Kota di Sebuah Mata
Terpaksa kutekuk lutut ini dari terpaan cahaya yang mengalahkan matahari. Mata menjadi rabun setelah berjalan melintasi Waru hingga Suramadu: begitu banyak cahaya bergambar kedok berplastik di pinggir jalan. Juga Galaxy Mall yang menumpang pada jalan Soekarno. Ah, pecah otak bersama ratusan kilo aspal nan hitam legam. Aku menjadi mata sembab, menengoki sekian sampah grafis pada rumah-rumah sejarah juga penanda kota. Mataku menjadi pasar becek oleh hujan warna dan senyum hura menanda kasih untuk dibeli. Bocah-bocah nyengir di balik besi pancang hitam kalut. Kelabu di udara. Terpaksa kutekan perut ini dari mual karena makanan bercampur racun membuat mata berkunang-kunang. Pedih serasa kota menjadi tali panjang untuk mengikat ribuan kata-kata busuk di jalanan. Di Ahmad Yani, Darmo, juga Basuki Rahmat hingga stasiun Pasar Turi. Mata
penuh kata kejam bersama klakson dan amarah menumpah.
Perutku
menjadi
ladang
nafsu
mengunyah
oleh
sebarisan
kata
yang
menjebloskannya dalam penjara gelap. Aku tertelan oleh segala cahaya dan kata-kata juga gambar yang menghina. Terpaksa kukuliti sisa rasa pada udara yang menampung asma. Kota menjadi penguap polusi bagi otak dan tubuh himpit tertekan. Api menjilat di pinggir rel kereta. Api menyambar di dapur tanpa gas dan kompor dan menyimpan segenggam beras. Kota adalah mesin uang bagi gedung-gedung yang menjadikannya plaza dan hotel. Kota adalah sepasukan satpol pp bernaung pada pentungan untuk menghujam pada perut kering terpanggang di kolong jembatan, di pinggir kali mas, juga sederet bau busuk sisa tak terselesaikan. Ribuan sisa rasa pada warna dan udara, juga asap selalu muncul dari balik dapur penuh kebengisan. Terpaksa kuletakkan mimpiku pada batangbatang besi terpancang lurus pada kepala, juga 2
becak yang mengayuh harapan, juga pada barisbaris rumah sakit bertukar kecemasan. Ada beribu cahaya dan warna, rupa dan garis, suasana dan ketegangan di balik kota. Ada keriuhan dan kenestapaan, juga pada kota penuh luka karena tersengat listrik menganga pada kabel investasi. Gorong-gorong, cuaca dan kenyataan adalah serangkaian mimpi nestapa tak terkendali. Kota menjelma menjadi ratusan serangga pada kopi hujan terseduh oleh para ibu sambil menggendong bayi pada akhir tahun. Mimpi ini telah menyelesaikan segalanya. Kota
di
hadapan
mata
menjelma
sebuah
pertarungan cahaya: kerlip satu dihantui seribu bayangan. Kata-kata merobek tatanan. Perut yang mual, mata sembab, juga kepedihan dari perut lelah berjuang memadamkan kenistaan, harus tertunduk dan terkuliti oleh ketiadaan rasa
kemanusiaan,
juga
sejarah
panjang.
Berpuluh-puluh kilometer jaraknya: perjuangan ternyata tak mengilhami pada kota yang penuh gempita para pejuang. Kota kini, di hadapan 3
mata,
di
hadapan
penghalang
untuk
kita
menjadi
mengisi
tembok
dompet
para
pengemis. Kota kini, di hadapan mata menjadi teman candu bagi petarung cahaya dan kata juga baris
grafis
menyilaukan:
di
belakangnya,
ketukan palu penguasa menjadikannya tetap bercahaya. Abadi. Seperti Tuhan di tangan bocah baru terlahir. Aku mengiyakan. Segala rupa cahaya, rasa pada kata, juga mimpi yang tak pernah turun, membiarkannya runtuh di jalanan. Di antara bundaran Waru hingga Suramadu. Biarlah, Surabaya menjadi kota sembab di mata kita.
4
Menanak Usia di Surabaya Senja -- diw.
“dunia milik sang penyabar,” katamu, pada sebuah coretan buku setelah kau tanda tangani, dan usia hanyalah sebuah angka penuh hitung pada kumis yang selalu mengalirkan tawa dan kerut kening pada sebuah barisan jalan yang membawa kepada dunia masa lalu: luas dan belum terjamah oleh pembesar modernisme yang tak menggenapkan manusia. kota
dalam
genggamanmu
menjadi
sebuah
soerabaya tempo dulu. kecintaanmu pada usia telah kau sajikan dalam soerabaya on the olden days: menyihir para pelancong masa lalu repot membawa
tongkat
di
tangan
kanannya
sementara tangan kirinya memegang ice cream atau cappuccino dan setumpuk novel teenlit yang mereka ambil dari ruang keriuhan.
5
kota tanpamu berubah seperti terbuang di sungai. masa lalu menangis di antara generasi histeria bersama suara knalpot dan bayangbayang kebebasan. patung-patung pahlawan mengidap asma dan lumer karena kapitalisme telah
menukar
bajunya
dengan
lumut
kerakusan. dan sekawanan tentara kehilangan museum untuk berteduh. sementara setumpuk kabut menyelimuti rumah dan meja kerjamu pada pukul 3 pagi, gemerisik musik senyap dan udara
mengintip
setiap
catatan
dan
kaca
pembesar menelusuri baris peta kuno menggoda setiap
masa
yang
dilalui
sebuah
kota
di
perbatasan senja. di setiap titik tanda kau lingkari
dengan
sinar
merah
dan
selalu
menjelma kata yang menegakkan harapan. “dan kita selalu sabar untuk terlalu cepat pada sebuah lupa. dan sejarah, mungkin adalah sebuah lupa membuta” pikirmu. dan itulah sebabnya kau semakin tertegun pada sebuah kesabaran yang mampu membawa gerbong
6
masa lalu untuk sampai pada sejarah hingga mampu menjadi cermin. kota telah menjadi adonan yang tak harus menjadi bubur. sebab, di setiap usia menjauh dari
pinggir,
pengering
masa
atas
lalu
segala
mampu kesabaran
menjadi untuk
menunggunya. sampai saat senja.
7