TIM PENYUSUN LAPORAN HASIL PENELITIAN IDENTIFIKASI PRAKTIK POLITIK UANG PADA PEMILU LEGISLATIF 2014 DI KABUPATEN BENGKULU TENGAH
PENGARAH Asmara Wijaya, ST Dodi Herwansyah, S.Pd., M.M. Drs. Bj. Karneli Dra. Marlin Hasni Naray, M.TPd Supirman, S.Ag, M.H
PENANGGUNGJAWAB Raja Sahnan, SP., M.M.
TIM PENELITI Dr. Titiek Kartika Hendrastiti, MA. Wahyu Widiastuti, S.Sos, M.Sc
ANGGOTA TIM : Sofyan Okat, S.IP Martin Luther Manao, M.H., M.M Mahasiswa Fisip UNIB
DESAIN DAN LAY OUT Yetti Anggraini, S.I.Kom
Diterbitkan Oleh Komisi Pemilihan Umum Kabupaten Bengkulu Tengah Jl. Raya Bengkulu-Curup, Desa Taba Pasemah Kecamatan Talang Empat Telpon dan Fax (0736) 7312006
KATA PENGANTAR Assalamualaikum W.W Puji syukur kita panjatkan kepada Tuhan Yang Maha Esa oleh karena berkat pertolonganNyalah maka penelitian yang berjudul Identifikasi Praktik Politik Uang Pada Pemilu Legislatif 2014 di Kabupaten Bengkulu Tengah telah berhasil dilaksanakan dengan baik. Pada kesempatan ini perkenankan saya atas nama Komisi Pemilihan Umum Kabupaten Bengkulu Tengah menyampaikan apresiasi dan ucapan terima kasih kepada Tim Peneliti yakni Dr. Titiek Kartika Hendrastiti, MA, Wahyu Widiastuti, S.Sos, M.Sc dan anggota Tim Peneliti dari KPU Kabupaten Bengkulu Tengah serta mahasiswa Fisip UNIB yang telah berjerih lelah didalam melaksanakan penelitian ini. Kami juga menyampaikan ucapan terima kasih kepada para pimpinan partai politik, Panwaslu Bengkulu Tengah, Gakumdu, anggota DPRD Bengkulu Tengah, mantan caleg yang belum bisa meraih kursi pada pemilu legislative 2014, tokoh masyarakat, pemilih pemula, organisasi masyarakat, yang telah berperan aktif didalam penelitian ini melalui focus group discussion (FGD). Akhir kata kami berharap kiranya hasil penelitian ini dapat menjadi sumber informasi dan rujukan bagi para peneliti lainnya didalam melanjutkan pengembangan penelitian dibidang kepemiluan.
Ketua Asmara Wijaya, ST
i
DAFTAR ISI Halaman PENGANTAR DAFTAR ISI DAFTAR TABEL DAFTAR FIGUR DAFTAR FOTO BAB 1
BAB 2 BAB 3
BAB 4
BAB 5
BAB 6
PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Masalah: Keprihatinan terhadap Fenomena Politik Uang 1.2 Rumusan Masalah 1.3 Tujuan Penelitian KAJIAN PUSTAKA tentang POLITIK UANG METODE PENELITIAN 3.1 Tahapan Penelitian 3.2 Lokasi Penelitian 3.3 Peubah yang Diamati 3.4 Model yang Digunakan 3.5 Pelaksanaan Penelitian 3.6 Teknik Pengumpulan Data 3.7 Tahap Analisis DESKRIPSI WILAYAH KABUPATEN BENGKULU TENGAH 4.1 Sejarah Kabupaten Bengkulu Tengah 4.2 Geografi 4.3 Gambaran Sosial Budaya 4.3 Demografi 4.5 Pemilu dan Kasus Politik Uang ANALISIS DAN PEMBAHASAN 5.2 Pengkajian: Politik Uang … Ada atau Tidak ? a. Proses b. Pelaku yang Telibat dan Bentuk Politik Uang c. Besaran Politik Uang d. Lokus e. Reforming: Jadi … Apakah Politik Uang ada ? f. Rekonstruksi Poliik Uang: Penegakkan Hukum dan Cara Mengatasi KESIMPULAN REFERENSI
1 1 7 8 9 15 16 16 16 17 18 18 19 20 20 21 22 23 23 29 29 29 32 35 35 36 37 40
ii
DAFTAR TABEL
Tabel 1.1 Tabel 1.2 Tabel 4.1 Tabel 4.2
Data Indonesia Indicator dan Mabes Polri Kasus dan Besaran Politik Uang Kasus Politik Uang di Kabupaten Bengkulu Tengah Laporan Dana Kampanye Partai Politik
Halaman 4 5 26 27
iii
DAFTAR FIGUR
Figur 1. 1 Figur 1.2 Figur 1.3 Figur 1.4 Figur 1.5 Figur 1.6 Figur 2.1 Figur 2.2 Figur 2.3 Figur 3.1 Figur 4.1 Figur 4.2 Figur 4.3 Figur 4.4 Figur 4.5 Figur 4.6 Figur 5.1
Tren Peningkatan Kasus Politik Uang dalam Pileg EkPipos Modeia tentang Kasus Pelaksanaan Pileg Bentuk Kasus Pelanggaran yang Diekspos Media Proporsi Bentuk Politik Uang yang Ditemukan pada Pileg 2014 di 15 Propinsi di Indonesia Kasus Politik Uang yang Terindikasi dari Partainya Indikasi proporsi Keterlibatan Berbagai Pihak dalam Politik Uang Koneksitas Penyandang Dana dan Kebijakan dalam Konteks Politik Uang Eksklusi Pemilih dari HAsil Pileg Tren Lokus Politik Uang dalam Proses Pileg di Indonesia Siklus dan Proses Keberlanjutan Spiral dari kemmis dan McTaggart Proporsi Luas Wilayah Kabupaten Bengkulu Tengah per Kecamatan Data Kependudukan Kabupaten Bengkulu Tengah Tahun 2014 Persentase TPS di Empat Dapil Kabupaten Bengkulu Tengah DPT berdasar Dapil Dibandingkan DPKTB berdasar Dapil di Kabupaten Bengkulu Tengah, Pileg 2014 DPT yang Menggunakan Hal Pilih DPT dan DPKTB yang Menggunakan Hak Pilih Distorsi Proses Politik Uang
Halaman 2 2 3 4 5 7 12 13 14 17 22 23 24 24 25 26 31
iv
DAFTAR FOTO
Foto 5.1 Foto 5.2 Foto 5.3 Foto 5.4
Hasil Diskusi Politik Uang dan Bentuk Politik Uang Hasil Diskusi Pelaku yang Terlibat dalam Politik Uang Hasil Diskusi Politik Uang Hasil Pemetaan Politik Uang
Halaman 30 33 36 39
v
BAB I PENDAHULUAN
1.1. Latar Belakang Masalah: Keprihatinan terhadap Fenomena Politik Uang Pada
kurun
waktu
15
tahun
terakhir,
proses
demokratisasi di Indonesia berlangsung sangat cepat. Segera setelah meninggalkan sistem mobilisasi politik di masa pemerintahan Orde Baru, masyarakat Indonesia menjalani praktik demokrasi secara partisipatoris, terutama pada
sistem
Pemilu.
Sayangnya
proses
pemelajaran
partisipasi politik yang cepat itu, tidak seluruhnya berjalan menuju proses yang konstruktif dan positif. Promosi dan implementasi Pemilu langsung, baik Pemilu Legislatif, Pemilu Presiden, maupun Pemilu Kepala Daerah, merupakan strategi mempercepat transisi politik dan memperkuat sistem. Kabar gembiranya adalah, bahwa sebagian warganegara sebagai pemilih semakin mengerti tentang prinsip partisipasi politik. Mereka juga semakin punya semangat untuk meningkatkan literasi politiknya; mesti provisi dari negara masih kurang memadai. Efek yang kurang menggembirakan, yaitu menjamur nya kasus-kasus politik uang di setiap Pemilu. Frekuensi dan bentuk politik uang makin fenomenal, dan tak terbendung. Isu politik uang, transaksi suara, “jual-beli” posisi Caleg dari
1
daftar calon Parpol, dan berkembangnya bisnis tim sukses adalah tantangan serius dari keberlangsungan Pemilu di Indonesia.Fenomena itu menjadi proses perapuhan atas hak pilih rakyat, yang merupakan hak asasi warganegara. Dominasi isu politik uang pada Pemilu Legislatif (Pileg) makin jelas dari kasus-kasus Pileg. Indikasi tentang menguatnya praktik politik uang di setiap Pileg menjadi fokus berbagai lembaga; Indonesia Indicator (I2), ICW, serta divisi Humas Mabes Polri pun melakukan penelitian berdasar atas keprihatinan pada isu politik uang ini. Catatan ICW pada pelaksanaan Pileg tahun 2014 menunjukkan bahwa kasus-kasus politik uang pada Pileg meningkat secara signifikan. Pileg tahun 1999 terdapat kasus politik uang, tetapi pada Pileg berikutnya, berturutturut 2004, 2009, dan 2014 situasinya semakin parah. Pada tahun
2014,
jumlah
kasus
politik
uang
berkembang
mencapai enam kali lipat dibanding dari tahun 1999. Data ICW yang dipublikasikan melalui Republika (2014) diolah menjadi
data
pada
Figur
1.1
di
bawah
ini,
yang
memperlihatkan peningkatan angka dan persentase kasus politik uang dari Pileg ke Pileg dalam periode 15 tahun terakhir.
2
Figur 1.1: Tren Peningkatan an Kasus Politik Uang Dalam Pileg 350 300 250 200 Kasus
150
persentase
100 50 0 1999
2004
2009
2014
Sumber: Republika (2014), http://www.republika.co.id/ be berita/pemilu/hot-politic/14/05/11/n5etia-politikpemilu-2014 uang-dominasi-pelanggaran-p
Keprihatinan ICW, I2 juga menjadi perhatian kepada isu politik uang ini. I2 melak akukan studi dengan menggunakan media mapping selama du ua bulan, yaitu antara bulan AprilMei 2014. Berdasarkan pem emberitaan media dalam kurun dua bulan tersebut, terdapat 1 14.556 berita tentang Pileg. Dari jumlah tersebut 3.318 dian iantaranya atau 23 persen adalah pemberitaan
tentang
pelanggaran
Pileg.
Diantara
pelanggaran tersebut 1.71 16 pemberitaan nya adalah politik uang. Figur yang mengga gambarkan kondisi tersebut dapat dilihat di bawah ini:
3
Figur 1.2: Ekspos Media tentang Kasus Pelanggaran Pileg 2014
Pemberitaan Pileg 2014 Berita Pelanggaran Pileg Berita Politik Uang
Sumber: Indonesia Indicator (2014) dalam http://news.detik.com/berita/2579488/money-politics-pelanggaranpaling-banyak-di-pileg-2014
Dari pemetaan I2, menurut Rustika Herlambang, menegaskan bahwa pelanggaran Pileg terbanyak yang mendapatkan sorot media adalah politik uang (52%); interes media berikutnya adalah penggelembungan suara (18%), Pemilu ulang atau pencoblosan ulang (12%), pelanggaran kode etik (9%), serta penghitungan ulang (9%). Data yang terkumpul dari studi I2 tersebut lebih jelas terlihat pada Figur 1.3 di bawah ini:
4
Figur 1.3: Bentuk Kasus Pe Pelanggaran yang Diekspos Media Politik Uang
Penggelembungan suara Pemilu Ulang/Pencoblosan ulang Pelamggaran Kode Etik
Sumber: Republika (2014), http://www.republika.co.id/ber erita/pemilu/hot-politic/14/05/11/n5etia-politikuang-dominasi-pelanggaran-p pemilu-2014
Data hasil pemantau tauan ICW (2014) di lima belas propinsi di Indonesia, men enunjukkan bahwa selama proses Pileg,
mulai
dari
pencoblosan,ditemukan
kampanye 3 313
kasus
sampai
dengan
pelanggaran
yang
mengandung unsur politikk uang. Misalnya pemberian uang, pemberian barang, pemb berian jasa, serta penggunaan sumberdaya (diekspos pad ada Figur 1.4). Bila studi ICW itu hanya mengekspos politikk u uang di 15 propinsi, bukan berarti propinsi di luar itu tidak te terjadi pelanggaran dalam bentuk politik uang. Menurut divis isi Humas Mabes Polri ditemukan tidak semua propinsi di Indo donesia melaporakan praktik politik uang.
5
Figur 1.4: Proporsi Bentuk uk Politik Uang yang Ditemukan pada Pileg 2014 di Lima Be elas Propinsi di Indonesia
Pemberian uang Pemberian barang Pemberian Jasa Penggunaan sumberdaya
Sumber: ICW (2014) dalam h http://news.detik.com/berita/2579488/moneypolitics-pelanggaran-paling-b banyak-di-pileg-2014
Studi Indonesia Indic dicator (I2) berhasil menyebutkan tujuh propinsi terbanyak m memiliki kasus politik uang pada Pileg 2014. Sementara M Mabes Polri juga mencatat data tentang kasus politik uan ng pada Pileg 2014. Di bawah, dierbandingkan antara tem muan I2 dan catatan Mabes Polri tentang pelaporan kasus po politik uang. Tabel 1.1: Data Indonesia IIndicator dan Mabes Polri tentang Kasus Politik Uang Ekspos Propinsi dengan Politik Uang/Propinsi (I2) Sumatra Barat Riau Bengkulu
Catatan Polri tentang Propinsi dengan Kasus Politik (Polri) Propinsi Jumlah Kasus Su umatra Barat 1 Ria iau Kepri 1 Be engkulu 8
6
Lampung Jawa Barat Jawa Timur Papua
Sulawesi Tenggara Nusa Tenggara Timur Jawa Timur Papua Maluku Utara Gorontalo Jawa Tengah Sulawesi Selatan Sulawesi Utara Maluku Bali Banten Sumatra Utara DIY
10 7 4 1 1 6 5 5 3 3 2 1 1 1
Sumber: http://www.republika.co.id/berita/pemilu/hot-politic/14/05/11/n5etiapolitik-uang-dominasi-pelanggaran-pemilu-2014
Munculnya data yang demikian adalah konsekuensi dan implikasi dari meterialisasi demokrasi melalui instrumen Pemilu
di
Indonesia.
1
Prof.
Komaruddin
Hidayat
memperingatkan bahwa fenomena vote buying ini membuat ongkos politik amat mahal.Ongkos politik ditanggung oleh Parpol, terutamamenjadi beban para caleg.
Efek
"domino” nya ada pada konsekuensi pengembalian modal uang yang sudah keluar saat mengikuti proses Pileg. Dana politik yang perlu
dikumpulkan
berfungsi
ganda,
sebagian
untuk
membayar pinjaman, dan sebagian lainnya untuk biaya politik berikutnya. Prediksi Hidayat
cepat atau lambat, sedikit atau besar, para politisi cenderung terlibat korupsi.
Hasil temuan studi “Literasi Politik: Konsep, Reframing, dan Rekonstruksi Pada Pemilu Legislatif 2014 Kabupaten Kepahiang“ (2015).
1
7
Tabel 1.2:
Kasus dan Be esaran Politik Uang
Indikasi Besaran U Uang Rp. 5.000 – Rp. 50 0.000 Rp. 26.000 – Rp. 50 50.000
Kasus 24 28
Tabel 1.2 di atas me enjelaskan tentang besaran vote buying yang di catat oleh sstudi ICW. Tentu saja besaran ini sangatlah bervariasi, terma asuk fakta yang terjadi di daerah lokasi penelitian ini, Kabu upaten Bengkulu Tengah. Esensi besaran menjadi fokus pe enting dalam studi ini, mengingat konsekuensi logis atau efe fek dari vote buyingke arah potensi korupsi ketika sudah menda dapatkan kursi dan otoritas. Selanjutnya, figur 1.5 .5 di bawah, menunjukkan catatan kasus politik uang yang d dilakukan berdasar Partai Politik. Tentu
saja
figur
ini
bukanlah
jastifikasi
terhadap
keridakterlibatan Parpol kon ontestan Pileg di luar kelima Parpol ini, melainkan kasus-kasu sus yang sempat masuk dalam proses penyelesaian Figur 1.5: Kasus Politik Ua ang yang Terindikasi Partainya 60 50 40 30 20 10 0
Kasus
Sumber: diolah dari data ICW W (2014), dalam http://www.republika.co.id/ber erita/pemilu/hot-politic/14/05/11/n5etia-politikuang-dominasi-pelanggaran-p pemilu-2014
8
Catatan ICW dari Pileg 2014 tentang pelaku yang diduga terlibat dalam kasus-kasus politik uang. Pihak yang diminan terlibat dalam politik uang adalah Caleg sendiri, kemudian tim sukses, dan ternyata aparat pemerintahan juga ada yang terlibat. Tidak semua tindakan dan orang yang terlibat dalam politik uang terbukti melakukan nya; sehingga kasus-kasus politik uang ini disebut sabagai fakta sosial, bukan fanta hukum. Fenomena ini agak berbeda dari beberapa hasil penelitian di negara lain, di mana ada keterlibatan Partai dalam kasus politik uang. Dalam kasus incumbent atau pertahana ikut mencalonkan diri, maka sama seperti penelitian lain, cenderung melibatkan unsur aparat Pemda, serta penyalahgunaan akses sumberdaya dan aset negara. Hasil penelitian dari KPU Kota Bengkulu,
2
yang
fokuspenelitiannya tentang political turnout atau kehadiran pemilih, memperlihatkan adanya fakta politik uang pada Pileg. Para narasumber dari penelitian itu menyebutkan bahwa indikasi mulainya menguatnya politik uang ini sejalan dengan pemberlakuan Pemilu Kepala Daerah langsung (sejak tahun 2004). Di mana pada Pileg tahun 2009 dan 2014 lalu kasus-kasus transaksi suara makin “membudaya” dan “terbuka”. Kelemahan regulasi saat ditemukan kasus dan penyelesaian nya yang tidak efektif - menumpulkan penegakkan sanksi hukum atas kasus-kasus politik uang. 2
Dapat dibaca pada Laporan Penelitian KPU Kota Bengkulu tahun 2015.
9
Pandangan masyara rakat tentang politik uang makin pragmatis, di mana sesun ngguhnya masyarakat memahami tentang
buruknya
praktik tik
politik
uang;
dalam
realita
masyarakat makin berani d dan terbuka meminta “reward” dari Caleg dan tim sukses atas as dukungan yang mereka berikan. Vote buying bukan lagi ai aib dan tertutup, ia makin bernilai rasional, di sini persoalan n dalam praktik Pileg, terutama di Kabupaten Bengkulu Tenga gah. orsi Keterlibatan Berbagai Pihak Figur 1.6: Indikasi Propors dalam Politik Uang Kasus us Po Politik Uang
Caleg Tim Sukses Aparat Pemda
Sumber: diolah dari data ICW W (2014), dalam http://www.republika.co.id/ber erita/pemilu/hot-politic/14/05/11/n5etia-politikuang-dominasi-pelanggaran-p pemilu-2014
h gambaran proporsi kasus-kasus Figur di atas adalah yang melibatkan berbagaii pihak dalam politik uang. Seperti pengalaman tim peneliti p pada beberapa FGD untuk studi 10
partisipasi politik di Kabupaten/Kota di wilayah Bengkulu, tren dominasi vote buying dilakukan oleh Caleg sendiri, melalui “mekanisme” sosialisasi. Kasus itu terjadi atas dasar hasil transaksi yang sama-sama dikehendaki oleh Caleg dan pemilih. Pemilih biasanya selalu menuntut Caleg agar dating dan hadir pada acara sosialisasi – di situlah maka transaksi suara dan vote buying langsung terjadi, apakah disepakati “pra-bayar”
atau
“paska-bayar”.
Pada
analisis
dan
pembahasan, fenomena ini akan dibahas.
1.2 Rumusan Masalah dan Pertanyaan Penelitian a. Praktik politik uang, terutama vote buying makin fenomenal. Masyarakat tidak lagi melihat praktik vote buying sebagai rahasia, praktik itu berlangsung secara terbuka dan bernegosiasi. Berdasar rumusan itu, maka studi ini mengajukan pertanyaan seperti apa proses, bentuk, besaran dari kasus-kasus politik uang dalam proses Pemilu Legislatif ?. Di samping itu perlu ada pertanyaan siapa saja pelaku yang terlibat ?; b. Motif terjadinya politik uang, terutama vote buying sangat bervariasi, maka studi ini perlu mengetahui apa akar masalah yang mendorong terjadinya politik uang ?; c. Praktik vote buying dan bentuk politik uang menjadi fenomena yang tak terhindarkan dalam berbagai
11
Pemilu, tetapi dalam diskusi-diskusi begitu banyak orang yang ingin menyudahi praktik kotor ini - ini adalah problem banyak pihak. Dalam studi ini diajukan pertanyaan apa gagasan masyarakat untuk mengatasi praktik politik uang ?.
1.3 Tujuan Penelitian Tujuan penelitian adalah untuk: a) Mengidentifikasi proses terjadi politik uang dalam proses Pemilu Legislatif, termasuk bentuk, besaran, dan pelaku; b) Mengetahui
akar
masalah
yang
mendorong
terjadinya politik uang; c) Mengetahui praktik politik uang di berbagai tempat; dan d) Menggali gagasan masyarakat untuk mengatasi praktik politik uang.
12
BAB 2:
KAJIAN PUSTAKA tentang POLITIK UANG
Bab 2 ini akan mendiskusikan empat artikel jurnal yang sangat penting bagi studi politik uang. Mereka adalah studi terdahulu mengenai isu politik uang, dan berseting berbagai negara. Harapannya, studi-studi itu dapat menjadi rambu-rambu bagi penelitian di Kabupaten Bengkulu Tengah ini. Berikut adalah diskusi tentang studi Appolonio dan La Raja (2004), Dal Bo (200), Krumholz (2013), dan Asia News Monitor (2014). Studi Appolonio dan La Raja (2004: 1135-7) berhasil membuat kajian pustaka tentang identifikasi pihak-pihak yang berkontribusi terhadap organisasi politik dan apa pengaruh dari dukungan uang itu secara politis. Secara organisasional, keputusan pihak kelompok kepentingan yang mendukung keuangan kepada partai politik sebagai bentuk kontribusi politik berdasar pada modal, besar kecil ukuran keanggotaan organisasi nya, serta pengalaman politik. Hasil studi mereka yang penting menjadi dasar dari penelitian ini adalah bahwa perubahan regulasi pembatasan kontribusi/donasi politik dan kuantitas sumberdaya politik berpengaruh terhadap kapasitas Partai Politik; konfigurasi itulah yang menjamin berlangsungnya partisipasi politik. Kajian Appolonio dan La Raja menunjukkan bahwa ada tiga aras penting dalam menjelaskan hubungan uang dan politik. Pertama, mengenai kontribusi kelompok kepentingan kepada organisasi politik. Mereka menemukan kelompokkelompok kepentingan yang berkontribusi, yaitu kelompok denganaccess goals sampai kelompok denganelectoral goals, yaitu studi Herrnson dan Sorauf. Dari kajian pustaka itu Appolonio dan la Raja menyatakan bahwa kelompok kepentingan maupun korporasi sama-sama menggunakan strategi sama mendukung dan berkontribusi terhadap organsasi politik – meskipun motifnya berbeda-beda (dari studi Eismeier dan Pollock; Endersby dan Munger; Grier dan Munger; Grier, Munger, dan Roberts; Handler dan Mulkern; serta Masters dan Zardkoohi. Motif dari kelompok yang berorientasi pada akses dalam memberi kontribusi adalah untuk membangun hubungan agar mendudukkan anggotanya pada kursi legislatif, yang nantinya akan mengatur kebijakan tertentu sesuai dengan kepentingannya, ditemukan pada studiHall dan Wayman; serta Langbein. Untuk kelompok yang berorientasi pada Pemilu, atau electoral-oriented groups, yaitu organisasi masyarakat sipil yang mengadvokasi kebijakan, seperti serikat buruh, mereka berkontribusi dengan maksud merubah komposisi legislatif agar ada perubahan wacana orientasi di dalam tubuh lembaga legislatif itu, seperti pada studi Eismeier dan Pollock; Gopoian; Humphries; dan Wilcox. Perspektif kedua, menurut kajian Appolonio dan La Raja terhadap studi terdahulu (2004: 1135-7) menunjukkan bahwa kontribusi kepada organisasi politik bergantung pada konteks, isu, penugasan kandidat, persepsi kekuasaan anggota organisasi. Untuk konteks politik ada pada studi Hansen, Jacobson dan Kernell;kesamaan isu perjuangan ditemukan pada studi Eismeier dan Pollock, Handler dan Mulkern. Studi yang memperlihatkan status mayoritas partai sejalan dengan contributor adalah karya Cox dan Magar, serta Rudolph; penugasan kandidat ditemukan dari studi Grier dan Munger.Sementara persepsi kekuasaan anggota ditemukan pada studi Grentzke danarah tren partai jangka pendek dibaca 9
oleh Appolonio dan La Raja dari studi Jacobson dan Kernell. Pendekatan ketiga, seberapa organisasi sumberdaya itu mempengaruhi orientasi politik. Pandangan konvesional menyebutkan bahwa sumberdaya keuangan punya hubungan langsung pada tingkat kegiatan politik. Makin banyak uang yang dimiliki maka organisasi itu akan menggunakannya untuk politik. Appolonio dan La Raja menggunakan studi Baumgartner dan Leech, Berry, Rozell dan Wilcox, Schlozman dand Tierney, Walker, serta Wright untuk menjelaskan tentang pentingnya sumberdaya dalam pengambilan keputusan organisasi. Studi lain yang menjelaskan lebih spesifik tentang hubungan sumberdaya dan kontribusi politik antara lain Masters dan Keim, Wilcox;dan adanya anggota yang dimintaimenyediakan dana bagi organisasi seperti pada studi Conybeare dan Squire, Delaney, Fiorito, dan Masters, serta Masters dan Keim. Penelitian Appologio dan La Raja menunjukkan bahwa paratai politik perlu dana dan sumberdaya untuk membayar pelobi, mobilisasi massa dan berbagai kepanitiaan dalam proses Pemilu. Saat kekurangan uang, ketergantungan kepada simpatisan dari grassroot dan aliansi – saat itulah pragmatism partai menerima donasi atau soft money mudah terjadi. Situasi ini bersambut dengan kepentingan perusahaan bisnis / profit yang membutuhkan kebijakan-kebijakan tertentu. Mereka pasti berusaha menyumbangkan soft money untuk membayar pelobi berpengaruh dan biaya kepanitiaan kepada partai maupun kandidat.1 Relevansi studi Appologio dan La Raja dengan penelitian ini ada pada isu dukungan sumberdaya pihak luar kepada Partai Politik dan kandidat legislatif. Keterbatasan sumberdaya Partai mendorong nya menjalankan politik uang, atau menerima uang untuk ditukar dengan kepentingan. Dengan kondisi seperti itu, pada konteks US pun, jelas siapa yang diuntungkan dari regulasi-regulasi yang dihasilkan oleh legislatif.2Dari pihak pemberi soft money, penting untuk dikonsultasikan pada hasil penelitian ini tentang seberapa penting kontribusi soft money kepada partai politik maupun kandidat. Untuk konteks US, perusahaan atau asosiasi yang keanggotaannya kecil, dan punya pengalaman politik tertentu akan menggunakan strategi soft money ini. Jadi soft money bukan faktor dominan bagi kontributor. Ditemukan perusahaan lokal lebih banyak memainkan soft money dibanding korporasi multinasional. Studi pustaka berikutnya adalah karya Dal Bó (2007). Tulisan nya menarik karena ia menerangkan tentang konsep Pemilu Legislatif itu sebagai bagian dari keputusan kolektif dari masyarakat, di mana keputusan kolektif itu ditentukan oleh pilihan individual. Hampir seluruh keputusan kolektif saat ini dilakukan melalui voting. Konsentrasi studi Bó adalah tentang pilihan individu dalam keputusan kolektif yang dipengaruhi oleh pihak luar yang menawarkan bayaran dari pilihan itu, terutama kepada kelompok terpuruk. Di Indonesia fenomena itu kita masukkan Dalam penelitian itu, Appologio dan La Raja menunjukkan bahwa antara 1992 – 2000 dari 100 organisasi yang di survai di setiap putaran Pemilu Legislatif persentase terbesar soft money dilakukan oleh perusahaan (88% 96%), sementara asosiasi tidak lebih dari 8% saja. 2 Sampai dengan tahun 2002 di US belum ada aturan pembatasan donasi keuangan dalam kampanye. Ada bukti bahwa soft money untuk partai politik memunculkan korupsi dalam sistem politik. Donasi atau Fat Cats – para ahli di US pun mendapat kesulitan dalam melacak siapa saja yang berkontribusi terhadap partai politik, dan berapa besar kontribusi tersebut (Appologio dan La Raja 2004). 1
10
dalam kategori beli suara atau politik uang. Menurut Bó pihak “luar” pemilih (kepentingan kolektif, di Indonesia baca Daerah Pemilihan), bisa mengatur keputusan kolektif yang diambil melalui voting. Hasilnya pasti tidak efisien, tidak maksimal dan salah. Bó mencatat studi-studi terdahulu dalam literatur Ilmu Politik du US – bahwa Partai Politik dan pihak lain adalah elemen yang melakukan “trade off” diantara para legislator itu (misalnya studi Cox dan McCubbing, Weingast dan Marshall). Jadi banyak legislator yang terlibat kolusi-kolusi semacam itu. Teori pilihan pemilih dalam suatu voting yang digunakan olehBó(2007, hal. 790-1) dalam artikelBribing Voters adalah antara outcome-related costs atau voterelated costs, di mana keduanya termasuk suara korup. Situasi kerahasiaan atau secrecy dari pemilihan menentukan vote buying. Demikian juga tentang hasilnya, kalau suara yang diberikan itu korup, maka keputusan kolektif yang dihasilkan adalah buruk atau salah. Secrecy atau kerahasiaan tidak cocok dengan adanya outcome-related costs yang rendah. Public vote sebenarnya mendorong terjadinya akuntabilitas individu. Kalau akuntabilitas individu tinggi, maka secrecy atau kerahasiaan memilih tidak diperlukan. Inilah mengapa voting selalu tetap merupakan pemilihan rahasia, sebab voters pada dasarnya tidak akuntabel terhadap yang lain. Meski legislator tetap harus akuntabel terhadap konstituen nya. Bó mnelusuri studi terdahulu tentang pemilih dan pemilihan ini, dia menemukan bahwa selalu ada tawaran hadiah pada pemilihan orang-orang penting. Meski demikian studi yang ditelusuri Bó menunjukkan bahwa pemilih tetap peduli pada pemilihan dan hasilnya, termasuk adanya kendala dana. Diantara studi tentang efek kompetisi yang dikaji adalah studi Dekel, Jackson dan Wolinsky, Grüner dan Felgenhauser, Morgan dan Vardy. Morgan dan Vardy menemukan bahwa dalam pemilihan selalu ada kompetisi meski tidak ada uang. Kajian Bó terhadap studi terdahulu menunjukkan selalu ada vote trading (pada pemikiran Buchanan dan Tullock, Coleman). Secara positif oleh Bó dipahami secara luas bahwa vote trading bukan berupa uang melainkan keuntungan yang didapat oleh voters karena terjadi trading soal aspirasi. Tetapi ada studi lain memperlihatkan bahwa vote trading terjadi apabila pemilih harus memilih kandidat-kandidat yang tidak mereka sukai. Sementara studi Snyder memperkuat studi terakhir itu, bahwa ada fenomena “membeli” legislator, tentu untuk kepentingan si pemilik kepentingan melalui suara pemilih. Pilihan voters itu terbagi menjadi dua, pertama pilihan kolektif; dan kedua. Pilihan individual. Dalam hal politik uang, maka keduanya bisa untuk kepentingan tertentu, yaitu untuk kepentingan masyarakat sendiri, atau untuk kepentingan pemimpin, atau untuk pengusaha yang membacking. Selain itu, banyak orang yang tidak tau mengapa menerima uang. Pada pilihan kolektif, disebut strategi mayoritas – sebab yang menerima adalah mayoritas warga, dan ini merupakan strategi dominan. Pilihan individual, juga strategi dominan, tetapi tawarannya rahasia (Bó, 2007, hal. 794-5). Mengenai trade off, studi Bó menunjukkan bahwa sangat mungkin untuk 11
perubahan preferensi pilihan akibat adanya tawaran uang. Akibatnya, di kawasan “No” untuk kandidat tertentu, perlu strategi mayoritas (kolektif) dan kompensasi penuh untuk mencapai vote-related costs dan outcome-related costs.Pada pemilih yang bersih/tidak korup mereka memilih kandidat yang benar, atau pemilih yang jujur memilih wakil yang jujur. Bila calon legislator kalah pada daerah pemilihan “Yes”, maka penyelenggaranya yang buruk. Dalam konteks Barat, dalam situasi akuntabilitas kolektif dengan voting tertutup, maka cenderung korup. Di dalam akuntabilitas individu, hanya pemilih korup yang mendukung calon kandidat yang buruk, yang nantinya pasti tidak akan terpilih lagi. Hanya wakil yang jujur yang akan terpilih kembali. Voters, ternyata, bukan “korban”, beberapa studi terdahulu menunjukkan bahwa sesame mereka melakukan kolusi yang memudahkan pemain eksternal masuk mempengaruhi pilihan. Berdasar studi Bó praktik seperti ini justru lebih mudah dan banyak terjadi di internal Partai Politik, bahkan sesudah mereka berada di legislatif (Alesina dan Spear, Cox dan McCubbins, Weingast dan Marshall, juga Krehbiel). Figur 2.1 dan 2.2 di bawah ini adalah logika pemikiran dari penjelasan di atas, agar lebih mudah mencerna oleh pembaca Figur 2.1: Koneksitas Penyandang Dana dan Kebijakan dalam Konteks Politik Uang
Perusahaan Asosiasi Pihak Ketiga/ Kelompok Kepentingan
Partai Politik Caleg
Kebijakan Pro Penyumbang
Pemilih Voters
Sumber: di desain berdasar perspektif Dal Bó (2007)
Figur 2.2: Eksklusi Pemilih dari Hasil Pileg
12
Vote Buyer
Outcome of the Election
Voters Ada kerjasama yang kuat: - Komuniaksi sesama voters - Interaksi berkalikali - Berlangsung dengan kontrak Kecuali untuk voters yang oportunis
Sumber: di desain berdasar perspektif Dal Bó (2007)
Studi Krumholz (2013) tentang politik uang di US. Koneksitas antara uang dan politik bukanlah suatu rahasia pada sejarah politik di US. Banyak sekali kasus-kasus tentang politik uang yang kotor. Praktik politik uang tetap merupakan “misteri” sebagai kasus illegal yang tak terungkap, yang berpengaruh kuat pada sistem politik federal sehari-hari. Studi Krumholz fokus pada efektivitas kerja lembaga yang bertanggungjawab memantau praktik politik uang secara online, bernama Centra for Responsible Politics (CRP). CRP sudah bekerja selama 30 tahun terakhir. Dalam Pemilu berlangsung korupsi. Bila ada konflik kepentingan, da nada uang swasta yang mengalir ke pelayanan publik sebagai uang pelicin, di situlah jelas ada korupsi, ketika publik tidak bisa memonitor relasi-relasi kotor semacam itu, maka praktik politik kotor tumbuh subur. Menurut catatan Krumholz, CRP meneliti siapa saja yang beruntung dari industri kampanye sekita Washington. CSO yang aktif secara politik rela mengeluarkan uang ratusan juta dolar untuk aktivitas politiknya. Data tentang hasil lobi federal dan data keuangan lain, termasuk perkembangan harta anggota kongres dan pegawai pemerintah, di sajikan di OpenSecret.org kepada masyarakat. Krumholz menemukan bahwa Pemilihan Umum dari tahun ke tahun mengalami peningkatan yang mengejutkan, dari tahun 2000 – 2012 saja, kurun satu dasawarsa ada kenaikan 188 persen, yaitu dari $ 3 milyar menjadi $ 6.3 milyar.Krumjolz juga mencatat perusahaan dan lembaga menyumbang Partai Politik dan Assosial yang berpengaruh terhadap kebijakan pemerintah antara lain Wall Street, Bank, Asuransi, Venture Capital Fund, Jasa Peminjaman, pengembang real estate. Asuransi dan real estate paling besar menyumbang kandidat dalam bentuk cash untuk kampanye. Mengapa, sebab mereka membutuhkan kekuasaan yurisdiksi atas industri, perusahaan, dan isu-isu penting mereka di situ. Pada konteks Indonesia, catatan Asia News Monitor (2010) mengindikasi dengan jelas adanya politik uang dan lokusnya dalam proses Pileg. Politik uang terjadi bahkan sejak awal dari proses Pileg; Asia News Monitor menemukan bahwa politik uang sudah terjadi pada saat nominasi kandidat di Parpol. Lokus terjadinya politik uang, termasuk vote buying dapat di gambarkan sebagai berikut: 13
Figur 2.3: Tren Lokus Politik Uang dalam Proses Pileg di Indonesia Parpol Kader Proses Penyusunan Kandidat
Daftar Calon
Kampanye
Pencoblosan
Vote Buying (Direct money distribution/ Basic commodities to voters
Vote Buying
Non Kader
Kader bisa ‘dibeli’ oleh Non Kader
Politik Uang
Politik Uang
Sumber: diolah dari data Asia Week Monitor (2010)
Kajian pustaka di atas menjadi pegangan tim peneliti untuk merespon rumusan masalah, serta menjawab pertanyaan dan tujuan penelitian. Temuan studistudi lalu yang diuraikan pada artikel di atas, akan diundang lagi pada Bab 5 - agar hasil studi ini menjadi produk sintesa antara temuan lapangan dan kajian teoritis dari studi sebelumnya.
14
BAB 3:
METODE PENELITIAN
Penelitian tentang politik uang ini menggunakan pendekatan penelitian aksi. Penelitian aksi dipilih sebagai respon atas kebutuhan hasil yang diharapkan dari studi ini, yaitu memperbaiki proses Pileg di masa depan. Seperti halnya model penelitian kualitatif yang lain, dalam penelitian aksi ini, semua yang trlibat dalam penelitian, baik peneliti maupun subyek / narasumber bersama membangun pengetahuan, dan melakukan studi dalam rangka perubahan (Yaumi dan Damopolii, 2014). Oleh Creswell penelitian aksi ini disebut participatory action research / PAR (Creswell, 2010). sedangkan Neuman (2006) menyebutnya sebagai observation participant researchatau PAR.1 Esensi penelitian aksi adalah menyangkut perkembangan pengetahuan praktis dalam upaya memperbaiki kondisi masyarakat. Bagi para peneliti yang mengaplikasikan penelitian ini, mereka menyebut studi semacam ini sebagai proses demokratis dan partisipatoris (Yaumi dan Damopolii, 2014, h. 3-4). Untuk memahami di mana posisi PA dalam sudut pandang paradigma, Yaumi dan Damoolii membantu menyusun sebuah matriks komparasi pendekatan penelitian tindakan/aksi dari dua pendekatan lain, yaitu positivisme dan hermeneutik dan postmodernisme. Matriks komparasi dapat dilihat sebagai berikut: Fondasi Filosofis
Positivisme
Ontologi Obyektivis Epistimologi Obyektivis Teori Dapat digeneralisasi Refleksivitas Metodologik Peran peneliti Jauh dari data Sumber: Yaumi dan Damopolii (2014, h.6)
Hermeneutik & Posmodernisme Subyektivis Subyektivis Tertentu Hiper Dekat dengan data
Realisme kritis &Action Research Obyektivis Subyektivis Tertentu Epistemik Dekat dengan data
Dari matriks di atas tampak bahwa ada kesamaan antara PA dan deduktif yang berciri positivis, yaitu pada aspek ontologi obyektivis. Secara keseluruhan, terutama pada epistomologi, teori dan peran peneliti, maka penelitian aksi sama dengan paradigma hermeneutik dan posmodernisme. Keunggulan dari penelitian aksi adalah prinsip partisipatorisnya, dan visi perubahan; terutama pada upaya membangun kesadaran subyek. Dengan kata lain, temuan-temuan PAperlu menghasilkan suatu pengetahuan baru untuk menjawab kebutuhan dan perbaikan kondisi sosio-kultural, apalagi perubahan hidup partisipan dan peneliti.. Argumentasi dasar dari PA di atas, menjadi titik kesesuaian dengan teman studi literasi politik ini, akar perjumpaan nya ada pada isu literasi sebagai inti dari proses penguatan rakyat dalam konteks demokratisasi, dengan beberapa Sebagai peneliti dan penulis laporan penelitian untuk Literasi Politik di Kabupaten Kepahiang, dan Political Turnout di Kota Bengkulu, maka metode untuk penelitian Politik Uang ini menggunakan metode yang sama dengan kedua penelitian tersebut. Referensi yang digunakan untuk menyusun Bab 3 ini juga digunakan pada kedua Laporan Penelitian tersebut.
1
15
keunikan dari mandatPA. Penelitian ini merupakan pertemuan antara tim peneliti dari lembaga penyelenggara Pileg dan akademisi dan masyarakat pemilih. Penelitian aksi memfasilitasi kebutuhan ini, terutama kebutuhan pengkajian, pembingkaian / pengkerangkaan, dan proses rekonstruksi konsep dan praktik politik uang di lapangan. Studi ini menghasilkan suatu pengetahuan baru berkonteks politik uang di tingkat lokal, gunanya untuk memperbaiki posisi partisipan dan masyarakat dalam ruang politik. Hasil penelitian dijadikan masukan mengungkap misteri politik uang, dan menjadi model strategi penurunan politik uang di daerah.Strategi memperbaiki instrumen hukum dan penegakkan pelanggaran Pileg, terutama politik uang, adalah luaran yang telah dirumuskan pada Bab 1. 3.1 Tahapan Penelitian Penelitian aksi memiliki beberapa model diantaranya: model Kurt Lewin, model Kemmis dan McTaggart, model John Elliott, model Schmuck, dan model Stringer (Yaumi dan Damopolii, 2014). Sesuai dengan kebutuhan isu dan tujuan serta pertanyaan penelitian, maka penelitian politik uang ini menggunakan model Kemmis dan McTaggart. Pada model ini, petunjuk adanya proses sosial yang terjadi dan hasil perubahan praktik perilaku eksis ketika terjadi interaksi sosial dalam masyarakat, terutama dalam kasus-kasus politik uang. Tahap dari model Kemmis dan McTaggart antara lain terdiri atas: 1. Pengkajian 2. Pengkerangkaan atau reframing 3. Rekonstruksi atau reconstructing 3.2 Lokasi Penelitian Lokasi penelitian ini adalah Kabupaten Bengkulu Tengah. Argumen yang mendasari pemilihan lokasi adalah: pertama, KPU Kabupaten Bengkulu Tengah memilih tema politik uang untuk memahami pelaksanaan partisipasi Pemilu Legislatif tahun 2014. Kedua, sejak Pemilu Kada berlangsung kasus-kasus politik uang sangat banyak, meski tidak terbukti secara hukum. Rumor tentang politik uang juga sangat kuat terdengar. Ketiga, studi politik uang ini dibutuhkan sebagai asesmen terhadap pelaksanaan Pileg; sekaligus sebagai bahan dasar memperbaiki praktik Pileg ke depan. 3.3
Peubah Yang Diamati
Isu besar politik uang memiliki berbagai …menarik yang dapat dieksplorasi, diantaranya: Proses, bentuk, besaran dari kasus-kasus politik uang dalam Pemilu Legislatif ?. Aktor yang menjadi pelaku yang terlibat ;
16
-
Motif terjadinya politik uang, dan akar masalah yang mendorong terjadinya politik uang; Gagasan masyarakat untuk mengatasi praktik politik uang.
3.4 Model yang Digunakan Studi ini mengikuti model Kemmis dan McTaggart, yang dalam pelaksanaannya mengalami modifikasi, sesuai dengan kebutuhan yang dialami di lapangan. Basis etnografi yang dimiliki oleh tim peneliti menjadi bekal untuk mengembangkan metode PA ini. Model Kemmis dan McTaggart memiliki tiga tahapan utama, yaitu: pengkajian, pengkerangkaan atau reframing, dan rekonstruksi atau reconstructing (Yaumi dan Demopolii, 2014, hal. 21) Di samping ada tahapan, model Kemmis dan McTaggart ini merupakan suatu proses siklus berbentuk spiral, yang secara berkelanjutan bergerak maju. Dalam setiap siklus terdapat tahap kolaboratif, pastisipatorik, dan reflektif. Sedangkan proses keberlanjutan seperti spiral digambarkan sebagai: - Merencanakan perubahan - Mengubah dan mengobservasi, proses, dan konsekuensi dari perubahan - Merefleksi proses dan konsekuensi - Merencanakan kembali - Memberi tindakan dan mengobservasi kembali - Merefleksi kembali, dan seterusnya (Yaumi dan Demopolii, 2014, hal. 24) Gambaran siklus dan proses keberlanjutan spiral dari Kemmis dan McTaggart dapat dilihat berikut ini: Figur 3.1: Siklus dan Proses Keberlanjutan Spiral Dari Kemmis Dan McTaggart Plan
Reflect
re
Revised Plan
Act & observe
Reflect Act & observe
Sumber: Yaumi dan Demopolii (2014: 24)
17
3.5 Pelaksanaan Penelitian Sebagai tahapan dari penelitian aksi yang dan mengikuti model Kemmis dan McTaggart, maka di siniada penjelasan tentang tahapan penelitiannya. Model Kemmis dan McTaggart bertumpu pada dua proses, siklus dan spiral. Pada proses siklus, maka studi ini mengkover kegiatan: a. Pengkajian, yaitu proses belajar bersama tentang politik uang. Proses belajar ini dilakukan pada saat pengumpulkan informasi melalui FGD. Tim peneliti dan partisipan penelitian sama-sama mengkaji tentang politik uang dari pemaknaan warga tentang politik uang, identifikasi proses politik uang, bentuk, besaran, dan lokus politik uang. Pada model Kemmis dan McTaggart tahap ini disebut kajian terhadap “act & observe”. b. Tahap pengkerangkaan atau reframing dilakukan berdasar pada konteks proses dan aktor pelaku dan penerima politik uang, apa yang dilakukan orang, bagaimana orang berinteraksi untuk transaksi suara dan bentuk politik uang lain. Nilai dan pemahaman orang tentang politik uang, cara partisipan menginterpretasi politik uang dari pengalaman sosial mereka. c. Tahap rekonstruksi atau reconstructing – adalah pengembangan atas framing dan reframing dari perilaku politik uang pada Pileg tahun 2014 (dan pengalaman Pileg 2004, 2009). Reframing dari Pileg tahun 2014 sesungguhnya telah masuk pada tahap “revised plan” dari model Kemmis dan McTaggart, di mana usulan kebijakan yang tersusun menjadi input pada perbaikan memerangi kasus-kasus politik uang bagi KPU Kabupaten Bengkulu Tengah, dan KPU pada umumnya. Sedangkan pada proses spiral, maka studi yang saat ini dilakukan menjadi siklus pertama, yang akan menjadi rangkaian spiral secara berkelanjutan seperti gambar model Kemmis dan McTaggart di atas. Artinya ke depan perlu ada studistudi lanjutan yang akan mengkaji perubahan-perubahan kebijakan, baik yang direvisi berdasar pada hasil studi ini atau berdasar pada masukan dan agenda setting lain dari kebijakan tentang politik uang. 3.6 3.6.1
Teknik Pengumpulan Data Focus Group Discussion (FGD) Sesuai dengan tema studi, politik uang, maka pengumpulan data melalui FGD ini perlu melibatkan: pimpinan Parpol, Panwas, Gamkudu, Kepolisian, anggota KPU Kabupaten Bengkulu Tengah, Tokoh Masyarakat, Wartawan setempat, LSM / ormas setempat, Pemilih pemula (pada Pemilu 2014 lalu), perempuan, kelompok rentan/miskin, pemilih dari kelompok terdidik, pelaku bisnis setempat,Caleg yang tidak mendapat kursi.Jumlah peserta FGD 22 orang, dengan memperhatikan proporsi dari unsur-unsur di atas, terutama proporsi perempuan. 18
Instrumen FGD, meluputi: a. Konsep politik uang: - Politik uang itu apa ? - Apa saja yang termasuk dalam konsep politik uang ? atau bentukbentuk politik uang ? - Politik uang itu nyata atau mitos ? b. Bagaimana politik uang terjadi ? - Di mana lokus politik uang ?(di masyarakat, penyelenggara, parpol, media,atau) - Siapa yang memberi uang, siapa menerima uang ? - Motif politik uang apa saja ? c. Mengapa di beberapa lokasi terjadi ? dan di lain lokasi di lokasi dalam tempat yang sama tidak terjadi ? faktor apa yang mempengaruhi ? - Apakah uang yang menentukan hasil Pemilu Legislatif ? - Apa saja efek politik uang dalam konteks pembangunan di Bengkulu Tengah (Legislasi, pengawasan, dan anggaran) ? - (kalau politik uang kepada pemilih) Kelompok mana yang paling mudah dibeli suaranya ? - Di mana uang paling banyak dikeluarkan oleh Caleg dan Parpol: - Adakah pendonor/cukong bagi caleg ? kalau ada, siapa saja mereka ? - Pemetaan kasus-kasus politik uang pada Pemilu Legislatif 2014 lalu. d. Solusi atau rekomendasi untuk antisipasi fenomena politik uang ? - Apakah kita khawatir dengan politik uang ? - Kira-kira kondisi kunci apa yang akan meredakan politik uang ? - Bagaimana rekomendasi peserta untuk menghilangkan jual-beli suara, dan percukongan dalam Pemilu Legislatif ? 3.7 Tahap analisis: Substansi analisis meliputi peubah dari isu politik uang, yaitu - Proses, bentuk, besaran dari kasus-kasus politik uang dalam Pemilu Legislatif; - Aktor atau yang menjadi pelaku yang terlibat ; - Motif terjadinya politik uang, dan akar masalah yang mendorong terjadinya politik uang; - Gagasan masyarakat untuk mengatasi praktik politik uang. Sedangkan Tahap dari model Kemmis dan McTaggart antara lain terdiri atas: a. Pengkajian b. Pengkerangkaan atau reframing c. Rekonstruksi atau reconstructing
19
20
BAB 4:
DESKRIPSI WILAYAH KABUPATEN BENGKULU TENGAH
Deskripsi lokasi penelitian pada Bab 4 ini akan berisi lima sub-tema: yaitu, sejarah dari Kabupaten Bengkulu Tengah, informasi tentang kondisi geografi, sosial budaya, demografi, serta beberapa data tentang kasus-kasus politik uang. 4.1 Sejarah Dari Kabupaten Bengkulu Tengah Kabupaten Bengkulu Tengah adalah kabupaten pemekaran. Ia merupakan pemekaran dari Kabupaten Bengkulu Utara. Proposal pembentukan Kabupaten Bengkulu Tengah mendapat persetujuan dari DPRD Bengkulu Utara yang tertuang pada Keputusan Dewan Perwakilan Rakyat Daerah Kabupaten Bengkulu Utara Nomor 31 Tahun 2005 tanggal 26 November 2005. Isi dari Keputusan tersebut tentang Usul Pemekaran Sebagian Wilayah Kabupaten Bengkulu Utara menjadi Kabupaten Bengkulu Tengah. Keputusan tersebut dikuatkan dengan Keputusan Dewan Perwakilan Rakyat Daerah Kabupaten Bengkulu Utara Nomor 14 Tahun 2006 tanggal 28 April 2006 tentang persetujuan calon lokasi Ibukota, nama calon Ibukota Kabupaten Bengkulu Tengah. Pemerintah Kabupaten Bengkulu Utara mendukung keinginan masyarakat Bengkulu Tengah untuk membentuk kabupaten sendiri. Dukungan tersebut tertuang dalam Surat Bupati Bengkulu Utara Nomor 131/329/B.1 tanggal 28 April 2006 tentang Usul Pemekaran Bengkulu Utara, yang ditujukan kepada DPRD dan Pemerintah Propinsi Bengkulu. Ada juga surat pernyataan Bupati Bengkulu Utara Nomor 131/399/B.1 tanggal 10 Juli 2006 tentang Kesanggupan Pemerintah Kabupaten Bengkulu Utara mengalokasikan dana APBD Kabupaten Bengkulu Utara untuk Kabupaten Bengkulu Tengah. Aspirasi masyarakat Bengkulu Tengah untuk membentuk kabupaten sendiri juga mendapat dukungan dari Pemerintah Propinsi Bengkulu. Dukungan tersebut dituangkan dalam Surat Gubernur Bengkulu Nomor 125/3453/B.1 tanggal 1 Juni 2006 perihal Usul Pembentukan Daerah Otonom Baru (Kabupaten Bengkulu Tengah). Sementara dukungan DPRD Propinsi Bengkulu dituangkan dalam Surat Keputusan DPRD Provinsi Bengkulu Nomor 15/KPTS/DPRD-2006 tanggal 19 Mei 2006 tentang Persetujuan Dewan Perwakilan Rakyat Daerah Propinsi Bengkulu terhadap pembentukan Kabupaten Bengkulu Tengah. Dukungan dari berbagai pihak menjadi bekal bagi pengurus presidium mengajukan usulan pembentukan Kabupaten Bengkulu Tengah kepada Pemerintah pusat dan DPR RI. Usulan pembentukan Kabupaten Bengkulu Tengah di bahas oleh pemerintah Pusat dan DPR RI, dan akhirnya melalui sidang paripurnya tanggal 24 Juni 2008 disahkan Rancangan Undang-Undang (RUU) tentang pembentukan Kabupaten Bengkulu Tengah untuk menjadi Undang-Undang. Rancangan undangUndang yang telah disahkan oleh DPR tersebut akhirnya ditandatangani oleh 20
Presiden Susilo Bambang Yudoyono menjadi undang-undang No. 24 tahun 2008 tanggal 21 Juli 2008 dengan Ibukota di Kecamatan Karang Tinggi. Landasan berdirinya Kabupaten Bengkulu Tengah adalah UU No. 24 tahun 2008. Kabupaten Bengkulu Tengah terdiri dari 6 (enam) kecamatan, yaitu Kecamatan Taba Penanjung, Kecamatan Pagar Jati, Kecamatan Karang Tinggi, Kecamatan Talang Empat, Kecamatan Pematang Tiga dan Kecamatan Pondok Kelapa. Luas wilayah Kabupaten Bengkulu Tengah keseluruhan ± 1.223,94 Km2. Jumlah penduduk ketika itu (2007) adalah ± 93.557 jiwa. Sampai dengan Laporan ini ditulis, Kabupaten Bengkulu Tengah saat ini memiliki 10 kecamatan definitif. 4.2 Geografi1 Kabupaten Bengkulu Tengah secara administrasi termasuk dalam wilayah Propinsi Bengkulu yang terletak antara 1010 32’– 1020 8’ BT dan 20 5’ – 40 LS yang meliputi 10 ( sepuluh ) kecamatan, dengan jumlah penduduk 116669 jiwa (Sumber : Dukcapil Bengkulu Tengah 30 Juni 2014) dan luas wilayah berdasarkan Geografic Information System (GIS) 1.223,94 Km2 Kondisi geografisnya sebagian besar merupakan daerah berbukit-bukit dengan ketinggian mencapai 541 dpl. Batas wilayah Kabupaten Bengkulu Tengah adalah, sebelah utara berbatasan dengan Kabupaten Bengkulu Utara dan Kabupaten Rejang Lebong. Sebelah timur berbatasan dengan Kabupaten Kepahiyang. Sebelah selatan berbatasan dengan Kabupaten Seluma. Sebelah barat berbatasan dengan Kota Bengkulu. Kabupaten Bengkulu Tengah secara geografis berada di 102 28’ 913” - 102 0 31’ 198” bujur timur dan 3 0 44’ 183” – 3 0 46’ 730” lintang utara. Sedangkan secara astronomis daerah penelitian terletak pada 220299mE-224531mE (West-East) dan 9581914mS-9586611mS (South-North) UTM WGS 1984 (Universal Transverse Mercator). Berdasarkan aspek-aspek geomorfologi, maka daerah ini dapat dibagi menjadi 3 satuan bentuk lahan dan 3 satuan bentuk asal yaitu, Bentuk asal Vulkanik, Bentuk asal Fluvial, Bentuk asal Denudasional dan Bentuk lahan Perbukitan Intrui(V1), Tubuh Sungai (F22), Perbukitan Gelombang Lemah (D1). Kabupaten Bengkulu Tengah terletak pada ketinggian 0 - 541 m dpl dengan persebaran sporadis sehingga tofografi wilayah bergelombang dan berbukit dengan derajat kelerengan antara 5 - 35 %. Wilayah yang relatif datar dengan tingkat kelerengan rata-rata 5 % terletak di wilayah Kecamatan Pondok Kelapa. Lokasi dengan titik tertinggi hingga 541 m dpl berada di kawasan hutan lindung di perbatasan dengan Kabupaten Kepahiang. Sedangkan daerah terendah terletak di wilayah Kecamatan Pondok Kelapa dengan ketinggian 0 – 15 m dpl. Deskripsi pembagian luas wilayah per kecamatan dapat dilihat pada figur ini:
1 Data deskripsi lokasi penelitian ini dikumpulkan dari Pemda Kabupaten Bengkulu Tengah dan KPU Kabupaten Bengkulu Tengah, 2009.
21
Figur 4.1:
Proporsi Luas Wilayah Kabupaten Bengkulu Tengah Per Kecamatan
Sumber: Pemkab Bengkulu Tengah, 2009
4.3 Gambaran Sosial Budaya Kabupaten Bengkulu Tengah memiliki kebudayaan dan adat istiadat yang beragam, diwarnai oleh berbagai suku yang sudah lama menetap di Kabupaten Bengkulu Tengah. Berbagai suku yang datang dari luar Kabupaten Bengkulu Tengah, diantaranya Suku Jawa, Suku Sunda, Batak dan lain-lain. Penduduk asli penduduk Kabupaten Bengkulu Tengah adalah Suku Rejang dan Suku Lembak. Tiga rumpun suku besar yang ada Kabupaten Bengkulu Tengah adalah: Suku Rejang umumnya tinggal di Kecamatan Taba Penanjung, Kecamatan Karang Tinggi, Pagar Jati, dan Kecamatan Pematang Tiga sedangkan Suku Lembak umunya tinggal di Kecamatan Talang Empat, Karang Tinggi dan Kecamatan Pondok Kelapa dan Suku Jawa umumnya tinggal di Kecamatan Pondok Kelapa, Pagar Jati dan Kecamatan Talang Empat. Bahasa yang digunakan dalam pergaulan sehari-hari untuk antar suku umumnya menggunakan bahasa Melayu Bengkulu sebagai bahasa komunikasi, selain bahasa Indonesia. Untuk komunikasi sesama suku menggunakan bahasa daerah masing-masing suku. Seperti Bahasa Rejang, Bahasa Lembak, Bahasa Serawai, Bahasa Jawa, Bahasa Sunda dan lain-lain. Pengaruh Agama Islam dalam kehidupan sehari-hari masyarakat Bengkulu Tengah masih sangat kental, hal ini terlihat seperti dalam upacara perkawinan, Kesenian Syarafal Annam dan Kesenian Rebana dan nyanyian-nyanyian berirama padang pasir.
22
4.4 Demografi Jumlah penduduk di Kabupaten Bengkulu Tengah tahun 2014 sebesar 116.669 kiwa, terdiri atas 59.833 orang laki-laki (51,28 persen) dan 56.836 orang perempuan (48,72 persen). Artinya jumlah penduduk perempuan 2,56 persen lebih kecil daripada persentase jumlah penduduk laki-laki. Rincian proposri penduduk berdasar usia dapat dilihat pada figur 4.2 berikut: Figur 4.2: Data Kependudukan Kabupaten Bengkulu Tengah 2014
Sumber: diolah dari data Dukcapil Kabupaten Bengkulu Tengah, 2014
4.5 Pemilu dan Kasus Politik Uang Pada Bab 1 di depan terdapat data kasus-kasus politik uang. Pada Bab 2 juga ada disebut sekilas tentang kasus politik uang di beberapa negara. Tetapi kedua sumber data tersebut selau menyebutkan bahwa angka kasus yang terbukti secara hukum sangatlah kecil dan dikategorikan sebagai kasus misteri. Sub-bab 4.5 ini akan menyajikan latar politik uang, diawali dengan beberapa data dasar mengenai Pileg. Data yang pertama adalah jumlah TPS
23
Figur 4.3:
Persentase TPS di Empat Dapil Kabupaten Bengkulu Tengah
Sumber: diolah dari data KPU Kabupaten Bengkulu Tengah, 2014
Data pada figur 4.4 di bawah ini memperlihatkan jumlah DPT dibandingkan dengan DPT khusus dan tambahan pada Pileg 2014 Kabupaten Bengkulu Tengah lalu. Antara angka DPT dan DPTKTB tidak menunjukkan perbedaan yang signifikan, Kedua figur memiliki tren yang sama. Figur menunjukkan bahwa jumlah pemilih laki-laki sedikit lebih besar daripada perempuan. Figur 4.4: DPT Berdasar Dapil Dibandingkan DPKTB Berdasar Dapil, di Kabupaten Bengkulu Tengah, Pileg 2014
Sumber: diolah dari data KPU Kabupaten Bengkulu Tengah, 2014
Para pemilih yang menggunakan hak pilihnya lebih kecil dibanding data DPT, ini berarti ada sejumlah pemilih yang tidak hadir dan memilih ke TPS. Pada pembahasan dan analisis dari Bab 5, data ini berkaitan dengan proses gagalnya transaksi suara. Dengan kata lain, data ini menjadi salah satu indikasi bukti bahwa sebagian dari kasus tidak memilih, karena vote buying.
24
Figur 4.5: DPT Yang Menggunakan Hak Pilih
Sumber: diolah dari data KPU Kabupaten Bengkulu Tengah, 2014
Gambaran jumlah pemilih yang hadir ke TPS dari data DPTKTB sama seperti jumlah pemilih yang hadir pada DPT di atas. Figur 4.6: DPT dan DPKTB yang Menggunakan Hak Pilih
Sumber: diolah dari data KPU Kabupaten Bengkulu Tengah, 2014
Penelitian ini beruntung mendapatkan data kasus politik uang, seperti yang ada pada tabel 4.1 di bawah ini. Data kasus menunjukkan bahwa mayoritas pelaku politik uang melibatkan Caleg secara langsung. Sedangkan tim sukses ada yang terlibat tetapi lebih kecil jumlahnya. Pada analisis pembahasan yang datanya berasal dari forum diskusi terfokus tampak bahwa komunitas pemilih mengingikan pertamuan langsung dengan Caleg. Motif utamanya bukan untuk mendengarkan visi dan misi serta melihat kemampaun serta kapasitas si Caleg, melainkan cenderung ingin melakukan transaksi suara, atau setidaknya meminta hadiah. 25
Contoh kasus yang tercatat oleh Panwas itu memperlihatkan bahwa tidak ada beda antara Caleg yang berasal dari Partai nasionalis dan aliran. Semua Caleg berpotensi melakukan transaksi suara, dan bentuk politik uang lainnya; bahkan sejak awal penyusunan draf daftar calon. Tampaknya figur perilaku politik uang di kabupaten Bengkulu Tengah ini mirip dengan figur yang disusun dari hasil penelitian Asia New Monitor (2010), yang ditampilkan pada Bab 2 di depan. Di setiap tahapan Pileg selalu ada peluang bentuk politik uang. Penelitian tentang kehadiran pemilih ke TPS atau political turnout di Kota Bengkulu (2015) menunjukkan bahwa telah terjadi jual-beli posisi Caleg pada saat daftar calon di Parpol disusun. Jadi sejak awal memang sudah terjadi politik uang, di mana kader yang tidak memiliki uang, meskipun sudah lama menjadi pengurus Parpol, terpaksa tidak bisa mencalon, dan digantikan oleh pendatang baru Parpol yang punya uang. Ternyata indikasi ini jamak terjadi di mana-mana. Tabel 4.1: N o 1
Registrasi 51/LP/PIL EG/IV/201 4
Kasus Politik Uang Di Kabupaten Bengkulu Tengah Tanggal laporan
Tanggal Kejadian
11/April/ 2014
07/April/ 2014
2
52/LP/PIL EG/IV/201 4
11 April 2014
Selasa 1 April 2014
3
53/LP/PIL EG/IV/201 4
11 April 2014
Selasa 1 April 2015
Uraian kejadian
TEMPAT
Caleg yang bernama Ery erpin Yulizar datang bersama Tim suksesnya datang ke rumah Sdr Ria untuk memilihnya dan dengan memberikan uang senilai Rp.100.00 Tim sukses caleg DPRD kabupaten bengkulu tengah atas nama Hj. Aprinely memberikan pakaian kepada saudara Tio beserta kartu Nama dan contoh surat coblos suara dengan nama caleg tersebut. Caleg yang bernama Diah Nurwiyanti (Caleg DPR RI, Partai PPP) mendata nama pemilih dan No KTP dan No Hp untuk di bagikan uang
Desa Taba Pasemah Kec. Talang Empat
Tahapan Pemilu Tahapan Rekapitula si suara tingkat PPS
Desa Pekik Nyaring Kec. Pondok Kelapa
Tahapan Rekapitula si suara tingkat PPS
Desa Pekik Nyaring Kec. Pondok Kelapa
Tahapan Rekapitula si suara tingkat PPS
26
4
54/LP/PIL EG/IV/201 4
12 April 2014
8 April 2014
5
55/LP/PIL EG/IV/201 4
12 April 2014
8 April 2015
Indikasi Money Politik yang dilakukan Arpan caleg Parpol Gerindra Money Politik di Dusun Bajak Kec. Taba Penanjung Di rumah Sdr Udel
Desa Kelindang Merigi Kelindang
Tahapan Rekapitula si suara tingkat PPS
Desa Bajak Kec. Taba Penanjung
Tahapan Rekapitula si suara tingkat PPS
Sumber : Panwas Bengkulu Tengah 2014
Tabel 4.2: Laporan Dana Kampanye Partai Politik Peserta Pemilu Kabupaten Bengkulu Tengah Pemilu Legislatif 2014 NO
PARTAI POLITIK
PENERIMAAN (Rp)
PENGELUARAN (Rp)
1
PBB
76,930,540
75,796,053
2
PAN
47,000,000
4,700,000
3
DEMOKRAT
164,685
-
4
PKPI
50,000
-
5
NASDEM
151,889,000
150,961,482
6
HANURA
85,574,156
85,411,371
7
PDI-P
456,165,615
8
GERINDRA
9
PERIODE 18 November 2013 - 2 Maret 2014 27 Desember 2013- 2 Maret 2014 2 Desember 2013 - 2 Maret 2014 11 Januari 2013 -17 April 2014
LAP. TANGGAL 1 Maret 2014 22 Desember 2013 2 Februari 2014 3 Januari 2014 17 April 2014 17 April 2014
456,002,871
3 Maret - 17 April 2014 11 Januari 2013 -17 April 2014
54,526,056
50,475,000
3 Maret - 5 April 2014
21 April 2014
PKB
88,850,629
88,125,000
3 Maret - 17 April 2014
17 April 2014
10
PPP
317,533,548
317,500,000
21 April 2014
11
PKS
139,932,148
136,700,000
2 Maret - 5 April 2014 11 Januari 2013 -17 April 2014
17 April 2014
12
GOLKAR
98,357,000
-
2 Maret - 5 April 2014
17 April 2014
-
Sumber : Model DK9 & DK10- PARPOL. Hasil Audit Laporan Dana Kampanye Peserta Pemilu Legislatif 2014 Kab. Bengkulu Tengah
Tabel 4.2 di atas menarik, karena terdapat tiga partai politik yang tidak melaporkan pengeluaran mereka kepada penyelenggara Pileg. Dua diantara partai politik itu tampak tidak serius dan tidak bertanggung jawab atas pelaporan yang disusunnya, terutama berkaitan dengan jumlah penerimaan. Ada kejanggalan pada partai politik yang secara nasional relatif besar dan pernah menjadi partai pemerintah, hanya mendapat dana Rp. 164,685 saja. 27
Data pelaporan dana kampanye partai ini dianggap tidak penting. Sebab tidak juga ada sanksi yang berarti bagi partai ketika tidak melaporkan data yang disertai bukti. Untuk penelitian selanjutnya, fenomena ini perlu dikaitkan dengan isu dana pemerintah untuk partai politik. Apakah mereka juga akan melaporkan neraca pendapatan dan pengeluaran nya ketika ada dana parpol dari Pemerintah nasional maupun Pemerintah Daerah.
28
BAB 5:
ANALISIS DAN PEMBAHASAN
Pada rumusan masalah dan pertanyaan penelitian ada mandat dari penelitian ini untuk mengungkap fakta tentang politik uang. Penelusuran isu politik uang itu adalah tentang proses, bentuk, besaran dan lokus dari politik uang. Inti dari pengungkapan kasus-kasus politik uang adalah tentang siapa pelaku nya. Bagaimana pelaku menjalankan strategi aksi dan tindakannya demi mendapat dukungan suara adalah hal yang perlu diungkap dalam studi ini. Berbagai cara para pelaku ini untuk merebut kursi akan memberi gambaran kepada kita, bagaimana menemukan cara menurunkan politik uang. Setelah pembahasan fakta politik uang, alur Bab ini menuju pada pengungkapan akar masalah terjadinya vote buying. Bagaimana kondisi pilihan rasional masyarakat nyatanya condong ke arah pragmatisme menerima politik uang. Gap antara Caleg dengan tim sukses yang melibatkan koordinator desa dan para calo di lapangan, menjadi salah satu temuan penting. Bagian akhir dari analisis dan pembahasan ini adalah upaya memikirkan cara menurunkan kasus politik uang, terutama vote trading yang berisi vote buying, vote selling dan kemungkinan “membeli legislator”. Karena lokus politik uang tidak hanya pada area kontak politik antara Caleg dan pemilih, tetapi juga pada proses penyusunan daftar Caleg dan penetapan daftar Caleg, serta pada manajemen suara dan penentuan pemenang kursi – maka forum FGD itu bukanlah satu-satunya forum yang cukup bisa memikirkan solusi mengatasi politik uang di Kabupaten Bengkulu Tengah. Pengurus dan kader Partai Politik, Caleg/Aleg, penyelenggara juga perlu berbincang untuk membatasi berkembangnya politik uang. 5.1 Pengkajian: Politik uang …ada atau tidak? Jawabnya tidak sederhana, sebab ada fakta sosial yang berhadapan dengan fakta hukum. Fakta hukum dari politik uang sangat jarang dibuktikan; kalau tidak terbukti maka fakta sosial tentang politik uang “dianggap” tidak ada. Ini adalah hal yang sangat mendasar dalam mengupas isu politik uang. Dalam penelusuran melalui FGD, narasumber dalam studi ini bersungguhsungguh menyampaikan bahwa politik uang itu terjadi di wilayah Kabupaten Bengkulu Tengah pada saat Pileg, dan Pilkada. Testimoni tentang adanya politik uang, terutama vote buying, dikemukakan bukan saja oleh pemilih tetapi juga oleh Caleg yang gagal memperoleh kursi dari Pileg, anggota komisioner KPU Kabupaten, dan mantan anggota Gamkudu. a. Proses Caleg membentuk tim sukses dari keluarga terdekat jauh sebelum ia dinyatakan lolos pada daftar calon tetap oleh KPU. Organisasi tim sukses makin lengkap dan tertata setelah posisi DCT ditetapkan. Saat pengembangan
29
organisasi tim sukses ses itulah, itulah ukuran organisasi makin besar ar dan ssangat bervariasi. Modus menjadi enjadi anggota an tim pun sangat beragam. Tim inti dapat dipastikan memiliki pemaham pemahaman yang baik tentang motivasi dan keinginan kein Caleg. Biasanya mereka eka juga menjadi m penasehat Caleg, bukan hanya anya substansi subs kampanye nya, tetapii juga strategi strat dan pemetaan suara dari Dapil. Foto 5.1:
Hasil Diskusi iskusi tentang Politik Uang dan Bentuk
Sumber: Penelitian Junii 2015
Ada banyak cerita, rita, yang menunjukkan kesenjangan (gap) antara vis visi dan misi, serta motivasi Caleg dan anggota tim suksesnya. Apalagi anggota ggota tim yang “jarak” komunikasinya ya jauh dari d Caleg. Mereka biasanya tidak paham te tentang apa yang akan dilakukan ukan oleh Caleg dalam perjalanan menuju kursi ursi parle parlemen. Kelompok inilah yangg memicu pragmatisme penggalangan suara. a. Satu Satu-satunya cara yang mudah dan efektif adalah ad menawarkan transaksi suara,, jual beli suara atau vote buying. Gap substansi komunikasi komunika politik antara Caleg dan ujungg tombak tim sukses di lapangan makin lebar. l Janji yang ditebar di lapangan angan di luar kemampuan Caleg. Dii sisi lain, lain pemilih sudah terlanjur punya ekspektasi kspektasi yang tinggi, di area distorsi si inilah m muncul problem – yang ditambal dengan engan tran transaksi 1 uang, agar masalahnya ya mudah diatasi – penyelesaian pragmatis.
Pada penelitian tentang literasi rasi politik (dari KPU Kabupaten Kepahiang, 2015), dorongan gan prakti praktik politik uang, tertama vote buying makin kin kuat tatkala t literasi politik rendah akibat tidak terjadii internalis internalisasi civic eduation. 1
Figur 5.1: Caleg
Distorsi Proses Sosialisasi dan Pembentukan Politik Uang
Membentuk Tim sukses Tim tidak paham visi dan misi kandidat – bisanya menjanjikan sesuatu di luar kemampuan kandidat Pemilih menaruh harapan terlalu tinggi kepada kandidat Tim sukses ibarat calo dalam Pileg
Selain ada identitas Tim Sukses, di tingkat desa ada orang yang tugasnya sebagai koordinator desa. Koordinator desa inilah yang menyusun data desa tentang potensi pemilih, atau keluarga yang menjadi “target” suara. Dalam FGD, koordinator desa ini disebut sebagai Calo. Tugas lain dari koordinator desa adalah sebagai mediator komunikasi politik antara Caleg dengan pemilih dan masyarakat desa, terutama yang sudah teridentifikasi menyumbang suara atau berapa mata pilih di TPS yang bisa digalang. Selain itu, dari hasil komunikasinya dengan penduduk desa, koordinator desa memastikan bentuk transaksi politik, misalnya jenis barang apa yang dibutuhkan, dan nominal uang.Tentang nominal uang, ada yang ditentukan oleh Caleg dan coordinator desa, dan ada yang berasal dari hasil negosiasi. Rentang mediasi inilah yang memberi peluang koordinator desa untuk mencari keuntungan untuk dirinya sendiri. Itulah mengapa masyarakat menyebut mereka dengan istilah “calo”. Penelitian ini juga menemukan fenomena tentang tim sukses yang membelot setelah dibayar oleh Caleg. Dialog tentang insiden semacam ini sangat hangat dan banyak Caleg gagal yang salah satu penyebabnya adalah ditipu calo yang ada di tim nya sendiri. Uang diambil oleh calo, sang Caleg tidak duduk karena tak dipilih. Dari informasi itu jelas bahwa Caleg lebih percaya pada tim suksesnya. Atas pengalaman di masa lalu, atau pengalaman orang lain, Caleg lebih mengutamakan pengelolaan dana kepada tim sukses daripada kepada calocalo. Dari fenomena di atas tampak jelas bahwa janji-janji politik sudah tidak laku untuk menarik Pileg. Pileg makin kecil makna nya bagi masyarakat luas, dan pesimisme sudah tercium di mana-mana, termasuk mereka yang menerima atau terlibat dalam transaksi suara.
31
Caleg/Kandidat Tim Sukses
Koordinator Desa
Pemilih
Berfungsi sebagai “Calo” atau kaki tangan Jenis barang Uang
Fenomena politik uang di daerah di Indonesia berbeda dari fenomena politik uang di Negara maju dalam hal asal sumberdaya. Penelitian Appolinio dan La Raja (2004) menunjukkan asal politik uang berasal dari kelompok kepentingan dan korporasi yang punya kepentingan. Caleg hanya menjadi alat yang duduk di Parlemen; sementara di Kabupaten Bengkulu Tengah asal sumberdaya kebanyakan dari Caleg sendiri. Selama penelitian tidak ditemukan dukungan dana besar dari korporasi atau kelompok kepentingan seperti kasus Appolonio dan La Raja itu. Studi ini juga mdemperlihatkan bahwa Partai Politik tidak mengusahakan sumberdaya kampanye untuk Caleg. b. Pelaku yang Terlibat dan Bentuk Politik Uang Partisipan FGD meyakini bahwa semua kelompok rentan menjadi target dan pelaku politik uang. Kenyataan dari lapangan ini sesungguhnya sangat mengkhawatirkan. Temuan lapangan menunjukkan bahwa persebaran praktik politik uang mulai sistemik; bukan hanya mentarget pemilih secara personal, tetapi memasuki kelembagaan yang dapat menggerakan arah suara. Matriks berikut menunjukkan identitas pelaku dan target di sebelah kiri matriks, serta bentuk-bentuk politik uang di sebelah kanan matriks, Pelaku yang Terlibat dan Target
Bentuk Politik uang -
Caleg Pemerintahan Daerah Pemilih Pemerintahan Desa Lembaga Penyelenggara
Menambah mata pilih dengan memberikan uang, Caleg memberi uang kepada pemilih agar mendapatkan suara … vote buying Banyak modus para caleg melakukan politik uang. - Pemilihpun juga memiliki berbagai cara untuk mengeruk uang dari kandidat. - Seperti kelompok-kelompok pemuda yang meminta bola dan kostum, - Sedangkan grup majelis taklim meminta baju kurung maupun baju koko. Bentuk money politic lain adalah janji-janji setelah mereka terpilih, namun pemilih biasanya tidak percaya sehingga lebih memilih uang cash. Bentuk lain dari politik uang adalah menjanjikan pekerjaan pada anak pemilih yang sudah selesai sekolah. Janji berobat gratis Janji pelunasan kredit barang Sumbangan in kind untuk pesta dan hajatan, sseperti sembako
32
Foto 5.2:
Hasil Diskusi iskusi Pelaku Pel yang Terlibat pada Politik Uang
Sumber: Penelitian nelitian Juni Ju 2015
Standar transaksi ksi suara atau vote buying adalah fresh cash, dan barangbarang. Nyatanya di lapangan begitu banyak variasi dari poitik k uang. Pr Praktik politik uang bukan hanya anya ikatan ikat jangka pendek seperti uang dan an barang barang, baik Caleg dan tim maupun n pemilih pemilih“menciptakan” transaksi jangka panjang, njang, misalnya mis akses pekerjaan – terutama untuk PNS, akses sekolah, dan provisi jalan kampung. Selain uang dan n barang,kreasi barang politik uang makin inovatif, f, misalny misalnya ada yang berbentuk janjii pelunasan pelunasa kredit barang. Selain itu ada yang membe memberikan barang pada saat pesta atau hajatan, seperti beras, dan bahan-bahan han pokok pokok. Ada juga yang melengkapii rumah p pesta dengan spanduk dan umbul-umbul. Janji pekerjaan kepada pada anak an pemilih yang baru selesai sekolah adalah satu dari bentuk politik uang. Faktanya, Fakta ketika sianak sudah selesai sekolah ah dan janji tersebut ditagih, Caleg/Aleg /Aleg tidak menepati janjinya dengan berbagai erbagai m macam alasan. Kejadian-kejadian dian itu menjadi m dasar bagi pemilih untuk tidak ak percay percaya lagi dengan janji Caleg. Selain elain memberikan mem janji, Caleg dan tim sukses,, termasuk calo mendekati orang-orang ang yang memiliki banyak massa di desa. Seperti Kades K misalnya, karena Caleg leg menga menganggap bahwa Kades dapat mempengaruhi ngaruhi m massa untuk memilihnya. Masyarakat beranggapan ranggapan kapan lagi mereka menikmati uang dari C Caleg, jika tidak pada saat iaa kampanye. kampan Tidak peduli apakah ia akan mewakili ewakili as aspirasi rakyat atau tidak, yang ang penting penti pemilih sudah menerima uangg darinya darinya. Toh ketika ia sudah menjabat abat ia pas pasti lupa dengan masyarakat yang memilihnya emilihnya.
Salah satu anggota organisasi perempuan mengakui bahwa tidak mungkin menolak caleg-caleg yang memberikan uang atau barang. Ketua MT, sebuah organisasi perempuan berbasis keagamaan, pernah didatangi Caleg – ia ditanyai berapa jumlah anggota kelompok. Lalu, dijanjikan akan diberikan uang dan barang serta baju seragam. Ibu-ibu rentan menjadi target politik uang, tapi tidak mudah mempengaruhi mereka. Ada ibu-ibu yang tidak mau menerima uang sepeserpun dari kandidat. Biasanya, ketika Ibu-ibu sudah memiliki pilihan, mereka konsisten dengan pilihannya. Ada banyak kandidat yang memberikan mereka uang, uang diambil, tetapi memilih kandidat yang sudah menjadi pilihannya Argumentasi terdahulu dibantah oleh sebagian orang muda yang hadir dalam FGD. Politik uang merupakan fenomena tanpa mengenal gender, baik perempuan maupun laki-laki juga melakukan politik transaksi.Ibu-ibu memang tidak lebih dominan dari laki-laki. Ditambahkan bahwa orang-orang dengan pendidikan lebih tinggi, vote buyingnya atauharganya lebih mahal. Mereka juga punya bermacam-macam permintaankepada Caleg. Diantara kelompok pemuda kurang lebih sama dengan kejadian Ormas MT tadi. Para pemilih mendeteksi penguatan adanya politik uang pada Pileg karena pengaruh proses Pilkada. Pada saat Pilkada langsung, banyak janji-janji yang tidak ditepati oleh pasangan kandidat Bupati, sehingga pada saat Pileg berlangsung, masyarakat pemilih tidak percaya lagi dengan janji. Mereka memilih meminta bayaran untuk dukungan suara. Sementara, fenomena ini menunjukkan terjadi nya vote selling, sebagai pelengkap dari vote buying. Artinya pemilih juga aktif menawarkan harga suaranya. Satu argumen diusulkan oleh peserta, “Politik uang penentu kemenangan dalam Pileg”. Argumen tersebut dibantah oleh penyelenggara. Pada tahun 2014 kehadiran pemilih cukup tinggi yaitu sekitar 87 persen. Jadi tidak benar bila dikatakan suksesnya Pileg semata-mata karena uang.Lain lagi jika disebutkan kemenangan seorang kandidat karena uang setuju. Seorang Caleg sebelum Pileg memberi uang, kemudian Caleg lain memberikan uang juga; biasanya yang dipilih oleh pemilih adalah Caleg yang memberi uang pada hari H.Meskinominal lebih kecildibanding pemberian kandidat terdahulu. Untuk menang dalam Pemilu legislatif, seorang kandidat harus memiliki berbagai unsur, harus memiliki uang, memiliki pengakuan, dan pamor. Yang paling dominan harus dimiliki memang adalah uang. Dampak dari money politic adalah masyarakat tidak bisa mengharapkan aspirasi apa-apa kepada anggota legislatif yang berhasil menduduki jabatan.Anggota dewan yang menang karena menggunakan uang, tipis sekali akan memperjuangkan visi dan misinya seperti ketika mereka berkampanye. Yang ada dipikiran mereka adalah bagaimana mengembalikan modal yang sudah mereka keluarkan saat kampanye. Banyak terjadi, mereka bahkan melupakan rekan dan tim sukses mereka sendiri. Temuan studi ini serupa dengan temuan Dal Bo (2007) – dalam hal ada keputusan kolektif pemilih tentang hasil Pileg. Studi ini juga menuju arah yang kurang produktif, di mana keputusan kolektif untuk menerima vote buying, bahkan aktif menjalankan vote selling atau dalam bahasa Dal Bo adalah vote trading. Tim sukses melalui koordinator desa mencari patron yang memiliki massa – dan melakukan “upah” kepada pemilih yang mau datang ke TPS
34
memilihnya. Sesuai dengan judul bukunya, Dal Bo menyebut fenomena ini sebagai bribing voters. Besaran Politik Uang c. Tingkat ekonomi pemilih menjadi ukuran untuk menentukan besarnya uang yang akan diberikan kepada calon pemilih tersebut. Ada pemilih yang tidak ingin dibayar secara individu namun ingin dibayar secara kelompok misalnya kelompok majelis taklim, kelompok olahraga, dan lain-lain. Secara umum, besaran vote buying yang diakui terjadi di Kabupaten Bengkulu Tengah oleh para partisipan FGD adalah antara Rp. 50.000 – Rp. 75.000. Ternyata ada perbedaan harga suara antara suara laki-laki dan suara perempuan. Harga suara perempuan rata-rata Rp. 50.000,-, dan suara laki-laki seharga Rp. 75.000,-. d. Lokus Membahas lokus dari politik uang, perlu memahami bahwa politik uang bukan hanya berbentuk transaksi suara dan fresh cash. Lokus bervariasi, misalnya: lobi dan negosiasi kepada Kades – tentulah di rumah Kades. Lobi kepada penyelenggara dan pemilik kekuasaan/otoritas tidak di kantor, bahkan di luar wilayah Kabupaten. Kecuali kerjasama dengan KPPS, untuk memenangkan suara, lokus transaksi di sekitar lokasi TPS dan pengolahan suara. Beberapa caleg bukan merupakan penduduk asli Bengkulu Tengah, sehingga wilayah yang didominasi politik uang adalah wilayah yang mudah di akses. Misalnya, daerah Pondok Kelapa juga banyak terjadi politik uang, karena mudah diakses. Di samping itu, ada juga yang menyebutkan bahwa wilayah yang dominan menjadi targetpolitik uang adalah daerah yang terpencil dan susah diakses. Daerah pelosok lebih rawan terjadi politik uang; sebab tidak ada pengamanan dan penyelenggara sangat terbatas kapasitasnya untuk menjangkau daerah pedalaman. Apapun yang terjadi di pedalaman hamper dipastikan tidak terkena sanksi. Orang-orang yang berkebun yang tidak diberi uang, tidak akan pergi ke TPS. Kejadian transaksi suara, terjadi baik siang maupun malam hari. Jika ingin pembuktian adalah ketika kejadian transaksi. Sayangnya sangat suit untuk menangkap tangan transaksi seperti itu. Di samping lokasinya tidak terdekteksi, juga massif nya transaksi menyulitkan pengawasan.
35
Foto 5.3:
Hasil Diskusi iskusi Lokus Lok Politik Uang
Sumber: Penelitian nelitian Juni Ju 2015
e. Reframing: Jadi … Apakah Apaka Politik Uang Itu Ada ? Apakah Politik Uang benar-benar bena terjadi? Apakah itu nyata atau tidak tidak?). di depan sudah disebutkan utkan bahwa ba kasus politik uang adalah fakta ssosial. Peristiwanya ada, banyak o orang menceritakan pengalaman menyak menyaksikan berbagai bentuk transaksi suara, termasuk anggota organisasi ganisasi yang menyaksikan transaksi ksi pimpinan pimpin mereka dengan Caleg; namun secara h hukum tidak semua peristiwaa transaksi transak tersebut terbukti ada. Kalau karena ena tidak bukti dan saksi, juga karenaa kasus kedaluwarsa. ke Sebenarnya, secara cara sosial sosia persoalannya bukan antara adaa dan tida tidaknya politik uang; kalau indikator transaksi suara adalah terbukti atau tidak nya, maka politik uang tentu entu tida tidak ada. Hal ini menjadi misleading,, karena fakta transaksi memang ada. Seluruh peserta ta FGD meyakini m fakta politik uang itu, dan m mampu mendeskripsikan dengan ngan jelas. jela Mereka mampu menjelaskan bentuk bentuk-bentuk transaksi suara, di mana ana lokus kejadian biasanya terjadi, siapa saja ja yang te terlibat dan siapa saja yang meminta atau menjual suara, besaran uang ang cash yang biasanya diberikan oleh leh Caleg dan tim sukses / diterimaoleh pemilih. emilih. Peserta Pe juga tanpa ragu mendekripsika dekripsikan proses transaksi suara.
Politik uang benarbenar terjadi. Pak Jaf melihat secara langsung kejadian tersebut Ed: ada beberapa kasus politik uang. Ada 3 sampai 5 kasus namun tidak ada bukti transaksi. Tidak ada foto dan video yang bisa di percaya sehingga masalah politik uang ini tidak bisa diproses Nur: Untuk memproses suatu kasus, polisi perlu dua alat bukti yaitu keterangan saksi, keterangan ahli, bukti petunjuk, dan keterangan tersangka. Biasanya laporan hanya sekedar laporan tanpa alat bukti yang kuat. Jaf: Ada kejadian anggota Linmas tertangkap tangan namun tidak bisa diproses.
Hasil studi ini dapat dibandingkan dengan penelitian Krumholt (2013). Menurut studi Krumholt, politik uang terjadi di mana saja, termasuk di US. Keberadaannya adalah misteri, kasusnya illegal yang jarang terungkap. Di US kasus-kasus politik uang dimasukkan pada konteks korupsi. Oleh sebab itu sejak 30 tahun lalu didirikan sebuah lembaga bernama Centra for Responsible Politics (CRP) yang mengawasi kekayaan anggota federal (Indonesia = Aleg) f. Rekonstruksi Politik Uang: Penegakkan Hukum dan Cara Mengatasi Politik di Indonesia merupakan politik transaksi, pemilih sudah memasang tarif sendiri jika ada caleg yang ingin dipilih. Mindset pemilih sudah terbentuk untuk selalu dibayar ketika pemilu. Hukum harus dipertegas, untuk melaporkan pelanggaran pemilu seperti ini Pelaporan ada batas waktu yaitu sekitar 14hari, selama rentan waktu itu orang yang tertangkap tangan menghilang, entah disengaja atau tidak. Setelah batas waktu selesai ia kembali sehingga tidak bisa diproses karena sudah melewati batas waktu pelaporan. Bagi penyelenggara Pileg, politik uang sangat sulit dibuktikan.Dilapangan ada, namun laporan ke Panwas tidak ada. KPU lebih mengkhawatirkan 37
kecurangan sistematis. tis. Bahkan Bahka Caleg juga pernah mencoba untuk tuk meny menyogok komisioner KPU. Lembaga baga seperti sep KPU pun tidak lepas dari target et politik uang dari para calon-calon on peserta pesert Pileg. Kekuasaan juga mempengaruhi ngaruhi u untuk mendapatkan kursi legislatif, egislatif, m misalnya calon-calon yang memilikii sanak saudara sau di Pemerintahan Daerah akan lebih l mudah untuk menduduki kursi si jabatan. Foto 5.4:
Hasil Pemetaan emetaan Politik P Uang
Sumber: Penelitian nelitian Juni Ju 2015
-
-
-
-
diusul oleh partisipan FGD antara lain: Rekomendasi yang diusulkan Perlu dilakukan an adalah kerjasama, antara pihak berwenang baik pusat maupun daerah; Semua pihak harus bekerja bek sama untuk penegakkan hukum, harus arus lebih ditegaskan. Lama ma kelamaan kelam politik uang bisa diberantas jika ka semua pihak bersungguh-sungguh ungguh memerangi nya; Dari sudut pandang ndang perempuan, pe selayaknya ormas perempuan mpuan m merasa malu atas keterlibatan terlibatan dalam politik uang. Untuk mengurangi urangi m masalah politik uangg harus ada sosialisasi dari pihak-pihak pihak yang berkaitan.Agarmasyarak masyarakat lebih mengerti maksud dan tujuan an dari P Pemilu legislatif. Terkadang adang perempuan pe hanya menjadi korban politik olitik uan uang dan transaksi suara. Penyeleksian Penyele kandidat oleh Parpol juga harus rus lebih ketat, haruslah orang-orang orang yang ya benar-benar kompeten dan kredibel. dibel. Tanpa sanki yang ang jelas, kasus-kasus politik uang masih akan n terjadi. Maka penegakkan hukum ukum dan da sanksi pidana haruslah tegas.Panwas anwas perlu bekerja professional ssional dan independen.Petugas jangan pilih kasih baik pada Partai ataupun Caleg. aleg. Parpol harus memberikan memberi pendidikan politik yang memadai adai terh terhadap kandidat. Sudah ah saat nya n mendorong kesadaran pengurus Parpol arpol untuk memilih kandidat dat yang kredibel. Politik uang di dalam Partai ai politik perlu menjadi perhatian – termasuk term dalam lokus terjadinya politik uang.
-
Karena faktor ekonomi juga turut mempengaruhi terjadinya politik uang, maka seluruh pemerintaha di berbagai tingkatan memikirkan pernaikan kondisi kesejahteraan masyarakat dan pengetahuan berdemokrasi. Tanpa asupan itu, maka politik uang masih akan lama berlangsung.
39
BAB 6 KESIMPULAN Kesimpulan adalah bagian penting dari penelitian, karena ia menjelaskan interkoneksi antara jawaban atas pertanyaan dan tujuan penelitian, temuan lapangan dan analisisnya, serta konsultasi hasil dan teorisasi yang dipakai sebagai tuntunan penelitian. Tujuan penelitian yang telah ditentukan di Bab 1 adalah untuk: (a) mengidentifikasi proses terjadi politik uang dalam proses Pemilu Legislatif, termasuk bentuk, besaran, dan pelaku; (b) mengetahui akar masalah yang mendorong terjadinya politik uang; (c) mempelajari praktik politik uang di berbagai tempat; dan (d) menggali gagasan masyarakat untuk mengatasi praktik politik uang. Alur dari kesimpulan tetap konsisten kepada alur pendekatan PA yang dijabarkan pada Bab 3 Metode Penelitian. Untuk menjawab pertanyaan dan tujuan penelitian yang disebutkan di atas, maka kesimpulan ini akan dikelola dengan alur (a) pengkajian; (b) reframing; dan (c) rekonstruksi. Pengkajian terhadap konsep dan konteks politik uang menemukan hasil yang menarik. Politik uang ternyata bukan hanya vote buying, tetapi lebih luas dalam makna trade off dari segala arah. Bisa berbentuk vote trading, yang dapat berupa vote buying dan vote selling, serta pertukaran lain dalam bentuk barang, jasa, janji pekerjaan, berobat gratis, umbul-umbul pesta pengantin, beasiswa, dan sebagainya. Pemilih pun berkarakter aktif, mereka bukan pihak yang pasif “dibeli” oleh Caleg; melainkan aktif menawarkan suaranya. Wajah mereka bisa individual, bisa kelompok; kalau mereka berkelompok, maka pasti ada “calo”nya. Lokus politik uang, sama seperti yang dipetakan oleh Asia News Monitor, dimulai dari tahapan penyusunan daftar Caleg di Parpol. Perebutan posisi daftar Caleg di lingkungan internal Parpol biasa terjadi antara Caleg kader dan Caleg non-kader. Kader yang tidak memiliki uang, dikalahkan oleh Caleg non-kader yang banyak uang. Politik uang makin marak saat penetapan posisi Caleg terjadi; selanjutnya ada proses keorganisasian pemenangan Pileg melalui tim sukses. Organisasi tim sukses dari Caleg bervariasi. Rata-rata keorganisasian itu bertingkat; tingkatan tersebut menunjukkan kedekatan anggota tim dengan Caleg, atau kedekatan dengan pemilih. Kebanyakan dari anggota tim sukses punya motif uang; mereka seperti pekerja, meski sebagian punya ikatan emosional dengan Caleg. Konsekuensi nya, mereka kurang solid terbentuk dalam visi dan misi Caleg. Mereka inilah yang menjadi titik distorsi dan akar politik uang. Distorsi dari para pialang dan calo politik ini penentu bentuk politik uang dan besaran uang. Keorganisasian calo semacam ini bukan hanya membahayakan proses Pileg secara umum, tetapi juga berbahaya bagi Caleg dan pemilih. Untuk kepentingan pragmatis dan pribadi akan uang, para mediator ini membangun realita “siapa” Caleg kepada pemilih.di sisi lain, mereka sangat mudah bermain mengatasnamakan pemilih “memeras” Caleg. Orang yang berada di ujung
40
tombak tim sukses itu juga sangat rentan “dibeli” oleh Caleg/tim sukses pesaing. Pembelotan calo dari Caleg adalah fakta yang banyak terjadi, bahkan pembelotan itu disertai dengan membawa suara kepada pihak lain. Pengalaman pemilih terhadap Caleg yang ingkar janji di masa Pileg sebelumnya, membuahkan “distrust”. Respon terhadap distrust masyarakat pemilih ,uncul dalam bentuk pragmatism dan meterialisme perwakilan. Proses ini adalah reframing. Pengkerangkaan pemahaman beli suara oleh Caleg dan tim sukses adalah akar dari distorsi proses perwakilan dalam konteks demokrasi Pemilu. Distorsi dari perspektif Caleg ini direspon seimbang oleh pemilih, yaitu menerima uang, dan bahan menjual suara (vote selling). Langkah itu dilakukan sebagai satu-satunya cara untuk mendapatkan keuntungan dari Caleg. Pemilih tidak mau dikalahkan oleh Caleg, mereka butuh kemenangan, yaitu dengan menjual suaranya. Caleg tidak bisa gratis duduk di Parlemen, ia harus membayar atas kenikmatan yang diterima. Reframing yang terjadi adalah bersifat negatif, yaitu distorsi makna keterwakilan, dan menjadi lokus dari transaksi suara. Ungkapan “…kapan lagi rakyat menikmati uang Caleg, jika tidak pada saat mereka kampanye…” adalah kalimat kunci dari distorsi itu. Rakyat tidak peduli lagi apakah Caleg/Aleg akan meakili aspirasi rakyat atau tidak; yang penting pemilih sudah menerima uang dari Caleg, “…toh ketika ia sudah menjabat, ia pasti lupa dengan masyarakat yang memilihnya”. Itu adalah salah satu testimoni yang penting untuk mengubah cara pandang. Pragmiatisme sudah melanda sampai masyarakat pemilih yang paling bawah. Fenomena ini adalah implikasi dari kegagalan literasi politik, baik diantara elit Parpol daerah, kader Parpol, dan pemilih. Fenomena itu juga memperlihatkan bahwa isu keterwakilan mengalami krisis. Vote selling dan vote buying adalah lokus dari krisis demokrasi di daerah dan nasional. Ada sebagian orang yang percaya bahwa daerah yang padat penduduk rentan oleh vote buying. Daerah yang pemilihnya mudah terjangkau seperti Pondok Kepala termasuk kategori yang rentan menjadi kantung politik uang. Tetapi Caleg yang gagal duduk justru menjelaskan mengapa daerah terpencil yang potensial menyumbang suara adalah kantung-kantung transaksi suara. Tempat terpencil tidak terjangkau pengawasan; apalagi pembuktian hanya diberi waktu sangat pendek. Fasilitas hukum itu yang menjadi alas an mengapa daerah terpencil justru rentan politik uang. Fenomena perempuan sebagai kelompok rentan vote buying muncul dalam dialog multipihak dalam FGD; meski pemilih perempuan menerima uang, mereka bersaksi bahwa mereka adalah pemilih yang konsisten dengan pilihan. Banyak perempuan mengaku mengambil uang, tetapi pilihan sudah ada, sering pilihan mereka di luar ikatan uang. Walau ada yang menepis tidak ada isu gender dalam politik uang. Nyatanya penelusuran besaran transaksi suara membedakan suara lakiplaki dan suara perempuan. Suara perempuan Rp. 50.000,- sedangkan suara laki-laki Rp. 75.000,-. Kalau isu ini dilanjutkan dalam studi berikutnya, pasti sangat menarik. 41
Rekonstruksi yang mungkin dilakukan, dari masukan peserta FGD, masih normatif dan kurang menjangkau kasus-kasus yang berlangsung secara inovatif dan cepat. Yang menarik adalah adanya optimism dari berbagai kalangan untuk menghentikan atau setidaknya menurunkan politik uang. Diantara optimism tersebut adalah penyebutan soal komitmen penyelenggara dan penegak hokum terhadap pelanggaran Pemilu. Instrumen yang digunakan untuk melawan praktik politik uang jelas perlu diperbaiki substansinya. Penguatan parpol juga menjadi perhatian dan optimism masyarakat untuk melawan politik uang. Terakhir, literasi politik menjadi rekomendasi yang serius dari masyarakat.
42
REFERENSI
Apollonio, D. E. and Raymond J. La Raja 2004, “Who Gave Soft Money? The Effect of Interest Group Resources on Political Contributions “, The Journal of Politics, Vol. 66, No. 4 (November 2004), pp. 1134-1154
Published by: The University of Chicago Press on behalf of the Southern Political Science Association Asia News Monitor [Bangkok] 29 Jan 2010, “Indonesia: Government should make breakthrough in money politics prevention”, Thai News Service Group Jan 29, 2010, Bangkok, Thailand Asia+News+Monitor/$N/656306/DocView/1240666963/fulltext/2AE6F12 C735D4D96PQ/14?accountid=49069 Cresswell, John W., 2010, Research Design: Pendekatan Kualitatif, Kuantitatif, dan Mixed, Pustaka Pelajar, Yogyakarta. Dal Bó, Ernesto 2007, “Bribing Voters”, American Journal of Political Science, Vol. 51, No. 4, October 2007, pp. 789-803, Published by: Midwest Political Science Association. Published by: Midwest Political Science Association.
Stable URL: http://www.jstor.org/stable/4620100. Accessed: 10-05-2015 13:54 UTC Hendrastiti, Titiek Kartika dan Wahyu Widiastuti, 2015, “Kehadiran dan Ketidakhadiran Pemilih di TPS (Voters Turn Out) Pada Pemilu Legislatif 2014”, KPU Kota Bengkulu, Bengkulu. Hendrastiti, Titiek Kartika dan Wahyu Widiastuti, 2015, “Literasi Politik: Konseo, Reframing, dan Rekonstruksi Pada Pemilu Legislatif 2014 Kabupaten Kepaniang”, KPU Kabupaten Kepahiang, Kepahiang. Krumholz, Sheila 2013, “Campaign Cash and Corruption: Money in Politics, PostCitizens United”, Social Research, suppl. Special Issue: Corruption, Accountability, and Transparency 80.4 , Copyright New School for Social Research, Graduate Faculty, Johns Hopkins University Press, New York, Winter 2013, pp. 1119-1134,1322. Stable URL: http://www.jstor.org/stable/10.1111/j.00223816.2004.00293.x . Accessed: 10/05/2015 09:29 Neuman, W Laurence, 2006, Social Research Methods: Qualitative and Quantitative Approaches, 6th edition, Pearson, Boston, New York, San Francisco. Yaumi, Muhammad, Muljono Damopaolli, 2014, Action Research: Teori, Model, dan Aplikasi, Kencana Pranadamedia Group, Jakarta Publikasi Pemerintah Daerah Kabupaten Bengkulu Tengah, 2009 KPU Kabupaten Bengkulu Tengah, 2014 Dukcapil Kabupaten Bengkulu Tengah, 2014 Kabupaten Bengkulu Tengah Koran: Republika, Politik Uang Dominasi Pelanggaran Pemilu 2014 http://www.republika.co.id/berita/pemilu/hot-politic/14/05/11/n5etiapolitik-uang-dominasi-pelanggaran-pemilu-2014. Minggu, 11 Mei 2014, 19:32 WIB 43
DetikMinggu 11 May 2014, 18:35 WIB Money Politics, Pelanggaran Paling Banyak di Pileg 2014 http://news.detik.com/berita/2579488/money-politics-pelanggaran-palingbanyak-di-pileg-2014
44