POLA PELAYANAN PEMBIAYAAN SISTEM KREDIT MIKRO USAHA TANI DI TINGKAT PEDESAAN Ade Supriatna Balai Besar Pengkajian dan Pengembangan Teknologi Pertanian, Jalan Tentara Pelajar No 10, Bogor 16114 Telp. (0251) 8351277, Faks. (0251) 8350928, E-mail:
[email protected] Diajukan 7 Februari 2009; Diterima 26 Agustus 2009
ABSTRAK Setiap lembaga pembiayaan memiliki pola pelayanan yang khas, seperti sasaran nasabah, tipe kredit, serta cara pengajuan, penyaluran, dan pengembalian kredit. Setiap pola pelayanan tersebut memiliki komponen yang sesuai atau tidak sesuai dengan karakteristik petani. Petani umumnya tidak dapat mengakses lembaga pembiayaan komersial yang menyediakan bunga rendah, seperti BRI Unit Desa, Bank Perkreditan Rakyat, dan koperasi karena tidak memiliki agunan sertifikat tanah, pengembalian kredit bulanan sehingga tidak sesuai dengan pola penerimaan usaha tani yang bersifat musiman, dan prosedur pengajuan kredit yang rumit. Petani juga sulit mengakses Koperasi Unit Desa karena kinerjanya lemah, putaran uang lambat, dan modal sulit berkembang. Petani sulit mengakses kredit program karena kemampuan keuangan pemerintah yang terbatas. Karena berbagai hambatan tersebut, sebagian besar petani memilih lembaga pembiayaan informal meskipun dengan tingkat bunga yang tinggi. Pola pelayanan kredit yang ideal untuk petani yaitu menghindari penetapan agunan sertifikat tanah, memberikan kredit berbentuk uang tunai, menyediakan kredit jangka pendek dengan pengembalian musiman, jumlah plafon kredit mencukupi untuk membeli benih, pupuk dan obat-obatan, serta pengajuan/penyaluran kredit melalui kelompok tani. Di sisi lain, petani perlu memahami prinsip penggunaan kredit yang benar, berusaha membangun modal sendiri, dan menciptakan diversifikasi usaha yang memberikan penerimaan secara harian, mingguan atau musiman. Kata kunci: Usaha tani, kredit, tanaman pangan, sayuran
ABSTRACT Patterns of micro-financial services for farming system activities in rural areas Each financial institution has specific pattern of service, such as target of client, credit type, proffering way, credit channeling, and repayment. Some components of the services are matching with farmers’ characteristics and the others are not. The farmers could not access to the commercial financial institutions providing a low interest because they did not have collateral of land certificate, the monthly repayment, and also the complicated procedure of proposing credit. Farmers were also difficult to access to village unit cooperative because the institution had low performance, low monetary circulation, and less capital expansion. The farmers were difficult to access to the program credit because the government’s fund was limited. Due to these constraints, farmers commonly accessed to the informal financial institutions providing a high interest. The ideal model of microfinancial services suitable for the farmers are avoid the collateral of land certificate, give credit in cash, use a shortterm loan with seasonal repayment, give credit plafond for a cost of seeds, fertilizers and pesticides, and use the credit channel through the farmers’ group. On the other side, the farmers have to understand a good principles in credit uses, build a capital themselves, and make some diversified efforts which would give daily, weekly or monthly return. Keywords: Farming systems, credit, food and vegetable crops
S
ektor pertanian dan pedesaan memiliki peran strategis dalam pembangunan nasional, yaitu sebagai sumber mata pencaharian sebagian besar penduduk, penyumbang bagi PDRB, berkontribusi terhadap ekspor (devisa), serta penyedia bahan pangan dan gizi. Di samping itu, sektor pertanian juga terbukti mampu menjadi penyangga perekonomian nasional saat terjadi krisis ekonomi.
Jurnal Litbang Pertanian, 28(3), 2009
Pembangunan pertanian menghadapi permasalahan yang cukup kompleks, salah satunya adalah ketersediaan sumber pembiayaan yang murah dan mudah diakses petani di pedesaan dengan tepat waktu (Thohari 2005). Kredit telah menjadi bagian dari usaha tani. Lembaga kredit produksi merupakan faktor pelancar pembangunan pertanian. Untuk meningkatkan produksi, petani perlu memiliki
modal lebih banyak untuk membeli bibit unggul, obat-obatan, pupuk, dan alat pertanian (Mosher 1966). Melalui kebijakan pemerintah, berbagai lembaga permodalan berbunga rendah telah berkembang di tingkat petani, seperti BRI Unit Desa, Bank Perkreditan Rakyat (BPR), pegadaian, dan koperasi. Dengan adanya berbagai lembaga pembiayaan tersebut, diharapkan kebutuhan 111
petani akan kredit berbunga rendah dapat terpenuhi sehingga tidak perlu meminjamnya dari pelepas uang (money lender) yang menetapkan suku bunga tinggi. Namun, kenyataan di lapangan menunjukkan, sebagian besar petani masih lebih akrab dengan sumber pembiayaan informal seperti pedagang sarana produksi, pelepas uang, atau penggilingan padi (Nurmanaf 2007; Supriatna 2008). Ada kecenderungan, pelayanan kredit informal di pedesaan lebih banyak dimanfaatkan oleh petani berlahan sempit meskipun tingkat bunga yang berlaku jauh lebih tinggi dibandingkan dengan lembaga pembiayaan komersial (Irawan 1989). Berbagai temuan tersebut mengindikasikan bahwa peran lembaga pembiayaan komersial dalam melayani permodalan petani kecil belum optimal, atau terdapat jurang (gap) antara pola pelayanan yang ditawarkan oleh lembaga pembiayaan dengan karakteristik petani sebagai pengguna. Pada setiap lembaga pembiayaan, beberapa komponen pola pelayanan telah sesuai dengan karakteristik petani, tetapi komponen lainnya belum sesuai sehingga menjadi kendala bagi petani dalam mengakses lembaga tersebut. Tulisan ini mengulas hasil-hasil penelitian mengenai pola pelayanan kredit mikro di pedesaan dan merumuskan pola pelayanan kredit yang ideal sesuai dengan karakteristik petani. Informasi yang disajikan diharapkan dapat menjadi masukan dalam merancang pola pelayanan lembaga pembiayaan mikro yang sesuai di pedesaan sehingga petani lebih mudah mengaksesnya.
POLA PELAYANAN KREDIT MIKRO DI TINGKAT DESA Berdasarkan sumber pembiayaan, ada dua jenis pasar kredit mikro di pedesaan, yaitu: 1) pasar kredit formal yang terbagi atas kredit nonprogram atau komersial (seperti BRI Unit Desa, BPR, koperasi, dan pegadaian) dan kredit program (seperti KUT dan KKP), dan 2) pasar kredit informal seperti pelepas uang, pedagang input/output produksi, dan penggilingan padi. Kedua kelompok pasar kredit tersebut memiliki pola pelayanan yang khas dalam keragaan kredit yang ditawarkan, target sasaran, aturan pengajuan, pengembalian kredit, dan pelayanan lainnya seperti pengawasan dan pembinaan usaha yang dijalankan nasabah. 112
Lembaga Pembiayaan NonProgram (Komersial) Lembaga pembiayaan komersial menetapkan kredit, mekanisme pengajuan, penyaluran, dan pengembalian kredit berdasarkan mekanisme pasar. Standar kelayakan kredit ditetapkan secara formal dan bunga kredit merupakan bunga komersial. Pandangan petani terhadap pola pelayanan lembaga komersial telah dikaji pada lembaga BRI Unit Desa (kasus petani padi dan sayuran di Jawa Barat), BPR dan pegadaian (kasus petani padi di NTB). BRI Unit Desa dan BPR di tingkat desa diharapkan dapat mendorong pembangunan sektor pertanian, termasuk pengadaan input produksi, alsintan, pengolahan, dan pemasaran hasil melalui penyediaan kredit berbunga rendah. Namun, aksesibilitas petani ke lembaga tersebut masih tergolong rendah. Hal tersebut diduga disebabkan lembaga pembiayaan komersial di samping memberikan pelayanan yang sesuai dengan karakteristik petani, ada komponen lain yang tidak sesuai dan menjadi kendala bagi petani dalam mengakses lembaga tersebut. Komponen pola pelayanan yang sesuai dengan kebutuhan petani tanaman semusim adalah penetapan tingkat bunga yang rendah, yaitu BRI Unit Desa 24%, BPR 36%, dan pegadaian 30−42%/tahun, bentuk kredit berupa uang tunai sehingga petani dapat mengelolanya sesuai kebutuhan usaha tani, dan nilai plafon kredit dapat mencukupi kebutuhan untuk membeli benih, pupuk, dan obat-obatan (Tabel 1). Komponen lain yang sulit dipenuhi petani sehingga menjadi kendala mereka untuk mengakses lembaga pembiayaan tersebut adalah (Hastuti 2004; Ashari dan Friyatno 2006; Nurmanaf 2007): 1) Jenis agunan berupa sertifikat tanah dan bangunan. Persyaratan ini sulit dipenuhi petani, terutama petani gurem (berlahan sempit dan petani penggarap) karena mereka umumnya tidak memiliki sertifikat tanah dan bangunan. 2) Waktu pengembalian kredit secara bulanan, sehingga tidak sesuai dengan karakteristik usaha tani tanaman semusim yang mempunyai waktu penerimaan (grace period) musiman. 3) Prosedur pengajuan kredit sangat formal, rumit, membutuhkan waktu
lama, dan perlu biaya transportasi dan biaya administrasi. Selama ini, lembaga kredit komersial yang menyediakan bunga rendah hanya dapat diakses oleh kelompok masyarakat ekonomi menengah ke atas, seperti pemilik penggilingan padi, pedagang input produksi, dan pelaku bisnis lainnya (Irawan 1989; Supadi dan Syukur 2004; Supriatna 2008). Yang memprihatinkan, sebagian mereka merupakan pelaku lembaga kredit informal, yang mengalokasikan dana pinjamannya untuk dipinjamkan kembali ke petani gurem dengan bunga tinggi. Persyaratan agunan pegadaian berupa barang-barang bergerak seperti kain batik, sepeda, radio, atau barang-barang perhiasan ternyata lebih mudah diakses petani dibandingkan agunan sertifikat tanah. Namun, ketetapan pengembalian kredit 15 hari sekali selama empat bulan tidak sesuai dengan periode penerimaan usaha tani tanaman semusim. Selain itu, petani merasa kesulitan transportasi untuk menyerahkan dan mengambil kembali agunan yang umumnya membutuhkan ruang besar (Supriatna 2008). Ketidakmampuan masyarakat pedesaan untuk mengakses modal dari lembaga keuangan komersial disebabkan oleh beberapa faktor, yaitu: 1) keterbatasan keberadaan lembaga keuangan komersial, 2) prosedur dan persyaratan yang diperlukan oleh lembaga komersial sukar dipenuhi oleh masyarakat pedesaan, dan 3) petani tidak mampu mengakses kredit karena peraturan atau pola pelayanan tersebut lebih cocok untuk usaha perdagangan (Ministry of Agriculture 2006). Kekurangan lain dari lembaga pembiayaan komersial adalah lembaga tersebut tidak melakukan pengawasan terhadap penggunaan kredit yang disalurkan (sepenuhnya tergantung pada nasabah) dan tidak ada pembinaan terhadap kegiatan usaha yang dijalankan nasabah. Lembaga tersebut juga berlokasi di ibu kota kecamatan sehingga sulit diakses oleh masyarakat tani yang umumnya berada di wilayah pedesaan. Bagi pelaku usaha, proses transaksi membutuhkan biaya, antara lain biaya mencari informasi, biaya negosiasi, dan biaya administrasi (Syukur et al. 2003). Salah satu alasan utama petani kurang mengakses lembaga pembiayaan komersial meskipun tingkat bunganya rendah adalah tingkat bunga tersebut belum sebanding dengan waktu dan biaya yang Jurnal Litbang Pertanian, 28(3), 2009
Tabel 1. Karakteristik pola pelayanan lembaga pembiayaan bank komersial dan pegadaian. Uraian Keragaan kredit Jenis kredit Kelompok sasaran Nilai plafon (Rp000) Bentuk kredit Lama pinjaman (bulan) Suku bunga (%/tahun) Jenis sanksi pada penunggak Aturan pengajuan kredit Jenis agunan1 Cara pengajuan Penyaluran kredit Aturan pengembalian kredit Bentuk pengembalian Waktu pengembalian Lain-lain Pengawasan penggunaan kredit Pembinaan usaha
BRI Unit Desa
BPR
Pegadaian
Modal kerja, konsumsi Umum dan petani 50−50.000 Uang tunai 6−60 24 Penyitaan agunan
Modal kerja, konsumsi Umum dan petani 250−50.000 Uang tunai 3−36 36 Penyitaan agunan
Pegadaian Umum dan petani 10−5.000 Uang tunai 4 30−42 Pelelangan agunan
A, B Individu Individu
A, B Individu Individu
C Individu Individu
Uang tunai Bulanan
Uang tunai Bulanan
Uang tunai 15 hari sekali
Tidak ada Tidak ada
Tidak ada Tidak ada
Tidak ada Tidak ada
Jenis agunan; A = sertifikat tanah dan bangunan, B = surat berharga seperti BPKB, daftar gaji, deposito; C = barang bergerak seperti sepeda motor, televisi, dan perhiasan. Sumber: Syukur et al. (2003); Supriatna (2008).
1
dikeluarkan untuk mendapatkan kredit (Umali 1978).
Lembaga Pembiayaan Koperasi dan KUD Pandangan petani terhadap lembaga koperasi digambarkan oleh Koperasi Serba Usaha (KSU) Karya Terpadu di NTB, yaitu koperasi yang berhasil melayani pedagang pasar. KUD Wiresinge dipilih sebagai kasus koperasi yang kurang berhasil melayani petani pangan dan sayuran di tingkat kelompok tani. KSU Karya Terpadu pada awalnya terbentuk berwujud Lembaga Keuangan Mikro (LKM) dan melayani pedagang pasar di Desa Rarang, NTB. Lembaga ini mengeluarkan pelayanan kredit simpan pinjam, yang terdiri atas: 1) kredit harian atau pinjaman dikembalikan oleh nasabah secara harian (30, 55, 90, dan 100 hari) dengan sasaran pedagang pasar dan bakulan, 2) kredit mingguan (8 dan 13 minggu) dengan sasaran petani, kios, jasa angkutan, dan 3) kredit bulanan (3, 6, 10, 12, 15, dan 20 bulan) dengan sasaran bengkel, pedagang bahan bangunan, pertukangan, dan petani. Beberapa komponen pelayanan KSU cukup sesuai dengan kebutuhan petani, dengan nilai Jurnal Litbang Pertanian, 28(3), 2009
plafon dapat mencukupi kebutuhan kredit usaha tani, bentuk kredit uang tunai, lama pinjaman sesuai dengan periode pengembalian tanaman semusim suku bunga terjangkau, kecuali untuk pinjaman harian ditetapkan bunga 60%/tahun (Tabel 2). Namun, beberapa persyaratan lain menyulitkan petani sehingga menjadi kendala dalam mengakses KSU (Syukur et al. 2006), yaitu: 1) jenis agunan berupa sertifikat tanah dan bangunan, dan 2) waktu pengembalian kredit pertanian ditetapkan secara mingguan dan bulanan sehingga tidak sesuai dengan pola penerimaan usaha tani yang bersifat musiman. Mengingat permasalahan tersebut, pelayanan jasa pinjaman KSU umumnya diakses oleh kelompok masyarakat nonpertanian atau petani yang mempunyai usaha sampingan (diversifikasi usaha) dengan jenis usaha yang memberikan penerimaan harian, mingguan atau bulanan, seperti usaha dagang dan pertukangan. Hal ini sesuai dengan tujuan awal pendirian KSU, yaitu untuk melayani kebutuhan pembiayaan para pedagang pasar, di samping itu lokasi KSU terletak di ibu kota kecamatan. Beberapa aspek yang mendorong keberhasilan kinerja KSU, di samping kinerja pengelola yang baik, adalah KSU
menyediakan beberapa jenis kredit (harian, mingguan, dan bulanan), sehingga dapat menjangkau berbagai kelompok nasabah yang jenis usaha umumnya nonpertanian yang memberikan penerimaan harian, mingguan, atau bulanan. Semua ini menyebabkan perputaran uang (turn over) di KSU berjalan cepat. KUD diharapkan menjadi lembaga yang dapat mendorong berbagai aktivitas ekonomi di pedesaan dengan: 1) menyediakan pelayanan kredit usaha tani, 2) menyediakan dan mendistribusikan input produksi, 3) pengolahan dan pemasaran hasil, dan 4) pelayanan ekonomi desa lainnya (Direktorat Jenderal Koperasi 1978). KUD Wiresinge tumbuh dan berkembang di tengah-tengah masyarakat tani untuk memenuhi kebutuhan modal dan rumah tangga petani. Kegiatan usaha KUD meliputi beberapa jenis, yaitu: 1) unit simpan pinjam yang khusus melayani anggota, 2) unit penjualan saprodi, 3) unit kredit kebutuhan rumah tangga, dan 4) unit alsintan. Lembaga ini tumbuh dan berkembang di tengah-tengah masyarakat tani (kelompok tani) sehingga penetapan pola pelayanannya mempertimbangkan karakteristik sosial ekonomi masyarakat tani. Pola pelayanan KUD hampir semuanya dapat diterima oleh petani, yaitu kredit 113
Tabel 2. Karakteristik pola pelayanan lembaga pembiayaan koperasi dan KUD. Uraian Keragaan kredit Jenis kredit Kelompok sasaran Nilai plafon (Rp000) Bentuk kredit Lama pinjaman (bulan) Suku bunga (%/tahun) Jenis sanksi pada penunggak Aturan pengajuan kredit Jenis agunan1 Cara pengajuan Penyaluran kredit Aturan pengembalian kredit Bentuk pengembalian Waktu pengembalian Lain-lain Pengawasan penggunaan kredit Pembinaan usaha
Koperasi Serba Usaha
(KSU)
KUD Wiresinge
Simpan, pinjam Umum dan petani 100−30.000 Uang tunai 1−12 36 dan 60 Penahanan agunan
Simpan pinjam Petani 100−1.000 Uang tunai 12 30 Tidak bisa minjam
A, B Individu Individu
Tidak ada Individu Individu
Uang tunai Harian, mingguan, dan bulanan
Uang tunai Setelah panen
Tidak ada Tidak ada
Ada Ada
Jenis agunan; A = sertifikat tanah dan bangunan, B = surat berharga seperti BPKB, daftar gaji, dan deposito. Sumber: Syukur et al. (2006).
kelompok tani (Supriatna 2008). Penggunaan kredit yang salah akan menimbulkan permasalahan yang lebih besar dibandingkan bila kredit tidak digunakan sama sekali (Richardson et al. 1982). Permasalahan utama yang menyebabkan mutu koperasi, khususnya KUD belum sesuai dengan yang diharapkan adalah: 1) aspek keanggotaan, yaitu kurangnya peran serta dari anggota, 2) kinerja kelembagaan masih lemah, dan 3) aspek pembinaan, yaitu kurangnya keterpaduan baik antara para pembina maupun yang dibina (Nasution 1989 dalam Rachman 1993). Untuk meningkatkan peran KUD kelompok tani Wiresinge disarankan mengubah orientasi usaha dari bersifat sosial ke arah lebih komersial, memberikan penghargaan kepada anggota yang dapat melunasi kredit tepat waktu, dan menumbuhkembangkan usaha lain yang potensial sehingga tidak hanya bergantung pada usaha tani tanaman.
1
diberikan tanpa agunan asalkan sudah mejadi anggota koperasi, suku bunga rendah (30%/tahun), lama pinjaman 12 bulan dan pinjaman dikembalikan sesudah panen, bentuk kredit uang tunai, jenis sanksi cukup ringan yaitu tidak bisa meminjam lagi sampai dilunasi pada musim panen berikutnya tanpa dikenakan bunga. KUD juga melakukan pengawasan penggunaan pinjaman dan pembinaan usaha tani melalui pengurus kelompok tani dan penyuluh lapangan (Tabel 2). Pola pelayanan kredit KUD yang sesuai dengan karakteristik petani tersebut telah menarik minat petani untuk memanfaatkan jasa lembaga tersebut. Namun, kinerja KUD kurang baik, modal yang dimiliki kurang berkembang sehingga membatasi petani yang ingin memanfaatkan pelayanan KUD. Menurut Syukur et al. (2006), modal KUD yang kurang berkembang disebabkan antara lain oleh: 1) Orientasi usaha KUD lebih bersifat sosial daripada keuntungan (hasil musyawarah para anggota), terutama terlihat dari jenis sanksi yang ringan (tidak bisa meminjam sampai hutang dilunasi). Akibatnya, percepatan atau kekuatan pembentukan modal KUD menjadi lemah. 114
2) Jenis usaha nasabah umumnya adalah bidang pertanian yang penerimaannya bergantung pada iklim, gangguan alam, hama penyakit, fluktuasi harga jual hasil panen, dan gangguan lainnya. 3) Kinerja KUD mengalami kemunduran karena kegagalan dalam pelaksanaan KUT (executing agent). Kemacetan pengembalian kredit sekitar 89% dari total kredit yang disalurkan. Menurut pengurus KUD, kemacetan kredit program KUT disebabkan oleh: 1) terlalu banyak lembaga atau agens yang terlibat sehingga terjadi birokrasi yang berlebihan, 2) banyak penerima kredit yang bukan petani, 3) sering terjadi penyimpangan bantuan baik jumlah maupun kualitasnya, dan 4) harga jual padi yang rendah pada musim panen. Di beberapa lokasi banyak ditemukan KUD yang bangkrut karena kegagalan atau tunggakan KUT, seperti pada kasus KUT sayuran di Pangalengan Jawa Barat (Syukur et al. 2003). Kegagalan program KUT tidak hanya menyebabkan dana macet, tetapi juga menurunkan kepercayaan masyarakat terhadap kinerja lembaga-lembaga pedesaan yang sudah ada, seperti koperasi dan
Lembaga Pembiayaan Informal Lembaga pembiayaan informal sudah ada jauh sebelum lembaga formal terbentuk dan berkembang sejalan dengan tumbuhnya permintaan dari masyarakat. Jasa lembaga informal umumnya dilakukan oleh para pemberi pinjaman (money lender), seperti pelepas uang, pedagang input produksi, pedagang hasil panen, dan lainnya, dengan ciri khas tingkat bunga tinggi. Persepsi petani terhadap pola pelayanan lembaga informal dapat dilihat pada kasus petani pangan dan sayuran di NTB. Pola pelayanan lembaga informal pada umumnya lebih sesuai dengan karakteristik petani, yaitu kredit tanpa agunan atau hanya berlandaskan kepercayaan, bentuk kredit uang tunai, lama pinjaman 1−12 bulan dengan waktu pengembalian kapan saja bergantung ketersediaan uang, umumnya setelah panen (Tabel 3). Yang menjadi permasalahan adalah penetapan suku bunga tinggi, yaitu 60%/tahun. Pedagang input produksi (benih, pupuk, dan obat-obatan) terlihat menetapkan bunga rendah, tetapi sebenarnya nilai bunga sudah dimasukkan dengan menaikkan harga jual produksi secara tersembunyi (Syukur et al. 2003). Yang menjadi pertanyaan, mengapa petani lebih memilih lembaga informal yang menetapkan suku bunga tinggi dibandingkan lembaga formal dengan Jurnal Litbang Pertanian, 28(3), 2009
Tabel 3. Karakteristik pola pelayanan lembaga pembiayaan informal. Uraian Keragaan kredit Jenis kredit Kelompok sasaran Nilai plafon (Rp000)1 Bentuk kredit Lama pinjaman (bulan) Suku bunga (%/tahun) Jenis sanksi pada penunggak Aturan pengajuan kredit Jenis agunan Cara pengajuan Penyaluran kredit Aturan pengembalian kredit Bentuk pengembalian Waktu pengembalian Lain-lain Pengawasan penggunaan kredit Pembinaan usaha
Pelepas uang
Pedagang input produksi
Pedagang hasil produksi
Pinjaman Umum dan petani 250−600 Uang tunai 1−12 60 Penundaan hutang
Pinjaman Petani 100−500 Uang/input produksi 6−12 24 Penundaan hutang
Pinjaman Petani 100−1.500 Uang tunai 1−4 60 Penundaan hutang
Tidak ada Individu Individu
Tidak ada Individu Individu
Tidak ada Individu Individu
Uang tunai Setelah panen
Uang tunai Setelah panen
Uang/hasil panen Setelah panen
Tidak ada Tidak ada
Tidak ada Tidak ada
Tidak ada Tidak ada
Nilai plafon: tidak ditetapkan (rata-rata kredit yang dipinjam petani). Sumber: Syukur et al. (2003); Supriatna (2008). 1
bunga rendah. Beberapa alasan petani memilih lembaga informal menurut Syafa’at dan Djauhari (1992) dan Nurmanaf (2007) adalah: 1) prosedur pengajuan kredit sangat sederhana, tidak seperti lembaga formal yang prosedurnya rumit (rigid), terutama untuk petani gurem, 2) relatif tidak ada biaya transaksi, dan 3) perolehan kredit lebih mudah, cepat, dan jumlah kredit yang diterima sesuai dengan pengajuan. Pada dasarnya filosofi yang dijadikan pertimbangan pemberian kredit komersial dan informal adalah sama, yaitu dibangun atas dasar kepercayaan (trust). Hal yang membedakan adalah pada lembaga kredit komersial, kepercayaan dibangun atas dasar bukti-bukti empiris yang ditunjukkan oleh dokumen-dokumen yang syah menurut hukum. Sementara pada lembaga kredit informal, kepercayaan dibangun berdasarkan intensitas hubungan dan citra yang muncul dalam masyarakat terhadap seseorang (Syukur et al. 2003). Dengan perbedaan pola pendekatan ini, masyarakat petani/pedesaan cenderung memilih lembaga informal karena lebih sesuai dengan karakteristik masyarakat pedesaan yang tidak menyukai hal-hal yang bersifat formal (Ashari dan Friyatno 2006). Dengan prosedur dan administrasi yang rumit serta waktu yang lama, biaya yang diperlukan untuk mencairkan pinjaman pada lembaga formal menjadi Jurnal Litbang Pertanian, 28(3), 2009
lebih tinggi dibandingkan dengan harus membayar kelebihan tingkat bunga pada lembaga informal (Hastuti 2004). Bagi masyarakat pedesaan, tingkat bunga tidak selalu menjadi ukuran penting dalam melakukan peminjaman, tetapi yang lebih penting adalah mereka mempunyai kemampuan untuk membayar kembali pinjamannya. Apabila kemampuan itu ada maka petani tidak begitu memperhatikan bunga yang harus dibayar selama kredit yang diperlukan dapat diperoleh secara cepat, mudah, dan sesuai dengan yang dibutuhkan (Mubyarto 1973). Lembaga informal banyak diakses petani di pedesaan, antara lain karena aktivitas perkreditan informal biasanya dilakukan oleh perorangan yang memiliki hubungan sosial lebih dekat dengan masyarakat desa. Sementara pada sisi lain, lembaga penyaluran kredit formal umumnya hanya berlokasi di pusat-pusat kecamatan dan kredit yang disalurkan juga menuntut kepercayaan teknis bank serta proses administrasi yang rumit bagi masyarakat pedesaan (Sam Ratulangi 1987 dalam Irawan 1989).
Lembaga Pembiayaan Kredit Program Kredit program ditujukan untuk menunjang keberhasilan suatu program, biasanya
dibiayai oleh dana pemerintah, dan lembaga yang terlibat dalam pelaksanaan biasanya lembaga perkreditan pemerintah (Syukur et al. 1993). Dari waktu ke waktu, model kredit program ini mengalami berbagai perubahan, antara lain terkait prosedur penyaluran, besaran dan bentuk kredit, bunga maupun tenggang waktu pengembalian (Taryoto 1992 dalam Ashari dan Saptana 2005). Kredit program untuk sektor pertanian dimulai dengan kredit Bimas pada tahun 1972. Selanjutnya digulirkan KUT sebagai penyempurnaan sistem kredit Bimas, dengan pola penyaluran melalui KUD. Kredit program berikutnya adalah Kredit Ketahanan Pangan (KKP). Persepsi petani terhadap kredit program antara lain dapat dilihat pada kredit KKP untuk petani padi di Jawa Barat dan kredit BUMN dari PUSRI dan TELKOM untuk usaha tani sayuran di DI Yogyakarta. Pola pelayanan kredit program merupakan hasil perbaikan atau kombinasi dari kelebihan lembaga formal (berbunga rendah) dengan lembaga informal (menggunakan agunan sertifikat tanah milik salah satu pengurus kelompok). Dengan demikian, ciri umum kredit program adalah bersuku bunga rendah (3−18%/tahun), berjangka waktu musiman (6−24 bulan), dikembalikan secara musiman, merupakan dana likuiditas dari bank sentral, dan risiko ditanggung oleh pemerintah (Tabel 4). 115
Tabel 4. Karakteristik pola pelayanan kredit program dan BUMN. Uraian Keragaan kredit Jenis kredit Kelompok sasaran 1 Nilai plafon (Rp000/ha) Bentuk kredit Lama pinjaman (bulan) Suku bunga (%/tahun) Jenis sanksi Aturan pengajuan kredit Jenis agunan2 Cara pengajuan Penyaluran kredit Aturan pengembalian kredit Bentuk pengembalian Waktu pengembalian Cara pengembalian Lain-lain Pengawasan penggunaan kredit Pembinaan usaha
KKP
BUMN
Program Petani 500−700 Uang tunai 6 18 Penahanan agunan
Program Petani 5.000−6.000 Uang tunai 12−24 3 Penahanan agunan
A3 Berkelompok Berkelompok
A, B3 Berkelompok Berkelompok
Uang tunai Setelah panen Melalui kelompok
Uang tunai Setelah panen Melalui bank
Ada Ada
Ada Ada
Kelompok sasaran: petani pangan dan sayuran. Jenis agunan; A = sertifikat tanah dan bangunan, B = surat berharga seperti BPKB, daftar gaji, deposito. 3 Diwakili oleh agunan ketua atau pengurus kelompok. Sumber: Syukur et al. (2006). 1 2
Menurut petani, karakteristik skim kredit program merupakan pola pelayanan yang paling sesuai dengan karakteristik petani, sebagaimana dijelaskan oleh Syukur et al. (2006); Supriatna (2008), yaitu: 1) Pengajuan kredit dilaksanakan melalui kelompok tani sehingga petani yang belum terbiasa dengan lembaga kredit komersial dapat ikut serta mengakses kredit program. 2) Agunan yang berupa sertifikat tanah dapat diwakili oleh milik salah satu pengurus kelompok. Dengan demikian, petani yang tidak mempunyai agunan dapat mengakses kredit asalkan benar-benar menjalankan usaha dan ada keinginan untuk mengembalikan pinjaman (diseleksi oleh pengurus kelompok tani). 3) Menyediakan kredit dengan suku bunga rendah sehingga memberikan peluang pada petani untuk memperoleh produksi dan pendapatan lebih tinggi. 4) Kredit berupa uang tunai sehingga memudahkan petani untuk mengelola pinjaman sesuai kebutuhan usaha tani.
116
5) Lama pinjaman sesuai dengan periode penerimaan usaha tani tanaman semusim, yaitu KKP 6 bulan dan BUMN 12−24 bulan, dan pengembalian kredit secara musiman. 6) Jenis sanksi terhadap penunggak tergolong ringan, yaitu kredit bisa dikembalikan pada musim berikutnya tanpa dikenakan bunga. 7) Ada pengawasan atau kontrol dalam penggunaan kredit serta pembinaan usaha tani oleh kelompok tani, penyuluh lapangan, dan Dinas Koperasi. Kredit melalui kelompok mempunyai potensi besar untuk berhasil, karena: 1) kelompok dapat berfungsi sebagai penjamin, 2) akan terjadi interaksi, saling tenggang rasa dan menghargai di antara petani sehingga timbul rasa disiplin dan kebersamaan dalam memenuhi kewajiban sebagai penerima kredit, dan 3) biaya transaksi menjadi lebih murah (Syukur et al. 1993). Penyaluran kredit melalui kelompok merupakan tahapan awal agar petani menjadi lebih terbiasa dengan prosedur kredit komersial yang rumit, ditempuh melalui partisipasi aktif dari seluruh anggota mulai dari penyusunan sampai permohonan kredit (Umali 1978).
Mengingat kemudahan kredit program, sebenarnya banyak petani yang mengharapkan dapat mengikuti kredit program (KKP dan BUMN), tetapi sulit terealisasi karena terbatasnya keuangan pemerintah untuk alokasi kredit program. Agar kredit program dapat menjangkau petani lebih banyak, dianjurkan kredit dapat bergulir ke petani di sekitarnya. Namun, kenyataannya kredit program belum mencapai hasil yang optimal dan tidak bergulir ke petani lain karena permasalahan interen maupun ekstern kelompok tani. Kegagalan kredit program tidak hanya dalam penentuan sasaran, tetapi juga dalam mencapai kinerja pengembalian. Dengan demikian, sebagian besar petani kecil masih tetap mengandalkan kredit lembaga informal (Ashari dan Friyatno 2006). Kinerja kredit program pada umumnya tidak menggembirakan karena hanya dimanfaatkan oleh sebagian kecil petani menengah ke atas. KUT yang disalurkan melalui KUD misalnya, menurut Sensus Pertanian 1983 cenderung lebih banyak dimanfaatkan oleh golongan yang memiliki kemampuan ekonomi lebih baik (Satari 1986 dalam Irawan 1989). Rendahnya pengembalian KUT pola khusus dikarenakan lemahnya mekanisme kontrol dalam pelaksanaan KUT, khususnya dalam proses seleksi di tingkat kelompok maupun KUD, yang sekaligus juga menunjukkan kurangnya pembinaan instansi terkait terhadap KUD, kelompok tani maupun aparat tingkat desa (Sanim 1998). Ada pandangan pihak tertentu, bahwa kredit program merupakan hibah dari pemerintah sehingga tidak perlu dikembalikan. Pandangan seperti ini merupakan salah satu penyebab terjadinya tunggakan kredit (Hastuti 2004; Nurmanaf 2007). Beberapa saran perbaikan dalam pelaksanaan kredit program, yaitu: 1) penyaluran kredit harus tepat sesuai dengan sasaran, tidak menyimpang atau diambil oleh pihak-pihak yang bukan petani, 2) pengawasan penggunaan kredit lebih intensif sehingga benar-benar digunakan untuk keperluan usaha tani serta ada bimbingan langsung di lapangan mengenai kegiatan usaha tani, dan 3) jumlah kredit yang akan disalurkan harus dibatasi dengan mempertimbangkan kemungkinan terjadinya penurunan harga jual hasil panen akibat kelebihan produksi, terutama untuk sayuran.
Jurnal Litbang Pertanian, 28(3), 2009
POLA IDEAL PELAYANAN KREDIT MIKRO Gerak ekonomi golongan miskin yang lambat memerlukan pendekatan yang tidak biasa (non-conventional approach). Pendekatan tersebut haruslah berpangkal pada jati diri golongan miskin, yaitu miskin pendidikan, miskin harta (untuk jaminan), dan miskin segalanya, tetapi mereka sarat dengan pengalaman untuk mempertahankan hidup dengan kondisi yang ada pada mereka (Syukur et al. 1993). Pola pelayanan kredit yang ideal untuk petani tanaman pangan dan sayuran adalah sebagai berikut: 1) Lembaga pembiayaan agar menghindari persyaratan agunan sertifikat tanah, tetapi apabila terpaksa hendaknya dapat diwakili oleh sertifikat pengurus kelompok tani seperti pada kredit program, atau bisa juga dibentuk lembaga penjamin kredit. 2) Bentuk kredit berupa uang tunai agar petani dapat mengelola sendiri pinjaman sesuai dengan perkembangan kebutuhan usaha tani. 3) Kredit bersifat jangka pendek (musiman) dan pembayaran dilakukan setelah panen. 4) Tingkat suku bunga komersial masih bisa diakses oleh petani, asalkan prosedur pengajuan dan perolehan kredit mudah, cepat, dan jumlahnya sesuai dengan pengajuan. 5) Besaran plafon kredit sekitar nilai untuk biaya pengadaan benih, pupuk, dan obat-obatan. 6) Pengajuan dan penyaluran kredit dilakukan melalui kelompok tani dengan harapan di samping dapat menekan biaya pengajuan dan penyaluran, juga ada kontrol atau pembinaan pengelolaan pinjaman dan usaha yang dijalankan petani. 7) Petani menghindari jenis sanksi penyitaan agunan sehingga sebaiknya
sanksi berupa tanggung renteng seperti pada KUM atau penundaan/ penjadwalan kembali waktu pembayaran seperti pada kredit program dan lembaga kredit informal. Petani sebagai pengguna kredit perlu mengetahui prinsip-prinsip pengelolaan kredit, yaitu: 1) kredit digunakan untuk tujuan produktif, 2) membatasi meminjam kredit pada lembaga pembiayaan yang tidak terbiasa, 3) kredit digunakan untuk usaha yang akan memberikan penerimaan paling tinggi dalam batas risiko yang rasional, 4) membuat catatan usaha tani sehingga dapat melakukan analisis yang objektif tentang kebutuhan kredit, 5) memperhatikan kemampuan mengembalilan kredit dari usaha yang dijalankan, 6) memilih sumber kredit yang menyediakan kebutuhan kredit yang paling sesuai dengan kebutuhan, dan 7) membangun kejujuran (Richardson et al. 1982). Petani harus berusaha untuk lepas dari bantuan kredit dengan membangun modal sendiri. Penciptaan modal dapat melalui berbagai cara, tetapi semuanya selalu berarti menyisihkan kekayaan atau sebagian hasil produksinya untuk tujuan produktif dan bukan untuk konsumtif. Pembangunan pertanian akan ada bila ada penciptaan modal (investasi), paling sedikit modal yang diciptakan petani harus sama dengan modal yang mulai rusak atau susut (Mubyarto 1973). Untuk meningkatkan aksesibilitas ke lembaga pembiayaan, petani perlu melakukan diversifikasi usaha yang dapat memberikan pendapatan harian, mingguan atau bulanan.
KESIMPULAN DAN SARAN Kesimpulan
nasabah, tipe kredit, cara pengajuan dan penyaluran, dan cara pengembalian kredit. Petani tidak dapat mengakses lembaga pembiayaan komersial yang menyediakan bunga rendah karena tidak memiliki agunan sertifikat tanah, pengembalian kredit bulanan sehingga tidak sesuai dengan pola penerimaan usaha tani tanaman semusim, dan prosedur pengajuan kredit masih dirasakan rumit oleh petani. Berbagai kesulitan tersebut menyebabkan petani lebih memilih mengakses lembaga informal meskipun menyediakan kredit berbunga tinggi. Dalam merumuskan pola pelayanan kredit mikro perlu diperhatikan karakteristik petani sebagai calon nasabah. Model pelayanan pembiayaan yang ideal untuk petani yaitu menghindari persyaratan agunan sertifikat tanah, kredit dalam bentuk uang tunai, kredit jangka pendek dengan pengembalian musiman, nilai plafon sekitar kebutuhan untuk benih, pupuk dan obat-obatan, dan pengajuan/ penyaluran kredit melalui kelompok tani. Petani harus mengerti prinsip-prinsip penggunaan kredit yang benar, berusaha terus membangun modal sendiri, dan melakukan diversifikasi usaha yang memberikan penerimaan harian, mingguan atau musiman.
Saran Kebijakan Pelaksanaan pinjaman kredit untuk petani tanaman pangan di samping mempertimbangkan model ideal, juga diperlukan tindakan lanjutan berupa pendampingan dalam penggunaan kredit maupun pembinaan usaha yang dijalankan petani. Dengan demikian tingkat pengembalian kredit (repayment capacity) usahanya meningkat sesuai harapan.
Setiap lembaga pembiayaan memiliki pola pelayanan yang khas, seperti sasaran
DAFTAR PUSTAKA Ashari dan Saptana. 2005. Prospek pembiayaan syariah untuk sektor pertanian. Jurnal Agro Ekonomi XXIII(2): 132−147. Ashari dan S. Friyatno. 2006. Perspektif pendirian bank pertanian di pedesaan. Jurnal Agro Ekonomi XXIV(2): 107−122.
Jurnal Litbang Pertanian, 28(3), 2009
Direktorat Jenderal Koperasi. 1978. Pedoman Pelaksanaan dan Pengembangan BUUD/ KUD. Direktorat Jenderal Koperasi, Departemen Perdagangan dan Koperasi. 105 hlm. Hastuti, E.L. 2004. Aksesibilitas masyarakat terhadap kelembagaan pembiayaan pertanian di pedesaan. ICASERD Working Paper No.
57. Pusat Penelitian dan Pengembangan Sosial Ekonomi Pertanian, Bogor. 14 hlm. Irawan, B. 1989. Pelayanan kredit informal di pedesaan Sulawesi Selatan. Jurnal Agro Ekonomi VIII(2): 23−45. Ministry of Agriculture. 2006. Indonesian Agricultural Development Plan 2005−2009.
117
Bureau of Planning, Ministry of Agriculture, Republic of Indonesia. 79 pp. Mosher, A.T. 1966. Menggerak dan Membangun Pertanian. Syarat-Syarat Mutlak Pembangunan dan Modernisasi. Disadur oleh S. Krisnashi dan Bahrin Samad dari buku Getting Agriculture Moving. Yasaguna, Jakarta. 206 hlm. Mubyarto. 1973. Pengantar Ekonomi Pertanian. Lembaga Penelitian, Pendidikan dan Penerangan Ekonomi dan Sosial. Repro Internasional, Jakarta. 274 hlm. Nurmanaf, A.R. 2007. Lembaga informal pembiayaan mikro lebih dekat dengan petani. Analisis Kebijakan Pertanian V(2): 99− 109. Rachman, B. 1993. Deskripsi perkembangan lembaga perkreditan di pedesaan Jawa Timur. Jurnal Agro Ekonomi XVII(1): 51− 61. Richardson, W.B., William G. Camp., and W.B.Mc. Vay. 1982. Managing in the Farm and Ranch. Reston Publ. Co., Inc. A Prentice Hall Co. Restron, Virginia. p. 295−306.
118
Sanim, B. 1998. Efektivitas penyaluran dan pengembalian kredit KUT. Jurnal Agro Ekonomi XVII(1): 51−65. Supadi dan M. Syukur. 2004. Aksesibilitas petani terhadap sumber permodalan (Kasus petani padi sawah dan hortikultura di Jawa Barat dan Nusa Tenggara Barat). ICASERD Working Paper No.48. Pusat Penelitian dan Pengembangan Sosial Ekonomi Pertanian, Bogor. 22 hlm. Supriatna, A. 2008. Aksesibilitas petani kecil pada sumber kredit pertanian di tingkat desa: Studi kasus petani padi di Nusa Tenggara Barat. Jurnal Sosio Ekonomi Pertanian dan Agribisnis VIII(2): 134−139. Syafa’at, N. dan A. Djauhari. 1992. Identifikasi penyebab rendahnya penyaluran kredit usaha tani. Jurnal Agro Ekonomi IX(2): 113−119. Syukur, M., Sumaryanto, dan C. Muslim. 1993. Pola pelayanan kredit untuk masyarakat berpenghasilan rendah di pedesaan Jawa Barat. Jurnal Agro Ekonomi XI(2): 1−13.
Syukur, M., E.L. Hastuti, A. Supriatna, Supadi, Sumedi, dan B.W.D. Wicaksono. 2003. Laporan akhir: Kajian Pembiayaan Pertanian Mendukung Pengembangan Agribisnis dan Agroindustri di Pedesaan. Pusat Penelitian dan Pengembangan Sosial Ekonomi Pertanian, Bogor. Syukur, M., A. Gozali, J. Hardi, A. Subaedi, Andriati, A. Supriatna, Lira M.L., Fistya M., dan J. Mulyono. 2006. Laporan akhir: Pengembangan Kelembagaan Pembiayaan Petani Mendukung Program Prima Tani. Balai Besar Pengkajian dan Pengembangan Teknologi Pertanian, Bogor. Thohari, E.S. 2005. Rencana Strategis Pusat Pembiayaan Pertanian Tahun 2005−2009. Departemen Pertanian, Jakarta. 16 hlm. Umali, D.L. 1978. Small Farmers Development Manual. Volume I. Field action for small farmers, small fishermen and peasants. Regional Office for Asia and the Far East, Food and Agriculture Organization of the United Nations, Bangkok, Thailand. p. 138144.
Jurnal Litbang Pertanian, 28(3), 2009