THÉRÈSE & GERMAINE Maurice Leblanc
2015
Thérèse & Germaine Diterjemahkan dari Thérèse and Germaine karangan Maurice Leblanc terbit tahun 1922 (Hak cipta dalam Domain Publik) Penerjemah Penyunting Penyelaras akhir Penata sampul
: Ilunga d’Uzak : Kalima Insani : Bared Lukaku : Bait El Fatih
Diterbitkan dalam bentuk e-Book oleh: RELIFT MEDIA Jl. Amil Sukron No. 47 Kec. Cibadak Kab. Sukabumi Jawa Barat 43351 SMS : 0853 1179 4533 Surel :
[email protected] Situs : reliftmedia.com Pertama kali dipublikasikan pada: Juni 2015 Revisi terakhir: Februari 2016 Copyright © 2015 CV. RELIFT Hak kekayaan intelektual atas terjemahan dalam buku ini adalah milik penerbit. Dilarang mengutip dan/atau memperbanyak seluruh atau sebagian isi buku ini dalam bentuk dan cara apapun tanpa izin tertulis dari penerbit.
Buku ini adalah karya fiksi. Semua nama, karakter, bisnis, organisasi, tempat, peristiwa, dan kejadian hanyalah imajinasi penulis. Segala kemiripan dengan seseorang, hidup atau mati, peristiwa, atau lokasi kejadian hanyalah kebetulan belaka.
Ebook ini adalah wujud kesungguhan kami dalam proyek penerjemahan sastra klasik asing. Kami menyebutnya RELIFT: Mengangkat Kembali, dari masa lalu untuk masa kini hingga masa depan. Pembaca dapat turut mendukung kami dengan mengklik iklan sponsor di situs dan blog kami.
M
USIM
gugur ini cuaca terasa sejuk sekali. Pagi 12 Oktober
beberapa keluarga yang masih bertahan di villa mereka di
Étretat berhamburan ke pantai. Menghampar antara karang-karang terjal dan awan-awan di kaki langit, lautnya mungkin akan menyerupai danau gunung di lembah cadas kalau bukan karena garingnya hawa dan pucatnya warna-warna lunak tak menentu di langit yang memberi pesona khusus untuk hari-hari tertentu di Normandy. “Enaknya,” gumam Hortense. Tapi tak lama kemudian dia menambahkan, “Tapi tetap saja kita datang kemari bukan untuk menikmati pemandangan alam atau bertanya-tanya apakah batu raksasa Jarum di sebelah kiri itu betul-betul pernah menjadi rumah Arsène Lupin.” “Kita datang ke sini,” kata Pangeran Rénine, “karena percakapan yang tak sengaja kudengar dua minggu lalu, di gerbong makan, antara seorang pria dan seorang wanita.” “Percakapan yang tak kutangkap sepatah kata pun.” “Kalau dua orang itu tahu bahwa obrolan mereka kedengaran, mereka tidak akan bicara, mengingat genting dan pentingnya percakapan mereka. Tapi telingaku sangat tajam. Meski tak mampu mengikuti setiap kalimatnya, aku yakin akan dua hal. Pertama, pria dan wanita itu bersaudara, mereka ada janji bertemu pada jam 11:45 siang ini, 12 Oktober, di tempat yang dikenal sebagai Trois Mathildes, dengan orang ketiga yang sudah menikah dan ingin mendapatkan kembali kemerdekaan dirinya. Kedua, pertemuan ini, di mana mereka akan mencapai kesepakatan akhir, akan diikuti 5
dengan jalan-jalan di sepanjang karang sore ini. Orang ketiga akan mengajak suami, atau isterinya, entahlah, yang hendak mereka singkirkan. Begitu inti ceritanya. Nah, karena aku tahu tempat bernama Trois Mathildes tak jauh di atas Étretat dan karena itu bukan nama sehari-hari, kita datang kemarin untuk menggagalkan rencana orang-orang tak baik ini.” “Rencana apa?” tanya Hortense. “Biar bagaimanapun itu cuma asumsimu, bahwa akan ada korban, bahwa korban akan dihempaskan dari puncak karang. Kau sendiri bilang, tak ada yang menyinggung-nyinggung pembunuhan.” “Memang betul. Tapi aku mendengar beberapa kata amat jelas yang menyebut-nyebut pernikahan si pria atau wanita dengan isteri atau suami sosok ketiga tersebut, yang mengisyaratkan perlunya tindak kejahatan.” Mereka duduk di teras kasino, menghadap tangga yang memanjang turun ke pantai. Karenanya mereka dapat memandang beberapa pondok privat di tanah kerikil, di mana empat pria sedang bermain bridge, sementara sekelompok wanita duduk mengobrol dan merajut. Tak jauh dari situ, lebih dekat ke laut, terdapat satu pondok lain, berdiri sendirian dan tertutup. Setengah lusin anak-anak tanpa alas kaki sedang berkayuhkayuh di air. “Tidak,” kata Hortense, “semua kemanisan dan pesona musim gugur ini gagal menarik perhatianku. Aku sangat percaya pada semua teorimu, jadi mau tak mau aku terus memikirkan masalah 6
mengerikan ini. Di antara orang-orang di sana, mana yang terancam? Kematian sudah memilih korbannya. Siapa? Apa wanita muda berambut indah itu, yang bergoyang dan tertawa-tawa? Apa pria jangkung di sana itu, yang mengisap cerutu? Terus, mana di antara mereka yang menyembunyikan ide pembunuhan di dalam hatinya? Semua orang itu sedang bersenang-senang. Padahal kematian mengendap-endap di antara mereka.” “Bagus!” seru Rénine. “Kau juga jadi antusias. Apa kubilang? Hidup adalah petualangan, dan tak ada yang bernilai selain petualangan. Setiap syarafmu menggigil pada hembusan pertama kejadian. Kau sama-sama merasakan semua tragedi di sekelilingmu. Perasaan misteri bangkit di dalam jiwamu. Lihat, betapa cermat kau mengamati pasangan yang baru datang. Kau tak bisa pastikan: mungkinkah pria itu yang mengusulkan menghabisi isterinya? Atau mungkin wanita itu yang bermaksud menyingkirkan suaminya?” “Keluarga d’Ormeval? Tak mungkin! Pasangan yang bahagia! Kemarin, di hotel, aku mengobrol lama dengan isterinya. Dan kau sendiri...” “Oh, aku bermain satu babak golf dengan Jacques d’Ormeval, yang menganggap dirinya seorang atlet, dan aku bermain boneka dengan dua anak perempuan cantik mereka!” Keluarga d’Ormeval naik dan berbincang-bincang sebentar dengan mereka. Nyonya d’Ormeval menyebut dua puterinya sudah kembali ke Paris pagi itu bersama guru privat mereka. Suaminya, lelaki jangkung berjanggut kuning, menenteng jaket di lengannya 7
dengan dada terengah-engah di balik kemeja sel, mengeluhkan hawa panas: “Kau bawa kunci pondoknya, Thérèse?” tanyanya kepada sang isteri, setelah meninggalkan Rénine dan Hortense dan berhenti di puncak tangga, beberapa yard dari situ. “Ini,” kata isterinya. “Apa kau akan membaca koran?” “Ya. Kecuali kalau kita pergi jalan-jalan?...” “Sebaiknya tunggu sampai sore. Kau keberatan? Ada banyak surat yang harus kutulis pagi ini.” “Baiklah. Kita akan naik ke karang.” Hortense dan Rénine bertukar pandangan kaget. Apa usulan tersebut kebetulan? Ataukah pasangan yang dicari-cari itu sudah ketemu, di luar dugaan mereka? Hortense mencoba tertawa: “Jantungku berdebar-debar,” katanya. “Tapi, aku tak mau percaya apapun yang mustahil. ‘Aku dan suami belum pernah bertengkar sedikitpun,’ dia bilang padaku. Tidak, sudah jelas mereka berdua sangat rukun.” “Kita akan lihat sebentar lagi di Trois Mathildes, apakah salah satu dari mereka akan menemui kakak-beradik itu.” Tn. d’Ormeval menuruni tangga, sementara isterinya berdiri menyandar pada susuran tangga teras. Dia punya bentuk badan yang indah, ramping, gemulai. Raut muka tegasnya diperkuat oleh dagu yang agak menonjol saat diam. Ketika tidak sedang tersenyum, wajahnya menampakkan ekspresi sedih dan menderita. “Kau kehilangan sesuatu, Jacques?” teriaknya kepada sang 8
suami yang sedang membungkuk di tanah kerikil. “Ya, kuncinya,” katanya. “Lepas dari tanganku.” Nyonya d’Ormeval turun menghampirinya dan ikut mencari. Selama dua atau tiga menit, selagi mereka melencong ke kanan dan bertahan dekat dasar karang, sosok mereka tak kelihatan oleh Hortense dan Rénine. Suara mereka dikalahkan oleh gaduh percekcokan yang timbul di antara para pemain bridge. Mereka muncul kembali hampir bersamaan. Nyonya pelanpelan memanjat beberapa anak tangga lalu berhenti dan menoleh ke arah laut. Suaminya sudah melilitkan jaket di bahu dan sedang menuju pondok terasing itu. Sewaktu dia melewati para pemain bridge, mereka meminta keputusannya, menunjuk kartu-kartu yang terhampar di atas meja. Tapi dengan lambaian tangan dia menolak memberi pendapat dan terus berjalan, menempuh tiga puluh yard yang memisahkan mereka dari pondok, membuka pintu, kemudian masuk. Thérèse d’Ormeval kembali ke teras dan duduk di atas bangku selama sepuluh menit. Lalu dia keluar lewat kasino. Hortense mencondong ke depan, melihatnya masuk ke salah satu vila chalet yang tergabung dengan Hotel Hauville dan sejenak kemudian terlihat lagi di balkon. “Jam sebelas,” kata Rénine. “Siapapun orangnya, lelaki atau perempuan, atau salah satu pemain kartu itu, atau salah satu isteri mereka, tak lama lagi akan pergi ke tempat yang ditentukan.” Tapi dua puluh lima menit berlalu, tak ada seorang pun yang beranjak. 9
“Barangkali Madame d’Ormeval sudah pergi,” ujar Hortense cemas. “Dia tak lagi di balkon.” “Jika dia sudah di Trois Mathildes,” kata Rénine, “kita akan pergi menangkapnya di sana.” Dia sedang bangkit berdiri ketika obrolan pecah di antara para pemain bridge dan salah satu dari mereka berseru: “Kita serahkan saja pada d’Ormeval.” “Baiklah,” sahut lawannya. “Aku akan terima keputusannya...kalau dia bersedia menjadi wasit. Dia agak gusar barusan.” Mereka memanggil-manggil: “d’Ormeval! d’Ormeval!” Mereka menduga d’Ormeval menutup pintunya, sendirian dalam setengah gelap, mengingat pondok itu tak berjendela. “Dia pasti tidur,” teriak salah seorang. “Ayo bangunkan dia.” Keempatnya pergi ke pondok, mulai memanggilnya. Karena tak ada jawaban, mereka pun menggedor-gedor pintu. “Hei! d’Ormeval! Apa kau tidur?” Di teras, Serge Rénine sontak melompat berdiri dengan gundah, sampai Hortense keheranan. Dia berkomat-kamit: “Semoga belum terlambat!” Sewaktu Hortense bertanya apa maksudnya, dia justru menaiki anak tangga dan mulai berlari ke pondok. Dia sampai di sana persis saat para pemain bridge mencoba mendobrak pintu. “Hentikan!” perintahnya. “Semua harus dilakukan secara normal.” “Semua apa?” tanya mereka. 10
Dia memeriksa keré Venetian di puncak masing-masing pintu lipat. Setelah mendapati salah satu bilah atas rusak separuh, dia bergelantung sebisa mungkin pada atap pondok dan mengintip ke dalam. Lalu berkata kepada keempat orang tersebut: “Aku rasa, jika Tn. d’Ormeval tidak menyahut, dia pasti terkendala oleh suatu sebab yang serius. Ada banyak alasan untuk percaya bahwa Tn. d’Ormeval terluka...atau mati.” “Mati!” teriak mereka. “Apa maksudmu? Barusan dia meninggalkan kami.” Rénine mengeluarkan pisau, mencungkil dudukan kunci dan menarik kedua pintunya. Mereka
menjerit
kaget.
Tn.
d’Ormeval
tertelungkup,
mencengkeram jaket dan koran. Darah mengalir dari punggungnya dan menodai kemeja. “Oh!” kata seseorang. “Dia bunuh diri!” “Bagaimana mungkin bunuh diri?” kata Rénine. “Lukanya tepat di tengah-tengah punggung, tak terjangkau oleh tangan. Lagipula, tak ada pisau di pondok ini.” Yang lain protes: “Kalau begitu, dia dibunuh. Tapi mustahil! Tak ada siapa-siapa di sini. Kalau ada, pasti kami sudah melihatnya. Tak mungkin bisa lewat tanpa terlihat oleh kami...” Yang lain, para wanita dan anak-anak yang berkayuh di laut, berdatangan. Rénine tak mengizinkan siapapun masuk pondok, kecuali seorang dokter yang ada di sana. Tapi dokter hanya bisa mengatakan bahwa Tn. d’Ormeval sudah mati, ditikam dengan 11
belati. Pada saat itu walikota dan polisi datang, bersama beberapa warga desa. Setelah penyelidikan lazim, mereka membawa jasadnya. Segelintir orang pergi untuk menyampaikan kabar kepada Thérèse d’Ormeval, yang sekali lagi terlihat di balkonnya. ***** Demikianlah, tragedi terjadi tanpa ada petunjuk bagaimana seseorang yang dilindungi pintu terkunci utuh bisa dibunuh dalam rentang beberapa menit di depan dua puluh saksi, atau boleh dibiliang dua puluh penonton. Tak ada yang masuk ke dalam pondok. Tak ada yang keluar darinya. Adapun belati yang menikam Tn. d’Ormeval di antara kedua pundaknya, ini tak bisa ditelusuri. Dan, andai tidak ada pembunuhan dalam kondisi misterius, semua ini akan terkesan seperti trik pesulap cerdik. Hortense tak sanggup memenuhi permintaan Rénine untuk ikut rombongan kecil yang mendatangi Madame d’Ormeval. Dia dilumpuhkan oleh gejolak perasaan dan tak mampu bergerak. Inilah pertama kalinya petualangan bersama Rénine membawanya ke dalam inti aksi. Alih-alih meninjau konsekuensi pembunuhan, atau membantu mengejar penjahatnya, dia justru merasa berhadapan dengan pembunuhan itu sendiri. Sekujur
tubuhnya
gemetar.
Dia
tergagap:
“Alangkah
mengerikan! Orang malang ini! Ah, Rénine, kau tak bisa 12
menyelamatkannya kali ini! Dan yang paling membuatku kecewa, kita mampu dan mestinya sudah menyelamatkannya, sebab kita tahu plot itu...” Rénine menyuruhnya menghirup sebotol garam. Begitu Hortense kembali tenang, Rénine berkata sambil mengamatinya: “Jadi menurutmu ada kaitan antara pembunuhan ini dan plot yang coba kita gagalkan?” “Sudah pasti,” sahutnya, heran dengan pertanyaan tersebut. “Kalau begitu, karena plot itu direncanakan oleh suami terhadap isterinya atau isteri terhadap suaminya, kau mengakui bahwa Madame d’Ormeval...?” “Oh, tidak, mustahil!” serunya. “Pertama-tama, Madame d’Ormeval tidak meninggalkan kamarnya...dan lagi aku takkan percaya wanita cantik itu sanggup.... Tidak, tidak, pasti ada sesuatu...” “Sesuatu apa?” “Entahlah... Mungkin kau salah paham dengan obrolan kakakberadik itu. Kau lihat, pembunuhan dilakukan dalam kondisi berbeda sekali...pada jam berbeda dan tempat berbeda...” “Oleh karenanya,” simpul Rénine, “kedua kasus ini tidak berkaitan?” “Ah,” katanya, “aku tak mengerti! Ini semua aneh sekali!” Rénine jadi agak menyindir. “Muridku tidak bisa dibanggakan hari ini,” katanya, “Sebuah cerita sederhana terhampar di depan matamu. Kau melihatnya bergulir seperti adegan di bioskop, dan semua itu tetap samar 13
bagimu, seolah-olah kau sedang mendengar kasus yang terjadi di sebuah gua seratus mil dari sini!” Hortense bingung. “Apa yang kau katakan? Maksudmu kau sudah mengerti? Bekal petunjuk apa yang kau punya?” Rénine menengok arloji. “Aku belum paham semuanya,” katanya. “Cuma pembunuhannya, pembunuhan brutal saja, ya. Tapi unsur pokoknya, yakni psikologi kejahatan, aku belum punya petunjuk ke situ. Sekarang sudah jam dua belas. Kakak-beradik itu akan turun ke pantai setelah tahu tak ada yang datang ke tempat pertemuan di Trois Mathildes. Tidakkah menurutmu kita akan mendapatkan sesuatu tentang kedua antek yang punya kaitan dengan kedua kasus?” Mereka sampai di lapangan terbuka di depan vila-vila chalet Hauville, di mana terdapat paksi-paksi jangkar milik para nelayan untuk menarik perahu ke pantai. Sejumlah orang yang penasaran berdiri di luar pintu salah satu chalet. Dua penjaga pantai ditempatkan di depan pintu, mencegah mereka masuk. Walikota menerobos kerumunan dengan pundaknya. Dia baru kembali dari kantor pos untuk menelepon Le Havre dan kantor jaksa penuntut umum, dan diberitahu bahwa jaksa serta hakim pemeriksa akan datang ke Étretat petang ini. “Itu memberi kita banyak waktu untuk makan siang,” kata Rénine. “Tragedi ini takkan diputuskan sebelum jam dua atau tiga. Dan aku merasa ini akan menghebohkan.” Namun demikian mereka tetap bergegas. Hortense, dilanda 14
rasa letih dan hasrat ingin tahu, terus-menerus menanyai Rénine, yang memberi jawaban mengelak, dengan mata tertuju ke lapangan terbuka dari jendela kedai kopi. “Apa kau sedang menunggu mereka?” tanya Hortense. “Ya, kakak-beradik itu.” “Kau yakin mereka berani menampakkan diri?” “Lihat! Mereka datang!” Dia cepat-cepat keluar. Di jalan utama yang terbuka di pinggir laut, sepasang lelaki dan perempuan sedang berjalan dengan langkah bimbang, seperti tidak akrab dengan tempat itu. Si saudara lelaki bertubuh kecil sekali, dengan corak kulit kekuningan. Dia mengenakan topi pemotor. Si saudara perempuan juga pendek, tapi agak gemuk, dan dibalut mantel besar. Entah berapa usianya, tapi masih rupawan di balik kudung tipis yang menutupi wajahnya. Mereka melihat para penonton itu dan maju mendekat. Gaya jalan mereka menampakkan kegundahan dan kebimbangan. Si saudara perempuan bertanya kepada seorang pelaut. Begitu mendengar jawaban pertamanya, yang menyampaikan berita kematian d’Ormeval, dia menjerit dan berusaha menerobos kerumunan. Si saudara lelaki, menyadari apa yang telah terjadi, menyeruduk dengan sikunya dan berteriak kepada para penjaga pantai: “Aku teman d’Ormeval! Ini kartuku! Frédéric Astaing. Saudara perempuanku, Germaine Astaing, kenal akrab dengan Madame d’Ormeval! Mereka sudah menunggu kami. Kami ada janji 15
bertemu!...” Mereka diizinkan lewat. Rénine, yang menyelinap di belakang mereka, ikut masuk tanpa berkata apa-apa, diiringi Hortense. Keluarga d’Ormeval memiliki empat kamar tidur dan satu ruang duduk di lantai dua. Si saudara perempuan bergegas ke salah satu kamar dan berlutut di samping ranjang di mana mayat terentang. Thérèse d’Ormeval ada di ruang duduk dan sedang terisak-isak di tengah rombongan kecil yang membisu. Si saudara lelaki duduk di sisinya, meraih kedua tangannya dan berkata dengan suara bergetar: “Temanku yang malang! Temanku yang malang!” Rénine dan Hortense mengamati keduanya, lalu Hortense berbisik: “Dan dia diduga membunuhnya karena ini? Mustahil!” “Tapi,” tinjau Rénine, “mereka saling kenal, dan kita tahu Astaing dan saudara perempuannya juga kenal dengan orang ketiga yang menjadi antek mereka. Jadi...” “Mustahil!” ulang Hortense. Terlepas dari semua praduga yang ada, dia merasa sangat tertarik dengan Thérèse. Bahkan, ketika Frédéric Astaing berdiri, dia langsung duduk di sampingnya dan menghiburnya dengan suara lembut. Air mata wanita malang itu sangat memilukannya. Rénine, di lain pihak, sejak awal sibuk memperhatikan si kakak-beradik, seolah-olah cuma urusan itu yang penting, dan tidak melepas pandangannya dari Frédéric Astaing yang mulai menginspeksi lokasi dengan acuh tak acuh, memeriksa ruang 16
duduk, memasuki semua kamar, berbaur dengan berbagai kelompok orang dan menanyakan modus pembunuhan. Dua kali saudara perempuannya datang dan berbicara padanya. Lalu dia kembali ke Madame d’Ormeval dan duduk lagi di sampingnya, penuh simpati tulus. Terakhir, di lobi, dia berbincang lama dengan saudara perempuannya. Setelah itu mereka berpisah, seperti sudah saling mengerti. Frédéric pun pergi. Manuver-manuver ini berlangsung dalam tiga puluh atau empat puluh menit. Pada saat itulah mobil yang mengangkut hakim pemeriksa dan jaksa penuntut umum berhenti di luar chalet. Rénine, yang tidak menyangka mereka akan datang lebih awal, berkata kepada Hortense: “Kita harus cepat. Jangan tinggalkan Madame d’Ormeval apapun yang terjadi.” Orang-orang yang keterangannya mungkin berguna diperintah untuk pergi ke pantai, di mana hakim akan memulai penyelidikan pendahuluan. Dia akan mendatangi Madame d’Ormeval setelah itu. Alhasil, semua orang meninggalkan chalet. Tak ada yang tersisa kecuali dua penjaga dan Germaine Astaing. Germaine berlutut untuk terakhir kalinya di samping mendiang dan membungkuk rendah, tangan menutup wajah, berdoa untuk waktu yang lama. Lalu dia bangkit dan sedang membuka pintu di peron ketika Rénine menampakkan diri. “Aku ingin bicara denganmu sebentar, madame.” Dia tampak kaget dan menyahut, “Ada apa, monsieur? Aku siap mendengarkan.” 17
“Jangan di sini.” “Kalau begitu di mana, monsieur?” “Di sebelah, di ruang duduk.” “Tidak,” balasnya tajam. “Kenapa tidak? Meski kau tidak berjabat tangan dengannya, kuanggap Madame d’Ormeval temanmu?” Dia tak memberinya waktu untuk berpikir, menariknya ke ruang sebelah, menutup pintu dan langsung menyambar Madame d’Ormeval yang mencoba kembali ke kamar. “Tidak, madame, dengar, kumohon. Kehadiran Madame Astaing tidak mengharuskanmu pergi. Ada masalah serius yang harus kita diskusikan, tanpa membuang waktu sedikitpun.” Kedua wanita berhadap-hadapan, saling menatap dengan ekspresi kebencian tak tertahankan. Di dalamnya terbaca kebingungan jiwa dan redaman amarah. Hortense, yang percaya bahwa mereka berteman dan sampai titik tertentu percaya mereka bersekutu, menyadari permusuhan yang tak terelakkan. Dia mendorong Madame d’Ormeval kembali ke kursinya, sedangkan Rénine mengambil tempat di tengah-tengah ruangan dan berbicara dengan nada tegas. “Sebuah kebetulan, yang telah menempatkanku dalam posisi mengetahui sebagian fakta, akan membantuku menyelamatkan kalian berdua, kalau kalian mau berterus-terang tentang hal-hal yang masih kubutuhkan. Masing-masing kalian tahu bahaya yang mengancam, masing-masing kalian sadar kejahatan yang kalian tanggung. Tapi kalian terpengaruh oleh kebencian, maka sudah 18
selayaknya aku tahu duduk perkaranya dan bertindak. Hakim pemeriksa akan kemari setengah jam lagi. Pada saat itu, kalian harus sudah bermufakat.” Mereka berdua kaget, seolah terluka oleh kata tersebut. “Ya, mufakat,” ulangnya dalam nada lebih angkuh. “Suka tidak suka, kalian akan bermufakat. Bukan cuma kalian yang harus dipikirkan. Kau punya dua anak perempuan kecil-kecil, Madame d’Ormeval. Karena keadaan sudah menempatkanku di jalan mereka, aku akan turut campur demi menjaga dan menyelamatkan mereka. Satu blunder, satu kata, terlalu banyak, mereka akan hancur. Jangan sampai itu terjadi.” Mendengar anak-anaknya disebut, Madame d’Ormeval runtuh dan tersedu-sedu. Germaine Astaing mengangkat bahu dan bergerak ke arah pintu. Rénine sekali lagi merintangi. “Mau ke mana?” “Hakim pemeriksa sudah memanggilku.” “Belum.” “Sudah. Sebagaimana saksi-saksi lain.” “Kau tak ada di TKP. Kau tak tahu apa-apa tentang kejadian itu. Tak ada yang tahu sedikitpun soal pembunuhan.” “Aku tahu yang melakukannya.” “Mustahil.” “Dialah Thérèse d’Ormeval.” Tuduhan ini terlontar dalam ledakan amarah dan disertai gelagat mengancam. “Dasar makhluk menjijikkan!” pekik Madame d’Ormeval, 19
menyerbunya. “Enyahlah! Keluar dari sini! Dasar wanita menjijikkan!” Hortense berusaha menahannya, tapi Rénine berbisik. “Biarkan mereka. Ini yang kuinginkan...mempertentangkan mereka agar semuanya terang-benderang.” Madame Astaing mencoba menangkis hinaan tersebut dengan olok-olok, dan terkikik-kikik. “Makhluk menjijikkan? Kenapa? Karena aku menuduhmu?” “Kenapa kau bilang? Karena semua alasan! Kau makhluk menjijikkan! Kau dengar kataku, Germaine, kau menjijikkan!” Thérèse d’Ormeval mengulang hinaan seakan itu membuatnya lega. Amarahnya mereda. Kemungkinan besar dia juga tak lagi sanggup meneruskan percekcokan, dan giliran Madame Astaing yang membalas serangan, dengan tangan terkepal dan wajah megol dan tampak dua puluh tahun lebih tua. “Kau! Berani-beraninya menghinaku! Setelah pembunuhan yang kau lakukan! Berani-beraninya mengangkat kepala padahal orang yang kau bunuh tergeletak di sana di ranjang kematiannya! Ah, kalau di antara kita ada yang menjijikkan, maka kaulah orangnya, Thérèse, dan kau tahu itu! Kau sudah membunuh suamimu! Kau membunuh suamimu!” Dia melompat maju, dalam gejolak kata-kata yang dilontarkannya. Kuku-kukunya hampir menyentuh wajah temannya. “Oh, jangan bilang kau tidak membunuhnya!” pekiknya. “Jangan bilang itu, takkan kubiarkan. Jangan katakan itu. Belatinya ada di situ, di dalam tasmu. Saudaraku merabanya, selagi dia 20
bicara denganmu, dan tangannya keluar dengan noda darah, darah suamimu, Thérèse. Lagipula, andai aku tidak menemukan apa-apa, kau pikir aku takkan menerka-nerka sejak awal? Ah, aku langsung tahu yang sebenarnya, Thérèse! Ketika seorang pelaut di bawah sana menjawab, ‘Tn. d’Ormeval? Dia dibunuh,’ aku membatin seketika itu juga, ‘Pasti dia, pasti Thérèse, pasti dialah yang membunuhnya.’” Thérèse tidak menanggapi. Dia sudah membuang sikap protesnya. Hortense, yang mengamatinya dengan sedih, menyaksikan kemurungan orang-orang yang mengaku kalah. Pipinya terkulai dan dia menampakkan ekspresi putus asa, sampai-sampai Hortense terharu, memintanya membela diri. “Kumohon, kumohon, jelaskanlah. Saat pembunuhan terjadi, kau ada di sini, di balkon. Tapi belati itu...bagaimana sampai ada padamu? Bagaimana kau menjelaskannya?” “Penjelasan!” seringai Germaine Astaing. “Mana mungkin dia menjelaskan? Apa pentingnya penampakan luar? Memangnya penting apa yang dilihat atau tidak dilihat? Buktilah yang memberitahukan. Belatinya ada di situ, di dalam tasmu, Thérèse, itulah faktanya. Ya, ya, kaulah pelakunya! Kau membunuhnya! Kau membunuhnya, akhirnya! Ah, betapa sering aku bilang pada saudaraku, ‘Dia akan membunuhnya!’ Frédéric selalu berusaha membelamu. Dia selalu lemah terhadapmu. Tapi dalam hatinya dia punya firasat tentang apa yang akan terjadi. Dan sekarang hal mengerikan terjadi. Tusukan di punggung! Pengecut! Pengecut! Dan kau mau aku diam? Ah, aku tak ragu sekejap pun! Tidak pula 21
Frédéric. Kami langsung mencari bukti. Dan aku menuduhmu atas kemauanku sendiri, aku sadar betul apa yang kulakukan. Sudah berakhir, Thérèse. Habis kau. Tak ada yang bisa menyelamatkanmu sekarang. Belatinya ada di dalam tas yang kau pegang. Hakim sedang kemari, dan belati itu akan ditemukan, bernoda darah suamimu. Begitu pula buku sakumu. Dua-duanya ada di situ. Dan akan ditemukan...” Amarah membuatnya tak mampu melanjutkan. Dia berdiri dengan tangan terulur dan dagu kejang gelisah. Rénine pelan-pelan memegang tas Madame d’Ormeval. Madame mencengkeramnya, tapi Rénine bersikeras dan berkata: “Tolong izinkan aku, madame. Temanmu Germaine benar. Hakim pemeriksa akan segera datang, dan fakta kepemilikan belati dan buku saku akan mengarah pada penangkapanmu. Ini tak boleh terjadi. Tolong izinkan aku.” Suaranya berhasil mengurangi perlawanan Thérèse d’Ormeval. Dia melepas jemarinya satu persatu. Rénine mengambil tas, membukanya, mengeluarkan belati kecil bergagang eboni dan buku saku kulit kelabu dan diam-diam menyelipkan keduanya ke saku jaket bagian dalam. Germaine Astaing menatapnya heran. “Kau sinting, monsieur! Atas hak apa kau...? “Benda-benda ini jangan dibiarkan ada di sini. Aku takkan cemas sekarang. Hakim takkan pernah mencarinya dalam sakuku.” “Tapi aku akan mengadukanmu kepada polisi,” serunya, naik darah. “Mereka akan kuberitahu!” 22
“Tidak, tidak,” katanya sambil tertawa, “kau tidak akan bilang apa-apa! Polisi tak ada kaitannya dengan ini. Pertengkaran di antara kalian harus diselesaikan secara pribadi. Ide macam apa membawa-bawa polisi ke dalam setiap insiden kehidupan seseorang!” Madame Astaing geram. “Tapi kau tak berhak bicara seperti ini, monsieur! Memangnya siapa dirimu? Teman wanita ini?” “Sejak kau menyerangnya, ya.” “Tapi aku menyerangnya karena dia bersalah. Kau tak bisa menyangkal, dia sudah membunuh suaminya.” “Aku tidak menyangkal,” balas Rénine kalem. “Kita semua sepakat soal itu. Jacques d’Ormeval dibunuh oleh isterinya. Tapi, kuulangi, polisi tak boleh tahu yang sebenarnya.” “Mereka akan tahu melalui diriku, monsieur, aku bersumpah. Wanita ini harus dihukum, dia sudah melakukan pembunuhan. Rénine menghampirinya dan memegang pundaknya. “Barusan kau tanya atas hak apa aku turut campur. Lalu kau sendiri, madame?” “Aku teman Jacques d’Ormeval.” “Cuma teman.” Dia sedikit terperangah, tapi langsung menguasai diri dan membalas. “Aku temannya dan sudah menjadi kewajibanku untuk membalaskan kematiannya.” “Tapi kau harus bungkam, seperti halnya mendiang.” 23
“Dia tidak tahu, karena sudah mati.” “Di situlah letak kesalahanmu. Kalau mau dia bisa saja menuduh isterinya. Dia punya cukup waktu untuk menuduhnya, tapi dia tak bilang apa-apa.” “Kenapa?” “Karena anak-anaknya.” Madame
Astaing
tetap
tidak
puas.
Sikapnya
masih
memperlihatkan hasrat balas dendam dan kebencian. Namun demikian dia terpengaruh oleh Rénine. Di ruangan kecil tertutup itu, di mana terjadi bentrokan kebencian, lambat-laun Rénine menjadi pemenang, dan Germaine Astaing sadar harus berjuang melawannya, sedangkan Madame d’Ormeval merasa nyaman dengan dukungan tak terduga yang menawarkan diri di tepi jurang. “Terima kasih, monsieur,” katanya. “Sebagaimana sudah kau pahami, kau juga tahu aku tidak menyerah, demi anak-anakku. Tapi untuk itu...aku merasa lelah sekali...!” Demikianlah, suasana berubah, keadaan membawakan aspek berbeda. Berkat beberapa patah kata yang dibiarkan terucap di tengah perselisihan, penjahatnya mengangkat kepala dan mendapat semangat, sementara penuduhnya bimbang dan resah. Si penuduh tak berani berkata apa-apa lagi dan si penjahat mendekati momen mengakhiri kebungkaman dan mengucapkan kalimat pengakuan sekaligus kelegaan. “Kurasa, sudah waktunya,” kata Rénine kepada Thérèse, tetap lemah-lembut, “kau sanggup dan harus menjelaskan sendiri.” Dia kembali menangis, berjubel di kursi. Dia menampakkan 24
wajah yang dipertua dan dirusak oleh dukacita. Lalu dengan suara pelan, tanpa amarah, dia bicara dalam kalimat pendek terputusputus. “Dia menjadi wanita simpanannya selama empat tahun terakhir... Sulit kukatakan betapa menderitanya aku... Dia sendiri yang mengatakannya padaku...dengan jahatnya... Kebenciannya padaku lebih besar daripada cintanya pada Jacques...dan setiap hari aku menanggung luka baru... Dia meneleponku untuk memberitahukan janjiannya dengan suamiku...dia ingin membuatku menderita hingga berakhir dengan bunuh diri... Terkadang aku terpikir untuk itu, tapi aku menahan diri, demi anak-anak... Jacques melemah di hadapannya. Wanita ini ingin suamiku menceraikanku...dan sedikit demi sedikit dia mulai setuju...dikuasai olehnya dan saudaranya, yang lebih licik tapi sama-sama berbahaya... Aku merasakan semua ini... Jacques jadi kasar terhadapku... Dia tak berani meninggalkanku, tapi aku menjadi penghambat dan dia dendam padaku... Ya Tuhan, alangkah tersiksanya diri ini!...” “Semestinya kau memberinya kemerdekaan,” pekik Germaine Astaing. “Seorang wanita tidak boleh membunuh suaminya yang menginginkan perceraian.” Thérèse menggeleng dan menjawab: “Aku membunuhnya bukan karena dia ingin bercerai. Jika dia memang menginginkannya, tentu dia sudah meninggalkanku, lagipula apa yang bisa kuperbuat? Tapi rencanamu berubah, Germaine. Perceraian tidak cukup bagimu. Ada hal lain yang ingin kau peroleh darinya, hal yang lebih serius, yang dituntut olehmu 25
dan saudaramu...yang dia kabulkan...karena sikap pengecut...” “Apa maksudmu?” Germaine gugup. “Hal lain apa?” “Kematianku.” “Kau bohong!” teriak Madame Astaing. Thérèse tidak meninggikan suara. Dia tidak menunjukkan gelagat keberatan atau kesal dan hanya mengulang: “Kematianku, Germaine. Aku baca surat-surat terbarumu, enam surat darimu yang dengan bodohnya dia tinggalkan dalam buku saku dan kubaca tadi malam, enam surat yang di dalamnya tidak tertulis kata mengerikan ini, tapi tersirat di setiap baris. Aku gemetar saat membacanya! Jacques sampai seperti ini!... Meski begitu, ide menikamnya tidak terbersit dalam benakku sedetik pun. Wanita seperti diriku, Germaine, tidak siap melakukan pembunuhan... Jika aku hilang akal, itu setelahnya...dan itu gara-gara kau...” Dia mengalihkan pandangannya kepada Rénine, seolah bertanya apa tidak berbahaya mengungkapkan hal sebenarnya. “Jangan khawatir,” katanya. “Aku akan bertanggungjawab atas semuanya.” Dia menyeka kening. Adegan mengerikan terulang dalam dirinya dan menyiksanya. Germaine Astaing tidak bergerak, tetap berdiri dengan lengan terlipat dan tatapan gugup, sementara Hortense Daniel duduk bingung, menanti pengakuan kejahatan dan penjelasan atas misteri tak terduga itu. “Itu setelahnya, dan itu gara-gara kau Germaine... Aku mengembalikan buku saku itu ke dalam laci tempatnya 26
disembunyikan, dan aku tak bilang apa-apa pada Jacques pagi ini... Aku tak ingin mengatakan apa yang kuketahui... Terlalu mengerikan... Tapi tetap aku harus bertindak cepat. Surat-suratmu memberitahukan kedatanganmu sembunyi-sembunyi hari ini... Mulanya aku terpikir untuk lari, naik kereta... Secara naluriah aku memungut belati itu, untuk mempertahankan diri... Tapi saat aku dan Jacques turun ke pantai, aku pasrah.... Ya, aku menerima kematian: ‘Aku akan mati,’ pikirku, ‘dan mengakhiri semua mimpi buruk ini!’ Namun, demi anak-anak, aku ingin kematianku terlihat seperti kecelakaan dan Jacques tak boleh berperan di dalamnya. Itu sebabnya rencana jalan-jalanmu di karang cocok denganku... Jatuh dari puncak karang rasanya cukup wajar... Oleh karena itu Jacques meninggalkanku untuk pergi ke pondoknya, dari sana dia akan bergabung denganmu di Trois Mathildes. Dalam perjalanan, di bawah teras, dia menjatuhkan kunci pondok. Aku turun dan mulai ikut mencari... Dan saat itulah kebetulan...gara-gara kau...ya, Germaine, gara-gara kau...buku saku Jacques meluncur dari jaketnya, tanpa dia sadari, beserta sebuah foto yang langsung kukenali: foto yang diambil tahun ini, foto diriku dan anak-anakku. Aku memungutnya...dan aku melihat... Kau tahu apa yang kulihat, Germaine. Bukannya wajahku, wajah di foto itu adalah wajahmu!...
Kau
menyisipkan
gambarmu,
Germaine,
dan
melenyapkanku! Wajahmu! Salah satu lenganmu merangkul leher puteri tertuaku, sementara adiknya duduk di atas lututmu. Kaulah, Germaine, isteri suamiku, ibu dari anak-anakku kelak, kaulah yang akan membesarkan mereka...kau, kau!... Aku pun hilang akal. Aku 27
menyimpan belatinya... Jacques sedang membungkuk... Aku menusuknya...” Kata demi kata pengakuannya adalah benar. Mereka yang mendengarnya merasakan ini. Hortense dan Rénine mendapat kesan tragedi yang sangat hebat. Dia merosot kembali ke kursinya, kehabisan tenaga. Tapi dia terus mengucapkan kata-kata yang tak bisa dimengerti. Baru setelah menghampirinya mereka dapat mencernanya. “Kupikir akan timbul huru-hara dan aku pasti ditangkap. Tapi ternyata tidak. Itu terjadi tanpa terlihat oleh siapapun. Selanjutnya, Jacques berdiri tegak, bersamaan denganku. Dia betul-betul tidak roboh. Tidak, dia tidak roboh! Aku sudah menusuknya, tapi dia tetap berdiri! Aku kembali ke teras dan memperhatikannya dari sana. Dia melilitkan jaketnya di bahu, untuk menyembunyikan lukanya, dan dia berjalan tanpa terhuyung...atau sedikit terhuyung, yang hanya bisa dirasakan olehku. Dia bahkan mengobrol dengan beberapa teman yang sedang bermain kartu. Lalu dia pergi ke pondoknya dan menghilang... Beberapa saat kemudian aku kembali ke dalam. Aku terbujuk, bahwa semua ini cuma mimpi buruk...bahwa aku tidak membunuhnya...atau, paling tidak, lukanya enteng. Jacques akan keluar lagi, aku yakin. Aku mengamati dari balkon... Andai saja terpikir olehku bahwa dia butuh bantuan, aku pasti berlari mendatanginya. Tapi aku betulbetul tidak tahu...aku tidak menduga... Orang-orang sering bicara firasat, nyatanya tidak ada yang namanya firasat. Aku tetap tenang, seperti orang yang baru melewati mimpi buruk, dan tak lagi 28
mengingatnya.... Tidak, sumpah, aku tak tahu apa-apa...sampai saat itu...” Dia berhenti, tercekik oleh isak-tangis. Rénine melengkapi kalimatnya. “Sampai saat mereka datang dan memberitahumu, begitu?” Thérèse tergagap. “Ya. Baru saat itulah aku sadar apa yang sudah kulakukan...dan aku merasa gila, ingin berteriak kepada semua orang, ‘Aku pelakunya! Jangan menggeledah! Ini belatinya...aku penjahatnya!’ Ya, aku ingin mengatakan itu, tapi tiba-tiba aku melihat Jacques-ku yang malang... Mereka menggotongnya... Wajahnya damai sekali, lembut sekali... Dan, di depannya, aku paham tugasku, sebagaimana dia paham tugasnya. Dia tetap bungkam demi anakanak. Aku juga akan bungkam. Kami berdua bersalah atas pembunuhan di mana dia menjadi korban, dan kami berdua harus berusaha sekuat tenaga untuk mencegah kejahatan ini berdampak buruk terhadap mereka. Dia melihat ini dengan jelas dalam penderitaan sekaratnya. Dia punya keberanian mengagumkan untuk tetap berdiri, menyahut orang-orang yang menyapanya, lalu mengunci diri untuk mati. Dia melakukan ini, menghapus semua kesalahannya dengan satu tindakan, dan memaafkanku, karena dia tidak menuduhku...dan menyuruhku tetap tenang...dan membela diri...terhadap siapapun...terutama kau, Germaine.” Kata-kata terakhir ini disampaikan dengan lebih tegas. Mulanya terpukul oleh tindakan membunuh sang suami tanpa sadar, kekuatannya sedikit pulih saat memikirkan apa yang sudah 29
diperbuatnya dan saat membela diri habis-habisan. Dihadapkan dengan wanita licik yang kebenciannya telah menjerumuskan mereka ke dalam kematian dan kejahatan, dia mengepalkan tangan, siap berkelahi; sekujur tubuhnya gemetar oleh tekad. Germaine Astaing tidak mengingkari. Dia mendengarkan tanpa berkata apa-apa, ekspresinya semakin bengis seiring dengan cermatnya pengakuan Thérèse. Dia tak diperlunak oleh perasaan, tak tertembus oleh penyesalan. Paling banter, menjelang selesai, bibir tipisnya membentuk senyum redup. Dia mencengkeram mangsanya. Perlahan-lahan,
dengan
mata
tertuju
ke
cermin,
dia
membetulkan topi dan membedaki wajah. Lalu berjalan ke pintu. Thérèse melesat maju. “Mau ke mana kau?” “Ke mana pun aku memilih.” “Menemui hakim pemeriksa?” “Mungkin sekali.” “Kau tak boleh lewat!” “Terserah. Aku akan menunggunya di sini.” “Dan kau akan memberitahukan apa?” “Semua yang sudah kau katakan, tentu saja, semua yang sudah kau katakan dengan cukup bodoh. Mungkinkah dia meragukan cerita tadi? Kau sudah menjelaskan semuanya dengan lengkap.” Thérèse memegang pundaknya. “Ya, tapi aku juga akan menjelaskan hal lain padanya, Germaine, menyangkut dirimu. Jika aku hancur, kau pun harus 30
hancur.” “Kau tak bisa menyentuhku.” “Aku bisa membeberkanmu, memperlihatkan surat-suratmu.” “Surat apa?” “Surat yang memutuskan kematianku.” “Bohong, Thérèse! Kau tahu plot terkenal itu hanya ada dalam imajinasimu. Aku dan Jacques tidak menginginkanmu mati.” “Kau menginginkannya, biar bagaimanapun. Surat-suratmu menunjukkan kau bersalah.” “Bohong! Itu cuma surat seseorang kepada temannya.” “Surat seorang wanita simpanan kepada kekasihnya.” “Buktikan.” “Ada di sana, di dalam buku saku Jacques.” “Tidak, tidak ada.” “Apa kau bilang?” “Aku bilang surat-surat itu milikku. Aku sudah mengambilnya kembali, atau lebih tepatnya oleh saudaraku.” “Kau mencurinya, dasar brengsek! Kau harus kembalikan,” teriak Thérèse, menggoncang-goncangnya. “Aku tak menyimpannya. Tapi saudaraku. Dia sudah pergi.” Thérèse tertatih-tatih dan merentangkan tangannya kepada Rénine dengan ekspresi putus asa. Rénine berkata: “Benar yang dikatakannya. Aku mengamati gerak-gerik saudaranya saat meraba-raba tasmu. Dia mengeluarkan buku saku itu, menggeledah bersama-sama, dan menaruhnya kembali lalu pergi dengan surat-surat itu.” 31
Rénine berhenti sejenak, kemudian menambahkan. “Atau, sekurangnya, lima surat.” Kedua wanita mendekatinya. Apa maksudnya? Jika Frédéric Astaing membawa pergi lima surat saja, bagaimana dengan yang keenam? “Aku menduga,” kata Rénine, “saat buku saku jatuh ke tanah kerikil, surat keenam ikut meluncur dengan foto itu, dan Tn. d’Ormeval memungutnya. Aku menemukannya dalam saku jaket, yang tergantung dekat ranjang. Ini. Bertandatangan Germaine Astaing, dan cukup untuk membuktikan niat penulisnya dan usulan membunuh yang dia tekankan kepada kekasihnya.” Madame Astaing menjadi pucat dan bingung, tidak berusaha membela diri. Rénine melanjutkan, dialamatkan kepadanya: “Menurutku, madame, kau bertanggungjawab atas semua yang terjadi. Melarat dan hampir kehabisan sumber penghasilan, kau mencoba mengambil keuntungan dengan hasrat yang kau hembuskan kepada Tn. d’Ormeval agar dia menikahimu, terlepas dari segala rintangan yang ada, agar kau menguasai kekayaannya. Aku punya bukti atas kerakusan ini dan kalkulasinya yang buruk, dan bisa kuberikan jika perlu. Beberapa menit setelah aku meraba saku jaketnya, kau melakukan hal yang sama. Aku sudah mengambil surat keenam, tapi kubiarkan selembar kertas yang kau cari-cari, yang ikut jatuh dari buku saku. Selembar cek terbuka bernilai seratus ribu franc, dibuat oleh Tn. d’Ormeval atas nama saudaramu...sebagai
hadiah
pernikahan
kecil-kecilan...boleh
dibilang uang saku. Bertindak atas instruksimu, saudaramu melesat 32
dengan mobil menuju Le Havre untuk sampai ke bank sebelum jam empat. Aku juga mau bilang, dia takkan bisa menguangkan cek itu, karena aku sudah menitipkan pesan telepon ke bank bahwa Tn. d’Ormeval terbunuh, sehingga semua pembayaran harus dihentikan. Kesudahan dari semua ini adalah, kalau kau bersikeras dengan skema balas dendammu, polisi akan memegang semua bukti yang diperlukan untuk memberatkanmu dan saudaramu. Sebagai keterangan pelengkap, aku bisa tambahkan cerita percakapan yang tak sengaja kudengar di antara kau dan saudaramu di dalam gerbong makan di atas rel antara Brest dan Paris, dua pekan lalu. Tapi aku yakin kau takkan memaksaku mengambil langkah ekstrim ini, dan kita saling mengerti. Bukan begitu?” Sifat kasar dan keras kepala Madame Astaing, yang diperturutkan selama pertengkaran dan sepanjang harapan tersisa, dengan mudahnya terombang-ambing dalam kekalahan. Germaine terlalu cerdas untuk tidak menangkap fakta bahwa upaya perlawanan sekecil apapun dapat dipatahkan oleh lawan seperti ini. Dia ada dalam genggamannya. Mau tak mau dia harus menyerah. Maka dari itu dia tidak lagi bersandiwara, tidak pula berlagak mengancam, geram, atau histeris. Dia membungkuk. “Kita sepakat,” katanya. “Apa syaratmu?” “Pergilah jauh-jauh. Jika kau dipanggil untuk memberi keterangan, katakan kau tidak tahu apa-apa.” Dia pun melangkah pergi. Di ambang pintu, dia bimbang dan menggerutu: 33
“Ceknya.” Rénine menoleh pada Madame d’Ormeval yang kemudian berujar: “Biarkan dia menyimpannya. Aku tak mau menyentuh uang itu.” ***** Setelah memberi instruksi kepada Thérèse d’Ormeval tentang bagaimana harus bersikap dalam pemeriksaan dan menjawab pertanyaan yang diajukan, Rénine meninggalkan chalet, ditemani Hortense Daniel. Di pantai, hakim dan jaksa penuntut umum meneruskan penyelidikan mereka, mengukur, memeriksa saksi-saksi, dan bermusyawarah. “Saat aku berpikir,” kata Hortense, “bahwa kau menyimpan belati dan buku saku milik Tn. d’Ormeval...” “Kau menganggapnya berbahaya, kan?” timpalnya, sambil tertawa. “Aku menganggapnya lucu.” “Kau tidak khawatir?” “Khawatir apa?” “Bahwa mereka akan curiga?” “Ya ampun, mereka takkan curiga apa-apa! Kita tinggal katakan pada orang-orang baik itu apa yang kita lihat, dan keterangan kita justru akan menambah bingung mereka, sebab kita tak melihat apa-apa sama sekali. Untuk bijaknya, kita akan tinggal 34
di sini satu atau dua hari lagi, kita lihat ke arah mana angin bertiup. Tapi ini sudah selesai, mereka takkan bisa memahami masalah ini.” “Tapi, kau sudah menebak rahasia ini dari awal. Kenapa bisa?” “Karena, alih-alih mencari kesulitan yang tidak ada, yang umum dilakukan banyak orang, aku selalu menempatkan persoalan di tempat semestinya, maka solusi datang dengan sendirinya. Seseorang pergi ke pondoknya dan mengunci diri. Setengah jam kemudian, dia ditemukan tewas di dalam. Tak ada seorang pun yang pernah masuk. Apa yang sudah terjadi? Menurutku, hanya ada satu jawaban. Tak usah memikirkannya. Karena pembunuhan tidak dilakukan di dalam pondok, maka pasti dilakukan sebelumnya dan orang itu sudah terluka parah saat masuk pondok. Dengan segera, fakta dalam kasus ini tampak di depanku. Madame d’Ormeval, yang seharusnya dibunuh malam ini, mendahului para pembunuhnya. Selagi suaminya membungkuk ke tanah, dia menikam punggungnya dalam suasana geram. Jadi tinggal dicari alasan perbuatannya. Setelah tahu, aku memihaknya terangterangan. Begitulah ceritanya.” Hari mulai surut. Langit biru berubah gelap, laut semakin tenang. “Apa yang sedang kau pikirkan?” tanya Rénine setelah beberapa lama. “Aku sedang berpikir,” katanya, “andai aku korban suatu akalbulus, aku mesti percaya padamu apapun yang terjadi, percaya padamu dalam melewati dan menghadapi segalanya. Aku tahu, tahu pasti, bahwa kau akan menyelamatkanku, apapun rintangan35
nya. Daya kemauanmu tak ada batasnya.” Rénine menyahut, sangat lembut: “Keinginanku untuk menyenangkanmu tak ada batasnya.”
36