PEMILIHAN BAHASA DALAM MASYARAKAT PEDESAAN DI KABUPATEN TEGAL: SUATU KAJIAN SOSIOLINGUISTIK
LAPORAN PENELITIAN
Oleh Leli Triana, S.S., M.Pd.
PROGDI PENDIDIKAN BAHASA DAN SASTRA INDONESIA DAN DAERAH FAKULTAS KEGURUAN DAN ILMU PENDIDIKAN UNIVERSITAS PANCASAKTI TEGAL 2012
PRAKATA
Puji syukur kami panjatkan kehadirat Allah Swt. yang telah melimpahkan rahmat dan hidayah-Nya, sehingga penelitian tentang Pemilihan Bahasa dalam Masyarakat Pedesaan di Kabupaten Tegal: Suatu Kajian Sosiolinguistik dapat diselesaikan dengan baik dan lancar. Kami menyadari bahwa pelaksanaan kegiatan penelitian ini selalu melibatkan banyak pihak. Oleh karena itu, kami menyampaikan terima kasih kepada: 1. Rektor Universitas Pancasakti Tegal 2. Dekan FKIP Universitas Pancasakti Tegal 3. Kapala Lemlit Universitas Pancasakti Tegal 4. Semua pihak yag telah membantu kelancaran pelaksanaan penelitian. Akhir kata penulis mohon maaf kepada semua pihak apabila dalam penulisan laporan ini terdapat banyak kekurangan. Harapan penulis, laporan penelitian ini bermanfaat bagi pihak-pihak yang memerlukan dan berkepentingan.
Tegal, Juni 2012 Penulis
DAFTAR ISI Halaman Pengesahan................................................................................... i Prakata........................................................................................................
ii
Daftar Isi.....................................................................................................
iii
Abstrak........................................................................................................
v
BAB I PENDAHULAN............................................................................
1
1.1 Latar Belakang Masalah ................................................................... 1 Rumusan Masalah..........................................................................
3
Tujuan Kegiatan.............................................................................
3
Manfaat Kegiatan...........................................................................
3
BAB II KAJIAN PUSTAKA...................................................................... 5 2.1Sosiolinguistik .................................................................................. 5 Pemilihan Bahasa........................................................................... 5 Masyarakat Tutur dan Peristiwa Tutur............................................. 6 2.4 Kedwibahasaan dan Diglosia........................................................... 8 2.5 Variasi Bahasa.................................................................................. 9 2.6 Alih Kode dan Campur Kode........................................................... 10 BAB III METODE PENELITIAN............................................................... 12 3.1 Pendekatan Penelitian....................................................................... 12 3.2 Lokasi Penelitian.............................................................................. 13 3.3 Teknik Pengumpulan Data.............................................................. 14 3.4 Instrumen Penelitian......................................................................... 14 3.5 Analisis Data..................................................................................... 14 BAB IV SISTEM PEMILIHAN BAHASA DALAM MASYARAKAT PEDESAAN DI KABUPATEN TEGAL.................................................... 16 4.1 Bahasa Jawa ..................................................................................... 16 4.1.1 Ragam Ngoko.......................................................................... 17 4.1.2 Ragam Krama.......................................................................... 54 4.2 Bahasa Indonesia............................................................................. 76 4.2.1 Bahasa Indonesia Baku........................................................... 76 4.2.2 Bahasa Indonesia Tak Baku.................................................... 86 BAB V SIMPULAN DAN SARAN............................................................ 95
5.1 Simpulan........................................................................................ 95 5.2 Saran.............................................................................................. 95 DAFTAR PUSTAKA.................................................................................. 97
ABSTRAK Kata kunci: masyarakat dwibahasa, pemilihan bahasa, ragam bahasa Masyarakat pedesaan di Tegal merupakan masyarakat dwibahasawan yang memiliki dua bahasa, yaitu bahasa Jawa dan bahasa Indonesia. Mereka akan memilih menggunakan bahasa tersebut sesuai dengan kebutuhan. Dalam berinteraksi, bahasa-bahasa tersebut digunakan oleh masyarakat pedesaan di Kabupaten Tegal dalam berbagai ranah, yaitu ranah rumah, ketetanggaan, pendidikan, keagamaan, dan pemerintahan. Bahasa-bahasa tersebut menduduki peran masing-masing, namun bagaimana sistem pemilihan bahasa dalam ranahranah itu belum jelas sehingga perlu diteliti. Masalah yang diteliti adalah bagaimanakah sistem pemilihan bahasa dalam masyarakat pedesaan di Kabupaten Tegal. Tujuan penelitian ini adalah untuk mengidentifikasi sistem pemilihan bahasa dalam masyarakat pedesaan di Kabupaten Tegal. Dalam penelitian ini digunakan dua macam pendekatan, yaitu pendekatan teoretis dan pendekatan metodologis. Pendekatan teoretis yang digunakan adalah pendekatan sosiolinguistik, sedangkan pendekatan metodologis yang digunakan adalah pendekatan kualitatif deskripstif. Hasil penelitian menunjukkan bahwa ada dua bahasa yang dipilih untuk keperluan berkomunikasi dalam masyarakat pedesaan di Kabupaten Tegal yaitu bahasa Jawa dan bahasa Indonesia. Bahasa Jawa ada dua ragam yang dipilih yaitu bahasa Jawa ragam krama dan ngoko. Bahasa Jawa ragam krama ada dua ragam yang dipilih yaitu krama madya dan krama alus. Ragam krama dipilih untuk berkomunikasi dengan orang yang baru dikenal, untuk mengajarkan kesantunan berbahasa kepada anak, dan untuk menghormati lawan tutur. Bahasa Jawa ragam ngoko ada dua ragam yang dipilih yaitu ngoko lugu dan ngoko kasar. Bahasa Jawa ragam ngoko dipilih karena hubungan yang akrab antara penutur daan lawan tutur. Bahasa Indonesia ada dua ragam yang dipilih yaitu bahasa Indonesia ragam baku dan tak baku. Bahasa Indonesia baku dipilih untuk berkomunikasi dalam situasi resmi, sedangkan bahasa Indonesia tak baku dipilih untuk berkomunikasi dalam situasi tak resmi. Saran yang dapat disampaikan adalah pemilihan bahasa merupakan hal yang sangat penting. Anak-anak di Tegal ternyata tidak menguunakan bahasa Jawa dengan baik karena bahasa Jawa krama tidak digunakan dalam masyarakat. Oleh karena itu, guru di sekolahsekolah hendaknya mengajarkan bahasa Jawa krama karena pada umumnya murid-murid di wilayah pedesaan di Kabupten Tegal tidak bisa berbahasa Jawa krama. Dengan menguasai bahasa Jawa krama, murid-murid akan dapat berbahasa dengan santun kepada orang tua, guru, maupun kepada orang yang lebih tua. Selain itu, murid-murid juga nantinya tidak hanya berkomunikasi dengan orang yang dari Tegal saja, tetapi juga akan berkomunikasi dengan orang dari luar daerah Tegal.
BAB I PENDAHULUAN
1.1 Latar Belakang Masalah Bahasa sebagai alat komunikasi bagi manusia tidak dapat dipisahkan dari latar belakang masyarakat pemakainya. Pemakaian bahasa pada masyarakat dwibahasa atau multilibahasa merupakan hal yang menarik untuk dikaji dari perspektif sosiolinguistik. Hal ini sesuai dengan pendapat Fasold (1984:180) bahwa sosiolinguistik dapat menjadi bidang studi karena adanya pilihan pemakaian bahasa. Pada masyarakat multibahasa, bahasa yang digunakan beragam atau bervariasi. Terjadinya keberagaman atau kevariasian itu disebabkan penuturnya yang berbeda-beda dan kegiatan atau interaksi sosial berbeda-beda pula. Jadi, setiap penutur dalam masyarakat multibahasa harus melakukan pemilihan bahasa untuk menentukan bahasa yang akan digunakan dalam berkomunikasi. Dalam masyarakat Indonesia yang terdiri dari berbagai macam budaya, ras, dan etnik terdapat pula bermacam-macam bahasa yang digunakan untuk berkomunikasi antaranggota masyarakatnya. Masyarakat Indonesia merupakan masyarakat multibahasa yang sarat dengan permasalahan bahasa. Untuk itu, kajian pemilihan bahasa dalam masyarakat Indonesia berkaitan dengan permasalahan pemakaian bahasa pada masyarakat dwibahasa atau multibahasa. Daerah Tegal merupakan daerah di wilayah barat propinsi Jawa Tengah. Daerah Tegal terletak di pesisir utara pulau Jawa. Secara geografis, Tegal berada pada jalur perhubungan antara Brebes dan Pemalang. 1
Sebelah barat berbatasan dengan Kabupaten Brebes. Sebelah timur berbatasan dengan kabupaten Pemalang. Sebelah utara berbatasan dengan pantai utara pulau Jawa, dan sebelah selatan dengan kabupaten Purwokerto. Masyarakat pedesaan di Kabupaten Tegal merupakan masyarakat dwibahasa yang memiliki dua bahasa yaitu bahasa Jawa dan bahasa Indonesia. Mereka akan menggunakan bahasa-bahasa tersebut sesuai dengan kebutuhan. Dalam berinteraksi sosial, bahasa-bahasa tersebut digunakan oleh masyarakat pedesaan di Kabupaten Tegal di berbagai ranah. Ranah pada hakikatnya merupakan konstalasi dari faktor-faktor lokasi, topik, dan partisipan (Fishman dalam Fasold 1984: 180). Selain itu, ia juga membagi ranah menjadi lima yaitu ranah rumah, sekolah, lingkungan kerja, agama, dan ranah pemerintahan. Menurut Romeine (1989:30) ranah adalah abstraksi yang mengacu pada suasana aktifitas yang mewakili gabunga waktu khusus, latar, dan gubungan peran. Bahasa-bahasa tersebut menduduki peran masing-masing, sehingga menjadikan masyarakat pedesaan di Tegal sebagai masyarakat yang diglosik. Masyarakat yang diglosik adalah masyarakat yang menggunakan dua bahasa (atau lebih) atau pemakaian dua dialek atau dua logat dalam masyarakat yang sama dengan pembagian fungsi masing-masing bahasa atau dialek tersebut (Suwito 1991:55). Situasi diglosik dalam masyarakat Kabupaten Tegal sebagaimana dipaparkan di atas terjadi sebagai akibat adanya situasi kedwibahasaan masyarakat. Dalam situasi seperti itu beberapa bahasa beserta ragamnya terlibat di dalamnya dan setiap warga menjadi dwibahasawan, baik secara aktif maupun pasif (Sumarsono dan Partana 2002:199). Di dalam masyarakat diglosik dan dwibahasa yang terdapat lebih dari satu kode bahasa, dwibahasawan itu dapat melakukan pemilihan bahasa sesuai dengan situasi tutur yang berlangsung. Penutur bahasa di daerah pedesaan wilayah Kabupaten Tegal melakukan pemilihan bahasa untuk menentukan bahasa mana yang akan digunakan dalam berkomunikasi dengan
warga masyarakat lainnya. Namun, sistem pemilihan bahasa dan wujud alih kode dan campur kode dalam masyarakat pedesaan di Kabupaten Tegal belum diketahui, sehingga perlu diteliti.
1.2 Rumusan Masalah Berdasarkan latar belakang yang telah dipaparkan, penelitian ini difokuskan pada permasalahan berikut. Bagaimanakah sistem pemilihan bahasa dalam masyarakat pedesaan di Kabupaten Tegal?
1.3 Tujuan Penelitian Tujuan yang dicapai dalam penelitian ini adalah mengidentifikasi sistem pemilihan bahasa dalam masyarakat pedesaan di Kabupaten Tegal.
1.4 Manfaat Penelitian Penelitian ini difokuskan pada informasi objektif mengenai pemilihan bahasa dalam masyarakat pedesaan di Kabupaten Tegal. Oleh karena itu, penelitian ini diharapkan bermanfaat secara teoritis maupun secara praktis. Secara teoritis, penelitian ini bermanfaat untuk pengembangan teori sosiolinguistik dalam hal berikut. Pertama, dengan penelitian ini diharapkan dapat diperoleh sebagian deskripsi pemilihan bahasa pada masyarakat dwibahasa di Indonesia, khususnya deskripsi tentang variasi bahasa yang digunakan masyarakat pedesaan di Kabupaten Tegal. Deskripsi tersebut dapat memberikan kontribusi teoritis dalam bidang sosiolinguistik. Kedua, topik penelitian ini dapat menyajikan salah satu bahasan tentang fenomena pemilihan bahasa dalam
masyarakat dwibahasa dari perspektif sosiolinguistik yang dapat dijadikan sebagai pilihan kajian pustaka dalam mengkaji fenomena kebahasaan yang lain dari berbagai sudut pandang. Secara praktis, yakni manfaat yang dapat diperoleh secara konkrit dalam kehidupan sehari-hari. Hasil penelitian ini diharapkn dapat memberikan kontribusi bagi penelitian lanjutan dalam upaya pembinaan dan pengembangan bahasa.
BAB II KAJIAN PUSTAKA
2.1 Sosiolinguistik Sosiolinguistik merupakan ilmu antardisiplin antara sosiologi dan linguistik (Chaer dan Agustina 2004:2). Hal tersebut juga dikemukakan oleh Appel (1987:10) yang merumuskan sosiolinguistik sebagai studi tentang bahasa dan pemakaian bahasa dalam hubungannya dengan masyarakat dan kebudayaan. Sedangkan Wardaugh (1986:4) mengemukakan bahwa sosiolinguistik mengkaji hubungan antara bahasa dan masyarakat dan mengaitkan dua bidang yang dikaji secara terpisah, yaitu struktur formal bahasa oleh linguistik dan struktur masyarakat.
2.2 Pemilihan Bahasa Pada masyarakat multibahasa terdapat adanya variasi bahasa yang digunakan dalam komunikasi. Karena itu, dwibahasawan atau multibahasawan harus melakukan pemilihan bahasa, yaitu menentukan pilihan tentang bahasa apa yang akan dipakai ketika berbicara dengan orang lain. Rusyana (1988:33) menyatakan bahwa dwibahasawan harus selalu melakukan pemilihan bahasa, yaitu menentukan pilihan bahasa apa yang akan digunakan dalam berbicara dengan mitra tutur, atau bagaimana dwibahasawan berpindah dari satu bahasa ke bahasa lainnya ketika berkomunikasi dengan mitra bicaranya. Hal ini selaras dengan pendapat Fasold (dalam Chaer dan Agustina 2004:153-154) bahwa dalam pemilihan bahasa ada tiga jenis pilihan yang dapat dilakukan. Pertama, alih kode, yaitu menggunakan satu bahasa pada satu keperluan, dan menggunakan bahasa yang lain pada keperuan lain. Kedua, campur kode, artinya menggunakan satu bahasa tertentu
dengan dicampuri serpihan-serpihan bahasa lain. Ketiga, memilih satu variasi bahasa yang sama.
2.3 Masyarakat Tutur dan Peristiwa Tutur Masyarakat tutur adalah suatu masyarakat yang anggotanya setidak-tidaknya mengenal suatu variasi bahasa beserta norma-norma yang sesuai penggunaannya. Kata masyarakat dalam istilah masyarakat tutur bersifat relatif, dapat menyangkut masyarakat yang luas, dan dapat menyangkut sekelompok kecil masyarakat (Chaer dan Agustina 1995:47). Suwito (1983:20) menjelaskan lebih lanjut bahwa suatu masyarakat dapat dikatakan sebagai masyarakat tutur apabila masyarakat tersebut memiliki verbal repertoire yang relatif sama dan mempunyai penilaian sama terhadap norma-norma pemakaian bahasa yang digunakan dalam masyarakat itu. Yang dimaksud verbal repertoire adalah keseluruhan kesiapan kemampuan dan keterlibatan seseorang untuk berkomunikasi lewat bahasa dengan berbagai pihak dengan berbagai topik pembicaraan (Alwasih 1993:39). Adapun masyarakat tutur multilingual (multilingual society) adalah masyarakat yang mempunyai beberapa bahasa. Masyarakat demikian terjadi dari beberapa etnik yang membentuk kelompok masyarakat ( Sumarsono 2002:7). Chaer dan Agustina (2004:85) juga menjelaskan bahwa masyarakat multilingual ialah orang atau sekelompok orang yang menggunakan lebih dari dua bahasa dalam pergaulannya dengan orang lain secara bergantian. Jadi, masyarakat tutur adalah sekelompok masyarakat, baik kelompok besar maupun kecil yang mempunyai bentuk bahasa yang sama atau relatif sama dan mereka juga mempunyai penilaian yang sama atau relatif sama terhadap norma-norma pemakaian bahasa yang digunakan.
Dalam
berkomunikasi,
seorang
penutur
bahasa
mempunyai
tujuan,
yaitu
menyampaikan informasi. Informasi itu dapat berupa gagasan, pikiran, perasaan, bahkan emosi yang diungkapkan secara langsung kepada mitra tuturnya. Karena tujuan itulah, maka dalam setiap proses komunikasi terjadi peristiwa tutur. Chaer dan Agustina (2004:47) merumuskan bahwa peristiwa tutur adalah peristiwa berlangsungnya interaksi linguistik dalam satu bentuk ujaran atau lebih yang melibatkan dua pihak, yaitu penutur dan lawan tutur dengan satu kelompok tuturan di dalam waktu, tempat, dan situasi tertentu. Hymes (dalam Chaer 2004:48-49) juga menyatakan bahwa suatu peristiwa tutur harus memenuhi delapan komponen yang dirangkai dalam akrinim SPEAKING yang masing-masing bunyi merupakan fonem awal dari komponen-komponen yang dimaksudkan. Komponen-komponen itu ialah (1) S : Setting and scene (latar dan suasana tutur), mengacu pada tempat dan waktu tutur, serta situasi tutur yang dapat menyebabkan variasi pemakaia bahasa yang bermacam-macam, (2) P : Participants (peserta tutur), mengacu pada pihak-pihak yang melakukan tuturan, meliputi penutur dan mitra tutur, (3) E : Ends (maksud dan tujuan tuturan), mengacu pada maksud dan tujuan tuturan yang dilontarkan oleh penutur maupun mitra tutur, (4) A : Act sequence (bentuk dan isi tuturan), mengacu pada kata-kata yang digunakan, bagaimana penggunaannya, dan hubungan antara yang dibicarakan dengan topik pembicaraan, (5) K : Key (cara tutur), mengacu pada cara, nada, dan semangat di mana suatu pesan disampaikan melalui tuturan. Hal itu dapat ditunjukkan dengan gerak tubuh dan isyarat, (6) I : Instrumentalities (jalur dan kode bahasa), mengacu pada jalur bahasa yang digunakan, seperti jalur lisan atau tulisan, dan mengacu pada kode ujaran yang digunakan, seperti dialek atau register, (7) N : Norm of interaction and interpretation (norma bertutur), mengacu pada norma atau aturan dalam berinteraksi dan norma penafsiran terhadap lawan tutur, dan (8) G : Genre (norma tuturan), mengacu pada bentuk penyampaian tuturan, seperti narasi, puisi, doa, dan sebagainya.
2.4 Kedwibahasaan dan Diglosia Kelompok masyarakat yang memakai dua bahasa atau lebih dalam melakukan komunikasi disebut masyarakat yang berdwibahasa atau multilingual. Orangnya disebut dwibahasawan atau multibahasawan, sedangkan kemampuan untuk menggunakan bahasabahasa itu disebut kedwibahasaan atau bilingualitas. Hal itu sesuai dengan pendapat Tarigan (1989:2) bahwa kedwibahasaan dipandang sebagai perihal pemakaian dua bahasa (seperti bahasa daerah di samping bahasa nasional). Untuk dapat menggunakan dua bahasa itu, seseorang harus benar-benar menguasai (1) bahasa ibu sebagai bahasa pertama, dan (2) bahasa lain sebagai bahasa kedua. Haugen (dalam Suwito 1991:49) mengemukakan bahwa kedwibahasaan adalah tahu dua bahasa, yaitu seorang dwibahasawan tidak harus menguasai secara aktif dua bahasa,tetapi cukup apabila hanya mengetahui secara pasif dua bahasa itu. Pilihan pemakaian bahasa pada masyarakat dwibahasa atau multibahasa memiliki beberapa kecenderungan, antara lain adanya saling mempengaruhi antarbahasa dan adanya gejala-gejala bahasa yang disebut alih kode sebagai akibat dari pilihan pemakaian bahasa tersebut (Poedjosoedarmo 1978:28).
2.5 Variasi Bahasa Sebagai sebuah langue sebuah bahasa mempunyai sistem dan subsistem yang dipahami sama oleh semua penutur bahasa itu. Namun, karena penutur bahasa tersebut, meski berada dalam masyarakat tutur, tidak merupakan kumpulan manusia yang homogen, maka wujud bahasa yang konkret, yang disebut parole, menjadi tidak seragam. Bahasa itu menjadi beragam dan bervariasi (catatan: istilah variasi sebagai padanan kata Inggris variety bukan variation). Terjadinya keragaman atau kevariasian bahasa ini bukan hanya disebabkan oleh para penuturnya yang tidak homogen, tetapi juga karena kegiatan interaksi sosial yang
mereka lakukan sangat beragam. Setiap kegiatan memerlukan atau menyebabkan terjadinya keragaman bahasa itu (Chaer 2004: 61). Wujud variasi bahasa yang konkret akan diperlakukan oleh adanya perbedaan penuturnya meskipun sebagai sistem, bahasa dipahami sama oleh semua penuturnya. Bahasa menjadi bervariasi karena penggunaannya dan tujuan pengguna atau penuturnya juga beragam, dan semakin beragam apabila wilayah penggunaannya juga semakin luas. Varian bahasa dibedakan menjadi tiga yaitu dialek, tingkat tutur, dan ragam (Rahardi 2001). Dialek dapat dibedakan berdasarkan geografi, sosial, usia, jenis kelamin, aliran, dan suku. Tingkat tutur dibedakan menjadi tingkt tutur hormat dan tingkat tutur tidak hormat. Ragam dibedakan menjadi ragam suasana dan ragam komunikasi. Variasi bahasa dapat dibedakan menjadi variasi dari segi penutur, variasi dari segi pemakaian, dan variasi dari segi keformalan (Chaer 2004: 62).
2.6 Alih kode dan Campur Kode Kondisi kedwibahasaan (bilingualisme) atau keanekabahasaan (multilingualisme) pada masyarakat yang memiliki dua bahasa atau lebih akan memungkinkan mereka untuk menggunakan dua bahasa atau lebih itu secara langsung dalam bertutur. Dengan kata lain, seorang penutur dalam bertutur akan beralih dari satu bahasa ke bahasa lain atau dari satu ragam ke ragam lain. Peristiwa peralihan itulah yang disebut alih kode. Suwito (dalam Chaer 2004:72-74) menjelaskan bahwa alih kode merupakan peristiwa kebahasaan yag disebabkan oleh faktor-faktor luar bahasa, yaitu penutur, lawan tutur, hadirnya orang ketiga dalam tuturan, keinginan membangkitkan rasa humor, dan sekedar bergengsi. Hal tersebut sesuai dengan Poedjosoedarmo (1978) yang berpendapat bahwa ada beberapa komponen yang terlibat dalam peristiwa alih kode. Komponen-komponen itu adalah (1) bahasa sebagai komponen utama, (2) variasi bahasa, (3) ragam, (4) dialek, (5) register, (6)
tema atau pokok pembicaraan. Selain itu, alih kode juga memiliki ciri-ciri (1) alih kode merupakan penggunaan dua bahasa atau dua variasi secara bergantian, yang masing-masing bahasa atau variasinya itu menunjukkan fungsinya masing-masing, (2) alih kode ditandai oleh dua hal, yaitu masing-masing bahasa masih mendukung fungsi tersendiri sesuai dengan konteksnya, (3) alih kode terjadi pada masyarakat dwilingual yang mengenal variasi bahasanya, dan (4) alih kode terjadi pada seorang penutur dwibahasawan. Aspek lain dari saling ketergantungan bahasa (language dependency) pada multilingual adalah terjadinya peristiwa campur kode. Nababan (1993:63) menyatakan bahwa campur kode adalah suatu keadaan bilamana seseorang mencampur dua bahasa atau lebih bahasa atau ragam bahasa dalam suatu tindak bahasa (speech act) tanpa ada sesuatu di dalam situasi berbahasa itu yang menuntut percampuran bahasa dan dalam keadaan ini yang ada adalah kesantaian penututur atau kebiasaan yang dituruti. Campur kode dibedakan menjadi dua, yaitu campur kode ke dalam dan campur kode ke luar. Campur kode ke dalam (inner code mixing) adalah campur kode yang terjadi antara bahasa-bahasa daerah dalam satu bahasa nasional, antara dialek-dialek dalam satu bahasa daerah, atau antara beberapa ragam dalam satu bahasa daerah. Misalnya seorang penutur yang dalam pemakaian bahasa Indonesia banyak menyisipkan unsur-unsur bahasa daerah, atau sebaliknya ia banyak menyisipkan unsur-unsur bahasa Indonesia ke dalam bahasa daerahnya. Campur kode keluar (outer code mixing) adalah campur kode yang terjadi karena penyisipan unsur-unsur yang bersumber dari bahasa asing (Suwito 1983:76).
BAB III METODE PENELITIAN
3.1 Pendekatan Penelitian Dalam penelitian ini digunakan pendekatan
metodologis.
dua macam pendekatan, yaitu pendekatan teoretis dan
Pendekatan
teoretis
yang digunakan
adalah
pendekatan
sosiolinguistik, sedangkan pendekatan metodologis yang digunakan adalah pendekatan kualitatif deskriptif. Pendekatan sosiolinguistik mengkaji bahasa dalam kaitannya dengan penggunaan bahasa dalam masyarakat. Pendekatan ini merinci penggunaan bahasa yang sebenarnya, seperti deskripsi pola-pola pemakaian bahasa/dialek dalam budaya tertentu yang dilakukan oleh penutur, topik, dan latar pembicaraan (Chaer dan Agustina 1995:5). Hal tersebut sebagaimana diungkapkan oleh Criper dan Widdowson (dalam Chaer dan Agustina 1995:4) bahwa pendekatan sosiolinguistik mengkaji bahasa dalam penggunaannya, dengan tujuan untuk meneliti konvensi pemakaian bahasa yang berhubungan dengan aspek-aspek lain dari tingkah laku sosial. Adapun pendekatan kualitatif adalah pendekatan yang bermaksud untuk memahami fenomena tentang apa yang dialami oleh subjek penelitian misalnya perilaku, persepsi, motivasi, tindakan, dan lain-lain dengan cara deskripsi bentuk kata-kata dan bahasa (Moleong 2005:6). Mahsun (2005:235) juga menyatakan bahwa pendekatan kualitatif merupakan usaha memahami fenomena sosial kebahasaan yang diteliti. Penelitian kualiatif ini merupakan usaha memahami fenomena kebahasaan lain yang tengah diteliti. Penelitian kualitatif sifatnya deskriptif karena hasil penelitian berupa deskripsi dari gejala-gejala yang diamati (Subana 2001:17). Pendekatan kualitatif deskriptif digunakan dalam penelitian ini karena data berupa tuturan masyarakat pedesaan di KabupatenTegal yang bersifat deskripsi fenomena 12 kebahasaan.
3.2 Lokasi Penelitian Lokasi penelitian ini adalah daerah pedesaan di Kabupaten Tegal. Wilayah Kabupaten Tegal memiliki delapan belas kecamatan. Dalam penelitian ini lokasi penelitian dibatasi pada tiga kecamatan, yakni (1) Kecamatan Kramat mewakili wilayah Tegal bagian utara, (2) Kecamatan Suradadi
mewakili wilayah Tegal bagian timur, dan (3) Kecamatan Tarub
mewakili wilayah Tegal bagian selatan. Masing-masing diambil satu lokasi sebagai titik pengamatan, yakni desa yang letaknya jauh dari kota kecamatan. Wilayah bagian barat tidak diteliti dalam penelitian ini karena pada bagian barat merupakan daerah kotamadya Tegal yang merupakan wilayah perkotaan.
3.2 Data dan Sumber Data Data penelitian ini adalah penggalan-penggalan percakapan masyarakat pedesaan di kabupaten Tegal baik percakapan berbahasa Jawa maupun bahasa Indonesia beserta ragamnya. Penggunaan bahasa itu terjadi secara alami dari peristiwa tutur yang wajar di dalam masyarakat dalam komunikasi sehari-hari. Sumber data adalah subjek penelitian (Subana 2011:115). Sumber data dalam penelitian adalah percakapan masyarakat pedesaan di Kabupaten Tegal.
3.3 Teknik Pengumpulan Data Teknik pengumpulan data dalam penelitian ini dilakukan dengan mendengarkan orang bercakap-cakap disertai dengan mencatat. Dalam hal ini peneliti berperan sebagai peneliti dan peserta tutur. Dalam kedua peran itu peneliti berusaha menempatkan posisi utamanya sebagai peneliti yang sedang melakukan proses pengumpulan data. Peran sebagai
peserta tutur dilakukan peneliti untuk menghindari kecurigaan informan terhadap peneliti sehingga dapat terjadi kewajaran dalam peristiwa tutur yang alami.
3.4 Instrumen Penelitian Data penelitian ini adalah penggalan-penggalan percakapan dari berbagai peristiwa tutur yang dilakukan oleh masyarakat pedesaan di Kabupaten Tegal. Data diperoleh dengan mendengarkan orang bercakap-cakap kemudian dicatat secara cermat. Data yang diperoleh kemudian ditranskripsikan dalam kartu data.
3.5 Analisis Data Metode yang digunakan dalam penelitian ini meliputi analisis selama pengumpulan data dan analisis setelah pengumpulan data. Analisis selama pengumpulan data dilakukan melalui tahap-tahap berikut: (1) reduksi data, (2) sajian data, dan (3) pengambilan simpulan. Analisis setelah pengumpulan data meliputi tahap-tahap berikut: (1) transkripsi data hasil catatan, (2) pengelompokkan data, (3) penafsiran sistem pemilihan bahasa, dan (4) penyimpulan tentang sistem pemilihan bahasa dan alih kode dan campur kode dalam masyarakat pedesaan di Kabupaten Tegal.
BAB IV SISTEM PEMILIHAN BAHASA DALAM MASYARAKAT PEDESAAN DI TEGAL Temuan penelitian tentang pemilihan bahasa dalam
masyarakat pedesaan di Tegal
menunjukkan adanya pemakaian bahasa yang berupa bahasa Jawa dan bahasa Indonesia. Bahasa-bahasa tersebut digunakan oleh masyarakat pedesaan di Tegal dalam berbagai ranah sosial antara lain ranah rumah, ketetanggaan, pendidikan, keagamaan, dan pemerintahan. Ragam bahasa yang diteliti dalam penelitian ini adalah ragam lisan karena berhubungan dengan komunikasi verbal antaranggota masyarakat pedesaan. Ragam bahasa tulis tidak diteliti karena bahasa tulis tidak digunakan dalam komunikasi verbal. Bahasa Jawa yang digunakan adalah bahasa Jawa ragam ngoko dan krama. Bahasa Indonesia yang digunakan adalah bahasa Indonesia resmi dan tak resmi. Bahasa-bahasa tersebut masing-masing akan dibahas menurut ranah keluarga, ketetanggaan, pendidikan, keagamaan, dan pemerintahan.
4.1 Bahasa Jawa Data dari berbagai peristiwa tutur yang terjadi dalam masyarakat tutur pedesaan di Tegal menunjukkan bahwa bahasa Jawa paling banyak digunakan. Penggunaan bahasa Jawa tampak dominan bukan hanya dalam ranah rumah, tetapi juga pada ranah di luar rumah, seperti ranah pendidikan, agama, pemerintahan, dan ketetanggaan. Pada ranah pendidikan dan pemerintahan pun, penggunaan bahasa Jawa sangat dominan, terutama digunakan pada situasi tak resmi. Penggunaan bahasa Jawa pada situasi tidak resmi menunjukkan sikap hangat dan kekeluargaan serta hubungan yang akrab antara anggota masyarakat pedesaan. 16
Penggunaan bahasa Jawa meliputi bahasa Jawa ragam ngoko dan krama. Dialek Tegal terdapat dalam ragam ngoko yang sangat dominan digunakan untuk berkomunikasi. Bahasa Jawa ngoko berupa ragam ngoko kasar dan ngoko lugu. Bahasa Jawa krama yang digunakan adalah ragam krama madya dan krama alus. Berikut bahasan mengenai pemakaian bahasa Jawa ragam ngoko dan krama yang digunakan dalam masyarakat pedesaan di Tegal.
4.1.1 Ragam Ngoko Bahasa Jawa ragam ngoko sangat dominan mewarnai penggunaan bahasa masyarakat pedesaan di Tegal. Ragam ngoko ini hampir digunakan oleh semua lapisan masyarakat pedesaan untuk berkomunikasi secara verbal untuk menyatakan pikiran maupun perasaannya. Ragam ngoko yang digunakan dalam masyarakat pedesaan di Tegal berbeda dengan ragam ngoko bahasa Jawa baku. Dialek Tegal terdapat dalam ragam ngoko yang sangat dominan digunakan oleh masyarakat pedesaan di Tegal untuk berkomunikasi. Sebagian besar masyarakat pedesaan di Tegal menggunakan dialek Tegal untuk berinteraksi secara verbal. Pemilihan dialek Tegal yang dilakukan oleh masyarakat pedesaan di Tegal untuk menunjukkan jati diri sebagai orang Tegal. Penggunaan dialek Tegal juga menunjukkan sikap yang hangat dan akrab antara peserta tutur. Dialek Tegal merupakan alat berkomunikasi masyarakat pedesaan di Tegal baik dalam situasi formal maupun informal. Dialek ini digunakan dalam berbagai ranah sosial seperti ranah rumah, ranah pemerintahan, ranah pendidikan, dan ranah ketetanggaan. Ciri-ciri dialek Tegal yang terdapat dalam ragam ngoko yaitu: 1. penggunaan pronomina persona pertama tunggal enyong. 2. penggunaan pronomina persona kedua tunggal koen. 3. penggunaan pronomina persona manene „ibu‟. 4. penggunaan leksikon dialek Tegal.
5. pelafalan konsonan hambat bersuara di akhir kata. 6. pelafalan /a/ di akhir kata yang berbeda pelafalan dengan bahasa Jawa baku yang berakhir / /. 7. penggunaan penekanan dengan dialek Tegal. Penggunaan dialek Tegal yang terdapat dalam ragam ngoko di wilayah Tegal timur, utara, dan selatan menunjukkan adanya persamaan seperti yang terdapat pada ciri-ciri di atas. Ragam ngoko yang digunakan adalah ngoko lugu dan ngoko kasar. Ragam-ragam tersebut digunakan dalam ranah rumah, ketetanggaan, pendidikan, keagamaan, dan pemerintahan yang akan dibahas di bawah ini.
4.1.1.1 Ngoko Lugu Bahasa Jawa ragam ngoko lugu tampak dominan dalam berbagai ranah sosial masyarakat pedesaan di Tegal seperti ranah rumah, ketetanggaan, pendidikan, keagamaan, dan pemerintahan. Ragam ngoko lugu ini digunakan untuk berkomunikasi dan berinteraksi dengan peserta tutur lainnya. Pemilihan ragam ngoko lugu untuk menunjukkan kehangatan dan keakraban antara peserta tutur. Adanya hubungan yang akrab dan tidak ada jarak antara peserta tutur juga menentukan dipilihnya ragam ngoko lugu. Berikut bahasan mengenai pemilihan ragam ngoko lugu menurut ranah rumah, ketetanggaan, pendidikan, keagamaan, dan pemerintahan.
a. Ranah Rumah Penggunaan ragam ngoko lugu dalam ranah rumah tampak dominan digunakan oleh suami istri dari semua profesi seperti petani, nelayan, pedagang, buruh, dan pegawai negeri. Di wilayah Tegal timur, utara, dan selatan menunjukkan adanya persamaan yaitu
digunakannya ragam ngoko lugu untuk berkomunikasi antaranggota keluarga. Pemilihan ragam ngoko lugu terlihat dalam tuturan berikut. (1) KONTEKS
: PERCAKAPAN ANTARA SUAMI
DAN ISTRI (KELUARGA
PETANI) P1
: Mah, enyong mbesiki sida maring Purbalingga oh? (Mah, saya besok jadi ke Purbalingga)
P2
: Mana oh. Melu rombongane sapa? (Ya sana. Ikut rombongan siapa)
P1
: Rombongan Padamurah. (Rombongan Padamurah)
P2
: Sih sangune wis ana? (Uang sakunya sudah ada?)
P1
: Nggawa satus seket be sedeng ka. (Bawa seratus lima puluh saja cukup kok)
P2
: Sing kene sapa bae? (Dari sini siapa saja?)
P1
: Kur enyong karo Sipon. (Cuma saya sama Sipon)
P2
: Sipon nang apa sih? (Memangnya Sipon kenapa?)
P1
: Anake amandelen. (Anaknya terkena amandel) Percakapan di atas dilakukan oleh suami istri dalam ranah rumah dalam situasi santai.
Masing-masing peserta tutur menggunakan ragam ngoko lugu. Hubungan yang akrab dan tidak ada jarak menyebabkan dipilihnya ragam tersebut. Dialek Tegal tampak pada leksikon
enyong „saya‟, mbesiki ‘besok‟, bae „saja‟, dan kur „hanya‟. Dialek Tegal juga tampak dalam pengucapan /a/ di akhir kata yang berbeda dengan bahasa Jawa baku. Penggunaan ragam ngoko lugu pada keluarga petani tampak dalam peristiwa tutur berikut. (2) KONTEKS P1
: PERCAKAPAN ANTARA SUAMI DAN ISTRI (KELUARGA PETANI)
: Pak dine kiye ngunduh kacang oh. (Pak hari ini panen memetik kacang oh)
P2
: Iya mau wis ngomong Wasri gon ngrewangi. (Iya tadi sudah bilang Wasri untuk membantu)
P1
: Bisane tungkula direwangi. Olihe akeh? (Kok minta dibantu. Memang dapat banyak?)
P2
: Akeh. Ora kesait dong diunduh dewek. (Banyak. Tidak bisa dipetik sendiri)
P1
: Didol neng Yu Siru bae ben payu larang. Yen ana bakul marani aja gelem. Wingi be didol sampeyan payu murah ka. Neng Yu Siru sekilo sewu mang atus. (Dijual di Yu Siru saja biar laku mahal. Kalau ada bakul datang jangan mau. Kemarin dijual sampeyan saja laku murah. Di Yu Siru satu kilo seribu lima ratus)
P2
: Mengko takgawa balik lin diuntingi neng umah. (Nanti saya bawa pulang terus diikati di rumah) Peristiwa tutur di atas terjadi dalam ranah rumah antara suami dan istri. Masing-masing
peserta tutur menggunakan bahasa Jawa ragam ngoko lugu yang terlihat pada leksikon yang digunakan. Dialek Tegal tampak dalam leksikon kiye „ini‟, bisane ‘kok bisa‟, tungkula, dan bae „saja‟. Pemilihan ragam ngoko lugu dilatarbelakangi hubungan yang hangat dan akrab
antara suami istri. Pada keluarga nelayan, pemilihan ragam ngoko lugu tampak dalam peristiwa tutur berikut. (3) KONTEKS
: PERCAKAPAN ANTARA SUAMI DAN ISTRI (KELUARGA
NELAYAN) P1
: Pan mbongkar iwak kapan, Pak? (Mau membongkar ikan kapan, Pak?)
P2
: Mbesiki. Ngenteni iwake larang. Kiye akeh prau ngranjing dadine iwake murah nemen. (Besok. Menunggu ikan mahal. Sekarang banyak perahu masuk jadin harga ikan sangat murah)
P1
: Olihe akeh?„Dapat banyak?‟
P2
: Olihe tah akeh, tapi regane lagi anjlog. (Dapatnya banyak, tapi harganya turun)
P1
: Kaya kuwe ya, ora tau moni olihe akeh regane larang. Ora kena dicegerna nggo nyaur utang. Mangkane kebutuhane akeh nemen oh.
P2
(Begitu ya, tidak
pernah
dapat
banyak
harganya
mahal.
Tidak
diandalkan untuk
membayar hutang. Padahal kebutuhannya banyak sekali)
bisa
: Wis biasa kaya kuwe ka. (Sudah biasa seperti itu kok)
P1
: Mengko nggawa balik iwak sing akeh ya, Pak. Kae wingi Lik Pardi dolan mene lin njaluk iwak. (Nanti membawa ikan yang banyak ya, Pak. Kemarin Lik Pardi main ke
sini terus
minta ikan) Peristiwa tutur di atas dilakukan oleh suami dan istri dalam ranah rumah. P1 memulai percakapan dengan menggunakan bahasa Jawa ragam ngoko lugu, P2 juga merespons ucapan
P1 dengan menggunakan ragam ngoko lugu. Pemilihan ragam ngoko lugu oleh P1 dan P2 karena hubungan yang akrab dan tidak ada jarak antara suami dan istri. Dalam percakapan di atas terdapat leksikon dalam dialek Tegal antara lain mbesiki „besok‟ , kiye „ini‟, nemen „sangat‟, dan kuwe „itu‟. Pada peristiwa tutur lain, pemakaian ragam ngoko lugu tampak dalam dialog berikut. (4) KONTEKS
: PERCAKAPAN ANTARA SUAMI
DAN ISTRI (KELUARGA
NELAYAN) P1
: Pak, mengko kondangan neng santon oh. (Pak, nanti kondangan di Santon dong)
P2
: Apa-apanan sih? (Apa-apaan ya?)
P1
: Kebluk. Enyong potangan rongpuluh ewu, sampeyan selawe ewu. (Selamatan. Saya hutang dua pulih ribu, sampeyan dua puluh lima ribu)
P2
: Kebluk papat apa pitu? (Selamatan empat apa tujuh)
P1
: Pitu. (Tujuh)
P2
: Ader wadone melu mene? (Memang istrinya ikui ke sini?)
P1
: Clak-clok angger anuk, neng manene angger anuk neng kene. (Kadang di ibunya, kadang juga di sini)
P2
: Pan jam pira kondangane? (Kondangannya jam berapa?)
P1
: Bar magrib. Ngko bar isya sampeyan gon walimahan. (Habis maghrib. Nanti habis isya sampeyan disuruh walimahan.)
Percakapan di atas dilakukan oleh suami istri yang menggunakan ragam ngoko lugu yang dapat dilihat dari leksikon yang digunakan. Percakapan di atas terjadi dalam situasi santai. Leksikon seperti kebluk ‘selamatan tujuh bulan‟, potangan „berhutang‟, wadon „istri‟, ader „masa‟, clak-clok „tidak menetap, angger anuk „kadang-kadang‟, manene „ibunya‟ merupakan leksikon yang terdapat dalam dialek Tegal. Pemilihan ragam ngoko lugu oleh masing-masing peserta tutur karena dilatarbelakangi hubungan yang akrab dan hangat. Pemilihan ragam ngoko lugu juga terdapat dalam keluarga buruh seperti tampak dalam tuturan berikut. (5) KONTEKS P1
: PERCAKAPAN ANTARA SUAMI DAN ISTRI (KELUARGA BURUH)
: Sepi nemen donge bocahe pada maring endi? (Sepi sekali anak-anak kemana?)
P2
: Lagi pada PS neng Watno. (Sedang PS di Watno)
P1
: Sih duwe PS? (Memang punya PS)
P2
: Duwe nembe tuku wingi, disewakna. Kiye bocah-bocah kumpul neng kana kabeh. (Punya, baru beli kemarin, disewakan. Sekarang anak - anak berkumpul di sana)
P1
: Yen ana PS tah bocah-bocah ora pada eling waktu oh. Mengko jam tengah papat disusul gon pada ngaji. (Kalau ada PS anak-anak tidak ingat waktu. Nanti jam setengah empat disuruh mengaji)
P2
: Lah iya neng. Balik sekolah langsung pada mana, mangane ya pada klalen.
disusul dan
(Lah memang. Pulang sekolah langsung ke sana, lupa makan) P1
: Kaya kuwe mbayar oya? (Seperti itu membayar tidak?)
P2
: Mbayar yah sajam rong ewu. (Membayar satu jam dua ribu) Percakapan di atas dilakukan oleh suami dn istri dalam ranah rumah. Hubungan yang
akrab antara suami dan istri menyebabkan dipilihnya bahasa Jawa ragam ngoko lugu. P1 memulai percakapan dengan ragam ngoko lugu sedangkan P2 juga merespons dengan bahasa yang sama. Leksikon yang digunakan dalam peristiwa tutur di atas merupakan leksikon ragam ngoko lugu. Adapun dialek Tegal tampak pada leksikon nemen „sangat‟ , donge „seharusnya‟, maring „ke‟, lah iya neng „memang‟, klalen „lupa‟, dan kuwe „itu‟. Pada keluarga pedagang, percakapan antara suami dan istri juga menggunakan bahasa Jawa ragam ngoko lugu seperti tampak dalam tuturan di bawah ini. (6) KONTEKS
: PERCAKAPAN ANTARA SUAMI DAN ISTRI (KELUARGA
PEDAGANG) P1
: Ma kae ana wong tuku, marud klapane ditinggal disit. Wis ngenteni sing mau nemen ka. (Ma itu ada orang beli, marut kelapanya ditinggal dulu. Sudah menunggu dari tadi kok)
P2
: Sing tuku sapa sih? Gon njukut dewek ya kena oh. Kiye enyong lagi tanggung. (Siapa yang beli? Suruh ambil sendiri saja. Ini saya sedang tanggung)
P1
: Yu Renah. Tuku lenga seprapat. Enyong ora bisa nglayani. (Yu Renah.
P2
Beli minyak seperempat. Saya tidak bisa melayani)
: Tah wis ana lenga sing bungkusan sih? (Sudah ada minyak yang dibungkusi kan?)
P1
: Wis langka ka. Mau dituku Yu dina. (Sudah tidak ada kok. Tadi dibeli Yu Dina)
P2
: Ya kiye tak wisuh sedelat. (Ya saya cuci tangan dulu sebentar) Percakapan di atas dilakukan oleh suami dan istri di lingkungan rumah. Keduanya
memilih menggunakan bahasa Jawa ragam ngoko lugu karena kedekatan mereka sebagai suami dan istri. Leksikon ana „ada‟, wong „orang‟, tuku ‘membeli‟ wis ngenteni „sudah menunggu‟, disit „dulu‟, dan sebagainya merupakan leksikon ragam ngoko lugu. Situasi yang informal pun, mendukung dipilihnya ragam tersebut. Dialek Tegal tampak dalam pelafalan konsonan /d/ pada kata marud, dan juga tampak pada leksikon nemen „sangat‟, langka „tidak ada‟, dan kiye „ini‟. Dalam peristiwa tutur lain, penggunaan ragam ngoko lugu tampak dalam data berikut. (7) KONTEKS
: PERCAKAPAN ANTARA SUAMI DAN ISTRI (KELUARGA
PEDAGANG) P1
: Pak mengko jam papat kulak maring kaji Atun ya? (Pak nanti jam empat belanja ke haji Atun, ya?)
P2
: Kulak apa bae? (Belanja apa saja?)
P1
: Lenga karo endog. (Minyak sama telur)
P2
: Endog angel oh nggawane, mbokan pada pecah eman-eman, regane larang. Kudune yen kulak endog boncengan karo koen. (Telur susah membawanya, sayang kalau pecah, harganya belanja telur berboncengan sama kamu)
P1
: Boncengan karo Didi bae lah. Enyong awake lagi ora penak
mahal. Seharusnya kalau
(Boncengan sama Didi saja. Badan saya sedang tidak enak) P2
: Lah Didine lagi maring endi? Yen bocahe ana tah mangkat saiki bae oh. (Didinya dimana? Kalau anaknya ada sih berangkat sekarang saja)
P1
: Lagi maring warnet. Balike jam papat. (Sedang ke warnet. Pulang jam empat) Percakapan di atas dilakukan oleh suami dan istri dalam ranah rumah. Leksikon yang
digunakan dalam percakapan tersebut berupa ragam ngoko lugu. Penggunaan dialek Tegal dapat dilihat dari leksikon maring „ke‟ , endog „telur‟, bae ‘saja‟, dan enyong ‘saya’. Leksikon tersebut merupakan leksikon yang hanya ada dalam dialek Tegal yang berbeda dengan bahasa Jawa dialek baku. Pada kata endog, fonem /g/ dilafalkan dengan bunyi yang jelas. Dalam dialek Tegal, biasa terdapat pelafalan konsonan hambat bersuara di akhir kata. Pada keluarga pegawai negeri pun, ragam bahasa Jawa ngoko lugu tampak dominan digunakan sebagai sarana berkomunikasi antara suami dan istri sebagaimana tampak dalam tuturan di bawah ini. (8) KONTEKS
: PERCAKAPAN ANTARA SUAMI DAN ISTRI (KELUARGA
PEGAWAI NEGERI) P1
: Sertifikasine wis cair, Pak? (Sertifikasinya sudah cair, Pak?)
P2
: Durung. Mbuh ka mundur-mundur bae. Jare tanggal sepuluh, tanggal sepuluh ya durung karuan metu. (Belum. Nggak tahu mundur-mundur terus. Kabarnya tanggal sepuluh, tapi tanggal sepuluh belum pasti keluar)
P1
: Jare Depag wis metu. Mau aku takon wadone Sukeri (Kabarnya Depag sudah keluar. Tadi saya tanya istrinya Sukeri)
P2
: Depag tah biasane cepet oh. Dong metu pan nggo apa sih, Bu?
(Depag biasanya cepat. Kalau keluar mau buat apa sih, Bu?) P1
: Pan nggo ngrajeg ngarep oh. (Mau buat pagar depan)
P2
: Suka nggo pasang plapon disit oh. Eben njerone rapih disit, neng njaba tah keri-kerian mbuh apa. (Lebih baik buat pasang plafon dulu. Biar di dalamnya rapi dulu, di luar nanti-nantian saja)
P1
: Ayame bi Wasti pada manjing terus, Pak. Tembeleke akeh nemen, njijeni. Aku nyaponane kesel. Mambune ya ora karuan nemen. (Ayam bi Wasti masuk terus, Pak. Kotorannya banyak sekali, menjijikkan.
Saya
capek menyapu. Baunya sangat tidak karuan) Peristiwa tutur di atas dilakukan oleh suami dan istri di lingkungan rumah. Hubungan yang akrab dan hangat antara
peserta tutur yang berstatus suami istri menyebabkan
dipilihnya ragam ngoko lugu untuk berkomunikasi secara lisan. Leksikon yang digunakan menunujukkan dipilihnya ragam tersebut antara lain wis „sudah‟, durung ‘belum‟, mundur „mundur‟, metu „keluar‟, disit ‘dulu’, apa, njero „di dalam‟, njaba ‘di luar‟, akeh ‘akeh‟, mambune ‘baunya‟, dan ora „tidak‟. Dialek Tegal tampak dalam leksikon bae „saja‟, karuan „memang‟, wadone „istrinya‟, manjing ‘masuk‟, dan nemen „sangat‟. Pada peristiwa tutur lain, penggunaan ragam ngoko lugu pada keluarga pegawai negeri tampak dalam data berikut. (9) KONTEKS
: PERCAKAPAN ANTARA SUAMI DAN ISTRI (KELUARGA
PEGAWAI NEGERI) P1
: Kae bocah klambine bedeg ledeg temen, kas dolanan neng endi sih? (Anak itu bajunya kotor sekali, habis main di mana ya?)
P2
: Rudi neng biasanane ngguling-ngguling neng lemah oh.
(Rudi biasanya berguling-guling di tanah) P1
: Manene olih ya? (Ibunya boleh ya?)
P2
: Wong ora weruh neng, angger weruh ya didajar. Manene galak nemen koh. (Ibunya tidak melihat, kalau tahu ya dihajar.ibunya galak sekali)
P1
: Manene galak be bocahe mbedud nemen ka. Dilaruhi ora mempan. (Walaupun ibunya galak tetapi anaknya nakal sekali) Peristiwa tutur di atas dilakukan oleh suami dan istri yang membicarakan seorang
anak yang sangat nakal. Leksikon yang digunakan dalam peristiwa tutur di atas merupakan leksikon ragam ngoko lugu. Dialek Tegal P1 tampak dalam pelafalan fonem hambat bersuara /g/ pada kata badeg ledeg „sangat kotor‟. Konsonan /g/ tersebut diucapkan dengan sangat jelas. Demikian pula kata mbedud yang diucapkan oleh P2. Pelafalan konsonan /d/ sangat jelas. Bagi orang Tegal rasanya tidak mantap apabila konsonan-konsonan hambat bersuara tersebut diucapkan dengan konsonan hambat tak bersuara. Dari data-data di atas dapat disimpulkan
bahwa ragam bahasa Jawa ngoko lugu
digunakan dalam ranah rumah antara suami dan istri. Bahasa Jawa ngoko lugu tampak digunakan oleh keluarga dari semua profesi seperti petani, pedagang, nelayan, buruh, dan pegawai negeri. Hubungan yang akrab dan tidak ada jarak antar peserta tutur menyebabkan dipilihnya ragam tersebut.
b. Ranah Ketetanggaan Pemilihan ragam ngoko lugu juga tampak dominan terjadi dalam ranah ketetanggaan. Di wilayah Tegal timur, utara, dan selatan menunjukkan adanya persamaan penggunaan
ragam ngoko lugu untuk berkomunikasi antartetangga. Pemilihan ragam ngoko lugu terlihat dalam percakapan berikut. (10) KONTEKS :
PERCAKAPAN
ANTARA
IBU-IBU
DALAM
KETETANGGAAN DALAM SITUASI SANTAI. P1
: Ngemban anake sapa, Yu? (Menggendong anak siapa, Yu?)
P2
: Anake Sisop. (Anak Sisop)
P1
: Rambuteapiktemen,ngadeg. (Rambutnya bagus sekali, berdiri)
P2
: Iya, eben ora usah dibonding. (Iya, biar tidak usah direbonding)
P1
: Bisane nangis bae sih? (Kenapa menangis terus?)
P2
: Lagi mumet. (Sedang sakit)
P1
: Manene maring endi sih? (Ibunya kemana?)
P2
: Lagi ngumbahi, melas kiye langka sing ngejak, dadine tak dimban. (Sedang mencuci, kasihan dia tidak ada yang mengajak, jadi saya Gendong)
P1
: Miyen angger endas mumet diadusi banyu anget tah mari ya. (Dulu kalau sakit kepala dimandikan pakai air hangat sembuh ya)
P2
: Iya. Saiki tah kudune dipriksakna. Angger ora priksa ora mari. (Iya. Sekarang harus diperiksakan. Kalau tidak diperiksa tidak sembuh)
RANAH
Percakapan di atas menggunakan ragam ngoko lugu yang dapat dilihat pada tuturan P1 dan P2 yang menggunakan leksikon bahasa Jawa ngoko lugu. Dialek Tegal tampak pada pelafalan leksikon iya ‘ya’, ngadeg ‘berdiri’ , eben ‘supaya’, bisane ‘kok bisa’, mumet ‘pusing’ ,endas ‘kepala’, tah, dan bae ‘saja’. Pemilihan ragam ngoko lugu percakapan di atas dilakukan antarpenutur dalam ranah ketetanggaan karena
dalam
hubungan
penutur yang bersifat akrab dan tidak ada jarak. Pemilihan ragam ngoko lugu dalam ranah ketetanggan juga tampak dalam peristiwa tutur berikut. (11) KONTEKS :
PERCAKAPAN
ANTARA
IBU-IBU
DALAM
RANAH
KETETANGGAAN P1
: Toto ninggal ya. (Toto meninggal ya)
P2
: Ya mbengi jam sepuluh. (Ya, tadi malam jam sepuluh)
P3
: Mriyang suwe nemen oh. Donge penyakite apa sih? (Sakit lama sekali. Sebenarnya penyakitnya apa?)
P1
: Ambeien. Wis dioprasi tapi barang kas dioprasi tambah parah. (Ambeien. Sudah dioperasi tapi setelah dioperasi bertambah parah)
P2
: Kuwe miyen dong enome royal nemen oh. Senenge wadonan. Peta ora nemen ka. (Dia dulu waktu muda sangat royal. Suka main perempuan. Sangat jelek sifatnya)
P3
: Kasabe ya sungkan oh. Senenge pinton. (Malas bekerja. Suka bermain badminton) Peristiwa tutur di atas terjadi antara ibu –ibu yang membicarakan kematian salah
seorang tetangganya. Dalam percakapan di atas tampak penggunaan ragam ngoko lugu.
Pemilihan ragam ngoko lugu yang berwujud bahasa Jawa dialek Tegal dilatarbelakangi hubungan yang akrab antara peserta tutur dan peristiwa tutur tersebut juga terjadi dalam situasi informal. Leksikon seperti mriyang ‘sakit‟, donge ‘seharusnya‟, kas ‘setelah‟, kuwe ‘itu’, dong ‘kalau‟, royal ‘glamour’ ,nemen ‘sangat‟, wadonan „perempuan‟, peta ora ‘tidak bagus‟, kasab „bekerja‟, dan sungkan ‘malas‟ merupakan leksikon yang terdapat dalam dialek Tegal. Pada peristiwa tutur lain, ragam ngoko lugu tampak dalam data berikut. (12) KONTEKS :
PERISTIWA
TUTUR
OLEH
IBU-IBU
DALAM
RANAH
KETETANGGAAN P1
: Rini be umahe wis ngadeg ya. Awit kapan sih? Ora weruh buka kakine temu-temu wis duwur. (Rumah Rini sudah tinggi ya. Sejak kapan ya mulai membangun? Tidak t Tahu buka kakinya tahu-tahu sudah tinggi)
P2
: Buka kakine lagi jemuwah kliwon. Enyong be dijaluki libotan semen sepuluh ka. (Buka kakinya waktu jumat kliwon. Saya juga diminta menyumbang sepuluh semen)
P3
: Enyong ya dijaluki. Tapi ora nanggung. Njaluke akeh nemen ka, semen telung puluh, sih enyong duwit sing endi? Saiki regane seket papat. (Saya juga diminta. Tapi saya tidak bisa. Mintanya banyak sekali. Tiga puluh semen. Emang saya uang dari mana? Sekarang harga semen lima puluh empat ribu)
P1
: Donge tah yen njaluk libotan saanane bae ya, aja dipestekna kudu semono. (Harusnya kalau minta sumbangan seadanya saja. Jangan dipastikan harus segitu)
P3
: Jare enyong tah angger durung kuwat ngadegna umah ya aja gawe disit. Bati endase mumet.
(Menurutku kalau belum kuat membangun rumah ya jangan membangun dulu. Nanti kepalanya malah pusing) P2
: Meningan Rini melu manene. Umpel-umpelan. Umahe cilik wonge akeh nemen. Kiye maning adine bar bada pan mbojo, wadone mengko pan melu mono, ya tambah sesek oh. (Rini kan ikut ibunya. Penuh sesak. Rumahnya
kecil orangnya banyak sekali.
Apalagi nanti habis lebaran adiknya mau menikah, istri adiknya mau ikut ke situ) Peristiwa tutur di atas terjadi pada ranah ketetanggaan dalam situasi santai antara ibuibu yang membicarakan pembangunan rumah salah seorang tetangganya. Pemilihan ragam ngoko lugu antar peserta tutur dilatarbelakangi hubungan yang akrab dan tidak ada jarak. Dialek Tegal tampak pada leksikon ngadeg ‘berdiri‟, be ‘saja‟, sih, ka, tah, angger ‘kalau’, enyong „saya‟, endase kapalanya‟, mumet ‘pusing’,dan wadone ‘istrinya‟. Pemilihan bahasa Jawa ngoko lugu
digunakan dalam ranah ketetanggaan juga tampak dalam peristiwa tutur
berikut. (13) KONTEKS : EMPAT
ORANG WARGA BERBICARA DALAM RANAH
KETETANGGAAN P1
: Ramini, njagong kono, grok! Wis mending? (Ramini, duduk di situ. Sudah sembuh?)
P2
: Mending. (Lumayan)
P3
: Kiye wis bisa mlaku oh etungane. (Ini sudah bisa berjalan)
P1
: Wis pirang tahun? (Sudah berapa tahun?)
P2
: Rong tahunan. Wingi enyong priksa maring mantran, obate keri, barang
balik berase kejebur sumur, nggo adus gatel kabeh telung dina. (Dua tahunan. Kemarin saya habis priksa ke Mantran, obatnya tertinggal, setelah pulang, berasnya tercebur sumur, buat mandi gatal semua tiga hari) P4
: Wis mending? (Sudah baikan?)
P2
: Ya mbuh agluk-agluk mbuh mbuh, nganggo bentong. (Ya lumayan. Pakai
tongkat)
Peristiwa tutur tersebut terajdi pada situasi santai dan akrab pada ranah ketetanggaan mengenai kesehatan. Hubungan peserta tutur yang terlibat dalam peristiwa tutur terebut adalah hubungan yang akrab antara tetangga di daerah pedesaan. Bahasa Jawa dengan ragam ngoko lugu tampak dipilih dalam peristiwa tutur tersebut yang ditandai dengan adanya leksikon bahasa Jawa seperti njagong „duduk‟, mending „membaik‟, mlaku ‘berjalan‟, wis „sudah‟, adus „mandi‟, kabeh „semua‟, mene „ke sini‟, agluk-agluk, dan mbuh ‘tidak tahu‟. Pemilihan leksikon tersebut menunjukkan bahwa dalam peristiwa tutur tersebut penggunaan ragam ngoko lugu. Dialek Tegal tampak pada penggunaan pronomina persona pertama enyong „saya‟. Penggunaan ragam ngoko lugu juga terdapat dalam dialog berikut. (14) KONTEKS :
PERCAKAPAN
ANTARA
IBU-IBU
DALAM
RANAH
KETETANGGAN P1
: Listrike mati maning ya?. (Listrik padam lagi ya?)
P2
: Wingi
tah
wis
mati
sadina
sih,
kiye
(Kemarin sudah padam sehari, sekarang padam lagi?) P1
: La iya neng. Nyewoti nemen ka. (Lha memang. Menyebalkan sekali)
P2
: Enyong mangkane wis ngekum pakaian akeh nemen. Isine lepis tok.
mati
maning?
Nggari nguceke. Kiye tah susah ngangsu oh. (Padahal saya sudah
merendam pakaian banyak sekali. Levis semua. Tinggal
mengucek. Ini sharus mengangsu) P1
: Enyong be durung nando banyu. Biasane bake takeseni kabeh. Mau nembe takisi siji. Ora ngarti pan mati maning.„ (Saya saja belum menampu air. Biasanya bak saya isi semua. Tadi baru saya isi satu. Tidak tahu mau padam lagi)
P2
: Lanange sampeyan gon telpon PLN ya kena oh. (Suami sampeyan disuruh telpon PLN sana)
P1
: Dong lanange enyong balik gari murube oh, wong balike sore. (Kalau suami saya pulang tinggal menyala, orangnya pulang sore)
P2
: Ngapokna nemen ka PLN. (Menjengkelkan sekali PLN) Percakapan di atas dilakukan oleh dua orang ibu dalam ranah ketetanggaan yang
membicarakan pemadaman listrik. P1 memulai percakapan dengan menggunakan ragam ngoko lugu sedangkan P2 merespons dengan ragam bahasa yang sama. Pemilihan ragam ngoko lugu oleh keduanya karena hubungan yag akrab sebagai tetangga. Pemilihan ragam ngoko
lugu menunjukkan suasana yang hangat dan santai. Dialek Tegal tampak pada
leksikon kiye „ini‟, maning „lagi‟, lanange „suami‟, enyong „saya‟, dong ‘kalau‟, dan ngapokna.
c. Ranah Pendidikan Bahasa Jawa ngoko lugu digunakan dalam ranah pendidikan dalam situasi tak resmi. Percakapan antarguru di luar kelas dalam situasi informal, selalu menggunakan ragam ngoko lugu yang berupa dialek Tegal seperti tampak dalam tuturan berikut.
(15) KONTEKS : PERCAKAPAN ANTARGURU
PADA RANAH PENDIDIKAN
DALAM SITUASI SANTAI P1
: Pak, muji ora mangkat wis telung dina. (Pak, muji sudah tiga hari tidak berangkat)
P2
: Bocah endi sih? (Anak mana ya)
P1
: Kedungbungkus.
P2
: Jare nang apa? (Katanya kenapa)
P1
: Mriyang , lagi kae ora mangkat patang dina, dadine pitung dina. Mengko diparani ya? (Sakit. Dulu empat hari, jadi tujuh hari. Nanti didatangi ya?)
P2
: Ya mengko dong senen. Kiye enyong lagi sibuk. (Ya, nanti kalau hari senin. Sekarang saya sedang sibuk) Percakapan di atas menggunakan ragam ngoko lugu yang dapat dilihat pada tuturan P1
dan P2 dalam berkomunikasi. Pemilihan ragam tersebut dilakukan antarpenutur dalam ranah pendidikan dalam situasi informal dengan hubungan antarpenutur yag bersifat akrab. Hubungan keakraban tersebut menentukan pemilihan ragam ngoko lugu. Dalam ranah pendidikan, bahasa Jawa ragam ngoko lugu
digunakan baik di dalam
maupun di luar kelas. Di luar kelas bahasa Jawa ngoko lugu digunakan untuk berkomunikasi antarguru dalam situasi takresmi. Di dalam kelas bahasa ragam ngoko lugu digunakan oleh guru kelas rendah untuk mengajar muridnya karena murid kelas rendah belum menguasai bahasa Indonesia. Di wilayah pedesaan Tegal timur, utara, dan selatan menunjukkan persamaan penggunaan bahasa Jawa ngoko lugu baik di dalam kelas maupun di luar kelas dalam situasi
tak resmi. Di dalam kelas biasanya guru menggunakan ragam ngoko lugu dan direspons oleh murid dengan ragam bahasa yang sama. Di luar kelas, dalam situasi tak resmi, semua guru ketika bercakap-cakap selalu menggunakan bahasa Jawa ragam ngoko lugu. Berikut data tentang penggunaan bahasa Jawa ragam ngoko lugu dalam situasi tak resmi. (16) KONTEKS : PERCAKAPAN ANTARGURU TENTANG KENAIKAN KELAS P1
: Pak, kelas telu sing ora munggah pira? (Pak, kelas tiga yang tidak naik kelas berapa?)
P2
: Papat. (Empat)
P1
: Akeh temen sih? Sapa bae? (Banyak sekali. Siapa saja?)
P2
: Fani, Isna, Ega, Wawang.
P1
: Fani ora munggah maning? Ganing kawak terus? (Fani tidak naik lagi? Kok menunggak terus ya?)
P2
: Ora. (Tidak)
P1
: Berati ora munggah ping telu oh. Dongene kiye pan kelas enem yah. (Berarti tidak naik kelas tiga kali. Seharusnya sekarang kelas enam ya)
P2
: Lah sih pan piben maning kemampuane semono tok sih ya. Yen dimunggahna melasi bocahe uteke ora nyandak. (Ya mau bagaimana lagi
kemampuannya hanya segitu. Kalau dinaikkan kasihan
anaknya, otaknya tidak sampai) Peristiwa tutur tersebut terjadi pada situasi informal kedinasan tentang kenaikan kelas. Hubungan peserta tutur yang bersifat akrab menyebabkan digunakannya bahasa Jawa ngoko lugu dalam peristiwa tutur tersebut. Dialek Tegal tampak pada leksikon seperti
temen
‘sangat‟, bae ‘saja‟, piben „bagaimana‟, dan maning ‘lagi‟. Selain digunakan dalam situasi informal, dalam situasi formal yaitu dalam proses belajar mengajar di dalam kelas juga terdapat penggunaan bahasa Jawa ngoko lugu, seperti tampak dalam data berikut. (17) KONTEKS : PERCAKAPAN ANTARA GURU DAN MURID DI KELAS DALAM PROSES BELAJAR MENGAJAR P1
: Junedi maju! Kiye diwaca. (Junedi maju! Ini dibaca!)
P2
: Ora bisa, Bu. (Tidak bisa, Bu!)
P1
: Gagiyan diwaca! Aja ndelengna raine bu Guru bae. Ader neng raine bu Guru ana tulisne. (Cepat dibaca! Jangan melihat wajah bu Guru saja. Memangnya di wajah bu Guru ada tulisannya?) Peristiwa tutur di atas terjadi di dalam kelas antara guru dan murid kelas dua. Pemilihan
bahasa Jawa ragam ngoko lugu oleh guru karena pada siswa kelas rendah umumnya belum dapat berbahasa Indonesia sehingga guru akan menggunakan bahasa tersebut sebagai pengantar dalam dunia pendidikan. Murid juga menanggapinya dengan bahasa Jawa ngoko lugu yang memang sudah dikuasainya. Walaupun ada perbedaan status tetapi murid tidak menggunakan bahasa lain karena ia hanya menguasai bahasa Jawa ngoko lugu. Karena sudah terbiasa dengan bahasa ibu bahasa Jawa ngoko lugu yang berupa dialek Tegal, maka bahasa tersebut pun digunakan dalam ranah pendidikan meskipun dalam situasi formal.
d. Ranah Keagamaan Pemilihan bahasa Jawa ragam ngoko lugu juga terdapat dalam ranah keagaamaan. Di wilayah Tegal timur, utara, dan selatan menunjukkan adanya persamaan yaitu penggunakan
bahasa Jawa ngoko lugu oleh ustaz ketika memberikan ceramah kepada jamaahnya. Berikut data tentang penggunaan ragam ngoko lugu dalam ranah keagamaan. (19) KONTEKS : TUTURAN USTAZ DALAM CERAMAH KEAGAMAAN P1
: Angger sampeyan duwe kesusahan aja ngadu karo wong liya, yen ngadu karo wong liya berarti ora syukur nikmat. Barangsiapa yang mengeluh pada pagi hari waktu bagun tidur berarti ora syukur nikmat termasuk sukhul nikmat. Aja lagi kesusahan ngadune maring tangga. Apik seneng sugih mlarat kuwe sing maringi gusti Allah, dadine yen susah ya dibalakna maring gusti Allah. (Kalau Anda sedang kesusahan, jangan mengadu sama orang lain. Kalau mengadu ke orang lain namanya tidak syukur nikmat. Barangsiapa yang mengeluh pada pagi hari waktu bangun tidur berarti tidak syukur nikmat, termasuk sukhul nikmat. Jangan kalau sedang susah mengadu ke tetangga. Baik, senang, kaya, miskin itu semua pemberian Gusti Allah. Jadi kalau sedang susah ya dikembalikan saja ke Gusti Allah) Dalam tuturan di atas tampak bahwa P1 memberikan ceramah dengan menggunakan
bahasa Jawa ngoko lugu. Pemilihan ragam ngoko lugu oleh P1 karena semua lawan tutur menguasai ragam tersebut, sehingga dengan menggunakan ragam tersebut diharapkan pesan yang akan disampaikan mudah diterima oleh lawan tutur. Pemilihan ragam ngoko lugu tersebut juga untuk menciptakan hubungan yang akrab dengan lawan tutur. Dalam peristiwa tutur di atas terdapat alih kode ke dalam bahasa Indonesia dengan dasar bahasa Jawa ngoko lugu. Alih kode dimaksudkan untuk mempertegas ucapan sehingga pesan yang hendak disampaikan mudah diterima. Selain digunakan dalam pengajian, bahasa Jawa ngoko lugu juga digunakan dalam rapat keagamaan dalam situasi tak resmi seperti tampak dalam tuturan berikut. (20) KONTEKS : RAPAT PERSIAPAN PERINGATAN ISRA MIRAJ P1
: Bapak-Bapak yang saya hormati, pada malam ini kita akan mengadakan
rapat koordinasi peringatan isra miraj nabi Muhammad S.A.W. Yang pertama laporan keungan dari panitia. Untuk itu saya mohon saudara Anto untuk melaporkan perolehan dana. P2
: Dana keseluruhan 2.345.000 rupiah yang diperoleh dari RW. 1 dan RW.2.
P3
: Mengko mbokan olih maning oh. (Nanti barangkali dapat lagi)
P4
: Ana sing durung dijaluki. Wingi wonge ora neng umah. (Ada yang belum dimintai. Kemarin orangnya tidak di rumah)
P1
: Sekarang susunan acara. Pra acara akan diisi oleh Ibu-ibu PKK.
P5
: Aja nganggo ibu-ibu PKK lah, wingi neng langar be ora apik ka. (Jangan memakai ibu-ibu PKK. Kemarin di Musala saja tidak bagus)
P6
: Ya nganggo lingkungane dewek oj. Sih pan nganggo sapa maning? Pan nganggo Pulo? (Kita memakai orang di lingkungan sendiri. Memang mau memakai siapa lagi? Mau memakai Pulo?)
P1
: Jadi acaranya sebagai berikut. Pra acara oleh ibu-ibu PKK. Acara inti: Pambacaan ayat-ayat alquran dan sholawat nabi, sambutan-sambutan, istirahat, acara inti, terakhir penutup.
P3
: Mbokan ana sing dikurangi apa ditambahi pumpung durung final. Kiye tah arane konsep. (Barangkali ada yag dikurangi apa ditambah mumpung
belum final. Ini namanya
konsep) P4
: Waktune kayong ora nyandak. Endah aja kebengen, acarane aja akehakeh. (Waktunya sepertinya tidak cukup. Supaya jangan terlalu malam,
acaranya jangan terlalu banyak) P1
: Sambutan-sambutan. Sambutan ketua panitia, sambutan kepala desa, sambutan ulama setempat.
P5
: Sambutane semono tok? (Sambutannya Cuma segitu?)
P7
: Aja akeh-akeh lah. Eben gelis, yen kesuwen wonge pada balik tuli. (Jangan
terlalu banyak. Biar cepat. Kalau terlalu lama orang yang berkunjung
pulang duluan) Peristiwa tutur di atas terjadi dalam ranah keagamaan dalam situasi agak resmi. dalam peristiwa tutur di atas tampak penggunaan bahasa Indonesia dan bahasa Jawa. Semula P1 membuka rapat dengan menggunakan bahasa Indonesia. P2 sebagai koordinator keuangan juga membacakan laporannya dengan menggunakan bahasa Indonesia. Selanjutnya peserta tutur menanggapi dengannya dengan menggunakan bahasa Jawa ragam ngoko lugu. Ragam ngoko lugu tampak dominan dalam peristiwa tutur tersebut. Pemilihan ragam ngoko lugu oleh para peserta tutur dilatarbelakangi oleh hubungan yang akrab antara peserta tutur. Pemilihan ragam ngoko lugu juga untuk menunjukkan sikap yang hangat dan kekeluargaan sehingga suasana rapat tidak kaku.
e. Ranah Pemerintahan Bahasa Jawa ngoko lugu juga tampak dominan digunakan dalam ranah pemerintahan dalam situasi takresmi. Di wilayah Tegal timur, utara, dan selatan menunjukkan persamaan yaitu digunakannya ragam ngoko lugu untuk berkomunikasi antarperangkat desa maupun perangkat desa dengan masyarakat ketika melakukan pelayanan. Penggunaan ragam ngoko lugu seperti tampak dalam tuturan berikut. (21) KONTEKS : PERCAKAPAN ANTARA PERANGKAT DESA DENGAN WARGA
P1
: U enyong wingi gawe KTP barang wis dadi jebule langka gelare? (U kemarin saya membuat KTP tapi setelah jadi ternyata tidak ada gelarnya)
P2
: Gelare apa sih? (Gelarnya apa?)
P1
: Spd oh. Dibenerna bisa ora? (Spd. Dibetulkan bisa tidak?)
P2
: Ya bisa, mengko takgawa maring kecamatan maning. (Ya bisa nanti saya bawa ke kecamatan lagi)
P1
: Mbayar maning apa ora? (Membayar lagi apa tidak?)
P2
: Ya mbuh ora ngarti. (Ya saya tidak tahu)
P1
: Sedina dadi oh ya, aja kesuwen oh, pan didinggo. (Sehari bisa kan, jangan terlalu lama, mau dipakai)
P2
: Ya mbesiki takusahakna endah dadi. (Ya besok saya usahakan biar jadi) Peristiwa tutur tersebut terjadi dalam dalam ranah pemerintahan dalam situasi santai.
Pemilihan bahasa Jawa ngoko lugu karena hubungan yang akrab dan tidak ada jarak antara peserta tutur. P1 bertanya dengan menggunakan bahasa Jawa ngoko lugu yang kemudian dijawab oleh P2 dengan menggunakan bahasa Jawa ngoko lugu. Selanjutnya P1 dan P2 berkomunikasi dengan menggunakan bahasa Jawa ngoko lugu. Percakapan antarperangkat desa dalam situasi takresmi, dominan dengan menggunakan ragam ngoko, seperti tampak dalam tuturan berikut. (22) KONTEKS : PERCAKAPAN ANTARPERANGKAT DESA TENTANG PAJAK P1
: Pajeke wis dibagi apa durung, mas? Enyong tah tembeke ditulisi.
(Pajaknya sudah dibagi apa belum, Mas? Saya baru ditulisi) P2
: Enyong tah durung. (Saya sih belum)
P1
: Pak Wage tah wis dibagi ya, Pak? (Pak Wage sudah dibagi ya, Pak?)
P3
: Durung koh. Wis rapi. Gari grenge. (Belum kok. Sudah rapi. Tinggal dibagi)
P1
: Tunjangan enggal metu oh. (Tunjangan mau keluar)
P2
: Nunggu bupati mbokan ana kenaikan. „ (Menunggu bupati, barangkali ada kenaikan) Percakapan di atas menggunakan ragam ngoko lugu yang terlihat pada tuturan P1, P2,
dan P3 dalam berkomunikasi. Pemilihan ragam ngoko dilakukan antarpenutur dalam ranah pemerintahan dalam situasi informal. Pemilihan ragam ngoko menunjukkan hubungan yang akrab antarpenutur.
4.1.1.2 Ngoko Kasar Bahasa Jawa ragam ngoko kasar ditemukan dalam penggunaan bahasa masyarakat pedesaan di Tegal. Ragam ngoko kasar digunakan dalam ranah rumah, ketetanggaan, dan pendidikan dalam situasi tak resmi. Ciri-ciri penggunaan ngoko kasar adalah sebagai berikut: 1. penggunaan
leksikon-leksikon yang tabu, yang tidak biasa digunakan dalam
percakapan sehari-hari seperti leksikon endhas, raimu, cewok, matanane melek, modar, takjembeti, dan waduke. Leksikon tersebut digunakan untuk mengungkapkan kekesalan.
2. ragam bahasa Jawa ngoko kasar biasa digunakan oleh orang-orang tertentu untuk menegaskan ucapannya, walaupun tidak dalam suasana hati sedang kesal. 3. ragam bahasa Jawa ngoko kasar digunakan oleh masyarakat pedesaan di Tegal untuk memarahi orang lain. Di wilayah Tegal timur, utara, dan selatan ditemukan adanya persamaan leksikon yang digunakan yaitu raimu, waduke, dan merad. Leksikon tersebut merupakan leksikon ragam ngoko kasar yang dominan digunakan untuk mengungkapkan kekesalan. Berikut bahasan mengenai penggunaan ragam ngoko kasar menurut ranah rumah, ketetanggaan, dan pendidikan.
a.Ranah Rumah Di dalam ranah rumah, bahasa Jawa ngoko kasar biasanya digunakan oleh seorang ibu ketika kesal kepada anaknya atau ketika sedang memarahi anaknya, seperti tampak dalam tuturan berikut. (23)KONTEKS : SEORANG IBU MEMARAHI ANAKNYA YANG BERUMUR 4 TAHUN DALAM RANAH RUMAH P
: Nangis bae sih koen. Angger ora meneng-meneng mengko endhase takgeblogna neng tembok. Bocah ka rewele nudug. Tiru sapa sih raimu. Bapane ya merad bae ora ngarti gentenan momong. (Menangis saja sih kamu. Kalau tidak diam, nanti kepalamu saya
benturkan ke
tembok. Anak ini rewel sekali. Kamu meniru siapa sih? Bapakmu juga pergi saja, tidak bisa buat bergantian momong) Tuturan di atas terjadi karena seorang ibu yang sedang kesal kepada anaknya yang tidak berhenti menangis. Tuturan di atas mengggunakan bahasa ngoko. Ada beberapa leksikon yang menggunakan bahasa Jawa ngoko kasar yaitu takgeblogna, endhase, raimu, dan merad.
Pemilihan leksikon takgeblogna dan
endhase yang merupakan kata yang kasar untuk
mempertegas ucapannya bahwa dia sedang marah. Kata seperti raimu dan merad merupakan kata yang kasar dalam bahasa Jawa dialek Tegal. Penutur menggunakan bahasa Jawa ngoko kasar karena dia sedang dalam keadaan marah.
b. Ranah Ketetanggaan Pemilihan ragam bahasa ngoko kasar juga terdapat dalam ranah ketetanggaan. Ragam ini biasanya digunakan oleh seseorang yang sedang marah kepada tetangganya, seperti terlihat dalam peristiwa tutur berikut. (24) KONTEKS : PERCAKAPAN ANTARA DUA ORANG IBU DALAM RANAH KETETANGGAAN P1
: Lagi apa koen? Bisane ora ngomong sih? Kuwe suruh ka nguja ditandur. Pan nggo cewok, lanange lagi neng umah? (Sedang apa kamu? Mengapa tidak bilang dulu? Suruh itu sengaja ditanam. Mau buat cebok ya, suamimu sedang di rumah ya?)
P2
: Kiye njaluk secuil. Pan nggo jamu, ora pan nggo cewok.„Ini minta sedikit. Mau buat jamu, bukan buat cebok.‟
P1
: Angger njaluk ya ngomong oh. Aja kur gari njukut! Matane melek oya. Genah ana wonge njongkot neng kene ya dimpeti bae. (Kalau minta bilang dulu. Jangan hanya ambil saja!‟ Matamu terbuka kan. Walaupun ada orang di sini tetap saja dipetik) Percakapan di atas terjadi dalam ranah ketetanggaan. Tuturan di atas menggunakan
bahasa Jawa ngoko. Ada beberapa kata yang menggunakan ragam ngoko kasar. Pemilihan ragam ngoko kasar untuk menunjukkan kemarahan P1. P1 memarahi P2 yang mengambil suruhnya tanpa pamit terlebih dahulu. Pemilihan ragam ngoko kasar oleh P1 karena ia
sedang marah kepada P2. Ragam ngoko kasar digunakan oleh P1 untuk menunpahkan kekesalannya. Adanya penggunaan kata cewok „cebok‟ yang merupakan kata tabu untuk diucapkan karena berhubungan dengan organ kewanitaan menunjukkan kemarahannya. P1 juga mengungkapkan kekesalan dengan menggunakan frase matane melek „matanya terbuka’. P2 menanggapinya dengan menggunakan bahasa Jawa ngoko tetapi bukan ngoko kasar agar tidak terjadi pertengkaran. Apabila sama-sama menggunakan ragam ngoko kasar maka akan terjadi pertengakaran. Pemilihan ragam bahasa Jawa ngoko lugu oleh P2 dengan harapan akan meredam suasana yang panas. Dalam ranah ketetanggaan, ragam ngoko kasar juga digunakan untuk mengungkapkan kekesalan, seperti tampak dalam tuturan berikut. (25) KONTEKS : ANTARA IBU-IBU DALAM RANAH KETETANGGAAN. P1
: Yu, listrike modar maning? (Yu, listriknya padam lagi?)
P2
: Iya, awit jam wolu. (Iya, sejak jam delapan)
P1
: Wingi tah wis modar sadina sih, bisane kiye modar maning. (Kemarin kan sudah padam sehari, kenpa ini padam lagi?)
P2
: Lha iya neng, wis modar sadina ya maksane ora marem bae. (Lha iya, sudah padam sehari tapi kurang puas juga)
P1
: Kudune PLNe dibledug. Dong mbayar ora olih let. Terlat sadina be langsung didenda. (Seharusnya PLN didemo. Kalau membayar tidak boleh terlambat. Terlambat sehari saja langsung didenda) Peristiwa tutur di atas dilakukan oleh dua orang ibu yang sedang kesal karena lampunya
padam terus-menerus. Tuturan di atas menggunakan ragam ngoko, namun ada beberapa kata yang menggunakan ragam ngoko kasar untuk menunjukkan kekesalan masing-masing peserta
tutur. Pemilihan ragam ngoko kasar untuk mengungkapkan kekecewaan mereka. Adanya kata modar „mati‟ menunjukkan pemakaian ragam ngoko kasar. P1 menggunakan kata modar „mati‟ dan P2 juga meresponsnya dengan kata modar „mati‟.
c. Ranah pendidikan Bahasa Jawa ngoko kasar ditemukan dalam ranah pendidikan dalam situasi tak resmi walaupun intensitasnya sedikit seperti terlihat dalam peristiwa tutur di bawah ini. (26) KONTEKS : PERCAKAPAN ANTARA GURU DENGAN MURID-MURIDNYA P1
: Bocah kelas enem, kiye pada mene, kiye jajane bu Guru ditokoni. (Anak-anak kelas enam? Ayo ke sini. Ini kuenya bu Guru dibeli)
P2
: Duwite enteng. (Uangnya habis)
P1
: Angger ora pada mene takjembeti siji-siji. Saiki pada sombong-sombong. (Kalau tidak ke sini, nanti saya pentang satu-persatu. Sekarang sombong-sombong)
P2
: Utang olih? (Hutang boleh?)
P1
: Ya wis mene oh, ngko esuk kudu nyaur. (Ya sudah boleh. Besok harus bayar ya) Peristiwa tutur di atas terjadi dalam ranah pendidikan dalam situasi santai antara guru
yang menjual makanan dengan murid-murid kelas enam. P1 memilih penggunaan bahasa Jawa ngoko karena berada dalam situasi santai pada jam istirahat sekolah. Selain itu, karena status sosial guru yang lebih tinggi daripada murid menyebabkan dipilihnya bahasa Jawa ngoko. Peggunaan ragam ngoko kasar dalam kalimat takjembeti siji-siji untuk menakutnakuti P2 agar mau membeli dagangannya. Kalimat seperti itu tidak seharusnya diucapkan oleh seorang guru meskipun dalam situasi informal di luar kelas. P2 menjawab pertanyaan
dari gurunya dengan menggunakan bahasa Jawa ngoko. Seharusnya murid kepada guru tidak menggunakan ragam ngoko, karena guru lebih tua daripada murid. Murid seharusnya menggunakan bahasa indonesia atau bahasa Jawa krama. Pemilihan bahasa Jawa ngoko oleh P2 karena hubungan yang akrab dengan gurunya meskipun status sosialnya berbeda. Pemilihan bahasa Jawa ngoko oleh murid kepada gurunya juga karena pembiasaan yang dilakukan oleh guru yaitu selalu menggunakan bahasa Jawa ngoko ketika berkomunikasi dengan murid-muridnya, sehingga murid meniru apa yang dilakukan oleh gurunya. Dalam situasi lain guru tersebut berkomunikasi dengan wali murid dengan menggunakan bahasa Jawa ngoko yang di dalamnya juga terdapat ragam ngoko kasar seperti tampak dalam tuturan di bawah ini. (27) KONTEKS : PERCAKAPAN ANTARA GURU DENGAN WALI MURID P1
: Bu, domongna Pak Priyo ya kena oh. Kelas telu balike aja awan-awan. Sakale guru honorer be bayarane langka ka mulange kiyeng nemen. Kelas liya wis pada balik ya kelas telu durung dewek. (Bu, disampaikan ke Pak Priyo. Kelas tiga pulangnya jangan terlalu siang. Pak Priyo kan guru honorer, gajinya tidak ada tapi mengajarnya semangat sekali. Kelas lain sudah pulang, kelas tiga belum pulang)
P2
: Bayarane langka waduke? Priyo guru honorer tapi proyeke akeh. Wadone dagangan neng njero. Priyone ngelesi bocah akeh nemen. (Gajinya tidak ada? Priyo itu honorer tapi banyak proyek. Istrinya berjualan di dalam sekolah. Priyo juga memberi les pada banyak murid)
P1
: Sih saiki wadone dagangan? (Memang sekarang istrinya berjualan ya)
P2
: Wis suwe. Langka-langka oh honorer bisa dagangan neng njero. (Sudah lama. Tidak ada honorer bisa berjualan di dalam selain Priyo)
Peristiwa tutur di atas terjadi dalam ranah pendidikan antara wali murid yang mengadukan guru anaknya dengan seorang guru. Pemilihan ragam ngoko oleh P1 karena hubungan yang akrab dengan guru meskipun status sosialnya berbeda. P2 menggunakan ragam ngoko untuk berbicara dengan P1 juga karena hubungan yang sudah akrab. Pemilihan kata waduke yang termasuk sangat kasar dalam bahasa Tegal untuk mempertegas kalimat sebelumnya yaitu bayarane langka. Kata waduke dipilih untuk mempertegas bahwa sebenarnya bayarannya banyak.
4.1.2 Ragam Krama Bahasa Jawa ragam krama digunakan untuk menyatakan kesantunan berbahasa dalam masyarakat pedesaan di Tegal. Ragam krama digunakan untuk menyatakan rasa hormat kepada anggota masyarakat lainnya. Ragam krama digunakan dalam situasi-situasi tertentu saja, misalnya situasi formal, tidak dominan digunakan seperti penggunaan ragam ngoko. Pemilihan bahasa Jawa krama tampak dalam berbagai ranah sosial seperti ranah rumah, ketetanggaan, pendidikan, keagamaan, dan pemerintahan. Pemilihan ragam krama meliputi krama madya dan krama alus.
4.1.2.1 Krama Madya Bahasa Jawa ragam krama digunakan masyarakat pedesaan di Tegal untuk berinteraksi secara verbal dalam berbagi ranah sosial seperti ranah rumah, ketetanggaan, pendidikan dalam situasi tak resmi, keagamaan, dan pemerintahan dalam situasi tak resmi. Ragam krama ini untuk menunjukkan rasa hormat kepada orang lain. Ciri-ciri penggunaan ragam krama yaitu adanya penggunaan leksikon seperti kula „saya‟, nopo ‘kenapa‟, mboten „tidak‟, pripun ‘bagaimana‟, dan sebagainya.
Bahasa Jawa krama yang digunakan di wilayah Tegal berbeda dengan bahasa Jawa krama baku. Bahasa Jawa krama baku tidak digunakan secara mutlak, yang digunakan dalam tuturan adalah bahasa Jawa krama madya. Hal ini tampak dalam penggunaan sufiks. Sufiks ipun yang ada dalam bahasa Jawa krama baku tidak digunakan, tetapi digunakan sufiks –e, na, dan aken. Prefiks dipun- yang terdapat dalam ragam krama juga tidak digunakan, yang digunakan dalam tuturan adalah prefiks di-. Di dalam masyarakat pedesaan di Tegal, bahasa Jawa krama digunakan untuk menghormati orang yang status sosialnya lebih tinggi daripada penutur. Bahasa Jawa krama juga digunakan untuk menyatakan kesantunan berbahasa pada orang lain. Di wilayah Tegal timur, utara, dan selatan menunujukkan adanya persamaan yaitu digunakannya ragam krama lugu oleh menyatakan kesantunan berbahasa kepada orang lain. Berikut bahasan mengenai pemilihan ragam krama lugu menurut ranah rumah, ketetanggaan, pendidikan, keagamaan, dan pemerintahan.
a.Ranah Rumah Penggunaan bahasa Jawa krama digunakan dalam ranah rumah oleh menantu dan mertua seperti tampak dalam peristiwa tutur berikut. (28) KONTEKS : PERCAKAPAN ANTARA MENANTU DAN MERTUA DALAM RANAH RUMAH P1
: Bu niku wonten tiyang sade jampi, bade tumbas mboten? (Bu, itu ada orang jual jamu, mau beli apa tidak?‟
P2
: Iya. (Iya)
P1
: Ngangge gelase tiyambek? (Pakai gelas sendiri?)
„
P2
: Iya oh.kae njukut neng mburi. (Ya. Itu ambil di belakang)
P1
: Jampi nopo, Bu? (Jamu apa, Bu?)
P2
: Kunir asem. Duwite jukutna neng slorok lemari. (Kunir asem. Ambilkan uang di laci dulu)
P1
: Niki ngagem artone kulo riyin. (Ini pakai uang saya dulu) Percakapan di atas terjadi antara penutur 1 menantu dan penutur 2 yang merupakan
mertua. Pemilihan bahasa Jawa krama oleh P1 untuk menunjukkan rasa hormat sebagai menantu. Leksikon yang digunakan oleh P1 adalah ragam krama madya seperti niku „itu‟, tumbas ‘membeli‟, ngangge „memakai‟, gelase „gelasnya‟, nopo „kenapa‟, niki „ini‟, tiyambak ‘sendiri‟, dan artone ‘uangnya‟. Kata-kata tersebut seharusnya adalah punika, mundhut, ngagem, gelasipun, punapa, piyambak, dan artonipun. P2 memilih bahasa Jawa ragam ngoko karena status sosialnya yang lebih tinggi daripada P1. P2 juga memilih ragam ngoko untuk menciptakan hubungan yang akrab dengan menantunya. Bahasa Jawa krama juga ditemukan dalam ranah rumah antara ibu dan anak. Seorang ibu dari profesi yang terpandang serperti pegawai negeri dan pedagang dengan latar belakang pendidikan SLTA dan sarjana akan berbicara kepada anaknya dengan bahasa Jawa krama lugu. Demikian juga si anak akan berbahasa yang sama dengan ibunya. Seharusnya ibu kepada anak menggunakan bahasa ngoko, tetapi untuk mengajarkan kesantunan berbahasa, ibu memilih penggunaan ragam krama. Pemilihan bahasa Jawa krama oleh si ibu dengan tujuan agar anaknya mampu berbahasa Jawa halus sehingga anak akan berbahasa dengan santun tidak hanya dengan anggota keluarganya tetapi juga dengan orang lain. Berikut data tentang penggunaan bahasa Jawa krama dalam ranah rumah.
(29) KONTEKS :
PERCAKAPAN
ANTARA
IBU
DAN
ANAK
(KELUARGA
PEDAGANG) P1
: Fan mriki ibu bade sanjang. (Fan, sini, ibu mau bilang)
P2
: Nopo Bu? (Apa, Bu?)
P1
: Sanjangaken Yu Raminah ibu mangke bade titip arisan. (Bilangin Yu Raminah, ibu nanti mau titip arisan)
P2
: Ibu mboten pangkat? (Ibu tidak berangkat?)
P1
: Mboten. (Tidak)
P2
: Kenging nopo sih bu? (Kenapa, Bu?)
P1
: Sirahe mumet. (Kepalanya pusing) Percakapan di atas terjadi dalam ranah rumah antara ibu dan anaknya. P1 menggunakan
bahasa Jawa krama kepada P2 dan P2 juga menggunakan bahasa Jawa krama untuk merespons tuturan P1. Pemilihan bahasa Jawa ragam krama yang dilakukan oleh P1 karena P1 ingin mengajari kesantunan berbahasa kepada anaknya. Ragam krama diajarkan oleh orang tua kepada anaknya dengan harapan anaknya akan berbakti dan menghormati orang tua melalui penggunaan bahasanya. Biasanya anak-anak yang diajari dengan bahasa krama oleh orang tuanya bahasa tersebut akan terbawa dalam kehidupan sehari-hari, ketika ia berkomunikasi dengan anggota masyarakat lainnya.
Pada percakapan di atas yang digunakan adalah bahasa Jawa krama madya yang tampak dalam pilihan kata seperti nopo kenapa‟, sanjangaken ‘disampaikan‟, pangkat ‘berangkat‟, dan sirahe „kepalanya‟ . Kata-kata tersebut seharusnya adalah punapa, dipun sanjangake, tindhak, dan sirahipun. Pada keluarga pegawai negeri sipil, seorang ibu juga berbahasa Jawa krama kepada anaknya, seperti tampak dalam peristiwa tutur berikut. (30) KONTEKS : PERCAKAPAN ANTARA IBU DENGAN ANAK (KELUARGA PEGAWAI NEGERI) P1
: Fit pendetna buku kondangan teng nginggile lemari plastik. (Fit ambilkan buku kondangan di atas lemari plastik)
P2
: Sing alit, Bu? (Yang kecil, Bu?)
P1
: Sing panjang, warnane biru. Kalih pulpene nggih? (Yang panjang, warnanya biru. Sama balpoinnya ya?)
P2
: Wontene sing ijem, Bu? (Adanya yang hijau, Bu?)
P1
: Niku tah canes buku kondangan oh. Nopo teng meja makan nggih? (Itu sih bukan buku kondangan. Apa di meja makan ya?)
P2
: Mboten wonten ka, Bu? Ibu ndekene kesupen ndean. (Tidak ada kok, Bu? Ibu mungkin menaruhnya lupa) Peristiwa tutur di atas terjadi antara ibu dan anak dalam ranah rumah. P1 menggunakan
ragam krama lugu kepada anaknya, sedangkan P2 juga meresponsnya dengan bahasa yang sama. Penggunaan leksikon nginggile „di atas‟, alit „kecil‟, nggih „ya‟, wonten ‘ada‟, mboten „tidak‟, ijem „hijau‟, niku ‘itu‟, canes ‘bukan‟, nopo „apa‟, kesupen „lupa‟ menunjukkan adanya ragam krama. Ragam krama madya tampak pada leksikon pendetna, nopo, nginggile, sing, warnane, dan wontene. Seharusnya leksikon tersebut adalah dipun pendetna, punapa,
nginggilipun, ingkang, warnanipun, dan wontenipun. Pemilihan ragam krama
oleh ibu
kepada anak untuk mengajarkan kesantunan berbahasa kepada anaknya. Dalam peristiwa tutur lain, bahasa Jawa krama digunakan oleh ibu dan anak seperti tampak dalam data berikut. (31) KONTEKS : PERCAKAPAN ANTARA IBU DAN ANAK (KELUARGA GURU) P1
: Kaose gantos, Lut. Kaos niku mpun apek, dingge awit dinten rebo. (Ganti kaos, Lut. Kaos itu sudah bau apek, dipakai sejak hari rabu)
P2
: Sisan kotor nggih, Bu, mboten usah gantos. (Biar kotor sekalian ya, Bu.
P1
tidak usah ganti)
: Gantos lah. Mpun kotor ka, ibu wau pan ngumbah kaos niku kesesep. (Ganti saja. Sudah kotor, ibu tadi waktu mencuci kaos itu terselip)
P2
: Sih gantos kaos pundi? (Ganti kaos mana?)
P1
: Sing abrit lerek-lerek. (Yang merah lerek-lerek)
P2
: Sing tasmania mawon nggih, Bu? (Yang tasmania saja ya, Bu?)
P1
: Sampun. Niku bade dingge dong kondangan teng Sarini. (Jangan. Itu mau dipake kalau kondangan di Sarini)
P2
: Kondangane kapan sih, Bu? (Kondangannya kapan sih, Bu?)
P1
: Mbokan mangke sonten artone mpun wonten ya mangke sonten. (Barangkali nanti sore uangnya sudah ada ya nanti sore)
P2
: Mangke Lutfi nderek nggih, Bu? (Nanti Lutfi ikut ya, Bu?)
P1
: Nggih. (Ya) Percakapan di atas terjadi dalam ranah rumah antara ibu dan anak. P1 memulai
percakapan dengan menggunakan krama dengan harapan P2 (anaknya) akan menggunakan ragam yang sama. P2 merespons ucapan P1 dengan bahasa Jawa krama. Pemilihan bahasa Jawa krama oleh P1 agar anaknya mampu berbahasa Jawa dengan halus terutama kepada kedua orang tuanya atau dengan orang yang lebih tua darinya. Leksikon yang digunakan dalam tuturan tersebut merupakan leksikon krama madya yaitu kaose „kaosnya‟, niku „itu‟, mpun „sudah‟, dingge ‘dipakai‟, dan sing „yang‟. Seharusnya leksikon tersebut adalah kaosipun, puniku, sampun, dipun dagem, dan ingkang. Ada juga penggunaan kata dialek Tegal yaitu dong „kalau‟. Seharusnya kata tersebut adalah menawi. Dari data di atas dapat disimpulkan bahwa bahasa Jawa krama digunakan dalam ranah rumah antara anak dan mertua dan antara ibu dan anak. Pemilihan bahasa Jawa krama karena untuk menghormati orang tua dan untuk mengajarkan kesantunan berbahasa kepada anak. Bahasa Jawa krama yang digunakan adalah ragam krama madya.
b. Ranah Ketetanggan Penggunaan bahasa Jawa krama juga ditemui dalam ranah ketetanggaan. Di wilayah Tegal timur, utara, dan selatan, menunjukkan adanya persamaan yaitu digunakan krama untuk berkomunikasi dengan seseorang yang status sosialnya tinggi di lingkungan tempat tinggalnya. Sama dengan ragam krama yang digunakan dalam ranah rumah, ragam krama yang digunakan adalah ragam krama madya. Hubungan yang tidak akrab dan berjarak menyebabkan dipilihnya ragam tersebut. Bahasa Jawa krama
juga digunakan untuk
berkomunikasi dengan seseorang yang baru dikenal. Berikut data penggunaan bahasa Jawa krama dalam ranah ketetanggaan.
(32) KONTEKS :
PERCAKAPAN
ANTARA
DUA
ORANG
DALAM
RANAH
KETETANGGAAN P1
: Tindhak pundi, Pak Haji? (Pergi kemana, Pak Haji?)
P2
: Kondangan. (Kondangan)
P1
: Kondangan teng pundi? (Kondangan di mana?)
P2
: Neng Ririn. (Di Ririn)
P1
: Daning tiyambekan, mboten kalih bu haji? (Kok sendirian, tidak bareng bu haji?)
P2
: Ibu sinoman neng kono awit mau esuk. (Ibu sedang membantu di sana) Percakapan di atas dilakukan oleh P1 yang menggunakan bahasa Jawa krama kepada
P2. Pemilihan ragam krama
digunakan oleh masyarakat pedesaan di Tegal kepada orang
yang status sosialnya lebih tinggi untuk menghormati. Orang yang bergelar haji merupakan orang yang berstatus sosial tinggi sehingga banyak yang menggunakan bahasa Jawa krama kepadanya. Selanjutnya, P2 merespons ucapan P1 dengan menggunakan bahasa Jawa ngoko. Pemilihan ragam ngoko oleh P2 karena P2 usianya lebih tua daripada P1. Ragam krama madya dalam peristiwa tutur di atas tampak dalam leksikon daning „kok‟, dan kalih „sama‟. Seharusnya leksikon tersebut adalah punapa dan kaliyan. Ragam krama lugu juga digunakan oleh orang yang baru dikenal dalam ranah ketetanggan seperti tampak dalam tuturan berikut.
(33) KONTEKS : PERCAKAPAN ANTARA PENJUAL BUAH DENGAN SEORANG IBU P1
: Bu peleme bade disade? (Bu, mangganya mau dijual?)
P2
: Mboten. (Tidak)
P1
: Eman-eman oh, Bu. Niku pating krantil. (Sayang dong, Bu. Itu ada sedikit)
P2
: Mboten, Um? (Tidak, Um?)
P1
: Menawi bade disade takbayari gangsal ewu? (Kalau mau dijual, saya bayar lima ribu rupiah)
P2
: Pinten? (Berapa?)
P1
: Gangsal ewu. (Lima ribu)
P2
: Prengasane duwit limang ewu akeh nemen iya, Um? (Memang uang lima ribu banyak sekali ya, Om?)
P1
: Ya kena nggo imbuh-imbuh. Nggih, Bu, bade disade? (Ya bisa buat tambahan. Iya bu, mau dijual?)
P2
: Ora. (Tidak)
P1
: Eman-eman oh, Bu. Timbang dipangani codot. (Sayang, Bu daripada dimakan kelelawar)
P2
: Ya suka dipangan codot.
(Lebih baik dimakan codot saja) Percakapan di atas terjadi antara penjual mangga yang menawar mangga di pohon kepada pemiliknya. Pemilihan bahasa Jawa krama dilakukakn oleh P1 kepada P2 karena P1 baru mengenal P2. P2 merespons dengan bahasa Jawa krama karena tidak mengenalnya. Hubungan yang tidak akrab antarpenutur menyebabkan dipilihnya bahasa Jawa krama. P2 beralih kode ke dalam bahasa Jawa ngoko karena P1 menawar dengan harga yang sangat murah sehingga P1 merasa marah. Peralihan kode ke dalam bahasa Jawa ngoko karena P2 marah dengan ucapan P1. Karena P2 menggunakan bahasa Jawa ngoko lugu maka P1 pun beralih kode ke dalam bahasa Jawa ngoko lugu. Penggunaan kata sapa um biasa terjadi dalam bahasa Tegal untuk menggantikan kata sapa bapak.
c. Ranah Pendidikan Penggunaan bahasa Jawa krama juga terlihat pada ranah pendidikan dalam situasi tak resmi di luar kelas antara guru dan orang tua murid. Di wilayah Tegal timur, utara dan selatan menunujukkan adanya persamaan pemakaian bahasa Jawa krama di lingkungan sekolah dalam situasi tak resmi seperti tampak dalam tuturan berikut.
(34) KONTEKS : PERCAKAPAN ANTARA GURU DAN WALI MURID P1
: Wonten perlu nopo, Bu? (Ada perlu apa, Bu)
P2
: Niki, Pak. Badhe mbayar bukune Isti. (Ini, Pak. Mau membayar bukunya Isti)
P1
: Oh nggih, pinarak riyin, Bu. (Oh ya, silakan duduk, Bu)
P2
: Nggih maturnuwun.
(Ya terimakasih) P1
: Mbayar buku pinten, Bu? (Membayar berapa buku, Bu)
P2
: Sedaya. Gangsal. (Semua. Lima)
P1
: Gangsal dadose tigang doso gangsal. (Lima berarti tiga puluh lima ribu)
P2
: Nggih niki artone. Matur nuwun nggih, Pak. (Ya, ini uangnya. Terima kasih ya, Pak)
P1
: Nggih, sami-sami. (Ya, sama-sama) Percakapan di atas menggunakan bahasa Jawa ragam krama yang dapat dilihat dari
leksikon seperti nggih „ya‟, matur nuwun ‘terimakasih’, sedaya ‘semua‟, gangsal „lima‟, dados „jadi‟, niki „ini‟, sami-sami „sama-sama‟. Penggunaan ragam krama madya tampak dalam leksikon riyin „sekarang‟, dadose ‘jadinya‟, niki „ini‟, dan artone ‘uangnya‟. Seharusnya leksikon tersebut adalah rumiyin, dadosipun, dan punika. Pemilihan ragam krama yang dilakukan oleh P1 yang merupakan wali murid karena untuk menghormati P2 yang berprofesi sebagai guru dan peristiwa tutur tersebut juga terjadi dalam lingkup pendidikan. P2 juga menggunakan ragam krama karena untuk menghormati P1. Hubungan antara kedua penutur yang tidak akrab juga menyebabkan pemilihan ragam krama.
d. Ranah Keagamaan Pemilihan ragam krama juga tampak dalam ranah keagamaan (pengajian). Di wilayah Tegal timur, utara, dan selatan menunjukkan adanya persamaan yaitu digunakannya ragam
krama oleh ustad ketika memberikan ceramah kepada jamaahnya, seperti tampak dalam tuturan berikut. (35) KONTEKS : TUTURAN USTAZ DALAM PENGAJIAN IBU-IBU DALAM RANAH AGAMA P1
: Wingi pada teka? Alhamdulilah. Punika bapake kula awit umur pitung tahun ngantos pitulas tahun. Hikmah daripada bulan rajab disebutkan akeh-akeh istighfar. Istighfar kados mekaten. Monggo kula miwiti mangke njenengan nirokaken. Jumlahe pinten? Sebanyak 70 kali. Istigfar niki mudah-mudahan bermanfaat. Tujuh puluh niku sadina sawengi pan disepisan ya kena pan dicicil ya kena. Umpamane badha ashar telung puluh lima, bada maghrib telung puluh lima. Dibaca pagi dan sore pada bae. (Kemarin datang? Alhamdulilah. Itu bapak saya sejak umur tujuh tahun sampai tujuh belas tahun. Hikmah bulan raja disebutkan bahwa kita banyak membaca solawat, istighfar sepeti ini. Mari saya dulu nanti ibu-ibu menirukan. Jumlahnya berapa? Tujuh puluh kali. Istigfar ini mudah-mudahan bermanfaat. Tujuh puluh
dibaca sehari
semalam. Mau dibaca sekali boleh, dicicil juga boleh. Umpamanya habis asar dibaca tiga puluh lima, habis maghrib tiga puluh lima. Dibaca pagi dan sore) Tuturan di atas diucapkan oleh seorang ustaz yang sedang berceramah kepada ibu-ibu pada waktu pengajian. Dalam tuturan tersebut banyak terjadi alih kode dan campur kode dalam bahasa Jawa dan bahasa Indonesia dengan dasar bahasa Jawa krama lugu. Semula penutur menggunakan bahasa Jawa ngoko yang terlihat pada kalimat wingi padha teka? Selanjutnya P1 beralih kode ke dalam bahasa Jawa krama yang tampak dominan pada tuturan berikutnya. Untuk memperjelas ucapan, P1 beralih kode ke dalam bahasa Indonesia yang tampak pada kalimat sebanyak tujuh puluh kali. Adanya alih kode ke dalam bahasa Jawa ngoko dan bahasa Indonesia dimaksud oleh penutur agar P2 lebih jelas dalam
menangkap pesan yang hendak disampaikan. Pemilihan ragam krama oleh P1 karena untuk menghormati ibu-ibu yang mayoritas usianya sudah tua. Kesantunan berbahasa dari yang muda kepada yang lebih tua biasa dilakukan dengan menggunakan ragam krama. Ragam krama yang digunakan dalam peristiwa tutur di atas adalah ragam krama madya. Hal ini tampak dalam leksikon yang digunakan yaitu umpamane „misalnya‟, disepisan „satu kali‟, dicicil, dan jumlahe. Seharusnya leksikon tersebut adalah umpamanipun, dipun sepindah, dipun kalih, dan jumlahipun.
e. Ranah Pemerintahan Ragam krama juga digunakan dalam ranah pemerintahan. Di wilayah Tegal timur, selatan, dan utara menunjukkan adanya persamaan yaitu digunakannya ragam krama oleh perangkat desa kepada kepala desa karena kepala desa merupakan atasan yang harus dihormati sehingga dipilih ragam krama. Hubungan antara atasan dan bawahan menyebabkan dipilihnya ragam krama. Penggunaan ragam krama seperti tampak pada percakapan berikut. (36) KONTEKS : PERCAKAPAN ANTARA PERANGKAT DESA DENGAN KEPALA DESA TENTANG PROPOSAL PEMBUATAN TPA P1
: Bu, niki badhe nyuwun tapak asma. Niki proposal TPA. Jane sih wingi, tapi Bu Lurah tindhak. (Bu, ini mau minta tanda tangan. Ini proposal TPA. Seharusnya kemarin, tapi bu Lurah pergi)
P2
: Muride katah? (Muridnya banyak?)
P1
: Muride wolung doso gangsal. (Muridnya delapan puluh lima)
P2
: Sing mucal sinten?
(Yang mengajar siapa?) P1
: Sing mucal Rakumi, ustad Amin, terus estrine ustaz Amin. (Yang mengajar Rakumi, ustaz Amin, terus istrinya ustaz Amin)
P2
: Berarti tigo? (Berarti tiga?)
P1
: Nggih, tigang kelas. (Ya, tiga kelas) Percakapan di atas dilakukan oleh penutur dengan menggunakan ragam krama yang
terlihat pada leksikon yang digunakan. Pemilihan ragam krama dilakukan oleh penutur dalam ranah pemerintahan. Penutur 1 sebagai bawahan menggunakan ragam krama untuk menghormati atasannya yaitu kepala desa, sedangkan P2 juga merespons dengan ragam yang sama
karena menghormati P1 yang menggunakan ragam krama ketika berkomunikasi
dengannya. Penggunaan bahasa Jawa krama
oleh P2 kepada P1 juga karena P2 yang
menghormati P1 yang umurnya lebih tua dari P2. Penggunaan ragam krama madya tampak pada leksikon niki „ini‟, muride „muridnya‟, sing „yang‟, dan estrine „istrinya‟. Seharusnya leksikon tersebut adalah punika, muridipun, ingkang, dan estrinipun.
4.1.2.2 Krama Alus Bahasa Jawa ragam krama alus juga ditemukan dalam masyarakat pedesaan di Tegal walaupun intensitasnya sedikit. Ragam ini biasanya digunakan oleh orang-orang tertentu yang menguasainya karena banyak orang Tegal yang tidak menguasainya.
Biasanya
penggunaan ragam krama alus kurang mendapat respons dari lawan tutur, karena kurang bisa dipahami oleh lawan tutur. Penggunaan ragam ini dilakukan untuk menghormati lawan tutur. Ragam ini biasanya hanya digunakan pada situasi-situasi resmi dalam ranah keagamaan, seperti, ceramah oleh ustad, khotbah jumat, sambutan ketua panitia hari besar keagamaan,
dan tuturan pewara dalam acara pengajian. Ciri-ciri penggunaan bahasa Jawa krama alus yaitu penggunaan leksikon-leksikon dalam bahasa Jawa krama alus, penggunaan pronomina persona pertama kawula „saya‟, dan penggunaan pronomina persona kedua panjenengan. Di wilayah Tegal timur, utara, dan selatan menujukkan persamaan yaitu penggunaan ragam ini hanya dalam ranah keagamaan. Penggunaan bahasa Jawa krama alus dalam ranah agama tampak dalam tuturan berikut. (37) KONTEKS : PERCAKAPAN ANTARA USTAZ DAN IBU-IBU PADA ACARA PENGAJIAN DALAM RANAH AGAMA P1
: Ibu-ibu sekalian, ing ndalu punika kawula bade nerangaken masalah gesang istikomah, pejah khusnul khotimah. Ibu-ibu ngertos mboten artosipun istikomah? (Ibu-ibu sekalian, pada malam ini saya akan menerangkan masalah hidup istikomah. Mati khusnul khotimah. Ibu-ibu tahu apa tidak artinya istikomah?)
P2
: Mboten. (Tidak)
P1
: Pengin ngertos mboten Bu artosipun istikomah. (Ingin tahu apa tidak Bu artinya istikomah?
P2
: Pengin. (Ingin)
P1
: Istikomah punika artosipun jejeg mboten bolak-balik. (Istikomah itu artinya tetap tidak bolak balik) Peristiwa tutur di atas terjadi dalam ranah agama antara ustaz dan ibu-ibu pengajian.
Pemilihan bahasa Jawa krama alus dilakukan oleh P1 karena menghormati ibu-ibu yang sedang mengikuti pengajian dalam situasi agak resmi. Penggunaan krama alus juga dilakukan oleh ibu-ibu untuk menjawab pertanyaan dari ustaz yang menggunakan ragam krama alus.
Dalam peristiwa tutur lain dalam ranah keagamaan juga tampak penggunaan ragam krama alus, seperti terlihat dalam data berikut. (38) KONTEKS : TUTURAN OLEH PEWARA DALAM ACARA PENGAJIAN IBU-IBU DALAM RANAH AGAMA P1
: Assalamualaikum warohmatullahiwabarokatuh. Dumateng para ibu ingkang kawula hormati, Dumateng sohibul bait ingkang kawula hormati, Monggo kita sareng-sareng manjataken puja lan puji syukur dumateng Allah Swt., sehingga kita ing dinten niki saged kempal malih wonten acara pengajian rutin ibu-ibu Nurjanah ingkang bertempat wonten dalemipun Ibu hajjah suratih. Solawat lan salam mugi-mugi tetep kita limpahaken dumateng junjungan kita nabi muhammad Saw. Kangge mbuka acara punika, monggo kita sareng-sareng maos umul kitab, al fatihah, supados acara niki saged lancar ngantos akhir mboten wonten alangan nopo-nopo. (Kepada para ibu yang saya hormati. Kepada tuan rumah yang saya hormati, mari kita bersama-sama memanjatkan puja dan puji syukur kepada Allah swt. Sehingga kita pada hari ini bisa berkumpul kembali dalam acara pengajian rutin ibu-ibu Nurjanah yang bertempat di rumah ibu hajjah Suratih. Solawat dan salam semoga tetap kita limpahkan kepada junjungan kita nabi Muhammad Saw. Untuk membuka acara ini, marilah kita bersama-semaa membaca umul kitab, Al fatihah, supaya acara ini bisa lancar sampai akhir, dan tidak ada halangan apa pun) Tuturan di atas diucapkan oleh seorang pewara dalam pengajian ibu-ibu. Dalam tuturan
tersebut tampak penggunaan bahasa Jawa krama alus yang tampak dalam leksikon yang digunakan yaitu dumatheng, kawula, ingkang, dsb. Dalam tuturan tersebut terdapat campur kode ke dalam bahasa Indonesia yang terdapat pada kata sehingga dan bertempat. Adanya
campur kode ini karena penutur tidak menguasai kata tersebut dalam bahasa Jawa krama alusnya. Pemilihan ragam krama alus oleh pembicara untuk menghormati ibu-ibu yang usianya sudah tua. Di samping itu, peristiwa tutur tersebut juga terjadi dalam situasi agak resmi sehingga dipilihlah ragam krama alus. Pemilihan ragam krama alus juga digunakan dalam ranah keagamaan seperti tampak dalam peristiwa tutur berikut. (39) KONTEKS : TUTURAN OLEH KETUA PANITIA DALAM MEMBERIKAN SAMBUTAN PADA PERINGATAN ISRA MIRAJ P1
: Assalamualaikum warahmatullohiwabarokatuh, Dumateng Kepala desa, Bapak Zaeni ingkang kawula hormati, Dumateng para alim ulama ingkang kawula hormati, Dumateng para tamu undangan ingkang kawula hormati, Dumateng hadirin ingkang kawula hormati, Alhamdulilah ing ndalu punika kawula lan panjenengan sedaya saged rawuh wonten masjid Baiturrokhim punika kangge meringati isra miraj nabi Muhammad Saw. Kawula makili panitia ngaturaken maring panjenengan sedaya matur nuwun merga panjenengan saged rawuh ing ndalu punika. Mudah-mudahan amal panjenengan sedaya angsal piwalesan saking Gusti Allah. Kawula nyuwun agenge pangapunten menawi pelaksanaan peringatan niki katah kiranganipun. Cekap semanten sambutan saking kawula. Wassalamualaikum warohmatullahi wabarokatuh Kepada Bapak Kepala Desa, Bapak Zaeni yang saya hormati, Kepada alim ulama, yang saya hormati, Kapada tamu undangan yang saya hormati, dan Kepada hadirin yang saya hormati, Alhamdulilah, pada malam hari ini saya dan Anda sekalian bisa hadir di masjid Baiturokhim untuk memperingati peringatan isra miraj nabi Muhammad Saw.
Saya mewakili panitia, mengucapkan terimakasih kepada Anda semua karena bisa hadir pada malam ini. Mudah-mudahan amal Anda semua mendapat balasan dari gusti Allah. Saya minta maaf apabila pelaksanaan peringatan ini masih banyak kekurangannya.
Cukup
sekian
sambutan
dari
saya.
Wassalamualaikum
warohmatullohiwabarokatuh. Tuturan di atas dilakukan oleh wakil panitia penyelenggara peringatan isra miraj. Dalam tuturan tersebut tampak bahwa penutur menggunakan bahasa Jawa krama alus dalam berpidato. Pemilihan ragam krama alus oleh penutur karena kebiasaan penutur yang selalu berbicara di depan umum dengan menggunakan ragam krama alus. Di samping itu latar belakang penutur yang bukan berasal dari daerah Tegal juga menentukan dipilihnya ragam krama alus tersebut. Pemilihan ragam krama alus oleh P1 untuk menghormati lawan tutur. Khotbah Jumat dalam ranah keagamaan dalam masyarakat pedesaan di Tegal menggunakan bahasa Indonesia maupun bahasa Jawa ragam krama alus. Mayoritas menggunakan bahasa Indonesia karena bahasa Indonesia lebih mudah dipahami oleh jamaah daripada menggunakan bahasa Jawa krama alus sehingga pesan yang disampaikan akan lebih mengena. Walaupun jarang, tapi ada juga khotib yang selalu menggunakan bahasa Jawa krama alus seperti tampak dalam tuturan berikut. (40)P1 : Sedherek-sedherek muslimin rohimakumulloh.. Saben manungsa mesti kagungan pepinginan supados gesangipun sae tur sakeca, punapa punika piyambakipun pribadi punapa dene kaluwarganipun. Tiyang ingkang ngudi kawruh kanthi susah payah wiwit alit dumugi ageng, malah-malah dumugi sepuh. Tiyang ingkang makarya pados pangupajiwa kanthi mempeng, bebasan mustaka dados suku, suku dados mustaka, tansah meres kringet sadinten muput, sedaya kula wau mboten saget uwal saking gegayuhan kagem pikanthuk gesang ingkang sae tur mulya. Nagari kita wonten wekdal punika taksih nedhenge-
nedhengipun mbangun, ugu mboten saget uwal saking gegayuhan supados gesangipun makmur tumrap sedaya rakyatipun. Gesang ingkang sae inggih punika negeri kita kagungan pepinginan cekap kabetahan material lan spiritual. Dados sampun cetha bilih sedaya manungsa ngidham-idhamaken gesang ingkang sae. (Setiap manusia pasti punya keinginan untuk hidup baik dan enak, baik itu secar pribadi maupun untuk keluarganya. Orang yang menuntut ilmu sejak kecil sampai besar, malah sampai tua. Orang yang bekerja mencari nafkah, kaki jadi kepala, kepala jadi kaki, sampai memeras keringat sehari penuh, semua tidak terlepas dari keinginan untuk hidup yang mulia. Negara kita pada waktu itu masih mendengung-dengungkan pembangunan, juga tidak terlepas dari keinginan untuk hidup makmur untuk semua rakyatnya. Negara kita punya keinginan dapat memenuhi kebutuhan material dan spiritual. Jadi sudah jelas apabila semuamanusia menginginkan hidup yang baik) Tuturan di atas dilakukan oleh khatib pada waktu khotbah salat jumat. Pada tuturan tersebut menggunakan bahasa Jawa krama. Pemilihan ragam krama alus oleh khotib karena peristiwa tutur tersebut merupakan pidato resmi keagamaan. Dalam situasi resmi maka seyogyanya menggunakan ragam bahasa yang sesuai dengan situasinya, apabila menggunakan ragam ngoko maka tidak sesuai dengan situasinya karena ragam ngoko biasanya digunakan dalam percakapan. Pemilihan ragam krama juga untuk menghormati lawan tutur yang merupakan jamaah salat jumat.
4.2
Bahasa Indonesia Bahasa Indonesia dalam masyarakat pedesaan di Tegal juga digunakan sebagai sarana
berkomunikasi. Hal ini sesuai dengan kedudukan bahasa Indonesia sebagai bahasa resmi kenegaraan. Sebagai bahasa kedua, bahasa Indonesia juga menduduki peran penting untuk berkomunikasi bagi sesama penutur.
Bahasa Indonesia yang digunakan meliputi bahasa Indonesia ragam baku dan bahasa Indonesia ragam tak baku. Bahasa Indonesia ragam baku biasanya digunakan dalam situasisituasi resmi, sebaliknya bahasa Indonesia ragam tak baku digunakan dalam situasi-situasi takresmi atau informal. Berikut bahasan mengenai penggunaan bahasa Indonesia baku dan tak baku dalam masyarakat pedesaan di Tegal menurut ranahnya masing-masing.
4.2.1 Bahasa Indonesia Baku Bahasa Indonesia baku digunakan dalam ranah pendidikan, pemerintahan, dan keagamaan. Ragam baku ini digunakan dalam situasi-situasi resmi seperti rapat, sambutan, pewara, proses belajar mengajar di dalam kelas, maupun khotbah. Di wilayah Tegal timur, utara, dan selatan menunjukkan adanya persamaan penggunaan bahasa Indonesia baku dalam ranah pendidikan, pemerintahan, dan keagamaan dalam situasi formal. Ciri-ciri penggunaan bahasa Indonesia baku adalah sebagai berikut: 1. penggunaan kalimat yang lengkap sesuai dengan kaidah 2. tidak ada pelesapan unsur-unsur kebahasaan. 3. tidak terinterferensi oleh bahasa daerah. 4. kosakata yang digunakan merupakan kosakata baku. Berikut bahasan mengenai penggunaan bahasa Indonesia baku dalam ranah pendidikan, keagamaan, dan pemerintahan.
a. Ranah Pendidikan Penggunaan bahasa Indonesia baku dalam ranah pendidikan biasanya dilakukan oleh guru dalam acara resmi, proses belajar mengajar di dalam kelas, maupun dalam rapat seperti tampak dalam bahasan berikut.
(41) KONTEKS : SAMBUTAN GURU KELAS DALAM ACARA PEMBAGIAN RAPOR DAN KENAIKAN KELAS P1
: Bapak-Ibu yang saya hormati, sebelumnya saya sampaikan terima kasih kepada bapak ibu yang telah hadir di sini. Saya mohon maaf apabila selama saya mengajar putra putri bapak-ibu di kelas tiga ini, saya banyak melakukan kesalahan. Nilai tertinggi di kelas ini 745 dan terendah 602. Ini juga ada beberapa siswa yang tidak naik kelas atau tinggal kelas. Bapak Ibu yang putranya tidak naik kelas jangan sakit hati. Putranya jangan dimarahi. Bapak ibu harus membimbing putra-putri bapak ibu. Tuturan di atas merupakan sambutan guru pada acara pembagian raport dan kenaikan
kelas. Karena dalam situasi formal kedinasan maka guru tersebut memilih bahasa Indonesia formal yang ditandai dengan adanya tuturan dengan kalimat yang lengkap dan runtut. Karena latar belakang penutur yang menguasai dua bahasa maka penutur pun beralih kode dari bahasa Indonesia ke bahasa Jawa. Alih kode tersebut dimaksudkan untuk memperjelas tuturan. Apabila diungkapkan dalam bahasa Jawa dirasakan oleh penutur kurang mengena di hati hadirin. Bahasa Indonesia baku juga digunakan dalam proses belajar mengajar di dalam kelas seperti tampak dalam peristiwa tutur berikut. (42) KONTEKS : PROSES BELAJAR MENGAJAR DI DALAM KELAS ANTARA GURU DAN MURID P1
: Anak-anak pada siang hari ini kita akan membahas pelajaran PPK Tentang proses perumusan pancasila. Sudah siap mengikuti pelajaran? Seperti halnya yang sudah kamu ketahui bahwa pancasila itu sebagai apa?
P2
: Lambang negara.
P1
: Lambang negara? Masa kelas enam tidak bisa.
P2
: Dasar negara.
P1
: Kalau lambangnya apa?
P2
: Burung garuda.
P1
: Kelihatannya remeh tapi kalau tidak ditanamkan di hati kamu pasti kamu akan lupa. Nilai-nilai yang terkandung dalam pancasila merupakan kepribadian bangsa Indonesia. Kalau dulu ada yang namanya P4. Butir-butir pancasila harus hafal. Sekarang sudah tidak ada lagi. Kamu tentunya sudah hafal pancasila sejak kelas satu ya. Satu ketuhanan yang Maha Esa. Pelajaran kelas enam sebenarnya mengulang pelajaran kelas lima. Buku-buku kamu waktu kelas lima jangan dibuang dulu. Nanti dipelajari lagi. Peristiwa tutur di atas terjadi di dalam kelas antara guru dan murid kelas enam SD.
Dalam tuturan di atas tampak P1 menggunakan bahasa Indonesia baku yang terlihat dari kalimat-kalimatnya yang lengkap, runtut, tidak ada pelesapan unsur-unsur kebahasaan, tidak ada interferensi bahasa ibu, tidak ada campur kode dan alih kode. Pada murid-murid kelas enam SD biasanya sudah menguasai bahasa Indonesia sebagai bahasa kedua, sehingga dalam proses belajar mengajar, guru dalam memberikan pelajaran menggunakan bahasa Indonesia. Bahasa Indonesia ragam baku digunakan oleh pewara dalam ranah pendidikan pada waktu rapat seperti tampak dalam tuturan berikut. (43) KONTEKS : PRANATA CARA DALAM RAPAT KOORDINASI PENERIMAAN PESERTA DIDIK BARU P1
: Assalamualaikum warohmatullahiwabarokatuh, Yang terhormat Bapak/Ibu wakil Kepala sekolah, Yang kami hormati Bapak/Ibu Guru serta tamu undangan Alhamdulillah kita panjatkan puji syukur ke hadirat Allah swt. Sehingga pada pagi hari ini, senin, 27 juni 2011 kita bisa hadir PPDB tahun 2010/2011.
Acara pada rapat ini sebagai berikut. Acara pertama pembukaan, acara kedua sambutan dari kepala sekolah,
acara ketiga penjelasan lain-lain yang berkenaan
dengan PPDB, dan acara terakhir penutup. Selanjutnya sambutan dari Kepsek yang diwakili oleh Wakasek, Bapak Sutrisno. Kami persilahkan. Tuturan di atas diucapkan oleh pewara dalam rapat di sekolah. Pemilihan kode bahasa Indonesia baku oleh pewara karena tuturan tersebut terjadi dalam situasi formal kepedidikan sehingga wajib menggunakan bahasa Indonesia baku. Penggunaan kalimat yang lengkap dan runtut oleh pewara merupakan ciri bahasa Indonesia baku. Bahasa Indonesia baku juga digunakan dalam rapat dalam ranah pendidikan seperti tampak dalam tuturan berikut. (44) KONTEKS : RAPAT KOORDINASI PENERIMAAN PPDB P1
: Mohon maaf hari ini bapak Kepala Sekolah tidak bisa hadir di tengah kita karena hari ini beliau ada di Jakarta. Untuk itu mohon maaf apabila beliau tidak bisa mmeberikan pengarahan. PPDB sedianya akan diadakan besok pagi, selasa, tanggal 28 juni. Rabu tanggal merah berarti libur. Selanjutnya akan dilanjutkan pada hari kamis dan jumat. Untuk PPDB mohon maaf nggih. Ini programnya Sarpras, ada pembongkaran tiga ruang. Ini baru dua ruang yang dibongkar. Mudah-mudahan panjenengan sebagai petugas PPDB mulai dari petugas meja, seleksi , pengumuman, sampai daftar ulang semuanya berjalan dengan lancar. Sekarang robelnya berkurang dari 40 menjadi 36. Ruang yang disediakan 9. Penerimaan tidak menggunakan seleksi tapi perangkingan ditambah dengan prestasibaik tingkat kecamatan maupun tingkat kabupaten. Selanjutnya teknik PPDB akan disampaikan oleh Ibu Umi.
P2
: Saya akan menyampaikan penjelasan teknik PPDB meskipun setiap tahun sudah ada. Pendaftaran PPDB akan dimulai hari selasa, 28 Juni sampai hari jumat, 1 juli 2011. Pengumuman diterima atau tidaknya tanggal 6 Juli 2011. Bagi yang
diterima daftar ulang dilaksanakan hari kamis dan jumat, tanggal 7-8 Juli. Hari Sabtu, 9 Juli itu adalah persiapan MOS. Untuk siswa baru ada MOS tiga hari. Senin sampai Rabu. Sesuai dengan transparasi setiap hari dibuatkan jurnal yang harus di tempel di papan pengumuman. Untuk petugas ruang pendaftaran, kita merencanakan dari ruang A sampai ruang P. Mudah-mudahan tidak sampai P. Satu ruang diisi oleh 40 siswa tapi yang diterima 36 siswa. Kuotanya 36 kali 9 kelas. Syarat-syarat pendaftaran sebagai berikut. 1. Menyerahkan fotokopi ijazah yang dilegalisir. 2. Usia maksimal 18 tahun. 3. SK HUASBN 4. Foto ukuran 4x6 sebanyak tiga lembar. 5. Stopmap warna hijau untuk laki-laki dan warna biru untuk perempuan. Barangkali ada masukan dari Bapak/Ibu? P3
: Piagam berlaku untuk berapa tahun?
P2
: Tiga tahun terakhir mulai juli 2008. Kalau yang piagamnya januari 2008, mohon maaf tidak diterima. Barangkali ada pertanyaan lain
P4
: Daftar ulang di ruang berapa?
P2
: Ruang F. Bapak ibu dimohon untuk memakai pakaian dinas karena kita akan
berhadapan dengan masyarakat dalam situasi formal. Peristiwa tutur di atas terjadi dalam ranah pendidikan tentang rapat koordinasi PPDB. Dalam peristiwa tutur tersebut tampak penggunaan bahasa Indonesia baku yang diucapkan oleh P1, P2, P3, dan P4. Semula P1 menyampaikan sambutannya selaku wakil Kepala Sekolah. P1 menggunakan bahasa Indonesia baku. P2 yang merupakan pemimpin rapat, menyampaikan tuturannya dengan menggunakan bahasa Indonesia baku. P3 dan P4
menanggapi dengan menggunakan bahasa Indonesia baku. Pemilihan bahasa Indonesia baku oleh peserta tutur karena peristiwa tutur tersebut terjadi dalam situasi formal kedinasan. Kalimat-kalimat yang diucapkan oleh peserta tutur merupakan kalimat yang lengkap dan sesuai dengan kaidah.
b. Ranah Keagamaan Dalam ranah keagamaan, bahasa Indonesia baku digunakan khotib ketika sedang khotbah jumat di masjid seperti tapak dalam tuturan berikut. (45) KONTEKS : KHOTBAH JUMAT OLEH KHOTIB P1
: Marilah senantiasa meningkatkan takwa kepada AllAh Swt. Dengan mengucapkan rasa syukur yang sebesar-besarnya kepadaNya atas segala limpahan karunia serta nikmat yang telah diberikan kepada kita semua. Setiap manusia diwajibkan untuk menjaga dirinya sendiri dan orang-orang yang menjadi tanggungjawabnya, menjaga dari gangguan, dan menjaga dalam artian memberi nafkah untuk hidupnya berupa makanan, minuman, pakaian, atau saranasaran yang dapat mendukung kehidupan dan lain-lain. Kebutuhan akan nafkah dicari dengan cara bekerja yang halal, bekerja dengan niat yang ikhlas merupakan bentuk lain daripada beribadah, dan juga bekerja dengan tawakal (pasrah diri kepada Allah swt). Tuturan di atas terjadi dalam khotbah Jumat pada situasi formal. Pemilihan bahasa
Indonesia ragam baku dilakukan oleh penutur karena peristiwa tutur tersebut terjadi pada saat khotbah yang merupakan pidato resmi dalam ranah keagamaan. Penggunaan kalimat yang lengkap dan runtut, tanpa adanya penggalan-penggalan unsurr-unsur kebahasaan oleh penutur menunjukkan adanya ragam baku tersebut. Dalam ranah keagamaan, penggunaan bahasa Indonesia baku juga tampak dalam peristiwa tutur berikut.
(46) KONTEKS : PERISTIWA TUTUR DALAM PENGAJIAN IBU-IBU P1
: Menginjak acara berikutnya, sambutan dari tuan rumah. Kepada Ibu Kartimah, kami persilahkan.
P2
: Terima kasih atas waktu yang diberikan pada saya. Assalamualaikum warohmatullahiwabarokatuh. Ibu-ibu saya sebagai tuan rumah mengucapkan terima kasih karena ibu-ibu telah menyempatkan waktu untuk menghadiri acara pengajian di rumah saya. Tak lupa saya minta maaf yang sebesar-besarnya apabila dalam penyediaan tempat maupun hidangan kurang berkenan di hati ibu-ibu. Sekali lagi saya mohon maaf, Bu. Peristiwa tutur di atas terjadi antara pewara yang mempersilahkan tuan rumah untuk
menyampaikan sambutannya dalam acara pengajian ibu-ibu muslimat. Dalam acara pengajian dalam ranah agama biasanya pewara menggunakan bahasa Indonesia baku. P2 yang merupakan tuan rumah juga memeberikan sambutannya dengan menggunakan bahasa Indonesia baku. Pemilihan bahasa Indonesia baku oleh tuan rumah untuk menghormati tamunya yaitu peserta pengajian. Pemilihan bahasa Indonesia baku oleh P1 dan P2 karena pengajian tersebut terjadi dalam situasi resmi keagamaan. Dalam acara pengajian, pewara menggunakan bahasa Indonesia baku seperti tampak dalam tuturan berikut. (47) KONTEKS : PRANATA CARA DALAM RANGKA PERINGATAN ISRA MIRAJ NABI MUHAMMAD SAW P1
: Assalamualaikum warohmatullahi wabarokatuh Yang terhormat Kepala desa Lebeteng beserta perangkatnya, Yang kami hormati, para alim ulama desa Lebeteng Yang kami hormati, bapak Kyai Haji Abdul Hadi, Yang kami hormati, para tamu undangan,
Serta hadirin dan hadirat yang kami muliakan, Marilah kita panjatkan puji syukur ke hadirat Allah subhanahuwata‟ala yang telah melimpahkan rahmat dan hidayahnya kepada kita, sehingga pada malam hari ini dapat berkumpul kembali dalam acara peringatan isra miraj nabi besar Muhammad Saw. yang bertempat di Masjil Baitul Muttaqin. Solawat serta salam semoga tetap kita limpahkan pada junjungan kita nabi besar Muhammad Saw. beserta keluarga dan sahabatnya yang telah membawa kita dari jalan yang gelap ke jalan yang terang. Baiklah untuk menyingkat waktu akan saya bacakan acara yang akan berlangsung pada malam ini. Acara pertama pembukaan, acara kedua pembacaan ayat-ayat suci alquran dilanjutkan dengan solawat nabi, acara ketiga sambutan-sambutan, acara keempat hikmah peringatan isra miraj dan acara terakhir doa penutup. Untuk membuka acara ini, marilah kita bersama-sama membaca umul kitab. Tuturan di atas diucapkan oleh pewara dalam acara peringatan isra miraj nabi Muhammad dalam ranah keagamaan. Pemilihan bahasa Indonesia baku oleh pewara acara karena acara tersebut merupakan acara resmi. kalimat-kalimat yang digunakan oleh pewara tampak lengkap dan sesuai dengan kaidah tata bahasa Indonesia baku. Biasanya penutur telah mempersiapkannya terlebih dahulu sehingga bahasa yang digunakan pun tampak bagus dan enak didengar tanpa banyak kesalahan dari segi kebahasaan.
c. Ranah Pemerintahan Dalam ranah pemerintahan, bahasa Indonesia digunakan dalam rapat-rapat kedinasan seperti tampak dalam data berikut. (48) KONTEKS : PENGARAHAN DARI KEPALA DESA TENTANG PAMSIMAS P1
: Assalamualaikum warohmatullohiwabarokatuh
Yang kami hormati segenap perangkat desa Munjungagung Yang kami hormati para ketua RW dan Ketua RW desa Munjungagung Pada hari ini kita akan mengadakan rapat PAMSIMAS yaitu pengadaan air bersih dan sanitasi masyarakat. Kita tentu sudah mengetahui bahwa di wilayah kita ada daerah-daerah tertentu yang belum memenuhi standar hidup bersih. Standar hidup bersih itu dilihat dari penggunaan airnya karena air merupakan sarana yang sangat vital bagi kita. Di beberapa RT terutama di RT 2 RW 3 airnya tidak jernih belum memenuhi standar kesehatan. Hal ini tentu akan berbahaya bila tetap dikonsumsi. Untuk itu, kami sebagai pemimpin desa, mengusahakan solusi untuk pengadaan air bersih tersebut. Demikian juga dengan sanitasi terutama yang berhubungan dengan MCK yaitu mandi cuci dan kakus. Di RT 1 RW 1 banyak warga yang buang air besar di sier. Untuk itu kami akan mengusahakan pembuatan jamban untuk umum. Tuturan di atas diucapkan oleh seorang kepala desa ketika memimpin rapat PAMSIMAS. Dalam tuturan di atas tampak penggunaan bahasa Indoensia baku yang bisa dilihat dari kalimat-kalimat yang dipilih oleh kepala desa. Kalimat-kalimat tersebut diucapkan dengan bahasa yang lengkap tanpa adanya pelesapan-pelesapan unsur-unsur kebahasaan. Pemilihan bahasa Indonesia baku oleh kepala desa karena peristiwa tutur tersebut terjadi dalam situasi resmi yaitu rapat.
4.2.2 Bahasa Indonesia Tak baku Dalam masyarakat pedesaan di Tegal, bahasa Indonesia
digunakan dalam situasi
informal. Penggunaan bahasa Indonesia tak baku sering terdengar dalam berbagai ranah sosial, misalnya ranah rumah, ketetanggaan, pendidikan, keagamaan, dan pemerintahan. Penggunaan bahasa Indonesia tak baku menunjukkan adanya persamaan di wilayah Tegal
timur, utara, dan selatan. Ciri-ciri adanya penggunaan bahasa Indonesia tak baku adalah sebagai berikut: 1. adanya pelesapan-pelesapan unsur-unsur kebahasaan. 2. adaya interferensi bahasa daerah. 3. adanya hubungan yang akrab antara peserta tutur. 4. penggunaan kalimat-kalimat yang tidak lengkap dan tidak runtut. Pemilihan bahasa Indonesia tak baku menurut ranah masing-masing terdapat dalam bahasan berikut.
a. Ranah Rumah Bahasa Indonesia ragam tak baku biasanya dilakukan oleh keluarga yang berprofesi sebagai Pegawai Negeri Sipil. Orang tua dengan profesi PNS memilih bahasa Indonesia sebagai bahasa ibu bagi anak-anaknya. Pemilihan bahasa Indonesia sebagai komunikasi di dalam rumah dengan harapan agar anaknya bisa menyesuaikan penggunaan bahasanya ketika berkomunikasi dengan sesama anak pegawai negeri. Di samping itu, keluarga yang berprofesi sebagai pedagang yang termasuk masyarakat kelas menengah ke atas juga mengajarkan anaknya menggunakan bahasa Indonesia karena si anak akan bersekolah di kota sehingga diharapkan bahasa Indonesianya sudah lancar. Bahasa Indonesia juga digunakan sebagai sarana berkomunikasi antara suami dan istri bagi yang salah satu pasangannya berasal dari daerah yang tidak berbahasa ibu bahasa Jawa ataupun berasal dari etnis lain. Bagi keluarga yang memutuskan menggunakan bahasa Indonesia, penggunaan bahasa Indonesia ragam tak baku sangat dominan seperti tampak dalam peristiwa tutur berikut. (49) KONTEKS : PERCKAPAN ANTARA IBU DENGAN ANAK (KELUARGA PEDAGANG)
P1
: Andi, dedenya didiemin dulu. Ini mama lagi tanggung.
P2
: Cepet oh, Ma. Ini nangis terus.
P1
: Sebentar mama buat mimi dulu.
P2
: Ma, jebule dede pipis. Percakapan di atas terjadi antara ibu dan anak dalam ranah rumah dalam situasi santai.
Pemilihan bahasa Indonesia tak baku oleh P1 yang dierspons oleh P2 dengan bahasa Indonesia tak baku pula karena peristiwa tutur tersebut terjadi dalam situasi santai. Bahasa yang digunakan merupakan bahasa percakapan sehari-hari. Banyaknya penggunaan kata-kata yang biasa digunakan dalam berkomunikasi informal seperti didiemin, buat, nangis , mimi, pipis,
nenunujukkan adanya ragam tak baku. Pemilihan kata yag tidak lengkap secara
morfologis seperti pada kata buat, nangis menandai adanya ragam informal. Penggunaan kata ganti seperti dede juga memperjelas ragam tak baku. Adanya interferensi kata bahasa Jawa jebule oleh P2 juga menunjukkan ragam tak baku. Penggunaan bahasa Indonesia tak baku juga tampak dalam tuturan berikut. (50) KONTEKS : PERCAKAPAN ANTARA IBU DAN ANAK (KELUARGA GURU) P1
: Win, belajar oh. Besok mau UTS oya.
P2
: Nanti malam aja mah, Winda mau tidur dulu.
P1
: Besok pelajarannya apa?
P2
: Matematika sama agama
P1
: Nanti malam jangan nonton tipi lho.
P2
: iya, ma. Percakapan di atas terjadi antara ibu dan anak dalam ranah rumah. P1 menggunakan
bahasa Indonesia informal untuk berkomunikasi dengan anaknya, demikian juga P2 merespons ucapan P1 dengan menggunakan bahasa yang sama. Pemilihan ragam informal oleh P1 dan P2 karena peristiwa tutur tersebut terjadi dalam situasi informal di dalam rumah,
dan adanya hubungan yang akrab antara ibu dan anak. Adanya interferensi bahasa Jawa dalam dialog di atas baik oleh P1 maupun P2 menndai digunakannya ragam informal dalam peristiwa tutur itu. Bahasa Indonesia tak baku juga digunakan oleh suami dan istri seperti tampak dalam tuturan berikut. (51) KONTEKS : PERCAKAPAN ANTARA SUAMI DAN ISTRI DALAM RANAH RUMAH. P1
: Pah, sepeda motornya dikeluarin.
P2
: Mau buat apa, mah?
P1
: Beli susunya Veni di Pertelon.
P2
: Bensine habis. Nanti diisi seliter aja ya.
P1
: Kuncine sih di mana?
P2
: Itu masih di motoran. Peristiwa tutur di atas terjadi dalam ranah rumah antara suami dan istri. P1 memulai
percakapan dengan menggunakan bahasa Indonesia ragam dan P2 merespons ucapan P1 dengan bahasa Indonesia. Pemilihan bahasa Indonesia oleh P1 karena suaminya beretnis Tionghoa yang tidak bisa berbahasa Jawa, sehingga P1 menggunakan bahasa Indonesia untuk berkomunikasi dengan suaminya. Bahasa Indonesia yang digunakan oleh penutur adalah bahasa Indonesia ragam tak baku karena peristiwa tutur tersebut terjadi dalam situasi informal. Adanya interferensi bahasa Jawa oleh P1 pada kata dikeluarin, kuncine, sih maupun oleh P2 pada kata bensine, aja, dan motoran menunjukkan adanya ragam informal tersebut. Pemilihan ragam informal dalam peristiwa tutur di atas karena hubungan yang akrab antara suami istri dan peristiwa tersebut juga terjadi dalam situasi formal yaitu di dalam rumah. Pada peristiwa tutur lain, penggunaan bahasa Indonesia tak baku tampak dalam data berikut.
(52) KONTEKS : PERCAKAPAN ANTARA SUAMI DAN ISTRI DALAM RANAH RUMAH. P1
: Mas dipannya rusak. Dikeluarin aja!
P2
: Terus tidurnya nggak pakai dipan?
P1
: Ya nggak usah, pakai kasur saja ditaruh di lantai.
P2
: Dipannya mau ditaruh dimana? Rumahnya udah sesek.
P1
: Di luar aja. Peristiwa tutur di atas dilakukan oleh suami dan istri dalam ranah rumah. P1
menggunakan bahasa Indonesia untuk berkomunikasi dengan suaminya (P2), dan P2 juga menggunakan bahasa yang sama. Pemilihan bahasa Indonesia oleh P1 karena P1 berasal dari Sunda sedangkan suaminya berasal dari Tegal. Karena P1 tidak bisa berbahasa Jawa dan P2 juga tidak bisa berbahasa Sunda, maka keduanya menggunakan bahasa Indonesia. Hubungan yang akrab dan tidak ada jarak antara keduanya menyebabkan dipilihnya ragam informal dalam peristiwa tutur tersebut yang terlihat pada leksikon dikeluarin „dikeluarkan‟, nggak ‘tidak‟, udah ‘sudah’, dan sesek ‘penuh‟.
b. Ranah Ketetanggaan Pemilihan bahasa Indonesia tak baku terjadi dalam ranah ketetanggaan seperti tampak dalam peristiwa tutur berikut. (53) KONTEKS : PERCAKAPAN ANTARA YUNI (23 TAHUN) DENGAN FILZA (13 TAHUN) P1
: Filza sekarang sekolah di mana?
P2
: SMP 2.
P1
: Rangking berapa?
P2
: Tiga.
P1
: Pinter ya. Mangkat sekolane sama siapa?
P2
: Naik elp.
P1
: Sih nggak sama Bapak?
P2
: Bapak boncengan sama ibu. Peristiwa tutur di atas terjadi antara P1 yang menyapa tetangganya dengan
menggunakan bahasa Indonesia informal. Pemilihan bahasa Indoensia karena P2 berbahasa ibu bahasa Indonesia meskipun hidup dalam lingkungan bahasa Jawa dialek Tegal. P2 juga merespons pertanyaan P1 dengan bahasa Indonesia. Adanya alih kode oleh P1 dari bahasa Indoensia ke bahasa Jawa pada kalimat mangkat sekolane yang kemudian bearlih kode lagi ke dalam bahasa Indonesia pada kata sama dan siapa menunjukkan penggunaan bahasa Indonesia informal. Adanya leksikon seperti nggak, boncengan, pinter yang terinterferensi oleh bahasa Jawa juga mempertegas ragam informal tersebut. Interferensi dialek Tegal juga tampak pada kata sih yang terdapat dalam kalimat sih nggak boncengan sama Bapak?
c. Ranah Pendidikan Dalam ranah pendidikan, bahasa Indonesia tak baku digunakan dalam situasi santai di luar kelas seperti terlihat dalam peristiwa tutur berikut. (54) KONTEKS : PERCAKAPAN ANTARGURU DALAM SITUASI TAKRESMI P1
: Pak Yusuf mau mbagi tabungan kapan?
P2
: Hari sabtu, bareng sama mbagi raport. Njenengan kapan?
P1
: Saya sih besok saja, nggak bareng sama mbagi raport. Percakapan antarguru di atas terjadi di sekolah dalam situasi informal. Pemilihan
bahasa Indonesia informal dilatarbelakangi peristiwa tutur tersebut yang terjadi dalam situasi santai. Penggunaan kata mbagi, nggak merupakan ciri bahasa informal yaitu bahasa yang digunakan seperti bahasa percakapan sehari-hari. Kata-kata seperti mbagi ‘membagi‟, bareng
‘bersama‟ merupakan kata yang tidak lengkap yang merupakan ciri bahasa informal. Penggunaan sapaan njenengan ‘Anda’ yang terinterferensi oleh bahasa Jawa juga menunjukkan adanya pengaruh bahasa Jawa karena penutur juga menguasai bahasa Jawa. Interferensi tersebut memperkuat adanya ragam informal dalam peristiwa tutur tersebut.
e. Ranah Pemerintahan Dalam ranah pemerintahan bahasa Indonesia tak baku digunakan dalam pelayanan untuk masyarakat, seperti tampak pada tuturan berikut. (55) KONTEKS : PERCAKAPAN ANTARA PERANGKAT DESA DENGAN PEGAWAI DINAS SOSIAL PI
: Sibuk, Bu?
P2
: Ya, sebentar ya mbak.
PI
: Kita jadi ke rumahnya bu Situr, Bu.
P2
: Jam berapa mbak?
PI
: Saya mau lihat data-datanya dulu, identitasnya dulu.
P2
: Kalau mau cari data-datanya ya jangan ke sana dulu. Ini cari di sini dulu. Peristiwa tutur di atas menggunakan bahasa Indonesia ragam tak baku. Hal ini terlihat
pada percakapan antara Penutur I dan Penutur 2. Pemilihan bahasa Indonesia oleh P1 dan P2 karena peristiwa tutur tersebut terjadi dalam situasi nonformal kedinasan. P1 menggunakan bahasa Indonesia dan P2 juga menjawabnya dengan menggunakan bahasa Indonesia. Pemilihan leksikon lihat ‘melihat‟ dan cari ‘mencari‟ yang terdapat adanya pelesapan prefiks me- menunjukkan penggunaan bahasa Indonesia ragam tak baku. Adanya penekanan pada kata ya yang merupakan bahasa percakapan menandai adanya ragam tak baku. Dalam ranah pemerintahan, bahasa Indonesia tak baku digunakan dalam situasi-situasi tak resmi seperti tampak dalam peristiwa tutur berikut.
(56) KONTEKS : PERCAKAPAN ANTARA PERANGKAT DESA DENGAN ANGGOTA BABINSA P1
: Pak, besok ke RT 1 RW 2 ya, ada pembagian sembako.
P2
: Sponsornya siapa?
P1
: Rokok Jarum.
P2
: Mulainya jam berapa?
P1
: Pagi jam 9.
P2
: Saya bisanya jam 10.
P1
: Ya diusahakan lah biar jam 9 sudah sampai di sana. Peristiwa tutur di atas terjadi di balai desa antara perangkat desa dengan
anggota
Babinsa. P1 memulai pembicaraan dengan menggunakan bahasa Indonesia. P2 meresponsnya dengan menggunakan bahasa Indoensia. Selanjutnya P1 dan P2 berkomunikasi dengan menggunakan bahasa Indonesia. Dalam percakapan tersebut tampak penggunaan bahasa Indonesia tak baku yang dapat dilihat dari kata-kata yang terinterferensi oleh bahasa Jawa sepeti pada kata mulainya dan bisanya. Kata –kata tersebut merupakan kata ragam percakapan. Demikian juga penggunaan penekanan ya dan lah yang diucapkan oleh P1 menunjukkan ragam percakapan. Pemiliha bahasa Indonesia tak baku oleh P1 dan P2 karena peristiwa tutur tersebut terjadi dalam situasi tak resmi.
BAB V SIMPULAN DAN SARAN
5.1 Simpulan Berdasarkan analisis data dalam penelitian ini, maka dapat ditarik simpulan sebagai berikut. Ada dua bahasa yang dipilih untuk keperluan berkomunikasi dalam masyarakat pedesaan di kabupaten Tegal yaitu bahasa Jawa dan bahasa Indonesia. bahasa Jawa ada dua ragam yang dipilih yaitu ragam krama dan ragam ngoko. Bahasa Jawa ragam krama ada dua ragam yang dipilih yaitu ragam krama madya dan krama alus. Bahasa Jawa ragam krama digunakan utnuk berkomunikasi dengan orang yang baru dikenal, untuk mengajarkan kesantunan berbahasa kepada anak, dan untuk mengormati lawan tutur. Bahasa Jawa ngoko ada dua ragam yang dipilih yaitu ngoko kasar dan ngoko lugu. Bahasa Jawa ngoko dipilih karena hubungan yang akrab dan tidak ada jarak antara penutur dan lawan tutur. Bahasa Indonesia ada dua ragam yang dipilih yaitu bahasa Indonesia ragam baku dan tak baku. Bahasa Indonesia baku digunakan dalam situasi resmi, sedangkan bahasa tak baku digunakan dalam situasi tak resmi.
6.2 Saran Saran yang dapat disampaikan terkait dengan penelitian ini adalah pemilihan bahasa merupakan hal yang sangat penting. Anak-anak di wilayah pedesaan Tegal ternyata tidak bisa berbahasa Jawa dengan baik karena ternyata dalam masyarakat pedesaan di Tegal bahasa Jawa krama jarang digunakan. Terkait dengan hal tersebut maka guru di sekolah-sekolah hendaknya mengajarkan bahasa Jawa krama karena pada umumnya murid-murid di wilayah pedesaan di Tegal tidak bisa berbahasa Jawa krama. Dengan menguasai bahasa Jawa krama, murid-murid akan dapat berbahasa dengan santun kepada orang tua, guru, maupun kepada
orang yang lebih tua. Selain itu, murid-murid juga nantinya tidak hanya berkomunikasi dengan orang yang dari Tegal saja, tetapi juga akan berkomunikasi dengan orang dari luar daerah Tegal. Bagi para peneliti dan pemerhati bahasa, penelitian ini dapat dijadikan sebagai kerangka acuan penelitian lanjutan, seperti dialek maupun aspek kebahasaan lain untuk menambah khasanah ilmu bahasa, khususnya bidang sosiolinguistik.
DAFTAR PUSTAKA
Alwasilah, Chaedar. 1993. Pengantar Sosiologi Bahasa. Bandung: Angkasa Cipta. Appel, Rene. 1987. Language Contact and Bilingualism. London: Hodder and Stoughton Limited. Chaer, Abdul dan Leoni Agustina. 1995. Sosiolinguistik Perkenalan Awal. Jakarta: Rineka Cipta. Chaer, Abdul dan Leoni Agustina. 2004. Sosiolinguistik: Pengantar Awal edisi revisi. Jakarta: Rineka Cipta. Fasold, Ralph. 1984. The Sociolinguistics of Society. Oxford: Basil Blackwell. Fishman. 1972. The Sociolofy of Language. Rowley: Newbury House. Mahsun. 2005. Metode Penelitian Bahasa. Jakarta: Raja Grasindo. Moleong, Lexi J. 2005. Metodologi Penelitian Kualitatif. Bandung: Remaja Rosdakarya. Nababan, P.W.J. 1993. Sosiolinguistik: Suatu Pengantar. Jakarta: Gramedia. Poedjoesoedarmo, Supomo. 1978. “Kode dan Alih Kode” dalam Widyaparwa No 22 tahun 1982. Yogyakarta: Balai Penelitian Bahasa. Rahardi, Kunjana. 2001. Sosiolinguistik, Kode dan alih Kode.Yogyakarta: Pustaka Pelajar Offset. Romaine, Suzzane. 1989. Bilingualism. Oxford: Basil Blackwell. Rusyana, Yus. 1988. Perihal Kedwibahasaan. Jakarta: Depdikbud Dirjen Dikti. Subana, M. 2001. Dasar-Dasar Penelitian Ilmiah. Bandung: Pustaka Setia. Sumarsono dan Paina Partana. 2002. Sosiolinguistik. Yogyakarta: Pustaka Pelajar. Suwito. 1991. Sosiolinguistik. Surakarta: Depdikbud. Wardhaugh, Ronald. 1986. An Introduction to Sociolinguistics. Oxford: Basil Blackwell.