1
TENAGA KERJA INDONESIA, PAHLAWAN DEVISA TANPA PERLINDUNGAN Kementerian Kebijakan Nasional BEM KM IPB Institut Pertanian Bogor 2011
A. PENDAHULUAN Globalisasi telah menimbulkan dampak yang sangat besar bagi perekonomian. Meskipun demikian, globalisasi juga menimbulkan dampak negatif bagi masyarakat. Kemiskinan dan ketidakmerataan distribusi pendapatan yang terjadi diakibatkan oleh ketidakmerataan distribusi kesempatan dan lapangan pekerjaan antara wilayah pedesaan dan perkotaan. Ketimpangan ini tampak jelas dalam perkembangan angkatan kerja yang berlangsung jauh lebih pesat dibanding kemampuan penyerapan tenaga kerja. Pulau Jawa yang merupakan pulau terpadat di Indonesia dan menjadi pusat baik pemerintahan maupun industri, memiliki penduduk yang bekerja penuh lebih besar dibandingkan di luar Pulau Jawa (75,3% berbanding 24,7%), lapangan pekerjaan utama penduduk yang terbanyak adalah di sektor pertanian (41,18%), perdagangan (20,89%) dan jasa (13,02%) (BPS, Feb 2009). Persentase penduduk yang bekerja penuh lebih besar di perkotaan, namun untuk sektor utama lapangan kerja, dengan melihat wilayah geografisnya, lebih dominan di pedesaan. Sayangnya, kesempatan kerja di pedesaan semakin berkurang dengan masuknya teknologi pertanian maupun non pertanian yang menggeser peran yang dulu dikerjakan oleh tenaga manusia. Dilihat dari jenis kelaminnya, sektor pertanian lebih banyak dikerjakan oleh laki-laki daripada perempuan (52,74 % berbanding 47,25 %) (Kementerian Tenaga Kerja dan Transmigrasi RI, 2009). Masuknya mesin-mesin pengolahan pertanian berdampak pada berkurangnya pendapatan menjadi buruh tani, yang merupakan mata pencaharian sebagian besar penduduk pedesaan. Hal ini menyebabkan tambahan tenaga yang bekerja dalam satu keluarga atau mencoba bidang lain di luar pertanian.
2
Sebagian besar lapangan kerja di perusahaan pada tingkat organisasi yang rendah yang tidak membutuhkan keterampilan yang khusus, lebih banyak memberi peluang bagi tenaga kerja wanita. Kemiskinan, tuntutan ekonomi yang mendesak, dan berkurangnya peluang serta penghasilan di bidang pertanian yang tidak memberikan suatu hasil yang tepat dan rutin, dan adanya kesempatan untuk bekerja di bidang industri telah memberikan daya tarik yang kuat bagi tenaga kerja. Bahkan banyak perempuan Indonesia yang menguatkan diri untuk bekerja ke luar negeri dengan tawaran gaji yang relatif lebih besar. Fenomena ini tentu menimbulkan keuntungan dan masalah tersendiri bagi pemerintah. Dengan adanya tenaga kerja yang bekerja di luar negeri tentu dapat menghasilkan devisa bagi negara. Namun tidak sedikit kasus “kekerasan” yang menimpa tenaga kerja Indonesia di luar negeri. Permasalahan-permasalahan yang terjadi menyangkut pengiriman TKI ke luar negeri terutama tentang ketidaksesuaian antara yang diperjanjikan dengan kenyataan, serta adanya kesewenangan pihak majikan dalam memperkerjakan TKI. Selain itu sering terjadi penangkapan dan penghukuman TKI yang dikarenakan ketidaklengkapan dokumen kerja (TKI ilegal). Hal-hal ini menimbulkan ketegangan antara pihak pemerintah dengan negara-negara tujuan TKI tersebut dan apabila didiamkan akan menimbulkan terganggunya hubungan bilateral kedua negara. Bukan hanya masalah yang disebabkan karena faktor dari negara penerima saja yang banyak melanggar hak dari para TKI, akan tetapi masalahmasalah TKI juga dikarenakan faktor dari para calon TKI itu sendiri. Salah satu contoh Seperti kurangnya kesadaran bahwa menjadi TKI ilegal tidak memiliki perlindungan hukum. Permasalahan ini menyebabkan banyaknya tindak kejahatan terhadap TKI seperti pelanggaran HAM, pemerkosaan, dan pemotongan gaji oleh majikan. Dalam hal ini pemerintah berkewajiban melindungi para TKI dari permasalahanpermasalahan tersebut seperti yang telah tercantum dalam Peraturan Menteri Tenaga Kerja Dan Transmigrasi RI yang dimana pemerintah wajib memberikan perlindungan kepada TKI sebelum keberangkatan sampai pulang kembali ke Indonesia.
3
Akhir-akhir ini marak mengenai eksekusi pancung terhadap salah satu Tenaga Kerja Indonesia. Permasalahan ini tentu harus mendapatkan perhatian yang besar baik dari pemerintah maupun masyarakat Indonesia. Selain itu, diperlukan juga tindakan nyata dan sanksi tegas untuk melindungi tenaga kerja wanita Indonesia dari kasus-kasus yang menimpa mereka di tempat mereka bekerja.
B. DEFINISI TENAGA KERJA INDONESIA Tenaga kerja adalah tiap orang yang mampu melaksanakan pekerjaan baik didalam maupun diluar hubungan kerja guna menghasilkan barang atau jasa untuk memenuhi kebutuhan masyarakat. Hal ini sesuai dengan undang-undang Nomor 14 tahun 1969, pasal 1 tentang ketentuan-ketentuan pokok mengenai tenaga kerja. Di Indonesia dikenal adanya Tenaga Kerja Indonesia (TKI), yaitu sebutan bagi warga Negara Indonesia yang bekerja di luar negeri dalam hubungan kerja untuk jangka waktu tertentu dengan menerima upah. Faktor yang mendorong warga Indonesia bekerja di luar negeri adalah faktor ekonomi. Hal ini dikarenakan tidak adanya akses untuk mendapatkan peluang-peluang kerja. Terdapat dua faktor penghambat dalam mendapatkan akses. Pertama, faktor yang berasal dalam diri seseorang. Rendahnya kualitas sumber daya manusia karena tingkat pendidikan (keterampilan) atau kesehatan rendah atau ada hambatan budaya (budaya kemiskinan). Faktor kedua berasal dari luar kemampuan seseorang. Hal ini terjadi karena birokrasi atau ada peraturan-peraturan resmi (kebijakan) sehingga dapat membatasi atau memperkecil akses seseorang untuk memanfaatkan kesempatan dan peluang yang tersedia. TKI yang bekerja di luar negeri dapat dikelompokan menjadi TKI legal dan TKI ilegal, TKI legal adalah tenaga kerja Indonesia yang hendak mencari pekerjaan di luar negeri dengan mengikuti prosedur dan aturan serta mekanisme secara hukum yang harus ditempuh untuk mendapatkan izin bekerja di luar negeri, para pekerja juga disertai dengan surat-surat resmi yang menyatakan izin bekerja di luar negeri. TKI legal akan mendapatkan perlindungan hukum, baik itu dari pemerintah Indonesia maupun dari pemerintah negara penerima. Oleh karena itu para TKI ini juga harus melengkapi persyaratan legal yang diajukan oleh pihak imigrasi negara penerima.
4
TKI legal selanjutnya akan terdaftar di instansi pemerintah kabupaten/kota yang bertanggung jawab di bidang ketenagakerjaan, dan terdaftar di instansi terkait sebagai tenaga kerja asing di negara penerima. Para TKI legal juga memiliki perjanjian kerja, yaitu perjanjian antara pekerja dengan pengusaha atau pemberi kerja yang memuat syarat-syarat kerja, hak, dan kewajiban pihak terkait, berdasarkan asas terbuka, bebas, objektif, serta adil dan setara tanpa deskriminasi, penempatan TKI legal diarahkan untuk menempatkan tenaga kerja pada jabatan yang sesuai dengan keahlian, keterampilan, bakat, minat dan perlindungan hukum. TKI illegal adalah tenaga kerja indonesia yang bekerja di luar negeri namun tidak memiliki izin resmi untuk bekerja di tempat tersebut, para TKI ini tidak mengikuti prosedur dan mekanisme hukum yang ada di indonesia dan negara penerima. Empat kategori pekerja asing dianggap ilegal: 1. Mereka yang bekerja di luar masa resmi mereka tinggal 2. Mereka yang bekerja di luar ruang lingkup aktivitas diizinkan untuk status mereka 3. Mereka yang bekerja tanpa status kependudukan yang izin kerja atau tanpa izin 4. Orang-orang yang memasuki negara itu secara tidak sah untuk tujuan terlibat dalam kegiatan yang menghasilkan pendapatan atau bisnis
C. PENEMPATAN TENAGA KERJA INDONESIA DI LUAR NEGERI Hak WNI untuk mendapatkan pekerjaan dan kebebasan memilih pekerjaan dilindungi UUD 1945, Pasal 27 Ayat 2, bahwa setiap Warga Negara berhak atas penghidupan yang layak bagi kemanusiaan. Pengaturan lebih lanjut diatur melalui UU Nomor 13 Tahun 2003 tentang Ketenagakerjaan (Demand dan Supply) Pasal 34 UU Nomor 13 Tahun 2003 menyebutkan Penempatan Tenaga Kerja di luar negeri diatur melalui Undang-undang. Dengan demikian pemanfaatan dan pengaturan pasar kerja luar negeri (Supply) diatur melalui Undang-Undang Nomor 39 Tahun 2004 tentang Penempatan dan Perlindungan Tenaga Kerja Indonesia dan Keputusan Presiden R.I Nomor 36 tahun 2002 tentang Ratifikasi Konvensi ILO. Berdasarkan Konvensi ILO Nomor 88 pasal 6 huruf b butir IV Pemerintah diwajibkan mengambil langkah-langkah yang tepat untuk mempermudah setiap perpindahan
5
tenaga kerja dari satu Negara ke Negara yang lain yang mungkin telah disetujuai oleh Pemerintah Negara penerima Tenaga Kerja Indonesia. Sesuai dengan mandat Konvensi dan UUD 1945 tersebut, kebijakan Nasional Pelayanan Penempatan dan Perlindungan TKI (P3TKI-LN) harus bersifat menyeluruh dan integrative dengan melibatkan seluruh Instansi Pemerintah terkait dalam memberikan pelayanan kepada Tenaga Kerja Indonesia (TKI) maupun pelayanan kepada Perusahan Penempatan Tenaga Kerja Indonesia Swasta (PPTKIS) berikut lembaga lain yang mendukungnya. Dengan Pelayanan Penempatan dan Perlindungan TKI yang terintegrative didukung penegakan hukum yang kuat, maka kerugian sosial yang ditimbulkan dapat diminimalisir sekecil mungkin, sehingga pelayanan penempatan dan perlindungan TKI berdaya guna dan berhasil guna dalam meningkatkan kesejateraan masyarakat dan penerimaan devisa negara. Pelaksanaan Pelayanan Penempatan dan Perlindungan TKI pada dasarnya mempunyai dua sisi kebutuhan yang tidak dapat dipisahkan dalam segala bentuknya yaitu komitmen nasional atas dasar keutuhan persepsi bersama untuk menggalang dan melaksanakan koordinasi lintas regional dan sektoral, baik vertikal maupun horizonal, ternasuk perlunya ada kejelasan proporsi peran dan tanggung jawab antara Pemerintah Pusat, Pemerintah Daerah Provinsi, Pemerintah Daerah Kabupaten/Kota, PPTKIS dan sarana pendukung utama dalam penyiapan TKI yang berkualitas dan bermartabat. Kejelasan proporsi dan tanggung jawab tersebut perlu dijalin dalam rangka menggalang kemitraan (Spirit Indonesia incorporate) karena ketika TKI berangkat dan bekerja di luar negeri akan menyangkut permasalah harkat dan martabat manusia Indonesia, Bangsa, Negara dan Pemerintahan dipercaturan Dunia Internasional. Kegiatan pelayanan penempatan dan perlindungan TKI pada dasarnya bertumpu pada jasa manusia yang melekat pada diri manusia yang memiliki hak asasi, harkat dan martabat yang terkait langsung dengan kegiatan ekonomi dan sosial, sehingga berbagai pihak berminat dan mudah melibatkan diri untuk dapat dimanfaatkan dan dipolitisir untuk kepentingan kelompok atau golongan masyarakat tertentu.
6
Kegiatan ekonomi yang ditimbulkanya yaitu mendatangkan devisa, meningkatkan kesejahteraan masyarakat dan mendorong pertumbuhan ekonomi nasional maupun ekonomi daerah melalui peningkatan permintaan barang dan jasa. di samping membawa dampak positif terhadap pertumbuhan perekonomian nasional dan daerah, bila tidak dikelola dengan sungguh-sungguh dan profesional akan membawa dampak negative terhadap perkembangan sosial masyarakat. Untuk meminimalisir dampak negatif dari pelayanan penempatan dan perlindungan TKI, campur tangan Pemerintah Pusat maupun Pemerintah Daerah secara integral sangat dibutuhkan, guna mencegah TKI menerima pekerjaanpekerjaan yang non-remuneratif, eksploitatif, penyalahgunaan, penyelewengan serta menimalisir biaya sosial yang ditimbulkanya. Pemerintah
sangat
menyadari
bahwa
untuk
melarang
atau
mempengaruhi keputusan masyarakat untuk tidak bekerja di luar negeri memang sulit, karena di samping menyangkut hak asasi manusia yang dilindungi Undangundang dan juga menyangkut otoritas dan kedaulatan suatu Negara. Walaupun begitu Undang-undang juga mewajibkan Pemerintah untuk mengambil langkahlangkah kebijakan yang tepat guna meminimalisir permasalahan dan memberikan perlindungan kepada CTKI/TKI. Pelayanan penempatan dan perlindungan CTKI/TKI melibatkan berbagai pihak, di antara pihak-pihak tersebut selama ini hanya mengejar tujuantujuan ekonomis saja dan mengabaikan tujuan perlindungan, jaminan sosial, pelatihan, tabungan dan investasi. Dalam hal ini, CTKI/TKI ditempatkan ke negara yang mudah diakses oleh penyalur dan yang lebih menguntungkan baginya. Hal ini tidak didasarkan pada kondisi keamanan, kenyamanan, dan perlindungan bagi CTKI/TKI itu sendiri di negara tujuan. Permasalahan mendasar dalam pelayanan penempatan dan perlindungan TKI ke luar negeri selama ini adalah masalah perlindungan, baik perlindungan di dalam negeri maupun perlindungan di luar negeri. Bila dicermati lebih mendalam lagi terlihat adanya kecenderungan unsur ekspolitasi tenaga kerja, yakni adanya sindikasi tertentu yang menyangkut rekrut dan rekruternya yang membuat TKI tidak berdaya, ditambah dengan rawannya jabatan-jabatan yang dapat diduduki oleh TKI, disebabkan oleh rendahnya pendidikan dan rendahnya kompensasi TKI,
7
dan diperburuk lagi oleh prilaku PPTKIS beserta lembaga lain pendukungnya yang bekerja kurang profesional sehingga permasalahan TKI baik dalam pra penempatan, masa penempatan maupun purna penempatan seperti tidak ada unjungnya. Penempatan Tenaga Kerja Indonesia (TKI) di luar negeri sebagai bagian program pendayagunaan tenaga kerja sekaligus merupakan upaya mengurangi pengangguran, telah berlangsung sejak era pembangunan jangka panjang pertama. Ditjen Binapenta cq Direktorat Perlindungan Tenaga Kerja Luar Negeri tahun 1998 telah menempatkan TKI pada Pelita IV : 292.262 orang, Pelita V : 652.272 orang, Pelita VI : 1.750.000 orang dan Renstra Depnakertrans 2005-2009 menargetkan 3.500.000 orang, tersebar ke berbagai negara di kawasan Timur Tengah, Asia Pasifik, dan Benua lainnya mengisi jabatan yang terbuka untuk TKI. Undang-undang Nomor : 39 tahun 2004, pasal 3 menegaskan bahwa penempatan dan perlindungan TKI bertujuan : (a) memberdayakan dan mendayagunakan tenaga kerja secara optimal dengan manusiawi, (b) menjamin dan melindungi calon TKI/TKW sejak di dalam negri, di negara tujuan sampai kembali ke tempat asal di Indonesia, dan (c) meningkatkan kesejahteraan TKI dan keluarganya. Tabel 1 Penempatan Tenaga Kerja di Luar Negeri menurut Sektor dan Jenis Kelamin Tahun 2007-2009 (orang) Sektor
2007
2008
L
P
Jumlah
Formal
132755
63436
Informal
20132
Jumlah
152887
L
Jumlah
L
P
Jumlah
196191
266749
78963
24955
103918
480423
500555
482076
24225
504029
528254
543859
696746
748825
103188
528984
632172
200188
P
2009
548637
Sumber: BNP2TKI dan Ditjen Binapenta, diolah Pusdatinaker Berdasarkan data di atas, maka dalam periode tahun 2007-2009, jumlah tenaga kerja Indonesia yang bekerja di luar negeri meningkat antara tahun 20072008. Namun pada tahun 2009 mengalami penurunan. Mayoritas pekerja berjenis kelamin perempuan. Pekerja berjenis kelamin laki-laki sebagian besar bekerja pada sektor formal, sedangkan tenaga kerja wanita bekerja pada sektor informal. Hal inilah yang menjadi pemicu banyaknya terjadi penganiayaan terhadap tenaga kerja wanita Indonesia di luar negeri.
8
Menurut data dari BNP2TKI, Tenaga kerja Indonesia yang berada di Malaysia, sebanyak 84.839 orang ditempatkan di formal dan 39.047 orang ditempatkan di sektor informal. Akan tetapi untuk Negara Singapura, Hongkong dan Taiwan, mayoritas tenaga kerja berada di sektor informal. Berdasarkan data BNP2TKI tahun 2009, tenaga kerja wanita Indonesia ditempatkan di berbagai Negara di dunia. Untuk kawasan Asia Pasifik, mayoritas Tenaga Kerja Wanita Indonesia ditempatkan di Negara Malaysia yakni sebanyak 61.374 orang. Untuk kawasan Timur Tengah, Tenaga Kerja Wanita Indonesia paling banyak ditempatkan di Saudi Arabia yakni sebanyak 251.724 orang. Tenaga kerja wanita Indonesia yang berada di eropa jumlahnya sangat sedikit, yakni secara keseluruhan berdasarkan data tahun 2009 sebanyak 31 orang.
D. PERMASALAHAN TENAGA KERJA INDONESIA Pasar Kerja Luar Negeri sudah sejak lama dikenal oleh Warga Negara Indonesia melalui hubungan tradisional antar penduduk seperti lintas batas dengan Malaysia dan Singapura yang didasari atas kedekatan wilayah, hubungan keagamaan dengan Saudi Arabia dan Negara-negara lain di Timur Tengah, dan hubungan sosial dengan negara-negara dikawasan Asia Pasifik, Eropa dan Aprika, Australia dan negara-negara di Kawasan Amerika. Pada tahap awalnya luput dari perhatian Pemerintah dan masyarakat, setelah pemerintah menyadari dan menyerahkan pengelolaannya kepada pihak swasta penempatan TKI menjadi lebih
marak
dan
permasalahannyapun
terus
meningkat.
Permasalahan-
permasalahan tersebut antara lain: 1. Pra Penempatan. a. Direkrut secara illegal b. Pemalsuan dokumen c. Pemalsuan identitas pada dokumen seperti nama, umur, alamat, status perkawinan, dll. d. Punggutan oleh calo dan dijual ke PPTKIS. e. Pemotongan gaji terlalu besar oleh PPTKIS bekerjasama dengan Agencynya di luar negeri. f. Terjebak rentenir/calo CTKI.
9
g. Di penampungan oleh PPTKIS disuruh menanda tangani surat, apabila batal berangkat CTKI harus membayar ganti rugi yang cukup besar (pemerasan ketika membatalkan diri berangkat). h. Penipuan oleh calo/PPTKIS illegal/dan berbagai pihak. i. Penyekapan di penampungan karena dijadikan âœstok manusiaâ j. Diperjual belikan antara calo atau PPTKIS. k. Kondisi penampungan yang buruk dll 2. Masa Penempatan. Pada umumnya Tenaga Kerja Indonesia (TKI) Perempuan, di negara-negara tujuan penempatan bekerja pada sector-sektor pekerjaan yang sudah ditinggalkan atau tidak diminati oleh Warga Negara pemberi kerja karena kondisi kerja yang keras, upah, status rendah dan perlindungan minim. Memperhatikan
kondisi
demikian,
maka
TKI
menghadapi
berbagai
permasalahan. Permasalahan-permasalahan tersebut antara lain: a. Dijebak menjadi pelacur di daerah transit. b. Diperjualbelikan antar Agency di luar negeri. c. Jenis pekerjaan tidak sesuai dengan perjanjian kerja (PK). d. Jam kerja melampaui batas, tanpa ada uang lembur. e. Tidak memegang dokumen apapun karena, semua dokumen ditahan majikan. f. Dilarang berkomunikasi dengan orang lain termasuk dengan keluarga. g. Akomodasi dan makanan di rumah majikan tidak memadai. h. Dilarang menjalankan ibadah, dipaksa memasak dan makan makanan haram (daging babi). i. Gaji dipotong oleh PPTKIS bekerjasama dengan Agensy yang besarnya melampui ketentuan. j. Gaji tidak dibayar. k. Memperpanjang kontrak kerja tidak ijin dari keluarga dan menggunakan kontrak kerja yang lama. l. Punggutan yang tinggi oleh Agency saat perpanjangan kontrak kerja. m. Disiksa, dianiaya, makan makanan basi dan bekas, diperkosa oleh majikan atau oleh pegawai Agency.
10
n. Dipenjara dengan berbagai rekayasa tuduhan. o. Bunuh diri atau membunuh atau melakukan tindakan pidana lainnya atau melakukan tindakan pidana lain karena putus asa akibat perlakuan buruk majikan/Agency. p. Disekap oleh majikan atau Agency. q. Di PHK sepihak dan dipulangkan majikan tanpa diberikan hak-haknya. r. Dipulangkan sepihak oleh Agency setelah usai masa pemotongan gaji oleh Agency, sehingga tak pernah menerima gaji penuh s. Penipuan dengan modus medical yang direkayasa dan akhirnya dipulangkan karena dianggap tidak fit. t. Mengadu ke Polisi tetapi dikembalikan kepada Agency/tekong, yang kemudian oleh agency/tekong dipekerjakan secara illegal, digaji murah atau tidak digaji, bahkan dilacurkan. u. Dideportasi tetapi tidak pernah sampai di rumah ditangkap oleh calo kemudian diberangkatkan kembali ke luar negeri secara illegal. v. Sikap aparat
KBRI/Konjen RI yang tidak mau
membela
dan
menelantarkan. w. Penyelesaian kasus tidak tuntas dan dupulangkan karena lamanya proses penyelesaian kasus. x. Dikenai punggutan oleh aparat KBRI/Konjen RI di luar negeri dengan berbagai dalih. y. Ketiadaan dan lambannya informasi untuk keluarga jika mengalami sakit, di penjara atau meninggal dunia. z. Sebelum dipulangkan dipaksa menandatangi surat yang kemudian diketahui isinya adalah pernyataan telah menerima gaji, padahal gajinya belum dibayar/tidak diberikan dan surat pernyataan tersebut ditulis dalam bahasa yang tidak dimengerti oleh TKI. 3. Purna Penempatan Keberadaan terminal IV Selepajang Bandara Sorkarno-Hatta, dimaksudkan untuk memberikan perlindungan dan pelayanan kepada para TKI sejak dari terminal 2 dan terminal IV Selepajang sampai kekampung halamannya, tujuan dari dipilihnya terminal IV Selepajang sebagai tempat proses pemberian
11
pelayanan dalam rangka perlindungan kepulangan TKI menuju kampung halamannya, Tetapi sangat disesalkan justru dalam proses pemberian pelayanan dalam rangka perlindungan inilah telah terjadi berbagai pelanggaran hukum, aturan, etika, moral sampai penghilangan nyawa TKI telah terjadi, yang membuat rasa keadilan dan terkesan orang kecil dan miskin dari kampung tidak ada tempat untuk hidup di negeri yang tercinta ini. Masalah-masalah tersebut antara lain: a. Tak terpenuhinya hak-hak ansuransi, restitusi pajak, tabungan dan barangbarang bawaan yang tertinggal di luar negeri/di Bandara Soekarno Hatta. b. Pemerasan dan perlakuan diskriminatif. c. Luka-luka tidak mendapatkan perawatan medis, karena tidak ada krisis centre pada pos kedatangan. d. Barang tertukar/ sengaja dihilangkan untuk dalih berbagai punggutan. e. Pelayanan yang tidak professional. f. Fasilitas tempat pelayanan buruk. g. Terpaksa membeli sesuatu dengan harga yang sangat mahal. h. Punggutan liar dari berbagai pihak. i. Kekerasan pisik dan psikis (dibentak dan sikap tidak ramah). j. Pelecehan seksual. k. Perampokan hasil kerja di perjalanan. l. Masuk perangkap calo dan dijual kembali ke luar negeri. m. Pemerasan uang dan barang oleh sopir angkutan di perjalanan menuju kampung halaman. n. Dipindahkan keangkutan lain dan dipunggut biaya tambahan. o. Dimintai uang tambahan oleh sopir dalam perjalanan pulang. p. Porter meminta uang layanan kepada TKI q. Gila/stress/depresi. r. Status kewarganegaraan yang tidak jelas bagi anak yang lahir akibat kekerasan seksual dll 4. TKI Deportasi Sebagai contoh: hampir setiap bulan pemerintah Malaysia mendeportasi ribuan TKI illegal ke Indonesia melalui pelabuhan-pelabuhan laut debarkasi.
12
Pelabuhan debarkasi Sri Bintan Pura yang terletak di Tanjung Pinang Provinsi KEPRI merupakan salah satu pelabuhan laut yang digunakan sebagai tempat deportasi TKI illegal. Berdasarkan data yang ada yang dilaporkan oleh SP3TKI Tanjung Pinang kepada BNP2TKI, selama tahun 2007 jumlah TKI illegal yang dideportasi melalui Pelabuhan Sri Bintan Pura Tanjung Pinang sebanyak 30.574 orang dengan rincian bulan April 2007 sebanyak 3343 Orang, bulan Mei 2007 sebanyak 3714 Orang, bulan Juli 2007 sebanyak 2322 Orang, bulan September 2007 sebanyak 6244 Orang, bulan Oktober 2007 sebanyak 3289 Orang, bulan Nopember sebanyak 3061 dan bulan Desember sebanyak 2594 Orang. 5. Trafiking Berdasarkan data tahun 2002 dalam Suara Karya, 31 Oktober 2003, dari 340.121 keberangkatan, terdapat 1.419 kasus penganiayaan. Hal ini menyebabkan tenaga kerja wanita meninggal, dirawat di rumah sakit, penyekapan, diadukan ke Depnakertrans,
mengalami
kekerasan
fisik,
sakit
dan
menjadi
korban
pemerkosaan. Sebagian besar kasus menyebabkan tenaga kerja wanita sakit. Bila dibandingkan terhadap jumlah keberangkatan, maka persentase terjadinya kasus adalah sebesar 0,4172%. Berdasarkan data dari BNP2TKI, jumlah kasus yang terjadi selama periode Januari-April 2008 terjadi 396 kasus, yang terdiri dari 271 kasus untuk wilayah penempatan Timur Tengah, Afrika dan Eropa, dan 125 kasus untuk wilayah penempatan As[ac dan Amerika. Masalah yang paling sering adalah mengenai pembayaran gaji dan putusnya komunikasi TKI dengan keluarga atau pihak terkait. Tabel 2. Kasus permasalahan TKI Januari-April, 2008 No. 1 2 3 4 5 6 7
Jenis Kasus Gaji tidak dibayar Penganiayaan Pelecehan seksual Majikan meninggal Pekerjaan tidak sesuai PK PT bermasalah Putus komunikasi
Timteng, Afrika, dan Eropa 93 15 6 3 5 1 94
Aspac dan Amerika
Total
9 2 1 0 0 0 14
102 17 7 3 5 1 108
13
8 9 10 11 12 13 14 15
0 15 0 4 5 22 2 6
Dokumen tidak lengkap PHK sepihak Kecelakaan kerja Sakit akibat kecelakaan kerja Sakit biasa Meninggal Kriminal Gagal berangkat
0 52 3 0 6 24 8 6
0 67 3 4 11 46 10 12
Sumber: BPN2TKI, 2011 Menurut data dari (Antara, 2 Juli 2011), saat ini sekitar 200 TKI terancam hukuman mati. Dari jumlah itu, 70 persen terkait kasus narkoba dan 28 persen lainnya terkait kasus kejahatan pembunuhan yang terancam pidana mati. Mereka tersebar di Arab Saudi, China, Singapura, dan Malaysia. Adapun nama-nama TKI yang terancam hukuman mati adalah: 1. Sulaimah, asal Madura, negara tujuan Arab Saudi. (pembunuhan) 2. Dwi Mardiyah asal Jember, negara tujuan Arab Saudi. 3. Nurfadilah,
asal
Bondowoso,
negara
tujuan
Arab
Saudi.
(pembunuhan) 4. Aminah, asal Banjarmasin tujuan Arab Saudi.(pembunuhan) 5. Darmawati, asal Banjarmasin tujuan Arab Saudi. (pembunuhan) 6. Suwarni, asal Jawa Timur, negara tujuan Arab Saudi. (pembunuhan) 7. Hafidz Bin kholil Sulam, asal Tulungagung, negara tujuan Arab Saudi. (pembunuhan) 8. Eti
Thoyib
Anwar,
asal
Majalengka,
negara
tujuan
Arab
Saudi.
(pembunuhan) 9. Nur Makin Sobri, negara tujuan Arab Saudi. (pembunuhan) 10. Yanti Irianti binti Jono Sukardi, asal Cianjur, negara tujuan Arab Saudi. (pembunuhan) 11. Karsih
binti
Ocim,
asal
Karawang,
negara
tujuan
Arab
Saudi.
(pembunuhan) 12. Sun, asal Subang, negara tujuan Arab Saudi. (pembunuhan) 13. Darsem, asal Subang, negara tujuan Arab Saudi. (pembunuhan) 14. Emi asal Sukabumi, negara tujuan Arab Saudi. (pembunuhan) 15. Nesi asal Kampung Sukabumi, negara tujuan Arab Saudi. (pembunuhan)
14
16. Rosita, asal Karawang, negara tujuan Abu Dhabi. (pembunuhan) 17. Sulaimah, asal Kalimantan Barat, negara tujuan Arab Saudi. (pembunuhan) 18. Saiful Mubarok, asal Cianjur, negara tujuan Arab Saudi.(pembunuhan) 19. Muhammad Zaini, asal Madura, negara tujuan Arab Saudi. (pembunuhan) 20. Saman Muhammad Niyan, asal Kalimantan Selatan, negara tujuan Arab Saudi. (pembunuhan) 21. Abdul Aziz Supiyani, asal Kalimantan Selatan, negara tujuan Arab Saudi. (pembunuhan) 22. Muhammad Mursyidi, asal Kalimantan Selatan, negara tujuan Arab Saudi. (pembunuhan) 23. Ahmad Zizi Hatati, asal Kalimantan Selatan, negara tujuan Arab Saudi. (pembunuhan) 24. Jamilah Bt Abidin Rifi’i, asal Cianjur Jawa Barat, negara tujuan Arab Saudi. (pembunuhan) 25. Ahmad
Fauzi
Bin
Abu
Hasan,
negara
tujuan
Arab
Saudi.
(pembunuhan) Sumber: http://www.poskota.co.id, 22 Juni 2011.
E. Peran pemerintah dan Satgas TKI Dengan disahkannya Undang-Undang Nomor 39 Tahun 2004 tentang Penempatan dan Perlindungan Tenaga Kerja Indonesia, tidak serta merta permasalahan TKI dapat diselesaikan, karena luasnya dimensi cakupan yang terkait dalam pelayanan penempatan dan perlindungan TKI, disamping melibatkan Swasta, Pemerintah R.I di dalam negeri dan Perwakilan-perwakilan R.I (KBRI, KJRI dan KDEI), juga melibatkan Agency, Pemerintah negara-negara penerima TKI di luar negeri dan Organisasi-organisasi Buruh Migran Internasional. Undang-undang Nomor 39 Tahun 2004 merupakan turunan dari Kepmenakertrans Nomor: 104A tahun 2002 tentang Penempatan Tenaga Kerja Indonesia ke luar negeri, karena pada saat perumusannya Kepmenakertrans Nomor 104A tahun 2002 tersebut melibatkan Asosiasi-asosiasi PPTKIS dan PPTKIS, maka Kepmenakertrans Nomor 104A tahun 2002 tersebut dapat
15
dipahami penuh dengan nuansa-nuansa kepentingan-kepentingan bisnis PPTKIS, sehingga kepentingan-kepentingan masyarakat/TKI banyak terabaikan. Begitu juga dalam perumusan dan pengesahan Undang-undang Nomor 39 Tahun 2004, dominasi oleh kepentingan-kepentingan bisnis PPTKIS yang diperjuangkan melalui asosiasi-asosiasi PPTKIS melalui dil-dil politik secara terselubung, sehingga pasal-pasal Undang-Undang Nomor 39 tahun 2004 lebih berpihak kepada kepentingan bisnis PPTKIS. Sebagai contoh dapat dilihat dalam pasal 100 Undang-Undang Nomor 39 tahun 2004 mengenai sangsi yang dikenakan bagi yang memalsukan identitas CTKI dikenakan sangsi administratif. Sedangkan menurut Udang-undang Nomor 23 Tahun 2006, tentang Administrasi ke Pendudukan pasal 77 dan pasal 94, sanksi yang dikenakan bagi yang memalsukan identitas orang lain dipidana paling lama 2 (dua) tahun dan/atau denda paling banyak 25 juta. Akhir-akhir ini ramai informasi mengenai kasus pancung terhadap TKI bernama Ruyati binti Sapubi. TKI ini dieksekusi hukum pancung pada 18 Juni 2011 di Arab Saudi karena dinyatakan bersalah membunuh seorang perempuan Arab Saudi. Dan ternyata belakangan ini diketahui banyak TKI yang tersandung kasus yang sama. Oleh karena itu, berdasarkan salah satu rekomendasi Sidang Paripurna DPR dalam membenahi masalah TKI, maka dibentuk Satuan Petugas (Satgas) TKI. Rekomendasi lainnya adalah memberlakukan jeda penempatan sementara TKI pekerja rumah tangga ke Arab Saudi yang telah diputuskan Presiden Susilo Bambang Yudhoyono berlaku mulai 1 Agustus 2011. Kemennakertrans memang memiliki dana Rp 100 miliar hasil efisiensi dari APBN 2011 untuk digunakan satgas TKI dalam menyelesaikan permasalahan yang tersandung para TKI. Namun dalam masalah penggunaan dana harus digunakan secara efisien dan tegas karena jumlah TKI yang bermasalah banyak.
F. KESIMPULAN Tenaga Kerja Indonesia (TKI), yaitu sebutan bagi warga Negara Indonesia yang bekerja di luar negeri dalam hubungan kerja untuk jangka waktu tertentu dengan menerima upah. Faktor yang mendorong warga Indonesia bekerja di luar negeri adalah faktor ekonomi. Hal ini dikarenakan tidak adanya akses
16
untuk mendapatkan peluang-peluang kerja. Tenaga Kerja Indonesia ditempatkan di berbagai Negara di dunia dengan penempatan terbanyak yakni di Saudi Arabia dan Malaysia, dengan mayoritas tenaga kerja perempuan pada sector informal. Dalam penempatan tenaga kerja sejauh ini masih mengalami berbagai permasalahan, mulai dari pra penempatan, masa penempatan, purna penempatan, TKI deportasi dan traffking. Pemerintah telah berusaha memberikan perlindungan untuk tenaga kerja wanita melalui berbagai kebijakan baik Undang-undang maupun Peraturan Menteri. Akan tetapi, hal ini belum bisa menyelesaikan permasalahan yang ada. Permasalahan TKW ini sebetulnya bisa ditangani jika pemerintah mempunyai peraturan atau Undang-Undang yang jelas dan diimplementasikan secara tegas. Pembentukan Satgas TKI yang dibentuk diharapkan dapat memberikan penyelesaian terhadap berbagai permasalahan Tenaga Kerja Indonesia di luar negeri.
G. DAFTAR PUSTAKA Kalyanamitra, “Tenaga Kerja Wanita Indonesia : Pahlawan Devisa Tanpa Perlindungan”. http://kalyanamitra.or.id/web/ http://www.bnp2tki.go.id/hasil-penelitian-mainmenu-276/975-penempatan-danperlindungan-tenaga-kerja-indonesia.html. diakses tanggal 3 Juli 2011. http://www.bnp2tki.go.id/hasil-penelitian-mainmenu-276/226-permasalahanpelayanan-dan-perlindungan-tenaga-kerja-indonesia-di-luar-negeri.html. diakses tanggal 3 Juli 2011. http://www.bnp2tki.go.id/statistik-mainmenu-86/data-kasus-tki-mainmenu88/190-kasus-permasalahan-tki-januari-sampai-april-2008-kasuspermasalahan-tki-januari-sampai-april-2008.html. diakses tanggal 3 Juli 2011.
Cp: Ashfa (08561888045)