LAPORAN PENELITIAN
JUDUL PENELITIAN KEHADIRAN DAN KETIDAKHADIRAN PEMILIH DI TPS (VOTERS TURN OUT) PADA PEMILU LEGISLATIF TAHUN 2014 KOTA BENGKULU
TIM PENELITI : Dr. Titiek Kartika Hendrastiti, MA Wahyu Widiastuti, S.Sos, M.Sc ANGGOTA TIM : 1. Darlinsyah, S.Pd.,M.Si 2. Sri Hartati, M.Pd 3. Zaini, S.Ag 4. Deby Harianto, S.Sos 5. M. Alim MS, S.Sos 6. Mahasiswa FISIP UNIB 7. Drs, Ikhwan Nova, M.Si 8. Syamsul Bahri, S.Sos 9. Nina Sri Ustina, S.Ip 10. Zohri Junedi, SH.,MH 11. Erlina, SE 12. Nurlis Sepriani, SE 13. Danang Triandono
KOMISI PEMILIHAN UMUM KOTA BENGKULU KERJASAMA DENGAN FAKULTAS ILMU SOSIAL DAN POLITIK UNIVERSITA BENGKULU TAHUN 2015
LAPORAN PENELITIAN Judul : Kehadiran dan Ketidakhadiran Pemilih di TPS (Voters Turn Out) Pada Pemilu Legislatif 2014 Kota Bengkulu BAB I: PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Masalah Perkembangan Pemilu Legislatif dalam waktu limabelas tahun terakhir sangat dinamis. Dari dimensi kehadiran dan ketidakhadiran pemilih di TPS, yang menjadi salah satu indikator penting dari partisipasi politik warganegara, menunjukkan fenomena yang menarik. Untuk itulah maka, KPU Kota Bengkulu melakukan studi tentang kehadiran pemilih di TPS. Sebelum Pemilu Legislatif tahun 1999, yaitu pada masa sebelum reformasi, persentase kehadiran pemilih di TPS sangat tinggi. Salah satu penyebabnya adalah prinsip mobilisasi politik yang biasa disebut “gaya intimidasi” Orde Baru. Fenomena itu mengalami perubahan yang signifikan pada pelaksanaan Pemilu Legislatif di masa reformasi, di mana rata-rata persentase partisipasi pemilih mengalami penurunan sekitar 10 persen, secara konsisten terjadi sampai pada pemilu 2009. Pada pemilu 2014, angka kehadiran pemilih naik sebesar 5 persen. Pada kasus Pilpres, untuk pertama kalinya tercatat angka pemilih yang berpartisipasi lebih rendah dibandingkan Pemilu Legislatif. Data perkembangan kehadiran/ketidak-hadiran pemilih pada Pemilu Legislatif tahun 2004, 2009, dan 2014 di Kota Bengkulu menunjukkan gambaran fluktuasi. Figur 1 memperlihatkan peningkatan jumlah pemilih dalam kurun waktu sepuluh tahun terakhir, dari Pemilu Tahun 2004 sampai dengan Pemilu Tahun 2014. Pada Figur 1 di bawah tampak bahwa jumlah pemilih yang terdaftar pada KPU mengalami kenaikan secara signifikan dari Pemilu ke Pemilu pada sepuluh tahun terakhir. Misalnya, dari Pemilu 2004 ke Pemilu 2009, ada kenaikan sebesar 19,45 persen. Sementara kenaikan jumlah pemilih dari Pemilu Tahun 2009 ke Pemilu Tahun 2014 menunjukkan angka 23 persen. Data peningkatan jumlah pemilih ini jauh lebih cepat dibanding kecepatan pertumbuhan penduduk Kota Bengkulu. Kenaikan jumlah pemilih bukan hanya kontribusi peningkatan jumlah kelahiran, namun lebih besar pada kontribusi migrasi masuk Kota Bengkulu dan peningkatan jumlah pemilih pemula.
1
Figur 1:
Jumlah Pemilih pada Pemilu Legislatif 2004 – 2014
Sumber : Kantor KPU Kota Bengkulu, 2015
Figur berikutnya, figur 2, memperlihatkan kenaikan jumlah TPS dari Pemilu Tahun 2004 sampai dengan Pemilu Tahun 2014. Figur 2:
Jumlah TPS pada Pemilu Legislatif Tahun 2004 – 2014
Sumber : Kantor KPU Kota Bengkulu, 2015
2
Kenaikan jumlah pemilih menentukan kenaikan jumlah TPS dari Pemilu Tahun 2004 sampai Pemilu Tahun 2014. Kenaikan jumlah TPS dari Pemilu 2004 ke Pemilu 2009 relatif kecil, yaitu 1,5 persen; sementara kenaikan jumlah TPS dari Tahun 2009 ke Pemilu 2014 jauh lebih besar, yaitu 12,8 persen. Kenaikan jumlah TPS merupakan implikasi dari harapan akan kehadiran pemilih / voters ke TPS. Harapan kenaikan angka partisipasi politik ini terjadi secara signifikan dari satu Pemilu Legislatif yang satu ke yang lain dalam kurun sepuluh tahun terakhir. Namun seiring dengan gejala peningkatan jumlah TPS ini, disertai dengan peningkatan proporsi golput. Indikasinya, golput bukan hanya karena rendahnya kesadaran politik warga dan keraguan akan kemampuan Caleg, tetapi ada unsur transaksi suara atau vote buying. Gejala vote buying ini menjadi salah satu alas an mengapa penelitian political turnout perlu dilakukan oleh KPU Kota Bengkulu. Data berikutnya, figur 3, menunjukkan jumlah pemilih pada Pemilu Legislatif yang hadir ke TPS berturut-turut pada Pemilu 2004 sampai dengan Pemilu 2014. Figur 9:
Jumlah Pemilih yang Hadir ke TPS pada Pemilihan Legislatif Tahun 2004 -2014
Sumber : Kantor KPU Kota Bengkulu, 2015
Kehadiran pemilih ke TPS mengalami kenaikan yang signifikan dari Pemilu 2004, ke Pemilu 2009, dan Pemilu 2014. Dari Pemilu Tahun 2004 ke Pemilu 2009, terjadi kenaikan jumlah pemilih yang hadir ke TPS sebesar 14,76 persen. Sedangkan dari Pemilu 2009 ke Pemilu 2014 terdapat kenaikan sebesar 33,6 persen. Apabila dibandingkan dengan kenaikan jumlah pemilih, kenaikan angka kehadiran pemilih ke TPS dari Pemilu Tahun 2009 ke Pemilu 3
Tahun 2014 jauh lebih baik dari periode sebelumnya. Kenaikan angka kehadiran itu, 33,6 persen, jauh lebih besar dibanding dengan kenaikan jumlah pemilih pada periode yang sama yaitu 23 persen. Kenaikan angka kehadiran pemilih memang tidak konsisten. Data kenaikan jumlah pemilih yang datang ke TPS menunjukkan angka yang menggembirakan. Sayangnya, seperti telah disebutkan di atas, jumlah angka golput juga mengkhawatirkan. Angka golput merupakan penjumlahan antara proporasi pemilih yang tidak hadir ke TPS dan suara-suara yang rusak dari pemilih yang hadir ke TPS. Memang tidak ada jaminan suara rusak sebagai bentuk dari taktik menjadi golput. Bagaimanapun juga kertas suara yang rusak dari para pemilih yang datang memilih telah menghapus hak politik voters. Apalagi kalau alasan rusak karena tidak tahu cara memilih – kalau ini yang terjadi, maka menjadi bahan evaluasi bagi penyelenggara dan Pemerintah Daerah. Figur berikutnya, yaitu figur 4, memperlihatkan perkembangan jumlah golput di Kota Bengkulu pada Pemilu Legislatif 2004 – 2014. Figur 4:
Data Golput Kota Bengkulu pada Pemilihan Legislatif, Tahun 2004 - 2014
Sumber : Kantor KPU Kota Bengkulu, 2015
Agak berbeda dari tren kenaikan jumlah pemilih dan kenaikan kehadiran pemilih ke TPS, dinamika angka Golput antara Pemilu 2004 – 2009 jauh lebih besar dibanding angka Golput pada Pemilu 2009 – 2014, yaitu 28,4 persen. Sementara angka Golput tahun 2014 turun dari angka Golput Tahun 2009 sebesar 0,36 persen.
4
Selanjutnya, figur 5 dan figur 6 adalah data tentang jumlah kertas suara yang rusak, dan jumlah perolehan suara oleh parpol peserta Pemilu 20042014. Figur 5:
Jumlah Kertas Suara yang Rusak
Sumber : Kantor KPU Kota Bengkulu, 2015
Data jumlah kertas suara yang rusak sangat menarik. Angka pada Pemilu Tahun 2004 dibanding angka pada Pemilu Tahun 2014 menunjukkan penurunan yang signifikan. Misalnya, kertas suara rusak untuk DPR, dari Pemilu 2004 ke Pemilu 2014 mengalami penurunan sebesar 91,54 persen. Kertas suara rusak untuk DPRD Propinsi turun 91,6 persen dari Pemilu Tahun 2004 ke Pemilu Tahun 2014; sedangkan kertas suara rusak untuk DPRD Kota turun sebesar 90,72 persen. Salah satu perkiraan tentang tren penurunan jumlah kertas suara rusak yang dramatik dari Pemilu tahun 2004 ke Pemilu Tahun 2014 adalah keberhasilan dari sosialisasi tentang cara memilih. Data kertas suara rusak pada Pemilu Legislatif Tahun 2009 tidak tersedia. Sehingga konsistensi penurunan proporasi kertas suara rusak kurang dapat dilihat. Dalam kurun waktu sepuluh tahun, pemilih yang hadir ke TPS mulai terbiasa dengan sistem memilih coblos maupun centang. Kenaikan jumlah TPS tidak mempengaruhi ketrampilan pemilih dalam cara memilih; mereka tetap bisa mengikuti.
5
Figur 6: Jumlah Perolehan Suara oleh Parpol Peserta Pemilu
Sumber : Kantor KPU Kota Bengkulu, 2015.
Data jumlah perolehan suara oleh Parpol untuk anggota DPR, DPRD Provinsi dan DPRD Kota setiap Pemilu mengalamai kenaikan. Namun kenaikan persentase yang besar dari ketiga lembaga legislatif itu terdapat pada Pemilu 2009 – Pemilu 2014. Perolehan suara Parpol untuk DPR mengalami kenaikan 33,47 persen, dan DPRD Provinsi mengalami kenaikan sebesar 34,93 persen, serta kenaikan suara Parpol di DPRD Kota sebesar 33,91 persen. Perolehan suara Parpol untuk Parlemen local ternyata mengalami peningkatan lebih cepat daripada Aprlemen Propinsi dan Nasional. Kecenderungan ini patur menjadi pertanyaan, terutama tentang motivasi kehadiran pemilih ke TPS. Implikasi dari data tersebut bisa dimaknai bahwa kepedulian pemilih kepada Caleg yang menjadi wakil-wakil mereka di Parlemen local lebih penting dibanding perwakilan mereka di tingkat Propinsi dan nasional. Tren ini perlu dikaji secara teoritis dan praktis dari lapangan. Barangkali adanya keterkaitan social antara pemilih dan kandidat wakil secara personal sangat kuat dan nyata. Penelitian ini menggunakan metode kualitatif, yaitu penelitian dilakukan untuk mencari pemaknaan atau kedalaman atas isu kehadiran dan ketidakhadiran pemilih. Oleh karena turunan penelitian kualitatif juga sangat banyak, maka ditetapkan penelitian kualitatif pada studi ini adalah naratif.
6
Sebagai penelitian kualitatif naratif, maka sifatnya berkembang secara dinamis di lapangan. Strategi pengumpulan data primer yang sesuai antara lain Diskusi Kelompok Terfokus (FGD) dan beberapa interview kepada narasumber di luar peserta FGD tersebut. Informasi yang dihasilkan dari FGD, maupun hasil narasi wawancara itulah yang digunakan sebagai bahan analisis tema kehadiran dan ketidakhadiran pemilih di TPS. 1.2 Rumusan Masalah a. Ada pertanyaan besar terhadap fluktuasi partisipasi politik warga Kota Bengkulu dari Pemilu Legislatif yang satu ke Pemilu Legislatif yang lain dalam kurun sepuluh tahun terakhir; b. Meskipun kehadiran pemilih pada pemilu Legislatif terjadi peningkatan, tetapi angka / proporsi golput cenderung naik, gejala ini perlu dikaji dan dicari adanya gejala kuat yang mendasarinya; c. Dasar motif kehadiran pemilih ke TPS sangat bervariasi dan belum begitu jelas – isu inilah yang perlu dikaji dalam penelitian ini.
1.3 Tujuan Penelitian Penelitian ini bertujuan: a. Mengidentifikasi tren dan dinamika angka kehadiran dan ketidakhadiran pemilih pada Pemilu Legislatif 2004, 2009, dan 2014; b. Membuat analisis penyebab terjadinya golput c. Menyusun rekomendasi ke depan yang dapat digunakan sebagai alternatif menurunkan ketidakhadiran pemilih.
7
BAB 2: REVIEW PUSTAKA Banyak literature dan artikel jurnal yang membahas tentang political turnout ini. Demi kemutakhiran pengetahuan dan studi komparasi dari fenomena yang sama di negara lain, maka review pustaka dalam penelitian ini menggunakan referensi hasil penelitian dari luar Indonesia. Meskipun berbeda pada sistem Pemilu Legislatif nya, namun ada pelajaran yang mengejutkan tentang fenomena kehadiran pemilih; di mana beberapa pendorong political turnout yang sama. Gejala yang senada antara lain tentang political marketing/political advertising, social connectedness, mobilisasi personal dan impersonal, serta vote buying. Perbedaan yang paling tampak antara Indonesia dan beberapa negara maju yang menjadi seting penelitian dari referensi adalah keterlibatan dan peran Partai Politik dalam mengupayakan kehadiran pemilih. Konteks peran dan keterlibatan Partai Politik dalam proses mendorong kehadiran pemilih masih jauh tertinggal dibanding negara lain. Gejala keterlibatan dan peran ini bahkan makin kecil ketika di adopsi sistem PR terbuka. PR terbuka di Indonesia memberi beban lebih berat pada calon wakil legislatif / Caleg, sementara di negara yang mengadopsi sistem distrik/plural, di mana relasi personal sangat menentukan, peran dan keterlibatan partai relatif besar. Artikel pertama yang dikaji dalam review ini adalah karya Karp et.al (2008). Tulisan Karp et.al merupakan sebuah studi perbandingan tentang berbagai mobilisasi partai politik untuk meningkatkan kehadiran pemilih ke TPS dari berbagai sistem politik. Studi perbandingan itu sekaligus menjadi perbandingan sistem pemilihan (electoral systems) dalam rangka menjawab pertanyaan tentang tingkat mobilisasi nya. Dengan demikian, studi mereka juga mempelajari bagaimana kehidupan partai, terutama pada penentuan posisi kader atau, tepatnya, nominasi mereka pada kandidasi dalam Pemilu (policy positioning or candidate nomination). Inti hasil studi nya menjelaskan hubungan yang sistematis antara moilisasi partai dan kehadiran pemilih. Mobilisasi partai sangat menentukan tingkat kahdiran pemilih ke TPS, tentu saja apabila paratai politik melaksanakan kampanye secara tepat dan melakukan berbagai macam kontak kepada pemilih. “A long tradition within political science has identified the importance of party mobilization efforts to voter turnout ... has tended to focus on the impact of campaign work, on voter willingness to turn out and … on the importance of various means of contact mail, telephone or doorstep upon voters” (Karp. et.al 2008, h.91) Secara sederhana dapat digambarkan sebagai berikut: Figur 7: Relasi Mobilisasi Parpol dan Kehadiran Pemilih Party Mobilization
Voter Turnout Campaign Work Various Means of Contact
8
Studi politik klasik demokrasi pada masyarakat Barat tentang kehadiran pemilih ke TPS menunjukkan bahwa upaya mobilitas partai signifikan dengan kenaikan tingkat kehadiran pemilih. Mereka hadir ke TPS dan dengan sadar ingin memilih. Memang masih tersisa pertanyaan tentang apakah semua partai melakukan tingkat aktivitas mobilisasi yang sama demi menghadirkan pemilih ke TPS ?. Selanjutnya, pderlu dipertanyakan apakah para pemilih akan memperlihatkan perilaku politik yang sama pada sistem pemilihan yang berbeda; apakah mereka akan merespon hal yang sama terhadap kontak kampanye ? Karp et.al menyatakan: “…successful mobilization effort can be measured by the amount of contacting and effectiveness of this contact in turning out voters …? (h.95). Pada sistem distrik, di mana sistem berbasis kandidat – maka kunci kehadiran pemilih ke TPS ada pada caleg. Caleg perlu memobilisasi pemilih agar hadir ke TPS dan memilihnya sebagai bentuk dari dukungan. Strategi ini paling efektif, meski untuk beberapa komunitas bias meleset. Voters bias saja tidak merespon apa-apa terhadap upaya partai dan caleg. Hal ini jamak terjadi pada sistem distrik. Studi kehadiran pemilih di US dan Inggris memperlihatkan bahwa mobilisasi partai bisa tidak relevan dengan kehadiran pemilih. Misalnya pada tahun 2002, pada Pemilu di Irlandia, kehadiran pemilih di dorong oleh usaha caleg, yaitu dengan melakukan metode door-to-door. Rupanya fenomena seperti itu juga berlangsung di Canada. Sementara di Swedia dan Norwegia, strategi door-to-door jarang efektif. Peningkatan kehadiran pemilih, kontak personal dari aktivis partai lah yang lebih efektif, misalnya di pabrik-pabrik, kantor-kantor, dan tempat kerja lainnya. Dari hasil studi kehadiran pemilih ke TPS dari berbagai negara tersebut menunjukkan bahwa tingkat kehadiran pemilih pada Pemilu sistem pluralis atau sistem distrik lebih rendah dibanding dengan sistem PR. Jelasnya, pada sistem distrik, mobilisasi partai kurang signifikan dengan peningkatan kehadiran dan hasil suara pada Pemilu. Mobilisasi partai lebih cocok dengan sistem PR, sebab peningkatan suara terhadap partai dan caleg dapat meningkatkan jumlah kursi di Parlemen. Cara atau metode kontak kepada pemilih banyak dan bervariasi. Diantaranya cara kontak face-to-face; menurut hasil studi, cara ini lebih efektif daripada kontak melalui tilpon dan surat. Survai juga menunjukkan bahwa doorstep canvassing lebih efektif daripada telephone canvassing. Secara umum canvassing (pemasaran politik tentang platform dan visi caleg dan partai dari rumah-ke-rumah) merupakan metode efektif untuk meningkatkan kehadiran pemilih. Pada lingkungan tertentu, pemasaran politik secara personal lebih efektif, dan mengalahkan teknologi canggih – yang justru kurang popular. Sehingga partai politik masih percaya bahwa doorstep canvassing masih lebih unggul dibanding dengan upaya lain, termasuk telephone canvassing dan cara lain. Meskipun doorstep canvassing efektif, partai politik tetap membatasi area targetnya; hal ini perlu diperhitungkan demi penghematan biaya
9
kampanye (Karp et.al 2008, h.96). Partai memiliki keterbatasan sumberdaya finansial, maka kontak-kotnak yang dilakukan pasti ducurahkan kepada pemilih target, yang dapat dicapai dengan biaya yang masuk akal dengan kemampuan partai. Yang dimaksud pemilih target adalah: - Pemilih dari Pemilu lalu – prestasi masa lalu diharapkan akan menjadi pertimbangan untuk memilih lagi; - Pemilih yang tinggal di kota – kepadatan penduduk di perkotaan akan lebih cocok untuk door-to-door marketing; - Anggota dari kelompok kepentingan, seperti: serikat pekerja, profesi, dan sejenisnya. Pada model mobilisasi pemilih one-stage model, Karp et.al menggunakan kerangka pendekatan Rosenstone dan Hansen; di sana kontak Caleg menentukan kehadiran pemilih; kontak partai menentukan pilihan pemilih. Sementara ada model lain, yaitu two-stage model; model ini diawali oleh tahap pertama pendekatan Partai Politik terhadap voters atau kontak individual. Dilanjutkan cdengan tahap kedua, yaitu kontak terhadap pemilih tadi berpengaruh terhadap pilihan voters. Two stage model dapat digambarkan secara sederhana sebagai berikut: Figur 8: Model Two Step Mobilisasi Pemilih Mobilisasi Partai Politik Stage 1
Kontak individu/ Voters
Stage 2
Kontak berpengaruh terhadap pilihan voters
Hasil penelitian Karp et.al (2008) tentang mobilisasi partai berdasar sistem Pemilu menunjukkan bahwa kontak kandidat berpengaruh kuat terhadap kehadiran voters ke TPS terjadi di US, Inggris, New Zealand dan Canada; itu terjadi karena negara-negara itu memakai sistem pluralis/distrik. Kontak kandidat berpengaruh sedang terhadap kehadiran voters ke TPS terjadi di New Zealand, Swedia, dan Belanda – yang memakai sistem PR. Sementara Australia yang memakai sistem compulsory pada Pemilu nya didapati hanya memiliki signifikasi yang rendah antara kontak kandidat kepada voters dengan tingkat kehadiran voters ke TPS.
10
Tabel 1:
Hasil Mobilisasi Partai Politik/Caleg Berdasar Sistem Pemilu
Tingkat Signifikansi Kuat
Mobilisasi Kontak kandidat – Kehadiran Voters
Sedang
Kontak kandidat – Kehadiran Voters
rendah
Kontak kandidat – Kehadiran Voters Sumber: diolah dari Karp et.al. (2008, h. 98).
Negara US Inggris New Zealand Canada New Zealand Swedia Belanda Australia
Sistem Pemilu Plural/Distrik
PR
Compulsory
Studi Dale (2009) sangat menarik, sebab ia berhasil mendeskripsikan tren kenaikan kehadiran voters ke TPS. Salah satu fenomena kunci dari strategi mobilisasi pemilih adalah social connectedness. Bentuk dari social connectedness adalah peringatan (remainder) kepada voters tentang saat registrasi, tanggal pemilihan, dan informasi lain. Reminder itu ternyata berhasil mendorong warga untuk melakukan registrasi. Tindakan registrasi menjadi tanda adanya keinginan untuk memilih. Maka peringatan/reminder sangatlah diperlukan untuk lebih menguatkan niat pemilih untuk hadir ke TPS. Memang Dale tidak memungkiri bahwa social connectedness bukanlah kondisi yang memastikan keberhasilan kampanye/mobilisasi partai atau kandidat. Social connectedness hanyalah strategi untuk menguatkan niat voters untuk hadir ke TPS. Pada beberapa hal taktik mobilisasi personal atau kontak personal kandidat kepada voters mampu membentuk social connectedness, yang selanjutnya menjadi unsur mendorong voters hadir ke TPS. Pada komunitas yang demikian, maka metode impersonal dan kontak pasif lain menjadi kurang efektif dalam mobilisasi kehadiran voters. Dale menuliskan kekuatan komunikasi face-to-face dalam membentuk social connectedness: “… that face-to-face communication have fairly consistently out performed impersonal modes of communication …that the personal nature of the contact makes a voter feel wanted at the polls … mobilizing a voter to ‘inviting them to a social occasion’ … the term social connectedness is used throughout this article to describe the extend to which a voter feels this sense of belonging at the polls…” (Dale, 2009: 788). Untuk menguatkan argumentasi di atas, studi Dale tentang efek mobilisasi memperlihatkan rentang dari yang sangat personal kea rah yang kurang personal, tabel nya dapat dilihat berikut ini:
11
Tabel 2:
Effect of Mobilization Strategies Listed from Most Personal to Least Personal Mobilization Strategy
Face-to-face Average Volunteer Phone Calls Average Commercial Phone Calls Direct Mail Robo Calls e-mail Sumber: Dale (2009: 789)
Effect 8% 3% 0.55% 0.6% None None
Sejak tahun 2006, menurut pengamatan Dale (2009) muncu gejala / tren baru, di mana reminder/ peringatan dilakukan dengan menggunakan cara impersonal, dan noticeable message contohnya sms. Sms adalah suatu bentuk kontak kandidat kepada voters yang impersonal. Cara ini ternyata makin popular, dan diakui efektif dalam memobilisasi pemilih. “…the new theory posits that, for some voters, a turnout strategy can be successful merely by increasing the likehood that individual pays attention to a reminder to vote. It is not essential that message citizens to vote through an appeal to social connectedness …” (Dale, 2009, h. 787) Kehadiran pemilih ke TPS adalah soal kesadaran pemilih. Yang terpenting adalah mengubah cara pandang dari “non voter” ke “ voter”, maka perlu menguatkan voters untuk bertransformasi kesadaran dan cara pandang mereka. Dinyatakan oleh Dale (2009, h. 789): “…an appeal to social connectedness provides social pressure that could be effective at catalyzing this type of transformation, which begins with the act of registering to vote …”. Dari study Dale ini, dapatlah di catat bahwa reminder adalah instrument penting, naik bagi penyelenggara maupun bagi kandidat. Ada tiga hal penting yang berkaitan dengan reminder: a. Warganegara yang terdaftar untuk memilih sudah memperlihatkan tanda-tanda keinginan berpartisipasi dalam proses politik, yaitu melalui tindakan mendaftar; b. Konsekuensi dari keinginan untuk memilih tersebut, pemilih yang tekah mendaftar tidak lagi membutuhkan persuasi untuk berpartisipasi; c. Baik personal maupun impersonal reminder sama-sama efektif, apalagi para voters menginternalisasi informasi yang diberikan kepadanya. Di samping kesadaran dan willingness, kehadiran voter ke TPS adalah suatu komitmen sebagai warganegara. Komitmen itu diawali dengan mendaftarkan diri sebagai pemilih. Pada konteks Indonesia, komitmen, kesadaran dan willingness ini ditandai dengan upaya mengklatifikasi dan meregistrasi ulang seandainya namanya tidak tercantum pada DPS.
12
Temuan studi Dale lain yang menarik pada masyarakat US berkaitan dengan tingkat kehadiran voter ke TPS adalah alasan warganegara tidak mendaftarkan diri sebagai pemilih pada Pemilu. Diantara alasan mereka, berturut-turut menurut proporsi responden adalah: -
Tidak tertarik pada Pemilu/tidak terlibat dalam politik Terlambat daftar Tidak memenuhi syarat sebagai pemilih Tidak tahu/menolak Tidak tahu kemana dan bagaimana mendaftar Disable / sakit permanen Tidak memenuhi syarat residensi Suara saya tidak mengubah apapun Kesulitan bahasa
Sedangkan alasan tidak memilih, diantara voters yang sudah terdaftar, antara lain: - Terlalu sibuk, tabrakan jadwal - Sakit/disable - Tidak tertarik - Ke luar Kota - Alasan lain - Tidak suka Caleg/kandidat dan isunya - Lupa pada hari pemilihan - Masalah registrasi - Tidak tahu di mana TPS nya - Masalah transportasi - Cuaca buruk Dari penelitian Dale ini, figur yang dapat disusun adalah: Figur 9: Taktik Mobilisasi, Social Connectedness dan Kehadiran Pemilih Personal mobilization tactic Social connectedness
Voters Turnout
Impersonal method & Passive contacts
Selain feneomena social connectedness, gejala vote buying juga terjadi di dalam proses Pemilu Legislatif di Negara maju. Studi Dal Bó (2007) menarik karena ia menerangkan tentang konsep Pemilu Legislatif itu sebagai bagian dari keputusan kolektif dari masyarakat, di mana keputusan kolektif itu ditentukan oleh pilihan individual. Hampir seluruh keputusan kolektif saat ini dilakukan melalui voting. Konsentrasi studi Bó adalah tentang pilihan individu dalam keputusan kolektif yang dipengaruhi oleh pihak luar yang menawarkan bayaran dari pilihan itu, terutama kepada kelompok terpuruk. Di Indonesia fenomena itu
13
kita masukkan dalam kategori beli suara atau politik uang. Menurut Bó pihak “luar” pemilih (kepentingan kolektif, di Indonesia baca Daerah Pemilihan), bisa mengatur keputusan kolektif yang diambil melalui voting. Hasilnya pasti tidak efisien, tidak maksimal dan salah. Bó mencatat studistudi terdahulu dalam literatur Ilmu Politik du US – bahwa Partai Politik dan pihak lain adalah elemen yang melakukan “trade off” diantara para legislator itu (misalnya studi Cox dan McCubbing, Weingast dan Marshall). Jadi banyak legislator yang terlibat kolusi-kolusi semacam itu. Teori pilihan pemilih dalam suatu voting yang digunakan oleh Bó (2007: 790-1) dalam artikel Bribing Voters adalah antara outcome-related costs atau vote-related costs, di mana keduanya termasuk suara korup. Situasi kerahasiaan atau secrecy dari pemilihan menentukan vote buying. Demikian juga tentang hasilnya, kalau suara yang diberikan itu korup, maka keputusan kolektif yang dihasilkan adalah buruk atau salah. Fenomena ini persis sama dengan yang banyak dialami oleh masyarakat Indonesia. Keterkaitan vote buying dan kehadiran di Kota Bengkulu menunjukkan tanda positif; di mana pada uraian hasil dapat dibaca secara lebih mendalam penjelansannya. Fenomena kehadiran pemilih bisa juga dihubungkan dengan kondisi kandidat sebagai incumbent (pertahana). Ada satu studi yang konteksnya menarik, tentang kehadiran voters, pencalonan pertahana, dan bantuan pemerintah pada bencana alam (Chen 2013). Studi Chen menunjukkan bahwa ada perbedaan tingkat kehadiran voters ke TPS antara sebelum dan sesudah adanya bencana alam. Pemilu yang berlangsung sebelum bencana, orientasi pemerintah dalam menurunkan bantuan, sangat berkaitan dengan dukungan pemilih kepada pertahana dan partai politiknya; momentum ini menguntungkan pertahana, kehadiran pemilih meningkat, dan suara untuknya juga meningkat. Sebaliknya tingkat kehadiran untuk mendukung partai oposisi menurun. Contohnya: bantuan bencana tornado di Florida ada kaitannya dengan perilaku kehadiran voters. Pada Pemilu tahun 2002 – sebelum bencana tornado pencalonan pertahana tidak menarik minat pemilih. Sebab pemilih tidak melihat orientasi pertahana dan pemerintah terhadap bantuan bencana. Pada Pemilu 2004, setelah tragedi bencana terjadi, dukungan dan kehadiran pemilih meningkat, karena mereka sudah melihat bagaimana respon kebijakan bantuan bencana yang dijalankan. Berdasarkan kajian Chen, banyak pemerintah yang memberi bantuan dalam berbagai bentuk; dan ini ternyata berkorelasi dengan kehadiran pemilun pada Pemilu. Contohnya subsidi pertanian, perlindungan sosial, medicare dan bantuan untuk veteran – punya signifikansi dengan tingginya kehadiran. Teori klasik Lipset menyebutkan bahwa keputusan warganegara dan pemilih untuk hadir tergantung pada relevansi kebijakan pemerintah pada kepentingan individu pemilih. Teori itu telah dicabar, karena fenomena lain menunjukkan bahwa: “…voters’s responses to political events are conditioned by their partisanship. Voters’s partisan identification serves as a ‘perceptual screen through which the individual tend to see what is favorable to his partisan orientation …” (Chen, 2013, h. 202)
14
Penerima bantuan cenderung termotivasi untuk memilih agar mendapat perlindungan di masa depan. Teori ini juga dikritik, perkiraan perilaku bias dari partisan pemilih dalam menentukan hadir atau tidak bisa terjadi. Mereka bisa merespon terbalik terhadap pemberian bantuan pemerintah, dengan tidak hadir dan tidak mendukung pertahana. Apa yang mendasari relasi asimetri atas bantuan pemerintah itu ? setiap pemilih bisa punya preferensi ideologis yang berbeda dari partai pemerintah. Selain itu, setiap pemilih punya politisi idola, yang prioritas untuk di dukung. Pemilih yang menerima bantuan dari partai yang sama dengan partai pemerintah pemberi bantuan merespon kehadiran secara positif; tujuan nya agar pertahana bisa terpilih kembali. Sebaliknya, pemilih yang berada pada partai lawan dari pertahana, mereka menolak hadir atau memilih pertahana karena alasan ideologi. Pada masyarakat yang relatif lebih matang dalam memandang orientasi politisi terhadap kebencanaan, maka penelitian seperti yang dilakukan Chen – menjadi referensi yang penting. Tindakan politisi dalam merespon bencana, manajemen bencana, dan model disaster aid menjadi pertaruhan kampanyenya, baik pencalonan individu maupun partai politiknya; sebab respon mereka memperlihatkan ideologi yang diyakininya. Figur 10:
Relevansi Program Bantuan dan Kehadiran Pemilih
Disaster Gov. Distributive Aid Or Disaster Aid
Election Voters’ Turnout
Disaster Sumber: diolah dari Chen (2013)
Mayoritas voters tidak memiliki kesadaran politis, sampai suatu saat mereka melihat, memperhatikan, dan mempelajari bagaimana pemimpin memikirkan dan melaksanakan bantuan bencana dalam kebijakan. Maka untuk membuat voters bisa melihat bagaimana sikap dan respon nya terhadap kebijakan bantuan bencana, mereka perlu aksi nyata dari pemimpin, yang itu berarti para pertahana. Di sisi lain mereka tetap bisa melihat bagaimama perilaku calon lain. Dale (2009) lebih lanjut menegaskan bahwa pemilih yang independen, mereka memiliki ideologi sendiri – meski reminder dan contoh aksi calon bias saja menjadi pertimbangan pemilih independen ini. Hipotesis Dale berbunyi: penanganan bantuan bencana sebelum Pemilu menyebabkan peningkatan kehadiran voters untuk memilih pertahana, tetapi akan menurunkan kehadiran bagi rival pertahana. Adanya disaster aid sebelum Pemilu, membuka cakrawala voters tentang bagaimana respon / kebijakan pertahana terhadap bencana dan efeknya kepada masyarakat. Bila manajemen bencana bagus, maka voters akan kembali memilihnya, pertimbangannya adalah jaminan bantuan bencana di masa depan; juga karena ideologinya sama. Motivasi kehadiran adalah untuk mendukung terpilihnya kembali pertahana. Untuk itu mereka hadir ke TPS dan memastikan dukungannya; maka probabilitas kehadirannya tinggi. Sedangkan probabilitas kehadiran untuk calon lain pasti terjadi sebaliknya. 15
Kepentingan voters – pemilih memiliki preferensi ideology. Pemilih juga memiliki preferensi dalam mempertimbangkan distribusi keuntungan. Kehadiran itu mahal bagi voters. Mereka dating ke TPS hanya bila preferensi pilihannya atau kandidat yang menjadi idolanya nya ada di DPT nya. Sehingga dorongan preferensi sangat kuat daya tariknya. Kehadiran pemilih ada kaitannya dengan political advertising. Ada sebuah penelitian yang menjelaskan tentang koneksitas antara political advertising dengan median voters, yang juga berarti jaminan kehadiran pemilih (Wittman 2009). Pemilih atau voters itu ada dua tipe: informed dan uninformed. Bagi kandidat, memaksimalkan kemungkinan untuk menang melalui political advertising. Political advertising dari kandidat termasuk informasi bagi voters, dan ternyata fungsi kelompok penekan sebagai pemberi/penyokong sumberdaya finansial untuk membiayai kampanye politik atas nama kandidat telah menjadi suatu fenomena. Tujuan dukungan kelompok penekan ini untuk mencapai median voters. Penjelasan Wittman itu dapat digambarkan pada figure sederhana berikut (h. 1324): Figur 11:
Keterkaitan Antara Political Advertising dan Median Voters
Candidates
Political Advertising
Median Voters
Pressure Group Sumber: diolah dari Wittman (2009)
Dalam penelitian Wittman, kelompok penekan memainkan peran sebagai penyumbang dana dan mengikat kandidat untuk ambil dukungan atau tidak (take it-or-leave it). Sebagai gantinya, kandidat mengambil posisi, dekat dengan kelompok penekan yang meng endorse dan mendanai kampanye serta memasarkannya. Strategi tersebut digunakan untuk mencapai median voters, terutama bagi uninformed voters. Median Vote for other candidate
Vote for and endorse candidate
Tanpa political advertising, pemilih yang tak terinformasi ( uninformed voters) tidak tahu posisi dari kandidat. Di sinilah fungsi kelompok penekan untuk mendorong kandidat melakukan pemasaran politik agar para pemilih memiliki informasi yang cukup sebagai bekal memilih. Hasil penelitian wittman menunjukkan bahwa: a. Uninformed voters adalah kelompok yang perlu informasi – untuk mendekati kelompok ini, kandidat membutuhkan banyak biaya, untuk memasarkan diri. Kelompok pemilih ini menerima banyak kandidat untuk didengar apa visi dan cita-citanya;
16
b. Pemilih tahu tentang posisi kandidat, tetapi tidak tahu kualitasnya, tentang ketrampilan leadershipnya, cara pandang, visi dan lain zsebagainya; c. Pemilih yang tidak tahu posisi kandidat, mereka tidak tahu apa beda kualitas para kandidat. Di sinilah peran kelompok penekan (dengan kepentingan yang serius), yang ingin menguasai seluruh keuntungan dari informasi itu menguatkan posisi nya, dan memfokuskan pada kesejahteraan pemilih. Jadi pemasaran politik / iklan selalu meningkatkan kahadiran pemilih, yang artinya mencapai median voters.
17
BAB 3: METODE PENELITIAN
3.1 Pendekatan Metodologi Isu political turnout atau kehadiran pemilih ke TPS adalah isu penting dalam aasesmen Pemilu di berbagai negara, termasuk Indonesia. Penelusuran sejarah demokrasi di Indonesia menunjukkan bahwa persentase kehadiran pemilih di masa Order Baru sangat tinggi. Pengalaman yang sama dimiliki oleh negara-negara otoriter lain, yang menggunakan kahadiran pemilih dalam Pemilu sebagai justifikasi terjadinya demokrasi. Sebaliknya, negara dengan pengalaman demokrasi yang lebih matang justru menunjukkan proporsi ketidakhadiran pemilih yang tinggi. Studi tentang political turnout dengan lingkup Indonesia sudah banyak, tetapi studi political turnout di daerah sangat kurang. Untuk mencapai hasil studi yang mampu menjelaskan pendorong kehadiran pemilih, gambaran partisipasi pemilih, penyebab peningkatan proporsi golput, dan rekomendasi perbaikan proporsi kehadiran pemilih pada Pemilu, maka studi ini menggunakan pendekatan penelitian aksi (AR). Pilihan penelitian aksi ini sesuai dengan fungsi KPU Kota Bengkulu sebagai penyelenggara, sebab hasil studi bermanfaat untuk evaluasi dan perbaikan penyelenggaraan ke depan. Argumentasi nya, studi ini menjadi tahap awal dari sebuah AR, yaitu tahap eksplorasi; yaitu tahap di mana hasil “act & observe” menjadi inti kajian. Penelitian AR adalah penelitian yang menggunakan pendekatan systemic inquiry; dengan prinsip, ciri, pedoman, prosedur khusus. Makna ciri tindakan / aksi berbeda dari penelitian itu sendiri; artinya pada penelitian tindakan – peneliti maupun subyek sama-sama terlibat, dan melakukan penelitian dalam rangka perubahan (Yaumi dan Damopolii, 2014); atau disebut participatory action research / PAR (Creswell, 2010); atau observation participant research (Neuman, 2006). Oleh Yaumi dan Damopolii (2014, h.3-4), penelitian aksi disebut sebagai proses demokratis dan partisipatoris yang menyangkut perkembangan pengetahuan praktis dalam upaya memperbaiki kondisi masyarakat. Epistimologi ini dikembangkan oleh Yaumi dan Damopolii berdasar pada pemikiran Coghlan dan Brannick. Secara paradigmatik, melalui inspirasi pemikiran Coghlan dan Brannick, Yaumi dan Damoolii menyusun sebuah komparasi pendekatan penelitian tindakan/aksi dari pendekatan dua pendekatan lain, yaitu positivisme dan hermeneutik dan postmodernisme. Matriks komparasi dapat dilihat sebagai berikut:
18
Tabel 3:
Komparasi Antar Paradigma
Fondasi Filosofis
Positivisme
Ontologi Obyektivis Epistimologi Obyektivis Teori Dapat digeneralisasi Refleksivitas Metodologik Peran peneliti Jauh dari data Sumber: Yaumi dan Damopolii (2014, h.6)
Hermeneutik & Posmodernisme Subyektivis Subyektivis Tertentu Hiper Dekat dengan data
Realisme kritis &
Action Research Obyektivis Subyektivis Tertentu Epistemik Dekat dengan data
Pendekatan AR memiliki kesamaam dengan positivism dalam ontologi obyektivis. Tetapi secara keseluruhan, terutama pada epistomologi, teori dan peran peneliti, maka penelitian aksi sama dengan paradigma hermeneutik dan posmodernisme. Keistimewaan penelitian aksi ada pada prinsip partisipatorisnya, dan visi perubahan; terutama pada upaya membangun kesadaran subyek. Serta, menghasilkan suatu pengetahuan baru demi keuntungan dan perbaikan hidup partisipan dan peneliti, serta kondisi sosiokultural. Kesesuaian penelitian ini dengan studi political turnout berakar pada perjumpaan antara isu dengan lembaga dan tim peneliti. Isu political turnout pada penelitian dan tim peneliti dari lembaga penyelenggara Pileg dan akademisi bertemu dengan ciri penelitian aksi, yaitu mengkaji, membingkai, mengkerangkakan, dan merekonstruksi wacana, yang berarti menghasilkan suatu pengetahuan baru untuk memperbaiki kondisi partisipan, kehadiran pemilih, vote buying, dan memahami fenomena golput. Hasil penelitian dijadikan masukan model peningkatan kehadiran pemilih, menurunkan tren golput di Kota Bengkulu, serta memperbaiki agenda sosialisasi dari lembaga penyelenggara Pileg. 3.2 Tahapan-tahapan Penelitian Studi eksplorasi ini adalah episode awal dari model AR, maka tahapannya juga mengikuti model AR. Sementara, penelitian aksi (AR) memiliki beberapa model diantaranya: model Kurt Lewin, model Kemmis dan McTaggart, model John Elliott, model Schmuck, model Stringer (Yaumi dan Damopolii, 2014). Sesuai dengan kebutuhan isu dan tujuan serta pertanyaan penelitian, maka penelitian aksi literasi politik ini menggunakan model McTaggart. Prinsip model ini, ketika terjadi interaksi sosial dalam suatu masyarakat, maka ada proses sosial yang terjadi dan menghasilkan perubahan praktik perilaku. Tahap dari model McTaggart antara lain terdiri atas: a. Pengkajian b. Pengkerangkaan atau reframing c. Rekonstruksi atau reconstructing
19
3.3 Lokasi Penelitian Lokasi penelitian political turnout adalah Kota Bengkulu. Letak geografis, peta Kota, sejarah Kota, informasi kultur dan situasi social, serta demografi dijabarkan pada bab deskripsi wilayah. 3.4 Peubah yang Diamati/Dikaji Isu utama yang diamati adalah political turnout atau kehadiran pemilih ke TPS. Sedangkan turunan atau aspek yang didalami untuk kajian, penyusunan kerangka, dan rekonstruksi antara lain: - Makna Pemilu Legislatif bagi warga; - Identifikasi faktor naik-turunnya partisipasi pemilih; - Faktor yang menyebabkan terjadinya golput; - Rekomendasi kebijakan yang perlu dirumuskan untuk meningkatkan political turnout. 3.5 Model yang Digunakan Di atas telah disebutkan bahwa studi ini mengikuti model Kemmis dan McTaggart. Tentu saja pelaksanaannya mengalami modifikasi, sesuai dengan kebutuhan studi lapangan. Basis etnografi yang dimiliki oleh tim peneliti menjadi bekal untuk mengembangkan tahap eksplorasi dari AR ini. Model Kemmis dan McTaggart memiliki tiga tahapan utama, yaitu: pengkajian, pengkerangkaan atau reframing, dan rekonstruksi atau reconstructing (Yaumi dan Demopolii, 2014, h. 21) Model Kemmis dan McTaggart merupakan suatu proses siklus berbentuk spiral, yang secara berkelanjutan bergerak maju. Dalam setiap siklus terdapat tahap kolaboratif, pastisipatorik, dan reflektif. Sedangkan proses keberlanjutan seperti spiral digambarkan sebagai: - Merencanakan perubahan - Mengubah dan mengobservasi, proses, dan konsekuensi dari perubahan - Merefleksi proses dan konsekuensi - Merencanakan kembali - Memberi tindakan dan mengobservasi kembali - Merefleksi kembali, dan seterusnya (Yaumi dan Demopolii, 2014, h. 24) Figur siklus dan proses keberlanjutan spiral dari Kemmis dan McTaggart dapat dilihat berikut ini:
20
Figur 12:
Siklus dan Proses AR dari Kemmis dan McTaggart Plan Reflect
Act & observe
r e f l e
Revised Plan
Reflect
Act & observe
Sumber: diolah dari Yaumi dan Demopolii (2014, h. 24)
3.6
Rancangan Penelitian
Penelitian ini adalah studi eksplorasi untuk isu political turnout di Kota Bengkulu. Sebagai tahapan dari penelitian aksi, dan mengikuti model Kemmis dan McTaggart, maka di sini perlu ada penjelasan tentang rancangan tahapan penelitiannya. Model Kemmis dan McTaggart bertumpu pada dua proses, siklus dan spiral. Pada proses siklus, maka studi ini mengkover kegiatan: a. Pengkajian, yaitu proses belajar bersama tentang political turnout. Proses belajar ini dilakukan pada saat pengumpulkan informasi melalui FGD. Tim peneliti dan partisipan penelitian sama-sama mengkaji tentang political turnout dari makna Pemilu Legislatif bagi warga, identifikasi faktor naik-turunnya partisipasi pemilih; faktor yang menyebabkan terjadinya golput; rekomendasi kebijakan yang perlu dirumuskan untuk meningkatkan political turnout. Pada model Kemmis dan McTaggart tahap ini disebut kajian terhadap “act & observe”. b. Tahap pengkerangkaan atau reframing dilakukan berdasar pada konteks political turnout, apa yang dilakukan kandidat dan pemilih, bagaimana interaksi antara partai politik dan pemilih/voters, nilai dan pemahaman voters tentang posisi suara/vote mereka pada Pemilu, political turnout, fungsi suara dan kursi legislatif, keterlibatan kelompok kepentingan dan kelompok penekan pada political turnout pemilih, dan pengaruh vote buying terhadap motivasi hadir ke TPS. Bahan reframing berasal dari FGD, interview, dan data sekunder.
21
c. Tahap rekonstruksi atau reconstructing – adalah kajian atas framing dan reframing dari political turnout pada Pileg tahun 2014 (dan pengalaman Pileg 2004, 2009). Reframing dari Pileg tahun 2014 ssungguhnya telah masuk pada tahap “revised plan” dari model Kemmis dan McTaggart, di mana usulan kebijakan yang tersusun menjadi input pada perbaikan rencana political turnout bagi KPU Kota Bengkulu, dan KPU pada umumnya. Sedangkan pada proses spiral, maka studi eksplorasi ini menjadi siklus pertama, yang akan menjadi rangkaian spiral secara berkelanjutan seperti gambar model Kemmis dan McTaggart di atas. Artinya ke depan perlu ada studistudi lanjutan yang akan mengkaji perubahan-perubahan kebijakan, baik yang direvisi berdasar pada hasil studi ini atau berdasar pada masukan dan agenda setting lain dari kebijakan tentang political turnout. 3.7 Teknik dan Proses Pengumpulan Data 3.7.1 Teknik pengumpulan data Melalui wawancara kelompok fokus (focus group interview) atau focus group discussion (FGD) dan interview. Rancangan pertanyaan untuk FGD antara lain:
a. Faktor naik turunnya angka partisipasi pemilih - Apa makna Pemilu Legislatif bagi warganegara ? - Apakah hari pencoblosan/pemungutan suara adalah hari perayaan, hari libur, hari penuh berkah ?
Hari Pemilu seharusnya merupakan hari perayaan yang penting bagi warganegara, yang perlu disambut dengan, misalnya berdandan meriah, bergegas dan penuh semangat ke TPS, merasa mendapat pengakuan atas hak politik dan menjadi warganegara yang baik .
- Apakah lama-kelamaan hari pemungutan tidak lebih dari hari kewajiban mencoblos saja (memudar sinarnya bagi pemilih) ?
Pernyataan seorang penduduk dari negara lain: Pemilu adalah hari yang menyenangkan bagi warganegara yang sungguh-sungguh terlibat dan rajin mendatangi TPS. Tetapi sekarang saya berpikir bahwa Pemilu Legislatif bukanlah hari khusus yang menyenangkan, hari itu hanyalah hari pemilihan biasa.
- Alasan utama tidak pergi ke TPS itu apa ?
22
b. Faktor penyebab terjadinya golput - Apakah banyak orang yang mendeklarasikan diri sebagai orang yang tidak memilih ? - Golput, siapakah mereka itu (pendidikan, etnis, agama, ras, kelas) ? - Apakah menjadi golput karena tidak ada caleg yang dipilih ? - Apakah golput ada hubungannya dengan kondisi ekonomi ? - Apakah datang ke TPS dan memilih dengan benar itu karena ada konsensus dari Caleg untuk menjalankan fungsinya ?
c. Rekomendasi ke depan untuk menurunkan voters turn out - Siapakah yang bisa menurunkan angka ketidakhadiran pemilih di TPS? - (bila disebut penyelenggara + Pemda) Apakah keterlibatan masyarakat, baik organisasi masyarakat sipil maupun tokoh masyarakat dapat meningkatkan kehadiran pemilih di TPS ? - Bagaimana dengan Partai Politik, apakah mereka bias berperan meningkatkan kehadiran pemilih ? - Bagaimana cara mendorong pemilih datang ke TPS ? Selain FGD, studi lapangan dilengkapi dengan interview kepada pengurus Partai Politik, tokoh masyarakat, media, dan LSM. Pertanyaan acuan yang dibawa oleh interviewer ke lapangan adalah:
Pengurus Partai Politik: 1. Apa saja dan bagaimana usaha Partai Politik untuk mendorong pemilih menghadiri TPS pada Pemilu Legislatif 2014 ? 2. Seberapa gigih para Caleg partai ibu/bapak melakukan sosialisasi pencalonannya kepada pemilih di daerah pemilihannya (Dapil) 3. Apakah Partai Politik percaya bahwa kehadiran/ketidakhadiran pemilih ke TPS itu tergantung pada ada/tidaknya uang yang diberikan Caleg/Partai Politik/ pihak ketiga kepada pemilih ? 4. Apa saran dan rekomendasi Partai untuk menurunkan persentase ketidakhadiran pemilih pada Pemilu Legislatif mendatang ?
Tokoh masyarakat 1. Bagaimana kepedulian masyarakat terhadap Pemilu Legislatif 2014 ? 2. Seberapa serius penyelenggara Pemilu, Partai Politik, dan Caleg megajak pemilih untuk hadir memilih ke TPS ? 3. Apa pendapat bapak tentang maraknya politik uang ? apakah politik uang (vote buying) itu menjadi unsur penting akan kehadiran/ketidakhadiran pemilih ke TPS ? 4. Bagaimana Caleg bisa memenangkan kursi tanpa uang di daerah tempat tinggal bapak ? (artinya pemilihnya sukarela dating memilih ke TPS dengan benar)
23
Media 1. Seberapa besar pengaruh media dalam meningkatkan kehadiran pemilih ke TPS ? 2. Dalam hal apa media bisa menjadi pendorong pemilih mendatangi TPS untuk memilih ? 3. Angka golput Kota cukup tinggi pada Pemilu 2014, yaitu > 25% - kira-kira apa penyebabnya ? 4. Seberapa serius penyelenggara Pemilu, Partai Politik, dan Caleg megajak pemilih untuk hadir memilih ke TPS ? 5. Apa rekomendasi media pada Pemilu Legislatif tahun 2019 ?
LSM 1. Seberapa besar pengaruh LSM/ormas dalam meningkatkan kehadiran pemilih ke TPS ? 2. Dalam hal apa LSM/ormas bisa menjadi pendorong pemilih mendatangi TPS untuk memilih ? 3. Angka golput Kota cukup tinggi pada Pemilu 2014, yaitu > 25% - kira-kira apa penyebabnya ? 4. Seberapa serius penyelenggara Pemilu, Partai Politik, dan Caleg megajak pemilih untuk hadir memilih ke TPS ? 5. Apa rekomendasi media pada Pemilu Legislatif tahun 2019 ?
Untuk melengkapai pengkajian, pengkerangkaan, dan konstruksi tentang political turnout, penelitian ini membutuhkan data sekunder, diantaranya: 1. Deskripsi wilayah dan sejarah Kota 2. Rekap Pemilu Legislatif tahun 2004 3. Rekap Pemilu Legislatif tahun 2009 4. Rekap Pemilu Legislatif tahun 2014 3.7.2 Proses Pengumpulan Data a. FGD di lokasi penelitian, dan melibatkan: Peserta yang diundang untuk mengikuti FGD pada studi Kehadiran dan Ketidakhadiran pemilih ini antara lain: - Petugas TPS - RT/RW - Pemilih: muda/pemula (pada Pemilu 2014 lalu), kelompok pedagang, petani, kelompok disable, kelompok miskin dan terisolir, kelompok terdidik, kelompok profesional, - Anggota penyelenggara Pemilu (minta kesetaraan komposisi jenis kelamin) - LSM
24
Jumlah peserta FGD - Petugas TPS : 2 orang - RT/RW : 2 orang - Pemilih: muda/pemula (pada Pemilu 2014 lalu), kelompok pedagang, petani, kelompok disable, kelompok miskin dan terisolir, kelompok terdidik, kelompok professional : 10 orang (mohon kesetaraan berdasar jenis kelamin) - Anggota penyelenggara Pemilu (minta kesetaraan komposisi jenis kelamin) : 3 orang - Saksi Parpol TPS : 2 orang - LSM : 3 orang Keseluruhan peserta FGD : 22 orang Fasilitator dan notulen: - Memenuhi kualifikasi – yang perlu di diskusikan antara tim peneliti Unib + tim Peneliti KPU Kota Bengkulu - Fasilitator dibantu oleh mahasiswa yang berpengalaman melakukan notulensi/note-taking b.
3.8
Interview kepada tokoh partai politik, tokoh masyarakat, media, dan LSM
Analisis Data a. Analisis simbolis Analisis simbolis ini fokus pada pembangunan komunikasi, produksi, dan organsasi sosial. Dalam konteks political turnout tentu berkaitan dengan analisis makna Pemilu Legislatif bagi warga, identifikasi faktor naik-turunnya partisipasi pemilih; faktor yang menyebabkan terjadinya golput; rekomendasi kebijakan yang perlu dirumuskan untuk meningkatkan political turnout. b. Reframing struktur sosial Reframing struktur sosial pada dasarnya menyusun analisis simbolik dari data makna Pemilu Legislatif bagi warga, identifikasi faktor naikturunnya partisipasi pemilih; faktor yang menyebabkan terjadinya golput; rekomendasi kebijakan yang perlu dirumuskan untuk meningkatkan political turnout. c. Reframing media sosial Proses penyusunan kerangka media sosial adalah inti tindakan penyebarluasan. Yaitu penyebarluasan dari kerangka simbolis-kultural, ekonomi, dan sosial politik dari political turnout.
25
d. Rekonstruksi pengetahuan tentang political turnout Rekonstruksi pengetahuan tentang political turnout merupakan tahap pembentukan pemahaman, ketrampilan dan nilai dari political turnout sebagai fenomena sosial politik di Kota Bengkulu dan pada konteks makro Indonesia. Rekonstruksi pengetahuan ini penting, sebab penelusuran pengalaman yang dilakukan bukan hanya dari sudut pandang penyelenggara Pileg, melainkan juga dari sudut pandang Parpol, tokoh masyarakat, pemilih, jurnalis, serta organisasi masyarakat sipil. e. Rekonstruksi tindakan / praktik sosial dari isu political turnout Inti dari rekonstruksi tindakan / praktik sosial ini adalah refleksi, serta revised plan untuk tindakan yang akan datang. Sebagai penelitian tindakan, tahap rekonstruksi tindakan penting, mengingat substansi rekonstruksi menjadi dasar input bagi kebijakan yang perlu dirumuskan untuk meningkatkan kehadiran pemilih ke TPS.
26
BAB 4: DESKRIPSI LOKASI STUDI Lokasi studi tentang kehadiran pemilih (political turnout) ini adalah Kota Bengkulu; salah satu dari sembilan daerah Kabupaten/Kota yang ada di Provinsi Bengkulu. Sebagai ibukota dari Provinsi, Kota Bengkulu memiliki beberapa “ikon” yang menunjukkan ciri perkotaan, seperti: menjadi pusat tujuan pendidikan – terutama pendidikan tinggi, pusat perdagangan dan grosir, pusat pemerintahan Provinsi sekaligus pemerintahan Kota; tetapi juga memiliki kawasan slum perkotaan, di mana penuh dengan masalah-masalah antara pedagang kaki lima (PKL), anak jalanan, kejahatan, prostitusi, dan persoalan khas perkotaan lainynya. Kota Bengkulu memiliki sejarah yang unik, karena di Kota inilah terdapat pelabuhan alam di Sumatra bernama Marlborough, di mana untuk pertama kalinya bangsa Eropa memasuki pulau Sumatra. Kota Bengkulu juga terkenal menjadi salah satu wilayah yang dipertukarkan dengan Singapura oleh pemerintah koloni Inggris dan Belanda pada tahun 1824. Untuk melengkapi laporan penelitian, pada bab deskripsi lokasi ini disajikan berturut-turut: peta lokasi Kota Bengkulu, sejarah nama Kota Bengkulu, pemerintahan, luas wilayah, data demografi, dan gambaran singkat sosio-kultural. 4.1 Peta Kota Bengkulu Gambar 1 : Peta Administratif Kota Bengkulu
Sumber : www.bengkulukota.go.id Diakses pukul 10.45 WIB, Hari Selasa, 19 Mei 2015
27
4.2 Sejarah Nama Kota Bengkulu Nama Kota Bengkulu memiliki perjalanan sejarahnya sendiri. Setidaknya ada tiga catata cerita yang dapat dijadikan sejarah asal-usul nama Kota Bengkulu. Pertama, pernah di duga berasal dari bahasa Eropa anatar lain bahasa Belanda, yaitu berasal dari kata Benkoelen atau Bengkulen. Dalam bahasa Inggris berasal dari kata Bencoolen. Vokabulari Bencoolen diperkirakan berasal dari nama sebuah bukit di Cullen, Skotlandia, Ben of Cullen (atau variasinya, Ben Cullen). Kedua, Kota Bengkulu berasal dari bahasa Melayu, yaitu Bangkahulu, yaitu kependekan dari kata bang yang berarti “pesisir” dan kulon yang berarti “barat”. Dalam perkembangan nya, terjadi pergeseran pada pengucapan dari bang berubah menjadi beng dan kulon menjadi kulu. Penamaan yang paling mendasar adalah yang berasal dari bahasa Melayu ini, sebab bukanlah tabiat bangsa Melayu untuk menamakan daerahnya dengan nama daerah yang tidak dikenal, misalnya yang nerasal dari bahasa Belanda, Inggris bahkan asal nama dari Skotlandia yang sangat jauh (www.bengkulukota.go.id). Bagi warga Bengkulu, sejarah nama yang paling dipercaya adalah yaitu berasal dari sebuah kisah perang masyarakat lokal melawan orang Aceh yang datang hendak melamar Putri Gading Cempaka, yaitu anak Ratu Agung Sungai Serut. Perang terjadi karena lamaran dari Aceh tersebut ditolak. Peristiwa perang tersebut, salah satunya menggambarkan ketika saudara kandung Putri Gading Cempaka yang menggantikan Ratu Agung sebagai Raja Sungai Serut berteriak “Empang ka hulu ” yang berarti hadang mereka dan jangan biarkan mereka menginjakkan kakinya ke tanah kita. Rupanya dari kata-kata Raja Sungai Serut itulah maka muncul kata Bangkahulu, yang berkembang menjadi Bengkulu (www.bengkulukota.go.id). 4.3 Sejarah Pemerintahan Kota Bengkulu Sebelum bangsa Eropa datang, antara pertengahan abad ke 13 sampai dengan abad ke 16 ada due kerajaan di daerah Bengkulu yaitu: Kerajaan Sungai Serut dan Kerajaan Selebar. Bangsa Eropa mulai melabuh di Sumatra melalui Bengkulu pada tahun 1685. Adalah bangsa Inggris yang pertama kali masuk ke Bengkulu, pasukan yang datang menggnakan tiga kapal bernama The Caesar, The Resolution dan The Defence itu dipimpin oleh Kapten J. Andiew. Selanjutnya mereka bermukim dan mendirikan pemerintahan koloni dan bertahan selama kurang lebih 139 tahun (1685-1824). Agak berbeda dari pengalaman pemerintahan koloni di lain kawasan jajahan Inggris, dalam masa koloni mereka di Bengkulu, ratusan pasukan Inggris meninggal karena penyakit dan perang. Penyakit yang banyak menyerang serdadu Inggris saat itu adalah kolera, malaria dan disenteri. Selain penyakit, penolakan masyarakat setempat terhadap pasukan Inggris sangat keras, sehingga selalu terjadi pertempuran dengan penduduk setempat dan pembunuhan terhadap orang Inggris. Dapat dikatakan bahwa kehidupan pasukan Inggris di Bengkulu sangat berat. Selama pendudukan Inggris di Bengkulu, terdapat beberapa landmark yang dibangun oleh pemerintah koloni Inggris itu. Pada masa pemerintahan wakil Gubernur 28
England Indische Company (EIC) Joseph Collet, antara 1714 — 1719, mendirikan Benteng Marlborough. Namun pemerintahan Collet mendapat tantangan dari masyarakat lokal; pada tahun 1719 rakyat Bengkulu bersama kepimpinanan Pangeran Jenggalu menyerang pasukan Inggris di Ujung Karang dan menduduki Benteng Marlborough, yang baru selesai dibangun. Peristiwa pendudukan Benteng inilah yang kemudian dijadikan tonggak sejarah kelahiran Kota Bengkulu. Pasukan Inggris yang sempat melarikan diri, ternyata kembali lagi ke Bengkulu dan menyerang balik pasukan perlawanan rakyat. Pergolakan antara masyarakat lokal dan Bengkulu terhadap Inggris tetap berlanjut. Pada salah satu pertempuran, yaitu di tahun 1807, seorang residen Inggris bernama Thomas Parr dibunuh. Posisi Residen Parr digantikan oleh Thomas Stamford Raffles, yang terus berusaha untuk memperbaiki hubungan damai dengan penguasa setempat. Di bawah kepemimpinan Raffles inilah terjadi perubahan pemerintahan yang besar, yaitu ada perjanjian antara Inggris dan Belanda untuk mengadakan pertukaran wilayah jajahan; Inggris menyerahkan Bengkulu kepada Belanda, dan sebaliknya Belanda menyerahkan Singapura kepada Inggris. Perjanjian itu ditandatangani pada tahun 1824. Sejak tahun 1824 sampai 1942, daerah Bengkulu sepenuhnya berada di bawah kekuasaan Pemerintahan Kolonial Belanda. Untuk mengukuhkan kekuasaannya, pada tahun 1878, Belanda menjadikan residensi Bengkulu terpisah dari Sumatera Selatan. Kebijkan itu membawa konsekuensi pada berdirinya kota kecil Bengkulu sebagai pusat Pemerintahan Gewes Bencoolen. Kekalahan Belanda dalam perang dengan Jepang pada tahun 1942, saatnya wilayah Bengkulu, termasuk Kota Bengkulu menjadi jajahan pemerintah kolonial Jepang selama kurang lebih 3 tahun. Masa pendudukan Jepang merupakan masa kritis di Kota Bengkulu, di mana revolusi dan pertempuran fisik dalam rangka kemerdekaan, telah meminta begitu banyak korban dari putera terbaik Bengkulu. Pada masa revolusi fisik Kota Bengkulu itu, pemerintahan di Bengkulu dipegang oleh Gubernur Militer Sumatera Selatan bernama DR. AK. Gani. 4.4 Luas dan Deskripsi Wilayah Status Kota Bengkulu paska kemerdekaan adalah Kota kecil di bawah Pemerintahan Sumatera Bagian Selatan. Luas wilayahnya, berdasarkan Undang-Undang Nomor 6 Tahun 1956 tentang Pembentukan Kota Kecil Bengkulu, sebesar 17,6 km2. Tahun 1957 status Kota Kecil Bengkulu berubah menjadi Kotapraja berdasarkan Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1957. Berdasar UU No.1 tersebut, wilayah Kotapraja Bengkulu meliputi 4 Kedatukan yang membawahi 28 Kepemangkuan yaitu : 1. Kedatukan wilayah I - terdiri dari 7 Kepemangkuan 2. Kedatukan wilayah II - terdiri dari 7 Kepemangkuan 3. Kedatukan wilayah III - terdiri dari 7 Kepemangkuan 4. Kedatukan wilayah IV - terdiri dari 7 Kepemangkuan (www.bengkulukota.go.id) Diakses pada jam 09.51 WIB Selasa, 19 Mei 2015
29
Berdasarkan Undang-Undang No. 9 Tahun 1967 jo Peraturan Pemerintah No. 20 Tahun 1968, Propinsi Bengkulu berdiri dan Kota Bengkulu dijadikan sebagai Ibukotanya. Selanjutnya, pada Peraturan Pemerintah No. 46 Tahun 1986, luas Kota Bengkulu ditentukan seluas 144.52 km2. Sedangkan, hasil pengukuran tahun 2008 oleh Badan Koordinasi Survei dan Pemetaan Nasional (Bakosurtanal), luas Kota Bengkulu adalah 151.70 km2. Secara geografi, Kota Bengkulu berbatasan dengan Kabupaten Bengkulu Tengah di sebelah Utara dan Timur; di sebelah Selatan berbatasan dengan Kabupaten Seluma; dan di sebelah Barat berbatasan dengan Samudera Indonesia ( BPS, 2013) Berdasarkan Perda No.28 Tahun 2008 tersebut, secara administratif, Kota Bengkulu terdiri atas 9 kecamatan yaitu Kecamatan Selebar dengan 5 Kelurahan dan luas wilayah 46.36 km2, Kecamatan Kampung Melayu dengan 6 kelurahan dengan luas wilayah 23.14 km2, Kecamatan Gading Cempaka dengan 5 kelurahan dengan luas wilayah 14.42 km2, Kecamatan Ratu Samban dengan 9 kelurahan dengan luas wilayah 2.84 km2, Kecamatan Ratu Agung 9 kelurahan dengan luas wilayah 11.02 km2, Kecamatan Teluk Segara dengan 12 kelurahan dengan luas wilayah 2.76 km2, Kecamatan Sungai Serut dengan 7 kelurahan dengan luas wilayah 13.53 km2 dan Kecamatan Muara Bangkahulu dengan 7 kelurahan dengan luas wilayah 23.18 km2 dan Kecamatan Singgaran Pati dengan 6 kelurahan dengan luas wilayah 14.44 km2. Figur di bawah ini menjelaskan proporsi kelurahan, jumlah RW, RT, dan luas wilayah kecamatan. Figur 13:
Persentase Kelurahan Per Kecamatan di Kota Bengkulu, Tahun 2012
Sumber: BDA Kota Bengkulu 2012
Tiga kecamatan terbesar jumlah kelurahan di Kota Bengkulu adalah Teluk Segara, Ratu Samban, dan Ratu Agung. Apabila dilihat dari luas wilayah (Figur 14 di bawah), Kecamatan Teluk Segara dan Kecamatan Ratu Samban justru memiliki wilayah 30
yang sangat kecil dibandingkan dengan tujuh kecamatan lainnya. Figur 14 menunjukkan bahwa Kecamatan dengan jumlah Rukun Warga (RW) terbanyak adalah Ratu Agung dan Selebar. Sedangkan tujuh kecamatan lain memiliki rata-rata jumlah RW sebanyak 29. Figur 14: Persentase Rukun Warga Per Kecamatan di Kota Bengkulu, Tahun 2012
Sumber: BDA Kota Bengkulu 2012
Figur 15: Persentase Rukun Tetangga Per Kecamatan di Kota Bengkulu, Tahun 2012
Sumber: BDA Kota Bengkulu 2012
31
Besarnya jumlah RW dari Kecamatan Ratu Agung dan Selebar, diikuti dengan besarnya jumalh Rukun Tetangga (RT) di dua kecamatan tersebut. Gambaran itu dapat dilihat secara detail pada Figur 15. Figur 16: Persentase Luas Wilayah Kecamatan di Kota Bengkulu, Tahun 2012
Sumber: BDA Kota Bengkulu 2012
Figur 16 merupakan proporasi luas wilayah kecamatan di Kota Bengkulu. Dari figur 16 dapat diketahui bahwa Selebar merupakan kecamatan terluas di Kota Bengkulu, yaitu 31 persen dari total wilayah Kota. Kecamatan terkecil luas wilayah nya adalah Kecamatan Ratu Samban dan Kecamatan Teluk Segara, yaitu 2,84 persen atau 2 persen. 4.5 Sosio-Kultural, Etnisitas, dan Agama Seperti halnya ciri perkotaan lain, Kota Bengkulu ebagai ibukota Provinsi, memiliki ciri heterogenitas dalam karakter sosial, kultural, etnis, dan agama. Ada 9 kelompok suku yang tinggal bersama-sama dan berbagi toleransi di Kota Bengkulu. Dari keragaman agama, penganut agama Islam adalah mayoritas (95.27 persen); Kristen Protestan sebanyak 3.59 persen, dan Hindu serta Budha berturut-turut 0.73 persen dan 0.41 persen. Data bisa dilihat dari tabel 4 berikut:
32
Tabel 4: Suku Bangsa
Agama
Data Suku Bangsa dan Agama di Kota Bengkulu Suku Rejang, Suku Serawai, Suku Melayu, Suku Mukomuko, Suku Ketahun, Suku lembak, Suku Enggano, Suku Pasemah, Suku pendatang dll. Islam : 95,27 % Kristen Protestaan : 3,59 % Hindu : 0,73% Budha : 0,41 %
Sumber : http://go.bengkuluprov.go.id/ver3/ Diakses Pukul 17.11, 24 Juni 2015
Dari tabel di atas memperlihatkan bahwa masyarakat bengkulu berasal dari berbagai suku, namun suku Rejang adalah jumlah terbanyak yang berdiam di Kota Bengkulu (Fitriyanti Herlindasari, 2014). Suku Rejang adalah suku yang mendiami seluruh wilayah Lebong, Curup, serta Kepahiang, dan bermigrasi ke seluruh Provinsi Bengkulu. Populasi Suku Rejang paling banyak, dibanding dengan suku lain; dan merupakan suku tertua di Pulau Sumatera, selain Suku Melayu. Mesipun suku Rejang adalah suku mayoritas di propinsi Bengkulu, tidak selalu menjadi dominan dalam penyelenggara dan pionir kemajuan. Menurut penelusuran beberapa tulisan, sebagian memiliki pola pikir khas suku primitif daerah, yaitu tertutup dalam menerima kemajuan dan dari pembaharuan yang datang. Konsekuensi dari ciri tersebut adalah cenderung curiga dan iri. Identitas ini dapat dilihat dari sikap yang sedikit lamban dalam menerima perubahan. Untungnya, kelemahan itu terpechkan dengan makin banyak orang muda Rejang yang menempuh pendidikan tinggi, dan mampu berkarya, serta menjadi tokoh penting di Provinsi Bengkulu. Perkembangan itu, mendorong perubahan pada masyarakat asli, di mana mereka mulai membuka diri dalam menerima pembaharuan di segala bidang. Data tentang penganut agama menunjukkan bahwa mayoritas masyarakat Kota Bengkulu memeluk agama Islam. Tetapi ada empat agama lain yang memiliki pengikut, yaitu Kristen Protesan, Hindu dan Budha. Dalam beberapa hal memang ada semacam “gesekan” anta kelompok beragama, terutama dalam kasus pembangunan tempat ibadah. Isu tersebut tidak hilang, tetapi matang dalam sekam. Situasi ini perlu menjadi catatan bagi Kepala Daerah dan pembuat kebijakan sosial lain. 4.6 Demografi Sampai dengan pertengahan tahun 2012, penduduk di Kota Bengkulu ada 319.908 jiwa. Dibandingkan dengan jumlah penduduk tahun 2011, naik sebesar 1,84 persen. Jumlah penduduk pada tahun 2011 berjumlah 313.324 jiwa. Dengan luas wilayah Kota Bengkulu 151,7 km2. Tingkat kepadatan Kota Bengkulu pada tahun 2012 adalah 2.103 jiwa per km2. Sedangkan presentase jumlah penduduk Kota Bengkulu dapat dilihat pada grafik 1 berikut :
33
Figur 17:
Presentase Jumlah Penduduk Per Kecamatan Kota Bengkulu, 2013
15%
16% 14%
12%
12% 10% 8%
16% 12%
13%
10% 7%
8%
7%
6% 4% 2% 0%
Presentase Jumlah Penduduk Per Kecamatan Kota Bengkulu Sumber : BPS Kota Bengkulu 2013
Figur jumlah penduduk di atas memperlihatkan bahwa penduduk Kota Bengkulu lebih banyak berada di Kecamatan Selebar, yaitu sebesar 16 persen. Kemudian, Kecamatan Ratu Agung sebesar 15 persen. Pada Kecamatan Gading Cempaka kepadatan penduduk sebesar 13 persen. Untuk Kecamatan Singaran Pati dan Kecamatan Muara Bangkahulu itu mempunyai presentase yang sama besar yaitu sebesar 10 persen. Penyebaran penduduk pada Kecamatan Ratu Samban sebesar 8 persen ternyata tidak jauh berbeda dengan Kecamatan Sungai Serut dan Teluk Segara yang jumlah penyebarannya sebesar 7 persen.
34
BAB 5:
ANALISIS DAN PEMBAHASAN
5.1 Makna Simbolik: Pemilu Legislatif dan Keterwakilan bagi Warganegara Secara teoritis, Pemilu Legislatif adalah instrumen negara untuk menentukan wakil rakyat yang absah duduk di lembaga legislatif, serta menjalankan tiga fungsi wakil rakyat itu. Bagi rakyat, sesungguhnya, Pemilu Legislatif lebih dari sekedar menjalankan pencoblosan bagi caleg-caleg yang disodorkan oleh lembaga penyelenggara Pemilu. Pileg merupakan hari penting bagi warganegara untuk mewujudkan hak politiknya, hari yang pantas disambut dan dirayakan dengan penuh semangat mendatangi TPS untuk memilih wakil yang dipercaya. Hak memilih merupakan pengakuan negara terhadap warganegara yang baik dan hak politik. Penelusuran makna hari Pemilu Legislatif dan perwakilan politik melalui FGD1 di Kota Bengkulu menunjukkan: Pemilu Legislatif … Bagi supir angkot: - Memilih wakil-wakil kita yang dapat menjawab aspirasi rakyat. Jadi memang tujuan memilih … sebutannya memilih pemimpin. Jadi sebagai perwakilan, wakil kita yang akan duduk di DPR. Bagi orang muda (perempuan): - Memilih pemimpin yang bisa menata kota yang lebih baik, dan memimpin rakyat Makna bagi aktivis LSM: - Memilih orang yang dapat menyerap aspirasi Sementara bagi pengurus RW: - Sebenarnya masalah politik ini tidak dipahami secara menyeluruh oleh masyarakat, menurut saya intinya mencari pemimpin yang merupakan SDM yang bagus, untuk mengontrol, menampung aspirasi rakyatnya, untuk menyampaikan masalah di Legislatif. Sumber: FGD 22 Mei 2015
Sejauh penelusuran melalui FGD, makna Pemilu Legislatif bagi pemilih dengan berbagai latar belakang pemimpin adalah (i) yang mewakili kepentingan warga, (ii) yang mampu menata kota demi kepentingan dan kebutuhan warga, (iii) serta wakil yang mampu memperjuangkan aspirasi/kepentingan warganya melalui legislasi. Wakil rakyat juga diharapkan (iv) dapat menjadi pengendali jalannya pemerintahan di Kota. Apabila disandingkan antara hasil penelitian di negara berdemokrasi maju, apa yang dipikirkan oleh pemilih kebanyakan dari Kota Bengkulu tidaklah jauh berbeda dari hasil-hasil penelitian dan teori dari masyarakat lain. Misalnya bagaimana penilaian terhadap Pemilu, apakah itu harinya para Caleg atau harinya para pemilih ?. Seluruh partisipan FGD berseru dengan yakin bahwa Pemilu adalah harinya pemilih. Jadi sebenarnya Pemilu legislatif itu adalah Partisipan yang hadir pada FGD antara lain: pedagang, warga dengan disabilitas, miskin dan terisolir, warga terdidik, professional, LSM, saksi Parpol, Caleg yang gagal duduk di Pileg 2014, penyelenggara Pemilu – termasuk petugas TPS. 1
35
harinya para pemilih, sedangkan bagi caleg dan Parpol hari Pemilu adalah evaluasi thd elektabilitas nya. Bagi saksi Parpol dan Caleg gagal duduk: - Hari Pileg merupakan harinya para pemilih, dikarenakan para pemilih ini menentukan siapa saja wakil-wakil mereka nanti yang akan menyerap aspirasi dari pemilih, untuk nanti di sampaikan ke Walikota, aspirasi yang diambil itu nanti akan di tetapkan. Jadi makna dari Pileg itu kita menentukan orang-orang yang akan menetapkan wakil yang dapat mengkontrol pemerintah, siapa saja yang menampung aspirasi masyrakat. Fungsi dari Pileg memilih wakil-wakil kita yang mampu menampung aspirasi rakyat yang berada di kota. Sumber: FGD 22 Mei 2015
Hari Pemilu legislatif dipahami sebagai hari pemilih. Dengan kata lain pada hari itulah suara pemilih dituangkan. Pada hari Pemilu, pemilih yang memberikan suara, sementara untuk menampung aspirasi belum dapat dilihat langsung pada hari itu. Harapan para pemilih, wakilnya dapat menduduki kursi lembaga legislative, dan dipercaya membawa aspirasi pemilih. Nanti, kalau orang yang dipilih menang, maka pemilihnya bisa menyuarakan aspirasi/kepentingan nya, misalnya: jalan yang bagus, mengatur jalan bagi truk-truk besar melewati kota. Jadi proses penyuaraan aspirasinya terus menerus, selama mereka bertugas di lembaga legislatif. Pada saat kita memberikan suara pada hari Pemilu, kita sedang merayakan apa? Bagi perempuan aktivis: - Kita merayakan kemenangan, kita sama-sama memilih orang yang berhak duduk di sana untuk bisa mendengarkan aspirasi kita yang berada “dibawah” Mahasiswi: - Sebenarnya sedikit atau banyak nya pemilih, menunjukkan seberapa banyak dukungan masyarakat terhadap acara pesta rakyat tersebut. Apabila mereka tidak datang mungkin mereka kurang percaya untuk menyampaikan aspirasi, atau tidak ada pilihan yang cocok untuk dipilih Sumber: FGD 22 Mei 2015
Orang yang datang ke TPS itu ingin memberikan suaranya, jadi sedikit atau banyak sebenarnya sedang menentukan arah, kepada siapa. Kalau pemilih tidak datang itu apa maknanya ?. Kalau datang berarti pemilih sedang memulai memberikan suara untuk seorang Caleg supaya kita bisa punya wakil, tersambung dengan mereka. Kalau tidak datang gimana?.
36
Perspektif aktivis LSM lebih lugas dalam menyampaiakan makna Pileg, pemilih tidak lagi memiliki pengharapan dari hasil Pemilu, termasuk Pileg. Hasil interview di bawah ini menjadi temuan yang menarik: LSM Lingkungan Hidup – Bengkulu: … ternyata angka-angka kepedulian orang terhadap demokrasi itu semakin menipis. … kebijakan yang tidak melihat ke bawah, nah masyarakat ini mengadu kemanapun dia, tingkat Kabupaten, DPR terus Pemkab nya terus Provinsi dan juga mengadu ke DPR melalui lembaga pemerintah seperti Ombudsman, tetapi tidak ada hasil … dan kebanyakan masyarakat seperti itu mereka tidak merasakan perubahan, jadi untuk apo saya milih orang itu, dulu mau mengadu tidak ditanggapin ini kan caerita cerita tapi fakta itulah akibatnya, artinya kenapo banyak golput. … tingkat apa namanya tu kepercayaan masyarakat tingkat ingritas masyarakat dengan pemimpin itu lemah, karena apa, karena ternyato orang-orang tersebut tidak melihat ke bawah … seperti menara gading Pengurus Partai Politik … ya, parpol hanya bisa menghimbau melalui kader-kader … agar menarik pemilih menghadiri TPS dan memilih. Masyarakat umumlah yang menginginkannya, …
Dari penjelasan aktivis LSM, jelas bahwa makna Pileg tidak lagi sacral dan harapan atau senjata bagi rakyat untuk melimpahkan kedaulatannya kepada calon wakil. Mereka bahkan ragu-ragu memberikan suaranya karena integritas calon wakil tidak tampak, tidak diketahui dan tidak tercatat. Politisi dituduh bekerja untuk dirinya sendiri, paling tidak bekerja untuk Partai dan pendukungnya. Dari sisi Parpol, parpol menyerahkan mobilisasi kehadiran pemilih kepada Caleg, sambil berharap masyarakat mau hadir dan memilih caleg dari partainya. Ini agak berbeda dari studi Karp et.al (2008) di mana mobilisasi kehadiran pemilih adalah utamanya menjadi tupoksi partai. Dari FGD dan interview menunjukkan bahwa pemaknaan sangat lah berbeda sesuai dengan kepentingan berbagai pihak. Hal penting yang perlu dicatat, political turnout tidak bisa dilepaskan dari mobilisasi partai kepada pemilih. Sementara strategi calon wakil adalah membaca kepentingan pemilihnya. Banyak orang berbincang tentang aspirasi, ternyata makna aspirasi sangat luas. Ada yang memaknai kalau pemilih mendatangi TPS pada hari Pemilu legislatif adalah wujud pemilih menyampaikan aspirasi. Ada juga yang memaknai aspirasi rakyat sebagai suatu mitos, klise. Dari penelusuran FGD tentang aspirasi ini, ada antara koneksitas kedatangan pemilih ke TPS dengan politik uang/transaksi suara atau “ vote buyer”. Gejala ini juga terindikasi di negara-negara maju sekalipun, seperti yang ditulis oleh Wittman (2009) dan Dal Bo (2007). Hasil penelitian Wittman dan Dal Bo jelas menceritakan kasus-kasus adanya vote buying, meski dilakukan oleh Partai atas kudungan korporasi yang memiliki kepentingan atas posisi calon wakil di Parlemen lokal.
37
Ketua RW: - Masalah aspirasi rakyat itu agak klise, jaman sekarang ini hampir di seluruh kelurahan mereka datang ke TPS karena sudah dikasih uang. Setiap keluarga itu didatangi timses dan dikasih uang, jadi aspirasi-aspirasi itu tidak ada. Umumnya pemilih menentukan wakil karena ada duitnya tadi, masalah wakil terserah siapa saja, apa orangnya itu punya kriteria atau SDM bagus, atau memang betul-betul bisa menjalankan aspirasi rakyat itu gak ada di dalam pikiran rakyat, yang penting ada uang. Sumber: FGD 22 Mei 2015
Informasi Ketua RW pada FGD menunjukkan bahwa salah jalur transaksi suara dilakukan melalui Timses dan RT. Fenomena jalur transaksi ini tidak selalu sama, transaksi yang dilakukan melalui RW lebih mudah dilakukan, sebab ia digunakan sebagai pihak yang mengkoordinasi. RW dianggap punya rakyat, punya kekuasaan, jadi mereka tahu berapa banyak transaksi suara bisa dilakukan. Referensi yang tepat untuk menjelaskan fenomena vote buying ini adalah tulisan Dal Bo (2007). Sedangkan Ketua RW mengaku belum pernah menerima uang, tapi ia mengetahui, terutama transaksi suara yang terjadi di Kelurahan nya. Menurutnya, kondisi kita ini sudah bobrok, segalanya harus menggunakan uang. Dari informasi Ketua RW, ada temuan menarik yaitu bahwa ada pemilih yang datang ke TPS tidak untuk merayakan hak pilihnya; tetapi karena sudah janjian, karena sudah dikasih uang oleh Caleg dan timses. Hubungan antara transaksi suara dan kehadiran pemilih memang ada, meskipun secara hukum jarang terbukti. Beberapa kasus transaksi saura dilakukan oleh beberapa Caleg/timses, sementara pemilih tidak dapat dipastikan menentukan pilihannya kepada siapa. Informasi aktivis LSM dan partisipan FGD lain memperkuat fenomena ini: Fasilitator: - Bagaimana dengan transaksi suara yang sudah diterima dari dua atau tiga Caleg ... sudah dikasih uang muka. Apa yang terjadi di bilik suara, pemilih tidak bisa ditanya pilih siapa, dan kita tidak bisa tahu. Partisipan FGD: - Tergantung besar kecilnya transaksi Aktivis LSM: - Itu, semua hampir rata-rata, yang menjadi wakil rakyat itu hampir rata-rata melakukan transaksi, walaupun orang itu betul-betul bagus, Mantan Caleg: - Kemenangan atau kekalahan itu ditentukan oleh Allah SWT, itu pada dasarnya, saya dulu sebagai ketua RT di …. Kalau yang namanya uang, masyarakat sekarang sudah pintar, kepercayaan mereka hanya pada satu orang. Karena kedekatan masyarakat, uang diambil pilihan tetap di saya. Intrik-intrik karena uang itu memang ada. Tapi kedekatan emosional, keluarga atau sistem penyampian kepada masyarakat juga perlu. Sumber: FGD 22 Mei 2015
38
Temuan ini menarik, sebab kehadiran pemilih ke TPS di kontrol oleh gejala lain, yaitu tren pemilih sudah terjerat transaksi suara dengan Caleg atau timses. Ketika ada pertanyaan tentang motif pemilih datang ke TPS, apakah kira-kira lebih banyak yang datang ke TPS untuk menggunakan hak pilihnya, atau sudah terlanjur janji kepada yang memberi uang muka ?. Aktivis LSM: - Betul apa yang dikatakan pak Ketua RW, masyarakat itu datang karena sudah diberi uang ongkos. Masyarakat sekarang lebih baik kerja sebagai kuli bangunan dari pada datang ke TPS, Pemilu tidak merubah kehidupannya, ada kontribusinya pada hidup masyarakat. Bagi orang muda, apa motif kehadiran di TPS: - Baru pertama memilih, percaya diri - Kepada orang muda ada yang menawari ongkos transportasi - Sebagian orang muda tidak memperhatikan tawaran-tawaran seperti itu Tetapi jawaban itu dibantah oleh aktivis LSM, alasannya orang muda itu jarang keluar rumah. Soal datang ke TPS ini tadi, ada orang muda yang datang sendiri karena ada aspirasi, dan ada yang datang ke TPS karena sudah ada janji untuk memberikan suaranya. Partisipan muda lainnya menceritakan: - Kalau menurut saya (sambil terbata-bata). Orang muda masih labil, apalagi kan yang mengalami ikut Pemilu pertama, politik uang atau transaksi suara itu kan pasti ada. Dia menjawab dengan tegas bahwa ada orang-orang yang menawari uang. Dia juga mengakui bahwa kebanyakan anak muda menerima tawaran itu. Nominal dari pemberian Caleg.timses itu beragam, tergantung Calegnya; lalu, dengan berat ia menjawab sekitar Rp 50 ribuan. Sumber: FGD 22 Mei 2015
Merespon praktik politik uang kaitannya dengan kehadiran pemilih, hasil interview kepada tokoh Partai dan tokoh masyarakat menunjukkan hal menarik. Tokoh Partai “mengakui” ada praktik transaksi suara, meski selalu tak bias dibuktikan secara hukum. Dari pihak partai, oknum yang melakukan praktik politik uang adalah caleg nya, dan itu sama sekali bukan kebijakan partai. Namun tokoh partai juga menekankan adanya fenomena persaingan antar caleg di internal partai; factor inilah yang melestarikan dan menunbuhkembangkan budaya vote buying di Kota Bengkulu dan Indonesia. Gejala seperti ini sama dengan hasil penelitian Karp et.al (2008) dalam konteks mobilisasi personal, dan Dal Bo (2007) dalam konteks kompetisi antar partai. Tokoh Partai … … politik uang itu biasanya digunakan bukan dari partai biasanya caleg … karena persaingan ketat …hehehe, dengan berbagai macam cara ada yang dengan uang ada yang dengan barang … … kita tidak bersuudzun ya …, memang terus terang saja kesadaran masyarajat
39
masih kurang, ya awak lah sebagai orang muda (interviewer) aku tanya milih nggak,hehehe nggak kan, nah kan enggak udah lah jujur aja nggak, orang muda/mahasiswa itu nggak ada yang milih, heheh apalagi masyarakat, masyarakat kita kan tahu sendiri mulai dari tingkat bawah apalagi namanya pedagang kerja dari pagi dari jam 7 atau jam 6, atau jam 5 pagi udah kepasar menjajalkan barang, kapan lagi ada waktu ke TPS ? minat kehadiran pemilih ditular dengan uang ... tidak ada uang mereka tidak mau datang ... atau dengan adanya uang itulah mereka tertarik datang
Tokoh masyarakat Tanya:…hubungan kehadiran dan transaksi suara … Jawab: …itu sudahpasti Tanya: … ada gak sih pak harapan pemilih datang hanya karena dikasih uang Jawab: pasti dikasih duit, idak dikasih duit idak mau dating Namun bisa juga tergantung tim suksesnya ya …misalnya … yang kemaren pemilihan DPR sama DPD kan, nah itu aku yang jalankan, tidak pakai duit sama sekali, mutlak, aku cuma dukung Kenedi (DPD) sama Khoiratul Aini (DPR RI), memang gak pakai duit ... Ya makanya aku bilang tergantung tim sukses nya, Kanedi dak pernah injak kaki disini, menang mutlak disini, Khairatul Aini mutlak disini, Khairatul Aini tau . Khairatul aini? (berkali-kali Pak Darmawansyah mengulang nama Kanedi dan Khairatul Aini dengan mimik muka tegas, berharap saya juga mengenalnya)
Gejala menarik yang terungkap pada FGD adalah kehadiran pemilih pemula ke TPS dengan transaksi suara di kalangan mereka. Asumsi tentang adanya transaksi suara dengan kehadiran pemilih pemula ke TPS hanya terjadi di kalangan strata sosial ekonomi rendah, tampaknya perlu dipikirkan kembali. Transaksi suara di kalangan orang muda psti ada hubungannya dengan pemahaman mereka tentang hak pilih dan hak politik. Ketidak pedulian orang muda atas hak pilih mereka, yang terjadi karena “kegagalan” proses pendidikan politik atau civic education di Indonesia, menjadi isu penting. Sebab di sanalah menjadi lahan subur bagi transaksi suara, sebab orang muda/pemilih pemula tidak menyadari sepenuhnya apa yang sedang mereka alami. Karena sebenarnya persoalannya bukan sekedar soal uang, tetapi soal hak asasi yang hilang – terjual dalam transaksi suara. Penelitian Karp et.al (2008) penting sebagai pembanding atas gejala transaksi suara dan kehadiran pemilih. Pada konteks Inodnesia, termasuk Kota Bengkulu yang menjadi pertanyaan adalah kelompok pemilih pemula. Hasil FGD menunjukkan bahwa kaum muda juga menjadi sasaran praktik transaksi suara; dan tidak sedikit anak muda yang menerima dan menyetujui praktik transaksi itu. Kembali pada pertanyaan tentang Pemilu sebagai hari bagi pemilih - hari di mana pemilih itu menggunakan hak politiknya, diterima dengan sangat gembira dan antusias. Gembira, baru pertama kali memilih, pengalaman pertama selalu disambut dengan antusias. Gembira, karena bisa menentukan aspirasi rakyat, apalagi wakil rakyat yang dipilih sukses membangun. Harapan pertamanya menang dulu dan bekerja dengan baik. Transaksi suara menghilangkan semua makna dan praktik demokrasi di atas. Hari Pemilu menjadi hari membayar
40
hutang bagi pemilih yang sudah di “ijon” suaranya oleh para Caleg/Parpol bersama timsel mereka. Temuan lain yang tercatat pada studi ini adalah kaitan antara kehadiran/ketidakhadiran pemilih dan data. Informasi KPPS menarik untuk dipelajari: - Kalau kami ketidak hadiran pemilih itu sudah jelas, ketidak hadiran masyarakat di TPS-TPS itu menurut kami (yang terlibat mulai dari menerima pemilih di TPS sampai ke PP), warga yang tidak kita cek dalam DPT bisa mencapai 99%. - Ketidak hadiran mereka ke TPS itu menjadi masalah, terutama penghuni tidak tetap, atau yang menyewa rumah, masanya cuma setahun atau dua tahun. Namanya ada di DPT, lalu mereka pindah, kito idak tau kemano. Peraturannya berbunyi kalau sudah tercantum jangan dicoret. Ketidak hadiran itu salah satunya disebabkan kasus penyewa jangka pendek itu. Petugas tidak tau kemana orang numpang itu pindah. Mereka sekedar numpang saja, mungkin dia ada keperluan saja, numpang tiga hari, tidak tahu asalnya dari mana.
Pengalaman warga di US tentang Pemilu Legislatif – semula Pemilu adalah hari yang menyenangkan, terutama bagi orang-orang yang terlibat dan rajin mendatangi TPS. Tetapi saat ini mereka berpikir bahwa Pemilu Legislatif bukanlah hari khusus yang menyenangkan, hari itu hanyalah hari pemilihan biasa. Di bandingkan dengan pengalaman itu, yang terjadi di Kota Bengkulu, selain mereka yang mendapat “iming-iming” uang / transaksi suara baik dari Caleg maupun dari timses; ternyata Pemilu kurang mendatangkan antusiasme, respon dari partispan FGD: Memang benar itu … jadi nampak-nampaknyo di dalam pemilu kito dalam sesuatu pesta rakyat namanya. Kadang-kadang para kandidat-kandidat itu tidak tahu persis tentang kita. …pemilihan itu hari biasa saja, tidak istimewa sama sekali, itu pandangan dari masyarakat sekarang. Jadi betul adanya, Pemilu bukan merupakan hari yang ditunggu
Data dari KPU Kota menunjukkan pemilih yang tidak hadir ke TPS untuk menggunakan hak suara adalah 29,01 persen pada tahun 2004, pada tahun 2009 jumlah golput mencapai 31,27 persen, dan pada tahun 2014 turun menjadi 25,34 persen. Pemilih yang tercatat pada DPT dan tidak datang ke TPS itu kita anggap sebagai orang yang golput. Jumlah golput ini makin besar apabila dihitung dengan jumlah suara yang rusak. Karena bisa saja pemilih datang ke TPS, karena takut terhadap sanksi sosial, tapi kertas suratnya dirusak; bahkan ada yang tidak dibuka lipatannya, langsung dicoblos.
41
Pengalaman aktivis LSM: Memang benar apa yang dikatakan oleh pak Yy, kedatangan pemilih ke TPS itu bukan berarti karena uang; ada juga yang berhubungan dengan kelengkapan data. Tahun 2009 tingginya golput karena pengaruh pemilihan Bupati atau Walikota. Awal transaksi suara / politik uang adalah saat berlansgungnya Pilkada. Maraknya transaksi suara antara pemilih dan Calon Bupati/Calon Walikota, menjadi pola transaksi pada Pileg. Transaksi suara pada Pilkada sangat …, karena mereka adalah calon individu, istilahnya “sistem pribadi”. Tahun 2004 kemarin banyak yang mendapat uang. Yang biasanya golput aja datang karena diberi uang. Timses udah berdiri dan siap nyodorin uang. Jadi sudah tahu, dan sudah bisa dihitung berapa suaranya. Sekarang ini bahasanya itu uang, udah gak ngumpet-ngumpet lagi, sudah dor-doran, tidak sembunyi-sembunyi lagi. Makannya kita terpuruk sekarang ini … Tambahan informasi: Untuk Pemilihan Gubernur aja udah heboh bu, oo ... ampun. Artinya pemilihan kita sudah tidak normal lagi. Pemilu tahun 2004 dan 2009 kita terpuruk sampai sekian persen, nah tahun 2014 itu menurun karena memang money politiknya terlalu tinggi. Bagaimana dengan Panwas ? Panwas juga tidak bisa bergeming, karena mereka juga mungkin … kini massa jadi takut. Timses calon mungkin lebih gerot-gerot lagi.
5.2 Proses Reframing Keputusan golput bisa dilakukan oleh siapa saja. Polanya agak sulit di gambarkan. Tetapi alasan secara sadar memilih golput, latar belakangnya dapat dikategorikan. Misalnya, (i) yang sudah disebutkan di depan, yaitu pemilih tidak hadir ke TPS, karena tidak ada yang manawarkan transaksi suaranya. Alasan lain, (ii) berkaitan dengan kekecewaan – di mana wakil-wakil rakyat dari Pemiu Legislatif sebelumnya tidak membuat suatu perubahan sama sekali. Dengan kata lain pemilih tidak tertarik memilih para Caleg yang ada pada daftar calon, tidak berkenan, tidak “sreg”. Di samping itu ada alasan yag primordial, (iii) yaitu tidak memilih karena tidak ada saudara dekatnya yang maju Caleg, pada saat saudaranya ada yang mencalonkan diri – maka ia akan bersemangat hadir ke TPS untuk memilih. Ada satu lagi alasan tidak memilih, (iv) yaitu teknis; kertas suara terlalu besar, karena Caleg dan Parpolnya sangat banyak – membingungkan. Para pemilih mempertimbangkan bahwa cara memilihnya sulit dan membingungkan, dan itu ternyata tidak sepadan dengan hasil nya – para wakil mereka tidak membuat perubahan, kurang mampu menjalankan tugas. Perbandingan hasil studi ini dengan studi Dale (2009) cukup mencengangkan. Sebab situasi demokrasi yang berbeda, tetapi menunjukkan gejala yang mirip. Nyatanya pemilih merasa bahwa hasil kehadirannya memilih tidak berdampak apapun di masa kerja dari wakil di Parlemen. Para wakil
42
bekerja sesuai dengan “bisnis” nya sendiri dan terputus lah hubungan dengan yang bernama aspirasi. Proses reframing tercermin dari pernyataan partisipan tentang fenomena di atas, dapat dilihat pada boks di bawah ini: Aktivis LSM: …Oh saya dari Pemilu tahun 2004 saya golput. Salah satu alasan warga yang saya lihat karena mereka kecewa kepada wakil rakyat; karena tidak ada perubahan sama sekali. Mungkin yang pas sekarang mereka lihat waktu pemilihan …ini Caleg yang mereka pilih adalah keluarga, namun setelah terpilih tidak ada perubahan sama sekali. Pribadinya juga saya liat … kebanyakan pemilih itu PNS. … intinya mereka kecewa Pengurus RW: Pemilu tahun 2009, saya sendiri golput, Pemilu tahun 2014 saya ikut milih karena ada saudara saya mencalon anggota legislatif. Caleg saudara saya itu gagal … Saya lihat mereka yang mencalonkan diri itu, gak inilah .... kurang berkenan lah ... tidak srek. Gimana ya … kalau lihat Pemilu tahun 2009, ya gak mau aja bu. Kawan-kawan juga bilang gitu. Gak cocoklah untuk saya. Pemilu tahun 2014, malah saya disuruh membantu sepupu yang calon, jadi tim sukses. Jadi harus ikut milih. Yang jelas ya karena kita orang-orang itu peduli. Pedagang: Pertama … memilih golput karena tidak tahu harus memilih siapa, banyak versinya. Yang kedua proses pemilihannya ... kita sekarang kan bu … cara pemilihannya berbeda, satu kertas ada beberapa calon, membingungkan bagi warga-warga yang di kelas bawah … susah untuk mengerti itu. … saya pernah ke pasar dan orang pasar itu pernah bilang gini “… untuk apo ambo milih toh ambo milih dak ado perubahannya”. Jadi mereka memilih pun tidak ada perubahan untuk mereka sendiri. Golput, karena mereka tahu dan lebih berpikir ke depan, mereka melihat calon-calon itu kurang mampu … mohon maaf … kurang mumpuni. Di balihobaliho, tukang becak pun bisa jadi anggota DPRD … kan memang boleh … ada peraturannya sendiri. Tetapi, untuk mencalonkan diri sebenarnya perlu lihat pendidikan, pengaruh … dan itu tidak sembarang orang. Jadi orang yang golput mengganggap orang yang mencalon tidak layak untuk menjadi wakil rakyat. Petugas TPS Kalau pengalaman kita di lapangan, pernah menjadi petugas TPS (Kel Tengah Padang), masyarakat dari kalangan buruh, mereka ini terbentur ekonominya. Mereka itu kalau tidak bekerja sehari … mereka tidak makan. Ketidak hadiran mereka ke TPS ada hubungannya dengan ekonomi. Lebih baik dagang dari pada pergi memilih … dan juga gak ada perubahan. Yang kedua ya itu, karena kecewa memilih wakil rakyat tapi tidak ada perubahan bu, dari ekonomi masyarakat ya sampai sekarang ini saja tambah kacau. Partisipan dari LSM: Betul bu … jadi mereka sangat kecewa … ya udahlah enaklah mereka cari makan yang jelas. Ada keluarga saya sendiri … ada beberapa orang yang tidak ke TPS. Mulai dari dulu, bukan hanya pemilihan legilastif yang terakhir-
43
terakhir ini ... Pemilu Legislatif kurang diminati. Petugas TPS: Data pemilih di DPT itukan sering tidak ada … pernah terjadi sama diri saya sendiri (di Kel. Bajak) di DPT nama saya tidak ada. Jadi salah satu yang harus diteliti adalah data, khusus tugas KPU. Data itu penting, karena waktu itu saya hampir golput … karena keluarga saya mencalon, maka saya protes. Karena nama saya tidak tercantum, jadi saya ke TPS maka pakai KTP. Jadi itu aja, data, tambahan. Makasih bu Profesional: Untuk ke depannya saya rasa, tentunya yang menjadi calon sebagai wakil kita adalah orang-orang yang benar-benar berkualitas, memang benar mampu. Betul-betul dikenal oleh masyarakat, semua warga kita berhak dipilih … namun gak kenal tahu-tahu sudah mencalon. Jadi mereka pemilih bingung.
Atau hasil interview juga memperlihatkan nada yang serupa: Tokoh Partai: … reformasi itu mulai kacau karena apa sistem politik kita berubah … dulu namanya proporsional tertutup …sekarang terbuka … itu aja yang berubah karena apa itu terjadi, karena kita sok-sok melakukan demokrasi secara murni, pada proporsional tertutup wajar loh seperti dulu, iya kan ? partai, taroklah partai baru dia tidak punya kader kondisi partai nya karena baru tidak punya dukungan materi untuk melaksanakan sehingga apa tarik orang-orang yang punya duit, lo mau calon kan, kasih no bagus ini yang merusak ini, sehingga ketua partai karena iya tidak punya uang iya tidak mencalon, akhirnya apa yang terpilih dari caleg tidak punya benang merah dengan partai nya sendiri … dia duduk sebagai seorang legislator … dia tidak ada hubungan dengan partai, ngapa pak … saya bayar pak … tapi sekarang pimpinan partai banyak yang tidak masuk karena apa karena itu yang punya uang sekarang yang bisa masuk karena apa yang punya duit bisa bayar akhirnya apa dengan kita putus, nah itu
Temuan ini memperlihatkan bahwa proses materialisasi telah masuk dengan kuat ke dalam internal partai. Bahkan taka da lagi ideologi partai, yang mampu memberi warna orientasi parlementarian dari partai tertentu. Semua bermuara ke materi – materialisasi parpol. Tokoh partaipun mengeluh tentang kelemahan demokrasi kita, memang agak sulit sekarang dengan sistem politik yang mengatasnamakan demokrasi yang secara murni, seperti Amerika. Katanya, sekarang hitung di DPRD Kota, ketua partai banyak yang nggak duduk; yang duduk siapa orang yang punya duit. Orang berduit itu tinggal minta “aku minta no sekian ajolah pokoknya masuk”. Terpaksa dia melacurkan diri ke ketua partai nya, karena ketua partainya juga mengoreksi, “…ai kalo aku dak mampu dak punyo duit aku nih, cak mano mendingan aku jual …”.
44
Salah satu temuan penting dari faktor kehadiran pemilih ke TPS adalah soal ada/tidaknya Caleg yang mereka pilih. Caleg dengan kriteria dan harapan pemilih penting, tetapi yang lebih penting adalah bagaimana Caleg itu dikenal oleh orang-orang yang berada di DP nya. Bukan hanya dikenal nama dan fotonya dari Baliho. Tetapi masyarakat mulai menyadari bahwa perkenalan mereka itu adalah perkenalan yang mendalam, misalnya tentang kerj-kerja Caleg untuk masyarakat, kemampuan menyuarakan kepentingan warga, dan bagaimana mereak mampu meyakinkan pemilih akan kemampuannya dalam membuat perubahan. Fenomena ini mirip dengan hasil penelitian Dale (2009), Karp et.al (2008) dan Wittman (2009). Ini semacam reframing dari kehadiran pemilih, terutama dalam keadaan polity yang rentan dan mudah goyah oleh materialisasi, baik di internal Parpol maupun kondisi masyarakat sendiri. Untuk merangsang ataupun memacu masyarakat untuk datang ke TPS itu yang pertama, si pemilih ini kenal dengan para calon wakilnya dan apa yang akan diperbuat setelah duduk. Proses ini masuk dalam rentang panjang “sosialisasi”, yang selama ini diasumsikan sebagai tugas KPU. Padahal konteks dan rentang sosialisasi sangat luas, di mana modal sosial dari Caleg menjadi inti hubungan fungsional dan emosional antara Caleg dan pemilih. Kalau ada transaksi, maka bukan transaksi suara – melainkan transaksi kompetensi dan prestasi. 5.3. Rekonstruksi Pengetahuan Relevansi sosialisasi dengan isu kehadiran pemilih – temuan penelitian dapat dilihat pada boks berikut: Bentuk-bentuk sosialisasi yang dibutuhkan: Caleg dari Parpol perlu hadir bertemu pemilih. Caleg itu kan orang yang sudah lama berkecimpung di Parpol, orang yang betul-betul di kader oleh Parpol ... nah itu yang perlu di sosialisasikan kepada pemilih. Dengan cara itu mungkin warga atau masyarakat tahu … oh Caleg itu memang hebat. Lah ini … tiba-tiba ada yang mencalonkan diri, sementara warga tidak tahu … Ketika partisipan ditanya … kalau ada calon bukan sanaknya datang … terus gak bawa uang, apakah sosialisasinya didengarkan ?. jawabnya: ya, mungkin tidak (para peserta lainnya yang mendengarkan jawaban dari beliau ikut tertawa) Sosialisasi versi KPU Sosialisasi dilakukan oleh KPU dan Caleg / Parpol. Sosialisasi para Caleg dibutuhkan untuk menjangkau saudara-saudara kita yang lebih tua, diadakan sesuai dengan Dapil masing-masing, jadi fokusnya sesuai dengan visi dan misi mereka. Pada Pemilu Legislatif tahun 2014 lalu, KPU membatasi pemasangan baliho, tujuannya agar pemilih dapat mengenal para Caleg, masyarakat lebih mengenal Calon itu siapa. KPU tentu tidak dapat mengenalkan Caleg kepada masyarakat. Partai nya terlalu banyak, Calegnya juga banyak.
45
Sosialisasi nya KPU – komisioner KPU bidang Sosialisasi: KPU adalah lembaga yang betul-betul independen, netral … kami mensosialisasikan simulasi memilih dengan menggunakan contoh, misalnya Parpol disebutkan dengan gambar buah-buahan. KPU tetap melakukan soialisasi dengan mendatangi tempat-tempat tertentu. Makanya, masyarakat banyak beranggapan sosialisai itu adalah kegiatan tatap muka, seperti pada acara ini. Nyatanya penerangan KPU dilakukan melalui televisi nasional, televisi lokal, spanduk-spanduk, radio, koran semua sudah kita masuki. Untuk masyarakat yang di Kota Bengkulu … Insya Allah lah sudah terjangkau dengan baik, untuk adik sanak yang dibawah itu calegcaleg tadi.
5.3 Tahap Rekonstruksi Tindakan Rekomendasi untuk perbaikan ke depan – ada sebuah rekomendasi yang pragmatis, susah dilaksanakan, tetapi mencerminkan pemikiran dari “bawah”. Pemilih: Penyebab utama ketidakhadiran ke TPS adalah pemilih tidak tahu, tidak tahu cara memilih, tidak tahu memilih siapa. Masih ada unsur iming-iming uang tadi, kalau mau dating ke TPS dan memilih Caleg tertentu - nanti ada sekedar untuk pengganti kerja satu hari. Ketika ditunggu sampai hari H tidak ada utusan mengirim uang, mereka kecewa dan akhirnya mereka tidak datang. Mungkin isi sosialisasi perlu di lihat lagi, perlu lebih banyak hal untuk disosialisasikan. Petugas TPS Barangkali KPU perlu punya program di mana selepas memilih, pemilih dikasih uang atau kalau tidak oleh para kandidat. Bisa juga KPU punya program, misalnya di setiap TPS setiap pemilih di kasih satu mie. Atau dikasih apalah oleh KPU. Supaya angka golput agak berkurang. Di Kelurahan Bajak kemarin … tahun 2014, saya bikin kopi ... itu dari duit pribadi bukan dari Caleg … juga bukan dari KPU. Ternyata yang datang banyak itu bu …
Menurut pengurus Partai perlu optimis pada masa depan demokrasi, meski saat ini sedang terhegemoni oleh transaksi suara dan ramai dengan vote buying. “ …. bayangan nya sudah ada … memang sulit satu KPU harus kerja keras, ditambah program bukan hanya penyelenggara Pemilu, … karena kondisi daerah kita, … negara kita seperti inilah, udah itu yang namanya partai sesudah Pemilu itu tidak ada lagi yang bergerak kadang- kadang ado kantor nyo atau tidak ,hehe …”. Rekonstruksi atas penguatan Partai di daerah tidak bias dianggap sederhana. Di sana justru proses demokrasi mulai dijalankan, partai bukan sekedar institusi yang menjadi instrumen bagi calon wakil untuk duduk di Parlemen. Parpol adalah institusi di mana caleg belajar menjadi politisi. Masa depan demokrasi di Indonesia itu menjadi tanggung jawab semua warganegara, termasuk pelaksanaan Pemilu, bukan tanggung jawab oleh KPU saja. Seorang perempuan muda peserta FGD menyatakan bahwa “… sosialisasi
46
itu bukan sepenuhnya kewajiban dari KPU … di sana juga ada kewajiban dari Caleg, dan dari masyarakat”. Ide tentang sosialisasi oleh Caleg – menurut petugas TPS sosialisasi harus harus dilakukan ke kelompok masyarakat paling “bawah”. Para Caleg langsung bersosialisasi ke DPT masing-masing. Sosialisasi ke daerah pemilihan masingmasing itu perlu dan kalau tidak, akibatnya masyrakat tidak mau tahu. Cara sosialisasi ke DPT ini melalui sistem Parpol. Masukan KPU itu pasti dibutuhkan, ke tingkat-tingkat RT itu masih perlu ada. Arah pendekatannya bisa dua arah, KPU kepada masyarakat, dan sebaliknya masyarakat pro aktif mencari informasi kepada KPU. Untuk merespon tingginya angka golput paska reformasi ini, memang perlu solusi bersama antara masyarakat dan penyelenggara. Pemilu tahun 2014 angka golput menurun atau sudah mulai berkurang; ini perlu upaya lebih strategis untuk menurunkan ketidakhadiran pemilih pada Pemilu Legislatif di masa depan. Peserta FGD, perempuan muda, menyarankan bahwa untuk menurunkan ketidakhadiran pemilih ke TPS, apa salahnya KPU melibatkan kelompok masyarakat bawah. Memang KPU sudah mengerahkan sosialisasinya melalui media, seperti yang disebutkan oleh ibu komisioner, tetapi tidak semua orang menonton TV; apa salahnya, melakukan terobosan seperti membuat program dengan melibatkan warga RT, atau kelompok yang lebih kecil dari RT. Mungkin pak/ibu Ketua RT dapat mengumpulkan warganya … diadakan dialog bagaimana caranya agar warga RT tersebut tidak menjadi golput. Ini sebagai penangkal transaksi suara … kalau Caleg yang turun kepada masyarakat pasti berkampanye dengan transaksi suara / uang. Ide perempuan partisipan yang masih muda ini mendapat persetujuan dari partisipan FGD yang lain. Aktivis LSM mendukung ide itu dengan mengatakan bahwa “… KPU perlu mencoba cara- cara baru dalam sosialisasi, panggil RT dan tokoh masyarakat, seperti tokoh pemuda, kemudian diberi penyadaran oleh KPU. Sosialisasi kepada mereka-mereka ini nantinya disampaikan kepada warganya di setiap RT. Jadi secara berkelanjutan KPU selama lima tahun menjalankan sosialisasi, sampai dengan sebelum Pemilu berikutnya. Sosialisasi melalui TV, masih ada kendalanya, tidak semua warga yang ada di sini bisa menonton TV. Memang ada TV lokal, seperti TV Esa, waktu itu Ketua KPU kita, pak Salahudin Yahya, juga pak Iqbal, melakukan sosialisasi di sana. Tapi sosialisasi hanya berlangsung sebulan. Maka solusi yang harus kita cari adalah menurunkan angka golput. Saat ditanyakan apa usulan/rekomendasi Parpol agar golput bisa turun, partisipan dari Partai merespon bahwa idealnya memang Parpol melakukan sosialisai ke pihak “bawah”. Jadi ada sistem pengorganisasian, masyarakatnya bisa mencari partai yang sesuai dengan kepentingannya. Ini diperkirakan bisa menurunkan angka golput. Pada tahun 2014 lalu, golput sudah berkurang dan mudah-mudahan nanti tahun 2019 bukan lagi berkurang tapi sangat berkurang. Menurut prediksi nya ke depan masyarakat akan lebih berhati-hati menghadapi Caleg yang menggunakan uang. Kecenderungan masyarakat memperoleh informasi dari media, membuat mereka makin cerdas, mereka juga memantau perilaku wakil rakyat di ruang sidang. Mereka sangat kecewa melihat TV di mana para anggota dewan saling lempar kursi. Rekomendasi dari petugas TPS melalui FGD adalah waktu pemilihan itu jangan dilaksanakan dalam satu hari. Atau pada hari H diliburkan, dan diberi
47
jeda sekitar dua hari sebelum hari H. Jadi para pemilih yang sedang berada di luar daerah pemilihan bisa kembali kekampung untuk memilih. Misalkan tanggal pemilihan adalah tanggal 10, maka dua hari sebelum jadwal diliburkan. Setidaknya masyarakat punya waktu dua hari untuk melaksanakan pemilihan tersebut. Kemudian penggunaan data di DPT bisa menggunakan KTP atau KK, dan identitas apapun yang menjadi syarat kita untuk pemilih. Untuk memilih, pemilih tidak harus tercantum namanya di DPT. Rekomendasi komisioner KPU Kota – “…saya mengusulkan sebagai warga biasa - saya sering melihat media sosial (instagram) di Jakarta, ada programprogram yang dijalankan KPU yang bertujuan untuk mendatangkan masyarakatnya ke TPS untuk memilih. Ada KPU yang menarik pemilih dengan cara memberikan makanan gratis. Jadi beginilah mereka membuat langkah inovatif, agar pemilih menggunakan hak pilihnya – sebagai “hadiah” nya mereka mendapatkan minuman atau makanan gratis setelah menunjukkan tinta di jarinya. Nampaknya cara itu memiliki pengaruh tersendiri untuk mendatangkan pemilih. Ada dua figur yang dapat digunakan untuk merangkum hasil penelitian political turnout ini:
Persaingan internal Parpol Materialisasi parpol & kegagalan kaderisasi Kapasitas Calon Pragmatism dan Kesadaran transasksi Calon tanpa modal social Pengetahuan dan kesadaran pemilih Tuntutan pemilih
Politik Uang Vote Buying
Kehadiran Pemilih
48
Interkoneksi review pustaka dan hasil studi menunjukkan gambaran yang juga menarik: Pengetahuan dan Kesadaran ttg representasi Sosialisasi penyelenggara Political advertising atau political marketing Personal approach
Social connectedness
Vote buying
Kehadiran Pemilih
Party Mobilisation Pilihan rasional: ekonomi, asumsi tak da perubahan
49
BAB 6: KESIMPULAN
Rumusan masalah isu kehadiran pemilih atau political turnout pada bab satu antara lain: (a) fluktuasi partisipasi politik warga Kota Bengkulu dari Pemilu Legislatif; (b) kecenderungan proporsi golput yang membesar pada setiap Pileg; (c) perlu pengkajian tentang dasar motif kehadiran pemilih ke TPS. Berdasar pada rumusan tersebut, maka penelitian menetapkan tujuan sebagai berikut: (a) mengidentifikasi tren dan dinamika angka kehadiran dan ketidakhadiran pemilih pada Pemilu Legislatif sepuluha tahun terakhir; (b) membuat analisis penyebab golput; (c) menyusun rekomendasi ke depan yang dapat digunakan sebagai input revisi kebijakan. Metode AR memberi kesempatan tim penelitian untuk mengkonsentrasikan studi pada (a) pemaknaan simbolik dari Pileg dan isu keterwakilan; (b) memberi kesempatan untuk melakukan reframing tentang kehadiran dan unsur yang berkaitan dengan political turnout itu; serta (c) menyusun suatu rekonstruksi pengetahun dan tindakan, agar ada perbaikan substansi dan institusionalisasi Pileg. Temuan penelitian political turnout di Kota Bengkulu sangat menarik. Ada interkoneksi antara isu political turnout dengan kondisi Caleg dan pergulatan internal Parpol. Secara internal kader yang ada di dalam Parpol mengalami keterpurukan bila merka tidak memiliki dana yang cukup untuk mengikuti pencalonan. Bahkan tidak sedikit kader dan pengurus yang terpaksa mengalah dan memberikan peluang sebagai calok wakil rakyat, hanya karena tidak memiliki dana yang cukup. Gejala ini secara “kasar” dapat disebut sebagai proses “pelacuran” SDM partai kepada orang-orang yang tiba-tiba masuk partai dan minta nomer urut calon karena membayar Partai. Bagi peneliti fenomena ini dapatlah disebut sebagai meterialisasi Parpol. Parpol tidak mampu lagi membesarkan kader sendiri, dan terpaksan memberikan akses kader kepada pihak lain, yang tidak memiliki visi dan tidak mengerti platform partai. Peristiwa ini tentu tak bisa berlaku mobilisasi partai, seluruh kandidat legislatif harus berjuang sendiri. Kondisi ini tidak banyak diketahui oleh pihak luar; masyarakat awam mengira partai di daerah juga kaya raya, dan berharap membantu para caleg nya. Melalui penelusuran studi ini, salah satu kelumpuhan partai di daerah dapat terjawab. Strategi yang dijalankan kandidat adalah melakukan pendekatan personal kepada pemilih; harapannya pendekatan ini dapat meningkatkan kehadiran pemilih sebagai bentuk dukungan kepada kandidat. Social connectedness menjadi andalan bagi kandidat untuk memenangkan kursi. Padahal dalam studi literatur (Karp et.al) pendekatan personal hanya cocok untuk sistem distrik/plural, dan bukan untuk sistem Pileg PR. Temuan ini yang menarik, sebab demokrasi di Indonesia menunjukkan kondisi terbalik dari demokrasi yang berlangsung di negara yang jauh lebih duluan melakukan Pileg.
50
Kalau kita ingin mengidentifikasi tren dan dinamika angka kehadiran dan ketidakhadiran pemilih pada Pemilu Legislatif dalam kurun sepuluh tahun terakhir, maka tampak bahwa “bahaya” transaksi suara atau vote buying sangat kuat. Banyak narasumber yang sangat yakin bahwa kehadiran dikontrol oleh transaksi suara. Memang sangat sulit untuk membuktikan secara hokum, namun semua tokoh masyarakat, aktivis LSM, kelompok muda, dan personel parpol sendiri yakin vote buying ada dan menggurita di segala lapisan. Mereka yakin, perkembangan pesat relasi antara vote buying dan kehadiran ini dimulai sejak Pilkada langsung, yaitu pada tahun 2004. Munculnya tren golput tidak hanya meberi implikasi pada meningkatnya kesadaran masyarakat akan hak untuk tidak memilih, terutama apabila didapati tidak satupun kandidat yang menarik hari pemilih. Salah satu yang mengejutkan dari keputusan golput, ternyata juga berkaitan dengan gagalnya transaksi suara. Vote buying tidak berhasil mencapai kata sepakat, maka pemilih tidak hadr ke TPS, dan artinya tidak memilih. Keputusan itu relatif pilihan yang rasional, sebab kandidat tidak memiliki modal sosial, kurang meyakikan akan kapasitasnya, dan diasumsikan sama dengan kandidat-kandidat sebelumnya, yang duduk di kursi Parlemen tanpa membuat perubahan apapun. Temuan yang menarik adalah proporsi dukungan kepada kandidat untuk Parlemen lokal. Data jelas merujuk pada besarnya dukungan kehadiran untuk Parlemen Kota lebih besar dri dukungan kehadiran untuk Parlemen Propinsi dan Nasional. Fenomena ini sama dengan fenomena demokrasi di negara maju dengan sistem distrik. Para pemilih merusaha hadir ke TPS untuk memastikan kandidat untuk kursi Parlemen lokal pilihannya akan menang. Tahap rekonstruksi pengetahuan dan tindakan pada isu kehadiran ini juga menunjukkan gejala yang menarik. Meskipun begitu banyak narasumber yang sangat pesimis mengenai proses Pileg di Indonesia, terutama di Kota Bengkulu, namun mereka masih punya keyakinan aka nada titik balik, di mana proses Pileg bias diperbaiki. Sinyal optimisme di ruang pesimisme itu ternyata diamini oleh aktivis LSM, penyelenggara, pengurus Parpol, dan kaum muda. Sdepertinya law enforcement dan contoh-contoh praktik Pileg bersih bisa menjadi benih titik balik demokrasi kita. Rekomendasi yang dikumpulkan bermanfaat untuk perbaikan Pileg ke depan, yang dapat digunakan sebagai alternatif menurunkan ketidakhadiran pemilih.
51
BAB 6: KESIMPULAN
Rumusan masalah isu kehadiran pemilih atau political turnout pada bab satu antara lain: (a) fluktuasi partisipasi politik warga Kota Bengkulu dari Pemilu Legislatif; (b) kecenderungan proporsi golput yang membesar pada setiap Pileg; (c) perlu pengkajian tentang dasar motif kehadiran pemilih ke TPS. Berdasar pada rumusan tersebut, maka penelitian menetapkan tujuan sebagai berikut: (a) mengidentifikasi tren dan dinamika angka kehadiran dan ketidakhadiran pemilih pada Pemilu Legislatif sepuluha tahun terakhir; (b) membuat analisis penyebab golput; (c) menyusun rekomendasi ke depan yang dapat digunakan sebagai input revisi kebijakan. Metode AR memberi kesempatan tim penelitian untuk mengkonsentrasikan studi pada (a) pemaknaan simbolik dari Pileg dan isu keterwakilan; (b) memberi kesempatan untuk melakukan reframing tentang kehadiran dan unsur yang berkaitan dengan political turnout itu; serta (c) menyusun suatu rekonstruksi pengetahun dan tindakan, agar ada perbaikan substansi dan institusionalisasi Pileg. Temuan penelitian political turnout di Kota Bengkulu sangat menarik. Ada interkoneksi antara isu political turnout dengan kondisi Caleg dan pergulatan internal Parpol. Secara internal kader yang ada di dalam Parpol mengalami keterpurukan bila merka tidak memiliki dana yang cukup untuk mengikuti pencalonan. Bahkan tidak sedikit kader dan pengurus yang terpaksa mengalah dan memberikan peluang sebagai calok wakil rakyat, hanya karena tidak memiliki dana yang cukup. Gejala ini secara “kasar” dapat disebut sebagai proses “pelacuran” SDM partai kepada orang-orang yang tiba-tiba masuk partai dan minta nomer urut calon karena membayar Partai. Bagi peneliti fenomena ini dapatlah disebut sebagai meterialisasi Parpol. Parpol tidak mampu lagi membesarkan kader sendiri, dan terpaksan memberikan akses kader kepada pihak lain, yang tidak memiliki visi dan tidak mengerti platform partai. Peristiwa ini tentu tak bisa berlaku mobilisasi partai, seluruh kandidat legislatif harus berjuang sendiri. Kondisi ini tidak banyak diketahui oleh pihak luar; masyarakat awam mengira partai di daerah juga kaya raya, dan berharap membantu para caleg nya. Melalui penelusuran studi ini, salah satu kelumpuhan partai di daerah dapat terjawab. Strategi yang dijalankan kandidat adalah melakukan pendekatan personal kepada pemilih; harapannya pendekatan ini dapat meningkatkan kehadiran pemilih sebagai bentuk dukungan kepada kandidat. Social connectedness menjadi andalan bagi kandidat untuk memenangkan kursi. Padahal dalam studi literatur (Karp et.al) pendekatan personal hanya cocok untuk sistem distrik/plural, dan bukan untuk sistem Pileg PR. Temuan ini yang menarik, sebab demokrasi di Indonesia menunjukkan kondisi terbalik dari demokrasi yang berlangsung di negara yang jauh lebih duluan melakukan Pileg.
50
Kalau kita ingin mengidentifikasi tren dan dinamika angka kehadiran dan ketidakhadiran pemilih pada Pemilu Legislatif dalam kurun sepuluh tahun terakhir, maka tampak bahwa “bahaya” transaksi suara atau vote buying sangat kuat. Banyak narasumber yang sangat yakin bahwa kehadiran dikontrol oleh transaksi suara. Memang sangat sulit untuk membuktikan secara hokum, namun semua tokoh masyarakat, aktivis LSM, kelompok muda, dan personel parpol sendiri yakin vote buying ada dan menggurita di segala lapisan. Mereka yakin, perkembangan pesat relasi antara vote buying dan kehadiran ini dimulai sejak Pilkada langsung, yaitu pada tahun 2004. Munculnya tren golput tidak hanya meberi implikasi pada meningkatnya kesadaran masyarakat akan hak untuk tidak memilih, terutama apabila didapati tidak satupun kandidat yang menarik hari pemilih. Salah satu yang mengejutkan dari keputusan golput, ternyata juga berkaitan dengan gagalnya transaksi suara. Vote buying tidak berhasil mencapai kata sepakat, maka pemilih tidak hadr ke TPS, dan artinya tidak memilih. Keputusan itu relatif pilihan yang rasional, sebab kandidat tidak memiliki modal sosial, kurang meyakikan akan kapasitasnya, dan diasumsikan sama dengan kandidat-kandidat sebelumnya, yang duduk di kursi Parlemen tanpa membuat perubahan apapun. Temuan yang menarik adalah proporsi dukungan kepada kandidat untuk Parlemen lokal. Data jelas merujuk pada besarnya dukungan kehadiran untuk Parlemen Kota lebih besar dri dukungan kehadiran untuk Parlemen Propinsi dan Nasional. Fenomena ini sama dengan fenomena demokrasi di negara maju dengan sistem distrik. Para pemilih merusaha hadir ke TPS untuk memastikan kandidat untuk kursi Parlemen lokal pilihannya akan menang. Tahap rekonstruksi pengetahuan dan tindakan pada isu kehadiran ini juga menunjukkan gejala yang menarik. Meskipun begitu banyak narasumber yang sangat pesimis mengenai proses Pileg di Indonesia, terutama di Kota Bengkulu, namun mereka masih punya keyakinan aka nada titik balik, di mana proses Pileg bias diperbaiki. Sinyal optimisme di ruang pesimisme itu ternyata diamini oleh aktivis LSM, penyelenggara, pengurus Parpol, dan kaum muda. Sdepertinya law enforcement dan contoh-contoh praktik Pileg bersih bisa menjadi benih titik balik demokrasi kita. Rekomendasi yang dikumpulkan bermanfaat untuk perbaikan Pileg ke depan, yang dapat digunakan sebagai alternatif menurunkan ketidakhadiran pemilih.
51