LAPORAN PENELITIAN ANALISIS PENYEBAB MASYARAKAT TIDAK MENGGUNAKAN HAK PILIHNYA DALAM PEMILIHAN UMUM LEGISLATIF TAHUN 2014 DI KABUPATEN TEGAL Oleh: KPU Kabupaten Tegal bekerja sama dengan Lembaga Penelitian STAIBN Tegal A. Pendahuluan Partisipasi pemilih dalam Pemilihan Umum sepanjang sejarah kepemiluan di Indosia nampaknya menjadi isue yang disorot oleh publik secara tajam, dan selalu menjadi kajian secara kontinyu dari pemilu ke pemilu. Pasalnya adalah pada perilaku tidak memilih (non-votting) yang menjadikan menurunya angka partisipasi pemilih (votter partisipatory) dalam menyalurkan hak pilih di tempat pemungutan suara. Angka partisipasi kehadiran dari pemilu ke pemilu selalu ada dan cenderung menurun atau minimal bertahan. Kondisi tersebut muncul sangat kental pada masa orde baru di tahun 1971 dengan istilah GOLPUT, yang diprakarsai oleh para pegiat politik dengan argumen “aturan berdemokrasi tidak ditegakan, bahkan cenderung diinjak-injak” (lihat, Fadilah dalam “Partai Politik dan Agenda Transisi Demokrasi”). Munculnya golput (non-voter) di era Orde Baru sebagai respon para pegiat politik termasuk mahasiswa atas kecurangan dan manipulasi pemilu yang didominasi oleh pemerintah. Pemilu masa Orde Baru hanya cenderung sebagai alat mengAbsahkan kekeuasaan. Partai pemerintah selalu bangga dengan partisipasi politik dalam pemilu yang mencapai 95 persen. Akan tetapi hasil beberapa penelitian membuktikan, keberhasilan pemilu hingga mencapai angka 95 persen, ternyata berlawanan dengan teori ilmu politik. Yakni “semakin tinggi pendidikan politik masyarakat, semakin tinggi pula tingkat kehadiran dalam pemilu. Sebaliknya semakin rendah pendidikan politik masyarakat, semakin rendah pula tingkat kehadiran dalam pemilu” (Asfar, 1988: 154). Mengingat tingkat pendidikan masyarakat Indonesia masih rendah, maka tingginya partisipasi pemilih dalam pemilu di era Orde Baru disebabkan oleh mobilisasi penguasa secara sistematis, tersetruktur, dan masif. Ada perbedaan motivasi munculnya golput di era Orde Baru dengan orde reformasi. Dimana di era Orde Baru lebih disebabkan oleh tirani kekuasaan yang tersetruktur dan masif, sedangkan di orde reformasi sebagaimana pendapat Eep Saepuloh disebabkan oleh faktor politis- tekhnis dan tekhnis (human eror), jauh dari faktor intervensi penguasa. Faktor tersebut terjadi hampir di seluruh provinsi di
Indonesia, terlebih daerah-daerah bagian Indosesia Timur fenomena golput banyak disebabkan oleh faktor tekhnis. Sama halnya kondisi partisipasi pemilih di Kabupaten Tegal, dimana angka GOLPUT pada Pemilu tahun 2014 masih tinggi walaupun mengalami penurunan dari Pemilu 2009, namun tidak signifikan. Jumlah pemilih yang menggunakan hak pilihnya di tempat pemungutan suara 751.036, sedangkan jumlah pemilih yang tidak menggunakan hak pilihnya atau GOLPUT 427.076 dari jumlah total Daftar Pemilih Tetap 1.178.112. Artinya angka GOLPUT mencapai 36,3 %. Semantara pada pemilu 2009, jumlah pemilih terdaftar dalam DPT 1.142.163, dengan rincian jumlah yang menggunakan hak pilih 708.800 atau 63%, dan yang tidak menggunakan hak pilih 433.363
(KPU Kab. Tegal, Model DB
1:2009) atau 37,9% . Sehingga angka GOLPUT pada Pemilu tahun 2014 mengalami penurunan hanya 1,6% dari Pemilu 2009. Maka angka Golput masih relatif tinggi apabila disandingkan dengan kesadaran masyarakat dalam berdemokrasi. Banyak pakar komunikasi politik dan pengamat politik menyoroti motivasi atau penyebab yang menjadikan rendahnya angka partisipasi pemilih dalam pemilu. Tema tersebut pernah di gelar oleh KPU RI dalam forum sosialisasi pemilu legislatif tahun 2014 di Universitas Padjajaran (UNPAD) Bandung. Dimana salah satu narasumber Dr. Antar Nus (pakar komunikasi Unpad) menyampaikan beberapa alasan atau sebab ke-tidakhadiran pemilih di Tempat Pemungutan Suara dalam Pemilu, antara lain adalah: pertama, masyarakat sudah kehilangan harapan pada calon-calon legislatif maupun anggota DPR, yang sering disebut dengan Golput politis, sehingga berdampak menurunnya kepuasan masyarakat terhadap lembaga legislatif. Kedua, sistem pemilu orde reformasi dianggap menyulitkan terutama oleh pemilih pemula dan lansia, yang sering disebut Golput Tekhnis. Ketiga, masyarakat merasa tidak puas dengan kinerja partai politik, yang juga sering disebut dengan golput Politis. Pilihan untuk tidak memilih juga dapat disebabkan oleh hilangnya ideologi kepertaian yang sering disebut dengan Golput ideologis. Dinamika meningkat dan menurunnya (up and down) angka partisipasi pemilih tidak lepas dari pengaruh sosio-cultur, tingkat pendidikan, ekonomi, kesadaran politik, melek politik, dan bahkan perilaku. Misalnya rendahnya tingkat ekonomi masyarakat, akan menjadikan penyebab ketidak-hadiran ke tempat pemungutan suara karena banyak parantau yang tidak pulang. Faktor ekonomi juga berdampak pada perilaku politik, dimana muncul ketergantungan ekonomi dalam
bentuk perkatek politik uang (mony polytic) yang menyebabkan pemilih akan menggunakan hak politiknya dengan selogan “memilih yang bayar”. Meningkatnya angka GOLPUT juga bisa disebabkan oleh faktor manusiawi (humanistik), misalkan lupa, ketiduran, dan lain sebagianya. Maka hal tersebut akan menjadi salah satu alasan terhadap kualitas pemilih, bahkan menentuakan pemilih untuk memilih atau tidak memilih. Pertanyaan selanjutnya adalah “apa alasan masyarakat untuk tidak menggunakan hak pilihnya pada pemilu Legislatif tahun 2014 di Kabupaten Tegal? Riset ini bertujuan untuk mengetahui alasan atau penyebab masyarakat tidak menggunakan hak pilihnya pada pemilu legislatif tahun 2014.
B. Fenomena Golput dan pandangan Teori Perilaku tidak memilih terkenal dengan istilah GOLPUT (golongan Putih). Istilah ini muncul pada masa orde baru menjelang Pemilu tahun 1971 oleh para pegiat politik seperti Arif Budiman, Julius Usman, dan kawan-kawan. Bahkan di tahun 2009 istilah GOLPUT diperkuat oleh K.H. Abdurrahman Wahid melalui pernyataannya “kalau tidak ada yang dipercaya, ngapain repot-repot ke kotak suara, dari pada nanti kecewa” (Wahid, dkk, 2009) Pengertian GOLPUT menurut Arbi Sanit gerakan protes politik yang didasarkan pada segenap problem kebangsaan dengan sasaran protes GOLPUT adalah penyelenggara Pemilu. Sikap Kelompok GOLPUT dalam memberikan hak politiknya dengan tiga kemungkinan, yaitu: 1). Merusak lebih dari satu gambar partai, 2). Merusak bagian putih dari surat suara, dan 3). Tidak mendatangi Tempat Pemungutan Suara dengan kesadaran untuk tidak menggunakan hak pilihnya. Ada beberapa teori yang digunakan dalam mengkaji GOLPUT, antara lain adalah menggunakan pendekatan perilaku pemilih, yakni memilih atau tidak memilih (David Apter, 1977). Pendapat ini dikuatkan oleh teorinya David Moon sebagaimana dikutip oleh Hasanuddin M.Soleh:2007), bahwa ada dua pendekatan teoritik untuk menjelaskan prilaku tidak memilih (non-voting) yaitu: Pertama, menekankan pada karakteristik sosial dan psikologi pemilih dan karakteristik institusional sistem pemilu. Kedua, menekankan pada harapan pemilih tentang keuntungan dan kerugian atas keputusan mereka untuk hadir atau tidak hadir memilih. Dua pendekatan sebagaimana teori Moon di atas, dirigid oleh Eef Saefulloh Fatah menjadi empat kalisifikasi GOLPUT, adalah: 1). Golput tekhnis, yaitu mereka yang karena sebab-sebab teknis tertentu seperti musibah, ketiduran, lupa dan lain-lain,
menjadikan halangan hadir ke TPS, atau merkea yang keliru mencoblos sehingga suaranya dinyatakan tidak sah, 2). Golput tekhnis-politis, seperti pemilih yang tidak terdaftar dalam daftar pemilih karena kesalahan dirinya atau disebabkan oleh pihak lain, 3). Golput Politis, yakni mereka yang merasa tidak punya pilihan dari kandidat yang tersedia atau tidak percaya bahwa pemilu akan membawa perubahan dan perbaikan, 4). Golput Idiologis, yaitu mereka yang tidak percaya dengan mekanisme demokrasi (liberal) dan tidak mau terlibat di dalamnya oleh sebab alasan fundamentalisme agama atau alasan politik ideologi lain (Jurnal Ilmu Politik dan Ilmu Pemerintahan, Vol. 1, 2011).
C. Analisis Penyebab Pemilih Tidak Menggunakan Hak Pilihnya pada Pemilu Legislatif 2014 di Kabupaten Tegal. 1. Deskripsi Data Pengambilan data dilaksanakan tanggal 2 Mei 2015 hingga tanggal 26 Juni 2015 di wilayah tiga kecamatan berdasarkan tingkat partisipasi pemilihnya yaitu Lebaksiu , Slawi dan Adiwerna. Kesulitan pengambilan data dilapangan disebabkan untuk pemilu legislatif tahun 2014 tidak tersedia dafatar nama pemilih yang tidak menggunakan hak nya sehingga untuk menentukan subjek penelitian benar benarberdasarkan informasi dari ketua KPPS yang telah ditentukan sebelumnya. Untuk Kecamatan Lebaksiu terpilih Desa Balaradin pada TPS 2 , Desa Lebaksiu Kidul pada TPS 8 dan Desa Kambangan pada TPS 2. Untuk Kecamatan Slawi terpilih Kelurahan Procot pada TPS 4. Untuk Kecamatan Adiwerna terpilih Desa Pedeslohor pada TPS 6 , Desa Besoleh pada TPS 2 dan Desa Pecangakan pada TPS 5. Dari 60 subjek penelitian yang direncanakan , peneliti hanya dapat mengumpulkan data dari 47 subjek penelitian dikarenakan kesulitan sebagaimana telah dijelaskan. Distribusi subjek penelitian yang dijangkau dalam penelitian ini ditunjukan dalam tabel 4.1. Tabel 4.1: Distribusi Jumlah Subjek Penelitian Berdasarkan Wilayah No
Kecamatan
Desa /Kelurahan
Jumlah Subjek Penelitian
1
Lebaksiu
Balaradin
9
Lebaksiu Kidul
5
Kambangan
8
Procot
5
2
Slawi
3
Adiwerna
Pedeslohor
5
Besoleh
10
Pecangakan
5
Jumlah
47
Hasil penelitian berkaitan dengan penyebab atau alasan pemilih yang telah masuk dalam DPT tetapi tidak menggunakan hak nya dalam pemilu legislatif tahun 2014 dapat di tunjukkan oleh tabel 4.2, gambar 4.1 dan gambar 4.2. Tabel 4.2 Alasan Pemilih Tidak menggunakan Hak nya dalam Pemilu Legislatif Tahun 2014 di Kabupaten Tegal No Jenis alasan
Jumlah
Prosentase
1
Bekerja di luar kota
39
82,97
2
Sibuk dengan pekerjaan
4
8,51
3
Lupa
1
2,13
4
Tidak ada partai atau caleg yang cocok
1
2,13
5
Sakit
1
2,13
6
Kuliah di luar kota
1
2,13
Jumlah
47
100
Gambar 4.1: Histogram Alasan Pemilih Yang Tidak Menggunakan Hak nya dalam Pemilu Legislatif 2014 di Wilayah Kab Tegal
Gambar 4.1: Diagram Pie Alasan Pemilih Yang Tidak Menggunakan Hak nya dalam Pemilu Legislatif 2014 di Wilayah Kab Tegal
D. Analisis Data Hasil penelitian menunjukkan bahwa 83 persen pemilih yang tidak menggunakan haknya disebabkan bekerja di luar kota atau merantau, 8,5 persen disebabkan sibuk dengan pekerjaan, 2,1 persen lupa, 2,1 persen tidak ada pilihan ( tidak ada partai atau caleg yang dianggap pantas dipilih) , 2,1 persen sakit dan 2,1 persen kuliah di luar kota. Hampir semua subjek penelitian di Kecamatan Lebaksiu dan Adiwerna mempunyai alasan bekerja di luar kota kecuali dua orang karena sibuk dengan pekerjaan dan satu orang karena kuliah di luar kota. Ada yang menarik di kecamatan Slawi yang dianggap mewakili daerah perkotaan bahwa dari 5 subjek penelitian tidak ada yang mempunyai alasan bekerja di luar kota. Satu orang mempunyai alasan lupa, satu orang mempunyai alasan sakit, satu orang mempunyai alasan tidak ada pilihan partai atau caleg yang cocok dan dua orang yang lain sibuk dengan pekerjaan. Salah satu dari dua orang di kecamatan Slawi yang memberi alasan sibuk dengan pekerjaan adalah subjek penelitian yang mempunyai pendidikan tinggi, hal ini menjadi gambaran bahwa tidak semua warga negara yang berpendidikan tinggi mempunyai kesadaran dalam membangun kehidupan berdemokrasi. Ada pula satu orang di kecamatan
slawi yang lupa pada hari tersebut adalah pemilu legislatif , ini juga menjadi ironi karena warga Negara yang tinggal di ibukota kabupaten justru belum terjangkau oleh sosialisasi pemilu legislatif 2014. Satu orang yang mempunyai alasan tidak ada pilihan yang cocok menunjukkan masih adanya golongan masyarakat yang tidak puas dengan kinerja partai sehingga tidak mempunyai pilihan dan memutuskan untuk tidak menggunakan hak pilihnya. Kelompok yang seperti ini disebut golput politis ( Eep Saefullah Fatah dalam Efriza, 2012). Eep Saefulloh Fatah ( 2012) merangkum sebab-sebab orang untuk golput, terbagi atas: 1.
Golput teknis, hal ini dikarenakan sifat teknis berhalangan hadir ke tempat pemungutan suara, atau salah mencoblos sehingga suaranya dinyatakan tak sah, atau tidak terdaftar sebagai pemilih karena kesalahan teknis pendataan penyelenggara pemilu.
2.
Golput politis, hal ini untuk masyarakat yang tak punya pilihan d ari c al aon at au
kandi dat
yang
t ersedi a
bah kan
pesi m i st i s
bahwa
pemilu/pilkada tidak akan membawa perubahan dan perbaikan. 3.
Golput ideologis, yang tak percaya pada mekanisme demokrasi (liberal) dan tak mau terlibat didalamnya entah karena alasan nilai-nilai agama atau alasan politik-ideologi lain. Bila menggunakan klasifikasi tersebut maka , 46 dari 47 ( 98 %) subjek penelitian masuk dalam golput teknis, artinya pemilih yang tidak menggunakan hak untuk memilih karena alasan teknis sedangkan hanya 1 saja dari 47 pemilih ( 2 %) yang masuk kategori golput politis . Hal ini dapat dijelaskan dalam gambar 4.3. Dengan demikian perlu perbaikan sistem pemilu yang efektif agar mengurangi jumlah golput praktis.
Gambar 4.3: Tipe Golput di Wilayah Kabupaten Tegal Pada Pemilu Legislatif Tahun 2014
Gambar 4.4: Tipe Golput di Wilayah Kabupaten Tegal Pada Pemilu Legislatif Tahun 2014
2. Kesimpulan a. Penyebab pemilih di wilayah Kabupaten Tegal tidak menggunakan hak pilihnya dalam pemilu legislative tahun 2014 adalah : (1) 83 persen pemilih bekerja di luar kota atau merantau, (2) 8,5 persen pemilih sibuk dengan pekerjaan, (3) 2,1 persen lupa, (4) 2,1 persen pemilih tidak mempunyai pilihan ( tidak ada partai atau caleg yang dianggap pantas dipilih) , (5) 2,1 persen pemilih sakit , (6) 2,1 persen pemilih sedang kuliah di luar kota b. Sebanyak 98 % pemilih di wilayah Kabupaten Tegal yang tidak menggunakan hak pilihnya masuk dalam golput teknis, sedangkan
2 %
masuk kategori golput politis . 3. Saran a. Perlu kajian lebih dalam tentang sistem pemungutan suara yang efektif sehingga semua pemilih dapat menggunakan hak pilihnya tanpa harus datang ke TPS dimana pemilih terdaftar sebagai DPT b. Perlu penyelenggaraan pendidikan pemilih yang lebih intensif agar setiap warga Negara memahami pentingnya pemilu dalam proses kehidupan berbangsa dan bernegara c. Perlu sosialisasi pemilu yang lebih intensif sehingga semua warga anegara dipastikan mengetahui jadwal pemilu dengan baik d. Perlu peningkatan kualitas partai maupun calon legislatif peserta pemilu sehingga semua warga Negara dapat berpartisipasi secara optimal dalam pemilu. Referency: -
Abdurrahman Wahid, 2009, Mengapa Kami Memilih Golput, Jakarta: Sagon.
-
Efriza ,2012, Political explore, Bandung : Alfabeta.
-
Fadilah Putra, 2004, Partai Politik dan Agenda Transisi Demokrasi, Yogyakarta: Pustaka Pelajar.
-
Saefulloh,
Eep,
Fenomena
http//lampungpost.com.
Golput
dan
Krisis
Kepercayaan,
-
Joko J.Prihatmoko, 2008, Mendekokrasikan Pemilu Dari Sistem Sampai Elemen, Yogyakarta: Pustaka Pelajar.
-
Samsuddin Haris, 1998, Menggugat Pemilihan Umum Orde Baru, Jakarta: Yayasan Obor Indonesia.
-
Alexader Irwan, Ph.D, dkk.,1996, PEMILU; Pelanggaran Asas Luber, Jakarta: Pustaka Sinar Harapan.
-
Muhammad Asfar, 1996, Non-Voting: Beberapa Variabel Penjelas dalam Studia Politika, edisi 1.
-
Undang-undang tentang Kepemiluan
-
Peraturan Komisi Pemilihan Umum.