ISSN: 2302-920X Jurnal Humanis, Fakultas Ilmu Budaya Unud Vol 18.1 Januari 2017: 212-220
Teks Geguritan Gitamahapurana Ki Patih Tambyak: Analisis Struktur dan Nilai Ni Luh Gede Andriasari1*, Ida Bagus Rai Putra2, I Wayan Suardiana3 [123] Program Studi Sastra Bali Fakultas Ilmu Budaya, Universitas Udayana 1 [
[email protected]] 2[
[email protected] ] 3 [
[email protected] ] *Corresponding Author
Abstract
This research talk about Geguritan Gitamahapurana Ki Patih Tambyak analysis of the structure and value. Election the title based on: (1) an interest in the contents of Geguritan Gitamahapurana Ki Patih Tambyak both in terms of content exciting story and value, (2) literary work Geguritan Gitamahapurana Ki Patih Tambyak as far as writer no one has ever research. Geguritan Gitamahapurana Ki Patih Tambyak analyzed using a theory of the structure and the value of. A theory of the structure relating to the structure on a level of a literary work (intrinsic) and landscape system (of values contained in Geguritan Gitamahapurana Ki Patih Tambyak). Methods used through three rounds of, step is provision of data by using the method read and the literature study supported by technique recording and translatio. During the preparatory phase of data analysis this research using the qualitative method with descriptive analytic technique. As well as during the preparatory phase of the presentation of the results of the analysis used method of data formal and informal, supported by technique inductive and deductive. Research obtains subanalisis that structure who built geguritan of these there were two, viz: (1) formal structure consisting by: language codes and literature, style of language, variety of language. (2) the structure narrative consisting by: the theme, figures, a groove or a plot, and background, and listen. While in the analysis value in Geguritan Gitamahapurana Ki Patih Tambyak include the value of heroism, historical value, and magic. Key words: Geguritan, structure, and value. 1. Latar Belakang Geguritan merupakan suatu karya sastra tradisional yang dibentuk oleh beberapa pupuh. Geguritan memiliki isi cerita yang beraneka ragam seperti cerita sejarah, roman, babad, legenda suatu daerah, dan lain-lain. Dalam kesempatan ini penulis akan meneliti Geguritan Gitamahapurana Ki Patih Tambyak, yang ditulis
212
ISSN: 2302-920X Jurnal Humanis, Fakultas Ilmu Budaya Unud Vol 18.1 Januari 2017: 212-220
oleh Jro Made Mangku Mardika pada tahun 2012. Geguritan ini dibuat oleh penciptanya agar pembaca lebih mudah mengerti isi ceritanya melalui bentuk puisi (tembang). Karya sastra Geguritan Gitamahapurana Ki Patih Tambyak karya Jro Made Mangku Mardika dibangun dengan 98 bait pupuh, meliputi: pupuh sinom (29 bait), pupuh ginada (22 bait), pupuh ginanti (4 bait), pupuh semarandana (11 bait), pupuh durma (11 bait), pupuh maskumambang (10 bait), pupuh pangkur (7 bait), pupuh pucung (4 bait). Geguritan Gitamahapurana Ki Patih Tambyak dapat dikatakan sebagai sebuah karya sastra sejarah, sebab didalamnya terkandung unsur sastra dan sejarah. Unsur sejarah dalam Geguritan Gitamahapurana Ki Patih Tambyak ditandai dengan penggunaan tokoh-tokohnya, tempat kejadian, dan jalan ceritanya yang merupakan kisah sejarah yang memang benar terjadi dan ada pada masanya yaitu kisah kelahiran Ki Tambyak yang merupakan anak dari Begawan Maya Cakru hingga diangkatnya Ki Tambyak menjadi patih di Kerajaan Badung. 2. Pokok Permasalahan 1) Bagaimana struktur Geguritan Gitamahapurana Ki Patih Tambyak? 2)
Nilai apa sajakah yang terkandung dalam Geguritan Gitamahapurana Ki Patih Tambyak?
3) Tujuan Penelitian (1) Tujuan Umum Secara umum penelitian ini mempunyai tujuan yaitu membantu penggalian, pembinaan, dan pengembangan karya sastra. Sastra sebagai bagian kebudayaan Bali harus dilestarikan. Penelitian ini sebagai penguatan budaya Bali khususnya tentang geguritan. Penelitian ini berguna bagi masyarakat yakni dapat menambah khazanah tentang penelitian sastra khususnya yang berkaitan dengan struktur dan nilai karya sastra. (2) Tujuan Khusus Secara khusus penelitian ini bertujuan untuk mengungkap secara mendalam struktur pembentuk dari Geguritan Gitamahapurana Ki Patih Tambyak sehingga mampu memberikan apresiasi yang mendetail dari hubungan antara satu
213
ISSN: 2302-920X Jurnal Humanis, Fakultas Ilmu Budaya Unud Vol 18.1 Januari 2017: 212-220
unsur yang satu dengan yang lain dan memperoleh hasil penelitian yang sistematis dan terarah serta untuk dapat mengetahui nilai-nilai yang terkandung di dalamnya. 4) Metode Penelitian Metode dan teknik dalam penelitian ini dibagi menjadi tiga tahap, antara lain : (1) Metode dan Teknik Penyediaan Data, (2) Metode dan Teknik Analisis Data, (3) Metode dan Teknik Penyajian Hasil Analisis Data. 1)
Metode dan Teknik Penyediaan Data Dalam tahap penyediaan data ini, digunakan teknik terjemahan yaitu
menterjemahkan teks Geguritan Gitamahapurana Ki Patih Tambyak dari yang berbentuk naskah yang berbahasa Bali Kapara, kemudian diterjemahkan ke dalam bahasa Indonesia. Adapun teknik terjemahan yang dilakukan yaitu dibagi kedalam dua bentuk yaitu terjemahan harfiah dan idiomatis. Terjemahan harfiah adalah terjemahan kata demi kata dengan tidak ada perubahan bentuk. Sedangkan terjemahan idiomatis adalah terjemahan yang mengutamakan penyampaian pesan bahasa sumber dan bahasa sasaran lebih mendekat, seolah-olah bukan hasil penerjemahan. Selain itu metode yang digunakan adalah metode membaca. Membaca adalah suatu proses (dengan tujuan tertentu) pengenalan, penafsiran, dan menilai gagasan yang berkenaan dengan bobot mental atau kesadaran total sang pembaca (Tarigan, 2009 : 42). Berkaitan dengan hal tersebut metode membaca dilakukan secara berulang-ulang untuk dapat mengetahui dan memahami isi dari Geguritan Gitamahapurana Ki Patih Tambyak ini. 2)
Metode dan Teknik Analisis Data Dalam tahapan ini menggunakan metode kualitatif
yaitu menekankan
kualitas (ciri-ciri data yang alami) sesuai dengan pemahaman deskriptif dan alamiah itu sendiri (Djajasudarma, 2010 : 14). Didukung dengan teknik deskriptif analitik. Secara etimologi deskripsi dan analisis berarti menguraikan. Meskipun demikian, analisis tidak semata-mata menguraikan melainkan juga memberikan pemahaman dan penjelasan secukupnya (Ratna, 2004: 53). Naskah Geguritan Gitamahapurana Ki Patih Tambyak dilakukan dengan mengkaji terlebih dahulu struktur dari Geguritan Gitamahapurana Ki Patih Tambyak berdasarkan teori
214
ISSN: 2302-920X Jurnal Humanis, Fakultas Ilmu Budaya Unud Vol 18.1 Januari 2017: 212-220
struktur
kemudian
dilanjutkan
dengan
analisis
nilai
dari
Geguritan
penelitian
Geguritan
Gitamahapurana Ki Patih Tambyak. 3)
Metode dan Teknik Penyajian Hasil Analisis Data Tahap
terakhir
yang
dilakukan
dalam
Gitamahapurana Ki Patih Tambyak yaitu data yang diperoleh dalam tahap analisis disajikan menggunakan metode formal dan informal, yaitu memaparkan hasil penelitian menggunakan tanda-tanda dan kata-kata yang tepat. Menurut Ratna (2004: 49), secara etimologi formal berasal dari kata forma (Latin), yang berarti bentuk, wujud. Metode formal adalah analisis dengan mempertimbangkan aspek-aspek formal, aspek-aspek bentuk yaitu, unsur-unsur karya sastra. Metode formal adalah cara-cara penyajian dengan memanfaatkan tanda dan lambang, yang dipertentangkan dengan metode informal yaitu cara penyajian melalui katakata biasa. Metode informal digunakan untuk menyajikan hasil analisis data dengan menggunakan kalimat biasa dalam bahasa Indonesia. Pada tahap penyajian data digunakan teknik deduktif dan induktif. Teknik deduktif yaitu data yang dikaji melalui proses yang berlangsung dari teori ke fakta (data). Teknik induktif yaitu data yang dikaji melalui proses yang berlangsung dari fakta (data) ke teori (Djajasudarma, 2010 : 14). 5) Hasil dan Pembahasan a. Struktur Forma Geguritan Gitamahapurana Ki Patih Tambyak Suatu tahapan dalam penelitian yang sangat penting dan sulit untuk dihindari yaitu penelitian struktur. Sebab teori struktur bertujuan untuk membongkar dan memaparkan secermat, seteliti, semendetail dan semendalam mungkin keterkaitan dan keterjalinan semua anasir dan aspek sastra yang bersama-sama menghasilkan makna yang menyeluruh (Teeuw, 1984 : 135). Struktur forma merupakan satu bagian dari keseluruhan struktur karya sastra yang mengulas tentang bentuk dan kemasan dalam menampilkan karya sastra itu sendiri, dan memiliki hubungan signifikan dengan isi yang dikandungnya. Dalam hal ini struktur forma meliputi: kode bahasa dan sastra, ragam bahasa, dan gaya bahasa dimaksudkan untuk memberikan gambaran tentang stilistika Bali, khususnya dalam Geguritan.
215
ISSN: 2302-920X Jurnal Humanis, Fakultas Ilmu Budaya Unud Vol 18.1 Januari 2017: 212-220
b. Struktur Naratif Geguritan Gitamahapurana Ki Patih Tambyak (1) Tema Tema merupakan gagasan dasar umum yang menopang sebuah karya sastra dan yang terkandung didalam teks sebagai struktur semantis dan yang menyangkut persamaan-pesamaan atau perbedaan-perbedaan. Tema disaring dari motif-motif yang terdapat dalam karya yang bersangkutan yang menentukan hadirnya peristiwa-peristiwa, konflik, dan situasi tertentu. Tema menjadi dasar pengembangan seluruh cerita, maka ia pun bersifat menjiwai seluruh bagian cerita itu (Nurgiyantoro, 2002 : 68). Dalam Geguritan Gitamahapurana Ki Patih Tambyak terdapat dua tema, yang pertama tema utamanya adalah "Purana" dan tema sampingan yaitu kesejarahan meliputi: pengesahan/legitimasi, pengukuhan, pengeramatkan, pengagungan. (2) Tokoh dan Penokohan Tokoh adalah orang-orang yang ditampilkan dalam suatu karya naratif atau drama yang oleh pembaca ditafsirkan memiliki kualitas moral dan kecenderungan tertentu seperti yang diekspresikan dalam ucapan dan apa yang dilakukan dalam tindakan Abrams (dalam Nurgiyantoro, 2009 : 165). Nurgiyantoro juga menyatakan bahwa, walaupun tokoh cerita hanya merupakan tokoh ciptaan pengarang, ia haruslah merupakan seorang tokoh yang hidup secara wajar, sewajar sebagaimana kehidupan manusia yang terdiri dari darah dan daging, yang mempunyai pikiran dan perasaan (2009 : 167). Tokoh dan penokohan pada Geguritan Gitamahapurana Ki Patih Tambyak secara umum dapat dibedakan menjadi tiga yaitu tokoh utama, tokoh kedua/sekunder, dan tokoh komplementer atau pelengkap. Pengarang juga menggambarkan tokoh dalam Geguritan Gitamahapurana Ki Patih Tambyak dalam tiga dimensi pokok, yaitu fisiologis, psikologis, dan sosiologis. (2) Alur Alur adalah rangkaian cerita yang dibentuk oleh tahapan-tahapan peristiwa sehingga menjalin suatu cerita yang dihadirkan oleh para pelaku dalam cerita (Aminuddin, 2010 : 83). Dalam Geguritan Gitamahapurana Ki Patih Tambyak memakai alur/plot kronologis yaitu: (lurus, maju dan progresif), yaitu peristiwa-
216
ISSN: 2302-920X Jurnal Humanis, Fakultas Ilmu Budaya Unud Vol 18.1 Januari 2017: 212-220
peristiwa yang dikisahkan bersifat kronologis. Diawali dengan exposition, complication, ricing action/konflik, turning point, dan ending. (3) Latar Latar adalah latar belakang fisik, unsur tempat, dan ruang dalam suatu cerita (Tarigan, 2011 : 136). Latar atau setting yang disebut juga sebagai landas tumpu, menyaran pada pengertian tempat, hubungan waktu, dan lingkungan sosial tempat
terjadinya
peristiwa-peristiwa
yang
diceritakan
Abrams
(dalam
Nurgiyantoro, 2009 : 216). Dalam Geguritan Gitamahapurana Ki Patih Tambyak memakai dua latar, yaitu: latar tempat meliputi: gunung batur, alun-alun, danau batur. Sedangkan latar waktu meliputi: waktu penceritaan dan waktu penulisan cerita. (4) Amanat Amanat merupakan inti sari pikiran pegarang yang dapat disampaikan dengan cara inplisit ataupun eksplisit yang ditujukan kepada para pembaca, yang tujuannya untuk merangsang pembaca agar melaksanakan sesuatu seperti yang diharapkan oleh pengarang melalui karyanya. Amanat merupakan gagasan yang mendasari karya sastra, pesan yang ingin disampaikan pengarang kepada pembaca atau pendengar (Sudjiman, 1988: 5). Dalam Geguritan Gitamahapurana Ki Patih Tambyak ini pengarang mengamanatkan kepada para pembacanya agar para pembaca mengetahui asal-usul keturunan dari Tambyak tentang bagi yang mengetahui dengan jelas asal-usul dari Tambyak itu sendiri. Dalam geguritan ini asal-usul yang dilukiskan oleh pengarang dititipkan melalui tokoh Ki Tambyak. Beliau merupakan putra dari Bhatara Maya Cakru yang mempunyai kekuatan yang sangat sakti. Saat Ki Tambyak lahir, dia tergelincir dan menimpa sebuah batu yang sangat besar. Ketika itu batu yang ditimpanya terbelah dan dari terbelah batu itulah bermulanya asal-usul nama Tambyak. (b) Nilai Geguritan Gitamahapurana Ki Patih Tambyak Nilai adalah mutu sebuah karya sastra yang memberikan kenikmatan langsung dan memanifestasikan keterampilan pujangga dalam usahanya mengabdikan kehidupan melalui karya sastra yang diungkapkan dalam bentuk bahasa (Tarigan,1986:178). Pengertian nilai secara menyeluruh adalah konsep
217
ISSN: 2302-920X Jurnal Humanis, Fakultas Ilmu Budaya Unud Vol 18.1 Januari 2017: 212-220
umum tentang sesuatu dianggap baik, patut, layak, pantas yang keberadaannya dicita citakan, diinginkan, dihayati, dan dilaksanakan dalam kehidupan sehari hari dan menjadi tujuan kehidupan bersama di dalam kelompok masyarakat tersebut, mulai dari unit kesatuan sosial terkecil hingga suku, bangsa, dan masyarakat internasional. Dalam Geguritan Gitamahapurana Ki Patih Tambyak terdapat nilai kepahlawanan, nilai sejarah, nilai magis. Simpulan Dalam pendahuluan telah disebutkan bahwa kajian ini bertujuan untuk mengkaji Geguritan Gitamahapurana Ki Patih Tambyak secara struktur dan nilai. Berikut ini akan disajikan kesimpulan terhadap kedua hal tersebut: Kajian struktur Geguritan Gitamahapurana Ki Patih Tambyak menjabarkan struktur forma dan struktur naratif. Struktur forma meliputi: kode bahasa dan sastra, gaya bahasa serta ragam bahasa. Struktur naratif meliputi: tema, tokoh dan penokohan, alur dan latar. Kode bahasa dan sastra dalam Geguritan Gitamahapurana Ki Patih Tambyak dibangun oleh pupuh-pupuh dengan konvensinya masing-masing. Geguritan Gitamahapurana Ki Patih Tambyak dibangun oleh delapan buah pupuh,
yaitu
Pupuh
Sinom,
Pupuh
Ginada,
Pupuh
Pangkur,
Pupuh
Maskumambang, Pupuh Ginanti, Pupuh Pucung, Pupuh Semarandana dan Pupuh Durma. Kedelapan pupuh tersebut pada penerapannya terdapat beberapa ketidaksesuaian terhadap Suara Pematut dan Wilangan Kecap, namun ketidaksesuaian-ketidaksesuaian tersebut tidak dianggap sebagai sebuah kesalahan melainkan sebagai kreatifitas pengarang ataupun kesulitan pengarang dalam menentukan kata. Geguritan Gitamahapurana Ki Patih Tambyak menggunakan Bahasa Bali sehari-hari dengan tingkatan/anggah-ungguhing basa yang meliputi Bahasa Bali Alus dalam keluarga dan Bahasa Bali Alus dalam masyarakat. Struktur naratif Geguritan Gitamahapurana Ki Patih Tambyak meliputi: tema, tokoh dan penokohan, alur dan latar, dan amanat. Tema Utamanya adalah "Purana". Tema sampingannya adalah kesejarahan meliputi: pengesahan/legitimasi, pengukuhan, pengagungan, dan pengeramatkan. Tokoh utama dalam Geguritan
218
ISSN: 2302-920X Jurnal Humanis, Fakultas Ilmu Budaya Unud Vol 18.1 Januari 2017: 212-220
Gitamahapurana Ki Patih Tambyak adalah Ki Tambyak, tokoh sekundernya adalah Arya Notor Wandira, tokoh pelengkap/komplementer terdiri dari Ibu kandung Ki Tambyak (Sang Dewi), Ayah kandung Ki Tambyak (Sang Maya Cakru), Ayah angkat Ki Tambyak (Kabayan Pranarajon), Raja Bali (Sri Tapo Ulung), Kyayi Anglurah Jambe (Raja Badung) dan I Buta Panji Landung. Alur Geguritan Gitamahapurana Ki Patih Tambyak berjalan lurus. Latar tempat terjadinya di Gunung Batur, Alun-alun, Danau Batur dan kerajaan Badung. Sedangkan latar waktu yang digunakan dalam Geguritan Gitamahapurana Ki Patih Tambyak adalah waktu penceritaan dan waktu penulisan cerita, dan juga menunjuk waktu dan urutan waktu. Nilai yang terkandung dalam Geguritan Gitamahapurana Ki Patih Tambyak meliputi: nilai kepahlawanan, nilai sejarah dan nilai magis. Daftar Pustaka Aminuddin, 2010. Pengantar Apresiasi Karya Sastra. Cetakan kedelapan. Bandung : Sinar Baru Algensindo. Bararoh, Siti Baried. Dkk. 1982. Pengantar Teori Filologi. Yogyakarta : Universitas Gajah Mada. Djajasudarma, Prof. Dr. Hj. Fatimah. 2010. Metode Linguistik : Ancangan Metode Penelitian dan Kajian. Bandung : Refika Aditama. Granoka, Ida Wayan Oka. 1981. Dasar-Dasar Analisis Aspek Bentuk Sastra Paletan Tembang. Denpasar : Fakultas Sastra Universitas Udayana. Gautama, Wayan Budha. 2007. Penuntun Pelajaran Gending Bali. Denpasar : CV. Kayumas Agung. Koentjaraningrat. 1977. Metode-metode Penelitian Masyarakat. Jakarta : PT. Gramedia Pustaka Umum. . 1979. Beberapa Pokok Antropologi Sosial. Jakarta : PT. Dian Rakyat. Karmini, Ni Nyoman, 2011. Teori Pengkajian Prosa Fiksi dan Drama. Denpasar : Pustaka Larasan. Luxemburg, Jan Van dkk, 1984. Pengantar Ilmu Sastra (Edisi Terjemahan oleh Dick Hartoko). Jakarta : Gramedia. Minderop, Albertine. 2013. Metode Karakterisasi Telaah Fiksi. Jakarta : Yayasan Pustaka Obor Indonesia. Nurgiyantoro, Burhan. 2002. Teori Pengkajian Fiksi. Cetakan keempat. Yogyakarta : Gajah Mada University Press. Ratna, Nyoman Kutha. 2004. Teori, Metode, dan Teknik Penelitian Sastra. Yogyakarta : Pustaka Pelajar. 219
ISSN: 2302-920X Jurnal Humanis, Fakultas Ilmu Budaya Unud Vol 18.1 Januari 2017: 212-220
. 2009. Teori, Estetika Sastra dan Budaya. Yogyakarta : Pustaka Pelajar. Teeuw, A. 2015. Sastra dan Ilmu Sastra. Cetakan kelima. Bandung : Pustaka Jaya. Tarigan, Henry Guntur. 2009. Pengajaran Gaya Bahasa. Bandung : Angkasa Bandung.
220