M A J A L A H T R I W U LAN ● EDISI 02/TAHUN XVI/2010 ● ISSN 0854-3709
MEDIA INFORMASI, PROFESI, DAN KOMUNIKASI PERENCANAAN PEMBANGUNAN
Televisi Ramah Anak Performance Audit in Public Sector Pengembangan Kawasan Ekonomi Khusus
Foto: www.api.ning.com
cover edisi 2.indd 1
5/12/2010 12:44:19 AM
Daftar Isi Yuliarko Sukardi
Permasalahan Kawasan Segara Anakan
2
Cerdikwan
11
Challenges to the Multilateral Trading System: The Rising Trade Protectionism Amid the Global Economic Recession Tatang Muttaqin
20
Televisi Ramah Anak
26
Fraud and Forensic Accounting Pratices: Australian Contexts
48
54
Rencana Induk sebagai Acuan Pemulisan Pascabencana di Provinsi NAD dan Nias Provinsi Sumatera Utara Performance Audit in Public Sector Randy R Wrihatnolo
40
Kerjasama Pendidikan antara Perguruan Tinggi dan Industri
MAJALAH TRIWULAN ● EDISI 02/TAHUN XVI/2010 ● ISSN 0854-3709
MEDIA INFORMASI, PROFESI, DAN KOMUNIKASI PERENCANAAN PEMBANGUNAN
Pengembangan Kawasan Ekonomi Khusus Aswicaksana
58
Percepatan Penyelesaian Perda RTRW Daerah sebagai Upaya Penyelenggaraan Penataan Ruang yang Lebih Baik Moh. Mustajab
63
Indra Wisaksono
35
Peranan Hukum dalam Ekonomi Indonesia dan Pelaksanaannya dalam Otonomi Daerah Ratna Sri Mawarti
Anantyo Wahyu
Hermani Wahab
30
Firman Edison
Indonesian Infrastructure: Condition, Problem and Policy Suprapto Budinugroho
74
Tinjauan Pendidikan Menengah Kejuruan dalam Aspek Ketenagakerjaan Indonesia
Penanggungjawab Sekretaris Menteri Negara Perencanaan Pembangunan Nasional/Sekretaris Utama Bappenas Pemimpin Umum Dida Heryadi Salya Pemimpin Redaksi Herry Darwanto Dewan Redaksi Hanan Nugroho, Rendy R. Wrihatnolo, Tatang Muttaqin, Jarot Indarto, Teguh Sambodo, Muhyiddin Desain Grafis Tony Priyanto, Ismet Mohammad Suhud, Sarono Santoso Sekretariat Yunhri Trima Vibian, Budi Cahyono, Myda Susanti, Sovi Dasril, Muhammad Fahmy Fadly, Slamet,Nasan, Tata Letak Riduan
Alamat Redaksi Jalan Taman Suropati No. 2 Gedung Sayap Timur Lantai 3 Jakarta Pusat Telp. (021) 3905650 Ext. 3545 Telp./Fax. (021) 3161762 email
[email protected] website http://www.bappenas.go.id Nomor STT 1685/SK/Ditjen PPG/STT/1991 Nomor ISSN 0853-3709
cover edisi 2.indd 2
5/12/2010 12:44:20 AM
Pengantar P
menyajikan sejumlah studi kasus tentang praktekpraktek terbaru (dan diharapkan terbaik) dalam kesiapan berjejaring di beberapa negara, didukung dengan data yang komprehensif, termasuk profil rinci untuk masingmasing negara dan tabel peringkat global dari 68 indikator pembentuk NRI. Laporan kali ini terbit pada saat ekonomi dunia mengalami krisis ekonomi terburuk dalam dasawarsa ini. Harapannya adalah agar ICT dapat memainkan peran pendorong pertumbuhan baru, untuk membawa dunia keluar dari resesi.
ada akhir Maret lalu, World Economic Forum bekerjasama dengan INSEAD menerbitkan The Global Information Technology Report 2009–2010. Penerbitan Laporan ini dimaksudkan untuk membangun daya saing global melalui pengembangan teknologi informasi dan komunikasi (ICT). ICT telah menjadi pilar penting dari ekonomi kompetitif yang berlangsung saat ini, meningkatkan kualitas kehidupan, dan membuka peluang dalam banyak aspek kehidupan. ICT tidak hanya penting bagi negara maju untuk memacu inovasi dan daya saing jangka panjangnya, tetapi juga bagi negara berkembang dalam menjalani transformasi struktural, meningkatkan efisiensi dan mengurangi kesenjangan digital, ekonomi, dan sosialnya. ICT mempunyai peran penting sebagai pembentuk daya saing nasional yang bermuara pada kesejahteraan masyarakat yang lebih tinggi. Index Kesiapan Berjejaring (Networked Readyness Index atau NRI) mengidentifikasi faktor-faktor yang memungkinkan (enabling factors) bagi setiap negara untuk mengambil manfaat dari kemajuan ICT, sekaligus menyoroti tanggung jawab bersama dari individu, dunia usaha, dan pemerintah. Laporan tahun ini diberi judul tambahan ICT for Sustainability, karena ICT diyakini memainkan peran penting dalam menjaga kelestarian lingkungan, baik sebagai industri maupun sebagai unsur kunci dari infrastruktur pendukung. Mewujudkan lingkungan yang berkelanjutan itu sendiri merupakan keinginan pemerintah, dunia usaha, dan masyarakat di manapun, untuk mendorong perkembangan dunia yang lebih adil, inklusif dan tahankrisis. Dalam meningkatkan keberlanjutan sosial, kontribusi ICT adalah bahwa ia memungkinkan akses lebih besar terhadap layanan dasar oleh pemerintah kepada semua segmen masyarakat dan meningkatkan cara bagaimana layanan dasar ini (misalnya pendidikan, keuangan, dan kesehatan) disediakan kepada rakyat. Beberapa kabupaten di Indonesia, dengan Sragen sebagai contoh yang dikenal luas, telah membuktikan hal itu. ICT juga berperan penting dalam mengembangkan keberlanjutan ekonomi, lingkungan, dan sosial; baik sebagai suatu industri maupun dalam keseluruhan ekonomi dan kehidupan masyarakat lainnya. Pengambil kebijakan terkait ICT perlu mempunyai informasi yang lengkap untuk menjawab tantangan ini. Untuk itu laporan kali ini, sebagaimana laporan tahun-tahun sebelumnya,
1 PEMBANGUNAN-Velt 1 edisi Ke DUA.indd 1
Laporan ini menyimpulkan bahwa dari 133 negara maju dan berkembang yang dipantau, Swedia adalah negara yang paling siap berjejaring di dunia pada tahun 2009-2010. Singapura menempati posisi ke 2, diikuti oleh Denmark, Swiss, dan kemudian Amerika Serikat. Negara-negara Eropa lain menempati posisi teratas dalam peringkat NRI. Indonesia menempati posisi ke 67, melompat dari posisi ke 83 setahun sebelumnya, sebuah prestasi yang membanggakan. Walau demikian, Indonesia masih tertinggal jauh dari Malaysia (ke 28), China (ke 37), India (ke 43), bahkan Thailand (ke 47). Indonesia menempati posisi yang baik dalam indikator-indikator keberadaan modal ventura (ke 15), perpajakan (ke 22), beban regulasi pemerintah (ke 23), perkembangan klaster (ke 24), ekspor industri kreatif (ke 25), pelanggan telpon rumah (ke 26), belanja perusahaan untuk R&D (ke 28), kecanggihan pembeli (ke 30), keberadaan ilmuwan dan insinyur (ke 31), dan pelatihan staf (ke 33). Sedangkan kelemahan Indonesia antara lain dalam hal: anggaran pendidikan (ke 127), waktu memulai bisnis (ke 116), keberadaan sambungan telpon baru (ke 107), layanan listrik (ke 106), pengguna internet (ke 103), server internet aman (ke 102), pelanggan internet pitalebar (ke 101), komputer pribadi (ke 101), pelanggan telpon seluler (ke 97), dan indeks layanan online pemerintah (ke 94). Laporan ini membantu pihak-pihak terkait untuk merumuskan kebijakan yang lebih efektif berdasarkan peta kekuatan dan kelemahan yang ditunjukkan dan pengalaman di negara-negara lain yang diuraikan. Majalah Perencanaan Pembangunan kali ini menyajikan banyak artikel menarik mengenai berbagai isu perencanaan pembangunan. Semoga semuanya bermanfaat dan menumbuhkan inspirasi. Selamat membaca.
E D I S I 0 2 / TA H U N X V I / 2 0 1 0
5/12/2010 12:41:53 AM
www.wordpress.com
Abstrak Laguna Segara Anakan merupakan perairan yang berlokasi di daerah muara pantai selatan Jawa Tengah, di perbatasan antara kabupaten Ciamis, Jawa Barat dan kabupaten Cilacap, Jawa Tengah. Segara Anakan merupakan kawasan lahan basah yang sebagian besar tertutup oleh 26 jenis tanaman mangrove. Ekosistem mangrove di kawasan Segara Anakan merupakan tempat pemijahan, mencari makan, dan membesarkan diri dari setidaknya 45 jenis ikan laut, 85 jenis burung, dan beragam satwa lainnya.
PERMASALAHAN KAWASAN SEGARA ANAKAN
Kawasan Segara Anakan dari tahun ke tahun terus mendapat tekanan akibat aktivitas manusia. Penggunaan lahan yang tidak berkelanjutan pada kawasan kota dan kerusakan hutan di daerah hulu sungai menyebabkan tingginya tingkat erosi pada sungai yang bermuara ke laguna. Adanya sedimentasi mengakibatkan terjadinya pendangkalan serta penyempitan luasan laguna. Ekosistem mangrove kawasan Segara Anakan juga mengalami tekanan lingkungan yang sangat tinggi akibat penebangan liar. Masyarakat melakukan penebangan liar karena alasan kondisi ekonomi seperti untuk keperluan membuka areal pertambakan, pertanian, permukiman, dan pemanfaatan kayu mangrove sebagai material bangunan serta bahan baku arang untuk kebutuhan industri.
YULIARKO SUKARDI
Tulisan ini mencoba untuk mengiventarisir permasalahan yang ada di kawasan Segara Anakan sebagai bahan masukan dalam merencanakan strategi penyelamatan Segara Anakan.
2 PEMBANGUNAN-Velt 1 edisi Ke DUA.indd 2
E D I S I 0 2 / TA H U N X V I / 2 0 1 0
5/12/2010 12:41:54 AM
I.
PENDAHULUAN
Kawasan Segara Anakan terletak di antara 7°35’ - 7°46’ S dan 108°45’ - 109°01’ E, di perbatasan antara provinsi Jawa Barat dan provinsi Jawa Tengah sebelah selatan Pulau Jawa. Luas keseluruhan kawasan Segara Anakan adalah sekitar 24.000 hektar, meliputi perairan, hutan mangrove, dan daratan-daratan lumpur yang terbentuk karena sedimentasi. Laguna Segara Anakan merupakan perairan yang berlokasi di daerah muara di pantai selatan Jawa Tengah, terletak di perbatasan antara kabupaten Ciamis, Jawa Barat dan kabupaten Cilacap, Jawa Tengah (gambar 1). Definisi laguna dalam istilah geografi adalah perairan yang hampir seluruh wilayahnya dikelilingi daratan dan hanya menyisakan sedikit celah yang berhubungan dengan perairan laut. Sifatnya jauh lebih tertutup dibandingkan dengan teluk, apalagi selat. Di masa lalu, Segara Anakan merupakan kawasan lahan basah yang sebagian besar lahannya tertutup oleh 26 jenis tanaman mangrove. Hutan mangrove Segara Anakan memiliki komposisi maupun struktur hutan terlengkap dan terluas di
Pulau Jawa. Keberadaan mangrove ini sangat berperan penting dalam siklus hidup beberapa biota karena kemampuannya dalam menyediakan nutrisi bagi biota di perairan sekitarnya. Ekosistem mangrove di kawasan Segara Anakan merupakan tempat pemijahan, mencari makan, dan membesarkan diri dari 45 jenis ikan laut, baik jenis ikan yang menetap seperti ikan prempeng (Apogon aerus), udang, kepiting, lobster, kerang totok, kerapu merah, cumi-cumi, gurita, bawal putih, kakap putih, layur, pari, sotong, sidat, ikan hiu, dan biota laut lainnya, maupun 17 jenis ikan yang tidak menetap/bermigrasi seperti ikan sidat laut (Anguilla sp). Setelah mereka dewasa, biota laut tersebut kemudian keluar melalui muara laguna ke laut lepas, untuk selanjutnya ada yang ditangkap para nelayan dan sebagian merupakan mata rantai pangan bagi berbagai jenis ikan besar di Samudra Hindia. Sebagai ekosistem yang subur dan kaya akan nutrisi membuat kawasan ini juga ramai dikunjungi oleh beragam satwa seperti monyet, linsang, dan setidaknya 85 jenis burung, termasuk 160-180 bangau bluwok (mycteria cinerea) dan 25 bangau
Gambar 1. Kawasan Segara Anakan
3 PEMBANGUNAN-Velt 1 edisi Ke DUA.indd 3
E D I S I 0 2 / TA H U N X V I / 2 0 1 0
5/12/2010 12:41:59 AM
laguna. Penggunaan lahan yang tidak berkelanjutan pada kawasan kota dan kerusakan hutan di daerah hulu sungai menyebabkan tingginya tingkat erosi pada sungai tersebut.
tongtong (leptoptilos javanicus) yang mana keduanya tercatat sebagai burung terancam punah. Segara Anakan juga memiliki biota yang unik, salah satunya adalah ikan sidat. Ikan ini memiliki kandungan DHA hampir dua kali lipat dibandingkan ikan biasa. Bahkan menurut hasil penelitian disebutkan bahwa dari dua belas spesies ikan sidat di dunia, tujuh diantaranya berkembang di kawasan Segara Anakan.
Erosi pada sungai-sungai yang bermuara di laguna Segara Anakan menyumbang material lumpur dan bahkan limbah sebanyak 5.000.000 m3/tahun, dimana sebesar 1.000.000 m3/tahun terendapkan di laguna. Dari 1.000.000 m3 tersebut, 750.000 m3 disumbangkan oleh material yang dibawa aliran Sungai Citanduy, sedangkan sisanya 250.000 m3 berasal dari material yang dibawa sungai lainnya. Sehingga, total sedimentasi di laguna terhitung sejak tahun 1994 hingga kini sudah melebihi 5.000.000 m3. Material lumpur dan limbah yang dibawa aliran air sungai akan tersuspensi pada dasar perairan yang kemudian terakumulasi menjadi endapan. Akibat adanya endapan tersebut menyebabkan pendangkalan pada laguna, menyempitnya luas perairan, serta adanya tanah timbul.
Dengan seluruh kekayaan itu, laguna Segara Anakan telah menyumbang produksi perikanan pantai lebih dari 62 milyar rupiah dalam satu tahun. Bahkan berdasarkan perhitungan para peneliti asing, nilai kekayaan perikanan di kawasan Segara Anakan mencapai 8,3 juta dolar AS per tahun. Sebuah riset yang juga sempat dilakukan di Segara Anakan mengkuantifisir setiap hektar mangrove dengan biota laut yang menumpangnya memiliki nilai ekonomis hingga 1.400 dolar AS. Lembaga independen Amerika Serikat, Engineering Consultant Incorporation (ECI), yang juga meneliti Segara Anakan menyebutkan, 94% udang di perairan lepas pantai selatan Pulau Jawa menggunakan laguna Segara Anakan sebagai tempat pembiakannya.
Laju sedimentasi yang tinggi dari tahun ke tahun menyebabkan luasan laguna Segara Anakan semakin menyusut. Walaupun terdapat perbedaan data dari berbagai sumber yang berbeda, namun data-data tersebut menunjukkan kecenderungan yang sama dalam menggambarkan laju penurunan luasan laguna Segara Anakan seperti terlihat pada gambar 2. Sedangkan gambar 3 memperlihatkan hasil pengolahan data inderaja luasan laguna Segara Anakan.
Selain itu, keanekaragaman hayati yang dimiliki kawasan Segara Anakan berpotensi untuk digali sebagai salah satu daerah tujuan wisata serta sebagai laboratorium alam tempat belajar bagi anak-anak sekolah dan tempat melakukan penelitian bagi para mahasiswa ataupun peneliti dalam mengamati fenomena alam dan lingkungan sekitarnya yang memiliki ciri khas dan tidak dijumpai di wilayah lain.
Laju sedimentasi yang tinggi di laguna Segara Anakan juga mengakibatkan menyempitnya alur (celah) di Plawangan Barat yang menghubungkan laguna dan laut lepas Samudera Hindia hingga berjarak sekitar 60 m antara pulau Jawa dan Nusakambangan dari sebelumnya berjarak 300 m pada tahun 2002. Kedalamannya pun menjadi semakin dangkal, mulai dari minus 0,63 m sampai 4,6 m. Celah tersebut sangat penting untuk mengalirkan air sungai dan sedimen ke laut, sirkulasi air laut dan air tawar di laguna, serta menjadi pintu gerbang masuk dan keluarnya biota laut pada saat pemijahan, mencari makan, dan membesarkan diri.
II. PERMASALAHAN LINGKUNGAN Kawasan Segara Anakan dari tahun ke tahun terus mendapat tekanan akibat aktivitas manusia. Saat ini kawasan Segara Anakan dihadapkan pada dua masalah pokok, yakni sedimentasi (pendangkalan) dari sedimen (berupa lumpur dan limbah) yang terbawa sungai-sungai yang bermuara kedalam laguna dan berkurangnya luasan hutan mangrove.
Kerusakan Hutan Mangrove
Sedimentasi
Di samping masalah sedimentasi, ekosistem hutan mangrove kawasan Segara Anakan juga mengalami tekanan lingkungan yang sangat tinggi akibat penebangan liar, yang mengakibatkan berkurangnya luasan hutan mangrove. Masyarakat melakukan penebangan liar karena alasan kondisi ekonomi seperti untuk keperluan membuka areal pertambakan, pertanian, permukiman, dan pemanfaatan kayu mangrove sebagai material bangunan serta bahan baku arang untuk kebutuhan industri.
Laguna Segara Anakan secara kontinyu mengalami degradasi akibat tingkat sedimentasi yang tinggi. Adanya sedimentasi selama bertahun-tahun pada perairan tersebut telah mengakibatkan terjadinya pendangkalan serta penyempitan luasan laguna. Laguna Segara Anakan sebagai muara dari beberapa sungai besar seperti Sungai Citanduy, Cibereum, Cimeneng, Cikonde, dan beberapa sungai lainnya membawa konsekuensi pada melimpahnya pasokan air dan sedimen yang terbawa kedalam
Meningkatnya harga udang di pasar dunia pada tahun 1997 telah menarik minat para investor untuk membuka usaha
4 PEMBANGUNAN-Velt 1 edisi Ke DUA.indd 4
E D I S I 0 2 / TA H U N X V I / 2 0 1 0
5/12/2010 12:41:59 AM
Gambar 2. Laju Penurunan Luasan Laguna Segara Anakan 7.000 6.000
Luas (Ha)
5.000 4.000 3.000 2.000 1.000 0 1900
1920
1940
1960
1980
2000
2020
Tahun Profil Balai Besar Wilayah Sungai Citanduy - Ditjen SDA Dep. PU Badan Pengelola Kawasan Segara Anakan (BPKSA) IUCN & Mangrove Action Project 2007
Gambar 3. Data Inderaja Luasan Laguna Segara Anakan
Sumber: Profil Balai Besar Wilayah Sungai Citanduy, Ditjen Sumber Daya Air, Departemen Pekerjaan Umum
5 PEMBANGUNAN-Velt 1 edisi Ke DUA.indd 5
E D I S I 0 2 / TA H U N X V I / 2 0 1 0
5/12/2010 12:42:04 AM
warga setempat dan juga masuknya para pendatang untuk menggarap lahan tanah timbul tersebut menjadi areal pertanian. Sehingga dengan alasan membuka lahan pertanian, banyak pohon mangrove yang ditebang secara liar untuk dijadikan sawah dan permukiman. Penebangan liar juga dilakukan guna memanfaatkan kayu mangrove sebagai material bahan bangunan.
pertambakan udang secara besar-besaran. Para investor menyewa lahan yang dimiliki oleh pemerintah dan lahan yang menjadi hak garapan penduduk setempat, sehingga terjadi konversi lahan yang mengakibatkan berkurangnya luas area hutan mangrove secara drastis di wilayah tersebut. Pada awal perkembangannya, tambak-tambak udang tersebut memang menguntungkan dan mampu meningkatkan perekonomian masyarakat lokal. Namun, seiring stabilnya harga udang di pasar dunia, bidang usaha tambak udang tersebut mulai mengalami kerugian sehingga mengakibatkan kebangkrutan yang berujung pada penutupan usaha pertambakkan. Tidak hanya sampai di sini, pohon mangrove pun tidak bisa tumbuh lagi khususnya di tempat-tempat pemberian makanan udang karena kerasnya bahan kimia yang dipakai untuk membesarkan udang secara instan.
Penebangan hutan mangrove memang sudah terbukti menyebabkan luas hutan kawasan Segara Anakan kian hari terus menyusut seperti ditunjukkan dalam gambar 4 yang memperlihatkan laju penurunan luasan hutan mangrove di kawasan Segara Anakan.
III. DAMPAK PERMASALAHAN Kerusakan lingkungan di kawasan Segara Anakan mengancam kekayaan biota di kawasan ini. Penumpukan sedimen dari beberapa sungai yang bermuara di laguna Segara Anakan selama bertahun-tahun telah mendangkalkan dan menyempitkan perairan yang merupakan habitat biota laut dan air payau. Sebagian besar dari biota tersebut juga merupakan sumber makanan bagi burung-burung air di kawasan Segara Anakan. Tingkat erosi yang tinggi juga mengakibatkan wilayah perairan keruh dan kotor, sehingga kehidupan biota di laguna Segara Anakan pun terancam.
Menurunnya luas hutan mangrove dipengaruhi juga oleh penebangan liar yang dilakukan masyarakat untuk dijadikan kayu bakar, baik untuk kebutuhan rumah tanga ataupun industri. Keadaan ini semakin memburuk seiring dengan makin maraknya order dari bisnis arang mangrove dari sejumlah kota di tanah air ke wilayah tersebut. Kualitas arang dari mangrove dikenal paling bagus karena jenis kayunya yang keras, sehingga dijadikan bahan baku industri arang. Sementara itu, peningkatan sedimentasi dari lumpur yang terbawa oleh beberapa sungai yang bermuara di kawasan Segara Anakan menciptakan lahan-lahan tanah timbul baru. Hal ini mendorong
Gerbang Plawangan yang merupakan pintu pertemuan air sungai yang bermuara di Segara Anakan dengan laut lepas
Gambar 4. Laju Penurunan Luasan Hutan Mangrove Segara Anakan 16.000
Luas (Ha)
12.000
8.000
4.000
0 1970
1980
1990
2000
2010
Ta hun
Sumber: Badan Pengelola Kawasan Segara Anakan
6 PEMBANGUNAN-Velt 1 edisi Ke DUA.indd 6
E D I S I 0 2 / TA H U N X V I / 2 0 1 0
5/12/2010 12:42:04 AM
Samudera hindia kini kian sempit dan dangkal. Celah tersebut sangat penting untuk mengalirkan sedimen dan air ke laut, serta menjadi pintu gerbang masuknya biota laut untuk memijahkan diri di laguna. Kondisi tersebut menimbulkan lumpur sungai tak dapat langsung meluncur ke laut lepas karena tertahan tumpukan sedimentasi dan berkurangnya biota laut yang memijahkan diri di Segara Anakan karena kesulitan masuk kedalam laguna. Keadaan ini semakin memburuk seiring dengan penyusutan luasan hutan mangrove yang menyebabkan peran mangrove sebagai penyedia nutrisi bagi keberlanjutan kehidupan biota laut, air payau, dan burung air yang menumpangnya berkurang. Berkurangnya luasan hutan mangrove dan sedimentasi menjadi faktor penyebab utama menurunnya jumlah tangkapan ikan di daerah pesisir dan hilangnya mata penghidupan nelayan setempat. Permasalahan ini dapat mengancam sektor perikanan laut di Cilacap. Dampak besar lainnya akibat sedimentasi dan berkurangnya luasan hutan mangrove adalah semakin mudah terendamnya areal permukiman dan pertanian saat air pasang. Akibatnya, instalasi air bersih rusak, sumber air bersih tercemar, lahan pertanian rusak, dan banjir. Ratusan hektar lahan persawahan tidak bisa ditanami akibat terinterusi air laut. Sementara itu, hilangnya mangrove juga mengakibatkan suhu udara semakin panas. Sedimentasi Segara Anakan tidak hanya menyebabkan banjir, namun juga mengganggu jalur perahu nelayan dan alur pelayaran kapal penyebrangan. Beberapa kendala akibat sedimentasi di kawasan ini diantaranya: jalur kapal penyebrangan antara Dermaga Lomanis, Cilacap – Dermaga Majingklak, Ciamis dan kapal besar berkapasitas hingga 300 orang antara Cilacap – Kalipucang terhenti; alur Pelabuhan Indonesia III Cabang Tanjung Intan mendangkal dan membuat kapal kandas pada tahun 2004; alur pelayaran kapal tanker pemasok minyak mentah ke pelabuhan khusus Pertamina Lomanis Cilacap terganggu; alat transportasi kapal roro dan compreng bagi wilayah setempat sebagian besar sudah berhenti beroperasi; serta Dinas Angkutan Sungai, Danau, dan Perairan (ASDP) Cilacap telah menghentikan armadanya untuk jalur Cilacap – Kampung Laut – Kalipucang sehingga transportasi ke tiga desa di Kampung Laut, yaitu Desa Ujung Gagak, Klaces, dan Ujung Alang nyaris terputus. Segara Anakan dengan keanekaragaman hayati yang tinggi memiliki kepentingan ekologi yang sangat besar. Hilangnya kawasan ini membawa implikasi ancaman ekonomi dan kerusakan lingkungan yang fatal. Jika hal ini dibiarkan, maka Indonesia akan mengalami kerugian besar dengan kehilangan satu ekosistem yang luar biasa dan unik.
Upaya yang telah dilakukan pemerintah, swasta, dan masyarakat untuk mengatasi permasalahan kawasan Segara Anakan meliputi rehabilitasi hutan mangrove, pembangunan dam pengendali dan penahan, pengerukan sedimen, pembuatan daerah tangkapan atau sumur resapan, hingga penyodetan sungai. Untuk menahan laju sedimentasi, BPKSA menjalankan program Konservasi Tanah dan Pengendalian Erosi (KTPE). Program KTPE terdiri atas kegiatan fisik dan vegetasi. Kegiatan fisik meliputi pembangunan dam pengendali, dam penahan, dan terucuk bambu. Kegiatan vegetasi berupa agro forestry, pembuatan Unit Percontohan Usaha Pelestarian Sumberdaya Alam (Up-Upsa), dan pembuatan kebun bibit desa. Yang menjadi sasaran KTPE terutama lahan kritis di Daerah Aliran Sungai (DAS) Cimeneng, Cikawung, dan Ciseel. Upaya penyelamatan Segara Anakan terus berlanjut dengan penyodetan Sungai Cimeneng (gambar 6) dan pengerukan yang dilakukan di titik Plawangan, selatan Desa Karanganyar, dan dekat muara, melalui Proyek Konservasi dan Pembangunan Segara Anakan (Segara Anakan Conservation and Development Project) dengan dana yang sebagian besar berasal dari pinjaman ADB dan sisanya dari APBN, antara tahun 2000 dan 2005 (gambar 5), membuat luasan laguna naik menjadi 834 Ha pada tahun 2005 dari 600 Ha pada tahun 2003. Namun kini hasil pengerukan tersebut hampir tidak berbekas karena sedimentasi yang terus menerus mengendap di kawasan ini, sehingga penyusutan luasan laguna pun terus berlangsung. Proyek yang dimulai efektif dari tahun 1997 – 2005 ini, dinilai ADB tidak berhasil. Salah satu paket programnya yang belum berhasil dilakukan adalah memindahkan muara Sungai Citanduy dari laguna Segara Anakan ke teluk Nusawere, Kabupaten Ciamis dengan membuat sodetan aliran sungai sepanjang 3 km. Rencana yang lebih dikenal dengan sodetan Citanduy (gambar 6) ini berlandaskan asumsi bahwa sedimen terbesar di kawasan laguna Segara Anakan berasal dari Sungai Citanduy (75%). Sehingga air sungai beserta sedimen yang terbawa itu tidak lagi memasuki laguna Segara Anakan, melainkan langsung ke Samudera Hindia. Berdasarkan hasil studi, sebaran lumpur dari Sungai Citanduy nantinya akan terbuang melebar paling jauh 5 km dari teluk Nusawere. Namun dalam perjalanannya terdapat kendala berupa konflik sosial di lapangan. Kelompok yang pro berpendapat bahwa sodetan adalah cara terbaik untuk menanggulangi sedimentasi yang membuat kritis kondisi laguna Segara Anakan. Sementara
7 PEMBANGUNAN-Velt 1 edisi Ke DUA.indd 7
IV. UPAYA PENYELAMATAN
E D I S I 0 2 / TA H U N X V I / 2 0 1 0
5/12/2010 12:42:09 AM
Gambar 5. Pengerukan Laguna Segara Anakan
Sumber: Kebijakan Untuk Mangrove. Mengkaji Kasus dan Merumuskan Kebijakan. IUCN & Mangrove Action Project Gambar 6. Sodetan Sungai Cimeneng dan Sungai Citanduy
Sumber: ADB Completion Report. 2006. Indonesia: Segara Anakan Conservation And Development Project.
8 PEMBANGUNAN-Velt 1 edisi Ke DUA.indd 8
E D I S I 0 2 / TA H U N X V I / 2 0 1 0
5/12/2010 12:42:09 AM
Masyarakat melakukan penebangan liar karena alasan kondisi ekonomi seperti untuk keperluan membuka areal pertambakan, pertanian, permukiman, dan pemanfaatan kayu mangrove sebagai material bangunan serta bahan baku arang untuk kebutuhan industri.
itu, kelompok yang kontra berpendapat bahwa sodetan hanya akan memindahkan persoalan dari Segara Anakan ke teluk Nusawere tanpa benar-benar menyelesaikan persoalan sedimentasi itu sendiri. Dikatakan lebih lanjut bahwa proyek ini justru akan meningkatkan potensi pencemaran sampah ke pantai Pangandaran (berjarak sekitar 25 km dari Teluk Nusawere) yang merupakan salah satu kawasan andalan Jawa Barat di bidang pariwisata dan mengurangi hasil tangkapan ikan bagi nelayan Ciamis karena teluk Nusawere merupakan daerah tangkapan ikan yang potensial. Pada tahun 2007, melalui Program Gerakan Nasional Pengelolaan Air (GNPA), dibuat model sumur resapan sebagai daerah tangkapan dengan pola ekohidrolik sebanyak 20 buah di sekitar alur sungai untuk mengurangi erosi yang masuk ke laguna Segara Anakan. Hasil penelitian sementara program ini cukup efektif menghambat sedimentasi dan mendapat respon positif dari masyarakat, sehingga berkembang menjadi setidaknya 600 sumur yang telah dibuat. Upaya pelestarian hutan mangrove terus dilakukan dengan penanaman bibit mangrove sebanyak 10.000 batang pada lahan seluas 1 Ha di Grumbul Mangun Jaya dan Lempong Pucung, Desa Ujung Alang, Kecamatan Kampung Laut. Kegiatan penanaman yang dilakukan oleh Pertamina Refinery Unit (RU) IV Cilacap melalui program corporate social responsibility (CSR) pada akhir tahun 2009 mengambil tema “Save The Mangrove Now!” ini melibatkan Kantor Pengelolaan Pemberdayaan Segara Anakan (KPPSA) Cilacap dan pecinta alam.
V.
PENUTUP
Laguna Segara Anakan merupakan perairan yang berlokasi di daerah muara di pantai selatan Jawa Tengah, terletak di perbatasan antara kabupaten Ciamis, Jawa Barat dan kabupaten Cilacap, Jawa Tengah. Segara Anakan merupakan kawasan lahan basah yang sebagian besar lahannya tertutup oleh 26 jenis tanaman mangrove. Ekosistem mangrove di kawasan Segara Anakan merupakan tempat pemijahan, mencari makan, dan membesarkan diri dari setidaknya 45 jenis ikan laut, 85 jenis burung, dan beragam satwa lainnya. Kawasan Segara Anakan dari tahun ke tahun terus mendapat tekanan akibat aktivitas manusia. Penggunaan lahan yang tidak berkelanjutan pada kawasan kota dan kerusakan hutan di daerah hulu sungai menyebabkan tingginya tingkat erosi pada sungai yang bermuara ke laguna. Adanya sedimentasi mengakibatkan terjadinya pendangkalan serta penyempitan luasan laguna.
Pembahasan mengenai permasalahan di kawasan Segara Anakan sangatlah panjang dan kompleks. Berbagai dampak sosial, ekonomi, dan lingkungan begitu sensitif. Mengingat kawasan Segara Anakan berada dalam kawasan lintas wilayah administrasi dan permasalahan yang dihadapi bersifat multisektoral, maka masalah kawasan Segara Anakan merupakan masalah nasional. Oleh karena itu, membahas permasalahan ini harus secara utuh dan menyeluruh, sehingga solusi yang diberikan tidak bersifat parsial dan sesaat. Kegiatan pengerukan dan sodetan memang dapat mengurangi dampak sedimentasi. Tetapi usaha itu bukanlah satu-satunya solusi, melainkan harus ditindaklanjuti dengan pengelolaan dan pemanfaatan sumber daya alam dan lingkungan hidup yang berkelanjutan. Apalagi jika tidak cermat dan teliti dalam mengkaji masalah, upaya pengerukan dan sodetan dapat mengancam dan menimbulkan masalah sosial, ekonomi, dan lingkungan baru pada ekosistem yang ada. Konsep konservasi yang tampaknya lebih diterima masyarakat setempat adalah dengan penyelamatan hutan mangrove dan rehabilitasi lahan di DAS Citanduy dan sungaisungai lainnya yang bermuara di kawasan laguna Segara Anakan. Namun, upaya-upaya penyelamatan kawasan Segara Anakan itu serasa lambat dibandingkan laju kerusakan mangrove dan sedimentasi yang kian tak terkendali. Lemahnya perencanaan dan implementasi dari strategi dan arah kebijakan yang tertuang dalam kegiatan dan program pemerintah, lemahnya penegakan hukum, serta minimnya kesadaran dan pengetahuan masyarakat akan pentingnya pengelolaan dan pemanfaatan sumber daya alam dan lingkungan hidup, sedikit banyak berkontribusi menghambat upaya-upaya menyelamatkan kawasan Segara Anakan.
Yuliarko Sukardi (
[email protected]) adalah Staf Perencana pada Direktorat Kelautan dan Perikanan, Bappenas.
Ekosistem mangrove kawasan Segara Anakan juga mengalami tekanan lingkungan yang sangat tinggi akibat penebangan liar.
9 PEMBANGUNAN-Velt 1 edisi Ke DUA.indd 9
Segara Anakan dengan keanekaragaman hayati yang tinggi memiliki kepentingan ekologi yang sangat besar. Hilangnya kawasan ini membawa implikasi ancaman ekonomi dan kerusakan lingkungan yang fatal. Jika hal ini dibiarkan, maka Indonesia akan mengalami kerugian besar dengan kehilangan satu ekosistem yang luar biasa dan unik.
E D I S I 0 2 / TA H U N X V I / 2 0 1 0
5/12/2010 12:42:14 AM
Daftar Pustaka Rakyat Jajang Agus Sonjaya. 2007. Kebijakan Untuk Mangrove. Mengkaji Kasus dan Merumuskan Kebijakan. IUCN & Mangrove Action Project Legono Djoko, Tjut Sugandawaty Djohan, dan Gutomo Priyatmono. 2007. Model Sosio-Eko-Hidraulik Pengelolaan Laguna Segara Anakan secara Berkelanjutan. Semiloka: Pengelolaan Segara Anakan Berkelanjutan Berbasis Partisipasi Masyarakat. Semarang Liliek Dharmawan. 2008. Laguna yang Nyaris Tinggal Kenangan. Media Indonesia Miranti Soetjipto-Hirschmann. 2009. Mencegah Anak Laut Tenggelam Mohamad Burhanudin. 2008. Luas Segara Anakan Tinggal Kurang dari 800 Hektar. Kompas Mohamad Burhanudin. 2008. Sedimentasi Segara Anakan 1 Juta Meter Kubik Per Tahun. Kompas Profil Balai Besar Wilayah Sungai Citanduy. 2008. Direktorat Jenderal Sumber Daya Air Departemen Pekerjaan Umum Projo Arief Budiman. 2007. Kajian Mata Pencaharian Alternatif Masyarakat Nelayan Kecamatan Kampung Laut Kabupaten Cilacap. Jurusan Perencanaan Wilayah dan Kota. Fakultas Teknis Universitas Diponegoro Semarang. Sumarwoto. 2009. Menggali Potensi Wisata Segara Anakan. Antara Yuliarko Sukardi, Asri Rahayuningrum, Aswicaksana, Dwi Ratih Suryantining Esti, dan Ervan Arumansyah. 2009. Studi Identifikasi Permasalahan Lingkungan Di DAS Citanduy Kabupaten Ciamis. Laporan Diklat Fungsional Perencana Tingkat Pertama. Bappenas-MEPP UNPAD-PWK SAPPK ITB. Bandung Yus Rusila Noor, M. Khazali, dan I N. N. Suryadiputra. 2006. Panduan Pengenalan Mangrove di Indonesia. PHKA/WI-IP, Bogor
ADB Completion Report. 2006. Indonesia: Segara Anakan Conservation And Development Project. Agus Purnama. 2008. Reorientasi Kebijakan Penyelamatan Hutan Bakau Kawasan Segara Anakan. Kabar Indonesia Agus Sukaryanto. 2004. Perairan Unik Itu Sedang Menangis. Suara Merdeka Chabibul Barnabas. 2008. Imbas Sedimentasi Segara Anakan. Pusat Studi Kebijakan Lingkungan Chairil Anwar dan Hendra Gunawan. 2007. Peranan Ekologis dan Sosial Ekonomis Hutan Mangrove dalam Mendukung Pembangunan Wilayah Pesisir. Prosiding Ekspose Hasil-Hasil Penelitian Dewi Irma. 2008. SOS Untuk Segara Anakan. Pikiran Rakyat http://www.sinarharapan.co.id/feature/hobi/2004/0707/hob2. html (diakses terakhir pada 5 April, 2010) http://www.suaramerdeka.com/harian/0503/01/ban01.htm (diakses terakhir pada 5 April, 2010) http://m.kompas.com/xl/read/data/2008.01.08.1000146 (diakses terakhir pada 5 April, 2010) http://www.matabumi.com/news/lingkungan/sedimentasisegara-anakan-hilangkan-mata-pencahariannelayan (diakses terakhir pada 5 April, 2010) http://matanews.com/2008/08/11/usia-segara-anakan-tinggal10-tahun/ (diakses terakhir pada 5 April, 2010) http://www.republika.co.id/berita/breaking-news/ lingkungan/09/12/14/95866-hutan-mangrove-disegara-anakan-makin-memprihatinkan (diakses terakhir pada 5 April, 2010) http://www.perumperhutani.com/index.php?option=com_c ontent&task=view&id=867&Itemid=2 (diakses terakhir pada 5 April, 2010) http://www.pikiran-rakyat.com/node/102595 (diakses terakhir pada 5 April, 2010) http://bataviase.co.id/detailberita-10423682.html (diakses terakhir pada 5 April, 2010) http://www.stp.dkp.go.id/index.php?option=com_content&vi ew=article&id=336:sudah-menyusut-dirambahpula&catid=71:berita-umum&Itemid=108 (diakses terakhir pada 5 April, 2010) http://www.menkokesra.go.id/content/view/13722/39/ (diakses terakhir pada 5 April, 2010) http://www.cilacapkab.go.id/v2/index.php?pilih=news&mod= yes&aksi=lihat&id=816 (diakses terakhir pada 5 April, 2010) http://banyumasnews.com/2010/01/15/penanganan-lagunasegara-anakan-butuh-komitmen-lintas-sektoral/ (diakses terakhir pada 5 April, 2010) Irfan Anshory. 2007. Sekali Lagi:Sodetan Citanduy!. Pikiran
10 PEMBANGUNAN-Velt 1 edisi Ke DUA.indd 10
E D I S I 0 2 / TA H U N X V I / 2 0 1 0
5/12/2010 12:42:14 AM
wordpress.com
A.
Since 2008, the world economy has faced severe crisis. It has moved from financial sector to real economy crisis. The wide-scale crisis made many countries have problems related to the increasing unemployment rate and decreasing economic activity. The effect of economic recession happened not only in developing countries but also in the developed countries (Athern 2009, p 2). The United States, Japan, Europe, and many countries in Latin America and Asia are reported to be suffered from the crisis.
CHALLENGES TO THE MULTILATERAL TRADING SYSTEM: THE RISING TRADE PROTECTIONISM AMID THE GLOBAL ECONOMIC RECESSION
Figure 1 shows the world trade volume decreased significantly between October-December 2008. Developed countries such as Italy and the US experienced drop of trade volume as much as 26% and 23% respectively. The most severe drop on the trade volume occurred in Turkey, Brazil, and China with 41%, 33%, and 32% respectively. Manufacturing product had the biggest effect of the trade volume declines (Badwin and Evenett 2009). In short, this collapse has been sudden, severe and synchronised. In order to handle the economic recession and maintain or generate employment, some countries impose protectionism. It is aimed to defend their domestic companies by imposing trade barriers (Athern 2009, p 2). Keynes, as cited in Kim, mentions that to some extent protectionism can maintain the employment rate during economic meltdown, but when every country imposes tariff barriers, it can be highly unfavourable to the whole economy in which the world trading volume will fall down and worsen the recession (Kim 2006, p 3).
Cerdikwan
11 PEMBANGUNAN-Velt 1 edisi Ke DUA.indd 11
INTRODUCTION
E D I S I 0 2 / TA H U N X V I / 2 0 1 0
5/12/2010 12:42:20 AM
Figure 1 World Trading Volume in Oct-Dec 2008 SWITZERLAND
-19% -26%
ITALY -18%
GERMANY
-21%
SOUTH AFICA
-20%
UK
-17%
MEXICO
-41%
TURKEY -33%
BRAZIL -22%
AUSTRALIA
-25%
FRANCE -18%
JAPAN CHINA
-32% -23% -50%
-40%
-30%
US -20%
-10%
0%
Source: Baldwin and Evenett 2009
B.
Even though the WTO has several strong firewalls to prevent countries from imposing protectionism, but some countries persist to implement it. Protectionism is very challenging and becomes barrier to multilateral trading system. For instance, (1) protectionism causes deadweight loss that may create net loss for the economy. This loss is made by distortion of economic incentives both for consumer and producer; (2) protectionism might push economic recession to economic depression as we had in 1930s because current world economy is much more mutually dependent and integrated; (3) Even though some protectionism (eg anti-dumping measures) do not violate non-discrimination on WTO agreement, but in practice the importing countries might abuse anti-dumping measures as protectionism and might lead to trade war; and (4) protectionism leads countries to implement regional trade agreement that might make trading system becomes more fragmented and focus only on specific region, and Doha Round negotiation could be further weakened because countries focus on particular region and the gaps between key players become wider.
In general, protectionism is defined as an effort imposed by a country to help its domestic trade in global trade competition (Athern 2009, p 2) or deliberative use of policy barriers or regulations to assist local industries or to promote export (Dunkley 2004, p 9). The most robust practice is by imposing trade barriers addressed to certain countries in order to decrease its import. Therefore, protectionism may have different meanings to different perspectives. To some economists, protectionism may be perceived as a market violation because protectionism may lead to a market price distortion and resources misallocation. Policy makers, on the other hand, perceive that helping their constituents during the economic crisis by protecting their trade activities is a noble responsibility, and not perceived as protectionism. Protectionism may be considered, by some lawyers, as unacceptable measure because it is inconsistent with the rules and obligation of the WTO (Milner 1998). During economic recession, protectionism can be argued as natural response to the recession. According to Milner (1988, p 4) there are two conditions ignite protectionist sentiment: Firstly, the occurrence of economic downturns such as economic depression and rising foreign competition to the growth of protectionist pressures. Secondly, the decline of the international economy’s dominant state. In light of this argument, the serious economic difficulties and the declining power of the dominant state in both the 1930s and 1970s might
Therefore, in this essay, I would argue that protectionism has a bad effect to multilateral trading system especially in economic recession, and propose to implement trade liberalization. The essay will be structured as follows: (a) definition of protectionism; (b) negative impacts of protectionism to multilateral trading system; (c) proposed solution, and (d) conclusion.
12 PEMBANGUNAN-Velt 1 edisi Ke DUA.indd 12
DEFINITION OF PROTECTIONISM
E D I S I 0 2 / TA H U N X V I / 2 0 1 0
5/12/2010 12:42:20 AM
increase employment and promote modernisation.
have been expected to produce similar protectionist policies or responses in the two periods (Milner; 1988, p 5). Protectionism has two broad objectives to be achieved, namely providing visible and immediate relief to industries which experiencing severe difficulties; and allowing ongoing adjustment to change circumstances (OCDE 1985, p 21). These objectives correspond to an employment and social equity concern, and on the other hand to promote greater economic efficiency and industrial restructuring. Relative to the complexity of these objectives, protection is a fairly simple and blunt instrument of policy. By reducing import, protection seeks to raise the market share of domestic producers and the price they receive for their goods (OECD 1985, p 22). Greater output and profitability in the domestic industry is presumed to
Until now, there are more than 47 types of trade barrier have been imposed, including 17 trade restrictions from G-20 countries (WTO 2009). The developed countries usually provide subsidy for their industry, while developing countries implement all forms of protection but especially tariff and other border measures as shown in table 1. Therefore, the WTO acknowledges two poles in the countries’ economic policy, countries that promote trade distortions and barriers in selected tradable goods and countries that introduce trade opening and facilitating measure to their commodities (WTO 2009).
Table 1 Level of Support and Protection since the Global Financial Crisis
Country
Type of Protection
European Union
Re-introducing export subsidies for butter, cheese and whole and skim milk powder from January 2009 Supporting the auto industry e.q France and Germany
Rusia
Introducing measures to support domestic car manufactures including state subsidies, and in January raised import duties on car and truck
Canada
Introducing Aid package of short term loans to auto industry
Australia
Planning to set up a AUS$ 2 billion fund to provide liquidity to car dealer financiers
India
Increasing tariffs on some steel products in November 2008
Korea
Increasing Tariffs on imports of crude oil will increase from 1 percent to 3 percent in March 2009
Indonesia
Restricting entry point for imports, such as electronic, garments, toys, footwear and food and beverages to only five ports and certain international airports since December 2008
Argentina
Imposing non-automatic licensing requirements on products considered as sensitive, such as auto parts, textiles, televisons, toys, shoes, and leather goods
Mercosur
Raising their common external tariff by 5 percent on average, on a number of specific items, including wine, peaches, dairy products, textiles, leather goods and wood furniture. Source: Baldwin and Evenett 2009
13 PEMBANGUNAN-Velt 1 edisi Ke DUA.indd 13
E D I S I 0 2 / TA H U N X V I / 2 0 1 0
5/12/2010 12:42:25 AM
C.
NEGATIVE IMPACT OF PROTECTIONISM TO MULTILATERAL TRADING SYSTEM
creating tariff barrier is necessary to protect local industries from foreign competition. In this part, I will explain how tariff barrier may cause economic loss. When government imposes tariff barrier, automatically tariff revenue will be received by the government, the price of the imported product raises, the producer surplus increases. In contrast, the number of imported product decreases, the consumer surplus declines, and total surplus decrease (a deadweight loss -DWL).
This section will discuss that protectionism is not an answer either in handling the economic recession or promoting multilateral trade, in contrary protectionism might push economic recession to economic depression, economy will be suffered and it will promote trade war. As Baldwin and Evenett (2009, p 4) argued protectionism is an irony where it reduces productivity, competitiveness, employment rate, real income and in the in the long run everyone will be worse off. As supporting argument that protectionism is harmful for the multilateral trade, there are several disadvantages of protectionism as discussed as follows:
Figure 2 shows the tariff barrier decreases total surplus and bring a deadweight loss (labelled E and F). The DWL is a loss of consumer surplus (Mc Taggart et al 2007, p 164) and consumers lose area B to producers and area D to the government. Therefore, these looses of consumer surplus are gain to others. But the losses in area E and F are no one gains or deadweight loss. Furthermore, Dimulescu mentions the DWL represents the effect of tariff barrier that causes a net loss for the economy (2009, p.3). This loss is made by distortion of economic incentives both for consumer and producer. In contrast, if government imposes free trade, the distortions between consumer and producer are eliminated; therefore national welfare will increase significantly (Dimelescu 2009, p 6).
C.1 Tariff Barriers cause the Deadweight Loss The temptation for government to impose tariff barriers is very strong. Tariff barriers do provide revenue to the government and the most important attribute of tariff is that the government will be enabled to satisfy special interest group in import-competing industries. To some extent, this action faces two dilemmas. On one side, countries should not involve in the international flow of services or goods, and on the other hand,
Price (thousands of dollars per car)
Figure 2 The Effect of a Tariff
35 Consumer surplus shrinks
30
25
SA
Deadweight loss from tariff
A
19 B 15
10
0
E
D
Tariff
F
C Imports without tariff
Producer surplus expands 0.4
DA
Imports with tariff
World price
Quantity consumed 1.0
1.4
Quantity (millions of cars per year)
Source: Mc Taggart et al (2007, p 164)
14 PEMBANGUNAN-Velt 1 edisi Ke DUA.indd 14
E D I S I 0 2 / TA H U N X V I / 2 0 1 0
5/12/2010 12:42:25 AM
Figure 3 Global Trade Downturn between 1929 and 2008 110
100
90
80
70
60 5
10
15
20
25
30
35
40
45
50
Months since peak June 1929 =100
C.2 Protectionism might lead to the Global Depression
The protectionism that shields local companies from the effect of economic recession through the implementation of trade barriers might turn the global economic recession into a global economic depression (Athearn 2009, p 2). This argument is based on the implementation of protectionism action in the 1930s. At that time, the Smooth-Hawley Act in 1930 pushed the U.S government to raise tariff up to the average level of 60% over 20,000 products and other countries responded by raising their barrier to the U.S exports. Therefore, the world trade flows dropped 66% on average between 1929 and 1934 (Athearn 2009, p 3). The existing condition shows that global trade has fallen down significantly compared to what had happened in 1930s in the same period. Figure 3 shows the present fall in the global market (the red line) has shaper sloping decline than it did during the great depression in 1930s (the blue line). It means the possibility that protectionism might push current economic recession into economic depression is much higher. There are at least two major push factors that current protectionism is more harmful compared to the 1930s. Firstly, the current world economy is much more open than 1930s. It is related with the decreasing average tariff in the global economy. In the 1930s the average tariff was 50%, but it was declining to 25% in 1980s and less than 10% now. With more unstable economic situation, the anxiety to impose protectionism is more likely to occur.
15 PEMBANGUNAN-Velt 1 edisi Ke DUA.indd 15
April 2008 =100
Secondly, the current world economy is much more mutually dependent and integrated. For example, supply chain for hard disk drives assembled in Thailand is more mutually dependent to other countries. All the component of the hard disk drive is not only manufactured in Thailand, but also imported from Indonesia, China, Hong Kong etc for supporting components as shown in figure 3. Instead of raising tariff or impeding goods at the borders, many industries have found that cooperation with other foreign companies or joint ventures and international diversification are more likely profitable and more rational in handling the global competition. Manufacture exports are no longer made in one country and sold in another country. Therefore, if countries impose tariff barrier, it will create effect on multilateral trade and everybody will worse off.
C.3 Protectionism Can Be Misused by Particular Country that Might Lead to a Trade War There are several ways in how a country responds to unfair trade imposed by other countries. Anti-dumping is one of the most common response and it is an example of WTO legal protection that has been misused by developed or developing countries to do protectionism that might lead to trade war. The WTO agreements uphold the principle of anti-dumping action, but the agreements also allow exception in some circumstances (Chen 2009). In theory, anti-dumping is an action done by importing countries to protect their domestic industry by charging more expensive import duty on a certain product exported from
E D I S I 0 2 / TA H U N X V I / 2 0 1 0
5/12/2010 12:42:30 AM
Figure 4 The Supply Chain Example (This shows the nations where parts are sourced for a hard disk assembled in Thailand)
Source: Baldwin and Evenett (2009)
other countries to close the price difference between the price of imported and domestic product (Chen 2009). The number of anti-dumping measures in 2008 increased significantly compared to previous years as shown in figure 5. Only in 2008 the growth rate of anti-dumping measures increases more than 10%. Developing countries proposed anti-dumping initiations higher than developed countries as shown in figure 6, but developed countries imposed anti-dumping more severely than developing countries especially in June-December 2008.
countries as protectionism and they want this provision tightened. For example, if the US had been imposing anti-dumping measures to steel and tire from China with tariff on tire up to 35% without proper investigation, China as an exporting county might not felt do the dumping, but China might also do anti-dumping measures to the product from the US. The US might want to protect their local industries on behalf of anti-dumping scenario. If many countries do the same things, trade wars cannot be avoided.
By arguing to protect domestic industry and without adequate investigation -- whether a particular product is being dumped heavily or slightly to the domestic products-- the importing country imposes different import tariff to specific products from the exporting countries. Even though the importing country does not violate non-discrimination on the WTO agreements, but in practice the importing countries might abuse anti-dumping measures as protectionism and might lead to trade war. As Dunkley (2004 p 193) claims that anti-dumping provision are being abused by first world
C.4 Protectionism Leads Countries to Implement Regional Trade Agreements The suspended Doha Round negotiation and the reciprocal effects of protectionism that push each county to impose tariff barriers might put the multilateral trade into trouble. Therefore, most of countries try to find the second best trade system and they usually choose regional trade agreements. As Chen (2009) argues in the world where tariff barriers exist, it is still possible
16 PEMBANGUNAN-Velt 1 edisi Ke DUA.indd 16
E D I S I 0 2 / TA H U N X V I / 2 0 1 0
5/12/2010 12:42:30 AM
Figure 5 Growth Anti-dumping Cases Growth rate of AD 20%
2008 2008
10%
2006
2006 0% -10%
2004
2005 2005
-20%
2007
2007
-30% 2004 -40% AD measures
AD initiations
Figure 6 Anti-dumping cases, 2007-2008
120
Antidumping Initiations
120
100
100
80
80
60
Developing countries
60
40 20 0
Antidumping Imposed
40 20
Developed countries Average Jan 07-June 08
0 Average Jan 07-June 08
Jul 08 - Dec 08
Jul 08 - Dec 08
Source: WTO, anti-dumping database (www.wto.org) to reduce these barriers on a selective basis through a regional trade agreement that might be more beneficial to the world rather than a status quo.
Market (SEM) in the EU has modified and simplified boarder formalities the movement of capital and freedom movement of labour and goods between the EU.
Furthermore, Glania et al (2005) also argue protectionism leads countries, especially developing countries, to implement regional trade agreement. In regional trading system, developing countries have bigger opportunity to have better access to a large market. This trend also relates to the intention to protect them from reciprocal protectionism effect from other countries. For example, Mexico as part of NAFTA recently was excluded from US anti-dumping measure on steel products and the EU has abolished anti-dumping measures among member countries (Glania et al 2005, p 16). In addition, the Single European
In contrast, there are some disadvantages of regionalism itself that challenges the multilateral trading system. For instance: (1) producer gains less benefit than multilateral trading system. Regionalism offers less compensation for loss commodity price support to producers than global free trade does (Tweeten 1993 p 810); (2) trading system becomes more fragmented and focus only on specific regions; (3) the high risk of trade wars among trade regions might cause global instability, (4) Doha Round negotiation could be further weakened, because countries focus on a particular region and the gaps between key players become wider.
17 PEMBANGUNAN-Velt 1 edisi Ke DUA.indd 17
E D I S I 0 2 / TA H U N X V I / 2 0 1 0
5/12/2010 12:42:35 AM
wordpress.com
D. PROPOSED SOLUTION
might also be a trigger of misallocation resources and murky protection (Evenet and Jenny 2009). Therefore, in order to not violate one of articles in the WTO Agreements, the government give economic stimulus evenly. For example, Australian government provides stimulus package not only to Holden as its local industry, but also to Ford and other companies that invest in the same industry in Australia.
The proposed solution will be divided into short and long terms. In the short term, stimulus package will be proposed to manage the effect of economic recession, while in the long run, Doha Round negotiation needs to be taken into account in order to endorse global free trade and firewall against the risk of renew protectionism.
In the long run, I would argue that the trade liberalization is better in handling economic recession than protectionism. In order to accomplish trade liberalization, Doha Round negotiation is important to be agreed and it can be a barrier against the risk of renewed protectionism especially in agriculture and service sectors. Dimulescu (2009) mentions that Doha Round negotiation is the main effort to endorse free trade and it is an important element of world’s economy to escape from economic recession. Furthermore, Athearn (2009) argues that any kind of legal protections would hamper multilateral trading system and make the economic recession longer than expected.
In short run, stimulus packages are proposed to manage the effect of economic recession. As Baldwin and Evenett (2009) argue, stimulus packages take an important and effective tool to help recover from economic crisis. In response to the effect of economic recession, 26 countries have launched 58 different stimulus programs worth more than five trillion dollar (WTO 2009). In automotive sector, for example, Australia, France, Germany, the United States, Canada, and Brazil have launched stimulus packages not only to increase the car productions but also to stimulate the sales. A study conducted by Hufbauer et.al (2009) states that the U.S government provides subsidies to the local automotive manufactures approximately US$ 17.4 while total automotive subsidies all around the world are approximately US$48 billion.
The cost of protectionism as Matlack et al (2009) report from their research that the protectionism cost to the worldwide trade is estimated up to USS 728 billion. Therefore, both developed and developing countries should sit and talk together in Doha Round framework to reduce the gap for the sake of global
Focusing on the stimulus packages, some scholars argue that in some circumstances, these subsidies can improve national economic resources and performance allocation, but they
18 PEMBANGUNAN-Velt 1 edisi Ke DUA.indd 18
E D I S I 0 2 / TA H U N X V I / 2 0 1 0
5/12/2010 12:42:35 AM
REFERENCES
economic welfare. Doha Round negotiation itself can promote free trade as the absence of artificial barriers to the free flow of goods and services between countries (Dunkley 2004, p 9). Free trade is the optimum trading policy compared to protectionism. In theory, it supposedly leaves everyone better off economically without making everyone else worse off, and in practice, free trade allegedly produces higher income and faster economic growth than protectionism does (Dunkley 2004, p 11). Free trade also provides, relatively to protectionism, superior income, growth, prosperity and equity performance (OCDE 1995). Free trade is an engine of growth and it generates economic gain. Removing tariff and other trade barriers will allow productive resources to move to their efficient use.
E.
CONCLUSION
Since 2008, the world has faced economic crisis that put many countries, both in developing and developed countries in troubles. Economic activities dropped significantly. In response to the problems, many countries have implemented protectionism to protect their local industries by imposing trade barriers and promoting export. However, protectionism has a bad effect to multilateral trading system especially in economic recession for several reasons. Protectionism causes deadweight loss that generates a net loss for the economy. Protectionism might also push economic recession to economic depression as we had in 1930s because current world economy is much more mutually dependent and integrated. Even though some protectionism (eg anti-dumping measures) do not violate non-discrimination principle in WTO agreement, but in practice the importing countries might abuse anti-dumping measures as protectionism and it might lead to trade war. Protectionism may lead countries to implement regional trade agreement that might cause the trading system becomes more fragmented and focus only on specific region. Lastly, Doha Round negotiation could be further weakened because countries focus on particular region and the gaps between key players become wider. Therefore, the essay offers two proposed solution. Firstly, providing stimulus package to help countries recovering from economic crisis in the short run and secondly, advocate to continue the Doha Round negotiation to endorse free trade especially in agriculture and service sector for the long run, because the trade liberalization is better than protectionism.
Athearn, R 2009, The Global Economic Downturn and Protectionism, CRS Report for Congress, Congressional Research Service Washington D.C. Baldwin R and Evenett S 2009, The Collapse of Global Trade, Murky Protectionism and the Crisis: Recommendations for the G20, Centre for Economic Policy Research CEPR, London UK. Chen, C 2009, ‘The Global Trading System: Lecture note’, Policy and Governance Program, Crawford School of Economic and Government, The Australian National University. Dimulescu, D 2009, Free Trade and Protectionism, University of Craiova, Craiova Romania. Dunkley, G 2004, Free Trade: Myth, Reality and Alternatives, University Press Ltd, Dhaka Glania G and Mathess J 2005, Multilateralism or regionalism? Trade Policy for European Union, Center for European Policy Studies, Brussels Hufbauer G, Rubini L and Wong Y, Swamped by Subsidy: Averting a US-EU Trade War after Great Crisis, Petersen Institute for International Economic Policy, Washington DC. Kim, KH 2006, ‘Protectionism actually hurts US jobs and economy: An investigation of proponents and opponents, International Business and Economic Research Journal, vol. 5, no. 9, pp 1-6. Matlack, C, Sasseen, J, and LeVine S 2009, ‘The new protectionism’, Business Week, vol. 4136, pp. 20-30 Mc Taggart, D, Findlay C, and Parkin M 2007, Economics, Pearson Education Australia, New South Wales Australia Milner H 1988, Resisting Protectionism: Global Industries and the Politics of International Trade, Princeton University Press, New Jersey. OCDE – Organisation for Economic Cooperation and Development- 1985, Costs and Benefits of Protectionism, OCDE, France. Tweeten L 1993, ‘Trade regionalism: Promises and problems’, American Journal of Agricultural economic, vol. 75, no. 3, pp. 810-834. WTO 2009, Report on the Economic Crisis and Trade Related Development, World Trade Organization, Geneva
Cerdikwan is a staff of Directorate for Political Affairs and Communications, Bappenas
19 PEMBANGUNAN-Velt 1 edisi Ke DUA.indd 19
E D I S I 0 2 / TA H U N X V I / 2 0 1 0
5/12/2010 12:42:40 AM
http//:farm2.static.flickr.com
www.koran.republika.co.id.jpg
www.koran.republika.co.id.jpg
“Putramu bukanlah putramu. Mereka adalah putra-putri kehidupan yang mendambakan hidup mereka sendiri. Mereka datang dari kamu tetapi tidak dari kamu. Dan sungguhpun bersamamu mereka bukanlah milikmu.” (Kahlil Gibran, 1923).
TELEVISI RAMAH ANAK
I.
PENDAHULUAN
Setiap anak manusia lahir dalam suatu lingkungan alam tertentu (nature) dan berinteraksi dengan satu lingkungan budaya tertentu (culture). Dengan demikian, keduanya akan menentukan proses tumbuhkembangnya (nurture). Kebudayaan cenderung mengulang-ulang perilaku tertentu melalui proses belajar yang kemudian memunculkan adanya kepribadian ratarata yang merupakan ciri khas dalam masyarakat tertentu yang mencerminkan kepribadian dalam lingkungan tersebut.
Tatang Muttaqin
Menurut Taylor di dalam Koentjaraningrat (1980), salah satu aspek kebudayaan adalah norma atau perilaku terpilih yang kemudian dianut oleh sebagian besar masyarakat. Norma ini
20 PEMBANGUNAN-Velt 1 edisi Ke DUA.indd 20
E D I S I 0 2 / TA H U N X V I / 2 0 1 0
5/12/2010 12:42:40 AM
mengatur perilaku masyarakat atau menjadi pola pengasuhan anak yang dianut masyarakat. Dengan demikian, dapat ditarik benang merah bahwa norma yang dianut oleh suatu masyarakat berpengaruh terhadap pola pengasuhan anak dalam masyarakat tersebut.
Teori Model Ekologi Bronfenbrenner: Mikro, Mezo, Exo, Makro
Proses belajar dan tumbuhkembang anak harus diarahkan untuk menyuburkan perkembangan kecerdasan majemuk (multiple inteligensia). Gardner (1993) memperkenalkan tujuh kecerdasan majemuk, yaitu: kecerdasan musical (kepekaan dan kemampuan berekspresi dengan bunyi, nada, melodi, irama); bodily-kinesthetic (ketrampilan gerak, menari, olahraga); logical– mathematical (kemampuan menggunakan logika-matematik dalam memecahkan berbagai masalah); linguistic (kemampuan menguraikan pikiran dalam kalimat-kalimat, presentasi, pidato, diskusi, tulisan); spatial (kemampuan berpikir tiga dimensi), intrapersonal (kemampuan memahami dan mengendalikan diri sendiri); interpersonal (kemampuan memahami dan menyesuaikan diri dengan orang lain).
II. MEDIA MASSA DAN PROSES TUMBUH KEMBANG ANAK
Sumber: Bappenas, 2006.
Setiap anak diharapkan dapat berkembang secara sempurna dan simultan, baik perkembangan fisik, kejiwaan dan juga sosialnya. Untuk itu perlu dipetakan berbagai unsur yang terlibat dalam proses perkembangan anak sehingga dapat dioptimalkan secara sinergis. Urie Bronfenbrenner dalam Bappenas (2008) memetakan aspek pengembangan secara komprehensif melalui teori ekologi. Teori ini memetakan 5 sistem yang berpengaruh terhadap tumbuh kembang anak, yaitu: Pertama, sistem mikro yang terkait dengan setting individual di mana anak tumbuh dan berkembang, yang meliputi: keluarga, teman sebaya, sekolah dan lingkungan sekitar tetangga. Kedua, sistem meso yang merupakan hubungan di antara mikro sistem, misalnya hubungan pengalaman-pengalaman yang didapatkan di dalam keluarga dengan pengalaman di sekolah atau pengalaman dengan teman sebaya. Ketiga, sistem exo yang menggambarkan pengalaman dan pengaruh dalam setting sosial yang berada di luar kontrol aktif tetapi memiliki pengaruh langsung terhadap perkembangan anak, seperti, pekerjaan orang tua dan media massa. Keempat, sistem makro yang merupakan budaya di mana individu hidup seperti: ideologi, budaya, sub-budaya atau strata sosial masyarakat. Kelima, sistem chrono yang merupakan gambaran kondisi kritis transisional (kondisi sosio-historik). Keempat sistem pertama harus mampu dioptimalkan secara sinergis dalam pengembangan berbagai potensi anak sehingga dibutuhkan pola pengasuhan, pola pembelajaran, pola pergaulan termasuk penggunaan media massa yang koheren dan saling mendukung. (Lihat gambar berikut)
21 PEMBANGUNAN-Velt 1 edisi Ke DUA.indd 21
Dalam teori perkembangan anak sebagaimana disampaikan Bronfenbrenner (Bappenas 2008), tumbuh-kembang anak tidak akan terpisahkan dari kelima sistem interaksi seperti tersebut di atas. Pada proses interaksi inilah banyak institusi yang akan menyosialisasikan nilai-nilai dan pengetahuan kepada anak. Oleh karena itu, orangtua tidak dapat dengan sempurna menginginkan anaknya menjadi seperti yang ia inginkan, karena banyak institusi yang turut berperan dalam proses sosialisasi, salah satunya yang paling berpengaruh di era global ini adalah media massa sehingga Mc Luhan (1964) menyebutnya kehadiran medianya saja telah membawa pesan, the medium is message. Media massa dipandang punya kedudukan strategis dalam masyarakat. Ashadi Siregar (2004) memetakan tiga fungsi instrumental media massa, yaitu untuk memenuhi fungsi pragmatis bagi kepentingan pemilik media massa sendiri, bagi kekuatan-kekuatan ekonomi dan politik dari pihak di luar media massa, atau untuk kepentingan warga masyarakat. Secara konseptual, keberadaan media massa dan masyarakat perlu dilihat secara bertimbal balik. Untuk itu ada 2 pandangan yaitu apakah media massa membentuk (moulder) atau mempengaruhi masyarakat, ataukah sebaliknya sebagai cermin (mirror) atau dipengaruhi oleh realitas masyarakat. Dua landasan ini menjadi titik tolak dari bangunan epistemogis dalam kajian media massa, yang mencakup ranah pengetahuan mengenai hubungan antara masyarakat nyata (real) dengan media, antara media dengan masyarakat cyber, dan antara masyarakat real dengan masyarakat cyber secara bertimbal-balik.
E D I S I 0 2 / TA H U N X V I / 2 0 1 0
5/12/2010 12:42:45 AM
dianggap sebagai realitas bermakna. Beberapa ahli menunjukkan adanya potensi imitasi atau peniruan sebagai efek segera yang sering muncul di masyarakat atas tayangan kekerasan di televisi. Sedangkan efek jangka panjang adalah berupa habituation, yaitu orang menjadi terbiasa melakukan apa yang dilihatnya di televisi. Akibatnya orang menjadi tidak peka, permisif, dan toleran terhadap kekerasan itu sendiri.
Pandangan pertama, bahwa media membentuk masyarakat bertolak dari landasan bersifat pragmatis sosial dengan teori stimulus – respons dalam behaviorisme. Teori media dalam landasan positivisme ini pun tidak bersifat mutlak, konsep mengenai pengaruh media massa terdiri atas 3 varian, pertama: menimbulkan peniruan langsung (copy-cut), kedua: menyebabkan ketumpulan terhadap norma (desensitisation), dan ketiga: terbebas dari tekanan psikis (catharsis) bagi khalayak media massa.
Wirodono (2005) berpendapat bahwa televisi mempunyai pengaruh buruk, terutama terhadap anak-anak. Wirodono mengutip data penelitian di Amerika bahwa anak di bawah dua tahun yang dibiarkan orangtuanya menonton televisi bisa mengakibatkan proses wiring, yaitu proses penyambungan antara sel-sel saraf dalam otak menjadi tidak sempurna. Padahal anak-anak yang menonton televisi tidak selalu mempunyai pengalaman empiris sehingga gambar televisi mengekspolitasi kerja otak anak-anak karena virtualisasi televisi yang meloncatloncat sehingga mengganggu konsentrasi mereka.
Pandangan kedua menempatkan media sebagai teks yang merepresentasikan makna, baik makna yang berasal dari realitas empiris maupun yang diciptakan oleh media. Dengan demikian realitas media dipandang sebagai bentukan makna yang berasal dari masyarakat, baik karena bersifat imperatif dari faktor-faktor yang berasal dari masyarakat, maupun berasal dari orientasi kultural pelaku media. Dari sini media dilihat pada satu sisi sebagai instrumen dari kekuasaan (ekonomi dan/ atau politik) dengan memproduksi kultur dominan untuk pengendalian (dominasi dan hegemoni) masyarakat, dan pada sisi lain dilihat sebagai institusi yang memiliki otonomi dan independensi dalam memproduksi budaya dalam masyarakat. Secara teoretis, menurut Harold Laswell (Barran dan Davis, 2000) media massa memegang peranan penting sebagai katalisator dalam masyarakat, bahkan teoretisi Marxis melihat media massa sebagai piranti yang sangat kuat (a powerfull tool)1. Namun seiring dengan semakin beragamnya media dan semakin berkembangnya masyarakat, kebenaran teori-teori tersebut menjadi diragukan.
Begitu besarnya pengaruh TV terhadap anak-anak, sampaisampai pendiri organisasi Action for Children Television yaitu Peggy Chairen memperingatkan bahwa tidak banyak hal lain dalam kebudayaan kita yang mampu menandingi kemampuan TV yang luar biasa untuk menyentuh anakanak dan mempengaruhi cara berpikir serta perilaku mereka (Kristanto, 2008). Garin Nugroho (2005) menyebutkan bahwa televisi adalah refleksi ekosistem kehidupan suatu bangsa. Besarnya pengaruh itu, menurut psikolog Fawzia Aswin Hadis (Republika, 5/6/2005) adalah karena anak-anak memang berada pada fase meniru. Anak-anak adalah imitator ulung, dan karena itu akan cenderung meniru adegan yang ditonton di TV. Masalahnya adalah sejauhmana dampak tayangan televisi tersebut berpengaruh terhadap terhadap perilaku masyarakat khususnya anak-anak. Untuk membuktikan kebenaran ini memang relatif sulit, karena perilaku anak (remaja) anak sangatlah komplek dan dipengaruhi oleh banyak faktor.
Pemetaan dampak media massa yang cukup memadai dikemukakan oleh John T. McNelly (Zulkifli, 1996) yang dikenal dengan McNelly’s Four Position, yaitu: (1) sudut pandang nol (null position) yang menyatakan bahwa media massa memiliki sedikit peranan atau bahkan tidak memiliki peranan sama sekali; (2) sudut pandang antusias yang melihat media massa memiliki peran yang besar; (3) cautions position yang menganggap media massa memiliki peranan namun bukan sebagai elemen utama dalam menentukan ada tidaknya perubahan; (4) sudut pandang pragmatik yang melihat bahwa berperan atau tidaknya media massa haruslah ditempatkan secara kontekstual.
Hasil studi yang dilakukan di Amerika Serikat tahun 1972 berjudul Television and Growing Up; The Impact of Televised Violence menunjukkan gambaran bahwa korelasi antara tayangan tindakan kekerasan di televisi dengan perilaku agresif pemirsa yang umumnya anak muda ditemukan taraf signifikansinya hanya 0,20 sampai 0,30 (Dedi Supriadi, 1997). Tingkat signifikansi sangat rendah ini tidak cukup menjadi dasar untuk menarik kesimpulan yang meyakinkan mengenai adanya hubungan langsung antara keduanya. Ini berarti tayangan tindakan kekerasan bisa saja berpengaruh terhadap sebagian penonton dan dapat juga netral atau tidak mempunyai pengaruh sekalipun.
Berdasarkan peta di atas, dapat ditarik kesimpulan bahwa dalam skala minimal sekalipun media massa memiliki peran. Model efek terbatas (limited effect model) yang dianggap paling minimal dan pesimis dalam melihat efek media massa menyatakan bahwa sekecil apapun media massa tetap memberikan efek. Ada lima jenis media masa yang dikenal sebagai “The big five of mass media” yaitu televisi, film, radio, majalah dan koran. Televisi diyakini mempunyai pengaruh yang sangat kuat karena mampu memadukan kekuatan audio dan visual sehingga orang dapat melihat dan mendengar secara utuh dan menjadi lebih percaya. Apa yang tampak di televisi
Barangkali, masalahnya tidak mengkhawatirkan jika yang ditiru adalah adegan dan perilaku yang positif. Tapi, kenyataannya, justru bukan perilaku positif yang menarik bagi anak-anak
22 PEMBANGUNAN-Velt 1 edisi Ke DUA.indd 22
E D I S I 0 2 / TA H U N X V I / 2 0 1 0
5/12/2010 12:42:45 AM
dan menebar di layar TV. Penelitian Sri Andayani dan Hanif Suranto (1997) terhadap film-film kartun Jepang Sailor Moon, Dragon Ball dan Magic Knight Ray Earth menunjukkan lebih banyak adegan anti sosial dari pada adegan pro sosial (58,4% : 41,6%). Temuan diperkuat oleh studi YKAI yang mendapati adegan anti sosial lebih dominan (63,51 %). Bahkan adeganadegan anti sosial pula yang banyak didapati pada film-film kartun anak-anak yang sedang populer saat ini, seperti Sponge Bob Square Pans dan Crayon Sincan. Hal ini diperparah dengan adanya persaingan di antara stasiun televisi kini semakin ketat sehingga mereka bersaing menyajikan acara-acara yang digemari penonton, bahkan tanpa memerhatikan dampak negatif dari tayangan tersebut.2 Padahal penonton televisi sangatlah beragam, di sana terdapat anakanak dan remaja yang relatif masih mudah terpengaruh dan dipengaruhi. Sementara itu para orang tua terus sibuk dengan pekerjaan masing-masing, tanpa memperdulikan kondisi yang tengah terjadi antara televisi dan anak-anaknya sehingga banyak muncul cerita sinetron yang tidak menggambarkan kehidupan sehari-hari masyarakat (Tini Hadad, 1997).
III. PANDANGAN MASYARAKAT TENTANG TELEVISI DAN ANAK Terkait dengan terpaan media massa, khususnya televisi, kajian Bappenas (2006) di empat provinsi menunjukan fenomena yang unik. Di wilayah di Propinsi DI Yogyakarta termasuk unik karena rata-rata waktu anak menonton televisi relatif sedikit, yaitu di bawah dua jam per hari. Fenomena ini tak lepas dari kebijakan pemerintah propinsi DI Yogyakarta yang kondusif melalui pembiasaan ”jam belajar” di rumah yang mendorong setiap keluarga untuk menyediakan waktu belajar, misalnya jam 18.00 – 20.00 sehingga kesempatan untuk menonton televisi dapat dikurangi. Di samping kebijakan pemerintah daerah, kondisi obyektif masyarakat Yogyakarta yang umumnya terdidik menjadi lebih memiliki kesadaran yang lebih baik untuk memanfaatkan waktu anak secara baik dan konstruktif. Hal menarik lainnya adalah keragaman pandangan orang tua terhadap tayangan televisi. Sebagian besar orang tua berpendapat secara positif terhadap dampak acara televisi sehingga dianggap baik dan bermanfaat untuk meningkatkan pengetahuan, sikap, perilaku dan keterampilan. Pandangan positif ini disebabkan kemampuan orang tua dalam mengatur jadual dan memilih acara yang tepat untuk anak sehingga anakanak dapat melihat tayangan yang bermanfaat. Di samping itu, para orang tua menyatakan selalu mendampingi anaknya ketika menonton televisi agar dapat diarahkan secara positif dan kontruktif.
23 PEMBANGUNAN-Velt 1 edisi Ke DUA.indd 23
Meskipun demikian, sebagian orang tua merasa khawatir dengan kehadiran dan dampak tayangan televisi. Kekhawatiran tersebut baik yang berupa fisikal, seperti merusak mata dan mengurangi kemampuan gerak anak karena terlalu banyak diam (pasif ), juga kekhawatiran dampaknya terhadap perilaku anak. Secara umum, para orang tua merasa terbantu oleh tayangan televisi dalam menambah pengetahuan dan keterampilan anak tetapi mereka khawatir dengan dampak televisi terhadap perilaku anak yang mudah meniru. Untuk itu, para orang tua berusaha membatasi anak dalam menonton televisi dengan cara mengalihkan dengan kegiatan lain seperti mengajak bermain, membaca, pergi ke Taman Pendidikan Quran (TPQ), dan bernyanyi. Di samping upaya pengalihan tersebut, ada juga orang tua yang memilih ”penjadwalan” dan pengaturan secara ketat waktu anak untuk menonton seperti yang dilakukan beberapa orang tua di Daerah Istimewa Yogyakarta. Di Sumatera Barat, terpaan televisi terhadap anak-anak relatif bervariasi, mulai dari yang hanya satu jam sampai yang mencapai lebih dari 4 jam per hari. Meskipun lama menonton televisi sangat beragam, namun hampir semua orang tua memiliki kekhawatiran yang sama terhadap dampak menonton televisi terhadap anak-anak. Secara umum, orang tua di Kota Padang sepakat bahwa tayangan tertentu televisi sangat bermanfaat dan membantu pengembangan pengetahuan dan keterampilan anak, seperti dunia sekitar dan flora-fauna. Namun jika dikaitkan dengan sikap dan perilaku, orang tua di Kota Padang sangat mengkhawatirkannya karena berdampak buruk sehingga anak semakin cenderung agresif dan kasar akibat tayangan kekerasan, termasuk kartun anak yang menampilkan kekerasan. Di samping kekhawatiran terhadap kecenderungan kekerasan anak, orang tua juga khawatir dengan maraknya pornografi dan pornoaksi dalam tayangan televisi. Oleh karena itu, orang tua berusaha membatasi anak-anaknya menonton televisi dengan cara mengalihkan dengan kegiatan lain seperti mengajak bermain, membaca, mendongeng (menjujai), dan menyuruh ikut ke TPQ. Di samping upaya pengalihan tersebut, beberapa orang tua berusaha membuat pengaturan waktu menonton televisi atau mematikan televisi. Selanjutnya, orangtua anak di Nusa Tenggara Barat merasakan, bahwa media massa terutama televisi memiliki pengaruh kuat bagi tumbuh kembang anak. Televisi memberikan pengaruh positif bagi pertumbuhan dan perkembangan anak karena beberapa acara televisi mampu meningkatkan daya imajinasi anak. Beberapa film kartun dan film anak-anak menstimulasi daya imaji dan sarana penanaman nilai-nilai sosial kepada anak. Pada segi lain, televisi juga mempengaruhi perilaku anak untuk melakukan kekerasan fisik, mental dan bahkan seksual kepada sesama teman. Kekhawatiran orangtua terhadap tontonan televisi ini disampaikan oleh Ketua Lembaga Perlindungan
E D I S I 0 2 / TA H U N X V I / 2 0 1 0
5/12/2010 12:42:50 AM
atau tidak kesulitan mengakses acara televisi. Di tilik dari intensitas alokasi waktu yang digunakan untuk menonton TV, setiap daerah dan juga keluarga memiliki variasi meskipun secara keseluruhan cukup intens (lebih dari 1 jam per hari). Intensitas penggunaan televisi memunculkan kekhawatiran sebagian besar orang tua sehingga orang tua berupaya untuk membatasai dengan cara melarang atau juga mengalihkan aktivitas anak ke aktivitas lainnya. Kekhawatiran orang tua tersebut disebabkan oleh banyaknya acara televisi yang kurang konstruktif, bahkan cenderung anti sosial. Hal ini paralel dengan penelitian Andayani dan Suranto (1997) yang menunjukkan kecenderungan anak untuk menonton acara TV yang anti sosial. Hal itu diperparah dengan adanya persaingan di antara stasiun televisi yang semakin ketat sehingga mereka bersaing tanpa memperhatikan dampak negatif dari tayangan tersebut. Hal tersebut diperparah dengan keterbatasan kemampuan orang tua (media literacy) dalam mendampingi anak bahkan juga ada kekurangpedulian orang sehingga kurang memperdulikan kondisi yang tengah terjadi antara televisi dan anak-anaknya. (Tini Hadad, 1997). Persaingan antar media massa juga berdampak pada perilaku kurang sehat dari para pengelola media massa yang ditunjukkan dengan rendahnya self-cencorship sehingga Komisi Penyiaran Indonesia (KPI) banyak memberikan teguran. Selama 2005-2006 saja, KPI telah mengeluarkan sebanyak 141 teguran, dua diantaranya diancam dilaporkan ke polisi.
Anak (LPA) Lombok Tengah, Irfan Dilaga. Menurutnya, banyak anak-anak NTB yang menjadi korban dan pelaku kekerasan seksual. Fenomena kekerasan seksual pada anak ini memiliki kaitan dengan akumulasi dari acara televisi yang menyuguhkan pornografi dan erotisme kepada anak sejak usia dini. Sisi negatif dari tayangan televisi tidak diikuti dengan perhatian orangtua. Banyak anak-anak usia dini yang dibiarkan melihat televisi secara bebas tanpa pendampingan karena orangtua disibukkan oleh pekerjaan. “Kadangkala orangtua justru memanfaatkan televisi untuk membuat anaknya tidak rewel dan tidak minta jajan. Sehingga orangtua tidak peduli lagi dengan acara yang ditonton asalkan tidak rewel dan tidak minta jajan tadi,” tegas Irfan. Kekhawatiran senada juga disampaikan oleh Camat Batu Layar, Lombok Barat. Menurutnya, remaja di daerah pegunungan Batu Layar, karena pengaruh televisi yang mereka dapat sejak usia dini, telah mempengaruhi perilakunya untuk bersolek layaknya artis sinetron. Perilaku dan dandanan remaja yang sok keartisan ini rawan terjadinya perdagangan manusia dan seks, karena daerah pegunungan Batu Layar merupakan daerah pariwisata yang banyak dikunjungi turis asing. Berbeda dengan di Yogyakarta, Sumatera Barat dan Nusa Tenggara Barat, orangtua dan tokoh masyarakat di Sulawesi Selatan meresahkan siaran televisi yang bisa diakses anak-anak secara bebas. Apalagi kesadaran orangtua untuk membatasi dan menemani anak-anak menonton acara televisi masih rendah. Menurut pakar pendidikan Universitas Negeri Makassar, Anwar Pasau, di daerah pedalaman acara televisi menjadi sarana hiburan utama. Orang di pedalaman berusaha mengumpulkan uang untuk membeli televisi. Tanpa ada batasan umur seluruh anggota keluarga dan para tetangga menonton acara televisi bersama-sama.
Berdasarkan fenomena tersebut, setidaknya ada dua masalah yang perlu didalami, yaitu: (1) tingginya intensitas penggunaan televisi tidak diiringi dengan berkembangnya budaya dan melek media (media literacy) sehingga orang tua memiliki keterbatasan waktu dan pengetahuan dalam mendampingi anaknya yang menonton televisi. Hal ini mengakibatkan perubahan perilaku anak yang menjadi cepat dewasa secara seksual dibandingkan kematangan umur dan mentalnya. Hal ini diperparah dengan banyaknya visualisasi kekerasan yang gampang ditiru oleh anak sehingga berkembang perilaku agresif dan kecenderungan melakukan kekerasan di kalangan anak-anak; (2) berbagai acara televisi menawarkan berbagai tayangan menarik ke ruang pribadi keluarga dan anak sehingga banyak waktu yang terbuang untuk menonton televisi yang secara bertahap memunculkan sikap malas belajar karena tergoda tayangan televisi.
Orangtua di daerah perkotaan juga meresahkan pengaruh acara televisi terhadap pertumbuhan dan perkembangan anak. Keresahan ini disampaikan Naomi, ibu seorang anak di Taman PAUD Bina Asbar Kelurahan Bara-Baraya. Naomi mengatakan, dengan adanya sinetron anak yang bertema dewasa membuat perilaku anak-anak seperti orang dewasa, misalnya, anak-anak sudah tahu tentang adegan perkosaan, pacaran, selingkuh, dan bahkan anak-anak perempuan mulai minta peralatan kosmetik untuk bersolek. “Sinetron Candy sebenarnya sinetron yang pemainnya anak-anak tapi perilakunya seperti orang dewasa, masa anak SD sudah pacaran,” komentar Naomi terhadap salah satu acara televisi.
V.
Untuk mengantisipasi permasalahan tersebut diperlukan kebijakan yang mampu mendorong semua pihak untuk peduli (ramah) terhadap tumbuh kembang anak. Alternatif kebijakan yang dapat dilakukan adalah:
IV. TELEVISI DAN PERUBAHAN PERILAKU ANAK Derasnya suplai televisi dan alat elektronik pendukungnya mengakibatkan kuatnya intensitas penggunaan televisi oleh keluarga sehingga hampir semua keluarga memiliki televisi
n
24 PEMBANGUNAN-Velt 1 edisi Ke DUA.indd 24
REKOMENDASI
Memperkuat sinergi Komisi Penyiaran Indonesia dan pemerintah dalam menata dan mengatur ruang publik,
E D I S I 0 2 / TA H U N X V I / 2 0 1 0
5/12/2010 12:42:51 AM
n
n
n
khususnya program dan frekuensi televisi yang ramah anak. Melakukan berbagai komunikasi, sosialisasi dan edukasi dalam meningkatkan tingkat melek media (media literacy) orang tua sehingga mampu menyikapi kehadiran televisi secara arif dan peduli untuk mendampingi dan membimbing anaknya ketika menonton televisi. Menumbuhkembangkan berbagai partisipasi dan keswadayaan masyarakat dalam melakukan kontrol terhadap media massa, terutama televisi, misalnya melalui media wacth. Mendorong tumbuhnya kesadaran dan kepatuhan para pengelola media massa.
Tatang Muttaqin adalah Kasubdit Pendidikan Tinggi, pada Direktorat Agama dan Pendidikan, Bappenas.
Catatan Magic Bullet Theories yang dikembangkan pada tahun 1920 menyatakan bahwa media mengarahkan pikiran orang dan memiliki dampak secara instant (Baran & Davis, 2000). Dalam batas minimal media massa tetap berpengaruh sebagaimana dikemukakan McBride, S, et al (1980) melaui Many Voices, One World, McComb, ME & Shaw, DL (1972) dengan The Agenda-Setting Function of the Press’, McQuail, D (1987), dan Scramm, W (1964) melalui Mass Media and National Development. Besarnya kekuataan media massa melahirkan kekhawatiran bahwa ide-ide merupakan barang yang lebih fatal daripada senjata (Sukadental, 1993). 2 Garin Nugroho (2005) menyatakan bahwa tahun 20022005 merupakan pertarungan hidup dan mati bagi industri televisi untuk masuk lima besar utama sehingga mendapatkan kue iklan yang sehat. Dalam posisi seperti ini jual beli pukulan tak terhindarkan sehingga masyarakatpun bisa terkena pukulan. 1
DAFTAR PUSTAKA Bappenas (2006). Studi Kebijakan Pengembangan Anak Usia Dini yang Holistik dan Terintegrasi. Bappenas (2008). Strategi Nasional Pengembangan Anak Usia Dini Holistik – Integratif. Baran, SJ & Davis, DK (2000). Mass Communication Theory: Foundations, Ferment, and Future. Canada: Wadsworth. Becker, L. Samuel (1987). Discovering Mass Communication Dedi Supriadi, (1997), Kontroversi tentang Dampak Kekerasan
25 PEMBANGUNAN-Velt 1 edisi Ke DUA.indd 25
Siaran Televisi terhadap Perilaku pemirsanya dalam Bercinta dengan Televisi. Bandung: Remaja Rosda Karya. Dominick, Joseph R. (1996). The Dynamics of Mass Communication. Gardner, Howard (1993). Multiple Intelligences: The Theory in Practice. Gertz, C (1993). The Interpretation of Cultures: Selected Essays. London: Fontana. Gibran, Kahlil (1923). Sang Nabi. Terjemahahan. Bandung: Pustaka Firdaus. Hadad, Tini (1997). Analisis Konseptual dan Kondisi Riil dalam Pertelevisian Indonesia. Kristanto, Purnawan (2008). Iklan TV Merusak Pola Konsumsi Anak. Koentjaraningrat (1980). Pengantar Antropologi 1. Jakarta: Aksara Baru Sri Andayani dan Hanif Suranto, (1997). Perilaku Antisosial di Layar Kaca dalam Bercinta dengan Televisi. Bandung: Remaja Rosda Karya. McBride, S, et al (1980). Many Voices, One World. Report by the International Commission for the Study of Communication Problems. Paris: UNESCO. McComb, ME & Shaw, DL (1972). ‘The Agenda-Setting Function of the Press’, Public Opinion Quarterly 36: 176-187. McLuhan, M (1964). Understanding Media: The Extensions of Man. New York: McGRaw-Hill Book Company. McQuail, D (1987). Mass Communication Theory 2nd Edition. Beverly Hills, CA: Sage. Nugroho, Garin (2005). Seni Merayu Massa. Jakarta: Penerbit Kompas. Sendjaja, Sasa Djuarsa (1993). Pengantar Komunikasi. Siregar, Ashadi (2004). Peranan Strategis Media Massa dalam Pembangunan Jatidiri Bangsa: Antara Cita dan Realita. Jakarta: Forum Diskusi Kebudayaan Bappenas. Scramm, W (1964). Mass Media and National Development. Stanford: Stanford University Press. Skomis (1985). Television and Society; An Incuest and Agenda. Sukadental, A. ‘Masyarakat Informasi dan Model Politik Komunikasi’. Jurnal Komunikasi Audientia Vol. I No.3/1993. Trenaman, JSM & McQuail, D (1961). Television and the Political Image. London: Mathuen. Wirodono, Sunardian (2006). Matikan TV-mu. Resist Book: Yogyakarta. Zulkifli, A (1996). PDI di Mata Golongan Menengah Indonesia. Jakarta: PT Pustaka Utama Grafiti.
E D I S I 0 2 / TA H U N X V I / 2 0 1 0
5/12/2010 12:42:56 AM
www.campuscity.com
I. Preface Protecting financial user interests, many international standards or practices impose auditors to consider a fraud when performing an audit. In Australian context, Australia Standard Audit (ASA 240) states requirements that will significantly influence the process of detection and prevention financial statement fraud as it provides guidance for person, whose has adequate skill, knowledge, and experiences, to interpret the standard guidance and relate it to wide range of audit practices.
FRAUD AND FORENSIC ACCOUNTING PRACTICES: AUSTRALIAN CONTEXTS
Pinning down the context, fraud terminology is defined and distinguished from error. In ASA 240, Fraud is described as a deliberate deceit act intended to gain an advantage. Otherwise, error is unintentional. Therefore, auditors have a duty to prove whether fraud intention exists when material misstatement occurred as a result of assets misappropriation or fraudulent financial reporting. However, in the practices some are mixed and buried under the system. Powell et al. (2005) propose that financial statement manipulations can be observed by auditor are compliance with accounting standards (IFRS/GAAP), qualitative and quantitative materiality in both assertion account and financial statement, and measurement subjectivity based on estimation and judgment. In contrast, management intentions reflected from financial statement misstatement cannot be directly observed. Therefore, management incentives to commit fraud should be considered as risk factors that embedded in pressures, opportunity and rationalization for the intentions. Auditors
Anantyo W Nugroho
26 PEMBANGUNAN-Velt 2 edisi Ke DUA.indd 26
E D I S I 0 2 / TA H U N X V I / 2 0 1 0
5/12/2010 12:38:49 AM
still have responsibilities to detect material misstatements from management intention although there are inherent limitations on internal control system. Otherwise, auditor has a contributory negligence for that misstatement.
(5)
In this paper, the management obligations and auditor duties should be explored in order to define the proximity of responsibilities due to fraud. As mentioned by Albrecht el.al (2006), when fraud exist, communication channel also should be understood in order to maintain integrity and due dilligence of professional service.
(6)
II. The Obligations of Corporate Governance Because fraud consists of hidden deceit, management also should be aware about incidents that indicate fraud. Therefore, it is important to understand what risks are facing as well as the ability to detect incidents and deal with them (Iyer & Samociuk, 2006). In other words, it is emphasized that there should be a good risks management, ethics, and communication. In the fraud-battling context, establishing corporate governance is only part of the battle to prevent fraud and corruption. To enhance management credibility and accountability, the good practices should be enacted. According ASX Corporate Governance Council (2007), there are several governance obligations to control fraud and corruption risks as follows. (1) Trustworthy foundations for management should be arranged and oversighted in order to recognise and publish the respective roles and responsibilities. The effective corporate governance should be built as an integrative component for corruption and fraud control that require transparency and accountability consistent with organisational standard and business practices. (2) There are an effective composition board, size, and commitment to segregate its responsibilities and duties sufficiently. Governance functions should be established with independence and integrity as basic principle adopted when forming a board of directors and audit committee. Furthermore, the process of evaluating the board’s, committee’s, and individual director’s performance are disclosed. (3) A sufficient measurement should be utilized to encourage members that lead to promote ethical behaviour and reporting adversely action. It is essential to protect whistleblower and acting in good faith in the report dealing process whenever fraud or its possibility occurs. Furthermore, the principles suggest that company should promote responsible decision-making process. (4) The strategic risks management plan should be made and communicated to all level management. That strategic policies should be documented designed to ensure that requirement for disclosure is fulfilled.
27 PEMBANGUNAN-Velt 2 edisi Ke DUA.indd 27
(7)
An effective communication channel with stakeholder should be designed and cultivated in respect for encouraging their participation. In addition, an organisation should recognise legal and other obligations to all legitimate stakeholders. In order to manage material inherent risks, the board has both authority and duty to require management for designing and operating both risks management and internal control system. The effectiveness of those should be reported and disclosed. Remuneration committee should be made and compensations’ structure should differentiate between non-executives and executives. It should be ensured that the remuneration structure is sufficient and reasonable with defined relationship to organisation and individual performance.
III. Audit Engagement In the audit engagement, professional prudence is required to be maintained for recognizing audit risks that could occur due to fraud. Auditor has obligation to reduce audit risks and consider fraud risks audit engagement stages. In addition, the possibility of fraud susceptibility should be discussed among engagement team. The standard regulates them to determine whether fraud risks at financial report level are assessed and responded. Further audit procedures should be designed and performed to coverage the risks assessed at assertion level. Any unusual/unexpected relationship and other information entailed from inherent risks and internal control risks should be considered. This includes the obligation to evaluate related internal control and procedures and determine whether those control and procedures have been implemented. Moreover, there are requirement to implement a sufficient procedure to test whether the internal control is overridden by management. The test is responded by reviewing the biases from accounting estimation, journal entries, and complexity of transaction that could affect material misstatement due to fraud. In order to reduce audit risks, auditor are required to obtain a written representations from management to acknowledge its responsibility for ensuring adequate systems and controls exist (and are operating) to prevent and detect fraud. It also requires management to provide a company assessment on cumulative exposure of all fraud risks. This requirement will distinguish auditor’s responsibility for duty to care and a contributory negligence from client. Before the audit engagement is reported, auditor has obligation to consider whether all aspect in the financial report is consistent with standards applied and auditor’s knowledge, skills, and experiences. If there is significant misstatement occurs, it should be associated with other audit aspects, especially management assertion, to indicate existence
E D I S I 0 2 / TA H U N X V I / 2 0 1 0
5/12/2010 12:38:54 AM
of fraud. When an opinion cannot be resulted due to material misstatement, there is an obligation to examine the implications for the engagement. This requirement imposes auditor to disclose all considerations for the opinion that stated in the audit report.
The requirement before accepting an engagement, forensic accountants should determine whether the requested qualifications match with their professional expertise. The APS 11 stands out those members (forensic accountants) are responsible to evaluate their expertise or ability to provide forensic accounting service. They should determine what services will be offered to client. If there is a consideration requiring opinion that is not in their expertise, they should seek other professional expert opinion. If the other expertise is used, they should control and direct the work conducted by other professional expert.
IV. Audit Communication When Fraud Exists When commencing an engagement, there is a posibility of fraud existence. Missappropiation of asset or misconduct behaviour could be a symptom an iceberg of deceit (Albrecht, 2006). In order to expose a concealment due to existence of fraud or its possibilities, audit communication should be commenced at an immediate-practicable time to the appropriate management level or the boards. They should be warned about the material weaknesses in the internal control design and implementation where fraud could be exist. This requirement clarifies auditor duty to educate management for preventing and detecting fraud, utilize their internal control (Gay and Simnett, 2007).
Meanwhile, Forensic accountant may assist or give an advice to client in resolving a dispute but they should make a consideration to assure that there is no conflict of interest arises from their duty. If conflict of interest arises, members must safeguard their professional independency and consider not accepting or continuing the engagement.
Meanwhile ASX Corporate Governance Council (2007) obliges confidential information regarding possibility (or) statutory breach should be maintained by auditor as required by legislation. In this situation, the whistleblower identity should be protected and auditor is prevented to communicate that information to management or board of directors about matter concerning fraud if their integrity is doubted. As a consequence, the implication for audit engagement should be considered.
When accepting an engagement, GN-2 (CPA Australia, July 2002b) defines duties of an expert as follows: (1) To formulate and explain arguments and opinion which not only are valid, but also can be accepted and understood by those who are novice to the area of expertise. (2) To present logic opinion which supported by acceptable fact and figure. The experts should consider alternative calculations that reflect other possible approaches and methodologies. To maintain professional quality, a critical review should be involved in every engagement stage. The information accepted is used only for professional duty and cannot be revealed to the third party without client’s permission, except it is required by a legal duty. In addition, APS 11 requires the members not to be associated with misleading information. They should aware and inform the client if there is any misleading information found. As a consequence of that, the necessary revision report should be made and confirmed to clients.
V.
VI. Forensic Accountant Role
Gay and Simnett (2007) also mentioned that when client neglects to take a corrective action or auditor cannot continue engagement, auditor should consider communicating with regulating and enforcement authorities. The same point also sugested by Albrecht (2006) that in order to manage the further conflicts, a legal advice should be obtained to determine whether the auditor’s duty of confidentiality could be superseded by that disclosing action and required documentation should be established.
Professional Service of Forensic Accountants in the Fraud Context
GN-2 defines that the forensic accountant role in the court can be distinguished as independent expert witness or consultant accounting experts. There are significant role differences between expert witness and advisor. (1) As an expert witness. Accountants as expert witnesses have important role in order to make a consideration of dispute resolving. In the proceedings, the main role of an independent expert is to assist the court by providing opinion or interpretation of information, based upon the acquired expertise in the area, which is outside of court knowledge, skill or experience. (2) As a consultant. The consultant’s primary duty is to the
CPA Australia in APS 11 ( July 2002a) describes that forensic accountant provides professional services (other than legal services) in: (1) Assisting or advising clients in accounting aspects related to the financial investigation of economic loss quantification, shares and other assets valuation, breaches of professional standards or relevant corporation or securities law, fraud, and such other investigative work. (2) Presenting the analysis results for the purposes to dispute resolution or litigation, and giving evidence in a court or other forum.
28 PEMBANGUNAN-Velt 2 edisi Ke DUA.indd 28
E D I S I 0 2 / TA H U N X V I / 2 0 1 0
5/12/2010 12:38:54 AM
client by giving advocacy on the client’s case. Technical assistance is provided to the client by identifying the strengths and weaknesses of the case. In addition, they can assist their client to develop strategies in order to resolve the dispute with emphasises to the client best interest. The role of consultant is quite different from expert witness which emphasis independence (Hoffman, 2007). If then they engaged to be an expert witness, consultants should be aware of the threat to their independence due to proximity to client. GN-2 stated that experts should determine whether a lack of independence and conflict of interest exist when considering expert witness duty. The expert witness should maintain their credibility and the court’s interest should be above all client’s interest. Moreover, Hoffman (2007) explains that they have a duty and responsibility to assist the court with unbiased opinion even though it will harm to client’s cases. Meanwhile, APS 11 stated that expert witness should adhere to any duty and requirement of performance imposed by law or guidance from the court. Under Order 44 of Supreme Court (General Civil Procedure) Rules 2005 S.R. No. 148/2005, expert witness should be qualified to give evidence in respect of their expertise in the proceeding. Furthermore, it is stated that only the expert report which can be considered as the evidence. S.R. No. 148/2005-order 44 requires the expert to provide their report with: (a) the professional identity and qualification; (b) acknowledgement that expert is bound to the code of the court; (c) the fact, mater, assumption and any substance (reason, literature, methodology, examination test, calculation analysis, and other) on which is being ground of the opinion; (d) the summary of opinion; (e) declaration that the expert has made appropriate inquiry including no significant matters is withheld from the court; and (f ) a signature of the expert in the report.
VII. Concluding Remarks In relation with a contributory negligence, it is important for auditors to understand segregation of management responsibilities and auditor duties. As mentioned before, management has responsibilities to enacting good risks management, ethics, and communication. However, auditors also have duties to to reduce audit risks and consider fraud risks audit engagement stages. Those combines actions should be in a proper condition when a going concern is a value to be enacted. Some audit engagement cases are related to fraud or its posibilities. With hidden deceits, fraud is burried under so many symtoms. Thus, careful action should be undertaken by auditor to explore and expose the concealments, including whistleblower under protection of the rights. Also, a
29 PEMBANGUNAN-Velt 2 edisi Ke DUA.indd 29
comunication channel with related parties should be manage in order to maintain their integrities. In this point, there also a role for auditor as an expert witness or as a client consultant. Those sets of duties should be understood by an auditor to underpine their responsibilities which different from the other. Anantyo W Nugroho adalah Staf Perencana pada Inspektorat Kinerja Kelembagaan, Bappenas.
References Albrecht, W.S., et al. (2006). Fraud Examination 2e ,Thomson South-Western, Toronto Canada ASX Corporate Governance Council (2007). Corporate Governance Principles and Recommendations 2nd Edition, Australia Securities and Exchange Centre, Sydney. Retrieved 6 June 2008 from: http://www.asx. com.au/supervision/governance/ Auditing and Assurance Standards Board (April 2006) Auditing Standard ASA 240: The Auditor’s Responsibility to Consider Fraud in an Audit of a Financial Report. Auditing and Assurance Standards Board, Melbourne. CPA Australia ( July 2002a). Statement of Forensic AccountingAPS 11. Retrieved 6 June 2008. From: http://www. charteredaccountants.com.au/forensic_accounting/ standards CPA Australia ( July 2002b). Joint Guidance Notes GN2-Forensic Accounting. Retrieved 6 June 2008. From: http://www. charteredaccountants.com.au/ forensic_accounting/ standards Gay, G. and Simnett, R. (2007). Auditing and Assurance Services in Australia 3 revised Edition. Mc Graw-Irwin New South Wales, Australia Hoffman, R. (2007). The Accountant as an Expert Witness: A Basic Guide to Forensic Accounting. CCH Australia Limited, FINNEY Warwick. Sydney. Iyer, N. & Samociuk, M. (2006). Fraud and Corruption: Prevention and Detection, Gower Publishing, Ltd. Hampshire, United Kingdom. Powell, L., Jubb, C., de Lange, P., Langfield-Smith, K. (2005). The Distinction between Aggressive Accounting and Financial Reporting Fraud: Perceptions of Auditors. AFAANZ Conference 2005 paper. Retrieved 8 June 2008 from: http://www.afaanz.org/web2005/papers/powelll-INT.pdf Supreme Court of Victoria (2005). Supreme Court (General Civil Procedure) Rules 2005 S.R. No. 148/2005. Retrieved 6 June 2008 from: http://www.supremecourt.vic. gov.au/wps/wcm/connect/Supreme+Court/Home/ Practice+and+Procedure/Supreme+Court+Rules/ SUPREME+-+Supreme+Court+(General+Civil+Proce dure)+Rules+2005+(LEGISLATION)
E D I S I 0 2 / TA H U N X V I / 2 0 1 0
5/12/2010 12:38:59 AM
RENCANA INDUK PEMULIHAN PASCABENCANA DI PROVINSI NAD DAN KEPULAUAN NIAS
Latar Belakang
Hermani Wahab
Tahun 2009 merupakan tahun kelima kegiatan rehabilitasi dan rekonstruksi di Provinsi Nanggroe Aceh Darussalam (NAD) dan Kepulauan Nias Provinsi Sumatera Utara. Awal pelaksanaan rehabilitasi dan rekonstruksi di wilayah tersebut telah dimulai sejak pertengahan tahun 2005. Dahsyatnya bencana yang terjadi di Provinsi Nanggroe Aceh Darussalam dan Kepulauan Nias pada 26 Desember 2004 bagi sebagian penduduk Aceh dan Kepulauan Nias telah meninggalkan kenangan tersendiri dan telah menjadi pembelajaran bagi bangsa Indonesia pada umumnya. Bencana gempa bumi dengan kekuatan 8,9 skala Richter yang berpusat di Samudera Hindia, di lepas pantai Barat laut Pulau Sumatera dan kepulauan Nias tersebut telah menyebabkan gelombang tsunami yang memporakporandakan sebagian besar wilayah Provinsi NAD dan Kepulauan Nias di wilayah Indonesia, dan menyebar hingga ke wilayah Thailand, Sri Lanka, Maladewa (Maldives), Bangladesh, Burma, bahkan sampai ke pantai Somalia di Afrika Timur. Tiga bulan kemudian tepatnya pada tanggal 28 Maret 2005, gempa dengan kekuatan besar (8,3 skala Richter) kembali merusak kepulauan Nias dan sebagai pantai Barat Aceh, terutama di Kabupaten Simeulue. Dampak bencana ini telah menelan korban ratusan ribu nyawa, dan juga telah menyebabkan kondisi wilayah dan kehidupan masyarakat di NAD dan Kepulauan Nias hancur dan luluh lantak. Hal yang sangat krusial terlihat pada lumpuhnya roda pemerintahan dan hancurnya berbagai sarana dan prasarana fisik, rusaknya kondisi kehidupan sosial dan kemasyarakatan, terganggunya kehidupan perekonomian masyarakat serta berbagai dampak lain yang sangat memprihatinkan. Pada tahun yang sama berbagai bantuan kemanusiaan dari dalam dan luar negeri berdatangan ke Indonesia. Pemerintah Indonesia memberikan respon positif terhadap masuknya bantuan asing (internasional) yang ingin membantu, baik
news.kp4d.org.
30 PEMBANGUNAN-Velt 2 edisi Ke DUA.indd 30
E D I S I 0 2 / TA H U N X V I / 2 0 1 0
5/12/2010 12:38:59 AM
dalam bentuk program dan kegiatan pemulihan maupun dalam kerangka kerjasama yang berkelanjutan antar negara. Bantuan yang disalurkan di daerah pascabencana itu diprioritaskan untuk pertolongan darurat kemanusiaan dalam jangka pendek. Makalah ini membahas beberapa pertanyaan berikut. 1. Bagaimana mempersiapkan penanganan pemulihan pada tahap tanggap darurat dan melakukan proses penilaian terhadap kerusakan dan kerugian? 2. Bagaimana fungsi sebuah rencana induk rehabilitasi dan rekonstruksi dalam rangka percepatan pemulihan kembali wilayah pasca bencana? 3. Sejauhmana diperlukannya evaluasi paruh waktu, rencana aksi dan perencanaan strategis lainnya dalam penanganan pemulihan pasca bencana di wilayah provinsi NAD dan Kepulauan Nias?
Penilaian Kerusakan dan Kerugian Pemerintah Indonesia mengambil langkah stategis dalam rangka pemulihan pasca bencana yang diatur dalam rencana jangka pendek dan rencana jangka panjang. Melalui Kementerian Negara Perencanaan Pembangunan Nasional/ Badan Perencanaan Pembangunan Nasional (Kemenneg PPN/Bappenas) yang mewakili pemerintah Indonesia melakukan perhitungan kerusakan dan kerugian akibat dampak bencana di Provinsi NAD dan Kepulauan Nias. Langkah perhitungan kerusakan dan kerugian yang dilakukan bersama dengan komunitas internasional maupun nasional ini sangat urgen dan vital.
Berdasarkan hasil perhitungan, maka diperoleh nilai kerusakan dan kerugian di kedua wilayah tersebut diperkirakan mencapai Rp. 41,4 triliun. Dari total nilai itu, sebagian besar (78%) merupakan aset hak milik masyarakat (private), sementara sisanya merupakan aset pemerintah (prasarana publik). Sedangkan nilai kerugian akibat gempa bumi yang terjadi di Kepulauan Nias, pada tanggal 28 Maret 2005, berdasarkan hasil perhitungan yang dilakukan melalui Sekretariat Perencanaan dan Pengendalian Penanganan Bencana (P3B) Bappenas diperkirakan mencapai Rp.6,012 triliun (asumsi satuan harga telah disesuaikan per Mei 2007). Adapun dampak secara perekonomian terhadap wilayah dan Nasional, bencana yang terjadi di Aceh dan Sumatera Utara tersebut diperkirakan memiliki dampak kerugian sekitar 2,7% terhadap PDB Nasional atau lebih dari 97% terhadap PDRB Provinsi NAD. Penilaian kerusakan dan kerugian terhadap keseluruhan berdasarkan sektor tertera dalam Tabel 1 berikut:
Tabel 1. Rangkuman Hasil Penilaian Kerusakan dan Kerugian Akibat Tsunami NO
SEKTOR
KERUSAKAN KERUGIAN TOTAL
1 Sektor sosial, termasuk: perumahan, pendidikan, kesehatan, agama dan budaya
13,657
532
16,186
2 Sektor infrastruktur, termasuk : transport,komunikasi, energy, air dan sanitasi, bendungan
5,915
2,239
8,154
3 Sektor Produksi, termasuk : agribisnis, perikanan, industri dan perdagangan
3,273
7,721
8,154
4 Lintas Sektor, termasuk : lingkungan, Pemerintahan, bank dan Keuangan
2,346
3,718
6,064
Total (Rp. Triliun )
27.191
14,210
41,401
Sumber : Rencana Induk Rehabilitasi dan Rekonstruksi Wilayah dan Kehidupan Masyarakat di Propinsi NAD dan Kep. Nias, Sumatera Utara, 2005
31 PEMBANGUNAN-Velt 2 edisi Ke DUA.indd 31
E D I S I 0 2 / TA H U N X V I / 2 0 1 0
5/12/2010 12:39:04 AM
Nomor 30 Tahun 2005 tentang Rencana Induk Rehabilitasi dan Rekonstruksi Wilayah dan Kehidupan Masyarakat Provinsi NAD dan Kepulauan Nias Provinsi Sumatera Utara.
Angka penilaian diatas menjadi dasar dilakukannya upaya penyusunan perencanaan pemulihan wilayah dan kehidupan masyarakat di wilayah pascabencana NAD dan Kepulauan Nias. Proses penyusunan perencanaan ini pun dilakukan dengan pendekatan konsultatif dan partisipatif baik di tingkat daerah maupun pusat. Hasil akhir dari proses penyusunan perencanaan ini dinamakan dengan Rencana Induk Rehabilitasi dan Rekonstruksi Wilayah dan Kehidupan Masyarakat Provinsi Nanggroe Aceh Darussalam dan Kepulauan Nias Provinsi Sumatera Utara, yang selanjutnya disebut dengan Rencana Induk. Payung hukum untuk Rencana Induk ini ditetapkan melalui Peraturan Presiden No. 30 Tahun 2005.
Kebutuhan terhadap perubahan Rencana Induk diawali dari hasil rekomendasi Evaluasi Paruh Waktu Rehabilitasi dan Rekonstruksi pada bulan Juni-Juli 2007. Adapun tujuan dilakukan Evaluasi Paruh Waktu tersebut adalah sebagai berikut: melakukan penilaian kemajuan pelaksanaan rehabilitasi dan rekonstruksi pada paruh waktu pertama yaitu dari tahun 2005 hingga 2007; melakukan penyempurnaan/pemantapan kegiatan rehabilitasi dan rekonstruksi pada tahap berikutnya antara lain: a) penetapan landasan hukum/peraturan yang mendukung, b) penetapan kebijakan dan strategi rehabilitasi dan rekonstruksi, c) arahan bagi penetapan program rehabilitasi dan rekonstruksi setelah 2008, dan d) rekomendasi cross sectoral (cross cutting issue). Dan memberikan rekomendasi Untuk Exit Strategy BRR diantaranya 1) pengalihan program/ kegiatan rehabilitasi dan rekonstruksi (Sumber APBN), 2) pengalihan koordinasi bantuan Donor/NGO, dan 3) kesiapan kelembagaan Kementerian/Lembaga dan Pemerintah Daerah.
Rencana Induk Rehabilitasi dan Rekonstruksi Setelah disusun Rencana Induk itu, maka Pemerintah Indonesia merasakan perlunya bertindak lebih cepat dalam pemulihan ini dengan membentuk Badan Rehabilitasi dan Rekonstruksi (BRR) Wilayah dan Kehidupan Masyarakat Provinsi Nanggroe Aceh Darussalam dan Kepulauan Nias Provinsi Sumatera Utara melalui Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang (Perpu.) No. 2 tahun 2005 yang ditetapkan pada tanggal 16 April 2005. Selanjutnya dikukuhkan dengan Undang-Undang No 10 tahun 2005 mengenai pembentukan BRR pada tanggal 25 Oktober 2005. Struktur BRR terdiri dari Dewan Pengarah, Dewan Pengawas dan Badan Pelaksana.
Pelaksanaan rehabilitasi dan rekonstruksi, BRR menyesuaikan dengan kebijakan dan strategi yang telah ditetapkan di dalam Rencana Induk. Namun terkait dengan sasaran program dan rinciannya, Rencana Induk mengarahkan agar penjabaran pelaksanaannya disesuaikan melalui pendalaman terhadap kondisi wilayah dan aspirasi masyarakat. Hal ini ditindaklanjuti BRR dengan melakukan pendalaman terhadap kondisi wilayah dan upaya untuk menampung aspirasi masyarakat dan para stakeholders terkait, kemudian diketahui adanya sasaran program baru atau kebutuhan riil yang terdiri dari :
Di dalam Perpu tersebut, Badan Pelaksana ditugaskan untuk merumuskan strategi dan kebijakan operasional, menyiapkan rencana kerja dan anggaran Badan Pelaksana, menyusun rencana rinci rehabilitasi dan rekonstruksi sesuai dengan amanat dalam Rencana Induk dengan memperhatikan aspirasi dan kebutuhan masyarakat di Wilayah Pasca Bencana, melaksanakan kegiatan rehabilitasi dan rekonstruksi dalam rangka kerjasama dengan pihak lain, mengorganisasikan dan mengkoordinasikan pelaksanaan rehabilitasi dan rekonstruksi yang dilakukan oleh Pemerintah Pusat, Pemerintah Daerah dan pihak lain yang terkait, dan lain-lainnya.
1. 2.
Evaluasi Paruh Waktu Rehabilitasi dan Rekonstruksi Implementasi kegiatan rehabilitasi dan rekonstruksi selama tahun 2005 hingga tahun 2007 di lapangan telah berlangsung dengan berbagai dinamika dan perkembangan yang tidak bisa dielakkan. Sehingga pada pertengahan tahun 2007 Bappenas dan BRR merasa penting untuk melakukan evaluasi paruh waktu (2005-2007) terhadap kinerja BRR dalam mengimplementasikan Rencana Induk. Berdasarkan hasil Evaluasi Paruh Waktu Rehabilitasi dan Rekonstruksi tersebut, maka pemerintah mengambil kebijakan untuk melakukan penyesuaian dan perubahan terhadap dokumen Rencana Induk. Atas dasar itu pula Presiden menerbitkan Peraturan Presiden Nomor 47 Tahun 2008 tentang Perubahan Peraturan Presiden
3.
Kuadran Hasil Evaluasi Paruh Waktu Pelaksanaan rehabilitasi dan rekonstruksi terdiri dari 4 (empat) kelompok, yaitu melebihi sasaran rencana induk, tidak mencapai sasaran rencana induk, dilaksanakan namun tidak ada dalam sasaran rencana induk, dan sasaran yang ada pada rencana induk
32 PEMBANGUNAN-Velt 2 edisi Ke DUA.indd 32
Hasil verifikasi terhadap beneficiaries bidang perumahan sehingga menghasilkan rumah rehabilitasi dan rekonstruksi yang baru; Hasil pendalaman terhadap kondisi infrastruktur (melalui studi) dan koordinasi dengan kementerian/lembaga terkait dan Pemerintah Daerah, sehingga diperoleh kebutuhan riil di bidang infrastruktur; Hasil koordinasi dengan instansi terkait, Pemerintah Daerah dan memperhatikan aspirasi masyarakat, sehingga diperoleh kebutuhan riil untuk bidang ekonomi, pendidikan dan kesehatan, agama, sosial budaya, kelembagaan, hukum dan K3M.
E D I S I 0 2 / TA H U N X V I / 2 0 1 0
5/12/2010 12:39:04 AM
Diagram 1. Kuadran Pelaksanaan Rehabilitasi dan Rekonstruksi NAD-Nias
Tidak Mencapai Sasaran Rencana Induk
Melebihi Sasaran Rencana Induk I
II Contoh: Sebagian pelayanan kesehatan, kapal ikan, tambak dan K3M Sasaran yang ada pada Rencana Induk tidak dilaksanakan sama sekali IV
Contoh: Sebagian ruas jalan, SDA, sebagian fasilitas kesehatan/pendidikan dan lain sebagainya Dilaksanakan, namun tidak ada dalam sasaran Rencana Induk III
Contoh: Kereta api, PLTU, PLTD, dsb.
Contoh: Pencetakan sawah, perkebunan, kehutanan, PLTHM, tenaga surya
Sumber : Badan Pelaksana Rehabilitasi dan Rekonstruksi NAD-Nias, 2007 tidak dilaksanakan sama sekali. Kelompok/kuadran pelaksanaan tersebut dapat dilihat pada Diagram di atas ini: Berdasarkan 4 (empat) kuadran di atas terdapat rekomendasi dan usulan rencana tindak lanjut mengenai penyempurnaan rencana induk khususnya untuk mengakomodasi percepatan rehabilitasi dan rekonstruksi NAD-Nias. Perubahan terhadap rencana induk sangat dimungkinkan terhadap program dan kegiatan yang sudah tidak sesuai lagi dengan kondisi dan kebutuhan masyarakat NAD-Nias pada saat ini. Awalnya Rencana Induk ditetapkan melalui Peraturan Presiden, maka upaya untuk melakukan perubahan dalam bentuk apapun di luar ketentuan Perpres harus kembali dilakukan melalui Perpres. Proses penyesuaian dan perubahan Rencana Induk yang ditetapkan melalui Perpres No. 47 Tahun 2008 ini dilakukan oleh Kementerian Negara Perencanaan Pembangunan Nasional/Badan Perencanaan Pembangunan Nasional (Kemenneg PPN/Bappenas). Proses tersebut dilakukan secara konsultatif dan partisipatif baik di tingkat pusat maupun di daerah dengan tetap memperhatikan hasil evaluasi paruh waktu dan rekomendasi BPKP yang ikut terlibat dalam evaluasi paruh waktu dan Rencana Aksi yang sudah disusun sebelumnya. Perpres ini telah menampung penyempurnaan lebih lanjut dengan mendapatkan persetujuan dari Badan Pelaksana BRR NAD-Nias, BPKP, Gubernur NAD dan Gubernur Sumut yang proses selanjutnya ditetapkan oleh Presiden Republik Indonesia.
33 PEMBANGUNAN-Velt 2 edisi Ke DUA.indd 33
Perpres Nomor 47 Tahun 2008 ini pula yang dijadikan acuan utama dalam rangka pengakhiran masa tugas BRR NADNias pada April 2009 dan perencanaan untuk tahun 2009 dalam rangka penyelesaian dan kesinambungan pelaksanaan rehabilitasi dan rekonstruksi di Provinsi NAD dan Kepulauan Nias pasca bubarnya BRR NAD-Nias. Sebagaimana digariskan dalam Perpres No. 30 Tahun 2005, jo. Perpres No. 47 Tahun 2008, ditegaskan bahwa Menteri Negara Perencanaan Pembangunan Nasional/ Badan Perencanaan Pembangunan Nasional (Meneg PPN/ Kepala Bappenas) diberikan tugas dan tanggung jawab untuk melakukan pemantauan dan pengendalian terhadap pelaksanaan Rencana Induk Rehabilitasi dan Rekonstruksi Wilayah dan Kehidupan Provinsi NAD dan Kepulauan Nias. Pelaksanaan tugas yang diemban oleh Bappenas ini merupakan tugas lanjutan yang sebelumnya telah dilaksanakan sejak 2005 dan ini akan berlanjut hingga tahun 2009. Dalam pelaksanaan pemantauan dan pengendalian ini Menteri PPN/Kepala Bappenas mengeluarkan keputusan untuk membentuk tim koordinasi dalam melakukan pemantauan dan evaluasi terhadap pelaksanaan Rencana Induk rehabilitasi dan rekonstruksi. Melalui tim koordinasi inilah Bappenas secara reguler mengawal dan memastikan Rencana Induk dijadikan sebagai rujukan dalam pelaksanaan pemulihan pascabencana di wilayah tersebut.
E D I S I 0 2 / TA H U N X V I / 2 0 1 0
5/12/2010 12:39:09 AM
Kaitan dengan RKP
Daftar Pustaka
Secara perencanaan tahunan, di dalam Rencana Kerja Pemerintah (RKP) dirumuskan dan disusun kebijakan pelaksanaan program rehabilitasi dan rekonstruksi bersamasama dengan BRR sejak tahun 2005 hingga 2008. Sedangkan perencanaan tahunan untuk 2009 dilanjutkan oleh Kementerian/Lembaga dan Pemerintah Daerah menyusul pembubaran BRR NAD-Nias pada 16 April 2009. Seiring dengan itu pula, masa berlakunya Rencana Induk berlangsung hingga akhir tahun 2009 sejalan dengan masa Rencana Pembangunan Jangka Menengah Nasional (RPJMN) Tahun 2005-2009. Dengan demikian, diharapkan tuntas pula proses pengawalan dan pendampingan terhadap kebijakan dalam implementasi Rencana Induk mengenai program rehabilitasi dan rekonstruksi di wilayah pascabencana Provinsi NAD dan Kepulauan Nias.
BRR NAD-Nias, Evaluasi Paruh Waktu Rehabilitasi dan Rekonstruksi NAD-Nias Tahun 2005-2007, 2007. BRR NAD-Nias, Rencana Aksi Rehabilitasi dan Rekonstruksi NAD-Nias Tahun 2008-2009, 2007. Bappenas, Laporan Pemantauan dan Pelaksanaan Rencana induk Rehabilitasi dan Rekonstruksi Wilayah dan Kehidupan Masyarakat di Provinsi NAD dan Kepulauan Nias Provinsi Sumut (RIRRWANS), 2005, 2006, 2007, 2008. Bappenas-World Bank, Penilaian Kerusakan dan Kerugian Pasca Bencana Gempa dan Tsunami di Wilayah Provinsi NAD dan Kepulauan Nias Provinsi Sumut, 2005. Sekretariat Negara Republik Indonesia, Peraturan Presiden Nomor 30 Tahun 2005 tentang Rencana induk Rehabilitasi dan Rekonstruksi Wilayah dan Kehidupan Masyarakat di Provinsi NAD dan Kepulauan Nias Provinsi Sumut, 2005. Sekretariat Negara Republik Indonesia, Peraturan Presiden Nomor 47 Tahun 2008 tentang Perubahan Peraturan Presiden Nomor 30 Tahun 2005 tentang Rencana induk Rehabilitasi dan Rekonstruksi Wilayah dan Kehidupan Masyarakat di Provinsi NAD dan Kepulauan Nias Provinsi Sumut, 2008. Sekretariat Negara Republik Indonesia, Peraturan Presiden Nomor 3 Tahun 2009 tentang Pengakhiran Masa Tugas Badan Rehabilitasi dan Rekonstruksi Wilayah dan Kehidupan Masyarakat Provinsi Nanggroe Aceh Darussalam dan Kepulauan Nias Provinsi Sumatera Utara dan Kesinambungan Rehabilitasi dan Rekonstruksi di Wilayah Provinsi Nanggroe Aceh Darussalam dan Kepulauan Nias Provinsi Sumatera Utara, 2009.
Kesimpulan Rencana Induk rehabilitasi dan rekonstruksi untuk wilayah Provinsi NAD dan Kepulauan Nias Provinsi Sumatera Utara merupakan bagian penting dari sebuah perencanaan strategis yang dilakukan oleh pemerintah dalam rangka percepatan pemulihan pasca benca di kepulauan sumatera. Hal ini diwujudkan melalui Perpres Nomor 30 Tahun 2005 jo. Perpres Nomor 47 Tahun 2008 tentang Rencana Induk Rehabilitasi dan Rekonstruksi wilayah dan kehidupan masyarakat di Provinsi NAD dan Kepulauan Nias Provinsi Sumut. Evaluasi Paruh Waktu dilakukan dalam rangka penilaian sejauh efektifitas inplementasi rencana rehabilitasi dan rekonstruksi serta untuk memperoleh masukan dari masyarakat penerima manfaat di wilayah bencana. Rencana Aksi Rehabilitasi dan Rekonstruksi disusun dalam rangka penilaian dan tindak lanjut dari evaluasi paruh waktu dalam rangka percepatan rehabilitasi dan rekonstruksi di diwilayah Provinsi NAD dan Kepulauan Nias Provinsi Sumut. Rencana Induk, Evaluasi Paruh Waktu dan Rencana Aksi rehabilitasi dan rekonstruksi adalah bagian dari strategi pemulihan dan pembangunan kawasan pasca bencana dalam rangka penyelesaian percepatan implementasi program dan kegiatan yang dilakukan oleh pemerintah pusat dan daerah.
Hermani Wahab adalah Perencana Madya pada Direktorat Kawasan Khusus dan Daerah Tertinggal, Bappenas
34 PEMBANGUNAN-Velt 2 edisi Ke DUA.indd 34
E D I S I 0 2 / TA H U N X V I / 2 0 1 0
5/12/2010 12:39:09 AM
Introduction Many organizations in the past faced financial or budget issues, so that they implemented financial and compliance audits. Traditionally, financial audit gives the result and opinion that may reflect the performance of an organization. For Public sector, audit can lead to the improvement of performance, as it forces public organization to become more efficient and effective in their performance, as well as more accountable to the stakeholders and the society (Leeuw, 1996, p.92)
www.forumfinance.com.
PERFORMANCE AUDIT IN PUBLIC SECTOR
Nowadays, many organizations have implemented performance audit to ensure or review their performance in terms of efficiency and effectiveness. The performance audit is a relatively new field in audit theory as compared to financial and compliance audits. Performance auditing in the public sector is the counterpart of the private sector internal auditing. It is applicable for both private and public sector organizations. The need of the performance audit is forced by the competition in the private sector and the higher demand for better governance particularly in the public sector. In private sector, the need for increasing performance is a nature of their business if they want to survive in the market. The demand for efficient an effective organization is their first priority, because it can maximize benefit or profit. The performance of the private entities also ensures high quality goods and services being produced to satisfy their customers.
Indra Wisaksono
In public sector, performance audit becomes more popular after the introduction of the new public management (NPM). NPM forces the public sector reform through transferring private sector management principles to the public sector. Kjaer (2004, p. 24) claims that the reform will simplify bureaucracy, force innovation and improve public service efficiency and effectiveness. This also means that organization performance measurement is needed both in the NPM and public sector reform.
35 PEMBANGUNAN-Velt 2 edisi Ke DUA.indd 35
E D I S I 0 2 / TA H U N X V I / 2 0 1 0
5/12/2010 12:39:14 AM
Overall, performance audit is not just a tool like financial audit that can be easily standardized. Performance audit is a management tool that provides information and feedback for organization improvement. The reviews in performance audit are not limited to the financial accounting, but also include evaluation of the organizational structure, standard of procedures, operating methods, and any aspects in the organization that individually or together, have an impact to the organization’s performance.
and economy of an organization Davis (1990, p.35) also adds that performance auditing was developed from financial and compliance auditing. It covers the aspect of economy, efficiency and effectiveness of an organization as well as compliance with the law and regulation. Economy refers to how far an organization has procured or utilized resources optimally to produce an intended output, or as Khan (1988, p. 2) claims as the extent of an organization in using its resources in the right amount, place, time and cost..
This paper will discuss about the difference between private and public sector entities that makes performance audit effective for one but not for the other. It is argued that performance audit for private sector is effective, but the scope is limited and mostly controllable, so that the result is better defined or predictable. On the other hand, performance audit in public sector may be more effective, because public sector organizations tend to have broader and less clear objectives and involve many stakeholders’ interests, and with performance audit, the organizations can benefit from an increasing performance. The paper will also discuss performance measurements as an alternative to performance audit. It will explain whether the alternative tool or method of performance measurement can be applied to the public sector.
Efficiency means cost reduction without reducing effectiveness (Arens, et al. 2005, p. 771). Hence efficiency is related to the optimal use of resources to produce an intended output. However, Khan (1988. p.3) claims that efficiency is a difficult concept for public sector organizations, because it requires a certain standard of input and output which is rarely available in the public sector. The last aspect of performance auditing, effectiveness refers to the accomplishments of the objectives (Arens, et al., 2005, p. 770). However, certain and specific criteria are required to explain or define the effectiveness. Khan (1988, p. 4) states that performance audit is known as an effectiveness auditing, because the efficiency and economy issues have already been covered in financial auditing. This means that effectiveness is the main target of the performance auditing. However, Davis (1990) argues that the influence of financial audit is still very strong, because many indicators of the performance audit are still based on value of money.
What is performance audit? Performance audit basically deals with the efficiency and effectiveness of an organization. However, there are many definitions and interpretations of performance audit, because performance audit has a broader focus on organization as compared to financial or compliance audit. Performance auditing according to Arens et al. (2005, p. 770), is a review of any part of an organization’s operating procedures and methods for the purpose of evaluating efficiency and effectiveness, and it also refers to as management audit or operational audit.
Challenge of performance audit Performance audit aims to improve public accountability and increase efficiency and effectiveness of government functions and programs. However, since performance audit is relatively a new approach in organization performance measurement, there are some challenges in the implementation. The first challenge is related to who conduct the performance audit. In general there are three players in performance auditing which are internal auditors, government auditors and public accounting firms, but their levels of independence are different. Thus, auditor independence is the most important quality for performance auditors. As it will affect the result. In performance audit, auditors should not be responsible to develop the organization’s operation or correct the defects found during the audit process. Auditors are only responsible for monitoring the feedback that should be implemented by the organization. Arens, et.al (2005, p. 774) states that if auditors have an authority to implement the feedback or correct the defects, it will create bias and reduce auditors independence and the quality of the feedback, particularly if the auditors will perform audits again in the next period. The second challenge is the lack of standards, protocols or
However, Pollit et al. (1999. p.1) argue that performance auditing is a new method of a modern auditing that is challenging and fascinating, particularly in term of its implementation and theory development. They also argue that performance audit is distinctive to state audit and does not have a close counterpart in private sector, or commercial audit. This means that performance audit is particularly applicable in the public sector. This definition assumes that performance audit is totally different from similar audit in private entities. Performance audit becomes broader because there is no single standard or protocol that suits for every organization. Performance audit is usually custom and tailor made depending on an organization’s core business, structure, and operating methods and procedures. However, it is generally agreed that performance audit is dealing with the efficiency, effectiveness
36 PEMBANGUNAN-Velt 2 edisi Ke DUA.indd 36
E D I S I 0 2 / TA H U N X V I / 2 0 1 0
5/12/2010 12:39:14 AM
guidelines that can function as benchmark for performance audit. Performance auditing needs indicators or guidelines to ensure the result can act as an effective feedback for management. Thus, benchmarking is the key issue in performance audit. However, a set of criteria may not suitable or reflect the real condition of an organization in performance audit, although Arens et.al (2005, p. 775) suggest some sources that may be used for performance audit criteria development; for example using historical performance, comparable performance, engineered standard and through discussion and agreement. The third challenge is the unintended consequences. This is an interesting issue particularly in public sector, where performance audit often decrease the performance of a public organization. This unintended consequence appears where the expectation of performance is too high or too low. As Theil and Leeuw (2002, p. 271) states, the performance indicators often do not provide an accurate report of performance. This means that the development of the indicator is the most risky process in performance audit. Overvaluing or misinterpreting the performance will bring a negative feedback for the organization.
Differences between public and private sector that make performance audit effective for one but not for the other The main aspect that significantly distinguishes private and public sector is accountability. In private entities, the management has to be responsible or accountable to the shareholders, while in public sector, the government has to be responsible to the stakeholders. The shareholders in a private entity include those who have shares in the organization, while the stakeholders in a public organization have a wider definition as voters, tax-payers, society, parliament, and other interest groups. This shows that performance audit has more challenges in public organization than in private entities. A private organization generally has particular objectives that are relatively easy to define, for example profit. The organization usually depends on the financial audit, because the value of money in the private entity is clear and well defined. Its performance indicators are also relatively easy to define. On the other, there are many players involved in public sector which make public organizations have broader and less clearly defined objectives. This makes the achievement in public sector is more difficult to interpret or measure (Arens, et.al (2005, p.787)) Furthermore, Arens et.al. (2005, p. 786) states that there are four aspects that make public organizations different from private entities. Those aspects are compliance testing, legal
The first, compliance requires the public entities to operate based on regulations. Public entities are highly regulated more than private sector and it involves many stakeholders with different interest. Public entities also deal with stakeholders in terms of outputs, outcomes, and impacts. The second aspect is effectiveness, which measures the extent to which the intended or desired goals are achieved. Effectiveness tends to represent qualitative measurement, as Moesen (1994, p. 267) states that effectiveness deals with the level of failure or success and it is sometimes applicable more to the overall program rather than a single activity set up to explain the relationship between the result and intended outcomes. The value of public goods is also different from the value of private goods; therefore, they are not comparable. The last aspect is accountability. In private sector, accountability is relatively limited to the management or organization and to the clients or customers. Accountability in private sector is also relatively easy to define because the value of goods in private sector is better measured. On the other hand, in accountability in public sector is more complex because it involves multiple stakeholders (Bovens, 2005, p.189). Those differences prove that performance audit in public sector is more complex and broader. Policy implementation involves many interests, processes and consequences that may have several outcomes or even one outcome may come from several outputs. Public sector organization also often deals with cross cutting issues policy. Therefore performance audit is very effective to ensure that organization can be more effective and efficient.
If performance audits are not as effective in private sector as in public sector, what alternative auditing process can be applied to ensure performance in public sector organization? Performance audit is just one tool to measure, evaluate or review an organization’s performance. It assesses every aspect of the organization that contributes to organizational performance.
37 PEMBANGUNAN-Velt 2 edisi Ke DUA.indd 37
liability, internal control, and effectiveness. Bovens (2005, p.189) also adds accountability to distinguish public organizations from private entities. However, this paper argues that the essential issues that distinguish private and public entities are compliance, effectiveness and accountability. These aspects can maintain performance audit to be more effective for public sector than private sector as it becomes relatively stable in terms of its structure and performance indicators.
E D I S I 0 2 / TA H U N X V I / 2 0 1 0
5/12/2010 12:39:19 AM
ensure that the goods or services produced have high standards. However, the standard may also reduce the organization’s performance, because people in the organization tend to work based on outputs rather than outcomes. The standard makes the organization to only focus on how to achieve and keep the organization’s operation based on the standard. In the longer term, this will create a boomerang to the organization, especially in public sector where the objective is broad and less clear to define.
Efficiency of every unit in the organization may have a significant impact to the overall organization performance while defect in one unit may affect the organizations, as well as the effectiveness of the organization. Beside performance audit, there are many tools that can be used by organizations either in private or public sector to minimize or fix performance defects. Management tools such as the six sigma, the program measurement and project evaluation and the well known and most popular tool, the ISO (international Organization for Standardization), are commonly used across nations and organizations. Furthermore, compare to performance audit, this management tools is more likely to increase the organizational performance by fixing some risky area or defects, as Behn (2003, p.1) states that “performance measures can be used to evaluate, control, budget, motivate, promote, celebrate, learn, and improve the organization’s performance”. While, performance audit, although has the similar goal, has a different method. Performance audit is a comprehensive audit that audit and all aspect in organization, such as economy, efficiency and effectiveness (INTOSAI’s Auditing Standards (2004, p.11). In terms of scope, performance audit may cover all aspect in organization, but in, but in terms of implementation, performance measurement may advance in action and timing.
Does an alternative method of performance measurement that is applicable in private sector may be effectively applicable in public sector?
Nowadays, the face of public sector organizations has dramatically changed, particularly after the forces of reform and NPM. Believers in NPM suggested government to corporatize their institutions to be private-like corporate. Several types of corporatized public sector suggested by the NPM believers are privatization, public private partnership, contracting out, and the creation of quasi market. Corporatization has changed the public sector authority from rowing to steering, as Thiel and Leeuw (2002, p.268) states that “policy implementation should be left to the market or if possible to autonomous organization that operating in the quasi market environment”. This is aimed to force competition in policy implementation or public service delivery, which is believed to be able to increase performance in terms of efficiency and effectiveness of policy implementation in each agency.
Standardized methods and procedures are tools that provide the system, mechanism, protocol and guideline for an organization to operate. One well known approach is the ISO. ISO is an international quality standard that facilitates and provides standard that can be used and authorized worldwide. ISO comes from the fact that many countries have set their own standard for businesses. In global market, the different standards that are applied by each country create difficulties for companies to meet and fulfill to these standard.
In corporatized public sector, organizations act like or within the market environment. They are forced to be efficient and effective, and they may be required to apply standards. NPM involves the transfer of knowledge and principal from private to public sector, so that a corporatized public service can also be audited or measured with the similar tool applied in the private sector
ISO is a set of standard for governing the documentation requirement of a quality program (Krajewski and Ritzman 1996, p.169). An organization becomes certified after fulfilling all requirements tested by a qualified examiner. ISO itself is a certification document that can be used to show and prove that an organization has performed based on certain standards. When ISO was first introduced, the users were dominated by private sector. It is mainly forced by international market and trading and reforms in the private sector, which is relatively easy and with less resistance from the management. The private sector also needs the standards to achieve efficiency in their organization. The standard will increase efficiency and effectiveness of the organization and thus its performance. The standard will force the organization to work harder to meet the standard.
Ahmad (1998, p.108) states that ISO can be applied in public sector and function as a tool for reengineering public service. Reengineering public services requires restructuring public activities and processes to create positive changes in current organization performance (Ahmad, 1998, p.109). In the case of Malaysia, for example, the Malaysian government has implemented the use of ISO to build a better public sector organization (Ahmad, 1998, p.116). They have already succeeded to get the ISO 9000 certification for thirteen agencies. This merely aims to satisfy customers and in the longer term, to create climate conducive for investment and support the achievement of the vision of Malaysia in 2020. This proves that performance measurement or standard can bring a big impact not only for a public organization but also for the whole public sector.
Organizations that have implemented the ISO program have an added value in the form of increasing organizational value. This value may reflect the organization performance and, thus, will
38 PEMBANGUNAN-Velt 2 edisi Ke DUA.indd 38
E D I S I 0 2 / TA H U N X V I / 2 0 1 0
5/12/2010 12:39:19 AM
Conclusion
In public sector, performance audit can be used as a management tool that provides feedback not only to the stakeholders but also for the government. Performance auditing reviews organization’s operating methods, procedures and working standards in terms of efficiency and effectiveness. However, the implementation of performance audit in public sector faces many challenges, particularly as the public sector deals with the crosscutting issues, idealistic of goals and various roles of stakeholders. These challenges require solutions and a consensus among stakeholders in order to produce better performance. The other alternative method for performance audit is a performance measurement tool such as the ISO, which is also promising to significantly change public sector organization’s performance. ISO forces the reengineering of public services so that they become efficient, effective and customer oriented and put more focus on the outcomes. However, the implementation of ISO may lead to the stagnation of performance, as the organization is trapped in just keeping and maintaining the standard. This can be tackled by reforming the public sector for example through corporatizing public institution, in which public institutions are more connected to the market, so that they can effectively respond to the changes in market and stakeholders.
Indra Wisaksono adalah Perencana Pertama pada Direktorat Sistem dan Pelaporan Evaluasi Kinerja Pembangunan, Bappenas
References Ahmad, Zakaria (1998). Reengineering public services through ISO 9000, Asian Review of Public Administration, 10 (1-2), 108-120. Arens, A, Best, P. Shailer, G.Fiedler, B. Elder, R. & Beasley, M. (2005), Auditing and assurance services in Australia: an integrated approach (6th ed), Australia: Pearson Education, Prentice Hall. Behn, R.D. (2003) Why Measure Performance? Different Purposes Require Different Measures, Public Administration Review, 63 (5), 586-606 Bovens, M (2005). Public accountability, in E.Ferlie, L.E. Lynn Jr. & C. Pollit (Eds.), The Oxford handbook of public management, (pp. 182-206), Oxford: Oxford University press. Oxford, , in Reading Brick for POGO 8057, Managing Government Finances,
39 PEMBANGUNAN-Velt 2 edisi Ke DUA.indd 39
Autumn Session 2009, Policy and governance, Australian National University Canberra: The Crawford School. Davis, F. D (1990), Do you want a performance audit or program evaluation? Public Administration Review, 50 (1), 35-41. International Organization for Standardization. (2009).About ISO. Retrieved 16 May 2009, from http://www.iso. org/iso/about.htm International Organization of Supreme Audit Institutions / IberNTOSAI (2004), Implementation Guidelines For Performance Auditing. Retrieved 17 October 2009, from http://intosai.connexcc-hosting.net/blueline/ upload/1implgperfaude.pdf Khan, A. M. (1988). Performance auditing-the three ‘es’. Asian Journal of Government Audit. retrieved 13 May 2009, from http://www.asosai.org/journal1988/ performance_auditing.htm Kjaer, M.A. (2004). Governance. Cambridge: Polity Press. In Reading Brick for POGO 8062, Public Sector Management, Semester 2 2007, Policy and governance. Australian National University Canberra: The Crawford school. Krajewski, J.L & Ritzman, P.L. (1996). Operation Management: Strategy and Analysis. (4th ed). New York: AddisonWesley Publishing Company. Leeuw, L.F. (1996). Performance auditing, new public management and performance improvement: question and answer. Accounting, Auditing and Accountability Journal, 9, (No.2), 92-102. Leeuw, L.F & Thiel, V.S (2002), The performance paradox in the public service. Public Performance and Management Review, 25 (no.3), 267-281. Moesen, A W. (1994). The need for performance auditing in the public sector and best practice frontier, European Journal of Law, 1, 263-274 Pollitt, C. Girr, X. Lonsdale, J. Mul, R. Summa, H. & Waerness, M. (1999). Performance or compliance? performance audit and public management in five countries. Oxford University Press, retrieved 14 may 2009, from http://www.questia.com/ PM.qst?a=o&d=48999099
E D I S I 0 2 / TA H U N X V I / 2 0 1 0
5/12/2010 12:39:24 AM
KERJASAMA PENDIDIKAN ANTARA PERGURUAN TINGGI DAN INDUSTRI
wordpress.com
I.
Latar Belakang
Drucker (1993:34-35) berkata bahwa pendidikan merupakan kebutuhan mutlak karena sumberdaya manusia yang terdidik menjadi sumber keunggulan dari negara tersebut. Menurutnya, “An abundant and increasingly supply of highly educated people has become the absolute prerequisitive of social and economic development in our world. It is rapidly becoming a condition of national survival… The uneducated is fast becoming an economic liability and unproductive. Society must be an “educated society” today – to progress, to grow, even to survive.
Randy R. Wrihatnolo
Kata pendidikan saja tidak cukup untuk membangun sumber keunggulan, tetapi membutuhkan predikat yang bermutu, sehingga pendidikan yang bermutulah yang menentukan arah keberhasilan membangun manusia yang unggul. Pendidikan bermutu membutuhkan proses pembelajaran yang berstandar dan diselenggarakan secara berkesinambungan dan sistematis. Proses pembelajaran yang berstandar akan membawa peserta didik secara aktif mengembangkan dirinya untuk memiliki kekuatan agama, pengendalian diri, kepribadian, kecerdasan, akhlak mulia serta keterampilan dan kecakapan hidup untuk meningkatkan nilai tambah bagi diri dan masyarakatnya (Cut Zahri Harun, 2008:619). Penulis merangkum berbagai pendapat bahwa pendidikan adalah faktor penentu (determinan) dari keunggulan kompetitif. Pendidikan adalah faktor penentu arah keberhasilan tujuan Negara Kesatuan Republik Indonesia, sebagaimana tercantum dalam Pembukaan UUD 1945 yang penulis hayati sebagai upaya menciptakan manusia Indonesia yang cerdas, sejahtera, terlindungi, dan bersolidaritas tinggi.1 Negara harus mengembangkan manusia Indonesia sebagai sumberdaya manusia yang vital. Bahkan secara tegas dalam Pasal 3 Undang-undang Nomor 20 Tahun 2003 tentang Sistem Pendidikan Nasional disebutkan
sapadunia.files.wordpress.com.
40 PEMBANGUNAN-Velt 2 edisi Ke DUA.indd 40
E D I S I 0 2 / TA H U N X V I / 2 0 1 0
5/12/2010 12:39:24 AM
bahwa: “Pendidikan nasional berfungsi mengembangkan kemampuan dan membentuk watak serta peradaban bangsa yang bermartabat dalam rangka mencerdaskan kehidupan bangsa, bertujuan untuk berkembangnya potensi peserta didik agar menjadi manusia yang beriman dan bertakwa kepada Tuhan Yang Maha Esa, berakhlak mulia, sehat, berilmu, cakap, kreatif, mandiri, dan menjadi warga negara yang demokratis serta bertanggung jawab.” 2 Oleh karena itu, pendidikan sebagai tumpuan membentuk manusia unggul seharusnya menjadi prioritas tertinggi agar Negara dapat membangun keunggulan kompetitifnya. Mempersiapkan manusia unggul berarti mempersiapkan sumberdaya manusia sejak usia sekolah. Dalam jenjang pendidikan berarti menyiapkan mereka sejak duduk di jenjang pendidikan dasar sampai pendidikan menengah. Mempersiapkan manusia unggul berarti mempersiapkan peserta didik sejak usia mereka antara 7 hingga 18 tahun. Lebih dari itu, mencetak bangsa unggul berarti memperhatikan mereka sedari dini hingga mereka menapaki usia produktif dan mendidik mereka sampai menjadi manusia unggul. Pendidikanlah yang dapat mendorong pembangunan sumberdaya manusia yang ahli dan berpengetahuan serta memiliki akses tidak hanya kepada ekonomi nasional namun juga ekonomi global. Hal ini dikarenakan pendidikan khususnya pendidikan menengah mampu mendorong pengembangan kemampuan berpikir formal, mendorong kemampuan memecahkan masalah abstrak dan berpikir kritis, dan membekali peserta didik dengan muatan yang relevan dengan dunia kerja (Keith Lewin dan Françoise Caillods, 2001:62).
II.
Persoalan Pendidikan versus Kesempatan Kerja
Sayangnya, apa yang dibayangkan secara konseptual di atas belum sepenuhnya terjadi di Indonesia. Kondisi di atas paling tidak digambarkan tiga fakta berikut. Pertama, World Economic Forum melaporkan peringkat dayasaing negara-negara di dunia dalam laporannya berjudul Global Competitiveness Report (GCR). Pada tahun 2005 Indonesia menempati posisi ke-72 dari 102 negara (WEF, 2004:xiv). Pada laporan GCR 2008/2009 Indonesia tercatat menempati ranking ke-55 dari 131 negara (WEF, 2008:10). Penilaian tersebut menunjukkan bahwa daya-saing Indonesia yang rendah merupakan fakta yang perlu diperbaiki. Daya-saing yang rendah ini merupakan akibat iklim berusaha domestik yang kurang kondusif, yang bermuarakan pada kualitas penyelenggaraan yang lemah karena faktor sumberdaya manusia yang buruk.
Kedua, angkatan kerja Indonesia sejak tahun 1988 hingga tahun 2008 senantiasa menunjukkan peningkatan seiring dengan pertambahan jumlah penduduknya, namun secara kualitas tidak terserap dengan baik ke dalam pasar kerja. Hal ini ditunjukkan oleh tingkat pengangguran terbuka (TPT) yang cenderung fluktuatif selama periode 1988 hingga 2008. Jika pada tahun 1995 pernah mencapai angka 7,24 persen, maka pada pada tahun 2000 sempat menurun menjadi 6,08 persen dan kemudian melonjak menjadi 11,24 persen per November 2005. Sayangnya, kesuksesan menurunnya TPT ternyata tidak diikuti peningkatan kualitas penyerapannya. Hal ini diindikasikan oleh pendidikan angkatan kerja yang terserap ke lapangan
Gambar 1. Perkembangan Tingkat Pengangguran Terbuka (TPT), Tahun 1988-2008
Sumber: BPS, Statistik Ketenagakerjaan, Jakarta: BPS, 2008. Data seri tahun 1988 hingga 2008 (per Februari) diolah.
41 PEMBANGUNAN-Velt 2 edisi Ke DUA.indd 41
E D I S I 0 2 / TA H U N X V I / 2 0 1 0
5/12/2010 12:39:31 AM
bersifat regulasi dan langkah tindak nyata3 ternyata berhasil menciptakan kesempatan kerja baru bagi para penganggur yang diindikasikan oleh menurunnya TPT hingga mencapai angka 8,46 persen per Februari 2008. Sektor yang memberikan kontribusi penyerapan tenaga kerja adalah industri manufaktur, namun sebagian besar masih pekerja lulusan pendidikan menengah. Hal ini sejalan dengan ciri-ciri sektor industri manufaktur di Indonesia yang lebih membutuhkan pekerja terampil (skilled-worker) dibandingkan pekerja berpengetahuan (knowledged-worker). Sementara sektor jasa seperti perbankan, perhotelan, perdagangan, pemerintahan, dan industri penelitian dan pengembanganya memberikan kontribusi terbesar dalam hal penyerapan pekerja berpengetahuan. Padahal potensi penyerapan tenaga kerja berpendidikan tinggi ke dalam sektor industri -dalam arti luas yang bermakna perusahaan- yang sudah maju masih sangat besar.
kerja. Jika penyusun membandingkan wajah pengangguran di tahun 2002 (per November 2002) dengan tahun 2007 (per Februari 2007), maka penulis menemukan bahwa pengangguran dengan pendidikan tinggi --terutama universitas dan diploma I/II-- antara tahun 2002 dan 2007 ternyata pertambahannya meningkat lebih tinggi dibandingkan pengangguran kelompok tidak/belum pernah sekolah dan belum/tidak tamat SD. Ketiga, dalam kurun waktu 1988 hingga 2008, jumlah angkatan kerja berpendidikan tinggi ternyata meningkat 10 kali lipat padahal kesempatan kerja untuk mereka hanya meningkat 8 kali lipat. Sementara itu dalam hal sama untuk angkatan kerja berpendidikan dasar ke bawah meningkat 5 kali lipat padahal kesempatan kerjanya hanya meningkat 1 kali lipat. Kesempatan kerja ternyata lebih terbuka bagi angkatan kerja berpendidikan tinggi daripada angkatan kerja berpendidikan dasar. Padahal, upah yang diterima pekerja lulusan pendidikan tinggi jauh lebih tinggi dibandingkan pekerja lulusan pendidikan dasar.
Sektor industri yang sudah maju (advanced industry) berpotensi menyerap tenaga kerja berpendidikan tinggi, karena sektor industri maju mempertimbangkan (1) peningkatan efisiensi produksi, (2) peningkatan kualitas produksi, (3) proses produksi yang ramah lingkungan, dan (4) responsif terhadap kebutuhan pasar. Persyaratan demikian hanya dapat dipenuhi apabila industri mempekerjakan tenaga kerja berpendidikan tinggi. Sayangnya, angkatan kerja berpendidikan tinggi yang siap pakai adalah sangat langka. Oleh sebab itu, suatu perguruan tinggi yang menyediakan pendidikan tinggi bermutu dan menjamin lulusannya siap pakai adalah sangat dibutuhkan keberadaannya. Namun, perguruan tinggi semacam itu juga ternyata masih langka di Indonesia.
Gambar 2. Peningkatan Kesempatan Kerja dibandingkan Peningkatan Pendidikan Angkatan Kerja dalam 20 Tahun (1988-2008)
9
10
8 6 5
4 3
3
Berdasarkan dua identifikasi permasalahan di atas, maka penulis mengajukan dua perumusan masalah. Pertama, penulis melihat bahwa faktor manusia dalam pembangunan belum memperoleh perhatian serius karena masih jarangnya perguruan tinggi yang memperhatikan seksama kecenderungan dunia kerja dan perkembangan industri. Perguruan tinggi kurang menghasilkan lulusan yang siap kerja. Kedua, penulis memandang bahwa penyelenggara perguruan tinggi kurang menerapkan konsep dan model penyelenggaraan pendidikan tinggi yang dapat memberikan kompetensi “layak pakai” bagi lulusannya. Berkenaan dengan persoalan di atas, maka penulis selanjutnya akan membahas pentingnya faktor manusia dan pendidikan dalam pembangunan; dan menjelaskan pentingnya kerjasama pendidikan antara perguruan tinggi dan industri/perusahaan.
4
3 2 Universitas
Diploma
SMTA Kejuruan
SMTA Umum
SMTP
SD dan SD ke Bawah
1
Pendidikan Angkatan Kerja Kesempatan Kerja Menurut Kelompok Pendidikan Sumber: BPS, Statistik Ketenagakerjaan, Jakarta: BPS, 2008. Data seri tahun 1988 hingga 2008 (per Februari) diolah.
III. Faktor Manusia dan Pendidikan Dalam Pembangunan
Lonjakan TPT pada tahun 2005 merupakan dampak ikutan kondisi krisis ekonomi yang pernah melanda Indonesia pada tahun 1998 dan masih terasa dampaknya hingga tahun 2005an. Berbagai kebijakan Pemerintahan Presiden Yudhoyono yang meluncur pada pada tahun 2006 hingga 2007 baik yang
Berbagai studi pembangunan mulai dari pendekatan pembangunan (ekonomi) neo-klasik seperti Solow (1958:27), Kendrick (1990:41), dan Becker (1994:22) menekankan bahwa
42 PEMBANGUNAN-Velt 2 edisi Ke DUA.indd 42
E D I S I 0 2 / TA H U N X V I / 2 0 1 0
5/12/2010 12:39:31 AM
faktor manusia adalah faktor yang penting selain pemanfataan teknologi serta pengembangan dan modal serta pembentukannya. Model pembangunan ekonomi klasik mendapatkan pembenaran ketika pendekatan korporasi yang dipelopori oleh HarodDomar (1972:54) meletakkan pandangannya pada peran penting perdagangan internasional dan perusahaan multi-nasional sebagai penggerak utama pembangunan. Model ini banyak dikenal di negara-negara maju yang juga dikenal sebagai negara OECD (Overseas Economic Cooperation and Development). Model ini dengan baik diungkapkan oleh Arthur Lewis dalam Robert L. Tignor (2005:61) yang menempatkan manusia sebagai faktor penting kemajuan ekonomi suatu negara. Aliran ini percaya bahwa perekonomian negara semakin cepat maju apabila negara menempatkan pembangunan industri sebagai penggerak utama (prime mover) pembangunan. Hal ini berarti menempatkan faktor sumberdaya manusia dan korporasi sebagai pemegang kuncinya. Pembangunan kualitas sumberdaya manusia merupakan proses jangka panjang. Ia harus dimulai sejak dini warga negara masih menapaki jenjang pendidikan asar hingga merajut ke jenjang pendidikan menengah dan memperdalamnya di jenjang pendidikan tinggi. Berdasarkan skala jenjang pendidikan, maka penyiapan jenjang pendidikan menengah sangat penting dalam pembentukan calon-calon angkatan kerja yang handal.4 Pengembangan kualitas sumberdaya manusia antara jenjang pendidikan menengah dan pendidikan tinggi merupakan tahap terpenting dalam pembentukan keterampilan dan kemampuan manusia. Sanjay Lal (1995:34-39) menemukan bahwa pendidikan menengah sangat menentukan kemana arah lulusannya setelah itu ke dalam pasar kerja. Daya serap pasar kerja sangat ditentukan oleh kemampuan yang dibentuk semasa menempuh pendidikan menengah. Pendidikan tinggi akan semakin menempati titik pentingnya ketika pengetahuan dan keterampilan memerlukan penajaman pengalaman teknis yang lebih terarah (Bernard Meyer, 1998:92). Berkenaan dengan persoalan tersebut, penulis mencoba mengulas apa saja yang penting ketika kita mencoba menghubungkan antara aspek pendidikan dan pasar kerja dalam dimensi kerjasama pendidikan. Karena di sinilah sumber muasal penciptaan manusia yang unggul. Dalam kasus Indonesia, menciptakan manusia yang unggul sangat penting, karena hal ini dapat memutus rantai permasalahan dapat bermula dari lemahnya penghayatan moral dan norma dalam kehidupan sehari-hari. Masalah ini kemudian menimbulkan masalah krisis kualitas manusia Indonesia sehingga menghasilkan manusia Indonesia dengan penguasaan ilmu yang rendah sehingga tidak mempunyai kompetensi untuk mengisi pembangunan. Masalah kualitas manusia Indonesia yang berkompetensi rendah itu menjadikan manusia Indonesia tidak mampu mengelola sumberdaya nasional secara efektif, sehingga menimbulkan masalah kesejahteraan rakyat Indonesia. Krisis kesejahteraan rakyat ini menciptakan peluang terjadinya
43 PEMBANGUNAN-Velt 2 edisi Ke DUA.indd 43
krisis moral dan norma. Hamzah Haz (2003:24) demikian juga Todaro (2004:411) menyimpulkan bahwa rantai masalah akan terus berlanjut dan berputar-putar apabila tidak diintervensi.5 Gambar 3. Rantai Permasalahan Pembangunan Penghayatan Moral dan Norma Lemah
Kesejahteraan Rakyat Buruk
Penguasaan Ilmu Rendah
Pengelolaan Sumberdaya Nasional Lemah
Sumber: Hamzah Haz (2003:7). Lebih lanjut Hamzah Haz (2003:7) berpendapat bahwa peningkatan moral dan norma dapat dilakukan melalui pendidikan. Penguasaan ilmu dapat ditingkatkan melalui pendidikan yang tepat guna hingga perguruan tinggi. Pengelolaan sumberdaya nasional akan lebih efektif apabila para pemimpin bangsa paham tentang makna pendidikan dalam konteks pembangunan. Dan kesejahteraan rakyat dapat tumbuh apabila masyarakat semakin cerdas dalam menyikapi situasi dan beradaptasi dalam situasi yang sedang terjadi secara bijaksana, dan hal ini bisa muncul apabila seluruh warga masyarakat memahami keterampilan hidup yang tentunya diperoleh dari proses pendidikan (Hamzah Haz, 2003:24-41). Rantai dapat diputus apabila salah satu titiknya diintervensi dengan efektif.
IV. Kerjasama Pendidikan Perguruan Tinggi dan Industri/Perusahaan Michael Porter (1990) mengatakan bahwa keunggulan kompetitif suatu bangsa bergeser dari hal-hal yang sifatnya kasat mata seperti sumberdaya alam, ke arah penciptaan dan asimilasi pengetahuan. Ia juga mengatakan bahwa keunggulan kompetitif suatu bangsa saat ini sangat ditentukan oleh kapasitas belajarnya. Konsep keunggulan kompetitif Porter mensyaratkan penciptaan dan asimilasi pengetahuan ini sebagai ujung tombak inovasi atau tumbuhnya pengetahuan baru. Inovasi inilah yang akan memberikan keunggulan kompetitif. Bangsa yang tenggelam dengan kejayaan masa lalu dan sulit berinovasi, tidak akan pernah mencapai suatu keunggulan kompetitif. Porter (1990:63) dengan tegas menuliskan bahwa kesejahteraan suatu bangsa harus diciptakan, bukan diwariskan. Keunggulan bangsa bahkan oleh Naisbitt (1994:106) diramalkan salah satunya justru bangkit
E D I S I 0 2 / TA H U N X V I / 2 0 1 0
5/12/2010 12:39:36 AM
dunia usaha; dan (5) sistem manajemen yang mandiri (Norbert Meyer dan Lutz Refardt, 1998).
dari menggobalnya perusahaan multinasional. Kelak, menurut Naisbitt, persaingan antar-negara tidak terjadi lagi, namun yang terjadi adalah persaingan antar-perusahaan multinasional dalam kancah global, misalnya persaingan antara Petronas dan Pertamina dalam memperebutkan hak pengelolaan eksplorasi minyak di Iran.6
Konsep kerjasama pendidikan antara perguruan tinggi dan industri mempunyai karakteristik sebagai berikut. Pertama, lembaga pendidikan penyelenggara pendidikan tinggi menjadi pusat keunggulan (center of excellent). Lembaga penyelenggara meliputi satu unit lembaga perguruan tinggi yang mempunyai pusat-pusat pelatihan keunggulan (training center) yang menyebar di beberapa tempat. Konsep ini digagas oleh Bockelmann (2001). Penyebaran pusat-pusat keunggulan dilakukan dengan pertimbangan bahwa potensi pasar kerja bukan berada di satu tempat saja, namun berada di beberapa tempat.8 Pusat keunggulan merupakan pusat pelatihan yang memanfaatkan teknologi tinggi. Teknologi tinggi yang diadopsikan harus teknologi yang dapat menjadikan para mahasiswa berlatih dan membiasakan diri melakukan proses produksi yang memanfaatkan tingkat akurasi tinggi. Lembaga penyelenggara harus mempertimbangkan keuntungan dari jasa pelatihan yang diberikan. Untuk itu lembaga penyelenggara harus mempertimbangkan bahwa: (1) pelatihan dilakukan sesuai permintaan dan relevan dengan kompetensinya; (2) meningkatkan kualitas pekerja dan pekerjaan mandiri; (3) memberikan beasiswa kepada mahasiswa yang kurang mampu; (4) menyediakan investasi dan biaya operasional untuk ruang kelas, ruang kantor, dan perabotannya.
Beberapa bentuk kerjasama pendidikan antara perguruan tinggi dan industri pada dasarnya dapat diikuti oleh munculnya universitas perusahaan (corporate university) di tahun 1960an di Amerika Serikat. Universitas perusahaan merupakan kepanjangan tangan atau disponsori perusahaan tertentu untuk menjalankan misi perusahaan induknya, yaitu menjalankan penelitian dan pengembangan dan menyediakan tenaga kerja bermutu yang dibutuhkan perusahaan/industri (Peter Jarvis, 2001:30-31). Bentuk-bentuk kerjasamanya pada awalnya lebih bersifat kebutuhan dibandingkan keilmuan semata (Sheila Slaughter dan Larry L. Leslie, 1999:140). Konsep penyelenggaraan kerjasama pendidikan antara perguruan tinggi dan industri di Indonesia dekat dengan model sambung-sesuai (link and match) yang digagas oleh Wardiman Djojonegoro (1990). Konsep ini bukan hal baru khususnya di Jerman dan Amerika Serikat.7 Di Indonesia, konsep ini diadopsi menjadi konsep “teaching factory” yang didalamnya mengandung makna kerjasama antara perguruang tinggi, sekolah menengah kejuruan, dan industri. Model ini secara relatif tidak mempunyai standar. Namun terdapat ciri-ciri sebagai berikut: (1) digerakkan industri yang dipandu oleh kebutuhan pasar (deman driven); (2) menghasilkan kompetensi yang memenuhi standar dan diakui secara nasional; (3) menawarkan beragam daftar, keluaran dan penyampaian yang mudah; (4) mengintegrasikan antara pelatihan, pendidikan, dan
Kedua, bidang kerjasama harus spesifik. Gert W. Thoma (2000) mengatakan bahwa lembaga penyelenggara harus menjalin kerjasama dengan dunia industri (pabrikan) dalam bentuk proyek percontohan, dimana lembaga penyelenggara (perguruan tinggi) dan industri (1) melakukan penilaian kualitas produk, diversifikasi produk, perbaikan proses produksi dan bahkan mendukung dalam pemasaran. Mahasiswa akan dilibatkan dalam proses ini; (2) melakukan sub-kontrak dengan industri untuk melakukan proses produksi; (3) menerapkan penelitian dan pengembangan yang melibatkan mahasiswa. Oleh karena itu, bidang kerjasama antara perguruan tinggi penyelenggara dan lembaga mitranya (perguruan tinggi luar negeri) harus spesifik, misalnya bidang mekatronik, mesin mobil, elektronika, atau furnitur. Ketiga, sertifikasi berstandard internasional. Lulusan pendidikan tinggi didik untuk memenuhi kualifikasi sarjana yang bersertifikat dengan standard internasional yang diakui dan dibutuhkan dunia industri. Meyer (2000) mengatakan bahwa untuk itu diperlukan pelatihan bagi para mahasiswa dengan standard minimal pendidikan seperti: (1) kemampuan manajemen organisasi, komunikasi, dan pemasaran; dan (2) mengikuti pelatihan bersertifikasi ISO (seperti ISO 9000, 9001, 9002, dan 14000); (3) memaksa pemerintah untuk membebaskan lembaga penyelenggara dalam negeri dari beberapa persyaratan yang membatasi ruang gerak pengelolaan keuangan internal.9
www1,istockphoto.com
44 PEMBANGUNAN-Velt 2 edisi Ke DUA.indd 44
E D I S I 0 2 / TA H U N X V I / 2 0 1 0
5/12/2010 12:39:37 AM
Gambar 4. Lembaga Pendidikan yang Hanya Memberikan Gelar
Sumber: Kedaulatan Rakyat, 12 Mei 2007. Terjemahan: “Orang itu gelarnya Dr, Ir, Drs, MM, MA, MSc. Hebat ‘kan?” “Jangan heran, sebab ijazahnya semua palsu, semua membeli, tesisnya menyontek.”
Keempat, para pihak yang terlibat dalam kerjasama harus menyusun rencana bisnis (bussiness plan). Status kerjasama semua pihak harus sudah jelas dan dibuatkan akta perjanjian kerjasamanya. Perguruan tinggi akan bertindak sebagai lembaga pembina. Sementara itu lembaga binaan industri yang merupakan kepanjangan tangan dari kebutuhan industri akan bertindak sebagai tempat pelatihan yang berperan melakukan pelatihan proses produksi. Dengan adanya rencana bisnis maka perguruan tinggi diajak berpikir lebih realitas tentang rencana kerja mereka yang harus dimanajemeni dengan baik (Andreas Koenig, 2000). Kelima, fasilitasi untuk berwirausaha. Bentuk keterampilan yang disediakan oleh lembaga penyelenggara perlu mempertimbangkan kebutuhan industri kecil-menengah. Sektor ini merupakan sektor yang mampu mendorong peningkatan pendapatan masyarakat berpenghasilan rendah. Kebutuhan industri kecil-menengah difokuskan sesuai tingkat keahlian untuk tenaga kerja industri skala tersebut, memberikan jasa konsultasi dan pelayanan dalam bidang teknologi dan administrasi bisnis dalam skala tersebut. Hal ini perlu dilakukan agar mahasiswa lulusannya selain dijamin memasuki pasar kerja juga mempunyai kemampuan mendirikan sendiri usaha mereka apabila mereka memilih berwirausaha sendiri (Michael H. Wagner, 1999).
45 PEMBANGUNAN-Velt 2 edisi Ke DUA.indd 45
V.
Analisis dan Rekomendasi
Menurut pendapat penulis, industri manufaktur masih berpotensi menyediakan kesempatan kerja yang sangat luas, namun angkatan kerja berpendidikan tinggi yang tersedia di pasar kerja masih langka. Meski prospek kesempatan kerja bagi lulusan pendidikan tinggi cenderung meningkat dibandingkan kesempatan kerja lulusan pendidikan yang lebih rendah, namun prospek ini belum sepenuhnya dianggap sebagai peluang “bisnis” bagi sejumlah lembaga penyelenggara pendidikan tinggi. Hal ini dibuktikan oleh perguruan tinggi yang masih mengutamakan ijazah dan gelar dibandingkan memberikan jaminan mutu “pasti bekerja” (Gambar 4). Analisis berikutnya adalah adanya kenyataan jumlah penganggur lulusan pendidikan tinggi yang ternyata masih tinggi. Jika pun ada kesempatan kerja bagi angkatan kerja berpendidikan tinggi, maka upahnya pun sangat terbatas. Hal ini menunjukkan bahwa kompetensi mereka senjang dibandingkan dengan kesempatan kerja yang ada. Sebagai akibatnya, pendidikan Sekolah Lanjutan Tingkat Atas (SLTA) Umum dan SLTA Kejuruan lebih dipilih oleh dunia kerja daripada lulusan pendidikan tinggi. Hal ini merupakan tantangan bagi dunia perguruan tinggi.
E D I S I 0 2 / TA H U N X V I / 2 0 1 0
5/12/2010 12:39:43 AM
Catatan
Berkenaan dengan hal tersebut, penulis merekomendasikan perlunya mengajak bahkan “memaksa” dunia perguruan tinggi untuk melakukan kerjasama pendidikan dengan industri/ perusahaan. Dengan “memaksa” melakukan kerjasama pendidikan, maka penyelenggara perguruan tinggi akan belajar beberapa hal.
Uraian aslinya adalah: “Kemudian dari pada itu untuk membentuk suatu Pemerintah Negara Indonesia yang melindungi segenap bangsa Indonesia dan seluruh tumpah darah Indonesia dan untuk memajukan kesejahteraan umum, mencerdaskan kehidupan bangsa dan ikut melaksanakan ketertiban dunia yang berdasarkan kemerdekaan, perdamaian abadi dan keadilan sosial, maka disusunlah Kemerdekaan Kebagsaan Indonesia itu dalam suatu Undang-Undang Dasar Negara Indonesia, yang terbentuk dalam suatu susunan Negara Republik Indonesia, yang berkedaulatan rakyat dengan berdasar kepada: Ketuhanan Yang Maha Esa, Kemanusiaan yang adil dan beradab, Persatuan Indonesia dan Kerakyatan yang dipimpin oleh hikmat kebijaksanaan dalam permusyawaratan/perwakilan, serta dengan mewujudkan suatu Keadilan sosial bagi seluruh rakyat Indonesia.” Lihat Pembukaan Undang-Undang Dasar 1945 alinea IV. 2 Undang-undang Nomor 20 Tahun 2003 tentang Sistem Pendidikan Nasional. 3 Lihat pencapaian pembangunan nasional dalam Bappenas, Laporan Perkembangan Empat Tahun Rencana Pembangunan Jangka Menengah Nasional (RPJMN 20042009) Tahun 2008, Bappenas, 2008. 4 Jenjang pendidikan formal ditempuh sejak pendidikan dasar, penidikan menengah, dan pendidikan tinggi. Pendidikan menengah merupakan masa tersingkat dari jenjang pendidikan yang diselenggarakan dan yang ditempuh oleh warga negara. Baca UU Nomor 20 Tahun 2003 tentang Sistem Pendidikan Nasional. 5 Todaro menyebutnya sebagai vicious cycle (lingkaran setan) yaitu suatu situasi yang merlibatkan sejumlah persoalan pelik yang tidak diinginkan dan saling memperparah satu sama lain sehingga seakan-akan tidak bisa diatasi dan seolah-olah merupakan proses tanpa ujung yang berlangsung terus-menerus. 6 Baca Kompas, 12 Agustus 2008. 7 Baca Mark Allen (editor), The Corporate University Handbook: Designing, Managing, and Growing a Succesfull Program: With Examples from Motorola, Schwab, Toyota, and Others Leading-Edge Organizations, New York: Amacom, 2002. 8 Potensi pasar kerja berada di lima provinsi, yaitu Jakarta, Banten, Jawa Barat, Jawa Tengah, dan Jawa Timur. 9 Seperti kebebasan untuk tidak mengikuti ketentuan PNBP, Keppres 80/2004, dan pembebasan bea masuk impor barang mewah bagi barang modal berteknologi tinggi dari lembaga mitra luar negeri. 10 Kolom ”Gaji Lulusan Perguruan Tinggi Kecil”, Kompas, 12 Agustus 2008. 1
Pertama, perguruan tinggi akan memperbaiki manajemen pendidikan mereka agar go-industrial society dan bahkan gointernational untuk menjadikan manajemen mereka lebih baik, ditinjau dari pengelolaan akademis, pendidikan mahasiswa, dan pengabdian kepada masyarakat. Dengan demikian, perguruan tinggi akan lebih efektif menyelenggarakan proses pendidikan yang berguna. Kedua, kerjasama pendidikan antara perguruan tinggi dan industri akan menjadikan perguruan tinggi lebih mandiri. Apa yang disediakan perguruan tinggi pun akan menemukan titik temunya dengan kebutuhan industri/perusahaan. Perguruan tinggi akan dengan leluasa mengembangkan penelitian dan pendidikan, sementara itu industri akan memperoleh manfaat yang diperlukannya dari perguruan tinggi baik dalam bentuk hasil penelitian maupun penyediaan tenaga kerja yang berkuallifikasi. Dan ketiga, konsep Tri Darma Perguruan Tinggi, pendidikan, penelitian dan pengabdian kepada masyarakat dapat berjalan setali tiga uang sekaligus apabila kerjasama pendidikan antara perguruan tinggi dan industri/perusahaan dapat diwujudkan secara efektif. Kerjasama pendidikan harus berada dalam tiga area itu.
VI. Kesimpulan Tulisan ini mengajarkan kepada kita bahwa, pertama, pendidikan merupakan wahana terpenting untuk meningkatkan kapasitas manusia dalam pembangunan dan sekaligus merupakan cara terbaik untuk memutus persoalan pembangunan. Kedua, kerjasama pendidikan antara pendidikan tinggi dan industri/perusahaan merupakan salah satu cara terbaik untuk meningkatkan kapasitas manusia. Ketiga, bangsa yang unggul ditandai oleh kehadiran industri/ perusahaan multinasional yang mempunyai dayasaing global. Oleh karena itu, kerjasama pendidikan antara pendidikan tinggi dan industri/perusahaan yang terbaik adalah ditujukan untuk mencetak angkatan kerja yang dapat mengisi kebutuhan industri/perusahaan. Randy R. Wrihatnolo adalah staf pada Direktorat Evaluasi Kinerja Pembangunan Sektoral, Bappenas.
46 PEMBANGUNAN-Velt 2 edisi Ke DUA.indd 46
E D I S I 0 2 / TA H U N X V I / 2 0 1 0
5/12/2010 12:39:44 AM
Daftar Bacaan
Andreas Koenig, The Assesment of Institutional Set-up for the Training Center, Geneva: KfW, 2000. Bernard Meyer, Peluang Kerja dan Produktivitas Tenaga Kerja Sektor Manufaktur, UNIDO, 1998. Cut Zahri Harun, Sumberdaya Pendidikan Merupakan Penunjang Utama dalam Menghasilkan Manusia Unggul melalui Program Sekolah Binaan, dalam Jurnal Pendidikan dan Kebudayaan, Edisi Juli 2008, Jakarta: Departemen Pendidikan Nasional, 2008. Dietrich Bockelmann, Sector and Pre-feasibility Study Regarding The Indonesian-German Institute, Geneve: Kredinstalt fur Wiederaufbau (KfW), 2001. Gary Stanley Becker, Human Capital: A Theoretical and Empirical Analysis, with Special Reference to Education, Chicago: University of Chicago Press 1994. Gert W. Thoma, Indonesian-German Programme on Economic and Human Resource Development, Jakarta: GTZ, 2000. Hamzah Haz, Menggerakkan Kekuatan Bangsa, Jakarta: Sekretariat Wakil Presiden RI, 2003. Hans Meyer, The Assesment of Potential Teaching Factory and the Training Center, Jakarta: GTZ, 2000. H. Meadows, The Limits to Growth, New York: Universe Books, 1972. John Kendrick, Personal Productivity: How to Increase You Satisfaction in Living, Vancouver: McGraw-Hill 1990. John Naisbitt, Patricia Aburdan, Megratrends 2000, New York: Penguin Books, 1994. Keith Lewin dan Françoise Caillods, Financing The Development of Secondary Education in Developing Countries, dalam Journal “Prospects” volume XXXI, no. 1, March 2001 (UNESCO: Paris). Mark Allen (editor), The Corporate University Handbook: Designing, Managing, and Growing a Succesfull Program: With Examples from Motorola, Schwab, Toyota, and Others Leading-Edge Organizations, New York: Amacom, 2002. Michael Porter, The Competitive Advantage of Nations, New York: Free Press, 1990. Michael P. Todaro dan Stephen C. Smith, Pembangunan Ekonomi di Dunia Ketiga, Bab 2, Jakarta: Penerbit Erlangga, 2004. Michael H. Wagner, Advanched Manufacturing Technology for Smale and Medium Scaled Industry, Hamburg: GTZ, 1999. Norbert Meyer dan Lutz Refardt, Economic Development Through Qualification: A Teaching Factory, Bonn: BfZ, 1998. Peter F. Drucker, The Post Capitalist Society, Singapore: McGraw and Hill, 1993. Peter Jarvis, University and Corporate University: The Higher Learning Industry in Global Society, London: Kogan Page Limited, 2001.
47 PEMBANGUNAN-Velt 2 edisi Ke DUA.indd 47
Robert Solow, Growth Theory: An Exposition, New York: Wilkinson Publisher, 1958. Robert L. Tignor, W. Arthur Lewis and the Birth of Development Economics, Princeton University Press, 2005. Sanjay Lal, Industrialisasi di Asia Tenggara: Indonesia, Malaysia, dan Thailand, New York: UNIDO, 1995. Sheila Slaughter, Larry L.Leslie, Academic Capitalism: Politics, Policies, and The Entrepreneurial University, London: Johns Hopkins University Press, 1999. Wardiman Djojonegoro, Pendekatan Link and Match dalam Pengembangan Universitas Unggulan, Keynote Speech Seminar Nasional Profesionalisme Perguruan Tinggi. Surabaya: Institut Teknologi Sepuluh November (ITS), 1990.
E D I S I 0 2 / TA H U N X V I / 2 0 1 0
5/12/2010 12:39:48 AM
PERANAN HUKUM DALAM EKONOMI INDONESIA DAN PELAKSANAANNYA DALAM OTONOMI DAERAH I.
Firman Edison
PENDAHULUAN
Sejarah perekonomian dunia, memperlihatkan bahwa banyak permasalahan yang mendesak di dunia karena masalah ekonomi. Contohnya pada tahun 1930 dunia mengalami masalah pengangguran di kalangan tenaga kerja dan sumber daya lainnya, begitu juga tahun 1940 dunia mengalami masalah merealokasikan sumber daya yang langka dengan cepat antara kebutuhan perang dengan kebutuhan sipil. Tahun 1950 terjadi masalah inflasi, tahun 1960 terjadi kemunduran pertumbuhan ekonomi, tahun 1970 dan awal tahun 1980 terjadi kasus biaya energi yang meningkat (harga minyak yang meningkat sepuluh kali dibandingkan dekade sebelumnya) (Lipsey, et. al. 1991), memasuki akhir tahun 2008 sampai dengan saat ini krisis finansial global yang dimulai di Amerika Serikat sejak 2007 yang dipicu macetnya kredit perumahan (subprime mortgage) juga telah menimbulkan permasalahan yang mendunia. Dampak yang dirasakan Indonesia antara lain karena perekonomian dunia melemah sehingga pasar ekspor bagi produk Indonesia menjadi sangat menurun, nilai tukar rupiah terdepresiasi sehingga hutang luar negeri pemerintah maupun swasta menjadi beban yang cukup berat. Sejarah Indonesia dalam kurun waktu yang panjang sebagai negara jajahan bangsa asing karena alasan ekonomi bahwa Indonesia merupakan sumber hasil bumi yang sangat penting bagi dunia juga mempelihatkan bahwa masalah ekonomi adalah masalah yang penting bagi suatu negara. Dari uraian diatas, kita dapat melihat bahwa persoalanpersoalan ekonomi selalu muncul dari penggunaan sumberdaya yang langka untuk memuaskan keinginan manusia yang tak terbatas dalam upaya meningkatkan kualitas hidupnya. Akibat kelangkaan, maka terjadi perebutan untuk menguasai sumberdaya yang langka tersebut. Perebutan menjadi penguasa atas sumber daya yang langka bisa menimbulkan persengketaan antar pelaku ekonomi bahkan bisa memicu perang baik antar daerah maupun antar negara.
www.blegal.com
48 PEMBANGUNAN-Velt 3 edisi Ke DUA.indd 48
E D I S I 0 2 / TA H U N X V I / 2 0 1 0
5/12/2010 12:36:06 AM
bangsa Indonesia, dan seluruh tumpah darah Indonesia dan untuk memajukan kesejahteraan umum, mencerdaskan kehidupan bangsa dan ikut melaksanakan ketertiban dunia yang berlandaskan kemerdekaan, perdamaian abadi dan keadilan sosial. Dalam tujuan negara tersebut disebutkan memajukan kesejahteraan umum. Jadi perekonomian nasional ini ditujukan bagi kemajuan dan kesejahteraan umum.
Permasalahan ekonomi ini perlu diatur agar pemanfaatan sumber daya yang terbatas dapat berjalan dengan baik dengan prinsip – prinsip keadilan. Hukum ekonomi merupakan salah satu alat untuk mengatasi berbagi persoalan tersebut.
II. PEMBAHASAN Pemanfaatan sumber daya yang terbatas menyebabkan perlunya suatu perangkat hukum yang dapat mengatur agar semua pihak yang berkepentingan mendapat perlakuan yang adil (win-win solution) dan agar tidak terjadi perselisihan diantara pelaku ekonomi. Fungsi hukum salah satunya adalah mengatur kehidupan manusia bermasyarakat di dalam berbagai aspek. Manusia melakukan kegiatan ekonomi untuk memenuhi kebutuhannya. Manusia tidak bisa memenuhi kebutuhannya sendiri, oleh karena itu manusia melakukan interaksi dengan manusia lainnya. Interaksi ini sering kali tidak berjalan dengan baik karena adanya benturan kepentingan diantara manusia yang berinteraksi. Agar tidak terjadi perselisihan maka harus ada kesepakatan bersama diantara mereka. Kegiatan ekonomi sebagai salah satu kegiatan sosial manusia juga perlu diatur dengan hukum agar sumber daya ekonomi, pemanfaatan dan kegiatannya dapat berjalan dengan baik dengan mempertimbangkan sisi keadilan bagi para pelaku ekonomi. Hukum atau peraturan perekonomian yang berlaku disetiap kelompok sosial atau suatu bangsa berbeda-beda tergantung kesepakatan yang berlaku pada kelompok sosial atau bangsa tersebut. Hukum tertinggi yang mengatur mengenai perekonomian di Indonesia terdapat dalam pasal 33 UUD 1945, yang berbunyi : (1) Perekonomian disusun sebagai usaha bersama berdasar asas kekeluargaan (2) Cabang–cabang produksi yang penting bagi Negara dan menguasai hajat hidup orang banyak dikuasai oleh Negara. (3) Bumi dan air dan kekayaan alam yang terkandung didalamnya dikuasai oleh Negara dan dipergunakan untuk sebesar-besarnya kemakmuran rakyat (4) Perekonomian nasional diselenggarakan berdasarkan demokrasi ekonomi dengan prinsip kebersamaan, efisiensi, berkeadilan, berkelanjutan, berwawasan lingkungan, kemandirian, serta dengan menjaga keseimbangan kemajuan dan kesatuan ekonomi nasional. (5) Ketentuan lebih lanjut mengenai pelaksanaan pasal ini diatur dalam undang-undang.1
Pasal 33 UUD 1945 ayat 2 menyebutkan bahwa negara menguasai cabang-cabang produksi yang penting dan menguasai hajat hidup orang banyak dan juga bumi, air dan kekayaan alam yang terkandung di dalamnya untuk dipergunakan sebesar-besarnya kemakmuran rakyat. BUMN (Badan Usaha Milik Negara) adalah salah satu dari pelaksanaan pasal tersebut dimana terdapat PT. Pertamina, PT. Aneka Tambang, PT Pertani, PT Pupuk Kaltim, PT Pertani dan lain-lain. Dalam era privatisasi yang pada mulanya dilakukan untuk efisiensi dan terbukanya modal asing yang masuk ke Indonesia perlu diwaspadai agar jangan sampai cabangcabang produksi yang penting dan kekayaan alam yang ada di Indonesia menjadi milik asing dan hanya memperoleh sedikit keuntungan atau royalti dan jangan sampai Indonesia hanya sebagai penonton di negeri sendiri. Peranan hukum disini adalah untuk melindungi kepentingan negara perlu dibuat agar dapat terwujud bangsa yang sejahtera dan menjadi tuan di negeri sendiri. Hukum Ekonomi Indonesia juga harus mampu memegang amanat UUD 1945 (amandemen) pasal 27 ayat (2) yang berisi : “Tiap-tiap warga Negara berhak atas pekerjaan dan
Tujuan suatu bangsa salah satunya adalah mensejahterakan rakyatnya. Seperti tujuan Negara Indonesia yang terdapat dalam pembukaan UUD 1945 yaitu melindungi segenap
49 PEMBANGUNAN-Velt 3 edisi Ke DUA.indd 49
Dari pasal 33 tersebut bahwa perekonomian yang disusun sebagai usaha bersama yang berdasarkan asas kekeluargaanlah yang diamanatkan UUD kita. Koperasi adalah salah satu bentuk dari amanat pasal 33 ayat 1. Tujuan koperasi adalah untuk kesejahteraan anggotanya. Di Indonesia sendiri telah banyak berdiri koperasi-koperasi. Namun koperasi-koperasi yang ada masih banyak yang dihadapkan oleh permasalahan masih rendahnya kualitas kelembagaan dan organisasi dalam koperasi, dalam PP No. 7 Tahun 2005 tentang Rencana Pembangunan Jangka Menengah Nasional 2004-2009 dalam lampiran Pasal (6) Bab 20 mengenai Pemberdayaan Koperasi dan Usaha Mikro, Kecil dan Menengah bahwa koperasi yang aktif hanya 76% dari total jumlah yang ada. Dan hanya 48% dari koperasi yang aktif tersebut yang menyelenggarakan RAT (Rapat Anggota Tahunan). Selain itu disebutkan juga tertinggalnya kinerja Koperasi dan kurang baiknya citra koperasi karena banyak koperasi terbentuk tanpa didasari oleh kepentingan bersama dan prinsip kesukarelaan para anggotanya, sehingga kehilangan jati diri koperasi yang otonom dan swadaya. Banyak koperasi yang tidak profesional menggunakan teknologi dan kaidah-kaidah ekonomi modern sebagaimana layaknya badan usaha.
E D I S I 0 2 / TA H U N X V I / 2 0 1 0
5/12/2010 12:36:11 AM
tersebut berisi :
penghidupan yang layak bagi kemanusiaan”. Negara juga memiliki kewajiban untuk mensejahteraan rakyatnya, sehingga perekonomian harus dapat mensejahterakan seluruh rakyat, sementara fakir miskin dan anak yang terlantar juga perlu dipelihara oleh Negara. Negara perlu membuat iklim yang kondusif bagi usaha dan bagi masyarakat yang tidak mampu dapat diberdayakan. Sementara yang memang tidak dapat berdaya seperti orang sakit, cacat perlu diberi jaminan sosial (Pasal 34 UUD 1945). Tugas negara ini dalam kondisi sekarang tidaklah mudah dimana kemampuan keuangan pemerintah sendiri juga terbatas. Konsep perekonomian yang baik perlu dilaksanakan.
(1) Negara Kesatuan Republik Indonesia di bagi atas daerah-daerah propinsi dan daerah propinsi itu di bagi atas kabupaten dan kota, yang tiap-tiap propinsi, kabupaten, dan kota itu mempunyai pemerintahan daerah, yang diatur dengan undang-undang (2) Pemerintah daerah propinsi, daerah kabupaten, dan kota mengatur dan mengurus sendiri urusan pemerintahan menurut asas otonomi dan tugas pembantuan (3) Pemeritahan daerah propinsi, daerah kabupaten dan kota memiliki Dewan Perwakilan Rakyat Daerah yang angota-angotanya dipilih melalui pemilihan umum (4) Gubernur, Bupati dan Walikota masing masing sebagai kepala pemerintahan daerah propinsi, kabupaten dan kota dipilih secara demokratis (5) Pemerintahan daerah menjalankan otonomi seluas-luasnya, kecuali urusan pemerintahan yang oleh undang-undang ditentukan sebagai urusan pemerintah (6) Pemerintahan daerah berhak menetapkan peraturan daerah dan peraturan-peraturan lain untuk melaksanakan otonomi dan tugas pembantuan (7) Susunan dan tatacara penyelenggaraan pemerintahan daerah diatur dalam undang-undang
Indonesia merupakan bagian dari masyarakat global sehingga Indonesia pun tidak terlepas dari hukum internasional termasuk yang menyangkut ekonomi. Tetapi walaupun demikian, kita juga harus bersikap kritis dan memperjuangkan hak bagi kesejahteraan Negara kita, karena tidak semua kebijakan ekonomi tersebut dapat diterapkan dan kalaupun diterapkan harus ada penyesuaian dengan hukum yang berlaku di Indonesia. Indonesia terdiri dari berbagai macam suku bangsa, sehingga dalam pengaturan hukum ekonominya harus mempertimbangkan hal tersebut. Di era orde baru kita pernah mencoba mengatur Negara ini menggunakan sistem sentralisasi atau terpusat. Semua kegiatan ekonomi diatur oleh pemerintah pusat. Diakui dengan sistem ini perekonomian kita sempat berjaya dengan swasembada beras, namun di sisi lain terjadi kesenjangan antara pusat-pusat ekonomi dengan daerah-daerah yang terpencil dan kurangnya pemerataan pembangunan.
Pasal 18A: (1) Hubungan wewenang antara pemerintahan pusat dan pemerintahan daerah propinsi, kabupaten, kota atau antara propinsi, kabupaten dan kota, diatur dengan undang-undang dengan memperhatikan kekhususan dan keragaman daerah (2) Hubungan keuangan, pelayanan umum, pemanfaatan sumberdaya lainnya antara pemerintahan pusat dan pemerintahan daerah diatur dan dilaksanakan secara adil dan selaras berdasarkan undang-undang
Sistem pemerintahan Indonesia dalam Bab VI Pasal 18 UUD 1945 (amandemen) juga diatur mengenai desentralisasi yang didalamnya termuat juga desentralisasi bidang ekonomi. Pasal
Pasal 18B: (1) Negara mengakui dan menghormati satuan-satuan pemerintahan daerah yang bersifat khusus atau bersifat istimewa yang diatur dengan undang-undang (2) Negara mengakui dan menghormati kesatuankesatuan masyarakat hukum adat beserta hak-hak tradisionalnya sepanjang masih hidup dan sesuai dengan perkembangan masyarakat dan prinsip Negara Kesatuan Republik Indonesia, yang diatur dalam undang-undang Pada pasal 18A ayat (2) sangat jelas menunjukkan bahwa masalah pemanfaatan sumberdaya juga diatur dalam undangundang ini.
50 PEMBANGUNAN-Velt 3 edisi Ke DUA.indd 50
E D I S I 0 2 / TA H U N X V I / 2 0 1 0
5/12/2010 12:36:11 AM
Tujuan utama desentralisasi adalah meningkatkan kesejahteraan rakyat melalui penyelenggaraan urusan/fungsi/tanggung jawab pemerintahan untuk penyediaan pelayanan masyarakat lebih baik. Pelaksanaan otonomi daerah yang baik akan meningkatkan kesejahteraan rakyat. Beberapa contoh sukses ditunjukkan dalam Koran Tempo, Senin, 22 Desember 2008, sejumlah kepala daerah di negeri ini dapat mengembangkan kreativitasnya dalam memajukan daerahnya. Peran pimpinan daerah dalam mendorong terciptanya pemerataan pembangunan dan peningkatan kesejahteraan sangatlah penting. Kriteria yang dipilih Tempo untuk menyeleksi para calon tokoh pimpinan daerah adalah dalam sektor pelayanan pubik, transparansi dan keramahan pada dunia usaha setempat. Hal ini dilakukan Tempo karena dianggap masih banyak anggapan miring tentang otonomi daerah sebagai desentralisasi korupsi dan munculnya raja-raja kecil. Sebanyak 61 kasus kepala daerah menjadi tersangka dan kemudian menjadi terpidana akibat praktek yang salah dalam menjalankan otonomi dan presepsi mengenai otonomi daerah. Pemerintahan di daerah harus berhati-hati dalam membuat regulasi ataupun perangkat hukum yang menyangkut perekonomian daerahnya, agar tidak terjadi salah presepsi tentang otonomi ekonomi daerah. Peranan pemerintah pusat juga harus lebih ketat dalam mengawasi jalannya otonomi daerah agar tujuan nasional dapat berjalan sebagai mana mestinya. Keberpihakan pemerintah baik pusat maupun daerah terhadap pertumbuhan koperasi, usaha kecil dan menengah daerah diharapkan mampu mengurangi jurang antara masyarakat mapan dan marjinal, karena dengan pertumbuhan koperasi, usaha kecil dan menengah akan mengurangi ketergantungan masyarakat akan import dan memperluas lapangan pekerjaan. Sehingga akan mengurangi beban pemerintah dan diharapkan daerah mampu mandiri mengatasi kesulitan didaerahnya sesuai dengan sumberdaya yang ada didaerah tersebut. Pemerintahan daerah juga harus menjaga agar otonomi daerah adalah bukan mengatur daerah dengan kacamata kedaerahannya tetapi lebih melihat bahwa negara kita mempunyai tujuan bersama yang mulia seperti yang tercantum dalam Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia 1945. Pemerintahan daerah juga tidak boleh semena-mena menyombongkan diri apabila berhasil, tetapi juga mau membantu daerah lain, minimal dengan menularkan informasi tentang keberhasilan mereka terhadap daerah lain. Untuk itu diperlukan koordinasi yang baik antara pemerintah pusat dan daerah dalam melakukan perumusan dan sosialisasi mengenai batasan-batasan dan sanksi hukum yang jelas bagi pelaku ekonomi baik tingkat pusat maupun daerah, yang kemudian ditetapkan menjadi peraturan atau kebijakan pemerintah pusat maupun daerah. Dalam hal sosialisasi, pemerintah perlu juga melibatkan media massa ataupun membentuk kader-kader yang siap memberikan informasi
Aspek hukum yang mengatur perekonomian Indonesia sudah diamanatkan dalam UUD 1945 yang sudah empat kali diamandemen, namun baru tahun 1982 ada sebuah penelitian yang dilakukan mengenai Hukum Ekonomi Indonesia. Penelitian ini dilakukan oleh Universitas Padjajaran Bandung yang di pimpin oleh DR. C.F.G Sunaryati Hartono, S.H, yang diterbitkan dalam bentuk buku dengan judul Hukum Ekonomi Indonesia. Dalam buku tersebut Hukum Ekonomi Indonesia dibedakan menjadi dua yaitu Hukum Ekonomi Pembangunan dan Hukum Ekonomi Sosial (Soedijana, Yohanes, Setyardi, 2008). Hukum Ekonomi Pembangunan adalah pengaturan dan pemikiran hukum mengenai cara-cara peningkatan dan pengembangan kehidupan ekonomi (peningkatan produksi) secara nasional dan berencana. Hukum Ekonomi Pembangunan meliputi bidang-bidang pertanahan, bentuk-bentuk usaha, penanaman modal asing, kredit dan bantuan luar negeri, perkreditan dalam negeri perbankan, paten, asuransi, impor ekspor, pertambangan, perburuhan, perumahan, pengangkutan dan perjanjian internasional. Hukum Ekonomi Sosial adalah pengaturan dan pemikiran hukum mengenai cara-cara pembagian hasil pembangunan ekonomi nasional secara adil dan merata, sesuai dengan martabat kemanusiaan (hak asasi manusia) manusia Indonesia (distribusi yang adil dan merata). Hukum Ekonomi Sosial meliputi bidang obat-obatan, kesehatan dan keluarga berencana, perumahan, bencana alam, transmigrasi, pertanian, bentuk-bentuk perusahaan rakyat, bantuan dan pendidikan bagi pengusaha kecil, perburuhan, pendidikan, penderita cacat, orang-orang miskin dan orang tua serta pensiunan (Soedijana, Yohanes, Setyardi, 2008). Sejarah Hukum Ekonomi Indonesia juga pernah menganut sistem ekonomi Pancasila, yang menurut Emil Salim menpunyai ciri-ciri sebagai berikut : a. b.
c. d.
51 PEMBANGUNAN-Velt 3 edisi Ke DUA.indd 51
mengenai keberadaan peraturan maupun kebijakan tersebut. Pemerintah juga perlu memberikan penghargaan kepada tokoh, pimpinan atau masyarakat yang melakukan perubahan posistif terhadap perkembangan ekonomi daerahnya, diharapkan kegiatan ini memacu munculnya tokoh-tokoh yang peduli terhadap keberhasilan daerah untuk mencapai kesejahteraan.
Sistem ekonomi pasar dengan unsur perencanaan Berprinsip keselarasan, karena Indonesia menganut paham demokrasi ekonomi dengan azas perikehidupan keseimbangan. Keseimbangan antara kepentingan individu dan masyarakat Kerakyatan, artinya sistem ekonomi ditujukan untuk kepentingan rakyat banyak Kemanusiaan, maksudnya sistem ekonomi yang memungkinkan pengembangan unsur kemanusiaan
E D I S I 0 2 / TA H U N X V I / 2 0 1 0
5/12/2010 12:36:16 AM
Apakah hukum diperlukan dalam mengelola perekonomian negara? Masih banyak masyarakat yang bertanya demikian karena terkadang hukum lebih banyak dianggap sebagai faktor penghambat daripada sebagai faktor yang melandasi ekonomi. Walaupun demikian sudah seharusnya ada hukum yang mengatur dan mengelola perekonomian negara, karena pada dasarnya hukum mempunyai beberapa peranan dalam pembangunan ekonomi Indonesia. Peranan hukum (Soedijana, Yohanes, Setyardi, 2008) tersebut antara lain adalah : a. b. c. d.
Hukum sebagai pemelihara ketertiban dan keamanan Hukum sebagai sarana pembangunan Hukum sebagai sarana penegak keadilan Hukum sebagai sarana pendidikan masyarakat
Dari beberapa syarat tentang hukum yang ditulis dalam Bab (2), buku Ekonomi Pembangunan Indonesia yang patut dipertimbangkan yaitu : a. b.
c.
Bahwa kaidah-kaidah hukum nasional kita harus berdasarkan falsafah kenegaraan Pancasila dan UUD 1945 Bahwa kaidah-kaidah hukum nasional kita harus mengandung dan memupuk nilai-nilai baru yang mengubah nilai-nilai sosial yang bersumber pada kesukuan dan kedaerahan menjadi nilai-nilai sosial yang bersumber memupuk kehidupan dalam ikatan kenegaraan secara nasional Bahwa sistem hukum nasional itu mengandung kemungkinan untuk menjamin dinamika dalam rangka pembaharuan hukum nasional itu sendiri, sehingga secara kontinyu dapat mempersiapkan pembangunan dan pembaharuan masyarakat di masa berikutnya
itu dipayungi inpres (instruksi presiden) atau apa, tidak jadi masalah,” ujar Boediono (sekarang Wakil Presiden RI). Ketua Tim Pengawas Pencapaian Paket Kebijakan Ekonomi Jannes Hutagalung pada era Menko Perekonomian Boediono mengatakan, fungsi pemda akan diperbanyak dalam pelaksanaan rencana tindak paket kebijakan ekonomi 2008. Itu disebabkan sebagian besar pelaksanaan programnya ada di daerah. “Misalnya, program UMKM. Untuk sektor ini, kami akan lebih meningkatkan kerja sama dengan pemda,” kata Jannes. Sebenarnya, ujar Jannes, dalam paket kebijakan ekonomi terdahulu sudah diatur tentang penunjukan pejabat di kabupaten dan kota untuk membantu tugas pengawasan yang dibentuk Menko Perekonomian. Namun, belum semua kabupaten dan kota melaksanakannya. Boediono menambahkan, “Harapan kami kalau ada pejabat yang ditugaskan di setiap kabupaten, kami bisa berkomunikasi dengan baik.” Pemerintah memastikan paket kebijakan ekonomi yang sudah digulirkan sejak tahun 2006 akan berubah wujud, terutama dalam bentuk legalitasnya.
Setelah pemerintah daerah dan kota membuat perangkat hukum, yang menjadi tugas selanjutnya adalah perlunya sosialisasi dalam penerapan hukum ekonomi di daerah dan kota. Sosialisasi ini bertujuan agar setiap pelaku ekonomi daerah dan kota mengetahui batasan-batasan hukum dan sanksi hukum dengan jelas. Peran pemerintah daerah juga diperlukan dalam peningkatan perekonomoian Indonesia. Menurut Menteri Koordinator Perekonomian Boediono di Jakarta, Kompas, Rabu (19/12), selama ini kontribusi pemerintah daerah (pemda) masih minim. Lebih lanjut Boediono mengatakan, masih ada beberapa rencana tindak yang belum tuntas dalam paket kebijakan ekonomi, baik dalam kebijakan perbaikan iklim investasi, percepatan pembangunan infrastruktur, usaha mikro-kecil-menengah (UMKM), maupun kebijakan sektor keuangan. Oleh karena itu, masih diperlukan paket kebijakan lanjutan yang akan dikeluarkan pada tahun 2008. “Inti pokoknya, paket itu merupakan alat mengoordinasi kebijakan dan mengarahkan peta jalan selama dua tahun ke depan (2008-2009). Nanti, apakah matriks
Hal itu dimungkinkan karena paket kebijakan ekonomi tersebut tidak akan ditertibkan dalam bentuk inpres, tetapi produk hukum lain yang lebih kuat. Aspek yang tercakup antara lain adalah perbaikan iklim investasi, percepatan pembangunan infrastruktur, reformasi sektor keuangan, dan UMKM. Keberadaan rencana tindak dalam paket kebijakan akan memudahkan pengawasan oleh masyarakat. Kebijakan paket kebijakan ekonomi terdahulu diatur dalam Inpres Nomor 6 Tahun 2007 tentang Kebijakan Percepatan Pengembangan Sektor Riil dan Pemberdayaan UMKM (Kompas, 19 Desember 2008).
52 PEMBANGUNAN-Velt 3 edisi Ke DUA.indd 52
E D I S I 0 2 / TA H U N X V I / 2 0 1 0
5/12/2010 12:36:16 AM
III. PENUTUP
Catatan
Kegiatan ekonomi manusia sebagai salah satu kegiatan sosial manusia juga perlu diatur dengan hukum agar sumber daya ekonomi, pemanfaatan dan kegiatannya dapat berjalan dengan baik dengan mempertimbangkan sisi keadilan bagi para pelaku ekonomi.
1
Hukum atau peraturan perekonomian yang berlaku di setiap kelompok sosial atau suatu bangsa berbeda-beda tergantung kesepakatan yang berlaku pada kelompok sosial atau bangsa tersebut. Sehingga aspek hukum harus dibuat berdasarkan tingkat kepentingan yang muncul pada suatu masyarakat di suatu wilayah, untuk itulah perlu dibuat aspek hukum yang sejalan dengan kebijakan otonomi daerah dalam kerangka pemerataan kesejahteraan nasional.
Koran Kompas, Rabu, 19 Desember 2008 Koran Tempo, Senin, 22 Desember 2008 Lipsey, Richard G., Peter O. Steiner, Douglas D. Purvis and Paul N. Courant. Economics. Binarupa Aksara, Jakarta. 1991. Rencana Pembangunan Jangka Menengah Nasional 2004-2009 Soedijana, F.X., Triyana Yohanes dan Untung Setyardi. Ekonomi Pembangunan Indonesia (Tinjauan Aspek Hukum). Universitas Atma Jaya, Yogyakarta. 2008 Soetandyo Wignosubroto, Bhenyamin Hoessein, Djoermansah Djohan, Robert A. Simanjuntak, Syarif Hidayat, B.N. Marbun, Sadu Wasisitiono dan Sutoro Eko. Pasang – Surut Otonomi Daerah. Institute for Local Development, Jakarta, 2005.
Pelaksanaan hukum ekonomi sendiri perlu terus diawasi sehingga tidak menimbulkan distorsi tetapi justru dapat meningkatkan perekonomian itu sendiri. Seperti contoh : Otonomi daerah yang bila dilaksanakan dengan baik dapat memberikan keleluasaan bagi pemerintah daerah untuk berinovasi bagi kesejahteraan daerahnya bukan untuk menonjolkan sisi kedaerahannya masing-masing. Komitmen dan institusi pengawasan yang baik juga perlu dikembangkan agar penegakan hukum dapat berlaku baik bagi masyarakat maupun aparat hukum itu sendiri.
Pasal 4 dan Pasal 5 adalah perubahan IV pada amandemen UUD 1945.
DAFTAR PUSTAKA
Firman Edison, Perencana Pertama pada Direktorat Pendayagunaan Pendanaan Pembangunan, Bappenas
53 PEMBANGUNAN-Velt 3 edisi Ke DUA.indd 53
E D I S I 0 2 / TA H U N X V I / 2 0 1 0
5/12/2010 12:36:21 AM
k41.pbase.com
Pembangunan ekonomi berbasis kawasan merupakan salah satu kebijakan ekonomi yang dilakukan oleh pemerintah China. Dengan mempertimbangkan letak geografis yang sangat strategis, pemerintah China telah menetapkan Guangzhou sebagai salah satu daerah pusat perekonomian modern sejak tahun 1992. Guangzhou yang berada di bagian selatan China dan yang merupakan bagian dari provinsi Guangdong ini berperan sebagai pintu gerbang perekonomian bagian tenggara negara China, yang menghubungkan China dengan Jepang, Makao, Taiwan, Korea, Singapura, Malaysia, Filipina, dan Indonesia dengan tidak lebih dari 6 jam waktu tempuh udara. Letak yang sangat strategis ini memungkinkan mobilitas orang, barang, dan jasa menjadi efisien.
PENGEMBANGAN KAWASAN EKONOMI KHUSUS Pelajaran dari Guangzhou, China
Sistem pemerintahan dan politik komunis dengan komando top down menjadi salah satu keuntungan dan penyumbang keberhasilan kebijakan yang ditetapkan, karena kecilnya kemungkinan menghadapi friksi berupa panjangnya diskusi antar lembaga pemerintah (pusat dengan pusat dan pusat dengan daerah), termasuk antara eksekutif dan legislatif. Meskipun demikian, menurut Badan Reformasi dan Pembangunan Pemerintah Daerah Guangzhou, secara perlahan telah terjadi perubahan dalam proses penyusunan kebijakan yang tidak lagi sepenuhnya merupakan komando
Ratna Sri Mawarti
54 PEMBANGUNAN-Velt 3 edisi Ke DUA.indd 54
E D I S I 0 2 / TA H U N X V I / 2 0 1 0
5/12/2010 12:36:22 AM
dari pemerintah pusat. Setiap proses penyusunan kebijakan kini didahului dengan dialog publik. Namun apabila suatu kebijakan telah menjadi keputusan pemerintah pusat atau provinsi maka seluruh lini pemerintahan dan masyarakat harus menerima, mengikuti, dan melaksanakan keputusan tersebut. Apabila di dalam implementasinya terjadi penyimpangan yang menimbulkan keresahan atau ketidakpuasan, maka ada badan pengaduan masyarakat yang akan menyampaikan keluhan kepada pemerintah daerah atau pusat. Meskipun seluruh kebijakan negara komunis berada di tangan pemerintah pusat, beberapa tahun terakhir pemerintah pusat China telah melimpahkan sebagian wewenangnya kepada pemerintah daerah. Hampir seluruh aktivitas ekonomi lokal Guangzhou berada di tangan pemerintah daerah Guangzhou. Peran pemerintah daerah sangat besar sebagai kepanjangan tangan pemerintah pusat yang meliputi: perdagangan luar negeri dan ekonomi, perpajakan, industri dan komersial, finansial, migrasi, administrasi pengajuan hak paten, dan notarisasi. Sebagai daerah yang ditetapkan sebagai kawasan ekonomi khusus, pembangunan infrastruktur di Guangzhou berupa jalan, pelabuhan, lapangan terbang, dan kereta listrik merupakan prioritas nasional. Penyediaan energi listrik yang memadai memungkinkan perusahaan dan aktivitas perdagangan berjalan dinamis dan tidak terganggu. Perijinan yang mudah dan fasilitas keringanan pajak dapat dinikmati para investor. Fasilitas lahan dengan luas areal yang jelas dan kepastian peruntukannya disediakan oleh pemerintah karena semua lahan adalah milik negara. Percepatan realisasi jalan kereta api untuk transportasi urban Guangzhou merupakan salah satu prioritas pembangunan di tahun 2009-2010.
khususnya Honda. Pemasaran produk Honda khususnya untuk kebutuhan domestik China, seiring dengan mulai diberlakukannya pengurangan penggunaan kendaraan roda dua di kota-kota. Di bagian utara Guangzhou terdapat perusahaan Nissan di kawasan Huangdu Outomotif. Sedangkan perusahaan otomotif Toyota berada di bagian selatan Guangzhou. Di bagian tengah Guangzhou terdapat perusahaan Honda yang telah beroperasi sejak 11 tahun yang lalu. Share modal Jepang-China mencapai 50% : 50%. Honda memiliki 2 pabrik mobil yang berada di Huangpu dan Shenzhen. Produk mobil Honda di Guangzhou hanya untuk memenuhi pasar dalam negeri China. Perusahaan Honda di China telah menerapkan lingkungan bersih limbah dengan zero emission dan dengan pengolahan air sendiri sehingga telah menghemat 50% kebutuhan air perusahaan tersebut. Upaya menuju investasi yang bersih juga dilakukan dengan menggunakan cat yang bebas polusi. Perusahaan Honda di Guangzhou juga menerapkan Corporate Social Responsibility (CSR) terutama untuk kebersihan, bahkan memperoleh penghargaan (award) dari pemerintah China sendiri dalam pelaksanaan CSR. Sejak tahun 2007, perusahaan tersebut sudah mulai membuat desain produk mobil baru.
Hub Ekonomi China Dalam upaya membangun Guangzhou sebagai salah satu hub ekonomi untuk kawasan selatan China, telah dilakukan berbagai perubahan menuju standar pelayanan internasional dengan melaksanakan e-government pada seluruh instansi pemerintah. Pelayanan satu pintu untuk para investor dibuat untuk kenyamanan dan efisiensi pelayanan serta untuk mengurangi biaya operasional investor. Bentuk layanan lain adalah sistem administrasi perpajakan yang efisien, dan pemberian proteksi properti intelektual bagi perusahaan asing sebagai penemu awal (inventor). Sebagai kawasan khusus, Guangzhou ditata dan disokong oleh tujuh pilar industri utama. Pilar pertama adalah industri automotif. Guangzhou merupakan lokasi pilihan berbagai perusahaan otomotif Jepang. China memiliki kemampuan memasok 90% suku cadang kebutuhan otomotif (mobil)
picturechina.org
55 PEMBANGUNAN-Velt 3 edisi Ke DUA.indd 55
E D I S I 0 2 / TA H U N X V I / 2 0 1 0
5/12/2010 12:36:27 AM
Perkembangan KEK
Pilar kedua adalah industri petrokimia, yang dipusatkan di bagian timur Guangzhou. Pilar ketiga adalah industri elektronik dan teknologi informasi. Teknologi informasi Guangzhou mencapai 31% dari total industri di China, bahkan pada tahun 2005 merupakan pilar utama industri China, sehingga merupakan motor penggerak ekonomi di kota ini pada tahun tersebut. Plar keempat adalah industri biofarmasi, yang merupakan tempat pengembangan industri pengobatan tradisional dan modern. China selama ini dikenal sangat giat memasarkan produk obat-obatan dan jasa pengobatan dengan menerapkan cara pengobatan tradisional dan modern.
Dalam kurun waktu kurang dari 20 tahun, sebagai Kawasan Ekonomi Khusus (KEK) Guangzhou telah tumbuh menjadi kawasan yang cukup bersih, modern, dan sibuk. Pertumbuhan ekonomi Guangzhou cenderung meningkat dari tahun ke tahun yang mencapai lebih dari 12%. Pertumbuhan PDB Guangzhou tahun 2008 masih dapat mencapai 12,3% (RMB 821,1 triliun) meskipun perekonomian dunia dan China sendiri menurun. Laju pertumbuhan tahun 2008 untuk Guangzhou ini lebih rendah dibandingkan dengan tahun-tahun sebelumnya yang rata-rata mencapai 15%. Proporsi industri terhadap PDB tahun 2006 didominasi oleh sektor tersier yang mencapai 57,7% atau RMB 3.503,5 juta.
Pilar berikutnya adalah industri logistik. Karena lokasinya yang strategis, maka Guangzhou menjadi pusat logistik selatan China yang menghubungkan baik ke dalam (antar kota) maupun antar negara. Infrastruktur darat, laut, dan udara, dengan dilengkapi sistem pergudangan yang sangat memadai memudahkan pengiriman barang dengan cepat. Pengiriman barang menuju Guangzou dari wilayah belakangnya dapat ditempuh tidak lebih dari 2 jam. Pilar ke enam adalah jasa finansial. Guangzou merupakan kota keuangan ketiga terbesar di China sejak diberlakukannya kebijakan pintu terbuka. Dan pilar terakhir adalah jasa eksibisi, yaitu sebagai kota tempat berbagai pameran eksibisi strategis berskala internasional.
Tahun 2008 total FDI di Guangzhou mencapai US$ 3,6 triliun yang mencapai 25% total FDI di China. Pilar utama output industri di Guangzhou pada tahun 2006 adalah industri otomotif yang mencapai RMB 1.162,2 juta; disusul industri petrokimia (RMB 1.089,2 juta); dan produk elektronik (RMB 816,7 juta). Sampai dengan Desember 2008 terdapat 500 perusahaan asing di Guangzhou, diantaranya terdapat 33 perusahaan Indonesia.
PDB GUANGZHOU HARGA BERLAKU 7000
20
6000
18.6 18 6068.4 16
18.4 17.3 14.9 5115.6
Dalam100RM
5000 12.7 4000 3000
14
4450.6
12
3758.6 2841.7
10
3204
8 6
2000
4 1000
2
0
0 2001
2002
2003
PDBHargaBerlaku
2004
2005
2006
%PERTUMBUHAN
Sumber: Bureau of Foreign Trade and Economic Cooperation of Guangzhou Municipality
56 PEMBANGUNAN-Velt 3 edisi Ke DUA.indd 56
E D I S I 0 2 / TA H U N X V I / 2 0 1 0
5/12/2010 12:36:27 AM
Pelajaran bagi Indonesia
Beberapa hal yang dapat dijadikan pelajaran bagi Indonesia dari pengamatan terhadap KEK Guangzhou tersebut adalah antara lain: n Letak geografis suatu daerah menjadi pertimbangan yang tidak kalah penting dalam menentukan KEK dan diikuti dengan penentuan industri atau bidang usaha tertentu. n Ketersediaan energi, infrastruktur, dan lahan disesuaikan dengan rencana induk pembangunan KEK. n Komitmen pemerintah pusat dan daerah yang bersinergi dengan baik akan mempercepat dan memperlancar pengembangan ekonomi wilayah dan nasional. n Daya saing KEK suatu daerah pada suatu negara akan tinggi apabila tersedia berbagai fasilitas baik infrastruktur maupun sistem pelayanan dan administrasi berstandar internasional. n Globalisasi harus dimanfaatkan menjadi peluang daerah pada suatu negara bersaing dengan daerah lain di negara lain. Walaupun Pemerintah telah menetapkan Undang-undang KEK Nomor 39 tahun 2009, namun berbagai upaya masih perlu dilakukan untuk merealisasikannya. Kawasan yang akan dijadikan KEK seharusnya dilengkapi dengan listrik dan energi
57 PEMBANGUNAN-Velt 3 edisi Ke DUA.indd 57
lainnya yang memadai, infrastruktur lengkap dan lancar, jasa pelayanan mulai dari ijin pendirian usaha sampai aktivitas distribusi dan logistik yang berkualitas. Untuk meningkatkan daya saing industri, diperlukan SDM yang terampil, dan menguasai teknologi dan manajemen. Peringkat Indonesia sebagai tujuan investasi dunia perlu didukung tidak hanya oleh sumber daya alam, murahnya tenaga kerja (cheap labour) dan besarnya pasar (size of market), tetapi juga oleh tenaga kerja terdidik, terlatih, dan ahli (skilled labour and expertise). Akses pasar modal perlu dikembangkan dengan peningkatan kualitas infrastruktur perbankan dan non-perbankan yang memadai. Kawasan khusus diharapkan menjadi tujuan investasi yang menarik dan berdaya saing, serta sebagai bagian dari global and regional production network. Keberadaan investor di kawasan khusus diharapkan membawa manfaat dan kesejahteraan, serta memberi nilai tambah perekonomian secara menyeluruh.
Ratna Sri Mawarti adalah Kasubdit Bidang Investasi, pada Direktorat Perdagangan, Investasi, dan Kerjasama Ekonomi Internasional, Bappenas.
E D I S I 0 2 / TA H U N X V I / 2 0 1 0
5/12/2010 12:36:32 AM
ABSTRAK Hampir tiga tahun berlalu sejak Undang-Undang Nomor 26 Tahun 2007 tentang Penataan Ruang diterbitkan. UU ini mengamanatkan agar setiap provinsi di Indonesia menyusun atau menyesuaikan Peraturan Daerah (Perda) Rencana Tata Ruang Wilayah Provinsi (RTRWP)-nya selambat-lambatnya dalam waktu dua tahun sejak UU ini diterbitkan, dan agar setiap kabupaten/kota menyusun atau menyesuaikan Perda Rencana Tata Ruang Wilayah Kabupaten/Kota (RTRWK/K)-nya selambat-lambatnya dalam waktu tiga tahun. Namun hingga saat ini, baru ada dua provinsi, tujuh kabupaten, dan satu kota yang telah menetapkan Perda RTRW Provinsi, Kabupaten dan Kota-nya.
PERCEPATAN PENYELESAIAN PERDA RTRW DAERAH SEBAGAI UPAYA PENYELENGGARAAN PENATAAN RUANG YANG LEBIH BAIK
Dalam proses penyelesaian Perda RTRW daerah tersebut, terdapat beberapa masalah yang cukup pelik di lapangan, salah satunya adalah konflik pemanfaatan ruang untuk sektor kehutanan yang selama ini dianggap menghambat proses tersebut. Perda RTRW daerah merupakan acuan bagi implementasi pembangunan dan investasi di daerah dengan menjaga koridor keberlanjutan lingkungan, oleh karena itu beberapa upaya telah dilakukan oleh pemerintah dalam rangka mempercepat penyelesaian Perda RTRW daerah, sehingga diharapkan dengan adanya RTRW sebagai acuan, pembangunan di daerah tidak terhambat, investasi dapat berjalan, dan lingkungan yang berkelanjutan dapat dipertahankan.
Aswicaksana
58 PEMBANGUNAN-Velt 3 edisi Ke DUA.indd 58
E D I S I 0 2 / TA H U N X V I / 2 0 1 0
5/12/2010 12:36:33 AM
I.
PENDAHULUAN
Penyelenggaraan penataan ruang di Indonesia dilandasi oleh Undang-Undang (UU) Nomor 26 Tahun 2007 tentang Penataan Ruang. Berdasarkan UU No. 26 Tahun 2007, penyelenggaraan penataan ruang adalah kegiatan yang meliputi pengaturan, pembinaan, pelaksanaan, dan pengawasan penataan ruang1 , atau biasa disebut turbinlakwas penataan ruang. Penyelenggaraan penataan ruang bertujuan untuk mewujudkan ruang wilayah nasional yang aman, nyaman, produktif, dan berkelanjutan berlandaskan Wawasan Nusantara dan Ketahanan Nasional2 . Hal ini berarti bahwa di dalam penyelenggaraan penataan ruang harus memperhatikan keharmonisan, keterpaduan, dan keberlanjutan dari pemanfaatan sumber daya alam, sumber daya buatan, dan dengan memperhatikan sumber daya manusia di dalamnya. UU No. 26 Tahun 2007 merupakan pengganti dari UU No. 24 Tahun 1992 tentang Penataan Ruang. Terbitnya UU No. 26 Tahun 2007 ini dilatarbelakangi oleh beberapa perubahan paradigma dan perkembangan kondisi dalam penataan ruang seperti adanya desentralisasi dan otonomi daerah dengan adanya UU No. 22 Tahun 1999 tentang Pemerintahan Daerah yang kemudian diganti oleh UU No. 32 Tahun 2004 tentang Pemerintahan Daerah, masih belum diacunya Rencana Tata Ruang Wilayah (RTRW) secara sepenuhnya dalam pembangunan, dan masih kurangnya aspek pengendalian pemanfaatan ruang. Penyelenggaraan penataan ruang pada dasarnya bersifat lintas sektor, sehingga perlu adanya sinkronisasi berbagai program pembangunan sektoral pengguna ruang. Untuk melaksanakan upaya sinkronisasi tersebut, dibentuk suatu forum koordinasi di bidang penataan ruang yang beranggotakan kementerian/ lembaga yang terkait penataan ruang. Di tingkat nasional, dalam melaksanakan penyelenggaraan penataan ruang dibentuk Badan Koordinasi Penataan Ruang Nasional (BKPRN) melalui Keputusan Presiden (Keppres) Nomor 4 Tahun 2009 tentang BKPRN, sebagai pengganti Keppres No. 62 Tahun 2000 tentang Koordinasi Penataan Ruang Nasional. BKPRN merupakan badan ad-hoc yang diketuai oleh Menteri Koordinator Bidang Perekonomian, beranggotakan para menteri terkait penataan ruang, dan secara umum bertugas untuk menyiapkan kebijakan penataan ruang secara nasional. Sementara itu, dalam melaksanakan penyelenggaraan penataan ruang di daerah dibentuk Badan Koordinasi Penataan Ruang Daerah (BKPRD) yang mengacu kepada Keputusan Menteri Dalam Negeri (Kepmendagri) No. 50 Tahun 2009 tentang Pedoman Koordinasi Penataan Ruang Daerah. Sebagai salah satu amanat UU No. 26 Tahun 2007, diterbitkan Peraturan Pemerintah (PP) Nomor 26 tahun 2008 tentang Rencana Tata Ruang Wilayah Nasional (RTRWN). RTRWN merupakan arahan kebijakan dan strategi pemanfaatan ruang
59 PEMBANGUNAN-Velt 3 edisi Ke DUA.indd 59
wilayah negara secara umum, dan merupakan perubahan dari PP No. 47 Tahun 1997 tentang RTRWN. UU No. 26 Tahun 2007 yang diterbitkan pada tanggal 26 April 2007 mengamanatkan agar setiap provinsi di Indonesia menyusun atau menyesuaikan Peraturan Daerah (Perda) Rencana Tata Ruang Wilayah Provinsi (RTRWP)-nya selambat-lambatnya dalam kurun waktu 2 (dua) tahun sejak Undang-Undang ini diberlakukan3, dan agar setiap kabupaten/kota menyusun atau menyesuaikan Perda Rencana Tata Ruang Wilayah Kabupaten/Kota (RTRWK/K)-nya selambat-lambatnya dalam kurun waktu 3 (tiga) tahun4. Makna menyesuaikan disini adalah menyesuaikan dengan amanat dan muatan yang terdapat dalam UU No. 26 Tahun 2007 maupun PP No. 26 Tahun 2008, karena adanya beberapa perbedaan antara UU dan PP ini dengan yang sebelumnya, yaitu UU No. 24 Tahun 1992 dan PP No. 47 Tahun 1997. Rencana tata ruang diamanatkan untuk disusun secara hirarkis dari tingkat nasional (RTRWN), provinsi dan kabupaten/kota. Namun hingga saat ini, baru ada 2 (dua) provinsi di Indonesia yang telah menetapkan Perda RTRW Provinsi, yaitu Provinsi Sulawesi Selatan dan Provinsi Bali; dan 7 (tujuh) kabupaten dan 1 (satu) kota yang telah menetapkan Perda RTRW Kabupaten/Kota, yaitu Kabupaten Bandung, Kabupaten Bogor, Kabupaten Sidoarjo, Kabupaten Bangkalan, Kabupaten Flores Timur, Kabupaten Timor Tengah Utara, Kabupaten Nabire, dan Kota Banda Aceh5. Di dalam konteks pembangunan, RTRW daerah merupakan acuan penting dalam melaksanakan pembangunan, karena berfungsi sebagai arahan dan batasan dalam pembangunan dengan mengharmoniskan lingkungan alam dan lingkungan buatan. Selain sebagai arahan dan batasan dalam pembangunan, RTRW daerah juga memiliki peran penting dalam kerangka investasi di daerah. Pentingnya RTRW sebagai acuan dalam pembangunan daerah dan invenstasi tergambar dalam UU No. 39 Tahun 2009 tentang Kawasan Ekonomi Khusus (KEK). KEK adalah kawasan dengan batas tertentu dalam wilayah hukum Negara Kesatuan Republik Indonesia yang ditetapkan untuk menyelenggarakan fungsi perekonomian dan memperoleh fasilitas tertentu6. UU ini mengamanatkan bahwa lokasi yang dapat diusulkan untuk menjadi KEK harus memenuhi kriteria sesuai dengan RTRW dan tidak berpotensi mengganggu kawasan lindung7. Dari sini tercermin bahwa selama belum adanya RTRW daerah yang jelas dan dapat menjadi acuan, pembangunan dan investasi di daerah juga akan terhambat. Penyebab belum terselesaikannya Perda RTRW daerah ini bukanlah disebabkan karena ketidakmampuan Pemerintah Pusat dalam mengkoordinasi dan memfasilitasi penyelenggaraan penataan ruang di daerah, ataupun ketidakmampuan Pemerintah
E D I S I 0 2 / TA H U N X V I / 2 0 1 0
5/12/2010 12:36:38 AM
dan Walikota) dalam menjalankan masa pemerintahannya selama 5 tahun mengacu kepada RPJM yang memuat visi dan misi Kepala Daerah. Hal ini akan menjadi masalah apabila RPJM yang diacu tidak sinkron dengan RTRW yang berlaku, terutama dalam batasan-batasan pembangunan baik dalam kawasan lindung maupun kawasan budidaya di daerah tersebut. Di tingkat nasional, integrasi antara rencana tata ruang dengan rencana pembangunan telah mulai diwujudkan dengan diterbitkannya Perpres No. 5 Tahun 2010 tentang RPJMN 2010-2014, yang terdiri dari 3 (tiga) buku13, dimana buku ketiga adalah Strategi Pengembangan Wilayah dengan tema Sinergi Pembangunan Pusat-Daerah dan Antardaerah. Buku III secara umum adalah pengintegrasian antara RPJMN 2010-2014 dengan arahan-arahan dalam RTRWN.
III. PERMASALAHAN
Daerah dalam menyelenggarakan penataan ruangnya termasuk menetapkan Perda RTRW, namun lebih kepada masalahmasalah yang cukup pelik di lapangan, salah satunya adalah konflik pemanfaatan ruang untuk sektor kehutanan.
Secara umum, terdapat beberapa permasalahan dalam penyelenggaraan penataan ruang di Indonesia, yaitu: Pertama, masih belum sinkronnya implementasi sektoral dalam pemanfaatan ruang yang menyebabkan konflik pemanfaatan ruang antar sektor, contohnya seperti antara sektor kehutanan, pertambangan, pertanian, dan lingkungan hidup, dimana hal ini dapat menghambat penyelesaian RTRW daerah. Salah satu isu utama yang selama ini dianggap menjadi penghambat dalam penyelesaian Perda RTRW daerah adalah sektor kehutanan, yang disebabkan telah berubah fungsinya pemanfaatan ruang di kawasan hutan. Mengacu kepada UU No. 41 Tahun 1999 tentang Kehutanan, perubahan peruntukan dan fungsi kawasan hutan didasarkan pada hasil penelitian terpadu, dan ditetapkan oleh pemerintah dengan mendapat persetujuan Dewan Perwakilan Rakyat (DPR)14. Hal ini menjadi permasalahan karena banyaknya kegiatan pembangunan yang berada di kawasan hutan, khususnya kawasan hutan yang telah ditetapkan sebagai hutan lindung. Contohnya adalah adanya konflik pemanfaatan ruang untuk kegiatan penambangan yang banyak terdapat di kawasan hutan, ataupun kegiatan pertanian yang rawan untuk merubah fungsi kawasan lindung menjadi kawasan budidaya pertanian.
II. INTEGRASI RENCANA TATA RUANG DENGAN RENCANA PEMBANGUNAN
Dalam mewujudkan pembangunan berkelanjutan sesuai dengan arah kebijakan penyelenggaraan penataan ruang dalam Rencana Pembangunan Jangka Menengah Nasional (RPJMN) 20102014 yang tertuang dalam Peraturan Presiden (Perpres) Nomor 5 Tahun 2010 tentang RPJMN 2010-20148, penataan ruang adalah alat (tools) sekaligus pengendali yang digunakan di dalam implementasi kebijakan pembangunan dalam pemanfaatan sumber daya alam, sumber daya buatan, dan sumber daya manusia di dalamnya. Oleh karena itu sangatlah penting adanya integrasi antara rencana tata ruang dan rencana pembangunan. Dalam UU No. 26 Tahun 2007 diamanatkan adanya integrasi secara dua arah antara RTRW dengan rencana pembangunan, baik Rencana Pembangunan Jangka Panjang (RPJP) maupun RPJM. Di tingkat nasional, sebagai contoh, penyusunan RTRWN harus memperhatikan Rencana Pembangunan Jangka Panjang Nasional (RPJPN)9, sementara itu RTRWN menjadi pedoman untuk penyusunan RPJPN dan RPJMN10. Hal yang sama juga berlaku pada tingkat provinsi dan kabupaten/kota. Bisa dikatakan, secara garis besar RTRW merupakan matra spasial dari RPJP11. Pentingnya integrasi rencana tata ruang dengan rencana pembangunan selain karena diamanatkan dalam UU No. 26 Tahun 2007, juga karena adanya sanksi dalam UU tersebut12. Umumnya Kepala Daerah (Gubernur, Bupati,
Kedua, masih adanya permasalahan teknis di daerah seperti keterbatasan data dan informasi tentang tata ruang seperti peta dan data penduduk, terbatasnya sumber daya manusia (SDM) penyusun RTRW daerah, dan kurang optimalnya peran BKPRD dalam proses penyusunan RTRW daerah yang menyebabkan penyusunan dan penyelesaian RTRW daerah masih terhambat. Ketiga, masih kurangnya sinkronisasi peraturan perundangan sektoral terkait dengan bidang penataan ruang, yang menyebabkan rencana tata ruang belum sepenuhnya dijadikan
60 PEMBANGUNAN-Velt 3 edisi Ke DUA.indd 60
E D I S I 0 2 / TA H U N X V I / 2 0 1 0
5/12/2010 12:36:38 AM
sebagai acuan di dalam pelaksanaan kegiatan pembangunan dari masing-masing sektor.
IV. BEBERAPA UPAYA PEMERINTAH Belum terselesaikannya Perda RTRW daerah yang menjadi amanat UU No. 26 Tahun 2007 ini menjadi perhatian secara nasional, dimana pada Rapat Kerja Presiden dengan para Menteri-Menteri KIB II dan Gubernur seluruh Indonesia di Cipanas pada tanggal 3 Februari 2010, isu tata ruang menjadi salah satu topik utama. Sebagai tindak lanjut dari raker ini adalah terbitnya Instruksi Presiden (Inpres) No. 1 Tahun 2010 tentang Percepatan Pelaksanaan Prioritas Pembangunan Nasional Tahun 2010, dimana koridor kebijakan Inpres ini adalah (i) debottlenecking, (ii) menyelesaikan komitmen pemerintah, (iii) follow up Program 100 Hari dan pelaksanaan Program 5 Tahun, dan (iv) meminimalisir perubahan/ penambahan anggaran15. Percepatan penyelesaian Perda RTRW daerah diputuskan menjadi salah satu isu penting untuk debottlenecking, dimana diharapkan pada akhir tahun 2010, 17 (tujuh belas) provinsi, 36 (tiga puluh enam) kabupaten, dan 20 (dua puluh) kota dapat diselesaikan perda RTRW-nya. Selain Inpres No. 1 Tahun 2010, terbitnya PP No. 15 Tahun 2010 tentang Penyelenggaraan Penataan Ruang juga diharapkan dapat menjadi upaya untuk mempercepat penyelesaian RTRW daerah. Sebagaimana telah dijelaskan diatas, salah satu masalah yang dianggap menjadi bottlenecking dalam penyelesaian Perda RTRW daerah adalah permasalahan kehutanan. PP No. 15 Tahun 2010 sebagai salah satu PP yang diamanatkan dalam UU No. 26 Tahun 2007 diharapkan menjadi satu solusi de-bottlenecking permasalahan kehutanan ini. Ada 1 (satu) pasal dalam PP tersebut yang menjadi kunci yaitu pasal 3116. Pasal ini merupakan hasil perumusan dalam sidang pleno BKPRN pada tanggal 16 Februari 2010 di Kantor Kementerian Bidang Perekonomian yang dipimpin oleh Menteri Koordinator Bidang Ekonomi, dan dihadiri oleh sebagian besar menteri anggota BKPRN, termasuk Menteri Kehutanan. Selama ini, sebelum mekanisme perubahan fungsi kawasan hutan terselesaikan, Perda RTRW daerah belum dapat ditetapkan. Dengan adanya pasal 31 pada PP tersebut diharapkan permasalahan kehutanan dapat diselesaikan tanpa menghambat penyelesaian Perda RTRW, dimana penetapan Perda RTRW daerah tidak perlu menunggu penyelesaian perubahan kawasan hutan.
V.
PENUTUP
Dalam penyelenggaraan penataan ruang di Indonesia, pada saat ini isu penyelesaian Perda RTRW daerah menjadi agenda pembangunan nasional yang penting untuk diselesaikan, karena
61 PEMBANGUNAN-Velt 3 edisi Ke DUA.indd 61
dengan absennya RTRW sebagai acuan pembangunan di daerah memungkinkan terjadi berbagai macam konsekuensi, seperti mandegnya pembangunan karena Kepala Daerah enggan melakukan pembangunan termasuk mengeluarkan perijinan karena takut dengan adanya sanksi dalam UU No. 26 Tahun 2007, tidak adanya investasi yang masuk ke daerah karena investor pun ragu dengan ketidakpastian arah pembangunan, dan kerusakan lingkungan tak bisa dielakkan karena tidak ada batasan yang jelas dalam mengeksploitasi sumber daya alam yang tersedia. Oleh karena itu, beberapa alternatif upaya yang perlu dilakukan di bidang penataan ruang, terutama dalam rangka mempercepat penyelesaian RTRW daerah antara lain adalah sbb. Pertama, melakukan kebijakan terkait penyelenggaraan penataan ruang dalam lima tahun kedepan sebagai berikut: (1) Memasukkan penyelesaian RTRW daerah sebagai salah satu fokus untuk diselesaikan hingga akhir tahun 2010 melalui Instruksi Presiden (Inpres) No. 1 Tahun 2010 tentang Percepatan Pelaksanaan Prioritas Pembangunan Nasional Tahun 2010; (2) Memasukkan percepatan penyelesaian RTRW daerah sebagai salah satu inisiatif baru dalam penyusunan Rencana Kerja Pemerintah (RKP) 2011; dan (3) Memasukkan penyelesaian RTRW daerah sebagai salah satu kegiatan prioritas dalam Rencana Pembangunan Jangka Menengah Nasional (RPJMN) 2010-2014; Salah satu wujud upaya percepatan penyelesaian RTRW daerah ini adalah pemberian bantuan kepada Pemerintah Daerah dalam bentuk bimbingan teknis ataupun bantuan teknis penyusunan RTRWP dan RTRWK/K, dan penguatan kapasitas kelembagaan BKPRD di daerah. Kedua, melakukan sinkronisasi terhadap peraturan perundangan terkait penataan ruang, terutama sektor-sektor pengguna ruang. Dengan banyaknya sektor pengguna ruang yang masing-masing memiliki UU sebagai acuan pelaksanaanya, maka diperlukan inventarisasi peraturan perundangan masing-masing sektor tersebut dan inventarisasi data dan informasi tentang konflik antar sektor tersebut. Saat ini tercatat beberapa peraturan perundangan sektoral terkait dengan penataan ruang antara lain adalah UU No. 41 Tahun 1999 tentang Kehutanan, UU No. 27 Tahun 2007 tentang Pengelolaan Wilayah Pesisir dan Pulau-Pulau Kecil, UU No. 4 Tahun 2009 tentang Pertambangan Mineral dan Batubara, UU No. 32 Tahun 2009 tentang Perlindungan dan Pengelolaan Lingkungan Hidup, dan UU No. 41 Tahun 2009 tentang Perlindungan Lahan Pertanian Pangan Berkelanjutan. Ketiga, mendorong percepatan penyusunan peraturan pelaksana yang diamanatkan dalam UU No. 26 Tahun 2007, dimana pada saat ini baru ada 2 (dua) PP yaitu PP No. 26 Tahun
E D I S I 0 2 / TA H U N X V I / 2 0 1 0
5/12/2010 12:36:43 AM
2008 tentang RTRWN dan PP No. 15 Tahun 2010 tentang Penyelenggaraan Penataan Ruang. Beberapa Rancangan Peraturan Pemerintah (RPP) yang harus diselesaikan antara lain adalah RPP tentang Tata Cara dan Bentuk Peran Serta Masyarakat Dalam Penataan Ruang, RPP tentang Tingkat Ketelitian Peta Rencana Tata Ruang, RPP tentang Sumber Daya Alam, dan RPP tentang Penataan Ruang Kawasan Pertahanan.
15 Paparan Wamen PPN/Waka Bappenas, 10 Februari 2010. 16 PP No. 15 Tahun 2010 pasal 31 Ayat (1) Perubahan peruntukan dan fungsi kawasan hutan, serta penggunaan kawasan hutan berlaku ketentuan peraturan perundang-undangan di bidang kehutanan. Ayat (2) Perubahan peruntukan dan fungsi kawasan hutan serta penggunaan kawasan hutan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) selanjutnya diintegrasikan dalam perubahan rencana tata ruang wilayah. Ayat (3) Perubahan peruntukan dan fungsi kawasan hutan serta penggunaan kawasan hutan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dapat dilaksanakan sebelum ditetapkan perubahan rencana tata ruang wilayah sebagaimana dimaksud pada ayat (2).
Keempat, melaksanakan implementasi dari PP No. 15 Tahun 2010 tentang Penyelenggaraan Penataan Ruang, terutama yang berkaitan dengan pasal 31 yang diharapkan dapat menjadi debottlenecking permasalahan kehutanan. Diharapkan dengan dilakukannya upaya-upaya ini, penyelesaian Perda RTRW di daerah dapat dipercepat, sehingga daerah memiliki acuan legal dalam melaksanakan pembangunan demi penyelenggaraan penataan ruang yang lebih baik dan berkelanjutan.
DAFTAR PUSTAKA
Aswicaksana adalah Staf Perencana, pada Direktorat Tata Ruang dan Pertanahan, Bappenas.
Undang-Undang No. 41 Tahun 1999 tentang Kehutanan Undang-Undang No. 26 Tahun 2007 tentang Penataan Ruang Undang-Undang No. 39 Tahun 2009 tentang Kawasan Ekonomi Khusus Peraturan Pemerintah No. 15 Tahun 2010 tentang Penyelenggaraan Penataan Ruang Peraturan Presiden Nomor 5 Tahun 2010 tentang Rencana Pembangunan Jangka Menengah Nasional (RPJMN) 2010-2014 Instruksi Presiden No. 1 Tahun 2010 tentang Percepatan Pelaksanaan Prioritas Pembangunan Nasional Tahun 2010 Paparan Wamen PPN/Waka Bappenas mengenai Penyusunan Draft Inpres, 10 Februari 2010, Bappenas Rekapitulasi Monitoring Permohonan Konsultasi dan Persetujuan Substansi Raperda RTRW (Provinsi/ Kabupaten/Kota) di Indonesia ke Kementerian Pekerjaan Umum, 5 Januari 2010, Kementerian Pekerjaan Umum
Catatan : 1 2 2 4 5
6 7 8
9 10 11 12 13
14
UU No. 26 Tahun 2007 pasal 1 UU No. 26 Tahun 2007 pasal 3 UU No. 26 Tahun 2007, pasal 78 ayat (4)b UU No. 26 Tahun 2007, pasal 78 ayat (4)c Rekapitulasi Monitoring Permohonan Konsultasi dan Persetujuan Substansi Raperda RTRW (Provinsi/ Kabupaten/Kota) di Indonesia ke Kementerian Pekerjaan Umum, status 5 Januari 2010. UU No. 39 Tahun 2009 pasal 1. UU No. 39 Tahun 2009 pasal 4 Dalam Buku II RPJMN 2010-2014, Bab 9 Wilayah dan Tata Ruang, arah kebijakan dalam prioritas bidang penyelenggaraan penataan ruang adalah mewujudkan penyelenggaraan penataan ruang yang berkelanjutan dengan meningkatkan kualitas rencana tata ruang, mengoptimalkan peran kelembagaan, dan diacunya rencana tata ruang dalam pelaksanaan pembangunan. UU No. 26 Tahun 2007, pasal 19 UU No. 26 Tahun 2007, pasal 20 ayat (2) UU No. 26 Tahun 2007, penjelasan pasal 20 ayat (3) UU No. 26 Tahun 2007, pasal 69-73 RPJMN 2010-2014 terdiri dari 3 (tiga) buku, yaitu Buku I : Pencapaian Sasaran Prioritas Nasional, Buku II : Strategi Pembangunan Bidang, dan Buku III : Strategi Pengembangan Wilayah. UU No. 41 Tahun 1999 pasal 19
62 PEMBANGUNAN-Velt 3 edisi Ke DUA.indd 62
E D I S I 0 2 / TA H U N X V I / 2 0 1 0
5/12/2010 12:36:44 AM
kabaresemarang.com
Government policy on public infrastructure has always been of interest to academicians and economists. One of the primary factors that need to be considered in policy making related to infrastructure is the fiscal; in other words, how much financial support can the Government give to infrastructure development or how much can it allocate from the budget? Following the Asian financial crisis, for example, the Indonesian national budget plunged and the percentage of spending on infrastructure significantly decreased.
INDONESIAN INFRASTRUCTURE: CONDITION, PROBLEM AND POLICY
A study by the World Bank (Semmler, Greiner, Diallo, Rezai, & Rajaram, 2007) explores the effects of fiscal policy, including the composition of public expenditure, on economic growth. Their research reveals that the composition of public investment expenditure matters, as the gains of moving to the optimal allocation between public infrastructure, and education and health facilities are significant. They found that based on the model and the calibration exercise, a practical rule of thumb seems to be that about two-thirds of public investment should be directed towards public infrastructure that facilitates market production. The remaining third should be split more or less evenly between public investments in facilities that support
Moh. Mustajab
63 PEMBANGUNAN-Velt 3 edisi Ke DUA.indd 63
E D I S I 0 2 / TA H U N X V I / 2 0 1 0
5/12/2010 12:36:49 AM
Figure 1 shows that in both 1998 and 2003, Indonesian road infrastructure measured by road kilometers per land area is still behind that of Philippines, Mongolia, Vietnam, Brazil and India. However, Indonesia’s performance is slightly better than that of China, Cambodia and Thailand.
the provision of health and education. They argue that such a division of resources would maximize (per capita) income and welfare. This is due to the fact that the facilitation of market good production directly increases the availability of public resources, while the other two expenditure categories first have to permeate the economic system before affecting the availability of public resources and thus growth and utility.
Table 1 Comparative Infrastructure Indicators Indicators
In reality, the government has to consider many factors when making fiscal policy decisions, especially those related to public infrastructure investment. First, with a limited budget, it should use the money efficiently, keeping in mind the macro economic objectives of economic growth. Secondly, budget allocation policy is jointly determined with the House of Representatives or Parliament during budget formulation, and is, therefore, influenced by political agenda. A strong need to build infrastructure can put pressure on policy makers to invest in infrastructure; hence, to determine the need for new infrastructure or its rehabilitation, it is important to examine the condition of existing infrastructure.
East Asia and Pacific Average
Indonesia
Access to electricity (% of population)
53
Electric power consumption (kwh) per capita)
411
Lower Middle Income Countries
63
60
...
1,230
1,035
8,769
Improved water soure (% of population with access)
77
75
84
99
Improved sanitation facilities (% of population with access)
55
60
70
...
Total telephone subscribers per 100 inhabitants
27
28
39
...
Source: Private Participation in Infrastructure Database 2007, World Bank Figure 1 Road Kilometers per Land Area (km/km2)
This paper therefore provides a brief description of the current condition of infrastructure in Indonesia followed by a definition of the problem and a description of the policies that the government has adopted. It concludes with identifying the major remaining issues and problems in infrastructure development in Indonesia.
4.5 4
3.5 3
1998
4.1 4.1
3.6
3.6
3.5
3.2
2.5 2
1.5
1
1
0.9
2003
3.5
2.6
2.8 2.1
1.7 1.8
1.3
0.4 0.4
0.5
a di In
il az
m V
Br
iet
na
an
d
es in
Ph
ili
Th
pp
ail
ia
R
on go l M
In
La o
do ne
hi C
PD
na
a di bo C
1.1 National View of Infrastructure Condition
sia
0
Condition of Indonesian Infrastructure
am
1
OECD Average
Source: East Asia Pacific Infrastructure at a Glance, July 2005, World Bank
The easiest way to evaluate the condition of a country’s infrastructure is to compare its relative performance against others. Table 1 gives a view of the current condition of Indonesian infrastructure compared to the average level of infrastructure indicators in the region. By comparing the infrastructural levels in the region with those of a group of other countries [East Asia Pacific, Lower Middle Income and Organisation for Economic Cooperation and Development (OECD) countries], one can conclude that Indonesian infrastructure is still lagging behind.
Another land transportation mode that is also important for movement of people and goods is rail transport. Figure 2 shows that Indonesia’s rail network is better only than that of Cambodia and the Philippines Figure 2 Rail Network per 100 km2 of Land (2003) 25 19.8
20 15
2003
Table 1 compares Indonesia and groups of countries in the region on the various infrastructure parameters. A similar comparison can also be made with the growth status in a neighboring country or in countries at a similar stage of development. Figures 1 to 3 provide selected infrastructure indicators for comparison. It is clear that, in general, this country-to-country comparison also supports the argument that Indonesian infrastructure still lags behind the average in the region as shown in Table 1.
10 5
ia
3.9
In d
4.8
Br az il
ai la nd
ili pp in es
Ph
PD R La o
si a on e In d
go lia
0
Ch in a
Ca m bo di a
2.7
0.9
Vi et na m
2.2
Th
4.1
0
Source: East Asia Pacific Infrastructure at a Glance, July 2005, World Bank Nationally, Indonesia lags behind other neighboring countries’
64 PEMBANGUNAN-Velt 3 edisi Ke DUA.indd 64
2
M on
5
E D I S I 0 2 / TA H U N X V I / 2 0 1 0
5/12/2010 12:36:49 AM
performance in access to electricity. Figure 3 reveals that the percentage of households with electricity connection in Indonesia was only 55 percent in 2003, while other countries such as China, Mongolia, Philippines, Thailand, Vietnam and Brazil show much higher percentages of households connected to electricity, but Indonesia fares better than India, Lao PDR and Cambodia.
Length of Road Has Increased Significantly. In the transport sector, performance in road development can be seen from the total length of roads, with paved road surface having increased significantly from 2,146 km in 1968 to 216,109 km in 2003. At the same time, the total road length (including non-paved roads) has increased significantly from 8,269 km in 1968 to 370,516 km in 2003. Figure 5 tracks the growth from 1968 to 2003.
Figure 3 Households with Electricity Connection (%)
Figure 5 Length of Road by Type of Surface (km)
120
97 99
100
90
80 60 40
82 84
81
2003
43
250000
Paved Road
200000
Non Paved Total
100000 50000
In di a
il B ra z
tn am
V ie
Th a
ila nd
go lia Ph ili pp in es
R PD
M on
La o
es ia
In do n
C hi na
di a
350000
150000
0 C am bo
400000
300000
63
41 30
1317
20
72
67
55
79
1998
95
0
Source: East Asia Pacific Infrastructure at a Glance, July 2005, World Bank
1.2 Sector-based View of Infrastructure Condition Figures 4–7 and Tables 2–5 provide a brief overview of the infrastructure development in the energy, water supply, telecom, and transport sectors in Indonesia in recent years. Construction of Roads and Bridges is the biggest among other infrastructure projects from 2001 to 2004. In terms of the value of construction projects, spending on roads and bridges as compared to other infrastructure construction was by far the largest during 2001–2004, as presented in Figure 4. Construction in irrigation/drainage ranked second, followed by construction in electrical installation and electricity network. Figure 4 Value of Construction of Infrastructure Related Type (trillions Rupiah) 30.00
1968
Irrigation/Drainage
1978
1983
1993
1998
2003
Figure 6 Percentage of Villages Supported by Paved Roads 100 90 80 70 60 50 40 30 20 10 0
92 85
67
65
61
85
81
76 54
53
52
52
1994
1996
2000
2003
40 17
21
22
1980
1983
Paved main road
20.00
1988
Many Villages Are Still Not Supported by Paved Roads. Despite the positive performance with regard to road transport infrastructure, Indonesia still requires new investments, especially in rural areas, because only 52 percent of the villages have paved roads (2003). Figure 6 also shows that in terms of accessibility to four-wheel motor vehicles, 85 percent of the villages in Indonesia can be reached by car.
1976 25.00
1973
Source: Statistics during 60 Years Indonesian Independence, BPS
1990
Main road is accesible by 4 wheel vehicle
Source: Statistics during 60 Years Indonesian Independence, BPS
15.00
Road Density in Major Cities in Indonesia Is Still Low Compared to Cities in Other Countries. A comparison of the road conditions in big cities in Indonesia to that of roads in cities in other countries is presented in Figure 7. It shows that the road density of cities in Indonesia is far below that of cities in developed countries. While the road density of cities in the USA is 6.6 (in Australia it is 8.7 and in Europe 2.1) on an average, Jakarta’s road density is only 0.61 km per inhabitant. The figures are none too different for other big cities in Indonesia such as Bandung, Semarang and Surabaya.
10.00 R oa d a n d B r i dge W or k s 5.00 Electricity Network 0.00
Airport, harbor, bus station Electric Power Supply Irrigation/Drainage Road and Bridge Works Electricity Network Gas Pipe Installation Water Supply Network Sanitary Installation Water Supply Installation Electrical Installation
Electrical Installation
2001
2002
2003
2004
0.27
0.73
0.64
1.44
0.11
0.13
0.11
2.15
2.41
2.11
4.98
8.61
9.70
10.46
15.08
0.56
0.67
1.68
1.56
0.08
0.15
0.31
0.76
0.26
0.32
0.27
0.45
0.07
0.09
0.19
0.07
0.17
0.19
0.10
0.11
1.21
1.39
1.10
3.83
0.02
Source: Construction Statistics 2005, BPS
65 PEMBANGUNAN-Velt 3 edisi Ke DUA.indd 65
E D I S I 0 2 / TA H U N X V I / 2 0 1 0
5/12/2010 12:36:54 AM
Figure 9 Five-Year Growth Rate of Paved Road and Motor Vehicles (%)
Figure 7 Ratio of Length of Road (km) to Population (000) Cities in USA Cities in Australia Cities in Europe Tokyo Singapore Averages Other Districts Palembang Semarang Bandung Ujung Pandang Surabaya DKI Jakarta
6.6 8.7
200
2.1 1.9
150
1 0.77 0.38 0.29 0.36 0.96
100 50
0.36 0.61 0
1
0 2
3
4
5
6
7
8
9
10
Source: Land Transport Master Plan 2005, Directorate General of Land Transport, Ministry of Transportation Republic of Indonesia.
1968-1973 1973-1978 1978-1983 1983-1988 1988-1993 1993-1998 1998-2003
Paved Road
42
103
29
47
43
5
29
Car
52
75
61
24
58
63
40
Bus
53
94
174
141
47
10
27
Truck
55
135
113
24
30
37
29
132
179
108
31
36
72
58
92
145
101
32
39
63
52
Motorcycle Total Vehicle
Source: Statistics during 60 Years of Indonesian Independence National Roads Are Mostly in Sound Condition; Provincial Roads Are Less Well Maintained and District Roads Are Mostly in Poor Condition. As shown in Figure 8, 28 percent of all national roads were in good condition in 2006, while 54 percent were in moderate condition. A different situation exists when it comes to provincial roads. Roads in good condition totaled 11 percent, while 43 percent were in average condition. District or “Kabupaten” roads were mostly in poor condition, and more than half of the existing network had heavy or light damage. This situation implies that in the future, more rehabilitation is required to improve road quality especially district road quality.
Table 2 Toll Roads in Operation (2008) Table 2 Toll Roads in Operation (2008)
Location Toll Road (Province) Toll Roads Managed by Jasa Marga (SOE) Jagorawi Jakarta, West Java Jakarta–Tangerang Jakarta, Banten Surabaya–Gempol East Java Jakarta–Cikampek Jakarta, West Java Padalarang–Cileunyi West Java Prof. Dr. Sedyatmo Jakarta Lingkar Dalam Kota Jakarta Jakarta Belmera North Sumatera Semarang Section A, B, C Central Java Ulujami–Pondok Aren Jakarta Cirebon–Palimanan West Java JORR W2 Selatan (Pondok Pinang– Veteran) Jakarta * JORR E1 Selatan (Taman Mini - Hankam Raya) Jakarta * JORR E2 (Cikunir–Cakung) Jakarta * Cikampek–Padalarang (Tahap I) West Java Cikampek–Padalarang Tahap II West Java JORR E1-3, W2-S, E3, E1-4 Jakarta * Sub Total Toll Roads Managed by a Private Company Tangerang–Merak Banten Ir. Wiyoto Wiyono, MSc. Jakarta Surabaya–Gresik East Java JORR S (Pondok Pinang–Taman Mini) Jakarta * Harbour Road (Pluit–Ancol - Jembatan Tiga) Jakarta Ujung Pandang Tahap I South Sulawesi Serpong–Pondok Aren Jakarta SS Waru–Bandara Juanda East Java Sub Total Grand Total
Increasing Road Congestion. The total length of roads has increased over time. However, the growth of paved roads has not kept pace with the growing number of motor vehicles. Figure 9 shows that growth in the total number of vehicles surpassed growth of paved road in every period, with the exception of 1983–1988. For the five-year period from 1998 to 2003, paved roads increased by 29 percent or 5.8 percent annually, while the total number of vehicles increased by 52 percent or 10.4 percent annually. It was very likely that this situation would induce road congestion, especially in major cities like Jakarta and Bandung, which were already well known as cities with traffic-jam problems. 100%
11.1
80% 70% 60%
53.8
50% 40% 30% 20%
27.8
10% 0%
National Road * Good (%)
Average (%)
28.6 17.4
43.2
26.6
10.8 Provincial Road Light Damage (%)
1978 1983–1998 1984 1985 1986 1986 1988 1989–1996 2003 2003 1990
2.4
1991
5.3 9.07 17.5 41 14.69 515.51
1998 2001–2003 2003–2004 2004–2005 2005–2007
73 15.5 20.7 14.25
1983–1996 1990 1993–1996 1995–1996
11.55 6.05 7.25 12.8 161.1 676.61
1995–1996 1998 1999 2006–2008
Development of toll roads (highways) in Indonesia began in 1978. To date, the rate of progress in the development of toll roads has been slow. Currently, there are approximately 677 km of toll roads in operation, 515 km being operated solely by Jasa Marga (a state-owned enterprises) and the rest by private enterprises. Table 2 lists the toll roads in operation in 2008.
20.2
Infrastructure in the Water Sector. The growth of infrastructure in the water sector is still behind what other countries have achieved. Among the 11 countries listed in Table 3, Indonesia ranks seventh. Based on the data, in Indonesia, 78 percent of the population has access to improved water while only 55 percent of population has access to improved sanitation.
District Road Heavy Damage (%)
Note: * Not including Jakarta Source: Ministry of Public Works
66 PEMBANGUNAN-Velt 3 edisi Ke DUA.indd 66
59 33 49 83 64.4 14.3 23.55 42.7 24.75 5.55 26.3
Source: Badan Pengatur Jalan Tol (BPJT), 2008
17.4
35.8
Open to Traffic
Some stretches of the Jakarta Outer Ring Road construction extend into the neighboring area (which is part of West Java Province) ** Some stretches of the Jakarta Outer Ring Road construction extend into the neighboring area (which is part of West Java Province)
Figure 8 Condition of Road Network, 2006
90%
Length (km)
E D I S I 0 2 / TA H U N X V I / 2 0 1 0
5/12/2010 12:36:55 AM
Figure 10 Total Number of Fixed Telephone Lines
Table 3 Percentage of Population with Access to Water and Sanitation Infrastructure
Table 3 Percentage of Population with Access to Water and Sanitation Infrastructure (%) Population with access to Improved Water
(%) Population with access to Improved Sanitation
100 100 92 85 84 84 78 77 77 75 60
100 100 63 83 96 28 55 94 47 38 30
Australia Singapore Korea Philippine Thailand India Indonesia Sri Lanka Vietnam China Mongolia
9000000 8000000 7000000 6000000 5000000 4000000 3000000 2000000 1000000 0 1993
Source: World Bank (2004) One source of clean water is a piped water source. Distribution of clean piped water in urban areas is the responsibility of about 314 municipal water supply companies Perusahaan Daerah Air Minum (PDAM) under the ownership/jurisdiction of local governments. In Jakarta and Batam, concessions for water supply have been awarded to the private sector. The PDAM supply water to customers through house connections. Their distribution in urban areas was estimated at 32 percent and in rural areas at 8 percent in 2005 (Coordinating Ministry for Economic Affairs, 2006). Table 4 shows PDAM’s performance based on various indicators. While Table 3 presents the population with access to improved water, Table 4 presents coverage from piped water. (Improved water can also come from other sources such as pumps, springs, wells, etc.).
1996
1997
1998
1999
2000
2001
2002
2003
Figure 11 Cellular and Fixed-Line Subscribers per 100 People 45
39
40 35 30
27
Cellular 2003 Fixed 1998 13
15
Table 4 Water Production and Coverage of Water Enterprise Table 4 Water Production and Coverage of(PDAM) Water Enterprise (PDAM)
10 5
1
0
2005 105,000 lt/dt 83,700 lt/dt 5.5 millions 32% (33 million people) 8% (8 millions people)
Cellular 1998
21 21
20
2002 95,000 lt/dt 80,750 lt/dt 4.5 millions 39% (33 millions people) 8% (10 millions people)
1995
Despite the rapid growth, telecommunications infrastructure in Indonesia still needs to be enhanced when compared with the achievements of other countries in the region. Figures 11 and 12 give a view of the benchmarks. Cellular and fixed-line subscribers per 100 people in Indonesia are still low in numbers compared to China, the Philippines and Thailand.
25
Installed production Capacity Used production Capacity Number of connections Urban coverage Rural coverage
1994
Source: Statistics during 60 Years Indonesian Independence
4
9
7 0 0
Cambodia
2
1
China
3 4
0
Indonesia
2 1 1
Lao PDR
1
4
6
8 2
3 4
Fixed 2003
10
3
0
Mongolia Philippines Thailand
3 2
5
Vietnam
Source: EAP infrastructure at a glance, July 2005, World Bank Another indicator of infrastructure in the telecommunications sector is internet users per 100 people. As presented in Figure 12, the number of internet users per 100 people in Indonesia is still below that of China, Mongolia, the Philippines, Thailand and Vietnam.
Source: BPP SPAM, 2005 cited in Coordinating Ministry of Economic Affairs (2006)
Rapid Growth in the Telecommunications Sector. Figure 10 shows that the total number of fixed telephone lines substantially increased between 1993 and 2003. During the Asian financial crisis in 1997–1998, the total number of fixed telephone lines dropped, but there was a reversal in 1999. Cellular telephone communications, on the other hand, increased even more rapidly, as presented in Figure 11 While in 1998, in Indonesia, cellular phone subscription was 1 per 100 people, in 2003 the number became 9 per 100 people.
Figure 12 Internet Users per 100 People 12.0
11.1
10.0 8.0 6.3
1998
5.8
6.0
4.4
3.8
4.0 2.0
1.1 0.0 0.2
0.2
0.2
0.0 0.3
4.3
2003
0.8
0.1
0.0
0.0 Cambodia
China
Indonesia
Lao PDR
Mongolia
Philippines
Thailand
Vietnam
Source: EAP infrastructure at glance, July 2005, World Bank Growth of the Energy Sector after the Economic Crisis has been Stagnant. Electricity generation capacity increased
67 PEMBANGUNAN-Velt 3 edisi Ke DUA.indd 67
E D I S I 0 2 / TA H U N X V I / 2 0 1 0
5/12/2010 12:37:00 AM
While 99 percent of the villages in Jakarta and 82 percent in Yogyakarta are connected to electrical grids, only 30 percent of the villages in East Nusa Tenggara have access. Figures 15 to 17 provide an overview of the percentage of villages that have access to electricity, piped water and paved roads. The imbalance in access to infrastructure extends also to water supply and road infrastructure.
significantly from 1945 to 1998 as shown in Figure 13. However, following the economic crisis in 1998, it was almost stagnant until 2004.
25000
Figure 13 Electricity Generation Capacity (MW)
20000
Figure 15 Percentage of Villages with PLN Electricity
15000 10000 5000 0
1945 1955 1965 1975 1985 1990 1995 1997 1998 1999 2000 2001 2002 2003 2004
Note: Electricity produced by state electricity company (PT. PLN)
Source: Statistics During 60 Years of Indonesian Independence, BPS
Source: Village Potential Statistics 2005, BPS
Figure 14 Percentage of Villages with Access to Electricity 90 80
80
81
2000
2003
Figure 16 Percentage of Villages with Piped Water
70
70
61
60 50
41
40 30 20
15
13
19
10 0 1976
1980
1983
1990
1994
1996
Source: Statistics during 60 Years of Indonesian Independence, BPS
Source: Village Potential Statistics 2005, BPS
The percentage of villages having access to electricity rose rapidly during the development program Listik Masuk Desa— Electricity enters the village— from 13 percent in 1976 to 80 percent in 2000. However, from 2000 to 2003, growth was stagnant at about 1 percent, bringing the percentage of villages covered by electricity to 81 percent. In this regard, Figure 14 is in line with Figure 13.
Figure 17 Percentage of Villages with Asphalt Road
1.3. Regional View of Infrastructure Since Indonesia is an archipelago, it is interesting to see how the distribution of infrastructure delivery varies across the provinces. Table 5 and Figures 15 to 17 provide an overview of the infrastructure from a spatial distribution perspective.
Source: Village Potential Statistics 2005, BPS Railway Infrastructure Operates in Java and Sumatra. Table 5 shows that a railway network exists only in Java and Sumatra. Of the railway networks in operation, 71 percent, or 3,327 km, are in Java and the rest, totaling 1,348 km, operate in Sumatra.
There is an Imbalanced Distribution of Infrastructure. Villages in Java and Bali have better access to electricity and road infrastructure compared to other regions in the country.
68 PEMBANGUNAN-Velt 3 edisi Ke DUA.indd 68
E D I S I 0 2 / TA H U N X V I / 2 0 1 0
5/12/2010 12:37:00 AM
Railway Network in Java, Madura and Sumatra Table 5 Railway Network in Java, Madura and Sumatra
Java Sumatra Total
In Operation 3,327 1,348 4,675
Despite a significant percentage of the road construction being undertaken in Jakarta, amounting to 8.9 percent of the total value of road construction in Indonesia, its share of road construction in the total value of all construction is quite low, approximately only 12.6 percent. This is mainly because of the high proportion of non-residential building construction in Jakarta.
Not in Operation 1,610 * 512 2,122
* Including Madura
Source: Ministry of Transportation, 2006
Ministry of Transportation, 2006 ng Madura
The percentage of cement consumption further reinforces the unequal distribution of value of construction across the provinces. Figure 20 shows the percentage of cement consumption from each province as against the national consumption for the period from January to September 2007. Cement is mostly consumed in the Java provinces. However, it is also important to note that approximately 60 percent of the population lives in Java.
Imbalanced Distribution of Location of Construction. Another indicator of the distribution of investment in infrastructure is a study of the value of construction in roads and bridges. Figures 18 and 19 indicate that the value of road and bridge construction is disproportionate. In 2004, the value of road construction in West Java accounted for 28 percent of the total roads and bridges constructed in all provinces. Figure 18 Value of Road and Bridge Construction (billions Rupiah)
Figure 20 Percentage of Cement Consumption— Provincial as against National Consumption (January– September 2007)
Source: Construction Statistics 2005, BPS Source: Indonesia Cement Association
Figure 19 Value of All Construction (billions Rupiah)
2
The previous section (1) shows that Indonesia faces infrastructure deficiencies. Despite substantial achievements since the 1970s, Indonesia has faced a number of significant, additional challenges. The study identifies the problem from three perspectives: (1) financial resources in regard to low and slowing investment in infrastructure, (2) regulations and institutional framework in regards to policy making and (3) rules of investment and the decentralization issue in regard to changing responsibility of infrastructure development. Those three problems are described below.
Source: Construction Statistics 2005, BPS
Note: All/Total infrastructure includes residential and nonresidential buildings, electrical installation, water supply installation, sanitary installation, foundation, sound system, etc., water supply network, gas pipe installation, electricity network, road and bridges works, irrigation/drainage, electric power supply, construction or improvement of airport, harbor, bus station, etc., and others.
69 PEMBANGUNAN-Velt 3 edisi Ke DUA.indd 69
Defining the Problem
2.1 Financial Resources and Capacity The level of infrastructure is influenced by how much the government invests in infrastructure. The deficiencies in Indonesian infrastructure can be partly traced to the Asian financial crisis. Following the crisis, many projects that
E D I S I 0 2 / TA H U N X V I / 2 0 1 0
5/12/2010 12:37:06 AM
Table 6 Comparative Infrastructure Investment to GDP (%) for 2005
depended on both public and private investment were cancelled. The data on public spending on infrastructure alone reveals that the spending dropped from approximately 7.98 billion USD in 1994, when its share accounted for 57 percent of the total development spending from the central government’s budget, to less than 1.5 billion USD in 2000, which is approximately 30 percent of the government’s total development spending (World Bank, 2004). This means that not only did the nominal value of public spending drop, but the proportion to total public expenditure also decreased. Figure 21 shows the proportion of infrastructure spending in the central government’s development budget.
0–3 % Cambodia Indonesia Philippines
4–7 % Lao PDR Mongolia
Over 7 % China Thailand Vietnam
Source: World Bank (2005) The low level of public investment in infrastructure can be linked to fiscal capacity and fiscal policy. First, the economic crisis decreased the capacity of the fiscal budget to support infrastructure development. Second, the proportion of infrastructure in the development expenditure is not high. Figure 23 shows that a sector categorized as trade, national business development, and finance and corporate (including debt services and subsidies) invites the biggest proportion of public spending. This is mainly due to the high proportion of subsidies and debt services or repayments. Infrastructure is ranked fourth after the education and government apparatus and the supervision sectors.
Figure 21 Central Government’s Development Spending (billion USD)
16 14 12 10 8 6 4
Infrastructure
Figure 23 Sector Distribution of Public Expenditure (trillion Rupiah, at constant 2000 prices)
2 Infrastructure
0 1994
2000
400
Source: World Bank (2004)
350
The ratio of public infrastructure to GDP has decreased from 5.34 percent in the fiscal year 1993/1994 to a mere 2.33 percent in 2002. As shown in Figure 22, the ratio of public infrastructure investment to GDP displays a negative trend.
300
Infrastructure
250 Govt. Apparatus & Supervision 200 Education
150
100
Figure 22 Ratio of Public Infrastructure Investment to GDP (%)
0 Mining Manpower Sector
6 5
Environmental Agriculture
5.34
Health Others
4.39
Defense & Security Infrastructure
4.1
4
Govt. Apparatus & Supervision
3.53 3.13
3.12
3
Trade, Nat. Bus. Dev., Finance
50
Education Trade, Nat. Bus. Dev., Finance
2.78
2001
2002
2003
2004
2005
0.6
0.6
0.7
0.8
0.9
0.6
0.9
1.3
1.2
1.1
2
2.3
2.8
2.4
6.3
6.8
9
8.7
8.6
2.8
9.3
9.8
13.4
14
15.9
20.9
23.3
22
21.9
20.6
16.5
19.1
24.2
24.6
24.8
32.4
31.5
43.3
32.7
31.7
31.3
42.7
42.6
45.3
40.5 192.8
43.1 133
54.3 126.3
48.8 151.1
52.9 167.2
38.8
Source: World Bank (2007)
2.33
2 1
2.2. Regulation and Institutional Framework
0 1993/1994 1994/1995 1995/1996 1996/1997 1997/1998 1998/1999
2000
2002
Source: Bappenas (2003)
Despite the problem of the budget being negatively affected by the economic crisis, this study argues that the problem does not arise merely from inadequate financial resources. While the government has recognized the need for infrastructure investment, at the same time it has fiscal constraints; therefore, one choice might be to seek private participation in infrastructure.
Compared to other countries, the ratio of infrastructure investment to GDP is quite small, much lower than that of China, Thailand and Vietnam. Table 6 provides a brief comparison to other countries like Cambodia, the Philippines, Lao PDR, Mongolia, China, Thailand and Vietnam. The decreasing ratio of infrastructure to GDP and the comparative rates for other countries may be an indication that the Indonesian government invests too little in infrastructure.
70 PEMBANGUNAN-Velt 3 edisi Ke DUA.indd 70
E D I S I 0 2 / TA H U N X V I / 2 0 1 0
5/12/2010 12:37:06 AM
Table 2 has already established that the growth of toll roads operated by private investors is quite slow—only 161 km of toll roads have been built and operated during 1983–2008. In this respect, the government faces the challenge of stimulating more private investment in infrastructure like toll roads. To attract private participation in investment in infrastructure, certain conditions have to be met, for which reforms are needed— reforms that would make infrastructure services more competitive and provide strong and independent economic regulation of natural monopolies. This would help create an environment more conducive to private-sector participation in infrastructure investments, efficiency savings that can be passed on to consumers, and provide better services (Alexander & Estache, 2000). In addition, Kirkpatrick, Parker, & Zhang (2006) found that FDI in infrastructure responds positively to the existence of an effective regulatory framework that provides regulatory creditability to the private sector. Taking the toll road sector as an example, in the past, infrastructure projects involving private-sector participation were developed in the absence of an overall national development framework and clear procurement guidelines. The process of undertaking toll road projects in cooperation with the private sector suffered from the lack of clear and comprehensive rules for procurement. To address this problem, the government issued Presidential Decree number 7 in January 1998 entitled “Cooperation between the Government and Private Enterprise for Development and/or Management of Infrastructure” (Ministry of Public Works, 2001). It is believed that bringing more private sector participation into the economy could improve the situation by creating competition. However, in the case of infrastructure industries, simply moving a monopoly from the public to the private sphere will not result in competitive behavior. A key requirement for the success of privatization then becomes the effectiveness of the regulatory regime in promoting competition or in controlling the anti-competitive behavior of dominant firms (Kirkpatrick et al., 2006). Another challenge faced by the Indonesian government, especially after the economic crisis, is related to coordination among institutions in infrastructure policy. Policy making in infrastructure generally requires considerable policy coordination among government agencies. Policy coordination will also have to evolve with a redefined framework and a strategy for infrastructure development. Much of the challenge the government faces in coordinating infrastructure reflects balances that need to be struck among different functions—between planning and financing, infrastructure and overall fiscal sustainability. When these functions are spread across separate agencies, the challenge becomes more difficult (World Bank, 2004, 2005).
Following the decentralization policy, there has also been a decentralization of responsibilities in infrastructure development. The central government has to share its authority and responsibilities for infrastructure development with local governments. This has become a new challenge that the government faces in infrastructure policy making. In a new era of decentralization, local governments play a greater role than before in regional infrastructure development and policy. However, the new system also creates new problems. In land transport infrastructure, for example, problems associated with decentralization are related to investment, rehabilitation and assets maintenance of the infrastructure. There has been a trend for regional governments not to provide enough budget for infrastructure maintenance and rehabilitation (Bappenas, 2003; Ministry of Transportation, 2005). According to a recent World Bank report (2007), decentralization has had an impact on infrastructure development. Local governments spend mainly on social sectors and their own administrations. The center continues to spend substantial amounts on local functions, particularly on health and education and, as a result, allocates fewer resources for large-scale infrastructure projects. In addition, public enterprises that have been transferred to local governments, particularly municipal water supply companies (PDAM), have become insolvent.
3. Policies Adopted Government policies on infrastructure have been evolving since Indonesian independence and the effort to develop the country through systematic planning. The evolution of government policies related to infrastructure development has been summarized in Table 7.
71 PEMBANGUNAN-Velt 3 edisi Ke DUA.indd 71
2.3. Decentralization of Responsibilities
E D I S I 0 2 / TA H U N X V I / 2 0 1 0
5/12/2010 12:37:11 AM
and less on multi-sector discussions, and directed program and project decisions in an effort to improve efficiency. In 1999, under the first ‘reform’ government of President Abdurrahman, with strong public allegations and pressures from other agencies, the role and existence of Bappenas was questioned. In the prevailing atmosphere of uncertainty, there was a hiatus in policy, strategic planning and program level of coordination in planning and budgeting.
In the old order regime, infrastructure was developed by direct macro allocations of funds to ministries. The progress of infrastructure development was relatively slow. A new regime called the new order regime (orde baru) initiated a five-year development plan for the country. Under the new system, the National Development Planning Agency (Bappenas) is responsible for drafting the five-year development plan (Repelita). Infrastructure policy is one of the main elements in the plan.
Table 8 The Evolution of PPP
In the 1970s, infrastructure planning was at the core of economic and social development planning. To create more effective planning, a matching capacity to Bappenas was developed in the Provinces, and in the 1980s in local government. In the 1980s, despite the growth in infrastructure development, high industrial growth and rapid urbanization, infrastructure development increasingly lagged behind demand.
Period
Policy
1980s
Lack of framework to bid under, post-bid negotiations as tortuous as for unsolicited investments. The stumbling blocks chiefly in assurances of tariff adjustments. The involvement of special interests on the investors’ side were a key part of the investors’ willingness to trust the future government processes.
Late 1990s
Competition in toll roads; special interests otherwise still strong; resultant contingent liabilities a serious concern in power. Beginnings of comprehensive frameworks in some sub-sectors and a crosssectoral umbrella framework. Progress renewed after the crisis but requires a high-level policy base, especially for guarantees or subsidies to match more independent regulation.
Table 7 Evolution of Infrastructure Policy Making, Planning and Funding Processes
Table 7 Evolution of Infrastructure Policy Making, Planning and Funding Processes Era
Period
Policy
The Old Order Government
Up to mid1960s
Direct macro allocations of funds to Ministries, narrow and slow infrastructure progress
The New Order Government
Late 1960s
Think tank to develop plans on a cross-sectoral basis—the National Development Planning Agency—set up with strong Presidential authority to technocrats to prepare integrated overall economic and fiscal envelopes, a rational plan for stabilization and five-year development plans, budgets and the development projects
Source: Slide Presentation by Bambang Bintoro and Chris Summers to Joint Study on Infrastructure Development in East Asia, Second Regional Workshop, Bali, Indonesia, 27–29 June 2004, ADB. Retrieved on December 14, 2008 from http://www.adb.org/Documents/Events/2004/ Infrastructure_Development/Second-Workshop/Bintoro-Summers.pdf
Following the worldwide trend of private participation in infrastructure and increased infrastructure investment, the Indonesian government initiated the PPP policy in the 1980s. The policy has been remarkably important to enhance infrastructure provision in the economy. Table 8 provides a short description of the evolution of the PPP policy. Initially, the policy in the 1980s still lacked a sound framework. To address this issue, a new policy with a more comprehensive framework that encouraged competition was adopted in the late 1990s.
Concentrating on selected key economic and social objectives, until progress allowed a broadening of priorities 1970s
Matching capacity to Bappenas was developed in the Provinces and in the 1980s in local government. Infrastructure planning was at the core of economic and social development planning.
Mid- to late 1980s
Success enabled move to holistic integrated approaches; complexity, scale, participation numbers, the needed rate of progress, the vying viewpoints of diverse interest groups becoming a challenge 11% to 12% pa industrial growth and rapid urbanization increased the infrastructure lag behind latent demand
Economic Crisis and Reformation Era
Fast 1990s
Bappenas, relying more on single-sector discussions and less on multi-sector discussions, directed program and project decisions in an effort to improve efficiency. Close presidential and state secretariat monitoring kept tight coordination
1998 onwards
Under the first ‘reform’ government of President Abdurrahman, with strong public allegations and pressures from other agencies, Bappenas’ role and existence was questioned. In the atmosphere of uncertainty, there was a hiatus in policy, strategic planning and program-level of coordination in planning and budgeting
The impact of the policy related to PPP—the result of private investment in infrastructure—can be seen in Figure 24. Private investment was increasing in the 1990s just before the economic crisis in late 1997 and 1998. During the economic crisis, private investment went down dramatically. Figure 24 Private Investment in Infrastructure 1990 - 2007 (US$ million) 4000
Energy
3500 3000
Source: Slide Presentation by Bambang Bintoro and Chris Summers to Joint Study on Infrastructure Development in East Asia, Second Regional Workshop Bali, Indonesia, 27–29 June 2004, ADB. http://www.adb. org/Documents/Events/2004/Infrastructure_Development/ SecondWorkshop/Bintoro-Summers.pdf (Retrieved on December 14, 2008)
Energy
2500
Telecom
2000
Transport
1500
Water and sewage
1000 500
As one of the main institutions for infrastructure policy making, Bappenas changed its role in 1998 after the reformation era. During the 1990s, Bappenas played an important role. At that time, for infrastructure planning, it relied more on single-sector discussions
0
1990 1992 1994 1996 1998 2000 2002 2004 2006
Source: PPI Database, World Bank
72 PEMBANGUNAN-Velt 3 edisi Ke DUA.indd 72
Telecom
E D I S I 0 2 / TA H U N X V I / 2 0 1 0
5/12/2010 12:37:12 AM
During the economic crisis, the government focused on prioritizing the restructuring of the finance and banking sectors and the social safety net programs. With this focus and the fiscal capacity constraints, infrastructure development decreased. After the economic recovery, there was an effort to revitalize infrastructure investment, especially from the private sector. However, there were some obstacles hindering investment in infrastructure. Under the new government elected in 2004, infrastructure issues regained policy attention and have become one of the government priorities on the policy agenda. There was also an effort to accelerate infrastructure provision. The government established The National Committee for the Acceleration of Infrastructure Provision (KKPPI/ Komite Kebijakan Percepatan Penyediaan Infrastruktur) to coordinate the activities. Parallely, there was an effort to introduce reform in infrastructure policy. The government’s reform program in the medium term was undoubtedly radical. It consisted of three elements: structural reform of public enterprises, decentralization of responsibilities and redefining the role of government in many sectors (Coordinating Ministry for Economic Affairs, 2006).
Second, there is an imbalance in infrastructure growth among the provinces. To this extent, the government has to pay more attention to developing infrastructure from the view of regional basis. Further, there is an important issue in relation to regional development policy and infrastructure policy. Special attention should be directed towards an interplay of spatial and infrastructure development policy.
Moh. Mustajab adalah Perencana Muda, pada Direktorat Perencanaan Makro, Bappenas.
References
The first component dealt with structural reform of public enterprise, including the SOEs and Regional-Owned Enterprises (ROEs)—these enterprises were to be incorporated and then run on commercial principles using modern management and financial techniques. The government’s eventual aim was to privatize the SOEs (and ROEs) at the appropriate time. The second component tackled the large-scale decentralization process. The government sought to improve the process of fiscal transfers from the center, promote inter-regional cooperation, improve the institutional capacity of the regional governments and agencies, and prevent local government from imposing unnecessary regulations or inappropriate taxes and levies. Thirdly, the government wanted to complete the process of re-defining the role of the government for many sectors. This process has been initiated but much work remains to be done.
4. Remaining Issues The policies and efforts described have been made by the government to tackle the problems in infrastructure development. Despite some achievements, there are a few lacunae. First, even though the need of building more infrastructures has been realized, the decision and finally construction of infrastructure is not easy. Even though institutional coordination among
73 PEMBANGUNAN-Velt 3 edisi Ke DUA.indd 73
government agencies has been arranged and regulatory reform launched, speeding up infrastructure decision has not automatically resulted. In this respect the researcher argues that the decision-making process with regards to infrastructure is getting more complex in the new environment with multi-actor involvement and balanced power.
Alexander, I., & Estache, A. (2000). Infrastructure restructuring and regulation: Building a base for sustainable growth. World Bank Policy Research Working Paper No. 2415. Bappenas. (2003). Infrastruktur Indonesia: Sebelum, Selama dan Pasca Krisis. Jakarta: Bappenas. Coordinating Ministry for Economic Affairs. (2006). Recent Developments in Indonesia’s PSP Framework. Jakarta: Coordinating Ministry for Economic Affairs. Kirkpatrick, C., Parker, D., & Zhang, Y.-F. (2006). Foreign direct investment in Infrastructure in developing countries: Does regulation make a difference? Transnational Corporations, 15(1), 143–172. Ministry of Public Works. (2001). Technical Advisory Services for Sub Directorate of Toll Roads Directorate of Infrastructure Network Systems. Jakarta: Ministry of Public Works. Ministry of Transportation. (2005). Masterplan Transportasi Darat. Jakarta: Ministry of Transportation. Semmler, W., Greiner, A., Diallo, B., Rezai, A., & Rajaram, A. (2007). Fiscal policy, public expenditure composition, and growth theory and empirics. World Bank Policy Research Working Paper 4405. World Bank. (2004). Averting an Infrastructure Crisis: A Framework for Policy and Action. Washington DC: World Bank. World Bank. (2005). Connecting East Asia: A New framework for Infrastructure. Manila: Asia Development Bank. World Bank. (2007). Spending for Development: Making the Most of Indonesia’s New Opportunities. Indonesia Public Expenditure Review 2007. Washington DC: World Bank.
E D I S I 0 2 / TA H U N X V I / 2 0 1 0
5/12/2010 12:37:17 AM
ABSTRAK Pendidikan menengah kejuruan yang diselenggarakan oleh Pemerintah dalam bentuk Sekolah Menengah Kejuruan (SMK) bertujuan untuk menciptakan tenaga kerja terampil siap pakai yang berkualitas. Dengan slogan “SMK Bisa!” Pemerintah berupaya meningkatkan minat lulusan pendidikan menengah untuk memilih SMK sebagai pendidikan lanjutannya.
TINJAUAN PENDIDIKAN MENENGAH KEJURUAN DALAM ASPEK KETENAGAKERJAAN INDONESIA
Tulisan ini akan meninjau kembali kondisi SMK dan kondisi tenaga kerja lulusan SMK berdasarkan data-data sekunder. Selanjutnya, analisa dilakukan terhadap keduanya untuk menghasilkan usulan terhadap fokus pengembangan SMK ke depan dalam hal akses, kualitas, dan dukungan kemitraan Dunia Usaha/Dunia Industri. Diharapkan upaya Pemerintah tidak hanya menciptakan pengangguran terdidik yang semakin banyak namun sebisa mungkin mendekatkan lulusan dengan kebutuhan pengguna tenaga kerja.
PENDAHULUAN Penguasaan teknologi yang disertai dengan manajemen dan pemanfaatan sumber daya manusia yang tepat sangat penting untuk meningkatkan daya saing dalam rangka menapaki era globalisasi. Dunia pendidikan sebagai salah satu bidang utama
Suprapto Budinugroho
74 PEMBANGUNAN-Velt 3 edisi Ke DUA.indd 74
E D I S I 0 2 / TA H U N X V I / 2 0 1 0
5/12/2010 12:37:17 AM
Melalui slogan “SMK Bisa!”, Pemerintah berusaha mendorong minat siswa lulusan pendidikan dasar (SMP/sederajat) untuk melanjutkan pendidikan ke Sekolah Menengah Kejuruan (SMK) dalam rangka memperbesar proporsi siswa SMK terhadap keseluruhan siswa jenjang pendidikan menengah. Hal ini dilatarbelakangi kemampuan SMK untuk menciptakan lulusan yang siap kerja sehingga diharapkan ketersediaan tenaga kerja terampil tingkat madya dapat ditingkatkan secara signifikan. Serangkaian upaya yang dilakukan Kementerian Pendidikan Nasional (Kemendiknas) telah berhasil meningkatkan proporsi siswa SMK terhadap seluruh siswa jenjang pendidikan menengah dari sebesar 30 persen pada tahun 2004 menjadi sekitar 49 persen pada tahun 2009 dan rencananya akan terus meningkat sampai dengan 67 persen pada tahun 2014 (Rencana Strategis-Renstra Kemendiknas 2010-2014). Sekolah Menengah Kejuruan (SMK) merupakan salah satu jenis pendidikan menengah atas yang sangat populer belakangan ini. Hal ini tidak lepas dari program pemerintah mendorong perkembangan SMK di Indonesia sehingga SMK merupakan satu pilihan yang tepat bagi para lulusan SMP dalam mempersiapkan tenaga kerja terampil di tingkat madya. Salah satu program dan kebijakan pemerintah adalah kebijakan Depdiknas yang terusmenerus meningkatkan cakupan siswa SMK sehingga diharapkan dapat mencapai proporsi dominan dengan perbandingan jumlah murid SMK-SMU sebesar 70:30 di tahun 2014. Di samping itu, pemerintah juga berupaya memperkuat kualitas pendidikan menengah kejuruan melalui peningkatan ketersediaan sarana dan prasarana. Selanjutnya, untuk meningkatkan minat dan kebanggaan siswa untuk melanjutkan pendidikan ke SMK, pemerintah melakukan sosialisasi dan promosi pendidikan menengah kejuruan salah satunya melalui slogan “SMK Bisa!” Peningkatan relevansi pendidikan menengah sangat terkait dengan kualitas penyelenggaraan pendidikan kejuruan, baik yang diselenggarakan oleh pemerintah maupun masyarakat. Kualitas penyelenggaraan sangat terkait dengan ketersediaan sarana dan prasarana, serta ketersediaan instrumen magang (internship) yang tidak bisa semuanya dilakukan pemerintah sehingga membutuhkan kemitraan dengan masyarakat dan dunia usaha.
75 PEMBANGUNAN-Velt 3 edisi Ke DUA.indd 75
KONDISI SMK DI INDONESIA
SMK merupakan bentuk pendidikan menengah kejuruan yang secara spesifik mengajarkan peserta didiknya ilmu dan pengetahuan yang aplikatif di bidang-bidang profesi tertentu, misalnya teknologi dan industri, bisnis dan manajeman, pariwisata, dan lain sebagainya. Dibandingkan dengan Sekolah Menengah Umum (SMU), SMK lebih ditujukan untuk mempersiapkan lulusannya langsung terjun ke dunia kerja namun tidak mengesampingkan bekal yang dibutuhkan lulusan apabila ingin melanjutkan ke jenjang pendidikan yang lebih tinggi. Gambar 1 Perkembangan Jumlah SMK Menurut Penyelenggara (sekolah) 8.000 7.000 6.000 5.000 4.000 3.000 2.000 1.000 2002/2003
2003/2004
2004/2005
2005/2006
2006/2007
2007/2008
Sumber: Kementerian Nasional Total Negeri Pendidikan Swasta
Sampai dengan tahun 2008, terdaftar sejumlah 6.922 SMK yang terdiri atas 3.683 SMK dengan standar pelayanan minimal (SPM), 2.140 SMK rintisan sekolah standar nasional (RSSN), 800 SMK sekolah standar nasional (SSN) dan baru 300 SMK rintisan sekolah bertaraf internasional (Kemendiknas, 2008). Angka tersebut menunjukkan bahwa lebih dari setengah jumlah SMK masih berada pada kondisi standar pelayanan minimal sehingga upaya peningkatan kualitas pembelajaran bisa dimulai dari peningkatan kualitas infrastruktur sekolah. Dilihat dari penyelenggaranya, pada tahun 2008 sekitar 74,1 persen SMK diselenggarakan oleh swasta yang melayani sekitar 1,8 juta peserta didik dari total 2,7 juta siswa SMK. Gambar 2 Perkembangan Jumlah Pendaftar Baru, Siswa Baru dan Lulusan SMK 1.600.000 1.400.000
Jumlah (siswa)
pembangunan sumber daya manusia dituntut untuk selalu meningkatkan proses belajar mengajar agar dapat menghasilkan lulusan yang unggul dan adaptif terhadap perkembangan teknologi industri sehingga mampu memanfaatkan peluang yang ada. Berdasarkan kondisi tersebut, Pemerintah berupaya mempersiapkan tenaga kerja yang tidak hanya berkualitas namun juga sesuai dengan kebutuhan pasar kerja sehingga mampu mengisi celah antara kebutuhan dengan kemampuan penyediaan tenaga kerja. Salah satu usaha yang saat ini gencar dilakukan oleh Pemerintah adalah penguatan keselarasan pendidikan dengan dunia kerja antara lain melalui peningkatan kualitas dan relevansi pendidikan kejuruan.
1.200.000 1.000.000 800.000 600.000 400.000 200.000 0 2004/05 Pendaftar Baru
2005/06 2006/07 Tahun Ajaran Sis wa baru
2007/08 Lulus an
Sumber: Kementerian Pendidikan Nasional
E D I S I 0 2 / TA H U N X V I / 2 0 1 0
5/12/2010 12:37:22 AM
Jumlah pendaftar baru SMK dari tahun ke tahun terus meningkat menunjukkan minat lulusan SMP yang semakin besar terhadap pendidikan di SMK yang mungkin sebagai hasil upaya Pemerintah dalam mempromosikan SMK. Animo yang besar tersebut juga ditangkap oleh satuan pendidikan terlihat dari makin meningkatnya jumlah siswa baru yang dapat ditampung oleh SMK meskipun proporsi siswa baru yang diterima baru sekitar 78 persen dari jumlah pendaftar. Sejalan dengan jumlah siswa baru, jumlah lulusan SMK juga semakin meningkat namun tidak terlalu signifikan. Pada tahun 2008, angka lulusan SMK adalah 96,58 persen atau sekitar 686.000 siswa.
Sementara figur di tingkat nasional sudah menunjukkan hasil yang bagus, disparitas yang besar masih ditemukan antarprovinsi, baik dari sisi ketersediaan sekolah, cakupan pelayanan, maupun efisiensi internal pembelajaran (Gambar 5). Ketersediaan sekolah dan jumlah cakupan siswa yang dilayani di provinsi-provinsi di Pulau Jawa terlihat lebih besar dibandingkan dengan provinsi-provinsi lain di luar Pulau Jawa. Ketersediaan SMK dan cakupan layanannya di provinsiprovinsi baru dan provinsi-provinsi di Kawasan Indonesia Timur juga terlihat masih sangat terbatas. Angka mengulang juga terlihat sangat bervariasi antarprovinsi mulai dari 0,1 persen di Prov. Jawa Barat sampai dengan 1,54 persen di Prov. Bangka Belitung. Sementara itu, angka lulusan relatif sama, meskipun provinsi-provinsi di Kawasan Indonesia Timur terlihat lebih rendah dibandingkan provinsi-provinsi lainnya.
Dilihat berdasarkan program studi/keahlian, lulusan SMK pada tahun 2008 didominasi oleh SMK dengan program studi teknologi industri (Listrik, Mesin, Grafika, Tekstil, Penerbangan, dan lainnya) sebesar 38,3 persen, diikuti oleh SMEA Ekonomi, Akuntansi, dan Tata Negara (31,7 persen), serta SMK Perhotelan, Pariwisata, Perawat, dan lainnya (23,6 persen).
Gambar 5 Perbandingan berbagai data pokok SMK antarprovinsi, 2007/2008 Jatim Jabar Jateng Sumut DKI Sulsel Lampung Banten Sumbar DIY Sumsel Kaltim Kalbar Riau Bali NTT Aceh Jam bi NTB Sulut Sulteng Bengkulu Papua Kalses Kalteng Sultra Ma l u k u Kepri Babel Sulbar Malut Gorontalo Papua Barat
Gambar 3 Jumlah Tamatan SMK Berdasarkan Program Keahlian, 2008 (persen) 50 38,3
40
31,7
30
23,6
20 10
4,2
2,3
Tidak ada isian
SMK Perhotelan, Pariwisata, Perawat dan Lainnya
SMKK Tata Boga, Tata Busana dan Tata Graha
SMEA Ekonomi, Akuntansi dan Tata Negara
STM Listrik, Mesin, Grafika, Tekstil, Penerbangan dan Lainnya
0
Sumber: Sakernas, BPS
Efisiensi internal proses pembelajaran SMK yang diindikasikan oleh angka mengulang dan angka putus sekolah juga menunjukkan perkembangan yang menggembirakan. Meskipun sempat mengalami kenaikan, angka mengulang siswa SMK kembali turun pada tahun ajaran 2007/2008, sedangkan angka putus sekolah mengalami penurunan signifikan dari 5,42 persen pada tahun ajaran 2004/05 menjadi 1,37 persen pada tahun ajaran 2007/08.
0
5
0,4
4
0,3
3
0,2
2
0,1
1
0
0 2004/05
2005/06
2006/07
2007/08
Tahun Ajaran Angka Mengulang
Angka Putus Sekolah
600
800
1.000
1.200
M
Jam J Su Kal Ka S Ja A R Lam p K
Ba B Ka
Ka Su Beng Sum B Sum J Goron Ma l u S Sul Su Pa Papua B
-
50.000
100.000
150.000
200.000
Jumlah Siswa Baru
Sumber: Kementerian Pendidikan Nasional
76 PEMBANGUNAN-Velt 3 edisi Ke DUA.indd 76
400
Jatim Jateng Jabar DKI Sumut Banten Sulsel Lampung DIY Sumbar Sumsel Riau Kaltim Bali NTT Kalbar Aceh NTB Sulut Jam bi Kalses Sulteng Papua Bengkulu Sultra Kalteng Babel Kepri Ma l u k u Malut Papua Barat Sulbar Gorontalo
Angka Putus Sekolah (%)
Angka Mengulang (%)
6
0,5
200
Jumlah SMK
Gambar 4 Angka Mengulang dan Angka Putus Sekolah SMK 0,6
Bab Sulte Kals N Ke Kalb Suls Kalt Papua Ba Sum b Goronta Ac Kalte Sul Ma l u k Jam D Su NT Sum s Sulb Jat Pap Bengku Bant Ma Ria Lam pu Jate Sum Ba D Jab
E D I S I 0 2 / TA H U N X V I / 2 0 1 0
5/12/2010 12:37:23 AM
Gambar 6 Jumlah Pencari Kerja Usia 15-24 Tahun 20
7
0,00% 0,20% 0,40% 0,60% 0,80% 1,00% 1,20% 1,40% 1,60% 1,80%
6
Angka Mengulang
5
16
Malut DIY Jam bi Jatim Sumut Kalteng Kalbar Sultra Jateng Aceh Riau Lampung Kepri DKI NTT Banten Bali Kaltim NTB Kalses Sulsel Bengkulu Sumsel Babel Sumbar Jabar Gorontalo Ma l u k u Sulut Sulteng Sulbar Papua Papua Barat 0,00%
18
14 12
4
10 3
8
Persen
1.200
Jumlah pengangguran Indonesia sejak tahun 2005 sampai dengan tahun 2009 terus mengalami penurunan seperti terlihat pada Gambar 6. Walaupun sempat terjadi kenaikan jumlah pengangguran dari bulan Februari sampai bulan November tahun 2005 sebesar sekitar 1,7 juta orang, namun sejak November 2005 sampai Februari 2009, jumlah pengangguran secara perlahan mengalami penurunan. Tercatat jumlah pengangguran pada bulan November 2005, Februari 2007, dan Februari 2009 secara berturut-turut adalah sebesar 12.630.106 orang, 10.547.917 orang, dan 9.258.964 orang.
Juta Orang
00
KONDISI KETENAGAKERJAAN DI INDONESIA
Babel Sulteng Kalses NTT Kepri Kalbar Sulsel Kaltim Papua Barat Sumbar Gorontalo Aceh Kalteng Sultra Ma l u k u Jam bi DIY Sulut NTB Sumsel Sulbar Jatim Papua Bengkulu Banten Malut Riau Lampung Jateng Sumut Bali DKI Jabar
6
2
4 1
2
0
0
SD ke bawah
Sekolah Menengah Pertama
Sekolah Menengah Atas
Sekolah Menengah Kejuruan
Pencari Kerja Usia 15-24 tahun Februari 2005 TPT Februari 2005
Diploma I/II/III
Universitas
Total
Pencari Kerja Usia 15-24 tahun Februari 2009 TPT Februari 2009
Sumber: Sakernas Februari 2005-2009
20,00%
200.000
40,00%
60,00%
80,00%
100,00%
Gambar di atas mengklasifikasikan pengangguran berdasarkan tingkat pendidikan, antara lain tidak sekolah, Sekolah Dasar (SD), Sekolah Menengah Pertama (SMP), Sekolah Menengah Atas (SMA), Diploma (D3), dan Universitas. Berdasarkan klasifikasi tersebut, maka akan terlihat bahwa tahun 2005 dan 2008, kelompok yang paling besar menyumbangkan angka pada jumlah pengangguran adalah penduduk yang memiliki pendidikan sampai tingkat Sekolah Menengah Atas. Gambar di atas juga menunjukkan bahwa pada tahun 2009 terdapat kecenderungan kenaikan pengangguran terdidik (lulusan Diploma dan Universitas).
120,00%
Angka Lulusan
Gambar 7 Persentase Pengangguran Lulusan SMU dan SMK, 2008 (persen) 60 50
44,3 43,2 39,8
47,8
40
32,3
30
30,2 27,0
27,2
26,9
25,5 20,9
20
22,3 9,7
10
8,8
7,8
9,6
0 2007
2008
18-20 Th
2007
2008
21-22 Th Lulusan SMA
2007
2008
23-24 Th
2007
2008
25 Th Keatas
Lulusan SMK
Sumber: Sakernas Februari 2007 – Agustus 2008
77 PEMBANGUNAN-Velt 3 edisi Ke DUA.indd 77
E D I S I 0 2 / TA H U N X V I / 2 0 1 0
5/12/2010 12:37:28 AM
Persentase pengangguran yang berpendidikan SMU dan SMK di tahun 2008 dapat dilihat pada Gambar 7. Berdasarkan gambar tersebut, lulusan SMK dari tiap tingkatan usia memiliki persentase pengangguran yang lebih tinggi dibandingkan dengan lulusan SMU. Perbedaan yang sangat mencolok antara lulusan SMK dengan SMU terjadi pada tingkat usia 18-20 tahun atau ketika para murid SMU dan SMK tersebut baru saja menyelesaikan pendidikannya.
Dengan memperhatikan gambar status pekerjaan di atas, dapat dijelaskan bahwa pada tahun 2008, rata-rata pekerja SMK berada pada tingkat buruh/karyawan/pegawai dengan porsi sebesar 12,84 persen. Pekerja-SMK yang berusaha dibantu buruh juga menempati posisi kedua yaitu sebesar 8,64 persen dari pekerja nasional. Sedangkan, Pekerja-SMK terkecil menurut status pekerjaan adalah Pekerja-SMK yang bekerja sebagai pekerja bebas pertanian.
Gambar 8 Penduduk Usia 15 Tahun Ke Atas yang Bekerja Selama Seminggu Menurut Lapangan Pekerjaan Utama, 2008 (persen)
Berdasarkan data Sakernas pada tahun 2008, Angkatan Kerja Nasional yang tercatat pada bulan Agustus tahun 2008 adalah sebanyak 46.485.786 jiwa, termasuk di antaranya angkatan kerja dengan pendidikan tertinggi yang ditamatkan SMK (AK-SMK) sebesar 5.598.762 jiwa atau 12,04 persen. Data penduduk yang bekerja secara nasional usia 15 tahun ke atas (Pekerja 15+) adalah sebanyak 102.552.750 jiwa. Dari jumlah tersebut, pekerja yang memiliki pendidikan tertinggi yang ditamatkan SMK adalah sejumlah 6.756.333 jiwa (± 6.59 persen dari Pekerja 15+ nasional), termasuk mereka yang bekerja di sektor informal sebesar 2.191.373 jiwa (± 32.43 persen dari Pekerja-SMK).
35 30,3 30
26,8
25 20
21,1 20,1
18,4
15
19,4
14,8
12,9
8,3
10 4,4
5
1,0
1,0
8,3
6,0 2,8
0,8
0,5
3,1
SMA
Jasa Kemasyarakatan, sosial, dan perorangan
Keuangan, ansuransi, usaha persewaan bangunan, tanah dan....
Angkutan, pergudangan, dan komunikasi
Perdagangan besar, eceran, rumah makan, dan hotel
Bangunan
Listrik, Gas dan Air
Industri Pengolahan
Pertambangan dan Penggalian
Pertaniaan, Kehutanan Perburuan, dan perikanan
0
SMK
Sumber: Sakernas, BPS
Data penduduk umur 15 tahun ke atas yang masuk dalam kategori Pengangguran Terbuka (PT) secara nasional adalah sebanyak 9.394.515 jiwa, sedangkan PT dengan kategori pendidikan tertinggi yang ditamatkannya SMK (PT-SMK) adalah 1.409.128 jiwa (±15 persen) pada bulan Agustus tahun 2008.
Lebih spesifik lagi, seperti terlihat pada Gambar 8, lulusan SMK ditemukan hampir di seluruh sektor ekonomi di Indonesia pada tahun 2008. Lulusan SMK banyak bekerja di sektor industri pengolahan; listrik, gas, dan air; bangunan; bisnis dan persewaan; serta jasa. Meskipun di beberapa sektor lulusan SMK lebih sedikit dibanding lulusan SMU, gambar di atas menunjukkan bahwa SMK dapat diserap ke sektor pekerjaan apapun yang sesuai dengan program studi keahliannya.
Gambar 10 Kondisi Angkatan Kerja (AK-SMK) dan AK per Provinsi, 2008 60,0% 50,0% 40,0%
Berdasarkan data Sakernas (Agustus, 2008), pekerja dengan tingkat pendidikan SMK dapat dibedakan menurut status pekerjaannya menjadi paling tidak tujuh kelompok sebagai berikut: a. Berusaha sendiri. b. Berusaha dibantu buruh tidak tetap. c. Berusaha dibantu buruh tetap. d. Buruh/karyawan/pegawai. e. Pekerja bebas di pertanian. f. Pekerja bebas di non-pertanian. g. Pekerja keluarga.
30,0%
Gambar 9 Kondisi Tingkat Pekerja-SMK Menurut Status Pekerjaan, 2008
14,0%
20,0% 10,0%
DKI Jabar Banten Jateng DIY Jatim Aceh Sumut Sumbar Riau Kep.Riau Jambi Sumsel Babel Bengkulu Lampung Kalbar Kalteng Kalsel Kaltim Sulut Gorontalo Sulteng Sulsel Sulbar Sultra Maluku Malut Bali NTB NTT Papua Pabar
0,0%
AKͲSMK
Sumber: Sakernas, BPS
Gambar 11 Kondisi Pekerja (Pekerja SMK) per Provinsi, 2008 16,0% 12,0% 10,0%
Tingkat Pekerja-SMK
8,0%
13%
6,0% 4,0%
9%
2,0% 0,0%
6% 4%
DKI Jabar Banten Jateng DIY Jatim Aceh Sumut Sumbar Riau Kep.Riau Jambi Sumsel Babel Bengkulu Lampung Kalbar Kalteng Kalsel Kaltim Sulut Gorontalo Sulteng Sulsel Sulbar Sultra Maluku Malut Bali NTB NTT Papua Pabar
5% 3% 1%
Berusaha sendiri
Berusaha dibantu buruh tidak tetap
Berusaha dibantu buruh tetap
Buruh/ karyawan/ pegawai
Pekerja bebas di pertanian
Pekerja bebas di nonpertanian
Pekerja keluarga
PekerjaSMK
Sumber: Sakernas, BPS
Sumber: Sakernas, BPS
78 PEMBANGUNAN-Velt 3 edisi Ke DUA.indd 78
E D I S I 0 2 / TA H U N X V I / 2 0 1 0
5/12/2010 12:37:28 AM
Gambar 12 Kondisi Pengangguran Terbuka (PT-SMK) per Provinsi, 2008
(lihat Gambar 14), pengangguran terbuka SMA/SMK dengan usia 20-24 tahun relatif lebih banyak dibandingkan kategori usia lain, kecuali usia 60 ke atas. Jumlah pengangguran terbuka lulusan SMA lebih banyak dibandingkan pengangguran terbuka lulusan SMK. Sedangkan pengangguran terbuka, baik SMA maupun SMK, yang berusia 40-60 tahun hampir sama.
30,0% 25,0% 20,0% 15,0% 10,0% 5,0% 0,0% DKI Jabar Banten Jateng DIY Jatim Aceh Sumut Sumbar Riau Kep.Riau Jambi Sumsel Babel Bengkulu Lampung Kalbar Kalteng Kalsel Kaltim Sulut Gorontalo Sulteng Sulsel Sulbar Sultra Maluku Malut Bali NTB NTT Papua Pabar
Gambar 14 Pengangguran Terbuka (PT) Berdasarkan Usia, 2008 50,0%
PTͲSMK
Sumber: Sakernas, BPS
40,0%
Berdasarkan gambar di atas, baik angkatan kerja, pekerja (Pekerja-SMK dan pekerja-Inf-SMK), dan pengangguran terbuka untuk kategori SMK sangat terlihat dengan jelas bahwa provinsi-provinsi yang berlokasi di Pulau Jawa terdapat nilai angkatan kerja, pekerja, dan pengangguran yang cukup besar dibanding provinsi-provinsi lainnya.
30,0% 20,0% 10,0% 0,0% 15Ͳ19 20Ͳ24 30Ͳ34 35Ͳ39 40Ͳ44 45Ͳ49 50Ͳ54 55Ͳ59 PTͲSMA
Data pengangguran terbuka untuk pendidikan tertinggi yang ditamatkan yaitu SMA dan SMK (PT SMA dan PT-SMK) menggambarkan bahwa pengangguran terbuka begitu besar di seluruh provinsi di Pulau Jawa, kecuali DI Yogyakarta. Kondisi pengangguran terbuka untuk tamatan SMK lebih sedikit dibandingkan dengan pengangguran terbuka tamatan SMA.
60+
PTͲSMK
Sumber: Sakernas, BPS
Secara nasional kondisi lapangan pekerjaan utama kurang lebih 47 persen adalah lapangan pekerjaan pada bidang pertanian, kehutanan, perburuan dan perikanan sedangkan lapangan pekerjaan utama bidang-bidang lainnya berada diantara 0-20 persen. Sedangkan potensi lapangan pekerjaan utama terbesar ke dua adalah bidang perdagangan besar, eceran, rumah
Kondisi pengangguran terbuka SMA/SMK nasional (Sakernas, Agustus 2008) dapat dikategorikan lagi menjadi beberapa status: mencari pekerjaan, mempersiapkan usaha, merasa tidak mungkin mendapatkan pekerjaan, dan sudah mempunyai pekerjaan tetapi belum bekerja. Dapat dilihat bahwa orang yang berpendidikan tertinggi jenjang pendidikan menengah (SMA dan SMK) lebih banyak yang mencari pekerjaan.
JumlahPengangguran
Gambar 13 Kondisi PT SMA/SMK Berdasarkan Kategori Pengangguran, 2008 90,0% 80,0% 70,0% 60,0% 50,0% 40,0% 30,0% 20,0% 10,0% 0,0% Mencari Pekerjaan
Mempersiapkan Usaha
SMA
MerasaTidak mungkin Mendapat Pekerjaan
Sudah Mempunyai PekerjaanTetapi belumBekerja
SMK
Sumber: Sakernas, BPS
Jika mengamati pengangguran terbuka lulusan SMK menurut golongan umur, pengangguran terbuka lulusan SMK sangat beraneka ragam. Berdasarkan data Sakernas pada Agustus 2008
79 PEMBANGUNAN-Velt 3 edisi Ke DUA.indd 79
E D I S I 0 2 / TA H U N X V I / 2 0 1 0
5/12/2010 12:37:35 AM
disesuaikan dengan kebutuhan dunia kerja setempat. Kebutuhan SMK akan guru-guru mata pelajaran produktif seharusnya menjadi perhatian khusus pemerintah dan masyarakat. Uji dan sertifikasi profesi perlu juga dilakukan untuk menjamin kualitas lulusan dan memberikan kepastian bagi pengguna tenaga kerja. • Terlihat bahwa sebagian besar lulusan SMK bekerja sebagai buruh/karyawan/ bekerja untuk orang lain. Apabila lulusan SMK terus menerus tergantung pada pola pekerjaan tersebut, kompetisi untuk masuk ke dunia kerja menjadi semakin ketat. Oleh karenanya, pendidikan kewirausahaan sangat penting dalam memberikan motivasi bagi lulusan SMK untuk membuka lapangan kerja sendiri daripada terjun ke pasar kerja yang sudah ada. • Kemitraan antara dunia usaha/dunia industri dengan SMK dapat memperkecil ketidaksesuaian kebutuhan tenaga kerja. Dunia usaha/dunia industri dapat memberikan masukan kepada sekolah tentang muatan keterampilan yang dibutuhkan sehingga kualitas dan kompetensi lulusan sudah siap untuk langsung dipakai oleh dunia usaha/dunia industri tersebut.
makan, dan hotel sebesar 16,97 persen dan diikuti bidang jasa kemasyarakatan, sosial dan perorangan (13 persen) serta bidang industri pengolahan sebesar 8,6 persen. Tetapi jika dihubungkan dengan tingkat lulusan SMK, potensi lapangan pekerjaan utama pada bidang pertanian, kehutanan, perburuan dan perikanan yang besar tidak diimbangi oleh potensi-potensi lulusan SMK yang sesuai dengan bidang studi keahlian yang dibentuk SMKSMK. Dengan demikian, secara umum, volume lulusan siswa dan lapangan pekerjaan yang tersedia belum seimbang. Jenis pekerjaan utama SMK yaitu pekerjaan tenaga tata usaha dan sejenisnya merupakan pasar kerja yang paling banyak bagi para lulusan SMK yaitu kurang lebih hampir 1,04 persen dari lulusan SMK dan diikuti oleh jenis pekerjaan lainnya yaitu sebesar 0,96 persen. Jenis pekerjaan sebagai tenaga profesional, teknisi, dan sejenisnya dan tenaga kepemimpinan yang hampir sama sebesar 0,79 persen dan 0,74 persen dari setiap lulusan SMK. Sedangkan jenis pekerjaan bidang lain yaitu sebagai tenaga usaha penjualan, tenaga usaha jasa, dan tenaga produksi, operator alat-alat angkutan dan pekerja kasar memiliki kontribusi dalam menampung para lulusan SMK sebagai pekerja adalah sebesar hampir 0,5 persen. Lulusan SMK yang bekerja sebagai tenaga usaha pertanian, kehutanan, perburuan, dan perikanan hanya sebesar 0,12 persen dari lulusan SMK yang ada.
Suprapto Budinugroho adalah Staf Perencana, pada Direktorat Agama dan Pendidikan, Bappenas.
FOKUS PENGEMBANGAN SMK Dengan melihat kondisi pendidikan menengah kejuruan di atas dan dikaitkan dengan kebutuhan dan kondisi ketenagakerjaan di Indonesia terutama terkait dengan angkatan kerja usia jenjang pendidikan menengah, maka dapat diambil beberapa kesimpulan dan usulan fokus pengembangan SMK sebagai berikut: • Dalam rangka penyiapan tenaga kerja terampil tingkat madya, SMK dapat menjadi alternatif yang menjanjikan. Peningkatan akses terhadap SMK dapat dilakukan dengan menambah jumlah SMK terutama bagi daerah-daerah yang masih sangat kekurangan SMK. Dengan demikian, distribusi yang proporsional antardaerah dapat menciptakan lulusan SMK yang sesuai untuk memenuhi kebutuhan tenaga kerja setempat. SMK baru tersebut hendaknya memiliki program studi yang sesuai dengan kebutuhan tenaga kerja setempat. • Sementara itu, di daerah-daerah yang sudah memiliki banyak SMK, fenomena yang ditemukan adalah seakan-akan terjadi kelebihan suplai tenaga kerja dan kekurangan lapangan pekerjaan. Sebuah studi khusus perlu dilakukan untuk mengetahui apakah memang terjadi kelebihan suplai tenaga kerja atau terdapat ketidaksesuaian lulusan yang ada dengan kebutuhan pasar kerja, baik ketidaksesuaian keterampilan yang dimiliki maupun kurangnya kompetensi lulusan. • Peningkatan kualitas pembelajaran di SMK dapat dilakukan dengan meningkatkan muatan pelajaran produktif yang
REFERENSI Bappenas, Rencana Pembangunan Jangka Menengah Nasional 2010-2014, Jakarta BPS, Survey Angkatan Kerja Nasional, berbagai tahun, Jakarta Direktorat Agama dan Pendidikan, BAPPENAS, Kajian Relevansi Pendidikan Menengah Kejuruan Terhadap Kebutuhan Pasar Kerja, 2009, Jakarta Kemendiknas, Rencana Strategis Kementerian Pendidikan Nasional 2010-2014, Jakarta Kemendiknas, Statistik Pendidikan Nasional, berbagai tahun, Jakarta Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 20 Tahun 2003 tentang Sistem Pendidikan Nasional, Jakarta
80 PEMBANGUNAN-Velt 3 edisi Ke DUA.indd 80
E D I S I 0 2 / TA H U N X V I / 2 0 1 0
5/12/2010 12:37:35 AM
Tahapan skala prioritas utama dan strategi RPJM secara ringkas adalah sebagai berikut: 1. RPJMN ke-1 (2005–2009) diarahkan untuk menata kembali dan membangun Indonesia di segala bidang yang ditujukan untuk menciptakan Indonesia yang aman dan damai, yang adil dan demokratis, dan yang tingkat kesejahteraan rakyatnya meningkat. 2. RPJMN ke-2 (2010–2014) ditujukan untuk lebih memantapkan penataan kembali Indonesia di segala bidang dengan menekankan pada upaya peningkatan kualitas sumber daya manusia termasuk pengembangan kemampuan iptek serta penguatan daya saing perekonomian. 3. RPJMN ke-3 (2015–2019) ditujukan untuk lebih memantapkan pembangunan secara menyeluruh di berbagai bidang dengan menekankan pencapaian daya saing kompetitif perekonomian berlandaskan keunggulan sumber daya alam dan sumber daya manusia berkualitas serta kemampuan iptek yang terus meningkat. 4. RPJMN ke-4 (2020–2025) ditujukan untuk mewujudkan masyarakat Indonesia yang mandiri, maju, adil, dan makmur melalui percepatan pembangunan di berbagai bidang dengan menekankan terbangunnya struktur perekonomian yang
RPJMN I ( 2005 - 2009 ) s -ENATA KEMBALI .+2) s -EMBANGUN )NDONESIA YANG AMAN DAN DAMAI s -EMBANGUN )NDONESIA YANG ADIL DAN DEMOKRATIS s -ENCIPTAKAN KESEJAHTERAAN YANG LEBIH BAIK
RPJMN II ( 2010 - 2014 ) s -EMANTAPKAN PENATAAN KEMBALI .+2) s-ENINGKATKAN KUALITAS 3$s -EMBANGUN KEMAMPUAN )04%+
RPJMN III ( 2015 - 2019 )
RPJMN IV ( 2020 - 2024 )
s -EMANTAPKAN PEMBANGUNAN SECARA MENYELURUH DI BERBAGAI BIDANG s -EMBANGUN DAYA SAING KOMPETITIF PEREKONOMIAN BERLANDASKAN KEUNGGULAN SUMBER DAYA ALAM DAN SUMBER DAYA MANUSIA YANG BERKUALITAS SERTA s -ENINGKATKAN KEMAMPUAN )04%+
s -EWUJUDKAN MASYARAKAT )NDONESIA YANG MANDIRI MAJU ADIL DAN MAKMUR s 0ERCEPATAN PEMBANGUNAN DI SEGALA BIDANG s -EMBANGUN STRUKTUR PEREKONOMIAN YANG KOKOH BERLANDASKAN KEUNGGULAN KOMPETITIF DIBERBAGAI WILAYAH YANG DIDUKUNG OLEH 3$- BERKUALITAS DAN BERDAYA SAING
s -EMPERKUAT DAYA SAING PEREKONOMIAN
cover edisi 2.indd 3
5/12/2010 12:44:21 AM
Pemandangan pantai Pulau Umang, Ujung Kulon, Banten
www.lh4.ggpht.com
Dalam kerangka pencapaian pembangunan yang berkelanjutan, pengelolaan sumber daya alam dan pelestarian fungsi lingkungan hidup makin berkembang melalui penguatan kelembagaan dan peningkatan kesadaran masyarakat yang ditandai dengan berkembangnya proses rehabilitasi dan konservasi sumber daya alam dan lingkungan hidup yang disertai dengan menguatnya partisipasi aktif masyarakat; terpeliharanya keanekaragaman hayati dan kekhasan sumber daya alam tropis lainnya yang dimanfaatkan untuk mewujudkan nilai tambah, daya saing bangsa, serta modal pembangunan nasional pada masa yang akan datang; mantapnya kelembagaan dan kapasitas antisipatif serta penanggulangan bencana di setiap tingkatan pemerintahan; serta terlaksananya pembangunan kelautan sebagai gerakan yang didukung oleh semua sektor. Meningkatnya kualitas perencanaan tata ruang serta konsistensi pemanfaatan ruang dengan mengintegrasikannya ke dalam perencanaan pembangunan dan penegakan peraturan dalam rangka pengendalian pemanfaatan ruang.
RPJMN 2010 -2014
cover edisi 2.indd 4
5/12/2010 12:44:21 AM