TINJAUAN ATAS PENGADAAN TANAH BAGI PEMBANGUNAN UNTUK KEPENTINGAN UMUM BERDASARKAN UNDANG-UNDANG NOMOR 2 TAHUN 2012
http://adisuara.blogspot.com
I.
PENDAHULUAN Tanah merupakan modal dasar pembangunan. Hampir tak ada kegiatan pembangunan (sektoral) yang tidak memerlukan tanah. Oleh karena itu tanah memegang peranan yang sangat penting, bahkan menentukan berhasil tidaknya suatu pembangunan. Kegiatan pembangunan yang dilaksanakan baik untuk kepentingan umum maupun swasta selalu membutuhkan tanah sebagai wadah pembangunan. Saat ini, pembangunan terus meningkat sedangkan persediaan tanah tidak berubah. Keadaaan ini berpotensi menimbulkan konflik karena kepentingan umum dan kepentingan perorangan saling berbenturan. Perlu diketahui bahwa pengaturan terkait pengadaan tanah bagi pembangunan untuk kepentingan umum, Pemerintah telah menerbitkan peraturan secara berturut-turut adalah Peraturan Menteri Dalam Negeri (Permendagri) Nomor 15 Tahun 1975 tentang Ketentuan-Ketentuan Mengenai Tata Cara Pembebasan Tanah, Keputusan Presiden (Keppres) Nomor 55 Tahun 1993 tentang Pengadaan Tanah bagi Pelaksanaan Pembangunan untuk Kepentingan Umum, Peraturan Presiden (Perpres) Nomor 36 Tahun 2005 yang kemudian diubah menjadi Perpres Nomor 65 Tahun 2006 tentang Pengadaan Tanah bagi Pelaksanaan Pembangunan untuk Kepentingan Umum.
Tulisan Hukum – Seksi Informasi Hukum
1
Peraturan perundang-undangan diatas selama ini dianggap belum memenuhi rasa keadilan bagi pihak yang kehilangan tanahnya. Bagi pemerintah yang memerlukan tanah, peraturan perundang-undangan yang telah diterbitkan tersebut dipandang masih menghambat atau kurang untuk memenuhi kelancaran pelaksanaan pembangunan sesuai rencana. Undang-Undang Nomor 2 Tahun 2012 tentang Pengadaan Tanah bagi Pembangunan untuk Kepentingan Umum yang ditetapkan pada bulan Januari 2012, merupakan undang-undang yang ditunggu-tunggu. Alasan diterbitkannya Undang-Undang Nomor 2 Tahun 2012 karena pelaksanaan pengadaan tanah pada saat ini masih lambat dalam mendukung pembangunan infrastruktur. Pelaksanaan pengadaan tanah selama ini masih dilakukan secara ad hoc dan menimbulkan banyak permasalahan serta belum menjamin kepastian waktu dalam pembebasan tanahnya. Sebagai peraturan pelaksana dari Undang-Undang Nomor 2 Tahun 2012 yang mengatur teknis pembebasan lahan, maka pada tanggal 7 Agustus 2012 yang lalu, Presiden telah menerbitkan Perpres Nomor 71 Tahun 2012 tentang Penyelenggaraan Pengadaan Tanah bagi Pembangunan untuk Kepentingan Umum. Namun, dalam perjalanan waktu penetapan Undang-Undang Nomor 2 Tahun 2012 ini tidak lepas dari pro dan kontra dari beberapa elemen masyarakat. Sudah terdapat upaya judicial review dari beberapa Lembaga Swadaya Masyarakat (LSM) yang tergabung dalam Koalisi Rakyat Anti Perampasan Tanah Rakyat (Karam Tanah) yang beranggotakan Serikat Petani Indonesia (SPI), Indonesian Human Right Committee for Social Justice (IHCS), Yayasan Bina Desa Sadajiwa, Konsorsium Pembaruan Agraria (KPA), Koalisi Rakyat untuk Keadilan Perikanan (KIARA), Walhi, Aliansi Petani Indonesia (API), Sawit Watch, Koalisi Rakyat untuk Hak atas Air (KruHA), Perserikatan Solidaritas Perempuan, Yayasan Pusaka, Elsam, Indonesia for Global Justice, dan Serikat Nelayan Indonesia (SNI), yang menilai Undang-Undang tersebut tidak berpihak kepada masyarakat. 1 Karam Tanah menilai bahwa Undang-Undang Nomor 2 Tahun 2012 memuat kewenangan pemerintah dengan dalih membangun fasilitas umum, yang sesungguhnya tidak digunakan demi kepentingan umum, tetapi lebih berorientasi pada kepentingan bisnis seperti membangun jalan tol dan pelabuhan. Selain itu, terdapat beberapa kritik terkait klausula yang dinilai kurang tepat serta beberapa ketentuan yang memerlukan tambahan penjelasan dan beberapa materi yang belum tercakup dalam peraturan ini. 2
1 2
www.mahkamahkonstitusi.go.id, 11 Juni 2012 www.hukumonline.com, 11 Juni 2012
Tulisan Hukum – Seksi Informasi Hukum
2
II. PERMASALAHAN Berdasarkan hal-hal tersebut, maka terdapat beberapa masalah hukum, yaitu: 1. Bagaimana pengadaan tanah bagi pembangunan untuk kepentingan umum sebelum berlakunya Undang-Undang Nomor 2 Tahun 2012? 2. Apakah yang menjadi landasan penyusunan Undang-Undang Nomor 2 Tahun 2012 maupun peraturan pelaksanaannya? 3. Bagaimana prosedur pelaksanaan pengadaan tanah bagi pembangunan untuk kepentingan umum berdasarkan Undang-Undang Nomor 2 Tahun 2012 dan peraturan pelaksanaannya? 4. Apakah kekurangan dan kelebihan dari substansi pengaturan Undang-Undang Nomor 2 Tahun 2012 dan peraturan pelaksanaannya? III. PEMBAHASAN 1. Pengadaan Tanah bagi Pembangunan untuk Kepentingan Umum Sebelum Berlakunya Undang-Undang Nomor 2 Tahun 2012 Review terhadap beberapa negara menunjukkan tidak ada negara yang tidak memiliki kewenangan untuk mengambil tanah untuk kepentingan pembangunan. Kecepatan pertumbuhan ekonomi di the new emerging market tidak terlepas dari proses pengambilan tanah untuk pembangunan infrastruktur dan wilayah perkotaan. Negara-negara seperti Cina, Korea Selatan, dan Singapura melakukan pembebasan tanah secara besar-besaran untuk kepentingan transportasi, perkantoran, fasilitas energi dan infrastruktur lainnya. Beberapa literatur juga menujukkan trend penurunan pengambilan tanah oleh pemerintah (Azuela, 2007). Pengambilan tanah oleh pemerintah bukan saja makin menurun tapi juga semakin sulit untuk dilakukan. Menurut Azuela, terdapat beberapa faktor yang menyebabkan makin sulitnya pengambilan tanah oleh pemerintah yaitu: (1) meluasnya ketidakpuasan masyarakat terhadap praktik-praktik pengambilan tanah oleh pemerintah, (2) meningkatnya independensi lembaga peradilan, (3) menguatnya tekanan dari pemberitaan media massa, dan (4) dampak implementasi perjanjian internasional. 3 Berdasarkan review atas implementasi pengadaan tanah untuk kepentingan umum dari beberapa Negara, terdapat beberapa permasalahan yang dapat dijadikan pelajaran bagi proses pengaturan pengadaan tanah bagi pembangunan untuk
3
http://policy.paramadina.ac.id, 4 Juni 2012
Tulisan Hukum – Seksi Informasi Hukum
3
kepentingan umum di Indonesia. Dari analisa terhadap masalah pengadaan tanah untuk pembangunan di berbagai negara, dapat disimpulkan: 4 Pertama, hampir di seluruh negara pengadaan tanah untuk pembangunan menjadi semakin sulit dilakukan. Ketidakpuasan masyarakat, makin independennya lembaga peradilan, tekanan pers, dan perjanjian internasional menjadi faktor-faktor sulitnya pembebasan tanah. Untuk Indonesia, diperkirakan trend ini juga akan terjadi. Kedua, tidak ada praktik pengadaan tanah untuk pembangunan yang benar-benar sempurna. Hampir di semua negara yang menjadi sampel mengalami permasalahan. Hanya saja, tingkat kerumitan permasalahan dan dampaknya pada penundaan proyek berbeda-beda. Untuk Indonesia, saat ini adalah momentum untuk perbaikan terhadap kebijakan, prosedur, dan praktik-praktik pengadaan tanah untuk pembangunan. Ketiga, pelaksanaan pembebasan tanah dapat dipermudah dengan dua pendekatan. a.
Pendekatan dengan meningkatkan keberpihakan dan penghormatan terhadap pemilik hak atas tanah Pendekatan ini dilakukan dengan mengedepankan sosialisasi, negosiasi, dan pemberian kompensasi yang lebih komprehensif. Pendekatan yang mengedepankan sosialisasi, negosiasi, dan pemberian kompensasi yang lebih komprehensif memiliki konsekuensi pada ketersediaan anggaran. Pemberian kompensasi secara komprehensif membutuhkan dana yang besar. Dengan demikian, penetapan kebijakan terhadap komponen apa saja yang akan diperhitungkan dan bagaimana metode perhitungannya harus memperhatikan kemampuan keuangan Negara. b. Pendekatan dengan memperkuat kewenangan negara untuk mengambil tanah pada harga yang ditetapkan walaupun tanpa kerelaan pemilik tanah Pendekatan ini dilakukan dengan menggunakan kewenangan yang diberikan Undang-Undang. Pendekatan yang mengedepankan kewenangan pencabutan hak membutuhkan ketegasan sikap dan wibawa pemerintah dan aparatnya. Penggunaan kewenangan pencabutan hanya efektif dilaksanakan oleh pemerintah dan aparatnya yang dikenal memiliki integritas dan tidak memiliki vested interest dalam setiap tindakannya. Rendahnya integritas dan buruknya reputasi pemerintah dan aparatnya di mata masyarakat akan menyebabkan resistensi dari masyarakat. Mengacu pada hasil review pengadaan tanah oleh Pemerintah pada beberapa negara serta untuk menjamin terselenggaranya pembangunan untuk kepentingan
4
Ibid.
Tulisan Hukum – Seksi Informasi Hukum
4
umum, diperlukan tanah yang pengadaannya dilaksanakan dengan mengedepankan prinsip kemanusiaan, demokratis, dan adil. Untuk mengakomodir hal tersebut, maka pada tahun 2012, Pemerintah bersama DPR telah menetapkan Undang-Undang Nomor 2 Tahun 2012 tentang Pengadaan Tanah bagi Pembangunan untuk Kepentingan Umum. Sebagai pelaksanaan amanat Pasal 53 dan Pasal 59 Undang-Undang Nomor 2 Tahun 2012, Presiden Susilo Bambang Yudhoyono pada 7 Agustus lalu telah menandatangani Perpres Nomor 71 Tahun 2012 tentang Penyelenggaraan Pengadaan Tanah bagi Pembangunan untuk Kepentingan Umum. Perpres ini mengatur tata cara pengadaan tanah untuk kepentingan umum dari tahapan perencanaan, tahapan persiapan, tahapan pelaksanaan, sampai dengan penyerahan hasil. Sebelum diberlakukannya Undang-Undang Nomor 2 Tahun 2012, pengaturan tentang pengadaan tanah didasarkan pada Perpres Nomor 36 Tahun 2005 yang kemudian diubah menjadi Perpres Nomor 65 Tahun 2006 tentang Pengadaan Tanah bagi Pelaksanaan Pembangunan untuk Kepentingan Umum. Sesuai Perpres tersebut, pengadaan tanah dilakukan oleh Panitia Pengadaan Tanah yang bersifat ad-hoc. Prosesnya sering terhambat oleh diskontinuitas anggaran. Selain itu, masalah lain yang sering muncul adalah definisi pembangunan untuk kepentingan umum yang masih banyak diperdebatkan. Dan yang lebih penting lagi, pengadaan tanah juga bersinggungan dengan isu hukum mendasar seperti hak azasi manusia, prinsip keadilan, prinsip keseimbangan antara kepentingan negara dengan kepentingan masyarakat baik secara individu maupun kelompok. Undang-Undang Nomor 2 Tahun 2012 merupakan sebuah langkah perbaikan, karena peraturan perundang-undangan sebelumnya dianggap belum memenuhi rasa keadilan bagi pihak yang kehilangan tanahnya. Dengan diterbitkannya undang-undang tersebut diharapkan dapat mengatasi permasalahan-permasalahan dalam pengadaan tanah. Beberapa permasalahan mendasar dalam proses pengadaan tanah selama ini antara lain: pertama, belum tersedianya aturan dasar, prinsip, prosedur dan mekanisme pengadaan tanah; kedua, belum ditetapkannya kelembagaan pengadaan tanah; ketiga, tidak adanya peraturan khusus pembiayaan pengadaan tanah; dan keempat, belum jelasnya kriteria kegiatan yang dapat dikategorikan sebagai kepentingan umum. Keempat permasalahan tersebut menjadi salah satu penghambat untuk mencapai tujuan pembangunan untuk kepentingan umum.
Tulisan Hukum – Seksi Informasi Hukum
5
2.
5 6
Landasan Penyusunan Undang-Undang Nomor 2 Tahun 2012 Jika ditelaah secara seksama, pada bagian konsiderans Undang-Undang Nomor 2 Tahun 2012 termaktub politik perundang-undangan (legal politics) sebagai berikut: a. bahwa dalam rangka mewujudkan masyarakat yang adil, makmur, dan sejahtera berdasarkan Pancasila dan Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945, pemerintah perlu melaksanakan pembangunan; b. bahwa untuk menjamin terselenggaranya pembangunan untuk kepentingan umum, diperlukan tanah yang pengadaannya dilaksanakan dengan mengedepankan prinsip kemanusiaan, demokratis, dan adil; c. bahwa peraturan perundang-undangan di bidang pengadaan tanah bagi pembangunan untuk kepentingan umum belum dapat menjamin perolehan tanah untuk pelaksanaan pembangunan; d. bahwa berdasarkan pertimbangan sebagaimana dimaksud dalam huruf a, huruf b, dan huruf c, perlu membentuk undang-undang tentang pengadaan tanah bagi pembangunan untuk kepentingan umum. Dasar filosofi yang harus menjadi basis Undang-Undang Nomor 2 Tahun 2012 sebagaimana pula halnya dengan Undang-Undang Pokok Agraria (UUPA) adalah Pancasila khususnya sila kedua, keempat serta kelima sebagaimana telah termaktub pada konsiderans Undang-Undang Nomor 2 Tahun 2012 huruf a dan b diatas. Seharusnya dengan pencantuman landasan filosofi tersebut harus mempertegas bahwa kegiatan pembangunan yang dimaksud sesungguhnya diabdikan untuk kepentingan siapa, dilakukan dengan cara yang bagaimana, serta bagaimana langkah mencapai cara dimaksud. 5 Sila–sila Pancasila sebagaimana dinyatakan oleh Notonagoro (1984) merupakan pengisi dan pengarah serta menjiwai setiap norma-norma yang hendak dirumuskan. Tulisan Notonagoro yang sama menyatakan bahwa “Segala peraturan hukum yang ada dalam negara Indonesia mulai saat berdirinya merupakan suatu tertib hukum. Dalam setiap tertib hukum diadakan pembagian susunan yang hierarkis. Setiap peraturan perundangan yang diundangkan seharusnya merupakan penjabaran dari nilai-nilai yang terkandung dari sila-sila Pancasila yang seharusnya tiap kualifikasi setiap rumusan sila pertama dalam rangkaian kesatuan dengan sila-sila yang lainnya”. 6 Dapat dikatakan bahwa secara filosofis, maka Undang-Undang Nomor 2 Tahun 2012 seolah-olah hendak menjalankan amanat yang terkandung pada sila-sila
http://ikuswahyono.lecture.ub.ac.id, 17 Maret 2012 Ibid
Tulisan Hukum – Seksi Informasi Hukum
6
Pancasila berpedoman pada prinsip kemanusiaan, demokratis serta keadilan, walaupun pengaruh dari ideologi neo-kapitalis tak diragukan lagi. Salah satu bukti yang nyata adalah masuknya kepentingan swasta dalam undang-undang ini dengan dalih untuk kepentingan pembangunan. Selain itu, permasalahan-permasalahan terkait pengadaan tanah untuk kepentingan umum yang timbul sebagai akibat lemahnya pengaturan dalam Perpres Nomor 36 Tahun 2005 yang kemudian diubah menjadi Perpres Nomor 65 Tahun 2006 antara lain pelaksanaan pengadaan tanah yang masih lambat dalam mendukung Pembangunan Infrastruktur, pelaksanaannya oleh panitia ad hoc dan menimbulkan banyak permasalahan seperti tindak pidana, serta belum menjamin kepastian waktu dalam pembebasan tanahnya menjadi dasar sosiologis dan yuridis diterbitkannya Undang-Undang Nomor 2 Tahun 2012 guna mendukung percepatan Pembangunan Infrastruktur dan sekaligus mempercepat Pembangunan Ekonomi. 3.
Prosedur Pelaksanaan Pengadaan Tanah Berdasarkan Undang-Undang Nomor 2 Tahun 2012 dan Peraturan Pelaksananya Tata cara atau prosedur pengadaan tanah untuk kepentingan umum telah diatur secara jelas dalam UU PTUP dan peraturan pelaksananya, mulai dari tahapan perencanaan, tahapan persiapan, tahapan pelaksanaan, sampai dengan penyerahan hasil berdasarkan Undang-Undang Nomor 2 Tahun 2012 dan Perpres Nomor 71 Tahun 2012 sebagai berikut. a.
Tahap Perencanaan Setiap instansi yang memerlukan tanah bagi pembangunan untuk kepentingan umum, agar menyusun Dokumen Perencanaan Pengadaan Tanah, yang sedikitnya memuat: (1) maksud dan tujuan rencana pembangunan, (2) kesesuaian dengan Rancangan Tata Ruang Wilayah (RTRW) dan Prioritas Pembangunan, (3) letak tanah, (4) luas tanah yang dibutuhkan, (5) gambaran umum status tanah, (6) perkiraan jangka waktu pelaksanaan pengadaan tanah dan pelaksanaan pembangunan, (7) perkiraan nilai tanah, dan (8) rencana penganggaran. Dokumen Perencanaan Pengadaan Tanah tersebut disusun berdasarkan studi kelayakan yang mencakup: (1) survei sosial ekonomi, (2) kelayakan lokasi, (3) analisis biaya dan manfaat pembangunan bagi wilayah dan masyarakat, (4) perkiraan harga tanah, (5) dampak lingkungan dan dampak sosial yang mungkin timbul akibat pengadaan tanah dan bangunan, serta (6) studi lain yang diperlukan.
Tulisan Hukum – Seksi Informasi Hukum
7
Dokumen Perencanaan tersebut selanjutnya diserahkan oleh instansi yang memerlukan tanah kepada Gubernur yang melingkupi wilayah dimana letak tanah berada. b. Tahap Persiapan Dalam tahapan pelaksanaan, Gubernur membentuk Tim Persiapan dalam waktu paling lama 10 hari kerja, yang beranggotakan: (1) Bupati/Walikota, (2) SKPD Provinsi terkait, (3) instansi yang memerlukan tanah, dan (4) instansi terkait lainnya. Untuk kelancaran pelaksanaan tugas Tim Persiapan, Gubernur membentuk sekretariat persiapan Pengadaan Tanah yang berkedudukan di Sekretariat Daerah Provinsi. Adapun tugas Tim Persiapan sebagai berikut: 1) Melaksanakan pemberitahuan rencana pembangunan Pemberitahuan rencana pembangunan ditandatangani Ketua Tim Persiapan dan diberitahukan kepada masyarakat pada lokasi rencana pembangunan, paling lama 20 hari kerja setelah Dokumen Perencanaan Pengadaan Tanah diterima resmi oleh Gubernur. Pemberitahuan dapat dilakukan secara langsung melalui sosialisasi, tatap muka, dan/atau surat pemberitahuan, atau melalui pemberitahuan secara tidak langsung melalui media cetak maupun media elektronik. 2) Melakukan pendataan awal lokasi rencana pengadaan Pendataan awal lokasi rencana pengadaan meliputi kegiatan pengumpulan data awal Pihak yang Berhak dan Objek Pengadaan Tanah bersama aparat kelurahan/desa paling lama 30 hari kerja sejak pemberitahuan rencana pembangunan. Hasil pendataan dituangkan dalam bentuk daftar sementara lokasi rencana pembangunan yang ditandatangani Ketua Tim Persiapan sebagai bahan untuk pelaksanaan Konsultasi Publik rencana pembangunan. 3) Melaksanakan Konsultasi Publik rencana pembangunan Konsultasi Publik rencana pembangunan dilakukan untuk mendapatkan kesepakatan lokasi rencana pembangunan dari Pihak yang Berhak dan masyarakat yang terkena dampak, dan dilaksanakan paling lama 60 hari kerja sejak tanggal ditandatanganinya daftar sementara lokasi rencana pembangunan. Hasil kesepakatan atas lokasi rencana pembangunan dituangkan dalam berita acara kesepakatan.
Tulisan Hukum – Seksi Informasi Hukum
8
Apabila, dalam Konsultasi Publik, Pihak yang Berhak dan masyarakat yang terkena dampak atau kuasanya tidak sepakat atau keberatan, maka dilaksanakan Konsultasi Publik ulang paling lama 30 hari kerja sejak tanggal berita acara kesepakatan. Jika dalam Konsultasi Publik ulang masih terdapat pihak yang keberatan atas rencana lokasi pembangunan, instansi yang memerlukan tanah melaporkan keberatan kepada Gubernur melalui Tim Persiapan. Selanjutnya, Gubernur membentuk Tim Kajian Keberatan yang terdiri atas: a) Sekretaris Daerah Provinsi atau pejabat yang ditunjuk sebagai ketua merangkap anggota; b) Kepala Kantor Wilayah BPN sebagai sekretaris merangkap anggota; c) Instansi yang menangani urusan pemerintahan di bidang perencanaan pembangunan daerah sebagai anggota; d) Kepala Kantor Wilayah Kementrian Hukum dan HAM sebagai anggota; e) Bupati/Walikota atau pejabat yang ditunjuk sebagai anggota; f) Akademisi sebagai anggota. Tugas Tim Kajian Keberatan meliputi: a) Menginventarisasi masalah yang menjadi alasan keberatan; b) Melakukan pertemuan atau klarifikasi dengan pihak yang keberatan; c) Membuat rekomendasi diterima atau ditolaknya keberatan yang ditandatangani Ketua Tim Kajian Keberatan kepada Gubernur. Berdasarkan rekomendasi dari Tim Kajian, Gubernur mengeluarkan surat diterima atau ditolaknya keberatan atas lokasi rencana pembangunan. Penanganan keberatan oleh Gubernur dilakukan paling lama 14 hari kerja sejak diterimanya keberatan. Dalam hal Gubernur memutuskan dalam suratnya menerima keberatan, instansi yang memerlukan tanah membatalkan rencana pembangunan atau memindahkan lokasi rencana pembangunan ke tempat lain. 4) Menyiapkan Penetapan Lokasi Pembangunan Penetapan Lokasi Pembangunan dibuat berdasarkan kesepakatan yang telah dilakukan Tim Persiapan dengan Pihak yang Berhak atau berdasarkan karena ditolaknya keberatan dari Pihak yang Keberatan. Penetapan Lokasi Pembangunan dilampiri peta lokasi pembangunan yang disiapkan oleh instansi yang memerlukan tanah. Penetapan Lokasi Pembangunan berlaku untuk jangka waktu 2 tahun dan dapat dilakukan permohonan perpanjangan waktu 1 kali untuk waktu paling lama 1
Tulisan Hukum – Seksi Informasi Hukum
9
tahun kepada Gubernur yang diajukan paling lambat 2 bulan sebelum berakhirnya jangka waktu Penetapan Lokasi Pembangunan. 5) Mengumumkan Penetapan Lokasi Pembangunan Pengumuman atas Penetapan Lokasi Pembangunan untuk kepentingan umum paling lambat 3 hari sejak dikeluarkan Penetapan Lokasi Pembangunan yang dilaksanakan dengan cara: a) Ditempelkan di kantor Kelurahan/Desa, dan/atau kantor Kabupaten/Kota dan di lokasi pembangunan; b) Diumumkan melalui media cetak dan/atau media elektronik. Pengumuman Penetapan Lokasi Pembangunan dilaksanakan selama paling kurang 14 hari kerja. 6) Melaksanakan tugas lain yang terkait persiapan pengadaan tanah bagi pembangunan untuk kepentingan umum yang ditugaskan oleh Gubernur Dalam hal ini, Gubernur dapat mendelegasikan kewenangan pelaksanaan tahapan persiapan pengadaan tanah bagi pembangunan untuk kepentingan umum kepada Bupati/Walikota berdasarkan pertimbangan efisiensi, efektivitas, kondisi geografis, sumber daya manusia dan pertimbangan lain. c.
Tahap Pelaksanaan Berdasarkan Penetapan Lokasi Pembangunan untuk kepentingan umum, instansi yang memerlukan tanah mengajukan pelaksanaan Pengadaan Tanah kepada Ketua Pelaksana Pengadaan Tanah dengan dilengkapi/dilampiri Dokumen Perencanaan Pengadaan Tanah dan Penetapan Lokasi Pembangunan. Ketentuan mengenai penyelenggaraan pengadaan tanah diserahkan kepada Kepala BPN, yang pelaksanaannya dilaksanakan oleh Kepala Kantor Wilayah BPN selaku Ketua Pelaksana Pengadaan Tanah (dengan pertimbangan efisiensi, efektifitas, kondisi geografis dan sumber daya manusia, dapat didelegasikan kepada Kepala Kantor Pertanahan), dengan susunan keanggotaan berunsurkan paling kurang: 1) Pejabat yang membidangi urusan Pengadaan Tanah di lingkungan Kantor Wilayah BPN; 2) Kepala Kantor Pertanahan setempat di lokasi Pengadaan Tanah; 3) Pejabat SKPD Provinsi yang membidangi urusan pertanahan; 4) Camat setempat pada lokasi Pengadaan Tanah; 5) Lurah/Kepala Desa atau nama lain pada lokasi Pengadaan Tanah.
Tulisan Hukum – Seksi Informasi Hukum
10
Pelaksana Pengadaan Tanah kemudian melakukan penyiapan pelaksanaan Pengadaan Tanah yang dituangkan dalam Rencana Kerja yang memuat paling kurang: 1) Rencana pendanaan pelaksanaan; 2) Rencana waktu dan penjadwalan pelaksanaan; 3) Rencana kebutuhan pelaksana pengadaan; 4) Rencana kebutuhan bahan dan peralatan pelaksanaan; 5) Inventarisasi dan alternatif solusi faktor-faktor penghambat dalam pelaksanaan; 6) Sistem monitoring pelaksanaan. Pelaksanaan Pengadaan Tanah secara garis besar meliputi: 1) Inventarisasi dan identifikasi penguasaan, pemilikan, penggunaan, dan pemanfaatan tanah Dilakukan dengan jangka waktu paling lama 30 hari. Adapun kegiatannya meliputi: (a) Pengukuran dan pemetaan bidang per bidang tanah; dan (b) Pengumpulan data Pihak yang Berhak dan Objek Pengadaan Tanah. Hasil inventarisasi dan identifikasi penguasaan, pemilikan, penggunaan, dan pemanfaatan tanah tersebut wajib diumumkan di kantor desa/kelurahan, kantor kecamatan dan tempat Pengadaan Tanah dilakukan dalam waktu paling lama 14 hari kerja. Dalam hal tidak menerima hasil inventarisasi, Pihak yang Berhak dapat mengajukan keberatan kepada Ketua Pelaksana Pengadaan Tanah dalam waktu paling lama 14 hari kerja terhitung sejak diumumkan hasil inventarisasi, untuk kemudian dilakukan verifikasi dan perbaikan dalam waktu paling lama 14 hari kerja terhitung sejak diterimanya pengajuan keberatan atas hasil inventarisasi. 2) Penilaian Ganti Kerugian Hasil pengumuman dan/atau verifikasi serta perbaikan atas hasil inventarisasi dan identifikasi penguasaan, pemilikan, penggunaan, dan pemanfaatan tanah ditetapkan oleh Ketua Pelaksana Pengadaan Tanah dan selanjutnya menjadi dasar penentuan Pihak yang Berhak dalam pemberian Ganti Kerugian. Penetapan besarnya nilai ganti kerugian oleh Ketua Pelaksana Pengadaan Tanah berdasarkan hasil penilaian jasa penilai atau penilai publik yang ditunjuk dan ditetapkan oleh Ketua Pelaksana Pengadaan Tanah yang penilaiannya dilaksanakan paling lama 30 hari kerja.
Tulisan Hukum – Seksi Informasi Hukum
11
3) Musyawarah penetapan Ganti Kerugian Pelaksana Pengadaan Tanah melakukan musyawarah dengan Pihak yang Berhak dalam waktu paling lama 30 hari kerja sejak hasil penilaian dari Penilai disampaikan kepada Ketua Pelaksana Pengadaan Tanah untuk menetapkan bentuk dan/atau besarnya Ganti Kerugian berdasarkan hasil penilaian Ganti Kerugian. Hasil kesepakatan dalam musyawarah tersebut menjadi dasar pemberian Ganti Kerugian kepada Pihak yang Berhak/kuasanya yang dimuat dalam berita acara kesepakatan. Dalam hal tidak terjadi kesepakatan mengenai bentuk dan/atau besarnya Ganti Kerugian, Pihak yang Berhak dapat mengajukan keberatan kepada Pengadilan Negeri setempat dalam waktu paling lama 14 hari kerja setelah musyawarah penetapan Ganti Kerugian. Pengadilan Negeri memutus bentuk dan/atau besarnya Ganti Kerugian dalam waktu paling lama 30 hari kerja sejak diterimanya pengajuan keberatan. Pihak yang keberatan terhadap putusan Pengadilan Negeri, dalam waktu paling lama 14 hari kerja dapat mengajukan kasasi kepada Mahkamah Agung. Mahkamah Agung wajib memberikan putusan dalam waktu paling lama 30 hari kerja sejak permohonan kasasi diterima. Putusan Pengadilan Negeri/Mahkamah Agung yang telah memperoleh kekuatan hukum tetap menjadi dasar pembayaran Ganti Kerugian kepada pihak yang mengajukan keberatan. 4) Pemberian Ganti Kerugian Pemberian ganti kerugian dapat dilakukan dalam bentuk: (a) Uang (b) Tanah Pengganti (c) Pemukiman kembali (d) Kepemilikan saham (e) Bentuk lain yang disetujui kedua belah pihak Pelaksana Pengadaan Tanah membuat penetapan mengenai bentuk ganti kerugian berdasarkan berita acara kesepakatan dan/atau putusan Pengadilan Negeri/Mahkamah Agung. Pemberian Ganti Kerugian dibuat dalam berita acara pemberian Ganti Kerugian yang dilampiri dengan: (a) Daftar Pihak yang Berhak penerima Ganti Kerugian (b) Bentuk dan besarnya Ganti Kerugian yang telah diberikan (c) Daftar dan bukti pembayaran/kwitansi Tulisan Hukum – Seksi Informasi Hukum
12
(d) Berita acara pelepasan hak atas tanah dan penyerahan bukti penguasaan atau kepemilikan Objek Pengadaan Tanah kepada instansi yang memerlukan tanah melalui Pelaksana Pengadaan Tanah. Dalam hal Pihak yang Berhak menolak bentuk dan/atau besarnya Ganti Kerugian berdasarkan hasil musyawarah atau putusan pengadilan negeri/Mahkamah Agung, Ganti Kerugian dititipkan di Pengadilan Negeri setempat. Penitipan Ganti Kerugian juga dilakukan terhadap: (a) Pihak yang Berhak menerima Ganti Kerugian tidak diketahui keberadaannya; (b) Objek Pengadaan Tanah yang akan diberikan Ganti Kerugian: (1) sedang menjadi objek perkara di pengadilan; (2) masih dipersengketakan kepemilikannya; (3) diletakkan sita oleh pejabat yang berwenang; atau (4) menjadi jaminan di bank. Pada saat pelaksanaan pemberian Ganti Kerugian dan Pelepasan Hak telah dilaksanakan atau pemberian Ganti Kerugian sudah dititipkan di Pengadilan Negeri, kepemilikan atau Hak Atas Tanah dari Pihak yang Berhak menjadi hapus dan alat bukti haknya dinyatakan tidak berlaku dan tanahnya menjadi tanah yang dikuasai langsung oleh negara. d. Tahap Penyerahan Hasil Pengadaan Tanah Ketua Pelaksana Pengadaan Tanah menyerahkan hasil pengadaan tanah kepada instansi yang memerlukan tanah disertai data Pengadaan Tanah paling lama 7 hari kerja sejak pelepasan hak Objek Pengadaan Tanah dengan berita acara. Setelah proses penyerahan, paling lama 30 hari kerja instansi yang memerlukan tanah wajib melakukan pendaftaran/pensertifikatan untuk dapat dimulai proses pembangunan. Pendanaan atas pengadaan tanah bagi pembangunan untuk kepentingan umum, dibebankan pada instansi yang memerlukan tanah dan dituangkan dalam dokumen penganggaran yang bersumber dari APBN/APBD. Dalam rangka efisiensi dan efektivitas, pengadaan tanah untuk kepentingan umum yang luasnya tidak lebih dari 1 hektar, dapat dilakukan secara langsung oleh instansi yang memerlukan tanah dengan para pemegang hak atas tanah dengan cara jual beli atau cara lain yang disepakati kedua belah pihak.
Tulisan Hukum – Seksi Informasi Hukum
13
4.
Kekurangan Undang-Undang Nomor 2 Tahun 2012 Dalam perjalanannya, pengesahan Undang-Undang Nomor 2 Tahun 2012 menemui hambatan dimana terdapat permohonan judicial review dari Koalisi Rakyat Anti Perampasan Tanah Rakyat (Karam Tanah) yang berpendapat bahwa substansi Undang-Undang Nomor 2 Tahun 2012 belum berpihak kepada kepentingan rakyat. Hal tersebut terkait definisi tentang ‘pembangunan untuk kepentingan umum’ yang didalamnya terlihat mengakomodir kepentingan swasta dalam Undang-Undang ini dengan dalih untuk kepentingan pembangunan. Definisi pembangunan untuk kepentingan umum pada dasarnya sudah diuraikan dalam Pasal 1 angka 6, Pasal 9 ayat (1), dan Pasal 10 Undang-Undang Nomor 2 Tahun 2012. Berdasarkan Pasal 1 angka 6 Undang-Undang Nomor 2 Tahun 2012 disebutkan definisi mengenai kepentingan umum sebagai kepentingan bangsa, negara, dan masyarakat yang harus diwujudkan oleh pemerintah dan digunakan sebesar-besarnya untuk kemakmuran rakyat. Pada Pasal 9 ayat (1) lebih lanjut dijelaskan bahwa penyelenggaraan pengadaan tanah untuk kepentingan umum memperhatikan keseimbangan antara kepentingan pembangunan dan kepentingan masyarakat. Kemudian dalam Pasal 10 Undang-Undang ini ditentukan bahwa tanah untuk kepentingan umum digunakan untuk pembangunan: a. pertahanan dan keamanan nasional; b. jalan umum, jalan tol, terowongan, jalur kereta api, stasiun kereta api, dan fasilitas operasi kereta api; c. waduk, bendungan, bendung, irigasi, saluran air minum, saluran pembuangan air dan sanitasi, dan bangunan pengairan lainnya; d. pelabuhan, bandar udara, dan terminal; e. infrastruktur minyak, gas, dan panas bumi; f. pembangkit, transmisi, gardu, jaringan, dan distribusi tenaga listrik; g. jaringan telekomunikasi dan informatika Pemerintah; h. tempat pembuangan dan pengolahan sampah; i. rumah sakit Pemerintah/Pemerintah Daerah; j. fasilitas keselamatan umum; k. tempat pemakaman umum Pemerintah/Pemerintah Daerah; l. fasilitas sosial, fasilitas umum, dan ruang terbuka hijau publik; m. cagar alam dan cagar budaya; n. kantor Pemerintah/Pemerintah Daerah/desa;
Tulisan Hukum – Seksi Informasi Hukum
14
o.
penataan permukiman kumuh perkotaan dan/atau konsolidasi tanah, serta perumahan untuk masyarakat berpenghasilan rendah dengan status sewa; p. prasarana pendidikan atau sekolah Pemerintah/Pemerintah Daerah; q. prasarana olahraga Pemerintah/Pemerintah Daerah; dan r. pasar umum dan lapangan parkir umum. Isi ketentuan pasal-pasal diatas oleh beberapa kalangan dianggap telah menghilangkan hak warga negara untuk menentukan jenis-jenis pembangunan untuk kepentingan umum dan mana yang bukan. Sebab, Undang-Undang Nomor 2 Tahun 2012 ini telah mendefinisikan sendiri dan menentukan jenis-jenis pembangunan yang dikategorikan untuk kepentingan umum (Andrinof A. Chaniago, Dosen FISIP UI selaku Ahli dalam Sidang pengujian Undang-Undang Nomor 2 Tahun 2012 di Mahkamah Konstitusi). Berdasarkan ketentuan pasal-pasal diatas, yaitu pada Pasal 10 dicontohkan bahwa pembangunan jalan tol dan semua jenis proyek pelabuhan tidak tepat jika dikategorikan sebagai kepentingan umum karena dikelola secara bisnis dan melayani kalangan tertentu saja. Selain itu, dalam Undang-Undang Nomor 2 Tahun 2012 ini tidak ditemukan mengenai definisi kepentingan pembangunan dan kepentingan masyarakat yang menjadi syarat penyelenggaraan ‘kepentingan umum’ sebagaimana dicantumkan dalam ketentuan Pasal 9 ayat (1). Hal ini menunjukkan masih terdapatnya kekaburan definisi pembangunan untuk kepentingan umum dalam Undang-Undang Nomor 2 Tahun 2012 seperti halnya peraturan-peraturan sebelumnya. Selain itu, dalam Pasal 39, Pasal 42 ayat (1) dan Pasal 43 Undang-Undang Nomor 2 Tahun 2012 diatur bahwa dalam hal Pihak yang Berhak menolak bentuk dan/atau besarnya Ganti Kerugian, tetapi tidak mengajukan keberatan dalam waktu 14 hari kerja setelah musyawarah penetapan Ganti Kerugian, karena hukum Pihak yang Berhak dianggap menerima bentuk dan besarnya Ganti Kerugian. Ganti Kerugian tersebut kemudian dititipkan di pengadilan negeri setempat. Pada saat pelaksanaan pemberian Ganti Kerugian dan Pelepasan Hak telah dilaksanakan atau pemberian Ganti Kerugian sudah dititipkan di pengadilan negeri, kepemilikan atau Hak Atas Tanah dari Pihak yang Berhak menjadi hapus dan alat bukti haknya dinyatakan tidak berlaku dan tanahnya menjadi tanah yang dikuasai langsung oleh negara. Hapusnya kepemilikan atau Hak Atas Tanah dari pihak yang berhak yang menolak hasil musyawarah tetapi tidak mengajukan keberatan sebagaimana diatur Pasal 39, 42 ayat (1) dan 43 di atas, menunjukkan represifnya Undang-Undang ini yang sengaja ditabrakkan dengan Undang-Undang Nomor 20 Tahun 1961 tentang Pencabutan Hak-hak Tanah dan Benda-benda yang Ada Diatasnya. Pasal 43 ini jelas Tulisan Hukum – Seksi Informasi Hukum
15
tidak sesuai dengan apa yang telah diuraikan dalam diktum Menimbang, Ketentuan Umum Pasal 1 angka 2 dan angka 10 serta Pasal 2 Undang-Undang ini sendiri yaitu pengadaan tanah untuk kepentingan umum harus memperhatikan asas kemanusiaan, keadilan, kesepakatan, dan asas-asas lain. Kemudian dalam Pasal 1 angka 4 dan Pasal 33 point b Undang-Undang Nomor 2 Tahun 2012 disebutkan bahwa obyek pengadaan tanah dan penilaian besarnya nilai Ganti Kerugian oleh Penilai antara lain meliputi ruang atas tanah dan bawah tanah. Definisi mengenai apa yang dimaksud ‘ruang atas tanah dan bawah tanah’ pada pasal tersebut tidak dijelaskan lebih lanjut dalam Undang-Undang ini maupun peraturan pelaksananya. Hal ini menjadi kabur apabila dihubungkan dengan bunyi Pasal 33 ayat (3) Undang-Undang Dasar 1945 yang menyatakan bahwa bumi, air dan kekayaan alam yang terkandung didalamnya dikuasai oleh Negara dan dipergunakan untuk sebesarbesar kemakmuran rakyat. Dalam hal ini, perlu kejelasan yang dimaksud serta batasan ruang atas tanah dan bawah tanah. Hal ini juga dimaksudkan untuk memberikan penjelasan atas ketentuan Pasal 4 Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1960 tentang Peraturan Dasar Pokok-Pokok Agraria (atau sering disingkat UUPA) dimana menyebutkan bahwa hak atas tanah meliputi permukaan bumi, ruang atasnya dan bawahnya sekedar diperlukan yang berkaitan dengan permukaan tanahnya. Namun, dalam UUPA tersebut belum menjelaskan mengenai definisi dan batasan ruang atas tanah dan bawah tanah. Represifnya Undang-Undang Nomor 2 Tahun 2012 juga terlihat pada Pasal 41 ayat (2) dan ayat (3) yang menyatakan bahwa Pihak yang Berhak harus menyerahkan bukti penguasaan atau kepemilikan yang merupakan satu-satunya bukti yang sah menurut hukum dan tidak dapat diganggu gugat di kemudian hari. Kalimat “tidak dapat diganggu gugat di kemudian hari“ ini bertentangan dengan fakta hukum yang sedang berlangsung di Indonesia, dalam hal ini Pasal 19 ayat (2) UUPA sebagai berikut: Pasal 19 UUPA: (1) Untuk menjamin kepastian hukum oleh Pemerintah diadakan pendaftaran tanah di seluruh wilayah Republik Indonesia menurut ketentuan-ketentuan yang diatur dengan Peraturan Pemerintah. (2) Pendaftaran tersebut dalam ayat (1) pasal ini meliputi: a. pengukuran perpetaan dan pembukuan tanah; b. pendaftaran hak-hak atas tanah dan peralihan hak-hak tersebut;
Tulisan Hukum – Seksi Informasi Hukum
16
c. pemberian surat-surat tanda bukti hak, yang berlaku sebagai alat pembuktian yang kuat. Bahwa Pasal 19 ayat (2) huruf c. UUPA menegaskan surat-surat tanda bukti hak sebagai alat pembuktian yang kuat, dalam hal ini belum sebagai alat pembuktian yang mutlak. Alat bukti kepemilikan tanah di Indonesia yang sudah berupa Sertifikat Hak Atas Tanah saja setiap saat atau di kemudian hari masih dapat diganggu gugat. Seperti halnya Perpres Nomor 65 Tahun 2006, Undang-Undang Nomor 2 Tahun 2012 dan Perpres Nomor 71 Tahun 2012 sudah mengatur batasan waktu untuk tiap tahap pengadaan tanah. Namun, masih terdapat kekurangan dalam peraturan ini dimana belum diatur sanksi dalam hal batas waktu untuk setiap tahapan terlampaui. 5.
Kelebihan Undang-Undang Nomor 2 Tahun 2012 Namun, dibalik sifat represif dari Undang-Undang Nomor 2 Tahun 2012 maupun Perpres Nomor 71 Tahun 2012 sebagai peraturan pelaksananya, tidak dapat dipungkiri bahwa terdapat perbaikan yang signifikan dari peraturan sebelumnya yaitu Perpres Nomor 65 Tahun 2006. Sebagai contoh, ketentuan Pasal 35 yang menyatakan apabila dalam hal bidang tanah tertentu yang terkena Pengadaan Tanah terdapat sisa yang tidak lagi dapat difungsikan sesuai dengan peruntukan dan penggunaannya, Pihak yang Berhak dapat meminta penggantian secara utuh atas bidang tanahnya. Bunyi pasal ini belum pernah muncul di peraturan peraturan sebelumnya. Pasal ini muncul dalam rangka mewujudkan pengadaan tanah yang adil. Setelah penetapan lokasi pembangunan Pihak yang Berhak hanya dapat mengalihkan hak atas tanahnya kepada Instansi yang memerlukan tanah melalui Lembaga Pertanahan. Hal ini untuk menghindari “calo” dan spekulan tanah, pembatasan ini belum pernah muncul pada peraturan perundang-undangan sebelumnya. Selain itu, dalam Undang-Undang Nomor 2 Tahun 2012 maupun Perpres Nomor 71 Tahun 2012 telah diatur mengenai jangka waktu pelaksanaan pengadaan tanah yang jelas dari mulai tahapan perencanaan, tahapan persiapan, tahapan pelaksanaan, sampai dengan penyerahan hasil, termasuk didalamnya pihak-pihak yang berperan dalam masing-masing tahapan. Peraturan ini juga mengatur durasi waktu setiap tahapan dalam proses pengadaan tanah bagi pembangunan untuk kepentingan umum. Sebenarnya batasan waktu juga telah diatur dalam Perpres Nomor 65 Tahun 2006, namun dalam Undang-Undang Nomor 2 Tahun 2012 maupun Perpres Nomor 71 Tahun 2012 sudah secara tegas mengatur durasi waktu keseluruhan penyelenggaraan pembebasan tanah untuk kepentingan umum paling lama (maksimal) 583 hari.
Tulisan Hukum – Seksi Informasi Hukum
17
Berdasarkan Undang-Undang Nomor 2 Tahun 2012 maupun Perpres Nomor 71 Tahun 2012 juga diatur keharusan instansi yang memerlukan tanah bagi pembangunan untuk kepentingan umum agar menyusun dokumen perencanaan pengadaan tanah. Karena itu harus disebutkan tujuan rencana pembangunan, kesesuaian dengan Rancangan Tata Ruang Wilayah (RTRW), letak tanah, luas tanah yang dibutuhkan, gambaran umum status tanah, dan perkiraan nilai tanah. Lalu selanjutnya diserahkan kepada Gubernur yang melingkupi wilayah dimana letak tanah berada. Lebih lanjut, peraturan ini juga menyinggung soal pengaturan ganti kerugian, pengalihan hak tanah, dan lainnya. Selain itu, terdapat pengaturan soal penolakan dari pihak yang berhak untuk penggantian rugi atas lahan tersebut dan sengketa lahan di pengadilan. Terkait pengaturan sumber dana pengadaan tanah, termasuk pengadaan tanah berskala kecil maupun pengadaan tanah untuk pembangunan infrastruktur minyak, gas, dan panas bumi juga tidak luput diatur didalamnya.
IV. PENUTUP Implikasi hukum terkait dengan perbuatan hukum pelepasan hak atas tanah yakni hapusnya hak atas tanah dari subyek hukum yang bersangkutan dan status hukum obyek tanahnya menjadi tanah yang dikuasai oleh negara sebagaimana diatur Pasal 2 jo. Pasal 4 Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1960. Disamping itu, hal terpenting dari aktifitas atau perbuatan hukum pengadaan tanah untuk kepentingan pembangunan harus berpijak pada dasar konstitusional yakni Pasal 33 ayat (3) Undang-Undang Dasar 1945 dan Pasal 28H ayat (4) yang menyatakan: ”setiap orang berhak mempunyai hak milik pribadi dan hak milik tersebut tidak boleh diambil-alih secara sewenang-wenang oleh siapapun”. Ditinjau dari dasar konstitusional Pasal 28H ayat (4) Undang-Undang Dasar 1945, maka perbuatan hukum pengadaan tanah baik yang dilakukan untuk kepentingan pemerintah atas nama negara dengan motif untuk kepentingan umum apalagi untuk kepentingan swasta harus menghormati hak perorangan sepenuhnya. Penghormatan hak perorangan atau individual merupakan sebuah keniscayaan yang wajib diberikan oleh negara khususnya kepada warga negara yang aset atau miliknya hanya sebidang tanah tersebut. Hal inilah merupakan persoalan esensial sepanjang sejarah berdirinya negara Indonesia khususnya setelah diundangkannya Peraturan Menteri Dalam Negeri Nomor 15 Tahun 1975 tentang Pembebasan Hak Atas Tanah. Kehadiran Undang-Undang Nomor 2 Tahun 2012 beserta peraturan pelaksananya ditetapkan untuk menjamin perolehan tanah untuk pelaksanaan pembangunan dengan Tulisan Hukum – Seksi Informasi Hukum
18
mengedepankan prinsip kemanusiaan, demokratis, dan adil sebagaimana diamanatkan dalam sila kedua, keempat dan kelima Pancasila. Pancasila dijadikan sebagai dasar filosofi penyusunan Undang-Undang Nomor 2 Tahun 2012 ini sebagaimana halnya dengan penyusunan UUPA. Lahirnya peraturan ini juga dalam rangka memberikan solusi atas permasalahan mendasar dalam proses pengadaan tanah selama ini yang belum diatur peraturan-peraturan perundangan sebelumnya, walaupun dalam implementasinya masih terdapat beberapa ketentuan yang dianggap represif oleh beberapa elemen masyarakat.
Daftar Pustaka: Peraturan Perundang-undangan 1. Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945. 2. Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1960 tentang Peraturan Dasar Pokok-Pokok Agararia. 3. Undang-Undang Nomor 20 Tahun 1961 tentang Pencabutan Hak-H 4. ak Tanah dan Benda-Benda yang Ada Diatasnya. 5. Undang-Undang Nomor 2 Tahun 2012 tentang Pengadaan Tanah bagi Pembangunan untuk Kepentingan Umum. 6. Peraturan Presiden Nomor 65 Tahun 2006 tentang Perubahan atas Peraturan Presiden Nomor 36 Tahun 2005 tentang Pengadaan Tanah bagi Pelaksanaan Pembangunan untuk Kepentingan Umum. 7. Peraturan Presiden Nomor 71 Tahun 2012 tentang Penyelenggaraan Pengadaan Tanah bagi Pembangunan untuk Kepentingan Umum. Internet 1. ikuswahyono.lecture.ub.ac.id, 17 Maret 2012 2. hukumpertanahansurveikadastral.blogspot.com, 9 Juni 2012 3. www.mahkamahkonstitusi.go.id, 11 Juni 2012 4. www.hukumonline.com, 2 Agustus 2012
Tulisan Hukum – Seksi Informasi Hukum
19