WP/ 4 /2013
Working Paper
TINGKAT PERSAINGAN PERSAINGAN DAN DAN EFISIENSI EFISIENSI TINGKAT BANK UMUM DI PASAR BANK UMUM DAN DAN BPR BPR DI PASAR KREDIT KREDIT MIKRO DI INDONESIA MIKRO DI INDONESIA Januar Hafidz, Sagita Rachmanira, Tika Octia
Desember, 2013
Tingkat Persaingan dan Efisiensi Bank Umum dan BPR di Pasar Kredit Mikro di Indonesia Januar Hafidz1, Sagita Rachmanira2, Tika Octia3
Abstrak
Usaha mikro, kecil, dan menengah (UMKM) memegang peranan yang penting dan strategis dalam mendorong perekonomian Indonesia, sebagaimana terlihat dari keberhasilan sektor UMKM untuk bertahan dan menopang perekonomian pada saat krisis. Melihat pentingnya kontribusi UMKM terhadap perekonomian tersebut Bank Indonesia turut berupaya mengembangkan dan memperkuat peran UMKM antara lain dengan mewajibkan bank untuk menyalurkan kredit ke sektor UMKM minimal 20% dari total kredit bank. Di antara ketiga segmen UMKM, kredit mikro mempunyai karakteristik yang berbeda. Karakteristik pembiayaan yang antara lain bersifat high cost dan high labour merupakan kendala bagi bank dalam menyalurkan kredit mikro. Namun, seiring dengan semakin ketatnya persaingan dalam pembiayaan sektor korporasi dan ritel, ditambah dengan margin kredit mikro yang lebih tinggi, saat ini semakin banyak bank umum yang mulai masuk pada pembiayaan mikro. Kondisi ini mengakibatkan persaingan dalam pemberian kredit mikro menjadi meningkat, tidak hanya di antara sesama bank umum, tetapi juga dengan Bank Perkreditan Rakyat (BPR) yang memang identik dengan pembiayaan mikro. Melalui perhitungan Herfindahl- Hirschman Index (HHI) disimpulkan bahwa: (i) terdapat market power dalam pemberian kredit mikro perbankan; serta (ii) terdapat persaingan antara bank umum dan BPR dalam penyaluran kredit mikro, sepanjang beroperasi dalam wilayah yang sama. Selanjutnya, melalui pendekatan Data Envelopment Analysis (DEA), disimpulkan bahwa tingkat efisiensi bank umum relatif lebih baik daripada BPR. Berdasarkan kedua hasil perhitungan tersebut, terlihat adanya indikasi Competition-Inefficiency Hypothesis. Namun, hasil tersebut menjadi bias mengingat tingkat persaingan hanya dihitung berdasarkan pembiayaan usaha mikro, sedangkan tingkat efisiensi dihitung dari keseluruhan aktivitas bank. Terlebih usaha mikro hanya memegang pangsa terbatas dari total kredit bank.
1 2 3
Peneliti Ekonomi, Departemen Kebijakan Makroprudensial Bank Indonesia. Peneliti Ekonomi, Departemen Kebijakan Makroprudensial Bank Indonesia. Research fellow, Departemen Kebijakan Makroprudensial Bank Indonesia.
I. 1.1
LATAR BELAKANG
Pendahuluan Usaha mikro, kecil, dan menengah (UMKM) memegang peranan yang
penting dan strategis dalam mendorong perekonomian Indonesia. Hal ini antara lain dapat terlihat melalui keberhasilan sektor UMKM untuk bertahan dan
menopang
perekonomian
pada
saat
krisis.
Berdasarkan
data
Kementerian Koperasi dan Usaha Kecil dan Menengah Republik Indonesia, pada tahun 2011 UMKM diperkirakan memberikan kontribusi sebesar 57,94% terhadap Produk Domestik Bruto (PDB) 4 Indonesia, yang 34,73% berasal dari usaha mikro. Selain itu, dengan pangsa unit usaha yang mencapai 99,99% dari total unit usaha (UMKM dan usaha besar) di Indonesia, UMKM dapat menyerap tenaga kerja hingga 97,24% dari total tenaga kerja yang ada di UMKM dan usaha besar. Kontribusi UMKM terhadap perekonomian yang cukup signifikan ini mengakibatkan daya tahan (sustainability) dan pengembangan UMKM menjadi sangat penting. Salah satu cara untuk mengembangkan dan memperkuat peran UMKM dalam struktur
perekonomian
nasional
adalah
melalui
peningkatan
akses
kredit/pembiayaan terhadap UMKM. Melalui risetnya, Morduch (1999) dan Robinson (2001) mengemukakan bahwa supply pembiayaan terhadap micro and small enterpreneurs (MSE) memegang peranan yang penting dalam memerangi kemiskinan dan mampu mengakselerasi pertumbuhan ekonomi pada negara berkembang. Di Indonesia, dengan sistem keuangan yang bersifat bank-based economy, pembiayaan terhadap UMKM saat ini cenderung didominasi oleh sektor perbankan, baik bank umum 5 maupun Bank Perkreditan Rakyat (BPR). Pada awalnya tidak banyak bank umum yang menyalurkan kredit kepada UMKM, terutama untuk usaha mikro. Pemberian kredit mikro awalnya lebih identik dilakukan oleh BPR dan lembaga keuangan mikro lainnya. Karakteristik penyaluran kredit mikro yang antara lain bersifat high
4 5
PDB atas dasar harga berlaku. Bank umum terdiri atas Bank Umum Konvensional (BUK) dan Bank Umum Syariah (BUS).
1
cost dan high labour merupakan beberapa kendala bagi bank umum dalam melakukan pembiayaan mikro. Namun, seiring dengan semakin ketatnya persaingan penyaluran kredit kepada sektor korporasi dan ritel, cukup besarnya
pangsa
usaha
mikro
yang
potensial
untuk
mendapatkan
pembiayaan, serta margin keuntungan segmen mikro yang relatif lebih tinggi daripada sektor lainnya, mendorong bank umum untuk membiayai usaha mikro. Hal ini menyebabkan persaingan di segmen mikro menjadi semakin ketat, termasuk persaingan antara bank umum dan BPR. Berdasarkan latar belakang tersebut, penelitian ini disusun dengan tujuan untuk mengidentifikasi (i) karakteristik usaha dan pembiayaan mikro, (ii) tingkat persaingan/kompetisi di pembiayaan mikro oleh bank umum dan BPR, serta (iii) tingkat efisiensi bank umum dan BPR. Identifikasi terhadap tingkat efisiensi dilakukan mengingat beberapa penelitian menunjukkan bahwa persaingan antarbank mampu memengaruhi kinerja bank, salah satunya mampu memengaruhi tingkat efisiensi (Casu dan Girardone, 2007, Schaeck dan Čihák, 2008). Oleh karena itu, dalam penelitian ini akan dibandingkan antara tingkat efisiensi bank umum dan BPR guna melihat apakah bank dengan tingkat persaingan yang lebih tinggi memiliki tingkat efisiensi yang lebih baik. Kajian akan diawali dengan studi pustaka mengenai tingkat kompetisi industri perbankan secara umum, yang meliputi identifikasi kompetisi pada industri perbankan, faktor yang mendorong kompetisi, serta dampaknya terhadap kinerja bank. Mengingat penelitian akan difokuskan pada pembiayaan usaha mikro maka pada bahasan selanjutnya akan diulas mengenai perkembangan usaha dan pembiayaan mikro di Indonesia, termasuk karakteristik pembiayaan mikro pada setiap kelompok bank, yakni bank umum dan BPR. Kemudian, bahasan akan dilanjutkan dengan analisis kuantitatif guna mengukur tingkat kompetisi dan efisiensi pembiayaan mikro pada
tiap-tiap
kelompok
bank.
Tingkat
kompetisi
dihitung
dengan
menggunakan pendekatan struktural Herfindahl-Hirschman Index (HHI), sedangkan tingkat efisiensi diukur dengan menggunakan Data Envelopment Analysis (DEA). Adapun data yang digunakan dalam kedua perhitungan 2
tersebut adalah data sekunder yang berasal dari laporan bulanan bank umum dan BPR. Guna melengkapi analisis, akan dilakukan pembahasan terhadap data primer yang berasal dari hasil survei tingkat persaingan bank umum dan BPR dalam pembiayaan usaha mikro6, serta hasil focus group discussion (FGD) dengan beberapa bank, baik bank umum maupun BPR. Pada akhir bahasan, akan diulas mengenai kesimpulan dan rekomendasi kebijakan.
Survei dilakukan dengan responden dari pihak perbankan (bank umum dan BPR) dan masyarakat. Responden terdiri atas 64 responden bank umum, 63 responden BPR, dan 1.409 responden rumah tangga yang tinggal di wilayah DKI Jakarta, Bandung, Semarang, Yogyakarta, Surabaya, Bandarlampung, Medan, Batam, Denpasar, dan Makassar. Khusus survei kepada masyarakat/rumah tangga dilakukan bekerja sama dengan Departemen Statistik Bank Indonesia. 6
3
II. Studi Pustaka
Kompetisi adalah saling berjuang antara dua individu atau beberapa kelompok untuk memperebutkan objek yang sama. Secara umum, terdapat dua pendekatan dalam teori kompetisi, yaitu pendekatan struktural dan nonstruktural (Bikker dan Haaf, 2002). Pendekatan struktural berangkat dari teori konvensional Industrial Organization (IO), yakni perhitungan kompetisi yang didasarkan dari tingkat konsentrasi atau yang dikenal dengan pendekatan Structure Conduct Performance (SCP). Berdasarkan pendekatan SCP, tingkat konsentrasi yang tinggi akan menghasilkan perilaku kolusif dan nonkompetitif. Semakin tinggi tingkat konsentrasi, semakin tinggi marketpower. Dengan demikian, terdapat korelasi negatif antara tingkat konsentrasi dan kompetisi. Sementara itu, pendekatan nonstruktural lebih memfokuskan pada informasi yang diperoleh tentang perilaku kompetitif dan tidak bergantung dari tingkat konsentrasi, antara lain perhitungan kompetisi yang didasarkan atas elastisitas revenue terhadap input price (Panzar dan Rosse, 1987). Pada industri perbankan, perhitungan tingkat kompetisi merupakan hal yang penting. Karakteristik bank yang berbeda dengan perusahaan nonbank pada umumnya, serta peranan penting bank dalam perekonomian, menyebabkan banyaknya penelitian mengenai tingkat kompetisi yang dilakukan dengan menggunakan data perbankan, baik melalui pendekatan struktural maupun nonstruktural. Di samping itu, perkembangan industri perbankan yang relatif cepat merupakan faktor pendorong perubahan tingkat kompetisi bank. Secara umum terdapat empat faktor yang memengaruhi tingkat kompetisi industri perbankan, yakni regulasi, fast-growing demand akan jasa perbankan, perkembangan teknologi, dan inovasi pasar keuangan global (Maudos et al, 2002). Regulasi yang berdampak pada berubahnya struktur pasar/industri perbankan (tercermin dari perubahan jumlah bank) akan memengaruhi tingkat kompetisi. Deregulasi sistem keuangan Eropa dan terbentuknya Economic and Monetary Union telah melatarbelakangi Casu 4
dan Girardone (2006) dalam melakukan penelitian mengenai tingkat kompetisi pada Single European Market. Sementara itu dengan menggunakan data perbankan di Eropa dan Amerika Serikat, Berger et al (2001) menemukan bahwa proses merger, akusisi, serta adanya new entry memengaruhi perubahan tingkat persaingan bank dalam pemberian kredit usaha kecil. Di Indonesia, industri perbankan mengalami perkembangan dan perubahan struktural sejak dikenalkannya paket deregulasi pada bulan Oktober 1988 oleh pemerintah. Melalui kebijakan tersebut, pemerintah memberikan liberalisasi atau kelonggaran izin pendirian bank. Akibatnya, jumlah bank di Indonesia mengalami peningkatan signifikan menjadi 111 bank pada tahun 1988 dan mencapai puncaknya hingga 240 bank pada tahun 1994 (Enoch et al, 2001). Perubahan struktural kembali terjadi akibat krisis ekonomi 1997. Jumlah bank di Indonesia berkurang seiring dilakukannya merger terhadap bank-bank pemerintah dan likuidasi terhadap 23 bank. Selanjutnya, melalui Arsitektur Perbankan Indonesia (API) yang dikenalkan pada tahun 2004, Bank Indonesia selaku otoritas perbankan kembali berupaya mendorong terciptanya struktur pasar perbankan yang sehat, antara lain melalui proses merger dan konsolidasi. Saat ini, jumlah bank umum di Indonesia mencapai 120 bank (Desember 2012). Mulyaningsih dan Daly (2011) dalam penelitiannya mengenai tingkat kompetisi bank di Indonesia antara tahun 2001--2009 mengemukakan bahwa perbankan di Indonesia terkonsentrasi pada bank-bank besar. Bank tersebut bekerja di pasar yang kurang kompetitif jika dibandingkan dengan bank-bank kecil, serta memiliki kekuatan monopoli yang memungkinkan mereka untuk berperilaku monopolis atau oligopolis. Penemuan ini didukung oleh hasil penelitian yang menyatakan bahwa pasar yang terkonsentrasi memberikan kontribusi pada lingkungan yang kurang kompetitif. Dalam dekade terakhir, penelitian mengenai tingkat kompetisi perbankan tidak hanya berhenti pada teridentifikasinya persaingan. Bahasan mengenai bagaimana dampak kompetisi terhadap kinerja bank menjadi topik penelitian yang menarik. Schäfer, et al (2010) dalam penelitiannya mengenai 5
MSE di Kazakhstan menyimpulkan bahwa tingkat persaingan bank memiliki korelasi positif dengan tingkat pembiayaan bank terhadap MSE yang diukur melalui volume pemberian kredit baru, tanpa memengaruhi repayment dicipline. Namun, dalam penelitian yang sama diungkapkan bahwa ekspansi pada tingkat kompetisi yang tinggi berpotensi mengurangi tingkat kehatihatian dan dapat mendorong bank melakukan excessive risk taking. Sementara itu, Schaeck dan Čihák (2008) berpendapat bahwa kompetisi antarbank mampu berpengaruh positif terhadap tingkat kesehatan melalui transmisi efisiensi. Dalam penelitiannya, Schaeck dan Čihák (2008) melakukan pengujian terhadap dua hipotesis, yakni The CompetitionEfficiency Hypothesis dan The Competition-Inefficiency Hypothesis. Hasil pengujian menunjukkan bahwa hipotesis pertama dapat dibuktikan, artinya kompetisi mampu menstimulasi bank menjadi lebih efisien
dengan
menciptakan harga yang kompetitif atau sama dengan marginal cost pada pasar persaingan sempurna. Argumen ini didukung oleh The Efficient Structure Hypothesis (Demsetz, 1973) yang menyatakan bahwa semakin tinggi market share atau tingkat persaingan yang rendah (telah dibahas sebelumnya bahwa konsentrasi berkorelasi negatif dengan kompetisi), cenderung menciptakan harga yang lebih tinggi dari marginal cost. Harga yang tinggi ini identik dengan kondisi yang kurang efisien. Selanjutnya, korelasi negatif antara tingkat kompetisi dan efisiensi berdasarkan
The Competition-Inefficiency Hypothesis
dapat
dijelaskan
sebagai berikut. Pada struktur perbankan dengan tingkat persaingan yang tinggi, loyalitas nasabah cenderung menurun sehingga hubungan antara nasabah dan bank menjadi kurang stabil dan lebih bersifat jangka pendek (Boot dan Schmeijts, 2005). Kondisi yang demikian selain dapat memicu munculnya permasalahan asymmetric information, juga menstimulus bank agar lebih fokus dan banyak mengeluarkan biaya pada kegiatan yang bertujuan untuk meningkatkan loyalitas nasabah. Dengan demikian, The Competition-Inefficiency
Hypothesis
menyimpulkan
bahwa
kompetisi
berpotensi menimbulkan inefisiensi. Namun, pada penelitian Schaeck dan Čihák (2008), hipotesis ini tidak terbukti. Pendapat lain mengenai hubungan 6
antara tingkat persaingan dan efisiensi bank diungkapkan oleh Casu dan Girardone (2007). Hasil penelitian mereka menyimpulkan bahwa kondisi inefisien pada industri perbankan yang kompetitif dapat diartikan sebagai dua hal, yakni bank sedang struggling dengan tingkat kompetisi yang tinggi atau sebagai signal bahwa bank sedang tereksploitasi dengan peningkatan market power. Secara umum, selain perhitungan sederhana melalui accounting ratio, terdapat dua pendekatan yang lazim digunakan untuk menghitung tingkat efisiensi bank, yaitu pendekatan parametrik dan nonparametrik. Pendekatan parametrik memerlukan persyaratan spesifikasi dan estimasi dari fungsi biaya atau fungsi produksi, sebagai contoh perhitungan efisiensi biaya dengan menggunakan metode Stochastic Frontier Analysis (SFA) dan Distribution Free Analysis (DFA). Hal utama yang perlu diperhatikan dalam melakukan perhitungan tingkat efisiensi melalui pendekatan ini adalah ketepatan dalam menentukan spesifikasi fungsi dan underlying proses stokastik yang digunakan. Hadad, et al (2003) dalam penelitiannya mengenai tingkat efisiensi perbankan di Indonesia, mencoba membandingkan kedua metode parametrik tersebut dan menghasilkan kesimpulan yang sama. Baik SFA maupun DFA menghasilkan bank yang sama sebagai bank acuan yang paling efisien, kelompok bank asing sebagai kelompok bank yang paling efisien, serta kesimpulan yang sama bahwa merger bank di Indonesia tidak menjadikan bank menjadi lebih efisien. Pendekatan selanjutnya adalah pendekatan nonparametrik. Berbeda dengan pendekatan parametrik, pendekatan ini tidak memerlukan spesifikasi persamaan
(fungsi)
ekonometrik
tertentu.
Pendekatan
nonparametrik
menggunakan teknik program linear untuk membentuk efficient frontier sebagai acuan. Salah satu metode nonparametrik yang sering digunakan untuk menghitung tingkat efisiensi di perbankan adalah Data Envelopment Analysis (DEA). DEA memiliki keunggulan untuk mengukur tingkat efisiensi dari suatu aktivitas ekonomi yang memiliki multiple input dan output. Pada tahun 2006, Fiorentino, et al mencoba mengukur tingkat efisiensi perbankan di Jerman melalui dua pendekatan, SFA dan DEA. Berdasarkan penelitian 7
tersebut, diperoleh hasil bahwa pendekatan nonparametrik cenderung lebih sensitif terhadap pengukuran error dan outliers, sedangkan pendekatan parametrik menghasilkan estimasi tingkat efisiensi yang kurang stabil setelah 12 tahun periode estimasi. Penggunaan metode parametrik dan nonparametrik dalam menghitung tingkat efisiensi lembaga keuangan dapat dilakukan melalui tiga konsep pendekatan
input-output,
yaitu
pendekatan
produksi,
pendekatan
intermediasi, dan pendekatan aset. Pendekatan produksi mendefinisikan institusi keuangan sebagai produsen dari akun-akun deposit dan kredit. Sementara pendekatan intermediasi mendefinisikan institusi keuangan sebagai intermediator yang mengubah sumber dana (dana pihak ketiga) menjadi aset keuangan berupa kredit. Hampir menyerupai pendekatan intermediasi, pendekatan aset mendefinisikan institusi keuangan sebagai pencipta aset-aset, terutama kredit.
III.
Karakteristik dan Perkembangan Pembiayaan Usaha Mikro
8
Melalui PBI Nomor 14/22/PBI/2012 tanggal 21 Desember 2012, Bank Indonesia mendefinisikan kredit mikro sebagai kredit yang diberikan kepada pelaku usaha yang memenuhi kriteria usaha mikro. Adapun definisi usaha mikro sebagaimana tercantum dalam UU Nomor 20 Tahun 2008 tentang UMKM adalah usaha produktif milik orang perorangan dan/atau badan usaha perorangan yang memenuhi kriteria usaha mikro sebagai berikut: (i) memiliki kekayaan bersih paling banyak Rp50 juta tidak termasuk tanah dan bangunan tempat usaha; dan (ii) atau memiliki hasil penjualan tahunan paling banyak Rp300 juta. Namun, peraturan tersebut tidak mengatur besarnya plafon untuk setiap segmen kredit UMKM. Akibatnya, besaran plafon kredit UMKM setiap bank menjadi berbeda-beda tergantung dari risk appetite bank tersebut. Sebagai contoh ada bank dengan plafon kredit mikro maksimal sebesar Rp100 juta dan ada juga yang mencapai Rp500 juta. Dari sisi masyarakat/nasabah, kondisi ini kurang menguntungkan mengingat suku bunga kredit mikro lebih tinggi dari segmen kredit lainnya. Nasabah yang mendapat kredit dari suatu bank sebesar Rp500 juta, namun termasuk dalam kategori kredit mikro akan dikenakan suku bunga yang lebih tinggi, padahal jika kredit tersebut diperoleh dari bank lain dan masuk dalam segmen kredit kecil atau menengah akan dikenakan suku bunga kredit yang lebih rendah. Saat ini, jumlah pembiayaan perbankan ke sektor mikro diperkirakan baru mencapai 14,8% dari total usaha mikro yang ada7. Sementara dari sisi bank, pembiayaan mikro hanya 4,1% dari total kredit perbankan. Dengan demikian,
masih
terdapat
peluang
bagi
bank
untuk
meningkatkan
penyaluran kredit mikro. Hal ini didukung pula oleh potensi/permintaan masyarakat yang cukup besar. Oleh karena itu, sebagai upaya untuk meningkatkan fungsi intermediasi ke UMKM, melalui PBI yang sama Bank Indonesia mewajibkan bank umum untuk memberikan pembiayaan kepada UMKM sekurang-kurangnya 20% dari total pembiayaan bank. Batasan minimum ini akan diimplementasikan secara bertahap sampai dengan tahun
Menggunakan angka potensi usaha mikro dari Kementrian Koperasi dan Usaha Kecil dan Menengah. 7
9
2018. Akan tetapi, dalam peraturan tersebut tidak ditentukan pangsa minimum untuk setiap segmen kredit UMKM. Sampai dengan akhir 2012, kredit mikro memiliki pangsa yang terendah dari porsi pembiayaan UMKM bank umum (18,5%). Karakteristik sebagian besar usaha mikro yang bersifat tidak feasible dan/atau tidak bankable, regulasi bank umum yang relatif lebih ketat dan kompleks, serta penerapan prinsip tingkat kehati-hatian, terkadang menjadi kendala bagi usaha mikro untuk mendapatkan pembiayaan bank. Sementara itu, dari sisi bank, penyaluran kredit mikro juga bukan hal yang mudah karena diperlukan biaya operasional yang cukup tinggi serta sumber daya manusia (SDM) yang tidak sedikit dan memiliki keahlian khusus dalam pemberian kredit mikro, termasuk pendekatan yang lebih intens jika dibandingkan dengan segmen korporasi dan ritel. Selain itu, lokasi usaha mikro yang sebagian besar berada di pelosok mengakibatkan bank sering mengalami kendala infrastruktur antara lain transportasi, komunikasi, supply cash (peredaran uang), dan fasilitas perbankan lainnya seperti pembukaan kantor cabang dan ATM. Akibatnya, tidak semua bank umum memiliki eksposur kredit mikro.
Pangsa Kredit Mikro terhadap Total Kredit Bank Umum dan BPR (%)
Pangsa Kredit Mikro Bank Umum dan BPR (%)
4,06
13,79
86,21 95,94
Mikro
Mikro BU
Non Mikro
Grafik 1. Sebaliknya,
kredit
mikro
Mikro BPR
Grafik 2 memiliki
pangsa
tertinggi
dari
total
pembiayaan UMKM BPR , yakni 69,7% (Desember 2012). Regulasi BPR yang tidak seketat bank umum, dan juga lokasi BPR yang berdekatan dengan usaha mikro, menyebabkan proses pembiayaan usaha mikro oleh BPR menjadi lebih mudah dan cepat. Hal ini didukung oleh hasil survei yang menunjukkan
bahwa
kecepatan
persetujuan
kredit
menjadi
faktor 10
pertimbangan utama dalam mengajukan kredit kepada BPR, kemudian diikuti oleh tingkat suku bunga yang kompetitif dan kemudahan persyaratan administrasi. Oleh karena itu, kredit mikro merupakan salah satu andalan penyaluran dana BPR. Meskipun demikian, bila dibandingkan dengan BPR, jumlah nominal kredit mikro yang disalurkan oleh bank umum lebih mendominasi, yakni 86,21% dari total kredit mikro perbankan, sedangkan BPR hanya sebesar 13,79%. Dominasi bank umum dalam penyaluran kredit mikro ini antara lain didukung oleh infrastruktur dan permodalan yang lebih kuat, sumber dana yang cukup, jaringan kantor yang luas, serta kuantitas dan kualitas SDM yang lebih memadai jika dibandingkan dengan BPR.
Grafik 3. Karakteristik lain dari kredit mikro adalah jumlah debitur kredit mikro perbankan yang sangat banyak, tetapi dengan nominal kredit yang relatif kecil. Akibatnya, kredit mikro memiliki jumlah rekening yang cukup signifikan. Pangsa rekening kredit mikro terhadap rekening kredit UMKM sangat dominan, yakni mencapai 79,96%, sedangkan jika dibandingkan dengan rekening total kredit porsinya tercatat sebesar 14,56%. Pangsa Rekening Kredit Mikro thd Rekening Kredit UMKM (%)
Pangsa Rekening Kredit Mikro thd Rekening Total Kredit (BU dan BPR - %) 14,56
20,04
79,96
Mikro
Kecil & Menengah
Grafik 4.
85,44
Mikro
Non Mikro
Grafik 5. 11
3.1
Bank Umum Sebelum membahas mengenai perkembangan kredit mikro bank umum, perlu dilihat terlebih dahulu bagaimana struktur bank umum di Indonesia. Saat ini, pangsa total aset, kredit, dan dana pihak ketiga (DPK) bank-bank besar sangat dominan terhadap industri perbankan, meskipun menunjukkan kecenderungan yang menurun. Perkembangan Tingkat Konsentrasi DPK Perbankan
Perkembangan Tingkat Konsentrasi Aset Perbankan
73,71
71,34 69,80 69,47
67,06
64,75 63,32 62,96 53,28
50,30 48,85 48,23
67,99
64,76 65,34
71,87
50,91 41,27
5 Bank Terbesar
10 Bank Terbesar
2010
2011
14 Bank Terbesar
5 Bank Terbesar
10 Bank Terbesar 2010
2012
2011
14 Bank Terbesar
2012
Perkembangan Tingkat Konsentrasi Kredit Perbankan
70,42 70,17 69,88
64,05 62,95 62,77 47,97 47,06 46,94
5 Bank Terbesar
10 Bank Terbesar 2010
2011
14 Bank Terbesar
3
2012
Grafik 6. Perkembangan Pangsa Total Aset, Kredit, dan DPK Kelompok Bank Terbesar
Apabila perbankan dibagi menjadi 3 kelompok berdasarkan total aset, yakni 5 bank terbesar, 10 bank terbesar, dan 14 bank terbesar, terlihat bahwa sejak tahun 2010 total aset cenderung turun pada semua kelompok bank terbesar. Hal ini menunjukkan bahwa kelompok bukan bank terbesar mampu bersaing dalam mengakumulasi aset sehingga pangsa total asetnya meningkat. Dari sisi penyaluran kredit, pangsa kredit kelompok bank terbesar juga turun walaupun penurunannya tidak sebesar total aset. Kondisi ini mencerminkan kelompok bukan bank terbesar mempunyai keunggulan tersendiri dalam menyalurkan dana ke masyarakat dengan berbagai
strategi
dan
kemampuan
yang
dimiliki.
Sementara
itu, 12
penghimpunan
dana
kelompok
bank
terbesar
pangsanya
cenderung
fluktuatif dengan pangsa tahun 2012 lebih rendah daripada tahun 2010. Hal ini mengindikasikan bahwa kelompok bukan bank terbesar dapat bersaing dengan bank-bank besar dalam menghimpun dana masyarakat melalui berbagai strategi, kemampuan yang dimiliki, dan juga pendekatan ke nasabah. Tabel 1. Pertumbuhan Total Aset, Kredit, dan DPK per Kelompok Bank Pertumbuhan
Tahun
Pertumbuhan Aset (YoY) Pertumbuhan Kredit (YoY) Pertumbuhan DPK (YoY)
2011 2012 2011 2012 2011 2012
Bank Bank 5 Bank 10 Bank 14 Bank Bank 1) 2) 3) Terbesar Lainnya Terbesar Lainnya Terbesar Lainnya 17.88 24.90 18.69 26.29 18.75 27.90 15.23 18.15 16.05 17.88 16.17 18.02 22.18 26.71 22.38 28.37 24.10 25.57 22.82 23.42 22.78 23.74 22.63 24.33 -7.81 49.66 14.94 27.37 9.80 44.93 42.92 -3.18 16.88 13.94 22.46 1.78
1) 115 Bank Lainnya 2) 110 Bank Lainnya 3) 106 Bank Lainnya
Terkait dengan konsentrasi tersebut, hal yang perlu diperhatikan adalah apakah dengan terkonsetrasinya total aset, kredit ,dan DPK di beberapa bank terbesar menyebabkan adanya praktik oligopoli dan/atau kartel di perbankan Indonesia dalam penetapan suku bunga kredit. Untuk mencermati hal tersebut, dilakukan analisis melalui tiga pendekatan sebagai berikut. Pertama, melalui pendekatan ketentuan pelaporan dan publikasi Suku Bunga Dasar Kredit (SBDK)
8 ..
Laporan dan publikasi tersebut
mencerminkan kondisi bank yang sebenarnya, mengingat perhitungan SBDK dilakukan dengan menggunakan data-data internal bank jika SBDK ditambah dengan premi risiko akan menjadi suku bunga kredit. Dengan demikian, praktik kartel dalam penetapan suku bunga kredit kemungkinan kecil terjadi karena SBDK mencerminkan kondisi individu bank bukan berdasarkan hasil kesepakatan dan/atau perbandingan dengan bank lain. Kedua, pada saat penetapan suku bunga kredit, bank melakukan benchmarking dan/atau peer group analisis terhadap besaran suku bunga
Melalui Surat Edaran (SE) Bank Indonesia No. 13/5/DPNP, sejak Maret 2011 Bank Indonesia mewajibkan bank untuk melaporkan dan memublikasikan Suku Bunga Dasar Kredit (SDBK) yang komponennya terdiri atas Harga Pokok Dana untuk Kredit (HPDK), biaya overhead (OHC), dan margin keuntungan. SE tersebut kemudian diamandemen pada bulan Januari 2013 melalui SE No. 15/1/DPNP yang pada amandemen tersebut ditambahkan kewajiban bank untuk melaporkan dan memublikasikan SBDK kredit mikro. 8
13
kredit bank-bank pesaing agar suku bunga yang ditetapkan dapat bersaing dan menarik bagi masyarakat. Dengan demikian, besaran dan pergerakan suku bunga kredit suatu bank kemungkinan dapat sama dan searah dengan bank yang lain. Hal ini tidak dapat dikatakan sebagai praktik kartel karena tidak ada unsur persekongkolan dalam menetapkan suku bunga kredit tersebut. Dalam hal ini, yang dilakukan bank merupakan bagian dari strategi usaha bank untuk menjaga tingkat persaingan dan kelangsungan usahanya. 8.5
15
8
14
7.5
13
7 6.5
12
6
11
5.5
10
5 1
3
5
7
9 11 1
3
5
2010 Sb. Deposito Rp (%)- Industri Sb. Deposito Rp (%)-non 14 BB
7
2011
9 11 1
3
5
7
9 11 1
2012 Sb. Deposito Rp (%)-14BB
2013
1
3
5
7
9 11
1
3
5
2010 Sb. Kredit Rp (%)- Industri Sb. Kredit Rp (%)-non 14 BB
7
2011
9 11
1
3
5
7
9 11
2012
1 2013
Sb. Kredit Rp (%)-14BB
Grafik 7. Perkembangan Rata-Rata Grafik 8. Perkembangan Rata-Rata Suku Bunga Kredit Rupiah Suku Bunga Deposito Rupiah Ketiga, dari sisi pendapatan, secara umum sumber pendapatan bunga perbankan mayoritas berasal dari penyaluran kredit yang mencapai sekitar 86,32% (Desember 2012). Dengan demikian, bank akan mempertimbangkan dengan baik apabila akan melakukan penyesuaian suku bunga kredit karena dapat memengaruhi kinerja pendapatan bank, kecuali jika penurunan suku bunga kredit tersebut dapat dikompensasi dengan peningkatan volume kredit dan/atau efisiensi. Sementara itu, sumber dana terbesar perbankan adalah DPK, yakni mencapai sekitar 75,66% dari total pasiva. Mengingat perubahan suku bunga simpanan berpotensi memengaruhi kemampuan bank dalam menghimpun dana masyarakat terutama pada kelompok bukan bank terbesar, bank akan melakukan benchmark dengan bank pesaing untuk melihat bagaimana posisinya di pasar agar dapat bersaing, tetapi dengan tetap memperhatikan kemampuan dan kesinambungan usaha bank.
14
Grafik 9. Berdasarkan ketiga pendekatan tersebut, dapat digambarkan bahwa industri perbankan yang terkonsentrasi belum mengindikasikan adanya kartel dalam penetapan suku bunga kredit. Kondisi ini tercermin juga dari tren suku bunga kredit dan simpanan perbankan yang cenderung menurun, sementara jika ada kartel biasanya terindikasi dari tingkat suku bunga yang stabil atau cenderung meningkat. 3.1.1 Perkembangan Kredit UMKM Secara umum, pangsa kredit UMKM terhadap total pembiayaan bank umum sempat mengalami penurunan secara signifikan, yakni dari sekitar rata-rata 51% menjadi rata-rata 18%--19%. Penurunan tersebut disebabkan oleh perubahan definisi kredit UMKM menjadi hanya ditujukan untuk usaha ekonomi produktif, tidak termasuk konsumsi, yang didasarkan atas besarnya aset dan omzet sebagaimana definisi menurut UU Nomor 20 Tahun 2008. Dengan mengacu pada definisi tersebut, penyaluran kredit bank umum kepada usaha mikro dalam tiga tahun terakhir terus meningkat, baik dari sisi volume maupun jumlah bank yang bermain di segmen mikro. Secara total, pangsa kredit UMKM terhadap total kredit perbankan mencapai 19,31% (Desember 2012), dengan pangsa kredit mikro terhadap total kredit UMKM dan total kredit perbankan masing-masing sebesar 18,46% dan 3,57%.
15
Tabel 2.
Tabel 3.
Perkembangan Kredit Mikro Bank Umum Konvensional Tahun 2010 2011 2012
Kredit Mikro per Kelompok Bank - Des 2012
Nominal Pangsa thd Kredit Pangsa thd Total NPL Gross (T Rp) UMKM (%) Kredit (%) (%) 71,63
19,02
4,03
88,02 97,18
19,21 18,46
3,97 3,57
Kelompok Bank
2,69 Persero 2,33 Swasta 2,49 BPD Campuran KCBA
Pangsa thd Kredit Pangsa thd Total UMKM (%) Kredit (%) 27,40
6,92
9,29
1,76
20,05
4,12
0,91 11,80
0,04 0,05
Berdasarkan kelompok bank, kelompok bank Persero dan BPD menyalurkan kredit mikro yang lebih besar dari kelompok bank lainnya. Hal ini tercermin dari pangsa masing-masing sebesar 27,40% dan 20,05% terhadap kredit UMKM, serta 6,92% dan 4,12% terhadap total kredit. Namun, bila dilihat berdasarkan pangsa masing-masing segmen UMKM, pada semua kelompok bank, kredit mikro justru memegang pangsa terkecil di antara ketiga segmen kredit UMKM. Beberapa faktor seperti infrastruktur, SDM, serta biaya operasional yang relatif lebih tinggi, mengakibatkan belum semua bank masuk ke pembiayaan usaha mikro. Analisis ini didukung oleh hasil focus group discussion (FGD) dengan beberapa bank umum yang menyatakan bahwa terkait dengan kewajiban bank untuk melakukan pembiayaan minimal 20% kepada sektor UMKM, sebagian besar bank (termasuk bank besar) memilih untuk memenuhi kewajiban tersebut melalui penyaluran kredit usaha kecil atau menengah, sedangkan kredit mikro akan diberikan melalui linkage program. Pangsa Komponen Kredit UMKM 100% 75% 50% 25% 0% Persero
Swasta
Mikro
BPD
Kecil
KCBA
Campuran Industri
Menengah
Grafik 10. Sementara itu, bila dilihat secara individual, dari 109 bank umum konvensional (BUK), terdapat 80 bank, sebagian besar berasal dari kelompok bank Persero dan Swasta, yang menyalurkan kredit mikro dengan jumlah yang sangat bervariasi. Namun, hanya 11 bank dengan pangsa kredit mikro 16
terhadap total kredit lebih dari 5%, bahkan terdapat 41 bank yang pangsanya di bawah 1%. Tabel 4. Penyaluran Kredit UMKM Bank Umum Konvensional per Segmen Kredit – 2012 Segmen Kredit
Total Kredit Pangsa terhadap (T Rp) Total Kredit
Jumlah Rekening (Juta Rekening)
Rata-rata Kredit/Rekening (Juta Rp)
Mikro
97,18
3,57%
5,74
16,93
Kecil
164,27
6,07%
1,14
144,35
Menengah
264,94
9,78%
0,30
879,60
Non UMKM
2.181,47
80,56%
32,26
83,94
Total
2.707,86
100,00%
39,44
68,66
Sementara itu, dari sisi kualitas kredit, pemberian kredit mikro bank umum diimbangi dengan kualitas kredit yang cukup terjaga. Walaupun pada periode 2002–2009 NPL gross kredit mikro cukup fluktuatif dan bahkan pada beberapa periode tertentu berada di atas NPL gross kredit kecil dan menengah, tetapi dalam tiga tahun terakhir rasio NPL gross kredit mikro lebih rendah dari padaNPL gross segmen kredit kecil (4,74%), menengah (2,57%), dan UMKM secara total (3,23%). Dalam perkembangannya, perubahan definisi dan pelaporan kredit UMKM yang mengacu pada UU No. 20 Tahun 2008 sebagaimana dijelaskan sebelumnya, mengakibatkan NPL gross kredit mikro ketika memasuki tahun 2010 sempat turun cukup signifikan. Pada bulan Desember 2009, pangsa kredit konsumsi di dalam segmen mikro sangat signifikan (74,5%) dengan NPL gross yang relatif tinggi (2,5%) sehingga ketika kredit konsumsi dikeluarkan dari pelaporan kredit UMKM, NPL gross kredit mikro menjadi membaik. Kondisi ini juga ditunjang oleh kinerja kredit mikro yang terus membaik. Sebaliknya, pada awal tahun 2010 rasio NPL gross kredit kecil mengalami peningkatan walaupun kredit konsumsi
telah
dikeluarkan
dalam
klasifikasi
segmen
kredit
kecil.
Peningkatan ini mengindikasikan memburuknya kinerja kredit kecil.
17
Perkembangan NPL Gross Kredit UMKM - Bulanan 8% 7%
6% 5%
4% 3%
2% 1%
2002
2003
2004
2005
2006
mikro
2007
2008
kecil
2009
2010
2011
2012
menengah
Grafik 11. Dalam menyalurkan kredit mikro, bank umum dapat melakukannya dengan beberapa cara, yakni secara langsung kepada masyarakat dan melalui lembaga lain atau yang dikenal dengan istilah linkage program melalui BPR. Program ini dapat dilakukan dengan skim executing dan channeling. Selama tiga tahun terakhir, linkage program menunjukkan tren yang meningkat hingga mencapai Rp7,29 T pada tahun 2012, khususnya pada skim executing, sementara pada skim channeling cenderung fluktuatif. Kenaikan tersebut terjadi seiring dengan bertambahnya jumlah bank umum dan BPR yang terlibat di dalam linkage program. Hal ini berdampak positif mendorong turunnya suku bunga yang dikenakan oleh bank umum kepada BPR pada skim executing. Tabel 5. Perkembangan Linkage Program Des-10
Des-11
Des-12
Executing Outstanding (juta Rp) Bank Umum BPR Rata-rata Suku Bunga (%) Kisaran Suku Bunga (%)
2.660.382
3.826.197
6.428.660
36
41
49
443
503
545
13,03
12,29
11,78
7,5-17,00
7,00-17,00
6,50-16,78
1.937.635
861.395
Chanelling Outstanding (juta Rp) BPR
1.851.529 126
Total Linkage
4.511.911
122 5.763.832
118 7.290.055
Ke depan, pemberian kredit UMKM, termasuk kredit mikro, oleh bank umum melalui BPR diperkirakan akan semakin meningkat, baik secara nominal maupun jumlah bank. Hal ini antara lain didukung oleh faktorfaktor berikut: (i) peraturan Bank Indonesia yang mewajibkan bank umum 18
untuk memiliki ekposur kredit UMKM setidaknya 20% dari total kredit. Melalui kebijakan ini diharapkan supply kredit UMKM, termasuk kredit mikro, akan meningkat hingga persaingan antarbank menjadi semakin ketat dan pada akhirnya diharapkan mampu mendorong penurunan suku bunga kredit UMKM; (ii) UMKM terbukti relatif lebih tahan dalam menghadapi gejolak perekonomian, mampu menghasilkan pendapatan yang relatif stabil, dan juga cukup prospektif; serta (iii) permintaan (demand) masyarakat akan kredit UMKM (termasuk kredit mikro) dinilai masih cukup tinggi. Terlebih, data menunjukkan bahwa beberapa bank menengah dan besar yang fokus kepada penyaluran kredit mikro dan/atau UMKM cenderung mempunyai rasio net interest margin (NIM) yang lebih besar dari peer group dan juga dari rata-rata industri perbankan. Hal ini mencerminkan bahwa kredit mikro mampu menghasilkan pendapatan yang memadai bagi bank. Namun, karakteristik penyaluran kredit mikro yang bersifat high cost dan high labour terkadang masih merupakan kendala bagi bank dalam melakukan ekspansi pembiayaan pada usaha mikro. 3.1.2 Komponen Suku Bunga Saat ini suku bunga kredit mikro relatif lebih tinggi dari segmen kredit lainnya, tetapi telah menunjukkan tren menurun. Rata-rata suku bunga kredit mikro industri perbankan pada tahun 2012 tercatat sebesar 17,52%. Meskipun demikian, sumbangan kredit mikro terhadap pendapatan bunga kredit perbankan masih relatif rendah, yakni sebesar 6,1%. Pangsa tersebut berpotensi untuk terus meningkat seiring dengan meningkatnya volume penyaluran kredit mikro. Dengan menggunakan pendekatan konsep SBDK, struktur suku bunga kredit mikro terdiri atas empat komponen, yakni Harga Pokok
Dana
keuntungan,
untuk dan
Kredit
kemudian
(HPDK),
biaya
ditambah
overhead
dengan
premi
(OHC), risiko
margin untuk
mendapatkan perhitungan suku bunga kredit. Berdasarkan laporan 11 bank yang mempunyai segmen kredit mikro yang cukup signifikan, secara ratarata (simple average) komponen terbesar pembentuk suku bunga kredit mikro adalah OHC sebesar 40%, diikuti HPDK (30%), serta margin keuntungan dan premi risiko masing-masing sebesar 15%. Dengan demikian, 19
upaya penurunan suku bunga kredit mikro dapat dilakukan antara lain melalui peningkatan efisiensi (fokus ke HDPK dan OHC) serta penetapan margin keuntungan dan premi risiko yang wajar. Tabel 6. Kontribusi Kredit UMKM thd Pendapatan Bunga Kredit Segmen Kredit
Rata-Rata Tertimbang Suku Bunga (%) 2011
2012
Kontribusi thd Pendapatan Bunga Kredit (%) 2011 2012
Kredit Mikro
17,22
17,52
6,1
6,1
Kredit Kecil
15,49
14,65
9,2
8,7
Kredit Menengah
11,75
11,4
10,7
10,8
Penyumbang terbesar HPDK adalah biaya DPK, yakni sekitar 73% dari HPDK. Hal ini terkait dengan besaran suku bunga simpanan dan volume DPK. Beberapa faktor yang menjadi pertimbangan bank dalam menetapkan suku bunga simpanan, antara lain suku bunga bank pesaing, kebutuhan likuiditas, serta strategi usaha dan target-target yang telah ditetapkan (seperti target penyaluran kredit dan laba). Sementara itu, komponen pembentuk SBDK yang terbesar adalah OHC yang sebagian besar dipengaruhi oleh biaya tenaga kerja (BTK) dan biaya promosi. Besaran BTK antara lain terkait dengan perkembangan usaha bank, kebutuhan pegawai, serta program pemeliharaan dan pengembangan pegawai (retaining program). Sejalan dengan hal tersebut, data menunjukkan bahwa BTK cenderung meningkat sejak tahun 2000 sampai dengan 2012. Namun, jika dilakukan perbandingan data tahun 2011 dengan 2012, terlihat bahwa kontribusi tenaga kerja terhadap kinerja bank menunjukkan penurunan, baik berdasarkan kelompok bank maupun industri perbankan. Ke depan, efisiensi dan efektivitas tenaga kerja perlu ditingkatkan. Oleh karena itu, kenaikan BTK harus diimbangi dengan peningkatan produktivitas pegawai baik dalam hal penyaluran kredit, penghimpunan dana maupun dalam menghasilkan laba. Selanjutnya, perkembangan komponen OHC lainnya, yaitu biaya promosi, antara lain dipengaruhi oleh strategi usaha, upaya untuk meningkatkan brand awareness masyarakat, posisi persaingan di industri, serta upaya untuk mempertahankan nasabah. Secara industri, pangsa biaya promosi terhadap beban operasional cenderung meningkat 20
sejak tahun 2010, tetapi masih relatif rendah, yakni sebesar 2,21% per Desember 2012. Jika dibandingkan dengan DPK, kredit, dan total aset, porsi biaya promosi sangat rendah, yakni di bawah 0,3%. Tabel 7 Rekapitulasi Kontribusi/Kinerja Tenaga Kerja per Kelompok Bank No
Kelompok Bank
TA/TK (Juta Rp) Laba/TK (Juta Rp) Kredit/TK (Juta Rp) 2011 2012 2011 2012 2011 2012
DPK/TK (Juta Rp) 2011 2012
B.Diklat/TK (Juta Rp) BTK/TA (%) 2011 2012 2011 2012
BTK/Laba (%) 2011 2012
1 Persero
9.311
7.449 231,14 200,15
5.453,87
4.654,67
7.296,26
5.829,86
7,12
5,72
1,36
1,41
54,75
52,48
2 Swasta Devisa
8.580
8.551 146,97 158,43
5.401,62
5.587,89
6.864,06
6.787,70
5,49
5,19
1,40
1,43
81,63
77,41
3 Swasta Non Devisa
3.043
2.852
56,97
1.947,55
1.913,15
2.371,42
2.207,92
2,97
3,20
2,44
2,49 155,32 124,70
4 BPD
8.555
7.938 211,00 193,65
4.948,65
4.737,44
6.626,26
6.029,41
7,75
7,53
1,97
1,95
80,01
80,12
5 Campuran
18.732 16.541 259,54 269,62 12.425,19 11.526,87 11.835,57
9.975,06
11,72
9,27
1,24
1,20
89,58
73,65
6 KCBA
26.941 28.804 509,67 488,37 13.702,00 16.481,55 14.202,72 14.819,80
13,50
15,38
1,19
1,13
63,08
66,60
7 Industri 8.938 8.033 182,98 175,70 5.385,25 5.104,22 6.817,90 6.079,38 6,33 5,68 1,45 1,48 70,66 Ket: TA= Total Aset, TK= Jmh Tenaga Kerja, B.Diklat= Biaya Pendidikan dan Pelatihan, DPK= Dana Pihak Ketiga, BTK= Biaya Tenaga Kerja, Laba= Laba Bersih
67,60
47,88
Faktor lain yang ikut memengaruhi SBDK adalah margin keuntungan. Dalam menetapkan margin keuntungan, bank antara lain memperhatikan tingkat persaingan, target laba yang telah ditetapkan, serta strategi pengembangan usaha (seperti pemupukan laba untuk meningkatkan modal). Adapun estimasi premi risiko selain terkait dengan data historis kinerja NPL kredit mikro, juga terkait dengan proyeksi bank terhadap kemampuan membayar, prospek usaha, dan kinerja debitur. Oleh karena itu, bank perlu mempunyai
database
yang
baik
dan
mengembangkan
metode/cara
perhitungan yang akurat untuk menghitung premi risiko, baik untuk individu debitur maupun kelompok debitur agar bank dapat menetapkan premi risiko yang wajar kepada nasabah. 3.2 Bank Perkreditan Rakyat 3.2.1 Perkembangan Kredit UMKM Pangsa kredit mikro terhadap total kredit BPR menunjukkan tren yang menurun sejak tahun 2010 hingga menjadi 31,21% pada tahun 2012. Perkembangan yang sama juga terjadi pada pangsa kredit UMKM BPR yang turun menjadi di bawah 50% dari total kredit BPR sejak tahun 2011. Khusus pada kredit mikro, penurunan pangsa kredit mikro disebabkan oleh pertumbuhannya yang melambat, yakni dari 12,82% (2011) menjadi 8,81% 21
(2012). Sementara itu, dari sisi kualitas, berbeda dengan perkembangan di bank umum, kualitas kredit mikro BPR justru cenderung lebih tinggi jika dibandingkan dengan segmen kredit lainnya meskipun dengan tren yang menurun. Hal ini tercermin dari NPL gross kredit mikro BPR yang mencapai 7,61% per Desember 2012. Tabel 8. Perkembangan Kredit Mikro BPR Penggolongan Kredit Per Jenis Usaha *
Posisi (miliar Rp)
Pertumbuhan (%)
2010
2011
2012
2011
2012
Pangsa (%) 2010
2011
NPL (%) 2012
2010
2011
2012
33.844
41.100
49.819
21,44
21,22
100
100
100
6,10
5,22
4,75
a. Mikro
12.668
14.292
15.551
12,82
8,81
37,43
34,77
31,21
8,61
8,03
7,61
b. Kecil
3.669
3.795
4.838
3,45
27,48
10,84
9,23
9,71
6,08
5,86
5,70
c. Menengah
1.313
2.421
3.408
84,45
40,74
3,88
5,89
6,84
7,20
3,86
4,03
d. Non-MKM
16.195
20.591
26.022
27,14
26,38
47,85
50,10
52,23
4,09
3,32
2,96
33.844
41.100
49.818
21,44
21,21
100
100
100
6,10
6,10
4,75
16.790
19.557
23.030
16,48
17,76
49,61
47,59
46,23
8,40
7,54
6,69
1.929
2.364
2.964
22,56
25,40
5,70
5,75
5,95
5,06
4,17
4,65
Per Jenis Penggunaan a. Modal Kerja b. Investasi
c. Konsumsi 15.126 19.178 23.824 26,79 24,22 44,69 46,66 47,82 3,71 2,99 2,63 *) Untuk data tahun 2010 dan 2011, kriteria kredit berdasarkan jenis usaha telah disesuaikan dengan kriteria UMKM dalam UU No.20 Thn 2008 Tentang UMKM
3.2.2 Komponen Suku Bunga Sumber dana BPR dalam membiayai kredit sebagian besar adalah DPK yang mencapai 81,15% dari total sumber dana. Namun, pada tahun 2012 pertumbuhan DPK BPR tercatat lebih rendah dari kredit. Perkembangan ini perlu dicermati khususnya terkait dengan kesinambungan penyaluran kredit BPR. Sementara itu, selama 3 tahun terakhir LDR BPR relatif cukup tinggi, yakni rata-rata sebesar 78%. Dengan kondisi tersebut BPR membutuhkan sumber dana lain untuk membiayai kredit antara lain melalui linkage program dengan bank umum. Sebagai alternatif sumber dana, linkage program memiliki keunggulan dan kelemahan. Rata-rata suku bunga linkage program yang mencapai 11,78% pada tahun 2012 merupakan sumber dana mahal bagi BPR, mengingat rata-rata suku bunga deposito BPR hanya 8,40%. Di sisi lain, dengan memperhatikan aspek (i) kontribusi dana dari linkage program terhadap sumber dana BPR yang hanya sekitar 17%; serta (ii) tidak diperlukannya biaya tambahan untuk penghimpunan dana linkage program, yang dikeluarkan hanya biaya untuk penyaluran dana dan menetapkan margin keuntungan; sumber dana linkage program seharusnya tidak 22
otomatis meningkatkan suku bunga kredit mikro BPR. Ke depan BPR perlu mempunyai strategi untuk menyeimbangkan sumber dananya, baik yang berasal dari DPK (dengan kondisi persaingan yang semakin ketat antar-BPR dan juga BPR dengan bank umum) maupun yang berasal dari linkage program (dengan kondisi pasokan dana yang sangat besar dari bank umum, tetapi suku bunganya relatif lebih tinggi dari DPK). Suku bunga kredit mikro di BPR merupakan yang tertinggi jika dibandingkan dengan segmen kredit UMKM lainnya, yakni mencapai 33,14% pada tahun 2012. Namun, seiring upaya efisiensi yang senantiasa dilakukan oleh BPR, sejak tahun 2010 tren suku bunga kredit mikro cenderung turun. Angka suku bunga tersebut lebih tinggi dari suku bunga kredit mikro bank umum (17,52%). Walaupun dengan tingkat suku bunga yang cukup tinggi, penyaluran kredit mikro BPR selama 2012 tetap tumbuh 8,81% (yoy), atau lebih rendah dari pertumbuhan kredit mikro bank umum (10,41%). Tabel 9. Perkembangan Suku Bunga Kredit UMKM BPR Rata-Rata Suku Bunga (%) Jenis Usaha Kredit 2010
2011
2012
Mikro
34,51
34,00
33,14
Kecil
29,87
27,39
26,57
Menengah
24,23
24,55
25,15
Selain MKM
28,13
27,30
26,12
Grafik12. Secara umum, BPR memiliki struktur suku bunga kredit mikro yang serupa dengan bank umum, tetapi dengan komposisi yang berbeda, yakni HPDK (23,42%), OHC (31,18%), margin keuntungan (29,52%), dan premi risiko (15,89%). Seperti halnya bank umum, HPDK BPR sangat tergantung dari volume dan besaran suku bunga DPK sebagai sumber dana utama BPR dengan pangsa yang mencapai 81,15%. Oleh karena itu, BPR akan mempertimbangkan dengan saksama, antara lain dengan melihat suku bunga BPR pesaing, strategi usaha, kebutuhan likuiditas, dan target-target 23
yang telah ditetapkan jika akan menyesuaikan suku bunga simpanan mengingat hal itu dapat memengaruhi kemampuannya dalam menghimpun dana masyarakat. Sementara itu, OHC merupakan penyumbang terbesar terhadap beban operasional BPR dengan pangsa rata-rata sebesar 51,61% dalam tiga tahun terakhir. Adapun komponen terbesar pembentuk OHC adalah BTK, biaya barang dan jasa, serta biaya promosi dan edukasi dengan pangsa masingmasing sebesar 52,61%, 13,74%, dan 9,54%. Pangsa BTK serta biaya barang dan jasa trennya menurun sejak tiga tahun terakhir, tetapi biaya promosi cenderung meningkat. Dominasi BTK terjadi seiring perkembangan usaha BPR dengan kebutuhan pegawai meningkat dan juga upaya dalam mempertahankan
tenaga
kerja
yang
berkualitas
(retaining program).
Sebagaimana bank umum, yang terpenting adalah kenaikan BTK tersebut harus diiringi dengan peningkatan produktivitas pegawai baik dalam hal penyaluran kredit, penghimpunan dana, maupun dalam menghasilkan laba. Sementara itu, kenaikan biaya promosi terkait dengan upaya BPR untuk memperkenalkan produk dan layanan kepada masyarakat, serta bagian dari upaya untuk mempertahankan nasabah seiring dengan persaingan yang semakin ketat. Selanjutnya, margin keuntungan merupakan pembentuk terbesar kedua terhadap suku bunga kredit mikro BPR. Beberapa faktor yang menyebabkan hal tersebut antara lain (i) kredit merupakan sumber utama pendapatan bunga BPR mengingat pangsa kredit terhadap penyaluran dana tercatat cukup signifikan (76,94%), diikuti antarbank aktiva (ABA) sebesar 23,06%; (ii) laba merupakan komponen modal sehingga laba yang tinggi dapat meningkatkan permodalan BPR yang antara lain berguna untuk ekspansi usaha; dan (iii) berdasarkan hasil survei, nasabah kredit UMKM (termasuk mikro) tidak terlalu memperhatikan suku bunga kredit yang dikenakan oleh BPR karena akses dan kecepatan merupakan aspek yang paling penting bagi nasabah. Hal ini menjadi salah satu pertimbangan bagi BPR dalam menetapkan suku bunga kredit yang relatif tinggi. Margin keuntungan yang tinggi tersebut menyebabkan rasio returns on assets (ROA) dan NIM industri BPR relatif tinggi bahkan lebih tinggi daripada 24
bank umum. Selain itu, tingginya margin keuntungan BPR juga tercermin dari laba bersih yang tumbuh cukup tinggi, yakni sebesar 25,68% pada tahun 2012 meskipun sedikit melambat jika dibandingkan dengan tahun sebelumnya (28,04%). Selanjutnya, komponen pembentuk suku bunga kredit mikro yang pangsanya terkecil adalah premi risiko. Besaran premi risiko yang ditetapkan oleh BPR cukup moderat walaupun NPL gross kredit mikro ratarata sebesar 8,08% pada periode 2010--2012.
25
IV.
Tingkat Kompetisi Pembiayaan Usaha Mikro antara Bank Umum dan BPR
Perhitungan tingkat kompetisi dalam penelitian ini dilakukan melalui pendekatan struktural dengan menghitung Herfindahl-Hirschman Index atau yang dikenal dengan Herfindahl Index (HHI). HHI merupakan alat statistik yang lazim digunakan untuk mengukur tingkat konsentrasi. Menurut Bikker dan Haaf (2002), kemampuan rasio konsentrasi dalam mencerminkan kondisi struktural pasar menjadikan rasio konsentrasi sebagai alat statistik yang sering digunakan dalam model struktural untuk menjelaskan kompetisi bank. Di beberapa negara, HHI memegang peranan penting dalam proses pelaksanaan antitrust perbankan. Sebagai contoh, Department of Justice dan The Federal Commission Amerika Serikat menggunakan HHI sebagai indeks untuk mengukur competitive effect dalam proses merger bank. US Horizontal Merger Guidelines of 2010 membagi threshold HHI dalam tiga kategori, yakni (i) Unconcentrated Markets, untuk HHI <1500; (ii) Moderately Concentrated Markets, untuk 1500 < HHI < 2500; (iii) Highly Concentrated Markets, untuk HHI >2500. Apabila proses merger menghasilkan angka HHI pada kategori Highly Concentrated Markets dengan perubahan HHI pre-merger dan postmerger lebih dari 200 poin, merger dinilai berhasil mencapai tingkat konsentrasi yang cukup untuk menciptakan bank yang memiliki kekuatan pasar (market power). Batasan tersebut bukanlah angka yang baku dan dapat berbeda penerapannya di negara lain. The Australian Merger Guidelines menetapkan single threshold HHI >2000 untuk menentukan apakah proses merger menghasilkan tingkat konsentrasi yang mampu menciptakan market power. Sementara UK Guidelines menetapkan bahwa tingkat kompetisi cenderung berkurang apabila merger menghasilkan (i) 1000 < HHI < 2000, dengan peningkatan HHI <250; atau (ii) HHI >2000 dengan peningkatan HHI <150. Secara
matematis,
HHI
dapat
diformulasikan
sebagai
hasil
penjumlahan dari kuadrat tingkat konsentrasi (pangsa) tiap-tiap bank yang berada dalam sebuah pasar, atau dinyatakan dalam rumusan berikut: 26
𝐻𝐻𝐼 = ∑𝑛𝑖=1 𝑠𝑖2 (4.1) dengan 𝑠 merupakan pangsa dari tiap-tiap bank, dan 𝑛 adalah jumlah bank. HHI akan memiliki nilai terendah sebesar 1⁄𝑛 9, yakni apabila setiap bank memiliki pangsa yang sama besar dan mencapai nilai tertinggi sebesar 110 dalam keadaan pasar persaingan tidak sempurna (monopoli). Kemampuan HHI untuk mengidentifikasi tingkat persaingan dalam sebuah pasar dapat dijelaskan sebagai berikut. Semakin tinggi angka HHI mengindikasikan semakin
tingginya
tingkat
konsentrasi
dan
adanya
market
power.
Berdasarkan teori ekonomi, market power menunjukkan seberapa besar kemampuan perusahaan untuk dapat menaikkan harga di atas marginal cost (𝑚𝑐) dan sekaligus berperan sebagai penentu harga (price setter). Dengan demikian, pasar dengan market power yang tinggi mengindikasikan pasar yang semakin mengarah ke monopoli. Hal ini sejalan dengan pendekatan SCP pada bahasan sebelumnya yang menyatakan bahwa tingkat konsentrasi yang tinggi akan menghasilkan perilaku kolusif dan nonkompetitif. Selanjutnya, guna melengkapi analisis dan untuk mengidentifikasi market power, dilakukan perhitungan indeks konsentrasi terhadap 𝑘 bank terbesar (𝐶𝑅𝑘 ) dengan formula sebagai berikut: 𝐶𝑅𝑘 = ∑𝑛𝑖=1 𝑠𝑖 (4.2) Tidak ada ketentuan khusus dalam menentukan jumlah bank terbesar ( 𝑘 ) yang masuk dalam perhitungan indeks konsentrasi (𝐶𝑅𝑘 ) . Jumlah 𝑘 ditentukan berdasarkan arbitrary decision. Pada bagian ini, perhitungan HHI akan dilakukan terhadap pangsa pembiayaan usaha mikro di bank umum dan BPR. Oleh karena itu, perhitungannya hanya akan melibatkan bank-bank yang memiliki eksposur kredit mikro 11 . Adapun data yang digunakan bersumber dari laporan
Dapat dinyatakan dalam bentuk lain (1⁄𝑛) ∗ 10.000 Dapat dinyatakan dalam bentuk lain 10.000 11 Tidak termasuk kelompok Kantor Cabang Bank Asing (KCBA) dengan pertimbangan perbedaan karakteristik KCBA dengan kelompok bank lainnya, khususnya dalam hal permodalan dan biaya dana. 9
10
27
bulanan individual bank kepada Bank Indonesia pada tiga posisi, yaitu Desember 2010, Desember 2011, dan Desember 2012. Mengacu pada threshold HHI yang digunakan di Amerika Serikat, dapat disimpulkan bahwa pasar kredit mikro bank umum dalam tiga tahun terakhir dikategorikan sebagai highly concentrated markets. Angka HHI yang melampaui
2.500
mengindikasikan
adanya
pelaku
dominan
dalam
pemberian kredit mikro oleh bank umum. Hal ini diperkuat oleh pangsa 2 bank terbesar (𝐶𝑅2 ) yang mencapai >70%. Bahkan, dari total kredit mikro yang didistribusikan oleh bank umum, >50% -nya hanya berasal dari 1 bank. Akibatnya, pasar kredit mikro bank umum menjadi kurang kompetitif. Namun, keberadaan 1 bank tersebut sebagai pelaku dominan dalam pasar kredit mikro sedikit unik. Melalui pangsa terbesarnya, bank tersebut memiliki kemampuan untuk memengaruhi harga. Akan tetapi, di sisi lain, keberhasilan dan keahlian bank tersebut sebagai bank yang memfokuskan usahanya pada sektor mikro justru menjadikannya sebagai role model dalam pembiayaan usaha mikro. Sementara itu, apabila perhitungan HHI dilakukan tanpa mengikutsertakan bank pelaku dominan, pasar kredit mikro bank umum justru dikategorikan sebagai unconcentrated markets. Artinya, selain pada bank pelaku utama, terdapat indikasi adanya persaingan di antara sesama bank umum dalam pemberian kredit mikro. Sementara itu, berdasarkan angka HHI dalam tiga tahun terakhir, pasar kredit mikro BPR dapat dikategorikan sebagai unconcentrated markets. Angka HHI yang sangat rendah mengindikasikan adanya persaingan di antara sesama BPR dalam pemberian kredit mikro, dengan tingkat persaingan yang cenderung meningkat selama periode pengamatan. Namun, dengan skala usaha BPR yang hanya terkonsentrasi pada wilayah tertentu, dapat diartikan bahwa kompetisi di antara sesama BPR dalam pemberian kredit mikro hanya terjadi pada BPR yang beroperasi di wilayah yang sama.
28
Tabel 10 Tingkat Konsentrasi Bank Umum
Tabel 11 Tingkat
Konsentrasi BPR 2010
2011
Rata-rata
2012
2010
3 tahun
2011
2012
Rata-rata 3 tahun
Pangsa max (%)
57,2
62,5
62,6
60,8
Pangsa max (%)
3,44
3,71
3,25
3,47
Pangsa min (%)
0,001
0,001
0,001
0,001
Pangsa min (%)
0,00001
0,00001
0,00001
0,00001
HHI
3.616
4.119
4.084
3.940
HHI
38,99
37,57
35,19
37,25
CR2
74,5
75,7
71,5
73,9
CR2
5,80
5,62
5,08
5,50
739,8
740,0
1.069,1
849,6
24,33
22,65
23,60
23,53
77
78
78
1530
1539
1548
HHI tanpa 2 bank terbesar Jumlah Bank
HHI tanpa 2 bank terbesar Jumlah Bank
Selanjutnya, dengan memperhitungkan bank umum dan BPR dalam satu kesatuan pasar kredit mikro, diperoleh kesimpulan yang relatif sama dengan pasar kredit mikro bank umum, yaitu angka HHI yang menunjukkan karakteristik highly concentrated markets dan kecenderungan adanya market power. Hal ini disebabkan oleh skala usaha BPR yang jauh lebih kecil jika dibandingkan dengan bank umum. Akibatnya, peranan bank umum dalam pasar kredit mikro lebih dominan jika dibandingkan dengan BPR. Namun, tanpa
memperhitungkan
karakteristisk
pelaku
unconcentrated
utama,
markets
angka
dan
HHI
menunjukkan
mengindikasikan
adanya
persaingan antara bank umum dan BPR dalam pemberian kredit mikro. Perlu ditekankan bahwa dengan skala usaha BPR yang hanya terkonsentrasi pada wilayah tertentu, persaingan antara bank umum dan BPR dalam pemberian kredit mikro hanya dapat terjadi apabila berada dalam satu wilayah operasi yang sama. Tabel 12. Tingkat Konsentrasi Bank Umum dan BPR 2010 Pangsa max (%)
48,6
Pangsa min (%)
54,0
Rata-rata 3 tahun 52,1
HHI
2.610
3.045
3.035
CR2
63,2
65,0
61,6
63,3
264,5
271,2
442,6
326,1
1607
1617
1626
Jumlah Bank
ini
53,7
2012
0,000002 0,000001 0,000002 0,000002
HHI tanpa 2 bank terbesar
Kesimpulan
2011
sejalan
dengan
hasil
2896,7
survei
dan
FGD
yang
menyimpulkan bahwa 90% BPR menganggap ada persaingan dengan bank umum, baik dalam memperebutkan nasabah baru maupun take over debitur dan pegawai. Sebaliknya, hanya 42% bank umum yang merasa bersaing dengan BPR. Adanya perbedaan segmen pasar mikro bank umum dan BPR sebagaimana tercermin dari perbedaan plafon kredit mikro, mengakibatkan 58% responden bank umum tidak merasa bersaing dengan BPR. Bagi bank 29
umum, main competitor dalam pembiayaan kredit mikro justru sesama bank umum, khususnya dalam peer yang sama. Namun, terdapat fenomena beberapa bank umum yang mulai melalukan pembiayaan mikro melalui sistem
mass
community/community
banking
sehingga
berpotensi
meningkatkan persaingan dengan BPR. Tabel 13. Rata-Rata Plafond Kredit Mikro per Rekening Rp juta 2010
2011
2012
Bank Umum
13,1
15,8
16,9
BPR
7,3
8,1
9,4
Selama periode pengamatan tiga tahun terakhir, rata-rata jumlah plafon per rekening kredit mikro pada bank umum dan BPR mengalami peningkatan. Secara industri, jumlah plafon per rekening kredit mikro di bank umum lebih besar daripada di BPR, yakni >Rp10 juta per rekening di bank umum dan Rp500 juta. Sementara pada BPR, terjadi pergeseran jumlah plafon kredit mikro yang diberikan oleh BPR. Bila sebelumnya sebagian besar kredit mikro diberikan dalam plafon antara Rp1 juta–Rp10 juta per rekening oleh BPR, pada akhir periode pangsa terbesar berubah menjadi kisaran plafon Rp10 juta–Rp50 juta. Perkembangan tersebut menunjukkan bahwa secara umum persaingan antara bank umum dan BPR dapat terjadi pada kisaran plafond Rp1 juta s.d. Rp500 juta per rekening, dengan persaingan tertinggi terjadi pada kisaran plafon Rp10 juta s.d. Rp50 juta.
30
5,4%
1,4%
2012
2011
2010 3,7%
0,1%
1,6% 4,9%
3,7%
27,2%
24,3%
2,8% 6,6%
7,7%
24,4%
37,6%
43,2%
47,0% 14,9%
52,7%
13,6%
56,5%
> 500 juta
14,1%
> 500 juta
53,1%
49,6%
100 - 500 juta
50 - 100 juta
10 - 50 juta
10 - 50 juta
1 - 10 juta
2,7%
Bank Umum
50 - 100 juta
BPR
< 1 juta
43,0%
Bank Umum
BPR
< 1 juta
100 - 500 juta 50 - 100 juta 10 - 50 juta
1,3%
1 - 10 juta
2,5%
> 500 juta
52,6%
100 - 500 juta
Bank Umum
1 - 10 juta
BPR
< 1 juta
Grafik 13. Pangsa Plafond Kredit Mikro per Rekening Sementara itu, dari sisi nasabah, hasil survei menunjukkan bahwa kecepatan persetujuan kredit menjadi pertimbangan utama dalam memilih bank, selanjutnya suku bunga kredit yang tinggi justru menjadi alasan utama bagi 49% responden yang merupakan debitur BPR untuk beralih ke bank umum. Sebaliknya, 51% responden memilih untuk tetap menggunakan fasilitas kredit BPR dengan alasan kemudahan dan kecepatan proses. Apabila suatu saat jumlah kredit yang diajukan tidak dapat dipenuhi oleh BPR, mayoritas responden (94,2%) akan beralih menggunakan jasa bank umum.
Selain
itu,
terdapat
21,3%
responden
debitur
BPR
yang
menginformasikan bahwa mereka pernah mendapat penawaran dari bank umum yang mau melakukan take over kredit dengan plafon yang lebih tinggi meskipun dengan agunan yang sama.
Grafik 14. Perilaku Debitur BPR
31
V.
Tingkat Efisiensi Bank Umum dan BPR
Perhitungan tingkat efisiensi dalam penelitian ini dilakukan melalui dua
pendekatan,
yaitu
perhitungan
accounting
ratio
dan
metode
nonparametrik DEA. Selanjutnya, hasil kedua pendekatan tersebut akan dibandingkan dan dilihat tingkat konsistensinya. Adapun data yang digunakan pada bagian ini bersumber dari laporan bulanan bank kepada Bank Indonesia, meliputi bank umum maupun BPR untuk periode sampai dengan Desember 2012. 5.1 Perhitungan Accounting Ratio Secara umum, terdapat dua accounting ratio yang biasa digunakan sebagai indikator untuk mengukur tingkat efisiensi bank, yakni rasio beban operasional terhadap pendapatan operasional (BOPO) dan Cost to Income Ratio (CIR). Perbedaan mendasar dari kedua rasio tersebut terletak pada perhitungan beban bunga. Pada rasio BOPO, perhitungan tingkat cost efficiency bank dihitung dari seberapa besar biaya yang dikeluarkan untuk menghasilkan sejumlah pendapatan. Pada CIR, tingkat cost efficiency bank dihitung tanpa memperhitungkan biaya bunga. Semakin rendahnya angka kedua indikator tersebut menunjukkan tingkat efisiensi yang semakin baik. Secara matematis, kedua rasio tersebut dihitung berdasarkan formula berikut: 𝐵𝑒𝑏𝑎𝑛 𝑂𝑝𝑒𝑟𝑎𝑠𝑖𝑜𝑛𝑎𝑙 (𝐵𝑂)
𝐵𝑂𝑃𝑂(%) = 𝑃𝑒𝑛𝑑𝑎𝑝𝑎𝑡𝑎𝑛 𝑂𝑝𝑒𝑟𝑎𝑠𝑖𝑜𝑛𝑎𝑙 (𝑃𝑂) (5.1) dengan BO meliputi beban bunga dan beban operasional selain bunga, serta PO meliputi pendapatan bunga dan pendapatan operasional selain bunga. 𝐵𝑒𝑏𝑎𝑛 𝑂𝑣𝑒𝑟ℎ𝑒𝑎𝑑 (𝑂𝐻𝐶)
𝐶𝐼𝑅(%) = 𝑃𝑒𝑛𝑑𝑎𝑝𝑎𝑡𝑎𝑛 𝐵𝑢𝑛𝑔𝑎 𝐵𝑒𝑟𝑠𝑖ℎ + 𝑃𝑒𝑛𝑑𝑎𝑝𝑎𝑡𝑎𝑛 𝑂𝑝𝑒𝑟𝑎𝑠𝑖𝑜𝑛𝑎𝑙 𝐿𝑎𝑖𝑛𝑛𝑦𝑎 (5.2) Sebagaimana telah diulas sebelumnya, beban bunga merupakan pangsa terbesar di dalam beban operasional bank umum, yakni sekitar 34,63%, yang 93,42% dari beban bunga tersebut digunakan untuk 32
membayar biaya bunga DPK, selanjutnya diikuti BTK sebesar 18,89%. Sementara dari sisi pendapatan operasional, pendapatan bunga merupakan penyumbang terbesar, yakni pangsanya mencapai 76,75%, yang sebagian besar pendapatan bunga tersebut berasal dari penyaluran kredit (86,32%). Dengan demikian, dapat disimpulkan bahwa perkembangan rasio BOPO sangat erat dipengaruhi oleh aktivitas intermediasi penghimpunan dan penyaluran dana, baik dari sisi volume maupun suku bunga, di samping perkembangan OHC terutama BTK. Berdasarkan data historis sejak tahun 2005, baik rasio BOPO maupun CIR bank umum menunjukkan tren yang menurun dengan kecenderungan CIR yang lebih berfluktuatif. Rasio BOPO bank umum turun dari semula 87,7% (2005) menjadi 74,15% (2012), sementara CIR turun hingga menjadi 60,15% pada akhir periode observasi. Perkembangan ini mengindikasikan bahwa bank umum di Indonesia senantiasa berupaya untuk meningkatkan efisiensi dalam upaya untuk memberikan tingkat suku bunga yang wajar kepada masyarakat.
Perkembangan Cost to Income Ratio Perbankan (%)
Perkembangan Rasio BOPO Perbankan (%) 97
70
94 91 88 85 82 79 76 73 70
69 68 67 66
65 64 63 62 Des'12
Apr12
Ags'12
Agt11
Des11
Apr11
Dec10
Apr10
Aug10
Dec09
Apr09
Aug09
Dec08
Apr08
Aug08
Dec07
Apr07
Aug07
Dec06
Apr06
Aug06
Des-05
61 60 2005
2006
2007
2008
2009
2010
2011
2012
Grafik 15. Grafik 16. Perkembangan Rasio BOPO Bank Umum (%) Perkembangan CIR Bank Umum (%) Meningkatnya efisiensi bank umum sebagaimana tercermin dari perkembangan rasio BOPO dan CIR tersebut di atas, serta didukung oleh tren penurunan suku bunga
simpanan sebagaimana tercermin dari tren
penurunan suku bunga deposito rupiah 1 bulan, diindikasikan telah mendorong penurunan rata-rata suku bunga kredit. Berdasarkan data 33
historis sejak tahun 2005, pergerakan rata-rata suku bunga kredit rupiah menunjukkan penurunan, yang per Desember 2012 tercatat rata-rata sebesar 12,06%.
Perkembangan Rata-Rata Suku Bunga Perbankan (%) 18 16 14 12
10 8 6
Dep 1 bln
Des-12
Apr-12
Agust-12
Des-11
Apr-11
Agust-11
Des-10
Apr-10
Agust-10
Des-09
Apr-09
Agust-09
Des-08
Apr-08
Agust-08
Des-07
Apr-07
Agust-07
Des-06
Apr-06
Agust-06
Des-05
4
Kredit
Grafik 17. Perkembangan Rata-Rata Suku Bunga Perbankan (%) Namun, sedikit berbeda dengan argumen tersebut, hasil diskusi dengan pengawas dan beberapa bank umum memberikan informasi bahwa membaiknya tingkat efisiensi bank tidak selalu diikuti dengan penurunan suku bunga kredit. Ketika bank semakin efisien, bank akan memperoleh tambahan
pendapatan,
antara
lain
akibat
keberhasilan
mengurangi
sejumlah biaya tertentu, sebagaimana tercermin dari peningkatan margin bank. Di samping itu, terdapat kecenderungan bahwa bank akan menjaga besaran
suku
bunga
kredit
pada
level
tertentu
berdasarkan
hasil
benchmarking dan peer group analisis sehingga ketika bank semakin efisien dapat terjadi bank akan menaikkan margin keuntungan sebagai balancing agar suku bunga kredit tetap terjaga (tidak turun). Sementara itu, kecenderungan membaiknya tingkat efisiensi juga terjadi pada industri BPR. Rasio BOPO dan CIR industri BPR dalam beberapa tahun terakhir menunjukkan tren yang menurun hingga menjadi 77,77% (BOPO) dan 59,51% (CIR) per Desember 2012. Sebagaimana bank umum, beban operasional BPR sangat dipengaruhi oleh komponen beban bunga yang pangsanya mencapai 41,21%. Beban bunga tersebut sebagian besar dialokasikan untuk membayar bunga DPK, yakni sebesar 78,73%. Komponen terbesar kedua adalah BTK yang porsinya tercatat sebesar 27,35% dari beban operasional
BPR.
Sementara
itu,
dari
sisi
pendapatan,
pendapatan 34
operasional BPR didominasi oleh pendapatan bunga dengan porsi 86,13% yang sebagian besar bersumber dari penyaluran kredit (92,96%). Dengan demikian, rasio BOPO BPR juga sangat dipengaruhi oleh aktivitas intermediasi BPR. Sebagaimana bank umum, membaiknya tingkat efisiensi BPR serta didukung oleh penurunan suku bunga simpanan, menjadi salah satu faktor yang menyebabkan penurunan suku bunga kredit BPR dan berimbas pada penurunan NIM BPR. Tabel 14. Indikator Utama BPR INDIKATOR Suku Bunga (%) Tabungan Deposito Kredit yg Diberikan Rasio (%) LDR ROA ROE BOPO NPL Gross NPL Net NIM
5.2
2010
2011
2012
5,53 10,25 30,56
5,21 9,85 29,48
4,68 8,40 28,29
79,02 3,16 26,71 80,97 6,12 4,25 12,92
78,54 3,32 29,46 79,47 5,22 3,67 12,09
78,63 3,46 32,63 77,77 4,75 3,25 11,96
Pendekatan Data Envelopment Analysis DEA pertama kali dikenalkan oleh Charnes, et al (1978) atau yang
dikenal dengan model CCR, yang kemudian dikembangkan lebih lanjut oleh Banker, et al (1984) atau yang dikenal dengan model BCC. Perbedaan di antara kedua model DEA tersebut terletak dari asumsi model yang digunakan. Model CCR menggunakan asumsi constant returns to scale (CRS) yang berarti satu unit input akan menghasilkan unit output yang fixed. Sebaliknya, model BCC menggunakan asumsi variable returns to scale (VRS). Baik model CCR maupun BCC dapat dilakukan melalui dua pendekatan, yakni input oriented dan output oriented. Input oriented bertujuan untuk meminimalkan penggunaan input dalam rangka menghasilkan level output tertentu, sedangkan output oriented bertujuan untuk memaksimalkan output dengan level input yang tersedia.
35
Tabel 15. Modelling Strategy untuk Perhitungan Efisiensi Efficiency Approach
Model Description
Accounting Ratio
BOPO = Beban Operasional / Pendapatan Operasional DEA (Data Envelopment Analysis ) Alternatif
Frontier
Alternatif 1 Alternatif 2
Input
Output
1. Beban Overhead
1. Pendapatan Bunga Kredit
2. Biaya DPK
2. Pendapatan Operasional Lainnya
1. Beban Overhead
1. Kredit Volume
2. DPK Volume
2. Pendapatan Operasional Lainnya
Pada bagian ini, perhitungan DEA akan dilakukan terhadap 110 bank umum12 dan 1.390 BPR dengan menggunakan periode data Desember 2012. Mengingat bahasan efisiensi pada penelitian ini akan dikaitkan dengan tingkat kompetisi dalam pemberian kredit mikro, metode yang dipilih adalah DEA–output oriented melalui pendekatan intermediasi. Perhitungan DEA dilakukan dengan menggunakan dua alternatif variabel input output untuk setiap model CCR dan BCC. Selanjutnya, hasil perhitungan DEA akan dibandingkan dengan tingkat efisiensi menggunakan accounting ratio, yaitu rasio BOPO yang erat dipengaruhi oleh aktivitas intermediasi.
Perbandingan Rata-rata Tingkat Efisiensi (CCR)
Perbandingan Rata-rata Tingkat Efisiensi (BCC)
%
%
%
100
100
80
80
80
80
60
60
60
60
40
40
40
40
20
20
20
20
0
0
%
100 BU
BPR
BU
BU & BPR
0 Alt 1
Alt 2
BPR
100
BU & BPR
0 Alt 1
Alt 2
Grafik 18. Hasil DEA Berbeda dengan rasio BOPO, angka DEA 100% menunjukkan tingkat efisiensi bank yang paling tinggi. Berdasarkan hasil berhitungan DEA untuk kedua alternatif variabel input output, baik menggunakan model CCR
Tidak termasuk kelompok Kantor Cabang Bank Asing (KCBA) dengan pertimbangan perbedaan karakteristik KCBA dengan kelompok bank lainnya, khususnya dalam hal permodalan dan biaya dana. 12
36
maupun BCC, diperoleh kesimpulan yang sama, yaitu tingkat efisiensi yang relatif lebih baik pada bank umum jika dibandingkan dengan BPR. Hal ini dapat dijelaskan sebagai berikut. Sebagaimana telah dibahas sebelumnya, faktor yang paling memengaruhi tingkat efisiensi perbankan adalah HDPK dan OHC. Pada BPR, dengan pasar yang relatif terbatas, guna menarik minat masyarakat, BPR cenderung memberikan tingkat bunga DPK, yang merupakan komponen terbesar HDPK, yang lebih tinggi jika dibandingkan dengan bank umum, sejalan dengan tingkat suku bunga penjaminan BPR yang lebih tinggi daripada bank umum. Sebaliknya, dengan sumber dana yang lebih bervariasi, pasar yang lebih luas, infrastruktur dan fasilitas yang lebih baik, serta SDM yang lebih memadai, bank umum mampu menekan biaya operasional, khususnya OHC dan juga biaya dana, jika dibandingkan dengan BPR. Hasil perhitungan DEA tersebut konsisten dengan perhitungan tingkat efisiensi melalui accounting ratio, BOPO. Hal ini ditunjukkan dari hubungan antara DEA, baik model CCR maupun BCC, dengan rasio BOPO yang menunjukkan adanya korelasi negatif. Artinya, semakin rendah rasio BOPO, DEA akan menunjukkan hasil yang sebaliknya, yaitu semakin tinggi. Kedua hal tersebut menunjukkan perkembangan yang sama, yaitu tingkat efisiensi yang semakin baik. Selanjutnya, tabel perbandingan antara hasil HHI dengan DEA mengindikasikan bahwa bank umum cenderung memiliki angka HHI dan DEA yang lebih tinggi jika dibandingkan dengan BPR. Artinya, dengan tingkat kompetisi yang lebih tinggi, justru dihasilkan tingkat efisiensi yang cenderung lebih rendah pada BPR, atau sejalan dengan teori CompetitionInefficiency hypothesis. Namun, hal ini menjadi bias untuk diartikan secara langsung, mengingat tingkat kompetisi pada penelitian ini hanya difokuskan dalam pemberian kredit mikro, sedangkan tingkat efisiensi dihitung dari keseluruhan aktivitas bank. Walaupun efisiensi bank sangat dipengaruhi oleh kegiatan intermediasi, pemberian kredit mikro memiliki pangsa yang terbatas dari total intermediasi bank.
37
Tabel 16. Korelasi DEA dan BOPO
Tabel 17. Perbandingan HHI dan DEA
CRS
VRS
CRS
HHI
VRS
Alt 1
Alt 2
Alt 1
Alt 2
Alt 1
Alt 2
Alt 1
Alt 2
BU
-0.570
-0.210
-0.515
-0.183
BU
1,069
61.423
41.593
75.294
55.387
BPR
-0.671
-0.367
-0.562
-0.333
BPR
23.60
44.013
32.580
50.042
37.381
BU & BPR
-0.668
-0.346
-0.572
-0.306
BU & BPR
442.58
42.686
31.205
47.570
34.376
Sementara itu, Bank Indonesia sebagai regulator senantiasa berupaya untuk mendorong persaingan dan efisiensi perbankan baik melalui ketentuan maupun supervisory approach. Beberapa kebijakan yang telah dikeluarkan Bank Indonesia antara lain adalah sebagai berikut. Bank Indonesia mengeluarkan ketentuan kewajiban publikasi informasi SBDK pada bulan Maret 2011, termasuk pengaturan tambahan segmen SBDK mikro pada bulan Februari 2013. Bank wajib memasukkan target efisiensi (BOPO dan NIM), SBDK dan suku bunga kredit di dalam RBB yang selanjutnya RBB tersebut dievaluasi dan dimonitor oleh Bank Indonesia sebagai bagian dari supervisory action. Bank
Indonesia
melakukan
pemantauan
secara
rutin
terhadap
perkembangan suku bunga (kredit dan simpanan) yang dilaporkan oleh bank dan selanjutnya akan dilakukan supervisory action jika diperlukan. Bank Indonesia mendorong linkage program antara bank umum dengan BPR, dengan harapan BPR akan mendapatkan dana tambahan dengan suku bunga yang relatif rendah untuk disalurkan kepada UMKM. Di dalam ketentuan Multilicense: o
Salah satu aspek yang dipertimbangkan oleh Bank Indonesia ketika melakukan evaluasi RBB yang terkait dengan pembukaan jaringan kantor bank adalah aspek efisiensi sehingga dapat mendorong bank untuk senantiasa meningkatkan efisiensinya.
o
Bank berdasarkan kelompoknya (Bank Umum Kegiatan Usaha/BUKU) wajib menyalurkan kredit produktif dengan kisaran 55--70% dari total kreditnya yang wajib dipenuhi paling lambat akhir bulan Juni 2016. Dengan demikian, supply kredit produktif akan bertambah sehingga
38
dapat meningkatkan persaingan dan mendorong penurunan suku bunga kredit, terutama kredit produktif. o
Kewajiban penyaluran kredit produktif tersebut termasuk di dalamnya adalah kewajiban bank untuk menyalurkan kredit kepada UMKM paling rendah 20% dari total kredit bank yang pemenuhannya secara bertahap sampai dengan tahun 2018. Selain itu, di dalam penilaian tingkat kesehatan bank dan juga di
dalam pemonitoran rutin terhadap kinerja bank, aspek efisiensi merupakan salah satu faktor penting yang menjadi perhatian dan penilaian pengawas.
39
VI.
Kesimpulan dan Rekomendasi
Berdasarkan hasil pembahasan mengenai tingkat persaingan dan efisiensi antara bank umum dan BPR, khususnya dalam pembiayaan usaha mikro yang dibahas sebelumnya, dapat disimpulkan beberapa hal sebagai berikut. a. Secara umum, segmen mikro merupakan pasar yang potensial mengingat permintaannya masih cukup besar dan relatif lebih tahan terhadap gejolak perekonomian, di samping kualitas kredit mikro yang terjaga. Oleh karena itu, bank umum dan BPR berupaya untuk menangkap peluang tersebut. Hal ini menyebabkan timbulnya persaingan antara bank umum dan BPR dalam penyaluran kredit mikro, walaupun secara implisit terdapat perbedaan segmentasi dari sisi nominal kredit. Persaingan tersebut selain disebabkan oleh mekanisme pasar dan strategi bisnis bank, juga didorong oleh kebijakan yang dikeluarkan oleh Bank Indonesia. b. Sampai dengan akhir 2012, kredit mikro hanya memegang pangsa sebesar 4,06% dari total pembiayaan yang dilakukan oleh perbankan, baik bank umum maupun BPR. Karakteristik pemberian kredit mikro yang antara lain bersifat high cost dan high labour dapat menjadi kendala bagi bank umum dalam melakukan pembiayaan ke usaha mikro. Selanjutnya, skala usaha BPR yang jauh lebih kecil jika dibandingkan dengan bank umum menyebabkan pangsa kredit mikro yang diberikan oleh BPR hanya 13,79% dari total kredit mikro perbankan, sedangkan selebihnya (86,21%) diberikan oleh bank umum. c. Perhitungan tingkat kompetisi dalam penelitian ini dilakukan melalui pendekatan struktural dengan HHI, dan diperoleh hasil sebagai berikut. Adanya market power dalam pembiayaan kredit mikro oleh perbankan, dengan >50% kredit mikro bank umum hanya diberikan oleh satu bank. Walaupun pangsa satu bank tersebut sangat dominan, tidak selalu
berdampak
negatif
sepanjang
tidak
secara
signifikan
40
memengaruhi harga. Bahkan, bank tersebut dijadikan role model oleh bank lain dalam melakukan pembiayaan terhadap usaha mikro. Terdapat persaingan di antara sesama bank umum dan sesama BPR dalam pemberian kredit mikro, dengan tingkat persaingan yang lebih tinggi di BPR, khususnya bagi BPR dalam wilayah operasi yang sama. Terdapat persaingan antara bank umum dan BPR dalam pembiayaan kredit mikro. Berdasarkan segmen, persaingan tertinggi terjadi pada kredit mikro dengan plafon antara Rp10 juta–Rp50 juta. d. Selain persaingan secara langsung, terdapat sinergi antara bank umum dengan BPR, yakni melalui linkage program. Namun, linkage program tersebut masih merupakan sumber dana mahal bagi BPR. e. Sementara itu, dari sisi efisiensi terlihat bahwa tingkat efisiensi bank umum dan BPR menunjukkan tren yang membaik dengan tingkat efisiensi yang cenderung lebih baik pada bank umum. Secara kuantitatif, perhitungan tingkat efisiensi dilakukan dengan menggunakan DEA dan accounting ratio, dengan hasil sebagai berikut. Perhitungan tingkat efisiensi dengan DEA dan accounting ratio (BOPO) menunjukkan hasil yang sejalan yang ditunjukkan oleh adanya korelasi negatif antara DEA dan BOPO. Hasil perhitungan DEA menunjukkan bahwa bank umum relatif lebih efisien jika dibandingkan dengan BPR. Jika dibandingkan dengan tingkat persaingan, diperoleh kesimpulan bahwa tingkat persaingan yang lebih tinggi di BPR diikuti dengan ratarata angka DEA yang cenderung lebih rendah. Hal ini sejalan dengan Competition-Inefficiency hypothesis yang menyatakan bahwa kompetisi mengakibatkan inefisiensi. Namun, hasil ini dapat menjadi bias mengingat kompetisi dalam penelitian ini hanya dilihat dari sisi pembiayaan mikro yang memiliki pangsa relatif kecil terhadap total pembiayaan bank. Sementara itu, efisiensi dihitung dari seluruh kegiatan intermediasi bank. Berdasarkan kesimpulan tersebut, penelitian ini merekomendasikan beberapa hal sebagai berikut. 41
a. Dengan mengacu pada UU Nomor 20 Tahun 2008, definisi kredit UMKM yang digunakan saat ini hanya ditujukan untuk usaha ekonomi produktif dengan setiap segmen kredit UMKM diatur berdasarkan besarnya aset dan omzet. Sementara itu, plafon maksimal untuk setiap segmen kredit UMKM dapat berbeda-beda pada setiap bank. Untuk itu, perlu diatur besaran plafon kredit untuk segmen mikro, kecil, dan menengah. Hal ini bertujuan agar (i) terdapat keseragaman plafon antarbank untuk kebutuhan pelaporan/statistik, dan (ii) tidak menimbulkan kesempatan bagi bank untuk menempatkan suatu debitur pada segmen mikro dengan tujuan untuk pengenaan suku bunga kredit yang lebih tinggi. Pengaturan ini dimungkinkan karena (i) merupakan kewenangan Bank Indonesia untuk mengatur batasan plafon kredit, dan (ii) UU UMKM hanya menjelaskan/mengatur mengenai pengertian/definisi usaha mikro, kecil, dan menengah (tidak mengatur batasan plafon kredit). b. Di dalam PBI No. 14/22/PBI/2012 tanggal 21 Desember 2012, bank umum wajib menyalurkan kredit UMKM paling rendah 20% dari total kreditnya, tetapi tidak ditetapkan berapa porsi untuk setiap segmen kredit (mikro, kecil, dan menengah) sehingga untuk mencapai target tersebut kemungkinan besar bank akan lebih memilih menyalurkan kredit ke segmen kecil dan/atau menengah karena nominal kreditnya lebih besar jika dibandingkan dengan segmen mikro sehingga pencapaian target 20% lebih managable. Oleh karena itu, agar diperoleh proporsi penyaluran kredit yang lebih merata untuk setiap segmen kredit, sebaiknya pencapaian target 20% kredit UMKM bank dapat dialokasikan secara proporsional untuk setiap segmen kredit yang disesuaikan dengan kemampuan, kebutuhan, dan strategi usaha bank. c. Perlu ditinjau dan didiskusikan kembali besaran suku bunga dalam linkage program agar menjadi sumber dana murah bagi BPR, tetapi tetap memberikan keuntungan yang wajar bagi bank umum. d. Perlu dikaji lebih lanjut mengenai peran dan hubungan bank umum dan BPR dalam penyaluran kredit mikro, apakah bersifat substitusi (saling menggantikan) atau komplemen (saling melengkapi/mendukung). 42
e. Perlu dilakukan edukasi yang berkesinambungan baik oleh regulator, pemerintah, maupun industri perbankan kepada masyarakat mengenai besaran suku bunga kredit yang dikenakan oleh bank. Hal ini didukung oleh hasil survei yang menyimpulkan adanya keterbatasan informasi masyarakat mengenai perhitungan atau besaran suku bunga yang ditetapkan, terutama pada nasabah BPR. Berdasarkan survei, hanya 6,9% responden BPR yang memiliki pengetahuan tentang prinsip suku bunga dan hanya 39,5% responden BPR yang memiliki pengetahuan tentang produk/layanan bank. Salah satu bentuk edukasi yang telah dilakukan oleh Bank Indonesia adalah melalui ketentuan publikasi SBDK, termasuk untuk segmen kredit mikro. f.
Data historis dalam 3 tahun terakhir menunjukkan angka rasio NPL gross kredit mikro cenderung lebih rendah daripada kredit kecil dan menengah. Hal ini menunjukkan membaiknya kinerja kredit mikro. Dengan perkembangan tersebut, dalam rangka pemenuhan kewajiban penyaluran kredit UMKM paling rendah 20% dari total kredit bank sekaligus untuk mendorong penyaluran kredit ke segmen mikro (insentif), perlu dikaji kemungkinan pengenaan besaran ATMR untuk segmen mikro yang lebih rendah daripada segmen kredit kecil dan menengah.
g. Perhitungan tingkat kompetisi dalam penelitian ini dilakukan dengan mengasumsikan bank umum dan BPR dalam kesatuan pasar. Padahal, dengan skala usaha yang relatif kecil, BPR memiliki wilayah operasional yang terbatas. Dengan demikian, persaingan hanya terjadi apabila bank umum dan BPR berada dalam wilayah operasional yang sama. h. Perhitungan tingkat kompetisi dalam penelitian ini hanya difokuskan pada pembiayaan kredit mikro, sementara tingkat efisiensi dihitung dari keseluruhan aktivitas bank. Oleh sebab itu, hasil analisis mengenai dampak tingkat persaingan terhadap tingkat efisiensi bank menjadi bias, terlebih kredit mikro hanya memegang pangsa 4,06% dari total pembiayaan bank.
43
1. Penutup Berdasarkan kesimpulan dan rekomendasi tersebut, perlu dilakukan pendalaman di beberapa aspek untuk melengkapi kajian ini, yaitu sebagai berikut. 1. Perlu dilakukan kajian lebih lanjut untuk menguji kestabilan NPL gross kredit mikro yang relatif lebih rendah dalam rangka pengenaan besaran ATMR yang berbeda dengan segmen kredit lainnya. 2. Untuk melihat dampak tingkat persaingan terhadap efisiensi bank, perlu dilakukan perhitungan tingkat kompetisi yang mencakup seluruh aktivitas intermediasi bank. 3. Ke depan, guna mendapatkan gambaran yang lebih komprehensif terkait tingkat persaingan bank, perlu dilakukan perhitungan tingkat persaingan per wilayah/daerah.
44
Daftar Pustaka Banker, R.D., A.W. Charnes, dan W.W. Cooper. 1984. “Some Models for Estimating Technical and Scale Inefficiencies in Data Envelopment Analysis”, Management Science, 30(9) 1078--1092. Berger, A.N., Lawrence G. Goldberg, dan Lawrence J. White. 2001. “The Effects of Dynamic Changes in Bank Competition on the Supply of Small Business Credit”, European Finance Review 5, 115--139. Bikker, J.A., dan K. Haaf. 2002. “Measure of Competition and Concentration in the Banking Industry: A Review of the Literature”, Economic & Financial Modelling 9, 53-98. Boot, A.W., dan A. Schmeijts. 2005. “ The Competitive Challenge in Banking”, Amsterdam Center for Law & Economics Working Paper No. 2005-08. Casu, B., dan C. Girardone. 2007. “Does Competition Lead to Efficiency? The Case of EU Commercial Banks”, Essex University, Discussion Paper No. 07-01. Casu, B., dan C. Girardone. 2006. “Bank Competition, Concentration and Efficiency in the Single European Market”, The Manchester School, 7(4), 441--468. Charnes, A., W.W. Cooper, dan Rhodes, E. 1978. “Measuring the Efficiency of Decision Making Units”, European Journal of Operational Research, 2, 429--444. Demsetz, H. 1973. “Industry Structure, Market Rivalry and Public Policy”, Journal of Law and Economics, Vol. 51, pp.393--414. Enoch, C., B. Baldwin, O. Frécaut, dan A. Kovanen. 2001. “Indonesia: Anatomy of a Banking Crisis Two Years of Living Dangerously 199799”, IMF Working Paper 01/52 (Washington: International Monetary Fund). Fiorentino, E., A. Karmann, dan M. Koetter. 2006. “ The Cost Efficiency of German Banks: A Comparison of SFA and DEA”, Discussion Paper, Series 2: Banking and Financial Studies 10, Germany: Deutsche Bundesbank. Hadad, M.D., W. Santoso, E. Mardanugraha, D. Illyas. 2003. “Pendekatan Parametrik Untuk Efisiensi Perbankan di Indonesia”. Maudos, J., J.M. Pastor, dan F. Perez. 2002. “Competition and Efficiency in the Spanish Banking Sector: The Importance of Specialisation”, Applied Financial Economics 12, 505--516. 45
Morduch, J. 1999. “The Microfinance Promise”, Journal of Economic Literature, 37, 1569--1614. Mulyaningsih, T., dan A. Daly. 2011. “Competitive Conditions in Banking Industry: An Empirical Analysis of the Consolidation, Competition and Concentration in the Indonesia Banking Industry Between 2001 and 2009”, Bulletin of Monetary Economics and Banking, Vol. 14. Jakarta: Bank Indonesia. Panzar, J.C., dan J.N. Rosse. 1987. “Testing for ‘Monopoly’ Equilibrium’, Journal of Industrial Economics 35, 443--456. Robinson, M. 2001. “The Microfinance Revolution: Sustainable Finance for The Poor”, World Bank. Washington D.C. Schaeck, K., dan M. Čihák. 2008. “How Does Competition Affect Efficiency and Soundness in Banking? New Empirical Evidence”, ECB Working Paper No. 932. Frankfrurt: European Central Bank. Schäfer, D., B. Siliverstovs, E. Terberger. 2010. “Banking Competition, Good or Bad? The Case of Promoting Micro and Small Enterprise Finance in Kazakhstan”, Applied Economics, Taylor and Francis Journals, vol. 42(6), 701-716.
46