II. 2.1
TINJAUAN PUSTAKA
Penggerek Batang Padi Kuning, Scirpophaga incertulas (Walker). Penggerek batang padi kuning disebut dengan berbagai nama. Kapur
(1964) menyatakan bahwa pada tahun 1863 penggerek batang padi kuning dikenal dengan nama Chilo incertulas Walker, Scirpophaga punctellus Zeller, Scirpophaga minutellus Zeller, dan Tipanaea bipunctifera Walker, kemudian tahun 1864 dikenal dengan nama Chilo gratiosellus Walker dan tahun 1880 di kenal dengan nama Apurima gratiosella Butler. Pada tahun 1895-1896 dikenal dengan nama Scirpophaga Walker dan digunakan sampai tahun 1958. Tahun 1960 dikenal dengan nama Tryporyza incertulas Walker dan tahun 1963 diberi nama Schoenobius incertulas Walker. Tahun 1977 penggerek batang padi kuning dikenal dengan nama Yellow stem borer (Pathak, 1977). Tahun 1991 dikenal kembali dengan nama Scirpophaga incertulas Walker sampai saat ini (Dhuyo, 2009). 2.1.1
Klasifikasi Penggerek batang padi kuning, Scirpophaga incertulas (Walker),
diklasifikasikan sebagai berikut (Dhuyo, 2009) (Gambar: 2.1) Kerajaan
: Animalia
Filum
: Arthropoda
Klas
: Insekta
Ordo
: Lepidoptera
Famili
: Pyralidae
Genus
: Scirpophaga
Spesies
: Scirpophaga incertulas (Walker),
6
7
Gambar 2.1:
2.1.2
Penggerek batang padi kuning, Scirpophaga incertulas (Walker), Sumber : Wilyus, 2012 Pembesaran : 2x
Morfologi Penggerek Batang Padi Kuning, Scirpophaga incertulas (Walker),
meletakkan telur secara berkelompok, jumlah telur 50-150 butir per kelompok yang diletakkan pada bagian bawah daun dan ditutupi rambut halus berwarna coklat kekuningan. Lama stadium telur 6-7 hari (Kalshoven, 1981). Bentuk kelompok telur bulat lonjong dan tertutup oleh bulu-bulu halus berwarna kekuning-kuningan. Ukuran kelompok telur kurang lebih 7 x 3 mm (Soejitno,1972). Tubuh larva berwarna putih kekuningan dengan kepala berwarna coklat kekuningan (Chairuddin, 1980). Ruas abdomen pertama berwarna putih (Siwi, 1978). Panjang tubuhnya 15 sampai 25 mm dan larva ini terdiri dari enam instar. Pupa mempunyai panjang antara 15 sampai 25 mm, berwarna coklat kekuningan berbentuk bulat, labrumnya tidak bersekat (Siwi, 1978). Imago penggerek batang padi kuning mempunyai panjang badan 13 sampai 16,5 mm dan sayapnya berwarna kuning jerami. Imago betina mempunyai sayap depan dengan bintik
8
hitam yang tampak samar-samar. Panjang sayap jika membuka 21 mm untuk jantan, sedangkan untuk betina 30 mm (Soejitno, 1972). 2.1.3
Biologi Imago penggerek batang padi kuning aktif pada malam hari antara pukul
19.00 – 22.00 dan siang hari bersembunyi dibawah daun tanaman padi. Imago tertarik cahaya dan mempunyai daya terbang yang kuat berkisar antara 6-10 km. Aktivitas imago penggerek mencapai puncaknya pada suhu 21,6˚C sampai 30,6˚C, dengan kelembaban nisbi 82,7% di daerah tropis (Kalshoven,1981). Perkembangan hama ini dapat terus terjadi apabila terdapat persawahan padi tiap musim tanam. Penggerek batang padi kuning tidak dapat bertahan hidup selama musim kemarau (Wijaya,1992). Kopulasi berlangsung sesaat setelah imago muncul dan 2 hari kemudian imago betina siap meletakkan telur, peletakan telur dapat berlangsung 10-35 menit yang diletakkan secara berkelompok. Tiap kelompok telur terdiri atas 50150 butir telur. Kelompok telur diletakkan pada bagian ujung daun bendera, pada permukaan atas daun dekat pucuk atau pada permukaan bawah daun. Stadium telur berkisar antara 4-5 hari dengan suhu optimum untuk penetasan telur antara 25-32˚C pada kelembaban nisbi 85%. Imago betina penggerek batang padi kuning mampu bertelur sebanyak 100-300 butir (Kalshoven, 1981). Larva yang baru menetas membuat dua sampai tiga lubang pada bulu sisik kelompok telur dengan melubangi daun padi (Shiraki, 1917 dalam Soejitno, 1984). Larva ini akan menggerek jaringan daun atau seludang daun sebelum masuk kearah titik tumbuh. Perkembangan larva berlangsung antara 22-43 hari pada suhu optimum sekitar 17˚C – 35˚C (Wijaya, 1992). Sesaat sebelum
9
membentuk pupa, larva instar akhir membuat lubang, keluar pada ruas pangkal batang dekat permukaan tanah atau air. Lubang tersebut kemudian ditutupi dengan benang sutera. Stadium pupa beragam yaitu 8-14 hari (Soehardjan, 1976). Imago muncul dari bagian tanaman padi setinggi 12,5 cm dari permukaan air. Kemampuan hidupnya berkisar antara 5-7 hari (Kalshoven, 1981). 2.2
Gejala Sundep dan Beluk
Gejala serangan S. incertulas dikenal sebagai sundep dan beluk. Gejala sundep terjadi pada tanaman padi fase vegetatif disebabkan oleh larva yang menggerek didalam pangkal batang sehingga menyebabkan daun menggulung tidak membuka kemudian mengering, dan batang yang terserang mati tetapi tanaman masih dapat mengkompensasi serangan ini dengan munculnya anakan baru, gejala beluk terjadi pada tanaman padi fase generatif disebabkan oleh larva yang menggerek pangkal malai sehingga bulir menjadi hampa dan tidak menghasilkan beras (Pathak 1968).
Sundep
Gambar 2.2
Beluk
: Gejala Sundep dan Beluk pada tanaman padi Sumber : doc pribadi Pembesaran : 2x
10
2.3
Parasitoid Telur Parasitoid merupakan serangga yang hidup dalam bentuk larva pada
jaringan arthropoda lain (biasanya serangga) kemudian mematikannya. Parasitoid sering dianggap predator yang sangat efisien dan mampu menyempurnakan perkembangannya dalam satu ekor inang yang akan dibunuh pada waktu larva parasitoid mendekati penyelesaian perkembangannya (Evans, 1984). Musuh alami penggerek batang padi yang paling potensial adalah parasitoid telur. Ada tiga jenis parasitoid telur penggerek batang padi yaitu Tetrastichus schoenobii Ferr., Telenomus rowani Gah., dan Trichogramma japonicum Ashm. Kemampuan ketiga parasitoid tersebut untuk menurunkan populasi penggerek batang padi bervariasi, tergantung dari tempat dan lingkungannya. T.schoenobii mempunyai peranan paling besar dalam menurunkan populasi penggerek batang padi, sedang T. rowani dan T. japonicum peranannya bergantian ( Lubis, 2005). 2.3.1
Trichogramma japonicum Ashm Daerah sebarannya mencakup Madagaskar, Indonesia, Malaysia, India
Filipina, Thailand, Cina, Jepang dan beberapa daerah di Amerika (Kalshoven, 1981). Menurut Kalshoven (1981), parasitoid telur T. japonicum diklasifikasikan sebagai berikut: Kingdom
: Animalia
Philum
: Arthropoda
Klas
: Insekta
Ordo
: Hymenoptera
Familia
: Trichogrammatidae
Genus
: Trichogramma
Spesies
: T. japonicum Ashm.
11
Gambar 2.3.1 T. japonicum (Perbesaran 60 x) Sumber : dok pribadi, 2015
Parasitoid T. japonicum mengalami metamorfosis sempurna dan merupakan parasitoid dengan ukuran imago terkecil dari ketiga spesies parasitoid telur penggerek batang padi. Panjang badannya kurang lebih satu mm. Panjang sayap 0,8 mm dengan rambut pada sisinya. Imago jantan pada bagian ujung antena memiliki rambut seperti sisir, sedangkan imago betina tidak. Imago
T.
japonicum mampu mendeteksi peletakan telur penggerek dengan radius 10 meter (Trichoplus, 2000). Telur diletakkan kira-kira 24-48 jam setelah imago parasitoid muncul (Agus, 1991). Budana (1996) menyatakan bahwa satu hari setelah telur diletakkan, telur akan menetas menjadi larva. Masa peneluran memerlukan waktu singkat yakni 1,53 hari. Stadium larva berlangsung selama 4 hari. Larva T. japonicum terdiri dari tiga instar (Agus, 1991). Memasuki fase pupa, larva terlebih dahulu mengalami fase prapupa. Fase prapupa T. japonicum terdiri atas fase eonimfa dan pronimfa yang memerlukan waktu 1-2 hari. Pupa berwarna putih kekuningan dengan bentuk agak memanjang, terdapat penyempitan pada bagian
12
toraks. Pupa berukuran antara 0,44 - 0,62 mm. Siklus hidup parasitoid T. japonicum berkisar antara 7 - 9 hari (Agus, 1991). 2.3.2
Telenomus rowani Gahan Penyebarannya meliputi negara Cina, Indonesia, India, Jepang, Malaysia,
Thailand, Filipina, Pakistan dan Kamboja (Agus, 1991). Kalshoven (1981) mengklasifikasi T.rowani adalah sebagai berikut (Gambar 2.3.2) : Kerajaan
: Animal
Philum
: Arthropoda
Klas
: Insekta
Ordo
: Hymenoptera
Famili
: Scelionidae
Genus
: Telenomus
Spesies
: Telenomus rowani Gahan.
Gambar 2.3.2 T. rowani (perbesaran 33 x ) Sumber : dok Pribadi, 2015
T. rowani berwarna hitam kecoklatan dengan panjang tubuh kurang lebih 2 mm. Sayap datar sepanjang 0,28 mm terletak pada toraks. Antena berbentuk menyiku, pada ujung antena betina membesar sedangkan pada imago jantan ujungnya simetris. Parasitoid ini tergolong dalam parasitoid solitaria yaitu parasitoid yang hanya meletakkan satu telur pada inang dan berkembang sampai dewasa (Kalshoven, 1981).
13
Seekor imago betina memproduksi telur sekitar 143-275 butir (Clausen, 1940). Stadium telur kurang lebih 9 jam (Budana, 1996).Telur T. rowani diletakkan pada inang yang berumur 1-2 hari. Larva berwarna putih susu, berukuran panjang antara 0,69-0,76 mm. Stadium larva berlangsung selama 6-7 hari. Pupa berwarna kehitaman, berukuran 0,65-0,76 mm dengan caput, toraks, abdomen dan tungkai yang sudah tampak. Stadium pupa berlangsung selama 3-4 hari, kemudian dilanjutkan dengan stadium imago.Imago jantan muncul terlebih dahulu daripada betina. Umur imago jantan berkisar antara 1-3 hari dan betina 3 5 hari (Agus, 1991). 2.3.3
Tetrastichus schoenobii Ferr
Kalshoven (1981) mengklasifikasi T. schoenobii sebagai berikut (Gambar 2.2.3): Kerajaan
: Animal
Filum
: Arthropoda
Klas
: Insekta
Ordo
: Hymenoptera
Famili
: Eulophidae
Genus
: Tetrastichus
Spesies
: T. schoenobii Ferr.
Gambar 2.3.3 T. schoenobii ( Pembesaran 17 x ) Sumber : dok pribadi, 2015 Parasitoid telur T. schoenobii berwarna biru, hijau metalik atau hijau terang. Caput pendek tumpul dengan rambut halus dan occeli oval. Antena
14
berwarna coklat kehitaman memiliki delapan segmen. Mulut bagian bawah berwarna coklat mengkilat. Thorak berwarna cerah dan lembut, terdapat sayap depan dan sayap belakang berbentuk pedang dengan pinggir melengkung. Abdomen bulat silindris dengan delapan ruas. Ovipositor berwarna coklat kekuningan, sangat pendek dan tebal. Tungkainya berwarna kuning dengan tarsus bersegmen empat. Daur hidupnya berlangsung selama kurang lebih 14 hari (Kalshoven, 1981). Seekor imago betina T. schoenobii mampu memproduksi 10-60 butir telur. Telur–telur tersebut akan menetas setelah berumur 1-2 hari. Larva berbentuk silindris memanjang. Perkembangan larva T. schoenobii terjadi di dalam telur inang. Seekor larva parasitoid T. schoenobii dalam menyelesaikan satu siklus hidupnya membutuhkan tiga telur inang. Stadium larva berlangsung selama 7 hari, kemudian larva dewasa membentuk pupa. Stadium pupa berlangsung selama 6 hari, selanjutnya muncul imago 1 - 2 hari berikutnya (IRRI, 1998). 2.4
Faktor-faktor yang Mempengaruhi Perkembangan Parasitoid dan Inang Parasitoid dan inang dapat hidup dan berkembang biak dengan baik jika
faktor-faktor yang mendukung perkembangannya memenuhi syarat. Menurut Berryman (1981), faktor-faktor tersebut meliputi faktor dalam (instrinsik) dan faktor luar (ekstrinsik). Faktor dalam (instrinsik) terdiri dari (a) ketahanan genetik yakni keadaan dimana serangga mampu menciptakan ketahanan secara alami sehingga mampu menyesuaiakan diri dengan perubahan fisiologis inang atau makanannya, yang akhirnya mampu mempertahankan hidupnya, (b) kemampuan
15
beradaptasi yaitu sejauh mana serangga tersebut mampu beradaptasi dengan perubahan-perubahan iklim pada lingkungan sekitarnya. Faktor luar (ekstrinsik) terdiri dari faktor makanan, faktor iklim dan faktor manusia yakni sejauh mana tindakan atau campur tangan manusia yang dilakukan seperti manipulasi tanaman inang, pergiliran varietas yang berkaitan dengan inang parasitoid ataupun pengendalian menggunakan pestisida. 2.5
Hubungan antara Parasitoid dan Inang Keefektifan musuh alami dalam mengendalikan populasi hama dapat
diukur dari daya predatisme atau parasitismenya. Berdasarkan daya predatisme atau parasitisme tersebut dapat dinilai kemampuan musuh alami dalam mengatur keseimbangan populasi mangsa dan inangnya. Musuh alami yang efektif dicirikan oleh (a) daya mencari yang tinggi, terutama pada saat populasi inang rendah; (b) kekhususan terhadap inang atau mangsa (sifat monofag bermakna lebih efektif); (c) potensi berkembangbiak tinggi (potensi berkembangbiak dicirikan oleh keperidian dan fertilitas yang tinggi serta siklus hidup yang pendek); (d) kisaran toleransi terhadap lingkungan lebar serta kemampuan memangsa terhadap berbagai instar inang (DeBach, 1971). Doutt (1973) menyatakan bahwa di dalam pencarian dan penemuan inang ada lima tahap yaitu (1) penemuan habitat inang, (2) penemuan inang (3) pengenalan inang atau penerimaan inang, dan (4) kesesuian inang. Parasitoid pertama-tama akan berusaha menemukan dan memilih habitat inang sebelum menemukan inangnya. Godfray (1994) menyatakan bahwa ada tiga kategori umum yang digunakan parasitoid dalam penemuan habitat inang, yaitu (a) adanya rangsangan dari mikrohabitat inang berupa senyawa-senyawa yang dihasilkan
16
oleh tanaman inang seperti senyawa nutrisi dan non nutrisi. Senyawa nutrisi (Karbohidrat,lemak, protein, vitamin, dan mineral) merupakan senyawa primer yang disitensis tanaman untuk pertumbuhan dan perkembangannya. Senyawa non nutrisi sebagai senyawa sekunder yang mempengaruhi perilaku serangga terhadap tanaman inang tersebut seperti senyawa repelen dan antraktan, (b) adanya rangsangan yang tidak langsung berhubungan dengan kehadiran inang,dan (c) rangsangan yang muncul dari inang itu sendiri. Sementara Vinson (1984) melaporkan bahwa dalam penemuan habitat inang parasitoid dipandu oleh rangsangan fisik dan kimia. Rangsangan fisik yang berperan terutama suara dan gerakan yang ditimbulkan oleh serangga inang, sedangkan rangsangan kimia berasal dari senyawa-senyawa volatil. Senyawa tersebut dapat berasal dari bau tanaman rusak atau terluka, organisme yang berasosiasi dengan inang atau inang itu sendiri. Setelah parasitoid menemukan habitat inang, tahap selanjutnya adalah penemuan inang. Penemuan inang oleh parasitoid dipandu oleh dua jenis rangsangan yaitu rangsangan fisik dan rangsangan kimia. Rangsangan fisik yang paling berperan adalah kodisi fisik inangnya seperti ukuran, bentuk, tekstur dan warna inang. Rangsangan kimia dapat dibedakan dalam dua kelompok, yang pertama adalah rangsangan kimia yang dapat dideteksi dari jarak jauh seperti bau inang. Rangsangan tersebut memungkinkan parasitoid untuk melokalisasi areal pencarian inang. Kedua adalah rangsangan kimia yang dideteksi dari jarak dekat yaitu setelah terjadinya kontak fisik. Rangsangan kimia tersebut biasanya berasal dari senyawa-senyawa padat atau cair seperti kotoran inang, sekresi yang dikeluarkan dari labium serangga inang ataupun bekas dari parasitoid lain. Adanya rangsangan tersebut akan memungkinkan terjadi kontak antara parasitoid
17
dan serangga inang yang dicirikan dengan perilaku pengujian oleh parasitoid berupa gerakan memutar dengan cepat. Faktor lain yang juga dapat menentukan penemuan inang adalah pengalaman dan perilaku orientasi parasitoid tersebut (Waseloh, 1981). Sebagai contoh parasitoid Pimpla biocolor Bouche tertarik pada bau pupa ketika kokon Euproctis terminalis Walker dibuka (Agus, 1991). Penerimaan inang atau pengenalan inang adalah suatu proses diterima atau ditolaknya inang sebagai tempat peletakan telur setelah terjadinya kontak. Proses diterima atau ditolaknya inang sebagai tempat peletakan telur dibagi dalam empat fase yaitu (1) kontak dan pemeriksaan, (2) penusukan dengan ovipositor, (3) pemasukan ovipositor, dan (4) peletakan telur. Keempat fase tersebut harus lengkap, sehingga bila ada hambatan pada salah satu fase, proses penerimaan inang dimulai dari awal lagi. Adakalanya telur yang telah berhasil diletakkan di dalam tubuh inang setelah melalui tiga tahap sebelumnya tidak mampu berkembang menjadi imago akibat adanya hambatan fisiologis didalam tubuh inang. Hambatan-hambatan tersebut antara lain: (a) reaksi imunologi (sistem pertahanan didalam tubuh) (b) persaingan dengan parasitoid lain di dalam tubuh inang, (c) ketidaksesuaian nutrisi, dan (d) adanya zat racun didalam tubuh inang yang bersumber dari zat makanan inang. Dengan demikian dapat tidaknya kemampuan parasitoid tersebut beradaptasi dengan keadaan fisiologi di dalam tubuh inang (Beckage, 1985). Seperti halnya tahap sebelumnya, penerimaan inang juga dipandu oleh rangsangan fisik dan kimia. Rangsangan fisik yang berperan adalah kondisi fisik inangnya seperti ukuran, bentuk, tekstur atau bentuk permukaan, warna dan kandungan air. Rangsangan kimia dapat berasal dari senyawa-senyawa yang terdapat di dalam dan di luar tubuh inang yang dapat
18
dideteksi dengan antenna atau ovipositornya. Senyawa-senyawa tersebut dapat disekresikan melalui kutikula, diekskresikan bersama-sama kotoran atau terdapat pada jaringan-jaringan tertentu dalam tubuh serangga inang. Agus (1991) menyatakan bahwa rangsangan fisik dapat diterima melalui indera pendengaran dan penglihatan. Sebagai contoh parasitoid Euphaiopterix ochrace dapat menemukan jangkrik melalui suaranya. Rangsangan kimia dari jarak jauh dapat diterima melalui indera peraba. Indera penciuman dapat mendeteksi senyawa kimia yang berbentuk gas, sedangkan indera peraba dapat mendeteksi yang berbentuk cair atau padat. Senyawa kimia yang dimaksud dapat berupa kairomon (senyawa kimia yang dihasilkan oleh suatu organisme yang menguntungkan organisme yang menerima, namun merugikan organisme yang menghasilkan seperti atraktan). Kesesuaian inang merupakan faktor penentu dalam keberhasilan perkembangan parasitoid dari telur sampai telur menjadi imago. Vinson dan Iwantsch (1980) menyatakan bahwa kesesuaian inang tergantung pada hal-hal seperti (1) kemampuan parasitoid untuk menghindari atau melawan sistem pertahanan serangga inang, (2) kompetisi dengan parasitoid lain, (3) adanya toksin yang mengganggu atau merusak telur atau larva, dan (4) kesesuaian makan kecil pada stadia muda (hanya 31%) dengan inang Aonidiella aurantii (Maskell) pada buah anggur, tetapi jika inangnya hidup pada Sago palm, maka mortalitas stadia mudah mencapai 100%.