Theresia Roelen
Tulalit Karena Hidup nggak selalu bisa dipahami
Theresia Roelen
Tulalit Ketika hidup nggak selalu bisa dipahami Written by: Theresia Roelen Copyright © 2016 by Theresia Roelen
Publisher Nulis Buku E-mail:
[email protected] Twitter: @nonieroelen Desain Sampul: Ayudya Ariana
Tulalit│2
Theresia Roelen
I’m so thankful that my first humor novel is finally published. I’m giving the credits to: 1. Jesus Christ, my savior and my God. Thanks for granting me the talent and thanks for leading my pathways. You’re my all in all. Glory and honor be to You alone. 2. My beloved family: Spouse, son and parents. Thanks for your constant prayers. Especially for Nathan, my one and only son. I’m so honored because he likes all my stories. Khususnya untuk novel Tulalit ini, dia bisa geli sendiri waktu bacanya. Padahal dia sempet meragukan kelucuan Maminya. Hahahahah… 3. My partner in crime, my biggest fan, Eunike Natalia atau panggilan kerennya “Aboy”, yang dengan rela udah baca dan kasih masukan untuk novel ini. Thanks ya Boy. Juga buat Anita “Mabel” yang udah kasih masukan untuk novel ini. Dan yang pasti to all Boyden crew. 4. Temen-temen dan editor di Storial. I’m so blessed dengan adanya wadah ini yang berjasa banget untuk menampung karya-karya kami sebagai penulis. Dan yang pasti thanks buat yang udah baca dan “like” novel saya di StorialCo. Thanks juga untuk tim di Nulis Buku.
Tulalit │3
Theresia Roelen
5. Ayudya Ariana, temen baru yang dipertemukan di Storial. Seneng banget bisa kenal kamu, Yu. Kamu asyik geboy deh. Thanks udah nge-desain cover dan layout, yah. Thanks juga untuk Reza Reinaldo, temen dan adik baru yang juga dipertemukan di Storial. Makasih buat feedback dan apresiasi kamu yang membangun. 6. Temen-temen di WA group Storial yang juga udah kasih masukan membangun. Thanks guys! I’m glad to know you all…. 7. To all my friends who believe in me and support me. Your supports mean a lot to me. 8. My elder cousin Liberthie Bernadette. You’ve got the talent, too. I like your writings. Let’s join me in the community! 9. Melinda. I’ll never forget what you have said about the oasis in the desert. It motivates me to explore the desert and to think outside the box to find my treasure. 10. The readers of course… Enjoy the book! But God chose the foolish things of the world to shame the wise; God chose the weak things of the world to shame the strong (The book of Corinthians) Theresia Roelen
Tulalit│4
Theresia Roelen
“Ceritanya dibungkus dengan komedi. Singkat dan jelas. Sarat akan komedi-komedi ringan. Latar belakang persahabatan dan masa sekolah yang membawa kesan muda kembali saat membacanya, dan dapat memunculkan memori lama yang dulu pernah pembaca alami semasa SMA (membuat pembaca bernostalgia). Bisa menjadi bacaan ringan kala bersantai atau teman bacaan saat di perjalanan dengan kemacetan ibukota sehingga meluruhkan unmood akibat macet. Cerita yang disampaikan jelas sesuai dengan judulnya, setting alur dan karakter tokoh disampaikan melalui dialog antar tokoh dan pemikiran tokoh” -Kia. F, Storialist “Di luar konflik dan segala teknis untuk syarat sebuah tulisan, ini cerita paling ringan tapi gak terlihat ringan yang pernah aku baca di Storial. Mengingatkan aku sama novel Flipped!” -Reza Reinaldo, Storialist
Tulalit │5
Theresia Roelen
Ada sebuah saying yang berkata gini:”Life can only be understood backwards but has to be lived forward.” Hidup ini emang kadang sulit untuk dipahami apalagi waktu kita ngalamin situasi yang sulit. Kita sering bertanya sama rumput yang bergoyang (ya ampun hopeless amat sih) kenapa kita harus ngalamin hal-hal yang nggak enak. Tapi justru di situlah kenikmatan hidup. Ibarat makan pake sambal, kan jadi nikmat tuh. Coba kalo plain atau hambar kan malah nggak enak. Jadi, hidup itu biar seru emang harus ada naik-turunnya. Emang sih waktu kita ngalamin susah rasanya sulit banget untuk bisa ngerti maksud Tuhan di balik semuanya, tapi waktu masalah itu udah berlalu, udah selesai, kita baru bisa ngerti kenapa Tuhan ijinkan semuanya terjadi. So … waktu hidup kita lagi nggak asyik, lagi banyak nangisnya kayak film India, jangan cepet-cepet cari tiang ups… salah, ambil tali buat gantung diri di pohon toge ya. Jangan juga terlalu lama baper yang bikin kita nggak bisa move on. Tapi lebih baik kita berdiam diri untuk cari kehendak Tuhan dan ikutin aja arusnya. Setiap awal ada
Tulalit│6
Theresia Roelen
akhir kok. Nggak mungkin kita sedih terus. Ada saatnya badai itu pun berlalu. Kalo badai masalah udah berlalu kita harus ambil hikmahnya supaya hidup kita bisa jadi lebih baik. Sama aja kayak orang kuliah, jurusan apapun yang penting ambil hikmahnya. Wkwkwkwkwk. Susah seneng yang penting hepiiii. Setuju?!!! A happy heart is better than a full purse (An Italian Proverb)
Tulalit │7
Theresia Roelen
SIAPA yang nggak kenal Ario Laksana? Semua orang di sekolah dan kompleks perumahan tau siapa Ario. Ketenarannya bikin orang iri. Gimana nggak bikin iri coba. Cakep juga nggak. Tinggi juga nggak. Jago basket juga nggak. Jago musik juga nggak. Terus kenapa Ario tenarnya bisa ngalahin yang jago basket atau jago musik? Ario bisa beken dan jadi bahan pembicaraan orang karena dia itu tulalit. Kalo menurut orangtuanya dan temen-temen yang pernah sekelas dengannya, dulu Ario tuh nggak begitu. Dia termasuk anak yang cerdas. Hanya aja waktu dia kelas 9, dia pernah kesambit bola basket sampe pingsan. Dia ngalamin gegar otak yang berakibat pada ketergangguan pada fungsi otaknya. Nah, dari situlah Ario mulai suka tulalit. Semua guru dan temen-temennya di sekolah bingung kenapa Ario suka telat masuk kelas. Padahal semua orang tau sopirnya yang setia udah nganter dia sampai depan gerbang sekolah itu pukul enam lebih lima belas menit. Ario itu datengnya barengan sama Satpam sekolah yang tugasnya buka pintu gerbang sekolah. “Yo, lu kenapa sih kalo ke sekolah datengnya pagi bener?” tanya Surya, sahabatnya. Meskipun dia itu sahabat yang berusaha untuk ngertiin dirinya, tapi Ario
Tulalit│8
Theresia Roelen
selalu punya surprise yang sering bikin orang nggak habis pikir. “Biar gue kagak telat masuk kelas, Sur,” jawab Ario ringan. “Lah … lu dateng jam tujuh kurang sepuluh aja lu nggak bakalan telat, Yo. Lu lari ke kelas terus balik ke lapangan aja nggak makan waktu lima menit,” kata Surya. Ario diam aja karena waktu itu dia lagi sakit gigi jadi males ngomong dan Surya pun lagi nggak ingin berdebat. Capek karena ujung-ujungnya toh Surya yang harus ngalah. Ibunya selalu bilang,” Wis tho Sur, sing waras ngalah.” Pada suatu pagi, seperti biasa Ario diantar sopirnya, Pak Yayat, pukul enam lebih lima belas menit. Hari itu dia bahkan datang lebih pagi dari Satpam sekolah. Si Pak Satpam sampe nggak enak hati sama Ario. “Maap, Yo, Bapak telat lima menit hari ini,” kata Pak Soleh, Satpam sekolah yang sudah lanjut usia itu. “Nggak apa-apa, Pak Soleh,” kata Ario santai. Pak Soleh membuka pintu gerbang sekolah dan Ario pun melangkah masuk. Ario melangkahkan kakinya kemudian ia membalikkan badannya yang gempal itu. “Pak Soleh, kelas 12B di sebelah mana ya?” tanya Ario. “Maksudnya, Yo?” tanya Pak Soleh bingung. “Maksud saya kelas 12B letaknya di mana,” kata Ario. “Loh, bukannya kamu setiap hari ke sana. Kamu kan…anak kelas 12B, Yo.” Pak Soleh garuk-garuk kepala. Kemaren Ario juga udah nanya Pak Soleh letak kelas 12B. “Iya Pak Soleh, saya tahu. Saya cuma mau memastikan aja biar nggak nyasar. Saya cuma takut telat
Tulalit │9
Theresia Roelen
aja masuk ke kelas,” kata Ario masih dengan sikap santainya. Pak Soleh cuma bisa bengong menatap Ario sementara anak itu juga bingung kenapa Pak Soleh menatapnya seperti itu. “Yo … kowe waras ora?” tanya Pak Soleh. *** Siang itu sehabis pulang sekolah dan maen basket, Ario dan Surya pulang bareng. Meskipun dulu kepala Ario pernah kesambit bola basket, dia nggak lantas kapok. Tapi karena tubuhnya yang gempal dan kurang lincah jadi Ario nggak pernah kebagian bola untuk dimasukkan ke ring. Walaupun begitu Ario tetep seneng. Yang penting dia bisa lari-lari ngitarin lapangan basket sekalian bakar kalori. “Yo, lu laper nggak?” tanya Surya. Sahabat sehidup semati Ario ini punya wajah lumayan ganteng meskipun nggak seganteng Lee Min Ho, artis Korea itu. Tapi paling nggak badannya tinggi dan atletis karena dia suka maen basket. “Laperlah, Sur. Udah siang kan sekarang. Udah waktunya makan.” “Lu nggak dijemput kan hari ini? Makan gado-gado dulu yuk, Yo. Abis itu lu gue anterin pulang," ajak Surya. “Ayo.” Ario nggak pernah nolak kalo diajak makan. Apalagi kalo pake kabel alias kagak beli. Tapi kalo sama Surya sih nggak ada istilah 'kabel' buat Ario soalnya duit Surya juga pas-pasan. Yang ada malahan Surya suka numpang makan di rumah Ario. Gado-gado Mak Ratih terkenal enak di sekitar kompleks sekolah itu. Bahkan sekarang pembelinya Tulalit│10
Theresia Roelen
dateng dari mana-mana. Mereka pada tau soalnya gadogado ini pernah diliput stasiun tivi. Mak Ratih mangkal di ujung jalan dan udah berjualan di situ selama puluhan tahun. “Mak, gado-gado pedes pake lontong ya,” kata Surya. “Berape cabenye?” tanya Mak Ratih dengan logat Betawinya yang khas. Suaranya cempreng mirip Mpok Nori. “Lima deh, Mak,” jawab Surya. “Banyak amat. Cabe lagi mahal. Tiga aje ye,” kata Mak Ratih. “Yee…Emak, tiga setengah deh,” kata Surya. Loh kok jadi nawar sih. “Ya udeh Emak kasih tiga setengah. Besok-besok kalo mau pake cabe banyakan bawa sendiri aje dari rumah ye cabenye. Lagi mahal ini cabe, sekilo udeh seratus rebu,” kata Mak Ratih sambil ngulek dan terus ngoceh-ngoceh soal cabe. Mulai dari yang keriting sampe yang lurus. Ya ampun si Mak Ratih ini, mentang-mentang gadogadonya udah laku dan terkenal, dia jadi ngatur yang beli. Inget Mak, pembeli adalah raja. Sementara itu Ario masih berdiri mematung nggak jelas dan ngalangin jalan karena badan tambunnya. “Yo, lu mau makan nggak?” tanya Surya yang lamalama gerah juga ngeliat temennya cuma berdiri kayak traktor mogok di tengah jalan. “Iya bentar gue lagi mikir.” Surya mengangkat bahunya sambil berkata dalam hati,” Mau mesen gado-gado aja lama banget mikirnya gimana kalo lagi mau nembak cewek. Bisa-bisa tujuh hari tujuh malem dia cuma ngejogrok kayak monumen sambil
Tulalit │11
Theresia Roelen
ngeliatin cewek yang mau ditembak. Hihihi ... terus apa kabar tuh cewek yang bakalan ditembak si Ario ya?" “Mak, Mak, ada soto ayam?” tanya Ario polos pada akhirnya, dengan muka tanpa dosanya yang sering bikin orang kasihan ngeliatnya. Tapi seringkali juga si Ario ini bikin orang geregetan dan gemes karena ketulalitannya itu. Mak Ratih yang lagi ngulek bumbu sambil ngoceh dan sampe keselek. Surya juga sampe ngumpet di balik gerobak dengar pertanyaan Ario barusan. Malu diliatin sama orang-orang di situ. “Heh Tong, dari dulu Emak jualannye gado-gado. Kagak pernah jualan soto ayam. Emangnye situ kagak bisa baca tulisan di gerobak Emak ape? Noh bacaannya 'Sedia Gado-gado'," kata Mak Ratih sewot gara-gara keselek tadi. Abis Mak Ratih kalo lagi ngulek sambil ngoceh sih mulai dari harga cabe keriting, cabe bonding, cabe smoothing sampe masalah politik. Gitu-gitu Mak Ratih melek politik loh. Jangan heran kalo suatu saat nanti dia bakalan jadi anggota DPR mewakili para tukang gadogado. “Arioooo! Sumpah deh lu sih tulalitnya keterlaluan banget!” kata Surya gemas sambil narik lengan Ario untuk menjauh dari gerobak dan tatapan orang-orang di situ. “Loh Sur, nanya kan boleh. Emangnya ada larangan nanya gitu?” Ario balik bertanya. “Ya emang nggak ada larangan buat nanya. Tapi ya lu mikir juga dong, Ario Laksana Bulan Purnama. Udah jelasjelas selama puluhan tahun Mak Ratih itu cuma jualan gado-gado, lah kenapa lu nanya ada soto ayam atau nggak. Aduuhh … please deh Yo.”
Tulalit│12
Theresia Roelen
“Sur, Sur, gue rasa lu yang tulalit deh. Gue kan hanya mastiin aja kalo Mak Ratih itu nggak hanya jualan gadogado doang. Siapa tau sekarang dia udah diversifikasi produk. Nggak salah kan gue?” tanya Ario dengan nada agak tinggi. Dia kesel juga dibilang tulalit sama Surya tadi. Asal tau aja ya, meskipun Ario tulalit, tapi dia ini punya kosa kata yang banyak. Rupanya sisa-sisa kejeniusannya dulu masih ada yang nyangkut di otaknya. Mendengar nada suara Ario meninggi, yang sebenarnya jarang banget dia bisa kayak gitu, Surya memilih diam dan mengalah. Mak Ratih pun melanjutkan nguleknya meskipun masih rada mangkel sama Ario garagara keselek. Ario pun memilih pulang daripada makan. Lagian kan Mak Ratih nggak jual soto ayam. “Yo! Yo! Lu mau kemana?” tanya Surya. “Ngukur jalan!” jawab Ario ketus. “Ngukur jalan gimana, Yo?” tanya Surya. “Nah, nah, sekarang gue mau tanya sama lu. Siapa yang tulalit? Lu atau gue? Masak ngukur jalan aja nggak ngerti. Apa harus gue jelasin!" kata Ario. Lalu dia pergi ninggalin Surya yang masih bengong menatap kepergiannya. ***
Surya bengang-bengong aja di meja makan. Dia nggak menyentuh makan malamnya. Ibu bingung. Tumben anaknya nggak menyentuh makanan kesukaannya. Dan kalau dilihat dari wajahnya, Surya kelihatan sedih. Ibu mikir jangan-jangan Surya baru putus sama pacarnya. Tapi ibu meralat pikirannya sendiri. Setau ibu, Surya kan Tulalit │13
Theresia Roelen
belom punya pacar. Gimana mau punya pacar coba kalau setiap hari maennya sama Ario melulu. Ibu sebenernya agak cemas juga. Tapi kemudian dia maklum. Surya dan Ario emang bersahabat dekat sejak TK. Apalagi ibu juga tau apa yang pernah menimpa Ario. Jadi Ibu nggak pernah ngelarang kedekatan Surya dan Ario. Selama semuanya masih dalam batas yang wajar aja. “Kenapa, Sur? Sakit atau sedih?” tanya ibu. Pertanyaan ibu selalu padat dan jelas kayak bagian administrasi sekolah lagi nagih SPP. Nggak pernah pake basa-basi. Dan ibu selalu memberi pilihan jawaban. “Sedih, Bu.” “Sedih kenapa?” tanya ibu lagi. “Aku udah ngomong yang nggak enak ke Ario tadi siang. Dia pasti kesel deh. Tadi dia bilang mau ngukur jalanan waktu aku tanya dia mau ke mana. Tapi aku yakin dia pasti pulang ke rumah jalan kaki." “Hah? Jalan kaki? Sur, kamu yakin dia tau jalan?” Surya menepuk dahinya. “Ya ampun Bu bener juga. Dia kan nggak tau jalan pulang.” “Gih telpon ke rumahnya, jangan-jangan dia belom pulang ke rumah,” kata ibu ikutan cemas sampe sakit perut. Ibu mah kebiasaan kalo tegang suka sakit perut malahan dia bisa sakit perut meskipun yang tegang orang laen. Kata ibu itu namanya toleransi. Ikut ngerasain penderitaan orang. Pernah juga suatu kali ibu yang kentut-kentut padahal Surya yang masuk angin atau nggak ibu suka bersendawa sendiri kalo ngeliat porsi makannya Ario.
Tulalit│14
Theresia Roelen
Surya buru-buru lari ke meja telepon. Dia menekan nomor telepon rumah Ario untuk memastikan bahwa anak itu udah sampe di rumah. “Halo,” sapa Surya. Diem. Nggak ada jawaban di seberang sana. “Halo, halo, siapa sih nih? Nelepon kok nggak ada suaranya.” Surya berusaha sabar. Dia tau yang jawab teleponnya itu Mbok Yem, pembantu di rumah Ario yang udah tua dan agak tuli. “Halo!” teriak Surya. “Nah, gitu dong. Dari tadi di halo-halo nggak ada suara. Mau cari siapa?” tanya Mbok Yem. Buseett deh Mbok Yem nanyanya kayak tukang parkir nagih duit parkir tapi dikasihnya pake duit cepekceng terus minta kembalian. “Mbok Yem, ini Surya.” “Apa? Cari bayem? Situ jangan main-main ya. Situ pikir di sini pasar apa cari bayem!” Yaelaaaa Mbok Yem bikin orang spaneng aja. Nggak tau apa kalo ini lagi darurat. “Mbok Yem!!! Ini Surya!!!” teriak Surya sekuat tenaga. “Oh iya ini Mbok Yem. Ini sopo yo?” “Surya!!! Sur … Ya…,” “Oh, Kuya. Ini Kuya yang mana ya?” Dengan kesel Surya menutup telepon. Percuma telepon ke rumah. Mbok Yem nggak akan banyak membantu tapi malah bikin kesel sel sel sel. Sedangkan Surya tau di rumah itu hanya ada Mbok Yem. Orangtua Ario? Mereka mah orang sibuk. Mereka jarang di rumah.
Tulalit │15
Theresia Roelen
Surya coba-coba nelepon ponsel Ario. Mailbox. Surya cemas. Dia bingung harus melakukan apa lagi. Ibu jadi tambah sakit perut. Terus nggak lama ada bunyi "pussssss". "Ups! Bau kentut nih," kata Surya sambil nutup idung. Ibu tersenyum malu-maluin. "Maap, Sur, ibu tadi yang kentut." “Aduh Bu, gimana sih. Malah kentut lagi. Jadi gimana dong sekarang. Percuma nelpon ke rumah si Ario. Yang jawab telepon pasti si Mbok Yem. Nggak nolong. Aku coba telepon ke ponselnya, nggak aktif. Tapi aku yakin Ario tuh belom pulang. Kalo udah pulang pasti Ario yang jawab telepon. Dia kan demen banget jawab telepon." “Tenang, Surya. Ario pasti baik-baik aja.” Ibu berusaha untuk menenangkan anaknya. “Kok Ibu bisa yakin gitu sih?” tanya Surya heran. “Coba kamu cek ke sekitar sekolah. Dia pasti nggak jauh-jauh dari sana.” “Maksud Ibu?” “Kan tadi kamu bilang kalo Ario mau ngukur jalanan sebelum dia pergi. Barangkali beneran dia lagi ngukur jalanan, Sur.” “Ya ampun bener juga. Ibu emang jenius. Aku ke sekolah dulu ya, Bu.” “Ati-ati, Sur. Jangan lupa pake helm. Oh ya, bawa satu lagi buat si Ario.” Ibu yakin banget Surya bakalan nemuin Ario di sekitar sekolah. Waktu itu udah menunjukkan pukul tujuh malam. Ario ngelirik jam tangannya sekali lagi. Bener, pukul tujuh. Tapi tugasnya belom kelar juga padahal pinggangnya udah pegel. Ternyata nggak gampang ngukur jalanan,
Tulalit│16
Theresia Roelen
apalagi pake penggaris. Dia udah ngulang beberapa kali karena salah ngitung. Orang-orang yang ngeliat nanya ke Ario apa yang lagi dilakukannya. Mereka bingung aja lihat anak pake seragam putih abu-abu lagi ngukur jalanan pake penggaris 30 cm. Tapi Ario menjawab mereka dengan ringan, “Lagi ngukur jalan. Tugas sekolah.” “Hah? Tugas sekolah? Guru kamu kurang kerjaan ya, masak ngasih tugas ngukur jalanan pake penggaris?” tanya seorang ibu yang terlihat iba melihat Ario yang kelelahan. Seragamnya basah oleh keringat. “Loh ibu baru tau? Guru jaman sekarang emang gitu, Bu. Kalo ngasih tugas aneh-aneh. Minggu lalu malahan kita disuruh ngitung luasnya stadion GBK,” ujar Ario ngasal sambil terus membungkuk dan ngukur jalanan. Sementara itu Surya melajukan motornya perlahan ketika memasuki kompleks tempat sekolahnya berada. Dia udah cari-cari sosok tambun kayak truk pengeruk tanah itu sampe ke pelosok kompleks tapi nggak menemukannya. Hatinya nggak karuan. Sekali ini Ibunya salah. Ario bener-bener hilang. Surya berharap besok dia nggak nemuin headline news di koran tentang … Hiiii … dia nggak mau mikir yang macem-macem. Eh, apa janganjangan dia diculik alien. Tapi itu mah nggak mungkin banget. Alien mau nyulik juga liat-liat orang, kali. Kemudian Surya menghentikan motornya di depan sebuah warung rokok. Dia mau nanya siapa tau pemilik warung itu lihat Ario. “Pak, numpang tanya boleh?” tanya Surya sopan. “Oh boleh, Nak. Kalo numpang kentut nggak boleh.” Idiihh, lagian siapa yang mau numpang kentut. “Pak, liat anak laki-laki agak gendut nggak?”
Tulalit │17
Theresia Roelen
Pemilik warung itu berpikir sambil matanya natap langit-langit warung. Surya jadi ngikutin liat ke atas. Kirain di situ ada jawabannya. Garing banget sih. “Oh, anak itu! Yang kurang segaris ya?” tiba-tiba dari dalam warung kecil itu terdengar suara seorang ibu yang cemprengnya sama kayak Mak Ratih. Wadowww, jangan-jangan ini kloningannya Mak Ratih. “Maksud Ibu kurang segaris?” tanya Surya. “Ya gitulah Nak, ya … taulah sendiri. Ibu nggak enak ngomongnya. Tadi sore sih Ibu liat ada anak laki-laki pake seragam putih abu-abu lagi ngukur jalanan pake penggaris.” “Nah, itu anak yang saya cari, bu. Dia temen sekolah saya,” kata Surya. “Oh, temen kamu. Kok kamu nggak ikut ngukur jalan sama dia? Katanya tugas sekolah." “Saya udah selesai tugasnya, Bu. Sekarang Ibu tau gak dia pergi ke arah mana?” tanya Surya. “Tuh ke arah taman pemakaman umum orang-orang Belanda jaman dulu,” kata si ibu. “Waduh.” Surya menepuk jidatnya. “Gih buruan kamu susul. Ini kan malam Jumat Kliwon,” kata si ibu. “Ke mana, Bu? Kiri atau kanan?” “Kiri.” “Makasih ya, Bu.” Surya langsung melajukan motornya menuju ke arah yang ditunjuk si ibu pemilik warung. Nggak jauh dari situ ada penunjuk jalan bertuliskan "Ereveld (Taman Pemakaman Umum Belanda). TPU itu udah berdiri selama ratusan tahun. Kira-kira samalah kayak Nyonya Meneer berdirinya. Kebayang dong gimana seremnya.
Tulalit│18
Theresia Roelen
Kalo nggak karena Ario, Surya nggak bakalan mau ke sana meskipun dibayar mahal. Kegelapan, aroma bunga kamboja yang tumbuh di sekitar TPU dan udara yang dingin bikin perasaan Surya tambah nggak enak. Dia berharap nggak ketemu sama Tante Kunti atau Om Wowo. Tiba-tiba samar-samar dia mendengar suara. Dia menghentikan motornya dan mematikan mesin. “4800 … 4900 … 5000….” Tunggu dulu! Surya kenal banget suara itu. Suara Ario! Surya manggil nama sahabatnya itu,” Ario!!!! Lu dimana???” Nggak ada jawaban. Suara itu pun hilang. “Yo!!!! Nih gue!!! Gue minta maap atas kejadian tadi siang!!!” Tiba-tiba ada yang menepuk pundak Surya. Dia kaget setengah mati. Tuh kan bener dia ditepuk sama Tante Kunti atau nggak Om Wowo. Surya nggak tau apa yang harus dilakukan seandainya ketemu Tante Kunti atau Om Wowo. Minta nomor telepon atau ngajak kenalan sambil ngomong," Hai Tante, Om, udah lama tinggal di sini?" “Rese lu, Sur. Lu bikin berantakan konsentrasi gue aja. Gue harus itung ulang deh." Surya menoleh. Dilihatnya dalam keremangan cahaya lampu sorot motornya, wajah gembil sahabat yang disayanginya itu bukan Tante Kunti atau Om Wowo. Tanpa pikir panjang dipeluknya tubuh Ario. “Yo!!!! Gue cariin lu! Gue kuatir banget sama lu!” “Kenapa emangnya?” tanya Ario cuek sambil melap keringat di jidatnya yang luas kayak lapangan futsal. Pipinya kemerahan kena panas tadi siang.
Tulalit │19
Theresia Roelen
“Gue pikir lu kemana, Yo. Gue tau lu marah sama gue, Yo. Gue minta maaf ya. Gue salah. Seharusnya gue nggak ngomong kasar ama lu tadi siang dan ngatain lu tulalit. Buat gue, lu adalah sahabat gue yang paling baik dan tulus. Gimana pun orang nilai lu, lu tetep sahabat gue,” kata Surya. Ario menatap wajah sahabatnya dengan terharu. Persis kayak Rangga sama Cinta yang baru ketemu lagi setelah empat belas taon nggak ketemu. Woiiii, lebay banget sih moderatornya. “Makasih ya, Sur. Lu emang sahabat gue paling baek, paling ngertiin gue." “Iya, Yo. Sama-sama. Kalo lu butuh pertolongan, gue akan selalu siap bantuin lu,” kata Surya dengan tulus. “Beneran, Sur?” tanya Ario dengan mata berbinar. “Bener.” “Kalo gitu besok siang abis sekolah lu bantuin gue selesain ngukur jalanan. Tinggal dikit lagi, Sur.” “Hahhhhhh????” Seketika tubuh Surya melemas.
Tulalit│20