LAPORAN PENELITIAN
PERILAKU PEMILIH DALAM PEMILIHAN LEGISLATIF TAHUN 2014 DI KOTA BANJARBARU
KOMISI PEMILIHAN UMUM KOTA BANJARBARU 2015
KATA PENGANTAR
Bismillahirrahmannirrahim….. Puji syukur kehadirat Allah Subhanahutaala dan Nabi Besar Muhammad Sallahualaihi Wassalam atas limpahan rahmat, berkah dan hidayahnya bagi segala isi alam dan umatnya, akhirnya tim peneliti dapat menyelesaikan laporan penelitian ini sesuai batas waktunya. Riset perilaku pemilih di Kota Banjarbaru ini dilakukan dari Bulan Mei sampai Agustus dengan melibatkan informan yang ada di lima kecamatan Kota Banjarbaru. Riset ini lebih spesifik pada aspek perilaku politik pemilih pada pemilihan legislatif di tahun 2014. Hasil riset ini sebagai bahan masukan bagi pengambilan kebijakan di Komisi Pemilihan Umum Kota Banjarbaru dan Komisi Pemilihan Umum Provinsi Kalsel dalam pengembangan perilaku politik pemilih untuk pemilihan umum lanjutan di masa yang akan datang. Tak lupa peneliti ucapkan terima kasih kepada para informan pemilih yang bersedia di wawancarai dan meluangkan waktunya untuk di wawancarai oleh para pencari data kami. Wasslam
Tim Peneliti
DAFTAR ISI
COVER……………………………………………………………. KATA PENGANTAR…………………………………………….. DAFTAR ISI………………………………………………………. BAB I PENDAHULUAN…………………………………………………
1
A. Latar Belakang……………………………………………………..
1
B. Perumusan Masalah……………………………………………….
4
C. Tujuan Penelitian…………………………………………………..
4
D. Manfaat Penelitian…………………………………………………
4
E. Sistematika Laporan……………………………………………….
5
BAB II TINJAUAN PUSTAKA………………………………………….
6
A. Perilaku Pemilih…………………………………………………….
6
B. Pendekatan Perilaku Pemilih…..……………………………………
9
C. Sistem Pemilihan umum……………………………………………
11
D. Dewan Perwakilan Rakyat Daerah………………………………….
15
BAB III METODE PENELITIAN……………………………………….
19
A. Pendekatan Penelitian……………………………………………..
19
B. Tempat Penelitian…………………………………………………..
19
C. Sumber Data……………………………………………………….
20
D. Instrumen penelitian………………………………………………..
20
E. Teknik Pengumpulan Data………………………………………...
20
F. Analisis Data………………………………………………………
21
G. Keabsahan Data……………………………………………………
22
BAB IV GAMBARAN UMUM DAERAH………………………………
24
A. Geografis.…………………………………………………………
24
B. Pemerintahan………………………………………………………
24
C. Penduduk………………………………………………………….
25
D. Pendidikan…………………………………………………………
25
E. Partai politik……………………………………………………….
26
F. Daerah pemilihan………………………………………………….
27
G. Pemilih…………………………………………………………….
27
H. Partisipasi masyarakat……………………………………………
28
I. Calon legislatif.…………………………………………………..
29
J. Hasil pemilu 2014………………………………………………..
30
BAB V ANALISIS HASIL……………………………………………….
32
BAB VI PENUTUP……………………………………………………….
57
DAFTAR PUSTAKA……………………………………………………..
59
Lampiran: UU No. 8 Tahun 2012 Tentang Pemilihan Umum Anggota Dewan Perwakilan Rakyat, Dewan Perwakilan Daerah dan Dewan Perwakilan Rakyat Daerah
BAB I PENDAHULUAN
A. Latar Belakang Riset pemilihan umum merupakan salah satu elemen strategis dalam manajemen pemilihan umum. Riset tidak hanya memberikan rasionalitas akademik mengenai substansi pemilihan umum. Riset lebih jauh memberikan pijakan empirik mengenai persoalan atas hal yang menjadi perdebatan. Hasil riset memastikan program dan kebijakan kepemiluan tidak dibangun atas postulat spekulatif, tetapi dikonstruksikan berlandaskan pada argumen empirik dan rasional dengan proses yang dapat dipertanggungjawabkan (Tor KPU, 2015). Perkembangan pemilihan umum dari tahun ke tahun perlu diukur melalui riset yang dapat dipertanggungjawabkan. Pengukuran ini untuk memberikan pemahaman dasar evaluasi penyelenggaraan pemilihan umum setiap lima tahun sekali. Penyelenggaraan pemilihan umum yang yang semakin baik menunjukkan tanggung jawab Komisi Pemilihan Umum sebagai lembaga independen penyelenggara pemilihan umum. Pemilihan umum 1999, 2004 dan 2009 cukup memenuhi norma-norma demokrasi, karena itu bisa dijadikan ukuran sejauh mana sebuah pemerintahan didukung rakyat dan valid untuk diamati secara sistematik bagaimana karakteristik pemilih Indonesia tersebut. Dengan kata lain, pemilihan umum dan pemilihan presiden tersebut punya makna untuk dianalisis lebih lanjut dalam
1
topik yang sudah mapan dalam studi politik di negara-negara demokrasi, yakni perilaku pemilih (Mujani et.al, 2012). Perilaku pemilih merupakan salah satu bagian yang terpenting dalam proses penyelenggaraan pemilihan umum tersebut. Di sini posisi perilaku pemilih sebagai individu yang merespon (umpan balik) yang sekaligus sebagai pengguna dari produk pemilihan umum yang sedang dijalankan maupun dihasilkan oleh penyelenggara pemilihan umum. Logika politiknya konstestan tak akan bisa memenangkan persaingan politik tanpa mendapatkan dukungan pemilih. Sehingga tidak mengherankan apabila menjelang pemilu, konstestan ramai-ramai mendekati pemilih untuk mendapatkan suaranya (Firmanzah, 2007). Perilaku pemilih terkait dengan keputusan pemilih untuk memilih kandidat atau peserta pemilu tertentu. Kenapa seorang pemilih menjatuhkan pilihannya kepada kandidat atau perserta pemilu tertentu. Beragam alasan yang dapat dikemukakan oleh setiap pemilih. Sejauhmana pilihan politik mereka berdasarkan pertimbangan rasional menyangkut kandidat atau peserta pemilu itu. Apakah rekam jejak, program atau janji peserta pemilu menjadi bahan pertimbangan atau faktor lain. Secara umum, Di Kalimantan Selatan terdapat perbedaan tingkatan angka partisipasi pemilih di tiap kabupaten dan Kota dalam pemilihan legislatif tahun 2014. Perbedaan ini terbentuk sesuai dengan karakteristik masyarakat daerah masing-masing kabupaten/kota. Perbedaan angka partisipasi pemilih ini menandakan bahwa pemilih di Kalimantan Selatan memiliki kekhasan sendiri dengan determinan yang
2
melingkupinya. Determinan-determinan ini pun berbeda antar kabupaten/kota yang ada di Kalimantan Selatan. Sebagai contoh angka partisipasi pemilih pada pemilihan umum anggota DPR, DPD dan DPRD pada tanggal 9 April 2014 di Kota Banjarbaru menunjukkan capaian kisaran mencapai 76,02%. Kemudian pada pemilu presiden dan wakil presiden tingkat partisipasi pemilih mengalami peningkatan secara absolut sebesar 0,14% (Tim Penyusun, 2014). Kota Banjarbaru memiliki karakteristik pemilihnya sendiri dibandingkan pemilih yang ada di daerah lainnya. Partisipasi pemilih dalam pemilihan umum tahun 2014 ini merupakan simbolisasi lain dari perilaku politik pemilih dalam menentukan pertimbangan-pertimbangan politiknya. Pemilih memiliki kecenderungannya sendiri dalam menentukan calon pilihannya di pemilihan umum, khususnya di pemilihan legislatif. Apalagi pemilihan legislatif tahun 2014 ini berbeda dari pemilihan umum sebelumnya, dimana pemilihan ini lebih memberi keleluasaan yang besar bagi pemilih untuk menenukan calonnnya sendiri. Kemudian dalam rangka mengkaji lebih dalam aspek perilaku pemilih dalam pemilihan anggota legislatif pada tahun 2014 di Kota Banjarbaru tersebut maka diperlukan penelitian individual pada kelompok masyarakat pemilih yang ada di Kota Banjarbaru.
3
B. Perumusan Masalah Berdasarkan paparan latar belakang di atas maka dirumuskan masalah, sebagai berikut, yaitu: 1. Bagaimana perilaku pemilih dalam pemilihan legislatif tahun 2014 di Kota Banjarbaru? 2. Apa faktor-faktor yang menentukan perilaku pemilih dalam pemilihan legislatif tahun 2014 di Kota Banjarbaru?
C. Tujuan Penelitian Adapun tujuan penelitian perilaku pemilih dalam pemilihan legislatif tahun 2014 di Kota Banjarbaru adalah sebagai berikut, yaitu: 1. Untuk memahami perilaku pemilih dalam pemilihan legislatif tahun 2014 di Kota Banjarbaru. 2. Untuk memahami faktor yang menentukan perilaku pemilih dalam pemilihan legislatif tahun 2014 di Kota Banjarbaru.
D. Manfaat Penelitian Adapun manfaat penelitian perilaku pemilih dalam pemilihan legislatif di Kota Banjarbaru adalah sebagai berikut: 1. Sebagai bahan masukan bagi Komisi Pemilihan Umum Kota Banjarbaru dalam menjalankan kebijakan pemilihan umum. 2. Sebagai bahan masukan bagi penelitian lanjutan yang membahas masalah yang sama.
4
E. Sistematika Laporan Sistematika laporan mengikuti format yang lazim digunakan dalam laporan penelitian, sebagai berikut, yaitu: 1. Bab I Pendahuluan 2. Bab II Tinjauan Pustaka 3. Bab III Metode Penelitian 4. Bab IV Gambaran Umum Daerah 5. Bab V Analisis Hasil 6. Bab VI Penutup
5
6
BAB II TINJAUAN PUSTAKA
A. Perilaku Pemilih Surbakti (1992), menganalogikan perilaku memilih sebagai serangkaian kegiatan membuat keputusan, yakni apakah memilih atau tidak memilih dalam pemilihan umum? Jika memutuskan memilih, apakah memilih partai atau kandidat X ataukah partai atau kandidat Y? Relevan dengan ini dalam TOR KPU Pusat (2015) menyebutkan perilaku memilih terkait dengan keputusan pemilih untuk memilih kandidat atau peserta pemilihan umum tertentu. Maksudnya kenapa seorang pemilih menjatuhkan pilihannya kepada kandidat atau peserta pemilihan umum tertentu. Tentunya inilah yang dikategorikan sebagai perilaku memilih. Menurut Lipset (1960), aktivitas memilih dalam pemilu merupakan kejadian periodik dalam hidup seseorang atau kelompok sosial, sehingga perlu mempertimbangkan periode waktu tertentu yang lebih panjang dan meluaskan jangkauan hubungan-hubungan yang tidak berubah antara posisi sosial tersebut. Sebagai contoh mengapa sebuah wilayah atau sebuah kelompok tertentu di tempat ini atau di tempat-tempat yang lain mendukung partai-partai politik tertentu, yang dikaitkan dengan karakteristik sosial dengan kecondongan-kecondongan politik yang berbeda-beda antara pendukungnya (Lipset, 1960).
6
Perilaku pemilih acapkali ditentukan tujuh domain kognitif yang berbeda dan terpisah, sebagai berikut, yaitu: 1. Isu dan kebijakan politik, yang merepresentasikan kebijakan/program yang diperjuangkan dan dijanjikan oleh partai atau kandidat politik jika kelak menang pemilu; 2. Citra sosial, yang menunjukkan stereotip kandidat atau partai untuk menarik pemilih dengan menciptakan asosiasi antara kandidat atau partai dan segmensegmen tertentu dalam masyarakat. Citra sosial dapat terjadi berdasarkan bayak faktor, antara lain demografi, sosial ekonomi, kultur dan etnik serta politisideologis; 3. Perasaan emosional berupa dimensi emosional yang terpancar dari sebuah konstestan atau kandidat yang ditunjuk oleh kebijakan politik yang ditawarkan; 4. Citra kandidat mengacu pada sifat-sifat pribadi yang penting dan dianggap sebagai karakter kandidat; 5. Peristiwa personal yang mengacu pada kehidupan pribadi dan peristiwa yang perah dialami secara pribadi oleh seorang kandidat; 6. Faktor-faktor episdemik berupa isu-isu pemilihan yang spesifik yang dapat memicu keingintahuan para pemilih mengenai ha-hal baru. Firmanzah (2007) mengemukakan tiga faktor determinan bagi pemilih dalam memutuskan pilihan politiknya. Ketiga faktor tersebut sangat mempengaruhi pertimbangan pemilih, yaitu: Pertama, kondisi awal pemilih, yaitu karakteristik yang melekat dalam diri pemilih. Setiap individu memiliki sistem nilai, keyakinan dan kepercayaan yang berbeda-beda. Setiap
7
diri memiliki kemampuan yang berbeda pula, bergantung pada tingkat pengalaman, pendidikan, ekonomi dan status sosial masing-masing; Kedua, faktor media massa yang mempengaruhi opini publik. Media massa yang memuat data, informasi, dan berita berperan penting dalam mempengaruhi opini di masyarakat. Isu-isu hangat dan aktual, perkembangan situasi dan berita-berita terkait kinerja dan platform partai akan dikonsumsi oleh pemilih dengan keragaman dan derajat pemahaman yang berbeda-beda; Ketiga, faktor partai politik atau kontestan. Pemilih akan menilai latar belakang, reputasi, citra, ideologi dan kualitas para tokoh-tokoh partai politik dengan pandangan mereka masing-masing. Dalam hal ini masyarakat lebih sering melakukan penilaian terhadap figur tokoh partai politik, sekaligus menjadi barometer mereka dalam menilai partai politik yang bersangkutan. Kemudian Firmanzah (2007), mengemukakan empat kategori perilaku pemilih, sebagai berikut, yaitu: Pertama, pemilih rasional. Pemilih ini memiliki orientasi tinggi pada ‘policy problem solving’ dan berorientasi rendah untuk faktor ideologi. Pemilih dalam hal ini lebih mengutamakan kemampuan partai politik atau calon kontestannya dalam program kerjanya; Kedua, pemilih kritis. Pemilih jenis ini merupakan perpaduan antara tingginya orientasi pada kemampuan partai politik atau seorang kontestan dalam menuntaskan permasalahan bangsa maupun tingginya orientasi mereka akan hal-hal yang bersifat ideologis. Pentingnya ikatan ideologis membuat loyalitas pemilih terhadap sebuah partai atau seorang kontestan cukup tinggi dan tidak semudah rational voter untuk berpaling ke partai politik lain;
8
Ketiga, pemilih tradisional. Pemilih jenis ini memiliki orientasi ideologi yang sangat tinggi dan tidak terlalu melihat kebijakan partai politik atau seorang kontestan sebagai sesuatu yang penting dalam pengambilan keputusan. Pemilih tradisional sangat mengutamakan kedekatan sosial-budaya, nilai, asal-usul, paham dan agama sebagai ukuran untuk memilih sebuah partai politik; Keempat, pemilih skeptis. Pemilih jenis ini tidak memiliki orientasi ideologi cukup tinggi dengan sebuah partai politik atau seorang kontestan, juga tidak menjadikan kebijakan sebagai sesuatu yang penting. Keinginan untuk terlibat dalam sebuah partai politik pada pemilih jenis ini sangat kurang, karena ikatan ideologi mereka memang rendah sekali. Mereka juga kurang memperdulikan platform dan kebijakan sebuah partai politik. Walaupun beberapa ahli lainnya juga mengemukkan tipe perilaku pemilih tetapi perilaku pemilih yang dikemukakan oleh Firmanzah ini cukup relevan digunakan sebagai instrumen memahami perilaku pemilih pada pemilihan legislatif tahun 2014 di Kota Banjarbaru.
B. Pendekatan Perilaku Pemilih Pendekatan perilaku pemilih merupakan cara dalam menjelaskan perilaku pemilih dalam setiap pemilihan umum. Secara umum menurut Surbakti (1992), ada beberapa pendekatan dalam menjelaskan perilaku pemilih, sebagai berikut: Pertama, pendekatan struktural. Pendekatan struktural melihat kegiatan memilih sebagai produk dari konstek struktur yang lebih luas, seperti struktur sosial, sistem partai, sistem pemilihan umum, permasalahan dan program yang ditonjolkan oleh setiap partai. Struktur sosial yang menjadi sumber kemajemukan politik dapat berupa kelas sosial atau
9
perbedaan-perbedaan antara majikan dan pekerja, agama, perbedaan kota dan desa, dan bahasa dan nasionalisme. Jumlah partai, basis sosial, sistem partai dan program-program yang ditonjolkan berbeda dari satu negara ke negara lain karena perbedaan struktur sosial tersebut; Kedua, pendekatan sosiologis. Pendekatan sosiologis cenderung menempatkan kegiatan memilih dalam kaitan dengan konteks sosial. Kongkretnya pilihan seseorang dalam pemilihan umum dipengaruhi latar belakang demografi dan sosial ekonomi, seperti jenis kelamin, tempat tinggal, pekerjaan, pendidikan, kelas, pendapatan dan agama; Ketiga, pendekatan ekologi. Pendekatan ekologis hanya relevan apabila dalam suatu daerah pemilihan terdapat perbedaan karakteristik pemilih berdasarkan
unit teritorial,
seperti desa, kelurahan, kecamatan dan kabupaten. Kalau di Amerika Serikat terdapat distrik, precinct dan ward. Kelompok masyarakat seperti tipe penganut agama tertentu, buruh, kelas menengah, mahasiswa, suku tertentu, subkultur tertentu dan profesi tertentu bertempat tinggal pada unit teritorial sehingga perubahan komposisi penduduk yang tinggal di unit teritorial dapat dijadikan sebagai penjelasan atas perubahan hasil pemilihan umum; Keempat, pendekatan psikologi sosial. Psikologi sosial yang digunakan untuk menjelaskan perilaku untuk memilih pada pemilihan umum berupa identifikasi partai. Konsep ini merujuk pada persepsi pemilih atas prtai-partai yang ada atau keterikatan emosional pemilih terhadap partai tertentu. Kongkretnya, partai yang secara emosional dirasakan sangat dekat dengannya merupakan partai yang selalu dipilih tanpa terpengaruh oleh faktor-faktor lain; Kelima, pendekatan pilihan rasional. Pendekatan pilihan rasional melihat kegiatan memilih sebagai produk kalkulasi untung dan rugi. Yang dipertimbangkan tidak hanya
10
ongkos memilih atau kemungkinan suaranya dapat mempengaruhi hasil yang diharapkan, tetapi juga perbedaan dari alternatif berupa pilihan yang ada. Pertimbangan ini digunakan pemilih dan kandidat yang hendak mencalonkan diri untuk terpilih sebagai wakil rakyat atau pejabat pemerintah. Bagi pemilih, pertimbangan untung dan rugi digunakan untuk membuat keputusan tentang partai atau kandidat yang dipilih, terutama untuk membuat keputusan apakah ikut memilih atau tidak.
C. Sistem Pemilihan Umum Sistem pemilihan umum bagi partai politik sebagai jembatan untuk mendudukan wakilnya pada lembaga-lembaga legislatif sedangkan pemilu bagi masyarakat sebagai sarana untuk memilih dan menentukan pemimpin atau pejabat pembuat keputusan. Dan hanya lewat pemilihan umumlah seorang pemimpin atau pejabat pembuat keputusn memperoleh legitimasi dari masyarakat (Suryadi, 2006). Hampir semua sarjana politik sepakat bahwa pemilu merupakan satu kreteria penting untuk mengukur kadar demokrasi suatu sistem politik. Dahl (1985), Carter dan Herz (1982), Mayo (1982), Ranney (1990) dan Sundhaussen (1992), adalah beberapa diantaranya. Mereka sepakat bahwa kadar demokrasi sebuah pemerintahan dapat diukur, antara lain, dari ada tidaknya pemilu yang mengabsahkan pemerintahan itu. Sistem pemilihan adalah seperangkat metode yang mengatur warga negara memilih para wakilnya. Dalam suatu lembaga perwakilan rakyat, seperti lembaga legislatif atau DPR/DPRD, sistem pemilihan ini bisa berupa seperangkat metode untuk mentransper suara pemilih ke dalam suatu kursi di lembaga legislatif atau parlemen. Namun ketika pemilihan itu terjadi pada seorang kepala pemerintahan sebagai representasi tunggal, seperti presiden,
11
gubernur, bupati/walikota dan semacamnya, sistem pemilihan itu berwujud seperangkat metode untuk menentukan seorang pemenang berdasarkan jumlah suara yang diperolehnya (Subekti, 1998). Sebagai seperangkat metode maka sistem pemilihan ini diatur dalam peraturan perundang-undangan yang setidaknya mengandung 3 variabel pokok, yaitu penyuaraan (balloting), distrik pemilihan (electoral district) dan formula pemilihan (electoral formulation). Penyuaraan dimaksudkan tata cara yang harus diikuti pemilih yang berhak dalam memberikan suara. Daerah pemilihan dimaksudkan dengan ketentuan yang mengatur beberapa daerah di masyarakat untuk setiap daerah pemilihan. Formula pemilihan dimaksudkan dengan rumus yang digunakan untuk menentukan siapa yang memenangkan daerah pemilihan (Surbakti, 1999). Dalam Ilmu Politik dikenal bermacam-macam sistem pemilihan umum dengan berbagai variasinya, akan tetapi secara umum ada 3 model sistem pemilihan, sebagai berikut, yaitu: 1. Single-member constituency (satu daerah pemilihan memilih satu wakil; biasanya disebut sistem distrik). Sistem distrik adalah suatu sistem pemilihan umum dimana wilayah suatu negara yang menyelenggarakan pemilu menentukan distrik-distrik pemilihan yang jumlahnya sama dengan jumlah kursi yang diperebutkan atau tersedia di parlemen. 2. Multi-member constituency (satu daerah pemilihan memilih beberapa wakil, biasanya dinamakan sistem perwakilan berimbang atau sistem proporsional). Sistem proporsional atau suara berimbang adalah suatu sistem pemilihan dimana wilayah dari negara yang menggunakan sistem proporsional tersebut
12
dibagi atas daerah-daerah pemilihan dan kepada daerah-daerah pemilihan ini dibagikan sejumlah kursi yang diambil dari kursi yang tersedia di parlemen untuk diperebutkan dalam suatu pemilihan umum di daerah tersebut. 3. Sistem campuran (campuran dari sistem distrik dan sistem proporsional). Sistem campuran merupakan campuran model dari sistem ditrik dan sistem proporsional sehingga kadang-kadang disebut dengan semi ditrik atau semi proporsional. Formula sistem campuran merupakan kombinasi kelebihan dri sistem distrik dan sistem proporsional. Pada pemilihan legislatif tahun 2014 di Kota Banjarbaru mengacu pada pengaturan yang terdapat dalam Undang-Undang Nomor 8 Tahun 2012 Tentang Anggota Dewan Perwakilan Rakyat, Dewan Perwakilan Daerah, dan Dewan Perwakilan Rakyat Daerah. Berdasarkan ketentuan di peraturan perundangan pemilihan umum tersebut diatur beberapa hal, sebagai berikut: Pertama, pemilihan umum dilaksanakan secara efektif dan efesien berdasarkan asas langsung, umum, bebas, rahasia, jujur dan adil. Pemilu ini diselenggarakan untuk memilih anggota DPR, DPD, DPRD Provinsi dan DPRD Kabupaten/Kota; Kedua, tahapan penyelenggaraan pemilu meliputi: perencanaan program dan anggaran serta penyusunan peraturan pelaksanaan penyelenggaraan pemilu, pemutakhiran data pemilih dan penyusunan daftar pemilih, pendaftaran dan verifikasi peserta pemilu, penetapan peserta pemilu, penetapan jumlah kursi dan penetapan daerah pemilihan, pencalonan anggota DPR, DPD, DPRD Provinsi dan DPRD Kabupaten/Kota, masa kampanye pemilu, masa tenang, pemungutan dan perhitungan suara, penetapan hasil
13
pemilu, dan pengucapan sumpah/janji anggota DPR, DPD, DPRD Provinsi dan DPRD Kabupaten/Kota; Ketiga, pemilu untuk memilih anggota DPR, DPRD Provinsi dan DPRD Kabupaten/Kota dilaksanakan dengan siste proporsional terbuka. Pemilu untuk memilih nggota DPD dilaksanakan dengan sistem distrik berwakil banyak. Pemilu untuk memilih anggota DPR, DPD, DPRD Provinsi dan DPRD Kabupaten/Kota diselenggarakan oleh KPU. Pengawas penyelenggara pemilu dilaksanakan oleh Bawaslu; Keempat, peserta pemilu untuk memilih anggota DPR, DPRD Provinsi dan DPRD Kabupaten/Kota adalah partai politik. Partai politik peserta pemilu pada pemilu terakhir yang memenuhi ambang batas perolehan suara dari jumlah suara sah secara nasional ditetapkan sebagai partai politik peserta pemilu pada pemilu berikutnya. Partai politik yang tidak memenuhi ambang batas perolehan suara pada pemilu sebelumnya atau partai politik baru dapat menjadi peserta pemilu setelah memnuhi persyaratan tertentu; Kelima, warga negara Indonesia yang pada hari pemungutan suara telah genap berumur 17 (tujuh belas) tahun atau lebih atau sudah/pernah kawin mempunyai hak memilih. Warga negara Indonesia sebagaimana dimaksud didaftar 1 kali oleh penyelenggara pemilu dalam daftar pemilih; Keenam, jumlah kursi anggota DPR ditetapkan sebanyak 560 dengan daerah pemilihan anggota DPR adalah provinsi, kabupaten/kota atau gabungan kabupaten/kota. Jumlah kursi DPRD provinsi ditetapkan paling sedikit 35 dan paling banyak seratus dengan daerah pemilihan anggota DPRD provinsi adalah kabupaten/kota atau gabungan kabupaten/kota. Jumlah kursi DPRD kabupaten/kota ditetapkan paling sedikit 20 dan
14
paling banyak 50 dengan daerah pemilihan anggota DPRD kabupaten/kota adalah kecamatan atau gabungan kecamatan; Ketujuh, partai politik peserta pemilu melakukan seleksi bakal calon anggota DPR, DPRD provinsi dan DPRD kabupaten/kota. Seleksi bakal calon dilakukan secara demokratis dan terbuka sesuai dengan anggaran dasar, anggaran rumah tangga dan/atau peraturan internal partai politik perserta pemilu. Daftar bakal calon memuat paling banyak 100% dari jumlah kursi pada setiap daerah pemilihan. Daftar bakal calon tersebut memuat paling sedikit 30% keterwakilan perempuan; Kedelapan, setiap peserta pemilu melakukan kampanye pemilu. Kampanye pemilu ini merupakan bagian dari pendidikan politik masyarakat dan dilaksanakan secara bertanggung jawab. Materi kampanye partai politik peserta pemilu yang dilaksanakan oleh calon anggota DPR, anggota DPRD provinsi, dan anggota DPRD kabupaten/kota meliputi visi, misi dan program partai politik; Kesembilan, pemungutan suara pemilu anggota DPR, DPD, DPRD provinsi dan DPRD kabupaten/kota diselenggarakan secara serentak. Pemberian suara untuk pemilu anggota DPR, DPD, DPRD provinsi dan DPRD kabupaten/kota dilakukan dengan cara mencoblos satu kali pada nomor atau tanda gambar partai politik dan/atau nama calon pada surat suara.
D. Dewan Perwakilan Rakyat Daerah DPRD merupakan lembaga perwakilan rakyat di daerah, dan merupakan Badan Legislatif daerah. DPRD tidak hanya memiliki kekuasaan di bidang legislasi, seperti merumuskan dan menetapkan peraturan daerah bersama-sama dengan kepala daerah, tetapi
15
juga memiliki kekuasaan budgeting (anggaran) dan pengawasan terhadap jalannya pemerintahan daerah. Namun di sini DPRD dilihat sebagai bagian dari pemerintahan daerah yang dia antaranya, memiliki tugas untuk mengimplementasikan kebijakan pemerintah pusat. Yang terakhir ini tidak lepas dari pandangan bahwa DPRD bersama-sama dengan kepala daerah menjalankan fungi-fungsi pemerintahan di daerah setelah memperoleh otoritas dari pemerintah pusat melalui kebijakan otonomi daerah (desentralisasi) (Marijan, 2010). Sebagai lembaga perwakilan (legislatif) daerah, maka DPRD terdiri dari individuindividu hasil dari proses pemilihan umum. Olson menyebutkan kekuasaan legislatif jenis ini berbeda dengan cabang kekuasaan yang lain, yaitu: Pertama, perbedaan dari sifat dasar atributnya, bahwa parlemen adalah institusi perwakilan yang primer dalam sebuah masyarakat yang demokratik; Kedua, parlemen berbeda dari fungsi, yaitu menjadi instrumen utama dalam demokrasi yang menentukan dan menetapkan peraturan dan kebijakan publik lainnya; Ketiga, berbeda dari karakteristik dan prosedur organisasinya, dimana parlemen memiliki atribut konstitutif, yang menjadi organ, yang anggotanya dipilih secara geografik dan yang setiap anggotanya memiliki hak dan kewajiban yang sama. Dewan Perwakilan Rakyat Daerah terdiri atas Dewan Perwakilan Rakyat Daerah provinsi dan Dewan Perwakilan Rakyat Daerah kabupaten/kota. Kedua Dewan Perwakilan Rakyat Daerah ini memiliki masing-masing tugas dan kewenangannya sesuai dengan wilayah kerjanya. Secara umum Dewan Perwakilan Rakyat Daerah mempunyai tugas dan wewenangnya, sebagai berikut, yaitu:
16
1. Membentuk peraturan daerah bersama dengan kepala daerah; 2. Membahas dan memberikan persetujuan rancangan peraturan daerah tentang APBD; 3. Melaksanakan pengawasan terhadap pelaksanaan peraturan daerah dan APBD; 4. Memberikan pendapat dan pertimbangan kepada pemerintah daerah tentang rencana perjanjian internasional; 5. Memberikan persetujuan terhadap rencana kerja sama internasional yang dilakukan oleh pemerintah daerah; 6. Meminta
laporan
pertanggungjawaban
dalam
penyelenggaraan
pemerintahan daerah; 7. Melaksanakan tugas dan kewenangan lain yang diatur dalam ketentuan peraturan perundang-undangan. Kemudian setiap anggota Dewan Perwakilan Rakyat Daerah memiliki hak dan kewajibannya masing-masing. Adapun hak anggota Dewan Perwakilan Rakyat Daerah, sebagai berikut, yaitu: 1. Mengajukan rancangan peraturan daerah; 2. Mengajukan pertanyaan; 3. Menyampaikan usul dan pendapat; memilih dan dipilih; 4. Membela diri; 5. Imunitas; 6. Mengikuti orientasi dan pendalaman tugas; 7. Protokoler;
17
8. Keuangan dan administratif. Sedangkan kewajiban anggota Dewan Perwakilan Rakyat Daerah, sebagai berikut, yaitu: 1. Memegang tegus dan mengamalkan Pancasila; 2. Melaksanakan Undang-Undang Dasar 1945 dan mentaati ketentuan peraturan perundang-undangan; 3. Mempertahankan dan memelihara kerukunan nasional dan keutuhan Negara Kesatuan Republik Indonesia; 4. Mendahulukan kepentingan negara di atas kepentingan pribadi, kelompok dan golongan; 5. Memperjuangkan peningkatan kesejahteraan rakyat; 6. Menaati prinsip demokrasi dalam penyelenggaraan pemerintahan daerah; 7. Menaati tata tertib dan kode etik; 8. Menjaga etika dan norma dalam hubungan kerja dengan lembaga lain dalam penyelenggaraan pemerintahan daerah; 9. Menyerap dan menghimpun aspirasi konstituen melalui kunjungan kerja secara berkala; 10. Menampung dan menindaklanjuti aspirasi dan pengaduan masyarakat, dan 11. Memberikan pertanggungjawaban secara moral dan politis kepada konstituen di daerah pemilihannya.
18
BAB III METODOLOGI PENELITIAN
A. Pendekatan Penelitian Metode kualitatif adalah prosedur penelitian yang menghasilkan data deskriptif: ucapan atau tulisan dan perilaku yang dapat diamati dari orang-orang (subyek) itu sendiri. Pendekatan ini langsung menunjuk setting dan individu-individu dalam setting itu secara keseluruhan; subyek penyelidikan baik berupa organisasi ataupun individu (Bogdan dan Taylor, 1992). Penggunaan metode kualitatif dalam penelitian perilaku pemilih dalam pemelihan legislatif tahun 2014 di Kota Banjarbaru ini untuk mengamati aspek organisasi dan individu secara komprehensif berdasarkan indikator-indikator penelitian.
B. Tempat Penelitian Lokasi penelitian ini di wilayah Kota Banjarbaru, yang terdiri dari 5 kecamatan, yaitu Kecamatan Banjarbaru Selatan, Kecamatan Banjarbaru Utara, Kecamatan Cempaka, Kecamatan Landasan Ulin, Kecamatan Liang Anggang. Alasan pemilihan lokasi penelitian ini disesuaikan dengan program Komisi Pemilihan Umum Kota Banjarbaru yang mengkhususkan riset perilaku pemilih dalam pemilihan legislatif tahun 2014.
19
C. Sumber Data Di penelitian kualitatif, sumber data dipilih secara purposive dan bersifat snowball sampling. Penentuan sumber data, pada proposal masih bersifat sementara, dan akan berkembang kemudian setelah peneliti di lapangan. Sumber data pada tahap awal memasuki lapangan dipilih orang yang memiliki power dan otoritas pada situasi sosial atau obyek yang diteliti, sehingga mampu membukakan pintu kemana saja peneliti akan melakukan pengumpulan data. Sumber data ini bersifat data primer dan data sekunder. Data primer diperoleh dari wawancara dengan individu-individu yang ada di lokasi penelitian, sedangkan data sekunder diperoleh dari data-data dokumen dan arsip yang ada di kantor Komisi Pemilihan Umum Kota Banjarbaru.
D. Instrumen Penelitian Di penelitian kualitatif, yang menjadi instrumen utama adalah peneliti sendiri atau anggota tim peneliti. Penelitian ini menggunakan tim peneliti sehingga seluruh tim peneliti sebagai instrumen dalam mengumpulkan data sampai analisis data.
E. Teknik Pengumpulan Data Teknik pengumpulan data yang digunakan yaitu wawancara, observasi dan studi dokumentasi, yang diuraikan sebagai berikut : a. Wawancara. Wawancara mendalam (in-depth-Interview) dilakukan untuk mendapatkan informasi (data empiris) yang berkaitan tentang perilaku pemilih dalam pemilihan legislative tahun 2014 di ota Banjarbaru. Di samping itu bentuk wawancara yang dipakai yaitu wawancara semi
20
terstruktur yang menurut Herdiansyah (2010) memiliki ciri antara lain pertanyaan terbuka namun ada batasan tema dan alur pembicaraan, kecepatan wawancara dapat diprediksi, hal ini untuk menghindari waktu yang terbuang sia-sia, fleksibel tetapi terkontrol dan ada pedoman wawancara yang dijadikan patokan dalam alur, urutan dan penggunaan kata. b. Observasi. Observasi dilakukan dengan melakukan pengamatan secara langsung di lapangan dalam rangka melengkapi data hasil wawancara. Observasi dilakukan pada saat wawancara khususnya wawancara dengan individu yang menjadi informan penelitian. c. Studi
Dokumentasi. Studi dokumentasi digunakan dalam rangka
melengkapi data-data yang diperoleh di lapangan dengan cara meneliti dokumen-dokumen data untuk memperoleh data sekunder.
F. Aanalisis Data Teknik analisis data model interaktif Miles dan Huberman (1992) terdiri dari tiga alur kegiatan yang terjadi secara bersamaan, yaitu: reduksi data, penyajian data dan penarikan kesimpulan/verifikasi. Tahap-tahapan kegiatan analisis data ini dijelaskannya sebahai berikut: a. Reduksi data. Reduksi data diartikan sebagai proses pemilihan, pemusatan perhatian pada penyederhanaan, pengabstrakan, dan transformasi data kasar yang muncul dari catatan-catatan tertulis di lapangan. b. Penyajian data. Penyajian data sebagai sekumpulan informasi tersusun yang memberi kemungkinan adanya penarikan kesimpulan dan pengambilan tindakan.
21
c. Menarik kesimpulan. Menarik kesimpulan diartikan sebagai upaya mencari arti benda-benda, mencatat keteraturan, pola-pola, penjelasan, konfigurasikonfigurasi yang mungkin, alur sebab-akibat dan proposisi. Berikut ini merupakan gambaran tahapan-tahapan beserta alur teknik analisis data model interaktif yang dikemukakan oleh Miles dan Huberman (1992). Gambar 1. Analisis Data Model Interaktif Pengumpulan Data
Reduksi Data
Penyajian Data
Kesimpulan-kesimpulan: Penarikan/Verifikasi Dalam pengertian ini, analisis data kualitatif merupakan upaya yang berlanjut, berulang dan terus menerus. Masalah reduksi data, penyajian data dan penarikan kesimpulan/verifikasi menjadi gambaran keberhasilan secara berurutan sebagai rangkaian kegiatan analisis yang saling susul-menyusul (Miles dan Huberman, 1992).
G. Pengujian Keabsahan Data Teknik yang digunakan dalam pengujian keabsahan data penelitian adalah teknik triangulasi. Teknik triangulasi menurut Denzin dalam Mantra (2004), terdiri dari beberapa macam teknik diantaranya: 1) membandingkan hasil penelitian dengan sumber lain; 2) membandingkan hasil penelitian dengan hasil perhitungan dengan
22
menggunakan metode analisis yang berbeda atau membandingkan dengan hasil perhitungan beberapa data yang lain dengan menggunakan analisis yang sama.
23
BAB IV GAMBARAN UMUM KOTA BANJARBARU
A. Geografi Kota Banjarbaru secara geografis terletak di antara 3º 25’40” - 3º 28’37” Lintang Selatan dan 114º 41’22” - 114º54’25” Bujur Timur. Diapit oleh Kabupaten Banjar pada sebelah Utara, Timur, dan Barat serta Kabupaten Tanah Laut di sebelah selatannya, dengan batas-batas: sebelah Utara berbatasan dengan Kecamatan Martapura dan Kecamatan Martapura Barat; sebelah Selatan dengan Kecamtan Bati-Bati; sebelah Timur dengan Kecamatan Karang Intan; sebelah Barat dengan Kecamtan Gambut dan Kcamatan Aluh-Aluh (BPS, 2014). Luas wilayah Kota Banjarbaru sebesar 371,38 km², dengan luasan ini Kota Banjarbaru merupakan wilayah tersempit kedua di Kalimantan Selatan. Luas Kota Banjarbaru kurang dari 1 persen wilayah Provinsi Kalimantan Selatan dan hanya sebesar 0,88 persen.
B. Pemerintahan Di Kota Banjarbaru sejak tahun 2008 hingga sampai sekarang hanya memiliki 5 kecamatan dan 20 kelurahan. Jumlah Pegawai Negeri Sipil sampai saat ini sekitar 6.204
24
orang, dengan persentasi pembagian Pegawai Negeri Sipil perempuan sekitar 54,64% dan Pegawai Negeri Sipil laki-laki sekitar 45,36%. Berdasarkan tingkat pendidikan, pegawai yang berpendidikan SLTA ke atas sebanyak 82,76% untuk Pegawai Negeri Sipil daerah dan untuk Pegawai Negeri Sipil pusat sekitar 64,43%, dengan komposisi terbanyak adalah Pegawai Negeri Sipil yang tingkat pendidikannya strata 1.
C. Penduduk Jumlah penduduk Kota Banjarbaru pada tahun 2013 sebanyak 220.168 jiwa, meningkat 2,74 persen dibanding tahun 2012 yang hanya 214.287 jiwa. Total rumah tangga sebanyak 61.637 rumah tangga dengan perkiraan rata-rata setiap rumah tangga terdiri dari 4 art (BPS, 2014). Jumlah penduduk laki-laki sebanyak 112.819 jiwa dan penduduk perempuan sebanyak 107.349 jiwa dengan demikian rasio jenis kelamin penduduk Kota Banjarbaru adalah 105 artinya dalam setiap 100 orang penduduk perempuan terdapat 105 orang penduduk laki-laki. Adapun kepadatan penduduk Kota Banjarbaru per km² adalah 593 penduduk (BPS, 2014).
D. Pendidikan Partisipasi sekolah penduduk Kota Banjarbaru sudah cukup baik. Hal ini dapat dilihat dari APK SD yang mencapai 111,85 artinya hanya terdapat 11,85 penduduk di luar usia SD yang sedang sekolah di SD, APM SD sendiri sebesar 99,38 artinya ada 99,38 persen anak
25
usia 7-12 tahun yang bersekolah di jenjang SD hanya 0,62 persen penduduk usia tersebut yang tidak sedang sekolah SD (BPS, 2014).
E. Partai politik Jumlah partai politik yang terdaftar mengkuti pemilihan legislatif tahun 2014, sebgai berikut, yaitu: TABEL 1 KONTESTAN PARTAI POLITIK NO.
NAMA PARTAI POLITIK
SINGKATAN
1
Partai Amanat Nasional
PAN
2
Partai Persatuan Nasional
PPN
3
Partai Kedaulatan Bangsa Indonesia Baru
PKPBIB
4
Partai Golongan Karya
GOLKAR
5
Partai Gerakan Indonesia Raya
GERINDA
6
Partai Bulan Bintang
PBB
7
Partai Nasdem
NASDEM
8
Partai Keadilan Sejahtera
PKS
9
Partai Keadilan dan Persatuan Indonesia
PKPI
10
Partai Persatuan Pembangunan
PPP
11
Partai Demokrat
DEMOKRAT
12
Partai Hati Nurani Rakyat
HANURA
13
Partai Kebangkitan Bangsa
PKB
14
Partai Demokrasi Indonesia Perjuangan
PDIP
26
15
Partai Peduli Rakyat Indonesia
PPRN
Sumber: diolah, 2015
F. Daerah pemilihan Daerah pemilihan legislatif tahun 2014 di Kota Banjarbaru terdiri dari 4 daerah pemilihan, sebagai berikut, yaitu: TABEL 2 DAERAH PEMILIHAN NO.
KATERGORI DAERAH
KECAMATAN
1
Daerah pemilihan I
Banjarbaru Utara dan Banjarbaru Selatan
2
Daerah pemilihan II
Cempaka
3
Daerah pemilihan III
Landasan Ulin
4
Derah pemilihan IV
Liang Anggang
G. Pemilih Berdasarkan Daftar Pemilih Sementara (DPS) yang disusun oleh PPS menunjukkan jumlah sekitar 143.404 pemilih, yang kemudian diverifikasi ulang lagi untuk menjadi Daftar Pemilih Tetap (DPT) yang menunjukkan jumlah sekitar 143.721 pemilih. Jumlah pemilih ini gabungan dari jumlah pemilih laki-laki dan jumlah pemilih perempuan. Secara detail pembagian jumlah pemilih laki dan perempuan dapat dilihat pada tabel berikut ini, yaitu:
27
TABEL 3 JUMLAH PEMILIH NO
KECAMATAN
LAKI
PEREMPUAN
1
Banjarbaru Selatan
15.062
15.191
2
Banjarbaru Utara
14.991
16.006
3
Cempaka
11.404
10.896
4
Landasan Ulin
18.961
19.180
5
Liang Anggang
11.174
10.856
TOTAL
71592
72.129
Sumber: KPU Kota Banjarbaru, 2014
H. Partisipasi masyarakat angka partisipasi pemilih pada pemilihan umum anggota DPRD, DPD dan DPRD pada tanggal 9 April 2014 di Kota Banjarbaru mencapai 76,02%. Tingkat partisipasi tersebut melampaui target nasional yang telah ditetapkan oleh KPU RI yakni sebesar 75%. Tingkat partisipasi ini didapat setelah KPU Kota Banjarbaru melakukan rekapitulasi dan penetapan hasil perhitungan suara tingkat Kota Banjarbaru (Tim KPU, 2014). Secara detail tingkat partiaipasi masyarakat di masing-masing kecamatan yang ada di Kota Banjarbaru, sebagai berikut, yaitu:
28
TABEL 4 TINGKAT PARTISIPASI MASYARAKAT KECAMATAN
TINGKAT PARTISIPASI
TOTAL
L
P
BANJARBARU SELATAN
68,89%
74,00%
71,45%
BANJARBARU UTARA
68,10%
72,16%
70,19%
CEMPAKA
70,70%
77,19%
73,89%
LANDASAN ULIN
68,25%
75,73%
72,03%
LIANG ANGGANG
69,04%
74,26%
71,62%
Sumber: KPU Kota Banjarbaru, 2014.
I. Calon legislatif Pada pemilihan legislatif tahun 2014 di Kota Banjarbaru menunjukkan calon anggota legislatif yang terdaftar berjumlah 311 (tiga ratus sebelah) orang. Jumlah calon ini berasal dari jumlah 15 (lima belas) partai politik yang terdaftar di Komisi Pemilihan Umum Kota Banjarbaru. Jumlah 311 ini hanya untuk calon anggota legislatif yang berasal dari Kota Banjarbaru, sedangkan calon legislatif lainnya yang juga ikut dalam pemilihan tahun 2014 berasal dari calon legislatif (DPRD) provinsi dan calon legislatif pusat (DPR), serta ditambah calon dari Dewan Perwakilan Daerah.
29
J. Hasil pemilu 2014 Adapun hasil pemilihan umum tahun 2014 dapat dilihat pada tabel di bawah ini, sebagai berikut, yaitu: TABEL 5 PEROLEHAN SUARA PARTAI POLITIK DPRD KOTA BANJARBARU NO
PARTAI POLITIK
PEROLEHAN SUARA
URUT 1
PARTAI NASDEM
9.398
2
PKB
9.058
3
PKS
6.171
4
PDIP
15.334
5
PARTAI GOLKAR
16.453
6
PARTAI GERINDA
13.633
7
PARTAI DEMOKRAT
7.443
8
PAN
7.430
9
PPP
11.053
10
PARTAI HANURA
3.813
14
PBB
722
15
PKPI
332
Sumber: KPU Kota Banjarbaru, 2014
30
TABEL 6 PEROLEHAN SUARA PARTAI POLITIK DPRD PROVINSI DAN DPR DI KOTA BANJARBARU NO
PARTAI POLITIK
URUT
PEROLEHAN SUARA DPRD PROVINSI
DPR
1
PARTAI NASDEM
5.473
4.653
2
PKB
8.225
7.561
3
PKS
5.769
5.518
4
PDIP
14.617
12.941
5
PARTAI GOLKAR
20.738
23.213
6
PARTAI GERINDA
13.940
11.568
7
PARTAI DEMOKRAT
6.107
5.423
8
PAN
6.362
4.322
9
PPP
9.784
19.451
10
PARTAI HANURA
4.061
3.245
14
PBB
789
728
15
PKPI
882
269
Sumber: KPU Kota Banjarbaru, 2014
31
BAB V ANALISIS HASIL
Pemilu legislatif tahun 2014 di Kota Banjarbaru diikuti oleh sekitar 15 (lima belas) partai politik, yang terdiri dari partai politik lama dan partai politik baru. Partai politik lama yang dimaksud adalah partai politik masa orde baru dulu dan partai politik yang lahir masa reformasi, sedangkan partai politik baru adalah partai politik yang muncul setelah reformasi babak kedua dan babak ketiga. Di Kota Banjarbaru partai politik lama masih berdiri sampai sekarang dan masih bersaing dengan partai politik baru dalam setiap perhelatan pemilihan umum. Partai politik yang menjadi kontestan pemilihan legislatif tahun 2014 terdiri atas partai demokrat, partai gerinda, partai golkar, partai hanura, partai nasdem, partai amanat nasional, partai bulan bintang, partai demokrat Indonesia perjuangan, partai kebangkitan bangsa, partai kedaulatan indonesia baru, partai kesatuan dan persatuan indonesia, partai keadilan sejahtera, partai persatuan indonesia, partai persatuan pembangunan dan partai peduli rakyat nasional. Kemudian dari 15 (lima belas) partai politik ini terdapat sekitar 311 (tiga ratus sebelas) calon legislatif yang ikut dalam pemilihan umum tanggal 9 April tahun 2014. Masing-masing calon legislatif ini memiliki daerah pemilihan sendiri sesuai dengan penentuan mekanisme di partai politik.
32
Selain itu calon legislatif lain yang akan dipilih berasal dari wilayah daerah provinsi dan wilayah pusat. Untuk wilayah provinsi merupakan calon yang akan menduduki Dewan Perwakilan Rakyat Daerah Provinsi Kalsel sedangkan unutuk wilayah pusat merupakan calon yang akan menduduki Dewan Perwakilan Rakyat. Adanya tambahan pilihan dari calon legislatif provinsi dan legislatif pusat ini maka diperkirakan jumlah seluruh calon legislatif sekitar lebih dari 600 orang. Dengan jumlah yang banyak ini tentu pemilih harus lebih jeli dan selektif dalam memilih calonnya agar tidak terpilih pilihan yang tidak sesuai. Calon legislatif ini merupakan calon legislatif untuk DPRD yang ada di Kota Banjarbaru, sedangkan yang lainnya itu masih ada calon legislatif untuk DPRD provinsi dan DPR pusat serta Dewan Perwakilan Daerah. Kesemua calon-calon ini akan dipilih oleh pemilih yang ada di Kota Banjarbaru. Masing-masing calon memiliki kesempatan yang sama untuk dipilih, sedangkan masingmasing pemilih memiliki kesempatan untuk memilih dengan konsep satu orang satu suara (one man one vote), jadi satu orang pemilih memilih satu orang calon legislatif, satu orang legislatif memiliki satu suara pemilih. Berdasarkan ketentuan dalam peraturan perundang-undangan pemilihan umum menegaskan adanya penguatan kehadiran perempuan dalam pengajuan calon legislatif di masingmasing partai politik, yaitu sebesar 30%. Kuota ini harus dipenuhi partai politik sebagai syarat mengikuti pemilihan umum tersebut. Berdasarkan ketentuan ini kecederungan partai politik yang menjadi kontestan pemilihan legislatif tahun 2014 sudah memenuhi sisi kuota keterwakilan perempuan sebanyak 30%. 33
Penghitungan kuota ini tergantung banyaknya jumlah pengajuan calon legislatif oleh partai politik. Apabila partai politik mengajukan calon legislatif yang banyak maka kuota pembaginya juga akan banyak, sedangkan apabila partai politik mengajukan calon legislatif yang sedikit maka kuotanya juga akan sedikit, sehingga dengan demikian masing-masing partai politik berbeda jumlah calon legislatif perempuannya. Kemudian berdasarkan data KPU Kota Banjarbaru (2014) Daftar Pemilih Sementara (DPS) yang disusun oleh PPS menunjukkan jumlah sekitar 143.404 pemilih, yang kemudian diverifikasi ulang lagi untuk menjadi Daftar Pemilih Tetap (DPT) yang menunjukkan jumlah sekitar 143.721 pemilih. Jumlah pemilih ini terdiri dari pemilih laki-laki berjumlah 71.592 dan pemilih perempuan berjumlah 72.129. Terdaftarnya sesorang menjadi pemilih harus memenuhi syarat-syarat sesuai ketentuan peraturan perundangan yang berlaku. Syarat wajib yang harus dipenuhi tersebut, seperti sudah berumur 17 tahun, berwarga negara Indonesia dan memiliki kesehatan jasmani dan rohani dalam memilih nantinya. Jumlah pemilih ini mengalami pengurangan sekitar 270 pemilih. Pengurangan jumlah pemilih ini diakibatkan dari adanya pemilih yang pindah domisili tempat tinggal, pemilih yang sudah meninggal dunia dan adanya pemilih yang ganda. Pemilih yang pindah domisili lebih besar dibandingkan faktor lainnya karena Kota Banjarbaru termasuk kota yang dinamis ekonominya. Beberapa orang pemilih bekerja pada sektor swasta, dimana pekerjaan ini menuntut pemilih untuk melakukan mobilisasi dalam kegistan ekonomi. Hal ini yang tidak bisa diprediksi 34
mobilisasi ekoomi ini bisa saja dilakukan sebelum dan saat pemilihan legislatif berlangsung sehingga menyebabkan pemilih tersebut tidak terdaftar. Kota Banjarbaru termasuk salah satu kota yang sempit wilayahnya sehingga keadaan ini menjadi sesuatu yang kondusif bagi pemilih dalam pemilihan legisatif, dimana pemilih mudah akses dalam mengenal maupun melihat sosok calon-calon legislatif dalam pemilihan umum tahun 2014 ini. Semua pemilih cenderung mengetahui calon-calon legislatif yang diusung oleh partai politik. Apalagi jumlah partai politik yang cukup banyak memudahkan akses pengenalan pemilih terhadap calon legislatif tersebut. Rata-rata calon-calon dari partai politik mengenalkan sendiri secara aktif ke masayarakat pemilih. Perilaku pemilih di Kota Banjarbaru cukup beragam pada pemilihan legislatif tahun 2014. Dimana masyarakat Banjarbaru cukup bebas menentukan pilihannya sendiri tanpa ada intervensi dari fihak manapun. Masyarakat cukup antusias dalam menghadiri kegiatan tahapan kampanye maupun pencoblosan kertas suara. Khusus pada saat hari
H kehadiran masyarakat pemilih ada yang datang secara
berkelompok berdasarkan kekeluargaan atau keluarga serumah atau sekampung/tetangga rumah yang berdekatan dan ada juga yang datang secara individu ke lokasi-lokasi tempat pemungutan suara yang sudah ditentukan. Seringkali pemilih yang datang berasal dari rukun tetanga yang sama tau pun berbeda, hal ini terjadi dikarenakan adanya penggabungan rukun tetangga dalam satu TPS. Artinya pemilih yang bersal dari rumah tangga yang berbeda atau pun sama ini dapat melakukan pencoblosan kertas suara pada TPS yang sama tersebut. 35
Apalagi tingkat partisipasi pemilih di Kota Banjarbaru di atas target yang ditetapkan oleh Komisi Pemilihan Umum, ini penanda bahwa masyarakat pemilih di kota ini memiliki keaktifan secara sadar untuk mensukseskan pemilihan umum dengan cara menghadiri pencoblosan kertas suara tersebut. Dalam pemilihan legislatif ini terutama pada sistem pencoblasan digunakan cara yang lebih praktis dimana pemilih ketika menentukan pilihannya bisa saja mencoblos nama orangnya, partai politiknya atau nomornya. Penggunaan sistem ini tentunya untuk mengurangi kerusakan surat suara dalam pencoblosan. Pemilih dapat bebas menentukan pilihannya dalam pencoblosan tanpa perlu khawatir pilihannya menjadi tidak sah. Kota Banjarbaru merupakan kota yang sangat kental nuansa peninggalan Belandanya dibandingkan kabupaten/kota lainnya yang ada di wilayah Kalimantan Selatan. Kota ini terlihat lebih teratur dan tertib bangunannya dan sarana prasarananya karena hasil dari reflika desain orang Belanda dulu. Kemudian kota ini juga menjadi salah satu pusat pendidikan dimana salah satu universitas tertua di Kalimantan, Universitas Lambung Mangkuratnya menempatkan salah satu cabang Kampus eksatanya di wilayah Banjarbaru. Yang ini tentunya secara otomatis mahasinya juga ikut menetap di wilayah tersebut. Beberapa kelebihan yang ada di kota ini menciptakan keunikan tersendiri bagi penduduk kotanya dalam hal perilaku politiknya yang juga terbawa lebih teratur bercampur kritis tentunya. Adapun beberapa identifikasi tipe perilaku pemilih pada pemilihan legislatif tahun 2014 di Kota Banjarbaru, sebagai berikut:
36
Pemilih bertipe rasional. Pemilih tipe jenis ini memang memperhitungkan atau mengkalkulasikan pertimbangan-pertimbangan rasional sebelum menentukan pilihannya. Pertimbangan rasional ini menjadi dasar bagi pemilih tersebut dalam menentukan pilihannya terhadap calon legislatif. Kecenderungan pertimbangan rasional yang digunakan adalah program kerja yang disampaikan oleh calon legislatif. Bagi pemilih jenis ini program kerja calon merupakan hal yang urgen dibutuhkan tidak saja oleh masyarakat tetapi juga oleh calon tersebut apabila terpilih nanti menjadi anggota Dewan Perwakilan Rakyat Daerah. Pemilih mempertimbangkan pilihannya sudah jauh hari sebelum hari pencoblosan suara. Pada saat kampanye pemilih ini sudah mempertimbangkan pilihannya. Calon-calon legislatif sudah mendapat penilaian pada saat mereka mengkampanyekan programnya melalui forum diskusi maupun melalui media lainnya. Bagi calon yang tidak ada program kerjanya di media-media maka pemilih akan mencarinya melalui biodata maupun data-data sekunder yang ada di komisi pemilihan umum. Pemilih aktif mengamati dan mempelajari setiap program kerja yang disampaikan oleh calon legislatif. Melalui program kerja yang disampaikan calon legislatif akan kelihatan keseriusan maupun wawasannya, sehingga diasumsikannya apabila calon memiliki program kerja maka calon tersebut memang memiliki keseriusan dan wawasan keilmuan tentang pembangunan di daerah. Kemudian calon yang tidak memiliki program kerja akan dianggap calon tersebut tidak memiliki keseriusan dan wawasan dalam mencalon menjadi anggota Dewan Perwakilan Rakyat 37
Daerah. Calon tersebut dianggap tidak memiliki tanggung jawab atas pekerjaan yang akan di embannya sehingga calon ini tidak akan dipilih. Selain itu calon legislatif yang memiliki program asal-asalan juga akan tidak dipilih. Kategori program asal-asalan itu meliputi pembuatan program kerja yang sembarangan atau mengcopy paste punya orang lain. Calon legilslatif ini dianggap tidak memiliki tanggung jawab atas amanah perkerjaan yang diembannya nanti. Istilahnya ungkapan dari pemilih dalam memilih calon legislatif yang dipilihnya tidak mambari supan kalo nanti terpilih menjadi anggota Dewan Perwakilan Rakyat. Pemilih akan merasa bangga dan puas jika calonnya terpilih menjadi anggota Dewan Perwakilan Rakyat Daerah. Nantinya pemilih akan dapat menceritakan pilihannya tersebut kepada orang lain atau kawannya, bahwa dia sudah memilih si A dalam pemilihan legislatif tahun 2014. Melalui pertanyaan kiapa pilihan sorang itu, sebenarnya pemilih itu menunjukkan rasa kebanggaannya atas pilihannya tersebut. Sementara itu ungkapan dari pemilih terhadap calon yang tidak dipilihnya dianggap mambari supan bagi pemilihnya. Ada kekhawatiran pemilih terhadap calon legislatif yang seperti ini, dimana calon legislatif ini akan mengecewakan pemilih dan pemilih akan malu disebut apabila diketahui calon legislatif itu merupakan pilihannya. Kisi-kisi dari program kerja yang dilihat, seperti apakah program kerja itu sebagai upaya mensejahterakan masyarakat, apakah program itu berkaitan dengan perbaikan pendidikan, apakah program kerja itu berkaitan dengan perbaikan pelayanan pemerintahan daerah, apakah program kerja itu berkaitan dengan perbaikan ekonomi masyarakat dan sebagainya. 38
Di sini trakc record calon legislatif juga dianggap sesuatu yang rasional untuk dijadikan bahan pertimbangan. Calon yang trac recordnya baik akan dipilih tetapi apabila trac record calon dinilai memiliki keburukan atau kekurangan maka otomatis calon legislatif ini tidak akan dipilih oleh pemilih jenis ini. Oleh karena itu proses penggantian legislatif lebih cepat, maksudnya tidak banyak anggota dewan yang bisa mempertahankan jabatannya di dewan dalam waktu lama. Kebiasaannya anggota dewan yang terpilih di pemilu lalu, maka bisa jadi tidak terpilih lagi pada pemilu berikutnya. Namun anggota dewan yang memang mampu memelihara dukungannya dan menjaga integritasnya, biasanya akan tetap terpilih dalam pemilihan umum berikutnya. Anggota dewan ini tetap mendapat kepercayaan konstituen untuk mengemban jabatan sebagai anggota dewan di lima tahun berikutnya. Jenis anggota dewan ini memang amat mengakar di masyarakat, dimana hampir masyarakat konstituennya mengenal anggota dewan ini. Anggota dewan ini memiliki citra yang sangat positif dan dianggap memiliki kepantasan terus menduduki jabatan sebagai anggota dewan. Apalagi kecenderungan masyarakat berkarakteristik seperti Kota Banjarbaru ini untuk rasionalitas pemilihnya lebih besar. Dimana mereka lebih mudah mengakses calon yang hal ini mendorong mereka untuk lebih mengenal calon dan programnya sehingga pertimbanganpertimbangan itu lebih beragam terjadi. Pemilih jenis ini juga akan mengkritisi visi calon legislatif, visi yang dianggap terlalu mengada-ngada atau visi yang sembarangan cenderung dianggap calon legislatif tersebut tidak 39
serius menjadi calon legislatif atau dianggap mencalon ini hanya sekedar mencari prestise dan pekerjaan. Isu banyak calon legislatif yang mencalon hanya untuk mencari pekerjaan atau anggota dewan ini hanya akan menjadi pekerjaan sampingan merupakan isu yang ikut berkecamuk dalam tahapan pemilihan umum. Isu ini nampaknya mendorong pemilih untuk lebih selektif dalam menentukan pilihannya. Pemilih merasa menyesal jika salah dalam menentukan pilihan calon legislatifnya sehingga lebih lama dalam mempertimbangkan calon. Apalagi pemilih menyadari jika salah dalam menentukan pilihannya maka akan menunggu lima tahun lagi untuk dapat memilihkan kesalahannya tersebut. Tipe pemilih jenis ini sangat cocok dengan calon-calon yang lintas kabupaten/kota, seperti calon legislatif provinsi dan calon dewan yang ada di pusat. Dimana bagi calon legislatif yang tidak berasal dari daerah Kota Banjarbaru akan ada jarak besar antara pemilih dan calonnya. Pemilih justru akan mengenal calonnya dari program kerja yang disampaikannya bukan mengenal orangnya. Kedua, pemilih bertipe tradisional. Pemilih ini berorientasi asal usul dan paham keagamaan dalam menentukan pilihannya. Kedekatan asal usul ini dapat berbentuk kedaerahan maupun kesukuan sedangkan paham keagamaan dalam bentuk kesamaan agama yang ada di Indonesia. Kedaerahan dan kesukuan ini tumbuh hanya menjadi fenomena di Kota Banjarbaru saja tetapi ini merupakan fenomena Indonesia, dimana pada kenyataannya masih banyak daerah-
40
daerah yang terpisah dan kesukuan-kesukuan yang hampir mencapai 300 yang terbagi di daerahdaerah tersebut. Di sebut tradisional jenis pemilih ini dikarenakan orientasi perilaku politik mereka mengabaikan penampilan calon legislatif dan program kerjanya. Dimana penampilan dan program kerja ini dianggap merupakan hal modern yang menjadi rujukan atau pun penilaian seseorang terhadap orang lain. Jadi kebalikan dari hal yang modern inilah disebut sebagai hal-hal yang tradisional. Apabila calon legislatif itu memenuhi syarat jenis pemilih ini maka calon legislatif itu akan mereka pilih sebagai calon legislatifnya. Sebaliknya apabila calon legislatif itu tidak memenuhi syarat jenis pemilih ini maka calon legislatif itu tidak akan pernah jadi pilihan mereka. Pemilih kadangkala melihat calon legislatif dari sudut asal usulnya, yaitu kedaerahannya dan kesukuannya. Calon legislatif dipelajari berasal dari daerah mana maupun berasal dari kesukuan mana, misalnya berasal dari daerah Banjar atau berasal dari daerah luar Banjar, sedangkan kesukuan dilihat berasal dari suku Banjar atau suku Jawa dan sebagainya. Di sini pemilih yang memiliki kesamaan asal daerah dengan calon legislatif akan dipilih oleh pemilih tersebut, misalnya pemilih yang berasal dari daerah Banjar maka akan memilih calon yang berasal dari daerah Banjar, lebih spesifiknya calon yang berasal dari daerah hulu sungai (Amuntai) maka akan memilih calon legislatif yang berasal dari daerah hulu sungai (Amuntai) tersebut. Demikian juga pemilih yang memiliki kesamaan asal daerah dengan calon legislatif yang berasal dari daerah Jawa maka akan memilih calon yang berasal dari daerah Jawa.
41
Calon-calon legislatif yang berasal dari daerah tertentu akan menggunakan simbol kedaerahan ini untuk menarik simpai para pemilihnya, misalnya menggunakan simbol kata atau kalimat yang menunjukkan kedaerahannya. Apabila kedaerahannya berasal dari Banjar maka mereka akan menyebut Banjar atau Banua, dan penggunaan simbol ini yang lebih banyak terjadi di daerah-daerah dibandingkan kedaerahan lain di luar Banjar. Sementara itu pemilih yang memiliki kesamaan kesukuan dengan calon legislatif maka akan dipilih oleh pemilih tersebut, misalnya pemilih yang berasal dari suku Banjar maka akan memilih calon yang berasal dari suku Banjar dibandingkan calon yang berasal dari suku lain. Pemilih yang memiliki kesamaan suku Jawa maka ada kecenderungan akan memilih calon legislatif yang memiliki kesukuan Jawa tersebut dibandingkan calon legislatif dari suku lainlainnya. Di aspek kesukuan ini calon legislatif biasanya menggunakan simbol kesukuan agar diketahui oleh para pemilih, misalnya calon legislatif menggunakan simbol berpakaian suku tertentu atau menggunakan ikat kepala yang menggambarkan salah satu suku yang ada di Indonesia. Kecenderungan pemilih yang memiliki kesamaan dalam kegamaan dengan calon legislatif maka akan dipilih oleh pemilih tersebut, misalnya pemilih yang beragama Islam maka kecenderungannya akan memilih calon legislatif dari agama Islam dibandingkan yang berasal dari agama lainnya. Hal ini merupakan alami saja dimana masing-masing pemilih memiliki orientasinya sendiri sehingga acapkali pilihannya yang berorientasi agama ini didasarkan pertimbangan
42
agamanya. Mereka merasa mendapatkan kenikmatan agama jika memilih calon yang memiliki agama yang sama. Bagi beberapa orang ada anggapan memilih calon legislatif yang berasal dari paham agama yang sama merupakan kewajiban di agamanya, dimana apabila pemilih tidak memilih paham keagaam yang sama terhadap calon legislatif dianggap melakukan penentangan terhadap agamanya. Dalam hal ini seringkali calon-calon legislatif menonjolkan simbol keagamaannya dalam melakukan kampanye di media maupun ketika berkunjung ke lokasi masyarakat. Simbol keagamaan yang digunakan misalnya kopiah haji, atau menggunakan surban atau menggunakan sarung dan sebagainya sesuai dengan keagamaannya masing-masing. Pemilih mengikuti saja perasaannya dengan memilih calon-calon legislatif yang sesuai perasaannya ini dengan tanpa pertimbangan lainnya. Walaupun tanpa disadari calon-calon legislatif tersebut mengakali mereka dari segi-segi simbolisasi tersebut, dimana calon-calon memakai surban hanya pada saat kampanye saja setelah itu kembali seperti kelakuannya semula di masyarakat. Memang tidak terlalu jeli pemilih dari segi ini, bagi mereka yang penting hasrat perasaannya tersalurkan terhadap calon legislatif tersebut. Kebiasaannya pemilih akan mengajak anggota keluarga lainnya untuk mengikuti jalannya dalam memilih calon legislatif yang sama dengan perasaannya. Kebiasaan memilih seperti ini akan terus berlangsung lama dari satu pemilihan umum ke pemilihan umum berikutnya. Pemilih tetap menggunakan perasaannya dalam menentukan
43
pilihannya. Jika pemilihnya sudah berorientasi pada calon legislatif tertentu maka calon itu akan dipilihnya kembali pada pemilihan umum berikutnya. Calon legislatif ini tidak akan dipilih lagi jika calon legislatif ini tidak mencalon lagi. Memang jarang ada muncul kesalahan dari calon legislatif ini bagi pemilih dari segi kedaerah dan kesukuan ini arena bagi mereka calon cukup mensimbolkan kedaerah dan kesukuan dalam kampanyenya. Berbeda dengan paham keagamaan dalam hal ini bagi pemilih, keberlangsungan calon legislatif ini tergantung calon legislatifnya, jika calon legislatifnya masih menggunakan simbol keagamaan dan berperilaku sesuai dengan anjuran agama maka akan terus dipilih menjadi calon legislatif. Sebaliknya apabila calon legislatif tersebut menggunakan simbol keagamaan tetapi berperilaku tidak sesuai dengan anjuran agama maka calon legislatif itu tidak akan dipilih oleh pemilih tersebut. Dalam hal ini pemilih memang sangat kaku soal keagamaan karena itu terkait dengan soal hari akhir. Jarang ada pemilih yang fleksibel dalam hal anjuran agama ini dibandingkan persoalan kedaerah maupun kesukuan, dimana pemilih masih bisa fleksibel dalam memandang perilaku calon legislatifnya. Karena soal kedaerah/kesukuan ini tidak ada sanksinya sedangkan persoalan keagamaan ada sanksinya yang dirasakan oleh pemilih itu sendiri. Ketiga, pemilih bertipe skeptis. Pemilih bertipe ini tidak memperdulikan partai politik maupun calonnya. Mereka cenderung bersikap golput atau tidak melakukan pencoblosan dalam pemilihan legislatif tersebut. Bagi mereka pemilihan legislatif ini tidak akan mendorong perubahan apapun. 44
Skeptis ini semacam perilaku yang dimulai dri adanya sikap sinis terhadap sesuatu atau sikap ragu terhadp sesuatu yang memang belum dilihat atau dicoba. Sikap ini sudah menutup ruang terhadap sesuatu yang diskeptiskannya, misalnya skeptis terhdap partai politiknya atau skeptis terhadap calon legislatifnya. Pemilih seperti ini memang terbentuk karena adanya pengalaman-pengalaman pemilu yang lalu yang hasilnya tidak menunjukkan adanya perubahan berarti. Pemilih seperti ini juga memiliki wawasan yang cukup luas sehingga memiliki kemampun melogikakan jalannya proses politik pada saat pemilihan umum. Pengalaman yang lalu tersebut ada yang terjadi sikap skeptis terhadap partai politik tertentu sehingga berimbas pada calon legislatifnya, sebaliknya ada yang terjadi langsung pada calon legislatifnya. Pemilih ini sudah tidak percaya dan ragu terhadap partai politik tertentu sehingga caloncalon legislatif yang diajukan oleh partai politik itu tidak mendapat respon yang positif. Caloncalonnya sudah diabaikan atau dianggap tidak ada sama sekali, sedangkan pemilih yang skeptis terhadap calon legislatifnya juga berimbas pad partai politiknya. Menurut Welch kadangkala ketidakhadiran seseorang dalam pemilihan umum berkaitan dengan kepuasan atau ketidakpuasan pemilih. Kalau seseorang memperoleh kepuasan dengan tidak menghadiri pemilihan tertentu ia akan tidak hadir ke bilik suara, begitu pula sebaliknya. Jika pemilih itu merasa memperoleh kepuasan dengan hadir dalam pemilihan umum maka ia akan hadir dalam pemilihan umum itu. Di samping itu, ketidakhadiran juga berkaitan dengan kalkulasi untung rugi. Kalau seseorang merasa lebih beruntung secara finansial dengan tidak hadir dalam pemilihan umum, 45
tentu ia akan lebih suka melakukan pekerjaan lain yang lebih menguntungkan. Misalnya pekerjaanya sebagai petani dan sebagainya. Pemilih ini merasa puas dan bangga atas tindakannya tidak ikut dalam pemilihan legislatif tahun 2014 tersebut. Memang terlihat mementingkan dirinya sendiri dalam berperilaku namun terbentuknya pemilih seperti bukan tiba-tiba saja terjadi tapi melalui proses pengalaman panjang pemilih dalam mencermati perilaku anggota dewan yang telah duduk maupun calon legislatif. Bentuk kekecewaan terhadap perkembangan politik yang terjadi di masa pemilihan umum sebelumnya menjadi pendorong bagi pemilih ini untuk tidak mmperdulikan lagi pemilihan umum selanjutnya. Pemilihan umum selanjutnya ini dianggap sama dengan pemilihan umum sebelumnya. Bagi pemilih ini sudah tidak ada harapan perubahan lagi di pemilihan umum ini, satusatunya jalan atau langkah yang diambil untuk mengurangi kesalahan politik adalah dengan cara tidak ikut dalam pemilihan umum tahun 2014 itu. Menurut mereka ini bukti bahwa masih ada orang yang mengharapkan pemilihan umum lebih baik. Selama pemilihan umum tahun 2014 pemilih ini lebih memilih melakukan kegiatan perkerjaannya sehari-hari dibandingkan mengurusi atau memantau pemilihan umum melalui media massa. Baginya memantau atau mengamati calon-calon legislatif merupakan tindakan yang tidak menguntungkan. Dari awal tahapan pemilihan umum tahun 2014 pemilih ini sudah berasumsi yang negatif terhadap tahapan pemilihan umum tersebut dan calon-calon legislatif. Pemilih ini sudah terlalu
46
skeptis untuk melihat perubahan baru dalam tahapan pemilihan umum maupun kehadiran caloncalon legislatif. Ada beberapa faktor yang mempengaruhi perilaku pemilih dalam pemilihan umum legislatif tahun 2014 di Kota Banjarbaru, sebagai berikut: Pertama, pendidikan. Pendidikan ini berkaitan dengan pendidikan formal dibangku sekolah. Perilaku pemilih menunjukkan kecenderungn semakin tinggi tingkat pendidikan seorang pemilih semakin memperluas cara pandangnya dalam menentukan pilihan dalam pemilihan umum legislatif tersebut. Secara umum diketahui pendidikan acapkali memberikan banyak pengetahuan tentang berbagai ilmu pengetahuan dari persoalan sosial, ekonomi, budaya, teknik, sampai ke persoalan politik. Ilmu pengetahuan ini secara otomatis meningkatkan wawasan dan cakrawala berpikir pemilih. Hasil pendidikan di bangku sekolah atau di perguruan tinggi biasanya diparktekkan di kehidupan sehari-hari. Salah satu ladang praktek keilmuan ini adalah di dalam menentukan pilihan pada saat pemilihan umum berlangsung. Pemilih akan menalar calon-calon legislatif berdasarkan ilmu pengetahuan yang mereka miliki. Jenjang pendidikan ini terutama pendidikan pemilih yang dari tingkat Sekolah Menengah Atas sampai ke Universitas dimana ternyata memberikan keluasan berpikir dalam menimbangnimbang pilihan kepada calon legislatif. Mereka lebih kritis dalam menentukan pilihan politiknya, dibandingkan pemilih yang tingkat pendidikan dibawahnya.
47
Maksud kritis di sini para pemilih ini mempertimbangkan pilihannya berdasarkan program kerja yang calon sampaikan. Pemilih menggunakan rasionya untuk menilai para calon legislatif sehingga penilaian ini memerlukan waktu yang agak lama sehingga akhirnya pemilih menentukan pilihannya. Walaupun demikia transisi pendidikan pemilih terlihat antara pendidikan menengah dengan pendidikan perguruan tinggi, di sini pemilih masih mempertimbangkana antara berorientasi rasional dengn orientasi tradisional. Orientasi ini masi bercabang di pemilih yang berpendidikan menengah dibandingkan berpendidikan perguruan tinggi. Kecenderungan pendidikan membantu pemilih untuk mampu memahami permasalahanpermasalahan yang ada di Kota Banjarbaru. Permasalahan-permasalahan ini perlu dicarikan solusinya dalam rangka membangun Kota Banjarbaru yan lebih baik di masa-masa sekarang dan akan datang. Calon legislatif dalam pemilihan umum tersebut dipelajari dari berbagai aspek-aspek yang melekat dalam diri si calon tersebut, seperti track record calon selama di masyarakat maupun selama menjadi anggota dewan, ini jika calon tersebut sudah pernah menjadi anggota dewan sebelumnya. Program kerja calon juga ikut dipelajari. Apakah program kerja calon ini cukup realistis untuk dijalankan di Kota Banjarbaru? Apakah program kerja ini merupakan solusi dari permasalahan masyarakat dan pemerintahan yang ada di Kota Banjarbaru. Atau ini program asalasalan saja. Kedua, pengalaman. Pengalaman pemilih dalam mengikuti pemilihan umum cenderung mendorong pemilih lebih selektif dalam menentukan calon pilihannya. Kecenderungannya 48
semakin sering pemilih mengikuti pemilihan umum maka akan semakin selektif pemilih dalam menentukan calon pilihannya. Dan semakin sering pemilih memiliki pengalaman mengenal calon maka akan semakin mudah pemilih menentukan pilihannya, tetapi semakin sering pemilih tidak memiliki pengalaman mengenal calon maka akan semakin sukar pemilih menentukan pilihannya terhadap calon legislatif tersebut. Pengalaman di sini memang terbagi dua, yaitu pengalaman yang berasal dari keikutsertaan dalam setiap pemilihan umum dan pengalaman dalam kehidupan sehari-hari di masyarakat melalui interaksi yang dilakukan dengan individu-individu yang ada dalam masyarakat tersebut. Pengalaman bentuk kedua ini dapat terjadi sejak masih kecil, berteman dengan kawankawan sebaya lainnya. Kemudian mendengar cerita-cerita berupa informasi tentang perilaku si A maupun si B. cerita-cerita ini menjadi memori ingatan dari kecil, yang terus terbawa sampai ke usia dewasa. Apabila calon merupakan kawan sebaya sewaktu kecil maka akan ada orientasi pilihan dan perlakuan yang berbeda dibandingkan dengan calon legislatif lainnya, sedangkan apabila calon bukan kawan sebaya di waktu kecil maka tidak akan ada perlakuan istimewa terhadap calon legislatif tersebut. Pengalaman membuat pemilih memiliki kemampuan mengidentifikasi calon legislatif dengan lebih baik. Pengalaman membuat pemilih merasa tidak dapat ditipu atau dibohongi oleh calon legislatif, yang acapkali menggunakan berbagai cara untuk menarik simpatik para pemilihnya. 49
Pemilih yang baru pertama kali atau pun yang kedua kali mengikuti pemilihan umum akan belum mampu mengidentifikasi secara detail terhadap performan calon dibandingkan pemilih yang sudah mengikuti tiga kali lebih pemilihan umum akan lebih mampu mengidentifikasi figur calon legislatif. Apalagi kebiasaan dalam pemilihan umum di ikuti oleh calon legislatif yang berasal dari Kota Banjarbaru, provinsi dan pusat. Berarti jumlah calon legislatif yang ikut pemilihan umum sangat banyak. Bisa dibayangkan seorang pemilih akan memilih calon legislatif yang banyak tersebut. Pada pemilihan umum tahun 2014 jumlah calon legislatif untuk Kota Banjarbaru mencapai 311, kemudian ditambah calon legislatif dari provinsi dan pusat maka jumlah clon legislatif akan bertambah lebih banyak lagi, dari data yang ada jumlah calon jika digabung mencapai di atas 600 orang. Pemilih yang belum pernah mengikuti atau pun sudah satu kali mengikuti pencoblosan dalam pemilihan umum akan menghadapi situasi yang gamang, dimana pemilih hanya punya waktu yang sedikit sekitar 5-10 menit untuk menentukan pilihannya dalam pencoblosan calon legislatif tersebut. Apalagi dengan waktu sedikit itu pemilih akan memilih calon legislatif dari Kota Banjarbaru, provinsi Kalsel dan pusat. Kesulitan-kesulitan mengidentifikasi calon legislatif tentu akan ditemui pemilih dalam kondisi ini, yang akhirnya akan mendorong pemilih menentukan pilihannya secara tergesa-gesa. Pengalaman mengikuti pemilihan umum yang mencapai di atas tiga kali akan memberikan kematangan persiapan dari pemilih. Pemilih jenis ini tidak akan mudah terjebak 50
situasi yang tergesa-gesa dengan waktu sedikit dalam pemilihan umum dimana dituntut harus menentukan salah satu calon legislatif yang banyak. Pemilih yang berpengalaman akan mempersiapkan pilihan calon legislatifnya jauh-jauh hari sebelum pencoblosan suara. Pemilih sudah mempertimbangkan calon legislatifnya pada saat kampanye dan sesudah selesai masa kampanye akan sudah menentukan pilihannya pada calon legislatifnya. Kemudian pengalaman yang berjenis pengalaman buruk/jelek terhadap seorang calon juga mempengaruhi penilaian pemilih. Pemilih cenderung tidak akan menentukan pilihannya pada calon yang dianggapnya berprilaku buruk, dimana berprilaku buruk ini merupakan kecacatan calon legislatif. Pengalaman buruk ini menjadi bagian dari pengalaman pemilih dalam pemilihan umum sebelumnya, sedangkan di sisi lain pengalaman ini dapat saja bentukan dari hasil interaksi pemilih dengan calon legislatif di dalam komunitas masyarakat yang lebih kecil, seperti hubungan satu kampung atau tetangga dan sebagainya. Tanpa disengaja pengalaman ini memberikan kesadaran bagi pemilih menjadi lebih selektif dan berorientasi tipe pilihan tertentu. Dimana pilihan-pilihan ini dilakukan pada saat pemilih mengingat keburukan atau kebaikan si calon legislatif tersebut. tentunya jika si pemilih mengingat kebaikan calon maka akan dipilih tetapi jika si pemilih mengingat keburukan calon maka tidak akan dipilih. Kebiasaan pemilih memiliki keyakinannya sendiri ketika berhadapan dengan situasi pengalaman ini. Pemilih tidak mudah ragu ketika menentukan pilihannya jika berkaitan dengan
51
pengalaman seperti ini. Pemilih tanpa berpikir panjang akan menentukan pilihannya sendiri secara mandiri. Ketiga, emosional. Emosional pemilih ini berkaitan dengan kepribadian pemilih dalam menentukan calon pilihannya. Pemilih jenis ini memilih calon dari segi penampilannya dan asal usulnya. Calon legislatif yang memiliki kelebihan sifat dan penampilan cenderung akan dipilih oleh pemilih emosional ini. Emosional di sini berkaitan dengan perasaan pemilih, yang menjadi pemandu pilihan pemilih pada calon legislatif. Pilihan ini memang tanpa dipikirkan dengan matang atau penuh pertimbangan tetapi tapa proses panjang yang jika perasaan pemilih mersa sudah cocok dengan calon maka akan dipilinya. Pemilih semacam terpesona dengan calon, istilahnya dianggap calon sudah mengena di hati si pemilih. Pemilih terpesona ini bisa karena penampilan calon yang dianggap bagus, seperti rambut yang menarik, baju yang di pakai,terlihat bersih, orangnya ganteng atau postur tubuh tinggi dan sebagainya. Kemudian perasaan pemilih ini juga cenderung menjadikan asal usul calon sebagai sesuatu yang penting dalam penentuan pilihannya. Bagi pemilih ini asal usul calon menjadi semacam pemandu arah pilihan mereka, dimana jika calon yang ditemukan tidak sesuai selera mereka maka tidak akan dipilih tetapi jika calon di anggap sesuai dengan selera pemilih maka akan dipilih calon legislatif tersebut. Asal usul calon legislatif ini meliputi hal-hal seperti kedaerahan dan kesukuan. Pemilih akan melihat berasal dari daerah mana calon legislatif ini dan berasal dari suku mana calon legislatif ini. Jika pemilih ini berasal dari orang jawa maka mereka akan memilih calon legislatif 52
orang Jawa sedangkan apabila pemilih ini berasal dari orang Banjar maka mereka akan memilih calon legislatif dari orang Banjar. Penggunaan perasaan (emosional) di masyarakat Kota Banjarbaru masih ada. Perasaan ini menjadi landasan suka dan tidak suka dengan seseorang calon. Penggunaan perasaan ini tidak saja oleh pemilih perempuan tetapi juga pemilih laki-laki. Ini tentunya kenyataan yang ada di setiap masyarakat yang ada di wilayah Kalimantan Selatan. Memang acapkali asal usul kedaerahan maupun kesukuan menjadi faktor penguat kerekatan hubungan pemilih di masyarakat. Kedaerahan atau kesukuan ini diwujudkan dalam bentuk perasaan sama-sama sepenasib sepenanggungan malah bisa berwujud lebih ekstrim sepenasib sependeritaan. Perasaan sepenasib sepenanggungan ini bisa tumbuh sebagai orang yang sama-sama punya perasaan sedang merantau di kampung orang (pendatang) atau tumbuh sebagai sesama orang penduduk asli yang ada di Kota Banjarbaru. Mereka mengalami perasaan yang sama-sama tertekan secara ekonomi maupun tertekan karena hidup seadanya di kampung orang lain yang tidak ada keluarga satu pun. Kemudian
penggunaan
bahasa
yang
sama
juga
menguatkan
hubungan
perasaan/emosional mereka ini. Bahasa ini digunakan dalam kehidupan sehari-hari di dalam berinteraksi dengan sesama kawan, sesama kedaerahan/kesukuan maupun di masyarakat umumnya. Kebiasaan mereka ketika berinteraksi dengan sesama kedaerah maupun kesukuan mereka menggunakan bahasa yang sama dengan kedaerah/kesukuan mereka masing-masing tetapi ketika
53
berinteraksi di masyarakat umum, mereka menggunakan bahasa yang umum, yaitu Indonesia tetapi ada juga yang tetap mengunakan bahasa kedaerahan.kesukuannya. Walaupun demikian ada juga pemilih yang menggunakan bahasa Banjar bagi yang sudah lancar. Penggunaan bahasa Banjar ini mereka gunakan ketika bercakap-cakap dengan orang Banjar. Interaksi ini terjadi bisa saja antara rumah mereka yang saling berdekatan atau interaksi jual beli di pasar. Kemudian kedekatan hubungan keluarga yang dimaksud hubungan keluarga antara pemilih dengan calon legisltif tersebut. Pemilih cenderung akan memilih calon yang berasal dari keluarganya dibandingkan calon yang bukan berasal dari keluarganya. Pemilih ini memposisikan pertalian keluarga sebagai orang yang lebih penting untuk di pilih dibandingkan orang lain. Hubungan keluarga ini terbentuk secara alami atas pertalian gen perkawinan antara individu-individu. Dimana perkawinan yang dilakukan secara terus menerus menciptakan kelompok-kelompok yang sampai mebentuk komunitas masyarakat. Komunitas ini terus berkembang sampai membentuk kampung dan desa. Perkawinan silang antar individu-individu yang berbeda kedaerahan akan memperbesar pertalian keluarga tersebut, seperti perkawinan antara orang Banjarbaru dengan orang Marabahan akan memperbesar pertalian keluarga antar kedua keluarga yang berasal dari daerah yang berbeda ini. Demikian juga perkawinan silang antar individu-individu yang berbeda kesukuan akan memperbesar pertalian keluarga tersebut, seperti perkawinan antara suku Banjar dengan suku Jawa akan memperbesar pertalian keluarga antar kedua keluarga yang berasal dari suku yang berbeda ini. 54
Keterkaitan pemilih dengan calon legislatif berdasarkan hubungan keluarga ini menjadi pendorong pemilih untuk memilih calon legislatif tersebut, misalnya hubungan posisi paman dengan kemanakan, disini kemanakan sebagai pemilih dan paman diposisi sebagai calon legislatif. Kedekatan hubungan pertemanan. Hubungan pertemanan yang dimaksud kawan sepermainan pemilih saat ini maupun yang dulu. Kawan sepermainan ini bisa hubungan pertemanaan antara pemilih dengan calon legislatif tersebut dan kawan sepermainan ini menjadi referensi bagi pemilih dalam menentukan pilihannya terhadap calon legislatif. Kebiasaannya hubungan pertemanan ini terjadi sejak dari kecil sampai dewasa atau dari mulai sejak dewasa sampai tua. Bentuk pertemanan ini terjadi saat di kampung atau pun saat pendidikan di sekolah sehingga ada sebutan kekawanan di kampung atau kekawanan di sekolah SD, SMP, SMA dan Perguruan Tinggi. Apabila calon legislatif itu memiliki hubungan pertemanan dengan pemilih maka calon legislatif itu akan dipilh. Pemilih ingat bahwa calon legislatif itu merupakan kawannya semasa dari kecil. Biasanya ada rasa kebanggaan yang tumbuh dari pemilih melihat kawannya mencalon jadi anggota legislatif. Kemudian apabila pemilih tidak memiliki kaitan pertemanan dengan calon legislatif tersebut maka biasanya dalam menentukan pilihannya tersebut pemilih akan bertanya kepada kawan sepermainan ini tentang calon-calon legislatif yang ada itu, atau semacam mengajak diskusi teman sepermainannya mengenai calon-calon legislatif. Kawan sepermainan menjadi semacam referensi bagi pemilih tersebut dalam menentukan pilihannya pada calon legislatif. Jika kawan sepermainan ini memiliki keterkaitan hubungan 55
keluarga dengan salah satu calon legislatif maka kawan sepermainan akan mereferensikan pilihannya kepada calon legislatif tersebut. Kebiasaannya pemilih akan langsung saja menerima referensi calon legislatif dari kawan sepermainan itu, dimana akan muncul semacam perasaan tidak nyaman jika mengabaikan referensi pilihan dari kawan sepermainan itu, apalagi referensi pilihan itu memiliki keterkaitan keluarga dengan calon. Namun apabila kawan sepermainan ini tidak memiliki hubungan keterkaitan keluarga dengan salah satu calon maka kawan sepermainan ini menjadi teman diskusi bagi pemilih itu untuk menimbang-nimbang calon-calon legislatif yang akan dipilih maupun yang tidak dipilih oleh mereka.
56
BAB VI PENUTUP
A. Kesimpulan Berdasarkan pemaparan dalam analisis hasil di atas maka dapat disimpulkan sebagai berikut, yaitu: 1. Perilaku pemilih pada pemilihan legislatif tahun 2014 di Kota Banjarbaru terdiri dari tipe perilaku pemilih rasional, tipe perilaku pemilih tradisional, dan tipe perilaku pemilih skeptis. Masing-masing tipe perilaku pemilih ini memiliki basis-basis tersendiri sesuai dengan karakteristiknya. 2. Perilaku pemilih dalam pemilihan legislatif tahun 2014 di Kota Banjarbaru dipengaruhi oleh beberapa faktor-faktor, yaitu faktor pendidikan, faktor pengalaman dan faktor emosional.
B. Saran Adapun saran-saran yang dapat dikemukakan dalam penelitian perilaku pemilih dalam pemilu 2014 di Kota Banjarbaru sebagai berikut, yaitu: 1. Perlu meningkatkan tipe perilaku pemilih yang rasional dalam pemilihan umum selanjutnya;
57
2. Perlu mengurangi jumlah tipe perilaku pemilih yang skeptis dalam pemilihan umum selanjutnya.
58
DAFTAR PUSTAKA
Efriza, 2012. Political Explore: Sebuah Kajian Ilmu Politik, Bandung: Alfabeta. Firmanzah, 2007. Marketing Politik: Antara Pemahaman dan Realitas, Jakarta: Yayasan Obor Indonesia. Heywood, A, 1997. Politics, 4th edition, New York: Published in Palgrave Macmillan. Lipset, S.M, 1960. Political Man: The Social Bases Of Politics, New York: Feffer and Simons Inc. Marijan, K, 2010. Sistem Politik Indonesia: Konsolidasi Demokrasi Pasca-Orde Baru, Jakarta: Kencana Prenada. Mujani, S, RW Liddle dan Kuskrido A, 2012. Kuasa Rakyat, Bandung: Mizan. Surbakti, R, 1992. Memahami Ilmu Politik. Jakarta: Grasindo. Suryadi, Budi dan Bachruddin AA, 2006. Fenomena Pemilu 2004 Di Kalsel: Tinjauan Teoritis dan Empiris, Banjarmasin: Pustaka Banua. Miles, M B dan Huberman, A M, 1992. Analisis Data Kualitatif, Penerjemah Tjetjep Rohendi Rohidi, Jakarta: Universitas Indonesia Press. Moleong, Lexy J, 1989. Metodologi Penelitian Kualitatif, Bandung: Remadja Karya.
Badan Pusat Statistik Kota Banjarbaru, 2014 Tim Penyusun, 2014. Pemilu 2014 di Kota Banjarbaru, Penerbit KPU Kota Banjarbaru.
59
Undang-Undang RI No. 8 Tahun 2012 Tentang Pemilihan Umum Anggota Dewan Perwakilan Rakyat, Dewan Perwakilan Daerah, dan Dewan Perwakilan Rakyat Daerah.
60