TIM KERJA Penanggung Jawab Muzayyin Mahbub Ketua Andi Djalal Latief Wakil Ketua Indra Syamsu Penyusun Ardhian Sumadhija Elza Faiz Muhamad Ilham Muhammad Ray Leonard Desain Sampul & Tata Naskah Akhmad Furqon Buku ini diterbitkan oleh: Komisi Yudisial Republik Indonesia (KYRI) atas dukungan National Legal Reform Program (NLRP) Komisi Yudisial Republik Indonesia Jl. Kramat Raya No. 57, Jakarta Pusat Telp: 021-3905876, Fax: 021-3906215, PO BOX 2685, Email:
[email protected] 2010 Publikasi ini dapat digunakan, dikutip, dicetak ulang atau photocopy, diterjemahkan atau disebarluaskan baik sebagian atau keseluruhan secara penuh oleh organisasi nirlaba manapun dengan mengakui hak cipta dan tidak untuk dijual Seminar on Comparative Models of Judicial Commissions: Peran Komisi Yudisial di Era Transisi Menuju Demokrasi
Kata Peng
antar
U
ndang-Undang Dasar 1945 menyatakan bahwa Indonesia adalah negara hukum. Negara hukum dikatakan sebagai negara yang berdasarkan atas hukum (rechsstaat) bukan berdasarkan kekuasaan belaka (Machtsstaat). Berasal dari kata nomocracy, nomos berarti ”norma” dan cratos berarti ”kekuasaan” maka dapat diartikan bahwa penyelenggaraan negara harus didasarkan atas hukum. Salah satu prinsip penting negara hukum adalah adanya jaminan penyelenggaraan kekuasaan kehakiman yang merdeka, bebas dari pengaruh kekuasaan lainnya untuk menyelenggarakan peradilan guna menegakkan hukum dan keadilan. Adil pada hakekatnya bermakna menempatkan sesuatu pada tempatnya dan memberikan yang menjadi haknya, yang didasarkan pada suatu prinsip bahwa semua orang sama kedudukannya di depan hukum. Makna kemandirian atas lembaga pengadilan sesungguhnya memiliki dua pengertian, yaitu kemandirian dalam pengertian kelembagaan dan kemandirian yang meliputi individu hakim sebagai tokoh sentral dari bekerjanya lembaga ini. Semuanya dilakukan dalam rangka menegakkan hukum dan keadilan. Bahkan melalui irah-irah “Demi Keadilan berdasarkan Ketuhanan Yang Maha Esa” dalam putusan, menunjukkan bahwa kewajiban menegakkan keadilan tidak hanya dipertanggungjawabkan secara horizontal kepada sesama manusia tetapi juga secara vertikal kepada Tuhan Yang Maha Esa. Dengan demikian, seyogianya independensi atas kekuasaan kehakiman adalah suatu hal yang mutlak,
Seminar on Comparative Models of Judicial Commissions: Peran Komisi Yudisial di Era Transisi Menuju Demokrasi
iii
namun demikian jaminan atas penyelenggaraan kekuasaan kehakiman harus didasarkan pada hukum dan keadilan sebagai letak akuntabilitas dari kekuasaan kehakiman yang merdeka. Proceeding “Seminar On Comparative Models of Judicial Commission” adalah sebuah buku yang mengulas kajian tentang forum studi perbandingan tentang Komisi Yudisial di beberapa negara Uni Eropa yang memiliki berbagai peran dan fungsi yang terkait dengan independensi kekuasaan kehakiman. Buku ini diterbitkan sebagai sebuah wacana tentang hubungan peran, fungsi dan tantangan Komisi Yudisial Republik Indonesia dalam menjaga kekuasaan kehakiman yang merdeka pada era transisi menuju demokrasi. Komisi Yudisial Republik Indonesia merupakan sebuah lembaga yang dilahirkan dalam era reformasi dengan original intend untuk memperbaiki citra peradilan di mata masyarakat. Di Eropa sendiri Komisi Yudisial dilahirkan dengan berbagai kepentingan, antara lain seperti: untuk meningkatkan efisiensi peradilan, penghubung antara pemerintah (eksekutif) dengan peradilan (yudikatif), meningkatkan kepercayaan publik terhadap lembaga peradilan, dan menjamin independensi peradilan. Sistematika penyusunan proceeding “Seminar On Comparative Models of Judicial Commissions” dimulai dengan latar belakang dan tujuan dilaksanakannya seminar, jalannya seminar (rundown), alur diskusi seminar, dan intisari dari seminar yang telah dinarasikan.
iv
Seminar on Comparative Models of Judicial Commissions: Peran Komisi Yudisial di Era Transisi Menuju Demokrasi
Demikian buku ini disusun, semoga bermanfaat, khususnya bagi Komisi Yudisial, dan pemerhati peradilan, serta masyarakat pada umumnya.
Jakarta, 1 Desember 2010
Tim Penyusun
Seminar on Comparative Models of Judicial Commissions: Peran Komisi Yudisial di Era Transisi Menuju Demokrasi
v
DAFTAR ISI Kata Pengantar
iii
Daftar Isi
vi
Bab I Pendahuluan
1
Latar Belakang
1
Tujuan
14
Alur Diskusi
15
Bab II Seminar Sesi I
23
Prof. Dr. Moh. Mahfud, M.D., S.H., S.U. (Keynote Speech)
23
Historical Background Kelahiran KY
23
Penegakan Hukum dan Watak Era Transisi
25
Hukum Progresif dan Urgensi Penguatan Wewenang Komisi Yudisial
27
Hakim Konstitusi Harus Diawasi
28
Prof. Dr. Mochtar Mas’oed
vi
33
Mengawasi Penghakiman, Menjamin Demokrasi
33
Reformasi dan Fragmentasi
34
Menegakkan Hukum
35
Pengawasan dari Perspektif Politik
38
Seminar on Comparative Models of Judicial Commissions: Peran Komisi Yudisial di Era Transisi Menuju Demokrasi
Dr. Bambang Widjojanto, S.H., LL.M.
40
Pengaturan dan Pergeseran Konsep Pengawasan Eksternal Terhadap Peradilan
40
Perkembangan filosofi Negara Hukum dan Kekuasaan Kehakiman
43
Kelahiran Komisi Yudisial dan Gagasan Pengawasan Eksternal: Antara Independensi dan Akuntablitas
45
Jenis-jenis Pengawasan dan Letak Pengawasan Eksternal oleh Komisi Yudisial
48
Proyeksi dan Perbaikan terhadap Mekanisme Pengawasan Eksternal Komisi Yudisial
50
Dr. M. Busyro Muqoddas, S.H., M. Hum.
53
Dinamika Kelembagaan Komisi Yudisial: Sebuah Pembelajaran
53
Problem Kewenangan Komisi Yudisial
56
Peran Strategis Anggota Komisi Yudisial
58
Seleksi Calon Hakim
59
Kapasitas Kelembagaan Komisi Yudisial Bidang SDM, Organisasi, dan Finansial
61
Diskusi Sesi I
Tanya Jawab Gelombang I
63
Tanya Jawab Gelombang II
84
Seminar on Comparative Models of Judicial Commissions: Peran Komisi Yudisial di Era Transisi Menuju Demokrasi
vii
Bab III Seminar Sesi II
90
Prof. Dr. Takdir Rahmadi, S.H. LL.M.
90
Peran dan Fungsi Komisi Yudisial dalam Kekuasaan Kehakiman
90
Reformasi Menuju Negara Hukum
91
Imparsialitas Negara Hukum, Komisi Yudisial, dan Kekuasaan Kehakiman
92
Kebangkitan Pengawasan Eksternal
94
Pengawasan Dalam Kekuasaan Kehakiman
94
Prof. dr. W.J.M. (Wim) Voermans, Ph.D.
97
Indonesia Councils for Judiciary
97
Definisi dan Fungsi
99
a. Model Campuran
102
b. Model Eropa Utara
103
c. Model Eropa Selatan
104
Rekomendasi Consultative Council of European Judges (CCJE)
107
viii
Diskusi Sesi II
110
Tanya Jawab Gelombang I
110
Tanya Jawab Gelombang II
115
Seminar on Comparative Models of Judicial Commissions: Peran Komisi Yudisial di Era Transisi Menuju Demokrasi
Bab IV Pointers Hasil Seminar
127
Pointers Utama
133
Lampiran Makalah
139
Mochtar Mas’oed
141
Bambang Widjojanto
149
M. Busyro Muqoddas
161
Takdir Rahmadi
169
Wim Voermans
177
Seminar on Comparative Models of Judicial Commissions: Peran Komisi Yudisial di Era Transisi Menuju Demokrasi
ix
Seminar on Comparative Models of Judicial Commissions: Peran Komisi Yudisial di Era Transisi Menuju Demokrasi
BAB I PENDAHULUAN LATAR BELAKANG
P
emikiran tentang negara hukum sebenarnya sudah sangat tua, jauh lebih tua dari usia Ilmu Negara ataupun Ilmu Kenegaraan. Cita negara hukum untuk pertama kali dikemukakan oleh Plato dan dipertegas oleh Aristoteles. Dalam perkembangannya ide Plato dan Aristoteles diteruskan oleh para pemikir generasi selanjutnya seperti Thomas Aquinas, Machiavelli, Thomas Hobbes, John Locke, Montesquieu, sampai J.J. Rousseau. Pada era modern gagasan negara hukum berkembang dalam dua konsep yang dikenal umum. Di Eropa Kontinental populer dengan istilah Jerman ”rechtsstaat”. Para penganjurnya antara lain Immanuel Kant, Paul Laband, Julius Stahl, Fichte, dan lain-lain. Sedangkan dalam tradisi Anglo Amerika konsep negara hukum dikembangkan dengan sebutan ”The Rule of Law” yang dipelopori oleh AV. Dicey. Selain itu, konsep negara hukum juga terkait dengan istilah Nomokrasi (nomocratie) yang berarti bahwa penentu dalam penyelenggaraan kekuasaan negara adalah hukum. Prinsip-prinsip negara hukum sendiri berkembang seiring dengan perkembangan masyarakat dan negara. Menurut Stahl, konsep negara hukum yang disebut rechtsstaat mencakup elemen penting yaitu: perlindungan hak asasi manusia, pembagian kekuasaan, pemerintahan berdasarkan Undang-Undang, dan peradilan tata usaha negara. Sementara AV. Dicey menyebutkan tiga ciri penting The Rule of Law yaitu: Supremacy of law, equality before the law, dan due Process of Law.
Seminar on Comparative Models of Judicial Commissions: Peran Komisi Yudisial di Era Transisi Menuju Demokrasi
1
Dalam perkembangannya, International Commission Of Jurist menentukan pula syarat-syarat representative government under the rule of law, sebagai berikut: 1. adanya proteksi konstitusional; 2. pengadilan yang bebas dan tidak memihak; 3. pemilihan umum yang bebas; 4. kebebasan untuk menyatakan pendapat dan berserikat; 5. adanya tugas oposisi; 6. adanya pendidikan civic; Perkembangan prinsip-prinsip negara hukum tersebut dipengaruhi oleh semakin kuatnya penerimaan paham kedaulatan rakyat dan demokrasi dalam kehidupan bernegara menggantikan model-model negara tradisional. Paham negara hukum (nomocratie) dan prinsip-prinsip kedaulatan rakyat (democratie) dijalankan secara beriringan seperti dua sisi dalam sekeping mata uang. Paham negara hukum yang demikian dikenal dengan negara hukum demokratis (democratische rechtsstaat) atau dalam bentuk konstitusional disebut constitutional democracy. Hukum dibangun dan ditegakkan menurut prinsip-prinsip demokrasi. Hukum tidak boleh dibuat, ditetapkan, dan ditegakkan dengan tangan besi berdasarkan dengan kekuasaan semata (machtsstaat). Sebaliknya, demokrasi haruslah diatur berdasarkan hukum. Di Indonesia, momentum historis kelahiran negara hukum terjadi saat disahkannya UUD 1945 oleh Panitia Persiapan Kemerdekaan Indonesia (PPKI) pada 18 Agustus 1945 yang dalam bagian penjelasan menyatakan bahwa Indonesia 2
Seminar on Comparative Models of Judicial Commissions: Peran Komisi Yudisial di Era Transisi Menuju Demokrasi
adalah negara hukum. Dalam perjalanannya, komitmen untuk memancangkan Indonesia sebagai negara hukum (secara formil) kian teguh dengan disahkannya UUD 1945 pasca perubahan. Bila sebelumnya pernyataan sebagai negara hukum hanya ada dalam bagian penjelasan, kini dalam UUD 1945 pasca perubahan, komitmen negara hukum telah terpancang dalam batang tubuh (Pasal 1 ayat 3). Independensi Kekuasaan Kehakiman Independensi kekuasaan kehakiman menjadi syarat yang niscaya bagi tegak dan kokohnya negara hukum. Kekuasaan kehakiman yang bebas dan tidak memihak tidak hanya diartikan bebas dari pengaruh kekuasaan eksekutif, tetapi juga bebas dari gangguan dalam melaksanakan tugasnya. Tidak adanya kemandirian kekuasaan kehakiman terutama karena pengaruh kekuasaan pemerintah (eksekutif), akan membuka peluang pada penyalahgunaan kekuasaan dan pengabaian hak asasi manusia oleh penguasa. Kekuasaan kehakiman yang merdeka menjadi instrumen penting bagi demokrasi. Seperti proposisi yang ditulis oleh E.C.S Wade berikut ini: “...Independence judiciary is a fundamental requirement for democracy. Within this understanding is the nation that judicial independence must first exist in relation to the executive and in relation to the parties. It must also almost involve independence in relation to the legislative power, as well as in relation to political, economic, or social pressure group…” Secara umum, setidaknya ada dua alasan mendasar mengapa di negara-negara yang menganut paham negara berdasarkan hukum, kekuasaan kehakiman dalam menjalankan fungsinya harus mandiri dan terlepas dari kekuasaan-kekuasaan lainnya, terutama dari kekuasaan pemerintahan negara.
Seminar on Comparative Models of Judicial Commissions: Peran Komisi Yudisial di Era Transisi Menuju Demokrasi
3
Pertama, untuk menjamin dan melindungi kebebasan dan hak-hak asasi manusia; kedua untuk mencegah kesewenangwenangan. Jaminan dan perlindungan terhadap kebebasan dan hak-hak asasi manusia merupakan ciri dari sebuah negara hukum dan negara yang berdasarkan kedaulatan rakyat. Sedangkan pencegahan terhadap kesewenang-wenangan menyuratkan pembatasan terhadap kekuasaan negara atau pemerintah. Berdasarkan Kongres PBB ke tujuh tentang pencegahan terhadap tindak kriminal dan tindak melawan hukum yang berlangsung di Milan dari tanggal 26 Agustus sampai dengan 6 September 1985 dan disahkan oleh Resolusi Majelis Umum No. 40/32 tanggal 29 November dan No. 40/146 tanggal 13 Desember 1985, prinsip dasar independensi peradilan (Basic Principles on the Independence of the Judiciary) adalah sebagai berikut: 1. The independence of the judiciary shall be guaranted by the state and enshrined in the Constitution or the Law of the Country. Its is the duty of all governmental and the other institutions to respect and observe the independence of the judiciary. 2. The judiciary shall decide matters before them impartially, on the basis of facts and in accordance with the law, without any restrictions, improper influence, inducements, pressures, threats or interferences, direct or indirect, from any quarter or for any reason. 3. The judiciary shall have jurisdiction over all issues of a judicial nature and shall have exclusive authority to decide whether an issue submitted for its decision is within its competence as defined by law.
4
Seminar on Comparative Models of Judicial Commissions: Peran Komisi Yudisial di Era Transisi Menuju Demokrasi
4. There shall not be any inppropriate or unwarranted interfence with the judicial process, nor shall judicial decisions by the courts be subject to revision. This principle is without prejudice to judicial review or to mitigation or commutation by competent authorities of sentences imposed by the judiciary, in accordance with the law. 5. Everyone shall have the right to be tried by ordinary courts or tribunals using established legal procedures. Tribunals that do not use the duly established procedures of the legal process shall not be created to displace the jurisdiction belonging to the ordinary courts or judicial tribunals. 6. The principles of the independence of the judiciary entitles an requires the judiciary to ensure that judicial proceedings are conducted fairly and that the rights of the parties are respected. 7. It is the duty of its Member State to provide adequate resources to enable the judiciary to properly perform its function. Prinsip di atas dibuat untuk membantu negara-negara di dunia mengaplikasikan gagasan kekuasaan kehakiman yang independen dan tidak memihak. Prinsip tersebut secara panjang lebar membahas aspek-aspek penting mengenai gagasan kekuasaan kehakiman yang independen dan tidak memihak secara komprehensif.
Seminar on Comparative Models of Judicial Commissions: Peran Komisi Yudisial di Era Transisi Menuju Demokrasi
5
Kondisi Peradilan di Indonesia Meski suara bariton yang meneriakkan pentingnya reformasi peradilan telah menyalak 12 tahun silam. Namun fakta empiris menunjukkan bahwa dunia peradilan di Indonesia masih digelayuti awan kelabu. Bahkan sudah hampir empat dekade ini peradilan di Indonesia dicemari praktek judicial corruption. Praktek kotor tersebut terendus hampir dari setiap proses peradilan, mulai dari penyelidikan/penyidikan, penyusunan dakwaan, pengajuan tuntutan (requisitoir) hingga putusan hakim. Obyeknya adalah jual beli materi dakwaan (pasal-pasal/ayat-ayat) yang akan dituduhkan, peringanan/ penghapusan tuntutan, jual beli bukti-bukti, hingga putusan hakim. Kini praktek judicial corruption bahkan bertambah marak dengan berbagai modus operandi-nya. Dari yang soft sampai yang paling vulgar. Seringkali hakim menggunakan doktrin atau teori tertentu sebagai selubung intelektual dari praktek pelacuran profesi. Lebih vulgar lagi, praktek pelacuran profesi dilakukan tidak dengan menggunakan kerangka teori atau optik ilmu tertentu, tetapi hanya oleh prosedur teknis semata. Gejala tidak sehat tersebut membuat kegeraman masyarakat pada dunia peradilan berada pada titik didih. Meski tidak dapat di pungkiri, masih ada hakim-hakim yang bersih dan berintegritas, namun prestasinya tenggelam oleh sebagian hakim lainnya yang mencoreng kehormatannya sebagai yang mulia (your majesty). Tanpa ketiadaan mekanisme kontrol publik, kondisi tersebut bahkan masih terus berlangsung secara telanjang dan dalam skala masif. Akibatnya, -meminjam istilah Satjipto Rahardjo-, dunia peradilan di Indonesia tidak lagi menjadi rumah yang teduh bagi para pencari keadilan, tetapi telah alih fungsi dari
6
Seminar on Comparative Models of Judicial Commissions: Peran Komisi Yudisial di Era Transisi Menuju Demokrasi
“rumah keadilan” (hall of justice) menjadi “rumah penjagalan” (slaughter house). Fungsi hukum pun menjadi tidak bermakna. Sebagaimana kata penyair W.S. Rendra, hukum tanpa ditegakkan oleh peradilan bersih, tak ubahnya hukum yang ditulis di atas air. Atau dengan menggunakan terminologi akademik, hukum yang menurut Roscoe Pound seharusnya berfungsi sebagai a tool of social engineering dalam arti yang positif menjadi bergeser jauh ke arah dark engineering. Untuk memerangi praktek kotor tersebut sekaligus dalam rangka menegakkan negara hukum, maka reformasi peradilan menjadi agenda utama. Reformasi peradilan mencakup perbaikan sistem perUndangan, UU Kepolisian, Kejaksaan, Kekuasaan Kehakiman, Mahkamah Agung, Pengadilan Tipikor dan UU Komisi Yudisial serta KUHAP (Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana). Keseluruhan Undang-Undang ini seharusnya mencerminkan spirit reformasi, yang bersendi pada transparansi, dan diberikannya masyarakat untuk “access to justice”. Selain itu reformasi peradilan juga meniscayakan adanya mekanisme kontrol (pengawasan eksternal) bagi aparat penegak hukum. Hal ini sejalan dengan prinsip-prinsip demokrasi yang mengedepankan adanya checks and balances demi menjamin adanya akuntabilitas. Kelahiran Komisi Yudisial dalam Dunia Peradilan Indonesia Sebagai respon terhadap buramnya wajah dunia peradilan, di Indonesia telah dibentuk lembaga negara baru dalam rumpun kekuasaan kehakiman yaitu Komisi Yudisial. Pembentukan Komisi Yudisial didasarkan pada Amandemen Ketiga UUD 1945 Pasal 24B yang berwenang menyeleksi calon hakim agung, dan memiliki kewenangan lain dalam rangka menjaga dan menegakkan kehormatan, keluhuran martabat, serta perilaku hakim (biasa diartikan sebagai fungsi pengawasan
Seminar on Comparative Models of Judicial Commissions: Peran Komisi Yudisial di Era Transisi Menuju Demokrasi
7
terhadap hakim). Dua kewenangan tersebut menggambarkan betapa strategis peran Komisi Yudisial dalam mengawal peradilan bersih. Mulai dari hulu (kewenangan seleksi hakim agung) sampai ke hilir (kewenangan mengawasi hakim) telah menjadi yurisdiksi Komisi Yudisial. Historical background dibentuknya Komisi Yudisial dimaksudkan sebagai checks and balances dalam sistem kekuasaan kehakiman. Hal itu diperlukan karena misi utama reformasi peradilan tidak hanya sebatas menegakkan independensi dan imparsialitas peradilan. Tetapi juga membangun dan menjaga sistem akuntabilitas serta mekanisme kontrol bagi para hakim agar peradilan tidak memunculkan abuse of power baru atau tyrani judicial. Dalam lintasan historis, gagasan tentang perlunya lembaga khusus dalam rumpun kekuasaan kehakiman yang diimpikan seperti Komisi Yudisial sebenarnya bukanlah gagasan yang sama sekali baru. Sejarah mencatat, dalam pembahasan RUU Ketentuan-Ketentuan Pokok Kekuasaan Kehakiman Tahun 1968 misalnya, sempat diusulkan pembentukan lembaga yang diberi nama Majelis Pertimbangan Penelitian Hakim (MPPH). Majelis ini diharapkan berfungsi memberikan pertimbangan dan mengambil keputusan terakhir mengenai saran-saran dan atau usul-usul yang berkenaan dengan pengangkatan, promosi, pemberhentian, dan tindakan/hukuman jabatan para hakim yang diajukan, baik oleh Mahkamah Agung maupun oleh Menteri Kehakiman. Namun, dalam perjuangannya ide tersebut menemui kegagalan sehingga tidak berhasil menjadi materi muatan Undang-Undang Nomor 14 Tahun 1970 tentang Ketentuan-Ketentuan Pokok Kekuasaan Kehakiman.
8
Seminar on Comparative Models of Judicial Commissions: Peran Komisi Yudisial di Era Transisi Menuju Demokrasi
Selanjutnya upaya untuk mewujudkan gagasan besar tersebut sempat mendapat akomodasi yang cukup ketika UndangUndang Nomor 35 Tahun 1999 tentang perubahan atas Undang-Undang Nomor 14 Tahun 1970 tentang Ketentuanketentuan Pokok Kekuasaan Kehakiman disahkan. Kata kunci yang sangat penting dalam Undang-Undang Nomor 35 Tahun 1999 adalah perintah bahwa untuk meningkatkan checks and balances terhadap lembaga peradilan antara lain perlu diusahakan agar putusan-putusan pengadilan dapat diketahui secara terbuka dan transparan oleh masyarakat. Selain itu juga dibentuk Dewan Kehormatan Hakim (DKH) yang berwenang mengawasi perilaku hakim, memberikan rekomendasi mengenai perekrutan, promosi dan mutasi hakim serta menyusun kode etik bagi para hakim. Dengan demikian, kesadaran tentang pentingnya transparansi dan DKH sudah mulai terbentuk yang kemudian diikuti dengan menuangkannya ke dalam sebuah Undang-Undang Embrio lain yang menjadi trigger bagi terbukanya gagasan untuk membentuk Komisi Yudisial adalah Ketetapan Majelis Permusyawaratan Rakyat (MPR) Nomor X/MPR/1998 tentang Pokok-Pokok Reformasi Pembangunan dalam Rangka Penyelamatan dan Normalisasi Kehidupan Nasional sebagai Haluan Negara. Substansi dari TAP tersebut berisikan tentang perlunya penanggulangan krisis di bidang hukum. Pasca reformasi, gagasan untuk menegakkan kewibawaan peradilan dengan menempatkan hakim sebagai main actornya semakin mendapati momentumnya. Melalui Amandemen ketiga pada Tahun 2001 disepakati pembentukan Komisi Yudisial dengan dua kewenangan konstitutif, yaitu mengusulkan pengangkatan Hakim Agung dan mempunyai wewenang lain dalam rangka menjaga dan menegakkan kehormatan, keluhuran martabat, serta perilaku hakim.
Seminar on Comparative Models of Judicial Commissions: Peran Komisi Yudisial di Era Transisi Menuju Demokrasi
9
Sebagai bentuk apresiasi atas ketentuan konstitusi yang mengintrodusir keberadaan Komisi Yudisial, pada tahun 2003, Mahkamah Agung merespon dengan menyiapkan Naskah Akademik dan RUU tentang Komisi Yudisial serta Cetak Biru Pembaruan Mahkamah Agung. Di sana jelas dikatakan bahwa Mahkamah Agung melihat pengawas internal tak bisa diharapkan sehingga diperlukan adanya Komisi Yudisial sebagai pengawas yang tepat untuk semua hakim, termasuk Hakim Agung. Pada akhirnya, puncak perjalanan mewujudkan Komisi Yudisial kemudian dituntaskan oleh Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) pada tahun 2004 dengan mengesahkan UU No 22 Tahun 2004 tentang Komisi Yudisial. Dalam UU tersebut kewenangan Komisi Yudisial ditegaskan pada pasal 13 yaitu (a) mengusulkan pengangkatan Hakim Agung kepada DPR, dan (b) menegakkan kehormatan dan keluhuran martabat serta menjaga perilaku hakim. Bila dibaca secara seksama antara wewenang Komisi Yudisial dalam UUD 1945 dengan pengaturan yang ter-cover dalam Undang-Undang di atas nampak ada distorsi. Pertama, dalam UUD 1945 terdapat frasa ”menjaga dan menegakkan”. Menjaga berarti wewenang preventif seperti seperti kewenangan untuk mengadakan pendidikan dan pembinaan hakim dll. Sedangkan menegakkan bersifat represif (fungsi pengawasan). Faktanya dalam UU hanya terdapat frasa ”menegakkan” semata yang bersifat represif. Itupun UU juga tidak konsisten, satu sisi memberi kewenangan represif, namun disisi lain produk pengawasan Komisi Yudisial hanya bersifat rekomendasi yang sifatnya tidak imperatif.
10
Seminar on Comparative Models of Judicial Commissions: Peran Komisi Yudisial di Era Transisi Menuju Demokrasi
Kedua, dalam UUD 1945, kewenangan Komisi Yudisial secara tegas berbunyi ”menjaga dan menegakkan kehormatan, keluhuran martabat, serta perilaku hakim”. Dari bunyi pasal tersebut secara jelas terlihat bahwa aspek perilaku hakim hanya menjadi bagian kewenangan yang dibuktikan dengan adanya frasa “serta perilaku hakim” Namun faktanya UU Komisi Yudisial tidak meng-cover maksud dari frasa ”menjaga dan menegakkan kehormatan serta keluhuran martabat”. Banyak pihak akhirnya memaknai kewenangan Komisi Yudisial sekedar pada ranah perilaku hakim (dalam arti sempit) yang terpisah dari ranah teknis yudisial, dan ranah teknis administratif. Padahal di dua ranah tersebut banyak terjadi pelanggaran. Dinamika Perjalanan Hubungan Komisi Yudisial-Mahkamah Agung Secara kelembagaan, Komisi Yudisial terbentuk pada 2 Agustus 2005 yang dikukuhkan dalam Keputusan Presiden tanggal 2 Juli 2005. Di awal kerjanya, Komisi Yudisial langsung menggebrak. Beberapa hakim termasuk Hakim Agung yang dilaporkan para pencari keadilan segera diperiksa. Bahkan Komisi Yudisial juga mewacanakan isu kocok ulang Hakim Agung yang sempat menggemparkan Tanah Air. Wacana tersebut oleh beberapa kalangan dinilai terlampau revolusioner dan memunculkan resistensi tersendiri bagi para hakim, terutama Hakim Agung. Puncak resistensi tersebut adalah diajukannya Judicial Review UU Komisi Yudisial ke Mahkamah Konstitusi oleh 31 Hakim Agung yang tak sudi diawasi. Tanpa diduga oleh nalar publik, Mahkamah Konstitusi kemudian memangkas beberapa pasal pengawasan yang menjadi kewenangan Komisi Yudisial melalui putusannya No. 005/PUU-IV/2006.
Seminar on Comparative Models of Judicial Commissions: Peran Komisi Yudisial di Era Transisi Menuju Demokrasi
11
Sesaat setelah Putusan Mahkamah Konstitusi tersebut, Komisi Yudisial sempat mengalami krisis kepercayaan diri. Kerja pengawasan yang selama ini menjadi salah satu identitas kerja Komisi Yudisial, selain seleksi calon hakim agung, sempat mengalami kemandegan. Dengan tidak adanya pengaturan secara jelas mengenai prosedur pengawasan akan menimbulkan kegamangan atas rekomendasi hasil pengawasan yang dilakukan oleh Komisi Yudisial (KY). Namun demikian, kondisi psikologis tersebut secara cepat dapat diatasi mengingat ekspektasi publik terhadap Komisi Yudisial masih cukup kuat. Hal ini terlihat dengan intensitas laporan dan pengaduan masyarakat pencari keadilan ke Komisi Yudisial. Dengan sisa kewenangan yang dimiliki, KY tetap menjalankan fungsi pengawasan dan bergandengan tangan dengan semua elemen masyarakat yang peduli terhadap tegaknya keadilan melalui peradilan bersih. Dalam perkembangannya, setelah terjadi suksesi kepemimpinan di Mahkamah Agung, ketegangan hubungan antara Komisi Yudisial dan Mahkamah Agung mulai mencair. Seiring dengan itu, pada tahun 2009, Komisi Yudisial juga mendapat penguatan wewenang melalui beberapa peraturan perUndangan. Hal itu bisa dilihat pada beberapa peraturan perUndangan berikut: Pertama, UU No 3 Tahun 2009 tentang Perubahan Kedua atas UU No 14 Tahun 1985 tentang Mahkamah Agung memberikan penguatan wewenang Komisi Yudisial dengan mengintrodusir pembentukan Majelis Kehormatan Hakim (MKH). Pembentukan MKH tersebut terkait dengan adanya usulan pemberhentian hakim yang mekanismenya dibentuk oleh Mahkamah Agung dan Komisi Yudisial paling lama 14 (empat belas) hari kerja terhitung sejak tanggal diterimanya usul pemberhentian.
12
Seminar on Comparative Models of Judicial Commissions: Peran Komisi Yudisial di Era Transisi Menuju Demokrasi
Keanggotaan MKH terdiri atas 3 (tiga) orang Hakim Agung dan 4 (empat) orang anggota Komisi Yudisial. Sebagai bentuk derivasinya, Komisi Yudisial dan Mahkamah Agung kemudian mengesahkan Surat Keputusan Bersama (SKB) Nomor: 047/KMA/SKB/IV/2009. 02/SKB/P.KY/ IV/2009 tentang Kode Etik dan Pedoman Perilaku Hakim yang merupakan amanat dari Undang-Undang Nomor 3 Tahun 2009. Dengan disahkannya SKB tersebut, amunisi teknis dan operasional Komisi Yudisial bertambah lengkap dalam menjalankan kewenangannya. Disahkannya SKB bersama tersebut sekaligus menegaskan babak baru hubungan Komisi Yudisial dan Mahkamah Agung yang makin membaik dalam menyatukan langkah bersama menegakkan peradilan bersih. Kedua, Komisi Yudisial mempunyai kewenangan untuk menganalisis putusan pengadilan yang memperoleh kekuatan hukum tetap sebagai dasar rekomendasi untuk melakukan mutasi hakim. Ketentuan tersebut terdapat dalam beberapa Undang-Undang yang baru disahkan Presiden, yaitu: UU No 48 Tahun 2009 tentang Kekuasaan Kehakiman (pasal 42), UU No 49 Tahun 2009 tentang Peradilan Umum (Pasal 13F), UU No 50 Tahun 2009 tentang Peradilan Agama (12F), UU No 51 Tahun 2009 tentang Peradilan Tata Usaha Negara (Pasal 13F). Ketiga, melalui tiga peraturan perUndangan yang mengatur tentang peradilan umum, peradilan agama, dan peradilan tata usaha negara seperti yang tersebut di atas, Komisi Yudisial memiliki kewenangan untuk rekrutmen hakim bersama-sama dengan Mahkamah Agung. Perluasan dan penguatan wewenang melalui beberapa peraturan perUndangan tersebut menjadi angin segar bagi Komisi Yudisial dalam menjalankan amanat konstitusionalnya
Seminar on Comparative Models of Judicial Commissions: Peran Komisi Yudisial di Era Transisi Menuju Demokrasi
13
untuk menciptakan peradilan bersih dan mewujudkan cita keadilan. Namun di tengah kondisi peradilan di Indonesia yang masih diwarnai sesaknya praktek judicial corruption (mafia peradilan) dengan berbagai modus operandi yang semakin canggih dan terkadang melampui kapasitas sistem dan aparat untuk menanggulanginya, maka tambahan peraturan yang tersebar dalam beberapa peraturan perUndangan di atas bagi Komisi Yudisial tidaklah cukup. Untuk memberangus praktek mafia peradilan yang terus menyalak diperlukan percepatan revisi Undang-Undang Komisi Yudisial sebagai dasar hukum dan lAndasan operasionalnya. Selain itu, banyaknya dinamika yang terjadi dalam perjalanan Komisi Yudisial selama lima tahun, mendorong diselenggarakannya “Seminar On Comparative Models Of Judicial Commissions: Peran KY Dalam Pemberantasan Mafia Peradilan di Era Transisi Menuju Demokrasi” sebagai sebuah studi perbandingan Komisi Yudisial di beberapa negara. TUJUAN Maksud dan tujuan diselenggarakannya seminar ini adalah dalam rangka membangun paradigma baru tentang Komisi Yudisial serta Peran, Fungsi, Tugas yang dijalankannya dalam mengawal peradilan. Di samping itu seminar ini juga dimaksudkan untuk mensinergikan Penyusunan Cetak Biru (Blue Print) Komisi Yudisial dengan kondisi fakta empiris sesuai dengan tantangan dan peran Komisi Yudisial di masa datang.
14
Seminar on Comparative Models of Judicial Commissions: Peran Komisi Yudisial di Era Transisi Menuju Demokrasi
NARASUMBER Narasumber utama seminar ini adalah: Prof. dr. W.J.M (Wim) Voermans, Guru Besar Universitas Leiden Belanda, penulis buku “Komisi Yudisial di Berbagai Negara Uni Eropa”. Selain narasumber utama, juga dihadirkan empat narasumber lain sebagai pembanding dan satu orang narasumber sebagai pembuka acara (keynote speech), yakni: 1. Prof. Dr. Moh. Mahfud, M.D., S.H., S.U. 2. Dr. M. Busyro Muqoddas, S.H., M.Hum. 3. Dr. Bambang Widjojanto, S.H, LL.M. 4. Prof. Dr. Mochtar Mas’oed 5. Prof. Dr. Takdir Rahmadi, S.H., LL.M. WAKTU DAN TEMPAT PELAKSANAAN Seminar ini dilaksanakan pada: •
Waktu
: Senin, 5 Juli 2010
•
Tempat
: Jakarta, Hotel Arya Duta.
ALUR DISKUSI Acara seminar di Hotel Arya Duta ini dihadiri oleh sekitar 185 peserta yang terdiri dari berbagai macam latar belakang, antara lain Advokat, Hakim, Jaksa, Kepala Biro Hukum dari berbagai macam instansi, Akademisi, Dosen Fakultas Hukum, Peneliti, serta Mahasiswa Hukum. Seminar dengan tema ”Peran Komisi Yudisial di Era Transisi Menuju Demokrasi” Seminar on Comparative Models of Judicial Commissions: Peran Komisi Yudisial di Era Transisi Menuju Demokrasi
15
ini dibuka dengan Keynote Speech yang diberikan oleh Bpk. Moh. Mahfud, M.D. (Ketua Mahkamah Konstitusi RI). Seminar dibagi menjadi dua sesi, sesi pertama dimoderatori oleh Sdr. Tri Agung Kristanto (Jurnalis Kompas) dan sesi kedua dipandu oleh Sdr. Asep Rahmat Fajar (Indonesian Legal Roundtable). Narasumber pada sesi pertama dan judul materi mereka adalah sebagai berikut: Prof. Dr. Mochtar Mas’oed:
Mengawasi Penghakiman, Menjamin Demokrasi
Dr. Bambang Widjojanto, S.H., LL.M.:
Pengaturan dan Pergeseran Konsep Pengawasan Eksternal Terhadap Peradilan
Dr. M. Busyro Muqoddas, S.H., M.Hum.:
Dinamika Kelembagaan Komisi Yudisial: Sebuah Pembelajaran
Sedangkan, Untuk sesi kedua antara lain:
Prof. Dr. Takdir Rahmadi, S.H., LL.M.:
Peran dan Fungsi Komisi Yudisial dalam Kekuasaan Kehakiman
Prof. dr. W.J.M (Wim) Voermans, Ph.D.:
Indonesia Councils for Judiciary
16
Seminar on Comparative Models of Judicial Commissions: Peran Komisi Yudisial di Era Transisi Menuju Demokrasi
Adapun pokok-pokok bahasan yang dibicarakan oleh masingmasing narasumber adalah sebagai berikut : Prof. Dr. Moh. Mahfud, M.D., S.H., S.U. (Ketua Mahkamah Konstitusi RI) Sub Tema: Kedudukan KY dalam Sistem Kekuasaan Kehakiman dan Sistem Ketatanegaraan Secara Keseluruhan Cakupan: •
KY dan posisinya dalam irisan antara prinsip independensi peradilan dan prinsip akuntabilitas peradilan;
•
Pasang surut hubungan KY dengan lembaga peradilan (Mahkamah Agung dan Mahkamah Konstitusi);
•
Mencari pola hubungan yang ideal antara KY dan lembaga peradilan;
•
Artikulasi kepentingan politik terhadap KY melalui proses legislasi dan rekrutmen Anggota KY.
Seminar on Comparative Models of Judicial Commissions: Peran Komisi Yudisial di Era Transisi Menuju Demokrasi
17
SEMINAR SESI I Prof. Dr. Mochtar Mas’oed. (Guru Besar Ilmu Hubungan Internasional FISIP Univ. Gadjah Mada, Yogyakarta) Sub Tema: Harapan Masyarakat terhadap Peradilan yang Bersih dan Berwibawa dan Raison d’Etre Pembentukan KY di Indonesia Cakupan: •
Persepsi negatif publik terhadap praktek peradilan di Indonesia;
•
Tantangan sekaligus kebutuhan pembenahan peradilan di sebuah negara yang sedang bertransisi menuju demokrasi;
•
KY sebagai mekanisme pengawas dan pengimbang (checks and balances) bagi lembaga peradilan yang mandiri;
•
KY sebagai sarana kontrol publik terhadap peradilan.
18
Seminar on Comparative Models of Judicial Commissions: Peran Komisi Yudisial di Era Transisi Menuju Demokrasi
Dr. Bambang Widjojanto, S.H., LL.M. (Praktisi Hukum, Anggota Tim Penyusun Cetak Biru KY) Sub Tema: Sejarah Pengaturan dan Pergeseran Konsep Pengawasan Eksternal terhadap Peradilan Cakupan: •
Interaksi antara aspirasi masyarakat dan dinamika regulasi/legislasi (studi kasus pergulatan konsep pengawasan eksternal peradilan versi masyarakat dan versi negara dari waktu ke waktu);
•
Konsep pengawasan eksternal peradilan pra KY: (i) Majelis Pertimbangan Penelitian Hakim 1968; (ii) Dewan Kehormatan Hakim 1999;
•
Konsep KY dalam Konstitusi dan kesenjangan penerjemahannya dalam UU No. 22 Tahun 2004 tentang KY;
•
Konsep KY dalam UU No. 3 Tahun 2009 tentang Mahkamah Agung (MA) dan Paket UU Peradilan Tahun 2009;
•
Konsep KY dalam Cetak Biru KY dan RUU KY.
Seminar on Comparative Models of Judicial Commissions: Peran Komisi Yudisial di Era Transisi Menuju Demokrasi
19
Dr. M. Busyro Muqoddas, S.H., M.Hum. (Ketua Komisi Yudisial RI) Sub Tema: Dinamika Kelembagaan KY, Sebuah Pembelajaran Cakupan: •
Peran strategis Anggota KY dalam pelaksanaan fungsi, tugas, dan wewenang KY;
•
Kapasitas kelembagaan KY di bidang SDM, organisasi, dan keuangan;
•
Pentingnya menjaga kewibawaan dan integritas KY dan kaitannya dengan rencana pengembangan kapasitas kelembagaan KY berdasarkan Cetak Biru KY.
Moderator:
20
Tri Agung Kristanto (Kompas)
Seminar on Comparative Models of Judicial Commissions: Peran Komisi Yudisial di Era Transisi Menuju Demokrasi
SEMINAR SESI II Prof. Dr. Takdir Rahmadi, S.H. LL.M. (Hakim Agung, Wakil Ketua Tim Pembaruan Mahkamah Agung RI) Sub Tema: Peran dan Fungsi KY dalam Kekuasaan Kehakiman Cakupan: •
Posisi peran dan fungsi KY yang ideal dalam konteks kekuasaan kehakiman yang dilakukan lembaga peradilan.
•
Pola hubungan yang diharapkan antara KY dan Lembaga peradilan dari perspektif pelaku kekuasaan kehakiman.
•
Proyeksi dan ekspektasi terhadap KY ke depan.
Seminar on Comparative Models of Judicial Commissions: Peran Komisi Yudisial di Era Transisi Menuju Demokrasi
21
Prof. dr. W.J.M. (Wim) Voermans, Ph.D. (Professor of Constitutional & Administrative Law, Leiden University. Penulis buku Komisi Yudisial di Beberapa Negara Uni Eropa) Sub Tema: Memperkuat Reformasi Peradilan Melalui KY Cakupan: •
Perbandingan berbagai model KY, studi kasus negaranegara Uni Eropa dan beberapa negara transisi;
•
Prinsip-prinsip yang dapat dibangun dari rasional di balik pilihan akan suatu model KY dan kesesuaiannya dengan tatanan dan konteks permasalahan peradilan di suatu negara;
•
Penerapan atas prinsip-prinsip yang dibangun dalam tatanan dan konteks permasalahan peradilan di Indonesia.
Moderator:
22
Asep Rahmat Fajar (Indonesian Legal Roundtable)
Seminar on Comparative Models of Judicial Commissions: Peran Komisi Yudisial di Era Transisi Menuju Demokrasi
BAB II Seminar Sesi I Pengantar Redaksi Seminar ini diawali dengan Keynote Speech yang disampaikan oleh Ketua Mahkamah Konstitusi Moh. Mahfud, M.D. Dalam pengantarnya Mahfud membahas tentang potret gelap dunia peradilan yang sekaligus menjadi asbabun nuzul kelahiran KY. Selain itu juga dikupas tentang tantangan penegakkan hukum di Era Transisi, dan peran KY dalam menegakkan peradilan bersih. Terakhir Mahfud membahas mengenai bagaimana menguatkan kembali wewenang KY yang terlanjur dipangkas oleh MK. Berikut isi lengkap Keynote Speech yang disampaikan oleh Prof. Dr. Moh. Mahfud, M.D., S.H., S.U.: Keynote Speech Prof. Dr. Moh. Mahfud, M.D, S.H., S.U. Historical Background Kelahiran KY Kelahiran KY di dalam konstitusi merupakan bentuk respon atas buramnya wajah peradilan yang ditengarai melahirkan ketidakadilan. Ketidakadilan tersebut muncul karena beberapa hal. Pertama, adanya intervensi dari kekuatan ekstra yudisial, terutama oleh pemerintah. Akibatnya setiap perkaraperkara yang menyangkut kepentingan pemerintah, peradilan selalu membela dan memenangkan Seminar on Comparative Models of Judicial Commissions: Peran Komisi Yudisial di Era Transisi Menuju Demokrasi
23
pemerintah, sementara rakyat pasti dikalahkan. Kedua, ketidakadilan itu lahir karena rusaknya moralitas dikalangan hakim-hakim pengadilan. Berangkat dari problem tersebut, ketika reformasi menyeruak pada tahun 1998, maka pilihan yang pertama kali dilakukan adalah agenda demokratisasi. Hal itu diakibatkan karena seluruh persoalan yang muncul di Indonesia seperti KKN adalah karena negara ini tidak demokratis. Tidak demokratisnya negara ini secara teoritik muncul pada saat pemberlakuan UUD 1945. Dan memang dalam sejarahnya, ketika UUD 1945 diberlakukan pemerintah otoriter luar biasa, sehingga keluar maklumat nomor X, kemudian berubah menjadi Konstitusi RIS 1948, lalu berubah ke UUDS 50, dan pada akhirnya kembali lagi ke UUD 1945. Konsekuensinya, negara menjadi otoriter kembali. Karena itulah, ketika reformasi bergulir maka teriakan yang pertama muncul adalah agenda amandemen UUD 1945 dengan tujuan untuk membangun sistem politik yang demokratis. Terkait dengan faktor tidak independennya peradilan karena intervensi pemerintah, yang pada gilirannya melahirkan ketidakadilan, pemerintah melakukan reformasi di bidang kekuasaan kehakiman. Hasilnya, kekuasaan kehakiman disatu atapkan ke MA yang diatur dalam UU No 35 tahun 1999. Mimpi yang terpancang pada saat kebijakan itu dilahirkan adalah hakim tidak lagi bisa didikte oleh pemerintah. Putusan hakim diharapkan benar-benar dibuat secara independen. Di zaman Orde Baru putusan hakim yang independen sangat langka, kalaupun ada yang agak bagus hanya dari beberapa hakim saja, misalnya Benyamin Mangku Dilaga dan Andi Andoyo, sementara hakim yang lain hampir tak pernah terdengar. Pertanyaanya mengapa hal itu sampai terjadi?,
24
Seminar on Comparative Models of Judicial Commissions: Peran Komisi Yudisial di Era Transisi Menuju Demokrasi
jawabannya karena dua faktor yang telah disebutkan di awal, yaitu karena pengadilan tidak independen dan buruknya moralitas para hakim. Karenanya bukan hal yang aneh bila ada fenomena kasus diijon/ditukar, misalnya kalau Si A menjadi ketua pengadilan, lalu ada sebuah kasus di mana Si B diduga mempunyai sengketa besar masalah perdata yang melibatkan uang besar. Sebelum kasus ini masuk ke pengadilan, sudah diijon. Modusnya, Si C sebagai anggota majelis datang ke A lalu bilang “Nanti kalau Si B masuk kesini, biar saya hakimnya”. Jadi sudah dipesan sebelum menjadi perkara, pengadilan-pun menjadi rusak. Karena itulah maka ada wacana untuk membentuk pengawasan eksternal dengan membentuk Komisi Yudisial, karena pengawasan internal tidak bisa diharapkan. Penegakan Hukum dan Watak Era Transisi Persoalan berikutnya, setelah Komisi Yudisial lahir, muncul mafia peradilan di Era Transisi. Biasanya kalau Era Transisi lahir, semuanya bersemangat membuat lembaga baru, termasuk Komisi Yudisial. Namun yang perlu dicatat, era transisi itu mempunyai watak-wataknya sendiri, misalnya di dalam era transisi itu aturan-aturan seringkali bersifat anomali, sistem lama telah ditolak karena buruk, namun sistem yang baru belum ada. Hal ini yang menyebabkan kondisi menjadi kacau. Banyak yang merasa dengan gagahnya mengatakan bahwa yang lama mari kita hantam, namun di sisi lain yang baru belum ada yang dapat diterima bersama. Watak yang kedua, biasanya demokrasinya prosedural. Sementara watak yang ketiga, karena aturan yang bersifat anomali itu lalu di Era Transisi seringkali aturan-aturan yang sudah disepakati itu ditukangi lagi dalam permainan-permainan politik. Watak yang ketiga inilah yang terjadi pada Komisi Yudisial. Pada awalnya sudah bersepakat untuk membuat Komisi Yudisial
Seminar on Comparative Models of Judicial Commissions: Peran Komisi Yudisial di Era Transisi Menuju Demokrasi
25
dengan tujuan agar hakim-hakim bersih, namun ketika dalam perjalanannya ada yang merasa terganggu, maka orang yang tadinya ikut bersemangat mendirikan Komisi Yudisial, pada gilirannya ikut menukangi untuk menghancurkannya kemudian. Demikianlah, di Era Transisi seringkali muncul fenomena bahwa sesuatu gagasan itu sudah bagus, namun ketika dalam perjalananya mengancam diri sendiri, akhirnya digunting-gunting lagi. Itulah yang terjadi dengan KY. Berikutnya, meskipun Komisi Yudisial sudah lahir, dan kekuasaan kehakiman sudah disatu atap kan, namun keadaan sekarang sesungguhnya tidak lebih baik. Pada awalnya banyak teriakan lantang agar independensi kekuasaan kehakiman itu independen, tidak dipengaruhi oleh siapapun dari kekuatan manapun, tetapi yang terjadi sekarang hakim justru menyalahgunakan independensinya untuk berkolusi. Bila dulu tidak independen karena intervensi pemerintah sekarang justru atas nama independensi hakim mencederai keadilan. Akibatnya situasi penegakan keadilan di negeri ini semakin buruk, bukan semakin bagus, sehingga seminar-seminar seperti ini menjadi penting. Apa yang diharapkan di Era Transisi ini?, namun pertanyaan yang lebih besar lagi kapan Era Transisi ini menjadi konsolidasi demokrasi?. Sepertinya belum terlihat kapan saatnya konsolidasi dimulai, padahal proses perubahan dari otoriter ke konsolidasi demokrasi itu ada sebuah jembatan yang bernama transisi. Inilah yang belum tampak sehingga seminar seperti ini menjadi penting.
26
Seminar on Comparative Models of Judicial Commissions: Peran Komisi Yudisial di Era Transisi Menuju Demokrasi
Hukum Progresif dan Urgensi Penguatan Wewenang KY Salah satu hal yang penting lagi terkait dengan penegakan hukum adalah adanya reformasi konstitusi sebagai bagian dari reformasi politik. Dalam reformasi konstitusi tersebut Indonesia sebenarnya semakin memberi tempat bagi pAndangan hukum progresif. Hal itu terlihat secara jelas dari adanya pencoretan secara sadar dan penuh tanggung jawab, kata rechtsstaat dari UUD 1945. Jadi negara hukum yang dianut Indonesai bukanlah rechtsstaat, karena rechtsstaat itu dulunya lebih sering diartikan sebagai upaya menegakkan kepastian hukum dengan melAndaskan dirinya pada legisme. Sesuatu dikatakan benar bila terdapat dalam Undang-Undang. Padahal ada juga konsep negara hukum rule of law dimana yang dikatakan benar itu bukan Undang-Undang, yang dikatakan benar itu putusan hakim, tarik menarik seperti ini dulu terjadi. Sekarang kata rechtsstaat telah dihapus, sehingga bunyinya Indonesia adalah negara hukum, hal itu diatur dalam UUD 1945, pasal 1 ayat 3. Pencoretan kata rechtsstaat itu disadari sepenuhnya, karena pada waktu itu saya ikut di MPR dan mengusulkan pencoretan kata rechtsstaat. Dengan demikian Indonesia bisa masuk ke sebuah paradigma penegakan hukum yang berparadigma hukum progresif. Apa itu hukum progresif? Hukum progresif adalah suatu hukum yang menyatakan bahwa keadilan itu diciptakan atau dibangun oleh hakim-hakim yang disesuaikan dengan kehidupan masyarakat, sehingga pasal-pasal yang mengikat bagi hakim itu adalah pasal-pasal di tengah kehidupan masyarakat, bukan pasal yang hanya ada di dalam Undang-Undang, untuk itu hakim diberikan kebebasan mencari keadilannya sendiri. Namun hal ini kadang menimbulkan masalah bagi kalangan tertentu, karena hakim yang tidak bermoral kemudian menumpang. Akibatnya istilah hukum progresif untuk kebebasan ini disalahgunakan dan memutus sesuatu dengan dalih untuk mencari keadilan. Seminar on Comparative Models of Judicial Commissions: Peran Komisi Yudisial di Era Transisi Menuju Demokrasi
27
Padahal untuk menentukan putusan tersebut ia melakukan transaksi tawar menawar dan bukan mencari keadilan. Dengan seenaknya, kalau ada orang berperkara kepada hakim nakal, hakim tersebut akan mengatakan “Anda bisa menang dengan pasal ini dan Undang-Undang nomor sekian, tapi Anda bisa kalah kalau saya menggunakan Undang-Undang nomor sekian pasal sekian ayat sekian, Anda mau yang mana?. Kalau mau menang ini harganya, kalau tidak mau akan saya jual ke yang mau bayar”. Hal inilah yang sering menjadi problem ketika MA berteriak tentang kehadiran KY bahwa independensi hakim menjadi terganggu, hakim menjadi takut berbuat. Di satu sisi hal itu ada benarnya, namun di sisi lain hal itu akan membenarkan adanya kolusi atas nama kebebasan/ independensi. Hakim Konstitusi Harus diawasi Mantan hakim konstitusi Maruarar Siahaan di salah satu media mengatakan bahwa tugas KY adalah mempertemukan antara tuntutan independensi dan pengawasan. Dalam konteks itu Maruarar menilai KY gagal untuk mengawasi hakim tanpa mengganggu independensi. Apalagi sekarang menjadi persoalan karena MK melalui putusannya No. 005/ PUU-IV/2006 telah membatalkan wewenang pengawasan KY. Adalah sebuah fakta bahwa putusan MK itu bersifat final dan mengikat, begitu juga terkait dengan putusan MK mengenai wewenang mengawasi yang ada dalam UU KY yang dinilai inkonstitusional. Pada saat itu, sungguh mengagetkan ketika MK memutuskan pasal mengenai wewenang pengawasan KY. Perasaan kaget dan marah benar-benar dirasakan saat itu. Apalagi dalam putusan tersebut juga dinyatakan bahwa hakim konstitusi tidak boleh diawasi oleh KY.
28
Seminar on Comparative Models of Judicial Commissions: Peran Komisi Yudisial di Era Transisi Menuju Demokrasi
Padahal kalau dilihat dari segi filosofis-nya (original intens pembentukan KY dalam UUD 1945), seperti yang muncul dalam perdebatan-perdebatan di MPR sudah jelas bahwa hakim MK merupakan hakim yang juga diawasi KY. Tapi mengapa karena atas permintaan 31 orang Hakim Agung yang mengajukan judicial review UU KY, MK kemudian mengabulkan. Memang MK tentu punya alasan untuk mengatakan itu, tetapi orang yang tidak setuju dengan putusan tersebut juga punya alasan untuk menyatakan bahwa yang benar bukan demikian. Karena itulah kebenaran itu sesungguhnya minimal mempunyai dua sisi: benar kata si A, salah kata si B. Bagi seorang hakim letaknya ada di hati nurani, sebab mau mencari kebenaran mutlak itu tidak ada. Putusan MK karenanya menjadi benar menurut perspektif yang dia pilih, tetapi saya dan yang lain mempunyai perspektif berbeda dan menyatakan bahwa putusan tersebut adalah salah. Lalu di mana kuncinya untuk menentukan di antara benar dan salah?. Pertama perlu disampaikan mengapa ada syarat bahwa hakim konstitusi harus seorang negarawan?, jawabannya adalah karena ketika menghadapi pilihan-pilihan yang berbeda dia akan bertanya kepada hati nuraninya dan bertanya kepada common sense yang ada di tengah-tengah masyarakat. Beberapa waktu yang lalu, saya menguji disertasi Boy Nurdin di UNPAD, salah satu saran yang penting dalam disertasi tersebut adalah agar wewenang KY yang dibatalkan oleh MK segera dihidupkan kembali. Sebagai salah satu penguji saya katakan mengapresiasi, persoalannya bagaimana caranya menghidupkan kembali sebuah isi UU yang sudah dinyatakan batal oleh MK?. Kalau misalnya kita menyetujui bahwa UU yang sudah dinyatakan batal lalu dijadikan UU lagi, maka problemnya seluruh putusan MK akan dibegitukan juga, bukan hanya soal UU KY. Mungkin di satu sisi manfaatnya akan besar khusus untuk pengawasan hakim, namun dalam soal Seminar on Comparative Models of Judicial Commissions: Peran Komisi Yudisial di Era Transisi Menuju Demokrasi
29
lain orang akan datang juga ke DPR untuk minta dihidupkan kembali. Karena itu yang harus dicari sekarang adalah bagaimana wewenang-wewenang yang dulunya dianggap sudah bagus itu sekarang bisa melekat lagi tanpa dengan menghidupkan UU yang sudah dinyatakan mati. Seminar ini diharapkan mampu menjawab bagaimana caranya mencari jalan terbaik atas problem tersebut. Terkait dengan hal di atas, pilihan yang dulu pernah saya sampaikan adalah dengan melakukan amandemen konstitusi. Di konstitusi tersebut ditentukan secara jelas tentang tugas dan wewenang KY, termasuk juga ditentukan bahwa hakim konstitusi harus diawasi KY. Hal itu penting karena hakim konstitusi rawan juga terhadap penyalahgunaan. Mungkin dalam konteks sekarang ketika masih generasi pertama dan generasi kedua, MK masih bagus. Tapi apakah ada jaminan bahwa di generasi ketiga nanti tetap bagus alias tidak luntur?. Kita bisa mengilustrasikan dengan fakta sejarah manapun, sejarah umat islam misalnya, yang bagus-bagus adalah generasi pertama, tapi sekarang luntur. Bisa saja hal itu akan sama dengan hakim konstitusi, sekarang karena masih dekat dengan pesan sejarah, sehingga MK masih bagus, tapi ke depan tidak ada jaminan. Kalau MK tidak diawasi bagaimana?. Tentu akan berpotensi bahaya. Misalnya ketika ada orang berperkara untuk memperebutkan kursi di DPRD, taruhlah membutuhkan suara 20 ribu untuk menjadi anggota DPRD. Siapa yang akan dimenangkan dalam perkara tersebut diminta bayaran seratus juta, maka pastinya akan segera dibayar agar menjadi anggota DPRD. Kalau di DPRD tingkat I katakanlah hakim minta dibayar 500 juta untuk menjadi anggota DPRD selama 5 tahun, sementara di tingkat pusat barang kali dibayar 2 milyar atau 2,5 milyar, maka itu tergolong murah. Karena itu 30
Seminar on Comparative Models of Judicial Commissions: Peran Komisi Yudisial di Era Transisi Menuju Demokrasi
bila tidak diawasi untuk hakim konstitusi di masa mendatang, akan sangat-sangat berbahaya. Itulah sebabnya mumpung sekarang ini masih belum jauh dari reformasi, maka perlu segera dirumuskan mekanisme pengawasan bagi hakim konstitusi. Menyikapi apa yang sudah diputuskan oleh MK dengan perspektif yang dipilihnya pada saat itu sudah terlanjur terjadi dan itu benar dilihat dari perspektif MK. Namun bagi saya, pada waktu itu saya pilih perspekftif lain dan mengatakan bahwa hal itu salah, dan saya yang benar. Dalam agama ada dalil hukmul hakim yarfa’ul khilaf, “Putusan hakim itu Anda suka atau tidak suka, Anda anggap benar atau tidak benar harus menyelesaikan persoalan”, tidak usah dilawan. Namun tentunya prasarat putusan-putusan hakim yang tidak bisa dilawan itu kalau memang pengadilannya bersih, prosesnya benar, terbuka dan transparan dan sebagainya. Mungkin demikianlah persoalan-persoalannya, saya tidak tahu apa yang harus ditawarkan untuk menjawab persoalan-persoalan tersebut, saya melemparkan persoalannya saja, nanti soal jalan keluarnya tentu seminar inilah yang akan menjawab. Terakhir, KY sebenarnya menjadi harapan bagi masa depan penegakan hukum. Oleh sebab itu maka di internalnya juga harus bersih, Kesekjenannya, Anggota KY-nya dan sebagainya. Jangan sampai terjadi peristiwa yang tidak disangka-sangka, misalnya dulu ada peristiwa calo tanah yang melibatkan orang dalam, itu sangat mengagetkan. Juga jangan sampai terjadi, misalnya ada anggota KY mengurus perkara ke MA, menitipkan perkara orang, menitipkan orang untuk mempromosikan seorang hakim agar naik pangkat, lalu dititipkan oleh KY kepada pimpinan MA, itu menurut saya tidak boleh, harus institusional dan objektif, tidak boleh personal-personal sampai melakukan itu. Sekarang belum ada yang melakukan
Seminar on Comparative Models of Judicial Commissions: Peran Komisi Yudisial di Era Transisi Menuju Demokrasi
31
itu, kalau sampai terjadi, maka KY akan menjadi tidak ada harganya, dan saya pun termasuk yang akan melawan terhadap seluruh kebijakan KY kalau komisionernya itu ada yang tidak bersih. Demikian apa yang bisa saya sampaikan. Terimakasih. Wassalamualaikum. Wr.Wb.
32
Seminar on Comparative Models of Judicial Commissions: Peran Komisi Yudisial di Era Transisi Menuju Demokrasi
Pengantar Redaksi Mochtar Mas’oed memberikan presentasi tentang “Harapan Masyarakat terhadap Peradilan yang Bersih dan Berwibawa dan Raison d’Etre Pembentukan KY di Indonesia”. Dalam pemaparannya Mochtar menyampaikan beberapa poin, pertama tentang revolusi yang didistorsi menjadi reformasi serba kompromistis. Mochtar juga memaparkan tentang fenomena hakim yang menyalahgunakan kewenangan yang dimilikinya dan bagaimana seharusnya model pengawasan hakim dalam perspektif politik. Berikut pemaparannya: Prof. Dr. Mochtar Mas’oed. Mengawasi Penghakiman, Menjamin Demokrasi Pertama-tama, saya ingin melihat apa yang disebut legal reform itu sebagai bagian dari upaya memperbaiki kehidupan masyarakat, politik, hukum dan ekonomi. Caranya dengan memberi wewenang kepada yang diperintah untuk ikut serta mengurus bagaimana memerintah. Dalam bahasa lain disebut sebagai demokrasi. Namun apakah benar hal itu berlaku dalam legal reform di Indonesia. Sebuah pertanyaan yang harus dijawab. Kita mulai dari yang paling gampang. Biasanya ketika ada masalah, kita mencari kambing hitam dan kambing hitam kita itu namanya orde baru. Jadi kalau ingin mencari yang salah itu mulainya dari sana. Saya memakai itu, terutama yang saya tidak mengerti sebetulnya dahulu ada yang namanya
Seminar on Comparative Models of Judicial Commissions: Peran Komisi Yudisial di Era Transisi Menuju Demokrasi
33
Mahkejapol. Konon ada cerita bahwa kita ingin membentuk itu lagi sekarang. Saya ingin mengingatkan, di masa lalu, ketika mengadili Marsinah, menurut laporannya dirapatkan dulu. Sesuatu yang sekarang hendak kita tinggalkan. Reformasi dan Fragmentasi Dulu kita menghadapi kondisi di mana tentara diperlukan karena politik harus stabil, ekonomi harus stabil dan bisa memberi pertumbuhan. Parlemen dahulu juga tidak terlalu gagah. Sementara pangadilan dirunding dulu bagaimana enaknya, siapa yang menuntut apa, pakai pasal apa lalu nanti ketemu diputuskan bagaimana. Untuk itu dulu ada namanya Mahkejapol, dan yang lain sekedar pelengkap penderita. Setelah itu, ada kejadian dimana rakyat diberi lagi wewenang untuk ikut mengurus urusan yang mengenai dirinya (reformasired). Namun problemnya tidak ada kesepakatan. Jadi yang terjadi adalah transisi, kalaupun ada kesepakatan sangat kompromistik. Saya sendiri tidak tahu apa yang terjadi di Jakarta, karena saya tidak di sini tahun-tahun itu. Tapi yang saya ketahui dari kejauhan ternyata komprominya luar biasa. Ada satu masa di akhir tahun 1990-an, ketika semua orang yang ingin berkuasa ada di dalam kekuasaan, jadi kabinetnya diisi semua yang sepatutnya saja, lalu presidennya bingung. Kata reformasi sesungguhnya sesuatu yang membingungkan, waktu itu semua takut revolusi, jadi akhirnya dipakai kata reformasi. Walaupun sebetulnya kalau kita dengarkan apa yang didiskusikan di berbagai tempat sebetulnya yang diusulkan adalah revolusi. Pemakaian kata reformasi biar terkesan agak sopan sedikit. Akibatnya tidak ada ketegasan, siapa lawan siapa kawan, yang mau dikerjakan apa. Hasilnya tidak tegas perbedaan dengan yang kemarin. Buntutnya
34
Seminar on Comparative Models of Judicial Commissions: Peran Komisi Yudisial di Era Transisi Menuju Demokrasi
muncul fragmentasi. Padahal fragmentasi adalah penyakit lama yang diderita kehidupan masyarakat Indonesia, terutama dalam hal politik. Sejak lama politik di Indonesaia mengalami fragmentasi. Secara formal fragmentasi terlihat dari hasil pemilihan umum tahun 1955. Waktu itu pemenang terbesarnya hanya memperoleh sekitar 20 sekian persen, pemilu yang berikutnya tahun 1999 juga sama, jauh di bawah 50 persen. Jadi memang tidak ada yang bisa menciptakan mayoritas melalui pemilu, sehingga pemilu yang mahal sekali itu tetap saja meneguhkan fragmentasi. Akibatnya, siapapun yang berpolitik tidak mampu membangkitkan semangat bersepakat. Inilah yang saya maksud mengapa kita mempunyai pemerintahan tetapi dengan koalisi yang sangat rapuh dan karena itu pimpinan tertinggi seringkali menjadi ragu-ragu karena kerapuhan itu. Menegakkan Hukum Hukum menegaskan aturan main sehingga perubahan apapun yang dicapai dimaksudkan untuk dikukuhkan ke dalam suatu yang baku. Penegakannya dijamin oleh peradilan yang bukan hanya berwibawa tapi juga adil. Namun yang terjadi menurut cerita Ketua MK, peradilan masih perlu belajar menegakkan diri dan kehormatannya sendiri. Inilah mungkin yang mendasari berdirinya lembaga pengawasan seperti KY sebelum ada putusan MK. Putusan MK menunjukan kelemahan lAndasan institusional, padahal kita ini yang awam-awam tapi baca koran sudah tahu banyaknya hakim yang tidak menjaga kehormatan diri dan institusinya. Karena itu saya kira usulannya harus ada perubahan.
Seminar on Comparative Models of Judicial Commissions: Peran Komisi Yudisial di Era Transisi Menuju Demokrasi
35
Tadi saya diingatkan oleh pengantar Ketua MK, bahwa putusan MK sifatnya final dan untuk merubah putusan caranya melalui amandemen konstitusi. Namun saya ingin melihatnya secara non legal. Saya bayangkan korps kehakiman yang menentang keberadaan KY itu jangan-jangan bukan karena melanggar konstitusi, tapi jangan-jangan ada yang bersifat prinsip atau filosofis. Saya tidak tahu persis apa yang secara prinsip membuat mereka tidak mau kehilangan kebebasan itu. Kedua, mengingat banyaknya hakim yang korup, bagaimana meyakinkan bahwa pengawasan itu baik bagi korps. Jadi kalau di dalam kegiatan keorganisasian itu susah mengubah seseorang kalau dia tidak melihat insentif dan disinsentif yang jelas mengapa saya harus mengubah diri agar lebih responsive terhadap tuntutan masyarakat. Ini sebuah pertanyaan sederhana. Jangan-jangan penyebabnya secara sosiologis masih yang ituitu juga, yaitu ketidakmampuan memisahkan dengan tegas antara urusan publik dengan urusan pribadi, atau dalam bahasa text book disebut dengan patrimonialisme. TAnda-tAnda patrimonialisme itu dalam demokrasi rakyat memberikan kekuasaan untuk memerintah kepada pemerintah, tetapi kekuasaan itu dicuri dan digunakan secara sewenang-wenang oleh pejabat pemerintah. Jadi jangan menganggap demokrasi sebagai pemberian wewenang kepada orang dan memberi wewenang kepada sesuatu, tetapi kemudian yang duduk di dalam itu lalu menggunakan wewenang seolah-olah miliknya sendiri. Sebab itu adalah patrimonialisme bukan demokrasi. Dalam Negara hukum rakyat memberikan wewenang penghakiman kepada lembaga peradilan, tetapi wewenang itu dicuri secara sewenang-wenang dan digunakan secara sewenang-wenang oleh pejabat lembaga peradilan itu. Jadi
36
Seminar on Comparative Models of Judicial Commissions: Peran Komisi Yudisial di Era Transisi Menuju Demokrasi
yang independen itu menurut saya lembaga peradilan, bukan orangnya. Dalam respublika rakyat bersedia membiayai sendiri semua yang mereka perlukan yang disebut public goods melalui pajak, tetapi uang pajaknya dicuri. Ketua MK tadi seolah-olah menyerah dengan menyatakan semua dikembalikan pada nurani. Jadi pertanyaannya perubahan institusional apa yang bisa mengikis fenomena seperti itu. Menurut saya para ahli hukum meski pandai-pandai merumuskan aturan main yang memberi insentif pada institusi kehakiman dan para hakim. Namun mari kita bayangkan bukan orang, tapi urusannya lebih pada institusi. Artinya bukan dengan menyalahkan institusi, tapi memperbaikinya harus institusional. Ketika masih sangat muda, saya membaca pidatonya Pak Syafruddin Prawiranegara Gubernur Bank Sentral Indonesia yang pertama pada tahun 1966 atau 1965. Pidato itu berisi bagaimana memperbaiki pegawai, katanya “usir yang lain dan sisakan 30 persen, lalu yang 30 persen itu naikkan gajinya sepuluh kali”. Kalau tidak salah nasehat itu dilakukan oleh menteri keuangan tahun 1973. Depertemen Keuangan naik sepuluh kali lipat gajinya pada waktu itu, tapi sekarang sudah puluhan tahun kelakuannya tidak berubah juga. Jadi jangan individu yang diarahkan, karena urusannya bukan sekedar etika. Meskipun memang meningkatnya peradaban ditAndai dengan semakin meningkatnya peran etika, bukan hukum formal. Namun saya ingin mengatakan, bukannya etika tidak penting, tapi kalau etika kan nanti resepnya kuliah subuh atau sekolah minggu. Jadi saya kira kita harus membayangkan lebih dari sekedar etika.
Seminar on Comparative Models of Judicial Commissions: Peran Komisi Yudisial di Era Transisi Menuju Demokrasi
37
Pengawasan dari Perspektif Politik Sekarang marilah kita bawa ini ke persoalan politik. Menurut saya pengawasan itu persoalan politik dan struktural, jadi hakim tidak perlu diawasi. Bukan karena mereka itu sopan dan etikanya baik. Solusinya saya kira mesti dicari dalam tindakan politik, maksud saya adalah mesti segera dilakukan mekanisme pengawasan secara politik. Apa bentuknya, apakah itu dengan membuat semua rakyat yang diadili harus memelototi yang mengadili, misalnya. Perpolitikan memobilisasi supaya yang akan terkena oleh sesuatu harus mengawasi bagaimana sesuatu itu dikenakan padanya, itu terkait dengan pengorganisasian masyarakat. Kalau Ketua KY itu mengatakan civil society bagian dari perpolitikan, maka kita harus tahu, di berbagai daerah kreativitasnya sangat tinggi memakai kata woods itu. Karenanya itu katakata tersebut saya kira bagian dari perpolitikan yang harus dikembangkan, jangan hanya mengandalkan kepada aturanaturan yang nanti bisa dimandulkan lagi seperti KY. Jadi saya ingin memakai perpolitikan macam apa yang bisa membuat pengawasan terhadap itu tidak hanya berlangsung melalui lembaga formal. Yang dilakukan oleh KY berat sekali, tadi kalau boleh saya simpulkan Ketua MK mengatakan kira-kira bagaimana mengawasi hakim tanpa mengganggu independensinya. Saya kira pengawasan harus dilakukan oleh sebanyak mungkin orang dan semua anggota masyarakat yang berkepentingan terhadap persoalan ini. Karena itu hal ini menjadi tugas kita semua, bukan hanya tugasnya KY.
38
Seminar on Comparative Models of Judicial Commissions: Peran Komisi Yudisial di Era Transisi Menuju Demokrasi
Terakhir saya ingin menutup pembicaraan ini dengan melontarkan persoalan pengawasan ini menjadi persoalan publik, sehingga kata-kata yang selama ini kita inginkan, keterbukaan, transparansi, itu menjadi kesadaran kolektif bagi kita semu untuk melakukan. Pertanyaannya, bagaimana memobilisasikan hal itu, mekanismenya seperti apa, dan lainlain. Saya kira itu yang perlu kita diskusikan, terimakasih. Moderator Ada satu kata kunci yang tadi disampaikan oleh Pak Mochtar Mas’oed, hakim itu bertugas untuk menegakkan aturan main, di Indonesia aturan main dan main aturan, perbedaannya tipis sekali. Tadi Pak Mochtar juga menjawab apa yang disampaikan Ketua MK. Kalau Ketua MK menyebut orang yang kemudian memotong kewenangan pengawasan itu disebut sebagai menukangi, tapi giliran berbicara soal MK kata-katanya jadi menggunting. Kesadaran kolektif dan tindakan politik untuk menguatkan pengawasan itu yang disarankan oleh Pak Mochtar Mas’oed.
Seminar on Comparative Models of Judicial Commissions: Peran Komisi Yudisial di Era Transisi Menuju Demokrasi
39
Pengantar Redaksi Pada makalahnya yang berjudul “Pengaturan dan Pergeseran Konsep Pengawasan Eksternal Terhadap Peradilan”, Bambang Widjojanto memaparkan 3 (tiga) hal berkaitan dengan, Pertama, fakta dan kondisi peradilan. Kedua, filosofi mengenai hukum dan pengawasan. Ketiga, gagasan mengenai pengawasan eksternal. Tulisan di bawah ini merupakan rekaman proses pemaparan beliau yang lebih lengkap pada seminar tersebut. Dr. Bambang Widjojanto, S.H., LL.M. Pengaturan dan Pergeseran Konsep Pengawasan Eksternal Terhadap Peradilan Telah di bicarakan dalam pembahasan sebelumnya bahwa pada saat ini Indonesia berada di era transisi. Di era tersebut banyak hal yang menimbulkan perubahan dan ketidakpastian, salah satu yang menarik adalah ada cukup banyak lembaga baru dibentuk. Sebagai contoh dapat disebut beberapa icon dari lembaga itu yang karena kiprahnya kemudian orang memberikan stigma sebagai ikon reformasi, seperti: MK, KPK dan Pengadilan TIPIKOR. Sementara Komisi Yudisial belum ada kepastian tentang klasifikasinya sebagai ikon, namun Komisi Yudisal saat ini terus menerus berjuang untuk eksistensinya, sekalipun pada kenyataannya ada dinamika intensif yang belum selesai antara cita, konsep dan realisasi rumusan dan penerapan kewenangan Komisi Yudisial di bidang pengawasan.
40
Seminar on Comparative Models of Judicial Commissions: Peran Komisi Yudisial di Era Transisi Menuju Demokrasi
Tiga poin utama yang menjadi pokok pikiran pembahasan ini yaitu: pertama, mengenai fakta dan kondisi peradilan. Kedua, terkait dengan filosofi mengenai hukum rakyat dan pengawasan. Ketiga, gagasan mengenai pengawasan eksternal. Fakta dan kondisi peradilan saat ini pada dasarnya terdapat 2 (dua) fakta yang berjalan secara paralel, di satu sisi terdapat upaya berkelanjutan untuk memperbaiki kondisi peradilan, tapi di sisi lain terdapat juga fakta kejahatan yang dilakukan mafia hukum yang bekerja secara “masif, sistematis dan terstruktur”. Harus diakui Mahkamah Agung (MA) dan lembaga penegakan hukum lainnya telah membuat cetak biru. Hal ini merupakan bagian yang disebut dengan langkah prosedural. MA saat ini sedang mengerjakan cetak biru pembaruan MA yang kedua. MA juga membentuk Tim Reformasi MA, Membuat berbagai program peningkatan kinerja lembaga, misalnya Surat Keputusan (SK) Keterbukaan, pelatihan hakim-hakim Tipikor, perumusan kode etik dan perilaku, dan pembentukan Dewan Kehormatan. Semua upaya tersebut merupakan berbagai hal yang layak untuk diapresiasi. Bahkan tidak mau ketinggalan, Mahkamah Konstitusi juga membuat Quick Win, di mana salah satu programnya yaitu memberikan akses pada masyarakat dan pencari keadilan untuk dapat melihat hasil putusan pengadilan melalui situs internet dalam waktu yang relatif cepat. Pada sisi lain, baru-baru ini Satgas Pemberantasan Mafia Hukum mempublikasikan suatu dokumen mengenai modus operandi bekerjanya mafia hukum, di dalam buku itu disebutkan mengenai mafia hukum terkait dengan modus operandi dan akar masalahnya. Beberapa hal yang cukup menarik untuk dicermati dari buku tersebut antara lain, pertama, hal tersebut merupakan pertama kali dalam sejarah penegakan hukum di Indonesia di mana pemerintah melalui
Seminar on Comparative Models of Judicial Commissions: Peran Komisi Yudisial di Era Transisi Menuju Demokrasi
41
Satgas mengeluarkan suatu dokumen resmi yang dihasilkan dari suatu assesment. Terlepas dari kualitas assesment yang dilakukan apakah baik atau buruk, setidaknya telah terdapat assesment yang merinci tentang tahap kejahatan dari sisi pola dan modus operandi serta perilaku kejahatan. Menariknya lagi, ternyata dokumen atau buku tersebut bukanlah merupakan satu-satunya, Komisi Hukum Nasional (KHN) juga pernah membuat dokumen serupa yang kurang lebih diberi judul “Akar-Akar Mafia Peradilan di Indonesia”, sehingga sudah selayaknya jika Komisi Yudisial (KY) juga memiliki dokumen seperti dua dokumen sebelumnya sebab KY memiliki kompetensi untuk mengawasi hakim. Dari dua buku ini, yang menarik adalah terdapat 79 pola kejahatan dengan sekitar 136 modus operandinya yang khusus terjadi dalam dunia peradilan, dalam dokumen itu, dijelaskan juga bahwa adanya justifikasi pemerintah melalui Satgas mengenai fakta adanya suatu kejahatan telah bekerja secara masif, sistematis dan terstruktur di lembaga hukum, termasuk di institusi peradilan melalui 79 pola kejahatan dan 139 modus kejahatan. Di dalam buku itu juga disebutkan pelaku kejahatan sebetulnya bukan hanya para hakim, pelaku kejahatan itu sangat beragam dimulai petugas registrasi perkara, panitera, panitera pengganti, hakim, ketua pengadilan dan bahkan kemudian Jaksa, advokat, terdakwa serta markus, dan terdapat pula pola dan modusnya. Hal ini menunjukan bahwa dengan cara seperti ini mafia hukum itu memiliki ciri sebagai berikut: sebarannya masif, cara pelaksanaannya sistemik, dan memiliki pola yang terstruktur
42
Seminar on Comparative Models of Judicial Commissions: Peran Komisi Yudisial di Era Transisi Menuju Demokrasi
Perkembangan Filosofi Negara Hukum dan Kekuasaan Kehakiman Bagaimana letak mengenai negara hukum dan bagaimana kaitannya rezim di sepanjang periode sejarah kita merupakan kajian historikal perlu diperhatikan. Telah diketahui bersama bahwa kekuasaan kehakiman merupakan salah satu pilar utama dalam negara hukum, reformasi kekuasaan kehakiman menjadi prasyarat dasar untuk mewujudkan negara hukum yang demokratis. Pada pasal 28i ayat 5 UUD 1945 disebutkan bukan hanya negara hukum, tapi negara hukum yang demokratis, pada dasarnya terdapat konvergensi antara negara hukum dan kedaulatan rakyat pasal 1 ayat (2) dan pasal 1 ayat (3) memiliki kaitan dan hal tersebut dijawab dengan pasal 28i ayat (5), sehingga bukan hanya semata-mata sekedar negara hukum, melainkan juga karena negara hukum harus berpihak kepada kepentingan rakyat, dan jika dikaitkan dengan pembukaan UUD 45 alinea ke 4. Hal tersebut akan makin terlihat. Selain itu jika dihubungkan lagi dengan pasal 24 UUD 1945 maupun UU Nomor 48 Tahun 2009 maka hal yang lebih menarik akan makin terlihat sebab kekuasaan kehakiman itu tidak hanya kekuasaan yang merdeka untuk menegakan hukum dan keadilan, tapi berdasarkan Pancasila dan UUD 1945. Pada perkembangannya terdapat empat alasan utama diperlukannya reformasi terhadap kekuasaan kehakiman, antara lain: •
Para pencari keadilan yang kian menuntut adanya kepastian hukum dan keadilan;
•
Diperlukannya Independensi dan peningkatan kapasitas kekuasaan kehakiman;
Seminar on Comparative Models of Judicial Commissions: Peran Komisi Yudisial di Era Transisi Menuju Demokrasi
43
•
Diperlukannya peningkatan profesionalitas dan integritas aparatur kekuasaan kehakiman;
•
Tersedianya kualitas pengawasan kekuasaan kehakiman yang lebih baik yang diletakkan dalam konteks checks and balances;
Berdasarkan pemilhan tiga masa kekuasaan di Indonesia yakni, orde lama, orde baru dan orde reformasi, terlihat jelas bahwa pada masa orde lama aspirasi masyarakat diletakkan di bawah kepentingan kekuasaan, begitupun dengan kekuasaan kehakiman, Hal ini dapat dilihat bahwa dijadikannya kekuasaan kehakiman sebagai alat revolusi hukum untuk memenuhi rasa keadilan rakyat, pada pasal 14 ayat 2 UU tahun 1964 disebutkan secara tegas “demi kepentingan revolusi kehormatan negara dan bangsa atau kepentingan masyarakat, presiden dapat turut campur dalam soal pengadilan”. Pada awal redaksional terlihat bagus yakni demi kehormatan revolusi, tetapi kemudian presiden dapat turut campur dalam proses pengadilan, maka inilah yang disebut dengan intervensi, bukan hanya itu, bahkan pada masa orde lama jabatan Ketua MA adalah menteri kabinet dengan tiga jabatan, yaitu menteri penasehat presiden, menteri kehakiman dan menteri yang menjabat dan merangkap juga sebagai Ketua MA. Hal yang tidak jauh berbeda terjadi pula pada masa orde baru, sekalipun lebih baik dari pada orde lama, misalnya presiden tidak lagi menempatkan Ketua MA di bawah kekuasaan Presiden, tetapi syarat-syarat seorang hakim untuk dapat diangkat dan diberhentikan diatur dalam UU dan di dalam perUndangan dimaksud terdapat kewenangan presiden untuk menentukan hakim yang dimaksud. Pada masa orde baru juga sebenarnya terdapat beberapa hal yang menarik. Pertama, paling terlihat di dalam orde baru menteri terkait dengan kekuasaan kehakiman pada konteks melakukan 44
Seminar on Comparative Models of Judicial Commissions: Peran Komisi Yudisial di Era Transisi Menuju Demokrasi
pembinaan dan pengawasan, bahkan pada masa orde baru sebenarnya MA memegang pengawasan atas peradilan dan tingkah laku hakim, dibentuklah lembaga bernama Korwasus atau Hawasus atau Hawasda. Sekarang yang menarik ke orde reformasi, sebut saja proses transisi ini dengan era reformasi, terdapat penegasan soal pemisahan fungsi legislatif dan eksekutif atas yudikatif dan ini disebutkan secara eksplisit di dalam UU 35 tahun 1999, dengan adanya pengalihan organisasi, administrasi dan finansial, serta penegasan kekuasaan kehakiman di konstitusi merupakan kekuasaan yang merdeka, disebutkan bahwa “kekuasaan kehakiman adalah kekuasaan yang merdeka guna menegakkan hukum dan keadilan”. Bukan hanya itu, pada masa orde reformasi ini kekuasaan kehakiman tidak hanya dipegang oleh MA tetapi juga oleh MK, dan yang menjadi penting disitu adalah diintroduksinya lembaga baru Komisi Yudisial di dalam Bab Kekuasaan Kehakiman dengan tugas tertentu yang spesifik. Kelahiran Komisi Yudisial & Gagasan Pengawasan Eksternal: Antara Independensi & Akuntabilitas Pada tahun 2001 Ketua Muda Pengawasan dan Pembinaan dibentuk, berbagai restrukturisasi dilakukan MA, Tahun 2003 MA sendiri yang menyiapkan Naskah Akademik Undangundang atau Rancangan Undang-undang Komisi Yudisial dan di dalamnya disebutkan secara jelas bahwa “pengawasan eksternal itu menjadi sangat penting karena pengawasan internal tidak mungkin dilakukan untuk menegakan kehormatan dan martabat hakim” dan secara eksplisit terlihat di dalam draf akademiknya MA mengenai RUU Komisi Yudisial. Tahun 2004 itu menjadi periode penting, karena ada beberapa yang berkaitan dengan kekuasaan kehakiman, ada UU Nomor 4 Tahun 2004 tentang Kekuasaan Kehakiman; UU Nomor 5 Tahun 2004 tentang MA, UU Nomor 22 Tahun
Seminar on Comparative Models of Judicial Commissions: Peran Komisi Yudisial di Era Transisi Menuju Demokrasi
45
2004 tentang KY, UU Nomor 8 Tahun 2004 tentang Peradilan Umum, tapi kemudian dalam pergulatannya, pada tahun 2006, 31 Hakim Agung mengajukan Judicial Review UU KY yang mendelegitimasi kewenangan pengawasan KY, terus kemudian tahun 2009 kemudian revisi perundang-undangan kekuasaan kehakiman tahun 2004 itu mengalami proses lanjutannya, yaitu UU No. 3 tahun 2009 tentang MA, UU No. 46 tahun 2009 tentang Pengadilan Tipikor, UU No. 48 tahun 2009 tentang Kekuasaan Kehakiman. Saat ini pembahasan akan masuk pada konteks pengawasan. Perspektif yang dipakai dalam membahas persoalan ini berasal dari kacamata politik dan hukum. Pada dasarnya, tidak ada rakyat maka tidak ada negara, tidak ada rakyat maka tidak ada hukum, tidak ada yustisiabel maka tidak ada kekuasaan kehakiman, jadi jangan dibalik. Konstitusi menegaskan tidak hanya diperlukan adanya kekuasaan kehakiman yang merdeka, tetapi juga diperlukan hakim dan kekuasaan kehakiman yang perilakunya terhormat, dan martabatnya luhur (penafsiran untuk menghubungkan pasal 24 ayat 1 dan pasal 24B ayat 1). Kekuasaan kehakiman jika dibaca pada UU 48 tahun 2009 menegakkan hukum dan keadilan berdasarkan Pancasila dan Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945, demi terselenggaranya Negara Hukum Republik Indonesia, sehingga jelas negara hukum Republik Indonesia ada atau bisa diwujudkan kalau ada kekuasaan kehakiman. Kekuasaan kehakiman yang seperti apa? Yang menegakkan hukum dan keadilan berdasarkan Pancasila dan UUD 1945. Politik Penegakan Hukum di Indonesia menjelaskan independensi kekuasaan kehakiman pernah bermasalah dan merugikan yustisiabel, hal ini terjadi pada masa orde lama. Jaminan independensi di dalam konstitusi dan perundangundangan itu ternyata tidak cukup memberikan justifikasi dan jaminan bahwa penyelenggaraan peradilan dilakukan hanya 46
Seminar on Comparative Models of Judicial Commissions: Peran Komisi Yudisial di Era Transisi Menuju Demokrasi
untuk hukum dan keadilan yang berpihak pada kepentingan rakyat, ternyata absolutisme independensi itu justru menjadi sangat potensial menghasilkan abuse of power, itulah sebabnya harus ada pergeseran dari independensi menuju akuntabilitas, atau setidak-tidaknya independensi harus dilekatkan dengan akuntabititas. Karena bagaimanapun juga independensi yang absolut, berpotensi untuk menciptakan abuse of power. Telah ditegaskan pada UU 48 Tahun 2009 bahwa perundangan dibentuk untuk mewujudkan kekuasaan kehakiman yang tidak hanya merdeka tetapi juga peradilan yang bersih serta berwibawa, jadi bukan hanya kekuasaan pengadilan yang merdeka, tapi lebih kepada “kekuasaan pengadilan yang bersih serta berwibawa”, sehingga disitulah konteks pengawasan menjadi relevan untuk diletakkan, dan bahkan di dalam pasal 40 ayat 1 UU 48 tahun 2009 itu disebutkan secara eksplisit “diperlukan pengawasan eksternal untuk mewujudkan kekuasaan kehakiman yang merdeka peradilan yang bersih dan berwibawa”, jadi disitulah konteks pengawasan terhadap kekuasaan kehakiman menjadi sangat penting. Bagaimana dengan konteks eksternal dan intervensi, telah disebutkan sebelumnya bahwa kekuasaan Kehakiman adalah kekuasaan yang merdeka, namun kemudian di dalam pasal 3 ayat 2 UU nomor 48 tahun 2009 disebutkan juga bahwa “segala campur tangan dalam urusan peradilan oleh pihak lain di luar kekuasaan kehakiman dilarang, kecuali dalam hal-hal sebagaimana dimaksud dalam Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945”, jadi sebenarnya terdapat eksepsional untuk dimungkinkannya dilakukan intervensi menyangkut hal-hal tertentu dan spesifik seperti yang dirumuskan dalam UUD. Pertanyaannya adalah “apakah campur tangan dibolehkan atas hal-hal tertentu?” pertanyaan selanjutnya “apakah hal tertentu dapat juga berkaitan dengan Seminar on Comparative Models of Judicial Commissions: Peran Komisi Yudisial di Era Transisi Menuju Demokrasi
47
redaksional dalam hal menjaga dan menegakkan kehormatan, keluhuran matabat dan perilaku hakim boleh dilakukan intervensi?, bahkan di dalam pasal 41 ayat 1 dan 2 disebutkan bahwa “dalam syarat melakukan pengawasan supaya tidak disebut intervensi maka harus ada 4 poin yang telah disebutkan di atas”. Jadi sekali lagi, pada dasarnya di dalam UU 48 tahun 2009 sangat dimungkinkan untuk melakukan intervensi sepanjang itu dibolehkan oleh UUD dan sepanjang syarat-syarat melakukan pengawasan untuk melakukan intervensi itu memenuhi 4 poin tadi. Jenis-jenis pengawasan & letak pengawasan eksternal oleh Komisi Yudisial Berdasarkan UU No. 3 dan UU No. 48 Tahun 2009, ada beberapa jenis pengawasan, yaitu pengawasan tertinggi, pengawasan internal &pengawasan eksternal: •
Pengawasan tertinggi menunjuk pada lingkup pengawasan, yaitu: terhadap penyelenggaraan peradilan pada semua badan peradilan yang berada di MA; sementara
•
Pengawasan internal menunjuk pada subyek yang diawasi yaitu tingkah laku hakim dan dilakukan oleh Mahkamah Agung;
•
Pengawasan eksternal kaitannya untuk menjaga dan menegakkan kehormatan, keluhuran martabat, serta perilaku hakim dan dilakukan KY, bahkan di dalamnya disebutkan Komisi Yudisial dapat menganalisis putusan pengadilan yang telah memperoleh kekuatan hukum tetap, dalam rangka menjaga dan menegakkan kehormatan, keluhuran martabat, serta perilaku hakim, sebagai dasar rekomendasi untuk melakukan mutasi hakim”.
48
Seminar on Comparative Models of Judicial Commissions: Peran Komisi Yudisial di Era Transisi Menuju Demokrasi
Bahkan dalam Pasal 32A UU No. 3 Tahun 2009 tentang MA “Pengawasan eksternal atas perilaku Hakim Agung dilakukan KY dan berpedoman kepada kode etik dan pedoman perilaku hakim.” Atas uraian di atas, ada beberapa masalah yang muncul dalam bidang pengawasan: •
Pertama, pengawasan internal itu hanya mengawasi ”tingkah laku” hakim dan ”perilaku” hakim. Pertanyaannya, apakah perilaku hakim itu berkaitan dengan penyelenggaraan peradilan? atau perilaku di luar penyelenggaraan peradilan?.
•
Kedua, core bussiness dari kekuasaan kehakiman adalah menyelenggarakan peradilan dan core business dari Komisi Yudisial adalah menjaga dan menegakkan kehormatan, keluhuran martabat, serta perilaku hakim.
Saat ini muncul dua pertanyaan besar, apakah dalam rangka menegakkan kehormatan dan keluhuran martabat hanya berkenaan dengan perilaku hakim saja?. Jika itu perilaku hakim, maka perilaku hakim di dalam pengadilan atau di luar pengadilan?. Pengawasan eksternal merupakan bagian kompelementer yang tidak terpisahkan dari pengawasan internal, ditambah lagi terdapat kesadaran bahwa pengawasan internal punya banyak keterbatasan. Pengawasan eksternal itu seharusnya ditujukan untuk mewujudkan kekuasaan kehakiman yang tidak hanya independen tapi juga akuntabel. Akuntabilitas itu bisa didapatkan kalau dimulai dengan adanya keterbukaan, jadi tidak mungkin ada akuntabilitas tanpa transparansi. Transparansi itu menjadi salah satu pintu masuk untuk menuju akuntabilitas. Bagaimana pelaksanaanya itu?. Pelaksanaannya melalui kewenangan
Seminar on Comparative Models of Judicial Commissions: Peran Komisi Yudisial di Era Transisi Menuju Demokrasi
49
menjaga dan menegakkan kehormatan, keluhuran martabat dan perilaku hakim, menjaga dapat diartikan sebagai tindakan preventif, sementara menegakkan itu lebih bersifat represif. Cakupan pengawasan eksternal semua hakim yang meliputi kekuasaan kehakiman dalam menyelenggarakan peradilan. Dasar pengawasan eksternal adalah representasi kepentingan yustisiabel, dan sekaligus menjalankan atribusi kewenangan DPR di bidang pengawasan kekuasaan kehakiman dan sekaligus bagian dalam konteks check and balances. Pengawasan tidak dapat dikatagorisir sebagai campur tangan sepanjang didasarkan atas konstitusi yaitu untuk menjaga dan menegakkan kehormatan, keluhuran martabat dan perilaku hakim dan dengan memperhatikan syarat dalam melakukan pengawasan. Proyeksi & perbaikan terhadap mekanisme pengawasan eksternal KY terhadap dunia peradilan Berdasarkan uraian di atas maka rumusan wewenang lain yang berkaitan dengan pengawasan tersebut harus dirinci secara elaboratif, selain itu diperlukan adanya mekanisme dan tata cara penggunaan kewenangan serta uraian sanksi yang jelas dalam rangka menjaga dan menegakkan wewenang lain tersebut, serta syarat dalam menjalankannya. Naskah akademik RUU KY versi MA, fakta tentang pola dan modus operandi kejahatan di lingkungan peradilan sesuai dengan dokumen Satgas Mafia Hukum dan kemudian kajiankajian yang dilakukan oleh KY terakhir sangat relevan untuk dijadikan dasar rujukan perumusan pengawasan eksternal. Semua tindakan hakim yang potensial dikenakan sanksi, sehingga tidak ada lagi dikotomi mengenai kewenangan KY dalam hal tindakan atau perbuatan apa yang bisa diperiksa oleh KY seperti pada Pasal 11 ayat (1) UU Nomor 3 tahun 2009.
50
Seminar on Comparative Models of Judicial Commissions: Peran Komisi Yudisial di Era Transisi Menuju Demokrasi
Maka dari itu segala bentuk sanksi, seperti pemberhentian dengan tidak hormat (termasuk bagi hakim agung) harus menjadi bagian kewenangan lain yang ditujukan untuk menjaga dan menegakkan kehormatan dan keluhuran martabat dan perilaku hakim. Untuk itu seharusnya KY diberikan akses untuk dapat memantau proses persidangan, mendapatkan akses terhadap semua dokumen yang relevan dan materil untuk kepentingan pengawasan, mempunyai hak untuk memanggil dan memeriksa pihak yang diduga terlibat dan para saksi serta menyusun rekomendasi. Proses penyelenggaraan dan hasil peradilan seyogyanya dapat dikaji dan dianalisis untuk mengetahui ada atau tidak indikasi pelanggaran agar dapat menjaga dan menegakkan kehormatan, keluhuran martabat dan perilaku yang sebagiannya dirumuskan di dalam Kode Etik dan Perilaku. Kajian dan analisis harus diatur sedemikian rupa karena harus memperhatikan syarat dalam melakukan pengawasan dan tidak menyebabkan terjadinya tindakan yang dapat dikualifikasi sebagai campur tangan dalam proses peradilan. Komisi Yudisial juga seharusnya mempunyai hak untuk mengajukan rekomendasi dan meminta Majelis Kehormatan untuk bersidang dalam kapasitas sebagai komisioner lembaga, tidak sebagai pribadi, dengan tata cara dan mekanisme persidangan yang jelas, serta keseluruhan prosesnya dilakukan cepat, murah dan sederhana. Adanya perumusan dan penjabaran kode etik dan perilaku yang berkaitan dengan kehormatan dan keluhuran martabat dan perilaku hakim dalam keseluruhan kegiatan untuk menyelenggarakan peradilan dalam kekuasaan kehakiman.
Seminar on Comparative Models of Judicial Commissions: Peran Komisi Yudisial di Era Transisi Menuju Demokrasi
51
Moderator: Terimakasih Pak Bambang, ada beberapa catatan yang menarik yang disampaikan oleh Pak Bambang, satu kata yang saya catat adalah bahwa transisi ini penuh dengan ketidakpastian, dan ketidakpastian itu menjadi bagian yang memang seharusnya diawasi oleh Pak Busyro Muqoddas dengan Komisi Yudisialnya soal pengawasan eksternal dan pengalaman jatuh bangunnya, baik dari luar maupun didalam, karena dari dalam tadi katanya ada komisioner yang kemudian memperburuk citra KY, dan sepanjang ini tentu punya pengalaman. Pak Busyro bisa menceritakan pengalamannya.
52
Seminar on Comparative Models of Judicial Commissions: Peran Komisi Yudisial di Era Transisi Menuju Demokrasi
Pengantar Redaksi Busyro Muqoddas menyampaikan tema tentang “Dinamika Kelembagaan Komisi Yudisial Sebuah Pembelajaran”. Poin yang dipaparkan adalah tentang dinamika perjalanan KY, Problem kewenangan, seleksi calon hakim, peran strategis Anggota KY, dan tentang kapasitas kelembagaan KY di bidang SDM, Organisasi, dan Finansial. Berikut isi presentasinya: Dr. M. Busyro Muqoddas, S.H., M.Hum. Dinamika Kelembagaan Komisi Yudisial: Sebuah Pembelajaran Beberapa poin dalam pointers yang akan disajikan tidak semua saya bacakan, tapi ada beberapa yang ingin saya berikan aksentuasi. Pertama-tama kami ingin kemukakan bahwa topik yang diberikan kepada saya yaitu: “Dinamika kelembagaan Komisi Yudisial sebuah pembelajaran”. Berangkat dari topik ini saya ingin mengantarkan hadirin dengan satu paparan melalui pointers dengan dua pendekatan. Pertama, pendekatan yang berbasis pada aspek-aspek filosofis dan yuridis. Kedua, pendekatan dari aspek-aspek sosiologis fenomenologis. Selama lima tahun perjalanannya, KY mengalami jatuh bangun, tetapi Alhamdulillah banyak bangunnya dari pada jatuhnya, karena setiap kejatuhan itu hal yang wajar. Dan sejak dulu kala kami masuk KY siap untuk jatuh, siap untuk bangun dan seterusnya. Modal itulah yang saya siapkan selama lima tahun ini, dan hasilnya menyenangkan. Kami
Seminar on Comparative Models of Judicial Commissions: Peran Komisi Yudisial di Era Transisi Menuju Demokrasi
53
semakin kuat karena mendapatkan dukungan yang luas dari masyarakat. Mengenai tinjauan yang berbasis pada aspek filosofis dan yuridis ini saya kemukakan pada pendekatan negara hukum dan kekuasaan kehakiman. Berikutnya urgensi independensi kekuasaan kehakiman dan yang ketiga sistem kekuasaan kehakiman di Indonesia pasca amandemen UUD 1945. Tiga pendekatan dalam tiga poin tersebut terkandung maksud bahwa dinamika kelembagaan KY tidak bisa dilepaskan dari proses-proses yang tadi saya sampaikan, yaitu dengan pendekatan pada aspek yuridis filosofis, tetapi juga yang kedua fenomenal sosiologis. Pada tiga lembar poin pertama, kedua dan ketiga tujuannya adalah hendaknya kita bisa memiliki satu komitmen untuk penguatan reformasi peradilan sebagai amanat sejarah, dengan demikian siapapun juga yang tidak menyikapi kehadiran KY sebagaimana amanat sejarah maka sesungguhnya dia ahistoris. Kemudian yang kedua, tiga poin itu kami sampaikan untuk melakukan satu proses-proses pemikiran yang kontemplatif dan purifikatif. Perlunya kita mempurifikasi paradigma dan perilaku formal kita bersama-sama. Perilaku formal itu paling tidak pada sikap-sikap institusional dan juga pada sikapsikap yang berhubungan dengan putusan-putusan hakim. Putusan hakim itu putusan publik, bukan putusan privat. Kemudian yang ketiga, sekedar untuk mengingatkan saja dari aspek sejarah bahwa kita sekarang ini sudah berada dalam suatu era yang demokratis walaupun masih tersisa nuansa atau watak transisionalnya. Hal itu tentu saja akan membawa suatu konsekuensi bahwa ketika kita berada dalam tataran yang demokratis, maka pengelolaan lembaga-lembaga negara harus dalam rangka penguatan prinsip-prinsip demokrasi itu.
54
Seminar on Comparative Models of Judicial Commissions: Peran Komisi Yudisial di Era Transisi Menuju Demokrasi
Penguatan prinsip demokrasi merupakan penguatan prinsip negara berdasarkan the rule of law. Pengkhianatan atau pelemahan demokrasi karenanya merupakan pelemahan terhadap the rule of law. Penyimpangan demokrasi merupakan penyimpangan the rule of law, bahkan juga penyimpangan hak asasi manusia. Lalu yang kelima, penting untuk kita bersamasama menyadari bahwa reformasi itu memang bagian dari sejarah itu sendiri. Ketika sudah hampir 40 tahun bangsa ini berada di tangan penguasa bersistem otoriter anti demokrasi, anti klimaksnya adalah reformasi itu sendiri. Dengan demikian poin-poin tadi kami pahami dan kami jadikan satu kesadaran filosofis yuridis sosiologis fenomenologis bahwa sejak awal KY ini sengaja kami desain dan setting dalam satu pilihan teoritik. Teori yang kami pilih yaitu teori penguatan civil society dengan jalan melakukan aksi-aksi people empowering. Dalam waktu yang sama juga menjaga kehormatan keluhuran martabat, bukan hanya kekuasaan kehakiman, bukan hanya hakim tapi juga martabat bangsa. Ketika bangsa ini menjadi terpuruk akibat ulah koruptor dan itu didukung oleh mesin mafia peradilan seperti ditunjukkan oleh berbagai riset yang menempatkan lembaga peradilan kita dan lembaga-lembaga publik yang lain selalu berada dalam posisi-posisi terpuruk. Jadi kesadaran yang seperti itulah yang kami gunakan sehingga pilihan kami ialah pilihan yang berdasarkan satu perspektif tertentu, yaitu memilih teori civil society dalam mengelola Komisi Yudisial.
Seminar on Comparative Models of Judicial Commissions: Peran Komisi Yudisial di Era Transisi Menuju Demokrasi
55
Problem Kewenangan KY Berangkat dari hal tersebut diatas, akhirnya sampailah kita pada historical background pembentukan KY. Ada poin-poin penting yang ingin saya kembangkan. Pada era demokrasi, muncul agenda untuk mendemokratisasikan sistem peradilan melalui terciptanya akuntabilitas dan transparansi dalam setiap proses peradilan. Dulu ketika saya masih aktif menjadi advokat bersama dengan advokat yang lain sangat sulit untuk mengakses putusan pengadilan. Selalu saja kami dituntut untuk bayar banyak, sekarang pun masih begitu. Walaupun secara jujur kami akui banyak pengadilan yang dengan tulus ikhlas secara transparan mengimplementasikan kebijakan SK 144 dari Ketua MA. Tapi sebuah putusan tentang diskon untuk Ayin, yang didiskon 6 bulan itu, kira-kira sudah hampir tiga bulan ini KY meminta salinan putusan ke Pengadilan Tinggi Jakarta Pusat. Setidak-tidaknya sampai 20 hari yang lalu itu masih belum bisa kami dapatkan, tetapi secara umum di Pengadilan Tinggi dan Negeri sudah bagus dan sudah ada kesadaran. Hal ini merupakan wujud dari transparansi. Persoalannya ialah apakah transparansi itu hanya menyangkut bahwa hakim itu bebas dari suap atau perbuatan sejenis suap atau menyangkut yang lain. Ketika hakim menyelundupkan fakta-fakta hukum, saksi mengatakan A di dalam sidang, di dalam putusan hakim berubah menjadi B, ketika kasus illegal loging ada saksi-saksi kunci harusnya ditampilkan tapi tidak ditampilkan, harusnya ditanya 10 poin tapi hanya ditanya 5 poin, sebab 5 poin yang tidak ditanyakan ini poin yang kunci dan ini titipan aparat penyidik, para penuntut umum, sehingga kalau ditanya oleh hakim terbukti secara materil perbuatan terdakwa.
56
Seminar on Comparative Models of Judicial Commissions: Peran Komisi Yudisial di Era Transisi Menuju Demokrasi
Pertanyaannya hal itu masuk bagian transparansi atau tidak?. Atau pertanyaannya menjadi sebagai berikut “apakah dengan demikian pekerjaan hakim sebagai pejabat publik itu betulbetul independen yang tidak memiliki padanan akuntabilitas publik atau tidak?”. Hal itu merupakan agenda-agenda yang harus dipecahkan bersama. Dengan demikian mengenai transparansi ini menjadi hal yang perlu dielaborasi. Bahkan tidak hanya dielaborasi, tapi juga perlu dituangkan dalam RUU KY kedepan. Sementara ada kalangan yang berjuang dengan sungguhsungguh dalam rapat-rapat pembahasan RUU KY agar putusan hakim tidak boleh dianalisis oleh KY, apakah itu demokratis transparan atau tidak?, Apakah itu historis apakah itu ahistoris? apakah itu menjujung demokrasi wibawa hakim itu sendiri, atau sebaliknya?. Ini perlu kita diskusikan bersama. Kemudian yang kedua, tentu dengan background seperti itu dalam perjalanan lima tahun ini KY memiliki kelemahankelemahan. Kelemahan-kelemahan itu ada pada UU KY sendiri, UU Nomor 22 Tahun 2004. UU KY ini ada missing link antara pesan sejarah reformasi yang ada di dalam pasal 24 B konstitusi, kemudian diturunkan ke pasal-pasal di dalam UU KY. Missing link itu sangat mengganggu sekali. Sudah ada kelemahan-kelemahan akibat missing link, kemudian digunting oleh MK, tetapi saya berbangga diantara yang menggunting itu mungkin ingin memperkuat KY dan sekarang justru mendaftar ke KY. Pak Maruarar termasuk yang menggunting dulu, karena dulu hakim MK, tapi tentu punya logika-logika sendiri dan kami menerima apa adanya. Lalu apa yang kami lakukan, ya memperjuangkan revisi UU itu dengan cara yang beradab, tidak mungkin kami memperjuangkan revisi UU KY melalui cara-cara yang ujung-ujungnya duit, satu hal yang diharamkan di KY, akibatnya lambat memang, tapi
Seminar on Comparative Models of Judicial Commissions: Peran Komisi Yudisial di Era Transisi Menuju Demokrasi
57
tidak apa-apa. Perjuangan membutuhkan proses, dan proses itu kadang-kadang harus sabar, dan kesabaran ini menjadi salah satu kunci kami yaitu sabar yang kreatif. Dengan demikian penguatan ini amat bergantung kepada revisi UU KY yang kami respon pada anggota DPR yang anggota panjanya itu sudah datang ke beberapa jejaring KY di Surabaya, Menado dan Palembang yang di sana memperoleh masukan-masukan dari jejaring kami, dan informasi yang menarik bahwa KY nanti ke depan akan diberi kewenangan yang lebih luas lagi, seperti apa? Kita tunggu saja. Peran Strategis Anggota Komisi Yudisial (KY) Selain melalui revisi UU KY tentu perlu saya sampaikan bahwa perjalanan KY hampir lima tahun ini setelah jatuh bangun, tentu membawa suatu hikmah. Apa hikmah yang saya maksud?, yaitu perlu peran strategis Anggota KY. Peran strategis Anggota KY ini tentu lebih pada Anggota KY periode ke 2, sekarang tinggal residu saja, sisa beberapa bulan saja. Peran strategis Anggota KY itu yaitu: pertama, sebagai aktor pembaharu, sehingga anggota KY haruslah orang yang memiliki integritas, mentalitas dan komitmen pembaharu, serta memiliki agenda-agenda perubahan, bukan tipikal pengurus tapi pemimpin. Seorang pemimpin tentu memiliki komitmen dan modal yang ada pada dirinya untuk melakukan proses-proses perubahan, kalau tidak itu bukan pemimpin, itu pengurus. Bayangkan saja kalau Presiden seorang pengurus, Ketua MK atau Ketua KY seorang pengurus, maka dia akan mengurus hal-hal yang teknis. Namun, jika pemimpin maka ia akan konsen dengan agenda-agenda perubahan.
58
Seminar on Comparative Models of Judicial Commissions: Peran Komisi Yudisial di Era Transisi Menuju Demokrasi
Kedua, sebagai aktor yang berperan sebagai pemimpin dalam upaya-upaya untuk mendemokratisasikan dan mentransparansikan reformasi pada proses-proses peradilan dan pada agenda-agenda yudisial, sehingga harus punya konsep yang harus di uji oleh publik. Ketiga, sebagai konseptor tentang agenda transparansi dan reformasi peradilan. Dalam arti sebagai bentuk penegasan yang kedua tadi, dan juga sebagai pemimpin yang memiliki martabat tinggi, memiliki komitmen perubahan, serta bersih dari noktah masa lalu. Idealnya, anggota KY itu tidak terlalu dekat dengan hakim, tapi juga jangan terlalu jauh, jadi sedang-sedang saja. Bertemu saat seperti ini, tapi menjaga untuk bertemu yang lebih sehingga mengundang orang lain menjadi curiga, dan juga menjaga independensi. Oleh karena itu, maka dalam rangka peran-peran kepemimpinan itu ada beberapa tambahan yang tidak saya masukkan ke dalam pointers tersebut. Seleksi Calon Hakim Saat ini KY sudah memiliki satu konsep dan siap diseminarkan, siap di FGD kan dalam rangka untuk perubahan-perubahan pada proses-proses peradilan ke depan. Proses peradilan pada kehakiman itu kuncinya pada hakim, setelah kami lakukan satu survey maka pintu masuk untuk menjaga martabat dan keluhuran martabat hakim kedepan adalah seleksi calon hakim. Dalam konteks ini, KY telah memperoleh wewenang plus yaitu diberi wewenang untuk melakukan seleksi calon hakim bersama MA, ini merupakan political trust kepada KY, dan ini sudah siap konsep. Desain konsepnya adalah seleksi calon hakim itu seleksi calon pejabat publik, dia adalah basis pertama untuk kemudian menjadi Hakim Agung.
Seminar on Comparative Models of Judicial Commissions: Peran Komisi Yudisial di Era Transisi Menuju Demokrasi
59
Desain kami adalah S1 sekarang tidak memiliki kualifikasi untuk langsung menjadi calon hakim, dia harus S2, S2 yang seperti apa?. Konsep S2 yang kami desain khusus untuk menjadi hakim yang memiliki visi transformasi dan reformasi. Materinya 75% itu terdiri dari legal case, poitical legal case dan human right legal case, sedangkan yang 25% nya itu teori dan proses-proses pembuatan putusan. Putusan yang seperti apa? Putusan yang mampu menurunkan spirit irah-irah demi keadilan yang berdasarkan Ketuhanan yang Maha Esa itu turun menjadi putusan yang adil dan benar, perlu metode. Pada riset yang kami lakukan sekarang ini metodenya masih lemah, masih banyak putusan hakim yang kering dari nuansanuansa akademis, konsepnya kering, jumlahnya banyak sekali. Namun ada beberapa putusan yang patut dihargai. Untuk menghargai ini, kami sudah memiliki program untuk memberikan penghargaan kepada hakim. Kalau MA membuka pintu, hakim boleh diberikan penghargaan, maka kami akan memberikan penghargaan untuk mengapresiasi hakim yang putusannya profesional dan transparan. Untuk seleksi calon hakim KY akan ikut berperan. Kemudian, sebelum mengikuti seleksi calon hakim, harus melalui pendidikan, dan pendidikan ini akan didesain oleh MA, KY dan Diknas. Adapun kurikulumnya nanti disusun bersama-sama melalui konsorsium. Konsorsium ini akan disepakati oleh MA, KY dan Diknas yang di dalamnya termasuk perguruan tinggi di seluruh Indonesia yang memiliki tradisi dan SDM yang konsen di bidang tersebut. Dengan demikian, kurikulum pendidikan hakim itu kurikulum demokratis yang substansinya yang mengakomodir pemikiran-pemikiran dari CSo (civil society). Kami menyadari, jika sistem pendidikannya itu kami yang menentukan sendiri maka akan tidak demokratis, karena ini seleksi calon pejabat publik, kami sudah siap dari upayaupaya untuk memberikan kontribusi kedepan. 60
Seminar on Comparative Models of Judicial Commissions: Peran Komisi Yudisial di Era Transisi Menuju Demokrasi
Kapasitas Kelembagaan KY Bidang SDM, Organisasi, dan Finansial Lalu apa kapasitas kelembagaan KY di bidang SDM, di bidang organisasi dan di bidang finansial?. Secara singkat, ingin saya kemukakan bahwa kelembagaan KY sekarang dalam perspektif SDM diperlukan adanya struktur organisasi yang berkaitan erat dengan pengembangan SDM. Dengan demikian struktur organisasi perlu dikembangkan dalam kaitan dengan pengembangan-pengembangan SDM. Terkait dengan organisasi, ada kebutuhan-kebutuhan pengembangan struktur, yaitu perlu adanya deputi seperti KPK yang setingkat dengan Sekjen, perlu adanya Litbang dan seterusnya, dan penguatan-penguatan jejaring-jejaring yang selama ini sudah ada di 30 (tiga puluh) provinsi dan 9 (sembilan) posko di 9 (sembilan) daerah. Jejaring KY yang ada saat ini sudah dibekali dengan pelatihan oleh KY bersama Mabes Polri serta KPK untuk investigasi dan sebagainya. Kemudian aspek finansial tentu perlu juga disampaikan ke depan, kalau bertitik tolak dari anggaran KY yang sekarang ini 58 Milyar, sedangkan tahun depan anggarannya 79 Milyar, dibandingkan dengan KPK atau PPATK jauh berbeda. PPATK 112 Milyar, MA tahun ini 5 triliun. Anggaran KY yang sangat sedikit itu, kami kelola dengan sangat efisien. Dengan keterbatasan yang ada, jalan keluarnya kami mencari funding, dengan prinsip menjaga independensi. Namun pengelolaan dana ini cukup ketat sehingga sampai 3 kali kami mendapatkan evaluasi audit dari BPK itu 3 tahun berturut-turut dengan predikat Wajar Tanpa Pengecualian (WTP), suatu predikat tertinggi, itu sebagai prinsip efisiensi dan manajemen amanah yang telah kami kembangkan. Tentu hal tersebut perlu untuk dijadikan ritme culture organisasi yang nantinya bisa dijaga oleh Anggota KY pada tahun yang akan datang.
Seminar on Comparative Models of Judicial Commissions: Peran Komisi Yudisial di Era Transisi Menuju Demokrasi
61
Terakhir, untuk membangun integritas KY dalam perspektif Renstra dan Cetak Biru, pertama-tama ingin saya kemukakan bahwa KY sebagaimana MA, ini sudah memiliki blue print, sekarang tinggal di terbitkan saja blue print KY ini untuk sampai pada tahun 2025. Yang merumuskan blue print KY ini temanteman KY sendiri, kemudian dibantu oleh ILR dan temanteman LSM, juga kalangan perguruan tinggi yang prosesnya cukup demokratis. MA juga kita undang untuk memberikan masukan-masukan dan seterusnya, dan dalam waktu dekat akan kita terbitkan. Inti dari blue print itu adalah bagaimana KY tetap bisa menjaga ritmenya sekarang ini sebagai lembaga yang memiliki fungsi pengawasan eksternal, tapi juga dalam waktu yang sama memiliki program bagaimana hakim-hakim ini kedepan bisa lebih hidup dalam suasana dan tradisi serta budaya yang demokratis, sebab hambatan di jajaran peradilan itu adalah budaya feodalisme yang di sana-sini dalam batas tertentu masih kuat. Demikian yang bisa saya sampaikan dan terimakasih. Assalamualaikum Wr. Wb. Moderator Terimakasih Pak Busyro, kita mengikuti pemaparannya Pak Busyro, seperti mengikuti memori laporan pertanggung jawaban dari seorang Ketua KY dan memang seperti memori akhir jabatan. Ada satu hal yang menarik yang Pak Busyro sebutkan tadi selain banyak ide-ide, jadi siapapun yang akan jadi pimpinan KY dengan memegang makalahnya Pak Busyro sudah cukup arahannya, seperti GBHN kira-kira. Bahwa seorang Anggota KY itu tidak boleh terlalu dekat dengan hakim tapi juga tidak boleh terlalu jauh dari hakim.
62
Seminar on Comparative Models of Judicial Commissions: Peran Komisi Yudisial di Era Transisi Menuju Demokrasi
DISKUSI SESI I
Moderator Kita masih punya waktu satu jam, saya buka termin pertama ada 5 penanya dan saya harap bisa disampaikan dengan singkat, tolong disebutkan juga nama dan dari mana instansinya. Tanya Jawab Gelombang I Tanya 1. Terimakasih Bapak Moderator, Assalamualaikum Wr. Wb. yang terhormat Bapak pimpinan, nama saya Supandi, kebetulan diberi amanah dan diloloskan oleh KY menjadi Hakim Agung dan lolos ke MA. Mudah-mudahan saya bisa memegang amanah itu. Pertama, dalam seminar ini kepada yang terhormat para penyaji, saya ingin memberikan suatu kritik terhadap tema yang ada di depan, ”peran Komisi Yudisial dalam pemberantasan mafia peradilan di era transisi menuju demokrasi”, saya sangat menaruh hormat dan bangga dengan nomenklatur yang dikemukakan oleh Bapak Dr. Bambang Widjojanto, dengan tidak menggunakan nomenklatur itu, tapi menggunakan mafia hukum, saya lebih sepakat dengan terminologi itu. Kenapa? Satu sisi termasuk Komisi Yudisial salah satu tugasnya adalah menjaga martabat dan kehormatan peradilan di Indonesia atau hakim di Indonesia, tapi secara tidak sadar dengan menggunakan nomenklatur ini, setiap saat kita sedang mengahancurkan martabat dan wibawa peradilan di Indonesia, kenapa demikian?, peradilan itu memang sistem, semua instansi penegakan hukum dari mulai Seminar on Comparative Models of Judicial Commissions: Peran Komisi Yudisial di Era Transisi Menuju Demokrasi
63
Advokat, Polri, Kejaksaan, Pengadilan sampai ke Lembaga Permasyarakatan itu merupakan sistem. Tapi masyarakat tidak mau tahu, misalnya perbuatan pengkhianatan profesi antara oknum penyidik dengan oknum advokat di luar, kemudian diributkan oleh masyarakat. Kita cepatcepat menyebut inilah mafia peradilan Indonesia, inilah buruknya sistem peradilan Indonesia, walaupun manusiamanusia pengadilan belum terlibat di dalamnya, tapi dengan menggunakan nomenklatur ini martabat manusiamanusia peradilan Indonesia telah tercederai secara tidak sadar. Jadi satu sisi kita sedang membangun martabat itu, tapi tanpa sadar kita juga menghancurkan di dalam persepsi publik. Karena hakim khususnya, apalagi peradilan sangat rawan dengan yang namanya persepsi publik, apalagi maaf, dari media selalu membentuk persepsi publik itu kadang-kadang secara keliru. Contoh, hakim Mak Minah, menurut kaca mata hakim Indonesia, itu hakim yang dengan hati nurani dia bekerja, tapi media seolah-olah Mak Minah tidak masuk penjara itu atas perintah dari pada misalnya TV-One, Mak Minah dihukum satu bulan dan lima belas hari, tapi Mak Minah tidak perlu memasuki penjara itu, padahal tidak perlu memasuki penjara itu karena perintah hakim yang dahulu disebut namanya hukuman percobaan. Begitulah persepsi publik dibentuk secara keliru, dan itu yang menjadi racun bagi para hakim di Indonesia yang berusaha ingin bangkit. Kemudian tentang Prof. Mochtar Mas’oed, saya agak sependapat dengan beliau, bagaimana rekrutmen hakim sebelum adanya UU 48 tahun 2009, hakim adalah manusiamanusia terpercaya untuk memegang amanah keadilan, tapi bagaimana cara bangsa ini dulu merekrut hakim, kecuali nanti setelah yang dikatakan oleh Pak Busyro UU nomor 48 tahun 2009 akan punya pola yang lain. Hakim 64
Seminar on Comparative Models of Judicial Commissions: Peran Komisi Yudisial di Era Transisi Menuju Demokrasi
dulu direkrut seolah-olah seperti merekrut pegawai negeri sipil biasa golongan III A, setelah itu mengikuti pendidikan cakim dan menjadi hakim. Oleh karena itu benar statemen Prof. Bagir Manan yang pada tahun 2010 menyatakan ”ternyata peradilan Indonesia adalah institusi yang sudah terlalu lama ditelantarkan orang”, ini statemen yang tidak sembarangan, itulah akibatnya yang kita rasakan sampai sekarang. Dan sekarang banyak hakim termasuk di MA sendiri sadar tentang itu. Maka dari itu saat ini sedang dilakukan proses perubahan dengan dukungan para donor, kami sangat hormat pada LSM, Uni Eropa, USAID, LDF, dan terakhir NLRP mendukung MA RI untuk melakukan proses perubahan, seperti yang diharapkan oleh Prof. Mochtar Mas’oed, Pak Busyro dan Pak Bambang Widjojanto. Tiga hal yang sedang dilakukan. Pertama, meningkatkan kualitas profesionalisme sumber daya manusia, ini aspek nya luas sekali, harus manusia-manusia kompeten dan berjiwa hakim yang bisa menjadi hakim. Kedua, mengubah administrasi dan manajemen peradilan Indonesia secara akuntabel, transparan dengan dukungan informasi teknologi (IT), jadi IT sangat mutlak harus hadir di pengadilan seluruh Indonesia dalam rangka menciptakan manajemen yang transparan dengan sistem paperless bila perlu, dan ternyata sebagian cara ini secara parsial bisa dan kami telah lakukan dengan bantuan donor. Kami khawatir sustainabilitas kelanjutannya setelah donor nanti angkat kaki, apakah APBN akan mendukung kegiatan ini?, Ketiga, buka akses seluas-luasnya kepada publik, akses public to justice, tiga komponen ini sedang kami lakukan, dan saya sangat setuju 100% dengan yang telah dipaparkan oleh Bapak Bambang Widjojanto. Terimakasih, mudah-mudahan kita bisa bangkit bersama Seminar on Comparative Models of Judicial Commissions: Peran Komisi Yudisial di Era Transisi Menuju Demokrasi
65
Pak Busyro. Nanti, rekrutmen hakim masa depan di dalam UU dikatakan harus lulusan S1, lulusan perguruan tinggi berakreditasi A dan rencananya dengan indeks prestasi 3. MA mengatakan tidak semua Sarjana Hukum, petinggi apapun predikatnya bisa menjadi hakim, hanya manusia yang berjiwa hakim-lah yang bisa menjadi hakim, oleh sebab itu dengan bantuan dari rekan-rekan NLRP kami membangun kerja sama dengan fakultas Psikologi UI, nanti akan dibuat modulnya, bagaimana menyeleksi manusiamanusia yang berjiwa hakim, Insya Allah. Terimakasih Wasalamualaikum Wr. Wb 2. Assalamualaikum Wr. Wb. Saya Widodo Supriyadi dari Kejaksaan Agung Republik Indonesia, dua pertanyaan akan kami sampaikan, pertama kepada Pak Bambang Widjojanto, di dalam paparan yang Bapak sampaikan dalam konteks pengawasan ada yang menarik buat kami, ada wewenang Komisi Yudisial dalam UU nomor 48 tahun 2009 antara lain “Komisi Yudisial dapat menganalisis putusan pengadilan yang memperoleh kekuatan hukum tetap dalam rangka menjaga dan menegakkan kehormatan, keluhuran martabat serta perilaku hakim sebagai dasar rekomendasi untuk melakukan mutasi hakim”, kami mohon penjelasan Bapak. Harapan kami bahwa bukan saja putusan yang sudah inkrah tetapi yang sebelum inkrah yang berjalan, hubungannya pertama dengan kasus Gayus yang mungkin tadi disinggung oleh Pak Mahfud, progresnya belum inkrah Pak, masih kasasi dilakukan oleh Jaksa, mungkin peran Komisi Yudisial dalam hal ini bisa lebih diintensifkan. Mohon penjelasan Pak Bambang Widjojanto.
66
Seminar on Comparative Models of Judicial Commissions: Peran Komisi Yudisial di Era Transisi Menuju Demokrasi
Kedua, kepada Prof. Mochtar Mas’oed, yang disampaikan dalam paparannya adalah bagian mimpi buruk bernama orde baru yaitu dalam hal Mahkejapol sebagai pengatur pemberlakuan hukum, lalu kita dibawa kepada pikiran negatif dengan Mahkejapol, ternyata tidak. Baru-baru ini juga ada dengan nama baru dan mudah-mudahan lebih baik yaitu Mahkumjapol dilaksanakan tanggal 4 Juni 2009 yang direstui oleh Presiden. Mahkumjapol singkatan dari Mahkamah Agung, Kementerian Hukum dan HAM, Kejaksaan dan Kepolisian, pesertanya Kapolda seluruh Indonesia, Kepala Kejaksaan Tinggi di seluruh Indonesia, pejabat tinggi di Kejaksaan dan Kepolisian kemudian ada Hakim Agung, Hakim PT, Hakim PN dan juga pejabat tinggi di Kemenkumham. Apa yang dimasalahkan? yaitu dibuat suatu tim, pecahan-pecahan masalah yang buntu yang ke depannya merupakan suatu tonggak atau pilar menuju kepada integrated criminal justice system yang sekarang baru criminal justice system. Kami mohon mungkin dapat masukan dari Pak Mochtar sendiri bahwa kami keberatan dengan Mahkejapol yang dulu dianggap negative thinking, dan sampai sekarang tetap berlaku putusan-putusan Mahkejapol yang lama dan mejadi acuan kami dalam berkolaborasi dengan aparat penegak hukum lain, kami mohon penjelasannya dari Bapak Bambang dan Bapak Mochtar. Terimakasih Wassalamualaikum, Wr. Wb. 3. Terimakasih, selamat siang, saya Andi Najwi dari LBH NU, terimakasih Bapak-bapak yang sudah menyampaikan makalahnya, saya tidak spesifik menanyakan kepada satu persatu, tetapi satu hal saya kira yang perlu saya ingatkan kepada Bapak-bapak kalau sebuah praktek mafia peradilan itu ibarat sebuah dagangan, persoalannya yaitu ada pembeli dan ada penjualnya yang sampai hari ini saya kira masih jauh dari harapan kita untuk kemusnahan Seminar on Comparative Models of Judicial Commissions: Peran Komisi Yudisial di Era Transisi Menuju Demokrasi
67
itu. Saya senang sekali, ketika seorang kawan saya mengatakan bahwa memberantas mafia peradilan itu seperti mimpi di siang bolong, ini memang pernyataan sepele tapi ketika direnungkan memang masuk akal. Kalau diibaratkan ada penjual dan ada pembeli, saya mohon maaf sekali lagi kalau perumpamaan ini diangap keliru, tapi memang penjualnya adalah pihak yang menghendaki kemenangan dalam suatu perkara, dan pembelinya kalau bisa diumpamakan adalah para pihak yang bisa membuat keputusan menang. Di antara penjual dan pembeli itu sudah terbentuk sebuah jalan yang sistemik, ini tidak mudah untuk merubah jalan itu menjadi jalan yang lebih baik, atau merusak jalan itu untuk membuat jalan lain yang berbeda dengan jalan yang selama ini ada, ini sudah sistemik, karena ini sudah sistemik saya kira tidak bisa untuk memberantas dengan cara-cara yang linear, harus ada terobosan-terobosan yang mungkin tidak masuk akal dan mungkin ini keluar dari cara berfikir normal, tapi saya kira perlu ada terobosan-terobosan yang revolusioner. Kita tahu bahwa selama ini, tadi juga disampaikan oleh Pak Mahfud tentang independensi kekuasaan kehakiman yang ternyata disalahgunakan. Kenapa kita tidak berfikir, kali ini independensi kekuasaan kehakiman harus dikesampingkan untuk menemukan sebuah solusi yang bisa menjawab rasa keadilan kepada masyarakat, mungkin mayoritas akan menolak usulan ini, tetapi ini mungkin salah satu cara yang bisa kita lakukan. Independensi kekuasaan kehakiman itu hanya bisa diterapkan pada satu sistem yang bebas dari mafia peradilan, kalau sistemnya sangat korup dengan mafia peradilan, apakah independensi itu bisa dipertahankan?, saya kira kita harus keluar dari argumen-argumen independensi kekuasaan kehakiman untuk sementara. 68
Seminar on Comparative Models of Judicial Commissions: Peran Komisi Yudisial di Era Transisi Menuju Demokrasi
Kedua, kita tahu hari ini kita punya yang namanya LPSK, kenapa? Ini juga kita dukung bersama-sama kewenangan yang ada di LPSK sehingga kita bisa berharap banyak dari peniup peluit yang bisa mengungkap apa yang selama ini terjadi. Ketiga, secara teori, memang kita harus bisa membuat suatu aturan yang membedakan ketika kesalahan kejahatan dilakukan oleh aparat penegak hukum dengan masyarakat biasa, ini tidak bisa disamakan. Selama ini dianggap sama, maka rakyat akan mendapatkan sebuah resiko yang selalu berbeda dengan apa yang dilakukan oleh aparat penegak hukum. Yang terakhir, tadi sudah disampaikan oleh Ketua KY tentang bagaimana ke depan perekrutan calon hakim, saya kira ini sesuatu yang menarik, tetapi saya ingin titip pesan mungkin ada hal yang lebih spesifik lagi, barangkali juga untuk persyaratan hakim itu perlu dibatasi privasi seorang hakim. Hakim sebagai Pejabat Negara dalam sistem kekuasaan, memegang salah satu kekuasaan yudisial, saya kira juga harus dibatasi privasinya, misalnya seorang calon hakim harus berani menandatangani pernyataan bahwa dia akan memiliki hanya satu rekening Bank, seorang calon hakim berani menyatakan bahwa dia hanya akan memiliki satu nomor telepon selama dia menjabat sebagai seorang hakim dan privasi-privasi lain, sehingga akan memudahkan kontrol, dan dengan sendirinya kontrol dari seorang hakim itu sendiri akan selalu ada di dalam hati dan di dalam pikirannya tanpa harus dikontrol secara tegas oleh Komisi Yudisial, dan yang terakhir ingin saya sampaikan bahwa mekanisme-mekanisme kontrol disamping Komisi Yudisial yang sudah ada dan itu amanat UUD, saya kira kita perlu mengembangkan juga tentang kelompok-kelompok atau majelis-majelis eksaminasi terhadap perkara-perkara yang sedang berjalan maupun Seminar on Comparative Models of Judicial Commissions: Peran Komisi Yudisial di Era Transisi Menuju Demokrasi
69
yang sudah inkrah, saya kira itu perlu dikembangkan, perlu ditumbuhkan dan ini salah satu bagian dari yang bisa dilakukan oleh masyarakat luas untuk pembangunan sistem peradilan yang lebih baik. Terimakasih. 4. Terimakasih. Saya Imam, dari Pusat Studi Hukum Dan Kebijakan, yang menarik tadi Pak Bambang Widjojanto menyinggung tentang asal muasalnya adanya Komisi Yudisial adalah antara lain karena MA berfikiran bahwa pengawasan internal saja tidak mencukupi. Itu menarik bagi saya, karena mungkin bisa dijelaskan lebih lanjut mengapa MA berfikir bahwa tidak mungkin hanya dengan pengawasan internal saja. Itu mungkin lebih menarik untuk dieksplorasi, dari situ nanti kita akan sampai pada titik 3 pertanyaan mendasar. Pertama, ketika kita bicara soal pengawasan perilaku, ternyata itu masuk ke subjek atau objek dari baik pengawasan internal maupun eksternal, sampai kapanpun ini akan jadi masalah antara Komisi Yudisial dengan Badan Pengawasan di MA kalau tidak ada satu kategorisasi yang jelas kapan suatu perilaku itu masuk lingkup kewenangan Badan Pengawasan dan kapan itu masuk ke Komisi Yudisial. Ini bisa jadi masalah politik yang tidak selesai-selesai, itu yang sehubungan dengan pengawasan perilaku. Yang kedua, mengenai pengawasan yang berhubungan dengan putusan, sebenarnya kalau kita bicara tentang putusan atau fungsi yudisial dari MA, permasalahan sebenarnya mungkin adalah masalah stAndar, putusan yang mana yang bisa menjadi acuan? Mana yang bisa jadi stAndard bagi para pihak yang bersengketa bahwa sesuatu itu benar atau sesuatu itu salah?, tapi mungkin ini masalahnya ada dalam fungsi kasasi MA, bukan masalah pribadi hakim atau masalah kasuistis. Jadi mungkin ada baiknya kalau dipikirkian lagi lebih ke bagaimana pelaksanaan 70
Seminar on Comparative Models of Judicial Commissions: Peran Komisi Yudisial di Era Transisi Menuju Demokrasi
fungsi yudisial, atau kalaupun Bapak-bapak yang ada di depan berfikir bahwa pengawasan putusan itu penting, saya hanya tanya bangaimana konsep praktisnya, secara konkritnya akan seperti apa?. Kemudian pertanyaan yang ketiga adalah menyangkut fungsi nonteknis, karena seolah-olah segala permasalahan yang dihadapi peradilan mafia hukum atau apapaun itu namanya, semua berangkat dari kesalahan hakim atau masalah yudisial bagaimana memutus sesuatu, apakah sesuatu itu benar atau salah, padahal peradilan itu bukan hanya satu orang dua orang, peradilan adalah satu sistem organisasi, tadi Pak Supandi dari awal juga menyinggung bagaimana kita berharap satu putusan yang bagus kalau kita juga tidak mengarahkan perhatian pada bagaimana hakim-hakim itu direkrut atau kemudian dididik atau kemudian kalau kita bicara soal keterbukaan, bagaimana manajemen organisasi berkasnya di dalam, managemen perkara itu seperti apa, kalau misalnya manajemen perkara tidak dibenahi misalnya ya, bagaimana kita berharap ada keterbukaan ada putusan tepat waktu. Pertanyaan saya sekali lagi yang ketiga, adakah konsep yang ditawarkan oleh Bapak yang duduk didepan tentunya tentang peran KY sehubungan dengan pelaksanaan fungsi non teknis ini setelah berlakunya satu atap yang itu menjadi kewenangan MA juga. Ini menurut hemat kami, MA jelas perlu dibantu untuk masalah ini karena sebelumnya itu ada dilingkup eksekutif, dan kalau kita mau bicara soal masa depan kekuasaan yudikatif di Indonesia, ya ini yang harus bersama kita pikirkan. Mungkin itu saja, terimakasih. 5. Nama saya Jum Andriani Dari Universitas Tama Jagakarsa, Saya teringat satu kasus tentang masalah keputusan Hakim Agung dalam putusan PK tentang kasus lapangan gasibu. Di sini yang saya ketahui dari PN, PT dan Seminar on Comparative Models of Judicial Commissions: Peran Komisi Yudisial di Era Transisi Menuju Demokrasi
71
MA diputuskan bahwa penggugat kalah, tapi ada novum baru maka dinyatakan bahwa dapat dimenangkanlah kasus itu. Ada beberapa polemik disurat kabar tentang pendapat KY dan juga MK, dan memang kita mengerti dengan adanya likuidasi dari MK, bahwa KY hanya bisa mengawasi tingkah laku hakim, tapi dari sini apakah tidak ada peranan hakim-hakim KY untuk menangani kasus ini, karena kemungkinan dalam kasus-kasus lainnya juga mungkin akan menimbulkan permasalahan. Jadi kalau menurut saya, mungkin ke depannya saya setuju sekali kalau peranan pengawasan KY terhadap hakim-hakim itu diperbesar, atau kalau tidak boleh KY, ya buat saja lembaga lagi, kita kan Indonesia sukanya begitu, buat lembaga apa yang bisa mengawasi, karena benar juga seperti kata Pak Mahfud tadi terangkan kalau hakimhakim tanpa pengawasan repot. Selain dosen, saya juga seorang advokat walaupun bukan seperti Pak Bambang yang advokat kalangan atas, saya advokat kalangan kecilkecil dan itu saya merasakan susahnya menjadi pengacara, kalau bisa dibilang saya bukan kasus mata air, tapi air mata. Biasanya kalau sudah kasus air mata kasih Bu Jum. Dalam peradilan kita ini memang dalam penegakan hukum ini saya benar-benar kebingungan, saya mulai diperas mulai dari polisi, jaksa dan yang lain-lain, ini perlu pengawasan sebetulnya, walaupun tadi dibisiki kawan saya, masih lumayan KY masih punya gaung dibandingkan Komisi Kejaksaan dan Komisi Kepolisian. Kalau menurut saya memang perlu satu lembaga untuk mengawasai para hakim dan penegak keadilan di negara kita ini. Yang perlu dirumuskan adalah bagaimana penegakan keadilan dan penegakan hukum di Indonesia itu bebas, dan saya setuju sekali dengan pendapat dari Pak Mas’ud, sekitar empat tahun yang lalu sudah saya kemukakan 72
Seminar on Comparative Models of Judicial Commissions: Peran Komisi Yudisial di Era Transisi Menuju Demokrasi
bahwa memang perlu intensif untuk para penegak hukum, tidak hanya para hakim tapi juga bagi teman-teman kita di kepolisian. Mengenai masalah penjaringan hakim saya juga setuju, dan saya setuju dilakukan untuk mahasiswamahasiswa S2, karena mahasiswa tahun 70 dan 80-an berbeda dengan mahasiswa sekarang, saya mau berbangga hati karena saya murid Pak Busyro, kami merasakan bahwa kami benar-benar layak untuk menjadi sarjana hukum, berbeda dengan mahasiswa-mahasiswa sekarang yang belum layak disebut sebagai sarjana hukum, padahal kita dulu belum layak disebut sebagai master, jadi memang perlu tingkatan yang lebih tinggi lagi. Satu lagi ajaran Pak Busyro, moral itu sangat penting. Karena dengan moral yang baik, Insya Allah etika dan segala macam itu bisa dimiliki. Jawab Bambang Widjojanto. Menanggapi Pertanyaaan yang diajukan nomor 2 dan 4, Akan memberikan masukan dalam pertanyaan nomor 3 dan 1, terkait dengan Pasal 42 UU No. 48 Tahun 2009 tentang Kekuasaan Kehakiman, memang menyatakan seperti itu, Sehingga dalam rangka menegakkan kehormatan keluhuran martabat serta perilaku hakim, Komisi Yudisial dapat menganalisis putusan pengadilan yang telah memperoleh kekuatan hukum tetap ditambah sebagai dasar rekomendasi untuk melakukan mutasi. Kalau ini yang terjadi, memang pertama itu kepentingannya untuk mutasi, sebenarnya kalau di penjelasannya tidak hanya untuk mutasi tapi dilakukan pula untuk demosi juga. Kalau rumusannya seperti itu memang agak terbatas. Hanya tadi saya sudah menjelaskan secara filosofis mengapa penting pengawasan, dan pengawasan itu dimaksudkan untuk apa?
Seminar on Comparative Models of Judicial Commissions: Peran Komisi Yudisial di Era Transisi Menuju Demokrasi
73
Jadi mudah-mudahan saja ke depan nanti akan ada gagasan seperti itu. Tapi ini yang diwacanakan dan didiskusikan terus menerus, dan pasal 42 UU No. 48 tahun 2009 menyatakan seperti itu. Yang juga menarik adalah pertanyaan yang agak teknis. Pertanyaan dari PSHK bagaimana sebenarnya konkritnya pengawasan eksternal itu dalam perilaku dalam putusan dan fungsi MA nonteknis. Saya berdiskusi dengan beberapa teman di MA, terutama yang nonteknis, misalnya di panitera. Sekarang jabatan-jabatan nonteknis di MA itu masih dijabat oleh para hakim pengadilan tinggi. Sebenarnya disayangkan kalau hakim-hakim tinggi ditempatkan di situ. Direktorat Jenderal juga masih dijabat oleh hakim. Kalau mau meningkatkan peran dari panitera, mestinya jabatan-jabatan itu dari awal diberikan saja kepada panitera, jadi panitera juga punya data rekam ujung dari panitera misalnya jadi sekertaris panitera MA. Jadi tidak perlu lagi dijabat oleh hakim agar para hakim ini melakukan fungsi yang sesuai dengan kompetensi dan kapasitasnya. Tapi sebagian itu masih terserap dari hakim. Saya menduga itu pasti ada alasan. Tapi kalau ingin mendorong secara teknis nanti misalnya yang nonteknis itu adalah panitera diberi jenjang karier, ujungnya itu menjadi panitera atau sekretaris panitera MA. Tapi yang kita tahu kalau kita lihat modus dan pola itu harus fair diakui, bahwa mafia itu bukan hanya hakim, ada juga panitera, cuma sekarang kontrol terhadap panitera itu sepenuhnya dilakukan oleh internal MA. Peradilan punya keterbatasan untuk mengontrol perilaku hakimnya, ditambah lagi harus mengontrol paniteranya, menjadi sangat repot. Menurut saya harus dipikirkan jalan keluar lain supaya secara teknis pelanggaran-pelanggaran atau potensi pelanggaran yang dilakukan oleh panitera itu bisa dikontrol secara maksimal. Saya tidak tahu bagaimana caranya, tapi itu paling tidak yang bisa diajukan. 74
Seminar on Comparative Models of Judicial Commissions: Peran Komisi Yudisial di Era Transisi Menuju Demokrasi
Soal perilaku, memang yang belum jelas ini adalah perilaku, itu perilaku dimana, kalau core bussiness-nya pengadilan kekuasaan kehakiman adalah menyelesaikan perkara di pengadilan, artinya proses penyelenggaraan atau penyelesaian perkara itu adalah core bussiness-nya MA. Yang mesti diawasi itu apa? Perilaku dalam proses kekuasaan kehakiman atau perilaku di luar itu? Logikanya, perilaku terhadap proses penyelenggaraan di dalam peradilan itu, kalau begitu kemudian harusnya ada elaborasi yang lebih eksplisit di mana titik singgungnya itu. Sebenarnya ada perdebatan disitu, pertama sebenarnya antara independensi dan akuntabilitas. Independensi sebagai mahkota hakim harus diberikan, tapi independensi itu harus diletakkan dengan akuntabilitas. Karena kalau dia abuse atau absolut, dia potensial abuse of power, itu yang mesti diletakkan. Transparansi itu menjadi salah satu instrumen untuk menuju akuntabilitas, jadi ini mesti dilihat, bagaimana caranya? Misalnya ada studi yang dilakukan oleh KY mengenai putusan-putusan hakim, ada 1400 putusan yang sudah dikaji oleh KY, dengan indikator dan metode tertentu. Ada juga yang pernah melakukan pengujian terhadap putusan-putusan di pengadilan Tipikor dibandingkan dengan putusan-putusan pengadilan di non tipikor. Sebenarnya hasil putusan itu sudah bisa disosialisasikan untuk dilihat, karena di situ nanti akan kelihatan orang yang tidak paham dengan doktrin dan teori-teori tertentu, atau orang yang salah paham, atau orang yang tidak juga paham. Kalau sudah diberi tahu tidak juga paham itu bisa dikatakan tidak profesional. Kalau berkali-kali diberitahu tidak paham artinya tidak layak jadi hakim. Kalau dua sampai lima kali diberitahu, putusan dia seperti itu terus padahal sudah ada koreksi,ternyata dia tetap menggunakan teori-teori yang sama terus, harusnya orang ini ditanya. Sebenarnya orang yang tidak profesional atau dia mendapatkan keuntungan dari teori yang dia pakai itu, kita bisa curiga. Seminar on Comparative Models of Judicial Commissions: Peran Komisi Yudisial di Era Transisi Menuju Demokrasi
75
Problem pertama antara titik singgung independensi dan akuntabilitas, titik singgung yang kedua yang disebut dengan perilaku. Sebenarnya perilaku yang mesti diawasi itu tidak hanya perilaku di luar peradilan tapi juga di dalam peradilan. Perilaku di dalam peradilan itu juga bisa macammacam, misalnya hubungan dia dengan kerabat kerjanya di dalam ruang pengadilan misalnya. Juga misalnya pernah ada hakim walk out di Pengadilan Tipikor, ini juga menarik. Sebenarnya walk out adalah standing position hakim atau sebenarnya juga bertentangan dengan etika dan perilaku hakim. Saya belum mempunyai jawaban yang tegas atau putusan yang bisa menjadi acuan. Sebenarnya salah satu gagasan lain itu, untuk menjawab pertanyaan nomor 3 Pak Hanafi, sebenarnya ada beberapa gagasan lain. Tapi karena ini bukan forumnya, gagasan lain yang berkaitan dengan itu nanti dapat dihubungkan dengan putusan. Saya usul, kenapa tidak single identity number itu dimulai dari kalangan penegak hukum supaya fair advokatnya, misalnya. Karena advokat inilah yang bermain dari mulai dari penyidikan sampai kasasi sampai eksekusi. Dia ruang lingkupnya luas, advokat ini dikasih single identity number, KTP-nya, SIMnya, Paspor-nya semuanya satu nomor. Kemudian di single identity numbernya disebutkan rekening-rekening listrik, agar ketahuan dengan gaya hidup itu kita bisa lacak berapa pendapatannya, bayar pajaknya cocok atau tidak dengan penghasilannya. Kemudian seluruh transaksi yang berkaitan dengan jasa usahanya itu, minimal Lima juta harus banking system, agar kita bisa lacak semua perputaran uang. Tahun pertama mungkin advokatnya, tahun kedua mungkin yang lebih gampang MA, ditambah lagi setelah itu pengadilan tinggi, baru kemudian pengadilan di bawahnya. Yang kedua saya usulkan, kan kita sudah ada LHKPN, ditambah lagi dengan mariva injunktion, semua penyelenggara negara yang melaporkan harta kekayaannya harus menandatangani satu 76
Seminar on Comparative Models of Judicial Commissions: Peran Komisi Yudisial di Era Transisi Menuju Demokrasi
surat lagi, bahwa kekayaan yang dilaporkan adalah kekayaan yang dimilikinya, jika nanti ditemukan kekayaan lain di luar yang dilaporkan, maka negara bisa merampas kekayaan itu seketika. Sebaiknya kita membuat mana putusanputusan landmark yang bisa di jadikan benchmark. Kalau Komisi Yudisial sudah melakukan studi, pasti bukan hanya melihat putusan -putusan yang jelek saja, tapi putusan yang baik itu seperti apa. Kalau perlu kita berikan buku yang isinya mengenai teori-teori hukum yang selayaknya dipakai oleh para hakim, doktrin-doktrin hukumnya, kalau perlu paradigma dari negara transisional justice-nya seperti apa, masuk semuanya dibuku itu. Sehingga ketika hakim melihat itu, dia sudah tahu doktrin-doktrin apa yang selayaknya dipakai, dan itu bisa dijadikan sebuah buku pegangan dan pedoman bagi kalangan hakim kalau dia memutus perkara. Misalnya kasus HAM, putusan-putusan kasus HAM yang hebat di dunia dimasukkan ke dalam buku itu, doktrin apa yang dipakai, teori apa yang dipakai, paradigma dan filsafat hukum apa yang dijadikan dasar, semuanya ada di situ, jadi ini bisa membantu para hakim nanti yang pekerjaannya seperti mesin karena harus memeriksa terus sehingga dia agak kering untuk membaca doktrin-doktrin dan teori-teori. Atau sebenarnya bisa juga dilakukan publikasi-publikasi yang bisa menjadi control. Kalau di negara-negara maju, eksaminasi itu dipakai untuk mengontrol putusan-putusan itu. Jadi putusan hakim itu kemudian dieksaminasi dalam pengertian dikontrol dengan ahli-ahli yang memang sudah mumpuni, jadi di situ ada dialektika antara masyarakat, civil society dengan akademisi dengan praktisi lain. Yang lebih penting lagi sebenarnya, kita ini kehilangan recht idea. Sesungguhnya marwah filosofis hukum yang mau diletakan oleh kita itu apa? Civil law bukan, common law bukan, tidak jelas, suka-suka saja. Katanya kita punya hukum Seminar on Comparative Models of Judicial Commissions: Peran Komisi Yudisial di Era Transisi Menuju Demokrasi
77
yang berbasis Pancasila, yang mana itu? Marwah itu harus dihadirkan sungguh-sungguh. Recht idea ini yang kemudian menjadi kajian konsep negara hukum kita itu sebenarnya seperti apa? Ini seharusnya yang menjadi dasar, sehingga ketika putusan hakim itu dibuat, itu betul-betul berpucuk dan merujuk ke sana. Kira-kira itu yang ingin saya kemukakan, untuk hal-hal yang teknis saya bersedia untuk diskusi di luar ruangan ini, di luaran yang lebih teknis lagi. Terimakasih. Mochtar Mas’oed. Tidak banyak pertanyaan yang diajukan. Saya mengagumi yang Mas Bambang sampaikan. Mungkin konsep itu akan saya tiru untuk mengawasi profesor yang nakal, jadi identitasnya harus satu. Mengenai tadi dari Pak Supandi, soal rekrutmen mestinya memang jangan seperti pegawai negeri biasa, tapi sebelum direkrut cara mendidiknya jangan seperti mendidik yang lain. Di negeri lain seperti Amerika, pendidikan untuk hakim dan filsuf itu tidak di S1, jadi hakim-hakim Amerika itu dulu S1-nya ada yang berlatar belakang matematika, fisika, tapi kemudian sekolah lawyer, dan lawyer itu setahu saya dulu tahun 70-an tidak ada padanannya. Master bukan, doktor juga bukan, tapi mereka dipaksa untuk menjadi manusia yang sehat fisik dan akal pikirannya dulu lalu menjadi lawyer. Seingat saya begitu cara mendidik hakim, filsuf juga begitu. Saya membayangkan mungkin harus ada kualitas tertentu karena menjadi hakim saya kira tidak bisa orang yang terlalu muda dalam pengertian fisik maupun pengalaman. Mengenai Mahkejapol, saya tidak ahli hukum, tapi saya tahu bahwa orde baru itu dimarah-marahi karena pembagian kerjanya jelek, dan pembagian kerja jelek itu kemudian diberi nama asing kolusi. Yang disebut buku hitam oleh Pak Mahfud tadi sebetulnya isinya adalah bagaimana mendorong supaya
78
Seminar on Comparative Models of Judicial Commissions: Peran Komisi Yudisial di Era Transisi Menuju Demokrasi
pembagian kerja semakin tegas. Ada distinctiveness dari sesuatu yang kita kerjakan, tapi Mahkejapol dulu merepotkan karena sesuatu pada akhir tahun 90-an kita memakai kata yang lama tapi dipakai secara beramai-ramai di Indonesia yaitu moral hazart. Ada banyak hal yang sebenarnya tidak bisa begitu saja menimbulkan kerepotan, tetapi karena ada syarat bahwa moralnya harus sangat tinggi agar tidak merusak. Jadi moral hazart memberi misalnya aturan yang tanggung. Peraturan kita sering tanggung, dan itu banyak moral hazartnya. Saya kira kalimat yang ingin saya sampaikan, dulu kita mau memperbaiki kesulitan hidup di masa orde baru dengan misalnya pengorganisasian kita menegaskan pembagian kerja. Dulu tidak ada pembagian kerja, dan agak merepotkan, jadi pengertian saya mengenai Mahkejapol yang almarhum, dan yang baru saya belum tahu. Saya usul kenapa tidak ditambahi “ra”, jadi Mahkumjapolra, jadi yang mau diadili diajak rapat, mahkamahnya ikut semua, jaksanya ikut, ramailah di situ, pengadilannya pindah di warung kopi. Saya tidak mengerti itu bagaimana seharusnya. Mengenai hakim-hakim yang beri insentif saya ingin mendukung saja, insentif belum tentu materil, belum tentu insentif itu sesuatu yang wujudnya itu berupa penghasilan naik, tapi insentif dalam pengertian saya hanya akan mengubah sesuatu kalau itu membuat saya menjadi lebih baik, lebih berbahagia, lebih senang. Jadi disinsentif dan insentif dalam organisasi saya kira dipakai di mana-mana untuk mendorong sesuatu berlaku, jadi insentif dan disinsentifnya bisa dilihat dari apa yang kita alami, jangan diromantisasikan. Terimakasih.
Seminar on Comparative Models of Judicial Commissions: Peran Komisi Yudisial di Era Transisi Menuju Demokrasi
79
M. Busyro Muqoddas Saya ingin menggabungkan saja dari beberapa pertanyaan tadi, tentang istilah mafia peradilan dan mafia hukum itu sebenarnya esensinya sama hanya saja pelakunya yang lebih luas. Kalau mafia hukum itu ada peran aktor-aktor politik, aktor-aktor birokrasi, makelar-makelar kasus dalam bentuk yang lebih luas, pedagang-pedagang atau konglomerat hitam dan seterusnya. Tapi kalau mafia peradilan saya sependapat dengan Pak Supandi, yaitu ada hakim, ada pengacara, aparat polisi, jaksa,makelar kasus, cukong kasus, dan belakangan ini ada unsur-unsur yang lain, pajak dan seterusnya. Sebetulnya tinggal bagaimana masyarakat bisa lebih dibuka wacananya bahwa aktor mafia peradilan itu bukan hanya hakim saja. Saya sendiri dulu juga pernah jadi pihak yang diperas oleh unsur-unsur lain selain hakim. Saya sependapat dengan Pak Supandi dan tentu harus dengan berjiwa besar jika ada istilahistilah mafia peradilan mafia hukum itu semata-mata karena merefleksikan realitas yang sekarang ini memang ada. Dari 7600 laporan ke KY, yang dilaporkan itu 90% putusan hakim, walaupun belum tentu putusannya salah. Banyak sekali putusan yang kemudian kita konfirmasi dengan hakimnya, proses-proses pengambilan keputusannya ternyata benar, dan kita senang mengetahui hakim itu. Pelapornya kita kirimkan surat bahwa laporannya tidak valid. Nah ini bagian dari KY menegakkan, menjunjung tinggi martabat hakim, itu sering kami lakukan. Tapi juga ada putusan-putusan yang memang sudah ditingkat PK kalah karena novum-nya ternyata tidak dipertimbangkan dalam pertimbangan hukum. Jadi mafia peradilan sebuah realita, ini bukan agenda kehakiman saja, tapi agenda kita bersama.
80
Seminar on Comparative Models of Judicial Commissions: Peran Komisi Yudisial di Era Transisi Menuju Demokrasi
Paralel dengan itu tentu hakim-hakim yang perhatian betul dengan upaya meningkatkan citra peradilan ini bagian dari jamaah kita, kolega kita dan kita harus makin kuat menjalin sinergi dan komitmen. Kemudian dari teman-teman Nahdhatul Ulama, memang betul prakteknya ada penjual ada pembeli, cuma transaksi penjualan dan pembeliannya mengalami modifikasi yang sangat kreatif. Sehingga dalam transaksi yang kreatif itu pun lembaga seperti KPK pun tidak selalu bisa menjangkau. Oleh karena itu yang penting yaitu bagaimana meminimalisasi langkah-langkah ke dalam dengan model pendidikan yang persuasif edukatif. Hakimhakim, jaksa dan polisi ini mungkin memerlukan suatu acara komitmen bersama, agenda bersama bagaimana memahami penerapan etika moral dalam proses-proses peradilan itu. Ini agenda yang tidak bisa ditangani oleh satu lembaga saja, sehingga dalam konteks menyiapkan hakim yang punya masa depan yang berintegritas ke depan lebih bagus lagi. Maka KY seperti tadi saya kemukakan, seleksi calon hakim itu sistemnya tidak kami susun sendiri, harus dengan MA, harus dengan Kementerian Pendidikan Nasonal karena ada strata-2, itu kompetensi Kemendiknas jadi bekerjanya bekerja sistem. Kemudian mafia hukum atau mafia peradilan memang tidak bisa diberantas dengan cara-cara pendekatan linear, ini memang harus melibatkan semua stakeholder dan dalam batas tertentu jejaring KY yang ada di 30 propinsi itu sudah banyak memberikan kontribusi kepada kami. Ada laporan yang menarik, misalnya ada hakim yang hidupnya sederhana, putusannya bagus-bagus, hakim itu di masyarakat diinvestigasi oleh jejaring KY, ternyata hakim tersebut memiliki peran-peran kesalehan di dalam rumah tangganya, kesalehan dilingkungan terdekatnya dan berkorelasi dengan kesalehan profesionalnya. Jadi ada korelasi putusan yang bagus, rumah tangga yang sederhana dan integritas serta integrasi hakim itu di masyarakat. Hakim seperti inilah yang Seminar on Comparative Models of Judicial Commissions: Peran Komisi Yudisial di Era Transisi Menuju Demokrasi
81
biasanya sering dijuluki dalam bahasa agama itu hakim yang kalau mau meninggal itu meninggal dengan husnul khotimah. KY punya mimpi, kami ini ingin husnul khotimah bersamasama hakim-hakim, polisi, jaksa yang lain, mari semuanya kita akhiri dengan husnul khotimah tadi. Ada kisah ketika hakim itu meninggal, dia dalam keadaan sedang melakukan ritual. Ini fakta di Yogyakarta, mantan Hakim PN Bantul. Setelah dilakukan semacam pencarian informasi, ternyata hakim ini jujurnya memang luar biasa, namanya Sam Any. Hakim-hakim sejenis ini banyak, jaksa dan polisi seperti ini juga banyak tapi tidak pernah diekspos. Agenda-agenda seperti inilah yang memerlukan pelibatan-pelibatan dari stakeholder, termasuk kampus-kampus, termasuk kami juga punya kerjasama dengan keuskupan di Maumere Kupang, juga dengan dua ormas besar Islam, Muhamadiyah dan NU. Pembatasan privasi dari calon hakim itu bisa saja kalau itu nanti diatur di dalam UU dan ini berkaitan dengan agenda revisi UU KY. Kemudian tentang PSHK, saya bisa berikan komentar tentang putusan, putusan ini kita punya perhatian bagaimana putusan tersebut bisa mencerminkan, merefleksikan satu ideologi-ideologi besar negara hukum yang menjawab kebutuhan hakim untuk bisa melahirkan putusan hakim yang transformatif. Memang ideologi hukum dari hakim itu harus digeledah dan penggeledahan itu lewat riset putusan hakim tadi. Sebanyak 1400 putusan hakim sudah digeledah, sementara dari penggeledahan itu ada satu solusi teoritik. Ke depan memang putusan hakim itu perlu ditata dalam satu kerangka keberpihakan pilihan hukum. Pilihan hukum itu yang berbasis pada hukum profetik. Hukum profetik adalah hukum yang memiliki tiga pilar. Pertama, bersifat liberatif, artinya membebaskan bangsa ini dari ketidakadilan termasuk ketidakadilan korupsi. Kedua, bersifat humanis. kemudian 82
Seminar on Comparative Models of Judicial Commissions: Peran Komisi Yudisial di Era Transisi Menuju Demokrasi
yang ketiga bersifat transendental. Kepada Bapak-bapak MA, apakah bisa membantu kami dari KY, contoh putusan hakim kasus korupsi, kasus ilegal logging yang dikonstruksikan sedemikian rupa dengan tafsir-tafsir ekstensif teologis dari undang-undang atau hukum positif dan doktrin-doktrin. Sehingga kasus korupsi dan ilegal logging itu dikonstruksikan menjadi bentuk pelanggaran KUH Pidana, tapi juga pelanggaran HAM. Sampai sekarang kami minta belum juga mendapatkan. Kalau ini ada, inilah hakim yang sangat luar biasa. Kalau belum ada mari kita jadikan agenda bersama. Kita punya kampus-kampus yang sudah bekerjasama dan teman-teman profesi hukum yang cukup perhatian di bidang ini. Dengan demikin kalau putusan ini dipermasalahkan, itu permasalahannya satu sisi untuk bagaimana ke depan punya format yang lebih jelas. Putusan ini bisa dianalisis sepanjang tidak mempermasalahkan diktumnya. Sekaligus yang Ibu Anggraeni tentang Gasibu itu, gasibu itu ada persoalan ditingkat PK. PK itu sudah mentok, tapi agaknya disana masih perlu satu pendekatan dengan MA, dan saya kira MA cukup terbuka untuk ini. Cuma yang jadi persoalan adalah kalau ada perkara yang masuk ke pengadilan termasuk ke MA, surat kuasanya itu keliru, pertanyaannya secara teoritik surat kuasa yang cacat hukum itu berakibat pada aspek-aspek prosedural materilnya. Kalau ada surat kuasa hukum yang ternyata salah, akan berakibat terhadap semua bangunan putusan sampai dengan amar putusannya itu. Ini secara umum. Kasus seperti ini juga ada yang dilaporkan oleh beberapa masyarakat. Kalau kita semua punya perhatian untuk memeriksa putusan hakim, bukan untuk membatalkan, tapi mengapa ada proses putusan yang dipermasalahkan itu, misalnya penyelundupan fakta hukum tadi, bukti ada sepuluh hanya dimasukan delapan. Saksi dua orang yang dimasukkan cuma satu orang, sehingga melanggar ulustesis. Hal semacam inilah yang belum diketahui publik, tetapi itu nyata dilaporkan oleh masyarakat. Seminar on Comparative Models of Judicial Commissions: Peran Komisi Yudisial di Era Transisi Menuju Demokrasi
83
Moderator Pak Busyro masih sungkan juga nampaknya ketika menyebut yang terlibat dalam mafia hukum dan mafia peradilan, cuma dikatakan pihak-pihak lain. Padahal Pak Busyro tahu oknumoknum wartawan juga ada yang terlibat disitu, karena jujur saja hanya wartawan yang bisa bertemu jaksa, hakim, polisi, pengacara kapanpun di manapun, itu harus diakui. Tanya Jawab Gelombang II Pertanyaan Maulana dari Universitas Pancasila Jakarta Assalamualaikum Wr. Wb. Saya Maulana dari Universitas Pancasila Jakarta. Mengenai persyaratan pencalonan jadi hakim harus S2, yang tadi dibilang dari jaman dulu dengan jaman sekarang ada perbedaan, apa yang menjadi penyebabnya? Apakah sumber daya manusianya yang tidak layak ataukah sistem pendidikannya itu sendiri yang diterapkan oleh kampus? Jadi kita di sini ingin ditanamkan suatu hati nurani yang jujur untuk menegakan hukum, jangan sampai sila pertama Pancasila jadi keuangan yang maha esa, terimakasih. Pertanyaan Firman Nurdin dari BPKP Saya Firman Nurdin dari BPKP. Tadi sambil mendengar paparan dari Bapak semuanya, saya sempat mencari mengenai visi dan misi Komisi Yudisial dan juga visi dan misi Badan Pengawas MA, karena disini ada satu benang merah. Kalau kita lihat visi dan misi Badan Pengawas MA yaitu terwujudnya aparatur peradilan yang bersih dan berwibawa. Kalau kita lihat visinya Komisi Yudisial, terwujudnya penyelenggaraan kehakiman yang jujur, bersih, transparan dan profesional. Kita lihat ada empat misi di Badan Pengawas MA, dua saja 84
Seminar on Comparative Models of Judicial Commissions: Peran Komisi Yudisial di Era Transisi Menuju Demokrasi
yang ingin saya bacakan, visi ketiga badan pengawas MA itu adalah terwujudnya fungsi pengawasan yang efektif dan efisien di lingkungan MA dan badan peradilan di bawahnya, visi yang keempatnya adalah terwujudnya aparatur yang profesional bersih, netral bertanggung jawab dan berorientasi pada pelayanan masyarakat. Kita lihat dulu misi dari Komisi Yudisial, ada tiga misi Komisi Yudisial, yang akan saya bacakan adalah misi yang ke dua dan ke tiga. Misi yang pertama menyiapkan calon hakim yang berahlak mulia jujur berani dan kompeten, misi yang ketiga adalah melaksanakan pengawasan penyelenggaraan kekuasaan kehakiman yang efektif terbuka dan dapat dipercaya. Jadi nyaris bahwa ada hal yang sangat sama persis antara apa yang akan diemban oleh Komisi Yudisial dengan Badan Pengawas MA. Pertanyaan saya yaitu sebagai lembaga Komisi Yudisial apakah ada peran penguatan terhadap pengawasan internal, karena dari sisi efisien pengawasan internal ini lebih murah dan lebih cepat karena dia berada dalam manajemen MA. Artinya setiap temuan setiap permasalahan setiap sesuatu yang terjadi sesuai denga standar yang disepakati oleh MA, sesungguhnya Badan Pengawas MA bisa menjadi mata dan telinga pimpinan dari MA, jadi tinggal bagaimana KY memberikan supporting/ dukungan dan mendorong agar fungsi ini bisa lebih efektif di Badan Pengawas MA. Nanti peran-peran yang tidak bisa diambil oleh Badan Pengawas MA itulah yang menjadi peran pengawas eksternal yang memang harus sama kuatnya. Jadi kita bukan masalah yang mana yang lemah yang mana yang kuat, melainkan bagaimana sama efektif dan sama kuatnya fungsi pengawasan eksternal dan fungsi pengawasan internal untuk pelaksanaan peradilan ini Pak. Mungkin itu saja, terimakasih.
Seminar on Comparative Models of Judicial Commissions: Peran Komisi Yudisial di Era Transisi Menuju Demokrasi
85
Jawab M. Busyro Muqoddas Jadi untuk S1 yang sekarang ini mendaftar hakim, sebelu itu kita memang sudah melakukan satu proses penelitian, kurikulim S1 sekarang ini memang belum memadai dihadapkan kepada persoalan-persoalan bagaimana menjadi hakim yang tangguh yang profesional yang berintegritas. Sementara kasus-kasus yang muncul juga banyak variasi yang belum semuanya dijangkau oleh KUH Pidana maupun KUH Perdata. Ke depan memang perlu direvisi menjadi S2 dengan format yang berbeda dengan S2 untuk magister hukum. Kalau magister hukum itu kebanyakan teori, nah ini kita balik. Kemudian yang kedua, kurikulum fakultas hukum di Indonesia ini belum jelas, berjalan sendiri-sendiri. Kalau misalnya UNDIP itu ada ikon Pak Prof. Satjipto mengenai hukum progresif, setelah beliau wafat, apakah penerusnya juga masih sama? Universitas Andalas menonjol karena Saldi Isra, dan sebagainya. Tapi belum ada sekarang ini fakultas hukum yang memiliki satu perhatian yang sama untuk jaksa yang baik seperti ini kurikulumnya, hakim yang baik seperti ini kurikulumnya, sekarang belum ada. Universitas Indonesia lebih banyak hukum bisnis, kampus Universitas Islam Indonesia lebih banyak mengembangkan kurikulum agar banyak yang menjadi praktisi hukum, sehinggga banyak hakim, jaksa yang lulusan dari UII. Itu semuanya kekurangankekurangan, lalu untuk hakim kevdepan ini kami punya gagasan kalau begitu perlu di upgrade menjadi S2. S2 tidak lama, 1,5 tahun saja selesai. Sehingga yang masuk betulbetul knowledge, leadership-nya kita bangun, komitmennya kita bangun dengan mata kuliah yang indoor maupun outdoor nanti.
86
Seminar on Comparative Models of Judicial Commissions: Peran Komisi Yudisial di Era Transisi Menuju Demokrasi
Kemudian yang kedua, untuk BPKP, memang ada visi dan misi yang pararel antara KY dengan Badan Pengawas MA. Pak Harifin Tumpa ketika beberapa kali bertemu dengan kami, di antaranya ketika semua Anggota KY ke sana ditemui juga oleh elite pimpinan MA. Ada usul yang menarik dari pimpinan MA, bagaimana program-program yang sudah dibangun oleh KY termasuk lokakarya para hakim yang materinya meningkatkan kapasitas intelektualitas para hakim itu diformilkan sehingga nanti hakim-hakim yang akan dipromosikan itu bisa mengikuti workshop ini. Jadi workshop ini bisa diformilkan menjadi program yang disepakati bersama. Sehingga yang akan naik pangkat, jabatan dan sebagainya itu diantaranya lulus lokakarya yang desainnya sudah ada di KY, tinggal nanti disepakati oleh MA. Ini sedang dalam tahapan pendekatanpendekatan. Begitu juga dengan Pak Supandi, sudah sering bicara dengan kami, Pusdiklat, kami juga sudah mulai dilibatkan kesana beberapa kali. Sekarang tinggal tunggu saatnya saja, mungkin tidak akan lama lagi mengintegrasikan visi misi itu, setelah bulan November dan itu lebih menjadi tanggung jawab dari Anggota KY kedua. Tapi kami sudah meninggalkan satu model, satu TOR yang sudah kita bangun bersama. Mochtar Mas’oed Untuk mahasiswa terutama dalam dunia transfer pengetahuan itu ada sains dan ada act. Ada yang bisa dipelajari dengan hukum-hukum generalisasi dengan konseptualisasi, ada yang tidak bisa begitu. Act itu harus dengan berlatih, dan hakim saya kira campuran dari dua itu. Misalnya tidak ada orang berenang mulai dengan membaca bagaimana berenang yang baik, saya kira tidak ada itu. Bayangan saya hakim pun mengapa bukan S2-nya yang penting, tapi juga adanya kedewasaan dalam mempraktekan membuat putusan. Jadi
Seminar on Comparative Models of Judicial Commissions: Peran Komisi Yudisial di Era Transisi Menuju Demokrasi
87
act meski dibedakan dari sains. Karena itu saya mendukung kurikulum baru pendidikan hakim dengan memberi banyak peluang calon hakim untuk berpraktek, karena tidak mungkin tanpa berpraktek tiba-tiba menjadi hakim. Terimakasih. Bambang Widjojanto. Yang dari BPKP ada pengalaman, ini pegalaman KPK, temanteman KPK sekarang sedang bersama-sama inspektorat, karena inspektorat kan pengawasan di dalam departemen dan macam-macam, itu bagaimana mengkonsolidasikan mereka dan membangun kapsitas mereka supaya bisa integrated dengan sistem pencegahan yang ada di KPK, itu satu contoh lain sebenarnya, saya setuju dengan gagasan itu dan sebenar itu sesuatu yang harus dioptimalkan. Terimakasih. Moderator Saya mau menutup diskusi pada siang hari ini dengan sebuah cerita, pada tahun 2001 ketika saya terlibat dalam penyusunan rancangan UU tentang KPK, saya bertemu dengan seorang pengusaha, dia mengatakan”masih percaya korupsi, kolusi dan nepotisme di Indonesia bisa dihapuskan?”. Pada waktu itu saya percaya masih bisa, dengan KPK dengan KY pasti bisa bisa, pada hari ini saya merasa harapan itu semakin tipis, tetapi dengan hari ini kita menggelar diskusi dan saya kira hidup itukan selalu ikhtiar dan kita tidak pernah boleh mematikan harapan, mematikan ikhtiar itu, saya kira seminar hari ini bagian dari upaya untuk tetap menghidupkan ikhtiar agar negeri ini betul-betul bebas dari mafia hukum dan hukum tegak betul di negeri ini, dan kita tutup dengan sebuah harapan besar bahwa kita mampu bersama-sama, saya percaya di dalam ruangan ini mampu bersama-sama untuk menegakan hukum dan memberantas mafia hukum
88
Seminar on Comparative Models of Judicial Commissions: Peran Komisi Yudisial di Era Transisi Menuju Demokrasi
dan kita menumbuhkan kepercayaan itu dengan bertepuk tangan bersama.
Seminar on Comparative Models of Judicial Commissions: Peran Komisi Yudisial di Era Transisi Menuju Demokrasi
89
BAB III SEMINAR SESI II Pengantar Redaksi Takdir Rahmadi dalam sesi ini memaparkan tentang “Peran dan Fungsi Komisi Yudisial Dalam Kekuasaan Kehakiman”. Hakim Agung MA ini, menyampaikan beberapa poin, pertama tentang Pengawasan dan Independensi Hakim dalam Era Reformasi Negara Hukum. Kemudian tentang Reformasi Menuju Negara Hukum, yang dilanjutkan dengan Imparsialitas Negara Hukum, Komisi Yudisial dan Kekuasaan Kehakiman. Terakhir Takdir juga memaparkan tentang Kebangkitan Pengawasan Eksternal dan Pengawasan Dalam Kekuasaan Kehakiman. Berikut adalah pemaparannya: Prof. Dr. Takdir Rahmadi, S.H., LL.M. Peran dan Fungsi Komisi Yudisial dalam Kekuasaan Kehakiman Awalnya Mahkamah Agung adalah pengawas tunggal atas penyelenggaraan kekuasaan kehakiman. Pengawasan tunggal oleh Mahkamah Agung kepada hakim-hakim di bawahnya menuai rasa ketidakadilan karena kewenangan pengawasan tersebut ditujukan kepada hakim yang tidak secara tegas merujuk kepada Hakim Agung.
90
Seminar on Comparative Models of Judicial Commissions: Peran Komisi Yudisial di Era Transisi Menuju Demokrasi
Beranjak dari pengawasan tunggal tersebut, perubahan besar yang terjadi pada tahun 1998 membuahkan sebuah reformasi yang pada akhirnya mengubah seluruh aspek kekuasaan yang ada, termasuk salah satunya adalah kekuasaan kehakiman yang berujung pada lahirnya pengawasan eksternal terhadap para hakim. Takdir Rahmadi mengatakan bahwa diperlukan sebuah lembaga yang juga melakukan pengawasan kepada para hakim selain Mahkamah Agung. Hal tersebut disampaikannya dalam Seminar on Comparative Models of Judicial Commission yang menyatakan bahwa “Kesadaran perlunya pengawasan eksternal, karena Mahkamah Agung adalah pengawasan internal. Karena Era Reformasi adalah masa ketika kita memasuki suasana pembaharuan dimana berbagai sektor kekuasaan berbagai cabang-cabang kekuasaan dikaji ulang”. Reformasi Menuju Negara Hukum Reformasi yang terjadi pada tahun 1998 merupakan buah keberhasilan atas desakan masyarakat yang menginginkan terjadinya perubahan pada berbagai aspek di Indonesia. Inti dari reformasi adalah kembali ke cita-cita dasar negara hukum, demokratisasi, dimana masyarakat dapat berpartisipasi dalam segala aspek, serta terciptanya pemerintahan yang bersih, termasuk di dalamnya adalah lembaga peradilan. Reformasi terhadap lembaga peradilan telah berimplikasi pada penguatan kekuasaan kehakiman sesuai dengan citacita negara hukum. Takdir Rahmadi mengatakan “Salah satu ciri dari negara hukum itu adalah lembaga peradilan harus bebas, merdeka, independen, dan imparsial (tidak memihak). Itu adalah nilai ideal yang dijunjung oleh semua negara yang mengklaim dirinya sebagai negara hukum atau the rule of law”.
Seminar on Comparative Models of Judicial Commissions: Peran Komisi Yudisial di Era Transisi Menuju Demokrasi
91
Imparsialitas Negara Hukum, Kekuasaan Kehakiman
Komisi
Yudisial
dan
Hadirnya Komisi Yudisial tidak lepas dari keinginan bangsa Indonesia dalam menegakkan konsep negara hukum yang sudah kita cita-citakan sejak dicanangkannya kemerdekaan oleh para founding fathers kita. Konsep negara hukum rules of law merupakan sebuah pemikiran yang berangkat dari negara-negara common law system dimana supremacy of law, equality before the law, dan the constitusion based on constitusional rights merupakan tiga prinsip dasar dari konsep tersebut. Supremacy of law menyiratkan makna bahwa kemandirian atas kekuasaan kehakiman adalah sebuah keharusan dalam sistem sebuah negara hukum. Implikasi atas kemandirian kekuasaan kehakiman tersebut dapat diwujudkan dalam berbagai bentuk yang salah satunya adalah kemerdekaan atas pelaksanaan tugas para hakim dalam menyelenggarakan peradilan. Kemerdekaan hakim berarti bahwa hakim dalam memutus, mengadili, dan memahami hukum berdasarkan pengetahuan yang ia peroleh dari pendidikan dan kesadaran hukumnya. Hal tersebut bermakna tidak boleh ada unsur-unsur di luar dirinya yang ikut berperan selain pemahamannya terhadap fakta-fakta, terhadap norma-norma yang terkait dengan perkara yang sedang ditanganinya. Banyaknya norma-norma yang ada di Indonesia merupakan salah satu latar belakang terbentuknya Komisi Yudisial. Adanya tuntutan ekonomi, sosial dan politik pada era reformasi membuat Komisi Yudisial diatur dalam tingkat konstitusional.
92
Seminar on Comparative Models of Judicial Commissions: Peran Komisi Yudisial di Era Transisi Menuju Demokrasi
Mengusulkan Hakim Agung dan mengawasi perilaku hakim dalam rangka menjaga dan menegakkan kehormatan serta keluhuran martabat hakim merupakan kewenangan konstitusional dari Komisi Yudisial. Pelaksanaan kewenangan Komisi Yudisial terkait seleksi dan pengusulan calon hakim agung telah berjalan dengan baik dengan tanpa mengalami kendala-kendala yang signifikan. Namun kewenangan menjaga dan menegakkan kehormatan serta keluhuran martabat hakim harus diartikan sebagai suatu kewenangan untuk mengawasi perilaku hakim baik di dalam maupun di luar pengadilan. Seiring perjalanannya Komisi Yudisial tak lagi hanya menitikberatkan pada perilaku hakim dalam menjalankan fungsi pengawasannya, tetapi juga telah melihat pada putusanputusan hakim sebagai suatu entry point untuk melihat adanya keganjilan-keganjilan atas perilaku hakim yang menyimpang, hal mana justru mengganggu prinsip negara hukum. Kehendak Komisi Yudisial dalam menganalisis putusan hakim sebagai sebuah pintu masuk, akhirnya melahirkan perbedaan pendapat dengan Mahkamah Agung tentang kemerdekaan hakim dalam memutus sebuah perkara. Perbedaan pendapat atas prinsip kekuasaan kehakiman tersebut telah berujung pada gugatan konstitusi atas kewenangan Komisi Yudisial dalam melakukan pengawasan terhadap Mahkamah Agung.
Seminar on Comparative Models of Judicial Commissions: Peran Komisi Yudisial di Era Transisi Menuju Demokrasi
93
Kebangkitan Pengawasan Eksternal Pengawasan Komisi Yudisial nampaknya menghadapi kebuntuan seiring adanya putusan Mahkamah Konstitusi pada tahun 2006 yang telah menghapus beberapa ketentuan tentang fungsi pengawasan dari Komisi Yudisial terhadap Mahkamah Konstitusi. Pun, keberadaan Mahkamah Agung yang diatur dalam satu nafas dengan Mahkamah Konstitusi di dalam Undang-Undang Dasar 1945 telah mengakibatkan Mahkamah Agung tak lagi terjangkau dalam fungsi pengawasan Komisi Yudisial. Adanya dukungan politik hukum seiring lahirnya UndangUndang Mahkamah Agung No. 3 Tahun 2009 telah memberikan sebuah nuansa baru yang menghidupkan kembali fungsi pengawasan Komisi Yudisial kepada Mahkamah Agung dan hakim-hakim yang berada di bawahnya. Bagaimana Komisi Yudisial mengawasi hakim tingkat pertama sampai dengan Hakim Agung adalah dengan berpedoman kepada Kode Etik dan Pedoman Perilaku Hakim yang telah ditetapkan dengan Keputusan Bersama Ketua Mahkamah Agung dan Ketua Komisi Yudisial. Pengawasan Dalam Kekuasaan Kehakiman Pada perkembangannya, kehadiran Kode Etik dan Pedoman Perilaku Hakim sebagai indikator bersama antara Mahkamah Agung dan Komisi Yudisial juga telah menuai konflik, khususnya mengenai kode profesionalisme yang ditafsirkan sebagai instrumen untuk menganalisais putusan hakim.
94
Seminar on Comparative Models of Judicial Commissions: Peran Komisi Yudisial di Era Transisi Menuju Demokrasi
Perdebatan yang muncul yaitu mengenai intervensi teknis hukum dan eksploitasi publi yang dilakukan oleh Komisi Yudisial atas analisa putusan-putusan hakim yang belum berkekuatan hukum tetap dan masih dapat diselesaikan melalui jalur upaya hukum. Suara Mahkamah Agung dan kalangan profesi hakim yang tidak setuju dengan pengawasan melalui putusan hakim sebagai suatu pintu masuk nampaknya harus kAndas karena tidak mendapat dukungan politis. Lahirnya pasal-pasal di tiga Undang-Undang yaitu Undang-Undang Nomor 49 Tahun 2009 tentang Peradilan Umum, Undang-Undang Nomor 50 Tahun 2009 Tentang Peradilan Agama, Undang-Undang Nomor 51 Tahun 2009 Tentang Peradilan Tata Usaha Negara, yang menyatakan ”Dalam rangka menjaga dan menegakkan kehormatan, keluhuran martabat, serta perilaku hakim Komisi Yudisial dapat menganalisis putusan pengadilan yang telah memperoleh kekuatan hukum tetap” merupakan bukti atas dukungan politik kepada Komisi Yudisial. Lebih jauh lagi Undang-Undang tersebut meyatakan bahwa analisa putusan juga dapat dijadikan sebagai rekomendasi untuk melakukan mutasi hakim. Namun hal ini masih harus disepakati lebih lanjut antara Mahkamah Agung dan Komisi Yudisial, karena Undang-Undang baru mengatur normanya saja. Adanya ketentuan-ketentuan dalam ketiga Undang-Undang tersebut secara normatif telah dapat dijadikan sebagai pintu masuk untuk menemukan pelanggaran-pelanggaran kode etik. Namun, Mahkamah Agung berpAndangan bahwa terhadap putusan yang belum berkekuatan hukum tetap harus menggunakan mekanisme yang ada.
Seminar on Comparative Models of Judicial Commissions: Peran Komisi Yudisial di Era Transisi Menuju Demokrasi
95
Selain hidupnya kembali fungsi pengawasan melalui putusan hakim, Komisi Yudisial juga telah mendapat penguatan atas fungsi pengawasannya sehingga dapat melakukan pemanggilan kepada Hakim Agung dan mengusulkan pemberhentian Hakim Agung dengan melalui mekanisme majelis kehormatan hakim. Majelis kehormatan hakim merupakan perwujudan fungsi pengawasan eksternal tertinggi dari Komisi Yudisial, namun koordinasi yang intensif dalam penyelenggaraan Majelis Kehormatan Hakim merupakan kunci dari kerjasama kritis kedua lembaga demi menghindari terjadinya pemanggilan serentak kepada hakim yang sama pada saat yang bersamaan dari Mahkamah Agung dan Komisi Yudisial. Terlepas dari berbagai fungsi yang dimiliki oleh Komisi Yudisial, konsistensi dengan ketentuan peraturan perundangundangan yang ada merupakan sebuah harapan besar bagi Mahkamah Agung dalam rangka menjaga kemerdekaan hakim dan mencegah terjadinya trial by the press.
96
Seminar on Comparative Models of Judicial Commissions: Peran Komisi Yudisial di Era Transisi Menuju Demokrasi
Pengantar Redaksi Dalam pemaparannya, Wim Voermans menyampaikan beberapa poin terkait dengan Komisi Yudisial. Pertama, dijelaskan tentang pengertian dan sejarah pembentukan Komisi Yudisial. Kedua, membahas tentang model Komisi Yudisial di berbagai negara. Ketiga, membahas tentang rekomendasi Lembaga Konsultatif Hakim Uni Eropa /Consultative Council of the European Judges (CCJE). Berikut pemaparannya: Prof. dr. W.J.M (Wim) Voermans, Ph.D. Indonesia Councils for Judiciary Merupakan sebuah kehormatan bagi kami untuk bisa berbicara disini mengenai isu Komisi Yudisial. Hal ini sangat berkaitan karena Anda telah memiliki satu dari sekian banyak lembaga seperti Komisi Yudisial yang baru berdiri, dan merupakan sebuah innovasi dimana Indonesia telah memastikan berdirinya lembaga ini ke dalam sistem negara. Di Eropa kami menyebut Komisi Yudisial dengan nama Judicial Council (sama artinya dengan Komisi Yudisial di Indonesia). Judicial Council baru populer dari sekitar 12 – 13 tahun yang lalu. Di Uni Eropa sendiri terdiri dari 50 negara, dimana pada awalnya hanya 7 negara saja yang memiliki lembaga Komisi Yudisial, namun saat ini setelah 13 tahun berlalu yakni antara tahun 1997 s.d. 2010 meningkat menjadi 20 negara, sehingga saat ini telah berdiri 20 Komisi Yudisial dipelbagai negara Uni Eropa.
Seminar on Comparative Models of Judicial Commissions: Peran Komisi Yudisial di Era Transisi Menuju Demokrasi
97
Saya akan memberi Anda contoh dari negara Bulgaria, Denmark, Irlandia, Belanda, dimana Komisi Yudisial muncul dan berdiri pada negara tersebut. Apa yang menjadi pendorong timbulnya lembaga Komisi Yudisial? Faktor khususnya adalah masuknya era demokrasi baru di Eropa Timur, pasca tahun 1989 negara-negara bekas komunis seperti Polandia, Jerman Timur, Republik Ceko, Slovakia, mulai mempraktekkan model paham baru dengan memadukan bagian dari komunisme dan demokrasi. Dan mereka menggunakan lembaga seperti Komisi Yudisial sebagai transisi dari masa berakhirnya paham komunisme tersebut. Dan Anda harus ingat bahwa peradilan ataupun persidangan pada negara-negara ini dipenuhi pengaruh rezim dan orang-orang kuat pada masanya. Sehingga para hakim adalah orang-orang yang berada di bawah pengaruh partai komunis, maka dari itu mereka punya masalah besar dengan para hakim yang ada di pengadilan, sebab itulah peradilan tidak mendapatkan kepercayaan dari publik, ini benar-benar suatu masalah. Motif kedua dalam mendirikan konsil yudisial (Komisi Yudisial) adalah untuk membangkitkan kembali kepercayaan publik terhadap dunia peradilan. Telah diterangkan sebelumnya bahwa pada sebagian besar negara Eropa Timur tingkat kepercayaan publik terhadap peradilan sangat rendah. Untuk alasan yang sama juga Komisi Yudisial didirikan pada tahun 1948, hal serupa terjadi dengan berkuasanya rezim fascis Italia sejak tahun 1920-an. Banyak alasan dan motif yang ada untuk mendirikan lembaga seperti Komisi Yudisial di beberapa negara, dan pada sebagian negara, Komisi Yudisial dibentuk dengan tujuan untuk mengembangkan serta menjadikan peradilan yang efisien.
98
Seminar on Comparative Models of Judicial Commissions: Peran Komisi Yudisial di Era Transisi Menuju Demokrasi
Survey terbaru juga menunjukkan bahwa 27 dari 38 negara di Uni Eropa telah memiliki Komisi Yudisial. Survey tersebut berasal dari Lembaga Konsultatif Hakim Uni Eropa (CCJE). Dewan tersebut merupakan lembaga yang sangat berpengaruh dalam memberikan masukan kepada Uni Eropa pada masalah peradilan. Definisi & Fungsi Di Eropa, 27 lembaga seperti Komisi Yudisial tersebut disebut dengan nama yang berbeda-beda. Ada yang bernama Consiglio Superiore Della Magistratura yaitu konsil tertinggi atau juga dikenal dengan Komisi Yudisial seperti di Indonesia. Atau bahkan beberapa negara seperti Inggris menyebutnya dengan Court Service. Sehingga juga terdapat banyak perdebatan soal identitas apa yang harus dimasukkan ke dalam konstitusi untuk menyebut lembaga seperti ini disebabkan beragamnya istilah, setidaknya terdapat 10 istilah seperti itu. Konsil Yudisial (konsil untuk peradilan) adalah istilah umum yang telah menjadi pendapat utama. Ciri-ciri umum lembaga tersebut di Uni Eropa adalah badan tersebut independen, lebih kurang fungsinya adalah sebagai penghubung antara pemerintah dan peradilan dan di sisi lain sebagai penjamin adanya independensi dari peradilan. Namun, memang terdapat perbedaan antara court service seperti yang ada di negara Inggris, atau seperti yang ada di beberapa negara bagian di Amerika dengan konsil yudisial. Court service adalah perpanjangan tangan pemerintah (eksekutif) yang menyediakan pelayanan terhadap peradilan, baik anggaran, perumahan, dan lain-lain. Namun, sekali lagi ia bukan badan independen, melainkan bagian dari pemerintah, sehingga sangat berbeda dengan konsil yudisial.
Seminar on Comparative Models of Judicial Commissions: Peran Komisi Yudisial di Era Transisi Menuju Demokrasi
99
Menurut pendapat Lembaga Konsultatif Hakim Uni Eropa/ Consultative Council of the European Judges (CCJE), definisi dari konsil yudisial (konsil untuk peradilan) adalah Lembaga yang berdiri sendiri yang termasuk dalam organisasi kekuasaan kehakiman itu sendiri. Di Indonesia hal ini dapat dilihat dengan jelas pada pasal 24 B dan posisi nya yang terpisah (dalam pasal tersebut) membuatnya semakin jelas sebagai bagian dari organisasi (kekuasaan) kehakiman. Bahwa apakah seluruh atau sebagian hakim saja yang berada dalam pengawasannya itu adalah hal lain. Apalagi Komisi Yudisial di Indonesia merupakan bagian dari kekuasaan kehakiman, independen dari pengaruh pemerintah. Fungsi dan kewenangan Komisi Yudisial bersifat mandiri dari pemerintah (eksekutif) dan juga dari partai, bahkan terkadang sebagai buffer (penghubung) antara pemerintah dan peradilan, dan perlu dipahami pula bahwa Komisi Yudisial bukanlah lembaga untuk mengajukan banding. Anda memiliki lembaga banding di satu sisi dan memiliki sistem pengawasan disiplin pada sisi lainnya. Kewenangan apapun yang dijalankan oleh Komisi Yudisial seharusnya mereka tidak mencampuri urusan teknis yudisial. Prinsip tindakan disipliner, bisa saja meliputi karir seorang hakim, seleksi hakim, pendidikan hakim, kebijakan umum yang diberlakukan kepada badan peradilan, pelayanan fasilitas peradilan seperti: anggaran, perumahan, peningkatan teknologi, keuangan, dll. Apa yang menjadi peran utama dari Komisi Yudisial? Pertama adalah menjamin adanya independensi peradilan. Kedua, mereka juga bertugas untuk mengajukan kandidat hakim yang baik dan memberikan pendidikan yang berkualitas bagi para hakim. Dan mereka juga melakukan fungsi lainnya seperti penegakan kedisiplinan hakim, seleksi hakim, pendidikan professional hakim, pengujian kompetensi hakim, dan juga mulai merambah pada tataran area kode etik hakim. Peran 100
Seminar on Comparative Models of Judicial Commissions: Peran Komisi Yudisial di Era Transisi Menuju Demokrasi
ketiga dari Komisi Yudisial adalah mereka juga mengambil alih fungsi manajemen peradilan dari tanggung jawab pemerintah (eksekutif), itulah yang dilakukan oleh Komisi Yudisial di negara-negara Eropa Utara. Beberapa Komisi Yudisial tersebut juga mendorong upaya efesiensi secara keseluruhan di peradilan. Mereka memiliki kewenangan dalam hal pengangggaran yang meliputi pengalokasian anggaran, penghitungan kebutuhan anggaran, dimana hal tersebut telah dipraktekan di negara Eropa Utara. Bahkan ada juga beberapa di antaranya yang memainkan peranan total sebagai pengontrol manajemen peradilan. Masih dari model Komisi Yudisial di Eropa Utara, fungsi lainnya juga meliputi peningkatan tanggung jawab terhadap pengadilan dan selanjutnya mengembangkan jaringan publik dan pelayanan masyarakat serta transparansi didunia peradilan. Pada dasarnya hal-hal tersebut juga dilakukan baik Komisi Yudisial di Eropa Utara maupun Eropa Selatan. Secara khusus yang juga cukup penting adalah kita dapat mengakses informasi dimanapun kita mau, dan pada akhirnya para hakim dan badan peradilan mendapatkan tugas dan tantangan baru dalam membangun kepercayaan publik. Sebagian besar negara melakukan hal tersebut yaitu dengan meningkatkan akuntabilitas peradilan terhadap publik, tidak hanya dengan retorika dalam putusan hakim tetapi juga sebagai sebuah organisasi yang transparan, akuntabel, dan terus meraih kepercayaan dari publik. Selain itu, ciri lain dari lembaga Komisi Yudisial adalah untuk memberikan manfaat dalam aspek peradilan. Hal tersebut akan kita diskusikan lebih lanjut dalam diskusi ini.
Seminar on Comparative Models of Judicial Commissions: Peran Komisi Yudisial di Era Transisi Menuju Demokrasi
101
Model Komisi Yudisial Kami memiliki tiga model dasar dari Komisi Yudisial. Berdasarkan penelitian yang kami lakukan atas perintah dari pemerintah Belanda mengenai riset perbandingan model Komisi Yudisial pada tahun 1999, pada saat itu kami menemukan 2 tipe yakni model Eropa Utara dan Eropa Selatan, dan beberapa model campuran belakangan ini. a. Model Campuran Banyak negara telah memilih model campuran. Tetapi pada model Eropa Utara, Anda akan menemukannya di Denmark, Finlandia, Irlandia, Belanda, Swedia, dan lain-lain. Sementara model Eropa Selatan, ada pada negara Albania, Armenia, Belgia, Bosnia Herzegovina, Kroasia, Siprus, Prancis, Georgia, Italia, Moldova, Portugal, Polandia, Rumania, Republik Slovakia, Spanyol, Macedonia, dan Turki. Sementara Indonesia sepertinya memiliki model sendiri. Anda telah melihat betapa panjangnya daftar negara yang menganut model Komisi Yudisial Eropa Selatan, padahal awalnya pada tahun 1999 hanya Prancis, Italia, dan Spanyol yang memilikinya, sepertinya model ini lebih populer. Selanjutnya, Anda akan melihat model campuran dengan elemen yang ada pada model Eropa Utara dan Selatan, seperti pada Bulgaria, Estonia, Hungary, Lithuania, Malta, Norwegia, Slovenia, dan saya sekarang meletakkan Indonesia ke dalamnya, sebab berdasarkan bahan dan informasi yang saya peroleh (dilihat dari kompetensi dan tanggung jawab yang dimiliki Komisi Yudisial), Anda memiliki tantangan yang akan dihadapi. Apalagi jika ditambah dengan tanggung jawab atas anggaran, maka sebagai sebuah lembaga seperti Komisi Yudisial, Indonesia tergolong pada model campuran karena memiliki elemen dari kedua model sebelumnya.
102
Seminar on Comparative Models of Judicial Commissions: Peran Komisi Yudisial di Era Transisi Menuju Demokrasi
b. Model Eropa Utara Ciri utama dari model Komisi Yudisial yang terdapat di Eropa Utara, yaitu mereka memiliki tanggung jawab dan kompetensi pada area kebijakan teknis, pembuatan kebijakan pada bidang peradilan. Contohnya adalah hal-hal yang menyangkut hubungan masyarakat. Seperti di Belanda, telah ada semacam SOP (stAndar opeerasional prosedur) tentang cara berhubungan dengan pers. Maka jadilah SOP tersebut diimplementasikan di seluruh Belanda. Kedua, fungsi-fungsi manajerial yang dilakukan terhadap peradilan meliputi perumahan untuk hakim, ruang sidang, informasi publik, dll. Contoh lainnya seperti di swedia, jika ingin mendapatkan rumah yang lebih besar Anda bisa mendapatkan melalui Komisi Yudisial, jadi Komisi Yudisial bertindak sebagai bank, dan bentuk-bentuk pelayanan lainnya. Selain itu kewenangan lainnya dari model Eropa Utara ini ada dalam hal penganggaran dan prosedur penganggaran. Beberapa lembaga ini menyiapkan anggaran dengan menanyakan kepada tiap pengadilan apa yang mereka butuhkan untuk tahun depan, berapa banyak perkara yang akan ditangani, dan proyeksi peningkatan jumlah perkaranya, setelah itu Komisi Yudisial akan menyerahkannya kepada Kementerian Hukum, lalu kedua lembaga itu akan melakukan pembahasan. Kemudian, draft anggaran diserahkan kepada parlemen, menegosiasikan, dan menetapkan, setelah itu Komisi Yudisial akan mengalokasikan anggaran tersebut. Setelah dialokasikan dan berjalan selama setahun baru Komisi Yudisial melakukan penghitungan anggaran (tutup buku). Jadi itulah yang terjadi di Swedia, Belanda, Irlandia, dan Denmark.
Seminar on Comparative Models of Judicial Commissions: Peran Komisi Yudisial di Era Transisi Menuju Demokrasi
103
c. Model Eropa Selatan Sekarang, untuk model Komisi Yudisial di Eropa Selatan, secara tipologi terdapat juga tugas di dalam bidang penentuan karier hakim, seperti halnya komisi judisial di Indonesia. Dalam tugasnya Komisi Yudisial melakukan rekrutmen hakim, pendidikan tetap, trainning berkala, perjanjian, mengirimkan, mempromosikan dan memberikan demosi (sanksi) kepada hakim. Terutama di Prancis, Komisi Yudisial merupakan lembaga yang memiliki peran besar, dimana Komisi Yudisial Prancis sangat mempengaruhi karir hakim dan segala kebutuhan hakim. Mereka memperlakukan hakim layaknya seperti pelayan publik. Itulah yang menjadi kritikan besar dalam sistem mereka, terutama juga masalah fungsinya dalam menegakkan aturan kode etik secara baik. Ciri lainnya yakni terkait dengan penegakan disiplin (kode etik) yang juga merupakan kekhasan dari Komisi Yudisial di Eropa Selatan ini. Pada model Eropa Selatan Komisi Yudisial tidak memberikan sanksi disiplin langsung kepada hakim, yang terjadi adalah Komisi Yudisial hanya memberikan dakwaan terhadap adanya dugaan pelanggaran, seperti misalnya “ Tolong dengarkan ada kesalahan dari hakim”. Sementara Hakim atau pengadilan yang diadukan, akan segera dibawa kepada komite di Mahkamah Agung yang memiliki wewenang untuk mengambil tindakan terhadap dugaan pelanggaran tersebut. Komite tadi terdiri dari beberapa hakim yang diambil dari hakim pengadilan banding. Mereka memeriksa satu persatu perkara, dan beberapa tindakan pemberian disiplin, terkadang Komisi Yudisial juga memberikan sanksi langsung kepada pelanggar, dimana model seperti ini dipraktekan di beberapa negara, seperti di Italia. Mereka tidak mendapatkan dukungan dari pengadilan sehingga mereka melakukannya sendiri. Yang 104
Seminar on Comparative Models of Judicial Commissions: Peran Komisi Yudisial di Era Transisi Menuju Demokrasi
terakhir adalah model campuran, dimana memiki elemen yang sama dari kedua sistem. Sementara itu yang menjadi tanggung jawab dari Kementerian Hukumnya terkait dengan peradilan sangat beragam dipelbagai negara. Pada Komisi Yudisial model Eropa Utara, keahliannya adalah mengurusi manajerial pengadilan dan urusan penganggaran yang menjadi tanggung jawab Komisi Yudisial itu sendiri. Secara umum kebijakan dalam hal manajerial, kebijakan anggaran menjadi tanggung jawab pemerintahan. Di sinilah letak perbedaannya dengan Negara-negara Eropa bagian selatan, dimana kementerian bertanggung jawab kepada hubungan antara parlemen dan hubungan pemerintah atau dengan kementerian. Kecuali untuk melakukan fungsi dan peran penegakan disiplin. Mengenai komposisi keanggotaan, kita akan jumpai perbedaan yang menarik. Komposisi keanggotaan pada masing-masing lembaga seperti Komisi Yudisial disesuaikan dengan ukuran dan besarannya. Di Belanda contohnya mereka menggunakan hanya tiga (board) anggota dalam satu Komisi Yudisial. Sekarang mereka menggunakan lima board, yang seharusnya hanya menggunakan tiga. Italia dan Belgia, mereka mempunyai keanggotaan sejumlah 44 anggota, yang terdiri dari 22 orang di antaranya mewakili dari parlemen, selain itu mereka perwakilan sangat luas. Dengan dari sisi aturan maka dapat berimplikasi pada komposisi keanggotaan. Dan dalam mengelaborasi keanggotaan kita akan mencari secara luas representasi dari pelaku peradilan yang terdiri dari hakim, pengacara dan seseorang yang tidak mempunyai latar belakang dibidang hukum yang secara regular sewaktu-waktu ada di dalam keanggotaan, seperti serikat pekerja atau serikat hakim yang
Seminar on Comparative Models of Judicial Commissions: Peran Komisi Yudisial di Era Transisi Menuju Demokrasi
105
dapat mewakili sesuai dengan keahliannya. Di Spanyol dan Italia, perwakilan staf dapat masuk dalam keanggotaan, perwakilan perlemen, dan penuntut umum seringkali juga masuk. Dan di Prancis dimana Komisi Yudisialnya yang masuk terlebih dahulu adalah presiden dan menteri hukum yang masuk dalam keanggotaanya. Jika Anda mempunyai perwakilan yang cukup luas, maka usaha yang keras dalam bekerjasama pada intern anggota harus dilakukan, jika tidak resiko terjadinya politisasi dan sindikalisasi dalam keanggotaan akan sangat mungkin timbul. Dan di Spanyol pengalaman seperti ini pernah terjadi tiga tahun yang lalu. Karena beberapa persoalan prosedural dan kuantitas yang terlalu besar mereka menjadi tidak bergairah untuk mendatangkan anggota baru. Persoalan yang cukup mirip dengan Indonesia dijumpai juga pada Italia. Mungkin Anda pernah mendengar Perdana Menteri Italia, Silvio Berlusconi sering bicara secara terbuka (blak-blakan). Dia selalu membuat langkah penting mengenai peradilan yang selalu dicoba dan diperbaiki. Di Italia peradilan menghadapi persoalan yang sama yakni masalah integritas. Banyak yang berpikir bahwa ia adalah seorang yang korup dan mau melakukan apapun (termasuk suap) untuk melancarkan jalan kekuasaannya, Silvio Berlusconi juga pernah mengatakan bahwa “Komisi Yudisial merupakan sebuah konspirasi untuk menentang pemerintahan saat ini”, saat itu kami semua di Uni Eropa merasa lucu mendengar, namun poin yang bisa diambil sebagai pembelajaran dari pernyataannya tersebut adalah bahwa di beberapa negara lain lembaga seperti Komisi Yudisial mendapatkan tantangan besar dalam melakukan positioning kelembagaannya.
106
Seminar on Comparative Models of Judicial Commissions: Peran Komisi Yudisial di Era Transisi Menuju Demokrasi
Di Negara Eropa, Komisi Yudisial digunakan untuk membantu dalam mengembalikan kepercayaan publik dan yang terlibat di dalam upaya tersebut terkadang berasal dari non pengadilan, perwakilan masyarakat, pengacara, dan lain-lain. Sehingga untuk mencari keanggotaan di dalamnya, dapat berasal dari masyarakat luas. Rekomendasi Consultative Council of European (CCJE)
Judges
Di Tahun 2007, CCJE memberikan rekomendasi kepada anggotanya di Eropa, yang antara lain memberikan nasihat kepada negara-negara anggotanya dan memberikan penghargaan kepada Komisi Yudisial. Ini sudah dimulai dari konferensi roma di tahun 2007. Yang pertama, mereka memberikan rekomendasi kepada Komisi Yudisial antara lain: prinsip didirikannya Komisi Yudisial adalah pemisahan kekuasaan, sebagai sebuah prinsip dasar. Pemisahan kekuasaan ini sangat membantu independensi pengadilan. Untuk melihat komposisi keanggotaan Komisi Yudisial, CCJE di Eropa memberikan pertimbangan untuk menempatkan hakim dalam keanggotaannya. Mereka diperlukan karena terkait dengan dasar kompetensinya. Bahkan lembaga konsultasi tersebut menyarankan bahwa sebaiknya tidak ada politisi dalam keanggotaan Komisi Yudisial. Kompetensi tersebut memerlukan hakim yang berpengalaman yang direkrut dari rangking tertinggi dalam organisasinya sendiri. Prinsip lain adalah bahwa luasnya perwakilan keanggotaan menunjukkan peluang bagi anggota masyrakat dapat menjadi anggota.
Seminar on Comparative Models of Judicial Commissions: Peran Komisi Yudisial di Era Transisi Menuju Demokrasi
107
Dalam rekomendasi lainnya CCJE juga menyarankan agar masa jabatan dari anggota Komisi Yudisial dipercepat, diikuti dengan limitasi pada jumlah keanggotaannya. Hal ini bertujuan untuk membuat keanggotaannya menjadi lebih dinamis, sehingga setiap tiga tahun akan diperbaharui. Lembaga konsultatif tadi juga memberikan rekomendasi tentang bagaimana mengatur anggaran peradilan sendiri (pengaturan anggaran lembaga Komisi Yudisial sendiri?), karena kedepan pengaturan tersebut tidak lagi ditangani oleh kementerian kehakiman. Selain itu disarankan bagi Komisi Yudisial untuk dapat memastikan mendapat anggaran yang cukup, pada poin tersebut lembaga konsultatif hakim Eropa memberikan perhatian yang lebih serius. Rekomendasi juga ditujukan kepada pembentukan lembaga banding atau mekanisme banding terhadap keputusan yang dikeluarkan oleh Komisi Yudisial. Selain itu pada banyak negara Komisi Yudisial juga mengeluarkan laporan tahunan sebagai bahan rekomendasi bagi pemerintah untuk perbaikan peradilan. Terakhir, CCJE memberikan rekomendasi bagi Komisi Yudisial untuk memiliki kewenangan dan tanggung jawab yang lebih luas serta lebih signifikan, terutama dengan kompetensi dan karier hakim, sampai kepada proses rekrutmen, pemberian pelatihan, yang berkaitan dengan seleksi, promosi dan assesmen, dan pertanggungjawaban kepada kode etik. Secara lebih jelas CCJE menyarankan kepada Komisi Yudisial untuk tidak memunculkan aturan kode etik terhadap hakim secara sepihak. Karena dengan hal tersebut Komisi Yudisial berpotensi menjadi hakim dalam pengadilannya sendiri. Sehingga jika Komisi Yudisial telah memiliki wewenang untuk menetapkan suatu kode etik di satu sisi maka badan (majelis) disiplin untuk menegakkan aturan kode etik tersebut 108
Seminar on Comparative Models of Judicial Commissions: Peran Komisi Yudisial di Era Transisi Menuju Demokrasi
sebaiknya diatur secara terpisah, harus ada pemisahan untuk menjaga imparsialitas keputusannya. Sehingga harus ada organisasi di luar Komisi Yudisial yang akan menegakkan kode etik. Sementara Komisi Yudisial mungkin akan sangat membantu dalam persoalan mengelola atau membentuk organisasi di luar Komisi Yudisial tadi untuk dapat berkerja dengan baik dan bersih dalam menegakkan kode etik karena sebagian besar tugasnya akan berkutat dengan masalah penegakan kode etik. Sebagai pilihan, tidak semua pihak di dalam CCJE menyepakati tanggung jawab dalam pengelolaan keuangan peradilan itu dibebankan kepada Komisi Yudisial. Komisi Yudisial dapat saja melakukan atau mengambil alih tugas tersebut terutama dalam hal pengalokasian anggaran untuk peradilan. Komisi Yudisial juga disarankan untuk menjalankan tugasnya dan bertanggung jawab dalam hal promosi serta perbaikan citra masyarakat tentang peradilan. Dengan demikian bila ada persoalan dengan pengadilan maka Komisi Yudisial akan berperan. Hal ini dapat dilihat di Italia dan Spanyol Sebagai penutup, CCJE lebih terfokus pada urusan Eropa dan kita dapat membaca berbagai macam ragam di dalamnya. Namun dalam beberapa hal tidak semua rekomendasi yang ada di dalamnya akan sesuai dengan keadaan yang berlaku di Indonesia. Meski demikian saya pikir hal itu menjadi cukup inspiratif dalam beberapa hal untuk Indonesia.
Seminar on Comparative Models of Judicial Commissions: Peran Komisi Yudisial di Era Transisi Menuju Demokrasi
109
DISKUSI SESI II
Tanya Jawab Gelombang I Pertanyaan 1. Rifki dari Fakultas Hukum Universitas Pancasila Selamat sore, pertanyaan pertama saya tujukan kepada Prof. Wim. Sebelumnya Professor menjelaskan bahwa ada dua tujuan dari Council for the Judiciary. Yang pertama adalah membangun kembali kepercayaan diri pengadilan, dan kedua adalah sebagai alat efisiensi peradilan. Pertanyaan saya, bagaimana jika kepercayaan diri peradilan dan efisiensi peradilan itu sudah ada, apakah lembaga Council for the Judiciary itu masih diperlukan? Kedua, masih untuk Prof. Wim. Dalam pemaparan, Professor menyatakan bahwa di dalam Council for the Judiciary, nanti anggotanya lebih baik adalah para hakim. Apakah ini tidak tumpang tindih dengan Badan Pengawas MA? Kemudian, apakah tidak akan ada conflict of interest yang terjadi nanti jika banyak para hakim yang menjadi anggota KY? Ketiga, mungkin ini saran saya kepada Prof. Takdir, KY dengan menganalisa putusan hakim sudah melakukan kinerja untuk memberantas mafia peradilan dengan baik. Persoalannya adalah mengenai kinerja hakim. Selama ini kami (jejaring) dalam menganalisis putusan hakim belum melihat siapa hakim-hakim yang akan direkomendasikan untuk dapat diberikan penghargaan. Misalnya dari analisais kami tersebut hakim yang mempunyai putusan 110
Seminar on Comparative Models of Judicial Commissions: Peran Komisi Yudisial di Era Transisi Menuju Demokrasi
yang baik akan mendapat reward, penghargaan yang baik dari KY, sampai sekarang saya masih belum tahu, mungkin saya yang ketinggalan berita atau bagaimana, saya belum tahu. Mungkin itu saja, sekian dari saya. Wassalamualaikum Wr Wb. 2. Sulaiman dari ICEL Environmental Law)
(Indonesian
Center
for
Assalammu’alaikum Wr Wb. Selamat sore, Saya Sulaiman dari ICEL, pertanyaan pertama untuk Prof. Takdir. Menurut Prof, bagaimana sinkronisasi yang baik antara KY dan MA dalam hal pengawasan. Di bagian mana harus memiliki sinkronisasi, di bagian mana harus dipisahkan dan apa yang harus dilebihkan dari KY dibandingkan dengan MA. Kemudian pertanyaan kedua, Prof. Wim sudah menjelaskan mengenai argumen-argumen dasar mengapa dibutuhkan sebuah Komisi Yudisial. Pertanyaan saya adalah mengapa harus membentuk sebuah badan baru di Eropa. Sedangkan, setahu saya yang saya pelajari, beberapa puluh tahun sebelum Komisi Yudisial ini populer, sudah ada Ombudsman. Kenapa tidak mengembangkan kewenangan Ombudsman? Terima kasih.
Seminar on Comparative Models of Judicial Commissions: Peran Komisi Yudisial di Era Transisi Menuju Demokrasi
111
Jawaban dr. Wim Voermans Terima kasih Nona Rifki atas pertanyaan yang sangat perseptif. Untuk apa ada Komisi Yudisial setelah kita memiliki kepercayaan publik atau telah memiliki peradilan yang efisien? Ini pertanyaan yang perspektif. Di beberapa negara timbul pertanyaan mengapa mereka memiliki Komisi Yudisial yang permanen. Pada sisi lain sesuatu telah berubah dalam masyarakat kami, dimana beberapa dekade lalu kekuasaan peradilan yang semula tak perlu dibuktikan, tidak lagi tak perlu dibuktikan. Selanjutnya ketika Anda telah memiliki hakim di mana saat mereka berbicara semua orang percaya. Ketika perkataan mereka tak perlu dibuktikan. Untuk mencapai hal ini, harus dilakukan dengan cara mengembangkan masyarakat, sebagai contoh ketika orang-orang di sekitar sudah menjadi orang yang lebih sadar diri, kritis terhadap pekerjaan pemerintah, dan kritis terhadap pekerjaan peradilan. Saya merekomendasikan buku Kate Mellison, Dia menulis sebuah buku berjudul “New Judiciary”. Dia memiliki ide kekuasaan berdasarkan bukti. Menurutnya, hakim dan peradilan harus memberikan bukti kepada kekuasaan mereka saat ini, dan itu adalah fungsi terpenting dari Komisi Yudisial. Hal yang sama berlaku juga untuk efisiensi. Segala hal dapat lebih efisien dan Komisi Yudisial dapat mengusahakannya. Di Belanda misalnya, kami memiliki sistem anggaran berbasis kinerja untuk peradilan. Jadi, Anda perlu bekerja keras di pengadilan untuk mendapatkan anggaran Anda dan kami mencoba untuk lebih efisien terhadap hal tersebut. Segala hal selalu dapat dibuat lebih baik.
112
Seminar on Comparative Models of Judicial Commissions: Peran Komisi Yudisial di Era Transisi Menuju Demokrasi
Kemudian pertanyaan kedua Anda, adalah mayoritas hakim berada di dewan Komisi Yudisial. Apakah tidak akan ada konflik kepentingan ketika mereka harus mengadili diri mereka sendiri dalam tindakan disiplin. Mungkin saja ada jika mayoritas hakim tidak bersih. Hal itu terjadi jika orangorang yang berada di Komisi Yudisial adalah orang-orang yang memiliki kepentingan dalam melindungi hakim yang melakukan korupsi. Tetapi di kebanyakan negara Eropa, mayoritas adalah hakim yang bersih dan mereka tidak memiliki kepentingan, dan menjaga kebersihannya karena kekuasaan mereka bergantung pada itu. Sehingga mereka akan sangat termotivasi untuk menghukum setiap hakim yang mengambil uang suap misalnya. Karena ia akan mempengaruhi citra peradilan secara keseluruhan. Itu sebabnya saya katakan, saya tidak dapat mengklaim memiliki pengetahuan situasi peradilan, tetapi jika situasinya sangat serius seperti dalam peradilan Indonesia dan masalah lainnya dalam pengadilan yang terkait dengan korupsi, maka jelas Anda dapat memiliki anggota di dewan Komisi Yudisial pada suatu waktu ketika para hakim sudah tidak memiliki kepentingan dalam melindungi hakim yang melakukan korupsi. Itulah sebabnya saya memberi saran, saya pikir itu bukan jalan terbaik bagi Indonesia untuk memiliki mayoritas anggota hakim di dalam Komisi Yudisial. Ketika sistem peradilan telah berkembang, pada saat itu akan banyak hakim yang termotivasi untuk tetap menjaga citra positif tersebut. Itulah saat berubahnya hal buruk menjadi baik yang merupakan esprit de corps, dan standar moral profesional yang tinggi di dewan Komisi Yudisial baru mereka bisa melakukannya. Semoga ini menjawab pertanyaan Anda.
Seminar on Comparative Models of Judicial Commissions: Peran Komisi Yudisial di Era Transisi Menuju Demokrasi
113
Kemudian, untuk pertanyaan kedua yang ditujukan kepada saya, pertanyaan yang sangat menarik. Terima kasih atas pertanyaan Anda. Mengapa perlu Komisi Yudisial ketika Anda sudah memiliki Ombudsman? Sekali lagi pertanyaan yang sangat perspektif. Saya pikir ada dua alasan. Pertama, Ombudsman ada untuk menerima keluhan dari tindakan instansi pemerintah. Jadi ketika pemerintah tidak berperilaku baik, misalnya di dalam hukum mereka telah bersikap benar, tetapi tidak berperilaku benar di mata masyarakat. Itulah fungsi Ombudsman di dunia. Sehingga, itu adalah untuk tindakan pemerintah dan itu berada pada sisi halus, bukan pada sisi hukum atas tindakan pemerintah, ketika ada sesuatu yang salah, dimana seharusnya lebih sopan atau telah lebih efisien. Hal-hal seperti itulah fungsi Ombudsman, sehingga mereka dapat membuat pengumuman publik atau mereka dapat mengatakan “mendengarkan” ketika tidak benar dan memberi solusi. Lalu apakah Anda harus melapor ke parlemen dan parlemen dapat mengambil tindakan dengan berkata: “dengarkan menteri, Anda bertanggung jawab kepada saya, inilah yang terjadi sekarang”. Itu bukanlah sesuatu yang dapat Anda lakukan kepada hakim. Merupakan hal yang sangat buruk jika Menteri Kehakiman menerima keluhan dari Ombudsman dan mengatakan: “hakim ini diberhentikan, hakim itu diberhentikan, kemudian kita memotong anggarannya”. Kekuasaan kehakiman tidak bertanggung jawab kepada parlemen, tidak bertanggung jawab kepada pemerintah, itulah fungsinya Anda memiliki pemisahan kekuasaan. Jadi hal ini sudah benar-benar berbeda dengan Ombudsman dan khususnya gagasan Komisi Yudisial yang melakukannya, dan saya kira seluruh dunia sangat jauh lebih puas daripada Ombudsman yang melakukannya. Cara yang sangat halus, 114
Seminar on Comparative Models of Judicial Commissions: Peran Komisi Yudisial di Era Transisi Menuju Demokrasi
Anda mencoba untuk menginspirasi profesionalisme, profesional moral, etika profesional dalam peradilan dimana itu bukanlah fungsi Ombudsman. Tanya Jawab Gelombang II Pertanyaan 1. Muhammad Binhadi dari FH Universitas Pakuan, Bogor Kepada Prof. Wim Voermans, ini pertanyaan yang agak rumit untuk saya dan beberapa teman, karena kasus di Indonesia ini spesifik, ada krisis kepercayaan terhadap peradilan yang sangat besar. Adakah model KY di negara lain yang lebih tegas, lebih berkuasa, seperti KPK, sehingga bisa menangkap hakim, bisa memproses, dsb. Adakah model KY yang seperti itu? Jika tidak ada model KY seperti itu, di Indonesia ini sangat sulit, karena di Indonesia persoalannya sudah sangat keras sekali. Sudah sangat tragis, sehingga dengan model-model yang halus akan sangat sulit. Bahkan KPK sendiri sudah mengalami pelemahan. Terima kasih. Assalaamu’alaikum. 2. Didit Ahdiyat Suryo dari Kementerian Perdagangan Assalaamualaikum wr wb. Nama Saya Didit Ahdiyat Suryo. Terkait makalah yang Prof Wim sampaikan pada halaman 4, dinyatakan bahwa salah satu fungsi dari council dalam proses judiciary adalah untuk menjamin independensi dari judiciary, dan yang kedua, adalah promotion quality of judge. Dan dua hal ini menurut saya yang sangat terkait dengan peran KY saat ini. Yang ingin saya tanyakan adalah, bagaimana langkah-langkah konkrit yang perlu dilakukan, misalnya di negara-negara Eropa dalam mewujudkan hal ini. Jika diistilahkan, best practices-nya Seminar on Comparative Models of Judicial Commissions: Peran Komisi Yudisial di Era Transisi Menuju Demokrasi
115
seperti apa? Kemudian, apakah best practices tersebut bisa di implementasikan di Indonesia? Terima kasih. Assalaamu’alaikum. 3. Mustamar dari PTUN Jakarta Terima kasih atas kesempatan yang diberikan. Saya Mustamar dari Pengadilan Tata Usaha Negara, Jakarta. Jika tidak salah tangkap Prof. Wim memaparkan bahwasannya lembaga-lembaga seperti KY di negaranegara Eropa itu mempunyai nama dan fungsi yang berbeda-beda. Pertanyaannya adalah apakah ada lembaga lain yang berwenang untuk mengawasi para Anggota KY atau anggota semacam lembaga KY di sana. Kalau memang ada, apakah itu juga berbeda antara Eropa Barat dan Eropa Timur? Selanjutnya apakah lembaga semacam KY di sana juga dibekali dengan Code of Conduct yang berbeda dengan Kode Etik Hakim? Jika memang dilengkapi dengan Kode Etik sendiri, siapa yang membuatnya, apakah oleh lembaga semacam KY di sana atau oleh lembaga lain? Terima Kasih. 4. Andika Yuda Perwira, dari Muhammadiyah Jakarta (UMJ)
FH
Universitas
Saya Andika Yuda Perwira, dari FH Universitas Muhammadiyah Jakarta. Dalam istilah hukum dikenal, “das sollen dan das sein” lalu oleh karena terdapat perbedaan antara kedua hal tersebut, timbullah tiga pertanyaan, pertanyaan pertama ditujukan kepada Bapak Takdir. Pertanyaan kedua kepada Prof. Wim Voermans, dan pertanyaan ketiga untuk kedua Bapak Professor.
116
Seminar on Comparative Models of Judicial Commissions: Peran Komisi Yudisial di Era Transisi Menuju Demokrasi
Pertanyaan pertama, sebelumnya Prof Takdir menjelaskan bahwa selain putusan inkracht terdapat 4 perkara/kasus, seperti terorisme, illegal logging, dan korupsi. Pertanyaan saya, mengapa terjadi pemisahan antara 4 kasus tersebut, alasan apa yang mendasarinya? Pertanyaan kedua untuk Prof Wim, mengapa Indonesia dikategorikan sebagai mix-model? Indonesia tidak berada di Eropa, mengapa demikian? Lalu, pertanyaan ketiga untuk kedua Bapak professor, kembali kepada pertanyaan awal, bagaimana seharusnya seleksi hakim dalam rangka memberantas mafia peradilan di era transisi menuju demokrasi ini, hakim mana yang harus diprioritaskan, hakim karier atau hakim non-karier? Terima kasih. Jawaban dr. Wim Voermans Terima kasih atas pertanyaannya. Pertanyaan pertama adalah dari Muhammad. Kembali untuk memberantas mafia, Komisi Yudisial seperti apa di dunia ini yang mampu memberantas korupsi di peradilan. Sesungguhnya saya tidak tahu apakah ada Komisi Yudisial seperti itu di dunia, dan dukungan seperti apa yang bisa diberikan kepada peradilan untuk melakukan pekerjaan itu. Sekali lagi saya kembali ke contoh saya di Italia yang merupakan asal mafia, Nostra CUDA, di mana mereka telah menyebarluaskan korupsi di pemerintahan, dan di peradilan, namun mereka tidak menggunakan Komisi Yudisial untuk memberantas korupsi.
Seminar on Comparative Models of Judicial Commissions: Peran Komisi Yudisial di Era Transisi Menuju Demokrasi
117
Teman baik saya, Albert Omura, ia berada di tim khusus, yang merupakan tim anti-korupsi, sehingga benar-benar terbentuk baru dari badan pemerintah yang ada pada satu waktu, sehingga Anda sudah memiliki Komisi Yudisial dengan senidirinya. Tetapi pada tahun 1990-an ketika mereka telah benar-benar melangkah seperti itu, di Italia untuk memerangi korupsi, mereka datang ... mereka hakim pada Komisi Yudisial, inilah yang kita sebut tim proyek (tim ad hoc), jadi itu bukan lembaga pemerintah tetapi lembaga ad hoc. Ada sebuah anekdot di sini, tim ad hoc yang dijaga ketat ini, Albert Omura, pada waktu itu saya kira dia berumur 31 tahun dan berada di kepresidenan tim ini. Dia selalu mengatakan kepada saya bahwa mereka memiliki masalah besar di Italia. Ia berasal dari Italia Selatan, ia ditempatkan di bagian utara Italia, di lokasi tersembunyi. Dia dibawa setiap pagi, sekitar 400 atau 500 km dalam sebuah mobil bersenjata ke Roma dimana mereka mengadakan pertemuan di berbagai tempat dan dimana mereka memiliki persidangan di tempat yang berbeda juga. Sehingga, Anda tidak akan tahu. Sebelumnya ia sendiri tidak tahu apa perannya di pengadilan. Kemudian mereka membawanya kembali ke dalam sebuah mobil bersenjata ke lokasi tersembunyi juga. Sehingga, mereka menghadapi masalah serius tapi mereka bahkan tidak percaya mereka telah memiliki Komisi Yudisial. Sangat baik baginya karena ia mampu membeli, setelah itu, mercedes bersenjata ini, dia masih mengendalikannya sampai sekarang dengan harga yang sangat rendah. Saya tidak tahu tentang bentuk apapun dengan segala akibatnya, tetapi saya sangat terkesan dengan apa yang Indonesia lakukan, kami mendengar pagi ini bahwa Komisi Yudisial telah mengalami kesulitan selama lima tahun, saat
118
Seminar on Comparative Models of Judicial Commissions: Peran Komisi Yudisial di Era Transisi Menuju Demokrasi
ini sangat sulit untuk bisa mencapai sebuah hasil. Saya rasa Indonesia benar-benar perlu pendekatan dalam melakukan upayanya. Begitu juga di Italia, itu lebih sulit, pada suatu negara kuncinya adalah untuk membuat pemetaan dengan tujuan perubahan budaya. Jadi, jika Anda memiliki masalah dalam pemerintahan atau peradilan yang harus Anda berantas, itu membutuhkan perubahan budaya. Anda perlu memiliki segala hal baru. Itulah fungsi dari pelajar, dan itulah cara kerja generasi. Generasi berikutnya yang akan membawa perubahan ini. Saya benar-benar yakin bahwa jika saya mendengarkan diskusi di pagi ini dalam tingkat pekerjaan yang serius yang akan menuju ke dalamnya, mereka memiliki peluang yang baik untuk mencapainya. Anda harus berpikir dalam beberapa dekade, ada peluang untuk dapat melakukan sesuatu yang melebihi dari bertahun-tahun dalam rangka mencapai hasil tersebut. Dan pertanyaan kedua adalah dari Didit: Apakah ada praktik terbaik dalam meningkatkan kemandirian dan kualitas hakim?. Sangat normatif untuk menanyakan bagaimana praktek yang terbaik? Tapi bisa saja, dan Saya akan mengaitkan hal ini dengan pertanyaan terakhir dalam forum ini oleh mahasiswa UMJ yang menanyakan: apa cara terbaik untuk menyeleksi hakim? Anda bisa dengan melihat negara lain, dalam rangka untuk benar-benar memiliki peningkatan kualitas hakim, mereka dibekali dengan latihan berat dalam pelatihan hakim pada dua atau tiga dekade terakhir (maksudnya di Belanda).
Seminar on Comparative Models of Judicial Commissions: Peran Komisi Yudisial di Era Transisi Menuju Demokrasi
119
Spanyol, Perancis dan Belanda misalnya, saya pikir mereka memiliki rencana yang sangat baik. Begitu pula dengan Swedia dalam melatih para hakim. Mereka merekrut hakim. Mereka benar-benar seperti hakim karir. Mereka berpikir bahwa hal terbaik untuk memiliki hakim karir adalah dengan 10% atau 15% hakim profesional yang telah bekerja sebagai pengacara, kemudian bergabung dengan korps peradilan setelah berpengalaman 10 tahun. Tapi rekrutmen di sini adalah hakim karir, dan mereka merekrutnya dari universitas. Mereka memberikan program pelatihan 4 tahun untuk para hakim dan saya telah mengatakan hal ini, pagi ini juga. Di Belanda untuk menjadi hakim, ketika direkrut, mereka melihat nilai Anda. Anda harus belajar keras di universitas karena nilai Anda akan membawa ke peradilan, tetapi Anda harus menjalani evaluasi psikologis yang ketat. Ada sekitar 25% atau lebih dari orang-orang yang ingin menjadi hakim, yang mengikuti program pelatihan dihentikan karena ada beberapa ketidakmampuan psikologis. Dalam beberapa dekade, evaluasi psikologis benar-benar ketat. Mereka dilatih selama 4 tahun, maka kita akan berbicara apakah Anda akan menjadi hakim setelah 4 tahun program pelatihan dan kemudian Anda adalah hakim karir. Bagian terbesar dalam pelatihan ini adalah etika dan moral untuk menyadarkan bahwa apa yang akan Anda lakukan adalah sulit. Dan ini menciptakan semacam esprit de corps (semangat korps), sehingga mereka memiliki sekelompok orang-orang beretika dan bermoral, mereka diajarkan untuk melakukan hal itu. Anda lihat, bahwa program pelatihan yang panjang dan profesional untuk menciptakan hakim perpaduan itu dapat Anda pelajari di Spanyol. Mereka memiliki fasilitas pelatihan yang benar-benar mengesankan. Pendidikan hakim
120
Seminar on Comparative Models of Judicial Commissions: Peran Komisi Yudisial di Era Transisi Menuju Demokrasi
yang sama berlaku di Italia. Di Belanda juga sekarang memiliki pendidikan untuk para hakim, selama empat tahun. Itulah cara Anda belajar segala hal tentang beratnya hukum dan juga tentang persyaratan profesional yang berat (maksudnya adalah mengikuti program), tetapi juga dari persyaratan profesional yang halus (maksudnya adalah tentang kurikullum) agar Anda menjadi hakim yang profesional. Dan hal-hal yang semacam itu semua penting. Itulah pendapat saya tentang kualitas hakim. Pada kebebasan kehakiman di Italia dan Spanyol mereka memiliki kemandirian penuh terhadap peradilan. Mereka benar-benar menyelenggarakan peradilan sendiri. Tetapi hal itu terjadi dengan mengikuti arus. Ini membawa saya ke pertanyaan berikutnya, siapakah yang mengawasi Komisi Yudisial?, apakah ada orang atau lembaga di negara-negara untuk mengawasi Komisi Yudisial? Di sebagian besar negara tidak ada. Jadi, kekuasaan Komisi Yudisial adalah yang tertinggi. Itu sebabnya Majelis Permusyawaratan Hakim di Eropa telah menyarankan, harus ada mekanisme banding atas keputusan Komisi Yudisial. Hal semacam itu adalah bentuk pengawasan dan lembaga pengawas ini secara otomatis akan menjadi pengadilan tertinggi di kebanyakan negara. Dengan demikian, maka akan mengurangi kemungkinan banding. Kedua, untuk memeriksa dan mengontrol agar Komisi Yudisial memiliki orang-orang yang bukan pengacara, melainkan warga negara biasa satu atau dua orang. Ketiga adalah mengenai lamanya masa jabatan. Anda hanya bisa selama 3 (tiga) tahun, seperti di Perancis atau Belanda misalnya. Dan untuk pembaharuan, istilah baru untuk sekitar tiga tahun tetapi kemudian ia berhenti. Jika terjadi kesalahan, jangka masa jabatan maksimum akan menjadi
Seminar on Comparative Models of Judicial Commissions: Peran Komisi Yudisial di Era Transisi Menuju Demokrasi
121
enam tahun. Ini adalah mekanisme berusaha untuk menjaga Komisi Yudisial. Namun di Italia ini telah gagal, sehingga Anda telah meninggalkan Komisi Yudisial dan ini sudah mulai akan hancur, bahkan telah mulai bertarung dengan pemerintah yaitu Silvio Berlusconi yang mana adalah berpikir dengan baik, tetapi mereka benar-benar telah ekstrim dan tidak ada yang bisa mengendalikan Komisi Yudisial di Italia. Satu pertanyaan terakhir, apakah Komisi Yudisial memiliki kode etik? Apakah mereka membuatnya sendiri? Tidak, kebanyakan mereka tidak memiliki kode etik. Mereka memiliki aturan rumah tangga, bagaimana mengejar dengan pertemuan dan hal-hal seperti itu. Itulah yang mereka miliki. Dan ada statuta bagi Komisi Yudisial tentang jangka waktu peraturan dan tempat dimana mereka bekerja, dan statuta ini dibuat dengan bekerjasama antara parlemen dan pemerintah. Itulah etika dasar, jadi sejauh saya ketahui Komisi Yudisial tidak memiliki kode etik. Ada satu pertanyaan lagi. Pada pemilihan hakim, saya telah menjawab. Saya menempatkan Indonesia dalam model campuran. Tentu saja ini bukan di negara Eropa tetapi itu hanya apa yang saya katakan saat ini, Anda jelas akan cocok dengan negara atau bangsa sendiri dan model Eropa tidak berlaku untuk Anda. Namun, Komisi Yudisial Indonesia adalah penggalan dari model Komisi Yudisial di selatan Eropa dan apapun namanya Anda akan memiliki kompetensi untuk Komisi Yudisial di bidang anggaran dan mungkin memberikan Anda untuk pindah ke model campuran. Tetapi hanya bertujuan sebatas menganalisis untuk melihat apakah Indonesia akan masuk dalam model seperti ini. Jadi bukan untuk mengatakan bahwa model ini berlaku bagi Anda, tetapi sebatas untuk analisis terhadap yang saya katakan dan hanya untuk itu. 122
Seminar on Comparative Models of Judicial Commissions: Peran Komisi Yudisial di Era Transisi Menuju Demokrasi
Takdir Rahmadi Terima kasih kepada para penanya. Pertama dari Fakultas Hukum Universitas Pakuan. Apa harapan MA terhadap KY? Harapan kita konsisten saja dengan ketentuan normatifnya yang sudah dirumuskan oleh Undang-Undang seperti yang saya kutip tadi. Ada di tiga Undang-Undang. Undang-Undang tentang Peradilan Umum, Peradilan Agama, Tata Usaha Negara, bahwa KY dapat menggunakan putusan sebagai entry point untuk menganalisis, tetapi terhadap putusan yang telah memperoleh kekuatan hukum tetap. Jadi jangan misalnya di tingkat pertama ada pihak yang merasa, katakanlah, ya terutama yang kalah, terus mengadu, menyampaikan laporan kemudian ini diangkat. Apalagi ada public statement. Ini yang dipandang sudah mencederai prinsip-prinsip kemerdekaan hakim dan juga abuse of power, trial by the press yang tidak dikehendaki. Jadi kita strict to the rules. Ini yang harus kita kejar Pasal 13F Undang-Undang Nomor 49 Tahun 2009, dan Undang-Undang Nomor 51 Tahun 2009 dan Pasal 12F Undang-Undang Nomor 50 Tahun 2009. Jadi yang telah berkekuatan hukum tetap sebagai dasar rekomendasi untuk melakukan mutasi. Ini yang akan kita kembangkan bagaimana rumusannya. Apakah untuk di promosi, putusan yang bagaimana yang dianggap katakanlah secara ilmu hukum cacat. Sehingga orang ini harus dikenakan tindakan disiplin. Tapi jangan setiap ada pengaduan, namanya orang perang pasti ada win or loose. Nah yang loose ini kan selalu tidak puas. Kemudian dari Pak Zulkarnain, ya memang mafia peradilan ini perlu adanya kerjasama dari banyak pihak, tidak hanya unsur profesi hakim. Tentu ada program yang kita sudah
Seminar on Comparative Models of Judicial Commissions: Peran Komisi Yudisial di Era Transisi Menuju Demokrasi
123
canangkan, seperti case management. Tetapi masih ada persoalan-persoalan, karena perlu kerjasama dengan instansi lain, Kejaksaan dan Lapas misalnya, kalau perkara-perkara pidana. Misalnya, ketika beberapa kali saya ke lapangan memberikan sosialisasi SK 144 tentang keterbukaan informasi, itu merupakan salah satu pointnya, jadwal persidangan pun harus diumumkan. Agar masyarakat bisa mengontrol apakah dalam memberikan pelayanan publik, dalam memberikan jasa keadilan, peradilan di tingkat pertama ini konsisten dengan jadwalnya. Selain biaya-biaya perkara. Ada beberapa Ketua Pengadilan Tingkat Pertama dan juga beberapa hakim yang bicara kepada saya, “kadang-kadang susah Pak”. Karena Kejaksaan itu membawa para terdakwa tadi menunggu jadwal makan siang. Sebab kalau di bawah jam 10, di Lapas itu kan makannya jam 12. Nah, ini kadangkadang orang Lapas tidak mau melepas. Karena nanti kalau balik sudah keluar katanya, jatah makan siangnya sudah habis. Jadi hal sepele. Jaksanya juga sering telat. Ditanya kenapa, ya ini menunggu dulu dia makan. Jadi memang ada perlunya juga koordinasi. Antara Departemen Hukum dan HAM khususnya Lapas, Kejaksaan, dan Pengadilan, agar masyarakat tahu apa yang diumumkan itu bisa dilaksanakan. Perdata juga begitu, kadang-kadang tergugatnya tidak datang. penggugatnya yang terlambat. Jadi tidak bisa, memang di negeri kita ya seperti itu. Tapi SK 144 sudah mengarahkan itu. Usahakan ada jadwal. Pengumuman sesi-sesi sidang. Karena hal praktis yang kelihatan sepele membuat gagasan yang baik menjadi tidak jalan. Soal kebenaran formal di perdata, ini memang bisanya ahli hukum seperti itu. Kalau pengadilan tidak bisa mengubah. Dimana pun seperti itu. Di Amerika kan, kenapa misalnya
124
Seminar on Comparative Models of Judicial Commissions: Peran Komisi Yudisial di Era Transisi Menuju Demokrasi
OJ Simpson yang didakwa membunuh istrinya, di perkara pidana dia bebas. Karena menurut ukuran pembuktian di sana, sama dengan kita, adalah sah-meyakinkan kalau, proove beyond reasonable doubt. Hanya karena sarung tangannya itu gak cocok dengan dia, juri ragu, bebas dia. Tapi di perdata, dia dikalahkan karena yang menggugat adalah mantan mertuanya. Prinsip pembuktian perdata dan pidana tadi memang harus beda memang dari sananya. Jadi kalau ada orang yang bertempur secara hukum, katakanlah naif, dia sudah bayar utang, tapi buktinya ilang, memang Tuhan saja yang tau, pasti dikalahkan. Gimana kita mau membuktikan. Jadi saya kira memang bertempur itu harus smart. Mungkin ini kita produk barat kan. Hukumnya, sedikit banyak pembuktiannya kan. Bagaimana kita membangun karena kita dipengaruhi oleh Belanda bahwa perdata itu rechts formal. Kalau seorang pihak itu gak menyangkal ya dianggap benar. Kalau gak datang ya dihukum verstek setelah 3 kali misalnya. Walaupun dia mungkin benar. Ya, begitulah. Soal pembuktian terbalik saya kembalikan saja, kalau saya, karena ada teori melanggar HAM yang berlaku umum-tapi bukan persoalan korupsi boleh-saya ikut yang majority aja, gimana pAndangan ahli hukum di Indonesia. Saya no comment terhadap ini. Karena hakim katanya tidak boleh menunjukkan preferensinya, ideologinya. Pak Zulkarnain, mudah-mudahan bisa menjawab. Kemudian dari Fakultas Hukum Pancasila, kenapa hanya 4 perkara? Jadi memang prinsipnya semua putusan yang berkekuatan hukum tetap itu bisa diakses oleh publik. Tetapi, untuk 4 perkara itu boleh diakses oleh publik meskipun belum berkekuatan hukum tetap. Korupsi, terorisme, money laundering, dan illegal logging. Mengapa? Ya karena ini oleh publik, terutama kawan-kawan LSM, kaya Asep, karena
Seminar on Comparative Models of Judicial Commissions: Peran Komisi Yudisial di Era Transisi Menuju Demokrasi
125
ini masalah yang katanya menggerogoti ekonomi negara. Sehingga Indonesia tetap miskin. Sehingga gak bisa sejahtera. Oleh sebab itu dibuka, walaupun di negara lain belum tau, boleh tidak. Tapi kita sudah membuat suatu kemajuan ini kan, analisa. Saya kira sudah saya jawab, karena saya cuman sedikit pertanyannya. Terima kasih.
126
Seminar on Comparative Models of Judicial Commissions: Peran Komisi Yudisial di Era Transisi Menuju Demokrasi
Seminar on Comparative Models of Judicial Commissions: Peran Komisi Yudisial di Era Transisi Menuju Demokrasi
127
Narasumber
Moh. Mahfud, M.D
No
1.
•
•
•
•
•
•
•
Melakukan pengawasan eksternal terhadap peradilan, tanpa mengganggu dan tetap menjaga Indepedensi Peradilan; Hakim seringkali berlindung dibalik independensinya dalam melakukan praktik penyalahgunaan wewenang; Modus penyalahgunaan kekuasaan kehakiman terus berkembang dan semakin inovatif; Peran dan Fungsi pengawasan peradilan tidak terbatas pada jajaran dilingkungan Mahkamah Agung tetapi juga pada lingkungan Mahkamah Konstitusi; Tugas Komisi Yudisial untuk menemukan titik singgung antara pengawasan dan independensi peradilan; Mencari jalan terbaik untuk menghidupkan kembali kewenangan yang telah dibatalkan oleh MK (terutama soal pengawasan hakim, termasuk di dalamnya soal pengawasan terhadap hakim MK); Tantangan bagi KY untuk menjaga “kebersihan” Institusi, pimpinan dan SDM-nya;
Tantangan dan Proyeksi Komisi Yudisial
Pointers Hasil Seminar
BAB IV
128
Seminar on Comparative Models of Judicial Commissions: Peran Komisi Yudisial di Era Transisi Menuju Demokrasi
Mochtar Mas’oed
Bambang Widjojanto
2.
3.
•
• •
•
•
•
•
•
•
•
Pekerjaan Rumah bagi Komisi Yudisial untuk masih terus berjuang mengukuhkan eksistensinya sebagai icon reformasi; Moment bagi Komisi Yudisial untuk mempublikasikan hasil analisanya terhadap praktek mafia peradilan (motif, modus, pemetaan, dll) berdasarkan pengalaman selama 5 tahun ini; Tantangan bagi KY untuk memperjelas ranah pengawasannya serta meletakkan proporsi yang tepat antara independensi dan Akuntabilitas dunia peradilan; Proyeksi dan perbaikan terhadap mekanisme pengawasan eksternal KY terhadap dunia peradilan; Perlunya meletakkan dasar-dasar mekanisme pemeriksaan hakim; Tantangan bagi KY dalam memberikan contoh putusan hakim yang dapat dijadikan pedoman (atau contoh) dalam memutus perkara; Mengawasi kehormatan, keluhuran martabat, serta perilaku hakim baik di dalam maupun di luar persidangan;
Tantangan untuk meyakinkan kepada dunia peradilan bahwa pengawasan merupakan hal yang baik untuk korps hakim; Menjadikan persoalan pengawasan terhadap dunia peradilan juga menjadi urusan publik dan bukan hanya ranah KY; Memberikan pemahaman atas pemisahan urusan private (pribadi) dengan urusan publik kepada penyelanggara negara (problem patrimonialisme);
Seminar on Comparative Models of Judicial Commissions: Peran Komisi Yudisial di Era Transisi Menuju Demokrasi
129
4.
M. Busyro Muqoddas
•
•
•
•
Melakukan seleksi calon hakim bersama Mahkamah Agung dengan design bahwa calon hakim tersebut kelak akan menjadi hakim agung, sehingga hakim harus memiliki kualifikasi S2; Letak kejelasan Akuntabilitas & Independensi kekuasaan kehakiman dalam beberapa instrumen hukum (UU Kekuasan Kehakiman, UU Paket Peradilan, UU MA, UU KY, dll); Tantangan bagi KY untuk memperjuangkan kewenangannya lewat revisi Undang-Undang dengan cara-cara yang benar; Komisioner KY ke depan harus memiliki 3 (tiga) karakter dasar: • Sebagai aktor pembaharu • Sebagai leader (pemimpin), dan • Sebagai konseptor agenda transparansi & reformasi peradilan; • Menjadikan seleksi dan pendidikan hakim sebagai pintu masuk perbaikan dunia peradilan; • Tantangan bagi KY untuk bisa mengimplementasikan isi Blueprint dan menjaga ritmenya agar tetap konsisten.
130
Seminar on Comparative Models of Judicial Commissions: Peran Komisi Yudisial di Era Transisi Menuju Demokrasi
5.
dr. Wim Voermans
•
•
•
•
•
Ciri-ciri umum Komisi Yudisial di Uni Eropa adalah independen, sebagai penghubung antara pemerintah dan peradilan, dan sebagai penjamin independensi dari peradilan; Kewenangan Komisi Yudisial bisa berupa tindakan disipliner, penentuan karier hakim, seleksi hakim, pendidikan hakim, kebijakan umum pada badan peradilan, pelayanan fasilitas seperti anggaran, rumah, peningkatan teknologi, dll; Tiga peran utama Komisi Yudisial adalah menjamin independensi peradilan, mengajukan kandidat hakim yang baik dan memberikan pendidikan yang berkualitas bagi para hakim, serta mengambil alih fungsi manajemen peradilan dari tanggungjawab pemerintah; Fungsi lain dari Komisi Yudisial adalah pendidikan professional hakim, menguji kompetensi hakim, mengembangkan jaringan publik, pelayanan masyarakat, transparansi dunia peradilan, dan penegakkan kode etik hakim; Model Komisi Yudisial di Eropa Utara memiliki kewenangan yang lebih cenderung pada tanggung jawab kebijakan teknis, penyusunan anggaran peradilan, dan prosedur penganggaran, serta pembuatan kebijakan pada badan peradilan, sebagai contoh adalah Standard Operating Procedures untuk berbicara dengan pers yang berlaku di belanda; Komisi Yudisial di Eropa Utara adalah Denmark, Finlandia, Irlandia, Belanda, Swedia, dll;
Seminar on Comparative Models of Judicial Commissions: Peran Komisi Yudisial di Era Transisi Menuju Demokrasi
131
•
•
•
•
•
•
Model Komisi Yudisial di Eropa Selatan memiliki kewenangan dalam penentuan karier, rekrutmen hakim, pendidikan tetap, training berkala, rotasi, mutasi, promosi, dan demosi hakim, serta penegakkan disiplin (kode etik); Komisi Yudisial di Eropa Selatan adalah Albania, Armenia, Belgia, Bosnia, Kroasia, Perancis, Georgia, Italia, Spanyol, dll; Model Komisi Yudisial Campuran adalah memadukan model Eropa Utara dan Eropa Selatan; Komisi Yudisial dengan model campuran adalah Bulgaria, Estonia, Hungary, Lithuania, Malta, Norwegia, Slovenia, dan Indonesia; Menurut CCJE dasar didirikannya Komisi Yudisial harus didasarkan pada prinsip pemisahan kekuasaan; Rekomendasi CCJE terhadap Komisi Yudisial antara lain adalah; 1. Masa jabatan tidak terlalu lama; 2. Adanya pembatasan jumlah anggota Komisi Yudisial; 3. Memiliki kewenangan dan tanggungjawab yang lebih luas dan signifikan, misalnya terkait dengani kompetensi dan karier hakim sampai kepada proses rekrutmen hakim, pemberian training dalam rekrutmen hakim, promosi dan assesmen, penegakkan kode etik hakim, dan peran KY dalam memperbaiki image peradilan kepada masyarakat; Tantangan bagi KY indonesia untuk mencari bentuk atau model ciri khas sendiri sesuai fungsi dan kebutuhannya;
132
Seminar on Comparative Models of Judicial Commissions: Peran Komisi Yudisial di Era Transisi Menuju Demokrasi
6.
Takdir Rahmadi
•
•
•
Tantangan bagi KY untuk menjalankan fungsinya secara konsisten agar tetap sesuai dengan UU dan tidak keluar dari apa yang telah diatur di dalamnya;
Tantangan bagi KY untuk mengembalikan kepercayaan publik terhadap dunia peradilan; Tantangan bagi KY untuk meneguhkan posisi kelembagaan melalui pemberdayaan fungsi-fungsi lainnya yang lebih signifikan (Contoh: Mutasi, Promosi, Budgeting, Seleksi, dll);
Pointers Utama Internal Kelembagaan Komisi Yudisial •
Komisi Yudisial harus mampu menjaga kebersihan institusinya dari praktek-praktek kotor. Selain itu juga harus fokus untuk mengembangkan kemampuan SDMnya, pembaruan struktur organisasi, serta peningkatann anggaran untuk menunjang kinerja .
•
Komisi Yudisial juga dituntut untuk secara konsekuen mengimplementasikan Blueprint lembaga yang telah disusun untuk tahun 2010 - 2025 dan menjaga ritmenya agar tetap konsisten.
•
Secara lebih khusus pimpinan Komisi Yudisial harus memiliki 3 (tiga) karakter dasar: •
Sebagai aktor pembaharu
•
Sebagai leader (pemimpin), dan
•
Sebagai konseptor agenda transparansi & reformasi peradilan
Core Competence dan Kewenangan Komisi Yudisial •
Sebagai lembaga negara produk reformasi, Komisi Yudisial dituntut untuk bisa menjadi icon perubahan di bidang peradilan. Dalam rangka itu Komisi Yudisial harus melakukan langkah-langkah strategis terkait dengan wewenangnya, mulai dari hulu hingga hilir, dari seleksi calon hakim agung, sampai ke bidang pengawasan.
Seminar on Comparative Models of Judicial Commissions: Peran Komisi Yudisial di Era Transisi Menuju Demokrasi
133
Di bidang seleksi calon hakim, Komisi Yudisial perlu menginisiasi pendidikan calon hakim yang setara S2 sebelum mengikuti seleksi hakim. Dengan demikian calon hakim akan mempunyai modal pemahaman yang komprehensif dan holistik terkait dengan tugas dan wewenangnya selain itu ke depan mereka juga dapat diproyeksikan sebagai hakim agung. Sementara dalam bidang pengawasan, Komisi Yudisial dihadapkan kondisi maraknya mafia peradilan yang melibatkan hakim dengan kapasitas melebihi sistem yang ada. Tidak jarang hakim melakukan penyalahgunaan wewenang atas nama independensinya. Kondisi tersebut menjadi tantangan bagi Komisi Yudisial untuk membuat formulasi yang tepat terkait dengan fungsi pengawasan eksternal yang harus diperankannya. •
134
Masih terkait dengan fungsi pengawasan, misi utama reformasi peradilan tidak hanya sebatas menegakkan independensi dan imparsialitas peradilan. Tetapi juga membangun dan menjaga sistem akuntabilitas serta mekanisme kontrol bagi para hakim agar peradilan tidak memunculkan abuse of power baru atau tyrani judicial. Dalam konteks itu maka dalam menjalankan fungsi pengawasan, Komisi Yudisial harus mencari titik konvergensi/titik singgung antara independensi versus akuntabilitas, mengawasi tanpa mengganggu independensi. Atau Komisi Yudisial setidaknya perlu memperbanyak irisan diantara keduanya dan dikukuhkan dalam beberapa instrumen hukum (UU Kek. Kehakiman, UU Paket Peradilan, UU MA, UU KY, dll).
Seminar on Comparative Models of Judicial Commissions: Peran Komisi Yudisial di Era Transisi Menuju Demokrasi
•
Komisi Yudisial seharusnya mempublikasikan hasil analisanya terhadap praktek mafia peradilan (motif, modus, pemetaan, dll) berdasarkan pengalaman selama 5 tahun ini. Selain itu juga harus mampu memberikan contoh putusan hakim yang dapat dijadikan pedoman (atau contoh) dalam memutus perkara.
•
Harus dicarikan upaya konstitusional untuk mengembalikan kewenangan Komisi Yudisial yang sudah dipangkas oleh Mahkamah Konstitusi selain melalui Amandemen UUD 1945.
Pencarian Bentuk Model Komisi Yudisial Indonesia •
Komisi Yudisial harus mampu berperan dalam mengembalikan citra peradilan yang mengalami public distrust. KY juga diharapkan dapat mencari bentuk atau model ciri khas sendiri sesuai dengan konteks yang dihadapi.
•
Dalam menjalankan fungsinya untuk melakukan seleksi hakim dan pengawasan hakim, Komisi Yudisial harus mampu menggerakkan peran semua elemen masyarakat, baik dari kalangan profesi, akademisi, penegak hukum, ormas, NGO, maupun masyarakat pada umumnya.
Pointers Khusus dari Dr. Wim Voerman •
Dilihat dari historical background Komisi Yudisial di Uni Eropa, didirikannya Komisi Yudisial terinpirasi oleh munculnya gelombang demokrasi di Eropa timur, yang menuntut terjadinya proses peradilan yang dipercaya oleh Publik
Seminar on Comparative Models of Judicial Commissions: Peran Komisi Yudisial di Era Transisi Menuju Demokrasi
135
•
Gagasan awal didirikannya Komisi Yudisial di Eropa adalah sebagai penghubung kepentingan pemerintah dan kepentingan peradilan. Selain itu juga untuk memberikan jaminan independensi peradilan. Dalam Konteks itu, peran utama komisi Yudisial di Uni Eropa adalah menjamin sistem peradilan, mengajukan kandidat hakim yang profesional, memberikan pendidikan yang berkualitas kepada hakim, menguji kompetensi hakim, menegakkan kode etik hakim, mengembangkan jaringan publik, dan mengambil alih fungsi manajemen peradilan dari tanggung jawab pemerintah. Hal tersebut dijabarkan dengan berbagai kewenangan lanjutan, yaitu; menyangkut tindakan disipliner, penentuan karier hakim, seleksi hakim, pendidikan hakim, kebijakan umum pada bagian-bagian pelayanan publik yang ada pada peradilan seperti fasilitas anggaran, rumah dinas, dan peningkatan tekhnologi.
•
Komisi Yudisial di utara memiliki tanggung jawab dan kompetensi pada area kebijakan teknis, pembuatan kebijakan pada bidang peradilan. Misalnya soal bagaimana mengefisienkan anggaran peradilan, membuat SOP kebijakan terkait dengan Hubungan Masyarakat. Adapun fungsi keduanya adalah fungs manajerial yang dilakukan terhadap peradilan yang meliputi perumahan untuk hakim, ruang sidang, dan informasi publik.
•
Sementara komisi yudisial di selatan memiliki kewenangan dalam penentuan karier, rekrutmen hakim, pendidikan tetap, training berkala, rotasi, mutasi, promosi, dan demosi hakim, serta penegakkan disiplin (kode etik);
136
Seminar on Comparative Models of Judicial Commissions: Peran Komisi Yudisial di Era Transisi Menuju Demokrasi
•
Menurut CCJE dasar didirikannya Komisi Yudisial harus didasarkan pada prinsip pemisahan kekuasaan; Rekomendasi CCJE terhadap Komisi Yudisial antara lain adalah agar masa jabatan tidak terlalu lama, perlu limitasi jumlah anggota Komisi Yudisial, memiliki kewenangan dan tanggungjawab yang lebih luas dan signifikan seperti kompetensi dan karier hakim sampai kepada proses rekrutmen hakim, pemberian training dalam rekrutmen hakim, promosi dan assesmen, penegakkan kode etik hakim, dan berperan dalam perbaikan imej peradilan di mata masyarakat.
Seminar on Comparative Models of Judicial Commissions: Peran Komisi Yudisial di Era Transisi Menuju Demokrasi
137
Seminar on Comparative Models of Judicial Commissions: Peran Komisi Yudisial di Era Transisi Menuju Demokrasi
Seminar on Comparative Models of Judicial Commissions: Peran Komisi Yudisial di Era Transisi Menuju Demokrasi
139
Seminar on Comparative Models of Judicial Commissions: Peran Komisi Yudisial di Era Transisi Menuju Demokrasi
Mengawasi Penghakiman, Menjamin Demokratisasi Mochtar Mas’oed Universitas Gadjah Mada
Seminar on Comparative Models of Judicial Commissions: Peran Komisi Yudisial di Era Transisi Menuju Demokrasi
141
Mimpi Buruk bernama Orde Baru • Kantor kepresidenan sebagai pusat kuasa. • Tentara dan teknokrat sebagai promotor stabilitas politik dan ekonomi. • Parlemen sebagai fasilitator dekrit pemerintah. • MAHKEJAPOL sebagai pengatur pemberlakuan hukum. • Massa sebagai “pelengkap-penderita.”
Pasca-1998 • Maksud hati: Rakyat ambil kendali. • Yang terjadi: Transisi penuh kompromi menimbulkan perubahan setengah-hati. Bahkan, khawatir dianggap kurang ajar, perubahan itu dijuluki “reformasi.” (Kata revolusi dikhawatirkan membubarkan koalisi rapuh pasca-Orde Baru?) • Tanpa ketegasan, yang muncul adalah penyakit lama “fragmentasi”. Tidak ada yang mampu bangkitkan semangat bersepakat. • Pemilu hanya menghasilkan pemerintahan koalisi rapuh.
142
Seminar on Comparative Models of Judicial Commissions: Peran Komisi Yudisial di Era Transisi Menuju Demokrasi
Yang Adil, Yang Jujur • Maksud hati: Perubahan dibakukan ke dalam aturan main yang penegakannya dijamin oleh peradilan yang bukan hanya berwibawa, tetapi juga jujur. • Yang terjadi: Peradilan itu masih perlu belajar menegakkan diri dan kehormatannya sendiri. • Itulah mungkin yang mendasari berdirinya lembaga pengawasan, seperti KY sebelum Putusan MK 23 Agustus 2006.
• Putusan MK itu menunjukkan kelemahan landasan institusional bagi upaya pengawasan terhadap kinerja hakim. • Padahal, awam pembaca koran, sudah tahu tentang banyaknya hakim yang tidak menjaga kehormatan diri dan institusinya, dengan berbuat tidak adil dan tidak jujur. • Karena itu, masuk akal, kalau usulannya adalah perubahan UU No.22/2004 demi pemberdayaan KY sbg lembaga pengawas.
Seminar on Comparative Models of Judicial Commissions: Peran Komisi Yudisial di Era Transisi Menuju Demokrasi
143
• Bagaimana mengubah UU itu sehingga membuat para hakim, walaupun terpaksa, mau menerima dilakukannya pengawasan eksternal? • Untuk itu perlu dipelajari: – Pertama: Mengapa “korps” kehakiman menentang fungsi pengawasan itu? (Selain karena alasan pelanggaran konstitusi?). Jangan-2 ada alasan yang bersifat prinsip atau filosofis. – Kedua: Mengingat banyaknya hakim yang terbukti korup, bagaimana meyakinkan para hakim bahwa pengawasan itu baik bagi korps mereka?
Kalau isyunya adalah korupsi, kita perlu tahu: • Apa akar penyebabnya • Apa lingkungan institusional yang menyuburkannya. • Apa struktur insentif yang mendorong pelakunya.
144
Seminar on Comparative Models of Judicial Commissions: Peran Komisi Yudisial di Era Transisi Menuju Demokrasi
Jangan-jangan, penyebabnya masih yang itu-itu juga, yaitu: ketidakmampuan memisahkan dengan tegas urusan publik dengan urusan privat. “Kultur” PATRIMONIALISME
Tanda-tanda Patrimonialisme Dalam demokrasi, rakyat memberikan kekuasaan untuk memerintah kepada pemerintahan, tetapi kekuasaan itu “dicuri” dan digunakan secara sewenang-wenang oleh pejabat pemerintah.
Seminar on Comparative Models of Judicial Commissions: Peran Komisi Yudisial di Era Transisi Menuju Demokrasi
145
Tanda-tanda Patrimonialisme (2)
Dalam negara hukum, rakyat memberikan wewenang penghakiman kepada lembaga peradilan, tetapi wewenang itu “dicuri” dan digunakan secara sewenangwenang oleh pejabat lembaga peradilan.
Tanda-tanda Patrimonialisme (3)
Dalam Res Publika, rakyat bayar pajak untuk membiayai “barang-barang publik” yang mereka perlukan tetapi uang pajak dan barang-barang publik itu dijarah oleh para pejabat publik.
146
Seminar on Comparative Models of Judicial Commissions: Peran Komisi Yudisial di Era Transisi Menuju Demokrasi
Menangani Patrimonialisme • Perubahan institusional apa yang bisa mengkikis patrimonialisme di lembaga kehakiman? • Para ahli hukum mesti pandai-pandai merumuskan aturan main yang memberi insentif pada institusi kehakiman dan para hakim untuk menghindari praktek patrimonialis.
Etika? Masih Ada Asa? • Konon, meningkatnya peradaban ditandai dengan semakin meningkatnya peran etika, bukan hukum formal, dalam pengendalian atas perilaku manusia. • Mestinya masih ada harapan disini. Benarkah?
Seminar on Comparative Models of Judicial Commissions: Peran Komisi Yudisial di Era Transisi Menuju Demokrasi
147
Karena pada dasarnya pengawasan adalah persoalan politik dan struktural, maka solusinya mesti dicari dalam tindakan politik.
148
Seminar on Comparative Models of Judicial Commissions: Peran Komisi Yudisial di Era Transisi Menuju Demokrasi
PENGATURAN DAN PERGESERAN KONSEP PENGAWASAN EKSTERNAL TERHADAP PERADILAN
Dr. Bambang Widjojanto, S.H., LL.M.
Pengajar FH Universitas Trisakti, Advisor Partnership dan Senior Partner WSA Law Firm. “Seminar on Comparative Models of Judicial Commissions” Tema Peran Komisi Yudisial dalam Pemberantasan Mafia Peradilan di Era Transisi Menuju Demokrasi
Jakarta, 5 Juli 2010
Seminar on Comparative Models of Judicial Commissions: Peran Komisi Yudisial di Era Transisi Menuju Demokrasi
149
PENDAHULUAN • Era transisi tidak hanya menimbulkan perubahan tetapi juga ketidakpastian; • Ada cukup banyak lembaga (state auxilaries institution) yang dibentuk selama proses transisi; • Mahkamah Konstitusi, Komisi Pemberantasan Korupsi dan Pengadilan Ad Hoc Tipikor adalah lembaga baru di era transisi yang kerap disebut sebagai ikon reformasi; • Komisi Yudisial termasuk lembaga negara yang dibentuk di era transisi demokrasi dan tengah terus memperjuangkan eksistensinya secara persisten; • Ada dinamika intensif yang belum selesai antara cita, konsep dan realisasi rumusan dan penerapan kewenangan Komisi Yudisial di bidang pengawasan;
FAKTA DAN KONDISI PERADILAN • Ada 2 (dua) fakta yang berjalan secara pararel, yaitu: disatu sisi ada upaya yang terus menerus untuk memperbaiki kondisi peradilan; dan disisi lainnya ada fakta kejahatan yang dilakukan mafia hukum yang bekerja secara “masif, sistematis dan terstruktur”: • MA dan lembaga penegakan hukum lainnya telah membuat: Cetak Biru Pembaruan MA Kesatu & Kedua, Membentuk Tim Reformasi MA, Membuat berbagai program peningkatan kinerja lembaga (Misalnya: SK Keterbukaan, pelatihan Tipikor), perumusan kode etik dan perilaku, pembentukan Dewan Kehormatan; • Salah satu Quick Win Program adalah memberikan akses pada yustisiabel untuk dapat melihat hasil putusan pengadilan melalui website
150
SeminarSeminar on Comparative on Comparative Models ModelsofofJudicial Judicial Commissions: Commissions: PeranPeran KomisiKomisi Yudisial Yudisial di Era Transisi di Era Menuju Transisi Demokrasi Menuju Demokrasi
• SATGAS Pemberantasan Mafia Hukum Publikasikan Dokumen Modus Operandi bekerjanya Mafia Hukum di dalam Buku Mafia Hukum: Modus Operandi, Akar Permasalahan dan Strategi Penanggulangan. • Dokumen tersebut pertama kali di dalam sejarah penegakan hukum di Indonesia pemerintah mengeluarkan suatu dokumen resmi yang dihasilkan dari suatu assessment yang merinci tahap kejahatan, pola dan modus operandi serta pelaku kejahatan di lingkungan peradilan. • Ada sekitar 79 pola kejahatan dan sekitar 136 modus operandi kejahatan yang khusus terjadi di dunia peradilan. • Dokumen justifikasi pemerintah via SATGAS fakta adanya suatu kejahatan yang bekerja secara ”masif, sistematis, dan terstruktur” di lembaga hukum, termasuk di institusi peradilan;
• Para Pelaku Kejahatan: – Pelaku yang potensial terlibat di dalam kejahatan mafia hukum, yaitu: meliputi: • Petugas registerasi perkara, pantera, panitera pengganti, hakim, ketua pengadilan; • Jaksa, advokat, para piahk, dan terdakwa serta para calo. • Pola dan Modus Operandinya: – Kesatu negosiasi putusan/penetapan, permintaan uang lelah atau uang terima kasih dan penipuan; – Kedua hakim atau melalui perantara meminta uang pada salah satu pihak dengan imbalan berupa putusan perkara yang menguntungkan salah satu pihak/terdakwa/korban, mengatur besaran ganti rugi, memutus perkara tidak dapat diterima;
Seminar on Comparative Models of Judicial Commissions: Peran Komisi Yudisial di Era Transisi Menuju Demokrasi
151
– Ketiga Hakim menunda-nunda pembacaan putusan, dilelangnya amar putusan (baik dilakukan sendiri maupun dengan perantara),dilakukannya negosiasi putusan, dan adanya permintaan uang lelah atau terima kasih; – Keempat salah satu pihak yang terlibat secara langsung maupun tidak langsung di dalam persidangan meminta uang dalam jumlah tertentu kepada korban (terdakwa atau pihak berpekara) dengan cara menipu dan mengatasnamakan kepentingan hakim
INTERAKSI: ASPIRASI MASYARAKAT & DINAMIKA LEGISLASI • Salah satu pilar utama Negara Hukum adalah Kekuasaan kehakiman • “Reformasi” kekuasaan kehakiman, menjadi prasyarat dasar utk mewujudkan Negara Hukum yang Demokratis; • Alasan diperlukannya reformasi Kekuasaan Kehakiman, yaitu: – Justisiabel kian menuntut adanya kepastian hukum dan keadilan; – Diperlukan Independensi dan peningkatan kapasitas kekuasaan kehakiman; – Peningkatan profesionalitas dan integritas aparatur kekuasaan kehakiman,;serta – Tersedianya kualitas pengawasan KEKEH yang lebih baik yang diletakkan dalam konteks check and balances;
152
Seminar on Comparative Models of Judicial Commissions: Peran Komisi Yudisial di Era Transisi Menuju Demokrasi
• Orde Lama: – Aspirasi masyarakat diletakkan “dibawah kepentingan” kekuasaan: – Kekuasaan kehakiman sebagai kekuasaan yang merdeka dalam menyelenggarakan pengadilan hanya dirumuskan dalam penjelasan Konstitusi; – Konstitusi tidak menegaskan bahwa kekuasaan ditujukan untuk menegakkan hukum & keadilan; – Kekuasaan eksekutif dan parlemen “mengkooptasi” kekuasaan yudisial; – Ketua MA dan Mahkamah Agung sebagai pelaksana kekuasaan kehakiman diletakan menjadi bagian dari kekuasaan eksekutif karena Ketua MA dijadikan sebagai salah satu Menteri dalam Kabinet Pemerintah;
• Orde Lama: – Aspirasi masyarakat diletakkan “dibawah kepentingan” kekuasaan: – Kekuasaan kehakiman sebagai kekuasaan yang merdeka dalam menyelenggarakan pengadilan hanya dirumuskan dalam penjelasan Konstitusi; – Konstitusi tidak menegaskan bahwa kekuasaan ditujukan untuk menegakkan hukum & keadilan; – Kekuasaan eksekutif dan parlemen “mengkooptasi” kekuasaan yudisial; – Ketua MA dan Mahkamah Agung sebagai pelaksana kekuasaan kehakiman diletakan menjadi bagian dari kekuasaan eksekutif karena Ketua MA dijadikan sebagai salah satu Menteri dalam Kabinet Pemerintah;
Seminar on Comparative Models of Judicial Commissions: Peran Komisi Yudisial di Era Transisi Menuju Demokrasi
153
154
•
Orde Lama – kekuasaan kehakiman adalah alat revolusi hukum untuk memenuhi rasa keadilan masyarakat; – Pasal 14 ayat (2) UU No. 19 Tahun 1964 ”Demi kepentingan revolusi, kehormatan Negara dan Bangsa atau kepentingan masyarakat yang sangat mendesak, Presiden dapat turut atau campur-tangan dalam soal-soal pengadilan”. – Ketua Mahkamah Agung sebagai Menteri Kabinet dengan 3 (tiga) jabatan, yaitu: Menteri Penasihat Hukum Presiden, Menteri Kehakiman dan Menteri yang menjabat dan merangkap juga sebagai Ketua Mahkamah Agung.
•
Orde Baru – Aspirasi & tuntutan masyarakat atas kekuasaan kehakiman yang merdeka masih diletakkan dibawah kepentingan kekuasaan; – Presiden tidak lagi menempatkan Ketua Mahkamah Agung dibawah kekuasaan Presiden tetapi syarat-syarat seorang hakim untuk dapat diangkat dan diberhentikan diatur di dalam Undang Undang dan di dalam perundangan dimaksud ada kewenangan Presiden untuk menentukan hakim dimaksud.
Seminar on Comparative Models of Judicial Commissions: Peran Komisi Yudisial di Era Transisi Menuju Demokrasi
– Pada era ini ada 2 (dua) lembaga yang melakukan pengawasan; • Menteri yang terkait kekuasaan kehakiman (Menteri Kehakiman, Agama dan Pertahanan) melakukan pembinaan (organisasi, admistrasi, keuangan) dan pengawasan; • MA memegang pengawasan atas peradilan dan tingkah laku hakim. Pengawasan MA dibagi 2, yaitu: – Korwasus (Kordinator Pengawas Khusus) dan Hawasus (Hakim Pengawas Khusus) untuk pengawasan di kalangan MA sendiri serta pengawasan melekat oleh Panitera Sekertaris Jendral;; – Hawasda (Hakim Pengawas Daerah) dan Hatiwasma, di tingkat Korwil dan Korwas melakukan pengawasan di pengadilan tingkat pertama dan kedua
• ORDE REFORMASI
– Ditegaskan pemisahan fungsi legisilatif dan eksekutif atas yudikatif dilakukan dengan cara pengalihan organisasi, administrasi dan finansial dari eksekutif ke yudikatif melalui UU N0. 35 Tahun 1999; – Penegasan Kekuasaan Kehakiman merupakan kekuaasaan yang merdeka dirumuskan di Konstitusi yang menyatakan “kekuasaan kehakiman adalah kekuasaan yang merdeka guna menegakkan hukum dan keadilan”; – Penyelenggara kekuasaan kehakiman tidak lagi hanya dilakukan oleh MA tetapi juga oleh MK; – Di introduksinya lembaga baru Komisi Yudisial dibawah Bab Kekuasaan Kehakiman dengan tugas tertentu yang spesifik;
Seminar on Comparative Models of Judicial Commissions: Peran Komisi Yudisial di Era Transisi Menuju Demokrasi
155
– Hal penting lain yang terjadi periode ini, yaitu antara lain: • Tahun 2001 Restrukturisasi di MA Ketua Muda Pengawasan dan Pembinaan; • Tahun 2003 MA untuk membentuk meyiapkan Naskah Akademik Komisi Yudisial sbg pengawasan eksternal krn diakui tidak mungkin, pengawasa hanya dilakukan secara internal; • Tahun 2004 menjadi periode penting, yaitu: disahkan UU No. 4/2004 tentang Kekuasaan Kehakiman; UU No. 5/2004 tentang MA; UU No. 22/2004 tentang KY; UU No. 8/2004 tentang Peradilan Umum; • Tahun 2006 31 Hakim Agung mengajukan Judicial Reviev UU KY yang mendelegitimasi kewenangan pengawasan KY; • Tahun 2009 revisi perundangan di bidang kekuasaan kehakiman, yaitu: UU No. 3/2009 tentang MA; UU No. 46/2009 tentang Pengadilan Tipikor; UU No. 48/2009 tentang Kekuasaan Kehakiman;
ALASAN FILOSOFIS DAN FAKTUAL PENGAWASAN EKSTERNAL • Tidak ada rakyat tidak ada negara, tidak ada rakyat tidak ada hukum (”Ubi societas ibi ius”), tidak ada yustisiabel tidak ada kekuasaan kehakiman; • Konstitusi menegaskan tidak hanya diperlukan adanya kekuasaan kehakiman yang merdeka (Pasal 24 ayat {1}), tetapi juga diperlukan hakim dan kekuasaan kehakiman yang perilakunya terhormat, dan martabatnya luhur (Pasal24B ayat {1}); • Kekuasaan Kehakiman menegakkan hukum dan keadilan berdasarkan Pancasila dan Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945, demi terselenggaranya Negara Hukum Republik Indonesia
156
Seminar on Comparative Models of Judicial Commissions: Peran Komisi Yudisial di Era Transisi Menuju Demokrasi
• Politik Penegakan Hukum di Indonesia menjelaskan Independensi kekuasaan kehakiman pernah bermasalah merugikan yustisiabel; • Jaminan Independensi di dalam konstitusi dan Perundangan tidak cukup memberikan justifikasi dan jaminan bahwa penyelenggaraan peradilan dilakukan hanya untuk hukum dan keadilan yang bepihak pada kepentingan rakyat sesuai recht idea konstitusi; • Absolutisme Independensi potensial menghasilkan abuse of power Independensi harus dilekatkan dengan akuntabilitas • UU 48 Tahun 2009 menegaskan perundangan tsb dibentuk untuk mewujudkan kekuasaan kehakiman yang tidak hanya merdeka tetapi juga peradilan yang bersih serta berwibawa (Hal Menimbang); dan disebut secara eksplisit diperlukannya pengawasan eksternal (Pasal 40 ayat {1}); • MA dalam Naskah Akademik pembuatan RUU Komisi Yudisial menyadari dan mengakui diperlukannya pengawasan eksternal selian pengawasa internal (Cetak Biru MA)
PENGAWASAN EKSTERNAL DAN INTERVENSI • Kekuasaan Kehakiman adalah kekuasaan yang merdeka; • Segala campur tangan dalam urusan peradilan oleh pihak lain di luar kekuasaan kehakiman dilarang, kecuali dalam hal-hal sebagaimana dimaksud dalam Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945(Pasal 3 ayat 2 UU No. 48/2009); • Apakah campur tangan dibolehkan atas hal-hal tertentu?; • Apakah hal tertentu dapat berkaitan dengan untuk menjaga dan menegakkan kehormatan, keluhuran martabat dan perilaku hakim?; • Menjaga dapat dimaknai sebagai fungsi preventif dan menegakkan sebagai fungsi represif; • Syarat dalam melakukan pengawasan: – – – –
menaati norma dan peraturan perundang-undangan; berpedoman pada Kode Etik dan Pedoman Perilaku Hakim; dan menjaga kerahasiaan keterangan atau informasi yang diperoleh. Pelaksanaan pengawasan tidak boleh mengurangi kebebasan hakim dalam memeriksa dan memutus perkara (Pasal 41 ayat {1}dan {2}
Seminar on Comparative Models of Judicial Commissions: Peran Komisi Yudisial di Era Transisi Menuju Demokrasi
157
KONTEKS PENGAWASAN • • • • •
•
UU No. 3 dan UU No. 48 Tahun 2009 Ada beberapa jenis pengawasan, yaitu pengawasan tertinggi, pengawasan internal &pengawasan eksternal: Pengawasan tertinggi menunjuk pada lingkup pengawasan, yaitu: terhadap penyelenggaraan peradilan pd semua badan peradilan yang berada di MA; Pengawasan internal menunjuk pada subyek yang diawasi yaitu tingkah laku hakim dan dilakukan oleh Mahkamah Agung; Pengawasan eksternal ditujukan untuk menjaga dan menegakkan kehormatan, keluhuran martabat, serta perilaku hakim dan dilakukan KY; Komisi Yudisial dapat menganalisis putusan pengadilan yang telah memperoleh kekuatan hukum tetap, dalam rangka menjaga dan menegakkan kehormatan, keluhuran martabat, serta perilaku hakim, sebagai dasar rekomendasi untuk melakukan mutasi hakim”. Pasal 32A UU No. 3 Tahun 2009 tentang MA Pengawasan eksternal atas perilaku hakim agung dilakukan KY dan berpedoman kepada kode etik dan pedoman perilaku hakim.
• Atas uraian di atas, ada beberapa masalah yang muncul dalam bidang pengawasan, problem tsb. antara lain: • Kesatu, pengawasan internal mengawasi ”tingkah laku” hakim dan ”perilaku” hakim. Apakah berkaitan penyelenggaraan peradilan?. • Kedua, ”core bussiness” dari kekuasaan kehakiman adalah menyelenggarakan peradilan dan ”core busisness” dari Komisi Yudisial adalah menjaga dan menegakkan kehormatan, keluhuran martabat, serta perilaku hakim. • Ada 2 (dua) pertanyaan: – Apakah dalam rangka menegakkan kehormatan dan keluhuran martabat hanya berkenaan dengan perilaku hakim saja? Ataukah – Apakah penegakkan kehormatan dan keluhuran martabat serta perilaku hakim juga berkaitan dengan penyelenggaraan peradilan?.
158
Seminar on Comparative Models of Judicial Commissions: Peran Komisi Yudisial di Era Transisi Menuju Demokrasi
KONSEP PENGAWASAN EKSTERNAL • Pengawasan Eksternal merupakan bagian kompelementer yang tidak terpisahkan dengan pengawasan internal, apalagi ada kesadaran, pengawasan internal punya keterbatasan; • Pengawasan eksternal diperlukan dengan tujuan untuk mewujudkan kekuasaan kehakiman yang independen dan akuntabel; • Pelaksanaannya melalui kewenangan menjaga dan menegakkan kehormatan, keluhuran martabat dan perilaku hakim; • Cakupan pengawasannya semua hakim yang meliputi kekuasaan kehakiman dlm menyelenggarakan peradilan; • Dasar Pengawasan Eksternal representasi kepentingan yustisiabel, dan sekaligus menjalankan atribusi kewenangan DPR di bidang pengawasan kekuasaan kehakiman dalam konteks check and balances;
• Pengawasan tidak dapat dikatagorisir sebagai “campur tangan” sepanjang didasarkan atas konstitusi (menjaga dan menegakkan kehormatan, keluhuran martabat dan perilaku hakim) dan dengan memperhatikan syarat dalam melakukan pengawasan; • Berdasarkan uraian di atas maka: rumusan wewenang lain tersebut harus dirinci secara elaboratif, adanya mekanisme dan tata cara penggunaan wewenang serta uraian sanksi dalam rangka menjaga dan menegakkan wewenang lain tersebut, serta syarat dlm menjalankan wewenang; • Naskah akademik RUU KY versi MA, fakta tentang pola dan modus operandi kejahatan di lingkungan peradilan sesuai Dokumen Satgas Mafia Hukum relevan untuk dijadikan dasar rujukan perumusan Pengawasan Eksternal;
Seminar on Comparative Models of Judicial Commissions: Peran Komisi Yudisial di Era Transisi Menuju Demokrasi
159
• Semua tindakan hakim yang potensial dikenakan sanksi Pasal 11 UU No. 3/2009 atau pemberhentian tidak dengan hormat, termasuk Hakim Agung, harus menjadi bagian kewenangan lain yang ditujukan untuk menjaga dan menegakkan kehormatan dan keluhuran martabat dan perilaku hakim; • Untuk menjalankan wewenangnya, diperlukan akses untuk dapat memantau proses persidangan, mendapatkan akses terhadap semua dokumen yang relevan dan material untuk kepentingan pengawasan, mempunyai hak untuk memanggil dan memeriksa pihak yang diduga terlibat dan para saksi serta menyusun rekomendasi; • Proses penyelenggaraan dan hasil peradilan dapat dikaji dan dianalisis untuk mengetahui ada-tidaknya indikasi pelanggaran agar dapat menjaga dan menegakkan kehormatan, keluhuran martabat dan perilaku yang sebagiannya dirumuskan di dalam kode etik dan perilaku;
• Kajian dan anailisis harus diatur sedemikian rupa karena harus memperhatikan syarat dalam melakukan pengawasan dan tidak menyebabkan terjadinya tindakan yang dapat dikualifikasi sebagai “campur tangan” dalam proses peradilan • Mengajukan rekomendasi dan meminta Majelis Kehormatan untuk bersidang dalam kapasitas sebagai komisioner lembaga dengan tata cara dan mekanisme persidangan yang jelas, serta keseluruhan prosesnya dilakukan cepat, murah dan sederhana; • Adanya perumusan dan penjabaran kode etik dan perilaku yang berkaitan dengan kehormatan dan keluhuran martabat dan perilaku hakim dalam keseluruhan kegiatan untuk menyelenggarakan peradilan dalam kekuasaan kehakiman
160
Seminar on Comparative Models of Judicial Commissions: Peran Komisi Yudisial di Era Transisi Menuju Demokrasi
Dinamika Kelembagaan KY, Sebuah Pembelajaran
M. Busyro Muqoddas
Jakarta, 5 Juli 2010
Seminar on Comparative Models of Judicial Commissions: Peran Komisi Yudisial di Era Transisi Menuju Demokrasi
161
Negara Hukum dan Kekuasaan Kehakiman Independensi Kekuasaan kehakiman merupakan pilar ketiga negara hukum. Akar konsep independensi kekuasaan kehakiman adalah doktrin pemisahan kekuasaan (separation of power) yang digagas oleh Montesquieu dan sengaja dirancang untuk menjamin adanya independensi kekuasaan kehakiman.
Urgensi Independensi Kekuasaan Kehakiman •
•
162
Independensi kekuasaan kehakiman dalam perspektif Montesquieu sangat ditekankan karena ingin memberikan perlindungan terhadap hak-hak asasi warga negara yang pada masa itu menjadi korban despotis raja-raja. Sementara menurut Alexander Hamilton, kekuasaan kehakiman merupakan cabang kekuasaan yang paling lemah, oleh karena itu diperlukan perlindungan melalui konstitusi atau undang-undang dasar. Terutama di negara-negara yang digolongkan ke dalam emerging democratic countries atau yang acapkali disebut sebagai negara-negara transisi.
Seminar on Comparative Models of Judicial Commissions: Peran Komisi Yudisial di Era Transisi Menuju Demokrasi
Sistem Kekuasaan Kehakiman di Indonesia Pasca Amandemen UUD 1945 Terdapat 3 (tiga) perubahan penting terkait dengan sistem kekuasaan kehakiman di Indonesia pasca Amandemen UUD 1945, Pertama, Jaminan kekuasaan kehakiman yang merdeka telah ditegaskan dalam Batang Tubuh UUD 1945, yang sebelumnya hanya tercover di bagian Penjelasan. Kedua, Mahkamah Agung dan badan kehakiman lainnya tidak lagi menjadi satu-satunya pelaku kekuasaan kehakiman karena ada Mahkamah Konstitusi yang berkedudukan setingkat dengan MA. Ketiga, dibentuknya Komisi Yudisial sebagai lembaga negara baru yang bersifat mandiri dalam rumpun kekuasaan kehakiman.
Peran dan Fungsi KY Berdasarkan Pasal 24B UUD 1945, KY merupakan lembaga negara yang bersifat mandiri dan mempunyai dua kewenangan konstitutif, pertama, mempunyai wewenang mengusulkan pengangkatan hakim agung, dan kedua, mempunyai wewenang lain dalam rangka menjaga dan menegakkan kehormatan, keluhuran martabat, serta perilaku hakim
Seminar on Comparative Models of Judicial Commissions: Peran Komisi Yudisial di Era Transisi Menuju Demokrasi
163
Historical Background Pembentukan KY • Dunia peradilan selama era Orde Lama dan Orde Baru berada dalam kondisi:
Untouchable (tidak tersentuh oleh tangan-tangan demokrasi) Eksklusif Alat kepentingan politik penguasa Digerogoti praktek mafia peradilan
• Sebagai akibatnya peradilan menjadi tidak transparan dan independen Pada era reformasi muncul agenda untuk mendemokratisasi sistem peradilan melalui terciptanya akuntabilitas, imparsialitas, dan transparansi dalam setiap proses peradilan. Untuk menjawab kebutuhan tersebut maka dibentuklah KY melalui amandemen ketiga UUD 1945. Pembentukan KY mendapat justifikasi oleh dua sumber di MA yaitu: Naskah Naskah Akademik dan RUU tentang Komisi Yudisial serta Cetak Biru Pembaruan Mahkamah Agung yang menyatakan bahwa Pengawas Internal yang dilakukan oleh MA tidak efektif. Karenanya diperlukan lembaga pengawas eksternal. Dalam hal ini MA menyebut KY.
Penguatan wewenang KY (1) Berdasarkan beberapa peraturan perundangan, kewenangan Komisi Yudisial mengalami penguatan: a. Terkait dengan kewenangan Komisi Yudisial untuk mengawasi hakim agung secara eksplisit mendapat legitimasi yuridis melalui UU No 3 Tahun 2009 tentang Perubahan Kedua atas UU No 14 Tahun 1985 tentang Mahkamah Agung. Hal itu bisa dilihat pada Pasal 32A ayat (2) UU aquo yang menegaskan bahwa ”pelaksanaan eksternal atas perilaku hakim agung dilaksanakan oleh Komisi Yudisial”. UU No 3 Tahun 2009 tersebut juga mengatur tentang pembentukan Majelis Kehormatan Hakim (MKH) terkait dengan adanya usulan pemberhentian hakim.
164
Seminar on Comparative Models of Judicial Commissions: Peran Komisi Yudisial di Era Transisi Menuju Demokrasi
Penguatan wewenang KY (2) b. Komisi Yudisial mempunyai kewenangan untuk menganalisis putusan pengadilan yang memperoleh kekuatan hukum tetap sebagai dasar rekomendasi untuk melakukan mutasi hakim. Ketentuan tersebut terdapat dalam beberapa UU tentang Kekuasaan Kehakiman Pasal 42. UU tentang Peradilan Umum (Pasal 13F), UU tentang Peradilan Agama (12F), UU tentang Peradilan Tata Usaha Negara (Pasal 13F). c. Melalui tiga peraturan perundangan tentang peradilan (peradilan umum, agama, dan PTUN) tersebut diatas, Komisi Yudisial juga memiliki kewenangan untuk rekruitmen hakim di tiga peradilan tersebut bersama-sama dengan Mahkamah Agung.
Pentingnya Penguatan Wewenang KY Melalui Revisi UU KY Di tengah kondisi peradilan di Indonesia yang masih berstatus siaga satu terhadap praktek mafia peradilan, maka tambahan kewenangan tersebut dirasa masih cukup minimalis. Karena itu, dalam rangka memaksimalkan peran Komisi Yudisial untuk menegakkan peradilan bersih dan mewujudkan cita keadilan, diperlukan percepatan revisi Undang-Undang Komisi Yudisial.
Seminar on Comparative Models of Judicial Commissions: Peran Komisi Yudisial di Era Transisi Menuju Demokrasi
165
Peran Strategis Komisioner • • • •
Sebagai aktor pembaharu Sebagai aktor yang berperan sebagai leader dalam upaya untuk democratization and transparancy to reformation the judiciary Sebagai konseptor tentang agenda transparansi dan reformasi peradilan Sebagai leader yang memiliki martabat tinggi, memiliki komitmen perubahan, dan bersih dari noktah masa lalu
Kapasitas Kelembagaan KY (1) Kapasitas kelembagaan dibangun dengan berpilar pada tiga bidang, yaitu SDM, organisasi, dan finansial. a. SDM, yang meliputi:
166
•
Kesekjenan: untuk membantu pelaksanaan dukungan administratif. Yang perlu diprioritaskan dalam hal ini adalah: Program peningkatan SDM, Fungsi Litbang
•
Kedeputian: untuk memabantu pelaksanaan dukungan teknis/fungsional. Dalam hal ini yang dibutuhkan adalah SDM dibidang: Pengawas hakim Investigator Seleksi calon hakim agung dan hakim
Seminar on Comparative Models of Judicial Commissions: Peran Komisi Yudisial di Era Transisi Menuju Demokrasi
b. Organisasi, yang meliputi: • Penyempurnaan struktur organisasi dengan memasukan struktur baru yaitu: kedeputian • Pengembangan jejaring KY dan posko-posko di daerah • Penempatan SDM dalam struktur organisasi yang kompeten untuk konsolidasi KY dan jejaring • Membangun jaringan dalam dan luar negeri
c. Finansial, yang dengan cara: Merancang konsep program kerja yang berkontribusi pada realisasi penguatan anggaran. Yang perlu dilakukan dalam konteks ini adalah: • Riset • Survey • Polling • Investigasi • Anggaran rutin
Seminar on Comparative Models of Judicial Commissions: Peran Komisi Yudisial di Era Transisi Menuju Demokrasi
167
Membangun Integritas KY (Perspektif Renstra dan Cetak Biru KY)
168
Mengawal seleksi anggota KY periode II Mengawal komitmen anggota KY dalam bidang: Waskim Seleksi calon hakim agung Seleksi hakim Penguatan CSO dalam program transparansi dan reformasi peradilan Penguatan jejaring KY dalam dalam merealisasikan program KY
Seminar on Comparative Models of Judicial Commissions: Peran Komisi Yudisial di Era Transisi Menuju Demokrasi
PERAN DAN FUNGSI KOMISI YUDISIAL DALAM KEKUASAAN KEHAKIMAN TAKDIR RAHMADI HAKIM AGUNG/WAKIL KOORDINATOR TIM PEMBARUAN PERADILAN
Jakarta, 5 Juli 2010
Seminar on Comparative Models of Judicial Commissions: Peran Komisi Yudisial di Era Transisi Menuju Demokrasi
169
NEGARA HUKUM DAN KEKUASAAN KEHAKIMAN • SALAH SATU CIRI DARI NEGARA HUKUM: KEKUASAAN KEHAKIMAN HARUS MERDEKA (INDEPENDENT) DAN TIDAK BERPIHAK (IMPARTIAL). • KEMERDEKAAN DAN KETIDAKBERPIHAKAN HARUS TERCERMIN DALAM PELAKSANAAN FUNGSI/TUGAS HAKIM. • DALAM MEMAHAMI, MENAFSIRKAN DAN MENERAPKAN HUKUM TERTULIS (UNDANG-UNDANG DAN YURISPRUDENSI) MAUPUN HUKUM TIDAK TERTULIS, SERTA MENILAI FAKTAFAKTA/ALAT-ALAT BUKTI DALAM PERSIDANGAN , HAKIM HANYA MENDASARKAN PADA PENGETAHUAN, PEMAHAMAN DAN KESADARAN HUKUMNYA SENDIRI DAN TIDAK BOLEH DIPENGARUHI OLEH PIHAK LAIN (NILAI IDEAL).
LANJUTAN • NAMUN SECARA EMPIRIS, HAKIM SEBAGAI BAGIAN DARI MASYARAKAT TIDAK KEBAL THD PENGARUH DARI LUAR DIRINYA, SEHINGGA PENGAWASAN (CONTROL) TERHADAP HAKIM MEMPEROLEH PEMBENARAN/ JUSTIFIKASI, TETAPI DI SISI LAIN TIDAK BOLEH HAL ITU SAMPAI MENGGANGGU KEMERDEKAAN HAKIM. • OLEH SEBAB ITU, BAGAIMANA MEMBANGUN MEKANISME PENGAWASAN TERHADAP PELAKSANAAN FUNGSI/TUGAS HAKIM TANPA MENGGANGGU KEMERDEKAAN HAKIM ADALAH MASALAH KRUSIAL.
170
Seminar on Comparative Models of Judicial Commissions: Peran Komisi Yudisial di Era Transisi Menuju Demokrasi
PENGAWASAN TERHADAP PERILAKU HAKIM SEBELUM PERUBAHAN UUD 1945 • MAHKAMAH AGUNG PEMEGANG KEWENANGAN TUNGGAL DALAM PENGAWASAN TERHADAP PERILAKU HAKIM. • PASAL 32 AYAT (2) UNDANG-UNDANG NO. 14 TAHUN 1985: ”Mahkamah Agung mengawasi tingkah laku dan perbuatan hakim di semua lingkungan dalam menjalankan tugasnya.” • DALAM SISTEM SEBELUM PERUBAHAN UUD 1945, KHUSUSNYA PASAL 32 (2), UU NO. 14 TH 1985, OBJEK PENGAWASAN OLEH MA ADALAH HAKIM TKT PERTAMA DAN BANDING, SEDANGKAN HAKIM AGUNG TIDAK SECARA TEGAS TERMASUK DALAM OBJEK PENGAWASAN.
PENGAWASAN ESKTERNAL TERHADAP PERILAKU HAKIM • SEJAK MASA REFORMASI, LINGKUNGAN SOSIAL, EKONOMI DAN POLITIK MENGHENDAKI PERUBAHAN, YAITU: PENGAWASAN INTERNAL OLEH MA RI SAJA TIDAK CUKUP. • PERLU PENGAWASAN EKSTERNAL TERHADAP HAKIM, KOMISI YUDISIAL DIBENTUK UNTUK MENJAMIN KEMANDIRIAN (INDEPENDENCY) DAN KETIDAKBERPIHAKAN (IMPARTIALITY) PERADILAN DALAM MENJALANKAN FUNGSI PENYELESAIAN SENGKETA DAN PENEGAKAN HUKUM. • TUNTUTAN SOSIAL, EKONOMI DAN POLITIK ITU DIADOPSI MELALUI PERUBAHAN KE3 UUD 1945, LAHIRLAH/DIBENTUK KOMISI YUDISIAL.
Seminar on Comparative Models of Judicial Commissions: Peran Komisi Yudisial di Era Transisi Menuju Demokrasi
171
PENGAWASAN ESKTERNAL OLEH KY • •
UUD RI 1945, PASAL 24B (1) : KY BERWENANG MENGUSULKAN PENGANGKATAN HAKIM AGUNG DAN WEWENANG LAIN DALAM RANGKA MENJAGA DAN MENEGAKKAN KEHORMATAN, KELUHURAN MARTABAT, SERTA PERILAKU HAKIM. Pasal 13 UU No 24/2004 tentang KY menyatakan: Komisi Yudisial mempunyai wewenang: (a) mengusulkan pengangkatan Hakim Agung kepada DPR; dan (b) menegakkan kehormatan dan keluhuran martabat serta menjaga perilaku hakim.
•
PADA TAHUN AWAL KEHADIRAN DAN PELAKSANAAN FUNGSI KY DALAM PENGAWASAN TERHADAP HAKIM TELAH MENIMBULKAN TENSI/KONFLIK ANTARA MA RI DAN KY TENTANG MASALAH APAKAH KEWENANGAN KY TERMASUK MENGAWASI HAKIM AGUNG YANG KULMINASINYA ADALAH 31 HAKIM AGUNG MENGAJUKAN UJI MATERIIL PASAL 13 UU NO. 24 TH 2004 KE MAHKAMAH KONSTITUSI.
•
PUTUSAN MAHKAMAH KONSTITUSI, NO. 005/PUU-IV/2006: BEBERAPA PASAL UU NO. 24 TH 2004 (PASAL20-PASAL 24) YANG TERKAIT DENGAN KEWENANGAN PENGAWASAN KY TERHADAP HAKIM AGUNG/HAKIM KONSTITUSI DINYATAKAN TIDAK MEMPUNYAI KEKUATAN HUKUM MENGIKAT.
LANJUTAN •
• •
•
172
KEWENANGAN KY DALAM PENGAWASAN TERHADAP HAKIM AGUNG MENGALAMI ”REVIVAL” MELALUI POLITIK LEGISLASI, YAITU UU NO. 3 THN 2009 TENTANG PERUBAHAN KEDUA UU NO. 14 THN 1985, PASAL 32A (1). PASAL 32 (1) UU NO. 3 TH 2009: ”Pengawasan eksternal atas perilaku hakim agung dilakukan oleh Komisi Yudisial.” PENGAWASAN ESKTERNAL OLEH KY TERHADAP PERILAKU HAKIM TKT BANDING DAN PERTAMA DITEGASKAN DALAM PASAL 13A AYAT (2) UU NO. 49 Th. 2009, PASAL 12a AYAT (2) UU NO. 50 TH. 2009, PASAL 13A AYAT (2) UU NO. 51 TH. 2009. SECARA NORMATIF KEWENANGAN KY SUDAH ESTABLISHED, MESKIPUN SECARA POLITIK/HUKUM TATA NEGARA, MASIH ADA AHLI HUKUM YANG MEMPERSOALKAN KELAYAKAN PENGATURANNYA DI TINGKAT KONSTITUSI DAN JUGA POSISINYA APAKAH LEMBAGA MANDIRI SEPERTI SEKARANG ATAU BERADA DI BAWAH MA RI SEBAGAIMANA KOMISI KEJAKSAAN DI BAWAH JAKSA AGUNG DAN KOMISI KEPOLISIAN BERADA DI BAWAH KAPOLRI.
Seminar on Comparative Models of Judicial Commissions: Peran Komisi Yudisial di Era Transisi Menuju Demokrasi
PENGAWASAN MENGACU PADA PEDOMAN PERILAKU HAKIM • KEP BERSAMA KETUA MA DAN KETUA KY NO:047/KMA/SKB/IV/2009 DAN 02/SKBP.KY/IV.2009 TENTANG KODE ETIK DAN PEDOMAN PERILAKU HAKIM: 1) berperilaku adil; 2) berperilaku jujur; 3) berperilaku arif dan bijaksana; 4) bersikap mandiri; 5) berintegritas tinggi; 6) Bertanggungjawab; 7) menjunjung tinggi harga diri; 8) berdisiplin tinggi; 9) berperilaku rendah hati; 10) bersikap professional.
UPAYA KY MENGAWASI “PERILAKU” HAKIM LEWAT PUTUSAN HAKIM • KY BERPENDAPAT PERILAKU HAKIM YANG MERUSAK KEHORMATAN, KELUHURAN, MARTABAT HAKIM TIDAK HANYA DAPAT DILIHAT DARI PERILAKU FISIK PARA HAKIM DI LUAR PENGADILAN DAN DI DALAM PROSES PERSIDANGAN, TETAPI JUGA TERCERMIN DARI PUTUSAN-PUTUSAN. • MA BERPENDAPAT UPAYA KY MENEMUKAN PELANGGARAN MARTABAT HAKIM LEWAT PUTUSAN HAKIM DAPAT MENGGANGU KEMERDEKAAN HAKIM DALAM MEMUTUS. • MA: JIKA ADA KELEMAHAN DALAM PUTUSAN, PARA PIHAK GUNAKAN UPAYA HUKUM: BANDING, KASASI DAN PENINJAUAN KEMBALI.
Seminar on Comparative Models of Judicial Commissions: Peran Komisi Yudisial di Era Transisi Menuju Demokrasi
173
LAHIR SOLUSI/PANDUAN NORMATIF “Dalam rangka menjaga dan menegakkan kehormatan, keluhuran martabat, serta perilaku hakim, Komisi Yudisial dapat menganalisis putusan pengadilan yang telah memperoleh kekuatan hukum tetap sebagai dasar rekomendasi untuk melakukan mutasi” (Pasal 13F UU 49 TH. 2009 dan UU NO. 51 TH. 2009, , Pasal 12F UU NO. 50 TH 2009)
WEWENANG KY DALAM PELAKSANAAN PENGAWASAN •
• • • • • •
174
MENERIMA/MENINDAKLANJUTI PENGADUAN MASYARAKAT/INOFRMASI TTG DUGAAN PELANGGARAN KODE ETIK & PEDOMAN PERILAKU HAKIM (PPH); MEMERIKSA/MEMUTUS DUGAAN PELANGGARAAN, DAPAT MENGHADIRI PERSIDANGAN PENGADILAN, MENERIMA/MENINDAKLANJUTI PENGADUAN MA/BADAN-BADAN LAIN DI BAWAH MA ATAS DUGAAN PELANGGARAN KODE ETIK DAN PPH, MELAKUKAN VERIFIKASI THD PENGADUAN, MEMINTA KETERANGAN/DATA KEPADA MA /PENGADILAN, MELAKUKAN PEMANGGILAN DAN MEMINTA KETERANGAN DARI HAKIM YANG DIDUGA MELANGGAR KODE ETIK/PPH (PASAL 13D UU NO. 49 TH 2009, PASAL 12D UU NO. 50 TH 2009, PASAL 13D UU NO. 51 TH 2009).
Seminar on Comparative Models of Judicial Commissions: Peran Komisi Yudisial di Era Transisi Menuju Demokrasi
KEWENANGAN KY LAINNYA • USULAN PEMBERHENTIAN HAKIM AGUNG KARENA MELAKUKAN PERBUATAN TERCELA, dan PELANGGARAN KODE ETIK DAN PEDOMAN PERILAKU (PASAL 11A (3) DAN (5) UU NO. 3 TH 2009; • PEMBENTUKAN MAJELIS KEHORMATAN BERSAMA MA (PASAL 11 (7) UU NO. 3 THN 2009).
APAKAH WEWENANG KY SAAT INI SUDAH MEMADAI DALAM RANGKA MELAKSANAKAN FUNGSI PENGAWASAN EKSTERNAL ? • • • • •
MELAKUKAN TINDAKAN-TINDAKAN SEBAGAIMANA DIRUMUSKAN DALAM PASAL 13D UU NO. 49 TH 2009, PASAL 12D UU NO. 50 TH 2009, PASAL 13D UU NO. 51 TH 2009 SEBAGAI WUJUD FUNGSI PENGAWASAN. MELAKUKAN EKSAMINASI PUTUSAN PENGADILAN YANG BHT (Pasal 13F UU 49 TH. 2009 dan UU NO. 51 TH. 2009, , Pasal 12F UU NO. 50 TH 2009. USULAN PEMBERHENTIAN HAKIM AGUNG KARENA MELAKUKAN PERBUATAN TERCELA DAN PELANGGARAN KODE ETIK DAN PEDOMAN PERILAKU (PASAL 11A (3) DAN (5) UU NO. 3 TH 2009. PEMBENTUKAN MAJELIS KEHORMATAN BERSAMA MA (PASAL 11 (7) UU NO. 3 THN 2009) DAN MENJADI UNSUR MAYORITAS DALAM MAJELIS KEHORMATAN HAKIM. SUDAH CUKUP MEMADAI, SEHINGGA TIDAK PERLU DITAMBAH DENGAN WEWENANG PENYADAPAN DAN PANGGIL PAKSA KARENA BISA OVERLAPPING DENGAN WEWENANG LEMBAGA-LEMBAGA LAIN (POLRI DAN KPK) DAN IBARAT GERAKAN BANDUL JAM/PENDULUM, GERAKAN EKSTREM KE SUDUT LAIN DAPAT MENIMBULKAN MASALAH-MASALAH LAIN: ABUSE OF POWER, ANCAMAN TERHADAP KEMERDEKAAN HAKIM.
Seminar on Comparative Models of Judicial Commissions: Peran Komisi Yudisial di Era Transisi Menuju Demokrasi
175
KY dan MA PERLU MEMBANGUN MEKANISME KERJA DALAM RANGKA PENGAWASAN • KETEGANGAN/KONFLIK/DIPERSEPSIKAN TIMBUL ANTARA MA DAN KY DALAM MENYIKAPI DUGAAN PELANGGARAN KODE ETIK/ PEDOMAN PERILAKU HAKIM KARENA KETIADAAN PROSEDUR KERJA YANG BDISEPAKATIM BERSAMA; • PERLU MEMBANGUN PROSEDUR/KOORDINASI KERJA YANG DIBUAT BERSAMA KEDUA LEMBAGA DENGAN MELIBATKAN PEMANGKU KEPENTINGAN LAIN, TERMASUK LSM; • PROSEDUR KERJA INI PERLU UNTUK MENCEGAH TIMBULNYA MISKOMUNIKASI/MISPERSEPSI/KONFLIK YANG TIDAK PERLU DI ANTARA KEDUA LEMBAGA, SERTA MENJAGA KEBEBASAN HAKIM DALAM MEMERIKSA /MEMUTUS PERKARA (PASAL 13E UU NO. 49 TH. 2009); • KY MEMBANGUN SEMANGAT KERJASAMA YANG KRITIS DENGAN MA DALAM MEWUJUDKAN PENGADILAN YANG BERSIH, MANDIRI DAN TIDAK BERPIHAK.
176
Seminar on Comparative Models of Judicial Commissions: Peran Komisi Yudisial di Era Transisi Menuju Demokrasi
Councils for the Judiciary
Wim Voermans, 5 July Indonesia
Seminar on Comparative Models of Judicial Commissions: Peran Komisi Yudisial di Era Transisi Menuju Demokrasi
177
Councils for the Judiciary - Councils for the Judiciary/Judicial Commissions are booming (Bulg, Dk, Ir, Nl, etc.) - (New) democracies in (Eastern) Europe - Reconciliation: A means to come to terms with a communist/dictatorial past - Rebuilding confidence in the judiciary - Empowering the judiciary - Making ends meet with limited funds (improving efficiency)
Councils for the Judiciary
- Booming? - Recent survey Consultative Council of European Judges (CCJE) November 2006 – Council of Europe - 27 out of 38 to their own admission have a Council in place
178
Seminar on Comparative Models of Judicial Commissions: Peran Komisi Yudisial di Era Transisi Menuju Demokrasi
Councils for the Judiciary - Council for the judiciary = an umbrella term? - Common features of European Councils: - independent, intermediates between the government and the judiciary in order to ensure and guarantee the independence of the judiciary in some way or in some respect
Councils for the Judiciary - What counts as a true Council for the Judiciary? - Different labels: • Judicial council, High Council for the Judiciary, Courts service, Supreme Judicial Council, Judicial Commission, etc.
- Debate - definition • Opinion CCJE no. 10 (November 2007) on the Council for the Judiciary at the service of society – ‘Council for the Judiciary’
Seminar on Comparative Models of Judicial Commissions: Peran Komisi Yudisial di Era Transisi Menuju Demokrasi
179
Definition Councils for the Judiciary - Definition Council for the Judiciary (for classification purposes): - 1. a self-governing; 2. judicial organisation, - 3. functions independently from the government, and parliament, - 4. acts as an intermediate institution (‘buffer’) between the legislative-executive branch of government and the judiciary, - 5. does not administer justice as such, but typically performs ‘meta-judicial’ tasks (disciplinary action, career-decisions of judges, recruitment and professional training of judges, coordination between courts, general policies, courts service-related activities, (budget, housing, automation, finances and accounting, etc.) , etc. - as regards judges and courts
Councils for the Judiciary - Comparative research project Ministry of Justice in the Netherlands 1998 - Advent of a Dutch Council for the Judiciary - Research project June 1999 for TAIEX (Phare project) for the Czech Republic
180
Seminar on Comparative Models of Judicial Commissions: Peran Komisi Yudisial di Era Transisi Menuju Demokrasi
Councils for the Judiciary - Central research question Phare-project: - How is the legislative and constitutional relationship shaped in different EU countries between: • the Council for the Judiciary and the Minister of Justice (government) on the one hand, • and the judiciary on the other hand - What can be learned from these foreign frameworks and experiences?
Councils in the ‘99 Research
-
Denmark (effective 1-7-1999): Domstolsstyrelsen Ireland (effective1-1-1999): Courts Service Italy: Consiglio Superiore della Magistratura France: Conseil supérieur de la magistrature
Seminar on Comparative Models of Judicial Commissions: Peran Komisi Yudisial di Era Transisi Menuju Demokrasi
181
Councils in the ’99 Research
-
The Netherlands (2002): Raad voor de rechtspraak Portugal: Conselho Superior da Magistratura Spain: El Consejo General del Poder Judicial Sweden: Domstolsverket
Functions of a Council for the Judiciary - Warrant for the independence of the judiciary (N&S) - Promotion quality of judges and the quality of adjucation (S) - Discipline, career decisions, recruitment and professional training, professional review, integrity (S) - Outdistance judicial management from ministerial c.q. governmental responsibility (N)
182
Seminar on Comparative Models of Judicial Commissions: Peran Komisi Yudisial di Era Transisi Menuju Demokrasi
Functions of a Council for the Judiciary - Efficiency (e.g. budget & costs) (N) - ‘Total’or ‘integrated’ management of the Courts (N) - Increase self-responsibility and cost-awareness in the courts (N) - Improve public relations, public service transparency (N&S) - Counterbalance new judiciaries - Benefit from judicial expertise (N&S)
Three basic types - Northern-European model - Denmark, Iceland, Ireland, the Netherlands, Sweden - Southern-European model - Albania, Armenia, Belgium, Bosnia-Herzegovina, Croatia, Cyprus, France, Georgia, Italy, Moldova, Poland, Portugal, Romania (!) The Slovak Republic, Spain, the Former Yugoslav Republic of Macedonia, Turkey, Indonesia, etc.
Seminar on Comparative Models of Judicial Commissions: Peran Komisi Yudisial di Era Transisi Menuju Demokrasi
183
Three basic types
Mixed model (elements of both) Bulgaria, Estonia, Hungary, Lithuania, Malta, Norway, Slovenia (Indonesia?)
Northern-European Model 1. Policy tasks - public relations, public service, advice to government, research & analyses, education & training, etc. 2. Managerial tasks - housing, court venues, administrative organization, automation, public information, etc.
184
Seminar on Comparative Models of Judicial Commissions: Peran Komisi Yudisial di Era Transisi Menuju Demokrasi
Northern-European Model Typical competences
3. Budget and budgeting procedures - preparing the budget, budgeting policy, budget allocation, budget account, etc.
Southern-European Model Typical competences 4. Career decisions judges c.a. - recruitment, training, permanent education (vocational training), appointments, posting, promotion and demotion of judges, ethics,etc. 5. Disciplinary action
Seminar on Comparative Models of Judicial Commissions: Peran Komisi Yudisial di Era Transisi Menuju Demokrasi
185
Mixed models typical competences - Elements from both systems
Ministerial responsibility - Northern-European model: joint responsibility - day-to-day court management & budgeting affairs are the responsibility of the Council for the Judiciary, general management and budgeting policies are the responsibility of the minister/government
186
Seminar on Comparative Models of Judicial Commissions: Peran Komisi Yudisial di Era Transisi Menuju Demokrasi
Ministerial responsibility
- Southern-European model: total ministerial responsibility for the judiciary - except for the exercise of pure judicial functions, appointments c.a. and discipline
Boards (general remarks) - Elaborate and modest sized boards with mixed representation - judges, lawyers, laymen, unions, clerk or staff representatives, parliament representatives, public prosecutors, minister/president - Risk of politicization & syndicalization - Public control via non-judicial members
Seminar on Comparative Models of Judicial Commissions: Peran Komisi Yudisial di Era Transisi Menuju Demokrasi
187
Bottlenecks -
Workload and caseload measuring Relation to Ministry of Justice Relation to Association of judges Relation to Public prosecution ICT, informatization
(Some) Bottlenecks - Boards and representation - Public prosecution’s position (Fr, It, Sw, Nl, Belgium) - Compositon and decisions (Belg) - Appointment procedures - who for what position? (Fr, Spain) - Politicization and syndicalization (Fr It)
188
Seminar on Comparative Models of Judicial Commissions: Peran Komisi Yudisial di Era Transisi Menuju Demokrasi
Bottlenecks - Position of the Council vis-à-vis the government - President and Minister of Justice in the board? (Fr, It, Bulg) - Political responsibility (Nl Den Sw) - Relationship and independence - Constitution - Rigid constitution (Nl Fr It Bulg) - Position of association of judges
Bottlenecks - Position of the Council vis-à-vis the judiciary - authority and competence (Nl) - instruments of quality control - promote uniformity (Nl) - buffer, channel, voice of the judiciary (Sw It) - evaluation of judges (Nl Fr) - workload and caseload measuring
Seminar on Comparative Models of Judicial Commissions: Peran Komisi Yudisial di Era Transisi Menuju Demokrasi
189
Bottlenecks - Budget - budget cycle (proposals, conditions, accountibility, handling deficits, etc.) (Sw, Den, Ir, Bul) - Boards and status of the judiciary - Consipracy of magistrates? (It) - Public image (Sw, It)
Bottlenecks -
190
ICT, informatization Initial and continuous training Public relations, media, public information Rule of law - article 6 European convention on human rights - Resolutions ECMECHR - independence and immunity?
Seminar on Comparative Models of Judicial Commissions: Peran Komisi Yudisial di Era Transisi Menuju Demokrasi
Recommendations CCJE I.
General - Council advisable: separation of powers, independence judiciary, efficiency, reinforce public confidence
II. Composition of the Council for the Judiciary - Majority of judges, appointed on basis of competence (no politicians), elected by peers , wide representation, lay members possible but... - Avenue for Indonesia? Not at this moment - Judges Honor Committee (MKH) sensible step
Recommendations CCJE - Function of the Council for the Judiciary - Term of office limited (preserve contact with practice), Council manages own budget, judicial appeal of decisions possible, transparency and accountability (annual reports with recommendations)
Seminar on Comparative Models of Judicial Commissions: Peran Komisi Yudisial di Era Transisi Menuju Demokrasi
191
Recommendations CCJE - On the powers of the Council for the Judiciary - wide range of meaningful tasks and responsibilities, - preferably career competences (recruitment, training, selection, appointment, promotion, assessment, ethics, discipline, etc.), - Optional financial responsibilities (budget and budget allocation) - Promotion and protection public image judiciary - Consultation on draft legislation impacting judiciary
Composition: appointment procedure - Questionnaire 2007 Consultative Council of European Judges - Concerning Councils for the Judiciary - Q 12: Please describe the whole procedure of appointment: - Who designates the members (judges or other institutions or authorities - please specify)? - What is the appointment system (voting, individual candidates, designation)?’ - Q 13: How is the (vice)President apppointed?
192
Seminar on Comparative Models of Judicial Commissions: Peran Komisi Yudisial di Era Transisi Menuju Demokrasi
Appointment systems 1. Unified Nomination System - institutions nominate (judges association, courts, government, parliament) another authority appoints (e.g. Minister of Justice) 2. Diversified Formation or Section system - Different groups of Council’s members (judges, prosecutors, lawyers, etc.) are designated by different institutions (again: e.g. courts, judges association, courts, government, parliament) - Section wise/cross overs 3. Hybrid System - Mixed system: ex officio members & appointed members (judges, prosecutor’s, lawyers,etc.)
Appointment systems 4. Individual candidates-system (everybody can run for office) - universal election, - equal representation, - secret ballot 5. Mandate system (group nominations, elections and appointments, lists, or one vote for each segment)
Seminar on Comparative Models of Judicial Commissions: Peran Komisi Yudisial di Era Transisi Menuju Demokrasi
193
Designating Institutions: 1 - From 28 countries having a CJ: - 1. Judicial Organisations: 21 • Individual courts (Supreme Court, Courts of Appeal, District Courts, Commercial C, c.a.) • National Judicial Conference/general assembly - 2. Government: 11 • Head of State/President: • Government/Minister of Justice: - 3. Parliament: 17 - 4. Public Prosecution’s Office: 6 - 5. Association of Judges: 1
Designating Institutions: 2 -
6. Unions (or other forms of staff representation): 1 7. Bar association: 3 8. Universities (Law faculties): 2 9. Investigators: 1 10. Ex officio: 10 - President - Minister of Justice - President/members of the Supreme Court - Council of State - A lot of combinations (especially government & Parliament designations)
194
Seminar on Comparative Models of Judicial Commissions: Peran Komisi Yudisial di Era Transisi Menuju Demokrasi
In a Chart 25 20 15 10
s
io of fic
Ex
s
at or tig
es In v
ion
Un ive
rs itie
ns
iat oc ss
f ju O n
rA Ba
es dg
ut io ec
Pr os
tio
so
cia
Un io
t
n
t
m en rlia
m en er
Go v
Pa Pu
bli c
As
Ju
dic
ia
lO rg an
isa
tio n
0
s
5
Appointment (vice)President - Ex officio: 10 - President of the Republic - Minister of Justice - President of the Supreme Court - By the Council: 9 - Otherwise: 5 - Roulating system - By the government
Seminar on Comparative Models of Judicial Commissions: Peran Komisi Yudisial di Era Transisi Menuju Demokrasi
195
In a Chart 10 9 8 7 6 5 4 3 2 1
th er O
ou nc il C th e
By
Ex
of fi c io
0
Research into Councils for the Judiciary - Comparative research project Ministry of Justice in the Netherlands 1998 - Advent of a Dutch Council for the Judiciary - Research project June 1999 for TAIEX (Phare project)
196
Seminar on Comparative Models of Judicial Commissions: Peran Komisi Yudisial di Era Transisi Menuju Demokrasi
Councils for the Judiciary - Central research questions Phare: - How is the legislative and constitutional relationship shaped in different EU countries between: • the Council for the Judiciary and the Minister of Justice (government) on the one hand, • and the judiciary on the other hand
- What can be learned from these foreign frameworks and experiences?
Influence of appointment systems - Advantageous influences: - Public trust in the judiciary clearly positively influenced - contributing to the Council’s authority - Transparancy and public accountability of the judiciary - ‘Democratic’ government of the judiciary (limited terms of office) - ‘Hygiene’
Seminar on Comparative Models of Judicial Commissions: Peran Komisi Yudisial di Era Transisi Menuju Demokrasi
197
Influence of appointment systems - Advantageous influences: - Support and legitimacy within the judiciary for career decisions c.a. • and public prosecutions office if represented
- Transparent trade-offs - Checks and balances (government parliament - juridiciary - the public c.a. but also within the judiciary)
- Disadvantageous influences: - Overdoing it: ‘Byzantine’ appointment systems (Spain) - Possible suspicion of ‘conspiracy of judges’ - Frequent need to rebalance the board (Fr. It) and recalibrate the appointment system - Constitutional rigidity prohibitive to reform - Politization or syndicalization of the system - Undue popular pressure - ‘Judicial market-day’ during elections - Career effects for appointed members
198
Seminar on Comparative Models of Judicial Commissions: Peran Komisi Yudisial di Era Transisi Menuju Demokrasi