SKRIPSI
TINJAUAN GRUP-GRUP SIMETRI TEORI RELATIVITAS KHUSUS DALAM ALJABAR KUATERNION REAL DAN PENERAPANNYA DALAM STRUKTUR PERSAMAAN DIRAC
Latief Rahmawati 01/147328/PA/08613
Departemen Pendidikan Nasional Universitas Gadjah Mada
Fakultas Matematika dan Ilmu Pengetahuan Alam Yogyakarta 2007
SKRIPSI
TINJAUAN GRUP-GRUP SIMETRI TEORI RELATIVITAS KHUSUS DALAM ALJABAR KUATERNION REAL DAN PENERAPANNYA DALAM STRUKTUR PERSAMAAN DIRAC
Latief Rahmawati 01/147328/PA/08613
Sebagai salah satu syarat untuk memperoleh derajat Sarjana S1 Program Studi Fisika pada Jurusan Fisika
Departemen Pendidikan Nasional Universitas Gadjah Mada
Fakultas Matematika dan Ilmu Pengetahuan Alam Yogyakarta 2007
SKRIPSI
TINJAUAN GRUP-GRUP SIMETRI TEORI RELATIVITAS KHUSUS DALAM ALJABAR KUATERNION REAL DAN PENERAPANNYA DALAM STRUKTUR PERSAMAAN DIRAC Latief Rahmawati 01/147328/PA/08613
Dinyatakan lulus ujian skripsi oleh tim penguji pada tanggal 17 Juli 2007
Tim Penguji
Dr.rer.nat. M. Farchani Rosyid Pembimbing
Dr.Arief Hermanto Penguji I
Dra. Yuliasih P, M.Si. Penguji II
ab b b b b b b b b b b b b b b b b b b b b b b b b b b b b b b b b b bc d e d e e d d e d e d e d e d e d e d e d e d e d e d e d e d e d e d e e d d e d dfggggggggggggggggggggggggggggggggggghee Pada awalnya karya ini disusun di bawah bimbingan mendiang
Prof .Drs.Muslim Ph.D (Rahimahullahu). Selama dalam pembimbingan beliau ini, penulis telah menyusun hingga bab 5 . Namun sampai beliau wafat, penulis belum sempat mendiskusikan bab 4 dan bab 5 dengan beliau. Penulisan skripsi ini selanjutnya hingga selesai dilanjutkan bersama Dr .rer .nat.Muhammad Farchani Rosyid .
Keterangan ini merupakan salah satu wujud penghargaan penulis
kepada mendiang Prof .Drs.Muslim Ph.D (Rahimahullahu) atas jasa− jasa beliau , khususnya dalam pembimbingan skripsi ini .
;
iii
iv
ab b b b b b b b b b b b b b b b b b b b b b b b b b b b b b b b b b bc d e d e d e d e d e d e d e d e fgggggggggggggggggggggggggggggggggggh Karya ini saya persembahkan untuk yang tersayang :
Bapak dan Ibu
Mas Yusron, mbak Ami dan dd Bening serta Uda Ardhi
ab b b b b b b b b b b b b b b b b b b b b b b b b b b b b b b b b b bc d e d e d e d e d e d e d e d e d e d e d e d e d e fgggggggggggggggggggggggggggggggggggh Ilmu itu ibarat harta karun, dan kunci untuk menggalinya adalah
kesediaan untuk bertanya. Karena itu, bertanya kamu sekalian hal-hal yang tidak kamu ketahui. Sesungguhnya dalam proses tanya jawab tersebut akan
diberikan pahala oleh Allah pada 4 golongan: orang yang bertanya, orang
yang menjawab, orang yang mendengarkan dan orang yang mencintai mereka. (HR. Abu Na’im dari Ali bin Abi Thalib)
ab b b b b b b b b b b b b b b b b b b b b b b b b b b b b b b b b b bc e d e d e d e d e d e d e d e d e d e d e d e d e d ee d d fgggggggggggggggggggggggggggggggggggh to hear is to forget
to see is to remember
to do is to understand
to elaborate is to be master
to communicate is to build self confidence to give experience is the best of all
Pak Muslim
v
PRAKATA Alhamdulillah, segala puji bagi Allah SWT. yang telah mengenalkan kitabNya yang diturunkan, lewat lisan Nabi Muhammad saw. utusan-Nya. Melalui kitab itu dinyatakan, bahwa Dia adalah Esa dalam Dzat-Nya, tiada sekutu bagi-Nya; Maha Tunggal yang tiada misal bagi-Nya, wahana bergantungnya makhluk yang tiada tandingan-Nya, Maha Dahulu tiada permulaan bagi-Nya, Maha Kekal tiada akhir. Shalawat serta salam semoga tetap tercurah bagi junjungan kita Nabi Muhammad shallallahu alaihi wa sallam beserta segenap sahabat dan keluarganya serta para pengikutnya yang setia hingga hari kiamat nanti. Alhamdulillah, akhirnya setelah melalui perjalanan yang cukup berliku yang syarat dengan tantangan (hambatan), penulis dengan izin Allah dapat menyelesaikan skripsi ini. Penulis merasa bersyukur kepada Allah atas rahmat-Nya memberikan kesempatan kepada penulis untuk menempuh pendidikan di jenjang universitas, khususnya program studi fisika. Apa yang telah diperoleh penulis selama berada di bangku perkuliahan jika dibandingkan dengan ilmu fiska yang sudah ada adalah bagaikan setetes air dan lautan luas, dan tahap ini barulah titian awal bagi penulis jika ingin terjun dalam dunia fisika. Kepada Prof.Drs. Muslim Ph.D (Rahimahullahu) penulis mengucapkan terimakasih yang sebesar-besarnya atas teladan yang diberikan, atas segala perhatian, atas waktu dan kesempatan dalam tanya jawab yang diberikan serta kesabaran beliau kepada penulis selama ini. Beliaulah yang mengenalkan fisika dan menanamkan semangat penulis untuk berada dalam lingkungan fisika teori ini. Beliau juga yang telah membimbing penulis dalam menyelesaikan skripsi ini, dalam pembimbingan skripsi ini bersama beliau penulis sudah menyusun hingga 5 bab selama kurang lebih 2 tahun bahkan setelah gempa melanda keluarga penulis, sehingga berbulan-bulan
vi
vii
penulis tidak aktif dalam penyusunan skripsi ini beliau tetap bersedia membimbing dan menyediakan waktunya. Komunitas fisika teoretik Indonesia amat kehilangan dengan kepergian beliau. Semoga Allah membalas semua amal baik beliau pada penulis dan semoga beliau tenang dan bahagia di alamnya yang sekarang. Kepada Dr.rer.nat. Muhammad Farchani Rosyid penulis juga merasa berterimakasih sekali atas kuliah dan nasehat-nasehat yang beliau sampaikan, untuk mengubah pola pikir penulis dalam mempelajari matematika dan fisika kearah yang lebih maju. Serta kesediannya meluangkan waktu untuk melanjutkan pembimbingan skripsi ini. Kepada Prof. Stefano De Leo di Dipartimento di Fisica Universit´ a di Lecce, Instituto Nazionale di Fisica Nucleare, sezione di Lecce, Lecce Italy, terimakasih atas kesediannya mengirimkan jurnal-jurnalnya dan menjawab pertanyaan-pertanyaan yang penulis sampaikan. Adalah kedua orang tua penulis, Bapak Muryadi dan ibunda Sutari, yang telah mencurahkan seluruh kasih sayangnya yang takkan mampu penulis membayarnya meskipun dengan nyawa sekalipun dan memberikan restu sehingga penulis dapat menyelesaikan studi sebagai bekal perjalanan selanjutnya. Hanya do’a tulus yang mampu ananda panjatkan pada Allah, "Ya Allah, kasihilah kedua orang tua hamba sebagaimana mereka telah mengasihi hamba semenjak hamba dalam rahim. Berikanlah perlindungan-Mu dalam setiap langkah keduanya dan muliakanlah keduanya di dunia maupun di akhirat. Amin...". Kepada Uda Ardhi, terimakasih telah dengan sabar menemani penulis dalam berbagai macam kondisi dan memberi kasih sayangnya, serta yang telah menjadi guru dan teman diskusi dalam mempelajari topik skripsi ini. Terimakasih juga atas nasehat dan pandangan dalam melihat suatu problema hidup ini. Semoga Allah selalu membimbing kita untuk menempuh hidup yang lebih baik.
viii
Kepada Mas Yusron, kakakku semata wayang, mba Ami serta dd Bening terimakasih atas segala dukungannya. Penulis bersyukur kepada Allah memiliki keluarga ini. Smoga Allah merahmati kita semua Kepada keluarga dr. Muslim M, terimakasih atas doa restunya dan sambutan manisnya. Semoga Allah selalu membimbing kita. Kepada keluarga Lik Sri, terimakasih atas perhatian dan kesediannya untuk meminjamkan printer hingga terselesaikannya skripsi ini. Juga kepada keluarga besar di Jogomangsan, terimakasih atas perhatian yang diberikan kepada penulis. Kepada Kepada teman-teman di kelompok "underground" mathematical physics, terimakasih atas semua bantuan dan dukungannya kepada penulis. Teruslah bersemangat, agar bendera mathematical physics yang ditancapkan pak Rosyid di UGM tetap berkibar. Kepada teman-teman fisika, Duwi, Maya, Lisa, maupun di F8A Karang Wuni; Endah, Markum, Lilik, Eso, Dian, Anik, Etik, Lindya, Linda dll, terimakasih atas suasana kehangatan dan senyuman manieznya. Kepada Agung dan dd Mittul, terimakasih atas hiburannya dan kesediannya menemani ibu di rumah, belajar ya.. Kepada pihak-pihak lain yang tidak tersebutkan satu-persatu dalam halaman ini yang telah membantu terselesaikannya skripsi ini, penulis ucapkan terimakasih yang sebesar-besarnya. Semoga Allah selalu membimbing kita semua. Akhirnya, penulis memohon maaf atas kekurangan-kekurangan yang ada dalam skripsi ini. Semoga di balik kekurangan yang tampak masih ada manfaat bagi kita semua. Yogyakarta, 17 Juli 2007
Latief Rahmawati
DAFTAR ISI
Halaman Judul
i
Halaman Pengesahan
ii
Halaman Persembahan
iii
Halaman Motto
v
PRAKATA
vi
INTISARI
xii
ABSTRACT
xiii
I
PENDAHULUAN
1
I.1
Latar Belakang Masalah . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . .
1
I.2
Perumusan Masalah . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . .
3
I.3
Ruang Lingkup Kajian . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . .
3
I.4
Tujuan Penelitian . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . .
4
I.5
Tinjauan Pustaka . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . .
4
I.6
Sistematika Penulisan . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . .
5
I.7
Metode Penelitian . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . .
6
II TEORI RELATIVITAS KHUSUS
7
II.1 Asas-Asas Teori Relativitas Khusus dan Transformasi Lorentz . . . .
7
II.2 Ruang Minkowski . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . 12 II.3 Grup Lorentz . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . 18 II.4 Grup SL(2, C) . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . 28
ix
x
III DASAR-DASAR ALJABAR KUATERNION
36
III.1 Aljabar Kuaternion Real . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . 37 III.1.1 Aljabar Kuaternion Kompleks . . . . . . . . . . . . . . . . . 41 IV OPERATOR-OPERATOR KUATERNIONIK
44
IV.1 Operator-Operator R, C, H-Linear Kanan . . . . . . . . . . . . . . . 44 IV.2 Operasi Konjugasi, Transpose dan Trace . . . . . . . . . . . . . . . . 47 V PENYAJIAN TRK MENGGUNAKAN KUATERNION
53
V.1 Grup U (1, HL ) . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . 53 V.2 Grup SL(1, HL ⊗ CR ) . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . 59 ˜ HL ⊗ HR ) dan SO f o (1, HL ⊗ HR ) . . . . . . . . . . . . . 63 V.3 Grup O(1, VI PERSAMAAN DIRAC DAN PENYAJIANNYA DENGAN ALJABAR KUATERNION
70
VI.1 Stuktur Persamaan Dirac . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . 71 VI.1.1 Kovariansi Lorentz Persamaan Dirac . . . . . . . . . . . . . . 75 VI.1.2 Transformasi Similar antar Wakilan . . . . . . . . . . . . . . 78 VI.1.3 Wakilan Chiral . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . 79 VI.1.4 Wakilan Standar . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . 82 VI.1.5 Penyelesaian Persamaan Dirac untuk Partikel Bebas . . . . . 84 VI.2 Persamaan Dirac dalam Aljabar Kuaternion . . . . . . . . . . . . . . 90 VI.2.1 Wakilan Chiral Kuaternionik . . . . . . . . . . . . . . . . . . 90 VI.2.2 Wakilan Standar Kuaternionik . . . . . . . . . . . . . . . . . 96 VI.3 Penyelesaian Persamaan Dirac untuk Partikel Bebas . . . . . . . . . . 98 VIIPENUTUP
104
VII.1 Kesimpulan . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . 104
xi
VII.2 Saran . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . 108 A PEMBUKTIAN PERSAMAAN
112
I.1
Pembuktian Persamaan Dalam Bab II . . . . . . . . . . . . . . . . . 112
I.2
Pembuktian Persamaan Dalam Bab V . . . . . . . . . . . . . . . . . 113
B Hubungan SU (2) dan SO(3)
121
II.1 Grup SO(3) . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . 121 II.2 Grup SU(2) . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . 127 II.3 Relasi antara Grup SU (2) dan Grup SO(3) . . . . . . . . . . . . . . 130
INTISARI
TINJAUAN GRUP-GRUP SIMETRI TEORI RELATIVITAS KHUSUS DALAM ALJABAR KUATERNION REAL DAN PENERAPANNYA DALAM STRUKTUR PERSAMAAN DIRAC Oleh : Latief Rahmawati 01/147328/PA/08613
Telah dikaji penerapan aljabar kuaternion real dalam teori relativitas khusus dan struktur persamaan Dirac. Dengan mendefinisikan operator-operator R, C dan H-linear kanan, pembangkit transformasi boost dan rotasi dapat diperoleh sehingga pada gilirannya, dapat di bentuk grup-grup simetri kuaternionik dalam teori relativitas khusus. ˜ o (1, HL ⊗ HR ) dan SL(1, HL ⊗ CR ) yang masing-masing Grup simetri itu berupa S O berpadanan dengan grup SOo (3, 1) dan SL(2, C). Dipelajari peranan yang dimainkan oleh SL(1, HL ⊗ HR ) dalam pembahasan persamaan Dirac kuaternionik. Kata kunci : Aljabar kuaternion real, grup simetri, relativitas khusus, persamaan Dirac.
xii
ABSTRACT
CONSIDERATION OF SIMMETRY GROUPS OF THE SPECIAL THEORY OF RELATIVITY IN REAL QUATERNION ALGEBRA AND ITS APPLICATION IN THE STRUCTURES OF DIRAC EQUATION By : Latief Rahmawati 01/147328/PA/08613
The applications of real quaternion algebra in special theory of relativity and the structure of Dirac equation has been studied. By defining right R, C and H-linear operators, generators of boosts and rotations can be constructed and in turn, the symmetry groups of special theory of relativity can be formed. The symmetry group are ˜ o (1, HL ⊗ HR ) and SL(1, HL ⊗ CR ) which is the counterpart of SOo (3, 1) and SO SL(2, C) in quaternionic versies respectivelly. The role of SL(1, HL ⊗HR ) in quaternionic Dirac equation has been studied. Keywords: Real quaternion algebra, symmetry groups, special theory of relativity, Dirac equation.
xiii
BAB I PENDAHULUAN I.1
Latar Belakang Masalah
Teori Relativitas Khusus (TRK) muncul secara utuh dalam makalah Albert Einstein yang berjudul (dalam terjemahan bahasa Inggris) "On the Electrodynamics of Moving Bodies"1 pada 30 Juni 1905. Sebelum Einstein memunculkan makalahnya, beberapa ide yang tercakup dalam TRK pernah disinggung dalam artikel tokoh-tokoh lain. Pada tahun 1904 Poincaré hampir tiba pada gagasan TRK, seperti yang pernah diungkapkannya "...as demanded by the relativity principle the observer cannot know whether he is at rest or in absolute motion." 2 . Dalam makalahnya, Einstein membangun TRK di atas dua asas dan transformasi Lorentz yang diperoleh Einstein melalui caranya sendiri yang sebenarnya telah diungkapkan oleh H.A. Lorentz pada tahun 1899.3 Pada tahun 1908 melalui gagasan Herman Minkowski,4 TRK menjadi dapat ditelaah secara geometris. Dalam telaah itu ditinjau entitas yang invarian terhadap transformasi Lorentz dalam TRK dan selanjutnya dicari pula grup simetrinya. Untuk mencari entitas yang invarian itu, didefinisikan metrik tak-definit yang kini dikenal dengan nama metrik Minkowski. Grup simetri yang digunakan dalam TRK merupakan suatu subgrup dari grup Lorentz O(3, 1) yang disebut sebagai grup Lorentz proper, orthochronous SOo (3, 1). Dengan berkembangnya penerapan teori grup dalam fisika, grup SL(2, C) pun 1
Judul asli dari makalah ini adalah "Zur Elektrodynamik bewegter Körper". Makalah ini diterbitkan dalam jurnal Annalen der Physik, 17, 1905. 2 www.Nobelprice.History of Special Relativity.org 3 Pada tahun 1887 selama mempelajari efek Doppler, Woldemar Voigt juga menuliskan transformasi yang sama dengan transformasi Lorentz dan tahun 1898 transformasi Lorentz juga dituliskan kembali oleh Joseph Larmor. 4 Seorang guru besar matematika yang pernah mengajari Einstein.
1
2
dapat digunakan untuk menyatakan transformasi Lorentz. Hal ini karena terdapat homomorfisme dari SL(2, C) ke SOo (3, 1). Sebagai padanan ruang Minkowski bagi SL(2, C) adalah himpunan semua matriks Hermitian 2 × 2 (Q). Besaran yang invarian dalam teori ini adalah det X, X ∈ Q. Di lain pihak, persamaan Dirac5 yang menggambarkan partikel berspin
1 2
rel-
ativistik, kovarian terhadap transformasi Lorentz. Dalam kasus ini, ditinjau wakilan transformasi Lorentz di ruang spinor Dirac sebagai pemenuhan asas kovariansi6 dalam TRK. Salah satu bentuk wakilan transformasi Lorentz yang ada berbentuk matriks 4 × 4 blok diagonal7 yang entri masing-masing blok diagonalnya merupakan unsur-unsur dari grup SL(2, C). Aljabar kuaternion ditemukan oleh Sir William Rowan Hamilton pada 16 Oktober 1843. Hamilton berusaha memperluas medan kompleks untuk menggambarkan rotasi dalam ruang tiga dimensi. Pada awal kemunculannya, aljabar kuternion dianggap memiliki manfaat yang cukup berarti dalam fisika dan selama periode ini Hamilton sempat menulis buku yang berjudul Lecture on Quaternion (1844) yang dipublikasikan tahun 1853 dan Element of Quaternion yang dipublikasikan tahun 1866 setahun setelah kematiannya. Sekitar tahun 1845-1879 William Kingdom Clifford memperkenalkan suatu aljabar Geometris yang merupakan perluasan dari aljabarkuaternion. Namun dalam perkembangan selanjutnya, dalam dunia fisika, baik aljabar kuaternion maupun aljabar geometris sedikit memberikan kemajuan dan kurang mendapat perhatian. Hal ini terlihat dari sangat jarangnya buku teks atau jurnal yang membahas penerapan aljabar kuaternion dalam dunia fisika. Permasalahan yang membuat operasi dalam al5
Persamaan ini dirumuskan oleh P.A.M Dirac. Asas kovariansi sering pula disebut sebagai asas relativitas (Friedman,1983). 7 Wakilan ini disebut dengan wakilan chiral. Selain wakilan ini digunakan pula wakilan standar namun tidak berbentuk blok diagonal. Kedua wakilan ini dapat dikaitkan melalui suatu transformasi similar. 6
3
jabar kuaternion berbeda dengan yang lainnya (R ataupun C) adalah sifat tak-komutatifnya. Meskipun perkembangan aljabar kuaternion dalam dunia fisika sempat sepi, beberapa tahun terakhir ini aljabar kuaternion mulai dilirik dan menjadi salah satu topik yang hangat. Atas dasar masih jarangnya penggunaan aljabar kuaternion dalam dunia fisika, maka usaha menyajikan TRK dan struktur persamaan Dirac dengan aljabar kuaternion merupakan usaha pelebaran penggunaan matematika dalam fisika.
I.2
Perumusan Masalah
Penerapan aljabar kuaternion dalan TRK akan dipusatkan pada pencarian grupgrup simetri yang berpadanan dengan SOo (3, 1) dan SL(2, C) khususnya akan dicari bentuk transformasi boost dan rotasi khusus, pembangkit-pembangkit dan kaitan komutasi pembangkit-pembangkit grup itu. Sedangkan dalam penerapan aljabar kuaternion untuk menampilkan struktur persamaan Dirac, akan dicari bentuk wakilan8 untuk transformasi Lorentz, swafungnsi bagi operator spin dan operator spin itu dalam versi kuaternionik.
I.3
Ruang Lingkup Kajian
Kajian skripsi ini dibatasi hanya pada penyajian TRK dalam aljabar kuaternion real. Topik mengenai Presesi Thomas dalam TRK tidak menjadi bagian dalam skripsi ini. Pembahasan grup simetri dalam TRK hanya dibatasi pada grup SOO (3, 1), sehingga tidak membahas sampai pada grup Poincar´ e. Pembahasan dalam stuktur persamaan Dirac hanya dipusatkan pada pencarian bentuk transformasi Lorentz, operator spin dan swafungsi bagi operator spin itu. Kajian lanjutan terhadap persamaan Dirac dalam dunia fisika partikel tidak dibahas dalam skripsi ini. Kemudian baik 8
Wakilan chiral maupun wakilan standar.
4
didalam TRK maupun dalam struktur persamaan Dirac, tidak dibahas mengenai interaksi antara dua partikel maupun antara partikel dengan medan.
I.4
Tujuan Penelitian
1. Mencari bentuk metrik Minkowski di TRK dalam penyajian aljabar kuaternion. 2. Mencari grup simetri yang terkait dengan metrik Minkowski itu. 3. Mencari pembangkit transformasi Lorentz murni (boost) dan rotasi dalam aljabar kuaternion . 4. Mencari kaitan komutasi bagi pembangkit-pembangkit itu. 5. Mencari bentuk eksplisit wakilan transformasi Lorentz di ruang spinor Dirac versi kuaternionik. 6. Mencari operator spin versi kuaternionik. 7. Mencari swafungsi bagi operator spin dalam ruang spinor Dirac versi kuaternionik.
I.5
Tinjauan Pustaka
Pada tahu 1905 dalam makalahnya yang berjudul "On the Electrodynamics of Moving Bodies Einstein berhasil merumuskan TRK secara utuh walaupun TRK secara langsung bukanlah satu-satunya hal yang melatarbelakangi makalahnya itu. Pada tahun 1908 H. Minkowski dalam makalahnya yang berjudul Space and Time menyajikan TRK melalui tinjauan geometri ruang-waktu yang kini dikenal sebagai ruang Minkowski dan secara geometris menggambarkan konsep-konsep TRK dalam diagram Minkowski.
5
Jauh sebelum Einstein menemukan TRK nya, Sir W.R.Hamilton menemukan aljabar kuaternion, tepatnya pada 16 Oktober 1843, yang pada awal kemunculannya diprediksi akan memberikan manfaat dalam dunia fisika. Namun dalam perkembangannya, aljabar kuaternion sempat berhenti dan kurang memberi kemajuan dalam dunia fisika. Setelah sekian lama tenggelam, beberapa tahun terakhir penerapan aljabar kuaternion dalam dunia fisika mulai dikembangkan. Salah satu tokoh yang berkecimpung di bidang ini adalah Stefano de Leo yang pada tahun 1996 mempublikasikan makalahnya yang berjudul Quaternion and Special Relativity. Dalam makalahnya ini Stefano menyajikan TRK dengan menggunakan aljabar kuaternion. Pada tahun 2001 Stefano de Leo kembali mempublikasikan makalahnya yang berjudul Quaternionic Lorentz Group And Dirac Equation, makalahnya ini menyajikan grup simetri dalam kuaternion yang berkaitan dengan grup Lorentz dan menyajikan persamaan Dirac versi kuaternion.
I.6
Sistematika Penulisan
Skripsi ini ditulis dalam 6 bab, dengan penjelasan bab demi bab adalah sebagai berikut: • Pada BAB 1 dikemukakan latar belakang penelitian yang dilakukan, tujuan penelitian, tinjauan pustaka, sistematika penulisan, serta penjelasan mengenai metode pelaksanaan penelitian. • BAB 2 menampilkan tinjauan singkat TRK, yang diawali dengan kajian mengenai asas TRK dan transformasi Lorentz, dilanjutkan dengan kajian ruang Minkowski yang menyajikan TRK melalui tinjauan geometri ruang-waktu berdimensi-4 dan menyajikan besaran invarian dalam TRK (∆s2 ). Kemudian dis-
6
ajikan grup Lorentz yang melestarikan ∆s2 . Terakhir disajikan grup SL(2, C) sebagai grup yang homomorfis dengan grup Lorentz yang melestarikan nilai determinan matriks Hermitian 2 × 2 yang berkaitan dengan ∆s2 . • BAB 3 memaparkan dasar-dasar aljabar kuaternion yang terdiri dari aljabar kuaternion real dan kuaternion kompleks. • BAB 4 membahas operator-operator kuaternionik, yang dimulai dari pendefinisian operator kiri dan operator kanan. Selanjutnya dari kedua operator itu dapat dibentuk operator yang linear dari kanan terhadap "lapangan" R (OR ), operator linear dari kanan terhadap lapangan C (OC ) dan operator linear dari kanan terhadap lapangan H (OH ).9 f o (1, HL ⊗ HR ) dan • BAB 5 menyajikan grup-grup simetri versi kuaternion SO SL(1, HL ⊗ CR ) yang masing-masing berpadanan dengan grup-grup simetri dalam TRK yaitu SOO (3, 1) dan SL(2, C). • BAB 6 menyajikan tinjauan singkat mengenai struktur persamaan Dirac dan peranan grup SL(1, HL ⊗CR ) untuk menyajikan struktur persamaan Dirac versi kuaternion. • BAB 7 memberikan kesimpulan dan saran untuk pengembangan kajian.
I.7
Metode Penelitian
Metode yang digunakan dalam penelitian ini adalah kajian teoretis terhadap konsep TRK, struktur persamaan Dirac dan aljabar kuaternion serta penerapan aljabar kuaternion dalam menyajikan TRK dan struktur persamaan Dirac melalui peninjauan grup simetrinya. 9
Telah digunakan istilah yang tidak tepat ketika menyebut H sebagai suatu jenis lapangan karena H tidak memenuhi syarat komutatif untuk suatu lapangan.
BAB II TEORI RELATIVITAS KHUSUS II.1
Asas-Asas Teori Relativitas Khusus dan Transformasi Lorentz
Teori relativitas khusus (TRK) dimunculkan oleh Einstein pada tahun 19051 dibangun di atas dua asas, yaitu 1. Semua kerangka inersial (lembam) sama baiknya untuk merumuskan hukumhukum alam. 2. Cahaya memiliki kelajuan konstan sebesar c di semua kerangka acuan inersial. Asas yang dituliskan pertama di atas sering disebut sebagai asas relativitas atau asas kovariansi (keseragaman bentuk bagi semua kerangka inersial), sedangkan asas yang dituliskan kedua terkait dengan invariansi kelajuan cahaya.2 Asas pertama dimaksudkan untuk menegaskan bahwa tidak ada kerangka inersial yang istimewa di dalam TRK. Berbeda dengan elektrodinamika berbasiskan mekanika Newton, di dalam TRK persamaan-persamaan Maxwell berlaku untuk semua kerangka inersial. Asas kedua berimplikasi bahwa kelajuan cahaya tidak bergantung pada kelajuan sumbernya (Friedman,1983). Kerangka acuan dimaksudkan sebagai suatu wadah yang digunakan untuk menentukan sistem koordinat (Breithoupt,2001). Pemberian koordinat terhadap suatu peristiwa tidak hanya dikaitkan dengan pelabelan koordinat ruang tempat suatu peri1
Sebenarnya, di dalam makalahnya pada tahun itu, Einstein belum menamakannya sebagai teori relativitas khusus. 2 Baik asas relativitas maupun asas yang terkait dengan invariansi laju cahaya memiliki bentuk pernyataan yang beragam dalam berbagai buku mengenai teori relativitas atau teori ruang-waktu. Tetapi tidak semua varian bentuk masing-masing asas itu ekivalen satu dengan yang lainnya. Kajian mengenai varian bentuk masing-masing asas itu tidak termasuk dalam skripsi ini.
7
8
stiwa terjadi, melainkan juga dikaitkan dengan pelabelan waktu ketika peristiwa itu terjadi. Pelabelan koordinat ruang bergantung pada pusat koordinat ruang yang dipilih. Sedangkan pelabelan koordinat waktu suatu peristiwa di suatu lokasi diberikan oleh nilai yang ditunjukkan oleh jam yang terletak di sekitar lokasi peristiwa itu terjadi. Jadi dalam suatu kerangka acuan telah tersebar jam dimana-mana. Agar hasil pencatatan waktu oleh jam-jam yang berbeda lokasinya saling terkait, maka jam-jam itu harus saling sinkron satu dengan yang lainnya. Sehingga pemberian koordinat suatu peristiwa dilakukan dengan melabelkan peristiwa itu dengan tiga koordinat ruang (yang bergantung pada pemilihan pusat koordinat) yang terkait dengan posisi peristiwa itu terjadi dan satu koordinat waktu saat peristiwa itu terjadi. Pengamat dalam suatu kerangka diidentikkan dengan suatu himpunan tak berhingga dari jam-jam pencatat yang tersinkronkan satu terhadap lainnya yang terdistribusi di seluruh ruang (Resnick,1968). Kerangka acuan disebut inersial jika benda yang tidak dipengaruhi oleh gaya luar akan teramati tetap diam atau bergerak dengan kecepatan konstan relatif terhadap pengamat yang diam di kerangka itu; bergantung pada kondisi awal gerakan benda. Dari sini, kerangka inersial dapat dibedakan secara eksperimen dengan kerangka yang dipercepat terhadap sembarang kerangka inersial. Kajian dalam TRK dibatasi pada penggunaan kerangka-kerangka acuan yang bersifat inersial saja, yaitu kerangka yang di dalamnya berlaku hukum kelembaman (hukum Newton I) yang tetap berlaku dalam teori relativistas. Asas kedua secara langsung berimplikasi bahwa keserentakan (simultaneity) yang diamati dengan menggunakan isyarat cahaya yang berkelajuan mutlak c dalam hampa tidak lagi menjadi sesuatu hal yang mutlak. Dalam mekanika Galileo-Newton, keserentakan merupakan hal yang mutlak, begitu juga dengan selang waktu antara dua buah peristiwa. Dengan adanya asas invariansi kecepatan cahaya ini, selain ke-
9
serentakan menjadi tidak mutlak, pengukuran selang waktu dua buah peristiwa juga dapat bergantung pada pengamat (kerangka acuan). Asas relativitas bersama dengan asas invariansi laju cahaya digunakan untuk menurunkan bentuk transformasi yang mengaitkan perpindahan peninjauan berbagai observabel fisika suatu peristiwa antar dua buah kerangka inersial. Dalam penurunan transformasi itu, digunakan asumsi homogenitas dan isotropi ruang-waktu. Homogenitas ruang-waktu memiliki arti bahwa hasil pengukuran panjang dan interval waktu antara dua peristiwa tidak bergantung pada dimana atau kapan interval itu terjadi. Hal ini berarti pula bahwa semua tempat atau lokasi dan saat kapanpun masingmasing memiliki prioritas yang sama dalam pengukuran panjang suatu benda dan pengukuran selang waktu dua buah peristiwa. Secara matematis, homogenitas ruangwaktu berakibat bahwa transformasi yang mengaitkan perpindahan peninjauan suatu peristiwa antara dua buah kerangka harus merupakan transformasi linear. Transformasi linear ini berakibat bahwa semua titik dalam himpunan ruang-waktu dapat digunakan sebagai pusat koordinat (Resnick,1968). Sedangkan isotropi ruang berakibat bahwa ke arah manapun pengukuran di dalam ruang dilakukan, hasil yang diperoleh tidak bergantung pada arah pengukuran itu. Transformasi yang diperoleh dari kedua asas dalam TRK itu beserta asumsi homogenitas ruang-waktu dan isotropi ruang disebut sebagai transformasi Lorentz.3 Untuk perpindahan peninjauan suatu peristiwa dari suatu kerangka inersial K (t, x, y, z)4 ke kerangka inersial lain K 0 (t0 , x0 , y 0 , z 0 ) yang bergerak relatif terhadap kerangka K sepanjang sumbu x di kerangka K dengan kelajuan sebesar V , diperoleh bentuk 3
Transformasi ini telah dimunculkan oleh H. A. Lorentz sebelum makalah TRK Einstein muncul. Namun demukian, Lorentz menafsirkan transformasi itu secara berbeda dengan tafsiran yang kini dilekatkan pada transformasi itu dalam TRK. 4 Penulisan K(t, x, y, z) dimaksudkan untuk menyatakan bahwa terhadap kerangka K, peristiwaperistiwa yang teramati akan dicatat lokasinya dengan koordinat (x, y, z) dan waktunya dengan t.
10
transformasi Lorentz (khusus)5 t − V2 x , t0 = q c V2 1 − c2 x−Vt x0 = q , 2 1 − Vc2
(II.1)
y 0 = y, z 0 = z. Dalam bentuk umumnya, transformasi Lorentz untuk koordinat waktu menjadi (Muslim,1997) ~ · ~r ), t0 = Γ(t − V c2
(II.2)
sedangkan untuk koordinat ruang menjadi (Muslim,1997) ˆ = Γ(rk − V t) = Γ(~r · n ˆ − V t) rk0 = ~r 0 · n
(II.3)
~r 0⊥ = ~r ⊥ ,
(II.4)
dan
dengan rk dan r⊥ masing-masing merupakan komponen vektor ~r yang sejajar dan ~ . Dalam hal ini tentunya ~r ⊥ , ~r , V ~ dan ~r k terletak dalam satu tegak lurus terhadap V bidang yang sama. Penggabungan pers.(II.3) dan (II.4) menghasilkan bentuk ~ ~ ) V − ΓV ~ t, ~r 0 = ~r + (Γ − 1)(~r · V V2 5
(II.5)
Kata "khusus" dimaksudkan untuk menandakan bahwa transformasi ini hanya menampilkan bentuk matematis perpindahan peninjauan dari suatu kerangka inersial ke kerangka inersial lain yang bergerak relatif di sepanjang salah satu sumbu koordinat kerangka inersial pertama. Bentuk umum dari transformasi Lorentz menampilkan perpindahan peninjauan dari suatu kerangka inersial ke kerangka inersial lain dengan arah gerak relatifnya terhadap kerangka inersial pertama sembarang.
11
dengan komponen-komponen Cartesannya berbentuk x0 = x + (Γ − 1)(n2x x + nx ny y + nx nz z) − ΓV nx t, y 0 = y + (Γ − 1)(ny nz x + n2y y + ny nz z) − ΓV ny t,
(II.6)
z 0 = z + (Γ − 1)(nz nx x + nz ny y + n2z z) − ΓV nz t, ~. ˆ pada arah V dengan nx , ny , dan nz merupakan kompenen Cartesan vektor satuan n Pengukuran panjang suatu benda yang rehat di suatu kerangka inersial K 0 dapat dilakukan seperti lazimnya mengukur panjang suatu benda. Dalam hal ini, dapat dilakukan dengan langsung mengukur panjang benda yang rehat itu dengan menggunakan batang pengukur. Jika benda yang akan diukur rehat terhadap suatu kerangka inersial K 0 yang bergerak relatif dengan kecepatan konstan terhadap K, maka pengukuran panjang di kerangka K dilakukan dengan konsep sebagai berikut. Tentukan dua buah titik ujung benda itu pada saat bersamaan menurut jam di kerangka K, kemudian dengan menggunakan batang pengukur, diukur jarak antara kedua titik tadi. Pengukuran di K dengan mengunakan konsep itu akan memberikan nilai seperti yang diperoleh melalui transformasi Lorentz yang terkait dengan perpindahan peninjauan dari K 0 ke K jika koordinat waktu untuk kedua titik ujung benda itu dibuat sama. Jika kerangka K 0 bergerak relatif terhadap K sepanjang sumbu x dengan kecepatan relatif sebesar V , maka nilai pengukuran yang diperoleh dari pengukuran itu akan menunjukkan bahwa panjang dalam arah gerak benda yang diukur oleh kerangka K (dimana benda itu teramati bergerak) akan lebih pendek daripada panjang yang diukur di kerangka K 0 (dimana benda itu rehat), sedangkan panjang dalam arah tegak lurus terhadap gerak benda tidak mengalami perbedaan nilai. Secara umum untuk sembarang arah gerak benda, panjang dalam arah sejajar terhadap arah gerak benda dari suatu benda yang bergerak dengan kecepatan konstan akan lebih pendek daripada ketika sedang dalam keadaan diam. Secara matematis, pemendekannya diberikan
12
oleh faktor Γ ≡
q 1 2 1− V 2
dalam transformasi Lorentz yang terkait. Efek pemendekan
c
panjang suatu benda itu dikenal dengan nama kontraksi Lorentz-Fitzgerald. Panjang benda yang diukur di kerangka K 0 (dimana benda itu rehat) disebut sebagai panjang sejati (proper length) dari benda itu. Dengan mengasumsikan bahwa semua besaran panjang dan waktu bernilai real, maka berlaku 0 < V < c sehingga Γ > 1. Pengukuran selang waktu antara dua buah peristiwa yang dilakukan oleh berbagai kerangka inersial dengan jam-jam sinkronnya masing-masing tidak akan memberikan hasil yang sama. Hal ini merupakan konsekuensi langsung dari bentuk transformasi Lorentz. Jika dua buah peristiwa terjadi pada suatu lokasi yang sama menurut suatu kerangka inersial, maka pengukuran selang waktu dengan menggunakan jam yang rehat di kerangka itu dan terletak di lokasi tempat peristiwa itu terjadi disebut sebagai selang waktu sejati (proper time interval). Untuk kerangka inersial lain yang mengamati kedua peristiwa itu tidak terjadi di satu lokasi yang sama, maka pengukuran selang waktu dua peristiwa itu akan lebih besar daripada selang waktu sejati. Efek ini dikenal dengan nama dilatasi waktu (time dilation). Pengamatan selang waktu sejati (∆τ ) dan selang waktu lainnya (∆t) terhadap dua peristiwa yang sama terkait oleh transformasi berikut ∆τ
∆t = q
1−
.
(II.7)
V2 c2
Dalam pers.(II.7), V menyatakan besarnya kecepatan relatif kerangka inersial yang mengamati ∆t terhadap kerangka inersial yang memiliki ∆τ .
II.2
Ruang Minkowski
Herman Minkowski pada tahun 1908 mempublikasikan karyanya yang berjudul "Space and Time" yang berusaha menyajikan TRK melalui tinjauan geometri ruang-
13
waktu yang kini dikenal sebagai ruang Minkowski. Ruang Minkowski merupakan suatu himpunan6 M yang berunsurkan semua peristiwa di alam ini. Pemberian nilai koordinat (ct, x, y, z)7 pada suatu peristiwa diidentikkan dengan mengamati peristiwa itu dari suatu kerangka acuan K (t, x, y, z). Perjalanan atau sejarah suatu partikel di alam ini dilukiskan dalam ruang Minkowski M sebagai kurva dengan karakteristik tertentu. Kurva itu nantinya akan disebut sebagai garis dunia (world line). Dari pers.(II.2) dan (II.5), untuk dua buah peristiwa, diperoleh interval waktu ~ · ∆~r ) ∆t0 = Γ(∆t − V c2
(II.8)
~ ~ ) V − ΓV ~ ∆t. ∆~r 0 = ∆~r + (Γ − 1)(∆~r · V V2
(II.9)
dan interval ruang
Kemudian dari pers.(II.8) dan (II.9) dengan mengalikan c pada kedua sisi pers.(II.8) dapat diperoleh kaitan berikut (c∆t0 )2 − ∆~r 02 = (c∆t)2 − ∆~r 2 ,
(II.10)
atau dalam bentuk uraian komponen-komponen Cartesannya
(c∆t0 )2 − (∆x0 )2 − (∆y 0 )2 − (∆z 0 )2 = (c∆t)2 − (∆x)2 − (∆y)2 − (∆z)2 . (II.11)
Dari pers.(II.11) terlihat bahwa bentuk ∆s2 ≡ (c∆t)2 −∆x2 −∆y 2 −∆z 2 yang dinyatakan oleh K dalam (ct, x, y, z) sama dengan yang dinyatakan oleh K 0 dalam 6
Dari tinjauan geometri diferensial, himpunan M ini merupakan manifold yang dilengkapi dengan objek metrik absolut tertentu. Metrik ini dikenal dengan nama metrik Minkowski dan tergolong dalam metrik Lorentzian. 7 Adanya faktor c di sini dimaksudkan untuk memberikan dimensi yang sama antara koordinat kenol dengan koordinat kesatu, kedua dan ketiga.
14
(ct0 , x0 , y 0 , z 0 ). Karena K dan K 0 sembarang kerangka inersial, maka ∆s2 merupakan besaran yang invarian terhadap transformasi Lorentz dan ditafsirkan sebagai selang ruang-waktu antara dua peristiwa (Carroll,1997). Dengan menuliskan
ct = x0 , x = x1 , y = x2 , dan z = x3 ,
(II.12)
∆s2 dalam sistem koordinat (x0 , x1 , x2 , x3 ) dapat diberikan dalam bentuk yang lebih ringkas8
∆s2 = ηµν ∆xµ ∆xν ,
(II.13)
dengan
ηµν =
+1
µ = ν = 1, 2, atau 3
−1 µ = ν = 0 0 µ= 6 ν.
(II.14)
Obyek-obyek ηµν merupakan komponen suatu tensor metrik η tak-definit (indefinite) bersignature (3, 1) yang disebut sebagai (tensor) metrik Minkowski. Bentuk ηµν dalam pers.(II.13) merupakan komponen tensor η dalam sistem koordinat (x0 , x1 , x2 , x3 ). Karena telah diasumsikan bahwa partikel bebas (tanpa ada pengaruh dari gaya luar) akan tetap bergerak lurus beraturan jika diamati dari kerangka inersial, maka dari tinjauan geometri diferensial hal ini berarti bahwa manifol ruang Minkowski M dapat diliput (cover) oleh cukup satu sistem koordinat yang membuat komponen8
Di sini telah digunakan kesepakatan penjumlahan Einstein untuk indeks berulang. Dua indeks berulang yang masing-masing terletak di atas dan di bawah menandakan indeks tersebut harus dijumlahkan.
15
komponen metrik Minkowski bernilai seperti dalam pers.(II.14).9 Hal ini juga berarti bahwa pada ruang Minkowski M dapat dibentuk struktur ruang vektor yang diperoleh dari R4 melalui sistem koordinat itu. Dari sini, peristiwa-peristiwa di ruang Minkowski M dapat dipandang sebagai suatu vektor. Sebenarnya, yang disebut sebagai ruang Minkowski adalah manifold ruang-waktu M yang dilengkapi dengan metrik Minkowski η dan sering dituliskan sebagai (M, η). Untuk selanjutnya dalam skripsi ini, ruang Minkowski akan dituliskan sebagai M. Andaikan (a, b) suatu interval terbuka di R. Suatu lintasan σ di dalam ruang M yang diparameteri oleh t¯, dengan a < t¯ < b, dituliskan sebagai σ(t¯). Nilai-nilai koordinat dari lintasan itu menurut (x0 , x1 , x2 , x3 ) dituliskan sebagai
(x ◦ σ)(t¯) = (x0 (t¯), x1 (t¯), x2 (t¯), x3 (t¯)).
(II.15)
Turunan/vektor singgung dari (x ◦ σ) di titik σ(t¯) = p diberikan oleh 0 d(x ◦ σ)(t¯) dx (t¯) dx1 (t¯) dx2 (t¯) dx3 (t¯) , , , . = dt¯ dt¯ dt¯ dt¯ dt¯ p
(II.16)
Penyematan setiap titik dengan vektor singgungnya di lintasan itu disebut sebagai medan vektor singgung lintasan itu. Jika t¯ = t =
x0 c
dan lintasan σ menggambarkan garis dunia suatu partikel
bermassa, maka vektor singgung di titik p dari lintasan itu , d(x ◦ σ)(t) vp ≡ , dt p
(II.17)
disebut sebagai vektor-4 kecepatan koordinat dari lintasan σ di p. Jika ~v meru9
Sistem koordinat ini membuat semua koefisien hubungan/koneksi Levi-Civita lenyap. Sistem koordinat ini akan disebut sebagai sistem koordinat inersial. Terhadap sistem koordinat ini, persamaan 2 µ geodesik yang menggambarkan persamaan gerak partikel bebas menjadi ddtx2 = 0.
16
pakan kecepatan dari partikel itu menurut K(x0 , x1 , x2 , x3 ), maka pers.(II.17) dapat dituliskan dalam bentuk vp = (c, ~vp ).
(II.18)
d(x ◦ σ)(τ ) u≡ dτ p
(II.19)
Kemudian jika t¯ = τ , maka
disebut sebagai vektor-4 swa kecepatan bagi lintasan σ di p. Syarat yang harus dipenuhi oleh garis dunia suatu partikel bermassa adalah nilai turunannya di setiap titik di lintasan itu harus memenuhi
η(vp , vp ) = c2 − ~vp2 > 0.
(II.20)
Vektor vp yang demikian disebut sebagai vektor bak-waktu (time-like). Untuk garis dunia cahaya, vektor singgungnya harus memenuhi
η(vp , vp ) = c2 − c2 = 0.
(II.21)
Vektor vp yang demikian disebut sebagai vektor bak-cahaya (light-like) atau vektor null. Vektor singgung yang memenuhi syarat
η(vp , vp ) < 0
(II.22)
disebut sebagai vektor bak-ruang (space-like). Vektor singgung ini merupakan vektor singgung dari suatu lintasan "partikel" yang pernah berkecepatan melebihi c. Oleh karena itu, dengan adanya faktor Γ dalam transformasi Lorentz, lintasan yang salah satu vektor singgungnya merupakan vektor bak-ruang bukan merupakan lintasan partikel bermassa maupun cahaya.
17
Andaikan kerangka K 0 bergerak terhadap K sepanjang sumbu x0 di K dengan kecepatan relatif sebesar V . Penggambaran (2-D) diagram ruang-waktu Minkowski untuk kedua kerangka itu diberikan oleh gambar berikut
Gambar II.1: Diagram ruang-waktu Dalam Gb.(II.1), sumbu x0 dan ct0 terlihat tidak tegak lurus. Dengan mengatur x00 = 0 di dalam pers.(II.1) diperoleh x0 = βx1 , dengan β =
V c
. Karena
x00 = 0 merupakan sumbu x01 di K 0 , maka sumbu x01 digambarkan oleh garis yang membentuk sudut sebesar φ = tan−1 β < 450 terhadap sumbu x1 . Kemudian dengan mengatur x01 = 0 di dalam pers.(II.1) diperoleh x1 = βx0 yang merupakan sumbu x00 = ct0 dari K 0 . Sudut yang dibentuk oleh sumbu x00 dengan x0 juga sebesar φ. Karena titik di sumbu x1 memiliki koordinat kenol ct = 0, maka sumbu x merupakan wilayah keserentakan untuk kerangka K. Kemudian titik di sumbu x01 memiliki koordinat ke nol ct0 = 0, maka sumbu x01 merupakan wilayah keserentakan untuk kerangka K 0 . Titik perpotongan semua sumbu dapat diartikan sebagai peristiwa yang terjadi saat sekarang (t = t0 = 0) dan berada di pusat koordinat yang sama bagi K dan K 0 . Jika pada titik itu dipancarkan sinar cahaya ke arah sumbu x1 (positif atau negatif),
18
0
maka garis dunianya harus membentuk sudut sebesar tan−1 ( ctct ) = tan−1 (1) = 450 terhadap sumbu ct. Kemudian karena adanya pembatasan kecepatan untuk partikel bermassa, maka lintasan/garis dunia partikel bermassa yang melintasi titik perpotongan sumbu itu akan selalu berada di dalam wilayah yang dibatasi oleh garis dunia cahaya bagian atas. Wilayah itu disebut sebagai wilayah bak-waktu masa depan. Wilayah yang dibatasai oleh garis dunia cahaya bagian bawah merupakan wilayah yang dapat dilalui oleh partikel bermassa yang (akan) melintas di titik perpotongan sumbu-sumbu. Wilayah ini disebut sebagai wilayah bak-waktu lampau. Untuk sembarang titik di kedua wilayah bak-waktu dapat dihubungkan dengan titik perpotongan sumbu-sumbu oleh suatu garis lurus yang merupakan sumbu x˜0 dari suatu ˜ yang bergerak relatif dengan kecepatan sebesar V˜ relatif terhadap K kerangka K sepanjang sumbu x1 . Wilayah di luar wilayah bak-waktu masa depan dan lampau disebut sebagai wilayah bak-ruang. Untuk sembarang titik di dalam wilayah ini dapat dihubungkan dengan titik perpotongan sumbu-sumbu oleh garis lurus yang merupakan sumbu x¯1 ¯ yang bergerak relatif dengan kecepatan sebesar V¯ terhadap K dari suatu kerangka K sepanjang sumbu x1 . Meskipun berada di dalam wilayah bak-waktu (lampau dan masa depan), tidak semua lintasan yang demikian merupakan garis dunia partikel bermassa. Adanya pembatasan kecepatan untuk partikel bermassa juga memberikan syarat bahwa lintasan itu tidak boleh memiliki vektor singgung yang tergolong vektor bak-ruang.
II.3
Grup Lorentz
Transformasi antara sistem koordinat inersial
xα 7→ x0α = Λα β xβ + aα ,
(II.23)
19
dengan Λα β dan aα konstanta, yang memenuhi Λα γ Λβ δ ηαβ = ηγδ ,
(II.24)
ΛT ηΛ = η,
(II.25)
atau dalam bentuk matriks
melestarikan bentuk ∆s2 . Transformasi itu disebut sebagai transformasi Lorentz tak-homogen atau transformasi Poincaré dan disimbolkan sebagai g(Λ, a). Transformasi yang berbentuk g(Λ, 0) ≡ Λ disebut sebagai transformasi Lorentz homogen atau singkatnya transformasi Lorentz sedangkan transformasi yang berbentuk g(I, a) ≡ T(a) disebut sebagai transformasi translasi. Dari pers.(II.23), kombinasi dua transformasi Lorentz tak homogen g(Λ1 , a1 ) dan g(Λ2 , a2 ) dapat dituliskan sebagai
g(Λ1 , a1 )g(Λ2 , a2 ) = g(Λ1 Λ2 , Λ1 a2 + a1 ).
(II.26)
Transformasi balikan (invers) dari g(Λ, a) berbentuk g(Λ−1 , −Λ−1 a). Dari sini, himpunan semua transformasi Poincaré dapat membentuk grup yang disebut sebagai grup Poincaré, dengan unsur identitas berbentuk g(I, 0) dan aturan perkaliannya diberikan oleh pers.(II.26). Himpunan semua transformasi Lorentz (homogen) membentuk subgrup dari grup Poincaré dan disebut sebagai grup Lorentz (homogen) yang selanjutnya disebut sebagai grup Lorentz (L). Dalam literatur matematika, grup Lorentz sering disimbolkan sebagai O(3,1). Himpunan semua transformasi translasi membentuk subgrup grup Poincaré dan disebut sebagai grup translasi (T ).
20
Dengan menuliskan
a0
g(Λ, a) →
a a2 , a3 0 1 1
(Λ)µν
0 0
0
x0 1 x µ 2 x → x , 3 x 1
(II.27)
dapat diverifikasi dekomposisi transformasi Poincaré
g(Λ, a) = T(a)Λ.
(II.28)
Dari sini dapat disimpulkan bahwa grup Poincaré merupakan hasil perkalian antara grup translasi (T ) dan grup Lorentz (L). Andaikan Λ sembarang transformasi Lorentz homogen dan T(a) suatu translasi dalam ruang Minkowski M. Suatu translasi T(a) yang tertransformasi Lorentz (similar) merupakan translasi lainnya, yakni berlaku
ΛT(a)Λ−1 = T(Λa).
(II.29)
Secara umum, dengan menggunakan pers.(II.28) dan (II.29), berlaku
g(Λ, a)T(b)g(Λ−1 , a) = T(Λb).
(II.30)
Persamaan terakhir yang menunjukkan bahwa grup translasi merupakan subgrup invarian grup Poincaré. Dari pers.(II.25), diperoleh (det Λ)2 = 1 sehingga determinan sembarang transformasi Lorentz bernilai +1 atau −1. Transformasi Lorentz berdeterminan +1
21
disebut sebagai transformasi Lorentz proper, sedangkan yang berdeterminan −1 disebut sebagai transformasi Lorentz improper. Kumpulan semua transformasi proper membentuk suatu subgrup grup Lorentz. Dari pers.(II.25) dan pers.(II.14), dengan memilih γ = δ = 0, diperoleh
(Λ0 0 )2 − (Λ1 0 )2 − (Λ2 0 )2 − (Λ3 0 )2 = 1.
(II.31)
Dari sini, (Λ0 0 )2 > 1, sehingga diperoleh Λ0 0 > 1 atau Λ0 0 6 −1.
(II.32)
Transformasi Lorentz yang memiliki unsur Λ0 0 > 1 disebut sebagai transformasi Lorentz orthochronous. Kumpulan semua transformasi Lorentz orthochronous membentuk suatu subgrup dari grup Lorentz. Empat bagian dari grup Lorentz diberikan sebagai berikut (Carmeli,1977): (1) L↑+ : det Λ = 1, Λ0 0 > 1. Bagian ini memuat unsur identitas grup. Kumpulan semua transformasi Lorentz, proper, orthocronous membentuk suatu subgrup dalam grup Lorentz yang disebut sebagai grup Lorentz orthochronous proper. (2) L↑− : det Λ = −1, Λ0 0 > 1. Bagian ini memuat unsur pembalikan ruang S yang menggambarkan pencerminan relatif terhadap cacah gasal sumbu ruang: x00 = x0 ,
x01 = −x1
x02 = −x2
x03 = −x3
(3) L↓− : det Λ = −1, Λ0 0 6 1. Bagian ini memuat pembalikan waktu T yang
22
menggambarkan pencerminan relatif terhadap sumbu waktu:
x00 = −x0 ,
x01 = x1 ,
x02 = x2 ,
x03 = x3 .
(4) L↓+ : det Λ = +1, Λ0 0 6 −1. Bagian ini memuat unsur pembalikan sumbu waktu dan pembalikan sumbu ruang ST . Dari empat bagian di atas, L↑ ≡ L↑+ ∪ L↑− merupakan subgrup grup Lorentz yang akan disebut sebagai grup Lorentz orthochronous, sedangkan L+ ≡ L↑+ ∪ L↓+ merupakan subgrup yang lain dan akan disebut sebagai grup Lorentz proper. Dalam literatur matematika, grup L+ sering dituliskan sebagai SO(3, 1) dan grup L↑+ disimbolkan sebagai SOo (3, 1) (Prugove˘cki, 1995). Setiap transformasi Lorentz improper berbentuk Λ = SΛ1 , dengan Λ1 merupakan transformasi Lorentz proper. Secara umum matriks Λ memiliki 16 unsur. Dengan adanya pers.(II.24), yang terdiri dari 10 persamaan pembatasan/kendala, maka dari keenam belas unsur itu hanya ada 6 unsur yang independen. Hal ini menunjukkan bahwa grup Lorentz memiliki 6 parameter sehingga berdimensi 6. Pada gilirannya, keenam parameter itu terdiri dari 3 parameter boost dan 3 parameter rotasi . Dengan menggunakan notasi seperti dalam (II.12), pers.(2.1) dapat dituliskan dalam bentuk x00 = Γ(x0 − βx1 ) x01 = Γ(x1 − βx0 ) (II.33) 02
x =x
2
x03 = x3 .
23
dengan Γ =
q 1 2 1− V 2
dan β =
V c
. Agar pers.(II.11) berlaku, maka harus dipenuhi
c
Γ2 − Γ2 β 2 = 1,
(II.34)
dengan 1 ≤ Γ < ∞ dan 0 ≤ Γβ < ∞. Pers.(II.34) terpenuhi untuk Γ = cosh(ξ) dan Γβ = sinh(ξ) dengan 0 ≤ ξ < ∞. Dari sini, pers.(II.33) dapat dituliskan dalam bentuk
00
x cosh(ξ) −sinh(ξ) 0 x01 −sinh(ξ) cosh(ξ) 0 = x02 0 0 1 x03 0 0 0
0 0 0 1
0 x x1 x2 x3
(II.35)
atau x0 = B1 (ξ) x,
(II.36)
dengan
cosh(ξ) −sinh(ξ) 0 −sinh(ξ) cosh(ξ) 0 B1 (ξ) = 0 0 1 0 0 0 V 1 c q1− V 2 − q1− V 2 0 c2 c2 V 1 − q c q 0 2 2 1− V 2 1− V 2 = c c 0 0 1 0 0 0
0 0 0 1 0 0 . 0 1
(II.37)
24
Matriks-matriks transformasi Lorentz khusus sepanjang sumbu x2 dan x3 masingmasing dinyatakan oleh 1 q1− V 2 cosh(ξ) 0 −sinh(ξ) 0 c2 0 1 0 0 0 B2 (ξ) = = −sinh(ξ) 0 cosh(ξ) − q Vc 2 1− V 2 c 0 0 0 1 0
0 −q
0 0 (II.38) 0
V c 2
1− V 2 c
1
0
0
q 1 2 1− V 2 c
0
01
dan
cosh(ξ) 0 B3 (ξ) = 0 −sinh(ξ)
0 0 1 0 0 1 0 0
q 1 V2 −sinh(ξ) 1− c2 0 0 = 0 0 V −q c V2 cosh(ξ) 1−
c2
0 0 −q
V c 2
1− V 2 c
1 0
0
0 1
0
0 0
q 1 2 1− V 2
.
c
(II.39) Transformasi Lorentz yang mengaitkan perpindahan peninjauan dari suatu ~ kerangka inersial K ke kerangka inersial K 0 yang bergerak dengan kecepatan V relatif terhadap K disebut sebagi transformasi Lorentz murni atau transformasi boost. Oleh karena itu, baik transformasi Lorentz khusus maupun transformasi Lorentz umum keduanya merupakan transformasi boost. Matriks B1 (ξ), B2 (ξ) dan B3 (ξ) pun tergolong transformasi boost. Ketiganya merupakan unsur dari SOo (3, 1). Terhadap nilai-nilai 0 ≤ ξ < ∞, baik B1 (ξ), B2 (ξ) maupun B3 (ξ) akan tetap merupakan unsur SOo (3, 1). Sehingga komposisi ketiga matriks itu juga merupakan unsur SOo (3, 1).
25
Selain transformasi boost, transformasi rotasi juga melestarikan ∆s2 . Bentuk matriks transformasi rotasi di sekitar sumbu-i diberikan oleh
0 0 1 0 0 Ai = , 0 Ri (θ) 0
i = (1, 2, 3),
(II.40)
dengan Ri merupakan matriks-matriks rotasi dalam R3 , seperti dalam pers.(B.11), (B.12) dan (B.13). Rotasi dalam ruang Minkowski merupakan perluasan rotasi dalam R3 . Himpunan semua matriks transformasi rotasi membentuk grup dan merupakan subgrup dari SOo (3, 1). Matriks-matriks dalam pers.(II.37), (II.38) dan (II.39) akan menjadi I4 jika ξ = 0. Begitu juga dengan matriks-matriks dalam pers.(II.40) akan menjadi I4 jika θ = 0. Oleh karena itu, turunan dari masing-masing matriks itu di titik identitas diberikan oleh
dB (ξ) 1 ˆ1 = B dξ ξ=0
0 0 ; 0 0
(II.41)
0 0 −1 0 0 0 0 0 = ; −1 0 0 0 0 0 0 0
(II.42)
0 −1 0 −1 0 0 = 0 0 0 0 0 0
dB2 (ξ) ˆ B2 = dξ ξ=0
26
dB3 (ξ) ˆ B3 = dξ ξ=0
0 0 = 0 −1
dan
dA1 (θ) ˆ A1 = dθ θ=0
0 0 = 0 0
0 0 0 0 0 0 0 0
0 0 0 0 ; 0 0 −1 0 1 0
(II.44)
0 1 ; 0 0
(II.45)
0 0 −1 0 . 1 0 0 0 0 0
(II.46)
0 0 0 0 = 0 0 0 −1
dA3 (θ) ˆ A3 = dθ θ=0
0 0 = 0 0
(II.43)
0 0
dA2 (θ) ˆ A2 = dθ θ=0
−1 0 , 0 0
0
0 0 0 0 0
Keenam matriks terakhir akan menjadi basis bagi aljabar Lie bagi grup SOo (3, 1). Keenam matriks itu disebut sebagai pembangkit untuk masing-masing transformasi yang terkait dengannya. Keenam pembangkit itu memenuhi kaitan komutasi berikut ˆi , B ˆj ] = −ijk Aˆk , [Aˆi , B ˆj ] = ijk B ˆk . [Aˆi , Aˆj ] = ijk Aˆk , [B
(II.47)
27
Transformasi boost infinitesimal disajikan oleh ˆm , Λ(δξ) = I4 + δξ m B
m = 1, 2, 3,
(II.48)
dengan δξ parameter boost infinitesimal. Transformasi boost berhingga sebesar ξ dinyatakan dalam bentuk Λ(ξ) = eξ
mB ˆ
m
,
(II.49)
yang dapat diperoleh dengan melakukan transformasi boost infinitesimal secara berturutan sebanyak N = ξ m¯ /dξ m¯ kali kearah yang tetap (ke sumbu xm ). Serupa dengan transformasi boost, transformasi rotasi infinitesimal disajikan oleh Λ(δθ) = I4 + δθm Aˆm ,
(II.50)
dengan δθ merupakan parameter rotasi infinitesimal. Secara umum, bentuk transformasi rotasi diberikan oleh ~ = eθ Λ(θ)
mA ˆm
.
(II.51)
Kemudian didefinisikan
δω µν = −δω νµ =
δθk −δθk 0 −δξ m δξ m
jika (k, µ, ν) permutasi genap dari (1, 2, 3) jika (k, µ, ν) permutasi ganjil dari (1, 2, 3) jika µ = ν = 0, 1, 2, 3 jika ν = 0, µ = m = 1, 2, 3 jika µ = 0, ν = m = 1, 2, 3
(II.52)
28
dan
Jµν
Aˆk −Aˆk = −Jνµ 0 ˆm −B ˆm B
jika (k, µ, ν) permutasi genap dari (1, 2, 3) jika (k, µ, ν) permutasi ganjil dari (1, 2, 3) jika µ = ν = 0, 1, 2, 3
.
(II.53)
jika ν = 0, µ = m = 1, 2, 3 jika µ = 0, ν = m = 1, 2, 3
Dengan menggunakan δω µν dan Jµν , pers.(II.48) dan (II.50) dapat dituliskan dalam bentuk yang lebih kompak, yaitu 1 Λ(δω) = I4 + δω µν Jµν , 2
µ, ν = 0, 1, 2, 3.
(II.54)
Sedangkan pers.(II.49) dan (II.51) dapat dirangkum dalam bentuk 1
Λ(ω) = e 2 ω
µν J
µν
,
µ, ν = 0, 1, 2, 3.
(II.55)
Dari sini, δω µν dan Jµν masing masing dapat diartikan sebagai rotasi/boost infintesimal dan pembangkit rotasi/boost pada bidang (µ − ν).
II.4
Grup SL(2, C)
Ditinjau matriks-matriks kompleks hermitan berbentuk
0
3
1
2
x + x x − ix X(x) = , 1 2 0 3 x + ix x − x
x = (x0 , x1 , x2 , x3 ) ∈ R4 .
(II.56)
29
Matriks-matriks yang demikian memenuhi
det X(x) = (x0 )2 − (x1 )2 − (x2 )2 − (x3 )2 .
(II.57)
Himpunan semua matriks kompleks 2 × 2 yang berbentuk seperti dalam pers.(II.56) akan dinyatakan sebagai Q. Untuk setiap A ∈ SL(2, C) ≡ {G ∈ GL(2, C)|det G = 1}, pemetaan A : Q → Q yang diberikan oleh
X 7→ X 0 = AXA†
(II.58)
jelas melestarikan sifat Hermitan matriks X, karena †
X 0 = (AXA† )† = (A† )† X † A† = AXA† = X 0 ,
(II.59)
dan det X. Pers.(II.56) juga dapat dinyatakan dalam bentuk
X(x) = σµ xµ ,
(II.60)
dengan σ0 = I2 dan σi (i = 1, 2, 3) merupakan matriks-matriks Pauli. Matriksmatriks ini memenuhi kaitan-kaitan berikut det σµ = 1 tr σi = 0,
i = 1, 2, 3
σ0 σi = σi σ0 = σi ,
(II.61)
i = 1, 2, 3
dan σi σj = δij + iijk σk .
(II.62)
30
Dengan menggunakan kaitan di atas, komponen untuk vektor xµ dapat diperoleh dari matriks X dengan menggunakan rumus berikut 1 xµ = tr(σµ X). 2
(II.63)
Relasi antara M dan Q dalam pers.(II.60) merupakan isomorfisme. Dari sini, nilai koordinat suatu peristiwa yang teramati oleh suatu kerangka K, selain dapat dinyatakan sebagai x = (x0 , x1 , x2 , x3 ), dapat pula disajikan dalam bentuk X(x) = σµ xµ dengan pemetaan balikannya diberikan oleh pers.(II.63). Dengan melihat pada pers.(II.57), (II.60) dan (II.63), hal ini berarti bahwa pemetaan oleh A ∈ SL(2, C) di Q (II.58) menginduksi suatu transformasi Lorentz. Jika X 0 = σα x0 α = AXA† , maka 1 α x0 = tr(σα X 0 ) 2 1 = tr(σα AXA† ) 2 1 = tr(σα Aσβ A† )xβ . 2
(II.64)
Dengan demikian dari sini dapat disimpulkan bahwa A ∈ SL(2, C) menginduksi Λ yang entrinya diberikan oleh 1 Λ(A)α β = tr(σα Aσβ A† ). 2
(II.65)
31
Pemetaan dalam pers.(II.65) bersifat homomorfis, karena berlaku µ
ν
Λ(A1 ) ν Λ(A2 )
ρ
X1 † 1 † tr σµ A1 σν A1 tr σν A2 σρ A2 = 2 2 ν X1 1 † † tr σν A1 σµ A1 tr σν A2 σρ A2 , karena tr(AB) = tr(BA) = 2 2 ν 1X 0 tr σν Ω tr σν Ω , Ω ≡ A†1 σµ A1 , Ω0 ≡ A2 σρ A†2 = 4 ν 1 X = (σν )αβ Ωβα Ω0γδ (σν )δγ 4 ν,α,β,γ,δ X 1 X Ξαβγδ Ωβα Ω0γδ , Ξαβγδ ≡ (σν )αβ (σν )δγ 4 α,β,γ,δ ν 1 1 0 0 0 0 0 = Ω11 Ω11 + Ω22 Ω22 + Ω12 Ω21 + Ω21 Ω12 = tr ΩΩ 2 2 1 1 † † † † = tr A1 σµ A1 A2 σρ A2 = tr σµ A1 A2 σρ A2 A1 2 2 1 1 † † † = tr A1 A2 σρ A2 A1 σµ = tr (A1 A2 )σρ (A1 A2 ) σµ 2 2 =
= Λ(A1 A2 )µ ρ . (II.66) Pada baris keenam dalam pers.(II.66) di atas telah digunakan kenyataan berikut ini
Ξαβγδ =
2 α = β = γ = δ = 1 2 α=β=γ=δ=2
2 α = γ = 1, β = δ = 2 . 2 α = γ = 2, β = δ = 1 0 yang lainnya
(II.67)
Karena ∀A ∈ SL(2, C) merupakan matriks 2 × 2, maka −A ∈ SL(2, C). Hal ini berakibat pemetaan dalam pers.(II.65) gagal menjadi isomorfisme karena untuk
32
A, −A ∈ SL(2, C) akan memberikan Λ(A) = Λ(−A). Jika A = I2 , maka pers.(II.65) memberikan Λ(I2 ) = I4 .
(II.68)
Pada kenyataannya, peta bayangan proses pemetaan dalam pers.(II.65) merupakan SOo (3, 1) (Carmeli,1977). Pemetaan itu bersifat 2-1 dari SL(2, C) ke SOo (3, 1). Matriks-matriks kompleks 2 × 2 secara umum didefinisikan dengan menggunakan 4 bilangan kompleks atau 8 bilangan real. Tetapi karena fungsi det : GL(n, C) → C memberikan dua batasan bagi entri bilangan real dalam SL(2, C), maka SL(2, C) sebagai subhimpunan dari GL(2, C) hanya didefinisikan oleh 6 bilangan real yang bebas. Hal ini menunjukkan bahwa SL(2, C) (sebagai grup Lie) berdimensi 6. Oleh karena itu, aljabar Lie dari SL(2, C) juga berdimensi 6. Suatu transformasi boost infinitesimal δξ sepanjang sumbu x1 dapat disajikan oleh x00 = x0 − δξx1 , x01 = x1 − δξx0 , x02 = x2 , x03 = x3 .
(II.69)
Transformasi A ∈ SL(2, C) yang berkaitan dengan transformasi boost infinitesimal (II.69) dituliskan sebagai A = I2 + δξˆ κ1 ,
(II.70)
dengan κ ˆ 1 matriks kompleks 2 × 2 sebagai pembangkit boost akan ditentukan kemudian. Dengan memasukkan pers.(II.69) ke sebelah kiri dari pers X 0 = AXA† , yaitu X 0 = σµ x0µ = X − δξσ0 x1 − δξ1 x0 = X − δξ(σ0 x1 + σ1 x0 )
(II.71)
33
dan pers.(II.70) ke sebelah kanan dari X 0 = AXA† , yaitu X 0 = AXA† = (I2 + δξˆ κ1 )X(I2 + δξˆ κ†1 ) = X + δξˆ κ1 X + δξX κ ˆ †1
(II.72)
= X + δξ(ˆ κ1 X + X κ ˆ †1 ) maka dengan menyamakan pers.(II.71) dan (II.72), diperoleh −σ0 x1 − σ1 x0 = κ ˆ1X + X κ ˆ †1 .
(II.73)
Dari sini dapat disimpulkan bahwa κ ˆ 1 harus memenuhi kaitan berikut ini κ ˆ 1 σ0 + σ0 κ ˆ †1 = −σ1 ; κ ˆ 1 σ1 + σ1 κ ˆ †1 = −σ0 ; κ ˆ 1 σ2 +
σ2 κ ˆ †1
(II.74)
= 0;
κ ˆ 1 σ3 + σ3 κ ˆ †1 = 0. Penyelesaian untuk persamaan di atas adalah 1 κ ˆ 1 = − σ1 . 2
(II.75)
Dengan cara yang identik, pembangkit boost sepanjang sumbu x2 yaitu κ ˆ 2 dan sepanjang sumbu x3 yaitu κ ˆ 3 masing-masing diberikan oleh 1 κˆ2 = − σ2 2
dan
1 κˆ3 = − σ3 . 2
(II.76)
Selanjutnya suatu rotasi infinitesimal (δθ) di sekitar sumbu x1 dinyatakan de-
34
ngan x00 = x0 , x01 = x1 , x02 = x2 − δθx3 , x03 = x3 + δθx2 .
(II.77)
ˆ 1 , dan transformasi Pembangkit dari rotasi ini di dalam Q akan dinyatakan sebagai λ rotasi infinitesimalnya dinyatakan dengan rumusan berikut ˆ1. A = I + δθλ
(II.78)
ˆ 1 dapat dicari dengan langkah yang sama seperti pada kasus untuk penelusuran Bentuk λ pembangkit boost κ ˆ i . Dengan memasukkan pers.(II.77) ke sisi kiri dari persamaan X 0 = AXA† , dan pers.(II.78) ke sisi kanan dari persamaan X 0 = AXA† diperoleh ˆ1X + X λ ˆ† . σ3 x2 − σ2 x3 = λ 1
(II.79)
ˆ 1 harus memenuhi empat persamaan berikut Dari sini dapat disimpulkan bahwa λ ˆ 1 σ0 + σ0 λ ˆ † = 0, λ 1 ˆ 1 σ1 + σ1 λ ˆ † = 0, λ 1
(II.80)
ˆ 1 σ2 + σ2 λ ˆ † = σ3 , λ 1 ˆ 1 σ3 + σ3 λ ˆ † = −σ2 . λ 1 Penyelesaian untuk persamaan di atas diberikan oleh ˆ 1 = − i σ1 . λ 2
(II.81)
Dengan cara yang identik, pembangkit rotasi infinitesimal dalam Q di sekitar sumbu
35
x2 dan x3 masing-masing dinyatakan dengan ˆ 2 = − i σ2 λ 2
ˆ 3 = − i σ3 . λ 2
dan
(II.82)
Dari sifat-sifat matriks Pauli, keenam pembangkit itu jelas saling bebas linear. Oleh karena itu, keenam pembangkit itu dapat digunakan sebagai basis dalam aljabar Lie bagi SL(2, C). Keenam pembangkit itu memenuhi kaitan komutasi berikut ˆi, λ ˆ j ] = ijk λ ˆ k , [ˆ ˆ k , [λ ˆi, κ ˆk . [λ κi , κ ˆ j ] = −ijk λ ˆ j ] = ijk λ
(II.83)
Dari sini, transformasi boost dan rotasi dalam Q dengan menggunakan grup SL(2, C) dinyatakan oleh 1
~
~
~ = e− 2 (ξ+iθ)·~σ . A(ξ~ + iθ)
(II.84)
BAB III DASAR-DASAR ALJABAR KUATERNION Kuaternion ditemukan oleh Hamilton pada 16 Okteber 1843. Penemuannya ini dilatarbelakangi oleh keinginannya untuk mengetahui cara mengalikan pasangan 3 bilangan real triplet (a, b, c) sehingga dapat menggambarkan sistem bilangan 3dimensi, seperti halnya dalam bilangan kompleks yang dapat dinyatakan sebagai pasangan bilangan real (a, b) dapat menggambarkan sistem bilangan 2-dimensi. Setelah melakukan banyak usaha, akhirnya yang ditemukan oleh Hamilton bukanlah suatu sistem bilangan 3-dimensi melainkan sistem bilangan 4 dimensi yang disebut dengan kuaternion. Sistem bilangan ini dinyatakan dalam 1, i, j, k, dengan i, j, k merupakan bilangan imajinernya, yang memenuhi kaitan berikut
i2 = j 2 = k 2 = −1.
(III.1)
Konon, rumusan ini datang tiba-tiba ketika Hamilton berjalan bersama istrinya untuk menghadiri pertemuan yang dipimpinnya di Akademi Kerajaan Irlandia di Dublin. Rumusan dasar tersebut ia tulis di atas batu di jembatan Brougham, Dublin.
Gambar III.1: Rumusan quaternion yang ditulis oleh Hamilton diatas batu di jembatan Brougham
36
37
III.1
Aljabar Kuaternion Real
Aljabar kuaternion real HR merupakan ruang vektor real berdimensi 4 yang di dalamnya didefinisikan perkalian (q1 , q2 ) → q1 q2 yang memenuhi hukum distributif dan asosiatif berikut, untuk setiap q1 , q2 , q3 ∈ HR dan setiap a ∈ R, (q1 q2 )q3 = q1 (q2 q3 ) q1 (q2 + q3 ) = q1 q2 + q1 q3 (III.2) (q1 + q2 )q3 = q1 q3 + q2 q3 a(q1 q2 ) = q1 (aq2 ) dan terdapat basis {1, i, j, k} yang memenuhi sejumlah kaitan komutasi produk berikut:
ii = jj = kk = −1
ij = −ji = k,
jk = −kj = i,
ki = −ik = j,
(III.3)
ijk = kk = −1,
(III.4)
serta untuk setiap q ∈ HR dipenuhi
1q = q1 = q.
(III.5)
Secara umum setiap q ∈ HR disebut sebagai kuaternion real yang dapat ditulis dalam kombinasi linear berikut ini
q = 1a0 + ia1 + ja2 + ka3
(III.6)
dengan a0 , a1 , a2 a3 ∈ R. Karena 1 merupakan unsur identitas terhadap perkalian di HR , maka untuk selanjutnya penulisan anggota basis 1 akan diabaikan sehingga
38
persamaan (III.6) menjadi
q = a0 + ia1 + ja2 + ka3 .
(III.7)
q terdiri dari bagian real <(q) ≡ a0 dan bagian imajiner =(q) ≡ ia1 + ja2 + ka3 . Himpunan semua kuaternion dengan bagian imajinernya sama dengan nol ditulis sebagai <[HR ]. Sedangkan himpunan semua kuaternion dengan bagian realnya sama dengan nol ditulis sebagai =[HR ]. Dengan demikian setiap q ∈ HR dapat dituliskan dalam bentuk q = (<(q), =(q)).
(III.8)
Kemudian penulisan untuk q juga dapat berbentuk
q = (t, ~q).
(III.9)
Dengan menggunakan kaitan komutasi pada pers.(III.3) dan (III.4), perkalian antara dua buah kuaternion q = a0 + ia1 + ja2 + ka3 = (t, ~q) dan q 0 = a00 + ia01 + ja02 + ka03 = (t0 , q~0 ) disajikan secara eksplisit seperti berikut ini qq 0 =[a0 a00 − a1 a01 − a2 a02 − a3 a03 ]+ i[a0 a01 + a1 a00 + a2 a03 − a3 a02 ]+ j[a0 a02
+
a2 a00
+
a3 a01
−
(III.10)
a1 a03 ]+
k[a0 a03 + a3 a00 + a1 a02 − a2 a01 ]. Kemudian dengan menuliskan a0 a00 = tt0 , ja0 a02 + ka0 a03 = t~q,
a1 a01 + a2 a02 + a3 a03 = ~q · ~q0 ,
ia0 a01 +
ia1 a00 + ja2 a00 + ka3 q00 = ~qt0 dan i(a2 a03 − a3 a02 ) + j(a3 a01 −
39
a1 a03 ) + k(a1 a02 − a2 a01 ) = ~q × q~0 , pers.(III.10) dapat disajikan dalam bentuk qq 0 = tt0 − ~q · q~0 + tq~0 + ~qt0 + ~q × q~0 ,
(III.11)
(t, ~q)(t0 , q~0 ) = (tt0 − ~q · q~0 , tq~0 + ~qt0 + ~q × q~0 ).
(III.12)
atau
Perkalian ini disebut juga sebagai perkalian Grassmann. Perkalian dua buah kuaternion ini dapat dibagi menjadi dua komponen yaitu komponen simetris yang disebut sebagai perkalian dalam Grassmann (The Grassmann Inner product) dan komponen antisimetris yang disebut sebagai perkalian luar Grassmann (The Grassmann Outer product). Perkalian dalam antara dua buah kuaternion didefinisikan sebagai (t, ~q)(t0 , q~0 ) + (t0 , q~0 )(t, ~q) 0 ~ = (tt0 − ~q · ~q0 , tq~0 + ~qt0 ), (t, ~q)(t , q ) ≡ 2 0
(III.13)
sedangkan perkalian luar antara dua buah kuaternion didefinisikan sebagai
(t, ~q)(t0 , q~0 ) ≡
(t, ~q)(t0 , q~0 ) − (t0 , q~0 )(t, ~q) = (0, ~q × q~0 ). 2
(III.14)
Konjugat kuaternion didefinisikan sebagai
q † ≡ a0 − ia1 − ja2 − ka3
(III.15)
dengan sifat (q † )† = q
dan (pq)† = q † p† .
(III.16)
Norma suatu kuaternion didefinisikan sebagai
N (q) = N (a0 + a1 + a2 + a3 ) = qq † = (a0 )2 + (a1 )2 + (a2 )2 + (a3 )2 .
(III.17)
40
Dari sini, inversi terhadap perkalian dari suatu kuaternion q diberikan oleh
q −1 =
q† q† = †. N (q) qq
(III.18)
Suatu perbedaan yang penting antara kuaternion dan bilangan kompleks yang berhubungan dengan definisi operasi konjugasi yaitu bahwa dalam bilangan kompleks hanya terdapat satu jenis konjugasi misalnya:
i → −i
Sedangkan dalam sistem bilangan kuaternion, terdapat operasi konjugasi yang berbeda dengan operasi konjugasi standar seperti pada pers.(III.15). Dengan adanya tiga buah imajiner satuan terdapat beberapa kemungkinan untuk mendefinisikan operasioperasi konjugasi baru yang berbeda, yaitu (i, j, k) → (−i, +j, +k), (+i, −j, +k), (+i, +j, −k) (III.19) (i, j, k) → (+i, −j, −k), (−i, +j, −k), (−i, −j, +k). Keenam operasi konjugasi di atas secara ringkas dapat dinyatakan dalam q dan q† sebagai berikut q → −iq † i, −jq † j, −kq † k (III.20) q → −iqi, −jqj, −kqk Sedangkan q † dapat juga dinyatakan dalam q dalam bentuk: 1 q † = − (q + iqi + jqj + kqk). 2
(III.21)
Masing-masing dari keenam bentuk konjugasi dalam pers.(III.19) atau (III.20)
41
jika dikalikan dengan q secara umum akan menghasilkan kuaternion lain dengan bagian imajinernya tidak sama dengan nol. Hal ini berarti perkalian itu secara umum tidak akan komutatif. Sehingga dari keenam bentuk konjugasi itu tidak ada yang dapat digunakan untuk mendefinisikan invers perkalian dari suatu kuaternion.
III.1.1 Aljabar Kuaternion Kompleks Aljabar kuaternion kompleks HC merupakan aljabar kuaternion H(1, ~h) di atas lapangan/medan kompleks C(1, I) n o Hc = c0 + ~c · ~h | ~h ≡ (i, j, k) dan c0 , c1 , c2 , c3 ∈ C(1, I) ,
(III.22)
yang memenuhi pers.(III.2), (III.3), (III.4) dan (III.5), dengan a ∈ C, serta dipenuhinya syarat berikut [I, i] = [I, j] = [I, k] = 0.
(III.23)
Karena perkalian sembarang dua buah bilangan kompleks bersifat komutatif, maka definisi perkalian dalam Grassmann dan perkalian luar Grassmann dalam aljabar kuaternion kompleks serupa seperti yang diberikan dalam aljabar kuaternion real, yakni pada pers.(III.13) dam (III.14). Untuk kuaternion kompleks terdapat banyak kemungkinan dalam mendefinisikan operasi konjugasi. Tiga macam di antaranya diberikan sebagai berikut: 1. Konjugat kompleks unsur qc adalah qc ∗ = c0 ∗ + ic1 ∗ + jc2 ∗ + kc3 ∗ .
(III.24)
42
Dibawah operasi ini
(I, i, j, k)
→
(−I, i, j, k),
(III.25)
dan (qc pc )∗ = qc ∗ pc ∗ .
(III.26)
2. Konjugat kuaternion unsur qc adalah qc ? = c0 − ic1 − jc2 − kc3 .
(III.27)
Dibawah operasi ini
(I, i, j, k)
→
(I, −i, −j, −k),
(III.28)
dan (qc pc )? = pc ? qc ? .
(III.29)
3. Konjugat keseluruhan (dengan mengkombinasi operasi-operasi tersebut di atas) qc † = c0 ∗ − ic1 ∗ − jc2 ∗ − kc3 ∗ .
(III.30)
Dibawah operasi ini
(I, i, j, k)
→
−(I, i, j, k),
(III.31)
dan (qc pc )† = pc † qc † .
(III.32)
43
Dari berbagai operasi konjugasi yang mungkin dalam aljabar kuaternion kompleks, hanya bentuk konjugasi dalam pers.(III.27) yang jika dikalikan dengan qc akan selalu menghasilkan kuaternion kompleks yang bagian imajinernya sama dengan nol. Sehingga norma dari qc dapat diberikan oleh
N (qc ) = N (c0 + c1 i + c2 j + c3 k) = c0 c0 − c1 c1 − c2 c2 − c3 c3 ,
(III.33)
dan invers perkalian dari qc diberikan oleh (qc )−1 =
qc ? . qc qc ?
(III.34)
BAB IV OPERATOR-OPERATOR KUATERNIONIK IV.1
Operator-Operator R, C, H-Linear Kanan
Berkaitan dengan sifat alamiah tak komutatif dari kuaternion, maka harus dibedakan antara aksi kiri dan aksi kanan dari satuan imajiner i, j, k pada objek kuaternion real q. Untuk menyatakan aksi kiri dan aksi kanan dari satuan-satuan imajiner kuaternion, diperkenalkan operator-operator ~ Lµ ≡ (1, L),
~ = (Li , Lj , Lk ), L
(IV.1)
yang dinamakan sebagai operator kiri, dan ~ Rµ ≡ (1, R),
~ = (Ri , Rj , Rk ), R
(IV.2)
yang dinamakan operator kanan yang masing-masing bertindak pada kuaternion q menurut cara sebagai berikut Lµ : H −→ H, Lµ q ≡ hµ q ∈ H
(IV.3)
Rµ : H −→ H, Rµ q ≡ qhµ ∈ H dengan hµ ≡ (1, ~h) = (1, i, j, k). Operator-operator ini memenuhi sifat L2i = L2j = L2k = Li Lj Lk = Ri2 = Rj2 = Rk2 = Rk Rj Ri = −1
44
(IV.4)
45
dan kaitan komutasi berikut
[Li , Ri ] = 0,
[Lj , Rj ] = 0,
[Lk , Rk ] = 0.
(IV.5)
Selain itu diperkenalkan pula operator halang (barred operator) yang didefinisikan sebagai operator yang berbentuk A|B dan bekerja pada q ∈ H menurut
(A|B)q ≡ AqB,
A, B, q ∈ H.
(IV.6)
Selain dengan menggunakan notasi operator halang, aksi kiri dan kanan secara sekaligus dari satuan-satuan imajiner kuaternion akan dinyatakan juga dengan Mµν ≡ Lµ ⊗ Rν , (IV.7) Mµν q ≡ (Lµ ⊗ Rν )q = hµ qhµ . Selanjutnya, didefinisikan himpunan-himpunan berikut ini HL ≡ {aµ Lµ | aµ ∈ R} HR ≡ {bµ Rµ | bµ ∈ R}
(IV.8)
HL ⊗ HR ≡ {aµν Lµ ⊗ Rν | aµν ∈ R}. Dari definisi terakhir, diperoleh bahwa HL ∼ = HL ⊗ {1} R
H
(IV.9)
∼ = {1} ⊗ HR .
Kemudian, didefinisikan operasi penjumlahan di HL ⊗ HR sebagai (aµν Lµ ⊗ Rν + bσρ Lσ ⊗ Rρ )q = (aµν Lµ ⊗ Rν )q + (bσρ Lσ ⊗ Rρ )q
(IV.10)
46
dan operasi perkalian dengan setiap a ∈ R sebagai a(aµν Lµ ⊗ Rν )q = (aaµν Lµ ⊗ Rν )q.
(IV.11)
Dari sini, dapat diperoleh bahwa HL ⊗ HR merupakan ruang vektor berdimensi 16 di atas R. Sedangkan HL maupun HR merupakan ruang vektor berdimensi 4 di atas R. Himpunan {Lµ ⊗ Rν } dapat berperan sebagai basis di HL ⊗ HR , sedangkan {Lµ } dan {Rν } masing-masing dapat digunakan sebagai basis di HL dan HR . Selanjutnya, untuk kesederhanaan, diperkenalkan notasi
OX : H −→ H
(IV.12)
untuk menyatakan unsur-unsur di HL ⊗ HR yang linear dari kanan terhadap lapangan X. Dari sini, maka OR di HL ⊗ HR yang berbentuk OR = aµν Lµ ⊗ Rν ∈ HL ⊗ HR
(IV.13)
merupakan operator-operator yang R-linear dari kanan karena dipenuhi
Mµν (qρ) = (Mµν q)ρ = ρ(Mµν q), ρ ∈ R.
(IV.14)
Himpunan semua OR seperti dalam pers.(IV.13) jelas merupakan HL ⊗ HR . Jika X = C, maka OC di HL ⊗ HR berbentuk OC = aµn Lµ ⊗ Rn ,
n = 0, 1
(IV.15)
ξ ∈ C.
(IV.16)
karena dipenuhi Mµn (qξ) = (Mµn q)ξ,
47
Himpunan semua O seperti pada pers.(IV.15) akan dinyatakan sebagai HL ⊗ CR . Kemudian karena perkalian kuaternion bersifat asosiatif, maka OH yang didefinisikan sebagai OH = aµ Lµ ∈ HL ,
(IV.17)
merupakan operator yang linear kanan terhadap H di H karena berlaku
Lµ (q1 q2 ) = (Lµ q1 )q2 ,
q1 , q2 ∈ H.
(IV.18)
Untuk definisi terakhir ini telah digunakan penyalahgunaan notasi karena H bukan merupakan lapangan. Dari sini dapat disimpulkan bahwa
HL ⊂ HL ⊗ CR ⊂ HL ⊗ RR .
(IV.19)
Dengan menggunakan notasi operator halang OR , OC dan OH masing-masing dapat dinyatakan sebagai OR = q0 + q1 |i + q2 |j + q3 |k (IV.20)
OC = q0 + q1 |i OH = q dengan q, q0 , q1 , q2 , q3 ∈ HR .
IV.2
Operasi Konjugasi, Transpose dan Trace
Hasil kali langsung dua operator R-linear dari kanan ORa = aµν Mµν ,
dan
ORb = bτ σ Mτ σ
(IV.21)
48
diberikan oleh ORa ORb = aµν bτ σ Lµ Lτ ⊗ Rσ Rν .
(IV.22)
Dengan cara yang sama secara langsung dapat diperoleh masing-masing perkalian dari operator-operator C-linear kanan dan H-linear kanan. Operasi konjugasi untuk operator-operator kiri maupun kanan didefinisikan dengan mengubah tanda dari satuan imajiner kuaternion kiri maupun kanan secara serempak, yaitu L†µ = Lµ ≡ −η µν Lν , Rµ†
µ
(IV.23)
µν
= R ≡ −η Rν ,
dan OR† ≡ aµν L†µ ⊗ Rν† = aµν Lµ ⊗ Rν ∈ HL ⊗ HR .
(IV.24)
Konjugat dari pers.(IV.22) adalah †
(ORa ORb ) = aµν bτ σ (Lµ Lτ ⊗ Rσ Rν )† = aµν bτ σ (Lµ Lτ )† ⊗ (Rσ Rν )† (IV.25) µν τ σ
=a b
L†τ L†µ
⊗
Rν† Rσ†
†
= ORb ORa † . Kemudian dapat didefinisikan matriks n×n yang berusurkan anggota-anggota HL ⊗ HR . Namun demikian, operasi transpose di M L(n, R) ataupun M L(n, C) (M T )rs = Msr
(IV.26)
(M N )T = N T M T
(IV.27)
yang memenuhi
49
tidak dapat diterapkan secara langsung terhadap matriks-matriks bujursangkar berentrikan kuaternion. Hal ini karena secara umum berlaku
(M N )T 6= N T M T
(IV.28)
untuk M dan N matriks-matriks n × n berentrikan kuaternion. Oleh karena itu perlu didefinisikan suatu operasi transpose (t) sedemikian rupa sehingga bentuk pers.(IV.26) dan (IV.27) berlaku untuk matriks-matriks kuaternionik bujursangkar. Untuk keperluan itu perlu didefinisikan operasi transpose (t) pada suatu kuaternion q = x0 + ix1 + jx2 + kx3 yang dapat berupa salah satu dari ketiga bentuk berikut ini q t ≡ x0 − ix1 + jx2 + kx3 = −iq † i q t ≡ x0 + ix1 − jx2 + kx3 = −jq † j
(IV.29)
q t ≡ x0 + ix1 + jx2 − kx3 = −kq † k, dengan q † = x0 − ix1 − jx2 − kx3 . Untuk selanjutnya, akan dipilih bentuk kedua yakni q t = x0 + ix1 − jx2 + kx3 = −jq † j. Dari definisi ini, berlaku
(qp)t = pt q t
(IV.30)
dan it = i,
j t = −j,
k t = k.
(IV.31)
Dari sini, operasi transpose (t) terhadap matriks kuaternion diberikan oleh
(M t )rs ≡ (Msr )t
(IV.32)
50
atau ekivalen dengan M t = −jM † j
(IV.33)
dengan M † didefinisikan secara standar sebagai
(M † )rs = (Msr )† .
(IV.34)
Operasi transpose (t) memenuhi (M N )t = −j(M N )† j = −jN † M † j = (−jN † j)(−jM † j)
(IV.35)
= N tM t. Dengan melihat pada pers.(IV.31), maka definisi operasi transpose (t) terhadap (Li , Lj , Lk ) dan (Ri , Rj , Rk ) diberikan oleh Lti = Li ,
Ltj = −Lj ,
Ltk = Lk ⇒ Ltµ = −Lj Ltµ Lj
Rit
Rjt
Rkt
= Ri ,
= −Rj ,
= Rk ⇒
Rµt
=
(IV.36)
−Rj Rµt Rj .
Kemudian operasi transpose (t) untuk operator OR didefinisikan dengan melakukan transpose (t) secara serentak pada setiap Lµ dan Rν , yakni ORt = aµν Ltµ ⊗ Rνt = aµν (−Lj L†µ Lj ) ⊗ (−Rj Rν† Rj ) =a
µν
(IV.37)
Lj Rj L†µ Rν† Rj Lj
= Lj Rj OR† Rj Lj . Dengan demikian, transpose M t dari matriks n × n M yang sekarang entrinya meru-
51
pakan unsur-unsur dari HL ⊗ HR didefinisikan oleh (M t )rs ≡ Msr t ∈ HL ⊗ HR
(IV.38)
M t ≡ Lj R j M † R j L j = R j Lj M † Lj R j
(IV.39)
† (M † )rs = Msr ∈ HL ⊗ HR .
(IV.40)
atau ekivalen dengan
dengan
Dengan definisi ini, berlaku (M N )t = Lj Rj (M N )† Rj Lj = Lj Rj N † M † Rj Lj = (Lj Rj N † Rj Lj )(Lj Rj M † Rj Lj )
(IV.41)
= N tM t. Untuk operator C-linear kanan, pers.(IV.36) tersusutkan menjadi OCt = aµn Ltµ ⊗ Rnt = aµn (−Lj L†µ Lj ) ⊗ Rn = −aµn Lj L†µ Lj Rn
(IV.42)
= −Lj (aµn L†µ Rn )Lj = −Lj OC† Lj . Untuk melengkapi kajian dalam bab ini, perlu didefinisikan operasi trace (lacak) yang tepat untuk matriks-matriks kuaternionik. Hal ini perlu dilakukan karena secara umum trace dari perkalian dua bilangan tak komutatif tidak sama dengan trace
52
dari perkalian dua bilangan itu dalam urutan yang terbalik. Untuk operator C-linear ˜ (de Leo,1998) kanan, didefinisikan trace "kompleks" (Tr) ˜ OC = Tr ˜ aµn Lµ ⊗ Rn ≡ a00 + ia01 Tr
(IV.43)
a b b a ˜ ˜ Tr(O C OC ) = Tr(OC OC ).
(IV.44)
memenuhi
Tetapi untuk operator R-linear kanan, perlu didefinisikan trace "real" (Tr) Tr(OR ) ≡ a00
(IV.45)
Tr(ORa ORb ) = Tr(ORb ORa ).
(IV.46)
agar dipenuhi
˜ yang diterapkan pada OR secara umum Hal ini perlu dilakukan karena operasi Tr akan memberikan Tr(ORa ORb ) 6= Tr(ORb ORa ). Sebagai contoh, jika ORa = Rj dan ORb = Rk , diperoleh a b ˜ ˜ ˜ Tr(O R OR ) = Tr(Rj Rk ) = Tr(Ri ) = −1 b a ˜ ˜ ˜ Tr(O R OR ) = Tr(Rk Rj ) = +Tr(Ri ) = +1.
(IV.47)
BAB V PENYAJIAN TRK MENGGUNAKAN KUATERNION Seperti dalam BAB 2, dalam bab ini juga akan dikaji TRK yang ditampilkan melalui grup-grup simetrinya namun dalam versi kuaternionik. Dalam hal ini ditinjau transformasi rotasi terhadap masing-masing sumbu x, y dan z serta transformasi boost sepanjang sumbu x, y dan z dalam grup-grup kuaternioniknya. Ketika koordinat ruang-waktu suatu peristiwa dilambangkan dengan matriks kolom 4 × 1 real, maka grup simetrinya berupa O(3, 1) yang berunsurkan matriksmatriks 4×4 real tertentu . Kemudian jika digunakan bilangan kompleks untuk menyatakan koordinat ruang-waktu suatu peristiwa, maka koordinat ruang-waktu itu dilambangkan dengan matriks bujursangkar 2×2 kompleks dan grup simetrinya menjadi SL(2, C) yang berunsurkan matriks-matriks 2 × 2 kompleks tertentu. Jika sekarang digunakan kuaternion real, maka koordinat ruang-waktu suatu peristiwa cukup dilambangkan oleh sebuah kuaternion real saja. Hal ini menyebabkan grup simetrinya berunsurkan "matriks" berukuran 1 × 1 yang berupa SL(1, HL ⊗ CR ). Selain itu, dalam dunia kuaternion terdapat padanan dari grup O(3, 1) dan SOO (3, 1), yang ˜ HL ⊗HR ) dan SO f o (1, HL ⊗HR ) serta metrik Minkowski masing-masing berupa O(1, yang terkait dengan grup itu diberikan oleh g =
V.1
1 2
Lµ Rµ .
Grup U (1, HL )
Suatu kuaternion real dapat dituliskan dalam pernyatan dua bilangan kompleks melalui dekomposisi simplektik
q = a0 + ia1 + ja2 + ka3 = ξ + jζ,
53
a0,1,2,3 ∈ R,
(V.1)
54
dengan ξ = a0 +ia1 ∈ C dan ζ = a2 −ia3 ∈ C. Bentuk q = ξ +jζ disebut juga sebagai spinor kuaternionik. Dengan menggunakan pers.(III.15), konjugat keseluruhan dari q diberikan oleh q † = ξ ∗ − jζ.
(V.2)
Dari suatu kuaternion q dapat dibentuk suatu kuaternion anti-Hermitian qiq † yang dapat diidentikkan dengan tiga koordinat ruang x, y, z, yakni
qiq † ≡ ix + jy + kz,
x ≡ |ξ|2 − |ζ|2 ,
y − iz ≡ 2iζξ ∗ .
(V.3)
Dari sini diperoleh bahwa x = (a20 + a21 ) − (a22 + a33 ), y = 2(a0 a3 + a1 a2 ),
(V.4)
z = 2(a1 a3 − a0 a2 ). Kemudian karena setiap aksi oleh suatu aµ Lµ ∈ HL terhadap q dapat digantikan oleh perkalian dari kiri oleh suatu qa , yang komponen ke-µ nya diberikan oleh aµ , maka HL dapat diidentikkan dengan H. Selanjutnya didefinisikan grup kuaternionik U (1, HL ) yang berisikan anggota dari HL yang memenuhi uu† = u† u = 1,
u ∈ H.
(V.5)
Dari persamaan terakhir diperoleh bahwa, jika v ∈ U (1, HL ), maka v −1 = v † juga unsur dari U (HL ) karena pers.(V.5) berlaku untuk u = v −1 . Menurut definisinya, jelas U (1, HL ) ⊂ HL . Secara umum, unsur dari U (1, HL ) berbentuk (de leo,1998) u = e(iθx +jθy +kθk )/2 ,
θx , θy , θz ∈ R.
(V.6)
55
Transformasi u pada spinor kuaternionik q dan kuaternion anti-Hermitian nya, masingmasing diberikan oleh q 7−→ uq (V.7) †
† †
qiq 7−→ uqiq u . Dapat ditunjukkan bahwa transformasi oleh suatu unsur SO(3) pada x V = y z
(V.8)
ekivalen dengan transformasi oleh suatu unsur U (1, HL ) pada
q = ξ + jζ.
(V.9)
Sekarang andaikan q˜ = uq, atau secara eksplisit q˜ = ξ˜ + j ζ˜ = e(iθx +jθy +kθz )/2 (ξ + jζ) = [A + jB](ξ + jζ).
(V.10)
Di sini A dan B merupakan unsur dari C sedemikian rupa sehingga u = A + jB merupakan unsur dari U (1, HL ). Dari pers.(V.10) dapat diperoleh ξ˜ = Aξ − B ∗ ζ, (V.11) ζ˜ = Bξ + A∗ ζ.
56
Kemudian dari definisi x˜, y˜, z˜ seperti dalam pers.(V.3), diperoleh x˜ = (|A|2 − |B|2 )x − i(AB − A∗ B ∗ )y + (AB + A∗ B ∗ )z (V.12) ∗
∗2
2
y˜ − i˜ z = 2iA Bx + A (y − iz) + B (y + iz). Selanjutnya akan dicari nilai-nilai A dan B sedemikian rupa sehingga A + jB identik dengan transformasi R1 , R2 dan R3 dalam SO(3) (pers.(B.11), (B.12) dan (B.13)). Untuk memperoleh transformasi u yang identik dengan R1 , syarat pertama yang harus dipenuhi oleh A dan B adalah |A|2 − |B|2 = 1 AB − A∗ B ∗ = 0
(V.13)
AB + A∗ B ∗ = 0 yang menghasilkan |A| = 1 dan B = 0.
(V.14)
θx θx + i sin 2 2
(V.15)
Jadi jika A = cos B = 0, maka i
ux ≡ e 2 θx = cos
θx θx + i sin 2 2
(V.16)
merupakan suatu transformasi di U (1, HL ) terhadap q yang ekivalen dengan transformasi R1 ∈ SO(3) terhadap V ∈ R3 . Untuk memperoleh padanan dari A2 , syarat
57
pertama yang harus dipenuhi oleh A dan B adalah A∗2 + B 2 = 1 (V.17) ∗
∗
AB − A B = 0 yang mengharuskan A, B ∈ R. Kemudian dengan mengatur
A = cos
θy θy dan B = sin 2 2
(V.18)
yang memenuhi A2 − B 2 = cos θy , (V.19) 2AB = sin θy , maka j
uy ≡ e 2 θy = cos
θy θy + j sin 2 2
(V.20)
merupakan transformasi di U (1, HL ) yang berpadanan dengan R2 ∈ SO(3). Kemudian untuk memperoleh padanan R3 , syarat pertama yang harus dipenuhi oleh A dan B adalah A∗2 − B 2 = 1 (V.21) ∗
∗
AB + A B = 0 yang memberikan Re (A) 6= 0 dan Re (B) = 0.
(V.22)
θz θz dan B = −i sin 2 2
(V.23)
Dengan mengatur A = cos
58
yang memenuhi A2 − |B|2 = cos θz (V.24) 2iAB = sin θz , transformasi k
uz ≡ e 2 θz = cos
θz θz + k sin 2 2
(V.25)
merupakan padanan dari R3 ∈ SO(3) di U (1, HL ). Masing-masing dari ux , uy , dan uz akan menjadi 1 ∈ U (1, HL ) jika θx = θy = θz = 0. Oleh karena itu, turunan dari ux , uy dan uz di titik identitas masing-masing diberikan oleh i Li dux uˆ1 ≡ = = , dθx θx =0 2 2 duy j Lj uˆ2 ≡ = = , dθy θy =0 2 2 duz k Lk = = . uˆ3 ≡ dθz θz =0 2 2
(V.26)
(V.27)
(V.28)
Ketiga persamaan terakhir memberikan pembangkit untuk masing-masing rotasi pada sumbu x, y dan z. Ketiga pembangkit itu memenuhi kaitan komutasi berikut uˆ1 = [ˆ u2 , uˆ3 ], uˆ2 = [ˆ u3 , uˆ1 ],
(V.29)
uˆ3 = [ˆ u1 , uˆ2 ]. Hubungan antara U (1, HL ) dan SO(3) tidaklah isomorfisme, melainkan homomorfisme. Hal ini karena jika u ∈ U (1, HL ) berpadanan dengan R ∈ SO(3), maka −u ∈ U (1, HL ) pun berpadanan dengan R. Grup U (1, HL ) ini dapat dipandang sebagai grup SU (2) versi kuaternion.
59
V.2
Grup SL(1, HL ⊗ CR )
Grup SL(2, C) versi kuaternion disimbolkan sebagai SL(1, HL ⊗ CR ). Grup ini berunsurkan operator-operator C-linear kanan tertentu (de Leo,1998). Unsurunsur dari grup ini akan dinyatakan melalui pembangkit transformasi boost dan rotasi. Untuk memperoleh transformasi boost dan rotasi, akan digunakan langkah serupa seperti yang dilakukan dalam U (1, HL ). Dari spinor kuaternion q = ξ + iζ dapat dibentuk q(1 + i)q † yang dapat diidentikkan dengan koordinat ruang-waktu, yakni q(1 + i)q † = qq † + qiq † ≡ ct + ix + jy + kz
(V.30)
dengan ct ≡ |ξ|2 + |ζ|2 ,
x ≡ |ξ|2 − |ζ|2 ,
y − iz ≡ 2iζξ ∗ .
(V.31)
Dari identifikasi ini terlihat bahwa bagian koordinat ruang sama dengan yang telah dibahas dalam U (1, HL ). Transformasi dalam pers.(V.10) akan memberikan ct˜ = (|A|2 + |B|2 )(|ξ|2 + |ζ|2 ) (V.32) 2
2
= (|A| + |B| )ct. Ketiga macam nilai A dan B dalam pers.(V.15), (V.18) dan (V.23) memberikan |A|2 + |B|2 = 1. Dari sini dapat disimpulkan bahwa
Tx ≡ ux ,
Ty ≡ uy , dan Tz ≡ uz
(V.33)
masing-masing merupakan transformasi rotasi terhadap sumbu x, y dan z grup versi kuaternionik dari grup SL(2, C). Untuk memperoleh transformasi boost sepanjang sumbu x dalam grup SL(1, HL ⊗
60
CR ), ditinjau operator C-linear kanan
S01 ≡ cosh
ϕx ϕx + sinh Li Ri 2 2
(V.34)
yang membuat q tertransformasi menjadi
q 7−→ S01 q = q cosh
ϕx ϕx + iqi sinh . 2 2
(V.35)
Oleh S01 pers.(V.30) tertransformasi menjadi ϕx ϕx ϕx ϕx + iqi sinh )(1 + i)(q † cosh + iq † i sinh ) 2 2 2 2 ϕx ϕx − iqq † i sinh2 ) = (qq † cosh2 2 2 (V.36) ϕ x 2 2 ϕx † † + (qiq cosh − iqiq i sinh ) 2 2 ϕx ϕx + (qiq † i + iqiq † − qq † i − iqq † )cosh sinh . 2 2
q˜(1 + i)(˜ q )† = (q cosh
Kemudian karena qq † = ct (V.37) †
qiq = ix + jy + kz dan berlaku
qiq † i + iqiq † −qq † i − iqq † = −2(x + ict), ϕx ϕx − sinh2 = 1, 2 2 ϕx ϕx cosh2 + sinh2 = cosh ϕx , 2 2 ϕx ϕx 2 sinh cosh = sinh ϕx , 2 2
cosh2
(V.38) (V.39) (V.40) (V.41)
61
pers.(V.36) menjadi
ct˜+ i˜ x + j y˜ + k˜ z = (ct cosh ϕx − x sinh ϕx ) + i(x cosh ϕx − ct sinh ϕx ) + jy + kz. (V.42) Dari sini dapat disimpulkan bahwa S01 merupakan transformasi boost sepanjang sumbu x. Dengan cara yang sama, dapat diperoleh bahwa
S02 = cosh
ϕy ϕy + sinh Lj Ri 2 2
(V.43)
S03 = cosh
ϕz ϕz + sinh Lk Ri 2 2
(V.44)
masing-masing merupakan transformasi boost sepanjang sumbu y dan z. Seperti halnya dalam U (1, HL ), s dan −s dalam SL(1, HL ⊗ C R ) akan berpadanan dengan R yang sama dalam SOo (3, 1). Dengan menjumlahkan pers.(V.39) dan (V.40) diperoleh
2 cosh2
ϕx = 1 + cosh ϕx . 2
(V.45)
Karena 1 + cosh ϕx > 2 untuk ϕx ∈ R, maka ϕx cosh = 2
r
1 + cosh ϕx . 2
(V.46)
Kemudian dengan memasukkan pers.(V.46) ke dalam pers.(V.45), diperoleh
sinh
ϕx sinh ϕx = . 2 2cosh ϕ2x
(V.47)
Persamaan ini berlaku untuk sembarang ϕx ∈ R. Kemudian seperti di dalam BAB 2,
62
dalam pernyataan β dan Γ, pers.(V.46) dan (V.47) menjadi ϕx = cosh 2 sinh
r
1+Γ , 2
ϕx βΓ =p . 2 2(1 + Γ)
(V.48)
(V.49)
Dengan menggunakan kedua persamaan terakhir, pers.(V.34), (V.43) dan (V.44) dapat dinyatakan sebagai r S01 = r S02 = r S03 =
1+Γ βΓ +p Li Ri , 2 2(1 + Γ)
(V.50)
1+Γ βΓ +p Lj Rj , 2 2(1 + Γ)
(V.51)
1+Γ βΓ +p Lk R k . 2 2(1 + Γ)
(V.52)
Persamaan (V.34), (V.43) dan (V.44) akan memberikan identitas 1 jika ϕx = ϕy = ϕz = 0. Sehingga pembangkit untuk masing-masing transformasi boost itu diberikan oleh ds 01 Sˆ01 ≡ = dϕx ϕx =0 ds02 ˆ S02 ≡ = dϕy ϕy =0 ds03 ˆ S03 ≡ = dϕz ϕz =0
1 Li Ri 2 1 Lj Ri 2
(V.53)
1 Lj R i 2
Selain memenuhi kaitan komutasi dalam pers.(V.29), pembangkit pembangkit
63
dalam SL(1, HL ⊗ CR ) juga memenuhi kaitan komutasi berikut Tˆ1 = [Sˆ03 , Sˆ02 ],
Sˆ01 = [Tˆ2 , Sˆ03 ] = [Sˆ02 , Tˆ3 ],
Tˆ2 = [Sˆ01 , Sˆ03 ],
Sˆ02 = [Tˆ3 , Sˆ01 ] = [Sˆ03 , Tˆ1 ],
Tˆ3 = [Sˆ02 , Sˆ01 ],
Sˆ03 = [Tˆ1 , Sˆ02 ] = [Sˆ01 , Tˆ2 ].
(V.54)
Secara umum, suatu unsur SL(1, HL ⊗ HR ) dapat dinyatakan oleh (de Leo, 1998) ~ · (θ~ + Ri ϕ S = exp(L ~ )/2).
V.3
(V.55)
˜ HL ⊗ HR ) dan SO f o (1, HL ⊗ HR ) Grup O(1,
Terkait dengan grup SL(1, HL ⊗ HR ), koordinat ruang waktu suatu peristiwa diidentikkan dengan spinor kuaternionik (V.30). Grup ini dapat dipandang sebagai grup SL(2, C) versi kuaternionik. Grup Lorentz O(3, 1) pun menjadi padanannya dalam grup kuaternionik jika koordinat ruang-waktu langsung di identikkan dengan kuaternion real. Himpunan semua A ∈ HL ⊗HR yang memiliki invers akan dinyatakan sebagai GL(1, HL ⊗ HR ). Himpunan ini merupakan grup dengan unsur indentitas adalah 1. Kemudian didefinisikan metrik Minkowski versi kuaternionik sebagai 1 1 g = Lµ Rµ = (1 + Li Ri + Lj Rj + Lk Rk ) 2 2
(V.56)
dan produk skalar dua vektor x, y ∈ H sebagai (x, gy)R ≡ Re (x† gy).
(V.57)
Dari sini dapat didefinisikan norm real untuk sembarang x = x0 + ix1 + jx2 + kx3
64
yang berbentuk
kxk ≡ (x, gx)R = Re(x† gx) = −(x0 )2 + (x1 )2 + (x2 )2 + (x3 )2 .
(V.58)
Jika x diidentikkan dengan koordinat ruang-waktu suatu peristiwa xµ = (x0 , x1 , x2 .x3 ), maka operator A ∈ GL(1, HL ⊗ HR ) yang memenuhi
(Ax, gAx)R = (x, gx)R ,
∀x ∈ H,
(V.59)
dapat dipandang sebagai transformasi Lorentz yang berpadanan dengan suatu Λ ∈ O(3, 1) (de Leo, 1998). Himpunan semua A ∈ GL(1, HL ⊗ HR ) yang memenuhi ˜ HL ⊗ HR ). Jelas 1 merupakan unsur dari pers.(V.59) akan dinyatakan sebagai O(1, ˜ HR ⊗HR ). Sekarang andaikan A ∈ O(1, ˜ HL ⊗HR ). Jika A−1 ∈ ˜ HL ⊗HR ), O(1, / O(1, maka berlaku (A−1 x, gA−1 x)R 6= (x, gx)R
(V.60)
untuk suatu x ∈ H. Tetapi jika x = Ax0 untuk suatu x0 ∈ H, maka berlaku (x, gx)R = (Ax0 , gAx0 )R = (x0 , gx0 )R
(V.61)
dan (A−1 x, gA−1 x)R = (A−1 (Ax0 ), gA−1 (Ax0 )R ) 0
(V.62)
0
= (x , gx )R = (x, gx)R . ˜ HL ⊗HR ). Kemudian jika A, B ∈ O(1, ˜ HL ⊗HR ), Hal ini mengharuskan A−1 ∈ O(1, ˜ HL ⊗ HR ) karena dipenuhi maka jelas A, B ∈ O(1,
(ABx, gABx)R = (Bx, gBx)R = (x, gx)R
(V.63)
65
˜ HL ⊗ HR ) merupakan untuk semua x ∈ H. Dari sini dapat disimpulkan bahwa O(1, subgrup dari GL(1, HL ⊗ HR ). Dari pers.(IV.25), maka pers.(V.59) yang direalisasikan dalam pers.(V.57) dapat dinyatakan secara ekuivalen oleh
A† gA = g,
∀A ∈ GL(1, HL ⊗ HR ).
(V.64)
˜ HL ⊗ HR ). Bentuk terakhir ini dapat digunakan sebagai definisi dari O(1, Untuk memperoleh transformasi rotasi dan boost terhadap sumbu x, y dan ˜ HL ⊗ HR ), mula-mula akan diidentikkan koordinat ruang-waktu suatu z dalam O(1, peristiwa xµ = (x0 , x1 , x2 , x3 ) dengan suatu kuaternion q = x0 +ix1 +jx2 +kx3 . Kemudian dengan perhitungan langsung, dapat dibuktikan persamaan-persamaan berikut 1 − Li R i 2 Li − R i 2 Lk R j − L j R k 2 1 + Li R i 2
(x0 + ix1 + jx2 + kx3 ) = x0 + ix1 ,
(V.65)
(x0 + ix1 + jx2 + kx3 ) = −jx3 + kx2 ,
(V.66)
(x0 + ix1 + jx2 + kx3 ) = −x1 − ix0 ,
(V.67)
(x0 + ix1 + jx2 + kx3 ) = jx2 + kx3 .
(V.68)
Dengan menggunakan pers.(V.65) dan (V.66) dapat dibentuk operator R-linear kanan
Mx ≡ (1 − cos θx )
(1 − Li Ri ) (Li − Ri ) + cos θx + sin θx 2 2
(V.69)
yang memetakan q = x0 + ix1 + jx2 + kx3 menjadi Mx q, yakni
q 7−→ Mx q = x0 + ix1 + j(x2 cos θx − x3 sin θx ) + k(x2 sin θx + x3 cos θx ). (V.70)
Dari persamaan terakhir, jelas Mx memenuhi pers.(V.59). Sehingga sini dapat dis˜ HL ⊗ HR ). Operator ini merupakan operator rotasi impulkan bahwa Mx ∈ O(1,
66
˜ HL ⊗ HR ). terhadap sumbu x sebesar θx dalam grup O(1, Dengan mengubah indeks i dalam pers.(V.65) dan (V.66) menjadi j dan menyesuaikan ruas kanannya, dapat dibuat operator rotasi terhadap sumbu y sebesar θy sebagai
My ≡ (1 − cos θy )
(1 − Lj Rj ) (Lj − Rj ) + cos θy + sin θy . 2 2
(V.71)
Dengan langkah yang serupa, dapat dibentuk operator rotasi terhadap sumbu z sebesar θz sebagai
Mz ≡ (1 − cos θz )
(1 − Lk Rk ) (Lk − Rk ) + cos θz + sin θz 2 2
(V.72)
Dengan memanfaatkan pers.(V.65) dan per.(V.66) dapat pula dibentuk operator invers bagi Mx , My dan Mz yang masing-masing diberikan oleh (Li − Ri ) (1 − Li Ri ) + cosh θx − sin θx , 2 2 (1 − Lj Rj ) (Lj − Rj ) M−1 + cosh θy − sin θy , y = (1 − cosh θy ) 2 2 (1 − Lk Rk ) (Lk − Rk ) M−1 + cosh θz − sin θz . z = (1 − cosh θz ) 2 2 M−1 x = (1 − cosh θx )
(V.73) (V.74) (V.75)
Kemudian dengan memanfaatkan pers.(V.67) dan (V.68) dapat dibentuk operator boost sepanjang sumbu x sebagai
Nx ≡ (1 − cosh ϕx )
(1 + Li Ri ) (Lk Rj − Lj Rk ) + cosh ϕx + sinh ϕx . 2 2
(V.76)
67
Operator ini memetakan q = x0 + ix1 + jx2 + kx3 menjadi Nx q, yakni q 7−→ Nx q = (x0 cosh ϕx − x1 sinh ϕx ) + i(x1 cosh ϕx − x0 sinh ϕx ) + jx2 + kx3 . (V.77) Dari pers.(V.77), jelas operator Nx memenuhi pers.(V.59). Sehingga diperoleh bah˜ HL ⊗ HR ). Kemudian dengan menyesuaikan indeks-indeks pada wa Nx ∈ O(1, pers.(V.67) dan (V.68) dapat diperoleh operator-operator boost sepanjang sumbu y dan z sebagai
Ny ≡ (1 − cosh ϕy )
(Li Rk − Lk Ri ) (1 + Lj Rj ) + cosh ϕy + sinh ϕy , 2 2
(V.78)
Nz ≡ (1 − cosh ϕz )
(Lj Ri − Li Rj ) (1 + Lk Rk ) + cosh ϕz + sinh ϕz . 2 2
(V.79)
Dengan memanfaatkan pers.(V.67) dan (V.68) dapat dibentuk operator invers bagi Nx , Ny dan Nz yang masing-masing diberikan oleh (1 − Li Ri ) (Lk Rj − Lj Rk ) + cosh ϕx − sin ϕx , 2 2 (1 − Lj Rj ) (Li Rk − Lk Ri ) Ny−1 ≡ (1 − cosh ϕy ) + cosh ϕy − sin ϕy , 2 2 (1 − Lk Rk ) (Lj Ri − Li Rj ) Nz−1 ≡ (1 − cosh ϕz ) + cosh ϕz − sin ϕz . 2 2
Nx−1 ≡ (1 − cosh ϕx )
(V.80) (V.81) (V.82)
Dalam pernyataan β dan Γ, pers.(V.76), (V.78) dan (V.79) maka masing-masing dapat dinyatakan sebagai (1 + Li Ri ) (Lk Rj − Lj Rk ) + Γ + βΓ , 2 2 (1 + Lj Rj ) (Li Rk − Lk Ri ) Ny = (1 − Γ) + Γ + βΓ , 2 2 (1 + Lk Rk ) (Lj Ri − Li Rj ) Nz = (1 − Γ) + Γ + βΓ . 2 2
Nx = (1 − Γ)
(V.83) (V.84) (V.85)
68
Operator pembalikan sumbu waktu diberikan oleh 1 Pt ≡ (1 + Lµ Rµ ). 2
(V.86)
Sedangkan operator pembalikan tiga sumbu ruang dinyatakan oleh 1 Ps ≡ − (1 + Lµ Rµ ). 2
(V.87)
Jelas operator pembalikan sumbu waktu dan tiga sumbu ruang diberikan oleh
Pts = −1.
(V.88)
Pers.(V.69), (V.71), (V.72), (V.76), (V.78) dan (V.79) akan menjadi operator identitas 1 jika θx = θy = θz = ϕx = ϕy = ϕz = 0. Oleh karena itu, turunan masing-masing operator di titik identitas diberikan oleh dMx ˆ M1 ≡ dθx θx =0 dM y ˆ2 ≡ M dθy θy =0 dMz ˆ M3 ≡ dθz θz =0 dN x ˆ1 ≡ N dϕx ϕx =0 dN y ˆ2 ≡ N dϕy ϕx =0 dNz ˆ N3 ≡ dϕz ϕz =0
Li − Ri , 2 Lj − Rj = , 2 =
Lk − Rk , 2 Lk Rj − Lj Rk = , 2 =
(V.89) (V.90) (V.91) (V.92)
=
Li Rk − Lk Ri 2
(V.93)
=
L j R i − Li R j . 2
(V.94)
Keenam persamaan terakhir masing-masing merupakan pembangkit-pembangkit bagi rotasi terhadap sumbu x, y dan z serta pembangkit boost sepanjang sumbu x, y dan z.
69
Keenam pembangkit itu memenuhi kaitan komutasi berikut ˆ 1 = [M ˆ 2, M ˆ 3 ], M
ˆ 1 = [N ˆ3 , N ˆ2 ], N ˆ 1 = [M ˆ 2, N ˆ 3 ] = [N ˆ2 , M ˆ 3 ], M
ˆ 2 = [M ˆ 3, M ˆ 1 ], M
ˆ 2 = [N ˆ1 , N ˆ3 ], N ˆ 2 = [M ˆ 3, N ˆ 1 ] = [N ˆ3 , M ˆ 1 ], M
ˆ 3 = [M ˆ 1, M ˆ 2 ], M
ˆ 3 = [N ˆ2 , N ˆ1 ], N ˆ 3 = [M ˆ 1, N ˆ 2 ] = [N ˆ1 , M ˆ 2 ]. M
(V.95)
Dengan menggunakan pembangkit-pembangkit diatas, maka unsur-unsur yang ber bentuk ~ × R) ~ + θ~ · (L ~ − R)) ~ A = exp(~ ϕ · (L
(V.96)
˜ HL ⊗ HR ) disimbolkan dengan SO f o (1, HL ⊗ mendefinisikan suatu subgrup dari O(1, HR ), yang merupakan padanan dari SOO (3, 1) dalam dunia aljabar kuaternion.
BAB VI PERSAMAAN DIRAC DAN PENYAJIANNYA DENGAN ALJABAR KUATERNION Persamaan gelombang Schr¨odinger1 memainkan aturan dasar dalam mekanika kuantum, yang dapat ditinjau sebagai hukum dinamika mikroskopis (berkaitan dengan objek yang ukuran terbesarnya ±10−6 ) yang analog dengan persamaan-persamaan gerak Newton dalam mekanika makro klasik. Persamaan ini dapat digunakan untuk menggambarkan sistem banyak partikel namun tidak dapat digunakan untuk menggambarkan fenomena yang berenergi tinggi karenanya persamaan ini tidak memenuhi asas relativitas dan tidak kovarian Lorentz. Penyebab ketidak kovarianan ini berkaitan dengan adanya orde yang berbeda pada turunan terhadap waktu dengan turunan terhadap ruang. Mekanika kuantum yang seperti ini disebut sebagai mekanika kuantum tak relativistik. Selanjutnya usaha-usaha untuk merumuskan suatu persamaan gelombang yang relativistik pun dilakukan untuk menggantikan persamaan Schr¨odinger. Usaha ini membuahkan hasil berupa persamaan diferensial gelombang berorde dua, yang diperoleh dengan menerapkan operator energi-momentum2 pada persamaan energi-momentum relativistik, yang dikenal dengan sebutan persamaan Klein-Gordon.3 Persamaan ini telah kovarian terhadap transformasi Lorentz karena, seperti dalam elektrodinamika, operator d’Alembert ≡ ∂µ ∂ µ yang terdapat dalam persamaan ini invarian dibawah transformasi Lorentz. Walaupun persamaan Klein-Gordon ini telah relativistik, namun persamaan ini masih memiliki permasalahan yaitu berkaitan dengan keberadaan 1
Persamaan ini dikemukakan pertamakali oleh Erwin Schr¨odinger. ∂ ∂ Operator diferensial untuk E dan P~ dinyatakan oleh E → i ∂t , p~ → −i ∂~ x = −i∇. 3 Usaha untuk menemukan persamaan ini dilakukan oleh Erwin Schr¨odinger, Oskar Klein dan Walter Gordon. Akhirnya persamaan ini dapat menggambarkan zarah tunggal berspin 0 . 2
70
71
rapat peluang menemukan zarah pada posisi ~x di saat t yang tidak lagi mutlak positif serta adanya penyelesaian persamaan gelombang bagi suatu zarah bebas yaitu memiliki tenaga bernilai negatif. Adanya suku
∂2 ∂t2
pada persamaan Klein-Gordon
memberi pengaruh pada persamaan kontinuitasnya yaitu menyebabkan persamaan rapat peluangnya akan memuat suku
∂ ∂t
sehingga memungkinkan adanya nilai pelu-
ang yang negatif. Sedangkan adanya penyelesaian yang terkait dengan energi yang bernilai negatif berasal dari persamaan energi-momentum relativistik4 dari suatu zarah bermassa5 m E 2 = p~2 + m2 .
VI.1
(VI.1)
Stuktur Persamaan Dirac
Permasahan yang ada dalam persamaan Klein-Gordon itulah yang menjadi titik tolak Paul Adrien Maurice Dirac (1902-1984) untuk menyusun persamaan gelombang yang baru. Dirac mencoba merumuskan suatu persamaan gelombang dengan mensyaratkan persamaannya linear dalam
∂ ∂t
(persamaan diferensial orde perta-
ma terhadap waktu) sehingga nilai peluangnya mutlak positif. Kemudian persamaan itu juga harus memenuhi kaitan energi-momentum relativistik sehingga komponen ψ (fungsi gelombang) harus memenuhi persamaan Klein-Gordon, dan harus kovarian dibawah transformasi Lorentz sehingga persamaannya ini pun harus linear dalam ∇. Bentuk umum persamaan tersebut adalah ˆ = (α · p~ + βm)ψ, Hψ 4
(VI.2)
Untuk mempermudah penulisan, dalam bab ini digunakan sistem satuan dengan ~ = c = 1. Dalam pembahasan ini dan selanjutnya istilah massa mengacu pada pengertian massa rehat. Istilah massa relativistik zarah tidak digunakan, sesuai dengan kesepakatan terakhir mengenai observabel massa. [Muslim, 1997]. 5
72
dengan koefisien αi (i = 1, 2, 3) dan β ditentukan dari syarat bahwa partikel bebas harus memenuhi kaitan energi-momentum pers.(VI.1) yang dinyatakan dalam ˆ 2 ψ = (~p2 + m2 )ψ. H
(VI.3)
Koefisien α dan β yang memenuhi pers.(VI.2) dan (VI.3) harus memenuhi sifat-sifat berikut αi αj + αj αi = {αi , αj } = 0,
(VI.4)
αi β + βαi = {αi , β} = 0,
(VI.5)
αi2 = β 2 = 1.
(VI.6)
dan
Dari sifat-sifat koefisien α dan β yang tidak rukun ini Dirac mengusulkan bahwa koefisien-koefisian itu harus ditafsirkan sebagai matriks-matriks yang beroperasi pada suatu fungsi gelombang ψ yang merupakan suatu vektor kolom multikompoˆ dalam pers.(VI.2) maka matriks-matriks nen. Untuk mempertahankan kehermitan H αi dan β harus Hermitan yaitu αi† = α,
β † = β.
(VI.7)
Kemudian dari pers.(VI.6) terlihat bahwa matriks-matriks αi dan β hanya memiliki swanilai ±1. Dari pers.(VI.5) dan (VI.6), dengan menggunakan sifat siklus invarian lacak, diperoleh bahwa matriks-matriks itu tak berlacak Trαi = Trβ = 0. Akibatnya, jumlah swanilai positif dan negatif yang dimilikinya harus sama sehingga dimensi matriks (N ) itu harus genap. Untuk N = 2, pers.(VI.4) dan (VI.5) tidak dapat dipenuhi karena hanya terdapat 3 matriks yang saling anti-komutatif, yang dapat diwakili oleh matriks-matriks Pauli ~σi , i = 1, 2, 3 (Greiner, 2000). Sehingga N = 4
73
merupakan dimensi yang paling kecil yang mungkin untuk menyatakan struktur aljabar dalam pers.(VI.4), (VI.5) dan (VI.6). Persamaan Dirac pada pers.(VI.2) dapat dinyatakan dengan
i
∂ ∂ ψ = −iαi i ψ + βmψ. ∂t ∂x
(VI.8)
Jika pers.(VI.8) dikalikan dari kiri dengan β, diperoleh
iβ
∂ ψ = −iβα · ∇ψ + mψ, ∂t
(VI.9)
yang dapat ditulis dengan (iγ µ ∂µ − m)ψ = 0.
(VI.10)
Pers.(VI.10) merupakan bentuk kovarian6 dari persamaan Dirac, dengan
γ µ = (γ 0 , γ i ) ≡ (β, βα),
i = 1, 2, 3.
(VI.11)
Matriks-matriks itu disebut sebagai matriks γ-Dirac. Matriks-matriks ini memenuhi kaitan anti-komutasi berikut
{γ µ , γ ν } = γ µ γ ν + γ ν γ µ = −2η µν ,
(VI.12)
serta γ 0† = γ 0 ,
(γ 0 )2 = I4 ,
γ k† = (βαk )† = αk β = −γ k , (γ k )2 = βαk βαk = −I4 . 6
Tentang kekovarianan pers(VI.10), akan dijelaskan dalam fasal 6.1.1.
(VI.13)
74
Operasi konjugasi Hermit di atas dapat dirangkum sebagai berikut
γ µ† = γ 0 γ µ γ 0 .
(VI.14)
Selanjutnya akan dicari bentuk rapat peluang (ρ) dan rapat arus j untuk partikel Dirac. Adjoin dari persamaan Dirac dalam pers.(VI.23) adalah ¯ µ + mψ¯ = 0 i∂µ ψγ
(VI.15)
dengan spinor adjoin didefinisikan sebagai ψ¯ ≡ ψ † γ 0 .
(VI.16)
Dengan mengalikan pers.(VI.10) dari kiri oleh ψ¯ dan pers.(VI.15) dari kanan oleh ψ, kemudian mengurangkannya, hasilnya berupa ¯ µ ∂µ ψ + ∂µ (ψγ ¯ µ ψ) = 0 ψγ
(VI.17)
yang dapat dinyatakan dengan ¯ µ ψ) = 0. ∂µ (ψγ
(VI.18)
Persamaan terakhir dipandang sebagai persamaan kontinuitas ∂µ j µ = 0 dengan j µ didefinisikan sebagai ¯ µ ψ. j µ = ψγ
(VI.19)
Komponen ke-0 dari j µ diidentikkan dengan rapat peluang (ρ), sedangkan komponen ke-1,2 dan 3 akan diidentikkan dengan rapat arus j i = j. Dengan menggunakan
75
pers.(VI.16) dan (VI.19), rapat peluang (ρ) berbentuk ¯ 0ψ = ψ†ψ = ρ = ψγ
4 X
|ψi |2 ,
(VI.20)
i=1
yang bernilai mutlak positif. Seperti yang telah dikemukakan pada awal bab ini, bahwa hal yang memotivasi usaha Dirac adalah rapat peluang yang bernilai mutlak positif. Sedangkan rapat Arus dinyatakan dengan ¯ i ψ = ψ † γ 0 γ i ψ = ψ † αi ψ. j = ψγ
VI.1.1
(VI.21)
Kovariansi Lorentz Persamaan Dirac Asas kovariansi dalam relativitas khusus mensyaratkan persamaan Dirac harus
kovarian Lorentz, yaitu peninjauan persamaan Dirac di dua kerangka inersial K(xµ ) dan K 0 (x0µ ), yang dihubungkan dengan suatu transformasi Lorentz, harus sama bentuknya. Sehingga persamaan Dirac di masing-masing kerangka itu dinyatakan oleh
(iγ µ ∂µ − m)ψ(xµ ) = 0,
(VI.22)
(iγ µ ∂µ0 − m)ψ 0 (x0µ ) = 0,
(VI.23)
dan
dengan x0µ = Λµ ν xν dan berlaku ∂µ = Λν
0 µ ∂ν .
Matriks γ µ dalam persaman di
atas tidak berubah terhadap transformasi Lorentz (Schwabl, 2005). Untuk memenuhi kovariansi Lorentz persamaan Dirac, perlu dicari suatu matriks tak-singular 4 × 4 S(Λ) yang memenuhi ψ 0 (x0µ ) = S(Λµ ν )ψ(xµ ).
(VI.24)
76
Dengan mensubtitusikan pers.(VI.24) ke dalam pers.(VI.22) diperoleh
S(Λη ξ )γ µ S −1 (Λη ξ )Λν
= γν
(VI.25)
S(Λη ξ )γ µ S −1 (Λη ξ ) = Λνµ γν .
(VI.26)
µ
atau
Pers.(VI.25) atau (VI.26) dapat digunakan sebagai syarat bagi wakilan grup Lorentz dalam ruang spinor Dirac. Terhadap syarat itu, persamaan Dirac (VI.10) akan kovarian. Fungsi gelombang yang berupa vektor kolom empat komponen yang tertransformasi berdasarkan pers.(VI.24) dan memenuhi pers.(VI.26) disebut spinor Dirac. Suatu transformasi Lorentz infinitesimal dapat dituliskan dalam bentuk
Λµν = g µν + µν ,
(VI.27)
dengan µν adalah matriks anti-simetris
µν
ξ1 ξ2 ξ3 0 −ξ1 0 θ3 −θ2 = −ξ −θ 0 θ1 2 3 −ξ3 θ2 −θ1 0
,
(VI.28)
i dan θi dengan i = 1, 2, 3 merupakan parameter boost dan rotasi. Transformasi infinitesimal S(Λη ξ ) yang berkaitan dengan transformasi Lorentz dalam pers.(VI.27) dinyatakan dengan i S(µν ) = I − σµν µν 4
(VI.29)
77
dan inversinya S −1 (Λη ξ ) dinyatakan oleh i S −1 (µν ) = I + σµν µν , 4
(VI.30)
dengan σµν matriks 4×4 anti-simetri yang beroperasi pada fungsi gelombang ψ, yang memenuhi (Schulten, 2000) i σµν = [γµ , γν ]. 2
(VI.31)
Berikut akan dicari kaitan antara fluks j µ pada suatu kerangka inersial dengan fluks j 0µ pada suatu kerangka inersial lain untuk suatu sistem fisis yang sama. Jika melihat pada persamaan kontinuitas (VI.18), sisi sebelah kanan persamaan itu tergolong skalar. Oleh karena itu, sisi sebelah kiri pun harus bersifat skalar. Karena ∂µ tertransformasi seperti layaknya vektor-4 kovarian, maka j µ harus tertransformasi seperti vektor-4 kontravarian. Untuk menunjukkan hal itu, akan digunakan kaitan berikut7 S −1 = γ 0 S † γ 0 ,
(VI.32)
dengan S memenuhi pers.(VI.26). Sekarang akan ditentukan kaitan antara fluks
j 0µ = ψ 0† (xµ )γ 0 γ µ ψ 0 (x0µ )
(VI.33)
pada suatu kerangka K 0 (x0µ ) dengan fluks
j µ = ψ † (xµ )γ 0 γ µ ψ(xµ )
(VI.34)
pada suatu kerangka K(xµ ) yang terhubung oleh transformasi Lorentz Λ, sehingga 7
Pembuktian persamaan ini akan lebih mudah jika digunakan wakilan chiral. Terhadap transformasi similar, persamaan itu akan tetap berlaku dalam wakilan barunya.
78
x0µ = Λµν xν. Jika j 0µ dinyatakan dalam ψ(xµ ), maka pers.(VI.33) akan menjadi j 0µ = ψ † (xµ )S † γ 0 γ µ Sψ(xµ ) (VI.35) †
µ
0
= ψ (x )γ S
−1 µ
µ
γ Sψ(x ).
Untuk memperoleh persamaan terakhir telah digunakan pers.(VI.32). Kemudian dengan menggunakan S −1 (Λη ξ ) = S((Λ−1 )η ξ ), pers.(VI.23) dapat dituliskan menjadi S −1 (Λη ξ )γ µ S(Λη ξ ) = (Λ)νµ γν = (Λ−1 )ν µ γ ν = Λµ ν γν .
(VI.36)
Dengan mengkombinasikan persamaan terakhir dengan pers.(VI.35), diperoleh kaitan
j 0µ = Λµ ν j ν .
(VI.37)
Sampai di sini terlihat bahwa rapat fluks j µ tertransformasi layaknya vektor-4 kontravarian.
VI.1.2 Transformasi Similar antar Wakilan Suatu bentuk eksplisit ψ yang memenuhi pers.(VI.10) menandakan telah digunakannya suatu bentuk eksplisit dari wakilan grup SL(2, C) dalam ruang yang menampung spinor-spinor Dirac. Bentuk eksplisit wakilan lain ψ˜ yang diperoleh dari suatu matriks tak-singular 4 × 4 S melalui ˜ µ ) = Sψ(xµ ) ψ(x
(VI.38)
akan menghasilkan persamaan Dirac yang baru ˜ µ) = 0 (i˜ γ µ ∂µ − m)ψ(x
(VI.39)
79
jika berlaku γ˜ µ = Sγ µ S −1 .
(VI.40)
Matriks-matriks γ-Dirac dalam wakilan yang baru (pers.(VI.40)) tetap memenuhi pers.(VI.12) dan (VI.13). Secara umum, operator-operator yang bekerja pada ψ juga tertransformasi similar seperti halnya yang dialami γ µ dalam pers.(VI.40). Kemudian, jika ψ merupakan swafungsi bagi operator {A1 , A2 , ..., An }, sehingga semua operator itu saling rukun, maka kerukunan itu juga akan tetap terjaga oleh transformasi similar S dalam pers.(VI.40). Kemudian, swanilai untuk suatu operator tidak akan berubah nilainya oleh perpindahan wakilan. Sehingga pada hakikatnya, hasil-hasil penting dalam kajian ini tidak tergantung pada suatu wakilan tertentu. Namun demikian, pemilihan penggunaan suatu wakilan tertentu terkadang terasa memudahkan dalam memperoleh hasil-hasil penting.
VI.1.3
Wakilan Chiral Salah satu wakilan yang sering digunakan adalah wakilan chiral. Dalam wak-
ilan ini, matriks-matriks α ˜ dan β˜ berbentuk8 σi 0 α ˜i = , 0 −σi
0 I2 β˜ = , I2 0
(VI.41)
dengan σi merupakan matriks Pauli dan I2 merupakan matriks identitas 2 × 2, yakni
0 1 σ1 = , 1 0
0 −i σ2 = , i 0
1 0 σ3 = , 0 −1
1 0 I2 = . (VI.42) 0 1
Untuk selanjutnya, tanda˜pada ψ˜ ataupun pada operator-operator yang bekerja padanya menandakan ψ˜ maupun operator-operator itu dinyatakan dalam wakilan chiral. 8
80
Matriks-matriks γ-Dirac yang didefinisikan dalam pers.(VI.11), dalam wakilan ini berbentuk
0 I γ˜ 0 = ; I 0
0 −σi γ˜ i = , i = 1, 2, 3. σi 0
(VI.43)
ˆ dalam pers.(VI.2) berbentuk Dari sini, operator Hamiltonan H m ˆ˜ = ~σ · p~ H . m −~σ · p~
(VI.44)
Kemudian, matriks-matriks γ˜µ yang didefinisikan melalui γ˜µ ≡ −ηµν γ˜ ν akan berbentuk
i −iσi 0 σ ˜0i = [˜ γ0 , γ˜i ] = ; 2 0 iσi
σk 0 σ ˜ij = [˜ γi , γ˜j ] = ijk . 0 σk
(VI.45)
Dari sini, matriks-matriks pembangkit σ ˜µν dalam pers.(VI.31) yang tidak lenyap diberikan oleh
σk 0 σ ˜ij = [˜ γi , γ˜j ] = ijk . 0 σk
i −iσi 0 σ ˜0i = [˜ γ0 , γ˜i ] = ; 2 0 σi
(VI.46)
Aljabar pembangkit-pembangkit ini tertutup terhadap operasi penjumlahan dan perkalian matriks, karena keduanya bekerja mengubah operator-operator blok-diagonal
A 0 0 B lagi-lagi ke dalam operator-operator blok-diagonal, dan karena aljabar matriks-matriks Pauli juga bersifat tertutup. Ketertutupan aljabar pembangkit-pembangkit σ ˜µν tidak
81
berubah oleh transformasi similar dan semua wakilan dari operator-operator itu khususnya wakilan pada pers.(VI.31) menghasilkan aljabar yang tertutup. Dengan sifat ketertutupan aljabar generator-generator σ ˜µν ini maka transformasi bispinor S untuk setiap µν (tidak harus infinitesimal) dapat dinyatakan dalam bentuk eksponensial (Schulten, 2000)
i µν S = exp − σµν . 4
(VI.47)
Pada fasal sebelumnya transformasi S secara langsung ditentukan melalui transformasi Lorentz Λµ ν . Oleh karena itu S dapat pula dinyatakan dalam parameter boost ~ dan rotasi (θ) ~ seperti dalam transformasi Lorentz pers.(II.55). Dengan mema(ξ) sukkan µν pers.(VI.28) ke dalam pers.(VI.47) diperolehlah hubungan antara transformasi Lorentz (II.55) dan S. Dalam wakilan chiral berlaku i i − σ ˜µν µν = − (˜ σ01 01 + σ ˜02 02 + σ ˜03 03 + σ ˜12 12 + σ ˜13 13 + σ ˜23 23 ) 4 2 ~ · ~σ 0 1 −(ξ~ + iθ) = . 2 ~ ~ 0 (ξ − iθ) · ~σ
(VI.48)
Karena operator ini tidak mengubah bentuk blok-diagonalnya dalam eksponensial, maka transformasi bispinor S pers.(VI.47) dalam wakilan chiral menjadi
~ θ)·~ ~ σ − 12 (ξ+i
e ~ θ) ~ = ˜ ξ, S(
0
0 e
1 ~ ~ σ (ξ−iθ)·~ 2
.
(VI.49)
Bentuk ini merupakan homomorfisme Ω : SL(2, C) → GL(4, C) yang secara umum
82
berbentuk
0 A Ω(A) = ∈ GL(4, C), 0 (A† )−1
A ∈ SL(2, C).
(VI.50)
Kemudian bentuk homomorfisme dari SL(2, C) ke SOo (3, 1) dalam pers.(II.65) akan dituliskan ulang dalam bentuk
X((Λ(A))(x)) = AX(x)A† ,
A ∈ SL(2, C).
(VI.51)
¯ : SOo (3, 1) → Terkait dengan homomorfisme terakhir, tidak mungkin ada homomorfisme Ω GL(4, C) yang memenuhi kaitan berikut ¯ Ω(Λ(A)) = Ω(A).
(VI.52)
Hal ini dijamin oleh kenyataan berikut. Andaikan homomorfisme itu ada. Ma¯ 4 = I4 . Tetapi jika A = −I2 ∈ SL(2, C), maka sisi kiri dari ka haruslah Ω(I) pers.(VI.52) akan memberikan I4 ∈ GL(4, C) sedangkan sisi sebelah kanan akan ¯ memberikan −I4 ∈ GL(4, C). Dari sini dapat disimpulkan bahwa homomorfisme Ω yang memenuhi pers.(VI.52) tidak ada.
VI.1.4
Wakilan Standar Selain menggunakan wakilan chiral, wakilan lain yang sering digunakan adalah
wakilan standar. Dalam wakilan ini, αi dan β berbentuk
0 σi αi = , σi 0
I2 0 β= , 0 −I2
(VI.53)
83
dan sering disebut sebagai matriks-matriks Dirac-Pauli. Matriks γ- Dirac dalam wakilan standar dinyatakan dengan
I 0 γ0 = ; 0 −I
0 σi γi = . −σi 0
(VI.54)
Dari sini, operator Hamiltonan dalam pers.(VI.2) dinyatakan dalam wakilan standar sebagai
m ~σ · p~ ˆ = H . ~σ · p~ −m
(VI.55)
Wakilan standar dapat diperoleh dari wakilan chiral melalui transformasi similar oleh
1 I2 I2 S=√ , 2 I −I 2 2
1 I2 I2 S −1 = √ . 2 I −I 2 2
(VI.56)
Dengan menggunakan S dalam pers.(VI.56), pembangkit-pembangkit σµν dalam wakilan standar berbentuk
−iσi 0 σ0i = [γ0 , γi ] = ; −iσi 0
l
σ σij = [γi , γj ] = ijk 0
0 . l σ
(VI.57)
Kemudian, transformasi Lorentz versi wakilan standar dapat diperoleh dengan menerapkan transformasi similar terhadap pers.(VI.49), yang menghasilkan
~ θ)·~ ~ σ − 12 (ξ+i
1 ~ ~ σ (ξ−iθ)·~ 2
~ θ)·~ ~ σ − 12 (ξ+i
1 ~ ~ σ (ξ−iθ)·~ 2
e +e e −e ~ θ) ~ = 1 S(ξ, 1 . 1 ~ 1 ~ 1 ~ ~ θ)·~ ~ σ ~ ~ ~ 2 e− 2 (ξ+i − e 2 (ξ−iθ)·~σ e− 2 (ξ+iθ)·~σ + e 2 (ξ−iθ)·~σ
(VI.58)
84
VI.1.5
Penyelesaian Persamaan Dirac untuk Partikel Bebas Penyelesaian persamaan Dirac (VI.23) untuk partikel bebas dinyatakan oleh
ϕ(x ) ϕ0 −i(t−~p·x) ψ(xµ ) = , = e µ χ(x ) χ0 µ
(VI.59)
dengan p~ dan bersama-sama mewakili empat konstanta real, yang pada gilirannya didefinisikan sebagai momentum dan energi, dan ϕ0 , χ0 masing-masing mewakili spinor dua komponen. Dengan memasukkan pers.(VI.59) ke dalam pers.(VI.22), dan menggunakan wakilan standar, maka persamaan swafungsi energi dalam pers.(VI.22), dapat dinyatakan menjadi
ϕ0 m α ~ · p~ ϕ0 ϕ 0 ˆ H = = . χ0 α ~ · p~ −m χ0 χ0
(VI.60)
Jika partikel dalam keadaan diam, maka pers.(VI.60) menjadi ˆ H
ϕ0 mI2 0 ϕ 0 = χ0 0 −mI2 χ0
(VI.61)
dengan swanilai = m, m, −m, −m, dan swafungsi 1 0 , 0 0
0 1 , 0 0
0 0 , 1 0
0 0 . 0 1
(VI.62)
Dua penyelesaian yang pertama menggambarkan suatu partikel dengan > 0, sedangkan dua penyelesaian terakhir menggambarkan partikel dengan E < 0 (antipartikel
85
dengan E > 0) (Halzen dan Martin, 1984). Untuk p~ 6= 0 pers.(VI.60) dapat dinyatakan dengan ( − m)I2 ϕ0 − ~σ · p~χ0 = 0 (VI.63) −~σ · p~ϕ0 + ( + m)Iχ0 = 0. Dengan mengalikan ( + m)I2 pada persamaan yang pertama, dan −~σ · p~ pada persamaan yang kedua kemudian mengurangkannya, akan menghasilkan
[(2 − m2 )I2 − (~σ · p~)2 ]ϕ0 = 0.
(VI.64)
Karena (~σ · p~)2 = p~2 I2 , maka dari pers.(VI.64) dapat disimpulkan kaitan energimomentum relativistik berbentuk
2 = m2 + p~2
(VI.65)
yang memiliki penyelesaian energi positif dan energi negatif
= ±E(~p),
E(~p) =
p m2 + p~.
(VI.66)
Dari sini jelaslah bahwa persamaan Dirac juga seperti halnya persamaan Klien-Gordon memiliki penyelesaian swanilai energi yang bernilai positif dan negatif. Tetapi menurut St¨ uckelberg (1941) dan Feynman (1948), penyelesaian energi negatif ditafsirkan sebagai partikel yang merambat dalam arah waktu yang terbalik, atau ekivalen dengan anti partikel yang berenergi positif dan merambat dalam arah waktu yang positif. Dari pers.(VI.63), maka kaitan antara ϕ0 dan χ0 dapat dinyatakan dengan
ϕ0 =
~σ · p~ χ0 , −m
(VI.67)
86
χ0 =
~σ · p~ ϕ0 , +m
(VI.68)
dengan seperti yang didefinisikan pada pers.(VI.66). Kaitan pers.(VI.67) dan (VI.68) berimplikasi bahwa dalam petilan bispinor (ϕ dan χ) hanya mengizinkan dua derajat kebebasan yang independen. Dua derajat kebebasan ini disebut dengan helisitas (Schulten,2000). Berkaitan dengan penyelesaian energi positif dan negatif, pers.(VI.66) akan dikaji secara terpisah. Untuk penyelesaian energi positif, E = +E(~p), ϕ0 dinyatakan melalui vektor yang ternormalisasi u 1 ϕ0 = = u ∈ C2 , u† u = |u1 |2 + |u2 |2 = 1. u2
(VI.69)
Dari sini partikel Dirac bebas dapat digambarkan melalui fungsi gelombang ψ(~p, +|xµ ) = N+ (~p)
u ~ σ ·~ p u E(~ p)+m
−i(t−~p·~x) , e
= +E(~p),
(VI.70)
dengan N+ (~p) merupakan suatu konstanta yang akan dipilih untuk memenuhi syarat normalisasi ψ † (~p, +)γ 0 ψ(~p, +) = 1.
(VI.71)
Sedangkan untuk penyelesaian energi negatif dinyatakan melalui χ yang diberikan oleh
u 1 χ0 = = u ∈ C2 , u† u = |u1 |2 + |u2 |2 = 1, u2
(VI.72)
87
yang berkaitan dengan fungsi gelombang
−~ σ ·~ p E(~p)+m u −i(t−~p·~x)
ψ(~p, −|xµ ) = N− (~p)
u
e
,
= −E(~p),
(VI.73)
dengan N− (~p) merupakan suatu konstanta yang akan dipilih untuk memenuhi syarat normalisasi ψ † (~p, −)γ 0 ψ(~p, −) = −1.
(VI.74)
Dengan syarat normalisasi itu diperoleh r N+ (~p) = N− (~p) =
m + E(~p) . 2
(VI.75)
Fungsi gelombang partikel Dirac bebas dalam pers.(VI.70) dan (VI.73) belum terspesifikasikan secara lengkap, karena dua komponen u mengindikasikan derajat kebebasan lainnya yang perlu untuk didefinisikan. Derajat kebebasan ini menggambarkan suatu sifat spin
1 2
(Schulten, 2000), disebut dengan helisitas, yang didefin-
isikan sebagai komponen spin partikel sepanjang arah geraknya. Operator terkait yang mengukur observabel ini adalah 1 1 ~σ · p~ˆ Σ · p~ˆ ≡ I4 . 2 2 |~p|
(VI.76)
ˆ dan p~ˆ. Sedangkan untuk mencari swafungsi Operator ini terbukti rukun dengan H ˆ akan dimulai dari pers bagi operator helisitas yang sekaligus merupakan operator H (VI.73) dan (VI.70). Sekarang ditinjau kasus partikel yang bergerak ke arah sumbu x3 yakni p~ = (0, 0, p3 ). Dalam kasus ini, 21 Σ · p~ˆ = 12 σ3 I4 . Karena dua vektor u (1 0)T dan (0 1)T merupakan swafungsi bagi 12 σ3 dengan swanilai ± 12 , maka kedua vektor u itu meru-
88
pakan pernyataan eksplisit bagi vektor u dalam pers.(VI.70) dan (VI.73) yang akan ˆ dan 1 Σ · p~ˆ3 . Untuk = E(p) > 0, swafungsi memberikan swafungsi bersama bagi H 2 yang dimaksud dinyatakan oleh 1 0 1 e−i(Ep t−px3 ) ψ(pˆ e3 , +, + |~x, t) = Np 2 p 1 m+EP 0
0 1 −i(E t−px3 ) 1 p e ψ(pˆ e3 , +, − |~x, t) = Np 2 p 0 m+EP 1
(VI.77)
(VI.78)
dengan eˆ3 merupakan vektor satuan arah sumbu x3 dan r p Ep = m2 + p2 ;
Np =
m + Ep . 2m
(VI.79)
Kemudian untuk partikel berenergi = Ep < 0, fungsi gelombang yang merupakan swafungsi operator helisitas itu dinyatakan sebagai −p 1 m+EP 0 −i(−E t−px3 ) 1 p e ψ(pˆ e3 , −, + |~x, t) = Np 2 1 0
(VI.80)
89
p 1 m+EP 0 1 e−i(−Ep t−px3 ) ψ(pˆ e3 , −, − |~x, t) = Np 2 1 0
(VI.81)
dengan Ep dan Np didefinisikan seperti pada pers.(VI.79). Untuk memperoleh fungsi gelombang partikel dalam arah sembarang p~ yang ˆ dan 1 Σ · p~ˆ, vektor (1 0)T dan (0 1)T pamerupakan swafungsi bersama bagi H 2 da persaman di atas harus diganti dengan swakeadaan u± (~p) bagi operator helisitas sepanjang arah p~. Swakeadaan itu diperoleh dengan melakukan transformasi rotasi sebagai berikut 1 i~ 1 u(~p, + ) = exp − θ(~ p) · ~σ , 2 2 0
(VI.82)
1 i~ 0 u(~p, − ) = exp − θ(~ p) · ~σ , 2 2 1
(VI.83)
~ p) = eˆ3 × p~ ∠(ˆ θ(~ e3 , p~) |~p|
(VI.84)
dengan
menggambarkan rotasi yang membuat sumbu x3 berhimpit dengan p~. Dari sini, fungsi ˆ dan bagi operator helisitas gelombang yang merupakan swafungsi bersama bagi H sepanjang arah p~ dinyatakan sebagai 1 ψ(~p, +, + |~x, t) = Np 2
1 ψ(~p, +, − |~x, t) = Np 2
u(~p, + 12 ) −i(E t−~p·~x) p e
(VI.85)
p u(~p, + 12 ) m+Ep
u(~p, − 12 ) −i(E t−~p·~x) p e
−p u(~p, − 12 ) m+Ep
(VI.86)
90
−p 1 m+Ep u(~p, + 2 ) −i(−Ep t−~p·~x)
1 ψ(~p, −, + |~x, t) = Np 2
u(~p, + 12 )
e
p 1 m+Ep u(~p, − 2 ) −i(−Ep t−~p·~x)
1 ψ(~p, −, − |~x, t) = Np 2
(VI.87)
u(~p, − 12 )
e
(VI.88)
dengan Ep dan Np diberikan pada pers.(VI.80).
VI.2
Persamaan Dirac dalam Aljabar Kuaternion
Dalam fasal 6.1.3 telah disebutkan bahwa salah satu bentuk transformasi Lorentz, yakni wakilan chiral, dalam ruang yang menampung spinor-spinor Dirac berbentuk blok diagonal 4 × 4 dengan unsur-unsur blok diagonalnya adalah A dan (A† )−1 dengan A ∈ SL(2, C). Di dalam aljabar kuaternion terdapat padanan dari ruang spinor dan grup SL(2, C). Padanan itu masing-masing berupa H dan SL(1, HL ⊗ HR ). Dari sini ruang yang menampung spinor-spinor Dirac kuaternionik akan berbentuk H2 . Sedangkan salah satu bentuk wakilan bagi grup SL(1, HL ⊗ HR ) dalam H2 akan berbentuk jumlahan dua buah wakilan satu dimensi dari grup SL(1, HL ⊗ HR ) dalam ruang H yang tidak ekivalen. Bentuk wakilan ini merupakan padanan wakilan chiral dan selanjutnya akan disebut sebagai wakilan chiral kuaternionik.
VI.2.1
Wakilan Chiral Kuaternionik Telah disebutkan dalam fasal 5.2 bahwa bentuk umum transformasi Lorentz
dalam ruang spinor kuaternionik adalah (pers.(V.55)) ~ ϕ ~ · (θ~ + Ri ϕ s˜+ (θ, ~ ) = exp(L ~ )/2)
(VI.89)
91
yang bekerja pada spinor kuaternionik q˜+ . Seperti halnya pada grup SL(2, C), pada grup SL(1, HL ⊗ HR ) pun terdapat wakilan ~ ϕ ~ · (θ~ − Ri ϕ s˜− (θ, ~ ) = exp(L ~ )/2)
(VI.90)
yang bekerja pada spinor kuaternionik q˜− yang tidak ekivalen dengan wakilan dalam pers.(VI.89). Dari sini dapat dibentuk wakilan chiral kuaternionik bagi grup SL(1, HL ⊗ HR )
s˜+ 0 ~ ϕ ˜ θ, S( ~) = 0 s˜−
(VI.91)
q˜+ ψ˜ = q˜−
(VI.92)
dan spinor Dirac kuaternionik
~ ϕ ˜ θ, yang tertransformasi oleh S( ~ ) menurut
s˜+ 0 q˜+ ψ˜ 7−→ . 0 s˜− q˜−
(VI.93)
Persamaan Dirac, berbeda dengan yang dipaparkan pada fasal 6.1, dapat diperoleh dengan memanfaatkan transformasi boost. Untuk tujuan ini akan dimanfaatkan transformasi boost, θ~ = 0, ϕ ~ 6= 0, ~ i·ϕ q˜+ 7−→ exp(LR ~ /2)˜ q+ = exp(Ln Ri ϕ/2)˜ q+
(VI.94)
dengan ~ · ~n = n1 Li + n2 Lj + n3 Lk , Ln ≡ L
L2n
q = −1, ϕ = ϕ2x + ϕ2y + ϕ2z .
(VI.95)
92
Pers.(VI.94) dapat berbentuk
q˜+ 7−→ (cosh
ϕ ϕ + Ln Ri sinh )˜ q+ , 2 2
(VI.96)
sedangkan transformasi terhadap q˜− berbentuk
q˜− 7−→ (cosh
ϕ ϕ − Ln Ri sinh )˜ q− . 2 2
(VI.97)
Sekarang andaikan spinor awal mengacu pada partikel diam, yakni q˜± (0), dan spinor yang tertransformasi mengacu pada partikel yang sudah memiliki momentum p~, yakni q˜+ (~p). Kemudian dengan menggunakan persamaan
coshϕ = Γ =
E , m
sinhϕ = βΓ =
p , m
(VI.98)
yang berimplikasi ϕ cosh = 2
s
Γ+1 2
s
=
E+m , 2m
ϕ sinh = 2
s
Γ−1 2
s
=
E−m , 2m (VI.99)
pers.(VI.96) dan (VI.97) masing-masing dapat dinyatakan sebagai " s q˜+ (~p) =
E+m 2m
s
+ Ln Ri
~ i · p~) (E + m + LR q˜+ (0), = p 2m(E + m)
E−m 2m
# q˜+ (0) (VI.100)
93
dan "s q˜− (~p) =
E+m 2m
s
− Ln Ri
E−m 2m
# q˜+ (0)
~ i · p~) (E + m − LR = p q˜− (0). 2m(E + m)
(VI.101)
Dalam pers.(VI.82) dan (VI.83), u(~p, ± 12 ) merupakan swafungsi bagi operator helisitas sepanjang arah p~. Oleh karena itu, sebagai padanan dari α± u(~p, ± 12 ) (α± merupakan suatu konstanta), q˜± (~p) pun merupakan swafungsi operator helisitas kuaternionik sepanjang arah p~. Kemudian karena dalam keadaan diam spin partikel yang ditinjau tidak teramati, diperoleh kaitan q˜+ (0) = q˜− (0) . Dari sini, dengan sedikit manipulasi pada pers.(VI.100) dan (VI.101), diperoleh ~ i · p~)˜ m˜ q+ (~p) = (E + LR q− (~p)
(VI.102)
~ i · p~)˜ m˜ q− (~p) = (E − LR q+ (~p).
(VI.103)
dan
Dalam bentuk matriks, persamaan terakhir berbentuk
~ i · p~ −m E + LR q˜+ (~p) = 0. ~ E − LRi · p~ −m q˜− (~p)
(VI.104)
Dengan mendefinisikan matriks-matriks γ-Dirac dalam wakilan chiral kuaternionik
0 1 γ˜ 0 ≡ , 1 0
0 −1 ~ ~γ˜ ≡ LRi , 1 0
(VI.105)
94
pers.(VI.104) dapat dituliskan menjadi ˜ p) = 0, (˜ γ µ pµ − m)ψ(~
(VI.106)
γ˜ µ γ˜ ν + γ˜ ν γ˜ µ = −2η µν .
(VI.107)
dengan γ˜ µ memenuhi
Inilah persamaan Dirac dalam wakilan chiral kuaternionik yang diperoleh dengan memanfatkan transformasi boost seperti yang direncanakan di atas. ˆ = Eψ, Pers.(VI.104) dapat ditulis dalam bentuk persamaan swanilai Hψ yaitu ~ m q˜+ (~p) E 0 q˜+ (~p) LRi · p~ = ~ i · p~ m −LR q˜− (~p) 0 E q˜− (~p)
(VI.108)
dengan operator Hamiltonan dalam wakilan chiral kuaternionik didefinisikan sebagai
~ m ˆ˜ = LRi · p~ H . ~ m −LRi · p~
(VI.109)
Kemudian dari pers.(VI.105), dapat didefinisikan β˜ ≡ γ˜ 0 ,
(VI.110)
β˜α ˜ n ≡ γ˜ n = γ˜ 0 α ˜n.
(VI.111)
dan
95
Persamaan terakhir dapat dituliskan dalam bentuk 0 1 a b 0 −1 Ln R i Ln R i = 1 0 c d 1 0
(VI.112)
dengan
a b α ˜n = Ln R i , c d
(VI.113)
sehingga diperoleh a = −d = 1 dan b = c = 0. Dari sini diperoleh
1 0 α ˜n = Ln Ri . 0 −1
(VI.114)
Untuk partikel tak bermassa, pers.(VI.104) terpisah menjadi dua persamaan yang masing-masing dikarakteristikkan oleh spinor kuaternionik satu komponen ~ i · p~)˜ (E + LR q− (~p) = 0
(VI.115)
~ i · p~)˜ (E − LR q+ (~p) = 0,
(VI.116)
dan
yang menyatakan persamaan Weyl kuaternionik. Karena untuk partikel tak bermassa berlaku E = p, kedua persamaan terakhir masing-masing menjadi ~ i · p~)˜ (LR q− (~p) = −˜ q− (~p)
(VI.117)
~ i · p~)˜ (LR q+ (~p) = q˜+ (~p).
(VI.118)
dan
96
Dari sini terlihat bahwa operator helisitas kuaternionik sepanjang arah p~ dapat didefinisikan sebagai
1 ~ 1 1 0 ~ ~ˆ LRi · p~ˆ = I2 LR i·p 2 0 1 2
(VI.119)
dengan swafungsinya adalah q˜± (~p) dan swanilainya ± 12 . VI.2.2
Wakilan Standar Kuaternionik Pada fasal 6.2.1 diperoleh bentuk wakilan chiral bentuk kuaternionik untuk
˜ˆ dan operator helisitas 1 I2 LR ~ i· matriks-matriks γ˜ -Dirac, β˜ dan α ˜ , Hamiltonan H 2 p~. Jika melihat pada pers.(VI.109) operator dalam persamaan itu terlihat memiliki ˆ˜ dalam pers.(VI.44), hanya bentuk yang mirip dengan bentuk operator Hamiltonan H saja dalam wakilan chiral kuaternionik ukuran matriksnya terlihat tersusut menjadi 2 × 2. Dari tinjauan ini, dapat dibentuk wakilan lain bagi operator Hamiltonan yang ˆ versi wakilan standar dalam pers.(VI.55). berpadanan dengan operator Hamiltonan H ˆ yang baru ini berbentuk Operator Hamiltonan H
~ i · p~ m LR ˆ = H , ~ i · p~ −m LR
(VI.120)
sehingga diperoleh persamaan Dirac ~ LRi · p~ q+ (~p) 0 q+ (~p) m . = ~ LRi · p~ −m q− (~p) 0 q− (~p)
(VI.121)
Wakilan yang baru ini akan disebut sebagai wakilan standar kuaternionik. Dari pers.(VI.120) dapat didefinisikan matriks-matriks γ-Dirac dalam wakilan
97
standar kuaternionik
1 0 γ0 ≡ , 0 −1
0 1 ~ ~γ ≡ LRi . −1 0
(VI.122)
Matriks-matriks di atas memenuhi kaitan
γ µ γ ν + γ ν γ µ = −2η µν .
(VI.123)
Begitu juga untuk matriks-matriks Dirac-Pauli β dan αn dapat didefinisikan sebagai 0 1 1 0 β ≡ γ0 = Ln R i . dan αn = 1 0 0 −1
(VI.124)
Wakilan standar ini dapat diperoleh dari wakilan chiral dengan melakukan transformasi similar oleh
1 1 1 −1 S=√ ; S 2 1 −1
1 1 1 =√ . 2 1 −1
(VI.125)
Kemudian untuk melengkapi, bentuk transformasi Lorentz dalam wakilan standar diberikan oleh
~ ϕ S(θ, ~) =
1 s˜+ + s˜− s˜+ s˜− , 2 s˜ − s˜ s˜ + s˜ + − + −
(VI.126)
yang diperoleh dengan menerapkan transformasi similar pada pers.(VI.91), dengan s˜+ dan s˜− masing-masing diberikan pada pers.(VI.89) dan (VI.90).
98
VI.3
Penyelesaian Persamaan Dirac untuk Partikel Bebas
Untuk memperoleh penyelesaian bagi partikel bebas, akan digunakan langkah yang sama dengan dilakukan dalam fasal 6.1.5. Dari pers.(VI.121) diperoleh padanan dari pers.(VI.67) dan (VI.68), yaitu
q+ =
~ i · p~ LR q− , −m
(VI.127)
q− =
~ i · p~ LR q+ . +m
(VI.128)
Kemudian untuk penyelesaian bagi partikel berenergi = +E(~p) > 0 akan dinyatakan melalui spinor kuaternionik q+ yang ternormakisasi
q+ = u1 + ju2 = u ∈ H,
u† u = |u1 |2 + |u2 |2 = 1.
(VI.129)
Dari sini partikel Dirac bebas dapat digambarkan melalui fungsi gelombang
ψ(~p, +|xµ ) = N+ (~p)
u
−i(t−~p·~x) , e
~ i ·~ LR p u E(~ p)+m
= +E(~p),
(VI.130)
dengan N+ merupakan konstanta yang harus memenuhi syarat normalisasi ψ † (~p, +)γ 0 ψ(~p, +) = 1.
(VI.131)
Sedangkan untuk penyelesaian energi negatif akan dinyatakan melalui q− yang ternormalisasi q− = u1 + ju2 = u ∈ H,
(VI.132)
99
sehingga diperoleh
~ i ·~ −LR p E(~p)+m u −i(t−~p·~x)
ψ(~p, −|xµ ) = N− (~p)
e
u
,
= −E(~p),
(VI.133)
dengan N− (~p) merupakan suatu konstanta yang akan dipilih untuk memenuhi syarat normalisasi ψ † (~p, −)γ 0 ψ(~p, −) = −1.
(VI.134)
Sekarang ditinjau pers.(VI.131) secara lebih eksplisit, dengan menggunakan pers.(VI.130), dalam bentuk
h
N+2 (~p) (u∗ )T
~ i ·~ LR p u∗ E(~ p)+m
iT
γ0
u ~ i ·~ LR p u E(~ p)+m
= 1.
(VI.135)
Dengan menggunakan γ 0 dalam pers.(VI.122),diperoleh "
# ~ i · p~)2 ( LR u = 1. N+2 (~p) u† u − u† (E(~p + m)2 )
(VI.136)
~ i · p~)2 = p~2 dan dengan normalisasi u dalam pers.(VI.129), Kemudian karena (LR diperoleh N+2 (~p)
1−
p~2 = 1. (E(~p + m)2 )
(VI.137)
sehingga s N+ (~p) =
(m + E(~p))2 . (m + E(~p))2 − p~
(VI.138)
Selanjutnya karena berlaku
(m + E(~p))2 − p~2 = m2 − p~2 + 2mE(~p) + E 2 (~p) = 2m(m + E(~p))
(VI.139)
100
syarat normalisasi (VI.138) menjadi r N+ =
m + E(~p) . 2m
(VI.140)
Untuk N− (~p), dengan cara yang sama untuk N+ (~p), diperoleh syarat normalisasi r N− (~p) =
m + E(~p) 2m
(VI.141)
Kemudian untuk menentukan fungsi gelombang yang diberikan dalam pers.(VI.130) dan (VI.133) secara lebih eksplisit, perlu ditentukan bentuk eksplisit u dalam kedua persamaan itu yang sekaligus merupakan swa keadaan bagi operator helisitas dalam pers.(VI.119). Melalui sedikit intuisi dan uji coba diperoleh bahwa (1+j) dan (1−j) masing-masing merupakan swafungsi bagi operator 12 Lk Ri dengan swanilai ± 21 . Dari ˆ dan operator helisitas sepasini dapat diperoleh swafungsi bersama bagi operator H njang arah sumbu x3
(1 + j) −i(E t−~p·~x) 1 p ψ(pˆ e3 , +, + |~x, t) = Np e 2 p (1 + j) m+Ep (1 − j) −i(E t−~p·~x) 1 p ψ(pˆ e3 , +, − |~x, t) = Np e 2 −p (1 − j) m+Ep
(VI.142)
−p m+Ep (1
1 ψ(pˆ e3 , −, + |~x, t) = Np 2 1 ψ(pˆ e3 , −, − |~x, t) = Np 2
+ j) −i(−E t−~p·~x) p e (1 + j)
p m+Ep (1
(VI.143)
(VI.144)
− j) −i(−E t−~p·~x) p e (1 − j)
(VI.145)
101
dengan r Ep =
p
m2 + p2 ;
Np =
m + Ep . 2m
(VI.146)
Untuk memperoleh swafungsi bagi operator helisitas sepanjang arah sembarang p~, spinor (1 ± j) perlu dirotasi sehingga diperoleh 1 ~ p))(1 ± j), ~ · θ(~ u(~p, ± ) = exp(L 2
(VI.147)
~ p) = eˆ3 × p~ ∠(ˆ θ(~ e3 , p~) |~p|
(VI.148)
dengan
menggambarkan rotasi yang membuat sumbu x3 berhimpit dengan p~. Dari sini, swaˆ dan operator helisitas sepanjang arah p~ diberikan fungsi bersama bagi operator H oleh
1 ψ(~p, +, + |~x, t) = Np 2
u(~p, + 21 ) −i(E t−~p·~x) p p u(~p, + 12 ) m+Ep
e
u(~p, − 12 ) −i(E t−~p·~x) 1 p ψ(~p, +, − |~x, t) = Np e 2 −p u(~p, − 12 ) m+Ep
(VI.149)
−p 1 m+Ep u(~p, + 2 ) −i(−Ep t−~p·~x)
1 ψ(~p, −, + |~x, t) = Np 2
e u(~p, + 12 )
(VI.151)
p 1 m+Ep u(~p, − 2 ) −i(−Ep t−~p·~x)
1 ψ(~p, −, − |~x, t) = Np 2
(VI.150)
e
(VI.152)
u(~p, − 12 )
dengan Ep dan Np diberikan dalam pers.(VI.146) dan u(~p, ± 12 ) diberikan dalam pers.(VI.147). Dalam dunia kuaternion, penggunaan bilangan imajiner i harus hati-
102
hati. Oleh karena itu penulisan i dalam persamaan Dirac ˆ Li ∂t ψ = i∂t ψ = Hψ
(VI.153)
perlu diperhatikan. Dengan menggunakan persamaan terakhir diperoleh Z ∂t
Z
†
3
d xψ ψ =
ˆ i]ψ d3 ψ † [H,
(VI.154)
yang secara umum 6= 0 untuk operator Hamiltonan kuaternionik. ini menunjukkan bahwa penulisan persamaan Dirac dalam (VI.153) tidak mendukung kelestarian norm Z ∂t
d3 xψ † ψ = 0.
(VI.155)
Dengan menggunakan operator Ri , persamaan (VI.153) diubah menjadi ˆ Ri ∂t ψ ≡ ∂t ψi = Hψ,
(VI.156)
yang dalam formulasi bilangan kompleks tidak ada bedanya dengan pers.(VI.153). tetapi persamaan terakhir jelas akan membuat pers.(VI.155) berlaku dalam rumusan persamaan Dirac versi aljabar kuaternion. Dari sini, operator momentum kuaternionik harus didefinisikan sebagai
pµ ≡ Ri ∂ µ → pµ ψ = Ri ∂ µ ψ ≡ ∂ µ ψi.
(VI.157)
Sebagai operator momentum tentunya operator Ri ∂ µ harus Hermitian, yakni memenuhi persamaan berikut Z
~ = d xϕ Ri ∂ψ 3
†
Z
~ † ψ. d3 x(Ri ∂ψ)
(VI.158)
103
Tetapi persamaan itu berimplikasi Z
†~
Z
~ †ψ d ϕ ∂ψi = −i d3 x∂ϕ Z ~ = i d3 xϕ† ∂ψ. 3
(VI.159)
Baris terakhir dalam persamaan di atas diperoleh dengan menggunakan integrasi perbagian (integration by part) (de Leo, 1998). Hal ini mendorong perlunya didefinisikan proyeksi kompleks bagi produk skalar di atas yang didefinisikan sebagai 1 − Li Ri d x≡ 2 C
Z
3
Z
d3 x.
(VI.160)
sekarang akan dihitung sisi kiridari pers.VI.158) dengan menggunakan produk skalar kompleks (VI.160) yang memberikan Z Z 1 3 † 3 † ~ ~ ~ d xϕ Ri ∂ψ = d xϕ Ri ∂ψ − i d xϕ Ri ∂ψi 2 C Z Z 1 3 †~ 3 †~ = d xϕ ∂ψi + i d xϕ ∂ψ . 2
Z
3
†
(VI.161)
Dengan cara yang sama dan menggunakan kesamaan terakhir dalam pers.(VI.159), diperoleh Z Z 1 3 † 3 † ~ ψ= ~ ψ − i d x(Ri ∂ϕ) ~ ψi d x(Ri ∂ϕ) d x(Ri ∂ϕ) 2 C Z Z 1 3 ~ 3 † = −i d x∂ϕψ − d x∂ϕ ψi 2 Z Z 1 3 ~ 3 †~ = i d ϕ∂ψ + d xϕ ∂ψi . 2
Z
3
†
(VI.162)
Kesamaan antara pers.(VI.161) dan pers.(VI.162) menandakan bahwa operator momentum Ri ∂~ bersifat Hermitian jika digunakan produk skalar kompleks yang diberikan oleh pers.(VI.160).
BAB VII PENUTUP VII.1
Kesimpulan
Dari hasil kajian aljabar kuaternion real yang diterapkan pada Teori Relativitas Khusus dan struktur persamaan Dirac diperoleh kesimpulan sebagai berikut 1. Metrik Minkowski dalam aljabar kuaternion real berbentuk 1 1 g = Lµ Rµ = (1 + Li Ri + Lj Rj + Lk Rk )) 2 2 yang berpadanan dengan metrik η = diag(−1, 1, 1, 1). 2. Seperti halnya grup SOo (3, 1) melestarikan η, maka dalam aljabar kuaternion f 0 (1, HL ⊗ HR ) yang terdapat padanan dari SOo (3, 1) yang berupa grup SO melestariakan produk skalar real
(x, gy)R ≡ Re(x† gy).
Kemudian grup SL(2, C) memiliki padanannya dalam aljabar kuaternion, berupa grup SL(1, HL ⊗ CR ). f o (1, HL ⊗ HR ) pembangkit transformasi rotasi diberikan oleh 3. Dalam grup SO ˆ 1 = Li − Ri , M 2
ˆ 2 = Lj − R j M 2
ˆ 3 = Lk − Rk , dan M 2
sedangkan pembangkit-pembangkit transformasi boost diberikan oleh ˆ 1 = Lk R j − L j R k , N 2
ˆ 2 = L i R k − Lk R i , N 2 104
dan
ˆ 1 = Lj R i − L i R j . N 2
105
Dalam grup SL(1, HL ⊗ HR ), pembangkit transformasi rotasi diberikan oleh Li Tˆ1 = , 2
Lj Tˆ2 = , 2
Lk dan Tˆ3 = 2
Sedangkan pembangkit transformasi boost dinyatakan oleh 1 Sˆ01 = Li Ri , 2
1 Sˆ02 = Lj Ri , 2
dan
1 Sˆ03 = Lk Ri . 2
f o (1, HL ⊗HR ) diberikan 4. Kaitan komutasi bagi pembangkit-pembangkit di grup SO oleh ˆ l, M ˆ m ] = lmn M ˆ n, [M
ˆl , N ˆm ] = −lmn M ˆn [N
ˆ l, N ˆm ] = lmn N ˆn . [M
Untuk grup SL(1, HL ⊗HR ), kaitan komutasi bagi pembangkit-pembangkitnya diberikan oleh [Tˆl , Tˆm ] = lmn Tˆn
[Sˆl , Sˆm ] = −lmn Tˆn
[Tˆl , Sˆm ] = lmn Sˆn
5. Dalam bentuk wakilan chiral, transformasi Lorentz dalam ruang H2 berbentuk
s + 0 ~ ϕ ˜ θ, S( ~) = , 0 s− sedangkan dalam wakilan standar berbentuk ~ ϕ S(θ, ~) =
1 s+ + s− s+ − s− , 2 s −s s +s + − + −
106
dengan h i ~ · (θ~ + Ri ϕ s+ = exp L ~ )/2 h i ~ ~ s− = exp L · (θ − Ri ϕ ~ )/2 .
6. Operator spin sepanjang arah sembarang p~ versi kuaternionik berbentuk 1 ~ I2 LRi · pˆ. 2 7. Dalam H2 , swafungsi bagi operator spin sepanjang arah sumbu x3 diberikan oleh
(1 + j) −i(E t−~p·~x) 1 p ψ(pˆ e3 , +, + |~x, t) = Np e 2 p (1 + j) m+Ep
(1 − j) −i(E t−~p·~x) 1 p ψ(pˆ e3 , +, − |~x, t) = Np e 2 −p (1 − j) m+Ep
−p m+Ep (1
1 ψ(pˆ e3 , −, + |~x, t) = Np 2
+ j) −i(−E t−~p·~x) p e (1 + j)
p m+Ep (1
1 ψ(pˆ e3 , −, − |~x, t) = Np 2
− j) −i(−E t−~p·~x) p e (1 − j)
dengan r Ep =
p
m2 + p2 ;
Np =
m + Ep . 2m
Sedangkan untuk operator spin sepanjang arah sembarang p~, swafungsinya
107
diberikan oleh 1 ψ(~p, +, + |~x, t) = Np 2
u(~p, + 21 ) −i(E t−~p·~x) p p u(~p, + 12 ) m+Ep
e
1 ψ(~p, +, − |~x, t) = Np 2
u(~p, − 12 ) −i(E t−~p·~x) p −p u(~p, − 12 ) m+Ep
e
−p 1 m+Ep u(~p, + 2 ) −i(−Ep t−~p·~x)
1 ψ(~p, −, + |~x, t) = Np 2
e u(~p, + 12 )
p 1 1 m+Ep u(~p, − 2 ) −i(−Ep t−~p·~x) ψ(~p, −, − |~x, t) = Np e 2 1 u(~p, − ) 2
dengan 1 ~ p))(1 ± j), ~ · θ(~ u(~p, ± ) = exp(L 2 dan ~ p) = eˆ3 × p~ ∠(ˆ e3 , p~). θ(~ |~p| 8. Dengan aljabar kuaternion real, ukuran matriks-matriks γ-Dirac tersusutkannya menjadi 2 × 2. Namun demikian secara umum tersusutkannya ukuran matriks untuk grup-grup simetri bagi Teori Relativitas Khusus dan persamaan Dirac dalam aljabar kuaternion tidak secara signifikan mengurangi tingkat kesulitan pengoperasian matriks-matriks itu. Hal ini dirasakan oleh penulis karena pengoperasian operator-operator kuaternionik membutuhkan lebih kehati-hatian dan ketelitian.
108
VII.2 Saran Sampai skripsi ini diselesaikan, penulis belum mendapatkan referensi yang membahas grup-grup simetri versi kuaternionik di atas dalam kajian grup Lie. Untuk itu, kajian terhadap grup-grup itu dibawah kajian grup Lie mungkin merupakan hal yang baru dan perlu dilakukan penelitian lebih lanjut.
DAFTAR PUSTAKA
Anugraha, R., 2005, Pengantar Teori Relativitas dan Kosmologi, Gadjah Mada University Press, Yogyakarta Carmeli, M., 1977, Group Theory and General Relativity: Representation of Lorentz Group and Their Application on Gravitational Fields, Mc Graw-Hill Inc, New York Carroll, S. M., 1997, arXiv:gr-gc/9712019 v1 3 Desember 1997 De Leo, S, Rodrigues, W.A., 1994, Translation between Quaternion and Complex Quantum Mechanics, Progress of Theoretical Physics, Vol. 92, No.5 De Leo, S, Rotelli, P., 1995, Representation of U (1, q) and Constructive Quaternion Tensor Products, Nuovo Cimento, Vol. 110B, N.1 De Leo, S, 1995, Quaternion and Special Relativity, Journal Mathematical Physics, Vol. 37, No. 6 De Leo, S, Rodrigues, W.A., 1997, Quantum Mechanics: From Complex to Complexified Quaternions, International Journal of Theoretical Physics, Vol. 36, No.12 De Leo, S, Rodrigues, W.A., 1998, Quaternion Electron Theory: Geometri, Algebra and Dirac’s Equation, International Journal of Theoretical Physics, Vol. 37, No.6, De Leo, S, Rodrigues, W.A., 1998,Quaternion Electron Theory: Dirac’s Equation, International Journal of Theoretical Physics, Vol. 37, No.5 De Leo, S, Ducati, G.C., 1999, Quaternion Groups in Phsics, International Journal of Theoretical Physics, Vol. 38, No.8 De Leo, S, 2001,Quaternion Lorentz Group And Dirac Equation, Foundation of Physics Letters, Vol. 14, No.1 Einstein, A., 1905, Ann. Phys.17, 891, diterjemahkan kedalam bahasa Inggris oleh W. Perret dan G. B. Jeffrey sebagai "On the Electrodynamics of Moving Bodies", hal 37-65 dalam The Principle of Relativity (Methuen, London, 1923, dicetak ulang oleh Dover, New York, 1952) Einstein, A., 1961, Relativity: the Special and the General Theory, edisi kelimabelas, Crown Publishers-Bonanza Books, New York Feza, G., G¨ ursey, F., 1987, Symmetries in Physics (1600-1980)- Quaternionic and Octonionic Stucture in Phisics, Universitat Aut` onoma de Barcelona., Barcelona
109
110
Friedman, M., 1983, Foundations of Space-Time Theories, Princeton University Press, Princeton, New Jersey Greiner, W., 2000, Rewlativistic Quantum Mechanic Wave Equations, edisi ketiga,Springer-verlag, Berlin Heidelberg New York Hamilton, W. R., 1844, On Quaternionic, Or On A New System of Imaginaries In Algebra, volumes xxv - xxxvi of The London, Edinburgh and Dublin Philosophical Magazine and Journal of Sience(3rd Series), for years 1844-1850. Avaliable online at http://www.maths.tcd.ie/pub/HistMath/People/Hamilton/OnQuat. Hamilton, W. R., 1847, On Quaternions, Proceding of the Royal Irish Academi, vol 3, pp.1-6 Hamilton, W. R., 1844, On A New Species of Imaginary Quatities Connected with A Theory Quaternions, Proceding of the Royal Irish Academi, 2(1844), 424-434 Jones, H. F., 1990, Group, Representations adn Physics, Department of Physics, Imperial College of Sciance, Technology and Medicine, london Muslim, 1997, Seri Fisika Dasar Bagian I:Mekanika, Modul I dan II Kinematika Dan Dinamika Zarah, Jurusan Fisika FMIPA Universitas Gadjah Mada, Yogyakarta Nakahara, M., 1998, Geometry, Topology and Physics, Institute of Physics Publishing, London Rosyid, M.F., 2002, Diktat Mata Kuliah Matematika Untuk Fisika Teori I, Fakultas Matematika dan Ilmu Pengetahuan Alam Jurusan Fisika Universitas Gadjah Mada, Yogyakarta Rosyid, M.F., 2005, Mekanika Kuantum Model Matematis Bagi Fenomena Alam Mikroskopis Tinjauan Nonrelativistik, Laboratorium Fisika Atom dan Fisika Inti Jurusan Fisika FMIPA Universitas Gadjah Mada, Yogyakarta Ryder, L.H., 1996, Quantum Field Theory, edisi kedua, Cambridge University Press, Cambridge Schulten, K., 2000, Notes on Quantum Mechanics, Department of Physics and Beck˝ man Institut University of Illinois at UrbanaUChampaign 405 N. Mathews Street, Urbana, IL 61801 USA Schwabl, F., 2005, Advance Quantum Mechanics, edition ketiga, Springer-Verlag, Berlin Heidelberg New York Setiawan, S., 1992, Kiprah dan Gelegar Relativitas Einstein, Penerbit Andi Offset, Yogyakarta
111
Wospakrik, H. J., 1987, Berkenalan dengan Teori Kerelatifan Umum, Penerbit ITB, Bandung Wu-Ki-Tung, 1985, Group Theory in Physics, World Scientific, Philadelphia, Singapore
LAMPIRAN A PEMBUKTIAN PERSAMAAN I.1
Pembuktian Persamaan Dalam Bab II
(1) Pembuktian pers.(II.10) Dengan mengalikan c pada pers.(II.8) dan dengan menggunakan pers.(II.9) akan di buktikan
(c∆t0 )2 − ∆~r 02 = (c∆t)2 − ∆~r 2
Γ2 (c∆t0 )2 = c2 Γ2 ∆2 − Γ2 ∆t(V~ · ∆~r) + 2 (V~ · ∆~r)2 c
(A.1)
dan ~ ~ ) V − ΓV ~ ∆t)· (∆~r 0 )2 =(∆~r + (Γ − 1)(∆~r · V V2 ~ ~ ∆t) ~ ) V − ΓV (∆~r + (Γ − 1)(∆~r · V V2 ~ ·V ~ ~ )2 V (∆~r · V ~ ∆t)2 =∆~r 2 + (Γ − 1)2 + (ΓV 2 2 V V ~ (∆~r · V ) ~ ~ ∆t)+ + 2[∆~r · (Γ − 1) V + ∆~r · (ΓV V2 ~) (∆~r · V ~ ·V ~ Γ∆t] (Γ − 1) V V2 ~ )2 r·V 2 2 (∆~ 2~ 2 =∆~r + (Γ − 1) + (Γ V ∆t2 2 V ~ (∆~r · V ) ~ )Γ∆t(1+)(Γ − 1)] + 2[(Γ − 1) + (∆~r · V V2 ~ )2 (∆~r · V 2 2 ~ ∆t2 − 2(∆~r · V~ )Γ2 ∆t =∆~r + (Γ − 1) + 2(Γ − 1) + (Γ2 V 2 V 2 ~ (∆~ r · V ) ~ ∆t2 − 2(∆~r · V~ )Γ2 ∆t =∆~r 2 + (Γ2 − 1) + (Γ2 V 2 V (A.2)
112
113
Dengan pers.(A.1) dan (A.2) maka Γ2 (c∆t0 )2 − ∆~r 02 =c2 Γ2 ∆t2 − Γ2 ∆t(V~ · ∆~r) + 2 (V~ · ∆~r)2 c ~ (∆~r · V )2 2 ~ 2 2 2 2 2 ~ − (∆~r + (Γ − 1) + Γ V ∆t − 2(∆~r · V )Γ ∆t 2 V 2 Γ2 − 1 ~ Γ 2 2 2 2~ 2 2 =c Γ ∆t − Γ V ∆t + − (V · ∆~r)2 c2 V2 ~ 2 )∆t2 − (∆~r )2 =Γ2 (c2 − V =(c∆t)2 − (∆~r )2 (A.3)
I.2
Pembuktian Persamaan Dalam Bab V
(1) Pembuktian pers.(V.4) Dengan menggunakan pers.(V.1) dan pers.(V.3) maka kuaternion anti-Hermitian qiq † diberikan oleh qiq † = (a0 + ia1 + ja2 + ka3 )i(a0 − ia1 − ja2 − ka3 ) = (ia0 − a1 − ka2 + ja3 )(a0 − ia1 − ja2 − ka3 ) = i(a20 + a21 − a22 − a23 ) + j(2a0 a3 + 2a1 a2 ) + k(2a1 a3 − 2a0 a2 ) = i((a20 + a21 ) − (a22 + a23 )) + j2(a0 a3 + a1 a2 ) + k2(a1 a3 − a0 a2 ) ≡ ix + jy + kz (A.4)
114
sehingga diperoleh x = (a20 + a21 ) − (a22 + a33 ), (A.5)
y = 2(a0 a3 + a1 a2 ), z = 2(a1 a3 − a0 a2 ).
QED
Dengan definisi-definisi pada pers.(V.3) dapat diperoleh y = i(ζξ ∗ − ζ ∗ ξ), (A.6) ∗
∗
z = −(ζξ + ζ ξ).
(2) Pembuktian persamaan (V.11) Dengan menggunakan pers.(V.10) q˜ = [A + jB](ξ + jζ) ξ˜ + j ζ˜ = (A + jB)(ξ + jζ) ξ˜ + j ζ˜ = Aξ + jBξ + Ajζ + jBjζ
(A.7)
ξ˜ + j ζ˜ = Aξ + jBξ + jA∗ ζ − B ∗ ζ ξ˜ + j ζ˜ = Aξ − B ∗ ζ + j(Bξ + A∗ ζ), sehingga diperoleh ξ˜ = Aξ − B ∗ ζ, (A.8) ζ˜ = Bξ + A∗ ζ.
QED
115
(3) Pembuktian pers.(V.12) Seperti dalam pers.(V.3), maka ˜ 2 − |ζ| ˜2 x˜ = |ξ| = ξ˜ξ˜∗ − ζ˜ζ˜∗ = (Aξ − B ∗ ζ)(A∗ ξ ∗ − Bζ ∗ ) − (Bξ + A∗ ζ)(ξ ∗ B ∗ + ζ ∗ A) = |A|2 |ξ|2 | + B|2 |ζ|2 − ABξζ ∗ − A∗ B ∗ ξ ∗ ζ (A.9) 2
2
2
∗
2
∗
∗ ∗
− (|B| |ξ| | + |A| |ζ| + ABξζ + A B ξ ζ) = (|A|2 − |B|2 )(|ξ|2 − |ζ|2 ) + (−)(AB + A∗ B ∗ )(ξ ∗ ζ + ξζ ∗ ) − i(AB − A∗ B ∗ )i(ξ ∗ ζ − ξζ ∗ ) = (|A|2 − |B|2 )x − i(AB − A∗ B ∗ )y + (AB + A∗ B ∗ )z
QED
y˜ − i˜ z = 2iζ˜ξ˜∗ = 2i(Bξ + A∗ ζ)(A∗ ξ ∗ − Bζ ∗ ) = 2i(BξA∗ ξ ∗ − B 2 ξζ ∗ + A∗2 ζξ ∗ − A∗ Bζζ ∗ ) (A.10) ∗
2
∗
2
2
∗
∗2
∗
= 2i(BA |ξ| − A B|ζ| − B ξζ + A ζξ ) = 2iBA∗ (|ξ|2 − |ζ|2 ) + A∗2 2iζξ ∗ − B 2 2iξζ ∗ = 2iBA∗ x + (y − iz)A∗2 + (y + iz)B 2
QED
116
(4) Pembuktian pers.(V.16) Persamaan transformasi rotasi mengelilingi sumbu x sebesar θx dapat dinyatakan dengan x0 = x y 0 = ycosθx − zsinθx
(A.11)
z 0 = ysinθx + zcosθx , sedangkan suatu kuaternion anti-Hermitan tertransformasi oleh u ∈ U (1, HL ) menurut pers.(V.7), sehingga uqiq † u† = i˜ x + j y˜ + k˜ z (A.12) ˜ 2 − |ζ| ˜ 2 ) + j(i(ξ˜∗ ζ˜ − ξ˜ζ˜∗ )) + k(−(ξ˜∗ ζ˜ + ξ˜ζ˜∗ )). = i(|ξ| Dengan menyamakan pers.(A.11) dan (A.12) dan dengan menggunakan pers.(V.12) maka syarat yang pertama yang harus dipenuhi oleh A dan B dinyatakan dalam pers.(V.13) yang menghasilkan |A| = AA∗ = 1 dan B = 0, sehingga y˜ − i˜ z = A∗2 (y − iz) = (ycosθx − zsinθx ) − i(ysinθx + zcosθx ) A∗2 (y − iz) = (ycosθx − iysinθx ) − (zsinθx + icosθx ) (A.13) ∗2
A (y − iz) = y(cosθx − isinθx ) − iz(cosθx − isinθx ) A∗2 (y − iz) = (cosθx − isinθx )(y − iz)
117
maka, diperoleh A∗2 = e−iθx i
A∗ = e− 2 θx (A.14) A=e
i θ 2 x
. i
Sehingga u = A + jB = e 2 θx = (cos θ2x + isin θ2x )
QED
(5) Pembuktian persamaan (bab.5.1.20) Persamaan transformasi rotasi mengelilingi sumbu y sebesar θy dapat dinyatakan dengan x0 = xcosθy + zsinθy y0 = y
(A.15)
z 0 = −xsinθy + zcosθy , Dengan menyamakan pers.(A.15) dan (A.12) dan dengan menggunakan pers.(V.12) maka syarat yang pertama yang harus dipenuhi oleh A dan B dinyatakan dalam pers.(V.17) yang mengharuskan A, B ∈ R sehingga x˜ = (A2 − B 2 )x + 2ABz = xcosθy + zsinθy (A.16) z˜ = −2ABx + (A2 − B 2 )z = xsinθy + zcosθy . sehingga (A2 − B 2 ) = cosθy ,
2AB = sinθy ,
(A.17)
maka diperoleh A = cos 12 θy dan B = sin 12 θy . Sehingga u = A + jB = j
e 2 θy = (cos 12 θy + jsin 12 θy )
QED
118
(6) Pembuktian persamaan (bab.5.1.25) Persamaan transformasi rotasi mengelilingi sumbu z sebesar θz dapat dinyatakan dengan x0 = xcosθz − ysinθz y 0 = xsinθz + ycosθz
(A.18)
z 0 = z. Dengan menyamakan pers.(A.18) dan (A.12) dan dengan menggunakan pers.(V.12) maka syarat yang pertama yang harus dipenuhi oleh A dan B dinyatakan dalam pers.(V.21) yang mengharuskan Re (A) 6= 0 dan Re (B) = 0. sehingga x˜ = (A2 − |B|2 )x − i2ABy = xcosθz − ysinθz y˜ = 2iA∗ Bx + (A∗2 + B 2 )y
(A.19)
= 2iABx + (A2 − |B|2 )y = xsinθz + ycosθz sehingga A2 − |B|2 ) = cosθz ,
2iAB = sinθz ,
(A.20)
maka diperoleh A = cos 12 θz dan B = −isin 12 θz . k
Sehingga u = A + jB = e 2 θz = cos 12 θz + j(−isin 12 θz ) = cos 12 θz + ksin 12 θz QED (7) Berikut akan dibuktikan bahwa S02 dan S03 pada pers.(V.43) dan (bab.5.2.13) merupakan operator transformasi boost masing-masing sepanjang sumbu y dan z pada grup SL(1, HL ⊗ CR ). Dengan menggunakan pers.(V.43),
119
pers.(V.30) tertransformasi menjadi ϕy ϕy ϕy ϕx + jqi sinh )(1 + i)(q † cosh + iq † j sin ) 2 2 2 2 ϕy ϕy = (qq † + qiq † ) cosh2 − (jqq † j + jqiq † j) sinh2 2 2 ϕ ϕ y y + (qiq † j + jqiq † − qq † j − jqq † )cosh sinh 2 2 ϕ ϕy y = (ct + ix + jy + kz)cosh2 − (−ct + ix − jy + kz) sinh2 2 2 ϕy ϕy − 2(y + kct)cosh sinh 2 2 ϕy ϕy ϕy = (ct + jy)cosh2 + (ct + jy)sinh2 + (ix + kz)cosh2 2 2 2 ϕ y − (y + jct)sinhϕy − (ix + kz)sinh2 2 ϕy ϕy ϕy ϕy + sinh2 ) + (ix + kz)(cosh2 − sinh2 ) = (ct + jy)(cosh2 2 2 2 2
q˜(1 + i)(˜ q )† = (q cosh
− (y + jct)sinhϕy = (ct + jy)coshϕy + (ix + kz) − (y + jct)sinhϕy = ctcoshϕy − ysinhϕy + ix + j(ycoshϕy − ctsinhϕy ) + kz (A.21) Persamaan ini merupakan persamaan transformasi boost sepanjang sumbu y. Sedangkan persamaan transformasi boost sepanjang sumbu z diberikan dengan mengenakan pers.(V.43) pada pers.(V.30) yaitu ϕz ϕz ϕz ϕz + kqi sinh )(1 + i)(q † cosh + iq † k sin ) 2 2 2 2 ϕz ϕz = (qq † + qiq † ) cosh2 − (kqq † k + kqiq † k) sinh2 2 2 ϕ ϕ z z + (qiq † k + kqiq † − qq † k − kqq † )cosh sinh 2 2 (A.22)
q˜(1 + i)(˜ q )† = (q cosh
120
ϕz ϕz − (−ct + ix + jy − kz) sinh2 2 2 ϕz ϕz − 2(z + kct)cosh sinh 2 2 ϕz ϕz ϕz = (ct + kz)cosh2 + (ct + kz)sinh2 + (ix + jy)cosh2 2 2 2 2 ϕz − (ix + jy)sinh − (z + kct)sinhϕz 2 ϕz ϕz ϕz ϕz = (ct + kz)(cosh2 + sinh2 ) + (ix + jy)(cosh2 − sinh2 ) 2 2 2 2
q˜(1 + i)(˜ q )† = (ct + ix + jy + kz)cosh2
− (z + kct)sinhϕz = (ct + kz)coshϕz + (ix + jy) − (z + kct)sinhϕz = (ctcoshϕz − zsinhϕz ) + ix + jy + k(zcoshϕz − ct)sinhϕz . (A.23)
LAMPIRAN B Hubungan SU (2) dan SO(3) II.1
Grup SO(3)
Suatu matriks real n×n dikatakan ortogonal jika vektor kolom yang menyusun A saling ortonormal, yakni jika n X
1 ≤ j, k ≤ n.
Alj Alk = δjk ,
(B.1)
l=1
Secara ekivalen, A dikatakan ortogonal jika melestarikan produk skalar di Rn , yakni jika hx, yi = hAx, Ayi untuk semua x, y ∈ Rn (disini hx, yi ≡
P
k
(B.2)
xk yk ). Definisi lain yang ekivalen adalah
A dikatakan ortogonal jika AT A = AAT = I,
(B.3)
yakni jika AT = A−1 (disini (AT )kl = Alk ). Karena det AT = det A, jika A ortogonal maka det(AT A) = (det A)2 = det I3 = 1. Dari sini, det A = ±1 untuk semua matriks ortogonal A. Dari definisi ketiga tentang matriks ortogonal di atas, dapat disimpulkan bahwa setiap matriks ortogonal bersifat invertibel. Jika A matriks ortogonal, maka
A−1 x, A−1 y = A(A−1 x), A(A−1 y) = hx, yi.
(B.4)
Dengan demikian inversi dari suatu matriks ortogonal juga bersifat ortogonal. Kemudian perkalian dua matriks ortogonal juga merupakan matriks ortogonal, karena jika
121
122
A dan B melestarikan produk skalar h , i, maka begitu juga dengan AB. Dengan demikian, himpunan matriks-matriks ortogonal membentuk grup. Himpunan semua matriks real n×n ortogonal disebut sebagai grup ortogonal O(n). jika A, B ∈ O(n) dan det (A)=det (B)=1, maka det (AB)=1. Kemudian karena det (A−1 ) = det (AT ) = det (A) = 1, maka himpunan semua matriks real n × n ortogonal berdeterminan +1 membentuk grup. Grup ini dituliskan sebagai grup SO(n). Unsur-unsur dari SO(n) disebut sebagai rotasi (Hall,2003). Jika n = 3 maka SO(3) dapat diartikan sebagai matriks rotasi di R3 . Jumlah maksimal parameter real bebas yang mendefinisikan unsur-unsur SO(3) adalah 3. Pada bagian ini akan dikaji grup SO(3) yang unsur-unsurnya bergantung pada tiga buah parameter grup. Terdapat banyak cara yang mungkin untuk memilih perangkat parameter itu. Dua buah cara yang paling umum digunakan adalah parameterisasi sudut rotasi dan orientasi sumbu rotasi serta parameterisasi sudutsudut Euler Dalam parametrisasi sudut dan orientasi sumbu rotasi, setiap rotasi dapat dinyatakan oleh Rnˆ (ψ) dengan n ˆ sebagai vektor satuan sumbu rotasi yang arahnya ditentukan oleh sudut polar (θ) dan azimuth (φ), sedangkan parameter ψ adalah notasi sudut rotasi memutari sumbu n ˆ . Jadi, R dapat dicirikan oleh tiga parameter (ψ, θ, φ) dengan 0 ≤ ψ ≤ π, ≤ θ ≤ π, ≤ φ ≤ 2π. Dalam parametrisasi ini berlaku
R−ˆn (π) = Rnˆ (π),
(B.5)
sehingga dua titik di permukaan bola parameter1 yang terletak di ujung-ujung garis diameter adalah sama. 1
Himpunan semua kombinasi ψ, θ, dan φ berbentuk bola pejal, sebut saja sebagai bola parameter, dengan jari-jari sebesar π. Suatu titik pada bola yang ditunjuk oleh suatu vektor, yang berpangkal dipusat bola (ψ = θ = φ = 0) dan membentuk sudut sebesar θ terhadap sumbu z serta proyeksinya pada bidang x−y membentuk sudut sebesar φ terhadap sumbu x, merupakan parameter rotasi (ψ, θ, φ) (Tung, 1985).
123
Sebuah identitas yang penting dalam perkalian grup dalam parametrisasi sudut dan orientasi sumbu rotasi ini adalah
Rnˆ 0 (ψ) = RRnˆ (ψ)R−1 .
(B.6)
Disini R merupakan sembarang rotasi dan n ˆ 0 adalah vektor satuan yang diperoleh dari rotasi R yaitu n ˆ 0 = Rˆ n.
Gambar B.1: Parameterisasi sudut Euler Parameterisasi lainnya yang juga sering digunakan adalah parametrisasi sudut Euler. Dalam paremeterisasi sudut Euler ini sebuah rotasi dapat dicirikan oleh konfigurasi relatif dua buah kerangka koordinat Cartesian yang masing-masing dilabeli dengan (1, 2, 3) sebagai kerangka tetap dan (10 , 20 , 30 ) sebagai kerangka hasil rotasi. Akibat bekerjanya rotasi R sumbu-sumbu koordinat dibawa dari kerangka tetap menuju kerangka hasil rotasi. Tiga buah sudut Euler (α, β, γ) menentukan orientasi akhir rotasi itu (seperti pada Gb.(B.1)). Suatu rotasi umum terhadap sumbu tertentu yang membawa sumbu-sumbu dari kerangka tetap menuju kerangka terotasi dapat dipandang sebagai serentetan tiga rotasi berturut-turut. Dimulai dari sistem ko-
124
ordinat (x, y, z) = (1, 2, 3), dirotasikan sebesar α dise- kitar sumbu z dengan notasi untuk sumbu-sumbu barunya adalah (x0 , y 0 , z 0 = z), lalu dirotasikan sebesar β terhadap sumbu y 0 (sering juga dilambangkan dengan vektor tengah n ˆ ) dengan notasi untuk sumbu-sumbu hasil rotasinya adalah (x00 , y 00 = y 0 , z 00 ). Terakhir dirotasikan sebesar γ terhadap sumbu z 00 dan sumbu-sumbu akhir dilabeli oleh (x000 , y 000 , z 000 = z) = (10 , 20 , 30 ). Pada tahap pertengahan perlu didefinisikan sebuah vektor tengah n ˆ yang terletak sepanjang garis simpul melintang bidang (1, 2) dan bidang (10 , 20 ). Seperti halnya dalam parametrisasi sudut dan orientasi sumbu, rotasi-rotasi tadi dapat dituliskan sebagai berikut
R(α, β, γ) = R30 (γ)Rn (β)R3 (α),
(B.7)
dengan 0 ≤ α, γ < 2π dan 0 ≤ β ≤ π. Untuk mempermudah perhitungan unsur matriks pers. (B.7), bentuk pada persamaan ini lebih sering ditampilkan dalam bentuk rotasi terhadap sumbu-sumbu tetap. Hal ini dapat diselesaikan dengan menggunakan pers.(B.6) untuk mendapatkan
R30 (γ) = Rn (β)R3 (γ)R−1 n (β),
(B.8)
Rn (β) = R3 (α)R2 (β)R−1 3 (γ).
(B.9)
dan
Dengan memasukkan pers. (B.8) kedalam pers. (B.7) maka ruas kanan persamaan itu menjadi Rn (β)R3 (γ + α), lalu dilanjutkan dengan memasukkan pers.(B.9) diperoleh
R(α, β, γ) = R3 (α)R2 (β)R3 (γ).
(B.10)
Selanjutnya, matriks rotasi dari suatu rotasi dengan sudut ψ terhadap sumbu-sumbu
125
i, j dan k, masing-masing diberikan oleh
0 0 1 Ri (ψ) = 0 cos(ψ) −sin(ψ) ; 0 sin(ψ) cos(ψ)
(B.11)
cos(ψ) 0 sin(ψ) Rj (ψ) = 1 0 0 ; −sin(ψ) 0 cos(ψ)
(B.12)
cos(ψ) −sin(ψ) 0 . Rk (ψ) = sin(ψ) cos(ψ) 0 0 0 1
(B.13)
Matriks-matriks tersebut tak berkomutasi. Untuk dua rotasi berturutan berlaku
Ri (ψ)Rk (ψ) 6= Rk (ψ)Ri (ψ).
(B.14)
Grup rotasi SO(3) dibangkitkan oleh 3 buah pembangkit yang didefinisikan oleh
0 0 0 ˆ 1 ≡ dR1 0 0 −1 ; = L dψ ψ=0 0 1 0
dR2 ˆ L2 ≡ dψ ψ=0
0 0 1 ; = 0 0 0 −1 0 0
(B.15)
(B.16)
126
dR3 ˆ L3 ≡ dψ ψ=0
0 −1 0 = 1 0 0 . 0 0 0
(B.17)
ˆ n dengan n = 1, 2, 3 bersifat antisimetri dan memenuhi kaitan komutasi L ˆk, L ˆ l ] = klm L ˆ m. [L
(B.18)
Kaitan ini mendefinisikan aljabar Lie bagi grup SO(3). Matriks-matriks rotasi yang telah dibahas ini membentuk grup simetri yang disebut dengan grup rotasi ortogonal khusus 3 dimensi atau SO(3). Grup ini disebut khusus dan ortogonal karena masing-masing matriks rotasi R tersebut memiliki determinan 1 dan bersifat ortogonal yaitu memenuhi pers.(B.3). Rotasi infinitesimal δψ dinyatakan dengan ˆ n, Rn (δψ) = I + (δψ)L
(n = i, j, k).
(B.19)
Apabila operasi rotasi infinitesimal (B.19) dikenakan N kali berturutan, maka untuk lim N → ∞ dengan N δψ = ψ dimana ψ berhingga, diperoleh operator rotasi berhingga N Rˆk (ψ) = (Iˆ + δψ Lˆk ) N ψ = (Iˆ + Lˆk ) N
(B.20)
ˆ
= eψLk . Jadi sebuah rotasi berhingga disekitar sumbu n ˆ sebesar ψ ditulis: ˆ Rˆn (ψ) = eLψ .
(B.21)
127
Dengan menggunakan grup ortogonal ini suatu vektor letak xl tertransformasi menjadi x0k menurut xl −→ x0k = Rkl xl
II.2
(B.22)
Grup SU(2)
Suatu matriks kompleks n×n dikatakan uniter jika vektor kolom yang menyusun A saling ortonormal, yakni jika n X
A∗lj Alk = δjk ,
1 ≤ j, k ≤ n.
(B.23)
l=1
Secara ekivalen, A dikatakan uniter jika melestarikan produk skalar di Cn , yakni jika P hx, yi = hAx, Ayi untuk semua x, y ∈ Cn (disini hx, yi ≡ k x∗k yk ). Definisi lain yang ekivalen adalah A dikatakan uniter jika A† A = I, yakni jika A† = A−1 (disini (A† )jk = A∗kj ). Karena det A† = det A∗ , jika A uniter maka det(A† A) = (det A)2 = det I3 = 1. Dari sini, |det A| = 1 untuk semua matriks uniter A. Dari sini dapat disimpulkan bahwa setiap matriks uniter bersifat invertibel dan himpunan matriks-matriks uniter membentuk grup uniter U (n) yang merupakan subgrup dari GL(n, C). Himpunan semua matriks uniter n×n berdeterminan 1 membentuk grup yang disebut grup uniter khusus SU (n). Suatu matriks uniter memiliki determinan eiθ untuk θ tang sesuai. Berbeda dengan grup ortogonal dengan SO(n) maupun O(n) berdimensi sama, dalam grup uniter, SU (n) berdimensi satu lebih kecil dari dimensi U (n) (Hall,2003). Selanjutnya ditinjau matriks 2 × 2 uniter U anggota SU (2):
U U † = 1, det (U ) = 1.
(B.24)
128
Bila U dinyatakan dengan
a b U = , c d
(B.25)
dengan a, b, c, d adalah suatu bilangan kompleks, maka inversi matriks di atas adalah
d −b U −1 = . −c a
(B.26)
Dari sifat uniter yang dimilikinya, yaitu U † = U −1 dan karena det U = 1, maka ∗ ∗ a c d −b = . b∗ d∗ −c a
(B.27)
Akibatnya a∗ = d, b∗ = −c, dan det(U ) = aa∗ + bb∗ = |a|2 + |b|2 , sehingga berlaku
b a U = , −b∗ a∗
|a|2 + |b|2 = 1.
(B.28)
Salah satu basis bagi aljabar Lie grup SU (2) adalah matriks-matriks Pauli (Wukitung,1985)
0 1 σ1 = , 1 0
0 −i σ2 = , i 0
1 0 σ3 = , 0 −1
(B.29)
yang memenuhi kaitan komutasi
[σk , σl ] = 2iklm σm
(B.30)
129
dan σi σj = δij + iijk σk .
(B.31)
Bersama-sama dengan komponen vektor letak ~x = (x1 , x2 , x3 ) dan menggunakan matriks-matriks Pauli, dapat disusun matriks kompleks sebarang yang Hermitian X = σi xi ,
σi = (σ1 , σ2 , σ3 )
(B.32)
dan secara eksplisit berbentuk
3
1
2
x − ix x X= , x1 + ix2 −x3
(B.33)
dan tak berlacak (traceless). Himpunan semua matriks kompleks 2×2 yang berbentuk ˜ Panjang vektor letak ~x diberikan seperti dalam pers.(B.33) akan dituliskan sebagai Q. oleh |x|2 = −det X.
(B.34)
˜ tertransformasi menjadi X 0 menurut Oleh U ∈ SU (2), X ∈ Q
X −→ X 0 = U XU †
U, U † ∈ SU (2).
(B.35)
Transformasi ini bersifat melestarikan kehermitan, ketakberlacakan dan nilai determinan X. Dengan menggunakan pers.(B.25), (B.27) dan pers.(B.28) maka X 0 dapat
130
dinyatakan dengan X0 =
x03 x01 + ix02
x01 − ix02 a b x3 x1 − ix2 a∗ c∗ = −x03 c d x1 + ix2 −x3 b∗ d∗ 3 1 2 ∗ b x x − ix a −b a = x1 + ix2 −x3 b∗ a −b∗ a∗ (B.36)
sehingga 1 x01 = (a2 + a∗2 − b2 − b∗2 )x1 − 2 i x02 = (a2 − a∗2 − b2 + b∗2 )x1 + 2
i 2 (a − a∗2 + b2 + b∗2 )x2 − (ab + a∗ b∗ )x3 2 1 2 (a + a∗2 + b2 + b∗2 )x2 − i(ab − a∗ b∗ )x3 2
x03 = (ab∗ + ba∗ )x1 + (ba∗ − ab∗ )ix2 + (|a|2 − |b|2 )x3 . (B.37) Karena transformasi pers.(B.35) melestarikan nilai determinan,maka berlaku 2
2
2
2
2
2
x01 + x02 + x03 = x1 + x2 + x3 .
(B.38)
Parameter-parameter pada transformasi SU (2) adalah a, b yang masing-masing adalah bilangan kompleks dan dengan berlakunya |a|2 + |b|2 = 1 pada pers. (B.28) maka terdapat tiga parameter real grup seperti halnya pada rotasi dalam grup SO(3).
II.3 Relasi antara Grup SU (2) dan Grup SO(3) Terdapat korespondensi antara grup SO(3) dan grup SU (2). Dengan menggunakan pers.(B.22), (B.32) dan (B.33), relasi antara U ∈ SU (2) dan R ∈ SO(3)
131
dinyatakan oleh 1 Rkl = tr(σk U σl U † ) 2
(B.39)
dan 1
U = ∓(1 + σk σl Rkl )/2(1 + trR) 2
(B.40)
Selanjutnya relasi antara kedua himpunan parameter itu secara eksplisit diα
sajikan sebagai berikut. Dengan memilih a = e−i 2 dan b = 0 untuk pers. (B.37) diperoleh x01 = x1 cos(α) − x2 sin(α), x02 = x1 sin(α) + cos(α), x03 = x3 . Kaitan ini merupakan rotasi di sekitar sumbu x3 dengan sudut α. Dari sini, diperoleh korespondensi antara suatu matriks transformasi SU (2) dan matriks R3 ∈ SO(3) dalam pers.(B.13) adalah
e Uˆ3 ≡
−i α 2
0
cos(α) −sin(α) 0 0 . → R3 = sin(α) cos(α) 0 iα e2 0 0 1
(B.41)
Dengan cara yang identik, untuk rotasi di sekitar sumbu x2 dengan sudut β, dipilih a = cos( β2 ), b = −sin( β2 ),sehingga diperoleh cos(β) 0 sin(β) β β cos( ) −sin( ) 2 2 . Uˆ2 ≡ → R2 = 0 1 0 β β sin( 2 ) cos( 2 ) −sin(β) 0 cos(β)
(B.42)
Untuk rotasi di sekitar sumbu x1 dengan sudut γ, dipilih a = cos( γ2 ) dan b = isin( γ2 ),
132
sehingga diperoleh 0 0 1 γ γ cos( ) isin( ) 2 2 , Uˆ1 = → R1 = 0 cos(γ) −sin(γ) γ γ isin( 2 ) cos( 2 ) 0 sin)γ) cos(γ)
(B.43)
Pembangkit untuk masing-masing rotasi di dalam SU (2) dapat diperoleh dengan mengambil turunan masing-masing, matriks rotasi itu di sekitar I2 , yakni ˆ1 d U = 0 = − i σ1 ; Sˆ1 ≡ dγ γ 2 dUˆ2 i Sˆ2 ≡ = 0 = − σ2 ; dβ β 2 i dUˆ3 = 0 = − σ3 . Sˆ3 ≡ dα α 2
(B.44)
Dari sini, secara umum Uˆ1 , Uˆ2 dan Uˆ3 masing-masing dapat dituliskan dalam pernyataan pembangkitnya sebagai ˆ Uˆi (α) = eSi α .
(B.45)
Ketiga pembangkit dalam SU (2) itu memenuhi kaitan komutasi berikut [Sˆk , Sˆl ] = klm Sˆm .
(B.46)
Relasi antara grup SU (2) dengan grup SO(3) merupakan homomorfisme, yaitu berupa pemetaan 2-1 dari SU (2) ke SO(3). Secara umum korespondensinya dapat dinyatakan sebagai ±Uˆ → R.
(B.47)