ISSN: 2302-920X Jurnal Humanis, Fakultas Ilmu Budaya Unud Vol 18.2 Pebruari 2017: 421-428
Analisis Struktur dan Aspek Sosiologis Geguritan Masa Suara Karya Jyestapatra Kadek Surya Jayadi1*, I Wayan Suardiana2, I Dewa Gede Windhu Sancaya3 123 Prodi Sastra Bali Fakultas Ilmu Budaya Universitas Udayana 1 [email:
[email protected]] 2[email:
[email protected]] 3[email:
[email protected]] *Corresponding Author
Abstract This study uses a geguritan Masa Suara of Jyestapatra (Ida Bagus Putu Maron) as the object. The problems raised in this study include structure of Geguritan Masa Suara, and representation of social problems in geguritan Masa Suara. Theory which was employed in this study is a structural theory and sociology of literature. Methods and techniques used in this study were divided into three phases, (1) the stage of data collection method is used to read assisted with translation techniques, (2) the stage of data analysis used descriptive analysis method, and (3) the stage of presentation of the results of the analysis used informal and formal methods. The results obtained from this study is structure of geguritan Masa Suara consisting of : metrum, diction, repetitions (cacophony, onomatope, alliterations), and figure of speech (hyperbole,cynicism, parallelism,anafora,comparison). Representation of social problems in geguritan Masa Suara, consisting of: Criticism of The Intellectual, Criticism of the Attitude of Apriori, and Criticism of Hedonism. Keywords : Geguritan, Structure, Sociology of Litterature
1. Latar Belakang Penelitian ini mengkaji sebuah karya sastra geguritan berjudul Geguritan Masa Suara (selanjutnya disingkat GMS). Karya tersebut ditulis oleh Jyestapatra atau Ida Bagus Putu Maron, di griya Mangasrami Ubud, pada tahun Saka 1877 atau 1955 Masehi (Agastia, 1984: 4). GMS menarik untuk dijadikan sebagai objek penelitian, baik ditinjau dari segi bentuk maupun isinya. banyaknya perselisihan, perdebatan, hujat- menghujat, ingin saling mengungguli satu dengan yang lainnya dalam kehidupan masyarakat. Selain itu dalam zaman yang disebut “masa suara” itu juga terkandung adanya isu atau rumor simpang siur, yang menimbulkan kecemasan. Pada zaman “masa suara” itu banyak orang berlagak pintar, seolah-olah mengetahui berbagai jenis ilmu pengetahuan, namun semua itu hanya sebatas dalam ucapan, tanpa didukung oleh bukti-bukti atau tindakan
421
ISSN: 2302-920X Jurnal Humanis, Fakultas Ilmu Budaya Unud Vol 18.2 Pebruari 2017: 421-428 yang nyata. Selain itu dalam zaman “masa suara” sejumlah ide dipaparkan serta janjijanji manis ditebarkan untuk meraup dukungan serta menuai simpati banyak orang. Gagasan yang dikemukakan tersebut tidak hanya menarik, tetapi masih aktual dengan situasi sosial yang terjadi pada masa kini. Adapun gagasan tersebut dituangkan dalam bentuk sastra geguritan. Karena ditulis dalam bentuk sastra geguritan, penggarapannya mesti memperhatikan ketentuan yaitu padalingsa (banyaknya baris dalam tiap bait, banyak suku kata dalam tiap baris, serta bunyi akhir tiap baris). Ketentuan tersebut dikombinasikan pula dengan unsurunsur pendukung lainnya, yaitu: pilihan kata, gaya bahasa, serta permainan dan pengulangan bunyi. Kombinasi antar unsur-unsur tersebut tidak hanya memperjelas gagasan yang hendak dikemukakan, tetapi berkontribusi terhadap keindahan karya GMS. Perpaduan antara bentuknya yang tradisional dengan isinya yang bersifat kekinian merupakan satu kesatuan yang membuat GMS sangat menarik untuk diteliti. Pada prinsipnya suatu karya sastra merupakan perpaduan yang selaras antara bentuk dan isi (Teeuw, 2013: 106). Berdasarkan latar belakang tersebut GMS sangat menarik untuk dikaji dengan pendekatan sosiologi sastra. Pendekatan tersebut digunakan untuk memahami latar belakang kehidupan sosial, kehidupan masyarakat, maupun tanggapan kejiwaan atau sikap pengarang terhadap lingkungan kehidupannya ataupun zamannya pada saat karya sastra itu diwujudkan (Aminnudin, 2011: 46). Pendekatan sosiologi sastra sangatlah relevan digunakan untuk menelusuri aspek sosial yang melatarbelakangi penciptaan GMS. 2. Pokok Permasalahan 1). Bagaimanakah struktur yang membangun GMS? 2). Aspek-aspek sosiologis apa sajakah yang terkandung dalam GMS? 3. Tujuan Penelitian Tujuan penelitian ini dibedakan menjadi dua, yaitu tujuan umum dan tujuan khusus. (1) Secara umum, penelitian ini bertujuan untuk memperkenalkan kepada masyarakat, salah satu karya sastra geguritan yang berjudul “Geguritan Masa
422
ISSN: 2302-920X Jurnal Humanis, Fakultas Ilmu Budaya Unud Vol 18.2 Pebruari 2017: 421-428
Suara”gubahan Jyestapatra (Ida Bagus Putu Maron). (2) Secara khusus, penelitian ini bertujuan untuk mengkaji struktur serta aspek sosiologis yang terkandung dalam GMS.
4. Metode Penelitian Metode dan teknik dalam penelitian ini dibagi menjadi tiga tahapan, yaitu: (1) Tahap pengumpulan data dengan menggunakan metode membaca teks GMS, yang dibantu dengan teknik catat dan teknik terjemahan; (2) Tahap analisis data menggunakan metode deskripsi analisis dengan cara mendeskripsikan fakta yang kemudian disusul dengan analisis; (3) Penyajian hasil analisis data menggunakan metode informal dan metode formal.
5. Hasil dan Pembahasan 5.1 Struktur Geguritan Masa Suara 5.1.1
Metrum
GMS menggunakan tujuh jenis metrum, yaitu: sinom, ginanti, ginada, dangdang, durma, semarandana, serta pucung. Ketujuh metrum tersebut dirangkai sedemikan rupa, yang secara keseluruhan membentuk karya ini menjadi lima puluh dua bait. Ketujuh jenis metrum tersebut, masing-masing memiliki ketentuan tersendiri. Ketentuan tersebut dinamakan padalingsa, yaitu banyaknya larik dalam setiap bait; banyaknya suku kata dalam setiap larik; serta bunyi akhir larik-larik pada setiap bait. Dalam GMS,ketetuan tersebut dipahami dan diterapakan oleh pengarang. 5.1.2
Pilihan Kata (Diksi)
Menurut Sancaya (1990: 33) ketepatan pemilihan kata menjadi suatu keharusan, dalam rangka memenuhi aturan metrum (padalingsa). Pengarang tidak dapat seenaknya menggunakan kata-kata yang hendak digunakannya. Pengarang mesti menemukan kata yang tepat, sesuai dengan kaidah yang berlaku. Aspek pemilihan kata (diksi) tidak hanya sebatas memenuhi tuntutan metrum, juga erat kaitannya dengan keselarasan gagasan yang diungkapkan.
423
ISSN: 2302-920X Jurnal Humanis, Fakultas Ilmu Budaya Unud Vol 18.2 Pebruari 2017: 421-428
Ketepatan pemilihan kata (diksi) erat pula kaitannya dengan penguasaan kosa kata (Keraf, 1981:19). Oleh sebab itu, pengetahuan tentang leksikografi menjadi syarat mutlak bagi sastrawan (Pradopo,1987:51). Dalam GMS, aspek pemilihan kata sangat diperhatikan. Hal ini erat kaitannya dalam rangka memenuhi ketentuan metrum, keselarasan gagasan yang diungkap, serta menambah efek arkais dan estetis GMS. 5.1.3
Aspek Permainan dan Pengulangan Bunyi
Unsur bunyi merupakan salah satu aspek yang dianalisis dalam kajian ini. Adapun unsur bunyi yang dimaksud adalah bunyi-bunyi yang oleh Granoka (1981: 4) disebut sebagai permainan dan pengulangan bunyi. Unsur tersebut dikaji mengingat peranannya yang signifikan dalam menimbulkan efek estetis karya sastra, sekaligus memperdalam dan memperjelas makna suatu karya sastra (Wellek & Warren, 2014: 178; Pradopo, 1987: 32; Aminuddin, 2011: 140). Adapun bunyi-bunyi yang teridentifikasi dalam GMS, meliputi (1) Kakofoni, (2) Onomatope, serta (3) Aliterasi. 5.1.4
Gaya Bahasa
Ada sejumlah gaya bahasa yang teridentifikasi dalam GMS. Gaya bahasa tersebut, meliputi (1) paralelisme, (2) anafora, (3) perbandingan, (4) sinisme, dan (5) hiperbola.
5.2 Aspek Sosiologis Geguritan Masa Suara 5.2.1
Kritik terhadap Kaum Inteletual
Dalam GMS, kritik terhadap kaum intelektual ditujukan kepada kaum terpelajar yang menguasai ilmu pengetahuan, namun tidak mampu mengaplikasikannya di dalam ranah kehidupan. Kritik tersebut juga ditujukan terhadap kalangan terpelajar, yang tidak memahami dengan baik ilmu-ilmu yang diperolehnya. Adapun kritik tersebut dalam GMS dilontarkan pada bait keenam pupuh sinom, yang tersurat sebagai berikut :
424
ISSN: 2302-920X Jurnal Humanis, Fakultas Ilmu Budaya Unud Vol 18.2 Pebruari 2017: 421-428
Yadin sami jadma wikan/ring katatuan sukmeng aji/nging tan uning nglaksanayang/yadin akeh wong mangarti/ring kawruh rupi-rupi/tatampene sami dudu/muwuh keh nrebak larangan/yaning sapunika dadi/kewala wruh/bantas maring babawosan//(Pupuh Sinom, bait 6) Terjemahan: Meskipun banyak kaum terpelajar/menguasai seluk beluk ilmu pengetahuan/namun sayang mereka tidak mengetahui cara menerapkannya/meskipun banyak orang mengerti/pada bermacam-macam pengetahuan/pemahamannya banyak yang keliru/ditambah melanggar pantangan/kalau demikan halnya/hanyalah pintar sebatas dalam ucapan// Dari petikan tersebut diperoleh suatu gambaran tentang begitu banyak kalangan terpelajar atau intelektual yang mengetahui beragam jenis ilmu pengetahuan tetapi tidak mampu untuk mengaplikasikannya ( Yadin sami jadma wikan/ring katatuan sukmeng aji/nging tan uning nglaksanang ). Berbagai jenis ilmu diketahui, tetapi tiada satupun dari ilmu-ilmu tersebut yang dipahami secara baik ( yadin akeh wong mangerti/ring kawruh rupi-rupi/tatampene sami dudu ). Kalangan terpelajar tersebut hanyalah pintar sebatas dalam ucapan (kewala wruh/bantas maring babawosan ) Dari petikan tersebut dapat dipahami bahwa pengarang mengidealkan sosok intelektual atau kaum terpelajar, yang tidak hanya sebatas mengetahui bermacammacam ilmu, tetapi juga mampu menghayati dan melakoni pengetahuannya dalam keseharian. Hal ini menurut Sartono Kartodirjo (via P.Swantoro, 2016: 252) diistilahkan sebagai asketesisme intelektual. 5.2.2
Kritik terhadap Sikap Apriori akan Nilai dan Pengetahuan Tradisional
Sikap apriori yang dimaksud dalam uraian ini adalah suatu sikap yang secara mentah-mentah menolak semua nilai-nilai dan pengetahuan-pengetahuan tradisional. Menurut Alfian (1982: 449) sikap apriori tersebut disebabkan oleh dua hal. Pertama, kurangnya rasa kritis terhadap konsep-konsep yang datang dari luar sehingga diambil begitu saja tanpa meneliti relevansi kegunaannya secara sungguh-sungguh. Kedua, kurangnya pemahaman atau penghayatan terhadapa nilai-nilai dan pengetahuan tradisional.
425
ISSN: 2302-920X Jurnal Humanis, Fakultas Ilmu Budaya Unud Vol 18.2 Pebruari 2017: 421-428
Dalam GMS, terdapat beberapa bait yang mengkritik sikap apriori terhadap nilai serta pengetahuan tradisional. Bait-bait tersebut, antara lain : Tan ngrungu adat plajahan/ne nu nganggo pangupami/apa buin kakulitan/ngilidang tujuan sajati/kabatek duweg mamunyi/sajan masan rawos ratu/bani san jag mangiwangan/nyadcad paplajah ne nguni/kadi nyatru/ambul musuh kaliliran// (Pupuh Sinom, bait 14) Sing paplajahan karusak/kadekdek remukang ugi/tur raris malih kakutang/tan sudi pacang mangangge/sapidartanyane sami/kajelek-jelekang ratu/matinggal ring kasusilan/ne sampun ketah mamargi/tan kalingu/pan nora jani je kuna// (Pupuh Sinom, bait 15) … saluir paplajahan punika/kasiramin baan uyah/lawut kacadcad tan enti/ …. (Pupuh Sinom, bait 16, barisVI-VIII) Terjemahan: Tidak perduli dengan pengetahuan/yang masih memakai perumpamaan/ apalagi yang masih dibungkus/menyembunyikan tujuan yang sebenarnya/ disebabkan oleh lihainya berbicara/memang benar masanya bicara tuanku/ berani sekali sudah menyalahkan/mencela dan menghina pengetahuan yang dahulu/seperti memusuhinya/sepertinya sudah musuh turun-temurun// Setiap pengetahuan dirusak/diluluh-lantakan sekali/dan kemudian lagi dibuang/tidak rela akan memakainya lagi/setiap penjelasannya semuanya/ dijelek-jelekan tuanku/pergi dari tata-susila/yang sudah lumrah dipakai/ tidak dihiraukan/ karena bukan lagi zamannya yang kuna// … semua jenis pengetahuan itu/disirami dengan garam/kemudia dicela dengan tidak hentinya/ ….
Dari
petikan
di
atas
dapat
dilihat
adanya
suatu
gambaran
yang
merepresentasikan sikap apriori terhadap nilai serta pengetahuan-pengetahuan yang bersifat tradisional. Sikap apriori tersebut tampak pada sikap acuh tak acuh terhadap ajaran-ajaran tradisional yang berupa perumpamaan-perumpamaaan, acuh terhadap bahasa-bahasa yang tersembunyi maknanya (Tan ngrungu adat plajahan/ne nu nganggo pangupami/apa buin kakulitan/ngilidang tujuan sajati/). Pengetahuan-pengetahuan tradisional tersebut ditentang serta dihina (bani san jag mangiwangang/nyadcad plajahan ne nguni/). Pengetahuan tradisional dianggap musuh yang perlu dibasmi, sebab tiada layak lagi diterapkan (kadi nyatru/ambul musuh kaliliran// Sing paplajahan karusak/kadekdek remukang ugi/tur raris malih kakutan/tan sudi pacang mangangge//) 426
ISSN: 2302-920X Jurnal Humanis, Fakultas Ilmu Budaya Unud Vol 18.2 Pebruari 2017: 421-428
5.2.3
Kritik terhadap Gaya Hidup Hedonis
Dalam GMS, gaya hidup hedonis dituangkan dalam kutipan berikut ini. Sane kapingajeng iku/katujuwang ring pangapti/ngalimbakang pancendriya/ban edote tidong gigis/mangelah goba utama/ane luhur turing nginggil// (Pupuh Ginanti, bait 1) Tumbuh kapingin puniku/sinarengan makasami/waluya kadi inundang/rawuhnya mawarna-warni/ngrangsukin ragan sang murka/reh punika ne kaapti// ( Pupuh Ginanti, bait 2) Bas sanget edote iku/wastu gelis ada mijil/ne pacang dadi jalaran/krananing sarwa wredi/saprakara soroh corah/sasolah tindak tan yukti// (Pupuh Ginanti, bait 3) Terjemahan: Yang paling pertama itu/yang dicari dari keinginannya/memuaskan nafsu indriawi/karena keinginannya yang tidak sedikit/mempunyai wibawa yang utama/(kedudukan)yang luhur/dan (jabatan) tertinggi// Lahir dan keinginan itu/bersamaan semuanya itu/seumpamanya seperti di undang/datangnya beraneka ragam/ mempengaruhi menyusupi raga orang yang serakah/ karena itulah yang dinginkan// Karena begitu kuat dorongan nafsunya/agar lekas terwujud/ (sehingga) yang akan menjadi jalannya/ inilah yang menyebakan tumbuhnya/ semua bentuk perbuatan yang jahat/ tabiat yang tidak benar//
Petikan di atas menunjukkan bahwa pemenuhan nafsu-nafsu indriawi menjadi acuan
utama
atau
prioritas
(Sane
kaping
ajeng
iku/katujuwang
ring
pangapti/ngalimbakang pancendriya/). Begitu banyak hasrat atau keinginan yang menyelimuti, merasuki orang yang serakah (Tumbuh kapingin puniku/sinarengan makasami/waluya kadi inundang/rawuhnya mawarna-warni/ngrangsukin ragan sang murka/). Hasrat tersebut memunculkan niat untuk berbuat yang tidak baik (ne pacang dadi jalaran/krananing sarwa wredi/saprakara soroh corah/sasolah tindak tan yukti//). Melalui karya GMS, Jyestapatra atau Ida Bagus Putu Maron mengkritik adanya kecendrungan gaya hidup hedonis yang terjadi dalam masyarakat pada masa itu.
427
ISSN: 2302-920X Jurnal Humanis, Fakultas Ilmu Budaya Unud Vol 18.2 Pebruari 2017: 421-428
Sejatinya Jyestapatra hendak menyampaikan pesan moral bahwa di balik khayalan untuk bergaya hidup hedonis, menjerumuskan masyarakat untuk berbuat tidak baik. 6. Simpulan Berdasarkan uraian pada bab-bab sebelumnya, dapat ditarik dua simpulan sebagaimana halnya jumlah pertanyaan yang diajukan dalam rumusan masalah penelitian ini. Simpulan pertama, bahwa secara struktural GMS terdiri dari sejumlah unsur. Tiap-tiap unsur yang membangun struktur GMS saling terkait satu dengan yang lainnya. Relasi unsur-unsur dalam GMS saling berkontribusi dalam menciptakan efek estetis sekaligus memperjelas gagasan yang dikemukakan dalam GMS. Adapun aspek sosiologis yang terkandung dalam GMS, diantaranya: kritik terhadap kaum intelektual, kritik terhadap sikap apriori akan nilai dan pengetahuan tradisional, serta kritik terhadap gaya hidup hedonis. 7. Daftar Pustaka Agastia, IBG. 1984. “Sekapur Sirih” dalam Ki Jyestapatra. Masa Suara. Denpasar : Wyasa Sanggraha. Alfian. 1984. “Cendekiawan dan Ulama dalam Masyarakat Aceh : Pengamatan Permulaan” dalam Koentjaraningrat. Masalah-Masalah Pembangunan : Bunga Rampai Antropologi Terapan. Jakarta : LP3ES. Aminuddin. 2011. Pengantar Apresiasi Karya Sastra. Bandung : Sinar Baru Aglesindo. Keraf, Gorys, 2007. Diksi dan Gaya Bahasa. Jakarta: Gramedia. Pradopo, Rachmat Djoko. 1987. Pengkajian Puisi. Yogjakarta: Gadjah Mada University Press. Sancaya, IDG. Windhu. 1990. Bahasa Dalam Karya Sastra Geguritan. Denpasar: Universitas Udayana. Swantoro, P,. 2016. dari Buku ke Buku: Sambung Menyambung Menjadi Satu. Jakarta: Kepustakaan Populer Gramedia. Teeuw.A. 2013.Sastra dan Ilmu Sastra. Jakarta: Pustaka Jaya. Wellek, Rene dan Austin Warren. 2014. Teori Kesusastraan. (Edisi Terjemahan oleh Meliani Budianta).Jakarta : Gramedia.
428