1
Teritori Kelompok pada Toko Hijabers di Jabodetabek Nanditta Fitri Wardhani Hendrajaya Isnaeni Departemen Arsitektur, Fakultas Teknik, Universitas Indonesia, Kampus UI, Depok, 16424, Indonesia E-mail:
[email protected]
Abstrak Identitas sebuah kelompok dapat ditunjukkan melalui berbagai cara, mulai dari cara berpakaian hingga perwujudan secara arsitektural. Jika dilihat dari segi arsitektural, perwujudan fisik bangunan dilakukan untuk memperjelas batas teritori sebuah kelompok, dimana perwujudan fisik ini dilakukan dengan melakukan personalisasi pada teritori untuk menunjukkan identitas kelompok dan menunjukkan suatu ide akan kepemilikan tempat. Pada kehidupan bermasyarakat, kita pasti akan mengalami momen dimana kepentingan satu sama lain akan saling tumpang tindih, yang mau tidak mau kita harus memasuki teritori suatu individu atau kelompok. Namun, terkadang kita pernah mengalami rasa takut atau segan di dalam sebuah ruangan atau bangunan, dimana tanpa kita sadari, kita menunjukkan suatu perilaku non verbal untuk mengekspresikan perasaan tersebut. Hal ini dapat dipengaruhi oleh berbagai macam faktor, dan arsitektur menjadi salah satu faktor yang mempengaruhi perilaku seseorang. Personalisasi pada fisik bangunan terkadang dilakukan dengan memikirkan tujuan pribadi suatu kelompok, yaitu menunjukan identitas dan kepemilikan akan suatu tempat, namun seberapa penting suatu tempat bagi sebuah kelompok, pada dasarnya tetap berada di lingkungan publik yang mengharuskan sebuah tempat atau bangunan harus tetap ramah kepada publik. Sayangnya, seiring dengan berkembangnya zaman, arsitektur di Indonesia terlihat semakin egois, yang ditunjukkan dengan fungsi bangunan yang secara hakikat diperuntukkan bagi publik, terlihat hanya terfokus dengan bagaimana mereka menunjukkan identitas bangunan agar dapat menarik perhatian orang sebanyaknya untuk masuk ke dalam bangunan itu, namun tetap menegaskan kepemilikan suatu tempat yang seolah memilih siapa saja yang pantas untuk masuk ke dalam tempat tersebut. Dapat disimpulkan, perwujudan fisik sebuah teritori komunitas berpengaruh terhadap perilaku seseorang, khususnya orang yang bukan menjadi bagian dari komunitas. Hal ini membuktikan, bangunan bukanlah hanya perwujudan identitas pemiliknya, melainkan sebuah simbol bagi publik yang dapat mempengaruhi persepsi mereka terhadap sebuah bangunan atau lingkungan. Group Territory on Hijabers Stores in Jabodetabek Abstract The identity of a group can be demonstrated through a variety of ways, ranging from how to dress to an architectural manifestation. In architectural terms, building physical manifestation is made to clarify the boundaries of a group’s territorial, in which it is made by personalizing the territory to indicating the identity of the group and to show the idea of a place’s ownership. In public life, we will be facing a moment where the interests of one and
Teritori kelompok.…, Nanditta Fitriwardhani, FT UI, 2014
2
another will be overlapping, and inevitably we have to enter the particular territory. However, sometimes we feel fear or reluctant in a room or building, unconsciously, we show a nonverbal behavior to express these feelings. These can be influenced by various factors, and architecture became one of the factors that influence a person's behavior. Personalization on the physical building, sometimes, is only thinking about personal goals, such as to show their identity and ownership of the place, but how important is a place for a group, basically they still remain in a public environment which they should be friendly to the public. Unfortunately, along with the development of the times, the architecture in Indonesia looks increasingly selfish, as indicated by function of the buildings that supposed to be dedicated to the public, however, it looks only focusing with how to show their identity in order to attract people's attention as much as they can, but they still emphasize to the ownership of a place that seems to choose who deserves to get into the venue. It can be concluded, the physical manifestation of a community’s territory affects person’s behavior, especially someone who is not a part of the community. This proves, building is not only a manifestation of the identity of the owner, but as a symbol for the public that can influence their perception of a building or environment. Keywords : Territory, Personalization, Intrusion, Behavior, Exclusion
Pendahuluan Komunitas hijabers, sebuah komunitas islam yang terdiri dari muslimah-muslimah muda, beberapa tahun terakhir telah menjadi perbincangan hangat di berbagai kalangan di Indonesia, khususnya Jakarta. Keberadaan komunitas ini diawali dengan gebrakan baru dalam dunia mode busana muslim yang didirikan oleh dua wanita muslimah muda yang berprofesi sebagai desainer busana muslim yang berupaya untuk mengembalikan citra wanita muslimah ke kalangan muda. Komunitas ini memulai pendekatan islami kepada wanita-wanita muslimah muda dengan menciptakan tren hijab, yang menunjukkan kepada kalangan muslimah muda, persepsi dari tahun ke tahun bahwa yang berjilbab itu tidak moderen, kuno, dan membosankan. Sasaran mereka anak muda berumur belasan tahun hingga ibu muda umur 30 tahunan. Hal ini dikarenakan di umur tersebut, mereka memiliki kebutuhan akan eksistensi diri, senang jika menjadi pusat perhatian, karena itu mereka sangat memperhatikan cara berpakaian yang indah. Penyebaran tren komunitas hijabers juga semakin berkembang, bukan hanya pada bidang tren mode yang dibuktikan dengan semakin banyaknya wanita muslim di Indonesia yang mulai menggunakan jilbab dengan gaya khas hijabers, tetapi sudah merambah ke bidang arsitektural. Banyak bangunan-bangunan yang bermunculan yang membawa identitas hijabers, yang seolah setiap bangunan hijabers mempunyai suatu identitas tertentu yang dapat langsung dikenali oleh masyarakat.
Teritori kelompok.…, Nanditta Fitriwardhani, FT UI, 2014
3
Komunitas hijabers, selain mendapatkan hal positif karena berhasil mengajak banyak muslimah muda untuk menggunakan jilbab, ternyata juga menuai tanggapan negatif, dimana banyak orang-orang yang berada di luar komunitas ini menganggap bahwa komunitas ini merupakan komunitas yang eksklusif yang hanya menerima wanita-wanita sosialita untuk bergabung dengan komunitas ini. Fenomena ini kemudian memunculkan beberapa pertanyaan pada skripsi ini, yaitu : - Bagaimana komunitas hijabers menunjukkan identitasnya pada bangunan? - Bagaimana perilaku spasial orang-orang yang berada di dalam bangunan hijabers? - Adakah pengaruh elemen fisik yang menunjukkan identitas hijabers terhadap orang yang masuk ke dalam bangunan tersebut? Metode pembahasan yang saya lakukan pada skripsi ini, terdiri dari dua jenis, yaitu studi literatur dan studi empiris. Studi literatur dilakukan dengan mencari teori-teori yang relevan dengan pembahasan tema skripsi yang diangkat. Studi empiris dilakukan dengan melakukan observasi langsung di lapangan, dengan melakukan pengamatan, pengambilan data pada empat toko hijabers di daerah Jakarta Selatan, Tangerang, Jakarta Pusat, dan Depok, dan melakukan wawancara dengan pengambilan sampel narasumber secara acak dengan syarat orang-orang tersebut pernah masuk ke dalam toko hijabers tersebut dan berumur di atas 17 tahun.
Studi Literatur Teritori, menurut Altman (1981), memiliki tiga tipe: (1) primary territories, merupakan teritori yang dimiliki dan digunakan secara eksklusif oleh individu atau kelompok, dapat diidentifikasi kepemilikannya oleh orang lain, dan penting bagi kehidupan sehari-hari penghuninya. Intrusi tanpa izin terhadap teritori ini merupakan masalah serius dan kontrol akan akses sangat bernilai; (2) secondary territories, tidak terlalu penting, kurang dapat ditembus dan tidak terlalu eksklusif dibandingkan dengan primary territories; dan (3) public territories, dimana sifatnya lebih sementara dan hampir setiap orang dapat bebas mengakses dan hak untuk menghuninya. Lyman dan Scott (1967) kemudian mengidentifikasi dua tipe teritori yang sesuai dengan secondary territories, yaitu home territories, dimana pengguna tetap relatif bebas mengakses dan memiliki sedikit kontrol terhadap penggunaan place orang lain, dan interactional territories, yaitu lokal geografis dimana beberapa jenis interaksi terjadi antara sekelompok orang.
Teritori kelompok.…, Nanditta Fitriwardhani, FT UI, 2014
4
Analisis selanjutnya dilakukan oleh Goffman (1971) yang menjelaskan jenis-jenis public territories: (1) stall, dimana individu atau kelompok dapat mengklaim teritori sementara; (2) turn, teritori yang harus mengikuti suatu aturan dan berkaitan dengan istilah “place in line” yaitu pengaturan akses secara berurutan, (3) use space, yaitu area di sekitar atau di depan seseorang atau kelompok yang diakui berada di kontrol mereka sementara, dan (4) possessional territories dan steaths atau objek yang diidentifikasi bersama seseorang. Untuk menaruh klaim teritorial, orang-orang cenderung melakukan personalisasi pada teritorinya. Personalisasi yang dilakukan adalah dengan menaruh tanda (marking) untuk mengkomunikasikan klaim teritorial mereka kepada orang lain. Personalisasi juga dapat meningkat rasa terikat terhadap sebuah tempat (place) dan merefleksikan identitas dari pemiliknya. Personalisasi untuk tujuan preventif dapat dilakukan dengan pendekatan desain, salah satunya dengan pendekatan untuk mendapatkan tingkat privasi yang diinginkan. Ciri atau kebijakan arsitektur yang mendorong personalisasi akan mendukung penyajian informasi personal, dimana karakteristik-karakteristik lain dari lingkungan fisik dapat mencegah kita untuk mengatur informasi apa yang ingin kita berikan kepada orang lain (Bell, Greene, Fisher, dan Baum, 1996). Pengaturan privasi ini bisa dicapai dengan membuat pembatas, dimana pembatas yang menghalangi pandangan dari orang lain dapat mengurangi pengaruh dari orang lain, sedangkan batas yang hanya mengaburkan pandangan tidak mengurangi pengaruh dari orang lain. Pembatasan visual ini bisa dilakukan di dalam ruangan, biasanya dengan partisi interior, atau di luar ruangan, yaitu dengan media jendela yang lebih menekankan pada fungsi sebagai penghubung visual dengan lingkungan luar. (Leather, Pygras, Beale, dan Lawrence, 1988, dikutip oleh Bell, Greene, Fisher, dan Baum, 1996). Selain itu, menurut Bell, Greene, Fisher, dan Baum (1996), privasi juga bisa didapatkan dengan pengaturan hirarki spasial (Alexander, 1972; Evans & McCoy, 1998), dimana pintu dan dinding antar space menyusun rangkaian peningkatan tingkat privasi serta semakin dalam space dalam hirarki memungkinkan lebih banyak pengaturan akan interaksi sosial (Hillier & Hanson, 1984). Dalam desain perkotaan, privatisasi biasanya memerlukan kontrol akan teritori atau ruang tertentu dengan pemisahan (seperti jarak fisik, dinding, pagar dan pembatas yang kurang dapat dilihat untuk mengucilkan dunia luar dan ancaman dan tantangan yang dirasakan (dan juga dengan menggunakan strategi kebijakan dan penggunaan kamera pengawas (Carmona, Heath, Oc, dan Tiesdell, 2003). Pemisahan sebagai metode privatisasi menggambarkan bahwa eksklusi merupakan suatu perwujudan kekuasaan yang dapat ditandai dengan kemampuan kelompok untuk mengontrol ruang dan akses. Pengertian utama dari privatisme adalah berbagai bentuk privatisasi dan pembentukan ruang privat, dimana terjadi
Teritori kelompok.…, Nanditta Fitriwardhani, FT UI, 2014
5
perubahan dari yang sebelumnya merupakan ruang publik (Carmona, Heath, Oc, dan Tiesdell, 2003). Eksklusi dapat menimbulkan dua pemahaman yang berbeda yaitu eksklusivitas dan sekuritas (keamanan). Eksklusi memperlihatkan kekuasaan melalui kontrol akan suatu ruang dan akses. Kontrol dilakukan terkadang dengan tujuan untuk melindungi suatu kekayaan atau kepentingan. Namun, jika kontrol akses dipraktekkan secara eksplisit, publicness dalam public realm akan terganggu. Dan dibandingkan untuk mencegah perilaku tertentu, strategi pengendalian atau kontrol dilakukan untuk mengucilkan individu-individu atau kelompok sosial tertentu (Carmona, Heath, Oc, dan Tiesdell, 2003). Carr, Francis, Rivlin, dan Stone (1992) kemudian mengidentifikasi tiga bentuk akses: (1) Akses visual, apabila mereka dapat melihat suatu ruang sebelum memasukinya, mereka dapat menilai apakah mereka akan merasa nyaman, disambut, dan aman di dalamnya; (2) Akses simbolik, yang dapat berupa benda hidup atau benda mati. Contohnya, suatu individu atau kelompok dapat terlihat mengancam bagi kita, atau sebaliknya terlihat nyaman atau mengundang, akan mempengaruhi kita untuk masuk ke ruang publik, misalnya dengan elemen-elemen tertentu dari toko-toko yang menandakan jenis orang yang diterima di toko tersebut; (3) Akses fisik, yang terlihat secara fisik oleh publik. Ekslusi fisik adalah ketidakmampuan untuk masuk ke dalam atau menggunakan suatu lingkungan, walaupun kita bisa melihat ke dalam ruang tersebut atau tidak. Dengan melakukan kontrol terhadap ruang dan akses, eksklusi dapat memiliki dua pendekatan dengan tujuan berbeda, yaitu keamanan, yang bertujuan untuk menjauhkan ancaman atau hal-hal yang dianggap membahayakan dan eksklusivitas untuk mengucilkan dunia luar yang dianggap tidak sesuai menurut suatu kelompok tersebut. Untuk mengurangi hal-hal yang tidak diinginkan oleh suatu kelompok masuk ke dalam teritorinya untuk tujuan keamanan, Oc dan Tiesdell (1999, 2000), mengidentifikasi empat pendekatan desain perkotaan yang dilakukan untuk menciptakan lingkungan yang lebih aman: (1) the fortress approach, yang menggunakan dinding, pembatas, pagar, pemisahan fisik, privatisasi dan kontrol terhadap teritori, dan strategi eksklusi; (2) the panoptic approach (sebagai pengawas), dengan melakukan kontrol secara eksplisit dan/atau privatisasi ruang publik, pengadaan polisi/petugas sekuriti, sistem CCTV sebagai alat kontrol, sistem pengawasan, dan eksklusi; (3) The management atau regulatory approach (sebagai yang akan diawasi), dengan menerapkan pengelolaan ruang publik, peraturan eksplisit, pengaturan waktu dan ruang, penggunaan CCTV sebagai alat pengelolaan, perwakilan pusat kota di ruang
Teritori kelompok.…, Nanditta Fitriwardhani, FT UI, 2014
6
publik (4) The animation atau 'peopling' approach melibatkan keberadaan orang, orang yang mengatur, aktivitas, suasana yang memberi kesan menyambut, aksesibilitas dan inklusi. Sebaliknya, untuk tujuan eksklusivitas, eksklusi dilakukan dengan pendekatan desain fisik dilakukan untuk mengurangi hal-hal yang tidak diinginkan oleh suatu kelompok masuk ke dalam teritorinya. Berdasarkan observasi yang dilakukan Flusty (1997), terdapat empat tipe space yang didesain untuk tujuan eksklusi dengan menggabungkan fungsi dan perasaan mereka: (1) ‘Stealthy’ space, yaitu ruang yang tersamarkan dan tidak bisa ditemukan karena adanya intervensi benda atau perbedaan level; (2) ‘Slippery’ space, yang tidak dapat dicapai karena jalan yang berubah bentuk, berputar-putar atau hilang; (3) ‘Crusty’ space, yang tidak dapat diakses karena adanya hambatan seperti dinding, gerbang, dan pos-pos pemeriksaan; (4) ‘Prickly’ space, yang tidak dapat ditempati dengan nyaman; (5) ‘Jittery’ space, yaitu ruang yang membuat orang merasa gelisah karena merasa diawasi oleh petugas pengawas keliling dan/atau teknologi pengawasan. Selain itu, bentuk eksklusi yang lebih halus dapat juga dilakukan melalui isyarat visual yang melambangkan dan mengkomunikasikan kemampuan seseorang untuk membayar atau lebih tepatnya untuk membeli atau mengkonsumsi. Intrusi atau penyusupan ruang personal atau teritori individu atau kelompok dapat dilihat dari dua perspektif, yaitu dari individu atau kelompok yang diintrusi atau dari perspektif orang yang melakukan intrusi tersebut. Menurut penelitian yang dilakukan oleh Efran dan Cheyne (1973) yang dikutip oleh Altman (1981) menunjukkan bahwa bukan hanya orang yang menjadi korban dari intrusi yang merasakan respon negatif, namun orang yang berperan menjadi penyusup juga merasakan ketidaknyamanan saat mereka dipaksa untuk mengintrusi batas ruang personal seseorang. Pada beberapa penelitian intrusi dari perspektif orang yang melakukan intrusi (penyusup) menunjukkan bahwa orang-orang cenderung menghindari penyusupan terhadap ruang personal atau teritori orang lain, bertingkah canggung saat mereka dipaksa untuk untuk melakukan intrusi terhadap batas personal orang lain, dan menunjukkan perbedaan akan kemungkinan intrusi dilihat dari fungsi status, jenis kelamin, dan faktor-faktor lain (Altman, 1981). Hal ini juga ditunjukkkan oleh penelitian yang dilakukan oleh Knowles (1972) yang juga dikutip oleh Altman (1981) bahwa orangorang luar (outsider) dapat merasakan, mengakui, dan menghormati batas ruang personal orang lain. Fitur desain untuk menegaskan teritori juga menjadi hal yang penting, dimana fitur desain yang dapat memberikan kesempatan orang-orang untuk menghindari intrusi terhadap ruang personal orang atau kelompok lain mungkin akan dihargai oleh banyak orang (Knowles dan Bassett, 1976, dikutip oleh Bell, Greene, Fisher, dan Baum, 1996). Perilaku spasial seseorang dapat dianalisis melalui dua jenis perspektif yaitu:
Teritori kelompok.…, Nanditta Fitriwardhani, FT UI, 2014
7
1. Behavior Constraint Perspective Pengertian hambatan (constraint) disini adalah lingkungan yang membatasi atau mengganggu hal yang ingin kita lakukan yang dapat terjadi apabila lingkungan benarbenar menghambat atau mengganggu kita atau karena kita mengganggap atau merasakan bahwa lingkungan tersebut memberikan suatu hambatan atau gangguan (Bell, Greene, Fisher, dan Baum, 1996). Saat kita merasakan sebuah kejadian di suatu lingkungan mengganggu atau membatasi perilaku kita, hal yang pertama kali kita rasakan adalah ketidaknyamanan atau pengaruh negatif (contohnya perasaan tidak menyenangkan). Namun, kita mungkin juga akan berusaha untuk merebut kembali kontrol terhadap sebuah situasi atau lingkungan. Fenomena ini disebut reaktan psikologi (psychological reactance) atau reaktan (reactance) (Brehm, 1966; Brehm dan Brehm, 1981; Wortman dan Brehm, 1975, dikutip oleh Bell, Greene, Fisher, dan Baum, 1996). Averill (1973) menjelaskan tiga tipe kontrol: (1) behavioral control, dimana kita memiliki respon terhadap perilaku yang ada dengan mengubah lingkungan yang mengancam tersebut; (2) cognitive control, dimana kita memproses informasi tentang sebuah ancaman sedemikian rupa sehingga kita menilai hal itu menjadi tidak terlalu mengancam atau kita memaklumi ancaman tersebut; (3) decisional control, kita mempunyai suatu pilihan diantara opsi-opsi yang lain. 2. Boundary Regulation Process Pada sistem boundary-regulation ini, seseorang atau suatu kelompok menyusun serangkaian mekanisme dalam pergerakannya untuk menyesuaikan batas diri atau selfboundaries sehingga mampu mewujudkan level privasi yang diinginkan sesaat. Privasi kemudian diartikan sebagai proses optimalisasi, dimana terdapat tingkat optimal terhadap akses antara diri dengan orang lain yang diharapkan pada suatu waktu, dimana sesuatu yang melebihi atau lebih kurang dari tingkat ideal tersebut merupakan hal yang tidak menyenangkan (Altman, 1981).
Gambar 1. Hubungan antara privasi, ruang personal, teritori, dan crowding (Sumber: The Environment and Social Behavior, oleh Irwin Altman, 1981, hal. 29)
Teritori kelompok.…, Nanditta Fitriwardhani, FT UI, 2014
8
Diagram di atas menjelaskan apabila tingkat privasi atau interaksi sosial yang didapat sama dengan level yang diinginkan, maka sistem boundary-regulation dapat disebut mencapai target. Tetapi apabila tingkat privasi yang didapatkan melebihi dari level yang kita inginkan, terjadi social isolation dimana seseorang tersebut akan merasa terkucilkan dari lingkungan sekitarnya. Sebaliknya, jika level privasi yang didapatkan kurang dari apa yang kita inginkan, kontrol terhadap interaksi sosial tidak terpenuhi atau dapat disebut orang tersebut mengalami ‘crowding’ (Altman, 1981).
Studi Kasus Dari keempat studi kasus yang dilakukan, ditemukan beberapa persamaan pada desain toko yang menunjukkan terjadinya personalisasi dalam teritori komunitas hijabers, yaitu hubungan dengan konteks sekitar, fasad depan bangunan yang tertutup, poster hijabers sebagai identitas kelompok, dan pengaturan ruang yang membatasi menunjukkan terdapat ruang-ruang dengan jenis teritori yang berbeda walaupun berada dalam satu bangunan. 1. Lokasi Geografis Keempat toko hijabers memiliki kesamaan dalam pemilihan geografis, dimana akses menjadi pertimbangan dari pemilihan lokasi setiap cabang. Keempat toko hijabers berada di lokasi dengan akses yang banyak dilewati oleh pengendara, baik jalan utama, jalan raya, atau jalan pintas. Dilihat dari segi konteks yang berbeda-beda, keempat toko melakukan penyesuaian dengan konteks sekitarnya, misalnya dari segi fasad ataupun cara suatu bangunan menyampaikan identitasnya. Namun, dikarenakan toko hijabers ini adalah area komersil yang membutuhkan konsumen, mereka harus membuat bangunan mereka terlihat menarik dibandingkan bangunan sekitar sehingga orang peka terhadapa eksistensi bangunan mereka. Yang dilakukan oleh toko hijabers adalah membuat bangunan mereka tidak seperti alien di lingkungan sekitarnya, namun tetap memiliki daya tarik yang membuat bangunan menjadi pusat perhatian orang saat berada di lingkungan tersebut. 2. Fasad Depan Dilihat dari fasad depannya, akses visual pada fasad depan keempat bangunan toko hijabers hanya dibuka untuk window display, namun tidak untuk menunjukkan kegiatan yang ada di dalamnya. Hal ini ditunjukkan, setiap window display di masing-masing toko akan menaruh latar atau suatu penghalang sehingga orang luar hanya dapat melihat
Teritori kelompok.…, Nanditta Fitriwardhani, FT UI, 2014
9
window display tersebut tapi tidak dapat melihat aktivitas di dalamnya. Selain itu, pada bagian depan fasad keempat toko terpasang foto-foto hijabers yang berfungsi sebagai akses simbolik untuk menunjukkan bahwa toko tesebut merupakan toko khusus hijabers. Dapat disimpulkan, fasad depan hanya dimanfaatkan hanya sebagai media penunjukkan identitas toko hijabers.
Gambar 2. Akses visual pada toko hijabers hanya dimanfaatkan sebagai window display (Sumber : Ilustrasi oleh penulis)
Selain menyampaikan identitas ruang yang dimiliki hijabers, pemilihan nuansa warna pada fasad depan toko hijabers ini menonjolkan kesan feminin seolah menginformasikan bahwa bangunan dikhususkan untuk perempuan.
Gambar 3. Fasad depan toko hijabers A, B, C, dan D (kiri atas ke kanan bawah) (Sumber : Ilustrasi oleh penulis)
3. Hirarki Spasial Pengaturan ruang pada keempat toko hijabers, dilakukan dengan menaruh batas fisik yang disesuaikan dengan tingkat privasi yang ingin dicapai. Namun, terdapat beberapa ruang yang dibatasi secara fisik walaupun pada hakikatnya, kedua ruang tersebut merupakan ruang publik. Dari fenomena ini, terlihat bahwa pengaturan ruang juga
Teritori kelompok.…, Nanditta Fitriwardhani, FT UI, 2014
10
menunjukkan adanya tipe teritori yang berbeda walaupun berada dalam bangunan yang sama. Teritori primer pada toko hijabers termasuk pada seluruh bagian privat toko yang tidak boleh dimasuki oleh siapapun kecuali petugas toko, dimana batas yang digunakan untuk mendefinisikan teritori ini adalah dengan menggunakan batas yang menghalangi akses fisik dan visual. Kontrol yang dilakukan pada teritori primer juga sangat ketat, dimana petugas toko akan benar-benar mengawasi supaya orang yang tidak berkepentingan tidak masuk ke dalam teritori ini. Teritori
sekunder
pada
masing-masing
toko
merupakan
ruang
yang
merepresentasikan teritori komunitas hijabers secara keseluruhan. Teritori ini ditunjukkan dengan adanya akses-akses simbolik, seperti warna cat yang terlihat feminin dan foto-foto hijabers yang menunjukkan identitas ruang sebagai teritori komunitas hijabers.
Gambar 1. Dinding interior Toko Hijab A dipasang foto hijabers dan dicat dengan nuansa ungu (Sumber : Ilustrasi oleh penulis)
Teritori publik pada toko hijabers merupakan fasilitas umum yang disediakan oleh toko, namun tetap diakui sebagai milik toko. Hal ini menunjukkan, teritori publik yang ada di bagian luar toko termasuk dalam kategori use space, yang pada studi literatur telah dijelaskan, merupakan area di sekitar atau di depan seseorang atau kelompok yang diakui masih berada di bawah kontrol mereka. Kontrol yang dilakukan pada use space di toko hijabers ini ditunjukkan dengan adanya ruang tunggu di bagian luar bangunan, yang terbatas secara fisik, namun tetap dapat terlihat dari dalam.
Teritori kelompok.…, Nanditta Fitriwardhani, FT UI, 2014
11
Gambar 5. Ruang tunggu luar tetap dapat dilihat dari dalam bangunan (Sumber : Ilustrasi oleh penulis)
Walaupun ruang tunggu ini merupakan ruang publik, masih terdapat kontrol dari pemilik teritori publik ini, namun tidak sekuat kontrol yang terjadi pada teritori sekunder. Sama halnya dengan lahan parkir dan fasilitas umum yang berada di luar toko, namun masih diakui sebagai milik toko dimana tidak ada larangan bagi siapapun untuk masuk ke teritori ini, namun masih ada sedikit kontrol dari dalam toko untuk melihat siapa yang menggunakan use space tersebut.
Gambar 1 Desain yang menimbulkan kesan eksklusi sesuai pernyataan Carmona, Heath, Oc, dan Tiesdell (2003) (Sumber : Ilustrasi oleh penulis)
Pada studi literatur sebelumnya, bahwa eksklusi dapat dilakukan dengan pendekatan desain, dengan dua tujuan berbeda, yaitu untuk keamanan dan untuk tujuan eksklusivitas. Pada jenis pendekatan desain dengan tujuan keamanan, yang dikemukakan oleh Carmona,
Teritori kelompok.…, Nanditta Fitriwardhani, FT UI, 2014
12
Heath, Oc, dan Tiesdell (2003), keempat toko hijab terlihat menggunakan fortress approach, yang terlihat dengan penggunaan dinding, pembatas, pagar, pemisahan fisik, privatisasi dan kontrol terhadap teritori; panoptic approach (sebagai pengawas), dengan melakukan kontrol secara eksplisit dengan pengadaan petugas sekuriti, sistem CCTV sebagai alat kontrol, dan detektor pada pintu masuk untuk menghindari adanya pencurian; dan animation atau 'peopling' approach melibatkan keberadaan orang, orang yang mengatur, aktivitas, suasana yang memberi kesan menyambut, aksesibilitas dan inklusi, yaitu dengan adanya petugas yang berseragam ala hijabers yang ada pada setiap cabang toko dan bertugas untuk menyambut, melayani dan menemani, sekaligus secara tidak langsung mengawasi perilaku orang yang masuk ke dalam toko.
Gambar 7. Desain yang menimbulkan kesan eksklusi sesuai pernyataan Flusty (1997) (Sumber : Ilustrasi oleh penulis)
Untuk tujuan eksklusivitas, eksklusi dilakukan dengan pendekatan desain fisik dilakukan untuk mengurangi hal-hal yang tidak diinginkan oleh suatu kelompok masuk ke dalam teritorinya yang menurut observasi yang dilakukan Flusty (1997), terdapat empat tipe space yang didesain untuk tujuan eksklusi dengan menggabungkan fungsi dan perasaan mereka, dan pada kasus teritori hijabers ini, tergolong menjadi tipe ‘stealthy’ space, yaitu ruang yang tersamarkan dan tidak bisa ditemukan karena adanya intervensi benda, yaitu batas fisik yang menghalangi akses visual dan akses fisik, dan ‘jittery’ space, yaitu ruang yang membuat orang merasa gelisah karena merasa diawasi oleh petugas
Teritori kelompok.…, Nanditta Fitriwardhani, FT UI, 2014
13
pengawas keliling dan/atau teknologi pengawasan, yaitu dengan adanya petugas toko yang selalu menemani orang yang masuk ke dalam toko dan adanya CCTV dan petugas keamanan. Selain kedua tipe ruang yang didesain di atas, akses simbolik juga mempengaruhi perasaan orang yang ingin masuk atau sedang berada di dalam ruangan. Akses simbolik pada teritori hijabers ini adalah dengan banyaknya foto yang dipajang di bagian fasad depan bangunan ataupun di bagian interior toko, yang menunjukkan toko tersebut merupakan teritori milik hijabers. Perilaku spasial pelaku intrusi teritori komunitas hijabers Pengamatan lapangan terhadap perilaku spasial pelaku intrusi teritori komunitas hijabers, menunjukkan bahwa terdapat perilaku yang berbeda, dilihat dari perbedaan jenis kelamin, yang pada pelaku intrusi wanita, status apakah dia menggunakan jilbab atau tidak dan apakah mereka termasuk dalam komunitas hijabers akan menjadi faktor perbedaan perilaku spasial pelaku intrusi di dalam teritori komunitas hijabers ini. Perilaku spasial masing-masing subjek tersebut dijelaskan pada tabel di bawah ini : Tabel 1. Perbandingan perilaku spasial pelaku intrusi di dalam toko hijabers Pergerakan di dalam ruangan
Raut muka dan sikap terhadap petugas toko
Netral, tidak cenderung mengarah ke satu arah tertentu
Berani mengeksplor seluruh ruang display
Tidak tertekan atau gelisah, saat masuk langsung menyapa petugas toko, tidak merasa terawasi oleh petugas
Berani melakukan kontak mata dengan petugas toko, jarak pandang luas mengeksplor seluruh toko
Netral, tidak cenderung mengarah ke satu arah tertentu
Berani mengeksplor seluruh ruang display
Tidak tertekan atau gelisah, cukup terawasi oleh petugas
Berani melakukan kontak mata dengan petugas toko, jarak pandang luas mengeksplor seluruh toko
Sesekali terlihat mengikuti arah tubuh orang yang dikenal, tetapi tidak tergantung kepada orang tersebut
Tidak terlalu mengeksplor seluruh ruang display, sesekali mendekati orang yang ia kenal
Tidak melakukan kontak dengan petugas, merasa terawasi oleh petugas
Mengarah kepada tubuh orang yang ia kenal (istri atau anak)
Sama sekali tidak mengeksplor seluruh ruang display, mengikuti arah istrinya pergi, lebih memilih duduk di ruang tunggu atau di sudut ruangan
Gelisah, tidak melakukan kontak dengan petugas, merasa terawasi oleh petugas
Kontak mata
Orientasi tubuh
Wanita hijabers
Berani melakukan kontak mata dengan petugas toko, jarak pandang luas mengeksplor seluruh toko
Wanita berjilbab non hijabers
Wanita tidak berjilbab
Laki-laki
Tidak berani melakukan kontak mata, selalu melihat handphone
Teritori kelompok.…, Nanditta Fitriwardhani, FT UI, 2014
14
Pada wanita yang merupakan anggota dari kelompok hijabers, akan menunjukkan sifat yang lebih positif yang terlihat dengan kontak yang ia lakukan kepada pemilik teritori, yaitu petugas toko, dan bagaimana ia dapat menguasai seluruh ruang teritori (lihat Tabel ). Hal ini dapat muncul karena pengunjung yang merupakan anggota hijabers memiliki kesamaan identitas dengan pemilik teritori, yaitu pakaian yang menunjukkan gaya hijabers. Sedangkan pada wanita yang berjilbab tetapi bukan anggota komunitas hijabers, perilakunya di dalam toko masih terlihat positif, namun tidak terlihat sepositif wanita yang menjadi anggota hijabers, karena perasaan sebagai orang yang bukan bagian dari komunitas ini (lihat Tabel ). Perilaku negatif terlihat pada wanita yang tidak berjilbab, terlebih lagi pada laki-laki. Wanita yang tidak berjilbab tidak berani terlalu banyak melakukan kontak dengan petugas toko sebagai pemilik teritori, namun masih terlihat cukup dapat mengeksplor toko, sedangkan pada laki-laki, mereka lebih cenderung pasif dan menutup diri dengan mengalihkan kontak mata ke handphone atau berusaha terus dekat dengan orang yang dikenal. Hal ini menunjukkan semakin berbeda identitas pelaku intrusi, semakin negatif perilaku spasial mereka di dalam teritori komunitas hijabers. Personalisasi bangunan toko hijabers untuk menunjukkan teritori komunitas, menurut narasumber, berpengaruh dengan perilaku dan kenyamanan pengunjung sebagai pelaku intrusi. Pada subjek wanita yang tidak berjilbab, foto hijabers yang terpampang pada fasad sangat berpengaruh untuk menentukan apakah ia akan masuk ke toko tersebut atau tidak, sedangkan warna dan akses visual tidak terlalu mempengaruhi yang terpenting ia tetap dapat mengetahui barang apa yang dijual oleh toko tersebut. Menurut narasumber, hal ini dikarenakan foto hijabers pada fasad menunjukkan seolah toko ini hanya diperuntukkan oleh wanita berjilbab dan orang-orang yang merupakan komunitas hijabers. Keberadaan fasad toko hijabers yang didominasi oleh foto hijabers membuat narasumber merasa terintimidasi, karena tidak menggunakan jilbab dan merasa pakaian yang dipakai tidak sopan untuk masuk ke dalam toko hijabers sehingga mereka akan lebih memilih toko baju muslim yang lain yang tidak menunjukkan identitas hijabers pada bangunannya. Pada subjek wanita berjilbab yang bukan anggota komunitas, foto hijabers pada fasad bangunan menjadi elemen yang sangat berpengaruh dibandingkan warna dan akses visual untuk menentukan apakah ia akan masuk ke dalam toko tersebut atau tidak. Perbedaannya dengan narasumber sebelumnya yang merupakan wanita yang tidak berjilbab, narasumber yang menggunakan jilbab ini lebih merasa foto hijabers ini menunjukkan identitas bangunan toko sebagai teritori komunitas hijabers, dimana memberi kesan hanya wanita yang menggunakan jilbab dengan gaya ala hijabers yang dapat masuk ke toko ini.
Teritori kelompok.…, Nanditta Fitriwardhani, FT UI, 2014
15
Pada laki-laki, warna dan foto hijabers berpengaruh karena menunjukkan identitas bangunan sebagai bangunan yang diperuntukkan bagi wanita, bukan sebagai teritori komunitas hijabers. Warna fasad yang memberi kesan feminin akan membuat laki-laki cenderung memilih untuk tidak masuk ke dalam toko hijabers tersebut. Menurut Caudill, Pena, dan Kennon (1981), simbol merupakan sebuah ekspresi yang tidak terlihat melalui makna dari sesuatu yang terlihat; sebuah bangunan itu sendiri dapat menjadi sebuah simbol. Foto hijabers dan warna fasad bagi orang yang melihatnya, khususnya pelaku intrusi yang bukan bagian dari komunitas hijabers, menganggap hal itu bukan hanya identitas toko hijabers, melainkan sebagai simbol teritori komunitas hijabers yang memberikan kesan membatasi orang-orang yang boleh masuk ke dalam toko hijabers. Persamaan dari tiga subjek pelaku intrusi terletak pada persepsi mereka terhadap fasad bangunan toko yang akses visualnya hanya difungsikan sebagai window display bukan untuk melihat kegiatan yang terjadi di dalam bangunan. Ketiga subjek melihat bahwa tidak penting untuk melihat kegiatan di dalam bangunan, yang terpenting mereka dapat tahu barang apa yang dijual pada toko. Dibandingkan dengan fasad yang berefek mencegah atau menghalangi pelaku intrusi, khususnya yang bukan bagian dari komunitas hijabers, ruang dalam toko tidak terlalu banyak mempengaruhi perilaku spasial pelaku intrusi, dibandingkan dengan perilaku yang ditunjukkan di dalam ruang tersebut oleh pemilik teritori. Pada perilaku intrusi wanita, personalisasi pada ruang dalam toko seperti warna dan foto hijabers tidak berpengaruh apaapa, karena fokus wanita teralihkan kepada barang yang dijual atau bagaimana servis dari petugas toko terhadap mereka. Hal ini terlihat pada wanita berjilbab, yang walaupun bukan anggota, karena mereka merasa kepentingannya adalah mencari baju atau melihat-lihat barang yang dijual, mereka akan lebih berkonsentrasi untuk mengeksplor toko tanpa memikirkan personalisasi elemen fisik yang berada di dalam ruangan toko. Lain halnya dengan personalisasi pada hirarki ruang toko, dimana keempat toko hijabers menyediakan ruang tunggu di masing-masing toko, yang memberikan pilihan untuk melarikan diri sesaat dari efek kepemilikan teritori hijabers ini. Wanita yang tidak berjilbab, walaupun masih terlihat berupaya untuk mengeksplor toko (lihat Tabel 1. Perbandingan perilaku spasial pelaku intrusi di dalam toko hijabers),
jika mereka melihat ada ruang tunggu, mereka akan memilih untuk duduk
di ruang tunggu tersebut tetapi tetap memantau pergerakan orang yang masuk bersama mereka. Hal ini, juga terjadi pada pelaku intrusi laki-laki, namun mereka akan lebih pasif, dan ruang tunggu ini paling sering digunakan oleh laki-laki. Hal ini dikarenakan wanita yang tidak berjilbab dan laki-laki merasa tidak memiliki kepentingan yang ingin dipenuhi di dalam toko
Teritori kelompok.…, Nanditta Fitriwardhani, FT UI, 2014
16
ini, jadi apabila mereka melihat kesempatan untuk ‘melarikan diri’ yaitu dengan adanya ruang tunggu ini, mereka akan memilih untuk duduk di ruang tunggu ini. Selain elemen fisik, perilaku pemilik teritori sangat berpengaruh terhadap perilaku intrusi khususnya wanita yang tidak berjilbab dan laki-laki yang sama sekali tidak memiliki identitas yang sama dengan komunitas hijabers, dibandingkan wanita berjilbab yang setidaknya memakai jilbab sebagai identitas wanita muslimah walaupun tidak menjadi anggota komunitas hijabers. Pada wanita yang tidak berjilbab, perilaku petugas toko yang terkesan ‘menghakimi’ mereka karena tidak menggunakan jilbab dan identitas pengunjung yang menggunakan jilbab menimbulkan perasaan terintimidasi dan dikucilkan sehingga menimbulkan perasaan gelisah dan tidak nyaman. Sedangkan pada laki-laki, keberadaan petugas toko dan pengunjung yang mayoritas adalah perempuan menjadi faktor yang paling membuat tidak nyaman dibandingkan elemen fisik saat berada di teritori komunitas ini. 1. Perspektif hambatan perilaku Pada teritori komunitas hijabers, pelaku intrusi mengalami kondisi kehilangan kontrol terhadap ruang toko, karena kontrol yang dilakukan oleh pemilik teritori, terasa lebih kuat dibandingkan kontrol diri mereka masing-masing. Hal ini ditunjukkan dengan adanya perilaku negatif yang dibahas sebelumnya (lihat Tabel 1. Perbandingan perilaku spasial pelaku intrusi di dalam toko hijabers),
yang membuktikan terjadinya hambatan perilaku dari
setiap pelaku intrusi yang masuk ke dalam teritori komunitas hijabers. Perspektif hambatan perilaku lebih terfokus terhadap bagaimana setiap pelaku intrusi berusaha mengembalikan kontrol atas diri mereka di teritori komunitas hijabers ini. Averill (1973) yang dikutip oleh Bell, Greene, Fisher, dan Baum, (1996) menjelaskan tiga tipe kontrol, yaitu behavioral control, cognitive control, dan decisional control. Pada perilaku seluruh subjek pengamatan pelaku intrusi, apabila tidak adanya pilihan untuk keluar dari toko, mereka cenderung akan memilih untuk mengembalikan kontrol atas diri mereka dengan cognitive control sehingga mereka dapat bertahan dan beradaptasi di dalam teritori komunitas hijabers, misalnya dengan perilaku laki-laki yang akhirnya duduk di ruang tunggu di dalam ruangan dibandingkan mengikuti orang yang dikenalnya, atau wanita yang tidak berjilbab akhirnya berusaha ikut mengeksplor toko walaupun masih tergantung kepada orang yang dikenalnya. Pada studi kasus perilaku spasial pelaku intrusi yang berada di teritori komunitas hijabers, wanita berjilbab cenderung akan memposisikan diri sebagai pelanggan bukan sebagai wanita non hijabers dan menunjukkan bahwa ia berani melakukan konfrontasi di dalam teritori komunitas hijabers untuk mendapatkan kontrolnya kembali, dimana hal ini termasuk sebagai
Teritori kelompok.…, Nanditta Fitriwardhani, FT UI, 2014
17
behavioral control yang merupakan respon terhadap perilaku yang ada dengan mengubah lingkungan yang mengancam tersebut. Sebaliknya, perilaku laki-laki yang memilih untuk pergi dan menunggu di tempat lain atau keluar dari toko apabila toko berada di bangunan mixed use dan menunggu di ruang tunggu luar menunjukkan adanya opsi di dalam situasi tersebut, karena itu perilaku ini dapat digolongkan sebagai decisional control, dimana lakilaki tersebut memiliki satu pilihan yang dianggap terbaik dibandingkan yang pilihan untuk berdiam diri di dalam teritori komunitas hijabers.
Gambar 8. Ruang yang menjadi pilihan bagi laki-laki dan wanita tidak berjilbab untuk ‘melarikan diri’ (Sumber : Ilustrasi oleh penulis)
2. Crowding sebagai hasil dari proses pengaturan batas Perilaku spasial yang menunjukkan adanya crowding dirasakan oleh pengunjung laki-laki dan wanita tidak berjilbab saat berada di dalam ruang, dimana mereka merasakan ketidaknyamanan karena adanya kontrol yang kuat dari petugas toko dan wanita yang berjilbab di dalam ruang toko. Perilaku crowding ini juga ditunjukkan pada wanita yang tidak berjilbab merasa terintimidasi di dalam ruang karena pengunjung yang mayoritas berjilbab dan pada laki-laki yang merasa terintimidasi karena pengunjung dan petugas toko seluruhnya wanita, dan mereka tidak melihat seberapa banyak jumlah orang di dalam toko tersebut. Perasaan crowding pada laki-laki dan wanita tidak berjilbab ini juga dapat muncul karena personalisasi ruang pada teritori komunitas hijabers yang sangat kuat, seperti
Teritori kelompok.…, Nanditta Fitriwardhani, FT UI, 2014
18
banyaknya poster hijabers, atau warna yang terlalu feminin bagi laki-laki sehingga muncul perasaan crowding terhadap identitas hijabers tersebut. Pada Tabel 1. Perbandingan perilaku spasial pelaku intrusi di dalam toko hijabers, wanita berjilbab membuka batas diri mereka dengan melakukan kontak dengan petugas toko dan mengeksplor ruang dan akhirnya mereka tidak merasa tertekan lagi, yang menunjukkan bahwa usaha untuk dapat berinteraksi dengan petugas toko sebagai tingkat privasi yang diinginkan tercapai. Hal ini dapat dihubungkan kepada teori pengaturan batas, dimana wanita berjilbab lebih membuka diri dibandingkan pelaku intrusi wanita yang tidak berjilbab dan laki-laki, karena pada wanita yang berjilbab, mereka masih memiliki kepentingan dan walaupun tidak menjadi anggota, setidaknya mereka masih menggunakan jilbab dan sesuai dengan batas simbolik yang dilakukan oleh toko hijabers sebagai toko wanita berjilbab.
Kesimpulan Personalisasi pada keempat toko yang menunjukkan teritori hijabers terlihat pada penggunaan warna ungu serta foto-foto hijabers yang terpasang pada bagian fasad depan bangunan maupun di interior toko. Penggunaan warna ungu yang dominan pada keempat toko menyimbolkan bahwa bangunan tersebut adalah bangunan yang dimiliki dan diperuntukkan bagi wanita, yang merepresentasikan komunitas hijabers yang seluruh anggotanya merupakan wanita, dan pemasangan foto hijabers juga menunjukkan bahwa bangunan tersebut menjual segala pakaian atau barang-barang khas hijabers sekaligus menyimbolkan bahwa bangunan tersebut merupakan bangunan yang dimiliki oleh komunitas hijabers. Personalisasi yang dilakukan pada hirarki spasial dan aksesibilitas ruang toko ditunjukkan dengan adanya ruang tunggu yang disediakan untuk orang-orang yang tidak ingin melihat-lihat di dalam toko, sedangkan dari segi aksesibilitas, akses visual pada bangunan toko hanya difungsikan sebagai media promosi. Dari segi hirarki spasial, sangat terlihat jelas adanya hirarki berdasarkan individu mana yang dapat diterima dan yang tidak, hal ini terlihat dengan adanya penyediaan ruang tunggu yang dipisah dengan ruang dalam toko, yang memiliki dua ruang tunggu, di dalam dan di luar bangunan. Keberadaan ruang tunggu ini memberikan kesan adanya pemisahan bagi outsider dan insider, karena dari analisis sebelumnya ruang tunggu ini memang paling banyak digunakan oleh pelaku intrusi yang sama sekali tidak memiliki identitas yang sama dengan hijabers sebagai pemilik teritori, yaitu wanita yang tidak berjilbab dan laki-laki.
Teritori kelompok.…, Nanditta Fitriwardhani, FT UI, 2014
19
Bangunan yang memiliki fungsi sebagai toko, seharusnya dapat merancang bangunan sehingga orang sebanyak-banyaknya tertarik untuk masuk ke dalam bangunan tersebut. Sebuah kontradiksi yang terjadi pada bangunan toko hijabers, dimana desain bangunan membatasi orang yang ingin masuk ke dalam toko, seolah mengkomunikasikan bahwa hanya komunitas hijabers yang hanya diterima di bangunan ini. Aspek public realm kurang terasa pada bangunan toko yang hakikatnya termasuk dalam bangunan publik. Elemen fisik yang menunjukan publicness dari sebuah bangunan publik digunakan hanya untuk kepentingan toko saja, dimana akses visual yang tertutup menunjukkan bangunan yang tidak ramah kepada publik karena tidak memberikan kesempatan orang luar untuk dapat melihat kegiatan di dalam toko. Dengan demikian, eksklusivitas pada komunitas hijabers bukan hanya pernyataan tidak berdasar, karena bangunan toko sebagai wujud fisik dari teritori komunitas menunjukkan adanya tujuan eksklusi dalam personalisasi teritori, eksklusi untuk memilih individu seperti apa yang dapat masuk ke dalam teritori komunitas hijabers.
Daftar Referensi Alexander, C. (1972). The City as a Mechanism for Sustaining Human. Dalam P. A. Bell, T. C. Greene, J. D. Fisher, & A. Baum, Environmental Psychology (1996). Fort Worth: Harcourt Brace College Publisher. Altman, I. (1981). The Environment and Social Behavior : Privacy, Personal Space, Territory, Crowding (Irvington Edition ed.). New York: Irving Publishers, Inc. Averill, J. R. (1973). Personal control over aversive stimuli and its relationship to stress. Psychological Bulletin , 80, 286-303. Bell, P. A., Greene, T. C., Fisher, J. D., & Baum, A. (1996). Environmental Psychology (4th Edition ed.). Fort Worth: Harcourt Brace College Publisher. Brehm, J. W. (1966). A theory of psychological reactance. Dalam P. A. Bell, T. C. Greene, J. D. Fisher, & A. Baum, Environmental Psychology (1996). Fort Worth: Harcourt Brace College Publisher. Brehm, J. W., & Brehm, S. S. (1981). Psychological reactance: A theory of freedom and control. Dalam P. A. Bell, T. C. Greene, J. D. Fisher, & A. Baum, Environmental Psychology (1996). Fort Worth: Harcourt Brace College Publisher. Carmona, M., Heath, T., Oc, T., & Tiesdell, S. (2003). Public Places - Urban Spaces : The Dimensions of Urban Design. Burlington: Architectural Press. Carr, S., Francis, M., Rivlin, L., & Stone, A. (1992). Public Space. Cambridge: Cambridge University Press. Caudill, W. W., Pena, W. M., & Kennon, P. (1981). Architecture and You : How To Experience and Enjoy Buildings (Paperback Edition ed.). New York: Watson-Guptill Publications. Efran, M. C., & Cheyne, J.A. (1973). Shared space: The cooperative control of spatial areas by two interacting individuals. Dalam I. Altman, The Environment and Social Behavior : Privacy, Personal Space, Territory, Crowding (1981). New York: Irving Publishers, Inc. Evans, G., & McCoy, J. (1998). When buildings don't work: The role of architecture in human health. Dalam P. A. Bell, T. C. Greene, J. D. Fisher, & A. Baum, Environmental Psychology (1996). Fort Worth: Harcourt Brace College Publisher.
Teritori kelompok.…, Nanditta Fitriwardhani, FT UI, 2014
20 Flusty, S. (1997). Building Paranoia. Dalam N. Ellin, Architecture of Fear (hal. 47-59). New York: Princeton Architectural Press. Goffman, E. (1971). Relations in public. New York: Basic Books. Hillier, B., & Hanson, J. (1984). The social logic of space. Dalam P. A. Bell, T. C. Greene, J. D. Fisher, & A. Baum, Environmental Psychology (1996). Fort Worth: Harcourt Brace College Publisher. Knowles, E. S. (1972). Boundaries around social space: Dyadic responses to an invader. Dalam I. Altman, The Environment and Social Behavior : Privacy, Personal Space, Territory, Crowding (1981). New York: Irving Publishers, Inc. Knowles, E. S., & Bassett, R. L. (1976). Groups and crowds as social entities: Effects of activity, size, and member similarity on nonmembers. Dalam P. A. Bell, T. C. Greene, J. D. Fisher, & A. Baum, Environmental Psychology (1996). Fort Worth: Harcourt Brace College Publisher. Leather, P., Pygras, M., Beale, D., & Lawrence, C. (1988). Windows in the workplace: Sunlight, view and occupational stress. Dalam P. A. Bell, T. C. Greene, J. D. Fisher, & A. Baum, Environmental Psychology (1996). Fort Worth: Harcourt Brace College Publisher. Lyman, S., & Scott, M. (1967). Territoriality : A neglected social dimension. Social Problems , 15, 235-249. Oc, T., & Tiesdell, S. (1999). The fortress, the panoptic, the regulatory and the animated: Planning and urban design approaches to safer city centres. Landscape Research , 24, 256-286. Oc, T., & Tiesdell, S. (2000). Urban design approaches to safer city centres: The fortress, the panoptic, the regulatory and the animated. Dalam J. Gold, & G. Revill, Landscapes of Defence (hal. 188-208). Harlow: Prentice Hall. Wortman, C., & Brehm, J. (1975). Response to uncontrollable outcomes: An integration of reactance theory and the learned helplessness model. Dalam P. A. Bell, T. C. Greene, J. D. Fisher, & A. Baum, Environmental Psychology (1996 ed.). Fort Worth: Harcourt Brace College Publisher.
Teritori kelompok.…, Nanditta Fitriwardhani, FT UI, 2014