Tinjauan Hukum Perjanjian Nominee Terhadap Pemberian Kuasa Penanam Modal Asing Dalam Kepemilikan Saham Perseroan Terbatas
Skripsi Diajukan untuk Memenuhi Salah Satu Syarat Memperoleh Gelar Sarjana Hukum (SH)
Oleh : Mochamad Fahruroji NIM
: 109048000027
KONSENTRASI HUKUM BISNIS PROGRAM STUDI ILMU HUKUM FAKULTAS SYARIAH DAN HUKUM UNIVERSITAS ISLAM NEGERI SYARIF HIDAYATULLAH JAKARTA 1436 H/2015 M
Thianan Hulmm Perjanjlan Nonftas Toftrdap Pcmberian Kuasa Penanam Modal Asitrg Dalrm Kcpemililen Sshrm Pemcroan Terbstrs
Skripsi Diajukan Kepada Fakulks S)rariah dan Hulnrm Untrk Memenuhi Salah Satu Pecsyaratan Memperoleh Gelar Sarjana Hukum (SfD
Oleh:
Mochamad Fahruroji NIM:10904E000027
Di Bawah Bimbingan
Pembimbing
Pembimbing 2
1
1Nf''
q
/,-il]-*sH,;
-bu,'r s-
Drs. H. Ahrnad Yani, NdA NIP. I 96404 12 199403 1004
NIP. I 97302 I 5 1 99903 I 002
KONSENTERASI ET]KI]M BISMS
PROGRAM STUDI ILMU EUKUM FAKT]LTAS SYARIAE DAIY HUKTIM UMT{ERSITAS ISLAM IYEGERI
SYARIT'HIDAYATULI"AE
JAKART^A, 1436 H/2015
M
LEMBAR PENGESAHAN
Skripsi yang berjudul Tinjauan Ifukum Perjanjian Nominee Terhadap Pemberian Kuasa Penanam N{odal Asing Dalam Kepemilikan Saham Perserodn Terbatas telah diajukan dalam sidang *unuquuyih Fakultas Syariah dan Hukunr Program Studi Ilmu Hukum Universitas Islam Negeri Syarif Hidayatullah Jakarta pada tanggal 02 April 2015. Skripsi ini telah diterima sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar Sarjana Program Starata Satu (S-1) Pada Program Studi Ilmu Hukum. Jakarta,02 April2015 Mengesahkan Fakultas Syariah dan Hukum
PANITIA SIDANG MUNAQASYAH
l.
Ketua
2. Sekertaris
:Dr. D.iawahir Hejazziey. SH..MA..MH. NrP. r955 101 5 197903 1002
:Arip Purqon- SH.I..MA. NIP. 1 9790 427 2003 t2 I 002
)/toa
4
3. Pembimbing I :Nahrowi. SH. MH. NIP.197302ts199903rcA2
4. Pembimbing2 :Drs. MP.
5. Penguji I
6.
Pengr-rji 2
tl
Ahmad Yani. MA. 1 9640 4 t2 199 403 1 004
:Dra. Hj. Ipah Farihah.. M.H. NrP. 150268593
:DeM. t96tt10l
1993031002
........)
&
P+
:............. .........)
,ffi
-1
,
luti
LEMBAR PERNYATAAN
Dengan ini saya menyatakan bahwa:
l.
Skripsi ini merupakan hasil karya asli saya yang diajukan untuk memenuhi salah satu persyaratan memperoleh gelar Sarjana Hukum (S.H)
di Universitas Islam
Negeri Syarif Hidayatullah Jakana. 2.
Sumber-sumber yang saya gunakan dalam penulisan
sesuai dengan ketentuan yang berlaku
ini telah saya cantumkan
di Universitas Islam
Negeri Syarif
Hidayatullah lakata. 3.
Jika dikemudian hari terbukti bahwa karya ini bukan karya asli saya atau merupakan hasil jiplakan dari karya orang lain, maka saya bersedia menerima sanksi yang berlaku di Universitas Islam Negeri Syarif Hidayatullah Jakarta
2015
lll
ABSTRAK Mochamad Fahruroji. NIM 109048000027. TINJAUAN HUKUM PERJANJIAN NOMINEE TERHADAP PEMBERIAN KUASA PENANAM MODAL ASING DALAM KEPEMILIKAN SAHAM PERSEROAN TERBATAS. Program Studi Ilmu Hukum, Konsentrasi Hukum Bisnis, Fakultas Syariah dan Hukum, Universitas Islam Negeri Syarif Hidayatullah Jakarta, 1436 H / 2015 M. x + 78 halaman + halaman lampiran. Skripsi ini bertujuan untuk Untuk mengetahui praktik perjanjian nominee di Indonesia, serta untuk mengetahui tinjauan hukum perjanjian nominee terhadap pemberian kuasa penanam modal asing dalam kepemilikan saham perseroan terbatas. Pada penelitian ini penulis memilih objek penelitian yaitu Undang-Undang Nomor 25 Tahun 2007 Tentang Penanaman Modal. Penelitian ini menggunakan metode penelitian normatif dengan menggunakan sistem studi pustaka, serta menggunakan bahan-bahan lainnya seperti makalah, jurnal, dan kamus. Hasil penelitian ini menunjukkan bahwa praktik nominee masih marak terjadi di Indonesia walaupun dalam bentuk nominee arrangement. Sedangkan Nominee arrangement ini tidaklah bertentangan dengan pasal 33 ayat (1) dan (2) Undang-Undang Nomor 25 Tahun 2007 tentang Penanaman Modal. Serta untuk masalah nominee agreement (perjanjian) dan nominee statement (pernyataan) yang dilakukan di luar negeri berdasarkan sistem hukum yang mengenal konsep nominee tidaklah serta merta melanggar dan dapat dibatalkan pasal 33 ayat (1) dan (2) UU Penanaman Modal. Oleh karena itu karena penulis merasa perlu adanya penyempurnaan terhadap peraturan perundang-undangan yang mengatur tentang penanaman modal, perseroan terbatas, dan pasar modal yang tidak bertentangan dengan UUD 1945 dan sesuai dengan sifat, watak, dan cita-cita Bangsa Indonesia yang dilakukan oleh Presiden, DPR, serta lembagalembaga lainnya yang mengurus perihal penanaman modal. Selain itu, Lembaga-lembaga terkait penanaman modal seperti Kementrian, pemerintahan daerah, BKPM, dan lembaga-lembaga lainnya yang memberi izin dan mengawasi kegiatan penanaman modal, hendaknya menyeleksi dan mengawasi dengan ketat agar praktik nominee tidak menjamur di Indonesia. Kata kunci: Nominee, Penanaman Modal, Undang-Undang Nomor 25 Tahun 2007 Pembimbing 1
: Nahrowi, SH., MH.
Pembimbing 2
: Drs. H. Ahmad Yani, MA.
Daftar Pustaka
: Tahun 1977 s.d. Tahun 2011
iv
Kata Pengantar
Segala puji dan syukur penulis panjatkan kepada ilahi robbi yang telah menganugerahkan rahmatnya kepada penulis sehingga dapat menyelesaikan penulisan skripsi ini. Sholawat dan salam semoga selalu tercurahkan kepada baginda Rosulullah SAW beserta keluarga, para sahabat dan seluruh pengikutnya hingga akhir zaman. Penulis menyadari bahwa terselesainya skripsi ini tidak terlepas dari bantuan berbagai pihak, oleh karena itu penulis ucapkan rasa terimakasih tidak terhingga kepada bapak : 1. DR. Asep Saepudin Jahar, MA. selaku Dekan Fakultas Syariah dan Hukum beserta jajarannya yang telah banyak memberikan pengarahan dan perhatiannya selama menjalani proses perkuliahan. 2. Dr. Djawahir Hejazziey, SH. MA., MH selaku Ketua Program Studi Ilmu Hukum Jurusan Hukum Bisnis yang telah memberikan spirit kepada setiap anak didiknya seperti saya. 3. Arip Purkon,MA selaku Sekretaris Program Studi Ilmu Hukum Jurusan Hukum Bisnis yang telah memberikan spirit kepada setiap anak didiknya seperti saya. 4. Nahrowi, SH.,MH Sebagai pembimbing satu yang senantiasa memberikan perhatian, dukungan dan bimbingan serta selalu meluangkan waktunya untuk membimbing skripsi 5. Drs. Ahmad Yani M.A Sebagai pembimbing kedua yang senantiasa memberikan perhatian, dukungan dan bimbingan serta selalu meluangkan waktunya untuk membimbing skripsi. 6. Yang tercinta dan teristimewa untuk bapak Drs. H.M. Najib M.Si dan ibu Dra. Hj. Leni Yuliani orang Tua penulis yang telah berjuang , memberikan do’a, dukungan dana dan
v
kasih sayang kepada penulis. Harapan mereka untuk melihat penulis menyelesaikan studinya dan menjadi orang yang berhasil menjadi motivasi terbesar bagi penulis.
Jakarta, 02 April 2015
Mochamad Fahruroji
vi
DAFTAR ISI LEMBAR PERSETUJUAN PEMBIMBING …………………………………..i LEMBAR PENGESAHAN UJIAN.…………………………………………….ii LEMBAR PERNYATAAN…………………………………………………..…iii ABSTRAK…………………………...…………………………………………..iv KATA PENGANTAR…………………………………………………………....v DAFTAR ISI………………………………………………………………...…..vii BAB I
PENDAHULUAN.................................................................................1 A. Latar Belakang Masalah...................................................................1 B. Pembatasan dan Rumusan Masalah.................................................4 C. Tujuan dan Manfaat Penelitian........................................................5 D. Review Studi Terdahulu...................................................................6 E. Kerangka Konseptual………………...............................................7 F. Metode Penelitian.............................................................................9
BAB II
TINJAUAN UMUM PEMBERIAN KUASA DAN PERJANJIAN NOMINEE DI INDONESIA..............................................................14 A. Pemberian Kuasa Pada Umumnya.................................................14 B. Perjanjian Nominee Di Indonesia...................................................16 1. Pengertian Perjanjian…………………………..……………...16 2. Jenis-Jenis Perjanjian………………………………..………...19 3. Perjanjian Nominee……………………………………..…………..20
vii
4. Perbedaan Antara Pemberian Kuasa Pada Umumnya Dengan Perjanjian Nominee…………………………………………..…….23 BAB III
PENANAMAN MODAL ASING MENURUT UNDANG UNDANG
PENANAMAN
MODAL
DAN
–
PERSEROAN
TERBATAS........................................................................................25 A. Undang – Undang Penanaman Modal dan Undang – Undang Perseroan Terbatas.........................................................................25 B. Penanaman Modal Asing di Indonesia….......................................34 BAB IV
TINJAUAN HUKUM PERJANJIAN NOMINEE TERHADAP PEMBERIAN KUASA PENANAM MODAL ASING DALAM KEPEMILIKAN
SAHAM
PERSEROAN
TERBATAS........................................................................................53 A. Praktik Perjanjian Nominee di Indonesia.......................................53 B. Tinjauan Hukum Perjanjian Nominee Terhadap Pemberian Kuasa Penanam Modal Asing Dalam Kepemilikan Saham Perseroan Terbatas…………………………………………...………….......67 BAB V
PENUTUP..........................................................................................72 A. Kesimpulan....................................................................................72 B. Saran...............................................................................................73
DAFTAR PUSTAKA..........................................................................................75 LAMPIRAN
viii
BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Sejak terjadinya krisis ekonomi, iklim investasi di Indonesia banyak menghadapi kendala yang timbul dari dalam maupun dari luar negeri. Kendala yang berasal dari dalam negeri antara lain adalah belum adanya kepastian hukum, masalah perburuhan, minimnya infrastruktur, prosedur perizinan yang panjang dan memerlukan biaya tinggi serta masalah pertanahan.1Sedangkan kendala yang berasal dari luar negeri adalah munculnya negara-negara pesaing, yang berpacu menarik investasi asing dengan memberikan insentif yang lebih menarik ketimbang Indonesia.2 Dengan banyaknya peminat penanam modal asing untuk menginvestasikan dananya ke Indonesia tentunya ini menjadi sebuah peluang bagi pemerintah Indonesia, karena penanam modal asing berpengaruh terhadap kemajuan perekonomian negara Indonesia. Menurut Pasal 1 ayat 6 UU No 25 Tahun 2007 Tentang Penanaman Modal Penanam modal asing adalah perseorangan warga negara asing, badan usaha asing, dan atau pemerintah asing yang melakukan penanaman modal di wilayah Negara Republik Indonesia. Sebagai tempat untuk melakukan kegiatan investasi, negara Indonesia memiliki potensi yang sangat besar, antara lain: 1.
Wilayah yang luas dan subur dengan kekayaan alam yang melimpah,
1
Munir Fuady, Hukum Perusahaan “Dalam Paradigma Hukum Bisnis” (Bandung: Citra Aditya Bakti, 2008), h. 29 2
Suparji, Penanaman Modal Asing Di Indonesia – insentif vs. pembatasan (Jakarta: Fakultas Hukum Universitas Al-Azhar Indonesia, 2008), cet.1, h.209.
1
2
2.
Upah buruh yang relatif rendah,
3.
Pasar yang sangat besar,
4.
Lokasi yang strategis,
5.
Adanya upaya sungguh-sungguh dari pemerintah untuk mendorong iklim investasi yang sehat,
6.
Tidak adanya pembatasan atas arus devisa, termasuk atas modal dan keuntungan, dan lain-lain.3 Peraturan hukum yang mengatur mengenai penanaman modal
banyak mengalami perubahan, agar dapat menyesuaikan dengan iklim investasi di indonesia. Dengan banyaknya peminat penanam modal asing yang masuk ke Indonesia, maka pemerintah melakukan berbagai upaya agar terjadi sebuah kepastian hukum terhadap penanam modal asing sebagaimana dijelaskan dalam Pasal 14 Undang-Undang Nomor 25 Tahun 2007 yang berbunyi: “Setiap penanam modal berhak mendapat: a.
Kepastian hak, hukum dan perlindungan;
b.
Informasi yang terbuka mengenai bidang usaha yang dijalankannya;
c.
Hak pelayanan; dan
d.
Berbagai bentuk fasilitas kemudahan sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan. Dengan adanya hak-hak yang pasti akan didapat seperti yang
diterangkan di atas, maka penanam modal asing diharapkan dapat lebih merasa aman dan nyaman ketika memutuskan untuk menanamkan modal di 3
Ana Rokhmatussa’dyah dan Suratman, Hukum Investasi dan Pasar Modal (Jakarta: Sinar Grafika, 2009), cet. 1, h. 56.
3
Indonesia. Ketika penanam modal asing merasa aman dan nyaman, tentu penanam modal asing akan berdatangan untuk menginvestasikan modalnya ke Indonesia. Dengan banyaknya penanam modal asing yang datang ke Indonesia tentu menjadi sebuah kebaikan bagi perekonomian Indonesia. Perjanjian saham pinjam nama atau biasa disebut dengan nominee agreement adalah suatu perjanjian dimana seseorang yang ditunjuk oleh pihak lain untuk mewakilinya dalam melakukan suatu perbuatan hukum tertentu sesuai dengan kesepakatan para pihak, dan perbuatan hukum yang dilakukan oleh nominee terbatas pada apa yang telah diperjanjikan sebelumnya dengan pihak pemberi kuasa.4 Hal tersebut sejalan dengan pengertian nominee sebagaimana tercantum dalam Black’s Law Dictionary. Nominee agreement memang banyak praktiknya dilakukan oleh para pihak dalam kegiatan investasi di Indonesia, khusunya oleh para penanam modal asing. Dalam sejarah perundang-undangan di Indonesia yang mengatur tentang perjanjian nominee agreement, memang banyak mengalami perubahan ditujukan agar dapat menyesuaikan dengan iklim investasi di Indonesia. Berbicara nominee agreement sebetulnya jika ditinjau dari Pasal 33 ayat 1 dan 2 Undang-Undang Nomor 25 tahun 2007 tentang Penanaman Modal, ini dilarang sebagaimana berbunyi “ Penanam modal dalam negeri dan penanam modal asing dilarang membuat perjanjian dan/atau pernyataan yang menegaskan bahwa kepemilikan saham dalam perseroan terbatas untuk 4
Salim H.S., Perkembangan Hukum Kontrak Innominaat Di Indonesia (Jakarta: Sinar Grafika, 2008), h. 49.
4
dan atas nama orang lain “. Jika ada perjanjian semacam itu, maka perjanjian tersebut dinyatakan batal demi hukum. Jadi, tidak ada cara yang sah untuk bisa menjamin si pemegang saham yang namanya dipinjam akan menjual kembali sahamnya kepada penanam modal yang sebenarnya. Undang-Undang Nomor 25 tahun 2007 tentang Penanaman Modal telah melarang praktik nominee, namun praktik ini masih saja ditemukan di Indonesia. Sudah barang tentu ini menjadi sebuah masalah yang tidak dapat dihindari oleh pemerintah Indonesia selaku tuan rumah. Disamping itu, Negara Kesatuan Republik Indonesia (NKRI) membutuhkan dana dari penanam modal asing untuk meningkatkan perekonomian negara, tetapi pembatasan yang dilakukan oleh Pemerintah ini menjadi sebuah dilema bagi penanam modal asing yang ingin menanamkan modalnya di Indonesia. Berdasarkan latar belakang tersebut, maka penulis tertarik untuk mengangkat judul penelitian “Tinjauan Hukum Perjanjian Nominee Terhadap Pemberian Kuasa Penanam Modal Asing Dalam Kepemilikan Saham Dalam Perseroan Terbatas” untuk diteliti lebih lanjut. B. Pembatasan dan Rumusan Masalah 1. Pembatasan Masalah Pembatasan masalah dalam penelitian ini mencakup hal-hal yang berkaitan dengan ketentuan peraturan dalam penanaman modal, khususnya tinjauan hukum perjanjian nominee terhadap pemberian kuasa Penanam Modal Asing dalam kepemilikan saham perseroan terbatas. 2. Rumusan Masalah Berdasarkan peristiwa yang terjadi di masyarakat dalam hal penanaman modal khususnya kepastian hukum bagi penanam modal asing,
5
maka perlu kiranya penulis mengemukakan permasalahan-permasalahan yang ada dalam penelitian ini. Adapun permasalahannya sebagai berikut: a.
Bagaimana praktik perjanjian nominee di Indonesia?
b.
Bagaimana tinjauan hukum perjanjian nominee terhadap pemberian kuasa penanam modal asing dalam kepemilikan saham perseroan terbatas?
C. Tujuan dan Manfaat Penelitian 1.
Tujuan Penelitian Secara umum tujuan penelitian ini adalah:
a.
Untuk mengetahui praktik perjanjian nominee di Indonesia.
b.
Untuk mengetahui tinjauan hukum perjanjian nominee terhadap pemberian kuasa penanam modal asing dalam kepemilikan saham perseroan terbatas.
2.
Manfaat Penelitian Manfaat penulisan yang diharapkan dalam penelitian ini adalah:
a.
Teoritis : Dari hasil penelitian ini diharapkan dapat berguna sebagai bahan informasi terhadap anggota masyarakat pada umumnya dan khususnya terhadap mereka yang memang terlibat dalam perjanjian nominee.
b.
Praktis : Dari hasil penelitian ini diharapkan dapat berguna sebagai jawaban dari berbagai persoalan yang terjadi dalam lingkup perjanjian
6
nominee agreement, khususnya bagi pihak-pihak yang terlibat secara langsung dalam perjanjian nominee. D. Review Studi Terdahulu Salah satu penelitian yang digunakan oleh penulis sebagai tinjauan kajian terdahulu yaitu skripsi yang berjudul “Larangan Terhadap Pemegang Saham Nominee Dalam Peraturan Perundang-undangan Indonesia” yang disusun oleh Ahmad Aman, Fakultas Hukum Universitas Sumatera Utara, pada Agustus 2010. Dalam skripsi ini penulis membahas mengenai pengaturan pemegang saham dalam Undang-Undang Nomor 40 Tahun 2007 tentang Perseroan Terbatas, kemudian kedudukan pemegang saham nominee sebelum dan sesudah adanya larangan undang-undang. Dengan melihat rumusan masalah yang ada, maka dapat dibedakan dengan masalah yang ingin saya angkat dalam penelitian ini. Dalam penelitian ini saya akan lebih menekankan dalam hal praktik perjanjian nominee di Indonesia dan penegakan hukum terhadap para pihak yang melakukan perjanjian nominee di Indonesia. Selanjutnya yang menjadi kajian terdahulu adalah tesis yang berjudul “Perjanjian Nominee Dalam Kaitannya Dengan Kepastian Hukum Bagi Pihak Pemberi Kuasa Ditinjau Dari Undang-Undang Pokok Agraria Dan Undang-Undang Kewarganegaraan” yang disusun oleh Miggi Sahabati, Fakultas Hukum Universitas Indonesia, Depok, Juli 2011. Dalam tesis ini penulis membahas mengenai pengaturan perjanjian nominee dalam Undang-Undang Pokok Agraria dan Undang-Undang
7
Kewarganegaraan, kemudian membahas mengenai kepastian hukum bagi pihak pemberi kuasa dalam perjanjian nominee yang ditinjau dari UndangUndang Pokok Agraria dan Undang-Undang Kewarganegaraan. Serta membahas mengenai pengembangan investasi dibidang properti di Indonesia yang dimana perjanjian nominee dapat menjadi jalan alternatif yang menguntungkan. Hal yang membedakan tesis tersebut dengan penelitian yang akan saya angkat adalah saya membahas lebih dalam tentang praktik perjanjian nominee di Indonesia dan tinjauan hukum perjanjian nominee terhadap pemberian kuasa penanam modal asing dalam kepemilikan saham perseroan terbatas. E. Kerangka Konseptual Kerangka konseptual adalah kerangka yang menggambarkan hubungan antara konsep-konsep khusus, yang ingin atau yang diteliti.5 Kerangka konseptual berisi uraian konsep-konsep yang berhubungan dengan variabel penelitian, yaitu rumusan konsep-konsep dari variabel yang diteliti yang digunakan oleh peneliti/penulis dalam penelitian atau penulisan. Untuk menghindari terjadinya kesalahpahaman mengenai istilahistilah yang digunakan dalam uraian, maka di bawah ini diberikan penjelasan mengenai beberapa istilah tersebut, yaitu: 1. Hukum, Hukum adalah undang-undang, peraturan, dan sebagainya untuk mengatur pergaulan hidup masyarakat.6 5
Peter Mahmud Marzuki, Penelitian Hukum (Jakarta: Kencana Prenada Media Group, 2010), cetakan keenam, h. 31. 6 Sudarsono, Kamus Hukum (Jakarta : PT Rineka Cipta, 2007), cet. 5, h. 167.
8
2. Perjanjian, Perjanjian adalah suatu peristiwa dimana seorang berjanji kepada seorang lain atau dimana dua orang itu saling berjanji untuk melaksanakan suatu hal.7 3. Nominee, Nominee is one designated to act for another as his representative in a rather limited sense. It is used sometimes to signify an agent or trustee. It has connotation however, other than that of acting for another, in representation of another, or as the grantee of another.8 4. Penanaman Modal, Menurut UU No 25 Tahun 2007 Tentang Penanaman Modal Pasal 1 ayat 4 Penanam modal adalah segala bentuk kegiatan menanam modal, baik oleh penanam modal dalam negeri maupun penanam modal asing untuk melakukan usaha di wilayah Negara Republik Indonesia. 5. Penanam Modal Asing, Menurut UU No 25 Tahun 2007 Tentang Penanaman Modal Pasal 1 ayat 6 Penanam modal asing adalah perseorangan warga Negara asing, badan usaha asing, dan atau pemerintah asing yang melakukan penanaman modal di wilayah Negara Republik Indonesia. 6. Modal Asing, Menurut UU No 25 Tahun 2007 Tentang Penanaman Modal Pasal 1 ayat 8 Modal asing adalah modal yang dimiliki oleh negara asing, perseorangan warga negara asing, badan usaha asing, badan hukum
7
8
Subekti, Hukum Perjanjian (Jakarta : PT Intermasa, 2002) cet. 19, h. 1.
Brayan A. Garner, Black’s Law Dictionary With Guide To Pronunciation (St. Paul: West Publishing, 1999), cet. 7 h. 1072.
9
asing, dan/atau badan hukum Indonesia yang sebagian atau seluruh modalnya dimiliki oleh pihak asing. F. Metode Penelitian 1. Tipe Penelitian Oleh karena penelitian ini bersifat penelitian pustaka (Library Research), maka metode yang dipergunakan adalah metode yuridis normatif, untuk memperoleh data yang dikehendaki penelitian ini dengan melakukan telaah bahan pustaka yang nantinya penulis dapat mengetahui lebih dalam.9 2. Pendekatan Masalah Pendekatan yang dipakai dalam menjawab persoalan yang telah dirumuskan adalah menggunakan pendekatan perundang-undangan (statute approach) dan pendekatan konseptual (conceptual approach). Pendekatan Undang-undang (statute approach) dilakukan dengan menelaah semua Undang-undang dan regulasi yang bersangkut paut dengan isu hukum yang sedang ditangani. Bagi penelitian untuk kegiatan praktis, pendekatan Undang-undang ini akan membuka kesempatan bagi peneliti untuk mempelajari adakah konsistensi dan kesesuaian antara suatu Undangundang dengan Undang-undang lainnya atau antara Undang-undang dengan Undang-undang Dasar atau antara regulasi dan Undang-undang. Hasil dari telaah tersebut merupakan suatu argument untuk memecahkan suatu isu yang dihadapi.10 9
Sulistyowati Irianto dan Sidharta, Metode Penelitian Hukum Konstelasi dan Refleksi (Jakarta : Yayasan Obor Indonesia, 2009), h. 170. 10 Peter Mahmud Marzuki, Penelitian Hukum (Jakarta: Kencana Prenada Media Group, 2010), cet. 6, h. 93.
10
Pendekatan konseptual (conceptual approach) beranjak dari pandangan-pandangan dan doktrin-doktrin yang berkembang didalam suatu ilmu hukum. Dengan mempelajari pandangan-pandangan dan doktrin-doktrin di dalam ilmu hukum, peneliti akan menemukan ide-ide yang melahirkan pengertian-pengertian hukum, konsep-konsep hukum dan asas-asas hukum yang relevan dengan isu yang dihadapi. Pemahaman akan pandanganpandangan dan doktrin-doktrin tersebut merupakan sandaran bagi peneliti dalam membangun suatu argumentasi hukum dalam memecahkan isu yang dihadapi.11 3. Sumber Hukum Penelitian ini menggunakan jenis data, yang meliputi: a.
Bahan hukum primer Bahan hukum primer yaitu bahan hukum yang mempunyai kekuatan mengikat berupa peraturan perundang-undangan.Selain peraturan perundang-undangan, yang termasuk dalam bahan hukum primer yaitu catatan-catatan resmi atau risalah dalam pembuatan perundang-undangan dan putusan-putusan hakim. Peraturan perundang-undangan yang digunakan dalam penelitian ini yaitu Kitab Undang-Undang Hukum Perdata, UU No 25 Tahun 2007 Tentang Penanaman modal, dan peraturan perundangundangan
yang terkait
penanaman modal.
11
Ibid., h 95.
dengan perjanjian
nominee dalam
11
b. Bahan hukum sekunder Bahan hukum sekunder yaitu bahan hukum yang erat kaitannya dengan bahan hukum primer dan dapat membantu menganalisa, memahami, dan menjelaskan bahan hukum primer. Yang termasuk dalam bahan hukum sekunder yaitu semua publikasi tentang hukum yang bukan merupakan dokumen-dokumen resmi12, misalnya dapat berupa hasil karya dari kalangan hukum, penelusuran internet, majalah, surat kabar, dan sebagainya. c. Bahan Hukum (Tersier) Bahan hukum (tersier) yaitu bahan hukum yang memberikan petunjuk maupun penjelasan atas bahan hukum primer dan sekunder, misalnya Ensiklopedi dan Kamus. 4.
Pengolahan dan Analisis Bahan Hukum Data primer, data sekunder dan data tersier yang telah disusun
secara sistematis kemudian dianalisa secara perspektif dengan menggunakan metode deduktif dan induktif. Metode deduktif dilakukan dengan cara menarik kesimpulan dari suatu permasalahan yang bersifat umum terhadap permasalahan konkret yang dihadapi, sedangkan metode induktif dilakukan dengan menerjemahkan berbagai sumber yang berhubungan dengan topik dalam skripsi ini, sehingga diperoleh kesimpulan yang sesuai dengan tujuan penelitian yang telah dirumuskan. 5.
Tehnik Penulisan Tehnik penulisan yang digunakan dalam pembuatan skripsi ini
mengacu pada buku “Pedoman Penulisan Skripsi Fakultas Syariah dan Hukum Universitas Islam Negeri Syarif Hidayatullah Jakarta 2012”. 6.
Sistematika Penelitian
12
Ibid., h. 142.
12
Untuk memudahkan penulisan dalam penelitian ini, maka penulis menguraikannya dengan sistematika penulisan yang terdiri dari 5 (lima) bab, dan masing-masing bab berisikan sub-sub bab dengan rincian sebagai berikut: BAB I
Pada bab ini merupakan Pendahuluan, yang berisi Latar Belakang, Pembatasan Masalah dan Rumusan Masalah, Tujuan dan Manfaat Penelitian, Tinjauan (Review) Studi Terdahulu, Kerangka Konseptual, Metode Penelitian, Tehnik Penulisan dan Sistematika Penulisan.
BAB II
Pada bab ini merupakan tinjauan umum pemberian kuasa dan perjanjian nominee di Indonesia, yang berisi Pemberian Kuasa
Pada
Umumnya,
Pengertian
Perjanjian,
Jenis-Jenis
Perjanjian, Perjanjian Nominee, Perbedaan Antara Pemberian Kuasa Pada Umumnya Dengan Perjanjian Nominee. BAB III Pada bab ini merupakan pembahasan mengenai penanaman modal asing Undang-Undang Penanaman Modal dan Undangundang Perseroan Terbatas, yang berisi Undang-Undang Penanaman
Modal,
Undang-Undang
Perseroan
Terbatas,
Pengertian Penanaman Modal, Penanaman Modal Asing di Indonesia. BAB IV Pada bab ini membahas mengenai tinjauan hukum perjanjian nominee terhadap pemberian kuasa penanam modal asing dalam kepemilikan saham perseroan terbatas, yang berisi mengenai praktik perjanjian nominee di Indonesia, tinjauan hukum perjanjian nominee terhadap pemberian kuasa penanam modal asing dalam kepemilikan saham perseroan terbatas.
13
BAB V
Pada bab ini merupakan bab terakhir atau Penutup, yang memuat kesimpulan dari semua pembahasan hasil penelitian yang telah dilakukan dan saran-saran yang berkaitan dengan hasil penelitian yang dapat dijadikan pertimbangan lebih lanjut.
BAB II TINJAUAN UMUM PEMBERIAN KUASA DAN PERJANJIAN NOMINEE DI INDONESIA A. Pemberian Kuasa Pada Umumnya Secara umum, kuasa diatur dalam bab ke-16, Buku III KUHPerdata dan secara khusus diatur dalam hukum acara perdata. Pasal 1792 KUHPerdata menyatakan bahwa, “Pemberian kuasa adalah suatu perjanjian dengan mana seorang memberikan kekuasaan kepada seorang lain, yang menerimanya, untuk atas namanya menyelenggarakan suatu urusan.13Pemberian kuasa dapat dilakukan secara khusus, yaitu hanya mengenai satu kepentingan tertentu atau lebih, atau dapat dilakukan secara umum, yaitu meliputi segala kepentingan pemberi kuasa. Pemberian kuasa (last giving) yang terdapat dalam pasal 1792 KUHPerdata tersebut mengandung unsur: 1. Persetujuan 2. Memberikan kekuasaan untuk menyelenggarakan suatu urusan dan 3. Atas nama pemberi kuasa. Dalam hal ini, bentuk-bentuk kuasa dapat diberikan dan diterima dalam suatu akta umum, dalam suatu tulisan di bawah tangan, bahkan dalam sepucuk surat ataupun dengan lisan (Pasal 1793 ayat (1) KUHPerdata), dan sejumlah ketentuan Undang-Undang mewajibkan surat kuasa terikat pada bentuk tertentu, antara lain pasal 1171 ayat (1) dan ayat (2) KUHPerdata yang 13
Subekti R. dan Tjitrosudibio R., Kitab Undang-Undang Hukum Perdata (Jakarta: PT Pradnya Paramita, 2004), cet. 34, h. 457.
14
15
menyatakan kuasa untuk memberikan hipotik harus dibuat dengan suatu akta otentik, pasal 85 ayat (1) Undang-Undang Nomor 40 Tahun 2007 tentang Perseroan Terbatas yang menyatakan bahwa kuasa yang mewakili pemegang saham ketika menghadiri Rapat Umum Pemegang Saham (RUPS) harus didasarkan pada surat, Pasal 1683 ayat (1) KUHPerdata yang menyatakan bahwa si penerima hibah dapat memberi kuasa pada seseorang lain dengan suatu akta otentik untuk menerima penghibahan. Sehingga pada dasarnya, memberikan kuasa dapat dilakukan baik secara tertulis maupun secara lisan. Dalam perkembangan hukum Belanda melalui Nieuw Burgerlijke Wetbook, sebuah kitab revisi Burgerlijke Wetbook (BW), telah diatur pengertian tentang kuasa (volmacht) dan pemberian kuasa (last giving). Pada prinsipnya, volmacht berbeda dengan last giving. Volmacht merupakan tindakan hukum sepihak yang memberi wewenang kepada penerima kuasa untuk mewakili pemberi kuasa dalam melakukan suatu tindakan hukum tertentu (Hoge Raad 24 Juni 1938 NJ 19939, 337). Adapun last giving dan pada dasarnya pemberian kuasa ini bersifat cuma-Cuma, sebagaimana dimaksudkan dalam pasal 1794 KUHPerdata. Dengan demikian, last giving merupakan perjanjian pembebanan perintah yang menimbulkan kewajiban bagi si penerima kuasa untuk melaksanakan kuasa, sedangkan volmacht merupakan kewenangan mewakili. Suatu last giving tidak selalu memberikan wewenang untuk mewakili pemberi kuasa sebab dalam last giving dimungkinkan adanya wewenang mewakili (volmacht), akan tetapi tidak selalu volmacht merupakan bagian dari last giving. Apabila wewenang
16
tersebut diberikan berdasarkan persetujuan pemberian kuasa, maka akan terjadi perwakilan yang bersumber dari persetujuan. B. Perjanjian Nominee Di Indonesia 1. Pengertian Perjanjian Buku III KUHPerdata tidak memberikan rumus tentang perikatan. Menurut ilmu
pengetahuan hukum perdata, perikatan adalah hubungan
hukum yang terjadi antara 2 (dua) orang atau lebih, yang terletak di dalam lapangan harta kekayaan, di mana pihak yang satu berhak atas prestasi dan pihak lainnya wajib memenuhi prestasi itu. Perikatan lebih umum di pakai di Indonesia. Perikatan artinya hal yang mengikat orang yang satu terhadap orang yang lain. Perikatan dirumuskan sebagai hubungan hukum yang terjadi antara orang yang satu dengan orang yang lainnya karena perbuatan, peristiwa atau keadaan.14 Adapun perikatan yang dimaksudkan dengan perikatan menurut subekti:15 Perikatan adalah suatu hubungan hukum kekayaan antara dua atau beberapa pihak yang mengakibatkan, bahwa pihak yang satu berhak atas sesuatu dari pihak lain, sedangkan pihak yang akhir ini berkewajiban berbuat sesuatu bagi pihak yang pertama. Pihak yang berhak dinamakan kreditur, dan pihak yang berkewajiban dinamakan debitur. Perbuatan debitur dinamakan prestasi.
14
Sofwan Sri Soedewi Machun, Hukum Perjanjian Perhutangan (Yogyakarta: Terjemahan Seksi Hukum Perdata Fakultas Hukum Universitas Gajah Mada, 2004), h. 21. 15
Subekti, Hukum Perjanjian. h. 4.
17
Definisi perikatan tersebut diatas mengandung 2 (dua) segi yakni aktif (hak) dan pasif (kewajiban), yang berarti suatu keharusan untuk melakukan prestasi tertentu. Salah satu unsur dari perikatan adalah adanya suatu prestasi (pasal 1234 KUHPerdata) yaitu: 1. Memberikan sesuatu 2. Berbuat suatu 3. Tidak berbuat sesuatu Perjanjian diatur dalam KUHPerdata buku III bab II yang berjudul tentang perikatan-perikatan yang dilahirkan dari kontrak atau perjanjian. Perjanjian sebagai suatu peristiwa hukum, maksudnya peristiwa-peristiwa yang akibatnya diatur oleh hukum. Perjanjian ini melahirkan sebuah hubungan hukum antara pihak yang terkait. Sebab dari peristiwa hukum itulah timbul hak atas prestasi serta kewajiban untuk berprestasi. Pasal 1313 KUHPerdata: “suatu perjanjian adalah suatu perbuatan dengan mana satu orang atau lebih mengikatkan dirinya terhadap satu orang lain atau lebih.” Perjanjian adalah suatu hubungan hukum mengenai harta benda kekayaan antara dua belah pihak, dalam mana suatu pihak berjanji atau dianggap berjanji untuk melakukan suatu hal, sedangkan pihak lain berhak menuntut pelaksanaan janji itu.16
16
Prodjodikoro Wirdjono, Azas-azas Hukum Perjanjian (Bandung: CV Mandar Maju, 2004), h. 7.
18
Sebelum kata sepakat terjadi masing-masing pihak menyatakan kehendaknya, kemudian kehendak tersebut dinyatakan dalam kata-kata yang diucapkan maupun dalam bentuk tertulis dengan tujuan agar kehendak itu dapat diketahui dan disetujui oleh pihak lain Jadi kata sepakat berarti persesuaian kehendak yang melahirkan perjanjian kedua belah pihak, berdasarkan asas konsensualitas, dan dengan kata sepakat yang diucapkan tersebut lahirlah perjanjian. Selanjutnya R. Subekti menyebutkan: Pada dasarnya perjanjian dan perikatan yang timbul karenanya itu sudah dilahirkan sejak detik tercapainya kesepakatan. Artinya perjanjian itu sudah sah bila sudah sepakat mengenai hal yang pokok dan tidak diperlukan sesuatu formalitas.17 Perjanjian merupakan terjemahan dari istilah aslinya dalam bahasa belanda overenskomst. Perjanjian juga diartikan sebagai suatu persetujuan dengan mana dua orang atau lebih saling mengikatkan diri untuk melaksanakan suatu hal dalam lapangan harta kekayaan.18 Hukum yang mengatur tentang perjanjian ini disebut hukum perjanjian (law of contract). Perumusan ini erat hubungannya dengan pembicaraan adanya consensus, terletak dalam lapangan harta kekayaan. Pengertian perjanjian ini memiliki unsur sebagai berikut: 1. Ada pihak-pihak, sedikitnya dua orang 2. Ada persetujuan antara pihak-pihak tersebut
17
18
Subekti, Hukum Perjanjian, h. 15.
Kusumahadi, Asas-Asas Hukum Perdata (Yogyakarta: Yayasan Badan Penerbit Gadjah Mada, 2001), h. 77.
19
3. Ada tujuan yang akan dicapai 4. Ada prestasi yang akan dilaksanakan.19 Selain perjanjian, Undang-undang juga merupakan sumber perikatan sebagaimana disebutkan dalam pasal 1352 KUHPerdata: “perikatan-perikatan yang dilahirkan demi Undang-Undang, timbul dari Undang-Undang saja atau dari Undang-Undang sebagai akibat perbuatan orang”. 2. Jenis-Jenis Perjanjian Pada dasarnya, perjanjian menurut jenisnya dibagi menjadi dua macam yaitu: 1. Perjanjian Nominaat Merupakan perjanjian yang dikenal di dalam kitab Undang-undang Hukum Perdata. Hal-hal yang termasuk dalam perjanjian nominaat adalah jual beli, tukar menukar, sewa menyewa, persekutuan, perdata, hibah, penitipan barang, pinjam pakai, pinjam meminjam, pemberian kuasa, penangguhan hutang, perdamaian dan lain-lain. 2. Perjanjian Innominaat Perjanjian yang timbul, tumbuh dan berkembang dalam masyarakat. Jenis perjanjian ini belum dikenal pada saat KUHPerdata diundangkan, salah satunya adalah perjanjian Nominee.20
19
20
Ibid., h. 79.
HS H Salim. “Perkembangan Hukum kontrak di luar KUHPerdata” (Jakarta: PT. Raja Grafindo Persada, 2006), h. 1.
20
Perjanjian juga dapat diklasifikasi menjadi perjanjian tertulis dan perjanjian lisan. Dilihat dari segi kekuatan mengikatnya, maka perjanjian dapat diklasifikasikan menjadi perjanjian dibawah tangan dan perjanjian dengan akta otentik yang dibuat dihadapan Notaris-PPAT sebagai pejabat umum. Pembuatan akta-akta perjanjian sebagai salah satu bentuk perbuatan hukum dilakukan oleh subyek hukum (orang atau badan hukum) dalam lapangan hukum perdata berdasarkan norma hukum yang berlaku, memiliki kecakapan untuk melakukan perbuatan hukum, dan menimbulkan akibat hukum. Mengenai bentuk perjanjian yang dipilih sebagai instrumen hukum penguasaan tanah atau saham 100 persen oleh orang asing untuk mengikat warga Negara Indonesia secara empiris dilakukan melalui perjanjian tertulis yang dibuat dalam bentuk akta dibawah tangan dan akta otentik yang dibuat dihadapan Notaris. Kualifikasi akta yang dibuat dihadapan Notaris termasuk akta para pihak bukan akta jabatan. Spirit akta yang dibuat dihadapan Notaris adalah adanya akses kebebasan berkontrak sebagaimana diatur dalam buku III KUHPerdata. 3. Perjanjian Nominee Perjanjian nominee dikategorikan sebagai salah satu bentuk dari perjanjian innominaat karena belum ada pengaturan secara khusus tentangnya dan tidak secara tegas disebutkan dalam pasal-pasal KUHPerdata. Apabila hanya dilihat dari sisi pemenuhan prestasi para pihak yang terlibat di dalam
21
perjanjian, perjanjian nominee sebetulnya dapat dimasukkan dalam jenis perjanjian atas beban. Dalam system hukum di Indonesia, perjanjian nominee sebagai salah satu bentuk dari perjanjian innominaat tidak diatur secara tegas dan khusus, namun dalam praktiknya beberapa pihak banyak yang menggunakan perjanjian nominee untuk membeli property atau berinvestasi di Indonesia. Nominee adalah seseorang yang bertindak untuk nama pihak lain sebagai wakil dalam arti yang terbatas. Terkadang istilah tersebut digunakan untuk menandakan sebagai agen atau wali.21 Perjanjian nominee dalam praktiknya tidak hanya digunakan oleh pihak asing (WNA) untuk berinvestasi di Indonesia, namun juga digunakan oleh pasangan perkawinan campuran beda kewarganegaraan (yang tidak membuat perjanjian perkawinan) untuk memiliki property di Indonesia. Sehingga keberadaan perjanjian nominee di Indonesia cenderung lebih banyak digunakan sebagai salah satu cara untuk melakukan penyulundupan hukum. Contoh sederhana dari perjanjian nominee yang terjadi di Indonesia adalah sebagai berikut: Contoh pertama, seorang perempuan WNI (A) menikah dengan seorang pria WNA (B), dan keduanya tidak membuat perjanjian perkawinan. Akibat dari tidak dibuatnya perjanjian perkawinan adalah bahwa A tidak dapat memiliki hak milik atas property di Indonesia lebih dari satu tahun. Agar tetap dapat memiliki property, A membuat 21
1072.
Brayan A. Garner, Black’s Law Dictionary With Guide To Pronunciation, h.
22
perjanjian nominee dengan saudaranya, yaitu C. dalam perjanjian tersebut A akan memberikan sejumlah uang kepada C untuk membeli property di Indonesia dengan menggunakan nama C. sebagai imbalan, C akan menerima fee dari A setiap bulannya. Contoh kedua, A dan B sebelum melangsungkan perkawinan telah membuat perjanjian perkawinan. Kemudian di masa perkawinan, B bermaksud untuk membeli property di Indonesia. Mengingat statusnya sebagai WNA yang tidak berhak atas hak milik di Indonesia, maka B membuat perjanjian nominee dengan A. dalam perjanjian tersebut dinyatakan bahwa B menggunakan nama A untuk membeli property di Indonesia, dan kemudian property tersebut digunakan sebagai modal untuk melakukan usaha di Indonesia. Contoh Ketiga, Ny.Andrea, seorang warga Negara Inggris, ingin membeli saham PT.XYZ. dalam proses pembelian saham dimaksud, NY.Andrea
tidak
menggunakan
namanya
sendiri
melainkan
menggunakan nama Tuan Aris sebagai pialangnya. Sebelum dilakukannya proses pembelian saham, antara NY.Andrea sebagai benefical owner dan Tuan Aris sebagai nominee. Bentuk perjanjian nominee antara para pihak tersebut dibuat dalam bentuk loan agreement. Berdasarkan beberapa contoh tersebut diatas, dapat disimpulkan bahwa nominee adalah seseorang yang ditunjuk oleh pihak lain untuk mewakilinya dalam melakukan suatu perbuatan hukum tertentu sesuai
23
dengan kesepakatan para pihak, dan perbuatan hukum yang dilakukan oleh nominee terbatas pada apa yang telah diperjanjikan sebelumnya dengan pihak pemberi kuasa. Hal tersebut sejalan dengan pengertian nominee sebagaimana tercantum dalam Black’s Law Dictionary. Pada dasarnya, perjanjian nominee di Indonesia bukanlah suatu bentuk perjanjian yang melanggar ketentuan dalam hukum perjanjian, meskipun belum diatur secara tegas dan khusus. Namun, apabila materi atau objek yang diperjanjikan oleh para pihak tersebut tidak sesuai dengan ketentuan perundang-undangan yang berlaku di Indonesia, maka hal tersebut dapat menimbulkan permasalahan hukum. Khususnya apabila salah satu pihak melakukan wanprestasi atas kesepakatan bersama dalam perjanjian yang dimaksud. 4. Perbedaan Antara Pemberian Kuasa Pada Umumnya Dengan Perjanjian Nominee Secara impilisit, suatu perjanjian nominee memiliki unsur-unsur sebagai berikut:22 1. adanya perjanjian pemberian kuasa antara dua pihak, yaitu Benefical Owner sebagai pemberi kuasa dan Nominee sebagai penerima kuasa, yang didasarkan pada adanya kepercayaan dari Benefical Owner kepada Nominee. 2. kuasa yang diberikan bersifat khusus dengan jenis tindakan hukum yang terbatas. 22
Purba Natalia Christine, Keabsahan Perjanjian Innominaat Dalam Bentuk Nominee agreement (Depok: Fakultas Hukum Universitas Indonesia, 2006) , h. 45-46.
24
3. Nominee bertindak seakan-akan (as if) sebagai perwakilan dari Benefical Owner di depan hukum. Sekilas terlihat bahwa perjanjian nominee dengan pemberian kuasa pada umumnya adalah sama karena keduanya memerlukan pihak yang berperan sebagai pemberi kuasa dan penerima kuasa. Namun apabila dikaji secara seksama, keduanya merupakan hal yang serupa tetapi tidak sama. Perjanjian nominee dari sifatnya adalah sama dengan perjanjian timbal-balik, dimana para pihak memiliki kewajiban untuk memenuhi prestasi masing-masing pihak yang tercantum di dalam perjanjian. Hal tersebut disebabkan kuasa yang terdapat di dalam perjanjian nominee lebih bersifat last giving, dimana kuasa yang diberikan lebih menekankan kepada pemberian beban perintah kepada si penerima kuasa untuk melaksanakan prestasi yang diperjanjikan. Adapun pemberian kuasa pada umumnya dibuat merupakan perjanjian sepihak yang bersifat volmacht karena hanya memberikan kewenangan pada si penerima kuasa untuk mewakili si pemberi kuasa. Selain itu, dalam pemberian kuasa bersifat volmacht, pihak pemberi kuasa dapat mencabut kuasanya sewaktu-waktu dengan berpedoman pada pasal 1813 – pasal 1819 KUHPerdata.
BAB III PENANAMAN MODAL ASING MENURUT UNDANG-UNDANG PENANAMAN MODAL DAN UNDANG-UNDANG PERSEROAN TERBATAS
A. Undang-Undang Penanaman Modal dan Undang-Undang Perseroan Terbatas 1. Undang-Undang Penanaman Modal Dalam mengatasi perkembangan dunia investasi di Indonesia, pada tahun 2007 lahirlah Undang-Undang Penanaman Modal yang baru, yaitu UndangUndang No. 25 Tahun 2007 Tentang Penanaman Modal (UUPM) menggantikan Undang-Undang No. 1 Tahun 1967 Tentang Penanaman Modal Asing dan Undang-Undang No. 6 Tahun 1968 Tentang Penanaman Modal Dalam Negeri. Dalam Undang-Undang Penanaman Modal yang berlaku sekarang, masalah penanaman modal asing maupun dalam negeri diatur dalam satu kesatuan.23 Lahirnya UUPM ini tidak terlepas dari empat alasan penting yang mendasari keberadaannya, yaitu24: 1) Legal certainty atau kepastian hukum adalah salah satu keharusan untuk datangnya modal asing ke suatu Negara, disamping faktor economy opportunity dan political stability.
23
David Kairupan, Aspek Hukum Penanaman Modal Asing Di Indonesia, h. 11
24
Suparji, Penanaman Modal Asing Di Indonesia – insentif vs. pembatasan, h. 5-
6
25
26
2) System hukum terdiri dari substansi, aparatur dan legal culture. Ketiga unsur tersebut sama peranannya dalam menciptakan predictability, stability, dan fairness. 3) Keanggotan Indonesia dalam World Trade Organization (WTO) telah
menyebabkan
terjadinya
pembauran
undang-undang
penanaman modal Indonesia. 4) Substansi UUPM dan pelaksanaannya harus sebanding dengan UndangUndang Penanaman Modal di Negara-negara pesaing Indonesia dalam hal menarik minat pemodal asing. Pasal 6 ayat (1) UUPM menyebutkan bahwa pemerintah memberikan perlakuan yang sama kepada semua penanam modal yang berasal dari Negara manapun yang melakukan kegiatan penanaman modal di Indonesia sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan. Kemudian dalam pasal 6 ayat (2) UUPM, disbutkan bahwa perlakuan tersebut tidak berlaku bagi penanam modal dari suatu Negara yang memperoleh hak istimewa berdasarkan perjanjian dengan Indonesia. Ketentuan ini merupakan ketentuan yang disesuaikan dengan prinsip yang dianut oleh Trade Related Investment Measures – WTO (TRIMs) Substansi dalam UUPM ini telah sejalan dengan prinsip WTO, yaitu the most favored nations, yaitu suatu ketentuan yang diberlakukan oleh suatu Negara haruslah diperlakukan pula kepada semua Negara anggota WTO. Ketentuan tersebut bertujuan untuk menegakan prinsip non diskriminasi yang dianut oleh WTO. Prinsip non diskriminasi mengharuskan Negara tuan
27
rumah untuk tidak membedakan perlakuan antara penanam modal asing dengan penanam modal dalam negeri25. Substansi baru lainnya dalam UUPM adalah ketentuan tentang tanggung jawab penanam modal, yaitu dalam pasal 16 UUPM, yang berisi sebagai berikut: 1) Menjamin tersedianya modal yang berasal dari sumber yang tidak bertentangan dengan ketentuan perundang-undangan; 2) Menanggung dan menyelesaikan segala kewajiban dan kerugian jika penanam modal menghentikan atau meninggalkan atau menelantarkan kegiatan usahanya secara sepihak sesuai dengan ketentuan perturan perundang-undangan; 3) Menciptakan iklim usaha persaingan yang sehat, mencegah praktik monopoli, dan hal lain yang merugikan Negara; 4) Menjaga kelestarian lingkungan hidup; 5) Menciptakan
keselamatan,
kesehatan,
kenyamanan,
dan
kesejahteraan pekerja; dan 6) Mematuhi semua peraturan perundang-undangan. Berdasarkan ketentuan dalam pasal 16 UUPM tersebut diatas, baik penanam modal asing, maupun penanam modal dalam negeri memiliki tanggung jawab hukum serta kewajiban untuk mentaati hukum Indonesia. 2.
Undang-Undang Perseroan Terbatas
25
J. H. Jack, International Competition In Services: A Constitutional Framework (Washington DC: America Institute For Public Policy Research, 1988), h.27
28
Perseroan terbatas diatur dalam KUHD yang sudah berumur lebih dari seratus Tahun. Selama perjalanan waktu tersebut telah banyak terjadi perkembangan
ekonomi
dan
dunia
usaha,
baik
nasional
maupun
internasional. Hal ini mengakibatkan KUHD tidak sesuai lagi dengan tuntutan perkembangan. Di samping itu, di luar KUHD masih terdapat pula pengaturan badan semacam perseroan terbatas bagi golongan bumiputera sehingga timbul dualism badan hukum perseroan yang berlaku bagi warga Negara Indonesia. Untuk mengatasi hal ini dan untuk memenuhi kebutuhan hukum yang sesuai dengan tuntutan perkembangan dan pembangunan nasional, sudah tiba waktunya untuk mengadakan pembaruan hukum tentang perseroan terbatas. Pada tahun 1995 mulailah babak baru karena pada tanggal 7 maret 1995 diundangkan Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1995 tentang Perseroan Terbatas. Undang-undang ini mencabut ketentuan pasal 36-56 KUHD tentang Perseroan Terbatas dan berikut segala perubahannya terakhir dengan Undang-Undang Nomor 4 Tahun 1971 dan Stb. Nomor 569 dan Nomor 717 Tahun 1939 tentang Ordonansi Maskapai Andil Indonesia. Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1995 terdiri dari 12 bab dengan 129 pasal dan mulai berlaku satu tahun kemudian terhitung sejak tanggal diundangkan. Namun dalam perkembangan berlakunya selama 12 (dua belas) tahun, ketentuan dalam Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1995 tersebut dipandang tidak lagi memenuhi perkembangan hukum dan kebutuhan masyarakat karena keadaan ekonomi serta perkembangan ilmu pengetahuan, teknologi,
29
dan informasi sudah berkembang begitu pesat khususnya pada era globalisasi. Disamping itu, meningkatnya tuntutan masyarakat akan layanan yang cepat, kepastian hukum, serta tuntutan akan perkembangan dunia usaha yang sesuai dengan prinsip pengelolaan perusahaan yang baik (good corporate governance) menuntut penyempurnaan dan penggantian UndangUndnag Nomor 1 Tahun 1995 tentang Perseroan Terbatas. Oleh karena itu, Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1995 disempurnakan dan diganti dengan Undang-Undang Nomor 40 Tahun 2007 tentang Perseroan Terbatas, yang diundangkan melalui Lembaran Negara Nomor 106 Tahun 2007. Undang-Undang ini mulai berlaku pada tanggal diundangkan.26 Terhadap Perseroan Terbatas ini dalam beberapa bahasa disebut sebagai berikut : 1) Dalam bahasa Inggris disebut dengan Limited (Ltd.) Company atau Limited Liability Company ; ataupun Limited (Ltd) Corporation. 2) Dalam bahasa Belanda disebut dengan Naamlooze Vennotschap atau yang sering disingkat dengan NV saja. 3) Dalam bahasa Jerman terhadap perseroan terbatas ini disebut dengan Gesellschaft mit Beschrankter Haftung. 4) Dalam
bahasa
Spanyol
disebut
dengan
Sociedad
De
Responsabilidad Limitada. 27
26
Abdulkadir Muhammad, Hukum Perusahaan Indonesia (Bandung: Citra Aditya Bakti, 2010), cet. 4, h. 104-105 27
Munir Fuady, Perseroan Terbatas Paradigma Baru (Bandung: Citra Aditya Bakti, 2003), h. 4
30
Dalam Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1995 mendefinisikan Perseroan Terbatas yaitu: “Perseroan Terbatas yang selanjutnya disebut perseroan adalah badan hukum yang didirikan berdasarkan perjanjian, melakukan kegiatan usaha dengan modal dasar yang seluruhnya terbagi dalam saham, dan memenuhi persyaratan yang ditetapkan dalam Undang-undang ini serta peraturan pelaksanaannya.” Dari batasan yang diberikan tersebut di atas ada 5 (lima) hal pokok yang dapat kita kemukakan disini :28 1) Perseroan terbatas merupakan suatu badan hukum 2) Didirikan berdasarkan perjanjian 3) Menjalankan usaha tertentu 4) Memiliki modal yang terbagi dalam saham-saham 5) Memenuhi persyaratan Undang –Undang
Sementara itu Undang-Undang Nomor 40 Tahun 2007 Tentang Perseroan Terbatas mendefinisikan: “Perseroan Terbatas, yang selanjutnya disebut Perseroan, adalah badan hukum yang merupakan persekutuan modal, didirikan berdasarkan perjanjian, melakukan kegiatan usaha dengan modal dasar yang seluruhnya terbagi dalam saham dan memenuhi persyaratan yang ditetapkan dalam UndangUndang ini serta peraturan pelaksanaannya.”
28
Ahmad Yani & Gunawan Widjaya, Seri Hukum Bisnis Perseroan Terbatas (Jakarta : Raja Grafindo Persada, 2000), h. 7
31
Undang-undang ini menambahkan hal pokok yang tidak disebutkan dalam Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1995, yaitu merupakan persekutuan modal. Sebagai Konsekuensi dari dianutnya paham yang dianut Undang-Undang Perseroan Terbatas, yang menyatakan PT adalah badan hukum yang didirikan berdasarkan Perjanjian, maka pasal 7 ayat (1) Undang – Undang Perseroan Terbatas mensyaratkan bahwa PT harus didirikan dua orang atau lebih istilah orang di sini bermakna orang perorangan (natural person) atau badan hukum(legal enitity). Dengan demikian pemegang saham PT dapat berupa orang perorangan maupun badan hukum. Syarat sahnya pendirian perseroan, jika diteliti ketentuan yang diatur pada bagian Kesatu dimaksud, terdapat beberapa syarat yang harus dipenuhi supaya pendirian perseroan sah sebagai badan hukum yang terdiri atas: 1) Harus didirikan oleh 2 orang atau lebih; 2) Pendirian Berbentuk Akta Notaris; 3) Dibuat dalam Bahasa Indonesia; 4) Setiap pendiri wajib mengambil saham; dan 5) Mendapat pengesahan dari MENKUM & HAM (Menteri). Dalam Penjelasan Undang-Undang Nomor 42 Tahun 2007 Pasal 7 ayat (1) menerangkan, bahwa, Yang dimaksud dengan “orang” adalah orang perseorangan, baik warga negara Indonesia maupun asing atau badan hukum Indonesia atau asing. Ketentuan dalam ayat ini menegaskan prinsip yang berlaku berdasarkan Undang-Undang ini bahwa pada dasarnya sebagai badan
32
hukum, Perseroan didirikan berdasarkan perjanjian, karena itu mempunyai lebih dari 1 (satu) orang pemegang saham. Mengenai Klasifikasi Perseroan Terbuka yang diatur dalam UUPT 2007, tersurat dan tersirat pada pasal 1 ayat 7 dan pasal 1 ayat 8. Berdasar ketentuan pasal dimaksud, Klasifikasi Perseroan Terbuka, dapat dijelaskan dalam uraian di bawah ini : 1) Perseroan Terbuka 2) Perseroan Publik Klasifikasi Perseroan Terbuka ( Perseroan Tbk), sebagaimana yang dinyatakan pada pasal 1 ayat (7) UUPT 2007, yang berbunyi : Perseroan Terbuka adalah Perseroan publik atau Perseroan yang melakukan penawaran umum saham, sesuai dengan ketentuan peraturan perundang – undangan di bidang pasar modal. Jadi yang dimaksud dengan Perseroan Tbk menurut pasal 1 ayat 7 UUPT 2007, adalah Perseroan Publik yang telah memenuhi ketentuan pasal 1 ayat 22 UU No.8 Tahun 1995 yakni memiliki pemegang saham sekurang – kurangnya 300 (tiga ratus) orang, modal disetor sekurang – kurangnya Rp3.000.000.000,- (tiga miliar rupiah), Perseroan yang melakukan penawaran umum (public offering) saham di Bursa Efek. Maksudnya Perseroan tersebut, menawarkan atau menjual saham atau efeknya kepada masyarakat luas. Hanya Emiten yang boleh melakukan penawaran umum. Menurut Pasal 1 ayat 6 UUPM, Emiten adalah pihak yang melakukan penawaran umum dan penawaran umum baru dapat dilakukan emiten, setelah lebih dulu mendaftar
33
ke Badan Pengawas Pasar Modal (BAPEPAM), sesuai dengan ketentuan pasal 3 UUPM, BAPEPAM berfungsi melakukan pembinaan, pengaturan, dan pengawasan sehari – hari kegiatan pasar modal. BAPEPAM berada di bawah dan bertanggung jawab kepada Menteri Keuangan. Perseroan Publik terdapat pada pasal 1 ayat (8) UUPT 2007, yang berbunyi Perseroan Publik adalah perseroan yang telah memenuhi kriteria jumlah pemegang saham dan modal disetor sesuai dengan ketentuan peraturan. Rujukan peraturan perundang – undangan yang dimaksud pasal 1 angka 8 UUPT 2007 adalah UU No.8 Tahun 1995 tentang Pasar Modal (selanjutnya, UUPM) dalam hal ini pasal 1 ayat 22. Menurut pasal ini, agar Perseroan menjadi Perseroan publik, harus memenuhi kriteria sebagai berikut: 1) Saham Perseroan yang bersangkutan, telah dimiliki sekurang – kurangnya, 300 (tiga ratus) pemegang saham, 2) Memiliki modal disetor (gestort capital, paid up capital) sekurang - kurangnya Rp3.000.000.000,- (tiga miliar rupiah), 3) Atau suatu jumlah pemegang saham dengan jumlah modal disetor yang ditetapkan oleh Peraturan Pemerintah. Faktor yang disebut di ataslah yang menjadi landasan hukum menentukan kriteria suatu Perseroan menjadi Perseroan publik. Apabila pemegang sahamnya telah mencapai 300 (tiga ratus) orang, dan modal disertai mencapai Rp3.000.000.000,- Perseroan tersebut telah memenuhi kriteria sebagai Perseroan publik. Kalau Perseroan yang telah memenuhi kriteria yang disebut
34
diatas, Perseroan itu harus mematuhi ketentuan Pasal 24 UUPT 2007. Menurut pasal ini : 1) Perseroan yang telah memenuhi kriteria sebagai Perseroan Publik, wajib mengubah Anggaran Dasar (AD) menjadi Perseroan Terbuka (Perseroan Tbk), 2) Perubahan AD dimaksud, harus dilakukan dalam jangka waktu 30
hari terhitung sejak terpenuhi kriteria tersebut, 3) Selanjutnya, Direksi Perseroan “wajib” mengajukan pernyataan pendaftaran sesuai dengan ketentuan peraturan perundang – undangan di bidang pasar modal.
B. Penanaman Modal Asing di Indonesia 1. Pengertian Penanaman Modal Istilah penanaman modal atau investasi merupakan istilah yang dikenal dalam kegiatan
bisnis sehari-hari maupun dalam bahasa perundang-
undangan. Istilah investasi merupakan istilah yang populer dalam dunia usaha, sedangkan istilah penanaman modal lazim digunakan dalam perundang-undangan.
Namun
pada
dasarnya
kedua
istilah
tersebut
mempunyai pengertian yang sama, sehingga kadangkala digunakan secara interchangeable.29 Investasi memiliki pengertian yang lebih luas karena dapat mencakup baik investasi langsung (direct investment) maupun investasi tidak langsung 29
Ida Bagus Rachmadi Supancana, Kerangka Hukum & Kebijakan Investasi Langsung di Indonesia (Jakarta: Ghalia Indonesia, 2006), h. 1
35
(portofolio investment), sedangkan dalam penanaman modal lebih memilik konotasi kepada investasi langsung.30 Undang-Undang Nomor 25 Tahun 2007 tentang Penanaman Modal pasal 1 ayat (1), mendefinisikan penanaman modal adalah segala bentuk kegiatan menanam modal, baik oleh penanam modal dalam negeri maupun penanam modal asing untuk melakukan usaha di wilayah Indonesia. Secara umum investasi atau penanaman modal dapat diartikan sebagai suatu kegiatan yang dilakukan baik oleh pribadi (natural person) maupun badan hukum (judicial person) dalam upaya untuk meningkatkan dan/atau mempertahankan nilai modalnya, baik yang berbentuk uang tunai (cash money), peralatan (equipment), aset tidak bergerak, hak atas kekayaan intelektual, maupun keahlian.31 Dari beberapa pengertian diatas, dapat ditarik unsur-unsur terpenting dari kegiatan investasi atau penanaman modal, yaitu: 1) Adanya
motif
untuk
meningkatkan
atau
setidak-tidaknya
mempertahankan nilai modalnya. 2) Bahwa “modal” tersebut tidak hanya mencakup hal-hal yang bersifat
kasat
mata
dan
dapat
diraba
(tangible),
tetapi
jugamencakup sesuatu yang bersifat tidak kasat mata dan tidak dapat
diraba
(intangible).
Intangible
mencakup
keahlian,
30
Dhaniswara K. Harjono, Hukum Penanaman Modal: Tinjauan Terhadap Undang-Undang Nomor 25 Tahun 2007 tentang Penanaman Modal (Jakarta: Raja Grafindo Persada, 2007), h. 10 31
Rokhmatussa’dyah dan Suratman, Hukum Investasi dan Pasar Modal. h. 3
36
pengetahuan jaringan, dan sebagainya yang dalam berbagai kontrak kerja sama (Joint venture agreement) biasanya disebut valuable services.32 Kegiatan investasi penanaman modal pada hakikatnya dapat dibedakan dapat diklasifikasikan menjadi 2 (dua), yaitu sebagai berikut33: 1) Penanaman modal langsung (Direct Investment) atau dikenal juga sebagai penanaman modal jangka panjang 2) Penanaman modal tidak langsung (Indirect Investment) yang lebih dikenal sebagai Portofolio Investment yang pada umumnya merupakan penanaman modal jangka pendek.34 Perbedaan investasi langsung dengan investasi tak langsung adalah sebagai berikut35: 1) Pada investasi tak langsung, pemegang saham tidak memiliki kontrol pada pengelolaan perseroan sehari-hari. 2) Pada investasi tak langsung, biasanya resiko ditanggung sendiri oleh pemegang saham sehingga pada dasarnya tidak dapat mengganggu perusahaan yang menjalankan kegiatannya. 3) Kerugian pada investasi tak langsung, pada umumnya tidak dilindungi oleh hukum kebiasaan internasional.
32
Ida Supancana, Kerangka Hukum & Kebijakan Investasi Langsung di Indonesia, h. 2 33
Endang Purwaningsih, Hukum Bisnis (Bogor: Ghalia Indonesia, 2010), h.259
34
Rokhmatussa’dyah dan Suratman, Hukum Investasi dan Pasar Modal. h. 4-5
35
Endang Purwaningsih, Hukum Bisnis, h. 259-260
37
Investasi atau penanaman modal dalam UU No. 25 Tahun 2007 tentang Penanaman Modal, membagi macam-macam penanaman modal yaitu sebagai berikut36: 1) Penanaman Modal Dalam Negeri 2) Penanaman Modal Asing
2. Penanaman Modal Asing di Indonesia Mengenai definisi atau pengertian tentang penanaman modal asing, dalam pasal 1 Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1967 tentang Penanaman Modal asing, ialah Pengertian penanaman modal asing di dalam Undang-undang ini hanyalah meliputi penanaman modal asing secara langsung yang dilakukan menurut atau berdasarkan ketentuan-ketentuan Undang-undang ini dan yang digunakan untuk menjalankan Perusahaan di Indonesia, dalam arti bahwa pemilik modal secara langsung menanggung reziko dari penanaman modal tersebut. Sedangkan dalam Pasal 1 ayat (6) Undang-Undang Nomor 25 Tahun 2007, dijelaskan bahwa Penanam modal asing adalah perseorangan warga negara asing, badan usaha asing, dan/atau pemerintah asing yang melakukan penanaman modal di wilayah negara Republik Indonesia. Selain itu, dalam Pasal 5 ayat (2) Undang-Undang Nomor 25 Tahun 2007 tentang Penanaman Modal telah ditentukan secara jelas tentang bentuk hukum perusahaan penanaman modal asing. Untuk badan usaha yang
36
Ibid., h. 259
38
berstatus sebagai penanaman modal asing, pembentuk undang-undang mensyaratkan badan usahanya berbentuk hukum Perseroan Terbatas (PT).37 dimana UU itu berbunyi: “penanaman modal asing wajib dalam bentuk perseroan terbatas berdasarkan hukum Indonesia dan berkedudukan di wilayah negara Republik Indonesia, kecuali ditentukan lain oleh undang-undang.”38 Pembahasan mengenai latar belakang investasi, khususnya penanaman modal asing di Indonesia, berkaitan erat dengan sejarah peraturan perundangundangan bidang penanaman modal asing yang pengaturannya sudah sejak lama mendapatkan perhatian dari pemerintah, jauh sebelum masa Orde Baru. Namun hal tersebut belum dapat terlaksana karena pada masa itu berkembang anggapan bahwa masuknya modal asing justru akan menghambat pertumbuhan ekonomi rakyat karena akan memeras bangsa dan sumbersumber kekayaan alam Indonesia. Terlepas dari pendapat pro dan kontra terhadap kehadiran investasi asing, namun secara teoritis kiranya dapat dikemukakan, bahwa kehadiran investor asing di suatu negara mempunyai manfaat yang cukup luas (multiplier effect). Manfaat yang dimaksud, yakni kehadiran investor asing dapat menyerap tenaga kerja di negara penerima modal, dapat menciptakan demand bagi produk dalam negeri sebagai bahan baku, menambah devisa apalagi investor asing yang berorientasi ekspor, dapat menambah penghasilan negara dari
37
Sentosa Sembiring, Hukum Investasi. Pembahasan dilengkapi dengan UndangUndang no 25 Tahun 2007 Tentang Penanaman Modal (Bandung: Nuansa Aulia, 2007), h. 200 38 Salim HS. dan Budi Sutrisno, Hukum Investasi di Indonesia, h. 174.
39
sektor pajak, adanya alih teknologi (transfer of technology) maupun alih pengetahuan (transfer of know how). Dilihat dari sudut pandang ini terlihat bahwa, kehadiran investor cukup berperan dalam pembangunan ekonomi suatu negara, khususnya pembangunan ekonomi di daerah dimana FDI menjalankan aktifitasnya.39 John W. Head mengemukakan tujuh keuntungan investasi, khususnya investasi asing. Ketujuh investasi asing itu adalah:40 1) menciptakan lowongan kerja bagi penduduk negara tuan rumah sehingga mereka dapat meningkatkan penghasilan dan standar hidup mereka; 2) menciptakan kesempatan penanaman modal bagi penduduk negara tuan rumah sehingga mereka dapat berbagi dari pendapatan perusahaan-perusahaan baru; 3) meningkatkan ekspor dari negara tuan rumah, mendapatkan penghasilan tambahan dari luar yang dapat dipergunakan untuk berbagai keperluan bagi kepentingan penduduknya; 4) menghasilkan pengalihan teknis dan pengetahuan yang dapat digunakan oleh penduduk untuk mengembangkan perusahaan dan industri lain; 5) memperluas potensi keswasembadaan negara tuan rumah dengan memproduksi barang setempat untuk menggantikan barang impor; 39
Hendrik Budi Untung, Hukum Bisnis Pasar Modal (Yogyakarta: Andi Publisher, 2011), h. 41-42. 40
Salim HS. dan Budi Sutrisno, Hukum Investasi di Indonesia (Jakarta: Rajawali Pers, 2008), h. 86-87
40
6) menghasilkan pendapatan pajak tambahan yang dapat digunakan untuk berbagai keperluan, demi kepentingan penduduk negara tuan rumah; 7) membuat sumber daya negara tuan rumah baik sumber daya alam maupun sumber daya manusia, agar lebih baik pemanfaatanya dari semula. Arti pentingnya kehadiran investor asing dikemukakan Gunarto Suhardi:41 “investasi langsung lebih baik jika dibandingkan dengan investasi portofolio, karena langsung lebih permanen. Selain itu investasi langsung: 1) memberikan kesempatan kerja bagi penduduk; 2) mempunyai kekuatan penggandaan dalam ekonomi lokal; 3) memberikan residu baik berupa peralatan maupun alih teknologi; 4) apabila produksi diekspor memberikan jalan atau jalur pemasaran yang dapat dirunut oleh pengusaha lokal disamping seketika memberikan tambahan devisa dan pajak bagi negara; 5) lebih tahan terhadap fluktuasi bunga dan valuta asing; 6) memberikan perlindungan politik dan keamanan wilayah karena bila investor berasal dari negara kuat niscaya bantuan keamanan juga akan diberikan.”
Dengan semakin maraknya PMA di Indonesia dan penyebarannya lebih merata di seluruh wilayah jelas akan memberikan kontribusi cukup besar bagi pertumbuhan ekonomi daerah-daerah, khususnya daerah yang relatif belum berkembang. Manfaat ekonomi lainnya dari investasi asing ini adalah, 41
Hendrik Budi Untung, Hukum Bisnis Pasar Modal, h. 42.
41
dimungkinkannya transfer teknologi dari negara asal, peningkatan skala produksi untuk tujuan ekspor, menyerap banyak tenaga kerja, serta mempengaruhi perkembangan sektor-sektor ekonomi lainnya.42 Bagi investor/penanam modal atau yang dalam hal ini Perusahaan Multinasional, manfaat dari kegiatan penanaman modal asing secara langsung (foreign direct investment) yang mereka lakukan pada dasarnya sama dengan alasan mereka untuk melakukan investasi secara langsung tersebut. Sementara bagi negara asal (home country) manfaat dari kegiatan penanaman modal secara langsung (foriegn direct investment) pada dasarnya sama juga dengan motif mereka untuk melakukan investasi secara langsung. Adapun motivasi dari negara maju untuk berinvestasi dapat dikemukakan secara analogi dari hasil penelitian Edward K.Y. Chen sebagai berikut:43 1) Lower cost and rent; 2) Lower labour cost; 3) Diversification of risk; 4) To make fuller use of the technical and production know-how developed or adopted by investee; 5) To avoid or reduce the pressure of competition from other corporation in investee countries; 6) To make use outdated machinery used in the investee corporation; 7) Higher rates of profits; 8) Avalability of higher levels of technology; 42
Bambang Sunggono, Metedologi Penelitian Hukum (Jakarta: PT. Raja Grafindo Persada), h. 38 43
Hendrik Budi Untung, Hukum Bisnis Pasar Modal, h. 30
42
9) Lower capability; 10) Defending the existing market by directly investing there; 11) To build up a vertically integrated structure; 12) To circumvent tariffs and quotas imposed by develop countries; 13) Establishing a subsidiary overseas is similar to investing in financial market overseas; 14) Availability of technical and skilled labour force; 15) Availibility of management manpowert; 16) To open up new markets by directly investing there;
17) Availability of raw materials and or intermediate products. Rancangan Undang-Undang Penanaman Modal Asing untuk pertama kali diajukan pada tahun 1952 pada masa kabinet Ali Sastromidjojo I. Akan tetapi Rancangan Undang-Undang tersebut belum sempat diajukan ke parlemen karena jatuhnya masa kabinet yang bersangkutan. Pada masa kabinet Ali Sastromidjojo II, untuk kedua kalinya Rancangan Undang-Undang Tentang Penanaman Modal Asing kembali diajukan. Namun pengajuan tersebut ditolak oleh pihak parlemen. Kedua Rancangan Undang-Undang tersebut bermaksud untuk mengadakan pembatasan-pembatasan tertentu supaya anggapan yang selama ini negatif di dalam masyarakat terhadap keberadaan modal asing dapat dieliminir44. Pada awalnya, yaitu pada masa orde lama dan awal orde baru, dalam hal penanaman modal atau investasi di bedakan menjadi 2 jenis yaitu penanaman
44
Panjaitan Hulman dan Sianipar Anner Mangatur, Hukum Penanaman Modal Asing (Jakarta: IND-HILL CO, 2003), cet. 1 h. 1.
43
modal dalam negeri dan penanaman modal dalam negeri. Sehingga ini berpengaruh pada peraturan perundang-undangan yang mengatur tentang penanaman modal. Yaitu Undang-undang No. 1 Tahun 1967 tentang Penanaman Modal Asing (UUPMA) dan Undang-Undang No. 6 Tahun 1968 tentang Penanaman Modal Dalam Negeri (UUPMDN).45 Pada kurun waktu tahun 1996 – 1967 sebelum diundangkannya UndangUndang Nomor 1 Tahun 1967, terdapat kekosongan hukum bidang penanaman modal asing. Kemudian berdasarkan amanat TAP MPRS No.XXIII/ MPRS/ 1966 dikeluarkanlah Undang – Undang Nomor 1 Tahun 1967 tentang Penanaman Modal Asing. Dalam kurun waktu dimaksud, keadaan ekonomi Indonesia sangat memprihatinkan dan dari sejarah diketahui bahwa pembangunan nasional yang direncanakan tidak dapat berjalan dengan baik. Memperhatikan kondisi perekonomian nasional yang memprihatinkan, Majelis Permusyawaratan Sementara (MPRS) memutuskan suatu kebijaksanaan perekonomian Indonesia melalui Ketetapan MPRS No.XXIII/ MPRS/ 1966 tentang Pembaharuan Kebijaksanaan Landasan Ekonomi, Keuangan dan Pembangunan, khususnya ketentuan dalam Pasal 9 dan Pasal 1046. Sebelum Indonesia melahirkan Undang – Undang Nomor 1 Tahun 1967 tentang Penanaman Modal Asing, Presiden Soeharto mengemukakan kebijakan dasar untuk menerbitkan Undang – Undang Penanaman Modal
45
David Kairupan, Aspek Hukum Penanaman Modal Asing Di Indonesia (Jakarta: Kencana Prenada Media Group, 2013), h. 11 46
Ibid, h. 2-3.
44
Asing dalam konferensi yang diselenggarakan di Genewa pada tahun 1967, yang antara lain menyatakan47: “We have made a beginning of revamping of our internal economy, seeking top balance the government’s budget, initiate austerity and give market forces a greater role in the allocation of resources. We are only at the beginning and still have to pull cursives uphill for a long way. We realize that foreign aid, foreign technical assistance and foreign private investment by them selves can never make a country viable economy, but their role in a recovery period can be crucial.” Berdasarkan konferensi tersebut, Pemerintah Indonesia menyimpulkan adanya persoalan-persoalan penanaman modal asing, yaitu: “Pertama, kebijaksanaan yang overall mengenai penanaman modal asing dianggap lebih baik daripada unilateral deals yang bersifat ad hoc. Untuk itu perlu adanya jaminan bagi investor asing terhadap perubahan sewenang – wenang dalam peraturan perundang – undangan, terutama yang menyangkut barang – barang impor yang diperlukan bagi produksi. Kedua, jangka waktu berusaha 30 tahun sebagaimana tercantum dalam Undang – undang No.1 Tahun 1967 tentang Penanaman Modal Asing bagi industri yang kapital dan labor intensif seperti dalam mining dan manufacturing dianggap terlalu singkat jika dibandingkan dengan 47
38.
Suparji, Penanaman Modal Asing Di Indonesia – insentif vs. pembatasan, h.
45
resiko
yang
mungkin
terjadi.
Ketiga,
pada
umumnya
penyederhanaan struktur pajak sangat diinginkan investor asing agar dengan mudah dapat membayar pajak secara lumsum (flat company tax rate) dan tidak harus menghitung berbagai macam pajak yang diwajibkan. Oleh karenanya, pajak keuntungan sebesar 60% dianggap terlalu tinggi dan ketentuan undang – undang lalu lintas devisa yang mengizinkan transfer US $ 400 sebulan dianggap terlalu rendah. Keempat, peraturan – peraturan yang wajar diperlakukan untuk memungkinkan hubungan kerja yang baik antara manajemen dan buruh. Kelima, diskriminasi perlakuan terhadap investor asing dibandingkan dengan perusahaan nasional mempunyai akibat yang kurang baik. Keenam, diperlukan ketentuan – ketentuan lebih lanjut mengenai hak atas tanah bagi investor
asing.
Ketujuh,
pelabuhan,
jalan
–
jalan
dan
pengangkutan udara dengan fasilitas yang cukup baik merupakan insentif bagi penanaman modal asing. Kedelapan, diperlukan adanya iklim usaha yang favorable, seperti prosedur yang sederhana dan tidak terlalu banyak instansi yang diberi wewenang untuk memberikan izin penanaman modal asing. Kesembilan, diperlukan adanya peraturan mengenai perusahaan yang lengkap untuk mempermudah para investor asing dalam menjalankan usahanya48.”
48
Ilmar Aminuddin, Hukum Penanaman Modal Asing (Jakarta: Prenada Media,
46
Undang – undang Nomor 1 Tahun 1967 tentang Penanaman Modal Asing pada dasarnya merupakan tindak lanjut dari Ketetapan MPRS No. XXIII/ MPRS/ 1966 tentang Pembaharuan Kebijaksanaan Landasan Ekonomi, Keuangan dan Pembangunan, khususnya Pasal 9 No. XXIII/ MPRS/ 1966 yang menyebutkan bahwa dalam rangka mencapai sasaran pembangunan, maka pemerintah merangsang sebanyak mungkin dana dan tenaga baik di dalam sector pemerintah sendiri maupun dalam sector swasta, baik yang berasal dari dalam negeri maupun luar negeri49. Undang-Undang Penanaman Modal Asing pada dasarnya dibuat dalam rangka memanfaatkan modal asing dalam perekonomian Indonesia dan untuk membuka perekonomian serta menggiatkan kembali dunia usaha. Penanaman modal asing di Indonesia dapat dilakukan oleh pihak asing/perorangan atau badan hukum ke dalam suatu perusahaan yang seratus persen diusahakan oleh pihak asing atau dengan menggabungkan modal asing itu dengan modal nasional. Menurut Ismail Suny ada 3 (tiga) macam kerjasama antara modal asing dengan modal nasional berdasarkan undang-undang penanaman modal asing No. 1 Tahun 1967 yaitu joint venture, joint enterprise dan kontrak karya.50 Dalam hal joint venture para pihak tidak membentuk badan hukum yang
2004), h. 31-33. 49
Suparji, Penanaman Modal Asing Di Indonesia – insentif vs. pembatasan, h.
40. 50
Ismail Suny dan Rochmat Rudiro, Tinjauan dan Pembahasan Undang-Undang Penanaman Modal Asing dan Kredit Luar Negeri, (Jakarta: Pradjna Paramita, 1998),
h. 108.
47
baru, akan tetapi kerjasama semata-mata bersifat kontraktuil, sedangkan dalam joint enterprise terjadi penggabungan modal asing dengan modal nasional ke dalam satu badan hukum Indonesia dan dalam kontrak kerja pihak asing membentuk suatu badan hukum Indonesia dan badan hukum Indonesia ini bekerjasama dengan badan hukum (nasional) Indonesia yang lain. Adapun kebijakan yang diterapkan dalam Undang-Undang No. 1 Tahun 1967 menganut system terbuka dan liberal, dimana undang-undang inimemberikan insentif dan fasilitas kepada para penanam modal asing, yaitu51: Pertama, pasal 9 Undang-Undang Nonmor 1 Tahun 1967 tentang Penanaman Modal Asing menyebutkan bahwa pemilik modal mempunyai wewenang sepenuhnya dimana modalnya ditanam. Di samping itu, perusahaan-perusahaan modal asing juga diijinkan 1untuk mendatangkan dan menggunakan warga Negara asing bagi jabatan-jabatan yang belum dapat diisi dengan tenaga kerja warga Negara Indonesia (Pasal 11 UndangUndang No. 1 Tahun 1967) Kedua, pasal 14 Undang-Undang No. 1 Tahun 1967 tentang Penanaman Modal Asing menyebutkan bahwa, untuk keperluan perusahaanperusahaan modal asing dapat diberikan tanah dengan hak guna bangunan, hak guna usaha, dan hak pakai menurut peraturan perundang-undangan yang berlaku. 51
41-46
Suparji, Penanaman Modal Asing Di Indonesia – insentif vs. pembatasan, h.
48
Ketiga, Undang-Undang No. 1 Tahun 1967 tentang Penanaman Modal Asing juga mennyediakan insentif berupa kelonggaran perpajakan. Pasal 15 menyebutkan bahwa, penanaman modal asing diberikan pembebasan dari pajak perseroan atas keuntungan untuk jangka waktu tertentu yang tidak melebihi jangka waktu 5 (lima) tahun terhitung dari saat usaha mulai berproduksi , pembebasan pajak devisa atas bagian laba yang dibayarkan kepada pemegang saham dengan syarat laba tersebut diperoleh dalam waktu yang tidak melebihi waktu 5 (lima) tahun terhitung dari saat usaha mulai berproduksi, pembebasan pajak perseroan atas keuntungan yang ditanam dalam perusahaan bersangkutan di Indonesia untuk jangka waktu tertentu yang tidak melebihi jangka waktu 5 (lima) tahun terhitung dari saat penanaman modal kembali, pembebasan bea masuk pada waktu perusahaan barang-barang perlengkapan tetap kedalam wilayah Indonesia dan bea materai modal atas penempatan modal yang berasal dari penanaman modal asing. Selain itu, Undang-Undang No. 1 Tahun 1967 tentang Penanaman Modal Asing juga menyediakan keringanan atas pengenaan pajak perseroan dengan suatu tarif yang proporsional dan setinggi-tingginya 50% untuk jangka waktu yang tidak melebihi 5 (lima) tahun sudah jangka waktu pembebasan, dengan cara memperhitungkan kerugian yang diderita selama jangka waktu pembebasan dan dengan mengizinkan penyusutan yang dipercepat atas alat-alat perlengkapan tetap. Fasilitas di bidang perpajakan tersebut diubah dengan Undang-Undang
49
No. 11 Tahun 1970 Tentang perubahan dan tambahan Undang-Undang No. 1 Tahun 1967 tentang Penanaman Modal Asing. Keempat, perusahaan penanam modal asing diberikan insentif berupa hak transfer sebagaimana disebutkan dalam pasal 19 Undang-Undang No. 1 Tahun 1967 tentang Penanaman Modal Asing, yaitu bahwa kepada perusahaan modal asing diberikan hak transfer dalam valuta asing.dari modal atas dasar nilai tukar yang berlaku untuk keuntungan yang diperoleh
modal
sesudah
dikurangi
pajak-pajak
dan
kewajiban
pembayaran lain di Indonesia serta biaya-biaya yang berhubungan dengan tenaga asing yang dipekerjakan di Indonesia. Kelima, Undang-Undang No. 1 Tahun 1967 tentang Penanaman Modal Asing memberikan jaminan tidak ada nasionalisasi dan pemberian kompensasi jika ada nasionalisasi, sebagaimana diatur dalam pasal 21 dan pasal 22 ayat (1). Keenam, penyelesaian sengketa diserahkan kepada arbitrase internasional. Hal ini menunjukan bahwa Indonesia tidak bersikap subjektif apabila terjadi sengketa dengan penanam modal asing. Tindak lanjut dari ketentuan
ini,
Pemerintah
Indonesia
telah
meratifikasi
kenvensi
International Centre for Settlement of Investment Disputes (ICSID) dengan Undang-Undang No. 5 Tahun 1968 tentang penyelesaian perselisihan antara negara dan warga negara asingmengenai penanaman modal.
50
Di samping menegenai insentif bagi para penanam modal asing, UndangUndang No. 1 Tahun 1967 Tentang Penanaman Modal Asing juga mengatur pembatasan-pembatasan terhadap modal asing, yaitu52: 1) Ketentuan pasal 3 ayat (1) Undang-Undang No. 1 Tahun 1967 Tentang Penanaman Modal Asing menyebutkan bahwa kegiatan penanaman modal dijalankan melalui perusahaan badan hukum yang berkedudukan di Indonesia, dan selanjutnya pemerintah akan menetapkan apakah suatu perusahaan dijalankan untuk seluruhnya atau bagian terbesar di Indonesia sebagai kesatuan perusahaan. Berdasarkan ketentuan pasal 3 ayat (1) ini Undang-Undang No. 1 Tahun 1967 terlihat dua materi pokok yang dapat dijadikan dasar untuk menentukan status hukum dari perusahaan penanam modal asing, yaitu kesatuan perusahaan yang tersendiri. Hal ini berarti bahwa perusahaan yang didirikan di Indonesia dalam rangka penanaman modal asing di Indonesia adalah perusahaan baru yang berdiri sendiri dan atau terlepas dari perusahaan prinsipial yang ada diluar negeri maupun dalam negeri. Selain itu perusahaan baru yang dibentuk secara khusus itu didirikan menurut hukum yang berlaku di Indonesia dan oleh sebab itu perusahaan tersebut merupakan Badan Hukum Indonesia. Secara aspek teoritis Hukum Perdata Intersional, ketentuan pasal 3 tersebut menganut doctrine of the place of incorporation. Sementara dalam praktek di beberapa
52
Ibid, h. 46-48
51
Negara, status hukum Negara penerima lazim pula ditemui pada perusahaan-perusahaan cabang milik asing di luar negeri.53 2) Ketentuan pasal 5 ayat (1) Undang-Undang No. 1 Tahun 1967 Tentang Penanaman Modal Asing menyebutkan bahwa semua bidang usaha terbuka bagi kegiatan penanama modal asing kecuali yang dinyatakan tertutup atau terbuka dengan persyaratan. Sector yang dinyatakan tertutup adalah sektor tersebut menguasai hajat hidup orang banyak atau menduduki peranan penting bagi pertahanan Negara. 3) Perusahaan-perusahaan
modal
asing
diwajibkan
untuk
menggunakan tenaga kerja Indonesia sebanyak mungkin kecuali apabila jabatan-jabatan yang diperlukan belum dapat diisi dengan tenaga kerja Indonesia, dapat digunakan tenaga ahli WNA. Selain itu perusahaan-perusahaan modal asing juga berkewajiban menyelenggarakam dan/atau menyediakan fasilitas-fasilitas latihan dan pendidikan bagi WNI 4) Jangka waktu izin perusahaan penanaman modal asing dibatasi. Hal ini terlihat pada pasal 18 Undang-Undang No. 1 Tahun 1967 Tentang Penanaman Modal Asing. Disamping itu, perusahaan penanam
modal
asing juga diwajibkan
untuk
melakukan
pembukuan tersendiri dari modal asing dan tiap tahun diwajibkan
53
Sunaryati Hartono, Hukum Ekonomi Pembangunan Indonesia (Bandung: Binacipta, 1982), h. 116.
52
untuk menyampaikan kepada pemerintah suatu ikhtisiar dari modal asingnya. 5) Perusahaan penanam modal asing diwajibkan memberikan partisipasi bagi modal nasional (pasal 27 Undang-Undang No. 1 Tahun 1967 Tentang Penanaman Modal Asing). Undang-Undang Nomor 25 Tahun 2007 tentang Penanaman Modal memberikan ketentuan terhadap investor asing yang akan menanamkan modalnya (melakukan kegiatan usaha) di Indonesia harus mendirikan badan usaha yang berbentuk perseroan terbatas (PT), juga karena para usahawan itu sendiri yang memilih untuk mendirikan badan usaha yang berbentuk perseroan terbatas (PT) dalam melakukan aktivitas usahanya. Pemilihan itu tentunya bukan tidak beralasan karena PT sebagai bentuk badan usaha dirasa mempunyai kelebihan dibanding badan usaha lainnya.54
54
Agus Budiarto, Kedudukan Hukum Dan Tanggung Jawab Pendiri Perseroan Terbatas (Jakarta: Ghalia Indonesia,2002), h. 13
BAB IV TINJAUAN HUKUM PERJANJIAN NOMINEE TERHADAP PEMBERIAN KUASA PENANAM MODAL ASING DALAM KEPEMILIKAN SAHAM PERSEROAN TERBATAS A. Praktik Perjanjian Nominee di Indonesia Allah SWT berfirman dalam surat An-Nisaa Ayat 29 :
55
Hai orang-orang yang beriman, janganlah kamu saling memakan harta sesamamu dengan jalan yang batil, kecuali dengan jalan perniagaan yang Berlaku dengan suka sama-suka di antara kamu. dan janganlah kamu membunuh dirimu[287]; Sesungguhnya Allah adalah Maha Penyayang kepadamu.(QS : An-nisa : Ayat 29 ) Ayat ini menerangkan hukum transaksi secara umum, lebih khusus kepada transaksi perdagangan, bisnis jual beli. Sebelumnya telah diterangkan transaksi muamalah yang berhubungan dengan harta, seperti harta anak yatim, mahar, dan sebagainya. Dalam ayat ini Allah mengharamkan orang beriman untuk memakan, memanfaatkan, menggunakan, (dan segala bentuk transaksi lainnya) harta orang lain dengan jalan yang batil, yaitu yang tidak dibenarkan oleh syari’at. Kita boleh melakukan transaksi terhadap harta orang lain dengan jalan perdagangan dengan asas saling ridha, saling ikhlas. Dan dalam ayat ini Allah juga melarang untuk bunuh diri, baik membunuh diri sendiri maupun saling membunuh. Dan Allah 55
AL-Qur’an Terjemahan Departemen agama
53
54
menerangkan semua ini, sebagai wujud dari kasih sayang-Nya, karena Allah itu Maha Kasih Sayang kepada kita kegiatan penanaman modal asing disuatu negara dibatasi oleh peraturanperaturan dari negara asal investor asing tersebut (governance by the home nation), negara tuan rumah di mana investor asing menanamkan modalnya (governance by the host nation) dan juga hukum internasional yang terkait (governance by multi nation organization and international law).56 Pengaturan pembatasan-pembatasan dibidang penanaman modal asing oleh negara tuan rumah pada dasarnya merupakan kewenangan negara tersebut yang berasal dari kedaulatannya (sovereignty).57 Namun demikian kedaulatan negara tuan rumah tersebut juga dibatasi oleh hukum internasional termasuk konvensi-konvensi internasional dimana negara tersebut menjadi pesertanya, seperti kesepakatan World Trade Organization di bidang Trade Related Investment Measures.58 Di Indonesia, pembatasan-pembatasan tersebut dimanifestasikan antara lain melalui pengaturan daftar bidang-bidang usaha yang terbuka dengan persyaratan di bidang penanaman modal atau sering disebut sebagai investment negative list atau daftar negatif investasi (negative list). Sesuai dengan ketentuan pasal 12 UU No 25 Tahun 2007 Tentang Penanaman Modal, maka Pemerintah mengeluarkan Peraturan Presiden yang 56
Ralph H. Folsom, dkk, Principles of International Buisness Transactions, Trade, & Economic Relations (St. Paul: Thomson West, 2005), h. 557 57
M. Sornarajah, The International (Cambridge:Cambridge University Press, 2004), h. 97 58
Law
of
Foreign
Investment
David Kairupan, Aspek Hukum Penanaman Modal Asing Di Indonesia, h. 65
55
mengatur kriteria dan persyaratan bidang usaha yang tertutup dan yang terbuka dengan persyaratan, yaitu Peraturan Presiden Nomor 76 Tahun 2007 tentang Kriteria Dan Persyaratan Penyusunan Bidang Usaha yang Tertutup dan Bidang Usaha yang Terbuka dengan Persyaratan di Bidang Penanaman Modal. Sedangkan untuk negative list Pemerintah Peraturan Presiden Nomor 77 Tahun 2007 tentang Daftar Bidang Usaha yang Tertutup dan Bidang Usaha yang Terbuka dengan Persyaratan di Bidang Penanaman Modal. 59 Peraturan Presiden No 77 Tahun 2007 yang memuat negative list pada saat baru lahirnya UU Penanaman Modal pada tahun 2007 mengatur bahwa Peraturan Presiden Tersebut berlaku tiga tahun sejak diundangkan atau apabila dipandang perlu dapat ditinjau sesuai kebutuhan dan perkembanagan keadaan. Dalam kenyataannya dalam kurun waktu kurang dari setengah tahun sejak berlakunya Perpres 77/2007 tersebut, Peraturan Presiden Tersebut telah diubah berdasarkan Perpres No. 111 Tahun 2007 tentang Perubahan atas Peraturan Presiden Nomor 77 Tahun 2007 tentang Daftar Bidang Usaha yang Tertutup dan Bidang Usaha yang Terbuka dengan Persyaratan di Bidang Penanaman Modal. Negative list sebagaimana diatur dalam Perpres No.77/2007 juncto Perpres 111/2007 pada akhirnya diubah kembali pada tahun 2010 berdasarkan Peraturan Presiden Nomor 36 Tahun 2010 tentang Daftar Bidang Usaha yang
59
Ibid., h. 68-69
56
Tertutup dan Bidang Usaha yang Terbuka dengan Persyaratan di Bidang Penanaman Modal yang mencabut Perpres 77/2007 dan Perpres 111/2007.60 Adapun
pembatasan-pembatasan
yang dilakukan
oleh
pemerintah
Indonesia antara lain sebagai berikut61: 1) Menetapkan Bidang-Bidang Usaha yang Tertutup untuk Kegiatan Penanaman Modal Asing 2) Penetapan Persyaratan Investasi Minimal Bagi Perusahaan Penanam Modal Asing 3) Keharusan
Membentuk
Perusahaan
Patungan
Di
Bidang
Penanaman Modal Asing 4) Keharusan untuk Melakukan Divestasi 5) Pembatasan Mengenai Jangka Waktu Investasi 6) Pembatasan atas Hak-Hak atas Tanah. Dalam pasal 5 Peraturan Presiden Nomor 76 Tahun 2007, dijelaskan bahwa, dalam menentukan bidang usaha yang tertutup, dan terbuka dengan persyaratan menggunakan prinsip-prinsip dasar sebagai berikut: 1) Penyederhanaan 2) Kepatuhan terhadap perjanjian atau komitmen internasional 3) Transparansi 4) Kepastian hukum 5) Kesatuan wilayah Indonesia sebagai pasar tunggal.
60
Ibid., h. 69-70
61
Rokhmatussa’dyah dan Suratman, Hukum Investasi dan Pasar Modal. h. 67-69.
57
Kemudian dalam pasal 6 Perpres Nomor 76 Tahun 2007, dijelaskan bahwa yang dimaksud dengan: 1) Prinsip penyederhanaan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 5 angka 1 adalah bahwa bidang usaha yang dinyatakan tertutup dan bidang usaha yang terbuka dengan persyaratan, berlaku secara nasional dan bersifat sederhana serta terbatas pada bidang usaha yang terkait dengan kepentingan nasional sehingga merupakan bagian kecil dari keseluruhan ekonomi dan bagian kecil dari setiap sektor dalam ekonomi. 2) Prinsip kepatuhan terhadap perjanjian atau komitmen internasional sebagaimana dimaksud dalam Pasal 5 angka 2 adalah bahwa bidang usaha yang dinyatakan tertutup dan terbuka dengan persyaratan tidak boleh bertentangan dengan kewajiban Indonesia yang termuat dalam perjanjian atau komitmen internasional yang telah diratifikasi. 3) Prinsip transparansi sebagaimana dimaksud dalam Pasal 5 angka 3 adalah bahwa bidang usaha yang dinyatakan tertutup dan terbuka dengan persyaratan harus jelas, rinci, dapat diukur, dan tidak multitafsir serta berdasarkan kriteria tertentu. 4) Prinsip kepastian hukum sebagaimana dimaksud dalam Pasal 5 angka 4 adalah bahwa bidang usaha yang dinyatakan tertutup dan terbuka dengan persyaratan tidak dapat diubah kecuali dengan Peraturan Presiden.
58
5) Prinsip kesatuan wilayah Indonesia sebagai pasar tunggal sebagaimana dimaksud dalam Pasal 5 angka 5 adalah bahwa bidang usaha yang dinyatakan tertutup dan terbuka dengan persyaratan tidak menghambat kebebasan arus barang, jasa, modal, sumber daya manusia dan informasi di dalam wilayah kesatuan Republik Indonesia. Mengenai Kriteria Bidang Usaha Yang Tertutup, diatur di dalam Perpres Nomor 76 Tahun 2007 Pasal 8-10, yaitu: Bidang usaha yang tertutup untuk penanaman modal, baik asing maupun dalam negeri ditetapkan dengan berdasarkan kriteria kesehatan, keselamatan, pertahanan dan keamanan, lingkungan hidup dan moral/budaya (K3LM) dan kepentingan nasional lainnya. Kriteria K3LM sebagaimana dimaksud dalam Pasal 8 dapat dirinci antara lain : 1) memelihara tatanan hidup masyarakat; 2) melindungi keaneka ragaman hayati; 3) menjaga keseimbangan ekosistem; 4) memelihara kelestarian hutan alam; 5) mengawasi penggunaan Bahan Berbahaya Beracun; 6) menghidari pemalsuan dan mengawasi peredaran barang dan/atau jasa yang tidak direncanakan; 7) menjaga kedaulatan negara, atau 8) menjaga dan memelihara sumber daya terbatas.
59
Bidang usaha yang dinyatakan tertutup berlaku secara nasional di seluruh wilayah Indonesia baik untuk kegiatan penanaman modal asing maupun untuk kegiatan penanaman modal dalam negeri. Sedangkan untuk hal bidang usaha yang terbuka dengan persyaratan diatur di dalam Perpres Nomor 76 Tahun 2007 Pasal 12, yaitu: 1) Bidang usaha yang terbuka dengan persyaratan terdiri dari : a. Bidang usaha yang terbuka dengan persyaratan perlindungan dan pengembangan terhadap UMKMK. b. Bidang usaha yang terbuka dengan syarat kemitraan. c. Bidang usaha yang terbuka berdasarkan kepemilikan modal. d. Bidang usaha yang terbuka berdasarkan persyaratan lokasi tertentu. e. Bidang usaha yang terbuka berdasarkan persyaratan perizinan khusus. 2) Bidang usaha yang terbuka sebagaimana dimaksud pada ayat 1 huruf a hanya dapat dilakukan berdasarkan pertimbangan kewajaran dan kelayakan ekonomi untuk melindungi UMKMK. 3) Bidang usaha yang terbuka sebagaimana dimaksud pada ayat 1 huruf b, terdiri atas bidang usaha yang dicadangkan dan bidang usaha yang tidak dicadangkan dengan pertimbangan kelayakan bisnis.
60
4) Bidang usaha yang terbuka sebagaimana dimaksud pada ayat 1 huruf c memberikan batasan kepemilikan modal bagi penanam modal asing. 5) Bidang usaha yang terbuka sebagaimana dimaksud pada ayat 1 huruf d memberikan pembatasan wilayah administratif untuk penanaman modal. 6) Bidang usaha yang terbuka sebagaimana dimaksud pada ayat 1 huruf
e
dapat
berupa
rekomendasi
dari
instansi/lembaga
pemerintah atau non pemerintah yang memiliki kewenangan pengawasan terhadap suatu bidang usaha termasuk merujuk ketentuan peraturan perundangan yang menetapkan monopoli atau harus bekerjasama dengan Badan Usaha Milik Negara,
dalam
bidang usaha tersebut. 7) Persyaratan yang diberikan kepada penanam modal untuk dapat memulai beroperasi/berproduksi komersial yang bersifat teknis dan yang non teknis diatur dalam Pedoman Tata-cara Perizinan Bidang Usaha yang ditetapkan oleh Menteri Teknis/pimpinan lembaga yang memiliki kewenangan terkait dengan bidang usaha tersebut. Mengenai hal batasan kepemilikan modal asing, diatur dalam pasal 5 sampai pasal 7 Perturan Presiden Nomor 36 Tahun 2010, antara lain: Dalam hal terjadi perubahan kepemilikan modal akibat penggabungan, pengambilalihan, atau peleburan dalam perusahaan penanaman modal yang bergerak di bidang usaha yang sama, berlaku ketentuan sebagai berikut:
61
a. Batasan kepemilikan modal penanam modal asing dalam perusahaan penanaman modal yang menerima penggabungan adalah sebagaimana yang tercantum dalam surat persetujuan perusahaan tersebut. b. Batasan kepemilikan modal penanam modal asing dalam perusahaan penanaman modal yang mengambil alih adalah sebagaimana tercantum dalam surat persetujuan perusahaan tersebut. c. Batasan kepemilikan modal penanam modal asing dalam perusahaan baru hasil peleburan adalah sebagaimana ketentuan yang berlaku pada saat terbentuknya perusahaan baru hasil peleburan dimaksud.
Dalam hal penanaman modal asing melakukan perluasan kegiatan usaha dalam bidang usaha yang sama dan perluasan kegiatan usaha tersebut membutuhkan penambahan modal melalui penerbitan saham dengan hak memesan efek terlebih dahulu (rights issue) dan penanam modal dalam negeri tidak dapat berpartisipasi dalam penambahan modal tersebut, maka berlaku ketentuan mengenai hak mendahului bagi penanam modal asing, sesuai dengan ketentuan peraturan perundangundangan di bidang perseroan terbatas. Dalam hal penambahan modal sebagaimana dimaksud pada ayat
(1)
mengakibatkan jumlah kepemilikan modal asing melebihi batasan maksimum
62
yang tercantum dalam Surat Persetujuan, maka dalam jangka waktu 2 (dua) tahun, kelebihan jumlah kepemilikan modal asing tersebut harus disesuaikan dengan batas maksimum yang tercantum dalam surat persetujuan, melalui cara: a. Penanam modal asing menjual kelebihan saham yang dimilikinya kepada penanam modal dalam negeri; b. Penanam modal asing menjual kelebihan sahamnya melalui penawaran umum yang dilakukan oleh perusahaan yang sahamnya dimiliki oleh penanam modal asing tersebut pada pasar modal dalam negeri; atau c. Perusahaan sebagaimana dimaksud pada ayat (2) huruf b membeli kelebihan jumlah saham yang dimiliki penanam modal asing tersebut dan diperlakukan sebagai treasury stocks, dengan memperhatikan Pasal 37 Undang-Undang Nomor 40 Tahun 2007 tentang Perseroan Terbatas. Walaupun pemerintah telah banyak mengeluarkan peraturan yang membatasi Penanaman modal Asing, namun seringkali ditemukan praktik kepemilikan modal atau saham secara nominee dalam suatu perusahaan di Indonesia, untuk mengatasi pembatasan-pembatasan tersebut. Sebagaimana diketahui hukum di Indonesia pada dasrnya tidak mengenal konsep trust atau trustee sebagaimana dikenal dalam system hukum common law. Dalam system Hukum di Indonesia tidak dikenal perbedaan antara beneficial owner dan legal owner, walaupun dalam beberapa hal khususnya
63
dalam penitipan kolektif sebagaimana diatur dalam pasal 56 Undang-Undang Pasar Modal atau praktik pasar modal lainnya seperti “wali amanat” dalam penerbitan obligasi, konsep trustee tersebut sebenarnya sudah dikenal dalam peraturan perundang-undangan dibidang pasar modal.62 Penggunaan konsep nominee yang dapat ditemukan dalam beberapa transaksi bisnis, antara lain dalam kepemilikan saham (nominee shareholder) oleh pihak asing, kepemilikan tanah oleh Warga Negara Asing dengan status hak milik di Indonesia, serta penunjukan seseorang untuk menjabat sebagai direktur dari perusahaan (nominee director). Latar belakang dari penggunaan konsep nominee dalam kepemilikan saham oleh pihak asing adalah untuk mencari jalan keluar dari pembatasanpembatasan yang ditetapkan oleh Pemerintah. Pihak asing yang menunjuk pihak Indonesia sebagai nominee tentunya memiliki kepentingan komersial tertentu,
yaitu
untuk
mendapatkan
keuntungan-keuntungan
dengan
melakukan investasi dalam bidang usaha yang tertutup bagi investasi di Indonesia. Dengan tujuan untuk kepentingan komersial tersebut, pihak asing memiliki keinginan untuk tidak diketahui oleh khalayak umum ataupun pemerintah Indonesia sebagai pihak yang sebenarnya memiliki saham. Dengan menggunakan konsep nominee, maka nama dan identitas dari pemilik saham yang sebenarnya akan dapat dirahasiakan dari khalayak umum dan pemerintah Indonesia karena nama dan identitas yang tercatat sebagai
62
Felix Oentoeng Soebagjo, Hukum Tentang Akuisisi Perusahaan di Indonesia (Jakarta: Pusat Pengkajian Hukum, 2006), h.17
64
pemilik dari saham tersebut adalah nama dan identitas dari pihak nominee yang ditunjuk. Di dalam Pasal 13 ayat (2) UUPM telah ditentukan daftar bidang usaha tertutup bagi investasi, baik investasi domestik maupun investasi asing yang meliputi: 1) produksi senjata; 2) mesiu; 3) alat peledak; 4) peralatan perang; dan 5) bidang usaha yang dinyatakan eksplisit tertutup berdasarkan undang-undang (Pasal 13 ayat (2) Undang-Undang Nomor 25 Tahun 2007 tentang Penanaman Modal).63 Penggunaan nominee dalam kepemilikan saham oleh pihak asing dan kepemilikan tanah oleh Warga Negara Asing mempunyai tujuan yang hampir sama, yaitu untuk mengatasi pembatasan-pembatasan yang ditetapkan oleh pemerintah Indonesia. Secara garis besar dapat dilihat bahwa tujuan dari penggunaan nominee dalam kepemilikan saham oleh pihak asing dan kepemilikan tanah oleh Warga Negara Asing adalah agar nama dan identitas dari pihak beneficiary tidak diketahui oleh khalayak umum dan pemerintah. Penggunaan nominee dalam pengelolaan perusahaan oleh Direktur Nominee hampir memiliki tujuan yang sama juga dengan kepemilikan saham oleh pihak asing dan kepemilikan tanah oleh Warga Negara Asing, yaitu agar
63
Salim. dan Sutrisno, Hukum Investasi di Indonesia, hlm. 54.
65
nama dan identitas diri dari pihak yang sesungguhnya mengendalikan perusahaan tidak diketahui oleh khalayak umum. Hal ini dapat disebabkan karena adanya antipati ataupun respon negatif dari masyarakat terhadap figur pihak tertentu, sehingga untuk menghindari hal tersebut diperlukan penggunaan nominee dalam direksi perusahaan. Pihak yang mendapai respon negatif akan menunjuk seseorang untuk menjadi Direktur Nominee perusahaan. Direktur Nominee seolah-olah melakukan tindakan pengelolaan perusahaan, namun sebenarnya setiap tindakan yang dilakukan ataupun kebijakan yang ditetapkan oleh Direktur Nominee atas perusahaan harus berdasarkan perintah beneficiary. Pihak yang pada umumnya menjadi beneficiary adalah para pemegang saham mayoritas dari perusahaan yang bersangkutan . Dengan demikian dapat disimpulkan bahwa penggunaan konsep nominee baik dalam kepemilikan saham oleh pihak asing, kepemilikan tanah oleh Warga Negara Asing dan kepengurusan perusahaan oleh Direktur Nominee memiliki tujuan yang sama, yaitu untuk menjaga kerahasiaan nama dan identitas asli dari pihak yang memiliki benda tersebut (saham, tanah atau wewenang pengelolaan perusahaan) dari khalayak umum dan pemerintah Indonesia, sehingga pihak yang diakui dan memiliki kedudukan secara hukum adalah pihak nominee. Tujuan lain yang tentunya ingin dicapai dalam penggunaan nominee adalah untuk menghindari pembatasan-pembatasan yang ditetapkan oleh pemerintah Indonesia sebagaimana dinyatakan dalam peraturan perundang-undangan yang berlaku.
66
Praktik nominee yang diketahui oleh umum ialah antara lain, nominee arrangement, nominee agreement, dan nominee statement. Praktik nominee arrangement antara pricipal Investor dengan nominee shareholder biasanya dilakukan berdasarkan seperangkat dokumen dan perjanjian yang dikenal secara umum dalam pranata hukum Indonesia, seperti perjanjian kredit, perjanjian gadai saham, perjanjian cessi, dan surat kuasa. Oleh karenanya dalam
praktik,
principal
investor
dan
nominee
shareholder
tidak
menandatangani nominee agreement atau nominee statement, melainkan melakukan nominee arrangement. Berikut adalah penjelasan mengenai perjanjian dalam rangka nominee arrangement yang sering dilakukan di Indonesia: 1) Perjanjian kredit antara principal investor selaku kreditur dan nominee shareholder di mana perjanjian tersebut akan digunakan oleh debitur untuk membayar setoran modal saham pada perusahaan yang dimaksud; 2) Perjanjian gadai saham antara principal investor selaku penerima gadai (pledgee) dengan nominee shareholder (pledgor), dimana saham yang diterbitkan atas setoran yang dilakukan dengan menggunakan uang pinjaman tersebut digadaikan oleh nominee shareholder kepada principal investor; 3) Perjanjian cessi atas deviden antara principal investor dengan nominee shareholder, dimana hak atas deviden yang dibagikan
67
oleh perusahaan kepada nominee shareholder selaku pemegang saham dialihkan kepada principal investor; 4) Surat kuasa mutlak untuk RUPS di mana nominee shareholder selaku pemegang saham pada perusahaan tersebut memberikan kuasa mutlak kepada principal investor untuk dapat meminta diadakannya RUPS, menghadiri dan mengeluarkan suara dalam RUPS perusahaan yang bersangkutan. 5) Surat Kuasa Mutlak untuk menjual saham yang diberikan oleh nominee shareholder kepada principal investor, dimana dalam hal terjadi kejadian tertentu principal investor dapat menjual sahamsaham yang dimiliki oleh nominee shareholder. Selain dokumen-dokumen diatas nominee arrangement sering juga dilengkapi dengan dokumen-dokumen lainnya seperti option agreement, perjanjian kredit dengan perusahaan yang dijadikan target dengan dilengkapi dengan jaminan berupa aset yang dimiliki oleh perusahaan yang bersangkutan.64
B. Tinjauan Hukum Perjanjian Nominee Terhadap Pemberian Kuasa Penanam Modal Asing Dalam Kepemilikan Saham Perseroan Terbatas Dalam pasal 33 ayat (1) dan (2) Undang-Undang Nomor 25 Tahun 2007, diatur bahwa:
64
93
David Kairupan, Aspek Hukum Penanaman Modal Asing Di Indonesia, h. 92-
68
1) Penanam modal dalam negeri dan penanam modal asing yang melakukan penanaman modal dalam bentuk perseoran terbatas dilarang
membuat
perjanjian
dan/atau
pernyataan
yang
menegaskan bahwa kepemilikan saham dalam perseroan terbatas untuk dan atas nama orang lain. 2) Dalam hal penanam modal dalam negeri dan penanam modal asing membuat perjanjian dan/atau pernyataan sebagaimana dimaksud pada ayat (1), perjanjian dan/atau pernyataan itu dinyatakan batal demi hukum. Penjelasan ayat (1) pasal 33 UU Penanaman Modal tersebut menegaskan bahwa tujuan pengaturan ayat ini adalah menghindari terjadinya perseroan yang secara normative dimiliki seseorang, tetapi secara materi atau substansi pemilik perseroan tersebut adalah orang lain.65 Dan dalam pasal 33 ayat (1) ini jelas dan tegas bahwa nominee agreement dan/atau nominee statement dilarang untuk dilakukan oleh penanam modal dala negeri dan penanam modal asing. Apabila dianalisis ketentuan pasal 33 ayat (1) dan (2) UU Penanaman Modal
tersebut
merupakan
penegasan
bahwa
nominee
agreement/documentation tidak dikenal dalam sistem hukum Indonesia, dimana pembedaan antara legal/registered owner dan beneficial owner tidak dipisahkan dalam sistem hukum Indonesia.66
65 66
Ibid., h. 91 Ibid., h. 91
69
Dalam hal pemberian kuasa berupa Surat Kuasa Mutlak terhadap penanam modal asing, yang mana merupakan salah satu bentuk dari nominee arrangement, bukan nominee agreement atau nominee statement, maka pemberian kuasa ini adalah tidak bertentangan dengan pasal 33 UU Penanaman Modal. Namun
demikian
keabsahan
nominee
arrangement
tentu
dapat
dipertanyakan apabila ditinjau dari Pasal 1320 KUHPer yang mengatur tentang syarat-syarat sahnya suatu perjanjian, yaitu: 1) Adanya kesepakatan untuk mengikatkan diri; 2) Adanya kecakapan untuk membuat suatu perikatan; 3) Adanya suatu hal tertentu; dan 4) Adanya suatu sebab yang halal atau sah. Dua persyaratan pertama apabila tidak terpenuhi, mengakibatkan perjanjian “dapat dibatalkan” (voidable) sedangkan dua persyaratan terakhir apabila tidak terpenuhi mengakibatkan suatu perjanjian menjadi batal demi hukum (null and void).67 Dapat dibatalkan artinya salah satu pihak dapat memintakan pembatalan itu. Perjanjiannya sendiri tetap mengikat kedua belah pihak, selama tidak dibatalkan (oleh hakim) atas permintaan pihak yang berhak meminta pembatalan tadi (pihak yang tidak cakap atau pihak yang memberikan sepakatnya secara tidak bebas).
67
Subekti, Hukum Perjanjian, h. 17
70
Sedangkan batal demi hukum artinya adalah dari semula dianggap tidak pernah ada dilahirkan suatu perjanjian dan tidak pernah ada suatu perikatan. Simak pula artikel Batalnya Suatu Perjanjian. Jadi, bila perjanjian dibuat dengan anak di bawah umur, tidak serta merta membuat perjanjian tersebut batal demi hukum, tapi harus dimintakan pembatalannya ke Pengadilan Negeri. Nominee arrangement yang dilakukan dalam rangka penghindaran suatu pembatasan kepemilikan modal asing dalam negative list dapat dikategorikan sebagai kesepakatan yang berlaku atau dengan kata lain tidak memilik sebab yang halal dan sah, sehingga dengan demikian batal demi hukum (null and void).68 Hal lain yang perlu diperhatikan yaitu, bahwa larangan dan konsekuensi atas pelanggaran larangan sebagaimana tercantum dalam pasal 33 ayat (1) dan (2) UU Penanaman Modal pada dasarnya tidak serta merta membatalkan suatu nominee agreement yang dibuat oleh para pihak di luar negeri berdasarkan sistem hukum yang menegnal konsep nominee atau yang mengenal pemisahan antara legal owner dan benficial owner.69 Karena, dalam “hak-hak yang telah diperoleh” atau “perlanjutan keadaan hukum” dalam Hukum Perdata Internasional merupakan suatu alasan untuk melaksanakan hukum perdata asing.70
68
David Kairupan, Aspek Hukum Penanaman Modal Asing Di Indonesia, h. 94
69
Ibid., h. 95
70
Wiryono Prodjodikoro, Asas-Asas Hukum Perdata Internasional, (Bandung: Sumur Bandung, 1979), h. 36
71
Pengakuan prinsip-prinsip “hak-hak yang telah diperoleh” ini hanya dapat dihentikan jika hak-hak yang telah diperoleh dari luar negeri akan mengakibatkan tersinggungnya perasaan keadilan dari rakyat negara sang hakim, sedemikian rupasehingga kelanjutan hukum itu tidak dapat dipertanggung jawabkan. Dalam hal demikian muncul lagi alasan untuk Ketertiban Umum dari negara hakim. Oleh karena itu maka pemakaian Ketertiban Umum tersebut dapat diperlunak atau diperbaiki oleh alasan hakhak yang telah diperoleh, atau pelanjutan keadaan hukum.71
71
Sudargo Gautama, Pengantar Hukum Perdata Internasional Indonesia, (Jakarta: Bina Cipta, 1977), h. 213
BAB V PENUTUP A. Kesimpulan Dari hasil penelitian ini, penulis dapat menyimpulkan bahwa: 1.
Praktik Nominee masih dilakukan dalam bidang penanaman modal dengan cara membuat nominee arrangement, yang berupa perjanjian kredit, perjanjian gadai saham, perjanjian cessi atas deviden, Surat Kuasa Mutlak untuk RUPS, Surat Kuasa Mutlak untuk menjual saham, dan perjanjian-perjanjian sejenisnya yang dikenal dalam pranata hukum Indonesia, sebagaimana diatur dalam KUH Perdata.
2.
Pasal 33 ayat (1) dan (2) Undang-Undang Nomor 25 Tahun 2007 melarang penanam modal asing dan penanam modal dalam negeri untuk membuat nominee agreement (perjanjian) dan nominee statement (pernyataan) kepemilikan saham dalam perseroan terbatas untuk dan atas nama orang lain, namun tidak berlaku untuk nominee arrangement.
3.
Pemberian kuasa penanam modal asing dalam kepemilikan saham Perseroan Terbatas yang berupa Surat Kuasa Mutlak adalah tidak bertentangan dengan pasal 33 ayat (1) dan ayat (2) UU Penanaman Modal, karena pemberian kuasa tersebut adalah merupakan nominee arrangement yang tidak dilarang oleh pasal pasal 33 ayat (1) dan (2) UU Penanaman Modal tersebut.
4.
Pemberian kuasa penanam modal asing dalam kepemilikan saham Perseroan Terbatas yang berupa Surat Kuasa Mutlak adalah batal demi
72
73
hukum
jika
nominee
arrangement
tersebut
dilakukan
untuk
penghindaran suatu pembatasan kepemilikan modal asing dalam negative list. 5.
Pasal 33 ayat (1) dan ayat (2) UU Penanaman Modal, tidak serta-merta dapat membatalkan nominee agreement atau nomine statement yang dilakukan di luar negeri.berdasarkan sistem hukum yang mengenal konsep nominee.
B.
Saran Dari hasil penelitian ini, peneliti ingin memberikan saran dan masukan terhadap pengaturan nominee di Indonesia, antara lain: 1. Pemerintah
dan
Dewan
Perwakilan
Rakyat
hendaknya
menyempurnakan kembali peraturan perundang-undangan yang mengatur tentang penanaman modal, perseroan terbatas, beserta batasan kepemilikan saham dalam perseroan terbatas terhadap penanam modal asing di Indonesia, agar praktik nominee yang terjadi dapat berkurang dan hilang sama sekali di Indonesia. 2. Lembaga-lembaga
terkait
penanaman
modal
seperti
Kementrian, pemerintahan daerah, BKPM, dan lembagalembaga lain yang memberi izin dan mengawasi kegiatan penanaman modal, hendaknya menyeleksi dan mengawasi
74
dengan ketat agar praktik nominee tidak menjamur di Indonesia.
DAFTAR PUSTAKA
Buku dan Kamus Alqur’an Aminuddin, Ilmar. “Hukum Penanaman Modal Asing”. Jakarta: Prenada Media, 2004 Budiarto, Agus. Kedudukan Hukum Dan Tanggung Jawab Pendiri Perseroan Terbatas. Jakarta: Ghalia Indonesia, 2002 Christine, Purba Natalia. Keabsahan Perjanjian Innominaat Dalam Bentuk Nominee agreement. Depok: Fakultas Hukum Universitas Indonesia, 2006. Folsom, Ralph H., dkk. Principles of International Buisness Transactions, Trade, & Economic Relations. St. Paul: Thomson West, 2005 Fuady, Munir. Hukum Perusahaan Dalam Paradigma Hukum Bisnis. Bandung: Citra Aditya Bakti, 2008. ----------. Perseroan Terbatas Paradigma Baru. Bandung: Citra Aditya Bakti, 2003 Garner, Brayan A. Black’s Law Dictionary With Guide To Pronunciation.cet. 7 St. Paul: West Publishing, 1999. Gautama, Sudargo. Pengantar Hukum Perdata Internasional Indonesia. Jakarta: Bina Cipta, 1977 Harjono, Dhaniswara K. Hukum Penanaman Modal: Tinjauan Terhadap UndangUndang Nomor 25 Tahun 2007 tentang Penanaman Modal. Jakarta: Raja Grafindo Persada, 2007 Hartono, Sunaryati. Hukum Ekonomi Pembangunan Indonesia. Bandung: Binacipta, 1982 HS, H Salim. Perkembangan Hukum kontrak di luar KUHPerdata. Jakarta: PT. Raja Grafindo Persada, 2006. ----------, Perkembangan Hukum Kontrak Innominaat Di Indonesia. Jakarta: Sinar Grafika, 2008. HS., Salim dan Budi Sutrisno. Hukum Investasi di Indonesia. Jakarta: Rajawali Pers, 2008
75
76
Hulman, Panjaitan dan Sianipar Anner Mangatur. Hukum Penanaman Modal Asing. Jakarta: IND-HILL CO, 2003 Irianto, Sulistyowati dan Sidharta. Metode Hukum Konstelasi dan Refleksi. Jakarta: Yayasan Obor Indonesia, 2009. Jack, J. H. International Competition In Services: A Constitutional Framework. Washington DC: America Institute For Public Policy Research, 1988 Kairupan, David. Aspek Hukum Penanaman Modal Asing Di Indonesia.Jakarta; Kencana Prenada Media Group, 2013. Kusumahadi, Asas-Asas Hukum Perdata. Yogyakarta: Yayasan Badan Penerbit Gadjah Mada, 2001. Machun, Sofwan Sri Soedewi. Hukum Perjanjian Perhutangan. Yogyakarta: Terjemahan Seksi Hukum Perdata Fakultas Hukum Universitas Gajah Mada, 2004 Marzuki, Peter Mahmud. Penelitian Hukum. cet. 6. Jakarta: Kencana Prenada Media Group, 2010. Muhammad, Abdulkadir. Hukum Perusahaan Indonesia. Bandung: Citra Aditya Bakti, 2010. Pakpahan, Normin S. Hukum Perusahaan Indonesia Tinjauan Terhadap UndangUndang Nomor 1 Tahun 1995 tentang Perseroan Terbatas. Jakarta: Proyek ELIPS, 1995. Prodjodikoro, Wiryono. Asas-Asas Hukum Perdata Internasional. Bandung: Sumur Bandung, 1979 ---------. Azas-azas Hukum Perjanjian. Bandung: CV Mandar Maju, 2004 Purwaningsih, Endang Hukum Bisnis. Bogor: Ghalia Indonesia, 2010 R.,Subekti dan Tjitrosudibio R., Kitab Undang-Undang Hukum Perdata. Jakarta: PT Pradnya Paramita, 2004. Rokhmatussa’dyah, Ana dan Suratman. Hukum Investasi dan Pasar Modal. Jakarta: Sinar Grafika, 2009. Sembiring, Sentosa. Hukum Investasi. Pembahasan dilengkapi dengan UndangUndang no 25 Tahun 2007 Tentang Penanaman Modal. Bandung: Nuansa Aulia, 2007 Soebagjo, Felix Oentoeng. Hukum Tentang Akuisisi Perusahaan di Indonesia. Jakarta: Pusat Pengkajian Hukum, 2006 Sornarajah, M. The International Law of Foreign Investment. Cambridge: Cambridge University Press, 2004
77
Subekti. Hukum Perjanjian. cet. 19 Jakarta : PT Intermasa, 2002. Sudarsono. Kamus Hukum. cet. 5 Jakarta : PT Rineka Cipta, 2007. Supancana, Ida Bagus Rachmadi Kerangka Hukum & Kebijakan Investasi Langsung di Indonesia. Jakarta: Ghalia Indonesia, 2006. Suparji. Penanaman Modal Asing Di Indonesia – insentif vs. pembatasan Jakarta: Fakultas Hukum Universitas Al-Azhar Indonesia, 2008. Suny, Ismail dan Rochmat Rudiro, Tinjauan dan Pembahasan Undang-Undang Penanaman Modal Asing dan Kredit Luar Negeri. Jakarta: Pradjna Paramita, 1998 Untung, Hendrik Budi. Hukum Bisnis Pasar Modal. Yogyakarta: Andi Publisher, 2011 Yani, Ahmad & Gunawan Widjaya. Seri Hukum Bisnis Perseroan Terbatas. Jakarta : Raja Grafindo Persada, 2000
Peraturan Perundang-undangan Kitab Undang-Undang Hukum Perdata Kitab Undang-Undang Hukum Dagang Peraturan Presiden Nomor 76 Tahun 2007 tentang Kriteria Dan Persyaratan Penyusunan Bidang Usaha yang Tertutup dan Bidang Usaha yang Terbuka dengan Persyaratan di Bidang Penanaman Modal Peraturan Presiden Nomor 77 Tahun 2007 tentang Daftar Bidang Usaha yang Tertutup dan Bidang Usaha yang Terbuka dengan Persyaratan di Bidang Penanaman Modal Peraturan Presiden Nomor 111 Tahun 2007 tentang Perubahan atas Peraturan Presiden Nomor 77 Tahun 2007 tentang Daftar Bidang Usaha yang Tertutup dan Bidang Usaha yang Terbuka dengan Persyaratan di Bidang Penanaman Modal Peraturan Presiden Nomor 36 Tahun 2010 tentang Daftar Bidang Usaha yang Tertutup dan Bidang Usaha yang Terbuka dengan Persyaratan di Bidang Penanaman Modal Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1967 Tentang Penanaman Modal Asing Undang-Undang Nomor 6 Tahun 1968 Tentang Penanaman Modal Dalam Negeri
78
Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1995 tentang Perseroan Terbatas Undang-Undang Nomor 25 Tahun 2007 Tentang Penanaman Modal Undang-Undang Nomor 40 Tahun 2007 Tentang Perseroan Terbatas