MERAMALKAN FINANCIAL DISTRESS USAHA MIKRO, KECIL, DAN MENENGAH DI INDONESIA Oleh: N. Agus Sunarjanto 1), Herlina Yoka Roida 1) E-mail:
[email protected] 1)
Dosen Fakultas Business Universitas Katolik Widya Mandala Surabaya
ABSTRACT This research briefly draws firm characteristics as a predictor of financial distress of small medium entreprises (SMEs) with flow based insolvency approach. Control variables such as ownership structure, location, and industry sectors are conducted in this research. Using 2013 data, logistic regresion is employed taking into account that firm characteristics could be a predictor of SMEs financial condition. The results provide robust evidence for flow based insolvency which is EBITDA to predict financial distress. Moreover, location and industry sector option make clear this relationship. Financial access which is refer to SMEs location and complexcity of industry also become a consideration of SMEs to run their business , respectively. Keywords: credit risk, forecast, financial distress, SMEs.
PENDAHULUAN Berdasarkan cacatan Bank Indonesia, selama triwulan pertama tahun 2013 pertumbuhan kredit untuk Usaha Mikro, Kecil dan Menengah (UMKM) hanya sebesar 11%. Angka ini relatif lebih kecil dari pertumbuhan kredit umum sebesar 27%. Padahal, kontribusi UMKM pada pendapatan domestik bruto adalah sebesar 56% pada tahun 2012 dengan jumlah UMKM sebanyak 52 juta UMKM. Kecilnya angka pertumbuhan kredit UMKM diduga karena agunan yang harus diberikan oleh UMKM, persyaratan yang diajukan oleh pihak pemberi kredit dan bunga yang cukup tinggi bagi UMKM. Di lain pihak, keberadaan pengusaha Mikro, Kecil dan Menengah (UMKM) merupakan kondisi kehidupan ekonomi sebagian besar masyarakat Indonesia. Dari 42,452 juta entitas usaha, ternyata 41,8 juta (98,5%) merupakan usaha mikro. Hanya sekitar kurang lebih 650.000 yang merupakan usaha kecil dan menengah, serta sekitar kurang lebih dua ribu lainnya adalah usaha besar (Menegkop, 2004). Angka ini meningkat pada tahun 2013 yaitu sebanyak lebih dari 50 juta UMKM dengan kontribusi sebesar 56% pada PDB. Posisi ini menempatkan usaha mikro, kecil dan menengah sebagai entitas utama dalam pemberdayaan ekonomi rakyat.
658
Menurut Roida dan Sunarjanto (2013) preferensi pemilik UMKM atas risiko akan mempengaruhi derajat risiko bisnis maupun risiko keuangan UMKM. Hal ini dengan pertimbangan biaya transaksi atau biaya bunga yang tinggi, prosedur yang rumit sementara dana yang dikucurkan relatif sedikit, serta keengganan pada risiko kebangkrutan. Bunga kredit untuk investasi maupun untuk permodalan cukup tinggi. Hal ini menunjukkan preferensi atas risiko UMKM mempengaruhi pilihan sumber pendanaan yang mengandung konsekuensi keuangan. Dari sisi keputusan keuangan yang diambil, UMKM dapat menghadapi risiko finansial atau keuangan yang diakibatkan karena pemilihan penggunaan hutang atau modal sendiri oleh pemilik UMKM. Secara jangka panjang, risiko keuangan akan berdampak pada daya tahan UMKM. Daya tahan UMKM salah satunya ditentukan oleh derajat toleransi usaha terhadap risiko (Roida dan Sunarjanto, 2011). Studi ini akan menekankan pada bagaimana memprediksi financial distress UMKM yang dapat digunakan untuk mengukur risiko kredit UMKM. Michala et.al (2013) melakukan pengujian untuk memprediksi financial distress di Eropa dengan memasukkan idiosyncratic model maupun systematic model. Peneliti terdahulu menggunakan rasio keuangan (Edminster, 1972; Merton, 1974, dan Altman, 1968) atau credit scoring model (Frame et.al ,2001 dan Berger, 2005) yang didukung dengan laporan keuangan yang memadai dari pihak UMKM. Berbeda dengan kondisi riil di Indonesia yang pada umumnya UMKM tidak memiliki laporan keuangan yang memadai bahkan data based yang tersimpan dari waktu ke waktu, maka penelitian ini tidak hanya menngunakan sisi keuangan (rasio keuangan dan struktur kepemilikan) yang sulit tergali, namun juga memasukkan unsur non keuangan seperti industri, usia usaha, dan lokasi UMKM yang berkorelasi dengan akses kredit yang diperoleh (Michala et.al ,2013). Preferensi Risiko Pemilik UMKM UMKM umumnya lebih banyak menggunakan dana dari modal sendiri dibandingkan dengan meminjam dari lembaga keuangan (Harner, 2011). Hal ini dapat dijelaskan dengan preferensi pemilik UMKM pada risiko. Terdapat tiga preferensi atas risiko yaitu risk avoider adalah tipe investor yang menghindari risiko dalam menjalankan usahanya, risk neutral yaitu tipe investor yang netral pada risiko, dan risk lover tipe investor yang menyukai risiko. Preferensi UMKM atas risiko adalah preferensi individual yaitu pemilik yang dalam keputusan keuangan akan sangat menentukan pilihan-pilihan yang diambil dalam permodalan. Urata (2000) menyebutkan hal-hal yang mempengaruhi UMKM dalam mendapatkan sumber permodalan antara lain : 1. Kurangnya kesesuaian antara dana yang tersedia yang dapat diakses oleh UMKM 2. Biaya transaksi yang tinggi, yang disebabkan oleh prosedur yang cukup rumit sehingga menyita banyak waktu sementara jumlah dana yang dikucurkan relatif kecil. 3. Kurang akses ke sumber dana formal, baik oleh ketersediaan bank maupun ketersediaan informasi yang memadai. 4. Bunga kredit untuk investasi maupun untuk permodalan cukup tinggi. Financial Distress Menentukan status UMKM apakah dibawah kondisi yang sehat atau tidak sehat bukanlah pekerjaan yang mudah. Unit usaha dengan risiko financial distress yang tinggi akan cenderung untuk mengurangi pinjaman pada lembaga keuangan dibandingkan dengan yang 659
risikonya rendah (Ross, et.al, 2010). Hanya saja, pemilik UMKM sering kali tidak melaporkan apakah usahanya sedang dalam masalah keuangan yang mengakibatkan kelangsungan usahanya berhenti. Ross, et. al (2010) membedakan financial distress berdasarkan dua hal: 1. Berdasarkan stock based insolvency dan flow based insolvency. Stock based insolvency terjadi jika unit usaha mengalami negatif ekuitas, flow based insolvency terjadi jika arus kas perusahaan tidak dapat memenuhi kewajiban yang akan jatuh tempo. EBITDA seringkali digunakan sebagai pengukur masalah dalam flow based insolvency. Seringkali UMKM menutup usahanya tidak semata-mata karena persoalan kesulitan keuangan (Watson & Everett, 1996), seringkali alasan teknis seperti tidak adanya tenaga kerja maupun sepinya permintaan menyebabkan UMKM sangat fluktuatif dalam menjalankan operasionalnya (Roida dan Sunarjanto, 2012). Hal ini didukung dengan temuan Headd (2003) bahwa terdapat sepertiga usaha kecil dan menengah tutup karena tidak sukses dalam menjalankan usahanya. Berdasarkan hal tersebut, maka perlu untuk membedakan secara tegas istilah failure dan closure (Gilson & Vetsuypens, 1993) untuk menegaskan kegagalan UMKM dikarenakan kesulitan keuangan atau kegagalan dalam manajemen usaha yang mengakibatkan UMKM harus tutup. Untuk membedakan antara failure dan closure, penelitian ini mengasumsikan bahwa UMKM yang mengalami distress nampak dari ekuitas negatif pada tahun lalu. Sehingga penelitian ini mengkategorikan secara mutually exclusive UMKM menjadi ”healthy” dan ”distressed’. Kategori distressed diberikan pada UMKM yang tahun lalu memiliki ekuitas negatif dan sebaliknya UMKM sehat jika ekuitasnya positif. Hal ini didasarkan pada perspektif laporan keuangan bahwa ekuitas yang negatif berhubungan dengan akumulasi kerugian selama tahun-tahun sebelumnya. Sedangkan dari perspektif struktur modal, ekuitas yang negatif mengindikasikan bahwa jumlah hutang jauh melebihi aset yang dimiliki oeleh UMKM. Jenis aset akan menentukan juga kecenderungan UMKM untuk meminjam dan dampaknya pada financial distress. UMKM yang lebih didominasi oleh tangible aset akan cenderung untuk meminjam lebih baik dibandingkan UMKM yang lebih didominasi intangible asset (keahlian tenaga kerja, merek, paten, dll). Hal ini disebabkan kolateral atau agunan yang lebih baik disediakan oleh UMKM yang memiliki tangible asset lebih banyak. Hipotesis: Firm Characteristic dapat menjadi prediktor financial distress UMKM. Kerangka Berpikir Firm characteristics
Control variables
(EBITDA, Liability, Activity)
(Ownership structure, location, industry sector)
FINANCIAL DISTRESS 660
A. Metode Penelitian Penelitian ini merupakan penelitian empiris hipotesis yang digunakan untuk menguji variabel-variabel yang dapat yang menjadi prediktor financial distress UMKM. Variabel yang digunakan dalam penelitian ini terdiri dari variabel bebas yaitu firm characteristic UMKM (X) yang terdiri dari EBITDA (X1), liabilitas(X2), dan aktivitas UMKM (X3). Variabel terikat (Y) yaitu financial distress, yang dikategorikan menjadi sehat dan mengalami distress. B. Definisi Operasional Variabel 1. Variabel Terikat Terdapat dua kategori UMKM dikatakan mengalami distress atau tidak (Michala et.al,2013) yaitu “healthy” atau “distressed”. Kategori yang digunakan 1 untuk “distressed” dan 0 untuk “healthy”. Indikator yang digunakan adalah apabila dalam kurun waktu tahun lalu ekuitas UMKM negatif maka dikategorikan sebagai “distressed” dan sebaliknya, “healthy” jika ekuitas tahun lalu positif. 2. Varibel Bebas Mengingat tidak tersedianya data based laporan keuangan UMKM secara terpadu dan juga lemahnya pencatatan yang dilakukan oleh UMKM maka rasio keuangan yang digunakan berupa: a. EBITDA yaitu laba operasional UMKM yang merefleksikan cash flows solvability UMKM. b. Debt to Total Asset (D/A) yaitu pengukur kewajiban UMKM. c. Cash conversion cycle yang mengukur aktivitas UMKM melalui perputaran modal kerjanya. 3. Variabel Kontrol Variabel ini untuk memperjelas karakter UMKM sebagai prediktor financial distress. Variabel kontrol dengan definisi operasional yang meliputi: a. Ownership Structure (OS) yaitu variabel sebagai pengontrol kepemilikan pribadi atau dimiliki lebih dari dua pemilik dalam menjelaskan financial distress. b. Lokasi (LOC) yaitu variabel yang menjelaskan mengenai kemungkinan lokasi UMKM di pedesaan atau perkotaan yang memungkinkan UMKM mengakses pinjaman dari bank. c. Industry Sector (SECTOR) yaitu variabel yang dapat menjawab karakteristik sektor industri yang dipilih oleh UMKM.
PEMBAHASAN Berdasarkan hasil yang diperoleh dari 212 UMKM yang dibagi dalam dua kategori yaitu UMKM dalam kondisi sehat “healthy” dan dalam kondisi “distressed”. Berdasarkan data yang terkumpul, terdapat 178 UMKM teridentifikasi dalam kategori “healthy dan 34 UMKM dalam kondisi “distressed”. Selanjutnya dilakukan analisis untuk mengklarifikasi kondisi financial distress berdasarkan variabel-variabel karakteristik usaha yang berpotensi mempengaruhi kondisi tersebut. 661
Berdasarkan gender pemilik UMKM, dominasi pemilik adalah laki-laki sebanyak 62.3% sedangkan perempuan hanya 37.7%. Pendidikan pemilik UMKM terbanyak adalah sekolah menengah atas sebanyak 54.2% disusul sarjana sebanyak 32.1%, sisanya setara sekolah menengah pertama dan sekolah dasar. Sedangkan berdasarkan struktur kepemilikan yang banyak dipilih yaitu 77.8% dimiliki sendiri secara perorangan dan sisanya dimiliki oleh lebih dari dua orang. Gambaran ini dapat dilihat pada Tabel 4.1 berikut ini.
Tabel 1. Deskripsi Karakteristik Kepemilikan UMKM Gender
Struktur Kepemilikan
Pendidikan
LakiLaki
Perempuan
<2 org
>2 org
Campuran
SD
SMP
SMA
Sarjana
Lain
62.3%
37.7%
77.8%
13.7%
8.5%
2.8%
8%
54.2%
32.1%
2.8%
Sumber: Data diolah
Berdasarkan Tabel 1. diatas, nampak bahwa berdasarkan tingkat pendidikan pemilik UMKM menunjukkan bahwa kebanyakan cukup berpendidikan yang mengindikasikan kemampuan mengakses informasi dan pengetahuan mengenai pengelolaan UMKM cukup baik. Usaha lebih banyak dimiliki dan dikelola sendiri oleh laki-laki sekaligus sebagai kepala keluarga. Hal ini mengindikasikan UMKM punya kecenderungan untuk dikelola secara lebih serius sebagai sumber penghidupan keluarga dan bukan usaha sampingan. Temuan yang menarik berikutnya adalah lokasi UMKM yang 89.6% berlokasi di daerah perkotaan. Hal ini menunjukkan kemudahan UMKM untuk mendapatkan akses pendanaan ke lembaga keuangan dibanding dengan lokasi di pedesaan. Kemudahan atas akses informasi ke lembaga keuangan memungkinkan UMKM dapat menghindari kondisi financial distress. Disamping itu pilihan sektor usaha cenderung variatif dengan pilihan sektor pertanian dan sektor kimia dan dasar sebanyak 2.8% Keduanya adalah pilihan sektor yang paling rendah. Disusul sektor manufaktur sebesar 3.8%, aneka industri (12.3%), lain-lain (14.6%), konsumsi (27.8%), dan terbanyak pada sektor perdagangan, jasa, investasi sebanyak 35.8%. Secara keseluruhan gambaran mengenai UMKM yang diteliti adalah UMKM yang berada di urban area dengan kepemilikan yang didominasi laki-laki dengan tingat pendidikan mayoritas menengah dan tinggi. Gambaran ini mendeskripsikan bahwa UMKM tidak mengalami kendala berarti dalam mengakses informasi ke lembaga keuangan dalam hal pendanaan. Keseluruhan data yang diobservasi menunjukkan 83.96% dikategorikan sebagai UMKM yang ”healthy” sedangkan 16.04% adalah UMKM dalam kategori “distressed”. Selanjutnya pengujian dilakukan dengan tahapan: 662
Uji Signifikansi Model Uji signifikansi model ditunjukkan pada Tabel 2. sebagai berikut Tabel 2. Omnibus Tests
Step 1
Chi-square 119.477 119.477 119.477
Step Block Model
df 12 12
12
Sig. .000 .000 .000
Sumber: Data diolah
Berdasarkan Tabel 2. pengujian secara simultan atas model diperoleh nilai signifikansi model sebesar 0.000, nilai ini lebih kecil dari 5% maka hasil ini menunjukkan bahwa H0 : tidak ada perbedaan model step terakhir (setelah variabel bebas dimasukkan) dengan model tanpa variabel independent (model nol) ditolak. Sehingga dapat disimpulkan bahwa variabel firm characteristics yang digunakan, secara bersama-sama berpengaruh pada kondisi financial distress UMKM. Disamping itu berdasarkan uji ketepatan klasifikasi diperoleh hasil seperti yang dipaparkan dalam Tabel 3. Tabel 3. Tabel Klasifikasi Observed Step 1
FD
Predicted Health Distress 175 3 30 4
Health Distress
Overall %
Percentage Correct 98.3 11.8 84.4
Sumber: Data diolah
Persentase ketepatan model dalam mengklasifikasikan observasi adalah sebesar 84.4%. Ini menunjukkan dari 212 observasi, terdapat 179 observasi yang tepat pengklasifikasian berdasarkan model regresi logistik yang digunakan. Berdasarkan table diatas, maka dapat disimpulkan bahwa model signifikan dan variable karakteristik usaha dapat digunakan sebagai prediktor atas kondisi financial distress UMKM. Uji Hipotesis (Uji Parsial) dan Pembentukan Model Pada uji ini dapat dilihat variabel mana saja dari firm characteristics yang dapat digunakan sebagai prediktor financial distress UMKM seperti yang Nampak pada Tabel 4.4 berikut ini. Tabel 4. Tabel Klasifikasi EBITDA
B -.003
S.E. .001
Wald 4.947
Sig. .026*
Exp(B) .997 663
LIABILITY ACTIVITY OWNERSHIP OWNERSHIP(1) OWNERSHIP(2) LOCATION(1) SECTOR SECTOR(1) SECTOR(2) SECTOR(3) SECTOR(4) SECTOR(5) SECTOR(6)
.262 .000
1.117 .001
.245 -.256 -1.657
.549 .820 .484
2.414 -.511 .048 .313 -.363 .055
1.054 1.262 .711 .573 .559 1.198
.055 .106 .703 .200 .098 11.702 8.072 5.244 .164 .005 .298 .423 .002
.815 .744 .704 .655 .755 .001* .233 .022* .686 .946 .585 .515 .964
1.300 1.000 1.278 .774 .191 11.183 .600 1.049 1.367 .695 1.056
Sumber: Data diolah * signifikan pada level 0.05 (one tailed)
Berdasarkan hasil diatas diketahui bahwa hanya variable EBITDA sebagai indikator laba UMKM yang merefleksikan cash flows solvability UMKM pada variabel firm characteristic yang berpengaruh pada kondisi financial distress UMKM. Disamping itu variabel kontrol berupa lokasi UMKM dan pilihan sektor industri juga ikut berkontribusi dalam menurunkan atau meningkatkan potensi distress. Berdasarkan interpertasi odds ratio yang nampak dari hasil Exp (B) pada tabel diatas dapat dijelaskan: 1. Jika EBITDA (profitabilitas) UMKM turun 1 unit maka potensi UMKM berada dalam kondisi financial distress meningkat sebesar 0.997 kali lipat. 2. UMKM yang berlokasi tidak di perkotaan (pedesaan) maka kecenderungan mengalami distress sebesar 0.919 lebih besar daripada UMKM yang berlokasi di kota. 3. Pilihan sektor industri juga memiliki konsekuensi atas risiko kesulitan keuangan UMKM, yaitu sebesar 11.183 jika memilih sektor dasar dan kimia (sektor 2). Diskusi dan Pembahasan UMKM sebagai sebuah unit usaha dengan risiko financial distress yang tinggi, cenderung untuk mengurangi pinjaman pada lembaga keuangan dibandingkan dengan yang risikonya rendah (Ross, et.al, 2010). Namun ternyata liabilitas sebagai variabel pengukur keputusan pendanaan UMKM tidak bisa menjelaskan pengaruhnya pada kemungkinan terjadinya financial distress. Begitu juga dengan aktivitas UMKM yang ditunjukkan lewat perputaran modal kerja UMKM tidak memberi pengaruh sebagai prediktor kondisi financial distress. Akan tetapi berdasarkan Ross, et. al (2010) bahwa financial distress bisa diukur melalui flow based insolvency, yaitu terjadi jika arus kas perusahaan tidak dapat memenuhi kewajiban yang akan jatuh tempo, diukur dengan EBITDA, maka variabel ini terbukti mampu menjadi prediktor kemungkinan terjadinya masalah pada UMKM. Hal ini menunjukkan risiko bisnis merupakan risiko yang dijadikan pertimbangan lebih apakah UMKM kemungkinan menghadapi kesulitan, bukan berdasarkan keputusan pendanaannya (risiko finansial). UMKM menutup usahanya tidak semata-mata karena persoalan keuangan seperti pandangan Watson & Everett (1996) terbukti karena seringkali alasan teknis seperti lokasi UMKM menjadi pertimbangan dalam mendapatkan akses pendanaan dari lembaga keuangan. 664
Lokasi UMKM di perkotaan memudahkan akses pada informasi yang lebih simetris pada kredit perbankan ((Michala et.al ,2013), juga karena persoalan akses teknologi dalam membantu pengembangan produk dan kualitas jasa UMKM. Lokasi di perkotaan memungkinkan UMKM meningkatkan kemampuan bersaing dengan baik sehingga kemampuan berkembangnya semakin besar guna menghindari kemungkinan berada dalam kondisi financial distress. Persoalan teknis lainnya sebagai pertimbangan adalah pilihan sektor industri mempengaruhi kemungkinan terjadinya financial distress. Sektor yang memiliki risiko besar dengan tingkat kompleksitas tinggi seperti industri dasar dan kimia mempengaruhi UMKM dalam menghadapi kemungkinan risiko finansial. Hal ini bisa dijelaskan melalui persyaratan kemampuan dan ketrampilan yang dibutuhkan pada industri ini kemungkinan tidak didukung oleh kapasitas sumber daya UMKM, akibatnya pilihan industri menentukan keberhasilan atau kegagalan usaha yang pada gilirannya berakibat pada ancaman financial distress.
KESIMPULAN Berdasarkan hasil analisis dan pembahasan dapat ditarik kesimpulan bahwa hipotesis firm characteristics memiliki kemampuan untuk menjadi prediktor financial distress UMKM. Prediktor berbasis flow based insolvency berupa EBITDA dapat menjelaskan kondisi kesehatan UMKM. Lokasi keberadaan UMKM dan pilihan sector industry oleh UMKM memperjelas hubungan tersebut. Temuan ini semakin menarik karena pada dasarnya pemilik UMKM cenderung menjalankan usahanya sebagai unit bisnis yang digunakan untuk keperluan bisnis dan bukan sampingan. Akses pada lembaga keuangan menjadi dasar mengapa lokasi dapat memperjelas hubungan ini. Begitu juga kompleksitas sektor industry yang dipilih membutuhkan kemampuan sumber daya manusia yang lebih terampil mendukung dan memperjelas hubungan ini. Penelitian ini masih memiliki beberapa keterbatasan, antara lain : a. Cakupan penelitian ini hanya pada UMKM di Surabaya dan sekitarnya. Penambahan luas populasi akan membantu melihat prespektif UMKM secara lebih luas. b. Penelitian ini karena sifatnya bukan data historis, maka perubahan perilaku UMKM tidak dapat dijelaskan dalam kaitannya dengan pertumbuhan usaha UMKM dan skala UMKM. Berdasarkan hasil pembahasan, simpulan, dan keterbatasan penelitian yang disebutkan diatas, berikut ini adalah beberapa saran yang diharapkan dapat melengkapi penelitian selanjutnya : a. Penelitian selanjutnya perlu memperluas cakupan ke seluruh Indonesia. b. Penelitian selanjutnya juga perlu diperluas dengan mengkaji rasio firm characteristics lainnya dalam kaitannya dengan flow based insolvency basis. Perlu mempertimbangkan pendekatan lain yaitu stock based insolvency. c. Penelitian selanjutnya bisa mengakomodasi perubahan perilaku UMKM dan tanggapannya atas risiko.
665
DAFTAR PUSTAKA Allen, J. and Phillips, G.M., (2000) ‘Corporate equity ownership, strategic alliances and product market relationships’, Journal of Finance 55(6): 2791-2815. Altman, E.I. (1968), ‘Financial Ratios, Determinant Analysis and The Prediction of Corporate Bankrupcty’, Journal of Finance, 23(4); 589-609. Berger, A.N., Frame, N.W.S., and Miller, N.H. (2005) ‘Credit Scoring and The Availability, Price and Risk of Small Business Credit’, Journal of Money, Credit and Banking, 37(2): 191-222. Berger, A.N., and Udell, G.F. (2006) ‘A More Complete Conceptual Framework about SME Finance’, Journal of Banking and Finance, 30(11): 2945-2966. Copeland, T. and Weston, J.F., (1988), Financial Theory and Corporate Finance, AddisonWesley. De Young, R., Glennon, D., and Nigro, S.P. (2008), ‘Borrower-Lender Distance, Credit Scoring and Loan Performance: Evidence from Informational-Opaque Small Business Borrowers’, Journal of Financial Intermediation , 17(1); 113-143 Edminister, R.O. (1972), ‘An Empirical Test of Financial Ratio Analysis for Small Business Failure Prediction’, Journal of Finance and Quantitative Analysis, 7(2); 1477-1493. Fama, E.F. and Jensen, M.C. (1985), ’Organizational forms and investment decisions’, Journal of Financial Economics 14(1) 101-119. Fernandez, Z. and Nieto, M.J., (2006), ‘Impact of ownership on the international involvement of SMEs’ , Journal of International Business Studies 37(3) 340-351. Frame, W.S., Srinivaran, A., and Woosley, L. (2001), ‘The Effect of Credit Scoring on Small Business Lending’, Journal of Money, Credit, and Banking 33(3); 813-825. Gilson, S.C., and Vetsuypens, M.R. (1993), ‘CEO Compensation in Funancially Distressed Firms: An Empirical Analysis’, Journal of Finance 48(2); 425-458. Jensen, M.C., and Meckling, W.H., (1976), ‘Theory of the firm: managerial behavior, agency costs and ownership structure’, Journal of Financial Economics 3(4): 305-360. Harner, M.M., (2011), Mitigating Financial Risk for Small Business Entrepreneurs, Ohio State Entrepreneur Business Law Journal 6(2) 469-489. Headd, B. (2003), ‘Redifining Business Success: Distinguishing between Closure and Failure’, Small Business Economics, 21(10), 51-61. Knight, G., (2001), ‘Entrepreneurship and Strategy in The International SME’, Journal of International Management 7(3): 155-172. Lu, J.W. and Beamish, P.W., (2001), ‘The Internationalization and Performance of SMEs’ Strategic Management Journal 22(6/7): 565-586. Michala, D., Grammatikos, T., and Filipe, S.F., ‘Forecasting Distress in European SME Portfolios’, Proceeding of The First International Conference on Finance and Banking, Sanur Bali, 11-12 December 2013. Megginson, W.L., (1997), Corporate Finance Theory, Addison-Wesley. Merton, R.C. (1974), ‘On the Pricing of Corporate of Interest Rates’, The Journal of Finance, 29(2), 449-470. Poza, E. (2004), Family Business, Thomson South-Western Publishing, Mason: Ohio. Ross, S.A., Westefild, R., and Jaffe, J. (2010), Corporate Finance, 9th Edition, McGraw Hill/Irwin Series. 666
Watson, J.E. (1993), ‘Defining Small Business Failure’, International Small Business Journal, 3(11); 35-48. Shrader, R.C., and Simon, M., (1997), ‘Corporate versus Independent New Ventures: Resource, Strategy and Performance Differences’, Journal of Business Venturing 12(1): 47-66. Thomsen, S. and Pedersen, T., (2000), ‘Ownership Structure and Economic Performance in The Largest European Companies’ Strategic Management Journal 21(6): 689-705.
667
STOCK REPURCHASE DAN FAKTOR-FAKTOR YANG MEMPENGARUHINYA PADA PERUSAHAAN YANG TERDAFTAR DI BEI Oleh: Nurul Safitri1), Munasiron1) E-mail:
[email protected] 1)
Fakultas Ekonomi Universitas Pembangunan Nasional “ Veteran” Jakarta
ABSTRACT This study aims to examine the existence of significant influence or otherwise of the variable Free Cash Flow, Price Earning Ratio and Leverage on Stock Repurchase on companies listed on the Stock Exchange in 2011. The population in this study are all companies listed on the Stock Exchange are doing Stock Repurchase in 2011. Data obtained from the published financial statements of the company. Obtained a total sample of 25 companies. The analysis technique used is multiple linear regression and hypothesis testing using the F test and t test with a confidence level of 5%. The results showed that Free Cash Flow is partially demonstrate significant value of 0.029 <0.05 (p value> 0.05), Price Earning Ratio partially showed insignificant value of 0.729> 0.05 (p value> 0.05), and leverage also showed significant results for 0.016 <0.05 (p value <0.05),. The results achieved in this study is expected to be a material consideration for the company's progress and useful for writers as well as those reading this paper.
Keywords: Free Cash Flow, Price Earning Ratio, Leverage and Stock Repurchase
PENDAHULUAN Krisis ekonomi yang terjadi pada tahun 2007-2009 berdampak pada pertumbuhan ekonomi Indonesia menjadi melambat. Ini terlihat dari pertumbuhan ekonomi Indonesia sebesar 6,3% di tahun 2007, menjadi 6,1% pada tahun 2008 dan 6,2% di tahun 2009. Dampak krisis, banyak perusahaan yang melakukan efisiensi. Artinya perusahaan berusaha untuk melakukan efisiensi sehingga dapat menghemat biaya operasional perusahaan. Salah satu cara yang memungkinkan untuk menggunakan keuntungan yang ditahan yaitu dengan cara membeli kembali saham (stock repurchase) yang sudah dijual ke publik. Stock repurchase merupakan suatu transaksi dimana sebuah perusahaan membeli kembali sahamnya sendiri. Selanjutnya jumlah saham beredar yang dimiliki oleh perusahaan akan berkurang sehingga akan menaikkan earning pershare.Ketika sebuah perseroan membeli kembali sahamnya (stock repurchase) yang telah dilepas ke publik akan mengurangi saham yang dipegang oleh publik. Maka dengan melakukan pembelian kembali saham tersebut, harga saham-saham akan menjadi stabil dan tetap terjaga kestabilannya. Sebab stock repuchase 668
mengurangi jumlah saham yang beredar di pasar. Setelah stock repuchase ada kemungkinan harga saham naik (Dittmar, 2000). Di Amerika, jika perusahaan melakukan stock repurchase, dengan cara tender offer maka perusahaan akan menawar harga pembelian saham diatas harga saham. Sehingga perusahaan akan memperoleh keuntungan yang didapat dari capital gain saham tersebut. Namun stock repurchase sendiri masih banyak dilakukan oleh perusahaan diluar negri dibandingkan pada perusahaan di Indonesia (Mulia, 2009). Penyebabnya karena dana yang digunakan untuk melakukan stock repurchase membutuhkan dana yang cukup besar dan tidak semua perusahaan dapat melakukan hal tersebut. Pemerintah telah memutuskan untuk mengucurkan dana sebesar Rp 4 triliun yang akan digunakan untuk membantu emiten Badan Usaha Milik Negara (BUMN) membeli kembali sahamnya. Dimana emiten BUMN yang mendapatkan bantuan dana tersebut dipilih perusahaan yang kondisi fundamentalnya bagus. Dari penjelasan yang telah diuraikan di atas dapat disampaikan permasalahan yaitu bagaimana pengaruh free cash flow, price earning ratio dan leverage terhadap stock repurchase. Stock Repurchase atau Buy back adalah keputusan yang dilakukan dengan membeli kembali saham yang telah dijual di pasar dengan dasar pertimbangan bahwa saham itu layak untuk dibeli serta perusahaan memliki ketersediaan dana kas yang mencukupi. (Irham fahmi, 2012:135) Jika hanya sebagian dari saham yang beredar yang dibeli kembali, maka akan terdapat lebih sedikit jumlah saham yang masih beredar. Dengan berasumsi pembelian kembali tersebut tidak memiliki pengaruh yang merugikan kepada laba perusahaan dimasa depan, laba per lembar saham dari sisa saham yang tersisa akan naik. Free cash flow yang berarti arus kas yang benar-benar tersedia untuk didistribusikan kepada seluruh investor (pemegang saham dan pemilik utang) setelah perusahaan menempatkan seluruh investasinya pada aktiva tetap, produk-produk baru, dan modal kerja yang dibutuhkan untuk mempertahankan operasi yang sedang berjalan. Untuk lebih spesifik lagi, nilai dari operasi sebuah perusahaan akan bergantung pada seluruh arus kas bebas yang diharapkan di masa mendatang, yang didefinisikan sebagai laba operasi setelah pajak minus jumlah investasi pada modal kerja dan aktiva tetap yang dibutuhkan untuk mempertahankan bisnis. (Brigham dan Houston, 2006:65-66) Price eraning ratio (PER) merupakan ratio pasar yang mengindikasikan penghargaan investor terhadap kinerja perusahaan yang ditunjukkan dalam earning per share. (Dr. Nor Hadi (2013:82). Makin tinggi PER suatu saham, maka semakin mahal saham tersebut terhadap pendapatan bersih saham tersebut. bagi para investor, semakin tinggi Price Earning Ratio maka pertumbuhan laba yang diharapkan juga akan mengalami kenaikan. Dengan begitu, Price Earning ratio (rasio harga terhadap laba) adalah perbandingan antara market price pershare (harga pasar perlembar saham) dengan earning pershare (laba perlembar saham). Earning pershare atau pendapatan perlembar saham adalah bentuk pemberian keuntungan yang diberikan kepada para pemegang saham dari setiap lembar saham yang dimiliki. (Irham Fahmi, 2012:97) Leverage keuangan merupakan penggunaan dana dengan beban tetap dengan harapan atas penggunaan tersebut akan memperbesar pendapatan per lembar saham (earning per share, EPS). (Martono dan D. Agus, 2011: 321). Nilai leverage keuangan positif atau negatif dinilai berdasarkan pengaruh leverage yang dimiliki terhadap perdanaan per lembar saham (EPS). 669
METODE PENELITIAN Sampel yang digunakan dalam penelitian ini adalah dengan menggunakan purposive sampling. Dengan sample 25 perusahaan yang berada di BEI yang melakukan Stock Repurchase pada tahun 2011. Adapun kriteria yang digunakan dalam pengambilan sample dalam penelitian ini adalah Perusahaan yang telah melaksanakan stock repurchase, bukan hanya mengumumkan stock repurchase tetapi benar-benar melaksanakannya. Dalam penelitian ini peneliti menggunakan data sekunder yang berupa laporan keuangan perusahaan yang terdaftar di BEI.
DEFINISI OPERASIONAL DAN PENGUKURAN VARIABEL a.
Variabel Dependen (Variabel Terikat) Stock Repurchase (Y) Stock Repurchase adalah keputusan yang dilakukan dengan membeli kembali saham yang telah dijual di pasar dengan dasar pertimbangan bahwa saham itu layak untuk dibeli serta perusahaan memliki ketersediaan dana kas yang mencukupi.
b.
Variabel Independent 1. Free Cash Flow (X1) Free Cash Flow merupakan arus kas yang tersedia untuk didistribusikan kepada para investor setelah perusahaan melakukan investasi-investasi dalam asset-asset tetap dan modal kerja yang penting untuk kelangsungan operasi perusahaan.
2. Price Earning Ratio Price Earning Ratio merupakan ratio pasar yang mengindikasikan penghargaan investor terhadap kinerja perusahaan yang ditunjukkan dalam earning per share (EPS). Atau perbandingan antara market price pershare (harga pasar perlembar saham) dengan earning pershare (laba perlembar saham).
670
3. Leverage Leverage merupakan tingkat sampai sejauh mana utang digunakan dalam sebuah struktur modal perusahaan. Mengikuti Mitchell dan Dharmawan (2007), menggunakan rasio debt to equity untuk mengukur leverage masing-masing perusahaan.
KERANGKA PEMIKIRAN DAN HIPOTESIS PENELITIAN
Hipotesis Penelitian 1. Free Cash Flow berpengaruh terhadap Stock Repurchase 2. Price earning ratio berpengaruh terhadap stock repurchase 3. Leverage berpengaruh terhadap stock repurchase TEKNIS ANALISIS DATA a. Model Regresi Metode analisis data yang akan digunakan dalam penelitian ini adalah regresi berganda dengan menggunakan program SPSS. Analisis regresi berganda adalah analisis yang digunakan untuk mengukur kekuatan hubungan antara dua variable atau lebih, selain itu juga untuk menunjukkan arah hubungan antara variable dependen dengan variable independen (Ghozali, 2005:82). Persamaan analisis regresi berganda dapat dirumuskan sebagai berikut: Y = β0 + β1X1 + β2X2 + β3X3 + e Dimana: Y = stock repurchase X1 = free cash flow X2 = price earning ratio X3 = leverage β0 = Konstanta 671
β1...β3 = koefisien regresi e = error term b. Uji Asumsi Klasik Pengujian asumsi klasik berguna untuk mengetahui apakah data yang digunakan telah memenuhi ketentuan dalam model regresi. Pengujian ini meliputi: Uji Multikolinearitas Uji Multikolinearitas adalah suatu keadaan yang satu atau lebih variable bebasnya terdapat korelasi dengan variable bebas lainnya. Uji multikolinearitas bertujuan untuk menguji apakah model regresi ditemukan adanya korelasi antar variabel bebas (independen). Uji Autokorelasi Autokorelasi bertujuan menguji apakah dalam model regresi linear ada korelasi antara kesalahan pengganggu pada periode t dengan kesalahan pengganggu pada periode t1 (sebelumnya). Jika terjadi korelasi, maka dinamakan ada problem autokorelasi. Uji Heterokedastisitas Heterokedastisitas betujuan menguji apakah dalam model regresi terjadi ketidaksamaan variance dari residual satu pengamatan ke pengematan yang lain. Jika variance dari residual satu pengamatan ke pengamatan yang lain tetap, maka disebut homoskedastisitas dan jika berbeda disebut heterokedastisitas. Uji Normalitas Uji normalitas bertujuan untuk menguji apakah dalam model regresi, variable pengganggu atau residual memiliki distribusi normal. Jika asumsi ini dilanggar maka uji statistik menjadi tidak valid (Ghozali, 2005: 110). c. Uji Hipotesis Uji F( Uji Simultan) Uji F menunjukkan apakah semua variabel independen yang dimasukan dalam model mempunyai pengaruh secara bersama-sama terhadap variabel dependen. Jika ρvalue < 0.05 berarti Hipotesis yang diajukan diterima, variabel independen berpengaruh secara bersama-sama terhadap variabel dependen. Jika ρ-value > 0.05 berarti Hipotesis yang diajukan ditolak, variabel independen tidak berpengaruh secara bersama-sama terhadap variabel dependen. Uji t ( Uji Parsial) Uji statistik t adalah uji yang menunjukkan pengaruh satu variabel independen secara individual terhadap variabel dependen. Uji statistik t digunakan untuk menguji pengaruh masing-masing variabel independen yang digunakan secara parsial Uji Koefisien Determinasi (R2) Koefisien determinasi ( ) pada intinya mengukur seberapa jauh kemampuan model dalam menerangkan vaiasi variable dependen. Nilai
yang kecil berarti 672
kemampuan variabel-variable independen dalam menjelaskan suatu variasi variabel dependen amat terbatas.
PEMBAHASAN Descriptive Statistics N
Minimum
Maximum
Mean
Std. Deviation
Free Cash low
16
6,96
13,99
11,1016
1,54353
Price Earning Ratio
16
2,57
50,44
14,5097
11,61930
DER
16
,07
4,06
,9008
,94445
Stock Repurchase
16
,00
,10
,0290
,03166
Valid N (listwise)
16
Sumber : data table IV.7
Berdasarkan tabel IV.12 menjelaskan bahwa: 1. Pada variabel Free Cash Flow (X1) dengan 16 sampel perusahaan memiliki nilai minimum sebesar 6,96, nilai maksimum sebesar 13,99, nilai rata-rata sebesar 11,1016, dan standar deviasi sebesar 1,54353. Terendah : PT Bumi Resources, Tbk Tertinggi : PT Telekomunikasi Indonesia, Tbk 2. Pada variabel Price Earning Ratio (X2) dengan 16 sampel perusahaan memiliki nilai minimum sebesar 2,57, nilai maksimum sebesar 50,44, nilai rata-rata sebesar 14,5097, dan standar deviasi sebesar 11,61930. Terendah : PT Surya Citra Media,Tbk Tertinggi : PT Bukit Darmo Property, Tbk 3. Pada variabel Leverage (X3) dengan 16 sampel perusahaan memiliki nilai minimum sebesar 0,07,nilai maksimum sebesar 4,06, nilai rata-rata sebesar 0,9008, dan standar deviasi sebesar 0,94445 Terendah : PT Global Land Development, Tbk Tertinggi : PT Bumi Resources, Tbk 4. Pada variabel Stock Repurchase (Y) dengan 16 sampel perusahaan memiliki nilai minimum sebesar 0,00, nilai maksimum sebesar 0,10, nilai rata-rata 0,0290, dan standar deviasi 0,03166 Terendah : PT Aneka Tambang Tbk, PT Asuransi Dayin Mitra, Tbk, PT Bakrieland Development, Tbk, PT Media Nusantara Citra, Tbk dan PT Surya Citra Media,Tbk Tertinggi : PT Global Land Development, Tbk
673
HASIL ANALISIS ASUMSI KLASIK Hasil Uji Multikolinearitas Coefficients Model
Unstandardized
Standardized
Coefficients
Coefficients
B (Constant) Free Cash low
a
Std. Error
Beta
Collinearity Statistics
Tolerance
VIF
,224
,077
-,015
,006
-,738
,542
1,845
,000
,001
-,083
,886
1,129
-,027
,010
-,801
,589
1,699
1 Price Earning Ratio DER a.
Dependent Variable: Stock Repurchase
Dari Hasil tabel diatas menunjukkan bahwa pada tahun 2011 nilai Variance Inflation Faktor (VIF) dari Free Cash flow sebesar 1,845, Price Earning Ratio sebesar 1,129 dan DER 1,699. Nilai VIF untuk semua variabel independent masih lebih kecil dari pada 10 (VIF < 10). Maka dapat disimpulkan bahwa ketiga variabel independen dalam penelitian ini tidak ditemukan adanya masalah multikolinearitas.
Hasil Uji Autokorelasi b
Model Summary Model
1
R
,652
R Square
a
,425
Adjusted R
Std. Error of the
Square
Estimate ,282
,02683
Durbin-Watson
2,089
a. Predictors: (Constant), DER, Price Earning Ratio, Free Cash Flow b. Dependent Variable: Stock Repurchase
Berdasarkan hasil analisis perhitungan diatas, nilai DW sebesar 2,089. Sedangkan nilai DU diperoleh sebesar 1,7277 dan dL sebesar 0,8572. Dengan demikian menunjukkan bahwa model regresi nilai DW berada diantara dU dan 4-dDL, maka dapat disimpulkan bahwa tidak ada autokorelasi positif atau negatif. Hasil Uji Heterokedastisitas
674
Dari gambar diatas Nampak bahwa titik-titik yang ada membentuk pola yang tidak teratur dan menyebar diatas maupun dibawah angka nol, yang menandakan tidak terjadi heterokedastisitas. Hasil Uji Normalitas
Hasil normalitas dalam penelitian ini menunjukkan bahwa variabel pengganggu atau residual telah terdistribusi normal. Sehingga model regresi dalam penelitian ini telah memenuhi asumsi normalitas Hasil Analisis Regresi Berganda Coefficients Unstandardized
Standardized
Coefficients
Coefficients
B (Constant) Free Cash low
a
Std. Error
,224
,077
-,015
,006
,000 -,027
t
Sig.
Beta 2,902
,013
-,738
-2,482
,029
,001
-,083
-,355
,729
,010
-,801
-2,807
,016
1 Price Earning Ratio DER
a.Dependent Variable: Stock Repurchase
PERSAMAAN REGRESI : Y = 0,224 – 0,015 Free Cash Flow + 0,000 Price Earning Ratio – 0,027 Leverage 675
Dari persamaan dapat diuraikan sebagai berikut : a. b.
c.
d.
Konstanta sebesar 0,224 : artinya jika Free Cash Flow (X1), Price Earning Ratio (X2) dan Leverage (X3) nilainya konstan, maka Stock Repurchase (Y) adalah 0,224. Koefisien regresi Free Cash Flow (X1) sebesar –0,015 : artinya jika Free Cash Flow mengalami kenaikan, maka Stock Repurchase akan mengalami penurunan sebesar 0,015 dengan asumsi variabel independen yang lain nilainya tetap. Koefisien regresi Price Earning Ratio (X2) sebesar 0,000 : artinya jika Price Earning Ratio mengalami kenaikan, maka Stock Repurchase akan mengalami penurunan sebesar 0.000 dengan asumsi variabel independen yang lain nilainya tetap. Koefisien regresi Leverage (X3) sebesar –0,027 : artinya jika Leverage mengalami kenaikan, maka Stock Repurchase akan mengalami penurunan sebesar 0,027 dengan asumsi variabel independen yang lain nilainya tetap. HASIL UJI HIPOTESIS Hasil Uji F a
ANOVA Model
1
Sum of Squares
df
Mean Square
Regression
,006
3
,002
Residual
,009
12
,001
F
Sig.
2,961
,075
b
Total ,015 15 a. Dependent Variable: Stock Repurchase b. Predictors: (Constant), DER, Price Earning Ratio, Free Cash Flow
Dari hasil pengujian SPSS diperoleh hasil Fhitung sebesar 2,961 dan dimana nilai tingkat signifikansi sebesar 0.075 dengan tingkat probabilitas (5% = 0.05). Sehingga dapat disimpulkan bahwa Free Cash Flow, Price Earning Ratio dan Leverage secara bersama-sama tidak mempunyai pengaruh yang signifikan terhadap Stock Repurchase. Ini berarti Ho diterima. Hasil Uji t (Parsial) Coefficients Model
Unstandardized
Standardized
Coefficients
Coefficients
B (Constant) Free Cash low
a
Std. Error ,224
,077
-,015
,006
,000 -,027
t
Sig.
Beta 2,902
,013
-,738
-2,482
,029
,001
-,083
-,355
,729
,010
-,801
-2,807
,016
1 Price Earning Ratio DER
a. Dependent Variable: Stock Repurchase
676
Dari tabel diatas dibuktikan bahwa Free Cash Flow menunjukkan nilai yang signifikan sebesar 0,029 < 0,05 hal ini berarti H1 ditolak yang artinya bahwa Free Cash Flow memiliki pengaruh terhadap Stock Repurchase. Price Earning Ratio menunjukkan nilai yang tidak signifikan sebesar 0,729 > 0,05 hal ini berarti H2 diterima yang artinya bahwa Price Earning Ratio tidak memiliki pengaruh terhadap Stock Repurchase. Leverage menunjukkan nilai yang signifikan sebesar 0,016 < 0,05 hal ini berarti H3 ditolak yang artinya bahwa Leverage memiliki pengaruh terhadap Stock Repurchase. Hasil Uji Koefisien Determinasi (R2) b
Model Summary Model
R
R Square
Adjusted R
Std. Error of the
Square
Estimate
a
1 ,652 ,425 ,282 ,02683 a. Predictors: (Constant), DER, Free Cash Flow, Price Earning Ratio b. Dependent Variable: Stock Repurchase
Durbin-Watson
2,089
Dari tabel di atas di ketahui bahwa koefisien determinasi yang ditunjukkan dari nilai Adjusted R Square sebesar 0,282. Hal ini berarti 28,2% angka tersebut memberikan arti bahwa bahwa Stock Repurchase dijelaskan oleh Free Cash Flow, Price Earning Ratio, dan Leverage sebesar -28,2%, sedangkan sisanya sebesar 71,8% dipengaruhi atau dijelaskan oleh variabel lain yang tidak dimasukan dalam model penelitian ini.
PEMBAHASAN Setelah melakukan penelitian mengenai faktor-faktor yang mempengaruhi Stock Repurchase yang terdiri dari Free Cash Flow, Price Earning Ratio, Leverage tahun 2011. Berdasarkan hasil penelitian secara bersama-sama menunjukan bahwa nilai Fhitung sebesar sebesar 2,961 dan dimana nilai tingkat signifikansi sebesar 0.075 dengan tingkat probabilitas (5% = 0.05). Sehingga dapat disimpulkan bahwa Free Cash Flow, Price Earning Ratio dan Leverage secara bersama-sama tidak mempunyai pengaruh yang signifikan terhadap Stock Repurchase. Pengujian terhadap Free Cash Flow Hasil analisis regresi menunjukan bahwa Free Cash Flow berada pada angka 0,029. Nilai tersebut menunjukan nilai signifikan sebesar 0,029 < 0,05 hal ini berarti Ho ditolak. Jadi dapat disimpulkan bahwa hipotesis Free Cash Flow memiliki pengaruh negatif dan signifikan terhadap Stock Repurchase. Sehingga hipotesis yang telah dibangun sebelumnya diterima (H1 diterima). Hal ini sesuai dengan penelitian Ana Mufidah (2011) yang menyatakan bahwa Free Cash Flow berpengaruh positif dan signifikan karena perusahaan sudah memiliki dana internal untuk membiayai pelaksanaan stock repurchase tersebut.
677
Pengujian terhadap Price Earning ratio Hasil analisis regresi menunjukkan signifikansi berada pada angka 0,729 tersebut lebih besar dari yang ditetapkan, yaitu α = 0,05, Jadi dapat disimpulkan bahwa hipotesis Price Earning Ratio tidak berpengaruh secara signifikan. Sehingga hipotesis yang telah dibangun sebelumnya ditolak (H2 ditolak). Penyebabnya karena perusahaan menghasilkan laba yang kecil sehingga menyebabkan penurunan nilai saham dimasa mendatang. Pengujian terhadap Leverage Hasil analisis regresi menunjukkan signifikansi berada pada angka 0,016. Nilai tersebut menunjukan nilai signifikan sebesar 0,016 < 0,05 hal ini berarti Ho ditolak. Jadi dapat disimpulkan bahwa hipotesis Leverage mempunyai pengaruh negatif dan signifikan. Sehingga hipotesis yang telah dibangun sebelumnya diterima (H3 diterima). Hal ini sesuai dengan penelitian Aloysius Aditya Mastan (2012) yang menyimpulkan bahwa variabel Leverage berpengaruh terhadap Stock Repurchase. Hal ini disebabkan karena pembelian kembali saham dapat digunakan untuk mendistribusikan kelebihan dana kepada pemegang saham dan ketika perusahaan mendistribusikan modal ini, mengurangi ekuitas dan meningkatkan rasio leverage. Lalu pada penelitian yang dilakukan oleh Eddy Suranta, Pratana Puspa Midiastuty dan R. Ryan Mulya Wijaya (2012) menyatakan bahwa leverage berpengaruh negatif terhadap keputusan perusahaan melakukan Share Repurchase. Dalam keputusan melakukan Share Repurchase bukan hanya karena tidak adanya kesempatan investasi saja, melainkan adanya tingkat utang perusahaan yang rendah.
KESIMPULAN Kesimpulan a. Hasil penelitian menunjukkan bahwa Free Cash Flow dan Leverage berpengaruh terhadap Stock Repurchase lalu Price Earning Ratio tidak mempunyai pengaruh yang signifikan terhadap Stock Repurchase. b. Hasil penelitian menunjukkan bahwa variabel Free Cash Flow secara parsial menunjukkan nilai yang signifikan sebesar 0,029 < 0,05 (p value < 0.05). c. Hasil penelitian menunjukkan bahwa variabel Price Earnng Ratio secara parsial menunjukkan nilai yang tidak signifikan sebesar 0,729 > 0,05 (p value > 0.05). d. Hasil penelitian menunjukkan bahwa variabel Leverage secara parsial menunjukkan nilai yang tidak signifikan sebesar 0,016 < 0,05 (p value < 0.05). e. Koefisien determinasi yang ditunjukkan dari nilai Adjusted R Square sebesar 0,282. Hal ini berarti 28,2% angka tersebut memberikan arti bahwa bahwa Stock Repurchase dijelaskan oleh Free Cash Flow, Price Earning Ratio, dan Leverage sebesar -28,2%, sedangkan sisanya sebesar 71,8% dipengaruhi atau dijelaskan oleh variabel lain yang tidak dimasukan dalam model penelitian ini. Saran Beberapa pertimbangan yang perlu dipertahankan dalam mengembangkan dan memperluas penelitian ini antara lain : 1. Diharapkan untuk penelitian selanjutnya agar dilakukan penelitian yang serupa dengan jangka waktu penelitian yang di perpanjang dan dengan menggunakan model analisis yang berbeda. 678
2. 3.
Bagi peneliti selanjutnya yang akan melakukan penelitian dengan topik yang sama akan lebih baik jika menambahkan sampel dalam penelitian yang akan dilakukan. Bagi peneliti selanjutnya yang akan melakukan penelitian dengan topik yang sama disarankan untuk menambah atau mengganti beberapa variabel yang mempengaruhi keputusan stock repurchase yang telah diteliti sebelumnya. Hal ini disebabkan karena adanya variabel-variabel lain diluar variabel yang diteliti yang dapat menjelaskan hubungan antara variabel dependen dan independen. DAFTAR PUSTAKA
David Ikenberry, Josef Lakonishok & Theo Vermaelen. 2000. Stock Repurchase in Canada: Performance and Strategic Trading. The Journal of Finance. Volume 55, No. 5: 23732398 D. Agus & Martono. 2011. Manajemen Keuangan. Yogyakarta: Ekonisia. Eddy Suranta, Pratana Puspa Midiastuty & R. Ryan Mulya Wijaya. 2012. Keputusan Perusahaan melakukan Share Repurchase: Free Cash flow hypothesis ataukah Signaling Theory. Jurnal Akutansi dan Keuangan. Volume 2, No. 1:17:29 Fahmi Irham. 2011. Analisa Laporan Keuangan. Bandung: Alfabeta. Fahmi Irham. 2012. Pengantar Pasar Modal Indonesia. Bandung: Alfabeta. Ghozali, Imam. 2005. Aplikasi Analisis Multivariate dengan Program SPSS. Cetakan IV. Universitas Diponegoro. Husnan, Suad & Pudjiastuti, Enny. 2006. Dasar-Dasar Manajemen Keuangan. Edisi Kelima. Yogyakarta: UPP STIM YKPN Houston & Brigham. 2006. Fundamentals Of Management (Dasar-dasar Manajemen Keuangan). Buku 1 Edisi 10. Jakarta: Salemba Empat Houston & Brigham. 2011. Dasar-dasar Manajemen Keuangan. Buku 2 Edisi 2. Jakarta: Salemba Empat John & James. 2001. Prinsip-Prinsip Manajemen Keuangan. Edisi 9. Jakarta: Salemba Empat. Kristianti, Rina Adi. 2006. Stock Repurchase: Alternatif Pendistribusian Free Cash Flow Perusahaan?. Manajemen Usahawan Indonesia. Volume 35, No. 12: 48-54 Mastan, Aloysius Aditya. 2012. Analisis faktor-faktor yang mempengaruhi Stock Repurchase. Berkalah Ilmiah Mahasiswa Akutansi. Volume 1, No.2: 30-37 Mufidah, Ana. 2011. Stock Repurchase dan faktor-faktor yang mempengaruhinya. Jurnal Ekonomi Akutansi dan Manajemen. Volume X No. 2: 72-98 Nor Hadi. 2013. Pasar Modal. Edisi 1. Graha Ilmu: Indonesia Sartono, R agus. 2001. Manajemen Keuangan Teori dan Aplikasi. Edisi 4. Yogyakarta: BPFE-Yogyakarta Sitanggang, J.P. 2012. Manajemen Keuangan Perusahaan dilengkapi soal dan penyelesaian. Jakarta: Mitra wacana Media. Sudana, I Made. 2012. Manajemen Keuangan Perusahaan Teori dan Praktik. Jakarta: Salemba Empat Tandelilin, Eduardus. 2010. Portfolio dan Investasi Teori dan Aplikasi. Edisi Pertama. Yogyakarta: Kanisius Weston & Brigham. 1994. Dasar-dasar Manajemen Keuangan. Edisi Sembilan Jilid dua. Jakarta: Erlangga 679