Tentang Ekonomi dan Keuangan* Ir. Sakirman I. Perkembangan politik ekonomi di zaman kolonial sejak akhir abad ke-sembilanbelas 1. Sejak berlakunya Undang-Undang Agraria pada tahun 1870, maka terbukalah kemungkinan yang luas bagi kaum pengusaha industri partikelir Belanda dan pengusaha asing umumnya untuk menanam modalnya di Indonesia di lapangan perkebunan dan pertanian berteknik modern, dan perusahaan-perusahaan pertambangan. Sebabnya ialah karena dengan Undang-Undang Agraria itu Pemerintah Hindia Belanda bisa memberikan tanah dengan hakerfpacht, menurut peraturan-peraturan yang ditetapkan dengan undang-undang (ordonans) dan karena hak-erfpacht itu adalah hak-benda (zakelijk recht) yang dapat dibebani hipotik. Sebelum itu satu-satunya kemungkinan bagi pengusaha-pengusaha industri partikelir Belanda ialah dengan jalan menyewa tanah, akan tetapi karena hak-sewa adalah hak-orang (persoonlijk recht) yang tidak dapat dibebani oleh hipotik, maka hal ini sangat menghambat perkembangan modal asing. Berdasarkan prinsip-prinsip Undang-Undang Agraria 1870, maka kemudian dikeluarkan apa yang dinamakan “Agrarische Besluit” (20 Juli 1870) yang antara lain memuat pernyataan hak Negeri (baca pemerintah kolonial) atas tanah yang terkenal dengan “domeinverklaring.” Dengan “domeinverklaring” itu, maka semua tanah, kecuali tanah yang dihinggapi oleh hak-eigendom, dinyatakan sebagai milik (domein) Negeri. Dan ini berarti bahwa “domeinverklaring” merupakan senjata yang jitu bagi pemerintah kolonial Belanda untuk lebih menjamin kepentingan-kepentingan *
Dimuat dalam buletin Ekonomi & Masjarakat, No. 1, 1959.
daripada kaum pengusaha industri partikelir asing, khususnya Belanda. 2. Periode modal industri partikelir dengan sistem persaingan merdeka, yang sejak tahun 1870 telah mengganti periode sistem dagang monopoli negara, berlangsung hanya lebih kurang 25 tahun. Sejak tahun 1895 Indonesia menginjak zaman imperialisme atau zaman kapital monopoli asing, yaitu tingkat tertinggi daripada kapitalisme, di mana modal industri partikelir sudah berpadu dengan modal bank menjadi modal finans monopoli yang menguasai sepenuhnya kehidupan politik dan ekonomi Indonesia. Di zaman imperialisme ini politik ekonomi pemerintah kolonial Hindia Belanda ditujukan untuk menjadikan Indonesia sebagai: I. sumber bahan mentah; II. sumber tenaga buruh yang murah; III. pasar bagi hasil-hasil industri negeri-negeri kapitalis yang maju, dan IV. tempat investasi modal asing 3. Indonesia sebagai sumber bahan-bahan mentah, dan sebagai pasar barang-barang hasil industri. (A) Bahan-bahan mentah yang dihasilkan oleh Indonesia tidak diolah di Indonesia sendiri sebagai barang-jadi atau setengahjadi akan tetapi diekspor ke luar-negeri untuk memenuhi kebutuhan pasar-dunia akan bahan-bahan mentah itu. Semua macam dan jenis bahan-bahan mentah adalah hasil-hasil dari perkebunan dan pertanian berteknik modern, hasil-hasil minyak-tanah, pelikan-pelikan dan juga hasil-hasil perkebunan dan pertanian penduduk bangsa Indonesia. Di antara yang penting-penting dapat disebutkan: hasil-hasil minyak-tanah, timah, gula, kopi, tembakau, kopra, rempahrempah, karet, getah perca, teh, jagung, hasil-hasil tapioka, dll. Sekedar gambaran tentang pesatnya perluasan tanah tanaman dan produksi beberapa jenis tanaman-ekspor, bisa dilihat dari angka-
| 2 |
Tentang Ekonomi dan Keuangan angka di bawah ini: Gula Tahun 1832 1840 1870 1900 1913 1925
Luas tanah yang ditanami dalam bau – 44.666 54.176 128.301 204.778 251.878
Produksi dalam pikul 100.000 720.000 2.440.000 12.050.000 23.763.000 37.295.331
Teh Produksi dalam jutaan pon Jawa Sumatera 1885 5 – 1900 15 – 1914/1918 81 3 1919/1922
99
11
Tembakau
1870 1899
Jumlah pak Jawa Sumatera 129.070 2.114 241.862 259.035
1913
586.548
251.689
Luas tanah yang disewakan kepada kaum pengusaha-pengusaha partikelir asing dalam tahun 1870 adalah lebih kurang 25.000 ha., dalam tahun 1901 menjadi 435.000 ha. dan dalam tahun 1929 dengan sangat pesatnya sudah meningkat menjadi 3.946.000 ha. di seluruh Indonesia. Dari 3.946.000 ha. ini, sebagian yaitu 1.165.525 ha. telah ditanami dengan tanaman-tanaman ekspor (export gewassen) dan beberapa tanaman-tanaman ekspor yang penting meliputi luas tanah sebagai berikut: karet 547.500 ha.; gula 197.000 ha.; kopi 127.000 ha.; the 120 ha.; minyak sawit 57.500 ha.; kelapa sawit 51.500 ha.; tembakau 48.500 ha.; kina
| 3 |
19.500 ha.; serat-serat 15.500 ha.; kapuk 15.500 ha.; dan minyakminyak eteris 11 ha. Sebagai perbandingan dapatlah diterangkan di sini, bahwa luas tanah tanaman (sawah dan tegalan) dan halaman-halaman di Jawa adalah 7.873.000 ha., luas sawah yang ditanami 3.372.000 ha., dan luas tanah yang ditanami di negeri Belanda 993.000 ha., sedangkan luasnya tanah-tanah onderneming di Jawa adalah 1.272.000 dalam tahun 1929. Jadi luas tanah-tanah onderneming di Jawa yang dikuasai oleh beberapa gelintir kaum monopolis asing, terutama Belanda merupakan lebih dari sepertiga luasnya sawah-sawah berpuluh-puluh juga kaum tani dan lebih luas dari seluruh tanah tanaman di negeri Belanda. Betapa pentingnya tanaman-tanaman yang menghasilkan bahanbahan ekspor dapat kita lihat dari angka-angka ekspor untuk bahanbahan penting seperti di bawah ini, dihitung dalam jutaan gulden Belanda dulu sebelum perang: hasil-hasil minyak-tanah gula pasir kopi tembakau kopra merica karet getah-perca the timah jagung hasil-hasil ketela
1915 142 217 39 74 42 15 57 4 47 30 8 7
1925 173 369 68 110 102 32 584 3 774 94 7 16
1929 179 312 70 83 98 55 237 – 87 39 – 21
Sebagai akibat daripada krisis umum dunia, yang berlangsung dari tahun 1929 sampai tahun 1933, maka harga bahan-bahan ekspor semenjak tahun 1929 telah sangat merosot, sehingga harga ekspor seluruhnya menunjukkan juga kemerosotan yang sangat menyokok. Kalau harga ekspor dalam tahun 1928 berjumlah f. 1.577 juta, maka dalam tahun-tahun 1931, 1933, 1935 dan 1938 harga ekspor itu berturut-turut berjumlah f. 749 juta, f. 470 juta, f. 447 juta
| 4 |
Tentang Ekonomi dan Keuangan dan f. 658 juta. (B) Untuk dapat mengembangkan politik ekspor kolonial secara maksimal, maka pemerintah Hindia Belanda dulu telah menjalankan politik impor yang sangat merugikan Rakyat Indonesia dan yang semata-mata hanya menguntungkan kaum kapitalis monopoli asing, terutama Belanda. Politik impor itu adalah merupakan suatu pelaksanaan politik kolonial untuk menjadikan Indonesia sebagai pasar daripada barang-barang industri negaranegara kapitalis yang telah maju. Barang-barang yang diimpor oleh Indonesia buat sebagian terbesar terdiri dari barang-barang konsumsi, seperti barang tekstil, kelontong, alat-alat tulis-menulis, barang-barang keperluan percetakan, bahan-bahan cat, korekapi, sigaret, sabun, kembang-gula, barang-barang luks, seperti kendaraan bermotor dll. dan hanya sedikit sekali terdiri dari barang-barang modal. Dan barang-barang modal inipun diimpor oleh pemerintah kolonial Hindia Belanda dengan maksud memenuhi kebutuhan kaum kapitalis monopoli dan kaum kapitalis besar asing, dan tidak untuk keperluan industri nasional Indonesia. Juga sudah terang bagi kita bahwa politik impor itu di samping ditujukan untuk menjadikan Indonesia sebagai pasar daripada barang-barang hasil industri negara-negara kapitalis, dan tidak untuk menjadikan Indonesia sebagai negara industri yang maju, juga ditujukan untuk bisa menciptakan suatu neraca pembayaran dan neraca perdagangan yang menguntungkan Hindia Belanda dan secara langsung ataupun tidak langsung menguntungkan negeri Belanda, sebagaimana dapat dibuktikan dari angka-angka ekspor dan impor dari tahun 1915 sampai dengan tahun 1940, sebagai berikut: Tahun Harga ekspor (dalam jutaan gulden) 1915 f. 770,9 1920 2238,9 1925 1813,4 1930 1191,5 1935 505,3
Harga impor
Surplus
f. 399,5 1310,8 862,6 922,6 277,9
f. 371,1 928,1 950,8 269,2 227,4
| 5 |
1940
940,3
437,6
502,6
Kalau kita periksa neraca perdagangan negeri Belanda, maka nyatalah, bahwa negeri ini sejak permulaan sampai pertengahan abad ini menunjukkan terus-menerus bukan kelebihan ekspor, tetapi kelebihan impor, yaitu: Dalam jangka waktu 1910-1914 1915-1919 1920-1924 1925-1929 1930-1934 1935-1939
Rata-rata tiap tahun (dalam jutaan gulden) 572 455 944 590 508 327
Sudah tentu oleh kaum imperialis Belanda kelebihan ekspor Indonesia digunakan untuk menutup kelebihan impor negeri Belanda sehingga hal ini sangat menguntungkan politik ekonomi Belanda untuk menstabilisasi nilai gulden Belanda dan memperoleh mata uang asing maupun mas untuk memperkuat keuangan negeri Belanda. Seperti diuraikan di atas, maka dengan politik impornya yang reaksioner itu, Belanda berusaha untuk mencegah Indonesia bertumbuh menjadi negara industri yang maju. Sebagai akibat daripada politik ini, maka Indonesia yang berpenduduk dalam tahun 1930 tidak kurang dari 60.000.000 jiwa merupakan suatu negeri agraria, sehingga Rakyat dan bangsa Indonesia tidak memiliki perusahaan-perusahaan industri besar maupun sedang. Dan kalau toh ada sebagian kecil sekali dari bangsa Indonesia yang memiliki perusahaan-perusahaan, maka perusahaanperusahaan ini baru mencapai tingkat manufaktur, seperti perusahaan tenun, kain batik, rokok kretek, dll. dan perusahaan kerajinan-tangan seperti perusahaan alat-alat rumah-tangga, pandai-besi, payung, tikar, penyamak kulit, dll. (C) Pada tahun-tahun sebelum perang dunia II, maka pemerintah kolonial Hindia Belanda terpaksa mengadakan tindakan-tindakan
| 6 |
Tentang Ekonomi dan Keuangan di lapangan impor dan ekspor dengan tujuan untuk: a. melindungi barang-barang impor dari negeri Belanda dari persaingan asing, terutama dari persaingan barang-barang Jepang; b. mengurangi akibat-akibat buruk dari krisis ekonomi dunia terhadap kepentingan kaum kapitalis besar Belanda di Indonesia; c. melimpahkan beban-beban krisis ekonomi dunia kepada massa Rakyat Indonesia terutama kaum buruh dan kaum tani; d. lebih memperkuat usahanya untuk menekan perkembangan industri manufaktur dan kerajinan-tangan nasional Indonesia, dan e. memonopoli sumber-sumber devisen (mata-uang asing), guna menjamin kebutuhan-kebutuhan akan bahan-bahan dan alatalat perang. Untuk melindungi barang-barang impor dari negeri Belanda dari persaingan barang-barang negeri asing lainnya, terutama Jepang, maka oleh Pemerintah Hindia Belanda diadakan apa yang dinamakan (a) “goederen en landen contingenteering,” dan sistem “licentieering.” Dengan “goederen en landen contingenteering,” dimaksudkan untuk membatasi barang-barang impor dan menetapkan negara-negara mana yang diperbolehkan mengimpor ke Indonesia barang-barang yang telah ditentukan lebih dahulu. Sistem “licentieering” bertujuan untuk memberikan lisensi, kepada importir-importir besar Belanda guna mengimpor barang-barang tertentu, dan melarang impor barang-barang ini oleh importirimportir yang tidak mendapat lisensi. Sebagai usaha untuk tetap menjamin impor barang-barang industri dari negeri Belanda dan barang-barang industri modal Belanda di Indonesia, maka pemerintah Hindia Belanda juga mengadakan politik “bedrijfsreglementeering” berdasarkan “Bedrijfsreglementeering Ordonantie” tahun 1934. Maksud daripada politik ini ialah mencegah persaingan dalam negeri antara perusahaan-perusahaan atau pabrik-pabrik tertentu, seperti perusahaan susu, perusahaan percetakan, pencoran logam,
| 7 |
perusahaan tekstil berteknik modern, pabrik-pabrik sigaret, industri besi, dll. yang semuanya dimiliki oleh kaum kapitalis besar Belanda. Betapa hebatnya pengaruh krisis umum dunia terhadap perkembangan ekonomi Indonesia, dapat diketahui misalnya dari kenyataan bahwa dari pabrik gula yang sebelum krisis berjumlah 178, sesudah krisis ada 50 pabrik yang ditutup buat selama-lamanya dan 98 pabrik yang ditutup untuk sementara. Mengenai karet dapat diterangkan, bahwa karet yang dalam tahun 1925 harganya f. 1,74 setiap pon, dalam tahun 1929 telah turun menjadi 54 sen dan dalam tahun 1932 merosot lagi menjadi 8,5 sen setiap pon (500 gram). Semua tindakan pemerintah Hindia Belanda seperti diuraikan di atas telah membawa akibat (a) naiknya harga barang-barang kebutuhan hidup sehari-hari; (b) bertambah meluasnya kemelaratan dan kemiskinan Rakyat banyak terutama kaum buruh dan kaum tani, dan (c) bertambah banyaknya perusahaanperusahaan kerajinan tangan dan manufaktur bangsa Indonesia yang bangkrut. Dalam tahun 1940 ketika perang dunia II sudah meletus, tetapi belum menjalar ke Indonesia, oleh pemerintah Belanda diambil tindakan di lapangan ekonomi dan keuangan berdasarkan “Devisen Ordonantie 1940,” yaitu tindakan untuk menguasai semua hasilhasil ekspor berupa devisen atau mata-uang asing, dengan tetap memberikan kemungkinan seluas-luasnya kepada kaum kapitalis monopoli asing untuk mengirimkan atau mentransfer uang dalam valuta asing ke luar-negeri, berupa keuntungan, bunga, pensiun, penyusutan (afschrijvingen), dll. “Devisen Ordonantie 1940” itu sampai sekarang masih berlaku, dan dijadikan oleh Pemerintah-Pemerintah RI untuk menetapkan politik perdagangan luar-negeri, serta untuk menetapkan prosedur impor dan ekspor, sebagai nanti akan diterangkan lebih lanjut.
| 8 |
Tentang Ekonomi dan Keuangan 4. Indonesia sebagai tempat investasi modal asing dan sebagai sumber tenaga buruh yang murah. (A) Dalam bukunya Schets Ener Economische Geschiedenis Van Nederlands Indie, Prof. Gongrijp menaksir bahwa jumlah modal asing yang ditanam di Indonesia sebelum perang adalah f. 5.000.000.000 (gulden Belanda dulu sebelum perang), dan 0,7-0,8 dari jumlah itu yaitu f. 3,5 sampai f. 4 milyar adalah milik Belanda. Ir. Rutgers menaksir jumlah modal asing seluruhnya di Indonesia adalah f. 5 sampai f. 5,5 milyar. Menurut penyelidikan yang dilakukan oleh The PG White Engineering Corporation New York dalam “Economic Report On The Economy of Indonesia, January 1953” (Laporan Ekonomi Tentang Ekonomi Indonesia, Januari 1953), maka jumlah modal seluruhnya di Indonesia sebelum perang adalah $ 2.100.000.000, belum termasuk modal Belanda yang ditanam secara tidak langsung, yaitu misalnya yang dipinjam oleh pemerintah-pemerintah haminta (kota-praja). Dari jumlah modal yang ditanam secara langsung itu, Belanda memiliki $ 1.470.000.000; Inggris $ 262.500.000; Amerika $ 210.000.000; Perancis dan Belgia $ 105.000.000 dan negara-negara lainnya terutama Tiongkok Chiang Kay Shek dulu $ 52.500.000. Menurut Prof. Dekrsen dan Prof Tinbergen modal Belanda di zaman sebelum perang dulu ditanam di berbagai lapangan atau sektor ekonomi dan keuangan, sebagai berikut: ‘ a. perusahaan minyak tanah f. 500.000.000 b. perkebunan karet c. perkebunan gula d. perkebunan-perkebunan lain e. bank-bank pertanian besar f. macam-macam lapangan g. jalan-jalan kereta api h. pelayaran i. perusahaan-perusahaan milik pemerintah Hindia Belanda j. perusahaan-perusahaan industri k. perusahaan-perusahaan tambang timah
| 9 |
450.000.000 400.000.000 350.000.000 274.000.000 250.000.000 150.000.000 100.000.000 100.000.000 50.000.000 10.000.000
l. jumlah hutang haminta-haminta Hindia Belanda kepada orang-orang Belanda yang berada di negeri Belanda m. kapital Belanda yang ditanam lewat perusahaan asing lainnya jumlah
1200.000.000 200.000.000 f. 4034.000.000
Jadi menurut Tindergen-Derksen modal Belanda yang ditanam secara langsung adalah f. 4.034.000.000,- - (f. 1.200.000.000 + f. 200.000.000) = f. 2.634.000.000,Dr. Waller menaksir seluruh modal asing di Indonesia dulu tidak kurang dari f. 600. 000.000 dan 0,7 dari jumlah ini yaitu lebih kurang f. 4.200.000.000 adalah milik Belanda. Ada pun jumlah uang yang dulu setiap tahun ditransfer ke negeri Belanda terdiri dari devisen-devisen dan bunga, ongkos-ongkos direksi perusahaan-perusahaan Belanda, pensiun untuk pegawai partikelir Belanda, pengiriman uang untuk para keluarga di negeri Belanda, gaji dan pensiun para pegawai pemerintah Hindia Belanda, keuntungan ekspor barang dari negeri Belanda ke Indonesia, lalu-lintas perkapalan ke Indonesia, pengerjaan bahanbahan mentah Indonesia di negeri Belanda (misalnya pencoran timah), dll. ditaksir oleh beberapa ahli ekonomi Belanda sendiri tidak kurang dari f. 700.000.000. Dalam jumlah ini belum termasuk hasil-hasil pajak yang dipungut oleh pemerintah Hindia Belanda atas Rakyat Indonesia, dan juga berlum termasuk bunga daripada hutang Hindia Belanda kepada Belanda. Maka tidaklah mengherankan, apabila Colijn, seorang Belanda yang paling reaksioner dan seorang tokoh kolonialis yang sangat “terkenal,” mengatakan bahwa “modal asing harus mengerumuni Hindia Belanda, seperti halnya semut selalu mengerumuni wadah-gula.” (B) Prof. Van Gelderen, seorang pegawai tinggi Pusat Kantor Statistik dari pemerintah Hindia Belanda menulis antara lain bahwa berhubung dengan perkembangan penanaman modal asing yang sangat pesatnya sesudah tahun 1900, maka kebutuhan akan tenaga kaum buruh semakin menjadi besar, dan dengan begitu bertambahlah pula dengan sangat menyolok jumlah penduduk yang
| 10 |
Tentang Ekonomi dan Keuangan mendapat sumber penghasilannya dari upah, dan bahwa akibat daripada ini semua ialah bahwa penduduk bumiputera menjadi suatu bangsa yang terdiri dari kaum buruh belaka. Dan memang, jumlah penduduk yang hidup dari upah bertambah dengan sangat pesatnya dalam tempo duapuluh tahun sesudah tahun 1900. Jika dalam tahun 1905 jumlah penduduk yang bekerja sebagai kaum tani dan pengusaha miskin di kota dan di desa merupakan 75% maka dalam tahun-tahun antara 1925-1929 jumlah itu sudah berkurang sekali dan merupakan lebih kurang 52% dari jumlah seluruhnya penduduk. Dan berapakah upah yang diterima rata-rata oleh kaum buruh yang bekerja pada perusahaan kolonial Belanda? Menurut seorang ahli sosial-ekonomi bangsa Belanda Dr. Huender, maka seorang kepala keluarga kaum buruh atau tani miskin setiap tahunnya mendapat penghasilan lebih kurang f. 161,- atau kurang dari f. 0,40 sehari atau jika kita misalkan satu keluarga terdiri dari 5 orang maka setiap orang seharinya mempunyai penghasilan lebih kurang 8 sen sehari. Penghasilan ini di zaman krisis yang mengamuk dari tahun 1929 sampai tahun 1933 menurut Prof. Gonggrijp turun sampai 40%-50%, sehingga di mana krisis umum ekonomi dunia, orang Indonesia dari golongan buruh atau tani miskin benar-benar hidup dengan segobang atau 2,5 sen sehari. Dan kaum buruh Indonesia di zaman kolonial dulu bukan hanya hidup dengan syarat-syarat di bawah minimum, tetapi mereka terikat oleh kontrak-kontrak yang dipaksakan oleh pemerintah Hindia Belanda menurut “koeli Ordonantie” dan juga terikat oleh apa yang dinamakan “poenale sanctie” yang menetapkan ketentuan-ketentuan hukuman bagi merek yang menyalahi kontrak. Dengan demikian, maka perbudakan “poenale sanctie” telah mengganti perbudakan “cultuurstelsel,” sehingga baik di zaman “cultuurstelsel,” maupun di zaman imperialis, Rakyat Indonesia terutama kaum buruh dan tani miskin tetap hidup di bawah perbudakan dan penghisapan kaum penghisap dan penindas asing dan tuan-tanah bumiputera.
| 11 |
Dan perhatikanlah kata-kata Meyer-Ranneft, dulu Ketua “Dewan Rakyat” atau “Volksraad,” yang mengatakan bahwa “jumlah yang diterima oleh kaum modal (asing) dan perusahaan industri menjadi sebanding lebih besar dengan bertambah jeleknya tingkat penghidupan penduduk bumiputera.” Dan bagi kaum modal asing, memanglah yang terpenting, menurut Prof. Boeke, adalah harga sewa-tanah yang serendah-rendahnya dan penawaran tenaga buruh sebanyak-banyaknya yang berarti upah yang serendah-rendahnya bagi kaum buruh ini. II. Tindakan-tindakan Pemerintah-Pemerintah RI Di Lapangan Ekonomi-Keuangan 1. Pengalaman-pengalaman selama zaman merdeka ini, terutama selama zaman KMB menunjukkan, bahwa tindakan-tindakan Pemerintah-Pemerintah RI di lapangan ekonomi-keuangan berpokok kepada politik ekonomi-keuangan pemerintah Hindia Belanda dulu. Yaitu mengutamakan politik perdagangan luar-negeri yang berorientasi kepada kepentingan-kepentingan negara-negara imperialis dengan mengikatkan diri pada peraturan-peraturan keuangan dari zaman kolonial dan kepada perjanjian-perjanjian internasional yang diadakan oleh pemerintah federal Van Mook. Sebagaimana telah diterangkan di atas, maka dalam tahun 1940 pemerintah Hindia Belanda mengadakan apa yang dinamakan “Deviesen Ordonantie” yang sampai sekarang menjadi dasar dari segala tindakan-tindakan politik ekonomi-keuangan dari sejak Pemerintah Hatta sampai kepada Pemerintah Djuanda sekarang. Sepintas lalu memang nampaknya seolah-olah “Deviezen Ordonantie” itu memberikan hak kepada Pemerintah untuk menguasai sumber keuangan luar-negeri, sehingga dengan begitu bisa diselenggarakan “politik ekonomi-keuangan terpimpin” sebagaimana yang selalu digembar-gemborkan oleh para ahli ekonomi burjuis bangsa kita. Tetapi “politik ekonomi-keuangan terpimpin” bisa mempunyai
| 12 |
Tentang Ekonomi dan Keuangan dua arah yang bertentangan satu sama lain. Politik ekonomikeuangan terpimpin yang menguntungkan negara, Rakyat dan tanah-air Indonesia dan “politik ekonomi-terpimpin” yang sematamata hanya menguntungkan kaum monopolis asing. Dengan memegang teguh kepada peraturan devisen tahun 1940 dalam keadaan pemerintah masih mengikatkan diri kepada perjanjian Bretton Woods yang dulu dibuat oleh pemerintah Federal Van Mook lewat pemerintah negeri Belanda tidak bisa lain kecuali berarti: a. semakin tergantungnya ekonomi Indonesia kepada ekonomi kapitalis monopoli internasional yang telah dan akan terus mengalami krisis-krisis yang semakin hebat; b. semakin merosotnya nilai rupiah yang semata-mata didasarkan atas situasi neraca pembayaran dan neraca perdagangan antara Indonesia dengan negeri-negero kapitalis; c. semakin meluasnya kemelaratan dan kemiskinan massa Rakyat yang selalu dijadikan obyek untuk memikul akibat-akibat dari semakin merosotnya nilai rupiah RI dan akibat-akibat dari krisis umum kapitalisme; d. terlibatnya negara RI dalam kesulitan-kesulitan ekonomikeuangan yang bergerak dalam lingkaran spiral meningkat yang akan membawa RI ke arah kehancurannya; e. terbukanya jalan yang lebih lapang bagi kaum imperialis, terutama imperialis Amerika untuk menguasai Indonesia dengan menggunakan macam-macam semboyan yang menipu Rakyat. 2. Marilah kita mencoba menguraikan dalam garis-garis besar tindakan-tindakan Pemerintah RIS dan RI di lapangan ekonomikeuangan yang didasarkan atas “Deviezen Ordonantie” 1940 dan Perjanjian Bretton Woods. Tindakan pertama di lapangan keuangan yang sangat merugikan Rakyat dilakukan oleh Sjafruddin Prawiranegara, sebagai Menteri Keuangan dalam Kabinet Hatta, dengan menggunting uang RIS dalam bulan Maret 1950. Menurut berita-berita yang kita dengar, maka dengan pengguntingan uang itu kaum modal besar Belanda telah
| 13 |
mendapat keuntungan tidak kurang dari Rp. 500.000.000,- (kurs rupiah pada waktu itu dibandingkan gulden 1:1), sedangkan dari fihak Rakyat telah menderita kerugian tidak kurang dari Rp. 1,5 milyar. Dengan pengguntingan uang itu kurs rupiah kita telah merosot dengan 50%, sehingga rupiah kita menjadi f. 0,50. Bersamaan dengan tindakan menggunting uang itu juga diadakan apa yang dinamakan sistem Sertifikat Devisen yang mengharuskan importir membayar tambahan pembayaran impor sebanyak 200% harga nominal sehingga kurs rupiah kita menjadi sepertiga daripada gulden Belanda. Inilah tindakan yang kedua yang merugikan negara dan Rakyat, karena dengan tindakan itu berarti bahwa Kabinet Hatta-Sjarifuddin secara resmi telah menurunkan kurs rupiah kita sehingga menjadi sepertiga daripada gulden Belanda. Tindakan Hatta-Sjarifuddin itu kecuali bersifat legislasi daripada penurunan kurs rupiah kita juga merupakan pangkal daripada tindakantindakan Pemerintah RI kemudian untuk terus memerosotkan kurs rupiah RI dan melimpahkan beban-beban krisis umum kapitalisme kepada Rakyat banyak yang merupakan konsumen daripada barangbarang impor yang dikenakan tambahan pembayaran impor atau “TPI.” Di samping barang-barang yang dikenakan “TPI,” juga ditetapkan barang-barang impor lainnya yang hanya dapat didatangkan dari luar-negeri, jika ada Bukti Indusemen (BI) yang berasal dari ekspor. BI ini diperdagangkan dengan bebas di pasar dan kursnya ditetapkan oleh imbangan antara permintaan dan penawaran. Sistem BI ini juga merupakan pangkal permulaan bagi Pemerintah-Pemerintah RI kemudian untuk melakukan manipulasi-manipulasi di lapangan impor-ekspor yang pada hakekatnya sama saja dengan sistem TPI. Dan sistem Bukti Ekspor (BE) yang sekarang dijalankan oleh Menteri Keuangan Sutikno Slamet, seperti nanti akan kita uraikan lagi adalah merupakan kombinasi daripada sistem “TPI” dan BI yang diadakan oleh Kabinet Hatta-Sjarifuddin itu. Untuk menutupi kebobrokan-kebobrokan politik keuangan Kabinet
| 14 |
Tentang Ekonomi dan Keuangan Hatta-Sjarifuddin dan untuk mencari popularitas di kalangan pengusaha-pengusaha bangsa Indonesia, maka dalam bulan Maret 1950 juga didirikan apa yang dinamakan sistem Benteng. Dengan sistem Benteng ini dimaksudkan agar beberapa importir yang lebih dulu ditetapkan sebagai importir Benteng diberikan “hak monopoli” untuk mengimpor barang-barang berdasarkan “toewijzing” atau pembagian tertentu. Untuk sementara sistem Benteng ini memang bisa memindahkan sebagian hak monopoli The Big Five ke tangan beberapa importir bangsa Indonesia, tetapi kemudian ternyata bahwa sistem ini hanya menguntungkan beberapa gelintir importir Indonesia yang memang sudah kuat kedudukannya dan yang secara politik maupun ideologi sangat dekat dengan golongan-golongan yang berkuasa di zaman Kabinet Hatta-Sjarifuddin, yaitu golongan MASJUMI-PSI. 3. Dalam bulan Maret 1951 telah terjadi perubahan lagi mengenai pembayaran dalam impor barang-barang, di luar golongan barangbarang yang dikenakan Sertifikat Devisen, disebabkan oleh karena penawaran BI yang berasal dari ekspor semakin berkurang di pasaran bebas, tetapi sebaliknya permintaan akan BI semakin banyak sehingga hal ini menyebabkan kurs BI yang berasal dari ekspor menunjukkan tendensi membumbung tinggi. Berhubung dengan itu maka diputuskan oleh Pemerintah, bahwa para importir dapat membeli BI dari Bank Indonesia dengan nilai tetap yaitu 200% dari nilai rupiah nominal. BI yang berasal dari ekspor tetap berlaku sampai bulan Maret 1952, sehingga selama jangka waktu Maret 1951 dan Maret 1952 berlaku secara berdampingan dua sistem BI, yaitu BI yang berasal dari ekspor dan BI yang dapat dibeli dari Bank Indonesia. Sepintas lalu dapat diterangkan bahwa semenjak berlakunya sistem Sertifikat Devisen maka para eksportir dalam mengekspor barangbarangnya bukannya mendapat pembayaran 300% harga nominal, tetapi mendapat 100% harga nominal ditambah dengan 50% daripada “TPI” atau sama dengan 100% + 50% dari 200% = 200% harga nominal.
| 15 |
4. Perkembangan politik impor selanjutnya mengharuskan Pemerintah untuk meninjau kembali sistem Sertifikat Devisen, karena sistem ini lama-kelamaan tidak sesuai lagi dengan kepentingan kaum eksportir yang pada pokoknya terdiri dari kaum monopolis eksportir Belanda. Kaum eksportir merasa dirugikan oleh sistem Sertifikat Devisen itu, oleh karena mereka hanya menerima 200% harga nominal barang-barang ekspor mereka, sedangkan harga barang-barang kebutuhan dalam-negeri, disebabkan oleh sistem itu sudah meningkat menjadi sekurangkurangnya 300% daripada harga sebelum berlakunya sistem Sertifikat Devisen. Hal ini antara lain telah menyebabkan bahwa ekspor ke daerah dollar Amerika telah sangat berkurang, sedangkan permintaan akan dollar Pemerintah semakin tipis. Oleh karena itu diambil keputusan untuk menghapuskan sistem Sertifikat Devisen pada bulan Pebruari 1952, dengan pengertian bahwa kurs rupiah dalam perbandingan dengan dollar ditetapkan 1 $ Amerika sama dengan Rp. 11,40. Bersamaan dengan itu juga diadakan sistem baru di lapangan ekspor yaitu apa yang dinamakan Bukti Ekspor Dollar, yang berarti bahwa untuk impor barang-barang dari daerah dalam oleh para importir, harus disediakan Bukti Ekspor Dollar (BED). Para importir yang hendak mengimpor barangbarang dari daerah dollar cq dari Amerika di samping membayar BED dengan harga nominal menurut kurs baru (1 $ = Rp. 11,40) juga harus membayar kepada penjual BED itu tambahan harga sebanyak Rp. 1,- untuk tiap-tiap dollar dan Bukti Indusemen sebanyak 0,7 dari harga nominal baru atau sama dengan 0,7 x Rp. 11,40 = Rp. 7,84 untuk tiap $ AS. Jadi kalau seorang importir akan mendatangkan barang-barang dari Amerika seharga $ 100, kaka ia harus membayar dalam rupiah: 100 x Rp. 11,40 + 0,7 x 100, Rp. 11,40 + 100 x Rp. 1,- = Rp. 1140 + Rp. 784,- + Rp. 100,- = Rp. 2024,- Ini berarti bahwa kurs riil rupiah kita dibandingkan dengan dollar bukan lagi 1 $ = Rp. 11,40, tetapi 1 $ = Rp. 20,24. 5. Sementara itu mulai bulan April 1951 diadakan perubahanperubahan dalam cara pelaksanaan impor barang-barang Benteng,
| 16 |
Tentang Ekonomi dan Keuangan dengan memperluas jumlah importir-importir Benteng dan mengadakan “toewijzing” yang baru sehingga menimbulkan persaingan di kalangan kaum importir Benteng sendiri. Meskipun secara teoritis sistem ini bisa dikatakan baik, karena bisa menghimpun kekuatan-kekuatan importir nasional untuk menghadapi kaum importir besar Belanda yang terkenal dengan The Big Five, akan tetapi dalam prakteknya sistem itu telah disalahgunakan oleh golongan-golongan yang berkuasa karena lisensi untuk mengimpor barang-barang Benteng hanya diberikan kepada sobat-sobat mereka, dan tidak jarang terjadi bahwa “importirimportir Benteng” sobat-sobat mereka ini sebetulnya bukan importir yang bonafid, tetapi tidak lain daripada importir-importir aktentas, makelar-makelar atau kaki-tangan-kaki-tangan dari The Big Five. Sebagaimana kita ketahui maka di zaman Kabinet Ali I telah terjadi korupsi secara besar-besaran dalam Kementrian Perekonomian, yaitu dengan disalahgunakannya lisensi-lisensi yang berharga ratusan juta rupiah oleh golongan-golongan tertentu. Dan celakanya masalah korupsi secara besar-besaran ini telah digunakan oleh kaum reaksioner dan kaum kontra-revolusioner di luar dan di dalam AP, sebagai bahan agitasi dan senjata untuk menelanjangi kekurangan-kekurangan Kabinet Ali, dan untuk mengganti Kabinet Ali dengan suatu Kabinet yang dapat menjalankan sepenuhnya politik fasis dari kaum imperialis Amerika. Jatuhnya Kabinet Ali dan digantinya Kabinet itu oleh Kabinet Burhanudin Harahap-Sumitro yang dibentuk oleh Hatta dengan jalan yang curang dan tidak demokratis tidaklah dapat dipisahkan daripada heboh sekitar korupsi yang terjadi di bidang ekonomi dan keuangan di zaman Kabinet Ali I itu. 6. Meskipun nilai uang rupiah dalam waktu lebih kurang 2 tahun yaitu dari tahun 1950 sampai dengan tahun 1951 telah merosot menjadi seperenam dari nilai rupiah sebelum terjadi pengguntingan uang, dan dengan demikian telah menyebabkan meluasnya kemelaratan dan kemiskinan massa Rakyat, akan tetapi keuangan negara pada waktu itu jika dilihat dari kaca-mata burjuis belumlah dapat dikatakan terlalu buruk. Ini disebabkan oleh agresi
| 17 |
militer Amerika di Korea yang membawa akibat naiknya harga barang-barang ekspor, terutama harga bahan-bahan mentah yang diperlukan untuk peperangan. Dengan naiknya harga-harga bahan-bahan mentah Indonesia, maka persediaan devisen negara selama tahun-tahun 1950-1951 sangat melimpah-limpah, yaitu tidak kurang dari Rp. 6.000.000.000 pada akhir tahun 1951, sedangkan Anggaran Belanja tahun 1951 tidak menunjukkan suatu defisit, sebaliknya malahan suatu surplus sebesar Rp. 1.195.000.000,-. Akan tetapi sejak permulaan tahun 1952 keadaan mulai berubah. Misalnya harga karet dalam tahun 1951 rata-rata di New York adalah 59,07 dollar sen setiap lb. (lb = 1 pound = 453 gram), maka harga itu telah turun dalam tahun 1952 menjadi rata-rata 38,57 dollar sen per lb., jadi telah turun dengan lebih kurang 33% dari harga tahun 1951. Peraturan yang dijalankan pada permulaan tahun 1951 yaitu menetapkan harga 1 $ = Rp. 11,40 buat impor dan ekspor adalah dimaksudkan untuk mendorong ekspor. Dan sesudah harga ekspor dalam tahun 1952 turun dengan pesatnya, maka peraturan itu sudah tidak menarik lagi para eksportir-eksportir, sehingga nafsu untuk mengekspor nampak sangat berkurang. Karena permintaan akan barang impor sebaliknya tidak berkurang, malahan bertambah, maka lambat-laun keseimbangan antara impor dan ekspor sejak tahun 1952 sudah tidak nampak lagi. Ini akan sangat merugikan devisen negara, karena permintaan devisen akan jauh lebih besar daripada persediaan. Untuk menghadapi kenyataan ini, ada beberapa kemungkinan yang bisa ditempuh oleh Pemerintah, yaitu (a) mengurangi jumlah importir yang sementara itu sudah lebih kurang 6.000 jumlahnya, (b) bersamaan dengan itu mengurangi jumlah dan jenis barangbarang impor, dan (c) mengambil jalan lain yang di satu fihak dapat memenuhi kebutuhan akan barang-barang impor, akan tetapi di fihak lain bisa memperkuat keuangan negara, meskipun hal ini terjadi atas pengorbanan kepentingan para konsumen yang berpuluh-puluh juta jumlahnya.
| 18 |
Tentang Ekonomi dan Keuangan Rupanya Pemerintah menempuh jalan yang ketiga ini, dan pada bulan Agustus 1952 maka terjadilah perubahan-perubahan lagi yang “prinsipil” di lapangan politik impor, dengan berlakunya peraturanperaturan impor baru yang pada hakekatnya tidak berbeda dengan peraturan-peraturan impor yang telah dijalankan lebih dulu oleh Pemerintah-Pemerintah Hatta, Natsir dan Wilopo. Menurut sistem ini yaitu yang bisa kita namakan sistem TPI model baru, yang pada hakekatnya tidak berbeda dengan sistem Sertifikat Devisen, maka barang-barang dibagi-bagi dalam 4 golongan yaitu golongan A, B, C dan D. Untuk mengimpor barang-barang golongan A, tidak diperlukan TPI (Tambahan Pembayaran Impor), untuk golongan B diharuskan pembayaran TPI 100% dan untuk golongan C 200%, sedangkan untuk golongan D tidak diberikan devisen. Dalam golongan A dimasukkan barang-barang kebutuhan pokok, dalam golongan B barang semiluks dan juga barang kebutuhan pokok yang harganya di pasar bebas sudah agak tinggi, dalam golongan C barang mewah dan golongan D barang-barang sangat mewah. Juga ditetapkan bahwa para importir harus membayar lebih dulu 40% uang muka dan TPI, sebelim mendapat izin devisen. Dalam bulan Januari 1953 kemudian diadakan tinjauan kembali atas pembagian barang-barang impor, yaitu dengan mengadakan golongan-golongan A, B1, B2, C dan D. Untuk golongan B1 dikenakan TPI 33,33 persen, golongan B2 100%, golongan C tetap 200%, sedangkan uang muka dinaikkan dari 40% menjadi 75% harga nominal, yang kemudian dalam bulan Oktober tahun 1953 diturunkan menjadi 50% lagi. Dalam bulan Oktober tahun itu juga ditetapkan peraturan baru mengenai indusemen atau premi buat beberapa barang ekspor hasil pertanian tertentu. Besarnya premi ini adalah 5% sampai 10% harga ekspor. Untuk mengimpor barang-barang tertentu yang diambilkan dari golongan B2 dan C dan yang secara nominatif telah disebutkan
| 19 |
juga nama-namanya, kaum importtir diharuskan membayar tambahan dengan indusemen tersebut dengan harga indusemen Rp. 1,- sampai Rp 1,20 per rupiah tercantum dalam izin devisen. Indusemen itu disebut juga indusemen ekspor-impor dan tidak disaingi oleh indusemen Bank Indonesia. 7. Dalam bulan September tahun 1955 kita lihat buat sekian kalinya perubahan-perubahan yang “prinsipil” yang dilakukan oleh Menteri Sumitro Djojohadikusumo dalam Kabinet Burhanudin Harahap mengenai cara pelaksanaan impor. Dan kali ini memang bisa dikatakan bahwa perubahan-perubahan itu betul-betul bersifat prinsipil dalam arti, bahwa politik impornya Burhanudin-Sumitro bukan lagi bertujuan melindungi para importir nasional dari saingan-saingan The Big Five, akan tetapi malahan sebaliknya memberikan kesempatan seluas-luasnya kepada kaum importir-eksportir modal besar asing cq The Big Five untuk kembali menguasai sepenuhnya lapangan impor-ekspor. Sistem BurhanudinSumitro yang terkenal dengan sistem impor-ekspor liberal itu, pada pokoknya menghapuskan sistem Benteng yang sudah diperbaharui, artinya tidak mengakui hak importir A untuk mengimpor tekstil, importir B mengimpor “metaalwaren,” dsb. yang dengan susah-payah sudah ditetapkan lebih dulu menurut sistem Benteng yang baru, dan berpendirian bahwa siapa saja yang sudah diakui sebagai importir dapat mengimpor barang apa saja yang mereka kehendaki. Juga cara pembayaran uang-muka menurut sistem ini sangat memberatkan kaum importir nasional yang jujur dan berkemauan baik tetapi tidak mampu melakukan pembayaran uang-muka itu, yang jauh-jauh sebelum ada ketentuan sama sekali tentang dapat dan tidaknya mereka memperoleh devisen, sudah harus mereka penuhi dulu. III. Krisis Ekonomi Indonesia Yang Semakin Menghebat Dan Bagaimana Mengatasinya 1. Sebagaimana kita telah terangkan lebih dulu, maka politik
| 20 |
Tentang Ekonomi dan Keuangan ekonomi kolonial pada pokoknya hanya berpedoman semata-mata kepada politik ekspor. Ini berarti bahwa naik turunnya konjungtur ekonomi dunia sangat berpengaruh kepada perkembangan ekonomi Indonesia. Dalam keadaan “normal” di zaman Hindia Belanda dulu, massa Rakyat Indonesia sudah hidup di bawah penindasan dan penghisapan kaum imperialis dan tuan-tanah, akan tetapi di zaman krisis seperti yang dialami semenjak tahun 1929 penghidupan Rakyat Indonesia menjadi lebih sulit dan sengsara lagi, karena segala akibat ekonomi dan sosial daripada krisis umum kapitalisme dunia dilimpahkan ke pundak Rakyat Indonesia. Sesudah perang dunia II krisis ekonomi umum kapitalisme semakin menghebat disebabkan oleh (a) berkembangnya sistem sosialisme yang mula-mula hanya meliputi Soviet Uni saja, menjadi suatu sistem ekonomi dunia yang meliputi suatu daerah yang sangat luas dengan jumlah penduduk tidak kurang dari 1.000 juta manusia; (b) menghebatnya krisis kolonialisme daripada sistem imperialis; (c) meluas dan mendalamnya pertentangan antara kaum buruh dengan kaum modal monopoli di negeri-negeri kapitalis dan (d) pertentangan antara negeri-negeri imperialis sendiri. Ciri lainnya daripada sistem kapitalisme monopoli nampak juga pada kenyataan bahwa Amerika, sebagai negeri imperialis yang terkuat dan paling berpengaruh di negeri-negeri kapitalis, dan yang menjadi “bolwerk” daripada kekuatan imperialisme-kapitalis, sangat menentukan perkembangan ekonomi negeri-negeri kapitalis, termasuk negeri-negeri Asia-Afrika yang belum merdeka penuh, sehingga kegoncangan ekonomi AS mudah sekali meluas ke negerinegeri kapitalis lainnya. Menurut sumber-sumber kaum burjuis sendiri, maka sesudah perang dunia II, imperialis Amerika telah mengalami tiga kali resesi (taraf permulaan daripada depresi) berturut-turut dalam tahun-tahun 1948-1949, 1953-1954 dan 1958-.... Resesi terakhir ini sudah mulai terasa sejak tahun 1957, sebagaimana dapat kita buktikan, bahwa indeks produksi industri Amerika yang berjumlah untuk tahun 1956 rata-rata 143
| 21 |
(dibandingkan dengan 100 untuk tahun-tahun 1947-1949), dalam bulan-bulan Oktober, Nopember dan Desember 1957 berturutturut menjadi 142,139 dan 135 dan dalam bulan-bulan Januari, Pebruari dan Maret 1958 merosot lagi menjadi 133,130 dan 128. Hal ini membawa akibat, bahwa jumlah kaum penganggur juga bertambah, yaitu dari 3,3 juta dalam bulan Desember 1957 menjadi 5,2 juta dalam bulan Maret 1958. 2. Sebagai akibat resesi Amerika pada tahun-tahun 1953-1954, maka harga-harga bahan ekspor hasil perkebunan onderneming dan hasil perkebunan/pertanian Rakyat, demikian pun harga ekspor timah telah menurun. Akan tetapi belum lagi harga-harga ini menunjukkan kecenderungan untuk naik kembali secara stabil, maka sudah menyusul resesi sekarang ini, sehingga harga barangbarang ekspor Indonesia terus turun, yang mana membawa akibat yang sangat buruk atas perkembangan ekonomi Indonesia. Menurut angka-angka dari Biro Pusat Statistik (BPS), maka harga dari 18 macam bahan-bahan ekspor hasil perkebunan dan pertanian (onderneming dan Rakyat), berdasarkan indeks tahun 1938 = 100, untuk tahun 1955 adalah 1696; tahun 1956 : 1622; tahun 1957 : 1569, dan untuk bulan Januari 1958 : 1438. Perkembangan harga karet di pasar dunia dapat kita lihat dari angka-angka di bawah ini: Tahun 1952 1953 1954 1955 1956 1957 1957 1958 1958
Harga New York US$/cts/lb 38,57 24,23 23,64 39,14 34,17 Januari 33,23 Desember 29,09 Januari 27,13 Maret 26,62
| 22 |
Tentang Ekonomi dan Keuangan Harga timah di pasar dunia Tahun Harga New York US$/cts/lb 1952 963,5 1953 766,1 1954 734,5 1955 757,8 1956 809,1 1957 769,1 1957 Desember 735,0 Yang sangat menyolok ialah bahwa baik berat maupun nilai (harga ekspor hasil-hasil minyak tanah yang devisen dan keuntungannya sepenuhnya dikuasai oleh kongsi-kongsi minyak raksasa asing Amerika, Inggris dan Belanda terus-menerus naik, seperti terbukti dari angka-angka di bawah ini: Tahun 1955 1956 1957
Berat dalam Nilai dalam ribuan ton kotor jutaan rupiah 9.691 2.460 10.526 2.560 15.615 3.677
Sebagai akibat daripada turunnya harga-harga ekspor bahan-bahan mentah maka pendapatan ekspor seluruhnya sangat menurun, yaitu dari Rp. 7,4 milyar dalam tahun 1956 menjadi Rp. 6,8 milyar dalam tahun 1957 (tidak termasuk hasil-hasil minyak tanah). Menurut Laporan Bank Indonesia 1957-1958, maka turunnya harga ekspor dalam tahun 1957, jika dibandingkan dengan tahun 1956, disebabkan juga oleh tindakan-tindakan dari kaum pemberontak PRRI-PERMESTA dll. yang telah melakukan barter gelap dan liar semenjak permulaan tahun 1956, yang meliputi jumlah-jumlah yang sangat besar, yaitu yang ditaksir tidak kurang dari Rp. 1.000.000.000 dalam tahun 1957. Menurut salah satu berita dalam SULINDO beberapa bulan yang lalu kerugian Pemerintah yang disebabkan oleh barter liar, penyelundupan dalam berbagai bentuk selama beberapa tahun terakhir ini ditaksir tidak kurang dari 390
| 23 |
dollar Malaya yang sepenuhnya dikuasai oleh kaum pemberontak kontra-revolusioner PRRI-PERMESTA. Sebagaimana lazim dilakukan oleh Pemerintah-Pemerintah RI yang sudah-sudah maka dalam keadaan di mana harga ekspor turun yang selalu membawa akibat berkurangnya nafsu untuk mengekspor, maka ditempuh suatu “kebijaksanaan” untuk mengurangi masuknya barang-barang impor dari luar negeri. Akan tetapi berkurangnya pemasukkan barang-barang impor dari luar negeri, terutama barang-barang konsumsi yang pokok, dalam keadaan permintaan masih cukup kuat atau mungkin malahan bertambah kuat selalu berakibat naiknya harga barang-barang kebutuhan hidup yang pokok lainnya. 3. Di antara barang-barang kebutuhan hidup yang pokok yang terpenting ialah beras. Harga beras ini belakangan naik dengan pesatnya disebabkan oleh banyak faktor. Di samping faktor kenaikan harga barang-barang impor juga faktor pembelian beras oleh Pemerintah yang tidak berlangsung sebagaimana yang direncanakan. Menurut catatan resmi, maka dalam tahun 1957 direncanakan pembelian padi untuk Jawa Timur 400.000 ton, Jawa Barat 250.000 ton dan Jawa Tengah 150.000 ton, dan pada akhir tahun itu ternyata bisa masuk hanya rata-rata 79,9% dari rencana. Perkembangan harga beras di daerah pedalaman Jawa dan beberapa kota besar adalah sebagai berikut: Akhir Harga beras dalam rupiah per kg. tahun Daerah Jakarta Surabaya Palembang Pedalaman 1952 2,45 2,38 2,20 2,85 1953 2,43 2,31 2,20 2,75 1954 2,35 2,35 2,50 3,15 1955 3,48 3,43 2,70 3,60 1956 3,28 3,88 2,80 3,-
| 24 |
Tentang Ekonomi dan Keuangan 1957
5,90
7,71
5,-
6,25
Untuk tahun 1958 telah direncanakan pembelian 900.000 ton padi di seluruh Jawa, yaitu Jawa Timur 400.000 ton, Jawa Barat 300.000 ton dan Jawa Tengah 200.000 ton. Akan tetapi ternyata bahwa hasilnya hanya mencapai lebih kurang 50% dari jatah yang telah direncanakan dan rencana impor beras sebanyak 500.000 ton telah menjadi kacau karena adanya sabot dan perbuatan jahat tukangtukang spekulan serta tukang-tukang catut yang sengaja atau tidak telah turut membantu kaum imperialis asing untuk mengacaukan ekonomi kita. Untuk tahun 1959 telah direncanakan menggunakan kapasitas penggilingan padi secara maksimal yaitu 500.000 ton dan kerena kebutuhan Pemerintah tidak kurang dari 1,25 juta ton, maka direncanakan mengimpor beras tahun depan sebanyak lebih kurang 750.000 ton. Perkembangan harga 12 bahan makanan penting di beberapa tempat berdasarkan indeks 100 untuk Jakarta dalam tahun 1953 adalah sebagai berikut: Tahun
Jakarta Daerah Medan pedalaman 1952 94 117 96 1953 100 100 100 1954 106 97 110 1955 141 127 167 1956 161 153 168 1957 177 160 165 1957 Des. 244 250 181
Makasar 87 87 94 135 161 169 212
4. Faktor lain yang turut menyeret kenaikan harga-harga barang kebutuhan sehari-hari adalah faktor arus peredaran uang yang semakin lama semakin bertambah banyak dan yang menunjukkan kenaikan sebanyak tidak kurang dari Rp. 5.000.000.000 dalam waktu lebih kurang satu tahun, dari bulan Maret 1957 sampai
| 25 |
dengan bulan Maret 1958. Bertambah derasnya arus peredaran uang juga mempunyai macammacam sebab, yaitu antara lain karena pengeluaran Pemerintah untuk keperluan pertahanan dan keamanan bertambah banyak, disebabkan karena pemberontak dan gerombolan PRRIPERMESTA yang sejak tahun 1956 sebetulnya sudah dengan terang-terangan bermaksud untuk menggulingkan kekuasaan Pemerintah pusat yang syah. Menurut angka-angka resmi, maka pengeluaran uang negara bruto dalam tahun 1957 adalah Rp. 25.870.400.000 dan lebih kurang 40% dari jumlah ini yaitu Rp. 10.916.000.000 digunakan untuk keperluan pertahanan dan keamanan. Menurut Tabel 13 halaman 96 Laporan Bank Indonesia 1957-1958, maka pengeluaran netto yang direalisasikan dalam tahun 1957 adalah Rp. 22.173.000.000, dan penerimaan netto adalah Rp. 16.873 sehingga defisit anggaran belanja tahun 1957 yang sesungguhnya adalah Rp. 5.300.000.000 sedangkan menurut rencana semula defisit ini ditetapkan Rp. 1.402.000.000. Defisit anggaran belanja tahun 1958 menurut perkiraan akan bertambah besar lagi daripada defisit tahun 1957, yaitu lebih kurang Rp. 8.000.000.000,- dan ini sudah tentu akan membawa akibat-akibat inflatoar yang lebih buruk lagi daripada defisit tahun 1957. Faktor lain yang menyebabkan pengeluaran Pemerintah menjadi lebih besar daripada yang direncanakan ialah karena: pemberian tunjangan kemahalan kepada pegawai negeri dinaikan dengan + 8% a 12% kenaikan pengeluaran untuk bahan makanan + 15% a 20% kenaikan ongkos pengangkutan 30% kenaikan upah harian 15% kenaikan harga pakaian 40% kenaikan ongkos alat-alat kantor 40% kenaikan harga bahan-bahan bangunan 40% kenaikan harga mesin-mesin untuk proyek-proyek pabrik
| 26 |
Tentang Ekonomi dan Keuangan 80% Karena turunnya harga ekspor dan tetap stabilnya atau malahan bertambah kuatnya permintaan akan barang-barang impor, maka mudah dimengerti bahwa cadangan devisen negara turun dari Rp. 1.432.000.000 per September menjadi Rp. 1.231.000.000 per Desember 1957 dan turun dari Rp. 1.109.000.000 per Januari menjadi Rp. 977.000.000 per Pebruari 1958. Sepintas lalu perlu kiranya diperingatkan bahwa cadangan devisen negara pada bulan Januari 1952 adalah tidak kurang dari Rp. 6.000.000.000 sehingga dalam tempo 6 tahun ternyata cadangan devisen RI telah turun dengan lebih kurang Rp. 5.000.000.000. Ini adalah tidak lain daripada salah satu akibat yang sangat merugikan daripada politik perdagangan luar negeri RI yang bertahun-tahun lamanya berorientasi kepada negara-negara kapitalis Eropa Barat dan Amerika. 5. Dalam menghadapi keadaan ekonomi yang sulit, yang terutama disebabkan oleh merosotnya harga ekspor di pasar dunia kapitalis dan dengan demikian berkurangnya nafsu kaum eksportir untuk mengekspor dan semakin merosotnya juga cadangan devisen negara, maka jalan klasik yang selalu ditempuh oleh PemerintahPemerintah RI kecuali mengurangi masuknya barang-barang impor juga mencari kemungkinan-kemungkinan mengadakan sistem atau prosedur impor yang “baru” tetapi yang pada hakekatnya tidak berbeda dengan sistem-sistem yang lama, yaitu mengadakan penggolongan-penggolongan baru dengan TPI-nya yang baru pula, di samping mengadakan indusemen, baik yang dinamakan Bukti Indusemen, Bukti Ekspor Dollar, atau yang sekarang dinamakan Bukti Ekspor (BE) oleh Menteri Keuangan Sutikno Slamet. Menurut Dewan Moneter, maka keadaan ekonomi sekarang ini telah menyebabkan merosotnya nilai uang rupiah, hal mana menjadi sebab penting bagi kemunduran ekspor dan mempersukar perdagangan luar negeri. Berhubung dengan itu, maka Dewan Moneter dalam rapatnya tanggal 20 Juni 1957 telah mengambil keputusan untuk merubah peraturan-peraturan yang berlaku,
| 27 |
dengan tujuan: (a) mengadakan imbangan antara ekspor dan impor; (b) memperbaiki keadaan devisen dengan memajukan ekspor, dan (c) menyederhanakan peraturan-peraturan devisen negara. Menurut keputusan Dewan Moneter tanggal 20 Juni itu, maka para eksportir yang menyelenggarakan ekspor barang-barang atau hasil bumi Indonesia ke luar negeri berdasarkan kontrak valuta, akan menerima dari Bank sebuah Bukti Ekspor (BE), yang merupakan hak-hak atas valuta asing yang diperoleh dan harga nominalnya adalah sama (= 100%) jumlah valuta asing itu. Harga nominal ini selain dinyatakan dalam valuta asing harus juga dinyatakan dalam rupiah menurut nilai-paritas yang berlaku. Bukti Ekspor mempunyai waktu berlaku dua bulan dan dapat diperdagangkan cq dijual oleh eksportir yang berhak kepada para importir atau mereka yang hendak menjalankan transfer jasajasa ke luar negeri, sepanjang mereka sudah memperoleh SID (Surat Izin Devisen) dari BDP dan LAAPLN. Jual-beli BE dilakukan dengan perantaraan Bank Devisen menurut harga pada hari BE itu diperdagangkan. Harga ini tergantung dari permintaan dan penawaran. Eksportir yang menjual BE diwajibkan menyerahkan kepada negara Pembayaran BE (PBE) sebesar 20% dari harga penjualan yang diperoleh oleh penjual. Peraturan BE bukan saja berlaku untuk ekspor tetapi juga untuk penyerahan valuta asing dalam sektor jasa-jasa. Penerima transfer dari luar negeri memperoleh pula BE dari Bank Devisen yang bersangkutan dengan harga nominal yang sama dengan (100%) jumlah valuta asing yang ditransfer, sepanjang transfer ini diterima oleh Bank Devisen di Indonesia pada atau sesudah tanggal 20 Juni 1957. Penjual BE yang diperoleh dengan menerima transfer dari luar negeri juga dikenakan PBE. Apabila importir bermaksud mendatangkan barang-barang impor yang masuk golongan yang dibebankan TPI, maka importir harus
| 28 |
Tentang Ekonomi dan Keuangan melakukan pembayaran TPI setelah bank menerima SID dari BDP (Biro Devisen Perdagangan) dan menerima Bukti Ekspor dari importir. Mulai tanggal 20 Juni 1957 golongan TPI ditetapkan menjadi enam: Golongan I 0%; golongan II 20%; golongan III 50%; golongan IV 100%; golongan V 140%; dan golongan VI 175%. Pembayaran TPI menurut persentase tertentu itu dihitung atas dasar harga BE yang sebenarnya, yaitu harga riil yang dibayar oleh importir untuk memperoleh Bukti Ekspor. Dengan berlakunya BE sejak tanggal 20 Juni, memang kaum eksportir secara legal mendapat “keuntungan” ekstra, apabila kurs BE lebih tinggi dari 100%. Kalau misalnya pada suatu ketika kurs BE 300, dan seorang mengekspor barang-barang seharga misalnya $ 100, maka dengan ekspor itu ia memperoleh 300% x 100 x Rp. 11,40 - 20% x 300% x 100 x Rp. 11,40 = Rp. 2.736. Jadi dalam batas-batas tertentu BE memang bisa mendorong eksportir untuk lebih menggiatkan lagi usahanya, akan tetapi usaha ini pada suatu ketika tidak akan dapat dikembangkan lagi, jika: (a) harga barang-barang kebutuhan hidup dan barang-barang lainnya sudah meningkat, sehingga kurs BE pada suatu ketika tidak lagi sesuai dengan apa yang diharapkan oleh eksportir, lebih-lebih jika kurs ini secara “kunstmatig” dibatasi oleh Pemerintah; (b) permintaan akan barang-barang ekspor di luar negeri menjadi kurang disebabkan oleh berbagai-bagai faktor; Dari angka yang diumumkan oleh Pemerintah sendiri dapat kita lihat bahwa perkembangan keadaan devisen mencapai puncaknya pada bulan Oktober 1957 dan sesudah itu nampak kecenderungan untuk terus turun sejak bulan Oktober 1957. 6. Marilah kita periksa labeih lanjut pengaruh daripada politik BE-nya Sutikno Slamet terhadap perkembangan ekonomi Indonesia. Seperti telah diuraikan lebih dahulu, maka sistem BE yang masih berlaku sampai sekarang ini merupakan kombinasi antara sistem
| 29 |
TPI dengan sistem indusemen biasa, sehingga akibat buruk daripada kedua sistem itu sekarang muncul dalam bentuk-bentuk yang sangat “kejam” dan sangat membahayakan perkembangan ekonomi Indonesia selanjutnya. Kalau kita misalkan bahwa arus peredaran uang berjalan dengan “normal,” dan bahwa impor barang-barang luar negeri masih dapat dilaksanakan dalam batas-batas yang wajar, maka BE sudah akan membawa akibat naiknya harga barang-barang impor dan dengan demikian juga naiknya barang-barang kebutuhan hidup lainnya. Misalkan seorang importir mengimpor barang-barang seharga $ 1000, C & F (Coast and Freight, artinya terima beres di salah satu pelabuhan Indonesia), barang-barang mana tergolong dalam golongan yang dikenakan TPI 50%, dan kurs BE sekarang 332, maka ia harus membayar 1000 x 332% x Rp. 11,40 + 50% x 1000 x 332 x Rp. 11,40 = 150% x 1000 x 332% x Rp. 11,40 (1 $ AS = Rp. 11,40 menurut nilai-paritas yang berlaku) = 150% x 37.848 = Rp. 56.772,yang berarti bahwa menurut perbandingan teoritis, maka 1 $ = Rp. 56,77. Dalam praktek harga barang itu lebih tinggi lagi dari Rp. 56.772, karena dalam jumlah ini belum termasuk ongkos pengangkutan dari pelabuhan ke daerah pedalaman, keuntungan, resiko, dll. Kalau pada suatu ketika barang-barang itu sudah sukar untuk dibeli di pasar bebas, maka harganya tentu akan naik lagi dan pembatasan kurs BE pada 332% tidak dapat mencegah membumbungnya harga itu lebih tinggi lagi. Sebab dengan pembatasan itu, dengan sendirinya akan membawa akibat kurangnya nafsu mengekspor, dan dengan demikian juga berkurangnya tambahan bruto devisen negara. Ini selanjutnya membawa akibat lagi berkurangnya barang-barang impor dan begitulah seterusnya harga barang-barang tersebut dalam prakteknya akan jauh lebih tinggi daripada harga teoritis menurut kurs BE yang berlaku sekarang. Jadi kesulitan yang bergerak dalam lingkaran spiral meningkat dapatlah digambarkan sebagai berikut: krisis ekonomi dunia — turunnya harga barang-barang ekspor — kurangnya penghasilan
| 30 |
Tentang Ekonomi dan Keuangan devisen negara — kurangnya barang-barang impor — naiknya harga barang-barang impor dan barang-barang kebutuhan pokok lainnya, dan kalau dalam keadaan demikian itu diperlakukan sistem BE atau sistem lainnya semacam BE, maka lingkaran itu lalu bersifat spiral dan kesulitan itu bergerak dengan kecepatan yang lebih besar lagi: harga barang-barang naik — sistem BE berlaku yang dimaksudkan untuk menstimulir ekspor — harga semakin naik lagi karena kurs BE dan TPI — jika dengan BE harga ekspor seluruhnya tidak naik tetapi malahan turun, maka akibatnya barang-barang impor berkurang lagi — barang impor harganya terus naik — gaji pegawai negeri ditambah — arus peredaran uang semakin meluas dan semakin bertambah meluas lagi karena pengeluaranpengeluaran untuk pertahanan, keamanan, dll. — harga semakin membumbung tinggi dengan akibat-akibat inflasi terbuka. Dengan berlakunya sistem BE itu memang Pemerintah mendapatkan sumber-sumber keuangan baru yang sangat penting artinya, tetapi yang sebetulnya diperolehnya dengan memberatkan beban para konsumen yang sebagian terbesar terdiri daripada kaum buruh dan tani miskin. Kalau dalam tahun 1955 jumlah Sertifikat Devisen/TPI/Indusemenindusemen adalah Rp. 1.843.000.000, maka dalam tahun 1956 jumlah itu telah menjadi Rp. 4.985.000.000 dan dalam tahun 1957 juga tidak kurang dari Rp. 5.000.000.000,- Kalau kita ketahui, bahwa penerimaan negara seluruhnya dalam tahun 1957 lebih kurang Rp. 16.873.000.000, maka teranglah, bahwa penerimaan negara yang dengan melalui BE didapatnya dari konsumen dan bukan dari kaum importir, merupakan suatu bagian yang sangat penting yaitu hampir sepertiga dari seluruh penerimaan negara. Dan darimana Pemerintah memperoleh penerimaan negara lainnya, yang merupakan duapertiga dari seluruh penerimaan negara? Tidak lain dari pajak-pajak langsung dan tidak langsung. Jadi bolehlah dikatakan bahwa penerimaan negara buat lebih dari 95% terdiri dari pajak langsung dan tidak langsung, termasuk TPI dan BE yang hakekatnya juga merupakan pajak tidak langsung. Inilah sebabnya mengapa kita selalu mengatakan bahwa Indonesia senantiasa
| 31 |
berada dalam cengkeraman krisis ekonomi yang makin lama makin keras mencekik lehernya. 7. Bagaimana jalan ke luarnya? Jalan untuk mengatasi krisis ekonomi Indonesia sudah tentu bukanlah dengan membukakan pintu bagi investasi modal besar asing, sebab di Indonesia sudah cukup banyak modal besar asing, dan tambahan modal besar atau modal monopoli asing justru akan memperdalam krisis ekonomi Indonesia dengan akibatnya. Jalan ke luar juga tidak dapat dipecahkan dengan lebih mempererat hubungan dagang Indonesia dengan negeri-negeri Barat. Permulaan langkah yang baik dari Pemerintah telah dijalankan yaitu dengan mengambil-alih dan menasionalisasi perusahaanperusahaan Belanda yang menurut keterangan Menteri Luar-negeri Belanda Luns di depan Sidang PBB bulan September yang baru lalu, modal Belanda yang ditanam dalam perusahaan-perusahaan itu tidak kurang dari $ 1.250.000.000 atau kalau kita misalkan 1 $ = Rp. 80,- (harga riil di pasar) sama dengan Rp. 100.000.000.000. Kewajiban kita selanjutnya ialah (a) menjamin pimpinan patriotik perusahaan itu, (b) memberi kesempatan kepada kaum buruh untuk turut serta ambil bagian dalam menentukan politik produksi dan efisiensi-kerja perusahaan, (c) mempertinggi kualitas dan kuantitas produksi dengan meningkatkan teknik produksi, (d) Pemerintah mengerjakan sendiri impor dan ekspor bahan-bahan penting, terutama bahan-bahan ekspor dari Pemerintah dan barang-barang impor yang sangat vital dan barang-barang impor untuk keperluan Pemerintah sendiri, (e) menjalankan politik perdagangan luar negeri yang maju, yang tidak berat sebelah dengan lebih mempererat lagi hubungan ekonomi antara Indonesia dengan negara-negara Asia-Afrika dan negara-negara blok Sosialis dan Demokrasi Rakyat, (f ) memberantas barter liar dan barter gelap alias penyelundupan sampai ke akar-akarnya, (g) merencanakan suatu pembangunan ekonomi menurut rencana tertentu, menuju ke arah industrialisasi yang pembiayaannya tidak terlalu memberatkan beban hidup massa Rakyat dan (h) bersamaan
| 32 |
Tentang Ekonomi dan Keuangan dengan itu merencanakan dalam jangka pendek penambahan produksi bahan-bahan makanan, terutama beras. Kalau usaha-usaha tersebut di atas benar-benar dijalankan, maka bisa diharapkan bahwa dalam tempo yang pendek banyak kesulitan-kesulitan ekonomi sudah dapat diatasi. Sebab, jika kita bisa mempertinggi produksi perusahaanperusahaan yang telah kita ambil alih dari Belanda dan yang telah kita nasionalisasi itu, maka jika tindakan ini kita sertai dengan tindakan untuk mencarikan pasar baru bagi hasil-hasil ekspor bahan mentah kita, bisalah diharapkan bahwa dari perusahaan yang telah kita nasionalisasi itu didapatkan untuk 10% sampai 15% dari Rp. 100.000.000.000 = Rp 10 sampai 15 milyar. Ini adalah suatu jumlah yang merupakan 70% sampai 90% dari penerimaan negara yang dengan mudah akan bisa menutup defisit anggaran belanja negara dan yang akan merupakan suatu bantuan besar bagi usaha kita untuk mengurangi penerimaan yang didapat dari pemungutan pajak-pajak langsung dan pajak-pajak tidak langsung. Berdasarkan uraian singkat mengenai jalan ke luar dari kesulitankesulitan ekonomi sekarang ini, maka kita yakin bahwa Pemerintah RI jika ia benar-benar menjalankan suatu politik ekonomi dalam dan luar negeri yang maju dan demokratis, tetap terbuka kemungkinan untuk mengatasi krisis ekonomi yang semakin lama semakin mencengkeram dan mencekik leher negara dan Rakyat Indonesia. >>><<<
| 33 |