19
TINJAUAN PUSTAKA
Biologi Umum Tikus Tikus digolongkan ke dalam kelas Mamalia, bangsa Rodentia, suku Muridae dan marga Rattus (Meehan 1984). Tikus merupakan hewan mamalia yang mempunyai peranan penting untuk tujuan ilmiah, karena memiliki daya adaptasi yang baik. Tikus yang banyak digunakan sebagai hewan percobaan adalah tikus putih (Rattus norvegicus). Sebagai hewan percobaan tikus ini memiliki beberapa keunggulan yaitu penanganan dan pemeliharaannya mudah, umur relatif pendek, sifat reproduksi menyerupai mamalia besar, lama kebuntingan singkat, angka kelahiran tinggi, siklus estrus pendek dan karakteristik setiap fase siklus jelas (Smith dan Mangkoewidjojo 1988, Malole dan Pramono 1989). Tikus memiliki beberapa galur yang merupakan hasil persilangan sesama jenis. Galur yang sering digunakan untuk penelitian adalah galur Wistar, Long-Evans dan Sparague-Dawley (Weihe 1989). Data biologi tikus dapat dilihat pada Tabel 1. Tabel 1. Data biologi tikus putih (Rattus norvegicus) Kriteria Berat lahir Berat badan dewasa : - jantan - betina Lama hidup Konsumsi makanan perhari Konsumsi air minum tikus dewasa Umur pubertas (betina) Umur saat dikawinkan : - jantan - betina Lama siklus estrus (birahi) Lama estrus Lama kebuntingan Jumlah anak per kelahiran Umur sapih Berat lepas sapih (Smith dan Mangkoewidjojo 1988)
Nilai 5-6 g 300-400 g 250-300 g 2-3 tahun 10g/100 g bb 20-45 ml/hari 50-60 hari 8-9 minggu 8-9 minggu 4-5 hari 9-20 jam 20-22 hari 6-12 ekor anak 21 hari 20-30 gram
20
Reproduksi Tikus Betina Reproduksi pada hewan betina merupakan suatu proses yang komplek, dan dapat mengalami gangguan pada berbagai stadium sebelum dan sesudah permulaan siklus reproduksi (Toelihere 1981).
Pubertas Proses reproduksi pada suatu hewan mulai berlangsung pada saat hewan tersebut menginjak masa pubertas. Pada awal pubertas timbul perubahan-perubahan yang merupakan akibat pertumbuhan dan perkembangan organ kelamin, karena pengaruh hormon-hormon yang bekerja pada gonad (gonadotropin) dan hormon yang dihasilkan oleh gonad itu sendiri. Masa pubertas pada hewan baik jantan maupun betina ditandai dengan kemampuan hewan tersebut untuk memproduksi benih pertamakali dan kemampuan untuk melakukan perkembangbiakan (Toelihere 1981). Menurut Partodihardjo (1982) pubertas pada hewan betina dicerminkan oleh terjadinya birahi dan ovulasi. Apabila usia pubertas telah tercapai, estrus akan terjadi pada tikus betina melalui siklus ritmik yang khas. Interval antara satu periode birahi ke periode birahi berikutnya dikenal sebagai suatu siklus reproduksi. Umur dan berat hewan saat mencapai pubertas berbeda-beda tergantung spesiesnya (Frandson 1992). Pada tikus betina pubertas akan timbul apabila berat badan telah mencapai kurang lebih setengah dari berat badan dewasa, keadaan ini dicapai pada usia 50-60 hari (Malole dan Pramono 1989).
Siklus Reproduksi Sederetan proses perubahan kegiatan fisiologis pada organ-organ reproduksi dari awal hingga berulang kembali disebut sebagai siklus reproduksi (Toelihere 1981). Menurut Ganong (2003) siklus reproduksi meliputi siklus ovarium, siklus endometrium uterus, siklus vagina dan siklus kelenjar mammae. Secara fisiologis siklus ini sangat berkaitan antara yang satu dengan lainnya. Hunter (1995) menyatakan bahwa siklus reproduksi dibedakan ke dalam dua tahapan yaitu fase folikular dan fase luteal. Fase folikuler merupakan fase perkembangan folikel sampai mencapai kematangan hingga terjadi ovulasi, fase ini dipengaruhi oleh
21
hormon estrogen. Sedangakan fase luteal merupakan fase sekresi progesteron oleh korpus luteum, fase ini terjadi setelah ovulasi hingga siklus berikutnya dimulai. Menurut Turner dan Bagnara (1976) tikus bersifat poliestrus yaitu hewan yang memiliki siklus reproduksi (siklus estrus) lebih dari dua kali dalam satu tahun. Lama satu siklus estrus pada tikus berlangsung 4-5 hari. Berdasarkan histologi vagina, siklus estrus dibagi menjadi 4 stadium, yaitu proestrus, estrus, metestrus dan diestrus (Smith dan Mangkoewidjojo 1988). Menurut Binkley (1995) siklus estrus dikendalikan oleh hormon gonadotropin FSH (Folicle Stimulating Hormone) dan LH (Luteinizing Hormone) yang dihasilkan oleh hipofisis anterior, serta hormon steroid seks (estrogen dan progesteron) yang dihasilkan oleh ovarium. Pengaturannya berlangsung melalui poros hipotalamus-hipofisis-ovarium. Kadar hormon gonadotropin dan steroid seks mengalami perubahan selama siklus estrus (Gambar 1). Fase proestrus adalah tingkat perkembangan folikel sampai pertumbuhan maksimal yang dipengaruhi oleh hormon FSH dan estrogen (Binkley 1995). Pada fase ini kadar FSH dan estrogen mulai meningkat, dan saluran mukosa vagina mulai mendapatkan peningkatan aliran darah (vaskularisasi) yang lebih intensif, sehingga sel-sel epitel saluran reproduksi mulai berproliferasi (Toelihere 1981). Sedangkan fase estrus merupakan saat terjadinya pematangan folikel (folikel de Graaf) hingga menunggu ovulasi. Pada fase ini hewan betina siap menerima jantan untuk melakukan perkawinan. Menjelang fase estrus kadar estrogen sangat tinggi, sehingga terjadi penghambatan terhadap sekresi FSH dan merangsang sekresi LH (Hafez 2000). Dibawah pengaruh estrogen, FSH dan LH folikel de Graaf mengalami ovulasi (Baker et al. 1980). Pada fase estrus kadar estrogen tinggi dan suplai darah ke vagina bertambah, sehingga epitel vagina mengalami kornifikasi dengan cepat dan lendir disekresikan (Toelihere 1981). Kelanjutan dari fase estrus adalah fase metestrus, ditandai dengan terbentuknya korpus luteum yaitu badan kuning yang terdiri atas sel-sel teka dan sel-sel granulosa yang mengalami proliferasi, hipertropi dan diferensiasi, karena adanya pengaruh LH. Korpus luteum berfungsi menghasilkan hormon progesteron, yang dibutuhkan untuk memelihara kebuntingan apabila terjadi fertilisasi (Partodihardjo 1982). Menurut Baker et al. (1980) pada fase metestrus, kadar estrogen menurun dan vaskularisasi berkurang,
22
sehingga terjadi pelepasan sel-sel epitel vagina dan infiltrasi leukosit. Selanjutnya apabila tidak terjadi fertilisasi dan kebuntingan, maka tingkatan seksual disebut fase diestrus (fase istirahat). Pada fase ini kadar estrogen pada level rendah, mukosa vagina tipis dan leukosit bertambah jumlahnya (Turner dan Bagnara 1976).
Metestrus
Diestrus
Proestrus
Estrus
Metestrus
Gambar 1. Perubahan kadar hormon gonadotropin dan hormon steroid selama siklus estrus tikus (Binkley 1995) Kebuntingan dan Kelahiran Setelah ovulasi, apabila ada sperma masuk dan menetrasi sel telur maka terjadi fertilisasi. Fertilisasi terjadi di dalam tuba falopii, dan zigot yang terbentuk bergerak ke rongga uterus dalam waktu 3-4 hari setelah fertilisasi. Laju perpindahan zigot sepanjang tuba falopii ke dalam uterus dikendalikan oleh hormon
23
steroid ovarium. Selama zigot ada di dalam tuba falopii, uterus mempersiapkan diri untuk menerima zigot, kemudian zigot mengalami implantasi dan berkembang menjadi fetus di dalam endometrium uterus (Hunter 1995). Pada kondisi ini hewan betina dikatakan mengalami kebuntingan, lama kebuntingan tikus berkisar 20-22 hari (Malole dan Pramono 1989). Hormon estrogen dan progesteron berfungsi memelihara
kebuntingan
dan
menstimulasi
proses
perkembangan
fetus.
Peningkatan sekresi progesteron yang dihasilkan oleh korpus luteum menyebabkan proliferasi endometrium, sehingga endometrium mengalami penebalan, diameter dan panjang kelenjar meningkat secara cepat, becabang-cabang dan berkelok-kelok. Sedangkan estrogen berfungsi meningkatkan vaskularisasi uterus (Nalbandov 1990). Tikus melahirkan anaknya setelah masa kebuntingan dengan jumlah anak antara 6-12 ekor perkelahiran. Anak tikus yang baru lahir memiliki berat badan 5-6 gram (Smith dan Mangkoewidjojo 1988, Malole dan Pramono 1989). Efisiensi reproduksi pada mamalia dinyatakan sebagai jumlah anak, bobot lahir dan bobot sapih anak dalam satu siklus reproduksi. Jumlah anak dipengaruhi oleh jumlah sel telur yang berhasil diovulasikan, keberhasilan fertilisasi dan implantasi, serta tingkat perkembangan embrio di dalam uterus selama masa kebuntingan. Bobot lahir dipengaruhi oleh jumlah fetus yang berkembang di dalam uterus, metabolisme antara induk dan fetus mulai dari zigot sampai dilahirkan. Sedangkan bobot sapih anak dipengaruhi oleh bobot lahir dan produksi air susu (Nalbandov 1990). Menurut Anggorodi (1979) pertumbuhan anak dari lahir sampai lepas sapih dipengaruhi oleh produksi susu induk dan kesehatan individu. Tingkat produksi susu sangat dipengaruhi oleh pertumbuhan kelenjar mammae dan hormon-hormon yang terkait.
Kelenjar mammae dan laktasi Kelenjar mammae adalah kelenjar yang komplek, merupakan kelenjar sebasea yang mengalami modifikasi tinggi dan spesifik menghasilkan air susu. Kelenjar ini terdapat pada betina dan jantan, tetapi yang bersifat fungsional hanya pada betina (Nalbandov 1990). Proses perkembangan kelenjar mammae selama kebuntingan sampai mensintesis air susu diatur oleh hormon-hormon mammogenik
24
antara lain estrogen dan progesteron. Peningkatan estrogen dan progesteron selama kebuntingan, selain untuk mendukung implantasi embrio serta memelihara kebuntingan juga berfungsi untuk mempersiapkan kelenjar mammae untuk mensintesis air susu setelah partus (Binkley 1995, Nalbandov 1990). Pada tikus kira-kira 12 % pertumbuhan kelenjar mammae terjadi sebelum konsepsi, 40% selama kebuntingan, dan sisanya terjadi selama laktasi (Tucker 1987). Laktasi adalah proses fisiologis di dalam tubuh yang melibatkan fungsi hormonal. Estrogen dan progesteron berperan dalam pembentukan sistem sekresi, prolaktin berperan untuk merangsang produksi dan oksitosin bertanggungjawab terhadap reaksi pengeluaran air susu (Norman dan Litwack 1987). Menurut Smith (1969) laktasi merupakan perpaduan antara kerja prolaktin dan oksitosin pada selsel mioepitel yang terdapat di sekeliling alveolus dan duktus kelenjar mammae. Saluran saraf sekresi kelenjar mammae berpusat pada hipotalamus, tempat mengontrol fungsi mammae melalui sistem endokrin. Adanya rangsangan penyusuan
(suckling
stimulus)
menyebabkan
terjadinya
reflek
endokrin.
Rangsangan yang dirasakan puting susu akan dibawa menuju sistem saraf pusat, yang kemudian diteruskan ke hipotalamus dan merangsang hipofisis posterior untuk mensekresi oksitosin kedalam pembuluh darah. Setelah sampai di kelenjar mammae, oksitosin menyebabkan kontraksi sel-sel mioepitel, sehingga terjadi pengeluaran air susu. Selain oksitosin, perangsangan penyusuan juga menyebabkan hipofisis anterior melepaskan prolaktin yang berfungsi untuk merangsang sintesis air susu, sehingga proses laktasi dapat dipertahankan. Induk betina mempunyai pengaruh besar terhadap bobot anak,
maka
produksi air susu induk secara tidak langsung dapat diukur berdasarkan pertambahan bobot anak selama menyusu. Sudah dilakukan beberapa penelitian mengenai pengukuran produksi susu pada tikus berdasarkan pertambahan bobot anak selama masa laktasi dengan berbagai macam perlakuan. Pengukuran produksi susu pada mencit dapat dilakukan dengan cara memisahkan anak-anak mencit dari induknya selama 5 jam, yang kemudian anak-anak tersebut dibiarkan menyusu kembali selama 50-60 menit. Selisih bobot badan sebelum dan setelah menyusu dinyatakan sebagai produksi air susu induk (Sudono 1980).
25
Hormon Estrogen Estrogen adalah hormon yang dihasilkan oleh tubuh yang berasal dari asam asetat dan kolesterol. Estrogen terutama dihasilkan oleh sel theca interna dari folikel ovarium, korpus luteum, plasenta, dalam jumlah sedikit oleh korteks adrenal dan testis (Turner dan Bagnara 1976). Estrogen merupakan suatu senyawa organik sterol yang dapat dipisahkan dalam bentuk kristal murni. Zat yang sebetulnya dihasilkan oleh ovarium adalah estradiol, sedangkan senyawa organik yang mempunyai efek estrogenik yang di sintesa di laboratorium adalah dietilstilbesterol. Seperti halnya hormon-hormon yang lain,
estrogen bekerja secara selektif.
Pengaruhnya yang jelas adalah langsung terhadap traktus reproduksi dan glandula mammae (Gadjahnata 1989). Estrogen berikatan dengan protein reseptor di dalam sitoplasma sel target, dan komplek hormon-reseptor ini akan bermigrasi ke dalam inti sel berikatan dengan DNA, kemudian akan segera memulai transkripsi DNA-RNA dalam area kromosom yang akhirnya terjadi pembelahan sel (Guyton 1996). Ada 2 reseptor estrogen di dalam tubuh yaitu reseptor estrogen alfa (ERα) dan reseptor estrogen beta (ERβ), distribusi kedua reseptor ini berbeda. Reseptor estrogen alfa terdapat pada organ uterus, testis, hipofisis, ginjal, epididimis dan adrenal, sedangkan reseptor estrogen beta terdapat di ovarium, prostat, paru-paru, kandung kemih dan tulang. Pengaturan fungsi ovarium oleh sumbu hipofisis-ovarium diperantarai oleh reseptor estrogen alfa, sedangkan estrogen yang disekresikan ke dalam folikel ovarium bekerja melalui reseptor estrogen beta (Ganong 2003). Menurut Barnes dan Kim (1998) pada sistem reproduksi estrogen dapat berikatan dengan reseptor estrogen alfa dan reseptor estrogen beta, tergantung jaringan reproduksinya. Estrogen terdapat dalam bentuk estradiol, estron, dan estriol. Pada manusia, estradiol merupakan estrogen yang paling banyak disekresi dan paling kuat. Potensi estradiol 12 kali lebih besar dari estron dan 80 kali lebih besar dari estriol (Guyton dan Hall 1997). Di dalam hati estrogen mudah teroksidasi menjadi estron, dan mengalami hidrasi menjadi estriol. Ketiga bentuk estrogen ini mengalami konjugasi dengan asam sulfat atau glukoronat di dalam hati (Ganong 2003). Estrogen berfungsi merangsang perkembangan jaringan yang terlibat dalam reproduksi. Umumnya hormon ini merangsang ukuran dan jumlah sel dengan
26
meningkatkan kecepatan sintesis protein. Di bawah perangsangan estrogen, epitel vagina berproliferasi dan berdiferensiasi, endometrium uterus berproliferasi, kelenjar uterus mengalami hipertrofi dan memanjang, saluran kelenjar mammae berproliferasi dengan mempengaruhi pembuluh darah tepi (Granner 1990). Menurut Hardjopranjoto (1995) bahwa pada metabolisme tubuh, estrogen meningkatkan sintesis dan sekresi hormon pertumbuhan, sehingga dapat menstimulasi pertumbuhan sel-sel di dalam tubuh, mempercepat pertambahan bobot badan dan merangsang kelenjar
kortek adrenal untuk meningkatkan metabolisme protein
karena adanya retensi nitrogen yang meningkat.
Kedelai Kedelai termasuk ke dalam kingdom Plantae, sub kingdom Traceeobionta, superdivisi Spermatophyta, divisi Magnoliophyta, kelas Magnoliopsida, sub kelas Rosidae, ordo Fabales, family Fabaceae, genus Glycine, spesies G.max (L.) Merr (USDA 2007). Kedelai sudah dibudidayakan sejak 1500 tahun SM dan baru masuk Indonesia pada tahun 1750. Di Indonesia kedelai dibedakan berdasarkan umur dan warna biji. Berdasarkan umur ada kedelai genjah yang berumur 75-85 hari, kedelai tengahan berumur 85-95 hari dan kedelai dalam berumur lebih dari 95 hari. Sedangkan berdasarkan warna biji ada kedelai kuning, hitam dan hijau. Kedelai kuning merupakan bahan baku yang populer untuk pembuatan tempe (Suprapto 1988, Koswara 1995). Kedelai merupakan salah satu bahan pangan penting setelah beras, karena hampir 90 % digunakan sebagai pangan. Kedelai kaya akan protein yang memiliki arti penting sebagai sumber protein nabati, untuk meningkatkan gizi masyarakat dan mengatasi penyakit kurang gizi (Cahyadi 2007). Disamping kandungan protein yang tinggi, kedelai juga mengandung zat-zat gizi lainnya seperti lemak, karbohidrat, vitamin, serat, mineral dan lain-lain. Asiamaya (2007) menyatakan bahwa kandungan protein pada kedelai lebih tinggi dari pada daging ayam dan daging sapi, disamping itu kadar lemaknya relatif rendah, sehingga kedelai sangat penting sebagai sumber protein nabati untuk menggantikan protein hewani. Kedelai juga mengandung vitamin A dan vitamin B yang lebih tinggi dibandingkan jenis kacang-kacangan lainnya. Menurut Cahyadi (2007) kedelai mengandung protein
27
35%, dimana kedelai merupakan sumber protein nabati yang efisien, dalam arti bahwa untuk memperoleh jumlah protein yang cukup diperlukan kedelai dalam jumlah yang kecil. Komposisi kimia biji kedelai dapat dilihat pada Tabel 2. Tabel 2. Komposisi kimia biji kedelai kering per 100 gram Komponen Kalori (kkal) Protein (gram) Lemak (gram) Karbohidrat (gram) Kalsium (mg) Fosfor (mg) Besi (mg) Vitamin A (SI) Vitamin B1 (mg) Air (gram) (Cahyadi 2007)
Jumlah 331.0 34.9 18.1 34.8 227.0 585.0 8.0 110.0 1.1 7.5
Kedelai merupakan sumber isoflavon, fitokimia dan antioksidan, yang dapat melindungi tubuh dari kerusakan oleh radikal bebas, meningkatkan kekebalan tubuh serta melawan berbagai serangan penyakit seperti anemia, diabetes, ginjal, rematik, diare, hepatitis dan hipertensi (Heinnermen 2003). Kedelai memiliki kandungan isoflavon yang lebih tinggi dibandingkan tanaman lainnya, yaitu sekitar 5,1-5,5 mg/gram protein kedelai. Struktur isoflavon serupa dengan estrogen, namun berbeda pada ikatan OH. Isoflavon bersifat aktif di dalam tubuh serupa dengan aktifitas hormon estrogen (Hidayati 2003). Isoflavon kedelai terdapat dalam empat bentuk, yaitu 1) Glikosida: daidzin, genistin, dan glisitin; 2) Asetil glikosida: 6-0 Asetildaidzin, -genestin dan -glisitin; 3) Malonil glikosida: 6-0 Malonildaidzin, genestin dan -glisitin; 4) Aglikon: daidzein, genistein, dan glisitein. Menurut Wuryani (1995) dan Coward et al. (1993) isoflavon yang dominan pada kedelai terdapat dalam bentuk glikosida (genistin dan daidzin).
Tempe Tempe adalah makanan tradisional Indonesia yang berasal dari kedelai dan dibuat dengan cara fermentasi. Fermentasi tempe terjadi karena aktifitas kapang Rhizopus sp pada kedelai yang telah direbus, sehingga membentuk massa yang
28
padat dan kompak. Tempe yang baik adalah tempe yang berwarna putih karena diselaputi miselium kapang di seluruh bahan, tampak kompak, tidak bernoda hitam akibat timbulnya spora, tidak berlendir, beraroma khas, tidak berbau amoniak dan tidak busuk (Shurtleff dan Aoyagi 1979, Syarief et al. 1999). Tempe mengandung berbagi unsur yang bermanfaat bagi kesehatan seperti hidrat arang, lemak, protein, serat, vitamin dan enzim. Olahan kedelai menjadi tempe menyebabkan tempe lebih bergizi dan lebih mudah dicerna, karena kedelai mengalami berbagai perubahan komposisi oleh proses fisik maupun proses enzimatik akibat aktifitas mikroorganisme (Pawiroharsono 2007). Aktifitas enzim protease kapang selama proses fermentasi menyebabkan beberapa perubahan fisik dan kimiawi, dilaporkan bahwa lebih dari setengah protein awal terurai menjadi asam-asam amino bebas yang bersifat lebih mudah dimanfaatkan oleh tubuh. Tempe merupakan sumber vitamin yang baik terutama vitamin B, dan sumber mineral khususnya kalsium, fosfor dan besi (Shurtleff dan Aoyagi 1979). Menurut Cahyadi (2007) tempe merupakan bahan makanan yang berkadar protein tinggi yaitu sekitar 20%, juga mengandung lemak berkadar rendah, kmposisi kimia tempe dapat dilihat pada Tabel 3. Tabel 3. Komposisi kimia tempe kedelai (dalam 100 gram bagian yang dapat dimakan) Komponen Tempe Protein (gram) 20.8 Lemak 8.8 Karbohidrat 13.5 Abu 1.6 Serat 1.4 Karoten total (mg) 34 Kalsium 155 Besi 4.0 Fosfor 326 Air 55.3 Vitamin B1 0.19 (Cahyadi 2007) Tempe mempunyai kandungan isoflavon yang lebih tinggi dari pada kedelai. Hasil analisis senyawa isoflavon pada ekstrak kedelai impor varietas Americana dan produk olahannya (tempe) oleh Astuti (1999) menunjukkan bahwa tempe mengandung komponen faktor II, daidzein, glisitein dan ganistein (Tabel 4).
29
Tempe mengandung daidzein dan genistein lebih tinggi dari kedelai, karena pada proses pembuatan tempe terjadi perubahan senyawa isoflavon dari bentuk glikon menjadi aglikon. Proses perendaman dan fermentasi kedelai dalam pembuatan tempe mampu mengaktifkan enzim β-glukosidase pada kedelai, dan enzim ini dapat menghidrolisis glikosida isoflavon (glikon) menjadi aglikon (Ewan et al. 1992, Koswara 1995). Peningkatan konsentrasi aglikon isoflavon pada proses fermentasi lebih besar dibandingkan dengan proses perendaman. Selama proses fermentasi kedelai, jumlah senyawa isoflavon aglikon lebih besar yaitu mencapai rata-rata 15.242 mg/ml. Sedangkan pada proses perendaman, jumlah senyawa aglikon mencapai rata-rata 10.217 mg/ml (Pawiroharsono 2007). Daidzein memiliki biovailabilitas yang lebih baik dari pada genistein (King 1988), tetapi genistein memiliki efek estrogenik yang lebih besar dari daidzein (Zhang et al. 1999). Menurut Whitten dan Patisaul (2001) dosis isoflavon yang digunakan pada manusia berkisar 0.4-10 mg/kg berat badan/hari, sedangkan pada Rodentia berkisar 1-10 mg/100 g berat badan/hari. Tabel 4. Hasil analisis senyawa isoflavon tepung kedelai dan tepung tempe. Komponen Faktor II Daidzein Glisitein Genistein Total isoflavon
Tepung kedelai (mg/100g bb) 0.04 14.59 0.97 5.74 21.34
Tepung tempe (mg/100g bb) 0.37 27.10 0.74 41.76 69.97
Tepung kedelai (mg/100g bk) 0.04 15.68 1.04 6.17 22.93
(Astuti 1999). Keterangan: bb = berat basah, bk = berat kering
Tepung tempe (mg/100g bk) 0.41 30.20 0.83 46.54 77.98