangan dan Tembaga Komponen penting dalam transfer elektrom fotosintesis, (Mn dan Cu)
sebagai komponen dan kofaktor beberapa enzim dan diperlukan oleh semua alga.
Molibden (Mo)
Diperlukan alga untuk reduksi nitrat dan fiksasi nitrogen
Vanadium (V)
Penting bagi alga tertentu.
Kobalt (Co)
Diperlukan beberapa alga Cyanobacterium, seperti Calotrix
parientina,
Coccochloris
peniocystic,
Diplocystis aeruginosa. Silikon
Komponen utama dinding sel diatom
Selenium
Meningkatkan Cyanobacterium dan menurunkan diatom
Sumber: Richmond (1986)
E. KARAKTERISASI PERTUMBUHAN MIKROALGA Selama periode kultur sel mikro alga terjadi lima tipe fase pertumbuhan (Anonim, 2007). Lima fase tersebut dapat dijelaskan sebagai berikut dan dapat dilihat pada Gambar 2.1: 1. Pertumbuhan phase lag, yaitu pertumbuhan fase awal dimana penambahan kelimpahan sel yang terjadi jumlahnya sedikit. Fase ini mudah diobservasi ketika suatu kultur alga ditransfer dari suatu tempat ke suatu media kultur. pada fase ini biasanya terjadi stressing fisiologi karena terjadi perubahan kondisi lingkungan media hidup dari satu media awal ke media yang baru. Dilain pihak kelarutan mineral dan nutrien mungkin lebih banyak daripada sebelumnya, sehingga akan mempengaruhi sintesis metabolik dari konsentrasi
10
rendah ke konsentrasi yang tinggi. Dari perubahan-perubahan inilah, maka sel alga mengalami proses penyesuaian. 2. Setelah fase lag, alga kultur akan mengalami pertumbuhan secara cepat, atau yang disebut fase pertumbuhan eksponensial. Hal ini ditandai dengan penambahan jumlah sel yang sangat cepat melalui pembelahan sel alga dan apabila dihitung secara matematis membentuk fungsi logaritma. Untuk kepentingan budidaya sebaiknya sel alga dipanen pada akhir fase eksponensial. Karena pada fase ini, struktur sel masih normal secara nutrisi terjadi keseimbangan antara nutrien dalam media dan kandungan nutrisi dalam sel. Selain itu berdasarkan hasil penelitian, pada fase akhir eksponensial, didapatkan kandungan protein dalam sel sangat tinggi, sehingga kualitas sel alga benar-benar terjaga untuk kepentingan kultivasi budidaya lebih lanjut. 3. Pada tahapan pola pertumbuhan terjadi pengurangan kecepatan pertumbuhan sampai mencapai fase awal pertumbuhan yang stagnan. Pada fase ini disebut Declining Growth Phase. Pada fase ini ditandai dengan berkurangnya nutrien dalam media sehinga memengaruhi kemampuan pembelahan sel sehinga hasil produksi sel semakin berkurang. Walaupun kelimpahan sel masih terjadi pertambahan namun nilai nutrisi dalam sel mengalami penurunan, maka untuk kepentingan budidaya perikanan pada fase ini adalah alternatif kedua untuk dilakukan pemanenan. 4. Stationery phase adalah fase pertumbuhan ketika kelimpahan sel mengalami pertumbuhan konstan akibat dari kesimbangan katabolisme dan anabolisme sel. Pada fase ini ditandai dengan rendahnya tingkat nutrien dalam sel dan biasanya untuk kelimpahan sel alga yang rendah dalam kultur tejadi fase stationery yang pendek sehingga menyulitkan didalam pemanenan. Disarankan jangan melakukan pemanenan sel pada fase ini karena bukan merupakan sumber pakan yang mengandung nutrisi yang tinggi. 5. Death phase adalah fase kematian sel karena tejadi perubahan kualitas air yang semakin memburuk, penurunan nutrien dalam media kultur dan kemampuan sel yang sudah tua untuk melakukan metabolisme. Kenyataan ini biasanya ditandai dengan penurunan jumlah sel yang cepat. Secara morfologi
11
pada fase ini sel alga banyak terjadi kematian dari pada melakukan pembelahan, warna air kultur berubah, terjadi buih dipermukaan media kultur dan warna yang pudar serta gumpalan sel alga yang mengendap didasar wadah kultur. Untuk kepentingan bididaya perikanan pada fase ini dilarang untuk digunakan sebagai pakan kultivan budidaya. (Anonim, 2007)
Gambar 2.1 . Karakteristik Pertumbuhan Kultur Mikroalga (FAO, 1996)
Menurut Fogg (1975), fase pertumbuhan eksponensial mikroalga pada kultur volume yang terbatas akan berakhir. Beberapa faktor yang mempengaruhi pertumbuhan mikroalga antara lain: kehabisan nutrien, laju suplai CO2 dan O2, perubahan pH, intensitas cahaya, serta auto-inhibisi.
1. Kehabisan Nutrien Fogg (1975) menerangkan bahwa nitrat dan besi biasanya membatasi pertumbuhan eksponensial mikroalga. Penambahan nutrien tersebut dapat memperpanjang fase eksponensial sampai terjadi faktor pembatas lain. Besi unchelated ferric diendapkan sebagai fosfat dalam media basa. Bentuk besi tersebut tidak tersedia cukup banyak pada mikroalga, sehingga sulit menjamin kecukupan suplai besi. Pemberian bahan pengkelat seperti ethylene diamine tetraacetic acid (EDTA) atau versene memungkinkan jumlah ion besi dan unsur kelumit (trace element) cukup tersedia untuk memperpanjang pertumbuhan eksponensial tanpa memberikan efek toksik. Vitamin B12 juga merupakan faktor pembatas pertumbuhan eksponensial mikroalga. 12
2. Laju Suplai CO2 atau O2 Laju difusi CO2 dari udara ke dalam media menjadi pembatas pertumbuhan kultur mikroalga pada densitas populasi yang rendah. Peningkatan laju aerasi kultur secara pengocokan atau pengadukan, atau penggelembungan udara akan memperpanjang pertumbuhan eksponensial. Suplai CO2 udara yang diperkaya, diperlukan untuk menjaga pertumbuhan eksponensial kultur padat mikroalga. Kultur mikroalga biasanya menyuplai 1 – 5 persen CO2, tetapi konsentrasi setinggi itu bisa menimbulkan efek inhibisi pada beberapa spesies mikroalga seperti Anabaena cylindrica. Oksigen juga dapat menjadi faktor pembatas pada kultur mikroalga heterotrop dan aerasi dapat memperpanjang pertumbuhan eksponensial (Fogg, 1975).
3. Perubahan pH Perubahan pH media disebabkan oleh penyerapan komponen tertentu. Penyerapan garam-garam atau ion ammonium sebagai sumber nitrogen menyebabkan penurunan pH (media terlalu asam). Penyerapan ion nitrat menyebabkan peningkatan pH, tetapi hal ini dapat disangga dengan pengambilan CO2 oleh media, sehingga jarang mempengaruhi pertumbuhan. Keterbatasan CO2 merangsang penggunaan bikarbonat dalam fotosintesis yang dapat meningkatkan pH media hingga pH 11 atau lebih sehingga pertumbuhan mikroalga terhenti. Penggunaan beberapa asam organik tanpa memperhatikan jumlah kation juga meningkatkan pH, sehingga media terlalu basa (Fogg, 1975).
4.
Kekurangan Cahaya Fogg (1975) menyatakan bahwa sinar matahari tidak dapat diterima secara penuh pada kultur mikroalga yang padat, sehingga fotosintesis hanya dilakukan oleh sel alga yang terletak di bagian atas atau permukaan media. Kultur yang sangat padat menyebabkan bagian bawah media menjadi gelap, sehingga pertumbuhan eksponensial berubah menjadi pertumbuhan linier, yaitu pertumbuhan yang proporsional dengan waktu, sampai timbul faktor pembatas lain.
13
5.
Autoinhibisi Beberapa alga telah terbukti menghasilkan bahan-bahan toksik terhadap dirinya dalam proses metabolismenya. Akumulasi bahan beracun tersebut mengakibatkan pertumbuhan eksponensial terhenti. Kasus autoinhibisi dalam kultur tidak murni telah ditemukan pada beberapa mikroalga, misalnya Nostoc punctiforme, Chlorella vulgaris dan Nitzschia palea (Fogg, 1975). Jika terjadi autoinhibisi, pertumbuhan akan terhenti pada saat konsentrasi sel tertentu telah tercapai. Kasus ini dapat diatasi dengan melakukan pemanenan mikroalga atau pengenceran media tanpa menambahkan nutrien. FAO (1986) menambahkan bahwa intensitas cahaya yang terlalu tinggi juga dapat mengakibatkan autoinhibisi cahaya (foto-inhibisi).
F. ELIMINASI NUTRIEN DARI LIMBAH CAIR PETERNAKAN Kebanyakan usaha kegiatan industri menghasilkan limbah cair yang mengandung beberapa macam garam dan bahan organik, demikian juga limbah cair usaha peternakan sapi, oleh karena itu jenis limbah cair ini dapat dijadikan medium pertumbuhan mikroalga ( Aspuranto, 1980). Nutrien yang berlebihan akan mendorong untuk terjadinya pertumbuhan alga yang pesat yang pada akhirnya akan mengakibatkan penurunan kandungan DO (Metcalf dan Eddy, 2004).
1. Degradasi Senyawa Karbon Degradasi senyawa karbon terjadi ketika senyawa-senyawa organik diuraikan dan dioksidasi oleh mikroorganisme heterotropik pada proses aerasi. Mikroorganisme tersebut menggunakan sumber karbon yang sama, baik untuk sintesis sel menghasilkan sel-sel baru maupun untuk oksidasi (Qin, 2005). Menurut Widianingsih (2008), degradasi senyawa organik aerobik secara sederhana dapat dituliskan dengan reaksi berikut : Karbohidrat Protein Hidrokarbon
O2
CO2 + H2O + mineral + biomassa baru Mikroorganisme
14
2. Proses Penyisihan Nitrogen Secara Biologis Degradasi limbah secara biologis merupakan proses yang berlangsung secara alamiah. Sistem biologis yang terkendali dan tak terkendali merupakan sistem yang utama yang digunakan untuk menangani limbah organik. Dalam sistem biologis, mikroorganisme mnenggunakan limbah untuk bahan selular baru dan menyediakan energi untuk sintesis (Jenie dan Rahayu, 1993). Prorses penyisihan limbah secara biologis terbagi menjadi tiga jenis berdasarkan kebutuhan proses terhadap keberadaan oksigen terlarut, yaitu: a. Oksidasi bahan-bahan organik menggunakan oksigen sebagai akseptor elektron merupakan
mekanisme
untuk
menghasilkan
energi
kimiawi
bagi
mikroorganisme yang berperan dalam proses pengolahan secara aerobik. b. Oksidasi bahan-bahan organik menggunakan pengoksidasi selain oksigen seperti karbondioksida, senyawa-senyawa organik yang telah teroksidasi sebagian sulfat dan nitrat dapat digunakan oleh kelompok mikroorganisnme yang berperan dalam proses pengolahan secara anaerobik. c. Proses pengolahan limbah yang menggunakan mikroorganisme yang bersifat obligat aerob dan obligat anaerob atau fakultatif.
Mikroorganisme-
mikrorganisme tersebut dapat melakukan metabolisme terhadap bahan-bahan organik secara sempurna dengan adanya oksigen terlarut (Quevauviller, 2006).
Dekomposisi bahan organik yang mengandung nitrogen ditunjukkan oleh terbentuknya ammonia.
Pada kondisi aerobik bakteri nitrifikasi merombak
ammonia menjadi nitrit selanjutnya masih dalam kondisi aerobik nitrit dioksidasi menjadi nitrat.
Proses selanjutnya pada kondisi aerobik atau anoksik bahan
organik dioksidasi dan nitrat digunakan sebagai aseptor hidrogen untuk membebaskan gas nitrogen (Becker, 1994). Transformasi bentuk senyawa nitrogen dapat dijadikan sebagai prinsip untuk penyisihan nutrien secara biologis. Perubahan tersebut dapat digambarkan dengan
siklus nitrogen dalam proses oksidasi, sebagaimana ditunjukkan pada
Gambar 2.2. Nitrogen dalam limbahn cair yang tidak ditangani biasanya dalam bentuk amoinia atau nitrogen organik, baik dalam bentuk terlarut maupun partikel. Nitrogen dapat terjadi dalam berbagai bentuk dalam limbah cair dan mengalami
15
transformasi dalam penaganan limbah cair. Transformasi ini mengikuti konversi amonia-nitrogen untuk produk yang dapat dengan mudah dibuang dari limbah cair. Dua mekanisme yang utama dalam pembuangan atau penyisihan nitrogen adalah asimilasi
dan
proses
nitrifikasi-denitrifikasi
(Metcalf
dan
Eddy,
2004).
Transformasi nitrogen diantaranya dipengaruhi oleh keseimbangan oksigen terlarut. Nitrogen Organik Sintesis Bahan Organik + O2 + NH3
Sel CH2O + O2 + H2O
Sel + CO2 + H2O otoksidasi NH3 + CO2 + H2O NO2
nitrifikasi NO3
denitrifikasi +CH2O
N2 + N2O Gambar 2.2. Siklus nitrogen dalam proses oksidasi biologis (Eckenfelder, 1989)
1.1. Nitrifikasi Nitrifikasi dapat didefinisikan sebagai konversi biologis nitrogen dari komponen organik atau dari bentuk tereduksi ke bentuk teroksidasi.
Pada
penanganan pencemaran air, nitrifikasi adalah proses biologis yang akan mengoksidasi ion amoniak menjadi nitrit atau nitrat. Pada dasarnya, faktor-faktor yang berpengaruh pada proses nitrifikasi antara lain konsentrasi amonia dan nitrit, konsentrasi oksigen terlarut, suhu, pH dan waktu retensi (Jenie dan Rahayu, 1993). Menurut Metcalf dan Eddy (1991), faktor pengendali nitrifikasi antara lain: konsentrasi amonia/nitrit, konsentrasi DO, pH, temperatur, dan rasio BOD5/ TKN. Konsentrasi DO diatas 1 mg/L adalah syarat untuk terjadinya nitrifikasi.
16
1.2. Denitrifikasi Denitrifikasi adalah proses reduksi nitrat menjadi gas nitrogen. Konversi ini melalui beberapa sneyawa antara yaitu HNO2, NO, N2O. Proses denitrifikasi memerlukan elektron donor yang berasal dari bahan organik atau senyawasenyawa tereduksi seperti sulfida atau hidrogen. Karena terbatasnya elektron donor sehingga senyawa antara tersebut sangat mudah terbentuk (Boyd,1984). Denitrifikasi merupakan langkah kedua dalam penyisihan nitrogen setelah proses nitrifikasi. Pembuangan nitrogen dalam bentuk nitrat dikonversi menjadi gas nitrogen dalam kondisi anoksik (tanpa oksigen). Reaksi untuk pengurangan nitrat: NO3-
NO2-
NO
N2O
N2
Tiga senyawa terkahir merupakan produk gas yang dapat dilepas ke atmosfer. Faktor-faktor yang berpengaruh pada proses denitrifikasi antara lain konsentrasi bahan organik, konsentrasi oksigen terlarut, suhu, pH dan waktu retensi (Jenie dan Rahayu, 1993).
3. Penyisihan Fosfat Keberadaan fosfor dalam bentuk fosfat yang bersamaan dengan nitrat seakan memacu pertumbuhan alga pada badan air.
Limbah cair umumnya
mengandung fosfor dalam bentuk fosfat, polifosfat, dan senyawa-senyawa organik fosfor.
Konsentrasi PO4-3 0,5 mg/L
dapat mencegah pertumbuhan alga,
sedangkan pertumbuhan alga dapat dihentikan pada konsentrasi PO4-3 dibawah 0,005 mg/L (Reynolds, 1990). Penyisihan fosfat dilakukan pada kondisis aerobik karena pada kondisi anaerobik terjadi pembebasan ortofosfat sehingga kandungan ortofosfat pada sistem penanganan limbah cair akan meningkat. Pada kondisi aerobik terjadi pemanfaatan ortofosfat untuk sintesis sel dan disimpan untuk kebutuhan dimasa mendatang, bersamaan dengan penyisihan senyawa organik.
Proses aerobik
mampu menurunkan kandungan fosfat dalam limbah cair sekitar 10-30%. Proses penyisihan tidak akan berjalan pada konsentrasi oksigen terlarut sebesar 0,20,4mg/L. Efisiensi penyisihan fosfat dipengaruhi oleh oksigen terlarut, pH, konsentrasi biomassa dan laju aliran udara (Quevauviller dan Andre, 2006).
17