Tiki’
Jaringan HAM Perempuan Papua (Papuan Women’s Human Rights Network) Sekretariat: Jl. Bosnik Blok D-61 Kamkey Abepura. Kelrhn.Awiyo. Distrik Abepura. Kota Jayapura-Papua. Kode Pos 99358
Hari Perempuan Internasional (International Women’s Day)
8 Maret 1857 – 8 Maret 2017 Tema: “Perempuan, bersatu menjaga kehidupan di Tanah Papua” Ditulis oleh: Fien Jarangga Koordinator Tiki’ Jaringan HAM Perempuan Papua. Pengantar Lahirnya pergerakan perempuan internasional, ditandai pada tanggal 8 Maret sebagai simbol dari kebebasan pikiran dan tindakan perempuan. Ketika pemikiran dan keseharian perempuan diminggirkan dalam masyarakat patriarkal, maka suara-suara yang terbungkam tersebut memberontak dan ingin didengarkan. Perjuangan ini merupakan peringatan atas memori kolektif yang menandai tanggal tersebut. Ratusan buruh perempuan terbunuh, ratusan pemikiran perempuan dimatikan demi kelanggengan dominasi kuasa patriarkal. Emansipasi gerakan perempuan dunia ini secara historis diawali oleh gerakan buruh perempuan Amerika Serikat yang menguat di penghujung abad ke 19. Dimana perempuan menuntut persamaan hak, kesetaraan gender, hak memilih dalam pemilu dan representasi politik perempuan di parlemen. Dalam konteks ideologis gerakan perempuan internasional 8 Maret ditujukan untuk melawan dominasi budaya, eksploitasi sistem kapitalisme dan proyek demokrasi liberal yang bias gender. Dalam konteks sosial, kapitalisme praktis telah melahirkan praktik pemiskinan, diskriminasi, eliminasi, dan memperkuat budaya politik patriarki yang secara sistematik memarjinalisasi posisi sosial dan peran politik perempuan. Sejarah Gerakan Perempuan Internasional. 8 Maret 1857, di kota New York, Amerika Serikat, ribuan buruh perempuan melakukan demonstrasi besar-besaran menuntut perbaikan kondisi kerja. Demonstrasi itu mendapat dukungan penuh kaum feminis dan sosialis dunia. Gugatan buruh perempuan New York itu mendorong aksi solidaritas yang lebih besar dan terorganisir dari kelompok aktivis serikat buruh dan organ-organ gerakan perempuan di Eropa dan AS. 8 Maret 1904, terbentuk International Women Suffrage Alliance yang menandai kian solid dan terorganisirnya gerakan perempuan di level global. Tahun 1907, di Stutgart Jerman, diselenggarakan konferensi pertama perempuan sosialis Internasional. Tahun 1908, di New York, AS, ribuan buruh perempuan kembali mengorganisasi demonstrasi yang menuntut perbaikan kesejahteraan dan kondisi kerja, hak pilih dan dipilih dalam pemilu serta menentang penggunaan pekerja anak. Berbagai sumber: International Journal, Komunitas Ungu. Tiki, Stop Sudah! 1963-2009.
Page 1
Tahun 1910, di Kota Kopenhagen, Denmark, diselenggarakan konferensi kedua perempuan sosialis sedunia. Clara Zetkin, aktivis perempuan dan tokoh gerakan sosialis Eropa, mengajukan gagasan strategis untuk mengadopsi model gerakan buruh perempuan progresif AS, menetapkan 8 Maret sebagai Hari Perempuan International, dan menuntut hak pilih untuk semua orang sebagai simbol perjuangan. Tahun 1911, Gagasan Clara Zetkin membuahkan hasil. Perayaan Hari Perempuan Internasional dimeriahkan oleh demonstrasi massa di berbagai negara. Pada 1914, di Jerman, ribuan perempuan melakukan pawai akbar menentang Perang Dunia I. Tahun 1917, revolusi Bolsevik pecah di Russia, Hari Perempuan Internasional dirayakan dengan parade puluhan ribu massa yang menuntut hak atas pangan bagi perempuan dan anak. Diabad ke 19 inilah merupakan periode penuh gejolak, yang marak protes, demonstrasi, dan pemogokan yang dimotori kaum buruh dan aktivis perempuan. Pada tahun 1975, PBB mulai mensponsori Hari Perempuan Internasional. Kebangkitan Gerakan Perempuan di Indonesia. Di Indonesia, kebangkitan nasional dan revolusi fisik, telah menjadi titik gerakan berbagai organisasi perempuan, yang kemudian menyatu dalam Kongres Wanita Indonesia (Kowani), telah memberikan kontribusi besar dalam perjuangan kemerdekaan bangsa Indonesia. Saat itu, isu utama gerakan kebangsaan Indonesia adalah perjuangan fisik mengusir penjajah. Organisasi perempuan ini kemudian mendapat tempat terhormat dalam kancah revolusi nasional. Di era Presiden Soekarno, sangat mendukung organ-organ gerakan perempuan progresif dan nasionalis karena partisipasi dan peran politik perempuan, mengangkat dan menepatkan sejumlah tokoh perempuan ke berbagai jabatan politik dan pemerintahan, dan menjadikan 8 Maret sebagai Hari Perempuan Internasional, disamping ada Hari Ibu yang dirayakan secara nasional setiap 22 Desember. Pasang surut gerakan organ-organ perempuan Indonesia, dipengaruhi juga oleh dinaika perpolitikan dan kepemimpinan nasional yang berlangsung. Di masa pemerintahan Soeharto, dengan sebutan rezim Orde Baru membangun 2iker2 politik korporatik yang sentralistik dan antidemokrasi. Berbagai organisasi perempuan yang bervisi progresif dibubarkan, melarang 8 Maret diperingati sebagai Hari Perempuan Internasional, dan melakukan ‘sterilisasi’ sistematis atas peran politik perempuan. Namun memasuki era reformasi 1998, kesetaraan gender kembali mendapat tempat dalam kebijakan, Berbagai produk perundangan pro-perempuan dibuat, Negara berkewajiban mewujudkan regulasi Penghapusan Diskriminasi terhadap Perempuan (UU No 7 Tahun 1984), Pengarusutamaan Gender dalam Pembangunan Nasional (Inpres No 9 Tahun 2000), Pemenuhan Kuota Perempuan dalam Partai Politik (UU No 31 Tahun 2002), dan Penghapusan Kekerasan Dalam Rumah Tangga (UU No 23 Tahun 2004). Sangat disadari oleh gerakan perempuan bahwa implementasi atas peran, posisi, dan tanggung jawab perempuan kerap terbentur pada tata nilai dan tradisi mayoritas yang bias gender. Pandangan Patriarki, Politik Domestifikasi, dan Praktik Antipartisipasi Perempuan hingga kini masih begitu kuat mewarnai cara pikir masyarakat dan perilaku para elite di negara ini. Berbagai sumber: International Journal, Komunitas Ungu. Tiki, Stop Sudah! 1963-2009.
Page 2
Tunas Gerakan Perempuan Papua dalam Situasi Konflik1 Pasang surutnya konflik di Tanah Papua berdampak langsung pada orang asli Papua, tidak terkecuali kaum Perempuan. Pengalaman kekerasan yang mendera kaum ini menempa mereka untuk semakin jernih memahami persoalan yang dialami, dan semakin kuat untuk dapat bertahan hidup dalam kondisi yang serba tidak menentu. Pada akhir abad ke 19, pihak Zendeling Gereja (UZV, ZNHK di Belanda) mendorong pendidikan sebagai upaya perubahan peradaban bagi anak-anak Papua yang dimotori oleh isteri-isteri guru. Awal abad ke-20, sekolah-sekolah formal bagi anak-anak perempuan dibuka, seperti JVVS (Jongen Vervolg School/Sekolah untuk Anak lakilaki) dan MVVS (Meisjes Vervolg School/Sekolah Gadis), Tahun 1952, Zending Schollen atau Sekolah Rakyat didirikan untuk pendidikan anakanak di kampung, sementara di ibu kota pemerintahan, didirikan Lagere School B untuk anak-anak pejabat birokrasi pemerintahan kolonial Belanda. Sekolah Opleiding Doorps Onderwijzers (Sekolah Guru ODO). Tujuan pendirian sekolah-sekolah ini adalah untuk memutuskan belenggu adat dan budaya yang menghambat kemajuan, termasuk bagi para gadis-gadis Papua. Tahun 1962, Yayasan Pendidikan Kristen (YPK) didirikan untuk menggantikan Zending Schollen sampai saat ini. Namun, memasuki masa peralihan pemerintahan Belanda kepada UNTEA PBB pada tahun 1962, sekolah-sekolah kejuruan negeri untuk perempuan ditutup. Kemudian Gereja Katolik dan Gereja Protestan (GKI) dan beberapa gereja Kristen lainnya mulai mempelopori pembangunan pendidikan di seluruh wilayah Papua, mulai memprakarsai pendidikan non formal bagi kaum perempuan asli Papua. Pada tanggal 2 April 1962, Gereja Kristen Injili (GKI) di Irian Barat (sekarang GKI di Tanah Papua), mendirikan Pusat Pendidikan Sosial (PPS), sekarang menjadi Pusat Pembinaan dan Pengembangan Wanita atau P3W2 di Padang Bulan Abepura. Pusat pembinaan ini bertujuan meningkatkan ketrampilan hidup dan kemampuan untuk melatih perempuan lainnya di kampung. Pada pembukaan PPS, Ketua Sinode GKI pribumi pertama, Ds. FJS Rumainum, menyatakan, ”Celakalah suatu bangsa jika kaum laki-lakinya maju, tetapi kaum perempuan tidak ikut dalam perubahan zaman.” Tahun 1970-an Gereja Katolik, diprakarsai oleh Delegatus atau Seksi Sosial (Delsos) Keuskupan Jayapura, mendirikan Sanggar Kegiatan Belajar (SKB), satu pusat pendidikan bagi perempuan calon pendidik masyarakat kampung, di Enarotali. Murid SKB adalah anak-anak gadis gereja Katolik. Demikian pula, Gereja Kemah Injil Masehi Indonesia (Kingmi) juga mulai memberikan pendidikan informal bagi gadis-gadis di sejumlah kampung di berbagai wilayah di Papua.
1
Laporan Pendokumentasian Stop Sudah! Keksaksian Perempuan Papua Korban Kekerasan dan Pelanggaran HAM, 1963 – 2009. 2 Sebagian alumni P3W menjadi pemimpin masyarakat, isteri pejabat, dll., seperti Orpa Yohame dari AnggrukYahukimo yang menjadi anggota Kelompok Kerja (Pokja) Perempuan Majelis Rakyat Papua, Yultje Wenda, istri Lukas Enembe, Bupati Puncak Jaya; dan Dorothea Merabano, istri Philipus Tegay yang Kepala SD YPK Mamda, Kemtuk. Wawancara dengan Pdt. Mesach Koibur (Ketua Sinode Gereja Kristen Injili/GKI di Irian Jaya ke-IV) pada 11 Maret 2010. Berbagai sumber: International Journal, Komunitas Ungu. Tiki, Stop Sudah! 1963-2009.
Page 3
Tahun 1980-an, sejumlah perempuan Papua mulai memelopori gerakan pemberdayaan dan penyadaran perempuan agar kritis terhadap situasi sosial seharihari. Dilingkungan perempuan gereja dipimpin oleh Johana Regina Rumadas (alm), Beatrik Rumbino dan kawan-kawan; dilingkungan politik dipimpin oleh Dorkas Hanasbey (alm), Elsye Ayamiseba (alm), Greet Jolmend (alm) dan kawan-kawan berperan aktif dalam ruang-ruang politik di Tanah Papua; kemudian perempuanperempuan tadi mengajak sekolompok perempuan muda membentuk Kelompok Kerja Wanita (KKW) pada 10 November 1983 dengan misi pemberdayaan perempuan mulai dari kampung. Isu pertama KKW saat itu adalah mengangkat persoalan dalam masyarakat Papua, perbedaan pandangan laki-laki dan perempuan tentang mas kawin. Tahun 1985, Mientje D. Roembiak, diutus oleh Yayasan Pemberdayaan Masyarakat Desa (YPMD), menghadiri Konferensi Perempuan Dunia di Nairobi. Mulai aktif menyuarakan persoalan perempuan dilingkungan universitas. Program penguatan perempuan di bidang ekonomi dan teknologi, sekaligus membangun kesadaran kritis tentang situasi sosial sekitar. Ditahun itu juga perhatian sejumlah perempuan papua mulai mempercakapkan persoalan kekerasan terhadap perempuan dan pelanggaran HAM perempuan karena saat itu belum menjadi masalah utama perjuangan perempuan Papua. Di-era inilah tema-tema perempuan dalam pembangunan mulai mendominasi pembicaraan umum. Tahun 1997, penghujung rezim Orde Baru, sejumlah lembaga swadaya masyarakat (LSM) perempuan dan aktivis perempuan bergabung dalam Jaringan Kesehatan Perempuan di Indonesia Timur (JKPIT) untuk wilayah Papua. JKPIT mencoba menghubungkan persoalan kesehatan perempuan Papua dengan persoalan pelanggaran HAM, khususnya isu kekerasan terhadap perempuan. Para perempuan mulai membangun jaringan dengan perempuan di kampung-kampung di beberapa wilayah yang pada waktu itu gencar membicarakan persoalan-persoalan lingkungan, seperti kerusakan lingkungan yang dilakukan oleh PT Freeport di Tembagapura Tiimika, perkebunan kelapa sawit di Arso, dan penebangan kayu di Merauke. Kebangkitan Perempuan Papua Tahun 1998, gelombang reformasi di Indonesia mendorong munculnya gerakan dan suara perempuan dari Sorong hingga Merauke bangkit dan bergerak di berbagai lini kehidupan, menyoal kekerasan dan pelanggaran HAM terhadap kaumnya yang selama kurang lebih 40 tahun diam dalam kebisuan yang panjang, Gerakan masyarakat (civil society), khususnya gerakan perempuan, dan melahirkan aktivisaktivis perempuan yang berdiri di garis depan dalam perjuangan mengatasi masalahmasalah kekerasan dan pelanggaran HAM perempuan. Tahun 1999, sejumlah perempuan Papua menyuarakan hak-hak perempuan Papua, antara lain, Beatrix Rumbino Koibur, Yosepha Alomang, Alama Mampioper, Ferdinanda Ibo Yatipai, Yusan Yeblo, Yesi Samkakai, Helena Matuan, Anike Sabami, Amelia Jigibalon, Katharina Yabansabra, Abina Wasanggai, memperjuangkan keterlibatan perempuan dalam Musyawarah Besar Masyarakat Adat Papua. Tahun 2000, para perempuan ini menghasilkan Pilar Perempuan dalam Dewan Adat Papua, sebuah organisasi perwakilan tokoh-tokoh adat Papua, dan berhasil menjadi peserta Kongres Papua II tahun 2000 yang saat itu sangat didominasi oleh laki-laki. Berbagai sumber: International Journal, Komunitas Ungu. Tiki, Stop Sudah! 1963-2009.
Page 4
Tahun 2001, Pilar Perempuan kemudian melebur menjadi Solidaritas Perempuan Papua (SPP) yang ditetapkan dalam Konferensi Perempuan Papua I di Jayapura, dan memilih ketua umumnya Beatrix Rumbino dan Greet Jolman sebagai Sekretaris Umum. Tema Konferensi Perempuan Papua I “Derap-Derap Langkah Perempuan Papua” dan sub tema: Jangan Lagi Bunuh Anak-Anak Papua di Tanah Papua. diselenggarakan dengan tujuan untuk mempersatukan perempuan Papua dalam satu organisasi serta menyuarakan hak-hak dasar perempuan asli Papua. Sebagian dari perempuan pemimpin ini terlibat dalam negosiasi Tim 100 yang membuka dialog dengan Presiden B. J. Habibie, antara lain: Mama Beatrix Rumbino-Koibur, Ferdinanda Yatipai-Ibo, Theresia Samkakai, Kathrina Yabansabra, Yosepha Alomang, Marike Rumbiak, dan Maria Korano. Tahun 2004, lahirlah satu media perempuan Tabloid Suara Perempuan Papua di Jayapura. Sebagai media yang menyuarakan persoalan perempuan termasuk persoalan diskriminasi dalam adat dan politik. Pengesahan Undang-Undang No. 21 Tahun 2001, bersama dengan pengungkapan hak-hak perempuan Papua dan pembentukan Kelompok Kerja Perempuan (Pokja) dalam lembaga MRP, Tahun 2006, SPP menggelar konferensi II Perempuan Papua, yang mengeluarkan deklarasi sbb:
Banyak kasus pelanggaran HAM yang terjadi di berbagai daerah di Tanah Papua sejak tahun 1963 sampai dengan sekarang… menyisakan trauma dan penderitaan yang mendalam bagi kami mama-mama Papua karena kami harus menyaksikan anak-anak kami menjadi korban intimidasi, pemerkosaan, dan pembunuhan. Perempuan Papua menyadari bahwa suara mereka telah lama diabaikan . . . Suara kami kiranya bergema di seantero jagad untuk didengar .3 Kemajuan ini menggambarkan bahwa capaian gerakan perempuan Papua, dalam situasi konteks konflik politik dan eksploitasi sumber daya alam, maupun dalam rumah tangga, telah diperjuangkan sejak lama. Setiap perempuan Papua, dan organisasi-organisasi representatif perempuan, memikul sebuah beban moral dan politik mengatasi berbagai persoalan yang melanda tanah Papua, dan sekaligus mengedepankan hak-hak perempuan Papua demi sebuah masa depan yang adil dan damai. Refleksi 8 Maret hari Perempuan Internasional dalam konteks Papua. Diakui sebagai tonggak sejarah pergerakan perempuan internasional, yang kemudian merambah keseluruh dunia diprakarsai kaum buruh perempuan di New York pada tanggal 8 Maret 1857 dan dilanjutkan pada tanggal 8 Maret 1908, dimana 15 ribu 3
Hasil Konferensi II Perempuan Papua menuntut enam hal: 1) konflik di Tanah Papua diselesaikan melalui proses dialog yang damai, adil, dan demokratis; 2) kasus pelanggaran HAM diselesaikan secara tuntas melalui proses peradilan; 3) perempuan Papua memiliki hak politik untuk menduduki jabatan di legislatif, eksekutif, dan yudikatif; 4) penyiapan generasi muda dan perlindungan hak-hak dasar kesehatan, pendidikan, ekonomi, dan kesejahteraan sosial; 5) solidaritas perempuan untuk penghentian kekerasan terhadap perempuan dan anak-anak; dan 6) Dewan HAM PBB mengirim pelapor khusus untuk melihat masalah pelanggaran HAM di Tanah Papua. (Laporan Hasil Perencanaan Strategis 2006-2011, Solidaritas Perempuan Papua).
Berbagai sumber: International Journal, Komunitas Ungu. Tiki, Stop Sudah! 1963-2009.
Page 5
perempuan turun ke jalan dengan menyerukan slogan “Roti dan Bunga” sebagai simbol jaminan ekonomi (roti) dan kesejahteraan hidup (bunga). Dan pada tahun 1910 di Kopenhagen, simbol hari perempuan tersebut dibawa oleh tokoh feminis sosialis Jerman, Clara Zetkin, untuk dijadikan tonggak peringatan hari perempuan internasional. Deklarasi ratusan perempuan pada saat itulah yang menandakan Peringatan Hari Perempuan Internasional (International Women’s Day). Pemaknaan peringatan hari ini adalah bahwa ribuan korban atas perjuangan tersebut harus dibayar dengan sebuah revolusi pemikiran perempuan. Inilah perbedaan pemaknaan revolusi perempuan. Bukan darah yang diminta, melainkan sebuah ruang bagi perempuan untuk berpikir, menulis, dan bertindak demi orang banyak. Pengalaman perempuan harus masuk dalam setiap perjuangannya. Perbedaan pengalaman tersebutlah yang menjadi kekuatan dalam melawan ide kekuasaan patriarkal. Apabila kita hanya menjadikan ini sebagai sebuah peringatan atas tanggal, maka perjuangan kita pun hanyalah atribut semata yang akan semakin dirancukan oleh jaring laba-laba patriarkal. Maka, sudah saatnya kita membunuh laba-laba tersebut lewat segala tindakan dan pikiran keseharian kita. Pemberontakan dalam diri kita akan menjadi pengaruh besar bagi pemberontakan sekitar kita. Semangat 8 Maret ini adalah pemicu dan menjadi tonggak memori bagi perjuangan. Momentum perayaan 8 Maret 2017, diperhadapkan pada kesedihan perempuanperempuan Papua, karena berbagai tindakan yang mengorbankan perempuan dan anak sekaligus keluarga-keluarga. Situasi Pilkada 2017, di Kabupaten Tolikara yang menyisihkan kebencian antar sesama suku dimana kau perempuan harus berhati-hati pergi ke kebun mencari ubi-ubian dan kayu bakar; kemudian para pekerja perempuan di tambang terbesar ke 2 di dunia, Freeport. Para pekerja perempuan yang bertindak sebagai pencari nafkah buat keluarga harus dirumahkan karena Kebijakan Pemerintah dengan plin-plannya penerapkan UU No 4 Tahun 2009 tentang MINERBA (UU Mineral dan Pertambangan) dan keinginan negara menguasai saham perusahaan 51 %. Penerapan undang-undang ini tidak disertai penyiapan-penyiapan infrastruktur yang maksimal termasuk manusia sebagai sumber daya tenaga kerja. Saat ini pekerja perempuan harus menerima Pemutusan Kerja dengan perusahaan. Beban-beban keluarga bertambah, penafkahan bagi keluarga dan biaya pendidikan anak dan kesehatan bagi keluarga menjadi kondisi yang memberatkan perempuan pekerja di perusahaan ini. Pertanyaan yang patut direnungkan oleh setiap kita perempuan: Apakah kita akan selalu merayakan hari-hari penting ini dengan sekedar euforia berbentuk aksi sehari dan melupakan pemaknaan yang ada? Apakah gerakan perempuan Papua, bisa juga disebut sebagai fenomena revolusi perempuan Papua “sagu dan ikan” atau “pinang dan sirih” seperti buruh/pekerja perempuan Amerika yang kuat berjuang menantang Kebijakan Pemerintah, dengan simbol perlawanan “roti dan bunga”? Semangat menghidupkan perjuangan kemanusiaan, ibarat kupu-kupu, satu kepakan sayap memang tidak akan berpengaruh banyak, tetapi ribuan kepakan sayap kupukupu akan mempengaruhi hasrat dan perjuangan revolusi perempuan.
Berbagai sumber: International Journal, Komunitas Ungu. Tiki, Stop Sudah! 1963-2009.
Page 6
Pemikiran revolusioner bagi gerakan perempuan masa depan, Yang pertama, political will pemerintah untuk memperbesar partisipasi dan keterwakilan politik perempuan dalam berbagai sektor kehidupan publik, terutama melalui reformasi tata nilai sosial dan sistem budaya yang berwatak antiperempuan. Yang kedua, kebijakan strategis untuk mengeluarkan perempuan dari situasi kemiskinan, eksploitasi, diskriminasi, dan berbagai bentuk tindak kekerasan yang berakibatkan pelanggaran HAM, termasuk perluasan akses dan efektifitas penggunaan sumber daya ekonomi dan politik negara yang pro-perempuan. Yang ketiga, menghapus pandangan stereotip di level elite dan mayoritas masyarakat kita yang hingga kini masih memaknai peran dan fungsi perempuan sebatas urusan domestik (reproduktif), termasuk mendorong kebijakan pembangunan atas hak konstitusional perempuan [pemulihan, pemenuhan dan kemandirian], yang responsif gender.
Berbagai sumber: International Journal, Komunitas Ungu. Tiki, Stop Sudah! 1963-2009.
Page 7