TEMU ILMIAH IPLBI 2014
Proses Terbentuknya Teritori PKL di Makassar Afifah Harisah Teori dan Sejarah Arsitektur dan Lingkungan, Jurusan Arsitektur, Fakultas Teknik, UniversitasHasanuddin.
Abstrak Tujuan dari penelitian ini adalah untuk mengetahui proses terbentuknya teritori PKL di Makassar dimana ruang-ruang yang menjadi teritori publik beralih menjadi teritori PKL. Metode penelitian menggunakan metode pengamatan tidak terstruktur dan interview tidak terstruktur dengan mengambil beberapa sampel di berbagai lokasi yang ditempati PKL. Hasil pengamatan menunjukkan hal-hal sebagai berikut: 1) bahwa proses pembentukan teritorinya ada yang bersifat spontan dan perlahan, 2) bahwa penandaan kekuatan teritorinya ada yang bersifat sementara, semi permanen, dan permanen, 3) dan bahwa pelaku/pengguna teritorinya bisa secara individual, berkelompok, atau kombinasi keduanya. Kata-kunci: teritori PKL, proses terbentuknyateritori, dan Kota Makassar
I.Pendahuluan I.1.Latar Belakang Penelitian Persoalan PKL (Pedagang Kaki Lima) merupakan isu perkotaan yang selalu muncul di berbagai media massa di berbagai kota baik di Indonesia maupun di negara-negara lain. Setidaknya terdapat beberapa isu yang penting yang terkait dengan PKL di perkotaan: 1) adanya dominasi sektor formal atas sektor informal termasuk PKL di perkotaan sehingga menimbulkan konflik sosial yang memerlukan penanganan yang lebih berkelanjutan (Budiharjo, 1999:208-216), 2) marjinalisasi ekonomi sektor informal termasuk PKL yang menimbulkan berbagai permasalahan seperti ketidaktertiban, limbah, tidak adanya perlindungan jiwa, eksploitasi anak, persaingan tidak sehat, ketiadaan perlindungan hukum, sulitnya pemberdayaan karena mobilitas, dan timbulnya struktur paralel dimana terdapat aliran uang resmi dan tidak resmi sehingga perlu upaya perbaikan fisik dan non fisik yang mensyaratkan formalisasi (Sarosa, 2011:228244), 3). PKL sebagai bagian dari pasar tradisional merupakan asetekonomi, sosial, dan budaya dimana keberlanjutannya seharusnya dipertahankan sebagai bagian dari keberagaman untuk menciptakan lingkungan dan kota yang berkelanjutan (HarisahdanArima, 2012).
Sementara itu, bila kita mengeksplorasi di tataran empiris di kota Makassar melalui pengamatan tidak terstruktur dari tahun 20132014, maka isu-isu yang penting yang teridentifikasi adalah: 1) semakin banyaknya PKL muncul di berbagai tempat baik yang ada di pusat, tengah, dan pinggiran kota, 2) PKL semakin banyak menguasai ruang-ruang publik, semi publik, dan privat di kota Makassar baik di jalan, pinggiran/bahu jalan, taman, greenline, tempat rekreasi, lahan sisa, lahan liar, di depanpertokoan, di depan bangunan dengan fungsi tertentu seperti pasar, sekolah, dan keramaian, 3) PKL meninggalkan berbagai jejak untuk menandai teritori mereka dengan cara tertentu: meninggalkan barang tertentu dan tempat berjualan baik yang bersifat permanen, semi permanen, maupun yang tidak permanen, 4) PKL terkadang tidak memperdulikan tanda teritori di lokasi mereka berjualan. 5) baik secara spontan, sporadis, dan perlahan mengambil dan menguasai teritori tertentu melalui berbagai cara: berijin atau tidak berijin/semaunya. Dari keduasumber di atas, di tataranabstrak, isu-isu PKL sebagai sektor informal danjuga aset yang perlu dipelajari proses terbentuknya belum cukup dieksplorasi atau di riset. Sementara di tataran empiris, gejala terbentuknya PKL justru ProsidingTemuIlmiah IPLBI 2014 |C_13
Proses TerbentuknyaTeritori PKL di Makassar
menjadi isu yang penting untuk diteliti proses dan karakternya secara lebih mendalam. Inilah alasan mendasar mengapa studi ini dilakukan. Memahami proses terbentuknya teritori PKL di ruang-ruang publik, semi publik, dan privat di Kota Makassar akan membawa kepemahaman yang lebih menyeluruh tentang PKL itu sendiri dan bagaimana PKL seharusnya diakomodasi di Kota Makassar secara khusus dan di kota lain secara umum, karena hanya dengan cara mengetahui faktor-faktor ini pertumbuhannya dapat diantisipasi dan dikendalikan, sehingga tidak merusak kepentingan warga lainnya, tetapi tetap bisa menciptakan sinergi yang harmonis untuk kota Makassar yang lebih baik dari sebelumnya. I.2.Permasalahan Penelitian Dari latar belakang penelitian di pendahuluan, permasalahan penelitian difokuskan kepada usaha untuk mengetahui proses terbentuknya teritori PKL di Kota Makassar sebagai sebuah bagian memahami PKL secara menyeluruh dalam kerangka membangun konsep Kota yang lebih akomodatif terhadap PKL di Kota Makassar. I.3. Metode Penelitian Jenis metode penelitian yang digunakan adalah kualitatif. Teknik pengumpulan data yang digunakan observasi tidak terstruktur dan interview tidak terstruktur. Observasi atau observation berasal daribahasa Latin, observatio dimana kenyataan, fakta-fakta, atau peristiwa dilihat atau direkam (Agnes, 2000:996). Unstructured observation atau observasi tidak terstruktur, dimana pengamatan tidak dilakukan secara sistematis dari waktu ke waktu tetapi melalui pengamatan yang bersifat situasional dan bersifat menyeluruh dari fenomenon yang relevan dengan masalah yang dirumuskan (www.psu101.info/, akses 19-4-2014). Observasi tidak terstruktur ini merupakan fase awal dari sebuah riset, bisa menjadi spesifik dalam hal waktu, lokasi, dan obyek penelitian. Observasi tidak terstruktur ini bermodalkan instrumen buku catatan dan pena untuk melihat sesuatu yang menarik dengan menulis dan mencari teorinya dan tidak langsung melakukan C_14 |ProsidingTemuIlmiah IPLBI 2014
konklusi sebelum ada bukti-bukti yang cukup, untuk mengkonfirmasi sesuatu bisa dilengkapi dengan cara bertanya bila diperlukan (www.public.asu.edu/, akses 19-4-2014).
Unstructured interview atau interview tidak terstruktur dilakukan untuk mempertanyakan hal-hal yang tidak teramati dan untuk melengkapi informasi dari observasi tidak terstruktur. Analisis data yang digunakan dilakukan secara deskriptif untuk menjelaskan data yang telah dikumpulkan. II.Tinjauan Pustaka dan Pembahasan II.1 Kebutuhan akan Ruang untuk Bekerja di Perkotaan Kebutuhan akan ruang baik sebagai tempat tinggal maupun tempat (diistilahkan sebagai shelter) untuk bekerja masuk dalam kelompok kebutuhan tingkat pertama sebagai kebutuhan biologis dan pisiologis bagi manusia (http://www.businessballs.com/maslow.htm, akses 18-10-2011). Menurut Budiharjo (1999: 213-215) agar sebuah kota bisa berkelanjutan maka kota harus dilandaskan kepada prinsip demokrasi yang berarti pemerataan untuk semua kalangan, termasuk dalam hal ini adalah bagaimana membuat keseimbangan penggunaan ruang baik untuk sektor formal (contoh: Mall) maupun sektor informal (contoh: PKL). Bila pemikiran Budiharjo ini diterapkan, tentu saja terjadi pergeseran status PKL dari sektor informal ke sektor formal, dengan berbagai konsekuensi hukum yang menyertainya. II.2 Definisi, Klasifikasi dan Faktor-Faktor yang Mempengaruhi Teritori Definisi teritori dideskripsikan oleh Maher dan Lott, 1995, dan Sommer, 1969 dalam Bell dkk (2001:276-278) sebagai area atau wilayah yang dapat dilihat, bersifat tetap, dibatasi secara nyata, cenderung terpusat ke rumah (home), dan diatur oleh orang-orang yang berinteraksi di dalamnya. Dalam pengertian yang lain, teritori dimaknai sebagai wilayah yang dianggap
AfifahHarisah
menjadi hak seseorang (Laurens, 2004:124). Pengertian dalam Bell tersebut hampir sejalan dengan Haryadi dan Setiawan (1995:72) yaitu sebagai satu area yang spesifik yang dimiliki dan dipertahankan baik secara fisik (melalui penandaan) maupun secara non fisik (melalui peraturan atau norma). Kata turunan dari teritori adalah teritorialitas. Teritorialitas merupakan sebuah perwujudan ego yang menandakan seseorang tidak ingin diganggu (Laurens, 2004:124). Teritorialitas bagi manusia lebih bersifat to be instinctive, to be learned, dan interaksi keduanya (Brown, 1987, Taylor, 1988 dalam Bell, 200:278). Teritorialitas berfungsi sebagai suatu proses yang terpusat dalam personalisasi, agresi, dominasi, memenangkan, koordinasi, dan kontrol, juga memiliki hirarki baik dalam berbagai skala peruangan (Laurens, 2004:135147). Teritorialitas diklasifikasikan ke dalam beberapa jenis menurut Altman dalam Bell (2001: 277) dan Laurens (2004:126-127) yaitu: pertama, teritori primer yang dirasakan tinggi tingkat pengontrolannya, merupakan tempat yang sangat pribadi, akrab, harus dengan izin khusus, dan pengendaliannya relatif tetap. Kedua, teritori sekunder yang dirasakan sedang tingkat pengontrolannya, merupakan tempat yang dikuasai oleh sejumlah orang, pengendaliannya seperti teritori primer, dan penggunanya bisa berganti. Ketiga, teritori publik yang rendah tingkat pengontrolannya, pada prinsipnya semua orang diperkenankan berada di tempat tersebut. Altman juga mengkategorikan tipe teritori lain yaitu teritori obyek dan teritori ide. Sejalan dengan Altman, Haryadi dan Setiawan (1995:73-74) baik secara eksplisit maupun implisit membagi teritori perkotaan ke dalam tiga tipologi. Tipologi pertama dengan empat klasifikasi yaitu okupansi personal, komunitas, kemasyarakatan, dan bebas. Tipologi kedua dengan enam klasifikasi yaitu urban public, urban semi-public space, public group, private group, family private, dan individual private. Tipologi ketiga dengan empat klasifikasi: public territory, home territory, interactional territory, dan body territory.
Selain hal tersebut di atas, menurut Lyman dan Scott (1967) dalam Laurens (2004:128-129) teritorialitas juga dapat dikategorikan ke dalam teritori interaksi dan teritori badan; teritori interaksi adalah wilayah yang bersifat temporer dan dikendalikan oleh sekelompok orang yang berinteraksi, dan teritori badan yang dibatasi oleh badan manusia dimana batasnya adalah kulit; dua kategori terakhir sejalan dengan sebagian dari klasifikasi tipologi ketiga dari Haryadi dan Setiawan yang telah dipaparkan sebelumnya. Lebih jauh lagi, terdapat faktor-faktor yang berkaitan dengan pelanggaran dan pertahanan teritori. Bentuk-bentuk pelanggaran teritori antara lain dengan invasi, kekerasan, dan kontaminasi, sementara bentuk-bentuk pertahanan teritori dapat berupa pencegahan seperti pemberian rambu-rambu, reaksi terhadap pelanggaran teritori seperti pengusiran, dan batas sosial seperti KTP yang menyatakan wilayah dimana seseorang berada atau berasal (Laurens, 2004:129-130). Teritori juga dipengaruhi oleh banyak faktor, antara lain: personal, situasi, dan budaya. Dari penjelasan di atas, dapat digaris bawahi beberapa hal: pertama teritori bersifat ada batasnya secara fisik, bertingkat, instinktiv, dapat diamati, dipengaruhi oleh faktor internal dan eksternal, dan dapat diinvasi. II.3 PKL, Sektor Informal Perkotaan yang Tidak Terakomodasi di Perencanaan Bila Kota Makassar dieksplorasi, maka dapat digarisbawahi secara tegas bahwa PKL belum ada yang benar-benar direncanakan atau diformalisasi menjadi sektor formal dari awal. Semua lokasi PKL menunjukkan keberadaan mereka tidak terencana atau tidak merupakan bagian yang direncanakan oleh perencana Kota Makassar, tetapi melainkan ada pihak yang berusaha mengakomodasinya setelah gejalanya menunjukkan pertumbuhan pesat dan ekspansiv. Pihak ini bisa dari pemerintah secara resmi, oknum pemerintahan, orang yang tidak terkait dengan pemerintah, atau dengan kesadaran sendiri untuk tidak mengganggu kepentingan publik dan untuk menyelamatkan teritori mereka ProsidingTemuIlmiah IPLBI 2014| C_15
Proses TerbentuknyaTeritori PKL di Makassar
sebagai sebuah tempat untuk mencari penghasilan sehari-hari atau penghasilan tambahan. Sebagai bukti dari tidak terencananya PKL ini dapat dilihat dari beberapa faktor: 1) lokasinya yang mengganggu kepentingan publik lainnya, 2) tidak memperhitungkan faktor keamanan dan kesehatan PKL dan konsumennya, 3) bentuk ruang yang umumnya cenderung bersifat darurat/asal ada, 4) Bersifat coba-coba dimana jenis dagangan yang terkadang tidak memperhitungkan kebutuhan konsumen di sekitarnya atau sekadar berspekulasi, 5) terencana secara individual atau bersama, tetapi legalitasnya masih dipertanyakan sehingga sewaktu-waktu dapat digusur. Kondisi ini tentu secara visual dalam perspektif sebagian orang yang melihatnya menimbulkan ketidakteraturan dan kekumuhan PKL dan juga lingkungan sekitarnya, sehingga menciptakan kesenjangan/kontras dalam komposisi arsitektur kota, baik secara visual, ekonomi, maupun aspek lainnya, lihat Foto 1
1. Spontan karena ada kegiatan keramaian yang terencana dan informasinya bisa diketahui oleh PKL tertentu, ada musim buah, dan atau ada musibah tertentu seperti kebakaran. Biasanya PKL jenis ini adalah yang bersifat movable atau yang dapat berpindah tempat. Lihat Foto 2.
Foto 2 Teritori PKL yang terbentuk secara mendadak di Pintu Masuk Mesjid Al-Markas di Makassar (Sumber: peneliti, September, 2013).
2. Perlahan, bertahap dan tidak sistematis karena ada keraguan kemungkinan terjadinya penggusuran, terutama PKL yang menguasai tempat-tempat yang tidak dikontrol penggunaannya oleh pemiliknya, jadi teritorinya dibangun secara bertahap. 3. Perlahan, bertahap dan sistematis, teramati dan terencana oleh PKL secara individual atau berkelompok atau terorganisir, dengan pola tersebar di beberapa tempat, atau mengumpul di satu lokasi. Berdasarkan kekuatan penandaan teritori, maka proses terbentuknya teritori PKL dapat dikelompokkan sebagai berikut:
Foto 1 Kontras secara visual antara teritori PKL dan bangunan di belakangnya (Sumber: peneliti, April 2014).
II.4 Hubungan antara Teori tentang Teritori dengan berbagai Fenomena Terbentuknya Teritori PKL di Kota Makassar Berdasarkan pengamatan dalam riset ini, setidaknya terdapat beberapa fenomena terbentuknya PKL, ditinjau dari waktu terbentuknya yaitu: C_16 |ProsidingTemuIlmiah IPLBI 2014
1. Penandaan teritori yang bersifat sementara, ini biasanya digunakan oleh PKL yang berpindah-pindah tempat. 2. Penandaan teritori yang bersifat semipermanen, ini biasanya untuk jenis kios kecil dan besar dengan modal yang terbatas. 3. Memberikan penandaan teritori yang bersifat permanen, ini biasanya jenis kios kecil dan besar dengan modal yang lebih besar dari nomor dua, yang disertai dengan fungsi lain, umumnya berupa rumah tinggal.
AfifahHarisah
4. Kombinasi ketiga hal tersebut di atas, secara bertahap terbangun, atau beragam, seperti gerobak untuk menjual di depan kios dan rumah tinggal mereka. Berdasarkan penggunanya, proses terbentuknya teritori PKL dapat dikelompokkan sebagai berikut: 1. Secara individual/teritori individual Beberapa PKL secara individual berusaha membuat teritori di tempat-tempat yang diyakininya dapat menarik konsumen. 2. Secara berkelompok/teritori kelompok Beberapa PKL secara bersama membentuk dua atau lebih kelompok supaya lebih kuat dalam membentuk teritori di ruang-ruang publik yang diyakininya dapat menarik konsumen, baik dengan cara menjual barang yang sejenis, maupun tidak. Lihat Foto 3
Foto 3 Teritori Kelompok Penjual Pisang Epe di Sekitar Pantai Losari (Sumber: peneliti, September 2013).
3. Kombinasi individual dan kelompok/kombinasi teritori keduanya Kadang-kadang secara individual dan berkelompok membentuk teritori di ruangruang publik, semi publik, dan privat untuk menarik konsumen berdasarkan ikatan pertemanan, dan kekerabatan, asal daerah, suku, dan sebagainya. II.5. Memahami Realitas Penanganan PKL dengan Melihat Proses Terbentuknya Teritori PKL Bila kita melihat penanganan PKL oleh pemerintah di media massa dan kenyataan
sehari-hari, maka umumnya dilakukan dengan berbagai cara: penggusuran tanpa mengakomodasi PKL, penggusuran dengan mengakomodasi PKL di tempat lain, penataan dan pengendalian PKL di tempat semula. Ketiganya mengalami penanganan ketika PKL telah memiliki teritori yang kuat dan cenderung terorganisir secara temporer atau regular, bahkan telah memiliki organisasi tersendiri baik yang masih bersifat resmi maupun tidak resmi sehingga pemerintah mengalami kesulitan untuk mengambil alih pengendalian teritorinya sendiri, di ruang publik karena banyaknya PKL yang akan ditangani dan karena ikatan kuat kekuatan teritori mereka baik secara fisik maupun ide (lihat kembali teori dari pemaparan sebelumnya terutama Altman). Pada dasarnya PKL bisa dikendalikan lebih mudah bila sejak awal sudah dilarang terutama bila mereka baru dalam tahap membentuk teritori di ruang publik yang bisa membahayakan keselamatan mereka sendiri, dan sifatnya masih individual atau kelompok kecil. Sebenarnya PKL dan ruang publik bisa membentuk sinergi yang harmonis bila ruang publik bisa mengakomodasi aktifitas mereka tanpa mengganggu kepentingan orang lain dengan cara menatanya dan mengaturnya serta memungut pajak sesuai aturan yang berlaku, terutama untuk PKL yang bersifat spontan dengan teritori yang bersifat sementara atau movable. Permasalahan ikutan lainnya yang muncul bila PKL tidak ditangani dan dikendalikan adalah masalah expansi ruang oleh konsumen PKL sendiri seperti motor dan mobil yang berhenti sementara di depan PKL sehingga memperlambat arus lalu lintas sekitarnya. III. Kesimpulan Dari pemaparan sebelumnya, maka proses terbentuknya teritori PKL di Kota Makassar dapat melalui berbagai cara-cara berikut ini: dari segi waktu (spontan, perlahan-bertahap-tidak sistematis,perlahan-bertahap-sistematis), tingkat kekuatan teritori (sementara/movable, semi permanen, permanen), penggunanya (teritori individual, kelompok, kombinasi keduanya). ProsidingTemuIlmiah IPLBI 2014| C_17
Proses TerbentuknyaTeritori PKL di Makassar
Untuk mencegah, mengantisipasi dan mengendalikan proses terbentuknya PKL di Makassar maka diperlukan setidaknya beberapa langkah berikut ini: 1. Diakomodasi melalui penataan baik pada event tertentu yang sifatnya temporer maupun yang reguler. 2. Diantisipasi melalui penyediaan ruang-ruang untuk PKL yang diperkirakan arus dan kumpulan konsumen mereka berada. 3. Digusur ketika mereka belum membentuk teritori secara berkelompok. 4. Dilarang dengan melakukan penandaan yang bersifat permanen dan sulit dihilangkan di tempat-tempat yang strategis yaitu dimana terdapat arus konsumen dan pengumpulan konsumen dari PKL itu sendiri.
DaftarPustaka Agnes M., (2000), Webster’s New World, College Dictionary, New Millenium, Fourth Edition, IDG Books, India. Harisah A.danArima T., (2012), Diversity Concept of the Traditional Markets and Surroundings in Suburban Makassar, AURG, China. Saroso, W.(2011), Mengetengahkan yang Terpinggirkan: Ekonomi Informal Perkotaan dalam Bunga Rampai Pembangunan Kota Indonesia dalam Abad 21, Konsep dan Pendekatan Pembangunan Perkotaan di Indonesia, Yayasan Sugijanto Soegijokodan Urban and Regional Development Institute, Jakarta, p.228-247. Budiharjo, E. (1999), Kota Berkelanjutan, Penerbit Alumni, Bandung, p.201-216 Laurens, JM.(2004), ArsitekturdanPerilakuManusia, PT. Gramedia Jakarta, p. 124-147. HaryadidanSetiawan, B, (1995), ArsitekturLingkungandanPerilaku, Dikti, Jakarta, p. 38-41. Bell,PA.,Greene,T.,Fisher, JD.,danBaum, A., (2001), Environmental Psychology, fifth Edition, Harcourt College Publisher, Fort Worth, p. 251-290. Moore, GT.danGolledge, RG.,(1976), Environmental Knowing, Theories, Research, and Methods, p. 195124, dan p. 131-185.
C_18 |ProsidingTemuIlmiah IPLBI 2014