perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id
TERBENTUKNYA BIROKRASI MODERN DI SURAKARTA TAHUN 1945-1950
SKRIPSI Diajukan untuk Memenuhi sebagian Persyaratan guna Melengkapi Gelar Sarjana Jurusan Ilmu Sejarah Fakultas Sastra dan Seni Rupa Universitas Sebelas Maret
Disusun oleh: Belda Ranika Rosiana C.0507010
JURUSAN ILMU SEJARAH FAKULTAS SATRA DAN SENI RUPA UNIVERSITAS SEBELAS MARET SURAKARTA 2013 commit to user
i
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id
commit to user
ii
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id
commit to user
iii
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id
commit to user
iv
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id
MOTTO
“Saat Kamu mampu memaafkan dan tersenyum kepada orang yang telah menyakitimu, kamu memastikan bahwa dirimu lebih baik darinya”
(Amanda Adrian)
“Masalah diciptakan karena ada penyelesaiannya” (Hitam Putih)
commit to user
v
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id
PERSEMBAHAN
Karya ini kupersembahkan untuk : Papa dan Mama tercinta. My beloved Sister. Yanuar Ridho.
commit to user
vi
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id
KATA PENGANTAR Syukur senantiasa penulis panjatkan kepada Tuhan Yang Maha Esa yang selalu
melimpahkan
rahmat
dan
hidayahnya
sehingga
penulis
dapat
menyelesaikan skripsi ini dengan baik. Selesainya skripsi ini tidak lepas dari bantuan berbagai pihak, baik dorongan, bimbingan, maupun pengarahan yang diberikan. Untuk itu sudah sepantasnya penulis mengucapkan terima kasih kepada : 1. Drs. Riyadi Santosa, M.Ed, Ph.D, selaku Dekan Fakultas Sastra dan Seni Rupa beserta jajarannya yang telah memperlancar dan mempermudah studi penulis sampai selesainya skripsi ini. 2. Dra. Sawitri Pri Prabawati, M.Pd, selaku Ketua Jurusan Ilmu Sejarah Fakultas Sastra dan Seni Rupa yang telah mencurahkan segenap pengetahuan yang dimilikinya kepada penulis. 3. Dra.Sri Wahyuningsih, M.Hum, selaku Sekretaris Jurusan Ilmu Sejarah Fakultas Sastra dan Seni Rupa yang telah memberikan pengetahuan yang dimilikinya kepada penulis. 4. Drs. Warto M.Hum, selaku pembimbing Skripsi yang telah membimbing penulis dengan penuh perhatian, sehingga skripsi ini dapat terselesaikan. 5. Tiwuk Kusuma H, SS, M.Hum, selaku pembimbing akademik yang senantiasa memberi dorongan secara moril dan pengetahuannya kepada penulis.
commit to user
vii
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id
6. Segenap Dosen pengajar di Jurusan Ilmu Sejarah Fakultas Sastra dan Seni Rupa Universitas Sebelas Maret yang telah memberikan bekal ilmu pengetahuan kepada penulis. 7. Kepala beserta staf Perpustakaan Pusat Universitas Sebelas Maret Surakarta, Perpustakaan Monumen Pers Surakarta, Sasana Pustaka Kasunanan dan Rekso Pustoko Mangkunegaran. 8. Bapak, Ibu, kakak dan keluarga yang selalu memberikan kasih sayang dan semangat dengan tulus ikhlas serta doa yang tak pernah putus kepada penulis 9. Yanuar Ridho, terimakasih untuk semua hal yang telah dicurahkan buat penulis. 10. Buat Yeni Dwi Ayu, teman seperjuangan dan teman berbagi suka duka, terimakasih atas semangat dan waktunya. 11. Teman-teman Historia 2007, Dian, Lita, Dewi, Siti, Lilik, Ike, Efendi, Eko, Herfi, Nico, Hasan, Anggawan, Dalhar, Fuad, Joyo, Seno, Akbar, Wisnu, Langgeng, Agung, Drajat, Bendi, dan teman-teman lainnya yang tidak dapat penulis sebut satu persatu, terimakasih atas do’a dan semangatnya. 12. Buat mas Doni, mbak Sinta, mas Taufik, Vivi dan kakak-kakak tingkat Ilmu Sejarah yang tidak dapat penulis sebutkan satu demi satu terimakasih untuk dukungan dan do’a-nya. 13. Untuk teman-teman kost Gedung Putih, Rosika, mbk Icha, Loly, Ratna, Nastiti, Agnes dan Indri, terimakasi buat semangatnya.
commit to user
viii
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id
14. Semua pihak yang telah membantu, sehingga skripsi ini dapat terselesaikan. Penulis menyadari, bahwa penulisan skripsi ini tidak lepas dari kekurangan dan kekeliruan. Oleh karena itu, penulis sangat menghargai adanya saran maupun kritik yang membangun, guna menyempurnakan penulisanpenulisan serupa di masa yang akan datang. Semoga skripsi ini membawa manfaat bagi pembaca semua. Surakarta,
September 2012
Penulis
commit to user
ix
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id
DAFTAR ISI HALAMAN JUDUL.....................................................................................
i
HALAMAN PERSETUJUAN ......................................................................
ii
HALAMAN PENGESAHAN .......................................................................
iii
HALAMAN PERNYATAAN ......................................................................
iv
HALAMAN MOTTO ...................................................................................
v
HALAMAN PERSEMBAHAN ...................................................................
vi
KATA PENGANTAR ..................................................................................
vii
DAFTAR ISI .................................................................................................
x
DAFTAR BAGAN........................................................................................
xii
DAFTAR ISTILAH ......................................................................................
xiii
DAFTAR SINGKATAN .............................................................................
xiv
DAFTAR LAMPIRAN .................................................................................
xv
ABSTRAK ....................................................................................................
xvi
BAB I
PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah ......................................................... B. Perumusan Masalah ................................................................ C. Tujuan Penelitian .................................................................... D. Manfaat Penelitian.................................................................. E. Kajian Pustaka ........................................................................ F. Metode Penelitian ................................................................... G. Sistematika Penulisan.............................................................
BAB II
1 8 8 8 9 14 17
BIROKRASI TRADISIONAL DI SURAKARTA MENJELANG KEMERDEKAAN A. Struktur Birokrasi Kolonial. ................................................... B. Birokrasi Tradisional di Surakarta commit to user......................................... 1. Birokrasi Keraton Kasunanan .............................................
x
23 25 29
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id
2. Birokrasi Praja Mangkunegaran ........................................ 47 B. Kondisi Birokrasi Di Surakarta Pada Awal Pendudukan Penjajahan Jepang .................................................................................... 56
BAB III
DINAMIKA BIROKRASI MODERN DI SURAKARTA A. Gerakan Anti Swapraja dan Dampaknya Bagi Birokrasi Tradisional di Surakarta ....................................................... 1. Berdirinya Komite Nasional Indonesia Daerah (KNID) di Surakarta ............................................................................. 2. Gerakan Swapraja di Surakarta .......................................... B. Terbentuknya Birokrasi Modern di Surakarta ........................ 1. Pemerintahan Karesidenan Surakarta 1946-1947............. .. 2. Terbentuknya Haminte Kota Surakart 1947-1948.............. 3. Periode Pemerintahan Darurat Militer 1948-1949 ............. 4. Periode Pemerintah Kota Besar Surakarta 1949-1950 .......
BAB IV
68 69 76 82 82 94 100 108
DAMPAK DARI TERBENTUKNYA BIROKRASI MODERN DI SURAKARTA A. Terbentuknya Lembaga Peradilan ......................................... B. Terbentuknya Jawatan Penerangan ....................................... C. Jawatan-Jawatan Lain Yang Terbentuk Pada Masa Birokrasi Modern ...................................................................................
110 127
BAB V KESIMPULAN ..............................................................................
140
DAFTAR PUSTAKA ...................................................................................
142
LAMPIRAN
147
............................................................................................
commit to user
xi
133
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id
DAFTAR BAGAN No.
Nama
Halaman
1.
Bagan Struktur Pemerintahan di Kasunanan ............................... 36
2.
Bagan Struktur Pemerintahan di Mangkunegaran ...................... 51
3.
Bagan Struktur Pemerintahan di Mangkunegaran berdasarkan Lembaga ...................................................................................... 55
4.
Bagan Struktur Pemerintahan pada masa Pendudukan Jepang di Surakarta .................................................................................. 61
5.
Bagan Struktur Pemerintahan Karesidenan ................................ 91
6.
Bagan Struktur Pemerintahan Haminte Kota Surakarta .............. 97
7.
Bagan Struktur Pemerintahan Darurat Militer .......................... 105
8.
Bagan Struktur Pemerintahan Kota Besar Surakarta ................. 111
commit to user
xii
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id
DAFTAR ISTILAH
Abdi dalem
: punggawa kerajaan
Bupati
:punggawa kerajaan tingkat tinggi, dibawah pangkat patih kerajaan
Corps Vernielling
: kelompok penghancur
double bestuur
: pemerintahan ganda
double bestuur
: pemerintahan ganda
Jajar
: jenjang terendah dalam kepunggawaan kerajaan.
kawula-gusti
: pola hubungan raja-rakyat atau juga manusiaTuhan
Pangreh Praja
: elit birokrasi
patron-client
: pola hubungan bapak-anak buah
Patuh
: tuan
Politiek Contract
: kontrak politik
Volksraad
: Dewan Rakyat
Vorstenlanden
: wilayah raja-raja
Wetboek van Strafecht Voor : KUHP Untuk warga negara-Belanda Nederlandch-Orderdaan Zelfbesturendelandscappen
: berhak memerintah daerahnya sendiri
commit to user
xiii
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id
Daftar Singkatan
BKR
: Badan Keamanan Rakyat
BTI
: Barisan Tani Indonesia
DIS
: Daerah Istimewa Surakarta
KDPRI
: Kantor Daerah Pemerintah Republik Indonesia
KNID
: Komite Nasional Indonesia Daerah
KNIP
: Komite Nasional Indonesia Pusat
KPPRI
: Kantor Pusat Pemerintah Republik Indonesia
MBKD
: Markas Besar Komando Djawa
PPKI
: Panitia Persiapan Kemerdekaan Indonesia
PUT
: Perwira Urusan Teritorial
SWK
: Sub Wehrkreise
commit to user
xiv
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id
DAFTAR LAMPIRAN Lampiran 1
: Maklumat Sri Paduka Ingkang Sinuhun Kanjeng Susuhunan Paku Buwono XII ......................................
Lampiran 2
146
: Penetapan Pemerintah No. 16/SD Tahun 1946 Tentang Pemerintah Di Daerah Istimewa Surakarta Dan Jogjakarta .............................................................
Lampiran 3
: Arsip Piagam Kedudukan bagi Sunan Paku Buwono XII dan Sri Mangkunegoro VIII ..................................
Lampiran 4
147
149
: Peraturan Pemerintah Nomor 27 Tahun 1949 “KEMENTRIAN PENERANGAN. Susunan dan lapangan pekerjaan Kementrian Penerangan................
150
Lampiran 5
: Oendang-oendang No. 14 ...................................................
154
Lampiran 6
: Kan Po Boelan 5 Tahoen 2604 ..........................................
155
Lampiran 7
: Berkas Perkara Pengadilan Tahun 1946, 1949, 1954 ........
156
Lampiran 8
: Osamu Seirei No. 25 ……………………………………..
160
Lampiran 9
: Oendang-oendang N0. 23 tahoen Tentang Penghapoesan Pengadilan Radja .......................................
Lampiran 10
163
: Oendang-Oendang Tentang Peratoeran Hoekoem Pidana Tahoen 1946 ......................................................................
165
Lampiran 11
: Surat kabar-Surat Kabar .....................................................
171
Lampiran 12
: Anggaran Dasar Ikatan Pengikut Swapradja …………….
174
Lampiran 13
: Konsep Rinci Tentang Status Kekuasaan Daerah Serta Struktur Dan Tata Pelaksanaan Pemerintahan commit to user Swapradja ..................
xv
179
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id
ABSTRAK Belda Ranika Rosiana. C0507010. 2012. Terbentuknya Birokrasi Modern Di Surakarta Tahun 1945-1950. Skripsi : Jurusan Ilmu Sejarah Fakultas Sastra dan Seni Rupa Universitas Sebelas Maret Surakarta. Penelitian mengenai Terbentuknya Birokrasi Modern Di Surakarta Tahun 1945-1950. Permasalahan yang akan dibahas dalam penelitian ini yaitu (1) Bagaimana proses terbentuknya birokrasi modern di Surakarta pada awal kemerdekaan? (2) Bagaimana struktur birokrasi modern di Surakarta pada awal kemerdekaan? (3) Bagaimana dampak pada masyarakat dari terbentuknya birokrasi modern di Surakarta ? Penelitian ini merupakan penelitian historis, sehingga langkah-langkah yang dilakukan dalam penelitian ini meliputi heuristik, kritik sumber baik intern maupun ekstern, interpretasi, dan historiografi. Teknik pengumpulan data yang digunakan adalah studi dokumen dan studi pustaka. Dari pengumpulan data, kemudian data dianalisa dan diinterpretasikan berdasarkan kronologisnya. Untuk menganalisis data yang dipergunakan dalam penelitian ini adalah deskriptif analisis, yaitu analisa yang memaparkan ataupun menggambarkan suatu peristiwa didasarkan pada hubungan sebab akibat dari suatu fenomena historis dalam situasi tertentu. Analisa data ini diperoleh dari dokumen, surat kabar maupun studi pustaka digunakan pendekatan ilmu sosial yang lain sebagai ilmu bantu ilmu sejarah. Pendekatan yang digunakan dalam penelitian ini adalah pendekatan sosial, dan politik. Pemberian otonomi oleh pemerintahan RI kepada Kasunanan dan Mangkunegaran pada tanggal 19 Agustus 1945 dalam mengatur daerahnya ternyata mendapat perlawanan yang keras. Daerah Surakarta terdapat dualisme pemerintahan, antara KNI daerah Surakarta dengan pemerintahan swapraja. Pemerintahan RI berpikir ulang tentang apa yang harus dilakukan untuk daerah Surakarta, pada tanggal 15 Juli 1946 pemerintahan mengeluarkan undang-undang no 16/ SD/ 1946 yang menyatakan : 1) jabatan komisaris tinggi ditiadakan, 2) daerah Surakarta untuk sementara dijadikan daerah karesidenan, 3) dibentuk daerah baru dengan nama daerah kota Surakarta. Dalam sejarah perkembangannya di awal kemerdekaan yang dimulai dari periode Badan Perwakilan Rakyat, Haminte Kota Surakarta hingga menjadi Pemerintah Kota Surakarta hingga saat ini memang banyak terjadi perubahan struktur di dalam pemerintahannya. Berdasarka analisis penelitian ini dapat ditarik kesimpulan bahwa terbentuknya pemerintahan modern di Surakarta memberikan berbagai dampak, yaitu berubahnya system pemerintahan yang sudah tidak lagi menggunakan bentuk pemerintahan tradisional melainkan sudah berbentuk pemerintahan modern. Selain itu banyak dibentuk jawatan-jawatan guna membantu kinerja Pemerintah Daerah Surakarta pada masa itu. Seperti lembaga Peradilan, Jawatan Penerangan, Jawatan Pamong Praja, bidang Perekonomian, Bidang Sosial dan Kesejahteraan. commit to user
xvi
THE ESTABLISHMENT OF MODERN BUREAUCRACY IN SURAKARTA DURING 1945-1950 Belda Ranika Rosiana1 Drs. Warto M. Hum2
ABSTRACT 2013. Thesis: History Science Department of Faculty of Letters and Fine Arts of Surakarta Sebelas Maret University. The research concerns The Establishment of Modern Bureaucracy in Surakarta during 1945-1950. The problems to be studied in this research are: (1) how is the process of modern bureaucracy establishment in Surakarta in early independence time? (2) how is the modern bureaucracy structure in Surakarta in early independence time? and (3) how is the effect of modern bureaucracy establishment on the society in Surakarta? This study was a historical research; thus the procedure taken in this research encompassed: heuristic, source critique either internally or externally, interpretation, and historiography. Techniques of collecting data used were document study and library study. The data collected was the analyzed, and interpreted based on its chronology. Technique of analyzing data used in this research was a descriptive analysis, the one describing or explaining an event based on the causal relationship of a historical phenomenon in a certain situation. This data analysis was obtained from document, newspaper, and library study; other social science approaches were also used as secondary to history science. The approaches used in this study were social and political ones. Autonomy bestowal by Republic of Indonesia government to Kasunanan and Mangkunegaran on August 19, 1945 in organizing its area in fact got stringent resistance. In Surakarta area there was a government dualism between KNI of Surakarta area and 1 2
Mahasiswa Jurusan Ilmu Sejarah Dengan NIM C0507010 Dosen Pembimbing
swapraja government. RI’s government rethought about what should be done for Surakarta area; on July 15, 1946 the government issued act no. 16/SD/1946 stating that: 1) the high commissary post was nullified, 2) Surakarta area was made residency area temporarily, 3) a new district was established named Surakarta city area. In its development history, in early independence time started with Badan Perwakilan Rakyat (People Representative Agency) period, Haminte of Surakarta City to Surakarta City Government up to now, mant structural changes had occurred in its government. From this analysis, it could be concluded that the establishment of modern government in Surakarta exerted various impacts, that was, the changing government system no longer using traditional governmental form but the modern one. In addition many bureaus were established to help the Surakarta Area Government’s performance at that time, such as Justice institution, Information Bureau, Pamong Praja Bureau, Economic Division, Social and Welfare Division.
TERBENTUKNYA BIROKRASI MODERN DI SURAKARTA TAHUN 1945-1950 Belda Ranika Rosiana1 Drs. Warto M. Hum2
ABSTRAK 2013. Skripsi : Jurusan Ilmu Sejarah Fakultas Sastra dan Seni Rupa Universitas Sebelas Maret Surakarta. Penelitian mengenai Terbentuknya Birokrasi Modern Di Surakarta Tahun 1945-1950. Permasalahan yang akan dibahas dalam penelitian ini yaitu (1) Bagaimana proses terbentuknya birokrasi modern di Surakarta pada awal kemerdekaan? (2) Bagaimana struktur birokrasi modern di Surakarta pada awal kemerdekaan? (3) Bagaimana dampak pada masyarakat dari terbentuknya birokrasi modern di Surakarta ? Penelitian ini merupakan penelitian historis, sehingga langkahlangkah yang dilakukan dalam penelitian ini meliputi heuristik, kritik sumber baik intern maupun ekstern, interpretasi, dan historiografi. Teknik pengumpulan data yang digunakan adalah studi dokumen dan studi pustaka. Dari pengumpulan data, kemudian data dianalisa dan diinterpretasikan berdasarkan kronologisnya. Untuk menganalisis data yang dipergunakan dalam penelitian ini adalah deskriptif analisis, yaitu analisa yang memaparkan ataupun menggambarkan suatu peristiwa didasarkan pada hubungan sebab akibat dari suatu fenomena historis dalam situasi tertentu. Analisa data ini diperoleh dari dokumen, surat kabar maupun studi pustaka digunakan pendekatan ilmu sosial yang lain sebagai ilmu bantu ilmu sejarah. Pendekatan yang digunakan dalam penelitian ini adalah pendekatan sosial, dan politik.
1 2
Mahasiswa Jurusan Ilmu Sejarah Dengan NIM C0507010 Dosen Pembimbing
Pemberian otonomi oleh pemerintahan RI kepada Kasunanan dan Mangkunegaran pada tanggal 19 Agustus 1945 dalam mengatur daerahnya ternyata mendapat perlawanan yang keras. Daerah Surakarta terdapat dualisme pemerintahan, antara KNI daerah Surakarta dengan pemerintahan swapraja. Pemerintahan RI berpikir ulang tentang apa yang harus dilakukan untuk daerah Surakarta, pada tanggal 15 Juli 1946 pemerintahan mengeluarkan undang-undang no 16/ SD/ 1946 yang menyatakan : 1) jabatan komisaris tinggi ditiadakan, 2) daerah Surakarta untuk sementara dijadikan daerah karesidenan, 3) dibentuk daerah baru dengan nama daerah kota Surakarta. Dalam sejarah perkembangannya di awal kemerdekaan yang dimulai dari periode Badan Perwakilan Rakyat, Haminte Kota Surakarta hingga menjadi Pemerintah Kota Surakarta hingga saat ini memang banyak terjadi perubahan struktur di dalam pemerintahannya. Berdasarka analisis penelitian ini dapat ditarik kesimpulan bahwa terbentuknya pemerintahan modern di Surakarta memberikan berbagai dampak, yaitu berubahnya system pemerintahan yang sudah tidak lagi menggunakan bentuk pemerintahan tradisional melainkan sudah berbentuk pemerintahan modern. Selain itu banyak dibentuk jawatan-jawatan guna membantu kinerja Pemerintah Daerah Surakarta pada masa itu. Seperti lembaga Peradilan, Jawatan Penerangan, Jawatan Pamong Praja, bidang Perekonomian, Bidang Sosial dan Kesejahteraan.
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id
BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Kasunanan Surakarta disebut juga vorstenlanden atau dapat dikatakan daerah swapraja yaitu daerah yang berhak memerintah daerahnya sendiri (zelfbesturende landscappen).1 Dengan kata lain penguasa Kasunanan Surakarta yaitu Raja adalah seorang yang mengatur segala kehidupan rakyatnya. Seorang Raja wajib memiliki warisan nilai keteladanan, kebijaksanaan, keutamaan, kemuliaan, keagungan dan keluhuran, hal ini karena raja menjadi panutan rakyat atau kawulanya. Sama halnya dengan Kasunanan Surakarta, Mangkunegaran yang merupakan salah satu kadipaten di wilayah Surakarta juga memiliki daerah yang dinamakan dengan swapraja. Birokrasi merupakan lembaga yang sangat berkuasa, yang mempunyai kemampuan sangat besar untuk berbuat kebaikan atau keburukan, karena birokrasi adalah sarana administrasi rasional yang netral dalam skala yang besar. 2 Menurut Max Weber yang dimaksud birokrasi adalah suatu badan administratif tentang pejabat yang diangkat, birokrasi sebagai hubungan kolektif bagi golongan pejabat, suatu kelompok tertentu yang berbeda, yang pekerjaan dan pengaruhnya dapat dilihat di semua jenis organisasi.3 Pembentukan struktur organisasi atau birokrasi
1
Imam Samroni dkk., Daerah Istimewa Surakarta, (Yogyakarta: Pura Pustaka Yogyakarta, 2010), hlm. 305. 2
Peter M. Blau & MarsHal.l W. Meyer, Birokrasi dalam masyarakat Modern, (Jakarta: UI-Press, 1998) hlm. 5. commit to user 3 Martin Albrow, BIROKRASI, (Yogyakarta: Tiara Wacana, 2004) hlm. 41. 1
perpustakaan.uns.ac.id
2 digilib.uns.ac.id
dalam pemerintahan merupakan sistem untuk melaksanakan keputusan dan kebijakan. Pemerintah mengangkat para pejabat yang telah diatur dalam undang-undang. Praja Mangkunegaran memiliki struktur birokrasi terdiri atas dua golongan, yakni birokrasi berdasarkan pangkat (kekuasaan) dan birokrasi berdasarkan jabatan (lembaga). Sistem birokrasi yang ada di Praja Mangkunegaran masih terdapat unsur-unsur tradisional. Sistem yang dimiliki oleh Mangkunegaraan tidak berbeda dengan kebijakaan birokrasi yang dimiliki oleh Kasunanan Surakarta karena menurut kebijakan birokrasi yang dipergunakan pada masa tersebut terdapat hubungan antara atasan dan bawahan yang bersifat paternalistik saling ketergantungan. Para pejabat dianggap sebagai patron yang dipandang mampu melindungi dan rakyat sebagai klien yang harus patuh terhadap patronnya. 4 Dalam tubuh Kaunanan Surakarta terjadi konflik yang dapat mempengaruhi perubahan birokrasi yang sudah ada didalamnya dan dilaksanakan oleh masyarakat Surakarta pada umumnya. Proklamasi kemerdekaan yang dikumandangkan pada tanggal 17 Agustus 1945 memberikan pengaruh yang besar pada bangsa ini. Salah satunya yang terjadi di Surakarta, terutama berkenaan dengan birokrasi pemerintahan. Dampak yang di rasakan Surakarta pada awal kemerdekaan adalah runtuhnya kekuasaan tradisional Keraton Surakarta. Meskipun sebelumnya citra dari Keraton Kasunanan telah menurun karena konflik yang terjadi di dalamnya terutama
4
Dwi Ratna Nurhajarini, Sejarah commitKerajaan to user Tradisional Surakarta, (Jakarta: Departemen Pendidikan dan Kebudayaan RI), hlm. 29
perpustakaan.uns.ac.id
3 digilib.uns.ac.id
masalah pengangkatan Raja, dengan diterimanya gelar “Raja Kamardikan” dari presiden Soekarno kepada Pakubuwana XII. Proklamasi Kemerdekaan Indonesia merupakan perwujudan formal daripada salah satu gerakan Revolusi Bangsa Indonesia untuk menyatakan baik kepada diri sendiri maupun kepada dunia luar, bahwa Bangsa Indonesia mulai mengambil sikap untuk menentukan bangsa dan nasib tanah air di dalam tangan bangsa sendiri, yakni dengan mendirikan negara sendiri termasuk antara lain tata hukum dan tata negaranya.5 Meskipun Surakarta pernah mendapat status sebagai Daerah Istimewa Surakarta, tetapi hal ini tidak bertahan lama. Masyarakat di Surakarta tidak semua yang mendukung adanya Swapraja di Surakarta, hal ini dapat diperhatikan dengan sikap para pemuda
dan tokoh terpelajar yang memiliki
semangat nasionalis menganggap bahwa swapraja tidak mencerminkan bentuk Negara kesatuan, swapraja dianggap sebagai bentuk otoriter suatu penguasa yang mengekang kebebasan rakyat dalam hal ini adalah penguasa tradisional. Terjadi beberapa protes mengenai status Daerah Istimewa seperti: penculikan, kerusuhan di beberapa daerah dan pengerusakan fasilitas umum. Hal ini memberikan dampak dibekukannya status Daerah Istimewa Surakarta dan dibentuklah KNID untuk menangani kerusuhan yang terjadi di Surakarta. Tetapi akhirnya status Daerah Istimewa itu tidak diberikan kembali kepada Surakarta dan dibentuklah Pemerintah Daerah Surakarta dengan kepala pemerintahannya Wali Kota.
5
Joeniarto., Sejarah Ketatanegaraan Republik Indonesia, (Yogyakarta : commit to user Bumi Aksara, 1966), hlm. 71.
4 digilib.uns.ac.id
perpustakaan.uns.ac.id
Dibentuknya pemerintah Daerah Surakarta menjadi titik awal terbentuknya birokrasi modern di Surakarta menggantikan birokrasi tradisional yang tentu saja menghilangkan kekuasaan dari Keraton Kasunanan Surakarta sebagai penguasa di Surakarta. Untuk memerintah Negara dibentuklah birokrasi dengan bermacammacam jabatan. Birokrasi yang dihubungkan dengan demokrasi dan rasional maka birokrasi itu bersifat modern, hal ini karena ada unsur rasional dan unsur demokratis atau kekuasaan di tangan rakyat, bukan berdasarkan keturunan. Menurut Weber terdapat konsep ideal dalam strutur birokrasi modern yaitu yang pertama suatu susunan fungsi pejabat yang tetap dan terikat oleh peraturan, susunan jabatan berdasarkan prinsip hirarki, dan tindakan, keputusan dan peraturan administratif harus dirumuskan dan dicatat secara tertulis.6 Selain itu sarana pelaksana sudah ditentukan secara jelas dan penggunanya tunduk pada kondisi tertentu. Organisasi yang rasional memerlukan pembagian kerja dan kekuasaan yang sistematis. Setiap partisipan tidak hanya harus memahami tugas yang dibebankan tetapi juga mempunyai sarana untuk melaksanakannya terutama kemampuan untuk memerintah orang lain tetapi juga harus mengetahui batasbatas tugas, hak dan kekuasaan agar tidak melampaui garis yang memisahkan perananya dan peranan orang lain, sehingga akibatnya tidak mengabaikan seluruh struktur organisasi Konsep ideal birokrasi modern di atas dianggap sebagai ciri birokrasi yang paling rasional. Weber mengaitkan teori organisasi dengan teory demokrasi sebagai dasar dari konsep birokrasi modern. Secara umum konsep ini menjadi
6
Ibid, hlm. 45
commit to user
5 digilib.uns.ac.id
perpustakaan.uns.ac.id
dasar bagi birokrasi modern di Indonesia yang terjadi pada awal kemerdekaannya. Birokrasi yang penggunaannya dihubungkan dengan aristokrasi cenderung mengarah pada birokrasi tradisional, hal ini karena kaum aristokrat dalam memegang kekuasaan besifat turun temurun. Birokrasi tradisional yang berkembang
sejak
masa
kolonial
dapat
ditelusuri
sampai
tingkat
perkembangannya yang paling awal selama kerajaan Hindu-Mataram. Surakarta sebagai kerajaan yang cukup tua pasti telah menjalankan sistem birokrasi tradisional ini cukup lama. Dengan segala penghormatan dan penguasaan di masyarakat, hingga membentuk stratifikasi sosial antara penguasa yaitu bangsawan dan rakyat yang harus mematuhi dan mengabdi sebagai bentuk ketaatan kepada Raja yang dianggap titisan Dewa. Konsep kekuasaan tradisional yang berkembang dimasyarakat ini lebih dikenal dengan sebutan Gung-binatara atau Keagungbinataraan. Konsep kekuasaan ini intinya adalah pengakuan bahwa kekuasaan raja itu agung binathara, bahu dhendha nyakrawati, ber budi bawa leksana, ambeg adil paramarta.7 Jadi menurut konsep kekuasaan Jawa, raja berkuasa secara absolut. Tetapi kekuasaan itu diimbangi dengan kewajiban moral yang besar juga untuk kesejahteraan rakyatnya. Oleh karena itu, dalam konsep kekuasaan Jawa dikenal juga sebagai tugas raja: njaga tata tentreming praja (menjaga supaya masyarakat teratur dan dengan demikian ketentraman-kesejahteraan terpelihara).
7
Dalam bahasa Indonesia artinya : besar laksana kekuasaan dewa, pemelihara hukum dan penguasa dunia, commitmeluap to userbudi luhur mulianya, dan bersikap adil terhadap sesama.
6 digilib.uns.ac.id
perpustakaan.uns.ac.id
Hingga pada awal kemerdekaan konsep kekuasaan tradisional ini hilang dan digantikan sistem birokrasi modern yang tidak mengenal adanya stratifikasi sosial, dimana semua orang berhak untuk ikut dalam menata kehidupan dan ikut serta dalam pemerintahan. Tentu saja hal ini sangat tidak diterima oleh dua Kerajaan yang berkuasa di Surakarta saat itu yaitu Kasunanan dan Mangkunegaran. Baik Kasunanan maupun Mangkunegaran berusaha untuk mempertahankan kedudukan mereka sebagai penguasa di Surakarta. Hal ini berbeda dengan apa yang terjadi di Kasultanan Yogyakarta dan Pakualaman, dimana kekuasaan mereka tidak terancam hilang. Dengan hilangnya sistem birokrasi tradisional dan digantikan dengan sistem birokrasi
modern, jelas sekali terlihat memberikan
dampak yang bermacam-macam. Ada sebagian kelompok yang mendukung adanya birokrasi modern ini tetapi tidak sedikit pula yang menentang hal ini karena mereka ingin tetap mempertahankan Swapraja di Surakarta yang pada saat itu berstatus sebagai Daerah Istimewa. Selain masalah diatas, juga karena Surakarta tidak seberuntung Yogyakarta yang mampu mempertahankan kekuasaannya secara de facto dan de jure, selain karena beragam masyarakat yang tinggal dan hidup di Surakarta tetapi juga beragamnya kepentingan yang mewarnai atmosfire politik di Surakarta. Tidak hanya itu saja, konflik yang terjadi di dalam Keraton Kasunanan serta tidak ikut berperan aktifnya Keraton dalam membantu mempertahankan kemerdekaan Indonesia menjadi sebuah masalah yang menarik untuk diperbincangkan. Segala konflik dan peristiwa yang terjadi pasca kemerdekaan yang akhirnya merubah commit to user
7 digilib.uns.ac.id
perpustakaan.uns.ac.id
peta perpolitikan Surakarta, yang ditandai dengan terbentuknya Pemerintah Daerah Surakarta. Tidak hanya itu saja, ditilik dari perjalanan sejarah bangsa Indonesia, dinamika perubahan sistem pemerintahan pada masa awal kemerdekaan telah menjadi masalah tersendiri bagi bangsa. Mulai dari sistem pemerintahan presidensiil hingga parlementer dengan kabinet-kabinet yang tidak bertahan lama dalam menjalankan roda pemerintahan. Bangsa Indonesia masih belajar dan mencari sistem birokrasi yang baik dan tepat untuk menjalankan roda pemerintahan. Bahkan hingga saat ini, masih belum dapat dikatakan akan sistem Pemerintahan yang berlaku. Melihat peristiwa yang terjadi dengan sistem pemerintahan Negara saat ini, membuat ketertarikan yang mendalam untuk mengupas birokrasi modern khususnya yang terjadi di Surakarta. Karena dari sejarahnya Surakarta pernah mendapatkan status Daerah Istimewa tetapi status tersebut hilang dengan beberapa peristiwa yang terjadi pada masa itu, serta beberapa peraturan dan ketetapan yang akhirnya secara otomatis menghapus status keistimewaan Surakarta. Maka dari itu penting untuk diketahui proses terbentuknya birokrasi modern di awal kemerdekaan Indonesia khususnya di Surakarta dalam kajian ini yang berjudul “ Terbentuknya Birokrasi Modern di Surakarta Pada Tahun 19451950”. Judul ini di ambil karena pada rentan waktu tersebut banyak terjadi hal-hal yang menyebabkan terbentuknya sistem birokrasi modern di Surakarta.
commit to user
8 digilib.uns.ac.id
perpustakaan.uns.ac.id
B. Rumusan Masalah Berdasarkan Latar Belakang tersebut, ditemukan beberapa masalah yang perlu dikaji lebih lanjut. Adapun rumusan masalah itu adalah: 1. Bagaimana proses terbentuknya birokrasi modern di Surakarta pada awal kemerdekaan ? 2. Bagaimana
struktur
birokrasi
modern
di
Surakarta
pada
awal
kemerdekaan? 3. Bagaimana dampak pada masyarakat dari terbentuknya birokrasi modern di Surakarta?
C. Tujuan Penelitian Tujuan yang ingin dicapai dalam penelitian ini adalah : 1. Untuk mengetahui proses perubahan sistem birokrasi tradisional menjadi birokrasi modern di Surakarta. 2. Untuk mengetahui struktur birokrasi modern di Surakarta pada awal kemerdekaan. 3. Untuk mengetahui dampak pada masyarakat dari terbentuknya birokrasi modern di Surakarta.
D. Manfaat Penelitian Adapun manfaat yang diharapkan dari penelitian ini adalah dapat mamberikan gambaran mengenai perubahan birokrasi yang terjadi di Surakarta mulai dari sebelum hingga pasca gerakan anti Swapraja terjadi pada tahun 1945. Penelitian ini juga diharapkan dapat menjadi referensi dan informasi bagi masyarakat luas secara umum. Diharapkan juga dapat member sumbangsih dalam dunia akademisi commit to user
9 digilib.uns.ac.id
perpustakaan.uns.ac.id
sebagai tambahan bahan kajian dalam bidang sejarah, khususnya kajian sejarah sosial politik.
E. Kajian Pustaka Dalam mengkaji permasalahan pada penelitian menggunakan beberapa sumber yang berkaitan dengan sejarah Surakarta menjelang dan pasca Proklamasi seperti karya George D. Larson dalam bukunya Masa Menjelang Revolusi, Kraton dan Kehidupan politik di Surakarta 1912-1942 (1990), yang mengungkapkan kehidupan di dalam Keraton pada tahun 1912-1942. Menurut Larson masyarakat Jawa secara tradisional terbagi dalam tiga kelompok sosial yaitu keluarga Raja, Pegawai/Pejabat kerajaan dan rakyat biasa. Buku ini memberikan informasi mengenai kehidupan rumah tangga dalam Keraton menjelang kemerdekaan, baik secara politik, ekonomi maupun sosial. Hal ini sangat penting diketahui karena sebelum membicarakan sistem birokrasi di Surakarta, sebaiknya diawali dari kondisi wilayah Surakarta dan Keraton Kasunanan menjelang kemerdekaan. Di lain pihak karya ini merupakan studi sejarah politik Surakarta pada masa menjelang berakhirnya pemerintahan kolonial Belanda. Serta peranan golongan elite di Surakarta dalam pergerakan kebangsaan di Indonesia. Meskipun buku ini lebih menekankan pada bagaimana sikap Keraton Surakarta dalam menghadapi kemerdekaan dan mulai goyahnya kedaulatan mereka atas Surakarta. Selain itu dilihat dari rentan waktunya, buku ini hanya menjelaskan mengenai Surakarta sebelum kemerdekaan sehingga kurang detail mengenai kondisi Surakarta pasca kemerdekaan dan kondisi birokrasi di Surakarta setelah proklamasi. commit to user
perpustakaan.uns.ac.id
10 digilib.uns.ac.id
Buku kedua karangan milik Imam Samroni beserta tim yang berjudul Daerah Istimewa Surakarta (2010). Buku yang menjelaskan mengenai keberadaan Dearah Istimewa Surakarta dalam kajian history. Menjelaskan mengenai permasalahanpermasalahan seputar status Daerah Istimewa Surakarta dan gerakan anti Swapraja yang terjadi pada saat itu. Buku ini lebih menjelaskan mengenai hilangnya status Keistimewaan Surakarta dan sikap Keraton Kasunanan dalam menanggapi serta usaha mereka untuk mengembalikan keistimewaan tersebut. Dengan adanya penetapan mengenai pemberian status Daerah Istimewa di Surakarta membuat banyak tanggapan dari berbagai kalangan, baik yang setuju dan tidak setuju dengan pemberian status tersebut. Hal ini memunculkan konflik dan kecaman di Surakarta sehingga membuat pemerintah Pusat harus turun tangan untuk menyelesaikan masalah tersebut dengan membentuk KNID di Surakarta untuk meredam kekacauan di Surakarta. Karya Imam Samroni ini hanya menjelaskan seputar permasalahan keisimewaan Surakarta yang menyebabkan runtuhnya kekuasaan Swapraja yang ada di Surakarta. Masalah-masalah yang mempengaruhi atau menjadi dampak akan keistimewaan Surakarta kurang dijelaskan dalam buku ini. Selain beberapa buku di atas, juga digunakan buku yang di terbitkan oleh Paguyuban Para Pelaku Pemerintah RI Balaikota Surakarta dalam Pendudukan Belanda Tahun 1948 – 1950 yang berjudul Perjuangan Gerilya Membela Kemerdekaan Negara dan Bangsa, 1995. Dalam buku ini mengisahkan tentang situasi dan kondisi riil Surakarta pada masa revolusi. Hal ini di peroleh langsung dari para mantan pejuang yang sekaligus menjabat sebagai perangkat commit to user
perpustakaan.uns.ac.id
11 digilib.uns.ac.id
pemerintahan di Surakarta. Keadaan yang serba labil antara Kekuasaan RI dan kekuasaan Swapraja kerajaan yang didukung oleh pihak Belanda. Buku tersebut memberikan gambaran tentang situasi dan kondisi pemerintahan pada masa pendudukan Belanda tahun 1948-1950. Di dalam buku tersebut dikisahkan pula tentang pemerintahan gerilya di Kota Surakarta yang dapat disebut juga sebagai pemerintahan militer, karena pada saat itu keadaan Republik Indonesia pada umumnya dan kota Surakarta pada khususnya sedang dalam keadaan darurat perang. Pelaku pemerintahan gerilya kota Surakarta diceritakan dalam buku ini, mulai dari pembentukan sampai dengan pelaksanaan pemerintah gerilya tersebut. Referensi dari skripsi-skripsi yang sudah ada sebelumnya yang berkaitan dengan proses terbentuknya birokrasi modern, salah satunya skripsi dari Cahya Putri Musaparsih tahun 2005 yang berjudul Strategi Komite Nasional Indonesia Daerah Surakarta (KNIDS) Dalam Mengambil Alih Swapraja, 1945-1946, dimana pasca kemerdekaan pemerintah pusat membuat suatu Komite Nasional Pusat yang memiliki cabang di setiap daerah di Indonesia begitu juga di Surakarta. Komite ini bertugas sebagai pemerintahan sementara sebelum dibentuknya pemerintahan daerah secara resmi di Surakarta. Meskipun dalam pembentukannya banyak menuai konflik dan juga perlu perjuangan yang cukup keras tetapi dengan terbentuknya KNIDS ini dapat mempertegas eksistensi bahwa telah terbentuknya suatu pemerintahan yang berada langsung di bawah Pemerintahan Pusat. Lingkup penelitian ini hanya mencakup peristiwa yang terjadi pasca Kemerdekaan hingga aksi anti Swapraja yang menjadi penyebab terbentuknya KNIDS di Surakarta yang rentan waktunya terjadi pada tahun 1945-1946. Kajian ini belum commit to user
12 digilib.uns.ac.id
perpustakaan.uns.ac.id
menjelaskan lebih detail lagi kondisi Surakarta setelah masalah Swapraja dan juga perkembangan birokrasi modern yang terbentuk setelah adanya KNIDS. Skripsi dari Pheres Sunu Wijayengrono tahun 2006 yang berjudul Sikap Politik
Mangkunegaran
Dalam
Mempertahankan
Swapraja
1945-1946,
memberikan penjelasan mengenai kondisi birokrasi Mangkunegaran dalam menghadapi gerakan anti swapraja. Kajian ini mencoba untuk membuka kembali keberadaan Mangkunegaran sebagai lembaga politik pada tahun 1945-1946. Keberadaan Mangkunegaran sebagai lembaga tradisional tidak dianggap sebagai antithesis dari anti Swapraja. Hal ini dikarenakan upaya yang dilakukan oleh Mangkunegaran dalam menentang gerakan anti Swapraja sangat intensif dan lebih terbuka dibandingkan Kasunanan yang lebih menunjukkan sikap feodalisme di Surakarta. Bagi Mangkunegaran sendiri keterlibatan gerakan anti Swapraja dalam perpolitikan di Surakarta pada akhirnya menjadi ancaman utama setelah pihak Kasunanan pada akhirnya meredakan tekanan
kepada Mangkunegaran untuk
secara bersama-sama menghadapi revolusi sosial yang terdapat pada gerakan anti Swapraja. Pada masa ini terlihat bahwa lemahnya kepemimpinan Kasunanan dalam menghadapi gerakan anti Swapraja yang berbeda dengan Mangkunegaran yang sejak awal berani menentang gerakan anti swapraja dalam bentuk konfrontasi apapun karena kokohnya kekuasaan Mangkunegaran terhadap sistem birokrasi baik di dalam istana maupun di masyarakat. Meskipun begitu Mangkunegaran tetap tidak dapat mempertahankan kekuasaan politiknya di Surakarta dimana commit to user
perpustakaan.uns.ac.id
13 digilib.uns.ac.id
gerakan anti swapraja ini telah mencapai puncaknya yang berujung pada keruntuhan kekuasaan Mangkunegaran. Penelitian ini hanya mengkaji mengenai bagaimana Mangkunegaran mempertahankan kekuasaannya pada masa Kemerdekaan. Kajian ini menjelaskan sikap politik Mangkunegaran dalam mempertahankan Swapraja. Tetapi belum menjelaskan bagaimana perubahan birokrasi yang terjadi pada saat itu. Begitu juga denga skripsi karangan R. Djojo Puswito tahun 1999 yang berjudul Sistem Pelaksanaan Pengawasan Pemerintah Kolonial Belanda Terhadap Kasunanan Surakarta Pada Masa Paku Buwana X, yang menjelaskan pemerintah kolonial mengatur hampir segala macam aspek kehidupan di dalam Keraton maupun luar keraton Surakarta. Tentu saja cara yang digunakan tidak secara frontal tetapi dengan masuk kedalam system kebijakan pemerintahan dalam birokrasi Keraton. Bahkan dalam masalah pengangkatan patih pun harus sesuai ijin dari pemerintah kolonial. Maka dari itu, meskipun penjajahan kolonial tidak langsung mengaraha ke pribumi tetapi melalu penguasa local. Hal ini karena dalam birokrasi tradisional hubungan antara Raja dengan Kawula masih sangat kental sekali, dimana raja diibaratkan sebagai titisan dewa yang segala perintahnya adalah titah yang akan dilaksanakan oleh rakyat. Tetapi kajian ini lebih memusatkan pada pengawasan dari Pemerintah Kolonial pada Keraton Kasunanan masa Paku Buwana X. Karya dari Martin Albrow yang berjudu BIROKRASI (2004), dimana buku ini menjelaskan tentang konsep-konsep birokrasi mulai dari awal abad ke-19 hingga konsep birokrasi menurut tokoh-tokoh terkenal seperti Mosca dan Michel, Max commit to user
14 digilib.uns.ac.id
perpustakaan.uns.ac.id
Weber, Karl Marx dan para tokoh Ideolog Demokrasi. Albrow berusaha untuk menggali hakikat birokrasi, latar belakang dan kelahiran dari birokrasi, selain itu juga mengungkapkan pemikiran Max Weber tentang tujuh konsep birokrasi modern. Maka dari itu penting dalam kajian ini untuk menggunakan karya dari Martin Albrow ini sebagai sumber yang memberikan penjelasan mengenai dasar dari birokrasi modern dan bagaimana konsep dari birokrasi tersebut. Dalam mengerti masalah birokrasi baik secara umum maupun yang berhubungan dengan sistem birokrasi modern, penelitian ini menggunakan sumber dari buku yang berjudul Birokrasi dalam Masyarakat Modern, karya Peter M. Blau dan Marshall W. Meyer (1987). Dalam buku ini dijelaskan mengenai pengertian Birokrasi, konsep birokrasi yang berkembang di masyarakat sejak jaman pertengahan hingga birokrasi modern dan organisasi birokrasi. Oleh karena buku ini digunakan sebagai bahan kajian yang memberikan gambaran perihal birokrasi, khususnya birokrasi modern.
F. Metode Penelitian Sesuai permasalahan yang akan diteliti maka penelitian ini menggunakan metode sejarah. Menurut Nugroho Notosusanto, metode sejarah merupakan kumpulan prinsip-prinsip atau aturan yang sistematis yang dimaksudkan untuk bantuan secara efektif didalam usaha mengumpulkan bahan-bahan bagi sejarah, menilai secara kritis dan kemudian menyajikan suatu sintesa daripada hasilnya dalam bentuk tertulis.8 Penelitian ini menggunakan metode sejarah yang mencakup empat tahap yaitu menghimpun sumber-sumber sejarah yang sesuai 8
Sartono Kartodirdjo, Pendekatan commit toIlmu userSosial dalam Metodologi Sejarah, (Jakarta: PT. Gramedia Pustaka Utama, 1993) Hlm 60-62.
perpustakaan.uns.ac.id
15 digilib.uns.ac.id
dengan permasalahan (heuristik), kritik sumber, interpretasi dengan penjelasan sebagai berikut:9 1. Heuristik Tahap pertama heuristik, menghimpun sumber-sumber sejarah berkaitan dengan segala hal mengenai Keraton Kasunanan, terutama mengenai birokrasi pemerintahan Keraton Kasunanan Surakarta sebelum dan sesudah adanya gerakan anti Swapraja. Karena penelitian ini menggunakan metode historis, maka jenis sumber data yang digunakan berupa arsip seperti : Penetapan Pemerintah No. 16/S.D. tahun 1946, Maklumat yang dikeluarkan oleh Paku Buwana XII tertanggal 1 September 1945, piagam kedudukan tanggal 19 Agustus 1945, Laporan Riwayat Perjuangan Para Pelaku Pemerintahan Republik Indonesia Balai Kota Suarakarta pada masa pendudukan Belanda, Peraturan Pengganti Undang-undang No.8 tahun 1946, UU No.16 tahun 1947 tentang pengesahan pemerintahan Kota dan berbagai arsip yang berkenaan dengan perubahan ketatanegaraan Keraton Kasunanan Surakarta. Verslag mengenai Komando Militer Kota pada tahun 1949. Maklumat No. 2/MBKD mengenai berlakunya pemerintah militer di seluruh Pulau Jawa. Serta beberapa surat kabar yang menyiarkan berita seputar kondisi Surakarta pada saat itu. Selain itu juga arsip mengenai Maklumat Dewan Pertahanan Daerah Surakarta No. 17 tahun 1947. Siaran Kilat No. 5 yang berisi mengenai tentang urusan Daerah Istimewa Surakarta yang dikeluarkan Pemerintah Militer Daerah 9
hlm. 79.
Kuntowijoyo, Metodologicommit Sejarah, PT Tiara Wacana, 1994) to (Yogyakarta: user
perpustakaan.uns.ac.id
16 digilib.uns.ac.id
Kota Surakarta, undangan untuk menghadiri acara Penghapusan Pemerintah Militer Surakarta. Turunan mengenai pengumuman menolak segala macam jenis negara boneka bentukan Belanda. Terdapat juga Konsep Rinci tentang Status Kekuasaan Daerah serta Struktur dan Tata Pelaksanaan Pemerintah Swapraja. Semua arsip tersebut di atas didapatkan dari perpustakaan Mangkunegaran (Reksapustaka), Monumen Pers, dan juga Sasana Pustaka Kasunanan Surakarta. 2. Kritik Sumber Terdiri dari kritik intern dan ekstern. Kritik intern merupakan kritk yang meliputi tulisan, kata-kata, bahasa dan analisa verbal serta tentang kalimat yang berguna sebagai validitas sumber atau untuk membuktikan bahwa sumber tersebut dapat dipercaya. Sedangkan kritik ekstern, meliputi material yang digunakan guna mencapai kredibilitas sumber atau keaslian sumber tersebut. Dari hasil sumbersumber yang berhasil dikumpulkan adalah dokumen asli bahwasanya sumbersumber itu sebagian berbahasa Belanda yang kuno dan bahasa Jawa lengkap dengan tulisan Jawa pula. Kondisi dari data yang mudah rusak karena bahan kertasnya sudah berusia sangat tua dan mudah repuh dan sobek. Terkadang tulisan yang berupa tulisan tangan sebagian ada tinta yang luntur sehingga susah untuk dibaca. Memilih dan memilah sumber-sumber yang akan dijadikan data, karena tidak semua arsip yang ditemukan dapat dijadikan sebagai data. 3. Interpretasi Tahap ketiga adalah interpretasi, yang diartikan sebagai memahami makna yang sebenarnya dari sumber-sumber atau bukti-bukti sejarah. Fakta sebagai hasil “kebenaran” dari sumber sejarah setelah melalui pengujian yang kritis tidak akan commit to user
17 digilib.uns.ac.id
perpustakaan.uns.ac.id
bermakna tanpa dirangkaikan dengan fakta lain. Proses perangkaian itu disebut eksplanasi. Hasil eksplanasi tersebut kemudian disajikan dalam bentuk tertulis yang disebut rekonstruksi, yaitu dengan menyusun fakta-fakta kemudian menjadi sebuah kisah sejarah. Tujuan kegiatan ini adalah merangkaikan fakta-fakta menjadi kisah sejarah dari bahan sumber-sumber yang belum merupakan suatu kisah sejarah. 4. Historiografi Tahap keempat adalah historiografi yang merupakan penyajian hasil penelitian dalam bentuk tulisan baru berdasarkan bukti-bukti yang telah diuji. Sumber-sumber bahan dokumen dan studi kepustakaan, selanjutnya dianalisis, diinterpretasikan dan ditafsirkan isinya. Data-data yang telah dikaji kebenarannya itu merupakan fakta–fakta yang dirangkai menjadi kisah sejarah yang dapat dipertanggungjawabkan kebenarannya. Historiografi atau penulisan sejarah, yaitu menyampaikan sumber yang diperoleh dalam bentuk kisah sejarah atau penulisan sejarah. Kemudian menceritakan apa yang telah ditafsirkan dalam penyusunan kisah sehingga menarik untuk dibaca. Penulisan dan penyusunan kisah dengan kata-kata dan gaya bahasa yang baik bertujuan supaya pembaca mudah memahami maksudnya dan tidak membosankan.
G. Sistematika Penulisan Sistematika dimaksudkan membantu pembaca untuk mempermudah dalam memahami penulisan skripsi ini. Serta membantu memberikan gambaran mengenai tema yang di bicarakan di dalamnya. commit to user
18 digilib.uns.ac.id
perpustakaan.uns.ac.id
Bab I merupakan Pendahuluan meliputi latar belakang, rumusan masalah, tujuan penelitian, tinjauan pustaka, metodologi penelitian dan sistematika penulisan. Bab II, pada bab ini membahas tentang kondisi birokrasi di Surakarta sebelum kemerdekaan. Diterangkan pula mengenai gambaran umum kondisi birokrasi
tradisional
(Kasunan Surakarta dan Mangkunegaran)
sebelum
kemerdekaan dan struktur pemerintahan dan kewenangan yang dimiliki Keraton Kasunanan dan Mangkunegaran pada saat terjadinya proses terbentuknya birokrasi modern pada tahun 1945-1950. Bab III menjelaskan proses terbentuknya birokrasi modern dan struktur birokrasi modern di Surakarta. Di dalam bab ini juga dijelaskan kondisi di Surakarta pada awal kemerdekaan bangsa Indonesia, hingga terbentuknya sistem birokrasi
modern
di
Suarakrta
beserta
peristiwa-peristiwa
yang
melatarbelakanginya dan mengenai jalannya birokrasi modern yang baru terbentuk. Bab IV menjelaskan dampak dari terbentuknya birokrasi modern di Surakarta. Khususnya bab ini menjelaskan dampak pada masyarakat dengan adanya sistem birokrasi yang baru tersebut. Bab V penutup yang berisi kesimpulan dari keseluruhan pembicaraan yang telah diuraikan dalam kajian ini.
commit to user
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id
BAB II BIROKRASI TRADISIONAL DI SURAKARTA MENJELANG KEMERDEKAAN Nama Surakarta merupakan nama varian dari Jakarta yang pada masa lalu juga disebut Jayakarta. Surakarta berasal dari gabungan kata Sura berarti berani, dan Karta berarti sejahtera.1 Keraton Surakarta mulai dibangun pada masa pemerintahan Sunan Paku Buwana II (1726-1749), sebagai pengganti Keraton Kartasura yang telah rusak akibat pemberontakan orang-orang Cina dibawah pimpinan Sunan Kuning, juga oleh pasukan Madura yang dipimpin Cakraningrat IV.2 Kerajaan tradisional Jawa, baik pada zaman Hindu-Budha maupun Islam selalu menempatkan kekuasaan tertingginya pada raja. Dalam konsep Jawa tentang organisasi Negara, raja atau ratulah yang menjadi eksponen mikrokosmos. Raja merupakan penguasa tunggal yang memiliki kekuasaan yang begitu besar tetapi juga menuntut tanggung jawab yang begitu berat. Konsep seperti ini disebut dengan Konsep Kekuasaan Jawa. Menurut pemikiran dari Max Weber budaya politik di Indonesia lebih mengarah pada nilai-nilai patrimonial. Oleh karenanya, jenis sistem politik dan demokrasi yang berkembang adalah sistem politik dan demokrasi patrimonial.3
1
Dwi Ratna Nur Hajarini, dkk, Sejarah Keraton Tradisional Surakarta, (Jakarta: CV. Ilham Bangun Karya, 1999), hlm.7-8 2 3
Ibid, hlm. 12 commit to user Tiara Wacana, 2004) hlm. 58 Martin Albrow, BIROKRASI, (Yogyakarta: 19
20 digilib.uns.ac.id
perpustakaan.uns.ac.id
Max Weber menjelaskan patrimonialisme sebagai salah satu bentuk dominasi dari otoritas tradisional. Pijakan dasarnya adalah pemahaman patrimonial dapat ditelusuri pada penjabarannya mengenai Otoritas Tradisional. Tipe otoritas tradisional, didasarkan pada kepercayaan yang mapan terhadap kesucian tradisi zaman dahulu yang kemudian dipertahankan dan diturunkan dari generasi ke generasi. Kepercayaan yang telah mapan ini yang dipakai sebagai dasar memberi legitimasi kepada status pemegang otoritas. Alasan orang patuh serta taat pada pemegang otoritas berdasarkan prilaku yang diambil begitu saja (taken for granted).4 Alasannya, karena sejak dahulu juga seperti itu, atau karena mereka yang memegang otoritas tersebut telah dipilih berdasarkan peraturan yang harus dihormati sepanjang waktu. Hubungan antara pemimpin yang memegang otoritas dengan bawahannya merupakan hubungan pribadi. Ada kesetiaan pribadi untuk patuh dan taat pada pemimpin tersebut dan sebaliknya pemimpin berkewajiban secara moral untuk memperhatikan kebutuhan dari mereka yang dipimpin. Bagi Weber, sebuah otoritas akan disebut tradisional jika ada legitimasi yang bersumber dari kekuasaan dan peraturan yang sudah sangat tua dan suci. Para pemimpin dipilih menurut peraturan tradisional dan dipatuhi berdasarkan status tradisional mereka (Eigenwurde). Tipe pengaturan ini, berdasarkan loyalitas personal yang dihasilkan dari pelajaran-pelajaran yang di tanamkan semenjak kecil (commons upbringing). Penggunaan otoritas dilekatkan pada pemimpin secara individual, dimana para pembantu pemimpin tersebut bukanlah seseorang yang digaji, sebagaimana
4
commit to user Ibid, hlm. 72
perpustakaan.uns.ac.id
21 digilib.uns.ac.id
pegawai dalam konteks birokrasi modern. Ia hanya sebagai seorang asisten pribadi (personal retainer) yang loyal dengan tuannya. Kemampuan dan hak untuk memerintah diwariskan melalui keturunan dan itu tidak berubah, juga tidak memfasilitasi perubahan sosial. Kecenderungan tidak rasional dan tidak konsisten, serta melanggengkan status quo. Penciptaan hukum baru yang berlawanan dengan norma-norma tradisional dianggap tidak memungkinkan. Otoritas tradisional biasanya diwujudkan dalam feodalisme. Dalam struktur murni patriarkal, "hamba secara pribadi tergantung pada tuan" (Tuan-Hamba), sedangkan pada sistem feodalisme, para pelayan bukan budak penguasa tetapi laki-laki independen, namun dalam Patriakal dan feodalisme tersebut, sistem kekuasaan tidak berubah atau berevolusi. Menurut konsep kekuasaan Jawa, raja adalah seorang yang berkuasa secara mutlak / absolute, tetapi kekuasaan itu diimbangi dengan kewajiban moral yang besar untuk kesejahteraan rakyatnya oleh karena itu dalam konsep kekuasaan jawa dikenal sebagai tugas raja adalah njaga tata tentremin praja yang artinya menjaga supaya masyarakat teratur, dengan demikian ketentraman dan kesejahteraan rakyat terjaga.5 Kedudukan dan kekuasaan raja yang begitu besar dikenal dengan doktrin Keagungbinataraan. Maksud dari konsep ini adalah bahwa Raja memiliki segalanya baik harta maupun manusia. Oleh karena itu dikalangan rakyat berlaku prinsip nderek kersa dalem. Namun hal ini tidak berarti raja sebagai penguasa
5
Tim Penulis Solopos, Di Balik Suksesi Keraton Surakarta Hadiningrat, (Solo: PT Aksara Solopos, 2004),commit hlm. 63to user
22 digilib.uns.ac.id
perpustakaan.uns.ac.id
tunggal berhak untuk berbuat sewenang-wenang terhadap rakyatnya. Sebab dalam konsep Keagungbinataraan itu juga dirangkai dengan sikap berbudi laksana, ambeg adil para marta6, dan hal tersebut masih ditambah lagi dengan kalimat wenang wisesa sangari7. Ini menunjukkan adanya keseimbangan antara kewenangan yang luar biasa dengan kewajiban dan tanggung jawab yang luhur, yakni melindungi, mengasihi dan mensejahterakan rakyatnya.8 Sebaliknya, supaya raja dapat melaksanakan tugasnya, rakyat mempunyai kewajiban-kewajiban yang harus dilaksanakannya (ngemban dhawuh dalem). Dengan demikian antara raja dan rakyat berlaku prinsip jumbuhing atau pamoring kawula-gusti (bertemunya rakyat dan raja). Sebelum tahun 1900 atau lebih tepatnya sebelum sistem politik Etis, sistem pemerintahan untuk daerah jajahan (Hindia Belanda) masih bersifat sentralistis. Dimana tidak ada partisipasi dari perangkat lokal, segala sesuatu diatur oleh pemerintah pusat. Tidak ada sama sekali otonomi untuk mengatur sendiri rumah tangga
daerah
sesuai
dengan
kepentingan
daerah.
Hal
ini
karena
sentralisasi dipandang sebagai cara terbaik oleh pemerintah Belanda untuk memperoleh keuntungan sebesar-besarnya. Oleh karena itu, dengan sentralisasi Belanda dapat mempertahankan tanah jajahannya.
6
berbudi laksana, ambeg adil para marta dalam bahasa Indonesia artinya budi luhur yang begitu luas/ meluap serta sifat adil dan penuh kasih saying. 7 8
wenang wisesa sangari artinya memiliki wewenang diseluruh negeri
G. Moedjanto, Konsep Kekuasaan Jawa dan Penerapannya oleh Raja-raja to user Mataram, (Yogyakarta: Kanisius,commit 1987), hlm 87
23 digilib.uns.ac.id
perpustakaan.uns.ac.id
A. Struktur Birokrasi Kolonial Mulai tahun 1903 diberlakukan Undang-undang Desentralisasi dimana dengan Undang-undang tersebut dibentuklah Dewan Lokal yang memiliki otonomi. Dengan adanya dewan lokal maka pemerintah lokal perlu dibentuk dan disesuaikan. Maka terbentuklah: Provinsi, kabupaten, kotamadya, dan kecamatan serta desa. Desentralisasi adalah pembagian wewenang atau urusan penyelenggaraan pemerintahan.
Dengan
adanya
keinginan
desentralisasi
maka
Belanda
membutuhkan orang-orang pribumi bukan hanya sebagai penguasaan daerah tetapi juga untuk mengerjakan keperluan administrasi pemerintah. Belanda juga membutuhkan tenaga terlatih (tenaga kesehatan, kehutanan, kemiliteran, kepolisian). Orang-orang pribumi tersebut akan dijadikan pelaksana, pelayan pemerintah, serta perantara antara Belanda dan penguasa daerah. Tetapi untuk dapat bekerja di pemerintah maka mereka harus sekolah. Keinginan desentralisasi menyebabkan adanya desentralisasi antara negara induk (Belanda) dengan Hindia-Belanda, antara pemerintah Batavia dengan daerah, dan antara Belanda dengan pribumi. Dengan adanya keinginan desentralisasi tersebut maka memerlukan adanya daerah otonom. Meskipun ada upaya untuk modernisasi struktur birokrasi tetapi tetap saja masih mempertahankan beberapa bagian struktur politik sebelumnya. Hal ini dilakukan demi kepentingan praktis dan untuk mempertahankan loyalitas, khususnya loyalitas elit bumi putra. Untuk jabatan teritorial diatas tingkat kabupaten dipegang oleh orang-orang Belanda/ Eropa commit to user
24 digilib.uns.ac.id
perpustakaan.uns.ac.id
Pada perkembangannya, karena semakin luas Hindia Belanda maka dibutuhkan tenaga kerja untuk mengelola administrasi negara semakin meningkat. Sehingga ada pendamping pejabat teritorial yang disebut pejabat non teritorial yang setingkat kabupaten (asisten residen), kawedanan (asisten wedono). Berdasarkan Undang-undang Perubahan tahun 1922 Hindia Belanda dibagi dalam provinsi dan wilayah (gewest) sebagai berikut: 1.Provinsi Provinsi memiliki otonomi. Tiap provinsi dikepalai oleh seorang gubernur. Ada 3 provinsi yaitu Jawa Barat (1926), Jawa Timur (1929), dan Jawa Tengah (1930). 2. Gewest (wilayah) Gewest tidak memiliki otonomi. Sampai tahun 1938 Hindia Belanda terbagi menjadi 8 gewest yang terdiri dari: 3 Provinsi : Jawa Barat, Jawa Timur, dan Jawa Tengah, dan 5 Gewesten : Kesultanan Yogyakarta, Kasunanan Surakarta, Gewest Sumatera, Gewest Kalimantan (Borneo), Gewest Timur Besar (Grote Oost) yang terdiri dari Sulawesi, Kepulauan Sunda Kecil, Maluku, dan Irian Barat. Untuk Surakarta dan Yogyakarta termasuk Gubernemen yaitu wilayah yang langsung diperintah oleh pejabat-pejabat gubernemen. Akibat adanya desentralisasi menyebabkan munculnya kebebasan yang semakin besar dari penguasa kolonial. Memunculkan proses Indonesianisasi (sistem kepengurusan Indonesia, sejauh mungkin dilaksanakan oleh orang Indonesia. Hingga lahirlah Volksraad (Dewan Rakyat)). commit to user
25 digilib.uns.ac.id
perpustakaan.uns.ac.id
Pemerintahan tertinggi dilaksanakan oleh Menteri Jajahan sedangkan sebagai penyelenggara pemerintahan umum adalah Gubernur Jenderal. Gubernur Jenderal didampingi oleh Raad van Indie yang beranggotakan 4 orang yang disebut sebagai Pemerintah Agung di Hindia Belanda.Selain itu dibantu oleh 2 Sekretariat yaitu: 1) Sekretaris Umum (Generale Secretarie) untuk membantu Commisaris General 2) Sekretaris Pemerintah (Gouvernement Secretarie) untuk membantu Gubernur Jenderal. Pada perkembangannya keduanya diganti menjadi Algemene Secretarie yang bertugas membantu Gubernur Jenderal terutama memberikan pertimbangan keputusan. Peraturan yang mengatur kewenangan gubernur jenderal yang tertuang dalam Regeering Reglement (RR). Gubernur Jenderal bertanggung jawab langsung pada Raja melalui Mentri Jajahan, Laporan pertanggung jawaban tersebut diberikan kepada Palemen Belanda (Staten Generaal). Menurut Undang-undang Hindia Belanda sebagai bagian kerajaan Belanda, maka: 1. Pemerintahan tertinggi berada di tangan Raja yang dilaksanakan oleh menteri jajahan atas nama raja. Bertanggung jawab pada Parlemen Belanda (Staten General). 2. Pemerintahan Umum diselenggarakan oleh Gubernur Jenderal atas nama Raja yang dalam prakteknya atas nama menteri jajahan.
commit to user
26 digilib.uns.ac.id
perpustakaan.uns.ac.id
Raja bertugas : 1. Mengawasi
pelaksanaan/
penyelenggaraan
pemerintahan
Gubernur
Jenderal. 2. Pengangkatan pejabat penting, memberikan petunjuk kepada Gubernur Jenderal dalam mengambil keputusan apabila terjadi perselisihan antara Gubernur jenderal dengan Dewan Hindia Belanda. Sedangkan di bawahnya Gubernur Jenderal ada Dewan Rakyat (Volksraad) sebagai Badan Perwakilan Hindia-Belanda dalam pemerintahan. Untuk tingat Provinsi dikepalai oleh Gubernur, Karisidenan (afdeling) dipimpin oleh Residen dibantu asisten residen dan controleur (pengawas). Kabupaten (regent) dipimpin oleh bupati jabatan tertinggi, dibantu oleh seorang patih. Kawedanan dipimpin oleh wedana, Distrik dipimpin oleh asisten wedana, dan Kecamatan dipimpin oleh camat. Desa (kepala desa) jabatan ini tidak termasuk dalam struktur birokrasi pemerintah kolonial/ bukan anggota korp pegawai dalam negeri Hindia Belanda (Departemen Dalam Negeri). Kepala desa dibantu pejabat desa (pamong desa). Pejabat pribumi (inland bestuur) yang termasuk dalam binenland bestuur (departemen dalam negeri) disebut Pangreh Praja (pemangku Kerajaan) yang dikenal dengan sebutan Priyayi. Kepala desa tidak diangkat maupun digaji oleh pemerintah. Mereka dipilih langsung oleh rakyat dan digaji oleh rakyat pula melalui tanah desa (tanah bengkok) yang diserahkan kepadanya selama menjadi kepala desa. commit to user
perpustakaan.uns.ac.id
27 digilib.uns.ac.id
B. Birokrasi Tradisional di Surakarta Luas ibukota Kerajaan Surakarta (kota Sala) adalah 24 kilometer persegi dengan ukuran 6 kilometer, membentang dari arah barat ke arah timur, dan 4 kilometer dari arah utara ke selatan. Kota ini berada di tanah dataran rendah di tepi sebelah barat Sungai Bengawan Sala. Luas wilayah kerajaan Surakarta (sekarang Karesidenan Surakarta) seluruhnya adalah 6.215 kilometer persegi. Separuh dari daerah itu adalah milik kasunanan, sedang separuh lainnya masuk daerah Mangkunegaran. Di pusat ibukota terdapat bangunan inti kerajaan berupa keraton yang terdiri dari kompleks bangunan yang dikelilingi tembok, tempat kediaman raja, isteriisterinya, dan berbagai wanita terkemuka. Daerah inti di kelilingi oleh sepasang bangunan tembok yang tinggi, tempat masuk hanya bisa lewat gerbang dengan pintu yang tebal dan kuat. Sebagai pusat kerajaan, keraton adalah pusat birokrasi pemerintahan atau dapat dikatakan pusat penyelenggara pemerintahan dalam suatu kerajaan. Raja sebagai pemegang kekuasaan tertinggi dibantu oleh para pengikutnya yang setia berdasarkan hubungan kekeluargaan. Agar kekuasaan itu diselenggarakan secara berdaya dan berhasil guna, maka dalam konsep kekuasaan Jawa dikenal adanya konsep kewilayahan, birokrasi serta dibuat pedoman perilaku bagi para penguasa dan rakyat. Konsep kewilayahan negara tercermin dalam gambaran sebagai berikut: 1) Pada tingkat pusat terdapat karaton, negara atau kuthagara, yaitu wilayah inti, tempat tinggal raja dan keluarganya. Daerah ini adalah daerah inti atau pusat commit to user
perpustakaan.uns.ac.id
28 digilib.uns.ac.id
dari wilayah kerajaan. Daerah ini juga disebut daerah Narawito9 yang merupakan tanah milik raja. Di daerah Kutagara inilah terletak keraton. Dimana raja dengan keluarganya dan beberapa pejabat tinggi lainnya tinggal. 2) Negara agung, yaitu daerah yang ada di sekitar Kutagara. Daerah ini masih termasuk daerah inti kerajaan karena di daerah inilah terutama terdapat tanah lungguh (apanage) dari para bangsawan keluarga Mataram; 3) Mancanagara, yaitu daerah darat di luar negara agung, di daerah ini dapat dikatakan tidak ada tanah-tanah lungguh dari bangsawan-bangsawan kraton tetapi tiap waktu-waktu tertentu harus menyerahkan pajak ke keraton. 4) Daerah pesisir wetan, kira-kira Demak ke Timur, dan pesisir kilen, kirakira Demak ke Barat. Birokrasi Mataram menyangkut urusan pusat dan daerah. Di pusat, birokrasi dipimpin oleh Patih (pepatih dalem). Ia membawahkan sejumlah pejabat atau nayaka, semacam kepala departemen, yang disebut wedana. Patih juga membawahkan militer dan para bupati. Birokrasi di kabupaten merupakan bentuk tiruan dalam ukuran yang lebih kecil dari birokrasi kerajaan. Bupati atau adipati pada hakikatnya adalah raja kecil atau taklukan dari raja besar. Doktrin keagungbinataraan mengajarkan bahwa raja harus selalu membangun kerajaannya, sehingga kerajaannya menjadi pusat politik yang tertinggi dan paling kuasa. Secara singkat kekuasaan raja besar menurut konsep kekuasaan Jawa ditandai oleh: 1) Wilayah kerajaannya yang sangat luas; 2) Luas wilayah daerah
9
Nara=orang, wita= suwitaatau mengabdi, jadi daerah dari orang-orang yang commit to user mengabdi.
perpustakaan.uns.ac.id
29 digilib.uns.ac.id
atau kerajaan taklukan dan berbagai barang persembahan yang disampaikan oleh raja taklukan; 3) Kesetiaan para bupati dan punggawa lainnya dalam menunaikan tugas kerajaan dan kehadiran mereka dalam paseban yang diselenggarakan pada hari-hari tertentu; 4) Kebesaran dan kemeriahan upacara kerajaan dan banyaknya pusaka dan perlengkapan yang tampak dalam upacara; 5) Kekayaan yang dimiliki oleh raja, gelar-gelar yang disandang dan kemasyhurannya; 6) Seluruh kekuasaan menjadi satu ditangannya, tanpa ada yang menandingi. Kasunanan adalah daerah Swapraja yaitu daerah yang dapat memerintah sendiri atau dapat disebut juga Zelfbesturendelandscapen,10 meskipun begitu keraton tidak lepas dari pengawasan pemerintah Kolonial Belanda. Hubungan dengan pemerintah Kolonial tersebut diatur dalam perjanjian-perjanjian politik yang disebut politiek contract. Terdapat dua macam perjanjian politik yaitu Lang Contract atau kontrak panjang dan Korte Verklaring atau pernyataan pendek. Perbedaan dari perjanjian politik tersebut adalah : (1) Swapraja dengan kontrak panjang (Lang Contract), yaitu perjanjian yang mengikat dan membatasi kekuasaan swapraja dan memberi kelonggaran pada pemerintah pusat. (2) Swapraja dengan kontrak pendek (Korte Verklaring), yaitu berisi keterangan bahwa swapraja mengakui kedaulatan Negara dan tunduk akan perintah.11
10
Zelfbesturende landschappen artinya adalah berhak memerintah daerahnya sendiri. Imam Samroni, dkk., Daerah Istimewa Surakarta,(Yogyakarta: Pura Pustaka Yogyakarta, 2010), hlm. V to user 11 Dwi Ratna Nur Hajarini, commit dkk, opcit, hlm. 124-125
30 digilib.uns.ac.id
perpustakaan.uns.ac.id
Dilihat dari segi hukum tersebut di atas maka daerah swapraja Surakarta tergolong swapraja dengan kontrak panjang, karena perjanjian yang dibuat secara turun temurun berlaku terus. Kontrak panjang ini menetapkan satu demi satu kekuasaan Belanda dalam hubungannya dengan pemerintahan swapraja yang bersangkutan, sebaliknya pemerintah kolonial mengakui keberadaan pemerintah swapraja beserta haknya untuk mengatur dan menjalankan pemerintahannya. Perjanjian politik tersebut selalu diperbarui tiap kali seorang putra mahkota akan menduduki tahta kerajaan. Meskipun dengan adanya perjanjian politik tersebut kekuasaan raja benar-benar telah mengalami pergeseran, akan tetapi dalam kenyataannya Kasunanan Surakarta merupakan kerajaan yang otonom, mempunyai system pemerintahan sendiri, walaupun tidak bisa dilepaskan sama sekali dari pengaruh sistem kolonial.12 1. Birokrasi Keraton Kasunanan Kekuasaan seorang raja, sebagai diatur dalam struktur birokrasi tradisional memiliki kekuasan sentral dalam wilayah kerajaan. Kedudukan dan kekuasaan raja diperoleh berdasarkan warisan menurut tradisi pengangkatan raja baru atas dasar keturunan Raja yang memerintah. Raja-Raja Surakarta memakai gelar dan sebutan Sampeyan Dalem Ingkang Sinuhun Kangjeng Susuhunan Paku Buwana Senapati Ing Alaga Ngabdurahman Sayidin Panatagama Khalifatullah. Atas dasar gelar ini, maka Raja mengepalai urusan politik pemerintahan, keagamaan dan sebagai primus interpares di wilayah kekuasaannya.
12
Ibid, hlm. 125
commit to user
31 digilib.uns.ac.id
perpustakaan.uns.ac.id
Pola demikian merupakan pola Caesar-papisme, yaitu raja sebagai orang pertama dan terhormat di negaranya (Sampeyan Dalem Ingkang Sinuhun Kanjeng Susuhunan),13 dia juga sebagai pusat kehidupan masyarakat dan dunia (Paku Buwana). Selain itu raja adalah kepala pemerintahan dan juga sebagai panglima tertinggi angkatan perang (Senapati Ingalaga), serta sebagai kepala bidang keagamaan (Ngabdurahman Sayidin Panatagama). Sebagai penguasa tertinggi Raja harus adil dalam memerintah dengan hukum yang seadil-adilnya, hal ini karena Raja dianggap sebagai wakil Allah di dunia yang tampak pada gelar Khalifatulah.14 Oleh karena itu raja duduk sebagai wali hakim bagi kawula dalem wanita yang akan menikah. Menurut tradisi istana yang berlaku bahwa hanya putera laki-laki tertua dari permaisuri atau yang ditunjuk oleh raja sajalah yang berhak menggantikan kedudukan sebagai Raja. Hal ini berdasarkan pada tradisi bahwa yang berhak menjadi Wali adalah orang laki-laki atau ayah, atau saudara laki-laki dari satu ayah. Maka menurut adat kerajaan yang berhak menjadi Raja haruslah keturunan atau putera laki-laki. Raja secara tradisional dianggap sebagai pusat dunia, pusat kehidupan masyarakat, maka tanggung jawab baik buruknya kerajaan terletak di tangan raja. Oleh karena itu dalam struktur birokrasi pemerintahan, raja menempati kedudukan tertinggi. Raja berhak mengangkat dan memberhentikan pejabat-pejabat dalam pemerintahan yang dipegangnya. Kedudukan raja yang sangat tinggi maka dalam
13
Ibid.
14
Ibid.
commit to user
perpustakaan.uns.ac.id
32 digilib.uns.ac.id
menjalankan tugas pemerintahan, raja dibantu melalui birokrasinya yang merupakan alat dari kekuasaan raja yaitu para abdi dalem (pegawai kerajaan). Dalam hal ini pepatih dalem (patih) merupakan orang nomor dua setelah raja, baru kemudian diteruskan kepada kawula dalem (rakyat).15 Para abdi dalem juga bisa dimasukkan dalam golongan priyayi, mereka mempunyai keyakinan dan nilai-nilai khusus dan berada di antara raja serta para bendara di satu pihak dan tiyang alit di lain pihak. Mereka juga merupakan salah satu unsur elit yang memerintah, karena elit ini terdiri atas dua kelompok, yaitu aristrokrasi darah dan aristokrasi jabatan. Kawula atau rakyat kecil yang ingin masuk dalam kelompok elit ini harus menjadi abdi dalem yang di-kawulawisuda (diwisuda).16 Dalam perkembangan berikutnya secara berangsur-angsur para priyayi murni berasal dari keluarga dan keturunannya. Rakyat kecil yang ingin masuk menjadi priyayi harus melewati jalur suwita dan magang. Suwita dimulai ketika anak masih berusia sekitar dua belas tahun, dan dilaksanakan di rumah kerabat yang telah menjadi priyayi tingkat tinggi. Di tempat yang baru itu anak yang suwita harus mau melakukan pekerjaan baik yang kasar maupun yang memakai pikiran. Selain itu ia harus membiasakan diri dengan keadaan setempat, belajar sopan santun yang berlaku dalam keluarga tempat ia mengabdi. Ia juga harus banyak menimba macam-macam pengetahuan dalam bidang artistik, terutama kesusastraan, tari dan gamelan.17 15 16
Ibid, hlm. 111
Darsiti Suratman, Kehidupan Dunia Keraton Surakarta 1830-1939, (Yogyakarta: Yayasan untuk Indonesia, 2000), hlm.247 commit to user 17 Ibid, hlm. 248
perpustakaan.uns.ac.id
33 digilib.uns.ac.id
Bagi rakyat pada umumnya atau petani yang tidak mempunyai kerabat Priyayi, biasanya menjumpai kesulitan dalam memperoleh keluarga yang dapat dipakai untuk tempat suwita bagi anaknya. Tetapi seorang petani yang sangat ingin agar anaknya dapat menjadi priyayi, dapat menggunakan hubungan patronklient sebagai alat untuk mencapai maksudnya itu. Cara menyampaikannya dengan menggunakan lambang, misalnya pada waktu ia menyerahkan hasil sawah yang digarap kepada patuhnya, ia menyerahkan pula beberapa pikul buah-buahan. Hal ini mengandung maksud, bahwa buah-buahan tersebut sebagai timbangan agar tuannya mau mengimbangi jerih payah hambanya, berarti tidak berkeberatan menerima anak kliennya mengabdi kepadanya. Waktu yang dipakai untuk suwita bagi tiap anak tidak sama, karena hal ini tergantung pada ketekunan, kerajinan, kesetiaan, kejujuran dan kemampuan anak yang mengabdi itu. Jika tahap suwita telah berhasil dilalui dengan baik, anak itu mulai melangkah ke tataran berikutnya, yaitu magang. Oleh tuannya dikirim ke salah satu bagian dalam struktur pemerintahan lokal atau keraton disertai surat rekomendasi yang dibuatnya, di tambah dengan surat keterangan mengenai silsilahnya. Pada umumnya penerimaan menjadi magang priyayi akan lebih mudah, jika yang bersangkutan mempunyai keluarga yang telah menjadi priyayi. Seorang yang dapat melampaui kedudukan suwita atau magang sehingga diterima dalam tingkat berikutnya hal ini dikarenakan dia dianggap telah cukup pengetahuannya dan telah berbuat banyak jasa bagi tuannya. Pada umumnya tuan atau priyayi tempat anak suwita mengabdi, memberikan penilaian menggunakan kriteria subjektif, sehingga perhatian hanya ditujukan pada perbuatan abdinya commit to user
perpustakaan.uns.ac.id
34 digilib.uns.ac.id
yang selalu menyenangkan hatinya. Maka dapat dikatakan hubungan antara tuan dan anak yang suwita itu sangat pribadi, seakan-akan merupakan suatu ikatan patron-klien yang mendalam. Terjalinlah hubungan antara keluarga priyayi dan kerabat anak suwita yang berada di pedesaan atau kerabat priyayi yang lebih rendah. Berbagai macam cara untuk menyatakan jalinan hubungan itu dilakukan, setidak-tidaknya kerabat anak yang suwita itu akan menjunjung nama baik keluarga priyayi itu. Kerabat anak yang suwita merasa teruntungkan, karena mereka mempunyai harapan akan adanya mobilitas vertical di dalam lingkungan kerabatnya. Meskipun begitu seseorang dapat langsung diterima menjadi priyayi atas seizin raja tanpa melalui prosedur biasa, bahkan ada yang langsung dapat memperoleh pangkat mantri atau kliwon. Seorang yang langsung mendapatkan pangkat kliwon berarti ia telah melampaui deretan jenjang kepangkatan jajar, bekel, lurah, mantri dan panewu.18 Sedangkan sebagai abdi dalem dengan pangkat tertinggi yaitu Pepatih Dalem (patih) sebagai orang nomor dua setelah raja, berkedudukan di pusat kerajaan dan sebagai tangan pertama raja dalam melaksanakan aktivitas pemerintahan Kasunanan Surakarta dibagi dalam tiga bagian administrasi pemerintahan yang terdiri atas :19 a. Reh Kepatihan, yaitu lembaga administrasi pemerintahan dibawah kekuasaan patih, dimana patih berfungsi sebagai pejabat tertinggi dalam hierarki birokrasi. Patih berfungsi sebagai wakil Sunan dalam bidang 18
19
Ibid, hlm. 258 commit to user Dwi Ratna Nur Hajarini, dkk, opcit, hlm. 111-112
35 digilib.uns.ac.id
perpustakaan.uns.ac.id
pemerintahan, maka patih disebut sebagai rijksbestuurder artinya yang memerintah Negara atau Mangreh Negara. Reh Kepatihan sebagai lembaga administrasi pemerintahan, dalam pelaksanaannya dibantu oleh para Bupati yang terbagi dalam Bupati Nayaka (Bupati Pemerintahan) dan Bupati Pangreh Praja. Pelaksanaan pemerintahan di pusatkan di Kuthagara, yang disebut Pemerintahan Bale Mangu. Bupati Nayaka berjumlah delapan orang (Nayaka Wolu), dimana yang menjadi Dewan Kerajaan adalah empat Bupati Nayaka Lebet dan empat Bupati Nayaka Jawi.20 Para Bupati tersebut menerima perintah langsung dari Patih. Bupati Lebet bertugas mengurusi urusan di dalam istana (Parentah Keraton). Sedang Bupati Jawi bertugas menjaga keamanan dan ketentraman kawula dalem di daerah Negara Agung. Sedangkan untuk Bupati Pangreh Praja menguasai daerah territorial ditingkat kabupaten sehingga untuk seluruh wilayah Kasunanan Surakarta terdapat empat Bupati Pangreh Praja. b. Reh Kadipaten Anom, berkedudukan sebagai kepala administrasi, mengurusi kebutuhan para sentana dalem. Lembaga ini berada di bawah kekuasaan Pangeran Adipati Anom.21 c. Reh Pangulon, bertugas mengurusi administrasi keagamaan yang secara integrative di bawah pimpinan Pengulu Tafsir Anom. Penghulu Keraton berfungsi sebagai penasehat raja. Khususnya ketika Raja mengambil
20
Ibid.
21
Ibid.
commit to user
36 digilib.uns.ac.id
perpustakaan.uns.ac.id
keputusan hukuman di pengadilan, dalam kedudukannya sebagai anggota lembaga peradilan Surambi. Pegawai-pegawai yang membantu lembaga Reh Pangulon disebut Abdi Dalem Pametakan.22 Dibawah lembaga Reh Kepatihan terdapat Bupati Pangreh Praja yang bertugas sebagai penguasa tertinggi di tingkat kabupaten dibantu oleh Kliwon, Mantri Kabupaten, Mantri Jaksa dan Penghulu. Pada tingkat Kabupaten, untuk jabatan di tingkat distrik (kawedanan) di pegang oleh Panewu. Sedang yang memimpin di tingkat kecamatan (onderdistrik) yaitu mantri onderdistrik. Tetapi pada perkembangannya terdapat pergantian nama, untuk kepala distrik yaitu Panewu diganti namanya menjadi Wedana sedangkan mantri onderdistrik diganti dengan nama Asisten wedana. Ditingkat desa sendiri, untuk jabatan tertinggi disebut Lurah yang dibantu oleh perangkat desa yang disebut Punggawa Desa. Sebagai wilayah yang memiliki dua kekuasaan tradisional yang sama-sama berkuasa atas daerahnya masing-masing tentu tidak lepas dari pengawasan kolonial Belanda, terutama untuk Keraton Kasunanan Surakarta yang pada saat itu adalah Penguasa utama dari sebagian besar Surakarta. Pemerintah Kolonial Belanda tentu tidak lepas mengawasi jalannya pemerintah di Kasunanan Surakarta dan juga Mangkunegaran, maka dari itu mereka menempatkan seorang Residen untuk wilayah Surakarta, sedangkan di tiap-tiap daerah yang dikepalai oleh Bupati ditempatkan seorang Asisten Residen. Sehingga
22
pemerintah
Ibid, hlm. 113
Kolonial
dapat
mengawasi
commit to user
keseluruhan
jalannya
37 digilib.uns.ac.id
perpustakaan.uns.ac.id
pemerintahan Kasunanan. Struktur pemerintahan di Surakarta pada masa Pakubuwana X digambarkan dalam skema berikut : Bagan 1 : Struktur pemerintahan di Surakarta
Gouverneur --------------------------------------------- Raja Kasunanan
Residen / --------------------------------------------Asisten Residen
Kontrolis/pengawas
Patih
Bupati Pangreh Praja
Wedana (Panewu)
Asisten Wedana (Mantri Onderdistrik)
Punggawa Desa
Keterangan: : garis Komando ----------
: garis Konsultasi
Sumber : Serat Wewatoning Para Abdidalem Ageng Alit Ing Nagari Jawi, tanpa tahun. Surakarta: Arsip Mangkunegaran Dari skema tersebut dapat dijelaskan bahwa sistem pemerintahan Kasunanan Surakarta berada di bawah kekuasaan Kolonial, yang berpengaruh commitpemerintah to user
38 digilib.uns.ac.id
perpustakaan.uns.ac.id
langsung terhadap rakyat di Surakarta juga. Terlihat bahwa untuk menguasai seluruh lapisan masyarakat di Surakarta, pemerintah Kolonial menggunakan penguasa
tradisional
atau
birokrasi
tradisional
dalam
melaksanakan
kekuasaannya. Sistem birokrasi seperti ini terus dipertahankan, hal ini karena penguasa tradisional tidak merasa dijajah oleh pemerintah kolonial. Hal ini karena pemerintah kolonial membiarkan penguasa daerah, yaitu para bupati untuk menjalankan kekuasaannya berdasarkan otoritas tradisional. Selain itu sistem ini mementingkan usaha ekonomi denga mengerahkan penguasa pribumi untuk memungut hasil bumi dan jasa rakyat (pajak). Perkembangan birokrasi tradisional di Jawa hingga awal pendudukan Jepang 1942 di Indonesia adalah dengan dibentuknya elit birokrasi yang dinamakan Pangreh praja. Elit birokrasi ini adalah kaum priyayi yang mempunyai kekuasaan dan kedudukan dalam birokrasi tradisional. Pada awal PB XI berkuasa, dalam menjalankan pemerintahannya hanya melanjutkan struktur birokrasi yang sudah ada pada masa PB X, dimana raja menduduki dan memiliki jabatan dengan kekuasaan tertinggi. Sedangkan urusan pemerintahan dibagi menjadi dua yaitu pemerintahan istana (lebet) diserahkan Reh kasentanan yang mengurusi adalah putra Sentana Dalem, sedangkan pemerintahan kerajaan (Nagari=jawi) kepada reh kepatihan yang dpimpin oleh Patih. Adapun birokrasi tersebut dapat diterangkan sebagai berikut :
commit to user
perpustakaan.uns.ac.id
39 digilib.uns.ac.id
1) Pemerintah Reh Kasentanan Lembaga ini bertugas mengurusi Keraton dan seluruh keluarga raja, maka pegawai-pegawai pada lembaga ini termasuk “Abdi Dalem Lebet” yang bertugas di dalam urusan istana dan raja beserta keluarganya. Sedang “Abdi Dalem” yang mengurusi lembaga di luar istana disebut “Abdi Dalem Jawi” yang bertugas mengelola pemerintahan. Baik Abdi Dalem Lebet dan Abdi Dalem Jawi dibagi dua kelompok, yaitu “Abdi Dalem Damel” dan “Abdi Dalem Anon-anon” dimana Abdi Dalem Damel memimpin Abdi Dalem Anon-anon.23 Abdi Dalem Damel pada pokoknya terbagi dalam 8 golongan, dan tiap golongan dikepalai oleh seorang Bupati Nayaka. Sebagai Kondang (Wakil) adalah Abdi Dalem Damel Bupati Anom. Ke delapan golongan tersebut adalah sebagai berikut :24 a) Abdi Dalem Lebet, dibagi dalam empat kelompok menurut tugasnya yaitu : “abdi dalem keparak kiwo” dan “tengen”, “abdi dalem gedong kiwo” dan “tengen”. Abdi Dalem Keparak bertugas menangani urusan raja dan keluarganya, sedangkan Abdi Dalem Gedong mengurusi masalah pemerintah keraton yang berpusat di keraton. b) Abdi Dalem Jawi menurut tugasnya dikelompokkan menjadi empat, yaitu : Penumping, Bumi, Bumi Gede dan Sewu. Bawahan dari mereka ini ialah Abdi Dalem Abdi Dalem Garap Nagari. Pusatnya di Kantor Kepatihan. 23
Radjiman, Sejarah Mataram Kartasura sampai Surakarta Hadiningrat (Surakarta: Krida, 1984), hlm. 213-214. commit to user 24 Ibid, hlm. 214
40 digilib.uns.ac.id
perpustakaan.uns.ac.id
Kepalanya berpangkat Bupati dan sebagainya Kondangnya adalah Bupati Anom. Di luar kedua kelompok Abdi Dalem tersebut di atas, disebut Abdi Dalem Anon-Anon yang mempunyai Kepala dan golongan sendiri-sendiri. Struktur dalam Pemerintah Reh kasentanan sendiri secara garis besar terdiri atas 6 lembaga yang dikepalai oleh Pembesar Parentah Keraton. Lembaga tersebut yaitu ::25 Lembaga yang mengurusi keluarga raja, yaitu raja, permaisuri, garwa ampeyan (priyantun dalem) serta putra-putri raja. Lembaga ini tergabung dalam kasentanan dipimpin oleh seorang sentono, berkantor di Sasana Wilopo. Lembaga yang mengurusi abdi dalem yang bekerja di dalam istana (abdi dalem lebet). Lembaga ini tergabung dalam reh kanayakan berkantor di kepatihan dan mengurusi pekerja istana, kantor pangrembe mengurusi tentang siti dhusun dan penerima pajak. Lembaga yang mengurusi keuangan istana, mereka tergabung dalam lembaga kas keraton yang dipimpin, oleh seorang bupati gedong. Lembaga yang mengurus adanya yayasan, rumah tangga istana, perlengkapan istana dan kegiatan budaya keraton yang lain.
25
Ny. E. Sudarsi (Ed). Pawarti Surakarta. (Arsip Reksa Pustaka to user Mangkunegaran: 1939) No. B. 262commit hlm. 59-70
41 digilib.uns.ac.id
perpustakaan.uns.ac.id
Lembaga ini tergabung dalam reh parentah keraton dengan dipimpin seorang Wedono. Lembaga yang mengurus usaha-usaha di perkebunan, dipimpin bupati pangrembe. Lembaga yang mengurus tanah pamijen keraton dan bangunanbangunan di lingkunan istana. Lembaga ini juga termasuk dalam lembaga harta benda dan dipimpin seorang abdi dalem bupati pangrembe. Sejak masa Pakubuwana X struktur lembaga ini tidak berubah karena lembaga ini khusus mengurusi segala macam keperluan untuk anggota keluarga raja serta kebutuhan yang menyangkut rumah tangga dalam istana saja. 2) Pemerintah Reh Kepatihan Reh Kepatihan merupakan lembaga pemerintahan yang mengurusi Kerajaan atau disebut Pemerintahan “Nagari” dimana kebijaksanaan raja adalah “pemerintahan Nagari” itu sendiri yang berarti perintah raja bersifaf mutlak. Sedangkan “Abdi Dalem” merupakan pembantu raja di bidang urusan kerajaan, yang di pimpin oleh Patih. Mereka termasuk dalam Abdi Dalem Jawi yang dipimpin oleh Patih sebagai wakil raja. Sebagia wakil raja, patih diberi hak oleh raja untuk mengatur Negara dan mengadakan hubungan dengan Negara lain. Sedangkan kedudukan Patih dengan Gubernur atau dengan pihak Mangkunegaran adalah sederajat. Sebagai pembesar pemerintahan kerajaan, patih mendapatkan wewenang dari raja untuk membuat ketentuan-ketentuan. Meskipun patih memiliki kewenangan commit to user
42 digilib.uns.ac.id
perpustakaan.uns.ac.id
untuk membuat aturan tetapi hal itu tidak lepas dari pengawasan raja dan disetujui oleh residen Belanda. Patih juga memiliki hak untuk menyelesaikan masalah dan menerima pelimpahan wewenang dari raja. Pelimpahan wewenang ini terdapat dalam surat raja, senin 24 Muharam Ehe 1868 atau pada tahun 1936 yang merupakan instruksi terhadap patih. Adapun isi surat tersebut sebagai berikut 26 : a) Melaksanakan segala peraturan yang berlaku. b) Melaksanakan dan mengeluarkan dana untuk kemiskinan dan kebutuhan mendadak, misalnya akibat bencana alam, kebakaran dan lain-lain. c) Mengatur pemerintahan kerajaan (nagari). d) Mengangkat dan memerintahan Abdi Dalem berpangkat Panewu ke bawah yang bekerja di pemerintahan kerajaan. e) Lain-lain
yang
berhubungan
dengan
kesejahteraan,
dan
ketentraman rakyat atau Kawulo Dalem. Dapat disimpulkan bahwa Patih bukanlah pelaksana tunggal, tetapi koordinator segala kegiatan pemerintah yang tidak bertentangan dengan kebijaksanaan raja. Patih sering disebut juga “Leluhuring” para Abdi Dalem Bupati Jawi, pelaksana pemerintahan kerajaan. Untuk kelancaran administrasi pemerintahan, maka pemerintah kerajaan terbagi dalam beberapa bidang-bidang
26
commit Pawarti Surakarta, opcit, hlm. 67 to user
43 digilib.uns.ac.id
perpustakaan.uns.ac.id
kelembagaan. Pemerintahan kerajaan (kantor kepatihan) terbagi dalam tiga kelompok bidang kerja yaitu sebagai berikut27 : a) Golongan Sekretariat : Suratnya berkode A. Bidang tugasnya adalah masalah kegiatan kerajaan, pengangkatan dan pemberhentian abdi Dalem yang menangani kegiatan ekonomi kerajaan, serta memimpin abdi dalem agraria. b) Golongan pengelola Keuangan : Suratnya berkode B. Bidang tugasnya meliputi administrasi keuangan kerajaan, yayasan-yayasan yang ada, mengangkat dan memberhentikan abdi dalem, keuangan dan kasti praja. c) Golongan pengadilan dan pemerintahan : Suratnya berkode C. Bidang tugasnya adalah masalah-masalah ketentaraan, kesehatan, pendidikan dan bidang ekonomi (mata pencaharian, perundangundangan, abdi dalem pangreh praja). Selain “Paprentahan Lebet” dan “Jawi” untuk melancarkan jalannya pemerintahan secara keseluruhan masih ada suatu badan yang berfungsi dan berstatus mendampingi raja. Badan tersebut dinamakan “Dewan Pertimbangan”, macam-macam dewan sesuai dengan kebutuhan. Pada masa pemerintahan Paku buwana XI terdapat 3 dewan yang mengurusi 11 macam bagian, dewan itu ialah: Raad (dewan) Bale Agung Raad (dewan) Keraton Raad (dewan) Kepatihan 27
Ibid, hlm. 65
commit to user
44 digilib.uns.ac.id
perpustakaan.uns.ac.id
3) Pemerintahan Reh Pangulon Di Kasunanan priyayi santri terdiri para pegawai kerajaan yang mengurus soal agama. Mereka ini adalah “Abdi Dalem Pangulon” atau “Abdi Dalem Pemethakan”. Abdi Dalem ini terdiri dari penghulu (bergelar Raden Tumenggung), Katib, Ngulomodamel, Jakso, Ngulomomiji, Munzin, Mudarin, Kabayan, Syarif dan Marbot.28 Abdi Dalem Pangulon mempunyai fungsi mengurus perkawinan dan warisan antar bangsawan. Semua pegawai kerajaan dalam lingkungan abdi dalem pangulon tergolong elite agama keraton. Di antara golongan mereka ini terdapat kelompok sosial abdi dalem perdikan, mereka terdiri dari juru tebah, marbot dan modin, selain itu mereka memelihara makam raja dan keluarga raja di luar kota kerajaan. Pada masa pemerintahan PB XI bagian urusan agama Islam dan pengadilan agama dijabat oleh para kerabat keraton Kasunanan. Dalam menjalankan tugas-tugasnya, abdi dalem memiliki tugas dan gelar mereka masing-masing menurut Serat Wadu Aji sebagai berikut:29 a) Patih Sebutan patih berarti parentah, yaitu yang berhak memerintah para prajurit serta memiliki kekuasaan untuk menyempurnakan perintah raja maupun
menguasai
segala
peraturan
negara.
Peraturan
itu
akan
disosialisasikan kepada aparat bawahannya. Patih yang kedudukan atau
28
Soeyatno K, Kolonialisme Barat dan Kemunduran Raja-raja Surakarta Abad XIX, (Surakarta :IKIP, 1972), hlm. 20 Subandi, “Serat Wadu Aji commit Nagian to Gelar userTradisional Jawa ( Sebuah Kajian Filologis)”, Skripsi, (Surakarta, UNS Press,1991), hlm. 98. 29
45 digilib.uns.ac.id
perpustakaan.uns.ac.id
kekuasaannya sebagai pemimpin para punggawa sehingga mendapat sembah berulang kali karena merupakan mangkubumi seorang raja. Secara tatanan istana pun dianggap orang tua yang dihormati; maka juga mendapat sebutan raja diluar istana. Gelar jabatan atau pangkat patih dapat disandang oleh keluarga raja atau orang biasa. Jika dijabat keluarga raja (misalnya cucu raja) gelarnya Kangjeng Raden Adipati jika dijabat perempuan gelarnya Kangjeng Raden Ayu Adipati. Masa jabatran patih antara 5 sampai 8 tahun dan sesudahnya berhenti. Tentang penggantinya mendasarkan pada perilaku patih dan pengabdiannya bukan karena keturunan. b) Adipati Sebutan adipati juga berarti pangagenging parentah, yaitu yang mendapatkan kekuasaan atas perintah patih yang lebih menilai dan menerapkan peraturan negara kepada bawahannya. Demikian pula menerima segala perintah raja yang berhubungan dengan istana atau pemerintahan maupun kehendak atasannya. Kekuasaan wewenang serta pekerjaannya menjalankan semua pengadilan dengan benar, berbuat baik dengan bawahan istana. Kehormatannya disembah oleh Pangeran, Hariya, dan saudara dekat yang lebih muda usia-usianya kebawah, sedangkan adipati merupakan gelar dibawah patih yang berhak menerima perintahnya serta menyebarkan kepada bawahannya seperti bupati, wadana dan seterusnya.30
30
commit to user Ibid, hlm. 99.
46 digilib.uns.ac.id
perpustakaan.uns.ac.id
c) Senapati Sebutan bagi orang yang atas kehendak raja dapat menerima kuasa atas segala perintah atau kekuasaan raja, lebih menggeluti dalam keprajuritan, taktik strategi perang maupun cerdik dalam melihat musuh negara, sehingga dapat disebut pula bayangan dari seorang patih. Kewajiban senapati mengajar perang, melatih para prajurit, menugaskan petugas sandi, waspada terhadap peristiwa-peristiwa yang mengancam negara termasuk keselamatan diri raja, serta menjaga prajuritnya. d) Bupati Sebutan bupati berarti bawahaning parentah, yang memiliki otonomi bawahannya sendiri. Bupati berhak menerima perintah dari patih untuk disebarkan pada lingkungan bawahannya. Dalam melancarkan tugasnya bupati berpedoman pada perintah raja maupun patih, baik peraturan istana maupun dalam menjaga keselamatan dan keluhuran kerajaan, bertanggung jawab kepada raja atas kelancaran pemerintah di tingkat daerah maupun keberhasilan mengerahkan hasil upeti kepada istana, menyelesaikan segala persoalan yang dapat mengancam kewibawaan raja. Bupati dapat di jabat oleh sentana dalem atau orang biasa.31 e) Tumenggung Sebutan tumenggung yang berarti dhenggung atau tertindhih, yaitu orang yang berhak memeriksa segala tindakan raja dan berkewajiban memeilhara senjata milik raja.
31
commit to user Ibid, hlm. 101-102.
47 digilib.uns.ac.id
perpustakaan.uns.ac.id
f) Wadana Wadana berarti pemuka atau pemimpin; yaitu yang berhak menjadi perantara pekerjaan. Perantara pekerjaan yang dimaksud adalah antar pejabat di lingkungan istana, seperti tumenggung dengan nayaka dan segala perintah atasan yang dianggap perlu disampaikan kepada seluruh aparat istana. Di bawahnya masih terdapat nayaka, hariya serta pejabat lainnya. g) Nayaka Nayaka berarti panunggul atau pangirit, yang berhak menjadi pimpinan tentara, identik dengan pertahanan dan keamanan negara. Tugas lainnya mengajar perang, melatih prajurit, mengarahkan dan member tugas kepada para prajurit serta waspada terhadap peristiwa-peristiwa yang mengancam dan merugikan negara32. Terdapat juga gelar khusus atau sebutan golongan lain, kekhususan ini didasarkan pada pengertian dan stratifikasi sosial istana yang mencirikan pada pembedaan gelar kebangsawanan dan gelar jabatan. Gelar khusus itu dapat dibedakan menjadi gelar yang bersifat keagamaan (sebutan golongan keagamaan) dan keprajuritan ataupun keprajuritan di tingkat bawah istana. Gelar khusus yang bersifat keagamaan seperti; kiyai, pangulu, ngulama, kaum dan santri, sedangkan gelar khusus yang bersifat kemiliteran atau keprajuritan adalah panji, pakathik, pagundhal dan jajar. 33 Gelar jabatan atau kepangkatan tersebut tidak hanya dijabat oleh priyayi atau orang yang masih memiliki darah keturunan atau kerabat raja, melainkan 32 33
Ibid, hlm. 104-105. Ibid, hlm. 137.
commit to user
48 digilib.uns.ac.id
perpustakaan.uns.ac.id
dapat pula dijabat oleh rakyat biasa. Rakyat kecil yang ingin masuk menjadi priyayi harus melewati proses suwita34 dan magang.35 2. Birokrasi Praja Mangkunegaran Berbeda dengan sistem birokrasi di Kasunanan, Mangkunegaran memiliki kebijakan birokrasi tradisional seperti berikut ini: a) Birokrasi menurut pangkat atau kekuasaan ialah susunan atau kepangkatan dalam pemerintahan Praja Mangkunegaran mulai pangkat yang teratas sampai terendah yang menunjukkan kekuasaan yang dipegangnya:36 1) Adipati (Kepala Trah Mangkunegaran) Jabatan
Adipati
merupakan
jabatan
tertinggi
dari
birokrasi
di
Mangkunegaran. Gelar ini hanya dimiliki oleh Kanjeng Gusti Pangeran Adipati Arya Mangkunegoro. Adipati berkuasa atas semua wilayah praja yang tugas-tugasnya dibantu oleh para pejabat di bawahnya. 2) Bupati Patih Jabatan patih dipegang oleh seorang Bupati maka disebut Bupati Patih. Kedudukan Bupati ini langsung di bawah dan diangkat oleh Adipati Mangkunegoro. Bupati Patih bertugas sebagai pelaksana pertama perintah Adipati.
34
Suwita atau ngenger, ngawula berarti mengabdi, menghamba. Magang berarti calon; calon abdi dalem mengerjakan suatu pekerjaan, namun tidak mendapat gaji. 36 Serat Wewatoning Para commit Abdi Dalem Ageng Alit Ing Nagari Jawi, tanpa to user tahun, Surakarta: Reksa Pustaka Mangkunegaran. 35
49 digilib.uns.ac.id
perpustakaan.uns.ac.id
3) Bupati Bupati adalah jabatan yang menguasai suatu kadipaten. Mereka berada di bawah koordinasi penguasa Bupati Patih Mangkunegaran. 4) Wedana Wedana bertugas melaksanakan perintah dari Bupati secara operasional. Wilayah kekuasaannya sering disebut Kawedanan. 5) Kaliwon Kaliwon kedudukannya di bawah wedana, namun ia diangkat langsung oleh Bupati. Tugasnya adalah meneruskan perintah dari Wedana kepada pejabat di bawahnya. 6) Panewu Panewu merupakan jabatan di bawah Kaliwon yang diangkat oleh Bupati dan harus bertanggungjawab kepada Kaliwon. Daerah yang dipimpinnya dinamakan Kapanewon. 7) Mantri Mantri bertugas menyampaikan perintah dari Panewu kepada pejabat di bawahnya. 8) Lurah Lurah ini bertugas menerima perintah dari kadipaten yang diterimanya lewat Mantri untuk diteruskan kepada pejabat di bawahnya. Di Praja Mangkunegaran pangkat lurah ini dijabat oleh Demang dan Rangga. Demang bertugas mengurus pekerjaan di tingkat desa yang menjadi commit to user
perpustakaan.uns.ac.id
50 digilib.uns.ac.id
bawahannya. Sedangkan Rangga bertanggungjawab baik buruknya wilayah bawahannya. 9) Bekel Bekel bertugas meneruskan perintah dari Lurah kepada pejabat di bawahnya. Dan Bekel juga bertanggungjawab atas baik buruknya pelaksanaan tugas-tugas di desa. 10) Jajar Jajar merupakan pangkat terendah dalam birokrasi dan pelaksana perintah yang datang dari Bekel. Para pegawai itu sebagian ada yang bertempat di dalam kota Mangkunegaran dan sebagian ada yang berada di daerah atau desa. Adipati dan Bupati Patih mereka berada di dalam istana. Bupati bertempat di kabupaten, sedangkan Wedana, Kaliwon, Mantri, Lurah, Bekel dan Jajar berada di daerah atau kelurahan, mereka merupakan pegawai yang dekat dengan rakyat. Aparat birokrasi pemerintahan di bawah Bupati Patih sejak berdirinya Praja ini hingga abad XX telah mengalami beberapa kali perubahan. Aparat-aparat birokrasi pemerintahan di bawah patih terdiri dari empat pejabat pemerintahan dengan nama Priyayi Punggawa. Tugas dan kewajiban para Punggawa itu menjalankan pemerintahan yang berasal dari perintah Pangeran Mangkunegara, seperti menerima pajak tanah, menerima kayu bakar dan sebagainya.37
Wasino, 1994, “Kebijakan Pemerintahan Praja Mangkunegaran (Studi tentang Strategi Pemerintah Tradisional dalam Menanggapi Perubahan Sosial commit to Pasca user Sarjana UGM, hlm. 104-105. Akhir Abad XIX-XX)”, Tesis. Yogyakarta: 37
51 digilib.uns.ac.id
perpustakaan.uns.ac.id
Restrukturisasi birokrasi yang dilakukan merupakan pengaruh dari bangsa Barat yang menjadi struktur organisasi yang berorientasi pada tugas dan wewenang, sejalan dengan struktur organisasi Pemerintahan Hindia-Belanda. Pengangkatan tenaga asing dalam bidang-bidang tertentu, seperti keuangan dan ketatausahaan.
commit to user
52 digilib.uns.ac.id
perpustakaan.uns.ac.id
Bagan 2 : Struktur Pemerintahan di Mangkunegaran Struktur Birokrasi Berdasarkan Pangkat
ADIPATI MANGKUNEGARA
PEPATIH DALEM
WEDANA
BUPATI
KALIWON
LURAH
MANTRI
BEKEL
JAJAR
Sumber: Serat Wewatoning Para Abdidalem Ageng Alit Ing Nagari Jawi, commit to userMangkunegaran. tanpa tahun. Surakarta: Arsip
perpustakaan.uns.ac.id
53 digilib.uns.ac.id
Selain itu ada juga birokrasi berdasarkan Jabatan (Lembaga) di Mangkunegaran.38 Pembaharuan-pembaharuan dalam organisasi pemerintahan pada masa Mangkunegara VII ditetapkan dalam Rijksblad no. 37 tahun 1917 yang kemudian disusul dengan Rijksblad no.10 tahun 1923. Berdasarkan kedua Pranatan dalam Rijksblad itu, maka ada beberapa perubahan dalam struktur birokrasi dan jabatanjabatan yang ada di dalamnya.39 Jabatan ini merupakan nama-nama dari dinas-dinas perkantoran di Praja Mangkunegaran. Jabatan lembaga itu meliputi : 1) Kabupaten Hamong Praja (Pemerintah Pusat) Dinas ini langsung di bawah pejabat Bupati Patih. Kedudukannya sebagai pemerintah pusat yang mengawasi semua kegiatan dalam praja. Dinas ini dibagi menjadi tiga golongan yakni: a. Kawedanan / Kantor Nata Praja Tugasnya mengurusi surat-menyurat, membuat dan memeriksa undang-undang peraturan praja. Di bawahnya terdapat beberapa kapanewon meliputi: Kapanewon / Kantor Hagnya Praja, bertugas mengurusi surat-menyurat; Kapanewon / Kantor Reksa Wilapa, bertugas menerima, merawat dan menyerahkan semua suratmenyurat pemerintahan praja; Kapanewon / Kantor Reksa Pustaka, bertugas merawat buku-buku dan surat-surat milik Praja Mangkunegaran.
38
Honggopati Tjitrohoepojo, 1930, Serat Najakatama, Surakarta: Reksa Pustaka Mangkunegaran, halaman 58-62 39
Rijksblad no.37 tahun 1917 dan Rijksblad no.10 tahun 1923. Surakarta: Reksa Pustaka Mangkunegaran commit to user
54 digilib.uns.ac.id
perpustakaan.uns.ac.id
b. Kawedanan / Kantor Niti Praja Bertugas memeriksa harta kekayaan praja. Dinas ini meliputi: Kapanewon / Kantor Niti Wara, bertugas memeriksa peredaran keuangan praja; Kapanewon / Kantor Marta Praja, bertugas memeriksa kas praja; Kapanewon / Kantor Karta Praja, bertugas mengurusi bidang pertanahan. c. Kawedanan Reksa Hartana Bertugas menerima dan mengeluarkan keuangan praja serta mengurusi beasiswa dan dana pensiun para pegawai. 2). Kabupaten Pangreh Praja (Pemerintah Dalam Negeri) Dinas ini berada di bawah pejabat Bupati Pangreh Praja. Bertugas menangani kepangreh-prajaan dan kepolisian. 3). Kabupaten Mandrapura (Dinas Istana) Berada di bawah pejabat kaliwon (Bupati Anom). Bertugas mengangani urusan dalam istana (Pura Mangkunegaran). 4). Kabupaten Parimpoena ( Dinas Pasar) Berada di bawah pejabat seorang Kaliwon, yang bertugas mengurusi bidang pasar. Kabupaten ini pada awal pembentukannya berada di bawah Kabupaten Martapraja sejajar dengan Kabupaten Martanimpoena. 5). Kabupaten Karti Praja (Pekerjaan Umum) Kabupaten ini dikepalai oleh seorang Belanda dengan pangkat direktur. Tugasnya mengurusi bidang pekerjaan umum di Praja Mangkunegaran.
commit to user
perpustakaan.uns.ac.id
55 digilib.uns.ac.id
6). Kabupaten Sindumarta (Bidang Irigasi) Kabupaten ini dipimpin seorang inspektur yang berpangkat chef yang bertugas mengurusi bidang pengairan. Mengurus waduk untuk sawah pertanian dan tanah perkebunan. 7). Kabupaten Wanamarta (Kehutanan Mangkunegaran) Dinas ini dikepalai oleh seorang Belanda yang berpangkat opperhoutvester (kepala hutan), tugasnya mengurusi soal kehutanan. Kabupaten ini juga diawasi oleh seorang pegawai yang disebut dengan controleur. 8). Kabupaten Yogiswara (Keagamaan) Kabupaten ini dikepalai oleh sorang wedana (pengulu), yang bertugas mengurusi bidang keagamaan. Wedana ini juga bertugas memimpin upacara keagamaan yang diadakan oleh kerajaan. 9). Kabupaten Kartahusada (Perusahaan Mangkunegaran) Dinas ini dikepalai seorang Belanda berpangkat superintendent yang bertugas mengurusi perusahaan milik Praja Mangkunegaran. 10). Kabupaten Sinatriya Dikepalai oleh seorang wedana yang bertugas mengurusi para putra sentana. 11). Pemerintahan Bidang Pertanahan Dikepalai oleh seorang Kaliwon yang bertugas mengatur soal tanah. 12). Pemerintahan Kedokteran Dikepalai oleh seorang dokter dengan sebutan Arts, bertugas menjaga kesehatan bagi para putra dan narapraja. 13). Pemerintah Martanimpoena (Kantor Inspektur Pajak) commit to user
56 digilib.uns.ac.id
perpustakaan.uns.ac.id
Dinas ini dikepalai oleh seorang Kaliwon yang tugasnya memeriksa dan meningkatkan pemasukan uang dalam praja. 14). Pemerintah Legiun Dinas ini dikepalai oleh seorang Letnan Kolonel dari bangsa Belanda yang tugasnya mengurusi bidang keprajuritan. Bagan 3. Struktur Birokrasi Berdasarkan Lembaga
1. Kabupaten Pangreh Praja 2. Kabupaten Mandrapura
I S T A N A
3. Kabupaten Parimpoena 4. Kabupaten Karti Praja 5. Kabupaten Sindumarta 6. Kabupaten Hamong Praja
M A N G K U N E G A R A N
7. Kabupaten Wanamarta 8. Kabupaten Yogiswara
9. Kabupaten Karta Husada 10. Kabupaten Sinatriya 11. Pemerintah Bid. Pertanahan 12. Pemerintah Bid. Kedokteran 13. Pemerintah Martanimpoena 14. Pemerintah Legiun
Sumber: Serat Wewatoning Para Abdidalem Ageng Alit Ing Nagari Jawi, tanpa tahun. Surakarta: Arsip Mangkunegaran commit to user
57 digilib.uns.ac.id
perpustakaan.uns.ac.id
Istana Mangkunegaran memiliki 14 (empat belas) kabupaten atau bidang yang mempunyai pegawai dan tugas masing-masing. Mulai dari mengurusi kebutuhan dalam istana sampai ke daerah di luar kota Mangkunegaran. Masing-masing kabupaten itu memiliki struktur pegawai yang berada dalam istana sampai ke wilayah bagian milik Praja Mangkunegaran. Para pegawai bertugas untuk memberikan pelayanan kepada masyarakat, maka rakyat akan merasa diperhatikan oleh sang raja. Sebagai timbal balik dari itu semua, rakyat akan patuh terhadap apa yang diperintahkan oleh sang raja.
C. Kondisi Birokrasi di Surakarta Pada Awal Pendudukan Penjajahan Jepang Masa-masa terakhir penjajahan Belanda pada masa PB XI semakin mengikat kekuasaan mereka atas Kasunanan. Ketentuan memilih penguasa pun harus seijin dari Gubernur Jenderal, maka bagi mereka yang ditunjuk sebagai pengganti baik kursi tahta maupun pada kepegawaian harus tunduk pada segala ketentuan pihak Belanda. Belanda sangat menguasai hak politik pemerintahan yang seharusnya dipegang oleh keluarga istana atau Kasentanan. Selain itu, Belanda mengerti bahwa penggerak roda pemerintahan adalah Pepatih Dalem, maka dari itu pengangkatan atau pun pemberhentian Pepatih Dalem harus melalui pesetujuan pemerintah Belanda. Pada akhir tahun 1942 sudah banyak pejabat Belanda yang kembali ke negaranya dan jabatan mereka tidak ada yang menggantikan lagi karena Jepang
commit to user
perpustakaan.uns.ac.id
58 digilib.uns.ac.id
mulai berkuasa di Surakarta. Di masa-masa pendudukan Jepang pegawai dari tiap bupati Lebet dan Jawi tidak digunakan lagi karena terjadi efisiensi pegawai.40 Pemerintahan PB XI pada waktu penjajahan Jepang hanya memiliki kepatihan, pemerintah Keraton dan beberapa saham pribadi.41 Sedangkan keraton Kasunanan dalam bidang ekonomi sudah tidak memiliki kekayaan berharga lagi. Karena tanah-tanah milik Kasunanan banyak yang telah disewa oleh perusahaan sipil, dipinjam untuk industri ataupun dijual. Jepang berhasil menduduki wilayah Surakarta pada 5 Maret 1942, dimana kondisi sosial ekonomi di wilayah ini tidak stabil. Hampir semua kehidupan ekonomi yang ada berhenti dan berubah menjadi ekonomi perang yang disebabkan adanya aksi pembakaran ynag dilakukan oleh pemerintah Kolonial Hindia Belanda. Sebelum penjajah Belanda meninggalkan Surakarta mereka membentuk sebuah kelompok yang dinamakan corps Vernielling (penghancur), dimana kelompok ini bertugas menghancurkan semua objek Belanda di Surakarta agar tidak dapat dimanfaatkan oleh Jepang. Mereka membakar tempat-tempat penting seperti tempat-tempat umum dan tempat-tempat produksi. Lebih parahnya lagi Kasunanan pada akhir masa pemerintahan PB XI hanya mempunyai dukungan militer sejumlah 600 orang prajurit saja, sedangkan sebelumnya pada masa PB X memiliki 1000 orang prajurit. Keraton Tradisional Jawa memiliki prajurit professional yang bagi masyarakat Jawa memiliki fisik yang Sakti Mondro Guna, maka dari itu mereka memiliki posisi yang sangat 40
Fachry Ali, Refleksi Paham Kekuasaan Jawa dalam Indonesia Modern, (Jakarta: Gramedia, 1986), hlm. 69. commit to user 41 Kabar Paprentahan 1940. Arsip Reksa Pustaka Mangkunegaran No. B. 262
59 digilib.uns.ac.id
perpustakaan.uns.ac.id
penting sebagai prajurit pelindung raja. Tentara Keraton adalah tentara milisi meskipun keraton tetap memiliki pasukan regular dalam bentuk corps, setiap corps memiliki nama yang diambil dari pahlawan legendaris Jawa. Para prajurit ini banyak yang dibubarkan pada akhir masa pemerintahan PB XI yang di luar adat-istiadat, efisiensi ini hampir terjadi pada semua corps. Prajurit yang dipertahankan hanyalah prajurit yang khusus berhubungan demgan ritual keagamaan, maka dapat disimpulkan bahwa dalam periode ini arti kesatrian prajurit sudah menyusut dan beralih dari kekuasaan ke bentuk kebudayaan. Keberhasilan Jepang menduduki Surakarta merupakan salah satu dari keberhasilan di daerah lain di pulau Jawa. Keadaan ini membuat kedudukan Belanda di bawah Gubernur Jendral Tjarda van Starkenborgh goyah dan akhirnya menyerah tanpa syarat pada militer Jepang di bawah Letnan Jendral Hitoshi Immamura pada tanggal 8 Maret 1942 di Kalijati. Tentara Jepang dalam menguasai Indonesia menempatkan tiga Komando yaitu: 1. Pemerintahan Militer Angkatan Darat (Tentara ke-25) untuk Sumatera yang berada di Bukit Tinggi. 2. Pemerintah Militer Angkatan Darat (Tentara ke 16), untuk Jawa, Madura dan Bali yang berpusat di Jakarta (Batavia). Kedua wilayah tersebut berada di bawah pimpinan Angkatan Darat wilayah ke-7 dengan markas besarnya di Singapura.
commit to user
perpustakaan.uns.ac.id
60 digilib.uns.ac.id
3. Pemerintah Militer Angkatan Laut (Armada Selatan Kedua) untuk daerah yang meliputi Sulawesi, Kalimantan dan Maluku berkedudukan di Makasar. Pemerintahan sementara Jepang telah berakhir pada bulan Agustus 1942 kemudian digantikan dengan pemerintahan pendudukan. Dalam pemerintahan pendudukan ini Jepang mengadakan reorganisasi struktur pemerintahan karena tenaga pemerintahan sipil dari Jepang telah tiba. Pada waktu bala tentara Jepang berkuasa, berdasar UU No. 1 tahun 1942. Pemeritahan daerah diatur dengan Osamuserei No. 27 tahun 1942. Pergantian status pemerintahan tersebut ditandai dengan dikeluarkannya Undang-Undang No. 27 Tahun 1942 tentang aturan pemerintahan daerah dan Undang-Undang No. 28 Tahun 1942 tentang aturan pemerintahan syu (karesidenan) dan tokubetsu syi (kotapraja istimewa). Menurut Undang-Undang No. 27 Tahun 1942, seluruh pulau Jawa dan Madura kecuali Kochi Surakarta (Daerah Istimewa Surakarta) dan Kochi Yogyakarta (Daerah Istimewa Yogyakarta), dibagi menjadi Syuu (Karesidenan), Si (Kota Praja), Ken (Kabupaten), Gun (Kawedanan/Distrik), Son (Kecamatan), dan Ku (Desa/Kelurahan). Undang-Undang ini juga menghapus pembagian pemerintahan pada masa Hindia Belanda yang terdiri atas tiga propinsi di Jawa.42 Masing-masing unit administrasi tersebut dipimpin oleh Syuchokan (kepala daerah Syu, dahulu Resident), Sico (kepala daerah Si, dahulu Walikota).
42
G. Moedjanto. Indonesia Abad Ke 20 jilid I dari Kebangkitan Nasional commit to user sampai l linggarjati. (Jakarta:Kanisius, 1998), hlm. 74-75
61 digilib.uns.ac.id
perpustakaan.uns.ac.id
Setiap Syuu dibagi menjadi beberapa daerah administrative yaitu : 1. Ken (Kabupaten), dengan pejabatnya Kentyoo 2. Gun (Kawedanan), dengan pejabatnya Guntyoo 3. Son (Kecamatan), dengan pejabatnya Sontyoo, dan 4. Ku (Kelurahan), dengan pejabatnya Kutyoo. Surakarta sebagai daerah swapraja disebut dengan Kooti, sedangkan kekuasaan dipegang oleh Raja dengan sebutan Solo Koo. Jabatan Patih dinamakan Kentyoo, serta Wedana, Camat dan Lurah berturut dinamakan Guntyoo, Sontyoo dan Kutyoo.
commit to user
62 digilib.uns.ac.id
perpustakaan.uns.ac.id
Bagan 4 : Skema Struktur Pemerintahan pada masa Pendudukan Jepang
Gunsereikan
Solo Koo
Syu Tyoo
Kochi Sumotyokan
Ken Tyoo
Gun Tyoo
Son Tyoo
Ku Tyoo
Sumber: Osamu sirei (tanpa tahun), arsip Reksa Pustaka Mangkunegaran Selang beberapa waktu terdapat penambahan dalam struktur pemerintahan ini, yaitu dengan adanya lembaga pelengkap yang bernama Tonarigumi. Lembaga ini berada di dalam Ku, sehingga merupakan lembaga terendah yang terdiri dari persekutuan ketetanggaan (RT).
commit to user
perpustakaan.uns.ac.id
63 digilib.uns.ac.id
Surakarta dan Yogyakarta dijadikan pemerintah Jepang sebagai daerah istimewa dengan nama Surakarta Kochi dan Yogyakarta Kochi. Kochi merupakan kota dalam bahasa Jepang sedangkan dalam bahasa Indonesia disebut kooti. Di dalam terbitan berita pemerintah atau Kan Po yang terbit tahun 1942, istilah kooti lebih sering digunakan daripada kochi. Kata kochi berasal dari bahasa Jepang yang mempunyai arti otonom atau istimewa. Secara administratif kedudukan kochi (daerah istimewa) setingkat dengan syu (karesidenan). Penguasa daerah kochi disebut koo yaitu Surakarta Koo (kepala Surakarta Kochi) dan Yogyakarta Koo (kepala Yogyakarta Kochi). Surakarta Koo itu sendiri dibagi menjadi dua yaitu Solo Koo untuk penguasa Kasunanan dan Mangkunagara Koo untuk penguasa Mangkunegaran. Jabatan Koo ini setingkat dengan raja dalam istilah bahasa Indonesia. Kedudukan Surakarta dijadikan sebagai daerah istimewa agar masyarakat Surakarta mau bekerjasama dengan pemerintah baru dalam rangka membantu Jepang memenangkan perang Asia Timur Raya.43 Terbentuknya Surakarta Kochi juga mempengaruhi jabatan Somu Chokan (pepatih dalem/patih kerajaan). Jabatan tersebut pada saat pendudukan Jepang, diangkat dan diberhentikan oleh Kochi Zimu Kyoku Chokan (Pembesar Urusan Daerah Kerajaan).44 Dengan adanya hal tersebut maka pemerintah militer Jepang 43
Julianto Ibrahim, Makalah dalam Diskusi Wacana Pembentukan Propinsi Daerah Istimewa Surakarta, (Semarang: Yayasan Putra Budaya Bangsa, 2010). Ira Pramuda Wardani, 2000, ”Pembentukan Surakarta Kochi dalam Birokrasi Tradisional Masa Pendudukan Jepang 1942-1945”, Skripsi Fakultas commit to user Sastra dan Seni Rupa UNS, hlm. 56. 44
64 digilib.uns.ac.id
perpustakaan.uns.ac.id
di Surakarta Kochi di bawah pimpinan Kochi Zimu Kyoku Chokan dapat secara langsung memberi perintah melalui Somu Chokan. Pada masa pendudukan Jepang ini kedudukan Solo Koo dan Mangkunegara Koo bersifat hubungan militer sehingga Susuhunan dan Mangkunagara dapat diperintah melalui peraturan militer. Berbeda dengan pendudukan Belanda, kedua penguasa tersebut adalah kepala kerajaan yang otonom dengan diatur berdasarkan kontrak politik. Kontrak politik ini biasanya berisi tentang pengakuan terhadap pemerintahan Hindia Belanda dan kesetiaan pada Ratu Wilhelmina di Belanda. Corak pemerintahan dari pemerintah Hindia Belanda bersifat sipil sedang pada masa pendudukan Jepang adalah gabungan antara militer dan sipil.45 Di samping perbedaan dalam penguasaan Surakarta, kedudukan Belanda dan
Jepang
juga
mempunyai
persamaan
dalam
menduduki
Surakarta.
Dijadikannya Surakarta sebagai daerah istimewa dan adanya sumpah setia pada Ratu Belanda dan Kaisar Jepang merupakan persamaannya. Dijadikannya Surakarta sebagai daerah istimewa tidak mempengaruhi dalam pembagian administrasi pemerintahan namun sebaliknya, pembagian administrasi pemerintahan Surakarta Kochi mengikuti pola pembagian daerah lain yang tidak diistimewakan. Daerah Solo Kochi dan Mangkunagara Kochi setingkat dengan syu (karesidenan) dan bersifat otonom. Setiap kochi membawahi daerah-daerah Ken, Gun, Son dan Ku. Jumlah Ken, Gun, Son dan Ku di Surakarta Kochi sama dengan kabupaten, kawedanan dan kapanewon/onderdistrik sebelum masa pendudukan Jepang. Pada masa pendudukan Jepang, wilayah Kasunanan 45
Ibid, hlm. 70.
commit to user
perpustakaan.uns.ac.id
65 digilib.uns.ac.id
mempunyai 4 ken atau kabupaten, 18 gun atau kawedanan dan 66 son atau onderdistrik. Sementara itu wilayah Mangkunegaran memiliki 2 ken, 9 gun dan 41 son.46 Mengenai pemberian izin terhadap segala hal yang menyangkut hak istimewa Susuhunan dan Mangkunagara masih diberikan meskipun pucuk pimpinan kedua kerajaan tersebut berada di tangan Jepang. Misalnya saja gelargelar tradisional atau gelar lainnya yang biasa dipakai di lingkungan kerajaan. Beberapa saat setelah Jepang berkuasa PB XI wafat digantikan oleh puteranya yaitu PB XII, yang kurang beruntung karena keadaan di luar maupun di dalam keraton yang tidak stabil. Awal pemerintahan PB XII banyak terjadi perebutan kekuasaan dalam penataan birokrasi. Hal ini karena pemerintahan pendudukan Jepang tidak lagi melindungi perekonomian keraton. Selain itu Pemerintahan Jepang tidak berniat membentuk corps pejabat Jepang untuk menggantikan jajaran pejabat Belanda.47 Strustur birokrasi pemerintahan PB XII makin tidak berpola dengan baik dan tidak tertata sesuai dengan tradisi yang telah ada. Aparat pemerintahan masih meneruskan pemerintahan PB XI. Untuk seluruh pegawai pada Abdi Dalem Jawi secara perlahan telah dibubarkan, walaupun sebenarnya banyak bangsawan birokrasi yang ingin menjabatnya. Hal ini berdampak besar banyak abdi dalem yang tidak lagi mendukung PB XII karena dianggap tidak tegas dalam menjalankan pemerintahannya. Selain itu, secara ekonomi Keraton Kasunanan mengalami krisis hal ini karena asset-aset
46
Suyatno Kartodirdjo, op.cit, hlm. 719. to user Monumen Pers 47 Kedaulatan Rakjat, Januaricommit 1943, koleksi
66 digilib.uns.ac.id
perpustakaan.uns.ac.id
Kasunanan banyak yang dibakar oleh pemerintah Hindia-Belanda di akhir masa penjajahannya. Jepang melaksanakan propaganda agar Daerah Kochi bersedia bekerja sama dalam memenangkan Perang Asia Timur Raya. Mengingat Jepang banyak mengalami kekalahan melawan Sekutu maka pemerintah Jepang mendorong pembentukan badan-badan yang merancang kemerdekaan Indonesia yaitu BPUPKI dan PPKI. Surakarta sebagai daerah Kochi diikutkan dalam keanggotaan BPUPKI dalam merancang UUD 1945. Anggota BPUPKI dari Surakarta adalah Wongsonegoro, Wuryaningrat, Sosrodiningrat, dan Radjiman Widiodiningrat. Pada rapat PPKI tanggal 18 Agustus 1945 Soepomo memberi penjelasan tentang Rancangan UUD 1945 yang dapat disimpulkan sebagai berikut: a. Jaminan kedudukan kooti dalam UUD 1945 b. Penghormatan pada daerah istimewa atau kooti dalam susunannya yang asli. c. Daerah zelfbesturende landscappen (kooti) dinyatakan sebagai daerah bukan negara. 48
d. Penguasa kosoti setingkat gubernur. Akhir masa pendudukan pemerintah militer Jepang sebenarnya sudah mulai menggejala pada tahun 1944. Perang di Asia-Pasifik melawan Sekutu dirasakan semakin berat. Hingga pada tahun 1945 Jepang harus menyerah pada kekuatan sekutu dengan di bumi hanguskannya dua kota besar di Jepang. 48
commit Julianto Ibrahim, op.cit, hlm 59. to user
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id
BAB III DINAMIKA BIROKRASI MODERN DI SURAKARTA Tersebarnya berita mengenai kekalahan Jepang terhadap Sekutu memberikan perubahan yang besar kepada bangsa ini. Usaha tentara Jepang untuk menyembunyikan tersiarnya berita kekalahan mereka ini ternyata dapat digagalkan oleh para pemuda yang menyembunyikan radio untuk mendengarkan siaran-siaran berita internasional yang dilarang pemerintah Jepang. Semakin dekatnya kekalahan Jepang, membuat para aktivis politik di Surakarta menyusun rencana kemerdekaan. M. Suprapto, seorang pemimpin pergerakan politik pada tanggal 11 Agustus 1945 mengirim utusan untuk bertemu Suyoko dan Suryopranoto dari perwakilan Asrama Menteng 31 dan Sutan Syahrir di Jakarta supaya mengetahui langkah-langkah yang harus ditempuh.1 Di luar dugaan, para tokoh di Jakarta menerangkan untuk bersabar menanti kepastian kepulangan Sukarno dan Hatta dari markas tentara Jepang di Dalat, Vietnam. Sepulang dari Jakarta, utusan tersebut singgah terlebih dahulu di Cirebon, Pekalongan dan Semarang untuk memberitahukan informasi kepada tokoh-tokoh politik lokal.2
1
Para utusan itu ialah A. Royis, Ismangunwinoto dan Marto Mulyono. Panitia Pelaksana Pembangunan Monumen. Perebutan Kekuasaan dan Pertempuran Kenpetai di Surakarta. (Surakarta : t.p. 1985)hal. 15 2
Jaringan ini berkaitan dengan Kromolawi yang berada di Pekalongan. Kromolawi merupakan salah satu tokoh utama dalam Peristiwa Tiga Daerah. Panitia Pembangunan Monumen.,commit ibid. to user 67
68 digilib.uns.ac.id
perpustakaan.uns.ac.id
Keadaan yang serba tidak pasti ini ditanggapi oleh para aktivis di Surakarta dengan membentuk Panitia Pelaksanaan Kemerdekaan (PPK) pada 15 Agustus 1945. Panitia ini diketuai oleh KRMTH Wuryaningrat dan beranggotakan para tokoh politik di Surakarta yang sebagian besar kerabat Kasunanan bertujuan untuk menghadapi segala kemungkinan yang akan datang dengan memberikan jaminan kemerdekaan Indonesia tanpa sepengetahuan tentara Jepang.3 Akhirnya pada tanggal 17 Agustus 1945 bangsa Indonesia mengumumkan kemerdekaannya, hal ini menjadi tanda bahwa bangsa ini siap untuk hidup dengan kaki sendiri. Maka dari itu sehari setelah pembacaan Proklamasi diadakanlah rapat untuk mengukuhkan Undang-undang Dasar dan Pancasila sebagai pedoman hidup bangsa Indonesia, serta menentukan Presiden dan wakil presiden sebagai kepala Pemerintahan dan Negara. Ketika Proklamasi PPK memainkan peranan penting dalam penghubung
kekuasaan Jakarta dan Surakarta. PPK akhirnya
menjadi kekuatan utama politik di Surakarta dimana dirinya berkembang dan meleburkan diri menjadi KNIDS. A. Gerakan Anti Swapraja dan Dampaknya Bagi Birokrasi Tradisional di Surakarta Proklamasi kemerdekaan memberikan pengaruh mendalam bagi penduduk Surakarta untuk melaksanakan partisipasi politiknya dalam suasana kemerdekaan. Pada bagian ini akan diterangkan peristiwa sosial politik pada penduduk Surakarta pada awal kemerdekaan.
3
Ibid, hlm. 92
commit to user
perpustakaan.uns.ac.id
69 digilib.uns.ac.id
1. Berdirinya Komite Nasional Indonesia Daerah (KNID) di Surakarta Sidang PPKI yang berlangsung pada tanggal 19 Agustus 1945, memutuskan tentang pembentukan Komite Nasional Indonesia Pusat (KNIP). Setelah itu pada tanggal 22 Agustus 1945 diadakan sidang KNIP yang membahas mengenai pembentukan Komite Nasional di daerah-daerah yang disahkan melalui UU No.1 tahun 1945, maka dari banyak bermunculan tuntutan pembentukan KNID di Surakarta sebagai bentuk dari Nasionalisme. Pihak Kasunanan dan Mangkunegaran memang telah mengakui kemerdekaan RI dan menyatakan bahwa kedua kerajaan berada di belakang Pemerintahan Indonesia. Pakubuwana XII mengeluarkan maklumat tertanggal 1 September 1945 yang isinya menyatakan bahwa: a) Beliau Pakubuwana XII dan Negeri Surakarta yang bersifat kerajaan adalah daerah istimewa dari Negara Republik Indonesia yang berdiri di belakang pemerintah pusat R.I b) Segala kekuasaan di Surakarta adalah di tangan Susuhunan Surakarta, maka kekuasaan yang tadinya diambil oleh penjajah kembali dengan sendirinya setelah proklamasi kemerdekaan. c) Kami menyatakan bahwa hubungan antara Surakarta dan pemerintah pusat bersifat langsung.4 Maklumat Sri Sunan Paku Buwono XII tertanggal 1 September 1945 4
Maklumat Sri Susuhunan Pakubuwana XII, tanggal 1 September 1945. Arsip Reksapustaka Mangkunegaran. Katalog Mangkunegaran VIII ,volume 2, commit to user No. 376
70 digilib.uns.ac.id
perpustakaan.uns.ac.id
menyatakan bahwa Negeri Surakarta Hadiningrat yang bersifat kerajaan adalah daerah
istimewa
dari
negeri
Republik
Indonesia
dan
berdiri
di
belakang pemerintah pusat negara RI. Maklumat yang disampaikan oleh pihak Kasunanan tersebut ditanggapi oleh pemerintah pusat, pada tanggal 6 September 1945 pemerintah Republik Indonesia memberi piagam kedudukan kepada Sri Susuhunan Paku Buwono XII yang merupakan bagian dari wilayah RI. Piagam ini ditandatangani Soekarno tertanggal 19 Agustus 1945. Pada pokoknya menetapkan Sri Paduka Paku Buwono XII dan Sri Paduka Mangkunegoro VIII pada kedudukannya masing-masing dengan kepercayaan, bahwa beliau-beliau itu akan mencurahkan segala pikiran, tenaga, dan jiwa dan raga untuk keselamatan daerahnya sebagai bagian dari pada Republik Indonesia.5 Adapun bunyi dari keputusan presiden adalah sebagai berikut:6 REPUBLIK INDONESIA Kami, PRESIDEN REPUBLIK Indonesia, menetapkan: Ingkang Sinohoen Kandjeng Soesoehoenan Pakoe Boewono, Senopati Ing Ngalogo, Abdurrahman Sajidin Panotogomo, Ingkang Kaping XII ing Soerakarta Hadiningrat. Pada kedoedoekannja, dengan kepertjajaan, bahwa Seri Padoeka Kandjeng Soesoehoenan akan mentjurahkan segala pikiran, tenaga, djiwa dan raga oentoek keselamatan daerah Soerakarta sebagai bagian dari pada Repoeblik Indonesia. Djakarta, 19 Agoestoes 1945 Presiden Repoeblik Indonesia ttd Ir. Soekarno
5 6
Ibid. halaman 24.
Mawardi, Yuliani Sw. Dinamika Revolusi Sosial di Surakarta. (Sukoharjo: commit1995) to user Universitas Veteran Bangun Nusantara, Hal 34
71 digilib.uns.ac.id
perpustakaan.uns.ac.id
REPUBLIK INDONESIA Kami, PRESIDEN REPUBLIK Indonesia, menetapkan: Kandjeng Goesti Pangeran Adipati Arjo Mangkoenagoro, Ingkang Kaping VIII. Pada kedoedoekannja, dengan kepertjajaan, bahwa Seri Padoeka Kandjeng Soesoehoenan akan mentjurahkan segala pikiran, tenaga, djiwa dan raga oentoek keselamatan daerah Soerakarta sebagai bagian dari pada Repoeblik Indonesia. Djakarta, 19 Agoestoes 1945 Presiden Repoeblik Indonesia ttd Ir. Soekarno Pengakuan kedaulatan Kasunanan untuk daerah Surakarta oleh Presiden tidak serta merta memberikan kepastian kedaulatan dan kekuatan politis kerajaan. Walaupun para raja dan elit politik tingkat nasional menyetujui dengan diberlakukannya daerah istimewa, elit politik lokal tetap merupakan batu sandungan bagi konsolidasi kekuasaan kerajaan. Penolakan para aktivis serta politisi di Surakarta terutama barisan perjuangan dan laskar rakyat menyebabkan melemahnya kontrol keamanan oleh pihak kerajaan terhadap daerahnya. Meskipun begitu tidak ada upaya dari kedua kerajaan dalam membantu penyerahan kekuasaan dari Jepang. Tetapi kedua kerajaan dirasa lamban dalam membantu menegakkan kekuasaan Republik serta melucuti senjata dari tentara Jepang, sehingga pemerintah akhir nya membentuk Komite Nasional Daerah di Surakarta demi memperlancar hal tersebut. Adapun tujuan dari pembentukan Komite Nasional di daerah-daerah ialah: 1) Melucuti tentara Jepang
commit to user
perpustakaan.uns.ac.id
72 digilib.uns.ac.id
2) Memindahkan kekuasaan pemerintah Jepang ke tangan KNID.7 Berdasarkan hal tersebut pembentukan Komite Nasional diharapkan agar secepat mungkin melakukan tugasnya dalam rangka penegakan kedaulatan republik. Akan tetapi permasalahan utama dari pembentukan komite ini ialah keberadaan tentara Jepang yang memang diserahi urusan penjagaan keamanan dan status quo oleh Sekutu. Tentara Jepang tersebut merupakan kekuatan tempur yang sangat kuat mengingat lengkapnya persenjataan yang dimiliki oleh mereka.8 Kedatangan Mr. Maramis dan Mr. Sartono di Surakarta pada tanggal 9 September 1945 adalah suatu langkah intensif yang ditunjukkan oleh pemerintah. Selang dua hari dari kedatangan mereka tersebut, diadakanlah rapat yang dipimpin oleh Mr. Sartono di Pendopo Wuryaningrat. Hasil dari rapat ini adalah dengan disepakatinya pembentukan Komite Nasional Indonesia Daerah Surakarta (KNIDS) yang merupakan pengembangan dari PPK.9 Pada tanggal 11 September 1945 diadakan rapat di pendopo Wuryaningratan (sekarang Jl. Slamet Riyadi No. 227). Pada kesempatan ini disepakati untuk membentuk Komite Nasional Indonesia Daerah Surakarta (KNIDS) yang menguasai seluruh wilayah Surakarta yaitu daerah kerajaan Surakarta dan Mangkunegaran dan merangkap sebagai pemerintahan umum di kota Surakarta. 7
Djawatan Penerangan Kota Besar Surakarta, Kenang-kenangan Kota Besar Surakarta, 1945-1953. (Surakarta: t.p. , 1953), hlm. 2-3. 8
George McTurnan Kahin, Refleksi Pergumulan Lahirnya Republik, Nasionalisme dan revolusi di Indonesia, (Surakarta: UNS Press, 1995). hlm. 186 9
Dibentuknya KNIDS maka terlihat sikap mendua dari pemerintah. Karena pada saat yang bersamaan pemerintah mengesahkan pihak kerajaan sebagai lembaga kekuasaan resmi namun juga menunjuk KNIDS untuk mengambil alih commit to user kekuasaan Jepang.
perpustakaan.uns.ac.id
73 digilib.uns.ac.id
Sejak dibentuknya KNIDS, maka untuk sementara menggantikan kepemimpinan lokal di Karesidenan Surakarta. Pada perkembangannya pembentukan KNIDS menuai kontroversi dari berbagai pihak, terutama dari kedua kerajaan baik Kasunanan maupun Mangkunegaran. Ketua KNID Surakarta yaitu Mr. Soemodiningrat (ipar Susuhunan) adalah seorang bangsawan yang pernah menjabat opsir dalam pasukan PETA merangkul beberapa orang untuk menjadi anggota KNID Surakarta dengan tujuan dapat merangkul semua pihak dari berbagai kalangan, orang – orang tersebut adalah Soeprapto, H. Moefti, GPH Suryohamijoyo, KRT. Mangundiningrat, Sutopo Hadi Saputro, I. J. Kasimo, Mulyadi Joyomartono dan Suyono.10 Program yang ditetapkan pada waktu itu adalah melucuti senjata tentara Jepang dan memindahkan kekuasaan pemerintah Jepang di Surakarta ke tangan KNI daerah Surakarta.11 Tanggal 1 Oktober 1945 KNID Surakarta yang dipimpin oleh Mr Soemadiningrat berhasil memaksa pembesar-pembesar Jepang di bawah pimpinan H. Watanabe untuk menyerahkan kekuasaan pemerintahannya kepada KNI. Peristiwa ini terjadi di Balai Kota dan disaksikan oleh beribu-ribu masyarakat Surakarta. Kantor yang dinamakan dengan nama Jepang diganti nama dengan
10
Pelaksana Pembangunan Monumen., op. cit. hlm. 25. Keanggotaan KNIDS terdiri dari dua latar belakang politik yaitu dari kalangan rakyat dan Kasunanan. Anggota Kasunanan ialah GPH Suryohamijoyo (putra Pakubuwono X), KRT. Mangundiningrat, I. J. Kasimo. Tidak ada satu pun kerabat Mangkunegaran yang menjadi anggota KNID Surakarta. 11
Tim Penyusun. Buku Kenang-kenangan Perjuangan Rakyat Surakarta commit user21-23. Dari Zaman ke Zaman. (Surakarta, 1973),tohlm.
74 digilib.uns.ac.id
perpustakaan.uns.ac.id
KPPRI ( Kantor Pusat Pemerintahan Republik Indonesia). Nama ini dipandang kurang tepat, kemudian diganti dengan KDPRI (Kantor Daerah Pemerintahan Republik Indonesia.). Setelah pemindahan pemerintahan berhasil dilakukan, maka KNI Daerah berusaha untuk melaksanakan tugas keduanya yaitu melucuti senjata tentara Jepang. Hal ini ditindak lanjuti dengan melucuti senjata tentara Jepang. Tanggal 19 Oktober 1945 Pemerintah Pusat mengangkat R.P Soeroso menjadi Komisaris Tinggi yang menjadi penghubung antara daerah-daerah Istimewa Surakarta dan Yogyakarta yang berkedudukan di Surakarta. R.P Soeroso dalam tugasnya adalah sebagai Koordinator dari kedua pemerintahan Swapraja Kasunanan dan Mangkunegaran yang memiliki kekuatan hukum seperti tertera dalam UUD 1945 Bab VI Pasal 18 hal pemerintahan Daerah. Berkenaan dengan hal tersebut maka tidak mustahil jika kemudian timbul perselisihan tentang siapa yang berhak memerintah, apakah KNI daerah atau pemerintahan Swapraja yang membuat adanya dua pemerintahan di Surakarta. Melihat adanya dualisme pemerintahan di daerah Surakarta tersebut, Pemerintah pusat segera mengambil beberapa tindakan. Pada tanggal 19 Oktober 1945 Pemerintah Pusat mengangkat R.P Soeroso menjadi Komisaris Tinggi Daerah Surakarta dan Yogyakarta, yang berkedudukan di Surakarta. Dalam pertemuan yang pertama tokoh-tokoh di Surakarta, R. P Soeroso selaku Komisaris Tinggi menjelaskan bahwa beliau hanyalah sebagai wakil Pemerintah Pusat yang akan menjadi sarana forum koordinasi antara Pemerintah Kasunanan Surakarta dan Mangkunegaran. Lalu agar hanya ada satu pemerintahan, Komisaris Tinggi commit to user
perpustakaan.uns.ac.id
75 digilib.uns.ac.id
itu menyetujui keputusan dari Badan Pekerja KNID Surakarta untuk membentuk suatu badan Pemerintah Direktorium.12 Dibentuknya Pemerintahan Direktorium membuat pergeseran kekuasaan dari kekuasaan Pemerintahan Kasunanan dan Mangkunegaran serta KNID Surakarta menjadi Pemerintahan Direktorium yang melaksanakan prinsip Collegaal Bestuur. Kelompok Swapraja tidak mendukung terbentuknya Pemerintahan Direktorium, hal ini karena menurut pihak Kasunana Surakarta, kekuasaan Direktorium hanyalah meliputi kekuasaan yang dulunya dipegang oleh Tyookan Jepang, seperti ketentaraan, kepolisian, dan sebagian urusan ekonomi. Sedangkan dalam pelaksanaan perekonomian tetap masih di jalankan oleh pemerintah Kasunanan dan Mangkunegaran. Selain itu, tiga orang anggota Diretorium yaitu Ronomarsono, Mohammad Dasoeki dan Djoewadi adalah orang-orang yang berasal dari golongan kiri dan bekas orang hukuman dari Digul. 13 Dengan masuknya tiga orang anggota itu dikhawatirkan akan menyebabkan kerugiankerugian dipihak daerah Surakarta yang bersifat istimewa karena tiga orang tersebut dikenal sebagai orang-orang yang tidak menyetujui adanya daerah istimewa. Kondisi ini diperparah dengan adanya pertentangan antar golongan yang mendukung tetap berlangsungnya Pemerintahan daerah Istimewa, yang disebut
12
Sri Juari Santosa, Suara Nurani Keraton Surakarta: Peran Keraton Surakarta dalam Mendukung dan Mempertahankan Negara Kesatuan Republik Indonesia, (Yogyakarta: Komunitas Studi Didaktika, 2002), hlm. 33 commit to user 13 Ibid.
76 digilib.uns.ac.id
perpustakaan.uns.ac.id
golongan
pro-swapraja,
dan
golongan
yang
menentang berlangsungnya
Pemerintahan Daerah Istimewa, dinamakan golongan anti swapraja. 2. Gerakan Swapraja di Surakarta Kelompok-kelompok atau kelas-kelas sosial dalam masyarakat mudah menjadi basis timbulnya konflik-konflik sosial politik. Kelas-kelas sosial ini dapat mendasari pertentangan, pergolakan maupun konflik yang cenderung bersifat menonjolkan primordialisme dan faksionalisme. Unsur kepentingan kelas atau kelompok sering mempengaruhi jalannya suatu peristiwa sejarah yang terjadi. Konflik-konflik sosial politik pada masa revolusi dapat muncul antara kaum konservatif dengan progresif, sosialis-komunis dengan nasionalis-agama, politisi dan militer, kaum tua dan kaum muda, dan aristokrat feodal dengan demokrasi kerakyatan. Dalam pola atau struktur konflik itu, ideologi juga berperan penting untuk mempertajam jurang perbedaan dan kepentingan antar kelompok yang bertikai.14 Konflik sosial politik di daerah Surakarta sebenarnya telah ada sejak awal kemerdekaan. Kevakuman kekuasaan pada awal revolusi mengundang terjadinya konflik kepentingan kelompok yang ada. Hukum sebab akibat berlakulah teori, ada aksi menimbulkan reaksi. Sejak ditetapkannya Surakarta sebagai Daerah Istimewa atau Swapraja oleh pemerintah RI di pusat pada 19 Agustus 1945, maka segera timbul reaksi dari para pejuang kemerdekaan di Surakarta dari berbagai kelompok. Ketetapan tersebut yang kemudian diperkuat oleh adanya maklumat 14
Suyatno Kartodirdjo., Revolusi Nasional di Tingkat Lokal, (Jakarta: Depdikbud, Direktorat Sejarah dan Nilai Tradisional, 1989), hlm. 47. commit to user
77 digilib.uns.ac.id
perpustakaan.uns.ac.id
raja di Surakarta tertanggal 1 September 1945 tentang seruan kepada seluruh penduduk Surakarta untuk loyal menerima ketentuan status Daerah Istimewa bagi kedua kerajaan di Surakarta itu. Hal ini tampaknya dianggap bersifat bertolak belakang dengan semangat kemerdekaan atau revolusi. Sejak awal 1945 secara nyata mulailah periode konflik sosial politik, berupa gerakan-gerakan anti-Swapraja untuk menghapus Daerah Istimewa, gerakan untuk mengganti Susuhunan Pakubuwono XII, dan gerakan untuk merubah peraturan Daerah Istimewa/ Swapraja yang tidak cocok dengan zamannya.15 Gerakan-gerakan ini juga berdampak luas, misalnya perebutan pengaruh, penculikan, dan insiden bersenjata. Daerah Surakarta berkali-kali didatangi Menteri Dalam Negeri, Dr. Sudarsono untuk menemui Paku Buwono XII. Tujuannya tidak lain untuk menciptakan stabilitas di Surakarta secara sosial politik. Pada suatu pertemuan dengan Menteri Dalam Negeri tersebut seorang bangsawan kraton Surakarta, Woeryaningrat selaku “Bupati Nayaka”, mengusulkan suatu pendapat yang menyangkut persoalan Daerah Istimewa itu. Pertama, agar Daerah Istimewa dipegang oleh Pemerintah Pusat, bila sudah ada peraturan yang mengatur Daerah Istimewa,maka dikembalikan seperti semula. Kedua, gerakan-gerakan yang disebut ”revolusi sosial” agar diberi pengertian bahwa gerakan tersebut memperlemah persatuan dan kesatuan untuk menghadapi musuh dari luar yang ingin
menjajah
bangsa
Indonesia, usul inimditolak Dr. Sudarsono.16 Akhirnya di kemudian hari timbul 15
16
Suara Merdeka, 20 Februari 1983
Ibid.
commit to user
78 digilib.uns.ac.id
perpustakaan.uns.ac.id
berbagai peristiwa revolusioner di Surakarta akibat suhu revolusi yang terus memanas yang sulit dikendalikan. Pada 15 April 1946 terjadi penculikan-penculikan, terutama dilakukan oleh kesatuan-kesatuan kelaskaran dan pemuda-pemuda militan. Penculikan terhadap pepatih dalem dan wakilnya di Kasunanan, sehingga kekosongan jabatan ini diisi Woeryaningrat yang diangkat Paku Buwono XII, berstatus pejabat ”Ymt” atau sementara. Selain itu banyak pegawai ditahan dan selanjutnya menimbulkan ketakutan
pegawai
lainnya
sehingga
banyak
yang
memutuskan
untuk
mengundurkan diri. Penculikan lain ditujukan kepada R. Mulyadi Joyomartono (eks Peta) dan wakil ketua KNID Surakarta, dengan alasan karena dianggap kurang tegas. Di lingkungan keluarga keraton juga diculik, misalnya Kanjeng Ratu Paku Buwono (Ibu Sri Paku Buwono XII), Ray. Sunami (kerabat Istana Mangkunegaran), R. Sukarjo Wiryopranoto (eks anggota Volksraad), Duta Besar RI di Vatikan dan RRC yang datang dari luar Surakarta. Mereka diculik dan ditempatkan di Kandang Menjangan, Kartosuro. Mereka diculik dengan tuduhan sebagai matamata Belanda. Setelah Sudiro menjadi wakil Residen Surakarta, mereka dibebaskan.17 Komandan Pasukan Intel 0001, Zulkifli Lubis dan beberapa orang pengawalnya diculik kemudian ditempatkan di Gembongan, Kartosuro. Sudiro memerintahkan Barisan Banteng untuk membebaskan mereka, tetapi harus
Karkono Kamajaya., Revolusi di Surakarta, commit to user Makalah Temu Ilmiah, (Yogyakarta: Balai Kajian Sejarah dan Nilai Tradisional, 1993), hlm. 12. 17
perpustakaan.uns.ac.id
79 digilib.uns.ac.id
memenuhi syarat tidak boleh menginjakkan kaki di Surakarta sebelum persoalan swapraja dapat diselesaikan.18 Pada 1 Mei 1946 Mangkunegoro VIII mengeluarkan pengumuman bahwa Mangkunegoro adalah sebagai Kepala Distrik Khusus Mangkunegaran yang berada di bawah langsung Presiden RI. Berdasarkan pada pengumuman itu berarti daerah Mangkunegaran tetap dipertahankan pihak konservatif sebagai swapraja. Status ini tidak ingin terjadi perubahan, apalagi yang bertentangan dengan kepentingan golongan konservatif itu. Hal itu mempertajam timbulnya gerakan anti-swapraja atau revolusi sosial. Gerakan revolusioner muncul di Surakarta untuk menentang keinginan golongan konservatif tersebut. Sebagai langkah awal dari kaum revolusioner mengadakan rapat besar pada 9 Mei 1946 yang dihadiri oleh 36 organisasi politik yang dipimpin Dr. Muwardi.19 Tujuan rapat besar ini untuk membentuk dengan segera badan legislatif secara demokratis dan melalui pemilihan langsung untuk menentukan anggotanya. Pada kesempatan itu pihak konservatif di Surakarta, Susuhunan dan Mangkunegoro mendapat kritik keras dari mereka. Akibatnya Dr. Muwardi beserta 11 tokoh politik lainnya ditangkap unsur tertentu, yang juga termasuk ditangkap ialah anggota KNID Surakarta. Dengan ditangkapnya para tokoh progresif tersebut, maka sebagai rentetannya, di Surakarta segera timbul demonstrasi-demonstrasi pada 28 Mei 18
19
Ibid.
Mawardi, Dinamika Revolusi Sosial di Surakarta, (Sukoharjo: Universitas Veteran Bangun Nusantara, 1995), hlm. 53. commit to user
80 digilib.uns.ac.id
perpustakaan.uns.ac.id
1946 yang dilancarkan secara bersama untuk menentang aksi penangkapan tokoh- tokoh rakyat itu. Para pelaku demonstrasi berasal dari kelompok Barisan Banteng, Hizbullah, dan Polisi Khusus. Bulan April dan Mei 1946 rupanya cukup panas suasana politik di Surakarta terutama dalam menghadapi perubahan-perubahan yang terjadi secara cepat itu. Pada satu sisi gerakan anti-swapraja berkembang luas hingga ke masyarakat desa. Misalnya tindakan badan-badan pekerja KNID, Surakarta maupun daerahdaerah luar kota, berusaha melepaskan diri dari kekuasaan swapraja Surakarta yang diikuti berbagai kesatuan perjuangan lainnya. Di Klaten, Badan Pekerja KNI yang didukung sekitar 60 organisasi misalnya PBI, BTI, Laskar Rakyat, Laskar Buruh, Pesindo, Barisan Banteng, Masyumi, Hizbullah, GPII, Parkindo, dan Pangreh Praja lokal menyatakan keputusan untuk membentuk pemerintahan rakyat, terlepas dari swapraja Kasunanan. 20 Demikian pula daerah Karanganyar dan Wonogiri melepaskan diri dari swapraja Mangkunegaran. Kota Surakarta dan pihak Kepolisian Daerah Surakarta juga menyatakan diri terlepas dari swapraja, pihak kepolisian menjadi Kepolisian Republik Indonesia.21 Namun demikian
di
sisi
lain
pihak
swapraja
tampaknya tetap bertahan dengan pendiriannya untuk mempertahankan status keistimewaannya. Berkenan dengan itu daerah Sragen juga melepaskan diri. Konflik-konflik di Surakarta dipertajam pula dengan adanya kelompok 20
Ibid.
21
Wisnu Widodo, Surakarta Genap 41 tahun: Pada Awal kemerdekaan RI pernah menolak sebagai Daerah Istimewa, Suara Merdeka, 16 Juni 1987. commit to user
perpustakaan.uns.ac.id
81 digilib.uns.ac.id
oposisi. Kelompok ini menempatkan diri sebagai oposan pemerintah RI pusat. Pada permulaan tahun 1946 Perdana Menteri Syahrir merintis perundingan diplomatis dengan Belanda. Pihak Persatuan Perjuangan (PP) yang dipimpin Tan Malaka dengan beberapa tokoh pendukungnya, Mr. Iwa Kusumasumantri, Mr. Muhammad Yamin, Mr. Achmad Soebarjo, Chaerul Saleh, Sukarni, Adam Malik menuntut agar kabinet Syahrir segera dibubarkan. Namun demikian tuntutan PP tidak diterima Soekarno-Hatta. Oleh karena itulah kemudian terjadi konflik di pusat pemerintahan RI yang ketika itu telah berada di Yogyakarta dan selanjutnya menjalar ke Surakarta. Seperti diketahui bahwa PP yang dipimpin Tan Malaka merupakan kelompok oposisi yang cukup besar pengaruhnya dalam lingkungan sipil maupun militer dengan program-programnya yang radikal.22 Pada bulan Juni 1946 ketegangan politik di Surakarta menimbulkan aksi penculikan terhadap tokoh-tokoh Pemerintah RI. Pada 27 Juni 1946 malam, Perdana Menteri Syahrir beserta rombongannya yaitu Dr. Sudarsono (Menteri Dalam Negeri), Ir. Darmawan Mangunkusumo (Menteri Kemakmuran), Mr. Maria Ulfah (Sekretaris Kabinet), yang baru saja dari perjalanan ke Mojokerto dan kemudian menginap di Javasche Bank Surakarta diculik oleh Mayor AK. Yusuf atas dasar surat tugas dari Mayor Sudarsono.23 Penculikan terhadap Syahrir dan kawan-kawannya ini terdengar hingga ke Jawa Timur, akhirnya
22
Taufik Abdullah dkk, Manusia dalam kemelut Sejarah, (Jakarta: LP3ES, 1983), hlm. 165. 23 Karkono Kamajaya, op.cit., hlm. 16. commit to user
82 digilib.uns.ac.id
perpustakaan.uns.ac.id
kelompok Pesindo Jawa Timur (pendukung Syahrir) menyerbu Surakarta dan menduduki kantor di depan Javasche Bank tersebut dan Markas Polisi Tentara. Namun mereka tak kuasa apa-apa karena penculiknya adalah Mayor AK. Yusuf. Perdana Menteri Syahrir dan rombongannya kemudian dibawa ke Pesanggrahan milik Sunan di Paras Boyolali. Selain itu di Kantor Pemerintahan Rakyat dan Tentara pada 28 Juni ternyata kosong. Pemimpin-pemimpin pemerintahan ini diamankan di Resimen XXV jalan Jebres yang dipimpin Suadi Suromiarjo. Adanya perintah Presiden Soekarno untuk segera mengembalikan Perdana Menteri Syahrir melalui RRI akhirnya para pemimpin pemerintahan itu baru meninggalkan resimen XXV untuk pulang ke rumah masing-masing. Soekarno juga mengumumkan ”Negara dalam keadaan Darurat Perang” dan menyerukan agar Syahrir segera dikembalikan para penculik. Untuk sementara waktu pemerintahan diambil alih Presiden Soekarno. B. Terbentuknya Birokrasi Modern Di Surakarta 1. Pemerintahan Karesidenan Surakarta Komitmen pemerintah untuk menjadikan Surakarta menjadi daerah istimewa ditunjukkan dengan diangkatnya Panji Suroso tanggal 19 Oktober 1945 sebagai komisaris tinggi untuk Surakarta yang bersifat istimewa. Suroso
membentuk
direktorium untuk mengatasi double bestuur di Surakarta dengan diketuai Sunan PB XII, wakil Mangkunegoro VIII, dan anggota
5 orang KNID
Surakarta. Suroso berharap sebagai daerah istimewa, kekuasaan dipegang oleh pihak kraton.
commit to user
perpustakaan.uns.ac.id
83 digilib.uns.ac.id
Pada tanggal 27 November 1945 Suroso membentuk Panitia Tata Negara yang bertugas menyusun peraturan tentang Daerah Istimewa Surakarta. Peraturan Daerah Istimewa Surakarta dibicarakan oleh pihak Kasunanan, Mangkunegaran dan 27 organisasi di Surakarta baik laskar rakyat, organisasi kemasyarakatan, dan organisasi politik (representatif untuk mewakili masyarakat Surakarta).24 Daerah Istimewa atau Swapraja di Surakarta mengundang banyak pro dan kontra. Kelompok-kelompok yang mendukung adanya pemerintahan Swapraja sebagian besar anggotanya berasal dari kelompok bangsawan yang memegang kedudukan pada jabatan di Kerajaan. Kelompok-kelompok yang mendukung adanya Swapraja antara lain : a) Narpowandowo, b) Pakempalan Kawulo Surokarto, c) Pemuda Trah Surakarta, d) Dewan Pamong Kerabat Surakarta, e) Legiun Mangkunegaran, f) Pakempalan Kerabat Mangkunegaran. Kelompok ini terus melakukan kampanye yang menyerukan untuk mempertahankan Swapraja di Surakrta, selain itu mereka juga mengadakan rapat raksasa. Seperti yang terjadi tanggal 28 Mei 1946 diadakan rapat raksasa di lapangan Giriwojo Kapanewon Giriwojo. Rapat tersebut dihadiri oleh berbagai kalang masyarakat juga para saksi dari kelompok anti Swapraja.25
Julianto Ibrahim, Makalah dalam Diskusi “ Wacana Pembentukan Propinsi Daerah Istimewa Surakarta”, (Semarang: Yayasan Putra Budaya Bangsa, 16 Januari 2010) 24
25
Para saksi yang menghadiri rapat tersebut diantaranya : B.P.R.I, Masyumi, Pesindo, Perwari, S.S.P.P, G.P.I.I, Rombongan Kaoem Kristen, Dewan Perantara, dan dari daerah lain : Polisi Negara dari Batoeretno, B.P.I dari Wonogiri, Polisi Tentara dari Batoeretno, PKI Tirtomonjo. “ Mosi Dari Rakjat Mangkoenegaran yang Menginginkan Daerah Soerakarta Menjadi Daerah Istimewa, Tahun 1946”. commit user Arsip Rekso Pustoko Mangkunegaran VIIItono. 745.
perpustakaan.uns.ac.id
84 digilib.uns.ac.id
Sejak awal tahun 1946, banyak terjadi aksi dan gerakan-gerakan yang disebut sebagai “Revolusi Sosial”, gerakan ini dipicu dari adanya pernyataan pemerintah yang berkenaan dengan penetapan Surakarta sebagai Daerah Istimewa sehingga mengundang banyak protes dari berbagai kalangan, terutama dari badan-badan atau laskar-laskar perjuangan. Hal ini menimbulkan reaksi keras dari para pejuang kemerdekaan di Surakarta dan menganggap hal ini bertolak belakang dengan semangat kemerdekaan atau revolusi. Kondisi ini merupakan awal munculnya reaksi hebat atas aksi anti Swapraja di Surakarta. Kaum revolusioner mengadakan rapat pada tanggal 9 Mei 1946 besar yang dihadiri beberapa organisasi politik yang dipimpin oleh Dr. Muwardi. Diadakannya rapat ini adalah untuk membentuk dengan segera badan legislatif secara demokratis dan melalui pemilihan langsung untuk menentukan anggotanya. Kelompok yang menentang adanya Swapraja tersebut mengajukan tiga tuntutan yaitu:26 a) Meminta agar dihapuskannya Daerah Istimewa / Swapraja di Surakarta. b) Meminta mengganti Raja / Susuhunan. c) Meminta perubahan-perubahan dalam peraturan Daerah Istimewa / Swapraja yang tidak sesuai lagi dengan zamannya. Menanggapi tuntutan tersebut pihak Kasunanan mengeluarkan pidato yang intinya bahwa akan dilakukan perubahan dalam peraturan-peraturan Daerah Istimewa / Swapraja, karena Sri Susuhunan telah menyatakan kesediaannya, sedangkan Daerah Istimewa / Swapraja tetap berlangsung karena telah diakui oleh 26
commit to userSwapraja Surakarta, 1956, hlm. 4 Woerjaningrat, Sekedar Uraian tentang
85 digilib.uns.ac.id
perpustakaan.uns.ac.id
bangsa Indonesia bersamaan dengan proklamasi kemerdekaan. Akan tetapi kelompok penentang itu masih belum puas dengan pidato yang disampaikan oleh Sri Susuhunan Pakubuwana XII. Pernyataan dari Kasunanan tersebut tadi semakin memperkeruh keadaan, sehingga memicu ketidak puasan dari kelompok yang menamai diri sebagai kelompok Anti Swapraja. Pada bulan April dan Mei 1946 suasana politik di Surakarta mulai panas. Satu sisi gerakan anti Swapraja berkembang luas hingga ke masyarakat desa sedangkan di sisi lain aksi penculikan-penculikan pun merajalela. Penculikan terhadap pejabat keraton, yaitu pegawai pamong praja, pepatih dalem dan wakilnya tersebut menyebabkan kekosongan jabatan yang kemudian diisi oleh Woerjaningrat yang diangkat Paku Buwana XII.27 Selain itu beberapa kabupaten mulai memutuskan hubungan, sehingga pemasukan uang dalam Kas Negeri Surakarta terhenti. Sri Susuhunan Pakubuwana XII tetap pada pendiriannya bahwa kekuasaan yang ada padanya tidak akan diserahkan begitu saja, karena Pemerintah Pusat R.I telah mempercayakan kekuasaan atas Surakarta. Maka jika ada yang ingin meminta kekuasaan atas Surakarta semestinya meminta kepada Pemerintah Pusat R.I. Di Klaten, Badan Pekerja KNI yang didukung sekitar 60 organisasi, misalnya PBI, BTI, Laskar Rakyat, Laskar Buruh, Pesindo, Barisan Banteng, Masyumi, Hisbullah, dan pangreh praja lokal menyatakan keputusan untuk membentuk pemerintahan rakyat, terlepas dari Swapraja Kasunanan. Demikian pula dengan 27
Ibid.
commit to user
perpustakaan.uns.ac.id
86 digilib.uns.ac.id
daerah Karanganyar dan Wonogiri, kedua daerah tersebut juga melepaskan diri dari Swapraja Mangkunegaran.28 Mengatasi permasalahan mengenai daerah Swapraja di Surakarta tersebut, tanggal 22-23 Mei 1946, pemerintah RI melalui Perdana Menteri Sutan Sjahrir dan para menteri dari kabinetnya mengundang kedua penguasa Swapraja untuk membicarakan keadaan Surakarta di gedung Javasche Bank. Pembicaraan tentang keadaan Surakarta dan kekacauan akibat adanya kalangan pro dan anti Swapraja tersebut diikuti oleh Perdana Menteri Sutan Sjahrir, Menteri Dalam Negeri Dr. Soedarsono dan Menteri Penerangan Amir Syarifuddin mewakili Pemerintah Pusat RI. Dari pemerintah Swapraja sendiri diwakili oleh S.P Ingkang Sinuhun beserta wakil Pepatih Dalem Woerjaningrat dan S.P K.G.P.A.A Mangkoenogoro beserta Pepatih beliau K.R.M.H. Partono Handojonoto.29 Pertemuan tersebut digunakan oleh patih Woerjaningrat untuk menjelaskan usulnya bahwa gerakan atau revolusi di Surakarta harus segera diselesaikan karena pihak Kerajaan sudah marah. Gerakan menentang Swapraja berarti menetang UUD yang berarti juga menentang Pemerintah Pusat R.I. Woerjaningrat menyarankan jika disetujui oleh peserta rapat pada waktu itu ialah untuk sementara pemerintahan di Surakarta dipegang dahulu oleh Pemerintah Pusat R.I. Setelah situasi sudah aman pemerintahan Surakarta dikembalikan lagi kepada Kekuasaan Swapraja. Pemerintah Pusat R.I. pada tanggal 1 Juni 1946 menempatkan Gubernur Soerjo sebagai wakilnya di Surakarta
28
Karkono Kamajaya, Op.Cit, hlm 12. commit 29 Woerjaningrat, Op.Cit., hlm. 8 to user
87 digilib.uns.ac.id
perpustakaan.uns.ac.id
dengan tugas mengumpulkan bahan-bahan untuk dipertimbangkan pemerintah Pusat
dalam
menyusun
peraturan
yang
sebaik-baiknya
untuk
Daerah
Istimewa/Swapraja, sedangkam Komisaris Tinggi R.P. Soeroso dibebaskan dari jabatannya. Banyak terjadi peristiwa yang semakin menyulitkan pemerintah Surakarta pada saat itu ditambah lagi dengan beberapa kabupaten yang menyatakan melepaskan diri dari Pemerintahan Surakarta yang bersifat istimewa. Keadaan ini membuat Kesatuan Tentara (divisi IV) di bawah pimpinan Mayor Jenderal Sutarto mengadakan stabilisasi dengan jalan membebtuk Pemerintah Tentara Rakyat. Pemerintah ini dijalankan oleh lima orang dengan ketua Mayor Jenderal Sutarto dan Komisaris Tinggi sebagai penasihat.30 Sebagai tindak lanjutnya, dikeluarkan Penetapan Presiden tanggal 6 Juni 1946 yang menyatakan keadaan bahaya di wilayah Surakarta dan mengeluarkan Undang-undang No. 6 1946 yang intinya segera dibentuk Dewan Pemerintahan Rakyat – Tentara dimana ketuanya adalah Soediro (mbah Diro).31 Undang-undang No. 6 tahun 1946 tersebut berlaku hingga akhirnya tanggal 15 Juli 1946, Pemerintah RI menetapkan Surakarta sebagai Daerah Karesidenan untuk mengendalikan situasi di Surakarta dengan mengeluarkan UU. No. 16/SD/1946 yang menyebutkan:32
30
Kedaulatan Rakyat, 4 Juni 1946, Koleksi Monumen Pers
31
Maklumat No.1 tentang Pembentukan Dewan Pemerintah Rakyat- Tentara, arsip Reksa Pustaka, catalog Mangkunegaran VIII no. 785 32
PP. 16/SD 1946, tentang Keadaan Bahaya Solo, Arsip Reksa Pustaka commit toVIII userNo. 857 Mangkunagaran. Katalog Mangkunegaran
88 digilib.uns.ac.id
perpustakaan.uns.ac.id
1). Jabatan Komisaris Tinggi ditiadakan 2). Daerah Surakarta untuk sementara dijadikan daerah Karesidenan 3). Dibentuk daerah baru dengan nama Daerah Kota Surakarta Dijelaskan pula dalam Penetapan ini bahwa kekuasaan Swapraja sementara dibekukan, disebutkan bahwa: …………………………………. Sebelum bentuk susunan pemerintahan daerah Kasunanan dan Mangkunegaran ditetapkan dengan Undang-undang, maka daerah tersebut untuk sementara waktu dipandang merupakan suatu “Karesidenan”, dikepalai oleh seorang Residen, yang memimpin segenap pegawai Pamong Praja dan Polisi serta memegang segala kekuasaan, sebagai seorang Residen di Jawa dan Madura luar daerah Surakarta dan Yogyakarta ………………..33
Maklumat ini dengan tegas memutuskan, pembekukan Pemerintahan Swapraja dan mengangkat seorang Residen untuk menjalankan Pemerintahan. Mr. Iskaq Tjokroadisoerjo dilantik oleh Presiden sebagai Residen di Surakarta dengan wakil Jabatan sebagai Residen dipegang oleh Iskaq Tjokroadisuryo dan wakilnya Soediro. Iskaq Tjokroadisuryo dan Soediro setelah beberapa lama bertugas, akhirnya mampu menyelesai kan beberapa permasalahan, diantaranya : 1). Menghapus perbatasan daerah Kasunanan dan Mangkunegaran, serta Kota Surakarta yang baru terbentuk, terdiri dari bekas wilayah Kasunanan (selatan rel) dan bekas wilayah Mangkunegaran (utara rel). 2). Dibentuk dua kabupaten baru, yaitu Kabupaten Sukoharjo dan Kabupaten Karanganyar.
33
Ibid.
commit to user
89 digilib.uns.ac.id
perpustakaan.uns.ac.id
3). Pembentukan Dewan Perwakilan Rakyat untuk Daerah Surakarta dan untuk tiap-tiap kabupaten, dimana Dewan Perwakilan Rakyat bersama residen akan dipimpin oleh residen untuk mengatur pemerintahan sebaik mungkin. 4). Dewan Perwakilan Rakyat kabupaten dan kota Surakarta bersama bupati dan walikota berusaha menyelenggarakan urusan pemerintahan di kabupaten dan kota Surakarta sesuai dengan peraturan yang berlaku untuk seluruh Karesidenan Surakarta. Mereka harus selalu memberi laporan kepada residen dan wakil residen tentang segala sesuatu yang sudah dilaksanakan dan yang akan dilaksanakan. 5). Semua bekas pegawai Kasunanan dan Mangkunegaran dijadikan pegawai daerah otonom baru dan dinyatakan tidak berada lagi dibawah pimpinan Paku Buwana dan Mangkunegoro VII. Beberapa kebijaksanaan yang dibuat oleh Residen dan wakil residen tersebut pada hakikatnya bersifat konstruktif bagi perkembangan Surakarta untuk menjadikan daerah biasa dalam negara RI. Konsep tersebut disusun menuju kepada penghapusan struktur feodal dan menggantikan dengan struktur yang baru, demokratis sesuai UUD 1945. Melengkapi PP No. 16/ SD/ 1946 dan juga menyempurnakan pemerintahan yang berazaskan permusyawaratan dan perwakilan, Pemerintah Pusat pada 8 Agustus mengeluarkan Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang (Perpu) No. 8 tahun 1946 tentang Badan Perwakilan Rakyat di Daerah Surakarta, sehubungan dengan PP No. 16/ SD/ 1946 tentang pemerintahan di Daerah
commit to user
perpustakaan.uns.ac.id
90 digilib.uns.ac.id
Surakarta dan Yogyakarta, maka Residen Surakarta berdasar ketentuan Pasal 8 ayat 1 Perpu nomor 8 tahun Badan Perwakilan membentuk BPRD.34 Berdasarkan ketentuan Pasal 8 ayat (1) Perpu nomor 8 tahun 1946, maka dengan Surat keputusan Residen Surakarta tanggal 7 Agustus 1946 nomor 6 dibentuklah BPR Kota Surakarta dengan 50 anggota. Adapun ke-50 anggota BPR Kota Surakarta tersebut, terdiri dari unsure-unsur yang mewakili Partai-partai Politik, Gabungan Badan Perjuangan, Organisasi Wanita, Organisasi Pemuda dan Tokoh-tokoh Masyarakat di Surakarta. Penetapan mengenai jumlah 50 orang anggota BPR Kota Surakarta tidak didasarkan pada ketentuan Pasal 8 ayat (1) Perpu nomor 8 tahun 1946 tersebut, akan tetapi mengacu kepada ketentuan Undang-undang nomor 1 tahun 1945 khususnya Pasal 2 besera penjelasannya yang antara lain35 : 1. Komite Nasional Daerah berubah sifatnya menjadi BPRD diketuai Kepala Daerah yang tidak merupakan anggota Badan tersebut yang sekaligus tidak mempunyai hak suara. 2. Oleh Badan Pekerja Komite Nasional Pusat, jumlah anggota BPR ditetapkan sebanyak-banyaknya 100 orang untuk Karesidenan dan untuk Kota serta 60 orang.
34 35
Ibid.
Pemerintah Kota Surakarta, 50 Tahun Kotamadia Surakarta, (Surakarta: to user Pemerintah Surakarta: 1995), hlm.commit 56
91 digilib.uns.ac.id
perpustakaan.uns.ac.id
Ketentuan yang mengatur sebanyak-banyaknya 60 orang inilah kiranya yang dijadikan pertimbangan Residen Surakarta untuk menetapkan jumlah anggota BPR kota Surakarta sebanyak 50 orang. Dalam melaksanakan dan mengatur rumah tangga sendiri sesuai dengan Peraturan Pemerintah Daerah dan Peraturan Pemerintah Pusat, BPRD bersamasama dan dipimpin oleh Wali kotamadya memilih sebanyak-banyaknya 5 orang di antaranya anggota-anggota BPRD untuk duduk di Badan Eksekutif Pemerintah Daerah Kota Surakarta sebagai pelaksana pemerintah sehari-hari. Secara berurutan struktur pemerintahannya digambarkan sebagai berikut : Bagan 5 : Struktur Pemerintahan Karesidenan
Residen ---------- Wali Kota Madya
Badan Eksekutif
BPRD
Anggota
Keterangan: --------- : garis pengawasan : garis komando Pembagian jumlah Anggota Badan Perwakilan Rakyat Daerah Kota Surakarta, periode 7 Agustus 1946 sampai dengan 5 Juni 1947. Jumlah Anggota commit to user 50 orang terdiri dari 28 orang yang berasal dari kelompok Partai yaitu: terdiri atas:
92 digilib.uns.ac.id
perpustakaan.uns.ac.id
Masyumi: 6 orang, PNI: 5 orang. Parkindo: 2 orang, PKRI: 2 orang, PSI: 6 orang, Partai Rakyat: 2 orang, PKI: 3 orang, Partai Sosialis: 3 orang. Selain itu dari organisasi terdapat 6 orang yang berasal dari Kowani : 2 orang, GLPS: 2 orang, Kongres Pemuda: 2 orang. Sisanya ditunjuk sebanyak 15 orang, dan masih menyisakan kekosongan 1 orang.36 Tanggal 6 Agustus 1946 dengan keputusan Residen Surakarta tanggal 7 Agustus 1946 ditetapkan bahwa telah dibentuk susunan Dewan Perwakilan Rakyat Surakarta. Dewan Perwakilan Rakyat menggantikan kinerja KNI Daerah sebagai Badan Legislatif. Tanggal 6 Desember 1946 diangkat Gubernur Soetardjo Kartohadikusoemo untuk menjabat sebagai Residen di Surakarta, sedangkan walikotanya berkedudukan sejajar dengan seorang Residen. Hal ini mendapatkan persetujuan dari Pemerintah Pusat mengingat situasi dan kondisi politik Surakarta yang kacau balau. Walaupun pemerintahan daerah telah tersusun dari wakil-wakil berbagai golongan dalam BPR, keadaan Surakarta masih di warnai dengan konflik. Terdapat kelompok tertentu yang merasakan keberatan-keberatan terhadap diri Residen Mr. Iskaq Tjokroadisoerjo dan wakil Residen R. Soediro sebagai kelanjutannya pada tanggal 9 November 1946 mereka menculik Residen dan Wakil Residen. Sulit untuk menentukan dari golongan mana penculik tersebut. Meskipun demikian dapat diduga bahwa mereka berasal dari lawan politik kedua orang tersebut, yang mencoba untuk mengambil alih kekuasaan pemerintahan.
36
Ibid.
commit to user
93 digilib.uns.ac.id
perpustakaan.uns.ac.id
Mereka lalu mengangkat Soejas sebagai Residen dan Dasoeki sebagai Wakil Residen, namun tidak berlangsung lama. Pada tanggal 14 Nopember 1946 jabatan Walikota yang semula dirangkap Residen diserahkan kepada Sjamsuridjal. Selanjutnya pada tanggal 6 Desember 1946 Pemerintah Pusat mengengkat Soetardjo Kartohadikoesoemo sebagai Residen Surakarta. Oleh karena dinilai pro swapraja maka Kepala Daerah ini ditentang oleh BPRD dalam sidangnya 17 Februari 1947 sehingga dibebas tugaskan pada tanggal 27 Maret 1947. Di lain pihak Wakil Residen Soediro untuk sementara ditunjuk sebagai pemangku jabatan Kepala Daerah Karesidenan Surakarta, yang akhirnya dalam bulan Juli 1947 ditunjuk sebagai Residen Surakarta. Sedikit demi sedikit jalannya roda pemerintahan baik di kota Surakarta maupun Karesidenan Surakarta menjadi lancar. Residen Soediro memiliki tekad menjadikan Surakarta sebagai Karesidenan biasa dan bukan suatu daerah Istimewa ataupun Swapraja. Hal tersebut mendapat dukungan dari Dewan Perwakilan Rakyat Daerah yang memberikan mosi kepercayaan kepada Residen Soediro. Tugasnya diawali dengan menertibkan pegawai-pegawai sipil dengan memindahkan pegawai Mangkunegaran ke Kasunanan maupun sebaliknya, selain hal tersebut, Residen Soediro juga menertibkan barisan-barisan bersenjata, baik dari tentara resmi maupun badan-badan perjuangan bersenjata lainnya. Sekalipun sudah dibentuk BPRD Kota Surakarta, hal ini masih belum berarti bahwa kota Surakarta menjadi Daerah Otonom. Sebab urusan-urusan social, kesehatan, perekonomian dan pemerintahan daerah masih diatur oleh Pemerintah Karesidenan Surakarta.
commit to user
94 digilib.uns.ac.id
perpustakaan.uns.ac.id
Melihat kenyataan itu, maka gerakan anti swapraja masih meneruskan aksinya menuntut agar Kota Surakarta dijadikan kota otonom yang berada langsung di bawah Pemerintahan Pusat. Jika, Kota Surakarta dapat dijadikan kota otonom yang berada langsung di bawah Pemerintahan Pusat, maka hal ini akan mengakibatkan lepasnya kota Surakarta dari wilayah Karesidenan Surakarta dan akan menutup kemungkinan kraton berkuasa lagi. Ternyata tuntutan tersebut berhasil, yaitu ditandai dengan keluarnya Undang-undang No. 16 tahun 1947 tentang Pembentukan Haminte Kota Surakarta. Keputusan tersebut membuat diberlakukannya Pemerintahan Haminte Kota Surakarta sedangkan daerah sekitarnya dinyatakan sebagai daerah karesidenan. Daerah yang masuk sebagai daerah karesidenan seperti : Sukoharjo, Klaten, Wonogiri, Boyolali, Karanganyar dan Sragen, sedangkan Surakarta sendiri dipimpin oleh walikota . 2. Terbentuknya Haminte Kota Surakarta Kekuasaan kerajaan semakin melemah seiring dkeluarkannya UU No. 16 tahun 1947 tentang Pembentukan Haminte Kota Surakarta, yang menyatakan bahwa “Kota Surakarta ditunjuk sebagai daerah yang berhak mengatur dan mengurus rumah tangga sendiri dengan nama Haminte Kota Surakarta dengan daerah atau wilayah yang meliputi :37 a) Sebagian dari kabupaten Kota Kasunanan dan sebagian dari Kabupaten Kota Mangkunegaran.
37
Ibid., hlm. 36
commit to user
95 digilib.uns.ac.id
perpustakaan.uns.ac.id
b) Kelurahan Nusukan sebagaimana dimaksud Surat Keterangan Pemerintah Mangkunegaran tanggal 25 November 1942 nomor 186. c) Kelurahan-kelurahan Karangasem, Kerten, Jajar, Sumber dan Banyuanyar. d) Kelurahan-kelurahan Kadipiro dan Mojosongo.
Berdasarkan hal ini maka kekuasaan Karesidenan dihapus dan muncul lembaga walikota yang hanya mengurusi Kota Surakarta tanpa melakukan pengawasan terhadap wilayah Surakarta karena telah dbentuk kabupaten yang hingga kini tetap berdiri. Pada masa ini ditentukan pula batas-batas Kota Surakarta yang baru dimana diadakan penggabungan wilayah Mangkunegaran dan Kasunanan. Soediro ditunjuk sebagai walikota yang baru yang menandakan hancurnya wilayahnya Mangkunegaran dan Kasunanan. Pemerintah Daerah yang berhak mengatur rumah tangga sendiri tanpa dilengkapi DPRD ibarat dekonsentrasi kekuasaan belaka yang akan memperkuat otoritas penguasa. Maka dari itu sesuai dengan Undang-undang nomor 16 tahun 1947 tersebut, secara jelas diatur susunan Pemerintahan Haminte Kota Surakarta, urusan-urusan yang harus diserahkan, peraturan-peraturan lain yang berlaku untuk Haminte Kota Surakarta, serta ditetapkan jumlah anggaran untuk pertama kali sebesar 3.824.890. Berdasarkan Undang-undang No. 16 tahun 1947, Pemerintah Haminte Kota Surakarta terdiri dari tiga Organ, yaitu Dewan Perwakilan Rakyat Haminte Kota (Dewan Kota), Dewan Eksekutif Haminte (Dewan Pemerintah Kota) dan
commit to user
96 digilib.uns.ac.id
perpustakaan.uns.ac.id
Walikota. Susunan Pemerintah Haminte Kota Surakarta sesuai dengan Undangundang nomor 16 tahun 1947 adalah sebagai berikut38 : 1. Dewan Perwakilan Rakyat Haminte Kota yang disebut Dewan Kota. Dewan Kota ini terdiri dari : a. Walikota sebagai ketua b. Seorang wakil ketua merangkap wakil walikota yang dipilih oleh dan dari anggota Dewan Kota c. Lima puluh anggota Dewan Kota yang dipilih oleh penduduk Haminte Kota menurut Undang-undang pemerintah. 2. Dewan Eksekutif Haminte Kota yang disebut Dewan Pemerintah Kota, terdiri dari : a. Walikota sebagai ketua merangkap anggota b. Wakil Ketua merangkap Wakil Ketua Dewan Kota c. Lima puluh anggota yang dipilih oleh dan dari Anggota Dewan Kota.
38
Ibid., hlm. 56
commit to user
97 digilib.uns.ac.id
perpustakaan.uns.ac.id
Bagan 6 : Struktur Pemerintahan Haminte Kota Surakarta
Wali Kota
Dewan Kota
1
Dewan Pemerintah Kota
2
3
4
dst
Keterangan: : garis komando
: Jawatan-jawatan
Anggota dalam Dewan Kota yang berjumlah 50 orang tersebut adalah kumpulan dari berbagai kalangan demi terciptana demokrasi pada saat itu. Anggota-anggota tersebut berasal dari Partai sebanyak 31orang yang terdiri atas : Masyumi : 6 orang, PNI : 5 orang, Parkindo : 2 orang, PKRI : 2 orang, PKI : 3 orang, PBI : 5 orang, Partai Sosialis : 3 orang, PSI : 1 orang, PDR : 10 orang, Partai Murba : 2 orang, PSII: 1 orang. Sendangkan dari organisasi terdapat 10 orang, dan yang ditunjuk juga sebanyak 10 orang. Sebagai daerah yang diberi wewenang untuk mengatur dan mengurus rumah commit user16 tahun 1947, kepada Pemerintah tangga sendiri, sebagaimana ketentuan UUtoNo.
98 digilib.uns.ac.id
perpustakaan.uns.ac.id
Haminte Surakarta diserahkan 22 macam urusan untuk diatur dan diurus oleh Pemerintah Haminte Kota Suarakarta. Dalam pelaksanaan tugas sehari-harinya, Pemerintah Haminte Kota Surakarta membentuk Jawatan-jawatan sebagai pelaksana teknis Pemerintah Kota yang terdiri dari39 : 1) Jawatan Sekretariat Umum. 2) Jawatan Keuangan 3) Jawatan Pekerjaan Umum 4) Jawatan Sosial 5) Jawatan Kesehatan 6) Jawatan Perusahaan 7) Jawatan PD & K 8) Jawatan Pamong Praja 9) Jawatan Perekonomian 10) Biro Kontrolir Selain jawatan-jawatan tersebut, pada Jawatan Sekretariat Umum yang merupakan staf utama pelaksana pekerjaan Walikota serta sebagai pusat kegiatan Pemerintah Haminte Kota Surakarta, dibentuk unsur-unsur pendukung antara lain: 1) Kantor Tata Usaha 2) Kantor Urusan Perumahan 3) Kantor Personalia 4) Kantor Sekretariat DPRD 39
Ibid, hlm. 74
commit to user
perpustakaan.uns.ac.id
99 digilib.uns.ac.id
5) Bagia pusat perbekalan Dengan ditetapkannya pejabat-pejabat pemerintahan di daerah Surakarta lengkap dengan Dewan Perwakilan dan Badan Eksekutifnya masing-masing, maka sedikit demi sedikit jalannya pemerintahan menjadi lancar. Akan tetapi suasana ini berubah setelah ditandatanganinya Perjanjian Renville dan menjelang Pemberontakan Madiun, dan terjadinya pergolakan politik antara kekuatan social politik di Surakarta Setelah Perjanjian Renville kota Surakarta menjadi salah satu pusat pergolakan atau konflik antar kelompok social politik yang ada. Dalam keadaan yang semacam ini, rakyat umumnya menginginkan tindakan tegas dari pemerintah. Akan tetapi oleh karena pemerintah yang berkuasa saat itu telah banyak yang dipengaruhi oleh partai atau aliran tertentu maka tindakan tegas semacam itu tidak bisa dilaksanakan. Untuk mengatasi keadaan agar tidak berlarut-larut, maka pada tanggal 2 April 1948 Pemerintahan mengeluarkan maklumat resmi yang berbunyi sebagai berikut : Sejak beberapa lama, keamanan penduduk Surakarta dan sekelilingnya acapkali diganggu oleh pengacau-pengacau yang bersembunyi di belakang suatu golongan atau badan. Soal ini tidak terlepas dari perhatian pemerintah. Dan pemerintah insyaf pula, bahwa keadaan demikian tidak dapat dibiarkan merajalela. Agar supaya pembasmian anasir-anasir yang merugikan itu dapat dijalankan dengan cara yang tepat dan pada waktu masa ini pemerintah menganggap telah sampai waktunya untuk menjalankan pembersihan di atas. ………………………………………………………………………………… …… Pemerintah telah menunjuk instansi resmi yang diwajibkan menjalankan commit to user
perpustakaan.uns.ac.id
100 digilib.uns.ac.id
pembersihan yang dipimpin oleh Jaksa Tentara Agung. Di luar instansi tersebut lain-lain golongan atau pihak dilarang untuk campur dalam tindakan ini…..40 Meskipun telah dikeluarkan instruksi dari pemerintah, tetap saja ada golongan tertentu yang menggunakan kesempatan untuk menyerang lawan politiknya. Ini menunjukkan pemerintah yang belum stabil, dan dengan demikian belum mampu mengatasi keadaan yang berkembang. 3. Periode Pemerintah Darurat Militer Menghadapi situasi di kota Surakarta yang sedang kacau, Panglima Besar Soedirman mengeluarkan perintah harian yang menyatakan bahwa APRI adalah alat negara dan penjamin kedaulatan negara. Serangan terhadap alat negara akan dianggap sebagai serangan terhadap kedaulatan negara, dan selanjutnya atas saran dari Panglima Besar kepada Presiden RI selaku panglima tertinggi, setelah berunding dengan Kepala Staf Operasi Kolonel A.H. Nasution pada tanggal 16 September 1948 malam bersama Komandan Gatot Soebroto memutuskan satusatunya jalan untuk menyelesaikan perang saudara di Surakarta adalah menempatkan pimpinan yang tegas. Presiden Soekarno menyetujui dan kemudian mengangkat Kolonel Gatot Soebroto sebagai Gubernur Militer Surakarta yang berwenang atas semua alat negara serta berhak sepenuhnya menjalankan tugastugas Dewan Pertahanan Negara.
40
A. H. Nasution, Sekitar Perang Proklamasi Jilid 3, (Bandung: Angkasa, commit to user 1978), hlm. 217
101 digilib.uns.ac.id
perpustakaan.uns.ac.id
Bertepatan dengan kedatangan Gubernur Militer Kolonel Gatot Soebroto di Surakarta pada 18 September 1948, dan mulai terdesaknya pasukan FDR/PKI dalam pertempuran-pertempuran di Surakarta, PKI kemudian melakukan pemberontakan di Madiun. Pemberontakan itu selanjutnya memberikan kejelasan bagi Kolonel Gatot Soebroto bahwa insiden-insiden yang terjadi di Surakarta didalangi oleh PKI. Tindakan yang pertama kali dilakukan oleh Gubernur Militer adalah menginstruksikan
semua kekuatan bersenjata di Surakarta untuk
menghentikan tembak-menembak selambat-lambatnya tanggal 20 September 1948 jam 24.00, dan keesokan harinya semua komandan pasukan yang saling bermusuhan harus melaporkan diri, dan mereka yang tidak melapor akan dianggap pemberontak. Keadaan di kubu FDR/PKI adalah melakukan perebutan kekuasaan yang dilakukan oleh Sumarsono, seorang pemuda pimpinan Pesindo, Kolonel Joko Suyono, Komandan Brigade XXIX Letnan Kolonel Dachlan. Perebutan kekuasaan itu didukung oleh kesatuan-kesatuan dari Brigade XXIX, bagian TNI yang telah masuk ke dalam kekuatan tempur FDR/PKI. Pendukung tersebut mengangkat Gubernur Militer, Komandan Komando Militer Daerah, dan Residen baru yang berasal dari FDR/PKI.41 Presiden Soekarno setelah itu menyatakan bahwa PKI Muso telah mengadakan coup dan mengadakan perampasan kekuasaan di Madiun yang dipandang sebagai permulaan merebut seluruh Pemerintah RI dan Presiden
41
Himawan Soetanto, Yogyakarta 19 Desember 1948, (Jakarta : PT Gramedia Pustaka Utama, 2006), commit hlm 199.to user
perpustakaan.uns.ac.id
102 digilib.uns.ac.id
Soekarno juga menginstruksikan untuk segera merebut Madiun dari perampasan FDR/PKI. Pernyataan tegas Presiden Soekarno tersebut disusul denagan instruksi Panglima Besar Soedirman tanggal 19 September 1948 yang berintikan menetapkan Kolonel Soengkono sebagai Gubernur Militer Jawa Timur, menunjuk Kolonel Gatot Soebroto sebagai Gubernur Militer Jawa Tengah, serta menugaskan Brigade Sadikin untuk menyerbu Madiun dan menghancurkan PKI Muso. Perang Kemerdekaan Indonesia memberi pengalaman yang sangat berharga kepada Bangsa Indonesia. Belanda melancarkan perang terhadap Indonesia dengan tujuan politiknya untuk mengembalikan kekuasaan Kolonialnya di Indonesia yang saat itu sudah merdeka. Agresi militer ke-II Belanda yang direncanakan untuk mengeakhiri eksistensi RI dan menghancurkan angkatan bersenjatanya, justru gagal dan tidak mampu menandingi Perang Rakyat Semesta yang dilancarkan pihak RI. Jika sebelumnya Belanda yang mengepung dan menyerang, dalam Perang Rakyat Semesta terbalik menjadi yang dikepung dan yang diserang. Perang Rakyat Semesta yang bersumber pada Perintah Siasat No.1 itu merupakan perlawanan total di segala bidang, termasuk daerah pendudukan Belanda.42 Adanya Pemerintah Kota Surakarta pada waktu itu merupakan Pemerintah Gerilya dalam kota yang diduduki Belanda dan bertindak pula sebagai Pemerintah Militer yang mengemban kekuasaan Negara RI yang berada dalam keadaan perang. 42
Paguyuban Para Pelaku Pemerintah R.I. Balai Kota Surakarta., Perjuangan Gerilya Membela Kemerdekaan Negara dan Bangsa, (Jakarta : commit to user Paguyuban Para Pelaku Pemerintah R.I. Balai Kota Surakarta, 1995), hlm. 11-12
103 digilib.uns.ac.id
perpustakaan.uns.ac.id
Mengingat di Surakarta, Belanda sudah mulai membentuk pemerintahan pre-federal termasuk Swapraja Kasunanan dan Mangkunegaran, maka diputuskan untuk secepatnya membentuk pemerintahan RI di Kota Surakarta yang diduduki Belanda. Berdasarkan Surat Keputusan Mentri Dalam Negeri RI dr. Soekiman tanggal 24 Januari 1949, Soediro selaku Residen Surakarta yang ditugasi merangkap menjalankan tugas Walikota Surakarta yang kosong pada`waktu itu.43 Karena Residen Soediro berkedudukan di luar Kota Surakarta, dengan persetujuan Mayor Achmadi sebagai Komandan SWK 106 Arjuna, maka berdasarkan Surat Keputusan Residen Surakarta No 3a/ Dar/ 1949 tertanggal 26 Januari 1949 diangkat Soedjatmo Hardjosoebroto sebagai fd Walikota Surakarta.44 Soedjatmo sendiri memiliki wewenang untuk membentuk dan melaksanakan tugas Pemerintah Republik Indonesia di dalam Kota Surakarta yang sedang diduduki Belanda. Untuk membantu pembentukan pemerintah yang dimaksudkan, Mayor Achmadi menugasi Soeharyo Soeryopranoto selaku PUT (Perwira Urusan Teritorial). Selain itu juga menugasi Rayon V yang dipimpin oleh Lettu RM. Hartono untuk menjadi pendukung Pemerintah RI Balaikota Surakarta. Adanya sebutan “Balai Kota” pada Pemerintahan Surakarta masa itu karena untuk
menampakkan
suatu
identitas
dan
eksistensi
dari
pembentukan
pemerintahan di Surakarta yang pada masa itu sedang diduduki oleh Belanda. Maka dari itu tugas Pemerintah RI Balai Kota Surakarta di daerah pendudukan
43
Sekedar uraian tentang Swapraja Surakarta setelah Proklamasi Sosial, (Surakarta : Ungu, 1990), hlm. 16 commit to user 44 fd singkatan dari fungerend= pj yang artinya pemangku jabatan.
perpustakaan.uns.ac.id
104 digilib.uns.ac.id
Belanda itu memiliki kekhasan tersendiri dibandingkan kota lain, baik dalam cara pelaksanaannya serta lingkup tugasnya. Hal ini terlihat dari awal pembentukannya, dimana pemerintahan atau organisasi yang akan mengangkat seorang pejabat sudah memiliki kelengkapan atau kesiapan, tetapi tidak untuk pemerintah Balai Kota Surakarta. Setiap bagian dalam pemerintahan dibangun mulai nol dengan mengangkat seluruh pejabat mulai dari Lurah hingga ke Kepala Jawatan. Pada awal pembentukannya Pemerintah Balai Kota Surakarta berbentuk organisasi sederhana yang baik secara horisontal maupun vertikal dapat melaksanakan tugasna dengan baik. Secara Horisontal struktur pemerintahan Surakarta yaitu terdiri dari45: Walikota, Wakil Walikota I dan II, Sekretaris, Ajudan serta para Kepala Jawatan, Kepala Jawatan Pamong Praja dan Wakilnya, Kepala Jawatan Keuangan, Kepala Jawatan Kemakmuran,, Koordinator Perekonomian (Koper), Kepala Jawatan sosial dan Kesehatan, Kepala Jawatan Penerangan, Kepala Jawatan Pekerjaan Umum (PU), Kepala Jawatan Pengawas Jawatan, Kepala Jawatan Pendidikan dan “Braintrust” yaitu suatu forum nonlembaga yang bertugas membantu dibidang perekonomian dan kemakmuran.
45
15
Paguyuban para Pelaku Pemerintah R.I Balai Kota Surakarta, op.cit., hlm. commit to user
105 digilib.uns.ac.id
perpustakaan.uns.ac.id
Bagan 7 : Pemerintah Darurat Militer 1947
Wali Kota
Wakil Walikota
Sekretaris
Ajudan
1
2
3
4
5
Keterangan: : garis Komando : jawatan-jawatan Sedangkan secara vertikal, wilayah Surakarta terdiri dari 5 (lima) Kaoenderan atau Onderdistrik (kecamatan) yang membawahi 44 kelurahan, yaitu46 : a. Kaoenderan Jebres : membawahi 10 kelurahan; b. Kaoenderan Pasar Kliwon : membawahi 9 kelurahan; c. Kaoenderan Serengan : membawahi 7 kelurahan; d. Kaoenderan Laweyan : membawahi 8 kelurahan; e. Kaoenderan Banjarsari : membawahi 10 kelurahan; 46
Ibid., hlm.15-16
commit to user
106 digilib.uns.ac.id
perpustakaan.uns.ac.id
f. Sebagai kepala Kaoenderan adalah Asisten Wedana (Camat). Dalam menjalankan tugas pemerintahan pun tidak dapat dilakukan secara terbuka harus tertutup (covered), agar terjamin keamanannya karena hal ini merupakan keharusan dalam operasi gerilya untuk menghindari deteksi oleh Belanda. Tugas`pokok dari Pemerintahan RI Balai Kota Surakarta pada masa pendudukan Belanda adalah mempertahankan eksistensi Pemerintahan republik Indonesia secara de-facto dalam Kota Surakarta untuk menggagalkan segala upaya Belanda membentuk Pemerintahan pre-federal termasuk pemerintah Swapraja Kasunanan dan Mangkunegaran. Sedangkan berbagai tugas dan aktivitas khusus guna mendukung terlaksananya tugas pokok antara lain 47: a. Bidang Pamong Praja, dimana pemerintah dapat menguasai 5 (lima) Kaoenderan dan 44 Kelurahan yang membuat lumpuhnya pemerintahan Swapraja Kasunanan dan Mangkunegaran. b. Bidang Keuangan, Perekonomian dan Kemakmuran menghimpun dana untuk pembiayaan perjuangan, menyelamatkan kekayaan R.I di dalam kota Surakarta. c. Bidang Sosial dan Kesehatan, meskipun sangat terbatas kemampuannya, melakukan perawatan anggota yang sakit, gugur atau meninggal termasuk anggota Rayon V. Menyantuni para pegawai RI yang non-koperasi (tidak bekerja menjadi pegawai Belanda dan Swapraja.
47
Ibid., hlm. 26-28
commit to user
perpustakaan.uns.ac.id
107 digilib.uns.ac.id
d. Bidang Penerangan, untuk menangkis propaganda Belanda, melalui pamflet atai poster dan pernah menerbitkan 3 (tiga) majalah yang diberi nama Pancasila, 17 Agustus 1945 dan Yuddha. e. Bidang Pekerjaan Umum (PU), khusus untuk membantu operasi tempur membuat ranjau, bom tarik dan sumbu. f. Bidang “Braintrust”, kelompok pemikir yang terutama membantu bidang Perekonomian dan Kemakmuran. g. Bidang Kurir, terutama yang dilakukan oleh para kurir wanita yang besar jasanya dalam pengiriman surat/ dokumen rahasia dengan cara membawa yang unik dan aman. h. Bagian Pemuda, dikepalai Mulyomiadji dengan tugas menghimpun atau memobilisasi Pemuda untuk mendukung kegiatan Pemerintah Balai Kota Surakarta. Disamping tugas tersebut di atas, terdapat aksi-aksi khusus yang dilakukan oleh Pemerintah Surakarta pada saat itu demi mempertahankan eksistensinya. Seperti melakukan perang urat syaraf (psywar) untuk menurunkan moril tentara Belanda dan pegawai federal dengan penyebaran pamflet, poster yang di tempel di tempat-tempat strategis. Hal meningkat semangat juang pasukan sendiri dan rakyat secara umum yang membaca poster tersebut. Ditambah lagi dengan tersebarnya berita mengenai keberhasilan perjuangan militer dan politik diplomasi RI yang menangkis kebohongan propaganda Belanda. Adanya bantuan pasukan Rayon V, dapat menjamin kehidupan masyarakat yang aman dan tertib karena menanggulangi merajalelanya perampok commit to user
perpustakaan.uns.ac.id
108 digilib.uns.ac.id
(gedor/grayak) yang meresahkan masyarakat. Pasukan Rayon V juga melakukan infiltrasi yaitu dengan menyusupkan agen sendiri ke dalam instalasi militer ataupun sipil Belanda. Hal ini memberikan hasil yang memuaskan, karena berhasil mendapat informasi mengenai identitas orang yang menjadi mata-mata Belanda sehingga dapat segera di eliminir. Para kawan yang tertangkap oleh militer Belanda dapat dibebaskan, selain itu dapat membuat satu kompi tentara bentukan Belanda TBS (Teritorial Batalyon Surakarta) berpihak ke Pemerintah Surakarta serta dengan membawa 100-an pucuk senjata. Memperoleh informasi mengenai rencana operasi militer Belanda, serta terus melancarkan perang urat syaraf (psywar) untuk mengelabui gerakan Militer Belanda. 4. Periode Pemerintah Kota Besar Surakarta Berdasarkan Peraturan Pemerintah nomor 39 tahun 1950 tentang Pembentukan Dewan Perwakilan Rakyat Daerah Sementara dan Dewan Pemerintahannya untuk seluruh daerah Indonesia, maka ada 2 hal yang mengubah Tata Susunan DPRD yang sudah ada. Hal ini dapat dilihat pada ketentuan yang menyatakan bahwa48 : 1. PP nomor 10 tahun 1950 dan Perpu nomor 2 tahun 1950 yang belum disahkan oleh Pekerja Komite Nasional Pusat, dicabut. 2. Semua DPRD yang telah ada pada saat terbentuknya DRPD menurut peraturan ini, dibubarkan. Bertitik tolak pada ketentuan ini, maka BPRD Haminte Kota Surakarta yang beranggota 50 orang harus disesuaikan dengan ketentuan Pasal 1 ayat (1) yang menyatakan bahwa: Jumlah ini 48
commit to hlm. user 57 Pemerintah Kota Surakarta., op.cit,
109 digilib.uns.ac.id
perpustakaan.uns.ac.id
masih bisa ditambah dengan jumlah anggota yang diperoleh menurut Pasal 5 ayat (4) dan (5) peraturan dimaksud. Jadi dengan ditetapkannya PP nomor 39 tahun 1950 tentang pembentukan DPRDS dan Dewan Pemerintahannya untuk seluruh Indonesia membawa perubahan-perubahan sebagai berikut : a. Istilah DPRD Haminte Kota Surakarta berubah menjadi DPRDS Kota Besar. b. Jumlah anggota DPRD dari 50 orang, mengalami penurunan menjadi 33 orang yang terdiri: (1) 21 orang anggota menurut ketentuan Pasal 1 ayat (1) (2) 12 orang anggota menurut ketentuan Pasal 5 ayat (4) dan (5). Sebelum semua Pemerintah Daerah memiliki DPRDS sebagaimana ketentuan PP nomor 3 tahun 1950 terbentuk, di tingkat Pusat pada tanggal 19 Januari 1951 DPRD mengalami mosi S.Hadi Koesoemo dan kawan-kawan yang menghandaki dicabutnya PP nomor 39 tahun 1950 dengan pertimbangan bahwa PP tersebut tidak tepat untuk Indonesia yang berlainan corak dan sifatnya, tidak demokratis
dan
menimbulkan
keadaan
politik
yang
tidak
dapat
dipertanggungjawabkan. Mosi dari S. Hadi Koesoemo dan kawan-kawan diterima DPR dalam sidangnya tanggal 22 Januari 1951 dengan perbandingan suara 76 lawan 48. Karena Menteri Dalam Negeri tidak mau menjalankan atau melaksanakan mosi ini, maka Mentri Dalam Negeri mengundurkan diri dan didukung oleh Kabinet. commit to user
110 digilib.uns.ac.id
perpustakaan.uns.ac.id
Akhirnya Kabinet yang dipimpin M. Nasir meletakkan jabatan tanggal 20 Maret 1951. Dengan mundurnya Kabinet, pada akhir April 1951 terbentuklah Kabinet Soekiman Soewirjo dengan program akan mempercepat terlaksananya otonomi daerah. Mengenai pelaksanaan mosi S. Hadi Koesoemo, dalam program Kabinet Soekiman menjanjikan akan segera mencabut PP 39 tahun 1950 dengan berpedoman anta lain49 : a. Sebelum DPR dan DPRD hasil Pemilu terbentuk, maka DPRDS yang dibentuk PP 39 tahun 1950 akan diganti DPRD-DPRDS menurut peraturan baru sebagai pengganti PP 39 tahun 1950. b. Selama DPRS/DPRDS yang dibentuk dengan Peraturan baru pengganti PP 39 tahun 1950, maka DPRS/DPRDS hasil PP 39 tahun 1950 dapat bekerja terus. c. Kemudian menteri Dalam Negeri Mr. Iskaq Tjokro Hadi Koesoerjo dengan instruksi nomor Des. 1/9/25 tanggal 30 April 1951 menetapkan bahwa DPRDS yang telah terbentuk berdasarkan PP 39 tahun 1950 tetap menjalankan tugasnya sampai berakhirnya masa jabatannya pada tahun 1956. Dan oleh karena PP 39 tahun 1950 telah dibekukan dan Undangundang nomor 7 tahun 1950 dianggap sudah tidak sesuai lagi, maka Peraturan Perundang-undang yang baru belum terbentuk, maka dengan Undang-Undang nomor 7 tahun 1956 ditetapkanlah perpanjangan jangka
49
Ibid.
commit to user
111 digilib.uns.ac.id
perpustakaan.uns.ac.id
waktu masa kerja DPRDS yang terbentuk berdasarkan PP nomor 39 tahun 1950. Semakin meningkatnya stabilitas Negara Republik Indonesia dan semakin meningkatnya beban tugas dari Pemerintah Republik Indonesia, maka pemerintah memandang perlu
untuk
mengambil
langkah-langkah
agar
pelaksanaan
pemerintahan di Indonesia lebih efektif dan efisien, dengan pertimbangan bahwa Pemerintah Daerah semakin berkembang dan mampu untuk melaksanakan sebagian tugas dari Pemerintah Pusat, maka ditetapkan UU nomor 16 tahun 1950 yang isiny menetapkan urusan-urusan atau sebagian urusan yang diserahkan kepada Pemerintah Daerah untuk jadi urusan rumah tangga daerah. Bagan 8 : Struktur Pemerintahan Periode Kota Besar Surakarta Wali Kota
DPRD S
DPU
Urusan-urusan
Keterangan: : garis Komando : urusan-urusan
commit to user
112 digilib.uns.ac.id
perpustakaan.uns.ac.id
Urusan-urusan yang diserahkan kepada Pemerintah Daerah berdasarkan UU nomor 16 tahun 1950 tersebut antara lain adalah50 : a. Urusan umum (tata usaha) b. Urusan Pemerintah c. Urusan Agraria d. Urusan Pengairan e. Urusan Pertanian, perikanan dan koperasi f. Urusan Kehewanan g. Urusan Kerajinan, Perdagangan Dalam Negeri dan Perindustrian h. Urusan Perburuhan i. Urusan Sosial j. Urusan pembagian (distribusi) k. Urusan penerangan l. Urusan Pendidikan, Pengajaran dan Kebudayaan m. Urusan Kesehatan n. Urusan Perusahaan Secara perlahan dan pasti Pemerintah Daerah Surakarta, semakin memantapkan langkahnya dalam mengatur Pemerintahannya dan masyarakatnya. Meskipun masih ada masalah mengenai ke absahan dari pembentukan Pemerintah Daerah Surakarta oleh para pendudkung Swapraja. Tetapi sejak dikeluarkannya pasal 18 ayat 5 Undang-undang No. 22/1948 yang menyatakan bahwa “Kepala Daerah Istimewa diangkat oleh Presiden dari keturunan keluarga, yang berkuasa 50
Ibid., hlm. 36-37
commit to user
perpustakaan.uns.ac.id
113 digilib.uns.ac.id
dizaman sebelum republik Indonesia dan yang masih menguasi daerahnya”, maka dari itu, secara otomatis hapuslah kekuasaan Swapraja Kasunanan dan Mangkunegaran. Selama tidak adanya perubahan pada pasal tersebut maka Pemerintah Daerah Surakarta tetap berkuasa sebagai pemerintahan yang sah. Sejak tanggal 15 Juli 1946, dengan dikeluarkannya Penetapan Pemerintah No. 16/SD tahun 1946 sebagai tindakan sementara, Kepala Daerah Swapraja secara de facto tidak lagi memegang kekuasaan Kepala Daerah. Tetapi perlu diperjelas bahwa hal ini merupakan persetujuan antara kedua Swapraja untuk mengatasi ketegangan yang terjadi pada saat itu. Ketika rancangan Undangundang No. 22 tahun 1948,51 yang pada pokoknya adalah memberikan dasar-dasar pemerintahan daerah (otonom) di seluruh Indonesia. Hal ini dibicarakan oleh Badan Pekerja Komite Nasional Indonesia Pusat, S.P. Paku Buwana XII telah mengajukan surat yang berisi pendapat dan usul untuk diadakan perubahanperubahan dalam Rancangan Undang-undang tersebut. Setelah itu dengan diberlakukannya Undang-undang No. 22 tahun 1948 yang membagi habis daerahdaerah di Surakarta menjadi daerah otonom. Begitu juga dengan dibentuknya Pemerintah Daerah Surakarta yang telah berjalan dan pada awal pembentukannya telah memberi sumbangsihnya dalam mempertahankan eksistensi Pemerintah Pusat yang tercermin dari stabilitas Pemerintah Daerah itu sendiri. Hal ini juga menjadi titik balik dimana Birokrasi Tradisional (Swapraja) terhapus dan digantikan dengan Birokrasi Modern yang ditandai dengan terbentuknya Pemerintah Daerah Surakarta yang berkuasa secara 51
commit to user Dr. Sri Juari Santosa, Op.cit. Hal.158
114 digilib.uns.ac.id
perpustakaan.uns.ac.id
otonom sesuai dengan Undang-undang yang mengaturnya. Terbentuknya Pemerintahan ini juga atas kehendak masyarakat Surakarta yang menginginkan Pemerintah Demokratis, yang sesuai dengan perkembangan zaman pada saat itu dan mencerminkan Negara Kesatuan Republik Indonesia.
commit to user
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id
BAB IV DAMPAK DARI TERNBENTUKNYA BIROKRASI MODERN DI SURAKARTA
Masyarakat modern mengenal konsep atau sistem politik demokrasi. Inti dari demokrasi adalah pemerintahan dari rakyat oleh rakyat dan untuk rakyat. Dari keterangan singkat itu tertangkap bahwa subjek demokrasi adalah rakyat, yang menentukan arah dan tujuan negara. Mereka juga memilih siapa yang diserahi tugas untuk mengantarkan mereka mencapai tujuannya. Karena jumlah rakyat begitu besar, maka mereka membentuk perwakilan lewat pemilihan umum yang berlangsung secara bebas dan rahasia. Agar pemerintahan yang dibentuk sungguh-sungguh menyelenggarakan kepentingan mereka, maka demokrasi menuntut adanya keterbukaan terhadap kontrol
sosial.
Berbagai
sarana
demokrasi
dapat
menjadi
alat
bagi
berlangsungnya kontrol sosial itu, seperti DPR, Parpol, Ormas, Pers. Untuk dapat menyelenggarakan kepentingan rakyat banyak, pemerintah membagi wilayah Indonesia dalam sekian banyak propinsi, kabupaten, kotamadya, kecamatan, kelurahan, dan seterusnya. Untuk menjaga keamanan dan pertahanan pemerintah mempunyai tentara dan polisi. Semua itu merupakan aparat birokrasi. Dalam sejarah perkembangannya di awal kemerdekaan yang dimulai dari periode Badan Perwakilan Rakyat, Haminte Kota Surakarta hingga menjadi commit to user Pemerintah Kota Surakarta hingga saat ini memang banyak terjadi perubahan 115
perpustakaan.uns.ac.id
116 digilib.uns.ac.id
struktur di dalam pemerintahannya. Di bentuknya Pemerintah Kota Surakarta ini sepenuhnya dimulai dari nol, bukan merupakan perubahan dari birokrasi Swapraja yang telah ada melainkan benar-benar dibentuk suatu Pemerintahan baru yang lebih Modern dan tentu saja dalam penentuan jabatan tidak berdasarkan atas garis keturunan melainkan dari kecakapan tiap-tiap orang. Terbentuknya pemerintahan modern di Surakarta tentu memberikan berbagai dampak. Beberapa dampak yang terlihat adalah dari system pemerintahan itu sendiri yang sudah tidak lagi menggunakan bentuk pemerintahan Tradisional melainkan sudah berbentuk pemerintahan modern. Di awal berdirinya pemerintahan modern di Surakarta, pegawai yang bekerja adalah gabungan dari pegawai Kasunanan dan Mangkunegaran. Sesuai keputusan Mentri Dalam Negeri bahwa dengan berlakunya PP No. 16/SDN 1946 dengan dibentuknya Karesidenan maka untuk sementara pemerintahan dijalankan oleh Pemerintah Daerah yang pegawainya terdiri dari pegawai Mangkunegaran dan Kasunanan serta anggota KNID Surakarta.1 Terhapusnya birokrasi tradisional dengan dbentuknya birokrasi modern memberikan peluang bagi masyarakat umum untuk ikut berpartisipasi dalam bidang politik. Masyarakat yang tidak memiliki hubungan kekerabatan dengan keraton dapat masuk menjadi pegawai pemerintahan sesuai dengan keahlian yang dimilikinya. Karena demi mewujudkan pemerintahan yang demokratis maka yang
1
Maklumat Perdana Mentri Dalam Negeri No. 1 tentang status kepegawaian di Kasunanan dan Mangkunegaran, arsiptoreksa commit user pustaka, catalog Mangkunegaran VIII volume 3, No. 956.
perpustakaan.uns.ac.id
117 digilib.uns.ac.id
masuk kedalam jajaran pegawai adalah dari berbagai partai dan kelompokkelompok kelaskaran.2 A. Lembaga Peradilan Kelompok-kelompok atau kelas-kelas sosial dalam masyarakat mudah menjadi basis timbulnya konflik-konflik sosial politik. Kelas-kelas sosial ini dapat mendasari pertentangan, pergolakan maupun konflik yang cenderung bersifat menonjolkan primordialisme dan faksionalisme. Unsur kepentingan kelas atau kelompok sering mempengaruhi jalannya suatu peristiwa sejarah yang terjadi. Konflik-konflik sosial politik pada masa revolusi dapat muncul antara kaum konservatif dengan progresif, sosialis-komunis dengan nasionalis-agama, politisi dan militer, kaum tua dan kaum muda, dan aristokrat feodal dengan demokrasi kerakyatan. Dalam pola atau struktur konflik itu, ideologi juga berperan penting untuk mempertajam jurang perbedaan dan kepentingan antar kelompok yang bertikai.3 Konflik sosial politik di daerah Surakarta sebenarnya telah ada sejak awal kemerdekaan. Kevakuman kekuasaan pada awal revolusi mengundang terjadinya konflik kepentingan kelompok yang ada. Hukum sebab akibat berlakulah teori, ada aksi menimbulkan reaksi. Sejak ditetapkannya Surakarta sebagai Daerah Istimewa atau Swapraja oleh pemerintah RI di pusat pada 19 Agustus 1945, maka segera timbul reaksi dari para pejuang kemerdekaan di Surakarta
2
Paguyuban para Pelaku Pemerintah RI Balai Kota Surakarta dalam Pendudukan Belanda, 1995, hlm. 48 3 Suyatno Kartodirdjo, Revolusi Nasional di Tingkat Lokal, (Jakarta: Depdikbud, Direktorat Sejarah dan Nilai Tradisional, 1989) hal. 47. commit to user
perpustakaan.uns.ac.id
118 digilib.uns.ac.id
dari berbagai kelompok. Ketetapan tersebut yang kemudian diperkuat oleh adanya maklumat raja di Surakarta tertanggal 1 September 1945 tentang seruan kepada seluruh penduduk Surakarta untuk loyal menerima ketentuan status Daerah Istimewa bagi kedua kerajaan di Surakarta itu. Hal ini tampaknya dianggap bersifat bertolak belakang dengan semangat kemerdekaan atau revolusi. Sejak awal 1945 secara nyata mulailah periode konflik sosial politik, berupa gerakan-gerakan anti-Swapraja untuk menghapus Daerah Istimewa, gerakan untuk mengganti Susuhunan Pakubuwono XII, dan gerakan untuk merubah peraturan Daerah Istimewa/ Swapraja yang tidak cocok dengan zamannya.4 Gerakan-gerakan ini juga berdampak luas, misalnya perebutan pengaruh, penculikan, dan insiden bersenjata. Hal itu dapat terlihat dengan munculnya kelompok anti swapraja dan kelompok pecinta swapraja. Adanya keadaan ekonomi yang buruk menambah menjadi rumit. Keadaan yang kacau itu meninbulkan perasaan anti imperialism dan anti feodalosme.5 Perasaan ini timbul karena balas dendam yang ditujukan kepada pihak yang pernah membuat sengsara penduduk Surakarta. Perasaan balas dendam merupakan akibat dari depresi yang dialami oleh penduduk Surakarta. Menurut Samuel Stauffer bahwa deprivasi merupakan berkaitan dengan kedaan psikologi seseorang yaitu perasaan membandingkan antara dirinya / kelompok dengan kelompok / dirinya orang lain. Deprivasi bersifat relative ditentukan melalui pembanding, antara lain keadaan masa 4
Suara Merdeka, 20 Februari 1983. Julianto Ibrahim, Bandit dan Pejuang di Simpang Bengawan : Kriminalitas dan Kekerasan Masa Revolusi di Surakarta, (Yogyakarta : Bina commit to user Citra Pustaka,2004), halaman 9 5
perpustakaan.uns.ac.id
119 digilib.uns.ac.id
lampau dibandingkan dengan keadaan masa sekarang, keadaan masa sekarang dibandingkan dengan keadaan masa mendatang, dan keadaan suatu pihak di masa kini dibandingkan dengan keadaan pihak lain di masa kini.6 Teori dari Samuel Stauffer dapat digunakan untuk menganalisa terjadinya tindak kriminal di Surakarta masa revolusi. Pembandingan keadaan terjadi pada masa revolusi 1945, penduduk Surakarta membandingkan keadaan mereka dengan keadaan golongan kerajaan. Penderitaan masa lampau dan masa revolusi dengan perasaan akan lebih menderita bila golongan kerajaan berkuasa lagi, membuat konflik sosial terjadi. Perasaan pembanding tersebut ditunjang dengan adanya keadaan untuk melakukan konflik. Adanya struktur sosial (penduduk biasa dan elit kerajaan), depresi ekonomi dan suhu perpolitikan yang panas, munculnya keyakinan tentang revolusi total dari Tan Malaka, munculnya kelompok anti swapraja dan pro swapraja setelah adanya pemberian otonomi kepada kedua kerajaan di Surakarta, munculnya pimpinan radikal seperti Dr. Moewardi, Amir Sjarifuddin, Aidit dan lainnya serta adanya media seperti partai politik seperti Barisan Banteng, Pesindo, GRR dan lainnya. Keadaan tersebut menurut Neil Smelser dapat menimbulkan suatu gejolak aksi sosial. Perasaan untuk balas dendam dan didukung dengan keadaan sangat mudah untuk melakukan aksi sosial dimanfaatkan oleh pengacau keamanan untuk melakukan tindak kriminal. Para pengacau keamanan menggunakan keadaan itu
6
Anhar Gonggong, Abdul Qahhar Muzakar : Dari Pejuang Sampai Pemberontakan, (Jakarta : Gramedia Widiasarana Indonesia,1992), halaman 8 commit to user
perpustakaan.uns.ac.id
120 digilib.uns.ac.id
untuk mendapatkan dukungan dari rakyat. Dukungan rakyat akan membantu para pengacau keamanan dalam menjalankan aksinya. Seperti halnya masa sebelum revolusi para penjahat selalu mendapat dukungan dari rakyat karena mempunyai tujuan dan musuh yang sama. Pada masa Hindia Belanda, tindak kriminal dianggap oleh penduduk Surakarta sebagai teman bahkan dianggap sebagai pahlawan. Korban dari tindakan criminal merupakan musuh dari penduduk seperti perusahaan asing, pamong praja dan lainnya. Penduduk selalu melindungi para penjahat saat dikejar oleh polisi begitu juga sebaliknya panjahat akan memberikan sebagian hasil untuk diberikan kepada rakyat bahkan para kepala penjahat(benggol) merupakan kepala desa.7 Kriminalitas yang terjadi saat revolusi fisik dan masa Hindia Belanda tidak jauh berbeda. Tindak criminal berupa penggedoran mempunyai persamaan dengan tindak perkecuan. Penggedoran dan perkecuan merupakan kejahatan berbentuk perampokan yang dilakukan dengan berkelompok. Gedor dan kecu dipimpin oleh seorang benggol yang mempunyai kelebihan tertentu daripada anak buahnya, seperti belut putih (suatu ilmu agar dapat menghilang pada saat akan ditangkap).8 Begal dan kecu dalam menjalankan aksinya selalu menggunakan senjata dan bahkan tidak segan-segan melukai korbannya. Keadaan kacau saat revolusi fisik menguntungkan bagi para penjahat untuk melakukan kejahatan. Kriminalitas yang terjadi di Surakarta dapat dikategorikan
7
Suhartono, Apanage dan Bekel, Perubahan Sosial di Pedesaan Surakarta 1830 – 1920, (Yogyakarta: Wacana,1991), halaman 155 commitTiara to user 8 Ibid, hlm 154
121 digilib.uns.ac.id
perpustakaan.uns.ac.id
dua
bentuk.
Bentuk
pertama
merupakan
kriminalitas
yang berbentuk
penggedoran atau perampokan, yang dilandasi perekonomian. Bentuk kedua merupakan kriminalitas yang berbentuk penculikan dan pembunuhan yang dilandasi politik. Pada awal revolusi di Surakarta krimminalitas yang terjadi tidak begitu banyak namun waktu terjadi agresi kedua, kriminalitas bertambah. Pelaku kejahatan dilakukan oleh berbagai macam latar belakang, dari orang miskin, anak muda bakan dari pihak TNI (Tentara Nasional Indonesia). Pihak tentara dapat menjadi pelaku kejahatan dikarenakan adanya rencana serangan umu empat hari di Surakarta, sehingga diperlukan logistic.9 Pemenuhan logistic bisa dengan meminta atau merampok, yang menjadi korban merupakan orng Tionghoa dan abdi dalem keraton. Hukum selalu mengalami perkembangan dari masa ke masa. Menurut Samprofd dalam teori Ceos (ketidakteraturan), hukum bukanlah suatu sistem yang teratur tetapi merupakan
sesuatu yang berkaitan
dengan
ketidakteraturan, tidak dapat diramalkan dan bahwa hukum sangat dipengaruhi oleh presepsi orang dalam memaknai hukum tersebut. Hal itu dapat disimpulkan bahwa hukum akan selalu mengikuti gerak masyarakat yang dinamis, karena didalam masyarakat terdapat faktor yang mempengaruhi misalnya kekuasaan.10 Keinginan penguasa terhadap membuat 9
hukum
hukum
yang
diberlakukan
di
daerahnya
akan mengalami perkembangan. Logika dan struktur
Julianto Ibrahim, Op.cit, hlm 235 H.R. Otje Salman s. Anthon F Susanto, Teori Hukum: Mengingat, Mengumpulkan dan Membuka Kembali, commit to(Jakarta user : Refika Aditama, 2008),hlm 112 10
perpustakaan.uns.ac.id
122 digilib.uns.ac.id
hukum muncul dari adanya power relation dalam masyarakat. Kepentingan hukum adalah untuk mendukung kepentingan kelas dalam masyarakat yang membentuk hukum tersebut (teori hukum CLS (Critical Logica Studies)).11 Pertama kali di Mataram diadakan perubahan didalam tata hukum di bawah pengaruh Islam oleh Sultan Agung yang dikenal sebagai raja yang alim dan menjunjung tinggi agamanya. Perubahan itu pertama-tama diwujudkan khusus dalam pengadilan yang dipimpin oleh raja sendiri. Pengadilan Pradoto diubah namanya menjadi pengadilan Surambi, karena pengadilan ini tidak mengambil tempat persidangan di Sitinggil, melainkan di Serambi Masjid Agung. Perkara-perkara kejahatan yang menjadi urusan pengadilan dikenakan hukum kisas, padahal istilah ini tidak sesuai dengan arti kata yang sebenarnya. Hukum Islam berlaku untuk semua rakyat kerajaan walaupun terdapat penyimpangan dalam penerapannya. Sumber hukum Islam terdapat pada Qur’an dan Sunnah. Raja merupakan pengambil keputusan dalam setiap perkara pidana maupun perdata. Hal itu disebabkan raja merupakan khalifatullah (wakil Tuhan di dunia) yang mendapatkan tiga wahyu yaitu wahyu nubuwah, wahyu kukumah, wahyu wilayah.12 Wahuyu nubuwah merupakan wahyu yang mendudukan raja sebagai wakil Tuhan, untuk wahyu kukumah merupakan wahyu yang menempatkan raja segagai sumber hukum sehingga segala putusan tidak boleh dibantah atau ditentang oleh rakyatnya. Wahyu wilayah merupakan wahyu yang menempatkan
11
Ibid, halaman 124 Darsiti Soeratman, 1994, Kehidupan commit to user Dunia keraton Surakarta 18301939, Yogyakarta: Yayasan Untuk Indonesia, halaman 3 12
perpustakaan.uns.ac.id
123 digilib.uns.ac.id
raja sebagai pelindung dan memberikan penerangan kepada rakyatnya. Pada masa kerajaan, Surakarta merupakan kerajaan yang berlandaskan pada sendi Islam, sehingga segala macam hukum atau pengadilan berlandaskan Islam walaupun terdapat beberapa penyimpangan. Pandangan seorang pakar Belanda Ladewijk Willem Christian Van Den Berg (1845-1942) dalam teorinya yakni reception in complex, Berg mengatakan bahwa hukum Islam telah berlaku secara keseluruhan untuk umat Islam Nusantara13 Pecahnya Surakarta menjadi dua wilayah adminitrasi mengakibatkan pecah pula pengadilan raja. Perpecahan tersebut ditandai dengan adanya perjanjian Salatiga pada tahun 1657 sehingga Surakarta dibagi menjadi dua wilayah, wilayah Kasunanan dan Mangkunegaran. Kasunanan Surakarta menggunakan pengadilan pradoto gedhe, pengadilan pradoto dan pengadilan Surambi, untuk Mangkunegaran menggunakan pengadilan pradoto dan pengadilan surambi. Tiap-tiap pengadilan bagi kedua kerajaan memiliki yuridiksi masing-masing dan tidak boleh melanggar yuridiksi pengadilan lain, selain itu terdapat pengadilan Gubernamen yang berada di wilayah karesidenan. Bagi bangsa Eropa yang melanggar hukum baik itu sebagai tersangka maupun pelapor, maka yang wajib menjalankan perkara yaitu Raad van Justitie.14 Hukum dan pengadilan kerajaan lama ke lamaan mengalami kehilangan kedaulatan kekuasaan. Adanya campur tangan pihak asing seperti pemerintahan Inggris dan Belanda merupakan penyebab utama. Pemerintahan Inggris oleh
13
Arso Sastroatmodjo dan Wasit Aulawi, 1975, Hukum Perkawinan di Indonesia, Jakarta : Bulan Bintang, commithalaman to user 11 14 Staatblad tahun 1848 no 9
124 digilib.uns.ac.id
perpustakaan.uns.ac.id
Raffles melihat bahwa hukum Islam yang diberlakukan tidak mempunyai peri kemanusiaan dan menjadi tontonan bagi rakyat. Pemerintahan Belanda menginginkan adanya suatu unifikasi (persamaan) dalam hukum dan pengadilan bagi semua seluruh rakyat pribumi ataupun orang asing (Eropa dan Arab atau Cina). Adanya unifikasi hukum tidak berlaku bagi golongan kerajaan dan para abdi dalem. Mereka mengikuti hukum Eropa namun pengadilan masih menggunakan pengadilan raja. Pada tahun 1915 muncul suatu undang-undang kriminal yang bernama Wetboek van Straffecht (W.v.S) yang sekarang merupakan landasan hukum bangsa Indonesia. Masa pemerintahan Jepang W.v.S tetap digunakan. Pada tahun 1903 merupakan hilangnya kekuasaan pengadilan raja terhadap rakyatnya. Rakyat Surakarta pada waktu itu diberlakukan hukum Eropa dan pengadilan dilakukan oleh landraad dan landgerecht15. Pengadilan raja hanya diberi wewenang untuk mengadili golongan kerajaan dan abdi dalem atau yang sesuai dengan perjanjian kontrak politik. Pada masa pemerintahan Jepang, hukum yang diberlakukan berupa hukum militer Jepang (Osamu Gunrei), namun melalui uu no 2 tahun 1942 hukum dan pengadilan pada masa Hindia Belanda masih digunakan asal tidak bertentangan dengan pemerintahan. Tahun 1944
pemerintahan
Jepang mengeluarkan
uu
yang
dinamakan
Osamu
Kenzerei (uu kriminal). Undang- undang itu terdapat pasal yang menyatakan bahwa akan dibebaskan dari tuduhan apabila terdakwa mau mengakui
15
R Supomo, 1982, Sistemcommit Hukumtodiuser Indonesia Sebelum Perang Dunia ke II, Jakarta : Pradya Paramita, halaman 85
perpustakaan.uns.ac.id
125 digilib.uns.ac.id
kesalahannya16. Segala kebaikan dari kebijakan pemerintahan Jepang sangat mudah diterima tapi hal itu hanya untuk kepentingan pemerintahan. Golongan kerajaan dan abdi dalem masih dalam lingkungan pengadilan pradoto. Golongan ini diberikan lingkungan peradilan tersendiri sehingga dimanfaatkan oleh beberapa abdi dalem untuk melakukan tindak kriminal seperti meminta uang tagihan kepada rakyat secara berlebihan atau korupsi. Berbeda dengan rakyat biasa, bila ada yang melakukan tindak kriminal maka akan dikejar lalu dihukum mati, bahkan perkaranya tidak diajukan kepada pengadilan17. Hukum peradilan pada masa revolusi merupakan lanjutan dari peradilan pada masa Jepang. Hal itu disebabkan bangsa Indonesia belum bisa membuat uu kriminal sendiri. Hukum kriminal yang digunakan bukan hukum buatan Jepang melainkan hukum buatan Hindia Belanda yang sudah diperbaharui pada tahun 1942. Ada beberapa hal yang dikurangi atau diganti dalam uu kriminal tersebut. Undang-undang kriminal itu lalu diundangkan dalam uu no 1 tahun 1946.18 Susunan dan kekuasaan pengadilan masa revolusi merupakan penyederhanan dari susunan pengadilan masa pemerintahan Jepang. Pada akhir revolusi hukum peradilan di Surakarta mengalami perubahan. Peradilan tidak lagi menggunakan cara sipil melainkan dengan cara militer. Hal itu disebabkan Surakarta berada dalam kekuasaan Belanda. Hukum dan pemerintahan harus tetap dijalankan walau dalam keadaan perang. Adanya
16
Kan Po no 43 boelan 5 tahoen 2604 Julianto Ibrahim, Op.cit, halaman 132 18 Oendang-Oendang Tentang Peratoeran commit to userHoekoem Pidana Tahoen 1946”. Arsip reksa Pustaka Mangkunegaran VIII no 2440. 17
perpustakaan.uns.ac.id
126 digilib.uns.ac.id
peradilan yang berlaku akan membuat penduduk lebih pecaya terhadap negara. Masa revolusi fisik peradilan mengalami perubahan dua kali. Saat awal revolusi peradilan Surakarta masih tetap dijalankan oleh sipil walaupun hanya sebatas pelaksanaan keputusannya tidak sesuai dengan sumber hukum. Saat akhir revolusi peradilan berubah dari sipil menjadi militer. Perubahan itu ditandai dengan terbitnya Surat keputusan no 46 / MBKD / 1949, yang dikeluarkan oleh komandan angkatan perang Jawa, Kolonel A.H. Nasution.19 Setelah Pemerintah Daerah Suarakarta terbentuk secara otomatis menghapus adanya Swapraja di Surakarta baik itu Swapraja Kasunanan maupun Swapraja Mangkunegaran. Tentu saja banyak dibentuk lembaga-lembaga untuk membantu jalannya Pemerintah Daerah Surakarta dalam mengatur masyarakat dan juga urusan-urusan keseharian Pemerintah Daerah Surakarta. Meskipun dulu pada masa Birokrasi Tradisional masih berkuasa di Surakarta, Keraton Kasunanan yang mengatur segala macam kehidupan dalam masyarakat, seperti lembaga peradilan, Pajak, transportasi dan masih banyak lagi. Lembagalemabaga itu hilang dan digantikan dengan lembaga baru yang dibentuk oleh pemerintahan yang baru ini. Seperti lembaga peradilan di Surakarta, yang awalnya lembaga pengadilan pada masa birokrasi tradisional di selenggarakan di serambi masjid, maka dari itu dinamakan Pengadilan Surambi. Penga;dilan ini menangani perkara sipil (pidana) dan juga masalah criminal (perdata). Pemimpin pengadilan ini
19
A.H. Nasution, 1992, Sekitar Perang Kemerdekaan Indonesia Jilid 10, Bandung : Angkasa, halaman 420commit to user
perpustakaan.uns.ac.id
127 digilib.uns.ac.id
adalah Penghulu yang memiliki gelar Kanjeng Kyai Mas Penghulu Tafsir Anom Adiningrat, yang dibantu oleh empat orang ulama dan delapan orang khotib. Pada tanggal 14 Juli 1947, mentri kehakiman membuat maklumat No. 02, tentang penghapusan peradilan kerajaan. Sebelum maklumat tersebut diputuskan, mentri kehakiman sebelumnya mengirimkan maklumat tersebut kepada para Raja di Jawa untuk meminta persetujuan. Sri Hamengku Buwana IX tanggal 11 Januari 1947 no. 1/ D.D dan 29 Mei 1947 no. 2/ D.D, Sri Paduka Paku Buwana XII tanggal 10 Maret 1947 no. 385 dan 20 Mei 1947 no. 634 dan Sri Mangkunegaran VIII bulan April 1947 no. 5/I/A yang kesemuanya memberikan jawaban tidak menolak terhadap maklumat mentri kehakiman tersebut.20 Udang-undang tersebut, selain berisi tentang penghapusan pengadilan raja, juga mengatur tentang peralihan perkara yang ditangani oleh pengadilan raja (Pradoto). Semua pengadilan raja di Jawa dan Sumatera dihapuskan (pasal 1 ayat 1) dan kekuasaan pengadilan raja dialihkan pada pengadilan negari (pasal 1 ayat 2). Semua perkara yang baru ditangani oleh pengadilan raja, dialihkan kepada pengadilan negeri dan menggunakan hukum negara yang telah diperbaharui dengan cara mengirimkan surat / berkas perkara kepada pengadilan negeri (pasal 2). Perkara yang sudah diputuskan oleh pengadilan raja tetap menggunakan hukum yang berlaku pada saat itu yaitu hukum kerajaan (pasal 3), sedangkan uu no. 23 mulai berlaku pada tanggal 29 Agustus 1947 (pasal “Surat Balasan Mangkunegaran VIII kepada Mentri Kehakiman”. Arsip commit to user Reksa Pustaka Mangkunegaran VIII. No. 2388 20
128 digilib.uns.ac.id
perpustakaan.uns.ac.id
4).21 Seluruh aspek mengenai pengadilan dan hukum kerajaan sudah tidak diberlakukan lagi di Surakarta dan perkara-perkara yang sebelum tanggal 29 Agustus 1947 masih diberlakukan hukum lama. Penghapusan
pengadilan
raja
dilakukan
pemerintah
republik
karena beberapa alasan. Alasan pertama yang mendasari dikeluarkannya uu itu yakni adanya keinginan dari penduduk melalui dewan perwakilan daerah Jogjakarta tentang persamaan kewajiban dan hak warga Negara Indonesia mengenai pemberlakuan
hukum,
karena
di
keluarga
kerajaan
masih
diberlakukan pengadilan raja.22 Alasan kedua perpisahan pengadilan
bagi warga
Negara Indonesia tidak dapat ditoleransi karena bangsa Indonesia bukan bangsa warisan Hindia Belanda. Adanya daerah istimewa (Jogjakarta dan Surakarta) bukan berarti adanya keistimewaan dalam hukum karena daerah istimewa bukan daerah kontrak.23 Alasan ketiga diperlukan persatuan dalam menghadapi peperangan yang terjadi. Adanya penghapusan pengadilan raja membua keadaan keluarga Kasunanan dan Mangkunegaran dan para jabatan tingginya mempunyai kesamaan dalam hukum. Adanya undang-undang tersebut, golongan yang dulu berada dalam 21
kekuasaan
“Oendang-Oendang
pengadilan raja menjadi
sama-sama ikut dalam
No 23 Tahoen 1947 Tentang Penghapoesan Pengadilan Radja (zelfbesturrechtpraak) di Djawa Dan Sumatera”. Arsip reksa Pustaka MangkunegaranVIII no 2388. 22 “Soerat Kepada Menteri Kehakiman Tentang Hasil Rapat Pleno Dewan Perwakilan Rakjat Daerah Jogjakarta”. Arsip Reksa Pustaka Mangkunegaran VIII no 2388 23 “Pendjelasan Oendang-Oendang No 23 Tahoen 1947 Tentang Penghapoesan Pengadilan Radja commit (zelfbesturrechtpraak) di Djawa dan Soematera. to user Arsip Reksa Pustaka Mangkunegaran VIII no 2388
129 digilib.uns.ac.id
perpustakaan.uns.ac.id
kekuasaan pengadilan negeri. Hilangnya kekuasaan pengadilan raja membuat para pejabat tinggi keraton tidak berani seenaknya melakukan tindak kriminal. Hal ini menandakan bahwa dengan terbentuknya birokrasi modern di Surakarta yang salah satu dampaknya adalah dengan dihapuskannya pengadilan tradisional dan terbentuknya pengadilan yang dipegang oleh pemerintah daerah sehingga di mata hukum semua orang sama meskipun orang itu kerabat kerajaan. Pada awal revolusi hukum yang berlaku masih menggunakan hukum balatentara Jepang. Pada tahun 1946 melalui undang-undang no 1 tahun 1946, pemerintah mengeluarkan putusan bahwa hukum acara pidana yang dipakai merupakan hukum Hindia Belanda tahun 1942 bukan hukum kriminal buatan Jepang (Gunsei Keizerei). Ada beberapa peraturan-peraturan hukum pidana Hindia Belanda yang mengalami perubahan. Perubahan-perubahan dalam peraturan hukum Hindia Belanda tahun 1942 hanya semata-mata untuk disesuaikan
dengan
Negara
Indonesia
yang
merdeka,
misalnya
Wetboek van Strafecht Voor Nederlandch-Onderdaan dalam kitab undangundang hukum pidana diganti dengan warga Negara Indonesia.24 Susunan dan bentuk pengadilan pada masa revolusi masih melanjutkan susunan dan bentuk pengadilan masa pemerintahan Dai Nippon. Dalam aturan peralihan undang-undang dasar 1945 pasal II disebutkan semua badan Negara dan peraturan yang ada masih dapat digunakan selama tidak bertentangan dengan undang-undang dasar. Berdasarkan aturan peralihan undang-undang dasar itu, pengadilan pada masa Jepang tetap dijalankan. “Oendang-Oendang Tentang Peratoeran commit to userHoekoem Pidana Tahoen 1946”. Arsip reksa Pustaka Mangkunegaran VIII no 2440. 24
130 digilib.uns.ac.id
perpustakaan.uns.ac.id
Susunan dan kekuasaan pengadilan pada masa Jepang masih dijalankan, walaupun terdapat penggantian nama dan penambahan pengadilan. Pada tahun 1947 melalui undang-undang no. 7 tahuan 1947, dibuat makamah agung. Daerah Surakarta masih terdapat pengadilan diantaranya : 1) pengadilan kawedanan pengganti dari Gun Hooin, 2) pengadilan kabupaten pengganti dari Ken Hooin, 3) pengadilan
kepolisian pengganti dari
Keizai Hooin,
4) pengadilan
negeri pengganti dari Tihoo Hooin. Susunan pengadilan ini masih berlaku sampai tahun 1948. Susunan dan kekuasaan pengadilan pada masa Hindia Belanda tetap dipertahankan walaupun nama pengadilan dirubah. Adanya aturan yang jelas dalam penerapan hukum tidak membuat peradilan
berjalan
sebagaimana
mestinya. Gejolak
politik yang kacau
mengakibatkan aturan itu tidak dapat digunakan dengan baik. Hukum yang dibuat oleh pemerintahan tidak untuk digunakan dalam keadaan perang atau keadaan bahaya. Hal itu terjadi di Surakarta yang diberlakukan keadaan daerah bahaya perang sebanyak
dua kali bahkan samapi tiga kali (saat terjadi
pemberontakan PKI 1948 dan agresi militer Belanda II). Adanya itu maka dibutuhkan
suatu penegakan hukum yang baik namun dalam kenyataannya
masih kurang. Penegakan hukum harus memperhatikan tiga unsur yakni kepastian hukum,
kemanfaatan
dan
keadilan.25
Rakyat
mengharapkan
kepastian
hukum karena dengan adanya kepastian hukum masyarakat akan lebih tertib. Masyarakat juga menginginkan adanya kemanfaatan dalam penegakan hukum. 25
Sudikno Mertokusumo.,commit Mengenal to user Hukum ( Yogyakarta : Lyberti, 1985), hlm. 140
: Suatu
Pengantar,
perpustakaan.uns.ac.id
131 digilib.uns.ac.id
Penegakan hukum harus tanpa menimbulkan keresahan di masyarakat. Masyarakat juga menginginkan dalam penegakan hukum harus mempunyai nilai keadilan. Hukum tidak identik dengan keadilan, mungkin penegakan hukum adil bagi seseorang dan tidak adil bagi yang lain. Penegakan hukum dapat mempengaruhi keadaan sosial ekonomi masyarakat pada suatu daerah. Tidak berjalannya hukum mengakibatkan orang atau kelompok melakukan sesuatu berdasarkan kehendaknya, baik itu yang melanggar hukum atau tidak. Keadaan ini dimanfaatkan oleh beberapa kelompok untuk melakukan kerusuhan di Surakarta, seperti partai oposisi (PKI, FDR dll) bagi pemerintahan Indonesia. Banyaknya para partai politik yang mempunyai senjata yang bertujuan untuk membela partainya, mengakibatkan sering terjadi bentrokan dengan partai lain seperti penyerangan partai Barisan Banteng terhadap partai Pesindo di Gladag dan Singosaren.26 Keadaan yang kacau dapat membuat masyarakat tidak percaya terhadap pemerintah karena pemerintah dianggap tidak dapat menjamin keamanan dan ketertiban. Penegakan hukum yang kurang diakibatkan dua faktor yaitu kurangnya kekuatan di penegak hukum dan belum adanya aturan yang tegas dalam pemberlakukan hukum. Kurangnya personil penegak hukum di Surakarta merupakan salah satu faktor kurangnya ketegasan dalam penegakan hukum di Surakarta. Tanpa adanya aturan yang tegas tercermin dari putusan pengadilan negeri Surakarta. Hampir dari semua putusan perkara pengadilan tidak berdasarkan
26
commit to user Julianto Ibrahim, Op.cit, hlm. 174
132 digilib.uns.ac.id
perpustakaan.uns.ac.id
hukum yang berlaku bahkan hampir semua putusan perkara hanya berupa tahanan luar.27 Putusan pengadilan yang tidak sesuai dengan hukum yang berlaku dikarenakan masih adanya kebiasaan dari para hakim, pada waktu masa pemerintahan Jepang. Pada masa itu hakim dapat memberikan hukuman kepada tersangka hanya berdasarkan kebijakannya. Hal lain yang mempengaruhi putusan pengadilan yaitu karena keadaan Surakarta yang kacau sehingga pengadilan tidak berjalan sebagaimana mestinya. Pada awal revolusi orang atau kelompok yang kuat dapat menjalankan pengadilan sendiri terhadap kelompok yang lemah bahkan orang atau kelompok yang
dianggap
pro Belanda
akan
dihukum.
Banyak
para
komandan
bertindak sendiri sendiri sebagai hakim tanpa adanya kontrol sehingga sulit dibedakan antara pembunuhan dengan hukuman mati, sulit membedakan antara penahanan dengan penculikan dan sulit membedakan antara perampokan dengan penyitaan. Agar kekacauan itu tidak terulang lagi maka pemerintahan melalui pemimpin tertinggi MBKD membuat suatu peraturan tentang menjalankan peradilan dalam keadaan bahaya perang. Pada tanggal 19 Desember 1948 Belanda berhasil menguasai daerah Republik. Pimpinan besar angkatan perang Jenderal Soedirman mengintruksikan supaya pemerintahan dijalankan dengan cara militer. Pemerintahan yang berbentuk militer mengakibatkan ikut berubahnya bentuk peradilan. Peradilan
27
Hampir dalam berkas kasus acara pengadilan di Surakarta menyatakan bahwa penjahat hanya mendapatkan hukuman commit to userluar tahanan. Berkas Kasus Acara Pidana di Pengadilan Negeri Surakarta Tahun 1945-1946
133 digilib.uns.ac.id
perpustakaan.uns.ac.id
yang semula dijalankan dengan cara sipil diubah menjadi peradilan militer yang dijalankan dengan cara militer, sedangkan hukum yang digunakan disesuaikan dengan
keadaan
perang.
Badan
pemerintahan
termasuk
pengadilan
dijalankan dengan gerilya, diungsikan di daerah pinggiran. Alat pemerintahan diungsikan bertujuan agar pemerintahan tetap berjalan semestinya walaupun dalam keadaan perang. Pada tanggal 1 Februari 1949 komandan tertinggi angkatan darat Jawa, Kolonel A. H. Nasution mengeluarkan surat keputusan tentang pengaturan peradilan militer pada masa bergerilya. Surat keputusan itu dikenal dengan Surat Keputusan No 46 / MBKD / 1949. Surat keputusan ini mengatur tentang peraturan darurat pengadilan Tentara Pemerintahan Militer, Pengadilan Sipil Pemerintahan Militer, Mahkamah Tentara Luar Biasa dan tentang cara menjalankan hukuman penjara. Kehakiman dalam keadaan darurat hanya sampai pada tanggal 19 April 1950, karena Belanda sedikit demi sedikit menarik pasukannya di daerah republik.28 Surat keputusan ini memberikan suatu keyakinan kepada masyarakat bahwa negara masih dapat menegakkan hukum walaupun dalam keadaan perang. Sebagai negara hukum, hukum harus ditegakkan walaupun dalam keadaan perang.29
Adanya
suatu
kepastian
hukum
dari
negara
menambah
kepercayaan masyarakat bahwa negara masih ada dan dapat memberikan atau 28
Surat Putusan : Tentang Pengembalian Keadaan Pengadilan Negeri dan Kepolisian di Surakarta Dalam Keadaan Sebelum 19 Desember 1948”. Arsip Reksa Pustaka Mangkunegaran VIII no 1128. 29 Uraian Tentang Pemerintahan commit Republik to user Indonesia, Mengenai Hal-Hal Staatsrechtelijk”. Arsip Reksa Pustaka Mangkunegaran VIII no. 2232
134 digilib.uns.ac.id
perpustakaan.uns.ac.id
menjalankan peradilan. Adanya aturan yang tegas dalam penegakan hukum memberikan kepastian hukum kepada masyarakat. Kepastian hukum dapat memberikan kepercayaan
masyarakat kepada pemerintah
sehingga tidak
dapat dimasuki pengaruh dari Belanda. B. Jawatan Penerangan Selain lembaga Peradilan yang terbentuk pada masa Birokrasi Modern, ada juga lembaga Penerangan yang sangat membantu kerja pemerintahan guna menyiarkan kabar kepada masyarakat mengenai segala kinerja dan berita yang terjadi pada masa itu. Komunikasi massa adalah komunikasi dengan menggunakan media massa modern yang meliputi surat kabar yang mempunyai sirkulasi yang luas, radio dan televisi yang siarannya ditujukan kepada masyarakat umum. Melakukan kegiatan komunikasi massa jauh lebih sulit dari pada komunikasi antar pribadi. Seorang komunikator yang menyampaikan pesan kepada ribuan pribadi yang berbeda-beda satu sama lain tetapi pada saat yang sama, tidak akan bisa menyesuaikan harapannya untuk memperoleh tanggapan komunikasi secara pribadi. Dalam komunikasi massa ada dua tugas kominikator, yaitu mengetahui mengenai apa yang disampaikan dan bagaimana cara penyampaian, sehingga berhasil melancarkan penetrasi kepada benak komunikan. Sebuah pesan yang isinya lemah yang disampaikannya dengan lemah pula kepada jutaan orang bisa menimbulkan pengaruh yang kurang efektif berbanding dengan pesan yang disampaikan dengan baik kepada komunikan yang jumlahnya sedikit. Sifat commit to user
perpustakaan.uns.ac.id
135 digilib.uns.ac.id
komunikasi massa adalah:30 1. Pesan komunikasi yang disampaikan media massa adalah terbuka untuk setiap orang 2. Komunikan bersifat heterogin 3. Media massa mengandung keserempakan. Dalam perjuangan mempertahankan kemerdekaan, komunikasi massa sangat diperlukan, karena dengan adanya komunikasi khalayak dapat mengetahui tentang perjuangan yang sedang dilakukan oleh para pejuang Indonesia dalam melawan Belanda. Dengan adanya komunikasi massa ini diharapkan tidak hanya angkatan bersenjata Indonesia yang berjuang mempertahankan kemerdekaan Indonesia melainkan rakyat juga ikut berjuang. Dengan adanya pemberitaan tentang perjuangan yang dilakukan oleh para pejuang RI diharapkan juga semangat rakyat untuk ikut berjuang juga muncul dan rasa nasionalisme yang kuat yang tertanam dalam jiwa rakyat Indonesia ikut muncul pula. Salah satu kebutuhan masyarakat yang sangat dirasakan baik pemerintah maupun rakyat dimasa gelora revolusi adalah penerangan. Penerangan yang memberikan gambaran dengan tegas kepada rakyat tentang tujuan dan cita-cita revolusi Indonesia, penerangan yang menggelorakan api perjuangan disertai kerelaan berkorban dan menderita untuk mencapai cita-citaitu. Penerangan yang membimbing kepercayaan akan diri sendiri dan kesadaranakan harga diri sebagai bangsa yang terhormat. Disamping itu penerangan perlu untuk memberi
Arief Setiyadi Hidayat. Skripsi. 2006, “Peranan Radio Republik Indonesia Stasiun Surakarta dalam Perjuangan Mempertahankan Kemerdekaan Indonesia commit to user Tahun 1946-1949 di Surakarta”. Semarang:UNY Press. Hal 84-85. 30
perpustakaan.uns.ac.id
136 digilib.uns.ac.id
pengertian-pengertian dan bimbingan supaya kekuatan rakyat yang berkembang ditengah-tengah revolusi itu tidak salah jalan menjadi anarki yang dapat menelan diri sendiri, tetapi disalurkan dan dipimpin menjadi kekuatan revolusi nasional yang bulat. Pentingnya penegasan mengenai Jawatan Penerangan supaya tidak terjadi salah paham antara berbagai kalangan. Jawatan Penerangan bertugas untuk memberikan penyuluhan kepada rakyat diharapkan supaya tidak ada keraguan dan prasangka buruk dari berbagai pihak. Maka terbagilah menjadi dua jawatan yaitu Jawatan Penerangan Rakyat dan Jawatan Penerangan Pemerintah.31 1. Jawatan Penerangan Rakyat Jawatan Penerangan Rakyat didirikan pada tanggal 1 Februari 1949. Menurut bahasa Belanda Jawatan Penerangan Rakyat dinamakan dengan Bevolkings Voorlightings Dienst atau disingkat dengan B.V.D. Jawatan Penerangan Rakyat ini juga memiliki tugas dan wewenang masingmasing.
Kantor Jawatan Penerangan Rakyat bertempat di Karesidenan
Semarang, Bojong 138 Semarang atau Het heef v/d Residentie Bevolkings Voorlightings Dienst Semarang, Bojong 138 Semarang. Kantor Jawatan Penerangan Rakyat tersebut merupakan Jawatan Penerangan Rakyat se-Jawa Tengah. Tugas dan kewajiban utama dari Jawatan Penerangan Rakyat adalah memberikan penerangan-penerangan dan petunjuk-petunjuk yang khusus
31
berkas masalah keterangan mengenai Jawatan Penerangan Rakyat dan Jawatan Pemerintah. Surakarta: Reksa Pustaka, commit to userno. 2558
137 digilib.uns.ac.id
perpustakaan.uns.ac.id
dibutuhkan oleh rakyat se-Jawa Tengah. Pelaksanaan tugas pemberian penerangan ini harus berhati-hati, bijaksana dan netral karena jika melakukan kesalahan dalam penyampaian penerangan oleh salah seorang pegawai juru penerangan maka rakyat tidak akan percaya lagi terhadap Jawatan Penerangan Rakyat. Rakyat cukup dengan mengecam bahwa “penerangan membawa kegelapan”. Jawatan Penerangan Rakyat mempunyai rencana dalam setiap melaksanakan pekerjaannya.
Ini
dilakukan
untuk
mempermudah
dalam
penyampaian
informasinya. Rencana pekerjaan dari Jawatan Penerangan Rakyat antara lain: a. Untuk menentukan penerangan dan langkah-langkahnya harus berdasarkan oleh perhitungan yang tepat mengingat keadaan yang sebenarnya. Sehingga Jawatan Penerangan Rakyat harus mempunyai gambaran yang jelas tentang keadaan masyarakat. b. Jawatan Penerangan Rakyat harus dapat menyelami suasana masyarakat dalam kebutuhannya akan suatu penerangan/penyampaian informasi. c. Jawatan Penerangan Rakyat harus dapat mencari cara yang sebaik-baiknya untuk menyampaikan berbagai hal kepada rakyat dalam memberikan penerangan. d. Jawatan Penerangan Rakyat harus memperhatikan kondisi psikologis masyarakat, terutama dalam masa sekarang ini dan melihat hal-hal ditengah-tengah masyarakat secara objektif. e. Jawatan Penerangan Rakyat harus dapat mendorong kepada rakyat untuk mencari
jalan
kearah
kebahagiaan, commit to user
kesejahteraan,
kemakmuran,
perpustakaan.uns.ac.id
138 digilib.uns.ac.id
kesempurnaan dan kemajuan rakyat yang kesemuanya ini membawa faedah dan manfaat bagi kepentingan rakyat. f. Untuk memudahkan dan melancarkan rencana pekerjaan ini maka Jawatan Penerangan Rakyat harus mengadakan hubungan dengan Pamong Praja, diikuti doleh kebijaksanaan yang sebesas-sebesarnya. g. Hubungan rapat diantara Jawatan Penerangan Rakyat dengan Pamong Praja dapat mengandung arti bekerja bersama-sama dalam segala kebutuhan, masing-masing menurut kompetensinya sendiri-sendiri. h. Untuk menunjukkan kerjasama ini maka langkah pertama Jawatan Penerangan Rakyat melakukan kontak dengan Pamong Praja diantaranya melakukan pengiriman pelaporan yang tepat dan objektif dalam suasana yang sebenarnya, hingga bagi Jawatan Penerangan Rakyat dapat lebih mudah menyiapkan bahan-bahan untuk keperluan penerangan di daerah tersebut disamping kewajibannya sendiri. Jika dianggap perlu teks-teks penerangan atau lainnya dari Jawatan Penerangan Rakyat yang disampaikan pada Pamong Praja untuk diteruskan kepada rakyat , dapat dirubah atau ditambah sesuai keadaan di daerah itu. 2. Jawatan Penerangan Pemerintah Beberapa pekan setelah proklamasi kemerdekaan berkumandang, di Semarang berdirilah Dinas Penerangan Provinsi Jawa Tengah dibawah pimpinan seorang dokter ahli bedah yang terkenal yaitu Dr. Subandrio. Beliau mendirikan dinas ini dengan keringat dan uang sendir dibantu oleh beberapa orang pegawai diantaranya Suyoto. Dr. Subandrio juga dibantu oleh istrinya yang diketahui commit to user
139 digilib.uns.ac.id
perpustakaan.uns.ac.id
adalah seorang dokter juga. Beberapa orang itulah yang oawal mulanya menggerakkan aktivitas penerangan di Semarang. Berhubung mendaratnya tentara Sekutu yang diboncengi oleh Belanda, maka suasana Semarang menjadi sangat genting. Ketika pemerintah daerah kita terpaksa meniggalkan kota akibat tekanan hebat dari tentara Sekutu, Belanda dan Jepang maka Dr. Subandrio memindahkan kantornya di Solo. Ini terjadi pada permulaan bulan oktober 1945. Di Solo Dr. Subandrio mendapat bantuan besar dari Mukarto sebagai wakilnya yang merangkap sebagai kepala Jawatan Pusat Garam yang berkedudukan di Solo pada waktu itu. Ketika Mukarto mengundurkan diri dari penerangan untuk mencurahkan tenaganya pada jawtannya. Beliau diganti oleh Mr. Sudjarwo. Dalam melaksanakan tugasnya di tengah-tengah masyarakat, sudah pada permulaan pertumbuhannya
kementrian penerangan
dan
jawatan-jawatan
penerangan di daerah sering dihadapkanpada pergolakan-pergolakan dalam kehidupan politik yang mengenai berbagai masalah yang dihadapi negara. Maka sangat dirasakan keperluannya untuk merumuskan dengan tegas dan konkret haluan yang harus ditempuh oleh penerangan-penerangan kita. Maka ditengah pergolakan-pergolakan politik itulah dirumuskan haluan tersebut di Kaliurang pada tanggal 7 Mei 1948 yang kemudian dikenal sebagai “ Pancasila Penerangan “ dan dapat dianggap sebagai pegangan dalam menjalankan tugas penerangan selanjutnya. Adapun isinya berbunyi sebagai berikut:32
32
Peraturan Pemerintah commit No 27to user Tahun 1949 Tentang Kementrian Penerangan. Susunan dan lapangan pekerjaan Kementrian Penerangan.
140 digilib.uns.ac.id
perpustakaan.uns.ac.id
a. Memberikan penerangan kepada setiaplapisan rakyat tentang politik yang dijalankan oleh pemerintah serta memberi penerangan tentang peraturanperaturan yang dikeluarkan dan tindakan-tindakan yang dilakukan, baik pemerintah pusat maupun pemerintah daerah b. Memberi penerangan dan memperdalam pengertian tentang ideologi Negara (Pancasila) seperti yang termaktub dalam UUD 1945 c. Memperdalam kesadaran politik dan kecerdasan membanding dari rakyat sebagaimana yang harus ada pada tiap-tiap warga negara yang menjunjung tnggi dasar demokrasi. d. Memelihara dan menyuburkan jiwa dan roh perjuangan rakyat untuk melaksanakan cita-cita negara memperkenalkan keluar negeri Negara Republik Indonesia serta cita-cita persatuan bangsa seluruh Indonesia. C. Jawatan – jawatan lain yang terbentuk pada Birokrasi Modern Peran dari tiap Jawatan yang ada pada saat itu juga sangat penting dalam mempertahankan eksistensi Pemerintah RI di Surakarta. Beberapa contoh peran dari jawatan-jawatan yang dibentuk pada birokrasi modern di Surakarta adalah33 : 1. Jawatan Pamong Praja Sejak zaman penjajahan Belanda telah diterapkan system pemerintahan Pangreh Praja dengan struktur ke bawah sampai kelurahan. System ini berfungsi efektif untuk menanamkan kekuasaan kolonial yang langsung mampu
33
menguasai
kehidupan
rakyat.
Setelah
Indonesia
merdeka
Pemerintah Kota Surakarta, 50 Tahun commit to userKotamadia Surakarta, (Surakarta: Pemerintah Surakarta: 1995), hlm. 31
141 digilib.uns.ac.id
perpustakaan.uns.ac.id
menerapkan pula system pemerintah yang sama namun dengan nama Pamong Praja yng berfungsi ngemong Rakyat. Dalam mendukung pelaksanaan tugas untuk mempertahankan eksistensi Pemerintah Republik Indonesia secara de-facto dalam kota Surakarta untuk mengagalkan segala upaya Belanda membentuk pemerintah pre-federal termasuk pemerintah Swapraja Kasunanan dan Mangkunegaran, maka dibentuklah Jawatan Pamong Praja. Jawatan ini berhasil menguasai 5 (lima) Kaoenderan dan 44 Kelurahan yang menyebabkan lumpuhnya pemerintah Swapraja Kasunanan dan Mangkunegaran. Pada waktu tentara Belanda dan NICA menduduki kota Surakarta, maka prioritas pertama segera membentuk pemerintah Swapraja dengan system Pangreh Praja samapai Kelurahan. Maka yang pada saat itu berperang adalah Pamonag Praja RI berhadapan dengan Pangreh Praja Swapraja, yang tentu saja sangat kontras dalam susunan personelnya (personeels-bezetting). Karena para Lurah Pamong Praja RI adalah para Pelajar Pejuang yang bergerilya, dimana rata-rata usia mereka sekitar 20an tahun bahkan ada yang masih belasan tahun. Sedangkan para Lurah Swapraja adalah para pegawai yang kebanyakan sudah tua-tua. Untuk melumpuhkan pemerintah Swapraja dilakukan dari bawah, yaitu dengan menggalang para Lurahnya itu. Meskipun mereka memperoleh perlindungan tentara pendudukan Belanda, tetapi mereka pernah berjanji membantu perjuangan RI karena kesadaran atau takut akan sanksi yang berat bagi yang ingkar janji.
commit to user
142 digilib.uns.ac.id
perpustakaan.uns.ac.id
Selain tugas melumpuhkan pemerintah Swapraja, Pamong Praja juga memiliki serangkaian tugas lain yaitu : a) Aktif membantu dan melayani kawan seperjuangan yang melakukan operasi tempur dalam kota baik siang maupun malam. b) Menangkis kebohongan propaganda Belanda dengan menyebarkan pamflet,
poster
dan
coretan-coretan
tembok
yang
dapat
menunjukkan eksitensi Pemerintah RI di Surakarta meskipun di duduki Belanda. c) Dengan bantuan Rayon V menjamin keamanan rakyat sehingga meningkatkan kewibawaan Pemerintah RI. d) Menjelang gencatan senjata melakukan gerakan perampasan capcap kantor federal dan Swapraja untuk menuntaskan lumpuhnya pemerintah pre-federal Swapraja. 2. Tugas dan Aktivitas bidang Braintrust, Perekonomian,
dan
Kemakmuran Braintrust adalah suatu Forum Masyarakat dan Pemerintah yang tidak melembaga, dengan tugas pokok untuk mengadakan observasi, evaluasi dan antisipasi tentang keadaan umum di Kota Surakarta serta memberi advis secara diminta ataupun tidak diminta. Forum ini biasanya menjadi tim pemikir yang membantu kinerja jawatan Perekonomian dan Kemakmuran.34
34
Ibid, hlm. 34
commit to user
143 digilib.uns.ac.id
perpustakaan.uns.ac.id
Bidang Perekonomian : pada awal dibentuknya terdapat satu team yang bertugas menjalankan kebijaksanaan dan supervise dibidang financial dengan bantuan pelaksanaan dari Jawatan/Instansi dan Lembaga Masyarakat/Swasta terkait. Jawatan dan Lembaga tersebut beberapa diantaranya secara sukarela bergabung dan menempatkan diri untuk sementara dalam lingkup koordinasi di bawah Koordinator Perekonomian (Koper), seperti Bank Rakyat Indonesia, Jawatan Lalu lintas, perindustrian, koperasi-koperasi Batik, Vrachten Kantoor, Biro Ninjnerheids Bevordering (BNB), Kantor Rechts-Herstel dan Algemene Distributie Dienst (ADD).35 Dengan adanya kerjasama dari lembaga tersebut di atas dapat dilaksanakan usaha diversifikasi pendapatan bagi Balai Kota berupa Pungutan Pajak, yang diberlakukan oleh Pemerintah Militer sejak 1 Juli – 30 November 1949 secara efektif, dengan terbentuknya Urusan Pajak Luar Biasa dalam Jawatan Keuangan yang dipimpin oleh Koordinator Perekonomian.36 Usaha berikutnya yang dilakukan adalah penyediaan barang-barang kebutuhan masyarakat yang mulai terbatas, sehingga dibentuklah Kantor Urusan Pembagian Umum RI (KUPU) yang berada dalam Jawatan Kemakmuran. Selain itu dapat dibentuk armada angkutan barang dan penumpang berupa 40 buah truck dan 11 mobil sedan serba baru milik swasta dalam kesempatan pertama setelah Belanda mundur meninggalkan Surakartadengan terbentuknya PT
35 36
Ibid. Ibid., hlm. 36
commit to user
perpustakaan.uns.ac.id
144 digilib.uns.ac.id
ATOS (Algemene Transport), yang membantu kelancaran arus barang baik import maupun eksport lewat pelabuhan Semarang ke atau dari Surakarta. Sedang dari pihak Pamong Praja bekerja sama dengan Kantor Pasar dapat membangun 19 Bank Pasar dan 47 buah Bank Kampung yang tadinya sudah ada sejak jaman pendudukan Belanda yang sempat tutup dapat di bangkitkan kembali dengan pemberian modal kerja baru dari Jawatan Keuangan. Dimana asal modal itu dari Pendapatan Urusan Pajak Luar Biasa. Selain itu juga mengembangkan Usaha perkreditan untuk rakyat dan Usaha perusahaan kecil tanpa agunan yang diselenggarakan oleh Kantor Modal Rakyat dalam lingkungan Jawatan Kemakmuran, yang dimaksudkan untuk menandingi kegiatan usaha partikelir yang mulai bangkit lagi karena dukungan dari Swapraja yang mendapat bantuan Belanda. Dana dari Pajak juga digunakan untuk membantu pengadaan kembali fasilitas sarana dan peralatan Kantor bagi seluruh aparat Balaikota, selama belum adanya subsidi dari pemerintah Provinsi. Tugas ini menjadi tanggung jawab Kantor Pusat Perbekalan dalam lingkungan Jawatan Kemakmuran. 3. Jawatan Sosial dan Kesehatan Bidang ini secara umum memiliki tugas yang secara kemampuan cukup terbatas, hanya seputar melakukan perawatan anggota yang sakit, gugur dan menyantuni para pegawai RI yang non kooperator (tidak bekerja lagi baik sebagai pegawai Belanda maupun Swapraja) yang terbatas pula. Jawatan ini berhasil membangun beberapa poliklinik di tiap kecamatan, serta melakukan vaksinasi tiphus dan cholera kepada penduduk dengan diberi sertifikasi dari pihak Balai commit to user
145 digilib.uns.ac.id
perpustakaan.uns.ac.id
Kota RI. Selain itu juga pernah memberikan bantuan beras, bekerja sama dengan Dinas Sosial Kasunanan.37 4. Usaha Dan Aktivitas Mencari Dana Dalam perjalanan pemerintah gerilya Surakarta ini, permasalahan dana dirasakan merupakan permasalahan yang sangat penting, dan sebisa mungkin pemerintahan militer Surakarta harus mencari sendiri dana untuk membiayai kehidupan pemerintahan militer Surakarta, karena tidak mungkin untuk meminta dana dari pemerintah pusat di Yogyakarta, karena sedang terjadi peperangan dan pemerintahan pusat sedang dalam keadaan kekosongan pemerintahan. Untuk itu berbagai cara ditempuh oleh para pelaku pemerintah militer dan gerilya di Surakarta. Cara yang ditempuh antara lain adalah sebagai berikut :38 1. Melacak kekayaan milik pemerintah RI. 2. Meminta sumbangan dari kawan-kawan yang ekonominya kuat 3. Mengizinkan orang-orang tertentu bekerja dengan sebagian dari gaji mereka diserahkan untuk perjuangan. 4. Mengadakan pungutan dari kegiatan ekonomi. Sebagai contoh adalah pungutan dari truk-truk, yang mengangkut barang dari Semarang ke Solo. Apabila truk tersebut tidak mau membayar, maka di tengah perjalanannya nanti truk-truk tersebut akan mendapat serangan dari kawan-kawan pejuang RI.
37 38
Ibid., hlm. 37-38 Ibid., hlm. 43-44
commit to user
146 digilib.uns.ac.id
perpustakaan.uns.ac.id
5. Peran dan Aktivitas Kurir Selama masa perjuangan gerilya dan keadaan Surakarta dan Ri mendaerah militer, pekerjaan seorang kurir dirasakan sangat penting, karena di dalam pergerakannya merupakan satu-satunya alat komunikasi. Diperlukan orang-orang yang berani, loyal kepada bangsa dan negara serta pemerintahan militer Surakarta, juga orang yang menjadi kurir tersebut juga harus pandai menyamar, karena cara membawa surat dari satu pihak ke pihak lain pun juga memerlukan cara dan kecerdikan tersendiri. Mula-mula kurir dilakukan oleh seorang laki-laki, namun karena seiring berjalannya waktu dan keadaan, posisi kurir laki-laki ini dirasa sudah tidak aman, sehingga diganti dengan seorang wanita.
commit to user
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id
BAB V KESIMPULAN Pemberian otonomi oleh pemerintahan RI kepada Kasunanan dan Mangkunegaran pada tanggal 19 Agustus 1945 dalam mengatur daerahnya ternyata
mendapat
perlawanan
yang
keras.
Beberapa
partai
politik,
kelompok atau golongan di Surakarta menyatakan menolak pernyataan tersebut. Pernyataan pemerintah itu juga mendapat tantangan dari KNI (Komite Nasional Indonesia) daerah Surakarta yang mendapat dukungan dari partai-partai dan badan perjuangan. KNI daerah Surakarta juga mendapat kepercayaan oleh partai-partai dan badan perjuangan agar dapat memerintah daerah Surakarta. Daerah Surakarta terdapat dualisme
pemerintahan,
antara
KNI
daerah
Surakarta dengan pemerintahan swapraja. Dualisme pemerintahan membuat pemerintahan RI mengangkat suatu komisaris tinggi untuk daerah Surakarta dan Yogyakarta. Komisaris Tinggi ini merupakan perwakilan dari pemerintahan RI yang berpusat di Surakarta. Pada tanggal 19 Oktober 1945 pemerintahan RI menunjuk R P Soeroso (gubernur Jawa Tengah) untuk menjadi Komisaris Tinggi daerah Surakarta dan Yogyakarta. Atas usul dari KNI kepada Komisaris Tinggi dibentuklah badan pemerintahan Direktorium yang bertujuan agar Surakarta berada dalam satu pemerintahan. Direktorium beranggotakan Komisaris Tinggi, Paku Buwono XII dan perwakilan KNI daerah Surakarta. Pemerintahan RI berpikir ulang tentang apa yang harus dilakukan untuk commit to userdapat dimanfaatkan oleh Belanda daerah Surakarta, karena pertentangan tersebut 147
148 digilib.uns.ac.id
perpustakaan.uns.ac.id
dan akan bertambah kacau. Pemerintahan berusaha untuk mencegah pertikaian bertambah luas maka pemerintahan memenuhi keinginan dari kelompok anti swapraja. Pada tanggal 15 Juli 1946 pemerintahan mengeluarkan undang-undang no 16/ SD/ 1946 yang menyatakan : 1) jabatan komisaris tinggi ditiadakan, 2) daerah Surakarta untuk sementara dijadikan daerah karesidenan, 3) dibentuk daerah baru dengan nama daerah kota Surakarta. Dalam sejarah perkembangannya di awal kemerdekaan yang dimulai dari periode Badan Perwakilan Rakyat, Haminte Kota Surakarta hingga menjadi Pemerintah Kota Surakarta hingga saat ini memang banyak terjadi perubahan struktur di dalam pemerintahannya. Di bentuknya Pemerintah Kota Surakarta ini sepenuhnya dimulai dari nol, bukan merupakan perubahan dari birokrasi Swapraja yang telah ada melainkan benar-benar dibentuk suatu Pemerintahan baru yang lebih modern dan tentu saja dalam penentuan jabatan tidak berdasarkan atas garis keturunan melainkan dari kecakapan tiap-tiap orang. Terbentuknya pemerintahan modern di Surakarta tentu memberikan berbagai dampak. Beberapa dampak yang terlihat adalah dari system pemerintahan itu sendiri yang sudah tidak lagi menggunakan bentuk pemerintahan tradisional melainkan sudah berbentuk pemerintahan modern. Selain itu banyak dibentuk jawatan-jawatan guna membantu kinerja Pemerintah Daerah Surakarta pada masa itu. Seperti lembaga Peradilan, Jawatan Penerangan, Jawatan Pamong Praja, bidang Perekonomian, Bidang Sosial dan Kesejahteraan.
commit to user