BAB II ANALISIS STRUKTUR GEGURITAN SUMAGUNA
2.1 Sinopsis Diceritakan di Banjar Kawan ada seorang gadis yang sangat cantik bernama I Luh Raras, kecantikannya bagaikan Bidadari Supraba. Pada saat Purnamaning kapat, Luh Raras mandi menyucikan diri bersama gadis-gadis lainnya di pancuran beji. Sesampainya di rumah Luh Raras langsung dipeluk ibunya, sambil memberikan nasehat untuk mencari pendamping yang baik. Jangan sampai mendapat pemuda yang senang berjudi, berbohong, apalagi malas dan suka mabuk-mabukan karena akan membawa kesengsaraan. Di Banjar Kangin ada seorang pemuda bernama I Sumaguna. Kedua orang tuanya telah meninggal saat ia masih kecil, yang kemudian dibesarkan oleh orang tua angkatnya. Setelah dewasa Sumaguna tumbuh menjadi pemuda yang sangat tampan. Ia merupakan saudara sepupu I Luh Raras. Saat tiba hari kelahiran (otonan), ia pergi ke Griya memohon tirta kepada Ida Pedanda. Setelah diberikan tirta, ketampanan I Sumaguna bagaikan Dewa turun ke dunia. Ibu angkatnya bangga melihat. Kemudian I Sumaguna mencari seorang gadis dan pergi bersama teman-temannya menuju rumah Jero Ketut Kabayan yang terkenal memiliki seorang anak gadis yang sangat cantik. I Sumaguna duduk di bawah pohon beringin, di depan rumah I Luh Raras bersama dengan pemuda lainnya. Hari semakin siang, Luh Raras menenun kain, dan I Sumaguna memperhatikannya dari luar. Para pemuda saling mengeluarkan rayuan berharap agar diterima menjadi suaminya. Namun semua
14
rayuan tidak ada yang dihiraukan. Para pemuda merasa kecewa dan hatinya sangat hancur. Kemudian I Sumaguna dengan kata-kata manisnya merayu memuji kecantikan I Luh Raras bahwa tidak ada yang menyamai. Ia bersedia mendampingi I Luh Raras dalam suka dan duka, sehidup semati. Kemudian datanglah Jero Ketut Kabayan dari dalam rumah. Melihat I Sumaguna sangat tampan dan gagah, Jero Ketut Kabayan bertanya kepada I Sumaguna. Ia pejabat dari mana, baru pertamakali dilihat datang kerumahnya. Dengan kata-kata yang halus I Sumaguna mengatakan bahwa ia seorang pemuda miskin dari Kanginan, yang hidup sebatangkara ditinggal oleh kedua orang tuanya. Ayahnya bernama De Bandesa Ketut yang mengambil istri ke Banjar Kawan. Jero Ketut Kabayan terkejut, dan mengatakan bahwa ia bersaudara dengan Ibunya I Sumaguna yang telah meninggal dunia. Jero Ketut Kabayan mengajak I Sumaguna ke dalam rumah bertemu dengan istri dan anaknya. Sampai di dalam rumah, ia dipersilahkan duduk. I Luh Raras terpesona, kagum melihat I Sumaguna yang tampan. Luh Raras datang dengan membawakan sirih pinang dan rokok Kansas. Kemudian Jero Ketut Kabayan berkata bahwa anaknya jelek dan malas. Istrinya mengatakan bahwa I Luh Raras tidak punya saudara sehingga sangat disayangi. Setelah lama berbincang-bincang, I Sumaguna mohon diri pulang. Luh Raras meminta agar Sumaguna menginap. I Sumaguna mengatakan dilain waktu ia akan ke sana lagi. Hati Luh Raras sangat gembira kemudian masuk ke dalam kamar dan menutup pintu. Dalam perjalanan pulang, hati I Sumaguna gelisah tidak karuan, berharap Luh Raras mengikutinya dari belakang. Setelah malam tiba, ia sampai dirumah. Kemudian ia ke Sanggah dan memohon apabila berhasil mendapatkan
15
Luh Raras maka ia akan mempersembahkan seekor kerbau bertanduk emas dengan sesajen sayut agung. Setiap hari mempersembahkan tari Rejang Renteng dan Rejang Lilit. I Sumaguna masuk ke dalam kamar sambil meneteskan air mata. Ibu angkatnya datang membawa lampu sambil menanyakan kenapa ia bersedih. I Sumaguna mengatakan bila ia tidak mendapatkan Luh Raras maka ia akan bunuh diri. Ibu angkatnya tidak ingin I Sumaguna mati. Lalu ia mengatakan akan pergi merayu Luh Raras. Luh Raraspun sedang gelisah karena kasmaran, saat tidur ia bermimpi bertemu dengan I Sumaguna. Keesokan harinya, ibu angkat Sumaguna pergi ke rumah Luh Raras. Ia menjelaskan bahwa kedatangannya meminta agar Luh Raras bersedia menjadi istri I Sumaguna. Apabila Luh Raras tidak bersedia maka I Sumaguna akan bunuh diri. Mendengar penjelasan bibinya, Luh Raras bersedia dan menyuruh agar I Sumaguna menunggunya besok pagi di pancuran. Luh Raras membuat akal dengan menumpahkan air minum sehingga besok pagi bisa meninggalkan rumah. Luh Raras disuruh mengambil air oleh ibunya. Ia berjalan dengan terburu-buru. Sesampainya di pancuran, I Sumaguna langsung mengambil tangan Luh Raras. Luh Raras menangis dipelukan Sumaguna bahwa ia akan membayar hutang kepada Sumaguna dengan menjadi istrinya. Mereka berdua kemudian pulang ke rumah Sumaguna. Sampai di rumah mereka masuk ke dalam kamar memadu kasih. Ibu angkat Sumaguna menyuruh I Gede Nyoman sebagai utusan menyampaikan pesan kepada orang tua Luh Raras. Diceritakan Jero Ketut Kabayan telah mengetahui putrinya hilang. Ia menyuruh membunyikan kentongan. Suara kentongan bertalu-talu, warga banjar
16
berdatangan dengan membawa senjata. Kemudian datang I Gede Nyoman, meminta agar warga ditenangkan. I Gede Nyoman menjelaskan kedatangannya membawa pesan dari I Sumaguna, bahwa
Luh Raras kini berada di rumah
Sumaguna dan mohon maaf atas tindakan I Sumaguna. Kemudian memohon agar Jero Ketut Kabayan sudi menjadikan Sumaguna sebagai menantu. Jero Ketut Kabayan menyetujui, namun meminta agar I Sumaguna nyentana. Setelah lama berbicara, I Gede Nyoman mohon diri untuk pulang. Sesampainya di rumah, I Sumaguna menanyakan pada ayah angkatnya tentang kepergiannya tadi. I Gede Nyoman menjelaskan bahwa Jero Ketut Kabayan telah setuju, namun meminta I Sumaguna nyentana agar keluarga De Kabayan tidak kaputungan. I Sumaguna terdiam. Semua keputusan diserahkan pada orang tua angkatnya. Beberapa saat datanglah orang tua Luh Raras bersama warga lainnya. I Sumaguna menyapa sambil mempersilahkan duduk. Luh Raras keluar dari kamar kemudian duduk di belakang Sumaguna. Kedua putra-putri tersebut memohon maaf atas tindakan mereka. De Ketut Kabayan berkata, mungkin sudah kehendak Tuhan seperti ini. Ia meminta agar I Sumaguna bersedia nyaluk sentana. I Sumagunapun bersedia, orang tua angkatnya merelakan dan sangat sedih. Saat padewasan sukra umanis ukir, De Kabayan mengadakan upacara perkawinan I Sumaguna dengan putrinya Luh Raras. Sarana upacara telah siap, kedua pengantin kemudian berangkat menuju rumah Sumaguna diikuti oleh warga banjar. Seesampainya di rumah Sumaguna, kedua pengantin ke Sanggah Kemulan. Setelah memohon tirtha, I Sumaguna menghaturkan sembah bakti di Kamulan diiringi Kidung Wargasari. Ia kemudian pamitan dengan ibu angkatnya yang
menangis sambil memberikan nasehat. Kemudian upacara dilanjutkan
17
dirumah Luh Raras. Kedua pengantin menuju Sanggah Kemulan dan menghaturkan sembah bakti dipimpin oleh pemangku. Akhirnya rangkaian upacara perkawinan telah selesai. Pengantin tidak boleh bepergian selama tiga hari, jika dilanggar akan mendapatkan bahaya.
2.2. Struktur Forma Suatu tahapan dalam penelitian yang sangat penting dan sulit dihindari yaitu penelitian struktur. Sebab teori struktur bertujuan untuk membongkar dan memaparkan secermat, seteliti, semendetail dan semendalam mungkin keterkaitan dan keterjalinan semua anasir dan aspek karya sastra yang bersama-sama menghasilkan makna menyeluruh ( Teeuw, 1984 : 135 ). Kemudian seperti pandangan dari Marsono yang melihat struktur karya itu dari dua segi yaitu struktur forma dan struktur naratif. Struktur forma merupakan satu bagian dari keseluruhan struktur karya sastra yang mengulas tentang bentuk dan kemasan dalam menampilkan karya sastra itu sendiri, dan memiliki hubungan signifikan dengan isi yang dikandungnya. Dalam hal ini struktur forma meliputi : kode bahasa dan sastra, gaya bahasa serta ragam bahasa, dimaksudkan untuk memberikan gambaran tentang stilistika Bali, khususnya dalam geguritan.
2.2.1 Kode Bahasa dan Sastra Karya sastra geguritan adalah karya sastra yang dibentuk atau dibangun oleh pupuh-pupuh dengan persyaratan yang disebut dengan pada lingsa (Agastia, 1980 :17). Sebagai sebuah konvensi, pada lingsa merupakan aturan yang mengikat konstruksi suatu geguritan, yang dapat dipahami melalui pemahaman
18
masyarakat sastra yang mendukungnya. Aturan tersebut kemudian berfungsi sebagai kode sastra yang dibentuk melalui modifikasi unsur-unsur bahasa. Dengan demikian, maka kode bahasa dan sastra merupakan sebuah metrum suatu karya sastra yang dalam hal ini adalah geguritan dengan pada lingsa-nya. Dalam pemaknaan yang lebih khusus, pada lingsa umumnya mencakup tentang : (1) jumlah baris (palet) dalam setiap barit (pada). (2) Jumlah suku kata (kecap) dalam setiap baris. (3) Jatuhnya bunyi vokal suku kata terakhir dalam setiap baris. Untuk sistematika penyajian pada lingsa, maka dibuatkanlah kode sebagai sistem perlambang yang meliputi: 1.
Lambang bentuk yang mencakup suku kata (kecap) dilambangkan dengan “ - “, baris (palet) dilambangkan dengan “ / ”, dan bait (pada) dilambangkan dengan “ // ”.
2.
Lambang
bunyi
mencakup
:
bunyi
bahasa
yang
dapat
dilambangkan yaitu a, i, u, e, o, serta bunyi non bahasa yang sulit dilambangkan, digunakan untuk mempelajari tembang dhongdhing nada gong (Granoka,1981 :22). Untuk lebih jelasnya dapat dicermati pada lingsa pupuh ginada berikut : I
- - - - - - - - / 8a
II - - - - - - - - / 8i III - - - - - - - - / 8a IV - - - - - - - - / 8u V
- - - - - - - - / 8a
VI - - - - / 4i VII - - - - - - - - // 8a
19
Keterangan ; I – VII
: jumlah baris (palet)
-
: suku kata (kecap)
/
: penanda (satu) baris (palet)
//
: penanda (dua ) bait (pada)
8, 8, 8, 8, 8, 4, 8
: jumlah suku kata (kecap)
a, i, a, u, a, i, a
: jatuhnya bunyi vokal pada susku kata terakhir dalam suatu baris.
Geguritan Sumaguna yang dipakai sebagai objek penelitian, dibangun oleh satu jenis pupuh yaitu Pupuh Ginada. Pupuh ini diperkirakan lahir di Bali, yang biasanya digunakan untuk melukiskan kesedihan, kemeranaan atau kekecewaan (Tinggen, 1982: 35). Dalam perkembangannya Pupuh Ginada memiliki berbagai variasi tembang, seperti : Ginada Basur, Ginada Bungkling, Ginada Eman-eman, Lingga Petak dan sebagainya. Pupuh Ginada digunakan untuk menceritakan Geguritan Sumaguna dengan jumlah keseluruhan 214 bait. Berdasarkan skema di atas, maka tiap-tiap bait Pupuh Ginada terdiri dari 7 baris dengan aturan-aturan pada lingsa yang sudah baku. Dalam Geguritan Sumaguna banyak ditemukan yang tidak sesuai dengan skema pola umum pada lingsa Pupuh Ginada yang telah diuraikan di atas. Seperti kutipan di bawah ini : I Luh Raras angucap, Bapan tityang nlokin padi, Meme tityang ya ka Griya Nunas tirtha makta sibuh, Tityang jumah padidian, Tembe mangkin, Pradahane twara da ngunya.
(7a) (8i) (8a) (8u) (8a) (4i) (9a) (Ginada bait-134)
20
Berdasarkan kutipan di atas, pada Geguritan Sumaguna dapat kita lihat dengan jelas adanya penyimpangan-penyimpangan. Dalam hal ini terjadi penyimpangan suku kata (kecap) berupa kekurangan dan kelebihan suku kata. Pada bait 134 tersebut, baris ke-1 yang seharusnya berjumlah 8 suku kata (8a) tetapi dipakai 7 suku kata (7a), dan pada baris ke-7 yang seharusnya 8 suku kata (8a) tetapi dipakai 9 suku kata (9a). Begitu pula dengan bait-bait Pupuh Ginada yang lain juga terdapat penyimpangan yang sejenis. Bait yang mengalami kekurangan suku kata (kecap), diantaranya : bait 6 baris (5), bait 8 baris ( 3 dan 4), bait 14 baris (3), bait 15 baris (1 dan 3), bait 19 baris (1 dan 3), bait 20 baris (1), bait 21 baris (3dan 5), bait 25 baris (7), bait 26 baris (3 dan 4), bait 27 baris (1), bait 29 baris (1 dan 3), bait 32 baris (1), bait 36 baris (2 dan 3), bait 42 baris (3), bait 44 baris (7), bait 45 baris (1), bait 48 baris (7), bait 49 baris (7), bait 50 baris (2 dan 5), bait 51 baris (5), bait 52 baris (3), bait 54 baris (1), bait 61 baris (3), bait 62 baris (2), bait 64 baris (7), bait 68 baris (3), bait 75 baris (1), bait 79 baris (2 dan 3), bait 87 baris (5), bait 88 baris (4), bait 90 baris (3 dan 5), bait 96 baris (1), bait 100 baris (5), bait 106 baris (5), bait 107 baris (4), bait 109 baris (5), bait 112 baris (7), bait 125 baris (1 dan 5), bait 128 baris (4), bait 134 baris (1), bait 146 baris (5), bait 150 baris (2), bait 152 baris (2), bait 154 baris (1 dan 3), bait 157 baris (3), bait 159 baris (1), bait 161 baris (1), bait 163 baris (2), bait 170 baris (1), bait 177 baris (2 dan 5), bait 180 baris (1), bait 199 baris (5), bait 200 baris (2), bait 202 baris (7), bait 207 baris (1), bait 208 baris (1), bait 214 baris ((2). Sedangkan bait yang mengalami penyimpangan berupa kelebihan suku kata (kecap), diantaranya : bait 7 baris (3 dan 5), bait 12 baris (1), bait 14 baris (5), bait 18 baris (5), bait 19 baris (4), bait 28 baris (6), bait 30 baris (7), bait 34 baris (2),
21
bait 38 baris (5), bait 39 baris (2), bait 49 baris (6), bait 52 baris (2 dan 5), bait 61 baris (5), bait 71 baris (1), bait 80 baris (5), bait 85 baris (4), bait 96 baris (3 dan 5), bait 107 baris (7), bait 111 baris (4), bait 127 baris (7), bait 134 baris (7), bait 136 baris (7), bait 137 baris (6), bait 158 baris (1), bait 165 baris (5), bait 177 baris (3), bait 193 baris (1 dan 2), bait 199 baris (2), bait 207 baris (3), bait 211 baris (5), bait 212 baris (2). Selain
penyimpangan
jumlah
suku
kata
(kecap),
juga
terjadi
penyimpangan berupa perubahan bunyi vokal pada suku kata terakhir. Hal ini dapat dilihat pada kutipan berikut : Ne kagurit jadma dadwa, Dening rupannyane becik, I Luh Raras kocap reko, Makiken ya luwas mambuh, Liu anake misikang, Tuhu becik, Ayune twara da pada.
(8a) (8i) (8o) (8u) (8a) (4i) (8a) (Ginada, bait-2)
Perubahan bunyi vokal yang dimaksud dapat dilihat pada kutipan di atas yakni baris ke-3 yang seharusnya vokal a diganti dengan vokal o. Hal yang sama juga terjadi pada bait-bait yang lain diantaranya : bait 1 baris (3), bait 4 baris (5), bait 5 baris (3), bait 9 baris (3), bait 11 baris (3), bait 12 baris (3), bait 13 baris (3), bait 16 baris (3), bait 17 baris (3 dan 5), bait 18 baris (3), bait 22 baris (3), bait 23 baris (3), bait 27 baris (3), bait 28 baris (3), bait 31 baris (3), bait 35 baris (3), bait 37 baris (3), bait 39 baris (3), bait 40 baris (3), bait 43 baris (3), bait 44 baris (3), baris 45 baris (3), bait 46 baris (3), bait 48 baris (3), bait 49 baris (3), bait 50 baris (3). Demikian seterusnya hingga bait terakhir, perubahan bunyi vokal pada suku kata terakhir yang ditemukan secara konsisten terjadi pada baris ke-3, sehingga
22
hal tersebut dapat dikatakan sebagai variasi ciri khas pengarang dalam berkreativitas. Adanya penyimpangan tersebut bukan berarti dikarenakan kesalahan tulis, namun ada faktor lain yaitu kata-kata yang dipakai mengganti tidak ada yang bersuara akhir sesuai dengan pola umum pada lingsa-nya, jikalau dipaksa memakai kata lain, cerita akan lain atau putus. Pada dasarnya penyimpanganpenyimpangan yang terdapat pada Pupuh Ginada tersebut, tidak bisa mutlak dikatakan sebagai penyimpangan, namun lebih merupakan sebuah kretivitas pengarang dalam menyampaikan idenya. Dengan adanya denyutan-denyutan dalam kesusastraan Bali yang antara lain disebabkan oleh adanya penyimpangan dari konvensi sastra atau pada lingsa pupuh yang telah ada, maka kesusastraan Bali telah menunjukkan ciri khasnya (Agastia, 1980:20).
2.2.2 Gaya Bahasa Menurut Tarigan pengertian gaya bahasa adalah cara mengungkapkan pikiran melalui bahasa secara khas, sebagai refleksi dari jiwa dan kepribadian penulis atau pemakai bahasa yang didalamnya terdapat unsur kejujuran, sopan santun dan menaraik (1985 : 5). Lebih lanjut dikatakan, bahwa gaya bahasa meliputi : (1) Gaya bahasa perbandingan (perumpamaan, metafora, personifikasi, repersonifikasi, alegori, antitesis, pleonasme, perifrasi, antisipasi, koneksio), (2) Gaya bahasa pertentangan (hiperbola, litotes, ironi, oksimoron, paronomasia, paralipsis, zeugma, innuendo, antifrasis, paradoks, klimaks, antiklimaks, apostrof, anastrof, apofasis, proteron, hipalase, sinisme, sarkasme), (3) Gaya bahasa pertautan (metonimia, sinekdoke, alusi, eufimisme, eponym, epitet, antonomasia,
23
erotesis, paralelisme, ellipsis asyndeton, polisindeton), (4) Gaya bahasa perulangan (alitrasi, asonansi, kiasmus, epizeukis, taupotes, anaphora, epistrofa, simploke, mesodiplokis, anadiplokis). Dalam Bahasa Bali, juga memiliki gaya bahasa yang disebut basita paribasa. Dalam bukunya I Wayan Simpen A.B. menyebutkan bahwa basita paribasa adalah bicara atau kata-kata, ajaran, teguran, celaan, hardikan, ambukan, dan hukuman (1990:1). Basita paribasa itu mencakup : (1) sesonggan (pepatah), (2) sesenggakan (ibarat), (3) wewangsalan (tamil), (4) sloka (bidal), (5) bladbadan
(metafora),
(6)
peparikan
(pantun
indah),
(7)
pepindan
(perumpamaan), (8) sesawangan (perumpamaan), (9) cecimpedan (teka-teki), (10) cecangkriman (syair teka-teki), (11) cecangkikan (olok-olokan), (12) raos ngempelin (pelawak), (13) sesimbing (sindiran), (14) sesemon (sindiran halus), (15) sipta (alamat), (16) sesapan (doa). Masalah gaya dalam sastra berkaitan erat dengan masalah gaya dalam bahasa itu sendiri. Istilah gaya diangkat dari istilah style yang berasal dari bahasa latin stilus dan mengandung arti leksikal “alat untuk menulis”. Istilah gaya dalam karya
sastra
mengandung
pengertian
sebagai
cara
pengarang
dalam
menyampaikan gagasannya, dengan menggunakan media bahasa yang indah dan harmonis, serta mampu menuansakan makna dan suasana yang dapat menyentuh daya intelektual dan emosi pembaca (Aminuddin, 1987:72). Nurgiyantoro (1995: 227) menyebutkan istilah gaya bahasa dengan style pada hakekatnya merupakan teknik pemilihan ungkapan kebahasaan, yang dirasa dapat mewakili sesuatu yang akan diungkapkan. Unsur-unsur style yaitu : (1) unsur leksikal, sebagai pilihan kata-kata tertentu yang sengaja dipilih oleh
24
pengarang, (2) unsur gramatikal, merupakan pengaturan pada struktur kalimat, (3) retorika merupakan cara penggunaan bahasa untuk memperoleh efek estetis, yang di dalamnya termasuk : (a) pemajasan (gaya bahasa), dan (b) penyiasatan struktur (kalimat/ kebahasaan), (4) pencitraan/ image, merupakan rangsangan indera melalui ungkapan-ungkapan bahasa tertentu dalam karya sastra, dan (5) kohesi, merupakan hubungan yang bersifat mengingatkan antara bagian kalimat atau antar kalimat. Keberadaan gaya bahasa jika dihubungkan dengan struktur karya sastra mempunyai peranan yang cukup penting. Seorang pengarang yang tampil akan memanfaatkan bahasa untuk menciptakan nada dan suasana yang tepat guna, sehingga dapat
memukau pembaca (Tarigan,1986:
136). Tarigan
juga
menyebutkan bahwa gaya bahasa itu sebagai gaya atau teknik penggunaan bahasa yang bersifat khusus bagi maksud-maksud estetis, khususnya untuk mendapatkan nada dan keserasian hati. Terlebih lagi pada karya sastra puisi tradisional (geguritan), peranan gaya bahasa sangat penting dalam mencapai sebuah maksud dengan tidak meninggalkan nilai estetis. Pada dasarnya gaya bahasa mencakup tentang pengertian secara umum dan penggunaannya mempunyai peranan sangat penting. Dari beberapa ahli gaya bahasa memiliki kesamaan, bahwa bahasa dalam sastra mencakup majas/gaya bahasa seperti yang tersebut di atas. Dengan demikian, kajian gaya bahasa Geguritan Sumaguna hanya dilihat pada gaya bahasa/majas yang ada didalamnya. Pendeskripsian gaya bahasa yang lengkap, teliti dan rinci oleh Tarigan akan digunakan sebagai acuan, dengan membandingkan dan mengkombinasikan dengan deskripsi gaya bahasa di Bali yang disebut basita paribasa oleh Simpen.
25
Deskripsi model Tarigan diharapkan mampu mencermati secara mendetail/teliti keberadaan gaya bahasa pada Geguritan Sumaguna. Deskripsi model Simpen sebagai bagian dari Tata Bahasa Bali mempunyai hubungan yang erat dengan pengarang sebagai masyarakat penutur bahasa Bali dan naskah Geguritan Sumaguna sebagai karya sastra Bali. Dengan demikian analisis gaya bahasa Geguritan Sumaguna dapat dilakukan. Gaya bahasa perbandingan meliputi sepuluh jenis gaya bahasa, yang pertama adalah perumpamaan. Perumpamaan padanan kata dari smile dalam bahasa Inggris, yang berasal dari bahasa latin ‘seperti’. Dengan demikian, perumpamaan berarti perbandingan dua hal yang pada hakekatnya berlainan dan sengaja kita anggap sama (Tarigan, 1985:9). Dalam basita paribasa pada bahasa Bali, perumpamaan sepadan dengan pepindan, sesawangan dan sesenggakan (ibarat), pepindan pada dasarnya sama dengan sesawangan. Perbedaannya hanya pada penggunaan kata pembanding, seperti : buka, kadi, luwir, dan sebaginya, yang ditempatkan di awal mupun di tengah kalimat pada sesawangan, sedangkan penggunaan kata pembanding di atas tidak dipakai pada pepindan, dan adanya nasalisasi yang menyertainya. Sesenggakan (ibarat) pada dasarnya mirip dengan sesawangan, namun pada sesenggakan secara konsisten diawali oleh kata pembanding buka. Contoh perumpamaan dalam Geguritan Sumaguna dapat dilihat pada kutipan berikut :
Kadi apsari macangkrama (Ginada, bait 7, baris 5) ‘bagaikan bidadari sedang bersenang-senang’ artinya sangat menggoda. Kadi bulane purnama (Ginada, bait 10, baris 7) ’ bagaikan bulan purnama’ artinya cantik. Raga langsing mangurangka / alus kadi mas sinangling (Ginada, bait 11, baris 1 dan 2) ‘tubuhnya sangat serasi / halus bagaikan emas yang telah dibersihkan’ artinya tubuhnya halus mulus.
26
Kuku kadi manik banyu (Ginada, bait 11, baris 4) ‘kuku bagaikan permata manik banyu’ artinya kukunya putih. Lambe kadi manggis rempuh (Ginada, bait 12, baris 4) ‘bibirnya seperti buah manggis yang dibelah’ artinya bibir merah merekah. Rupa becik / kadi dedari Supraba (Ginada, bait 17, baris 6 dan 7) ‘wajahnya cantik / bagaikan bidadari Supraba’ artinya cantik tak tertandingi. Pamulune nyandat gading (Ginada, bait 40, baris 2) ‘tubuhnya bagaikan bunga kenanga kuning’ artinya tubuh lemah gemulai. Gobane liwating bagus / kadi surya wawu endag (Ginada, bait 42, baris 4 dan 5) ‘ wajahnya sangat tampan / bagaikan matahari yang baru bersinar’ artinya tampan berseri-seri. Alise madon intaran (Ginada, bait 70, baris 5) ‘alisnya bagaikan daun intaran’ artinya alisnya lancip. Susune nyangkih nyalang / kadi nyuh gadinge ilid (Ginada, bait 73, baris 1, 2) ‘payudaranya montok berkilau / seperti kelapa gading yang tersembunyi’ artinya payudaranya sangat bagus. Rambut samah maungkelan / demdem wilis / kadi mega ngemu udan (Ginada,bait 69, baris 5, 6, dan 7) ‘ rambut lebat bergelombang / hitan lebat kehijauan / bagaikan mendung menyimpan hujan’ artinya rambut hitam lebat. Swara manis / kadi sundari anginan (Ginada, bait 125, baris 6 dan 7) ‘ suara manis / seperti sundari terkena angin’ artinya suaranya nyaring. Kadi toya di don candung (Ginada, bait 135, baris 4) ‘bagai air di daun talas’ artinya tidak tenang. Kadi tunjunge kasatan / di tengah tlagane layu (Ginada, bait 136, baris 3 dan 4) ‘ seperti teratai kekurangan air / layu di tengah telaga’ artinya membutuhkan bantuan.
Gaya bahasa perbandingan berikutnya adalah alegori. Alegori berasal dari bahasa Yunani allegorien yang berarti “berbicara secara kias’ Tarigan (1985:24). Dalam Geguritan Sumaguna dapat dijumpai sebagai berikut :
Praraine mulan purnama / pamulune nyandat gading / rambut mekmek samah reko / lambe kadi manggis rempuh / isite ngembang rijasa / pakurining / untune katon gumiwang // (Ginada, bait 12)”wajahnya seperti bulan purnama / tubuhnya lemah gemulai / rambut sangat lebat / bibir seperti buah manggis dibelah / gusinya seperti mekar bunga rijasa / berjajar / giginya kelihatan bercahaya//
Raga lempung magelohan / katon kadi mas sinangling/ bangkyang rengkyang pupu meros / kasor empol gading bakung /
27
betek batise mamudak / lempung kuning / ngasorang pudak cinaga // (Ginada, bait 72)”badannya gemulai / kelihatan seperti emas yang diasah / pinggang ramping paha selanjar / mengalahkan putihnya inti bunga bakung / betisnya seperti bunga pudak / lentur bening / mengalahkan bunga pudak setaman//
Panjakang ja kuda tityang / depang tityang juru iring / dyastun I dewa kaleson / depang tityang juru tikul / pang eda manampak tanah / dyastun mati / bareng matunggalan bangbang// (Ginada, bait 74) “ jadikan saya sebagai pelayan / biarkan saya mengiringi / jika adinda kelelahan / biarkan saya yang memikul / agar tidak menyentuh tanah / biarpun mati / bersama dalam satu makam//
Sagenahe twara pasah / yaning dewa dadi pasih / tityang tansah dadi mina / yaning dewa dadi tunjung / tityang toyaning talaga / sekar manik / tityang dadi madubrata // (Ginada, bait 76)”dimanapun tidak akan terpisahkan / kalau adinda menjadi lautan / saya tidak lain menjadi ikannya / kalau adinda menjadi teratai / saya air telaga / bunga utama / saya menjadi madunya//
Gaya bahasa perbandingan berikutnya adalah Antitesisi. Antitesis berarti lawan yang tepat atau ‘pertentangan yang benar-benar’ (Poerwadarminta, 1976:52). Antitesis adalah gaya bahasa yang mengadakan komparasi atau perbandingan antara dua antonim yaitu kata-kata yang mengandung ciri-ciri semantik yang bertentangan (Tarigan, 1985:27). Dalam Geguritan Sumaguna dapat dijumpai penggunaannya sebagai berikut :
Purnama tilem mabersih (Ginada, bait 3, baris 2) “purnama tilem membersihkan diri” Cerik kelih pada bintan (Ginada, bait 3, baris 7) “kecil besar semua senang “ Luh muani pasalosoh (Ginada, bait 50, baris 3) “ laki perempuan lalu-lalang” Apang bareng jele melah (Ginada, bait 77, baris 1)”agar bersama suka dan duka”
Demikian gaya bahasa perbandingan yang terdapat dalam Geguritan Sumaguna. Bagian-bagian lainnya dari majas perbandingan selain yang tersebut di atas, tidak dijumpai penggunaannya dalam Geguritan Sumaguna.
28
Selanjutnya akan dicermati gaya bahasa pertentangan yang terdapat dalam Geguritan Sumaguna. Gaya bahasa pertentangan juga memiliki bagianbagian, yang pertama adalah hiperbola. Hiperbola adalah gaya bahasa yang mengandung pernyataan yang berlebih-lebihan dari segi jumlah, ukuran atau sifat, dengan maksud memberikan penekanan pada suatu pernyataan atau situasi, guna memperhebat / menekankan kesan dan pengaruhnya (Tarigan,1985:55). Dalam Geguritan Sumaguna keberadaan hiperbola dapat dijumpai pada kutipan berikut :
Rupa becik / kadi dedari Supraba (Ginada, bait 17, baris 6 dan 7) ‘wajahnya cantik / bagaikan bidadari Supraba’ Tuhu twah maniking gumi / dewa manyalantara (Ginada, bait 42, baris 2 dan 3) ‘ ia sungguh permata dunia / jelmaan dewa’ Wareg tityang tanpa neda (Ginada, bait 77, baris 7) ‘saya kenyang tanpa makan’ Inggih tityang jadma papa (Ginada, bait 81, baris 5) ’iya saya manusia hina’ Munyinnyane nyunyur manis (Ginada, bait 94, baris 2) ‘suaranya sangat manis’ Lesu buka tanpa jiwa (Ginada, bait 114, baris 5) ‘lemas seperti tidak bernyawa’ Awak tiwas ngulintik (Ginada, bait 123, baris 2) ‘kita sangat miskin’
Gaya bahasa pertentangan berikutnya yaitu litotes. Litotes adalah gaya bahasa mengandung pernyataan yang dikecil-kecilkan, dikurangi dari kenyataan sebenarnya, misalnya untuk merendahkan diri (Tarigan,1985:58). Dalam Geguritan Sumaguna dapat dijumpai penggunaannya pada kutipan berikut :
Depang tityang juru tikul (Ginada, bait 74, baris 4)” biarlah saya menjadi tukang pikul “ I Sumaguna sumawur / inggih tityang jadma papa (Ginada bait 81,baris 4 dan 5) “I Sumaguna menjawab / iya saya manusia hina” Mangelah pyanak adiri / ambek mayus buwin boda (Ginada, bait 106, baris 2 dan 3) “ mempunyai seorang anak / bersifat malas dan jelek”
29
Tiang cerik buwin bodo / goba tuna tur baligud (Ginada, bait 138, baris 3 dan 4) “saya kecil dan jelek / wajah jelek dan bodoh”
Gaya bahasa selanjutnya adalah gaya bahasa pertautan, pertama akan dibahas mengenai gaya bahasa eponym. Eponim adalah gaya bahasa yang mengandung nama seseorang yang sering dihubungkan dengan sifat tertentu sehingga nama itu digunakan untuk menyatakan sifat itu (Tarigan,1985:130). Penggunaannya dalam Geguritan Sumaguna adalah sebagai berikut :
Nyen to teka uli kelod / rupa becik / kadi dadari Supraba // (Ginada bait 17)’ siapakah itu datang dari selatan / wajahnya cantik / bagaikan bidadari Supraba’ Tuhu twah maniking gumi / Dewa manyalantara (Ginada bait 42)’ ia sungguh merupakan permata dunia / jelmaan Dewa’
Gaya bahasa berikutnya antonomasia. Antonomasia adalah gaya bahasa yang merupakan penggunaan gelar resmi atau jabatan sebagai pengganti nama diri (Tarigan, 1985:132). Penggunaannya dalam Geguritan Sumaguna dapat dilihat pada kutipan berikut :
Singnya rabin Anak Agung (Ginada, bait 18, baris 4)”bukankah istri Sang Raja” Ring Ida Paranda Putus (Ginada, bait 38, baris 4)”kepada beliau sang Pendeta” Kocap De Bandesa Ketut (Ginada, bait 82, baris 4)”diceritakan De Bandesa Ketut”
Demikianlah analisis gaya bahasa yang digunakan oleh pengarang dalam Geguritan Sumaguna. Gaya bahasa yang digunakan yaitu gaya bahasa perbandingan (perumpamaan, alegori dan antitesis), kemudian dilanjutkan dengan gaya bahasa pertentangan (hiperbola dan litotes) dan yang terakhir yaitu gaya bahasa pertautan (eponim dan antonomasia). Gaya bahasa yang dominan digunakan dalam Geguritan Sumaguna adalah gaya bahasa perbandingan yaitu perumpamaan.
30
2.2.3 Ragam Bahasa Ragam bahasa adalah variasi bahasa menurut pemakaian dan penggunaannya (Jendra,1981: 49). Ragam bahasa merupakan model penggunaan bahasa dalam teks. Geguritan Sumaguna sebagai sebuah karya sastra yang berbentuk geguritan dengan menggunakan ragam bahasa Bali Kepara. Bahasa Bali memiliki stratifikasi/tingkatan-tingkatan bahasa yang disebut dengan Anggah-Ungguhing Basa, yang menandakan adanya tingkatan sosial masyarakat Bali tradisional (wangsa/kasta) yang masih berlaku sampai saat ini. AnggahUngguhing Basa Bali adalah istilah untuk tingkatan-tingkatan bahasa dalam bahasa Bali, yang pemakaiannya telah diresmikan dalam Loka Karya bahasa Bali 1974 di Singaraja. Sebelumnya ada beberapa istilah untuk menyebutkan tingkatan-tingkatan dalam bahasa Bali antara lain : Masor Singgih Basa, atau Sor Singgih
Basa,
Kasar-Alus,
Undag-undagan
Basa,
Warna-Warna
Basa
(Suasta,1997:14). Mengenai stratifikasi bahasa Bali, akan digunakan deskripsi buku Unda Usuk Basa Bali dari Tim Peneliti FS.Unud (1978/1979) berdasarkan pertimbangan keefektifitasan dalam penyajiannya. Secara umum Tim Peneliti FS.Unud mengelompokkan stratifikasi bahasa Bali yang digunakan dalam berkomunikasi dapat dibedakan menjadi : Basa Bali Alus (BBA), Basa Bali Madia (BBM), dan Basa Bali Kasar (BBK). Berikut analisis ragam bahasa dengan menguraikan deskripsi tersebut dan mencermati penggunaannya dalam Geguritan Sumaguna. BBA merupakan BB yang mempunyai nilai rasa yang tinggi atau hormat, tersusun atas kata-kata/kalimat yang mengandung pengertian halus, dan
31
digunakan dalam pergaulan sopan untuk menghormati lawan bicara. Penggunaan BBA disebabkan adanya perbedaan identitas antara pembicara dengan lawan bicara. Dalam percakapan sehari-hari, BBA digunakan (1) dalam keluarga, (2) di masyaraka, (3) dalam adat dan agama, (4) bila membicarakan orang. Penggunaan BBA dalam Geguritan Sumaguna dapat diuraikan sebagai berikut : a.
BBA dalam keluarga Penggunaan BBA dalam keluarga mencerminkan sikap sopan santun
atau penghormatan dari mereka yang dianggap berstatus lebih rendah bila berbicara dengan mereka yang berstatus lebih tinggi seperti : anak berbicara kepada ayah dan ibu, adik berbicara kepada kakak, istri berbicara kepada suami. Pada Geguritan Sumaguna ini digunakan pada saat I Luh Raras berbicara dengan ayahnya Jro Ketut Kabayan dan berbicara dengan I Sumaguna. Hal ini dapat dilihat pada kutipan berikut : ……/ inggih mangkin / tityang kari ngelus tampar // (Ginada, bait 97, baris 6-7) …../ tityang ngaturin bli canang / niki ambil / tarunane manarima // (Ginada, bait 101, baris 5-7) Ibi pwane twahnya katah / bajang-bajange malali / tan wenten beli dirika / ring bajange sane kumpul / twara kakantenang tityang / tembe mangkin / beli ngunya raris simpang // (Ginada, bait 103) Terjemahan secara idiomatis : ……/ baiklah sekarang / saya masih melepaskan tali tenun // (Ginada, bait 97, baris 6-7) ….../ saya memberikan kakak sirih pinang / silahkan ambil / sang pemuda menerimanya // (Ginada, bait 101, baris 5-7) Banyak beberapa hari yang lalu / para pemuda yang jalan-jalan / tidak ada kakak di sana / di tempat pemuda yang berkumpul / saya tidak melihat / baru sekarang / kakak jalan-jalan lalu mampir // (Ginada, bait 103)
32
b.
BBA dalam masyarakat Dalam berkomunikasi di masyarakat, penggunaan BBA tampak dominan
bila seseorang berbicara kepada orang yang belum dikenal, wangsa yang lebih tinggi, orang yang lebih tua umurnya, pejabat atau orang berpangkat. Dalam Geguritan Sumaguna, hal ini digunakan saat I Gede Nyoman sebagai utusan berbicara dengan Jro Ketut Kabayan yang merupakan ayah dari Luh Raras. Hal ini dapat dilihat pada kutipan berikut : …../ I Gede Nyoman nyawur aris / tityang mariki gageswan / nunas babawos dumun / tityang naweg nunas ica / yaning langsir / ica bli tityang ngampura // (Ginada, bait 173) Piwekas I Sumaguna / nunas ica teken beli / apang beli kudu ngangga / maoka tur mamantu / ipun marasa klangsiran / pangkah budi / twara ngasen kalacura// (Ginada, bait 175) Sakayun beline duka / ipun wantah manatakin /..…(Ginada, bait 176, baris 1-2) Terjemahan secara idiomatis : …./ I Gede Nyoman menjawab pelan / saya kemari terburu-buru / minta pembicaraan dahulu / mohon maaf saya minta sesuatu / jika tidak berkenan / bersedia kakak memaafkan // (Ginada, bait 173) Sesungguhnya I Sumaguna / mohon maaf kepada kakak / agar kakak bersedia menerima / menjadikan anak sekaligus menantu / dia merasa bersalah / terlalu berani / tidak menyadari diri miskin // (Ginada, bait 175) Seandainya kakak marah / dia bersedia menerimanya/….(Ginada, bait 176, baris 1-2)
BBA juga digunakan pada saat berkomunikasi dengan orang yang belum dikenal guna menghindari kesalahpahaman. BBA digunakan oleh Jro Ketut Kabayan saat berbicara sebelum dia mengenal I Sumaguna. Hal ini dapat dilihat pada kutipan berikut :
33
…../ dane pragusti uli dija / tembe mangkin / kapanggih mriki mangunya // (Ginada, bait 80, baris 5-7) Brahmana gusti satriya / dening tityang twara uning / keni sampun salah rawos /…. (Ginada, bait 1-3) Terjemahan secara idiomatis : …. / saudara pejabat dari mana / tumben sekarang / kelihatan jalan-jalan kemari // (Ginada, bait 80, baris 5-7) Brahmana gustri kesatriya / karena saya tidak mengetahui / jelas sudah salah bicara /…. (Ginada, bait 80, baris 5-7)
2.3 Struktur Naratif Struktur naratif merupakan struktur yang mengungkap unsur-unsur atau elemen-elemen yang membangun sebuah karya sastra, dimana antara elemen yang satu dengan elemen yang lainnya saling kait mengkait sehingga terbentuklah kesatuan yang organis. Putra (1997:19) berdasarkan atas pendapat Jonathan Culler menyatakan bahwa sastra yang koheren minimal dituntut adanya unsur-unsur yaitu : penokohan, alur, latar, tema dan amanat. Berikut ini akan dijabarkan bagian-bagian struktur naratif dalam Geguritan Sumaguna yang meliputi insiden, alur/plot, tokoh dan penokohan, latar, tema dan amanat. 2.3.1 Insiden Insiden adalah kejadian atau peristiwa yang terkandung dalam cerita, besar atau kecil. Secara keseluruhan insiden-insiden ini menjadi kerangka yang membangun atau membentuk struktur cerita. Insiden-insiden ini diuji mengenai ada tidaknya hubungan yang satu dengan yang lainnya. Unsur yang dipakai mengujinya adalah plot (alur). Itulah sebabnya dalam sistematisasi analisis, insiden mendapatkan tempat pertama (Sukada, 1987:58). Ada dua macam insiden
34
: (1) Insiden pokok yang mengandung ide-ide pokok cerita yang menjuruskan kesimpulan cerita kepada adanya plot; (2) insiden sampingan yaitu yang menyimpang dari sebab akibat yang logis yang mengandung ide-ide sampingan dan karena itu tidak menjurus atau menunjang adanya plot (Sukada, 1987: 59). Selanjutnya Luxemburg (1984:150) lebih selektif mengemukakan bahwa insiden-insiden itu (ia menyebutnya dengan istilah peristiwa) dikelompokkan kedalam: (1) peristiwa fungsional yaitu peristiwa-peristiwa yang secara menentukan mempengaruhi perkembangan plot; (2) peristiwa kaitan yaitu peristiwa kecil yang berkaitan dengan peristiwa utama; (3) peristiwa acuan yaitu peristiwa yang tidak langsung mempengaruhi unsur-unsur yang lain; (4) hubungan antar peristiwa yaitu pengaturan kelompok-kelompok peristiwa (episode) yang ditemukan kemudian disaring untuk mendapatkan suatu peristiwa pokok. Berdasarkan uraian pendapat-pendapat mengenai insiden-insiden di atas, maka dapat dikatakan bahwa insiden merupakan suatu peristiwa atau kejadian yang terkandung di dalam suatu cerita, besar atau kecil secara keseluruhan menjadi kerangka yang membentuk struktur cerita. Bertolak dari pengertian di atas, analisis insiden dalam Geguritan Sumaguna akan dilakukan dengan lebih menekankan pada uraian insiden-insiden yang sifatnya fungsional. Dalam geguritan ini terdapat dua belas insiden yang saling berhubungan satu sama lainnya dan menunjukkan sebab akibat. Sehingga insiden-insiden tersebut bergerak dalam satu rangkaian yang utuh mewujudkan sebuah cerita.
35
Insiden pertama adalah Luh Raras mandi bersama para gadis lainnya di pancuran beji. Mereka bagaikan bidadari yang sedang bercengkrama, membuat hati tergoda. Hal ini dapat dilihat pada kutipan berikut : Tan kocap ya di jalan / sampun prapti ya ring beji / embahan pancorane ngalehgeh / manemonin nuju suwung / kadi apsari macangkrama / mangedanin / magawe atine mendra // (Ginada, bait 7) Terjemahan secara idiomatis: Tidak diceritakan di jalan / sudah sampai dia di pemandian / air pancorannya sangat besar / bertepatan sedang sepi / seperti bidadari yang bersenang-senang / menggoda / membuat hati tergoda // (Ginada, bait 7) Insiden kedua adalah kedatangan Luh Raras dari pancuran beji setelah selesai mandi. Luh Raras langsung dipeluk oleh ibunya sambil memberitahukan agar jangan terlalu sering pergi ke luar rumah, dan memberikan nasehat dalam mencari pendamping hidup. Hal ini dapat dilihat pada kutipan berikut : Kocap I Luh Raras / suba lingsir jani mulih / memennya manyaup nyangkol / nyai dewa kija nganggur / eda dewa pati luas / bajang jani / taruna makena guna // (Ginada, bait 27) Lamunnya taruna melah / tidongte atine sedih / singkaget taruna bodo / buduh mamotoh mangiyut / doyan gerit manelahang / ento pilihin / cerik kelih ngadu ada // (Ginada, bait 28) Terjemahan secara idiomatis: Diceritakan Luh Raras / sudah siang sekarang pulang / ibunya langsung memeluk / anakku kemana kamu pergi / jangan terlalu sering bepergian / pemuda sekarang / pemuda memakai guna-guna // (Ginada, bait 27) Kalau pemuda baik-baik / tidak akan membuat hati sedih / jika ternyata pemuda tidak baik / suka berjudi / akan menghabiskan harta kekayaan / itu perlu dipilih / dari kecil sampai besar mengaku kaya// (Ginada, bait 28) Insiden ketiga yaitu pada hari otonannya, I Sumaguna pergi memohon tirta ke Griya kemudian dinasehati oleh Ibu angkatnya agar mencari seorang gadis. Hal ini dapat dilihat pada kutipan berikut :
36
Jani nemonin otonnya / I Wayan kayeh mabresih / manunas tirtha ke Griya / ring Ida Paranda Putus / sawusan dane kicen tirtha /lumlum kuning / baguse twara da pada // (Ginada bait 38) Tumine masawang bangga / atman meme cai gusti / manguda jumah mangoyong / kema cai pesu nganggur / singnya ada daha melah / to eresin / apang benya kadung bintan // (Ginada, bait 43) Terjemahan secara idiomatis: Sekarang bertepatan hari kelahirannya / I Wayan mandi dengan bersih / memohon tirtha ke Griya / kepada Ida Padanda Putus / setelah dia diberikan tirtha / lumlum kuning / tidak ada yang menyamai kecantikannya // (Ginada, bait 38) Ibu angkatnya sangat bangga / wahai engkau anak ibu / kenapa berdiam diri di rumah / pergilah ke sana kamu jalan-jalan / apakah tidak ada gadis cantik / itu dirayu / supaya kamu lebih lincah // (Ginada, bait 43)
Insiden keempat yaitu I Sumaguna pergi menuju rumah Luh Raras di Banjar Kawan bersama dengan teman-temannya. Dia duduk di bawah pohon beringin depan rumah Luh Raras sambil mengeluarkan berbagai rayuan untuk meluluhkan hati Luh Raras. Hal ini dapat dilihat pada kutipan berikut : Meme tityang luwas ngunya / kakasihane ngajakin / dening orta melah reko / di Banjar Kawan ka ajum / pyanak de Ketut Kabayan / kasub becik / ngasorang karasminan // (Ginada, bait 48) Kocap I Sumaguna / malinggih soring waringin / di wangan I Luhe ngoyong / liu anake manganggur / mabriyuk tuun manyapa / uli kangin / tembe mariki mangunya // (Ginada, bait 55) Terjemahan secara idiomatis: Ibu saya pergi jalan-jalan / diajak oleh teman-teman / karena ada berita bagus / Banjar Kawan yang dituju / anaknya Jro Ketut Kabayan / terkenal cantik / mengalahkan keindahan // (Ginada, bait 48) Diceritakan I Sumaguna / duduk di bawah pohon beringin / diam di depan rumah Luh Raras / banyak orang yang bertandang / serempak menyapa / dari timur / tumben jalan-jalan kesini // (Ginada, bait 55)
37
Insiden kelima yaitu I Sumaguna diajak masuk ke dalam rumah oleh Jero Ketut Kabayan kemudian diperkenalkan dengan Luh Raras dan ibunya. Luh Raras jatuh hati melihat I Sumaguna yang sangat tampan. Hal ini dapat dilihat pada kutipan berikut : Jalanke singgah mulihan / katepuk teken I Bibi / apang benya kadung nawang / teken nyaman caine I Luh / tumulih lawut majalan / ngrihinin / tarunane di pungkuran// (Ginada, bait 84) Kocapan I Luh Raras / atine buka eresin / di patununan lengak-lengok / ngenot tarunane bagus / buka tong mampu maketegan / linglung paling / tunune tong karwan bikas // (Ginada, bait 96) Terjemahan secara idiomatis: Mari mampir ke rumah / bertemu dengan bibikmu / agar kamu tahu / saudaramu I Luh / kemudian berjalan / terlebih dahulu / pemudanya mengikuti di belakang // (Ginada, bait 84) Diceritakan Luh Raras / hatinya bagai dirayu / bengong di tempat menenun / melihat pemuda tampan / seperti tidak mampu menenun / gelisah / gerakan menenun tidak karuan // (Ginada, bait 96) Insiden keenam yaitu Sesampainya di rumah, I Sumaguna menuju Sanggah Kemulan memohon agar bisa mendapatkan Luh Raras. Selanjutnya dia berkata kepada Ibu angkatnya apabila tidak mendapatkan Luh Raras maka dia akan bunuh diri. Hal ini dapat dilihat pada kutipan berikut : Kocapan I Sumaguna / sampun peteng lantas mulih / raris ka sanggah mangojog / kadurus munyine pesu / Dewa ratu di Kamulan / dane mangkin / lamun bakat baan tityang // (Ginada, bait 116) Mangarsayang I Luh Raras / tityang mangaturang guling /….// (Ginada, bait 117) Raris ya bangun maserap / kenken baan tityang jani / tan urungan meme kado / matin tityang ngalih angkuh / yan tan bakat I Luh Raras / tityang pamit / mati ngalampusang awak // (Ginada, bait 121) Terjemahan secara idiomatis :
38
Diceritakan I Sumaguna / sudah malam kemudian pulang / selanjutnya menuju ke Sanggah / seketika dia berkata / Dewa Ratu di Kamulan / sekarang / kalau saya berhasil mendapatkan // (Ginada, bait 116) Mendapatkan I Luh Raras / saya menghaturkan guling /.…// (Ginada, bait 117) Kemudian dia bangun / apa yang saya lakukan sekarang / ibu akan siasia / mati saya tidak wajar / kalau tidak mendapatkan Luh Raras / saya pergi / mati bunuh diri // (Ginada, bait 121)
Insiden ketujuh yaitu Ibu angkat I Sumaguna menemui Luh Raras, meminta agar Luh Raras bersedia menjadi istri I Sumaguna. Ibu angkat I Sumaguna menjelaskan apabila Luh Raras tidak bersedia maka dia akan ikut bunuh diri bersama I Sumaguna. Luh Raraspun bersedia dan meminta agar besok pagi I Sumaguna menunggunya di pancuran sebelah barat. Hal ini dapat dilihat pada kutipan berikut : Tumin tarunane ngucap / yaning dewa nora sudi / munyine I Sumaguna / masanggup mamurang laku / meme sareng mangiringang / rakan nyai / kari dewa apang melah // (Ginada, bait 142) Pasawure I Luh Raras / yening sampunika bibi / tityang wantah mangiringan / lamun kudu pacang mupu / nanging tityang nunas ica / ring I beli / apang dane ngetut tityang // (Ginada, bait 144) Ne bwin mani pasemengan / wulyan tiyangnya mayahin / apang pradang ditu ngantos / di pancorane badawuh /….// (Ginada, bait145) Terjemahan secara idiomatis : Ibu angkat pemuda itu berkata / jika kamu tidak bersedia / I Sumaguna berpesan / akan bunuh diri / bibi juga ikut bersamanya / kakakmu / hendaknya kamu menjaga diri// (Ginada, bait 142) I Luh Raras menjawab / kalau demikian bibi / saya bersedia / jika ingin berhasil / saya memohon / kepada kakak / supaya dia mengikuti saya // (Ginada, bait 144) Besok pagi-pagi / karena saya menyanggupi / agar siap menunggu di sana / di pancuran sebelah barat /…(Ginada, bait 145)
39
Insiden kedelapan yaitu Luh Raras bertemu dengan I Sumaguna di pancuran beji. Sumaguna langsung memegang tangan Luh Raras kemudian memeluknya. Luh Raras mengatakan bahwa dirinya membayar hutang dengan menjadi istri dari I Sumaguna karena dia merasa berhutang janji. Hal ini dapat dilihat pada kutipan berikut : Taruna manyemak tangan / I Luh Raras ya manangis / sumawur I Sumaguna / meneng nyai dewa ratu / angganing awak mautang / mapan jani / I mirah mapanawuran // (Ginada, bait 160) Masawur I Luh Raras / inggih sanikan I beli / yaning tityang mutang harta / pipis anggen tityang nawur / mapan tityang mutang sabda / ring I beli / tityang dados panawuran // (Ginada, bait 161) Terjemahan secara idiomatis : Pemuda memegang tangan / I Luh Raras menangis / I Sumaguna berkata / hendaknya diamlah adikku / bagaikan orang berhutang / sekarang saatnya / si gadis harus membayar // (Ginada, bait 160) I Luh Raras menjawab / iya seperti yang kakak katakan / kalau saya berhutang harta / saya bayar dengan uang / karena saya berhutang janji / kepada kakak / diri sayalah yang saya pakai membayar // (Ginada, bait 161)
Insiden kesembilan yaitu Jero Ketut Kabayan menyuruh membunyikan kentongan setelah mengetahui putrinya hilang. Suara kentongan bertalu-talu, warga banjar datang beramai-ramai sambil membawa senjata. Hal ini dapat dilihat pada kutipan berikut : Tan kocap ya di jalan / kocap De kabayan mangkin / mara tahu ring kelangan / I Luh raras twara mantuk / memene sedih manguyang / nene jani De Kabayan medal // (Ginada, bait 166) Mangongkon ngebug tengeran / kulkule bulus mamunyi / banjar teke masrantaban / pada masanjata sampun / maruduan sareng katah / kadabdabin / kocap nyai Luh karangkat // (Ginada, bait 167) Terjemahan secara idiomatis:
40
Tidak diceritakan dia di jalan / sekarang diceritakan De Kabayan / baru mengetahui dirinya kehilangan / I Luh Raras tidak pulang ke rumah / ibunya sangat sedih / sekarang De Kabayan keluar rumah // (Ginada, bait 166) Memerintahkan untuk memukul kentongan / suara kentongan bertalutalu / warga banjar datang berbondong-bondong / semua membawa senjata / berduyun-duyun semuanya / bersiap-siap / karena Luh Raras kawin lari // (Ginada, bait 167) Insiden kesepuluh yaitu kedatangan I Gede Nyoman ke rumah Jero Ketut Kabayan sebagai utusan dari I Sumaguna. Dia meminta agar Ibu Luh Raras jangan bersedih dan menjelaskan bahwa Luh Raras akan dinikahi oleh I Sumaguna. Hal ini dapat dilihat dari kutipan berikut : I Gede Nyoman angucap / bawu tityang teka mai / praya nunas ica reko / depang monta imbok sungsut / memen nyai Luhe epag / mangayahin / pabwan genepnya alihang // (Ginada, bait 172) Ne mangkin tityang konkonan / ngrawos tkening beli mangkin / tityang twah majatiang / pangda beli salah sengguh / pyanak beli I Luh Raras ne ituni / I Sumaguna ngarangkat // (Ginada, bait 174) Terjemahan secara idiomatis: I Gede Nyoman berkata / baru saya datang kemari / memohon dengan sangat / cukup sudah kakak bersedih / ibu si gadis segera bergegas / menyuguskan / mengambil sirih pinang selengkapnya//(Ginada,bait 172) Sekarang saya sebagai utusan / berbicara dengan kakak sekarang / saya hanya menjelaskan / supaya kakak tidak salah paham / tadi I Luh Raras anak kakak / kawin lari dengan I Sumaguna// (Ginada, bait 174) Insiden kesebelas yaitu Orang tua Luh Raras datang ke rumah I Sumaguna bersama warga lainnya. Mereka disambut dengan baik oleh I Sumaguna. Setelah lama berbincang-bincang, De Ketut Kabayan menerima dengan iklas peristiwa yang terjadi dan menerima I Sumaguna sebagai menantu. Hal ini dapat dilihat dari kutipan berikut :
41
Tonden pragat ya makruna / raraman I Luhe prapti / sagerehan lanang wadon / kadang warga lyu saturut / I Sumaguna anyapa / Bapa bibi / naweg raris kaduhuran // (Ginada, bait 189) I Gede Ketut Kabayan / masawur munyine manis / eda cai mamanjangang / apan titah Sang Hyang Tuduh / nyundukang manemu karma / buka jani / bapa rena sasajayan // (Ginada, bait 192) Terjemahan secara idiomatis: Sebelum selesai pembicaraan / datanglah orang tua si gadis / laki-laki dan perempuan datang tiba-tiba / banyak warga yang mengikuti / I Sumaguna menyapa / paman bibi / silahkan keatas mengambil tempat duduk // (Ginada, bait 189) I Gede Ketut Kabayan / berkata dengan manis / jangan itu dipermasalahkan / karena sudah kehendak Tuhan / mempertemukan sebagai jodoh / saat ini / ayah sungguh-sungguh senang// (Ginada, bait 192) Insiden keduabelas yaitu Pada hari yang sangat baik Jro Ketut Kabayan mengadakan upacara perkawinan nyentana I Sumaguna dengan putrinya I Luh Raras. Sanak saudara dan warga banjar menghadiri upacara perkawinan tersebut. Hal ini dapat dilihat pada kutipan berikut: …../ kocap suba dewasa / dane mangkin / De Kabayan nangun karya // (Ginada, bait 199) Karyane makala-kalaan / tingkah caraning prabali / mepek upakara kawot / kadang braya sami rawuh / len malih babanjaran / luh muani / panyandrane ta kocapan // (Ginada, bait 201) Terjemahan secara idiomatis : …./ diceritakan tiba saatnya hari baik / sekarang beliau / De Kabayan mengadakan upacara // (Ginada, bait 199) Upacara perkawinan / seperti kebiasaan upacara di Bali / upacara cukup besar / sanak saudara semua datang / dan juga warga banjar / laki perempuan / penyambutannya tidak dibicarakan// (Ginada, bait 201)
42
2.3.2 Alur / Plot Menurut Teeuw (1984: 120), alur merupakan semua urutan peristiwa di dalam cerita rekaan yang secara sadar disusun selogis mungkin, sehingga urutan tersebut merupakan rangkaian sebab akibat. Semi (1988: 43) alur /plot adalah struktur rangkaian kejadian dalam cerita yang disusun sebagai sebuah interelasi fungsional yang sekaligus menandai urutan bagian-bagian dalam keseluruhan fiksi. Alur merupakan perpaduan unsur-unsur yang membangun cerita sehingga merupakan kerangka urutan cerita, alur merupakan suatu jalur tempat lewatnya rentetan peristiwa-peristiwa yang merupakan rangkaian pola tindak-tanduk yang berusaha memecahkan konflik yang terdapat didalamnya. (Esten, 1978:26) mengatakan bahwa alur adalah urutan (sambungsinambungnya) peristiwa dalam sebuah cerita rekaan. Urutan cerita yang dimaksud adalah kesinambungan peristiwa yang logis antara peristiwa yang satu dengan peristiwa yang lain, sehingga terdapatlah susunan cerita yang hidup dan problematik atau penuh persoalan. Dalam hal ini sebagian peristiwa diatas harus mencerminkan hubungan sebab akibat atau kausalitas. Suatu cerita pada garis besarnya dapat dibagi menjadi lima bagian yang mengikuti pola tradisional dengan unsur-unsurnya seperti : (1) Exposition yaitu pengenalan para tokoh, pembukaan hubungan menata adegan, menciptakan suasana, penyajian sudut pandang. (2) Complication yaitu peristiwa permulaan yang menimbulkan beberapa masalah kesukaran. (3) Rising Action yaitu mempertinggi/meningkatkan
perhatian
kegembiraan,
kehebohan,
saat
bertambahnya kesukaran atau kendala-kendala. (4) Turning point yaitu krisis atau klimaks, titik emosi dan perhatian yang paling besar serta mendebarkan. (5)
43
Ending yaitu penyelesaian peristiwa-peristiwa, bagaimana caranya para tokoh dipengaruhi dan apa yang terjadi atas diri mereka masing-masing (Tarigan, 1986:151). Bertolak dari pandangan tentang alur tersebut di atas maka alur adalah penggerak atau perangkai sebuah cerita, suatu peristiwa atau kejadian dalam pengertian plot adalah suatu sebab yang menimbulkan suatu akibat terlahirnya suatu peristiwa baru serta melengkapinya dengan pertanyaan “mengapa”. Dengan demikian plot dapat menimbulkan tegangan dalam cerita, sehingga menarik perhatian pembaca untuk bergerak menuntaskan membaca. Selanjutnya dapat dipahami alur/plot cerita Geguritan Sumaguna yang bergerak lurus, yaitu berawal pengenalan (eksposisi) tokoh I Luh Raras dan tokoh I Sumaguna. Tokoh I Luh
Raras sebagai seorang gadis yang sangat cantik,
banyak orang yang mengagumi karena tidak ada yang menyamai kecantikannya. Hal tersebut dapat dilihat pada kutipan berikut : Ne kagurit jadma dadwa / dening rupannyane becik / I Luh Raras kocap reko / makiken ya luwas mambuh / liu anake misikang / tuhu becik / ayune twara da pada // (Ginada, bait 2) Terjemahan secara idiomatis : Yang dikisahkan dua orang / karena wajahnya sangat menarik / I Luh Raras namanya / ia bersip-siap pergi keramas / banyak orang membicarakannya / sangat cantik / kecantikannya tidak ada yang menyamai // (Ginada, bait 2) Kemudian pengenalan tokoh I Sumaguna sebagai pemuda dari banjar Kangin yang hidup sebatangkara, diasuh oleh ibu angkatnya. I Sumaguna sangat tampan, tingkah lakunya baik dan menyenangkan hati. Ia adalah saudara sepupu dari Luh Raras. Hal tersebut dapat dilihat dari kutipan berikut :
44
Ana malih kocapan / taruna di Banjar Kangin / ubuh kangen teken awak / baane kaliwat lacur / ada tuminnya di nyama / mangolasin / manuduk nganggon pianak // (Ginada, bait 32) Suba ya menek taruna / rupane kadi ring tulis / baguse tong ada pada / sasolahan melad kayun / mawasta I sumaguna / mamisikin / teken dane I Luh Raras // (Ginada, bait 33) Terjemahan secara idiomatis: Ada lagi dikisahkan / pemuda di Banjar Kangin / sedih pada diri sendiri yang hidup sebatangkara / karena sangat nista / ada ibu angkatnya / mengasihani / diangkat menjadi anaknya // (Ginada, bait 32) Ia sudah tumbuh dewasa / wajahnya seperti diceritakan orang / ketampanannya tidak ada yang menyamai / perbuatannya membuat orang senang / bernama I Sumaguna / saudara sepupu / dari Luh Raras // (Ginada, bait 33) Pada hari otonannya, I Sumaguna pergi ke Griya memohon tirta kepada Ida Pedanda. Sumaguna menjadi kelihatan semakin tampan dan membuat ibu angkatnya sangat bangga. Ibu angkatnya menyuruh ia pergi mencari seorang gadis dan menyarankan pergi kerumah Luh Raras di Banjar Kawan. Terdapat dalam kutipan berikut : Tumine masawang bangga / atman meme cai gusti / manguda jumah mangoyong / kema cai pesu nganggur / singnya ada daha melah / to eresin / apang benya kadung bintan // (Ginada, bait 43) Mingkine yan cai enyak / mulih kawanan malali / ditu ada nyaman I Mbok / ngelah pianak luh aukud / teken cai nu mamisan / singnya jani / inget mangaku braya // (Ginada, bait 44) Terjemahan secara idiomatis: Ibu angkatnya sangat bangga / wahai engkau anak ibu / kenapa berdiam diri di rumah / pergilah ke sana kamu jalan-jalan / apakah tidak ada gadis cantik / itu dirayu / supaya kamu lebih lincah // (Ginada, bait 43) Apalagi kalau kamu mau / ke rumah Kawanan jalan-jalan / di situ ada saudara ibu / mempunyai seorang anak gadis / bersaudara sepupu denganmu / tidakkah sekarang / ingat dengan saudara // (Ginada, bait 44)
45
Dari persoalan di atas akan berkembang menuju ke arah alur yang selanjutnya yaitu komplikasi. I Sumaguna pergi bersama pemuda lainnya ke rumah Luh Raras. I Sumaguna mengeluarkan rayuan, puisi-puisi untuk menarik hati Luh Raras. Tiba-tiba datang ayah Luh Raras yaitu Jro Ketut Kabayan mengajak ia masuk ke dalam rumah bertemu dengan Luh Raras dan ibunya. Luh Raras jatuh hati pada Sumaguna yang tampan. Hal ini dapat dilihat pada kutipan berikut : Jalanke singgah mulihan / katepuk teken I Bibi / apang benya kadung nawang / teken nyaman cai I Luh / tumuli lawut majalan / ngrihinin / terunane di pungkuran // (Ginada,bait 84) Kocapan I Luh Raras / atine buka eresin / di patununan lengak lengok / ngenot tarunane bagus / buka tong mampu maketegan / linglung paling / tunune tong karwan bikas // (Ginada bait 96) Terjemahan secara idiomatis: Mari mampir ke rumah / bertemu dengan bibikmu / agar kamu tahu / saudaramu I Luh / kemudian berjalan / terlebih dahulu / pemudanya mengikuti di belakang // (Ginada, bait 84) Diceritakan Luh Raras / hatinya bagai dirayu / bengong di tempat menenun / melihat pemuda tampan / seperti tidak mampu menenun / gelisah / gerakan menenun tidak karuan // (Ginada, bait 96) Rising Action/konflik mulai memuncak pada saat I Sumaguna mengatakan pada ibu angkatnya bahwa ia akan bunuh diri apabila tidak mendapatkan Luh Raras. Ibu angkat Sumaguna menemui Luh Raras, mengatakan I Sumaguna akan bunuh diri jika tidak bisa menjadikan Luh Raras sebagai istri. Luh Raras bersedia menjadi istri Sumaguna dan menyuruh agar besok pagi menunggunya di pancuran sebelah barat. Dapat dilihat pada kutipan berikut : Raris ya bangun maserap / kenken baan tityang jani / tan urungan meme kado / matin tityang ngalih angkuh / yan tan bakat I Luh Raras / tityang pamit / mati ngalampusang awak // (Ginada, bait 121)
46
Pasawur I Luh Raras / yening sapunika bibi / tityang wantah mangiringan / lamun kudu pacang mupu / nanging tityang nunas ica / ring I beli / apang dane ngetut tityang // (Ginada, bait 144) Ne bwin mani pasemengan / wulyan tityangnya mayahin / apang pradang ditu ngantos / di pancorane badawuh / tumine gelis mangucap / Inggih nyai / kari I Luh meme budal // (Ginada bait 145) Terjemahan secara idiomatis: Kemudian ia bangun / bagaimana saya sekarang / ibu akan sia-sia / mati saya tidak wajar / kalau tidak mendapatkan Luh Raras / saya pergi / mati bunuh diri // (Ginada, bait 121) I Luh Raras menjawab / kalau demikian bibi / saya bersedia / jika ingin berhasil / saya memohon / kepada kakak / supaya dia mengikuti saya // (Ginada, bait 144) Besok pagi-pagi / karena saya membayar / agar ditunggu di sana / di pancuran sebelah barat / bibinya segera menjawab / iya anakku / mari Luh bibi permisi pulang // (Ginada, bait 145) Klimaks/turning point terjadi saat Luh Raras bergegas lari meninggalkan Rumah untuk bertemu dengan Sumaguna di pancuran. I Sumaguna memegang tangan Luh Raras yang sedang menangis, sambil berkata bahwa sudah saatnya Luh Raras membayar hutang. Hal ini dapat dilihat pada kutipan berukut : Tumulih june jemak / twara ada manepukin / pajalane sada encol / buka twara ada tau / tan kocapan ya di jalan / kaget prapti / sampun rawuh di kayehan // (Ginada, bait 159) Taruna manyemak tangan / I Luh Raras ya manangis / Sumawur I Suamguna / meneng nyai dewa ratu / angganing awak mautang / mapan jani I mirah mapanawuran // (Ginada, bait 160) Terjemahan secara idiomatis: Kemudian mengambil tempayan / tidak ada yang melihatnya / bergegas dia berjalan / seperti tidak ada yang mengetahui / tidak diceritakan di jalan / tiba-tiba sampai / sudah tiba di pemandian // (Ginada, bait 159) Pemuda memegang tangan / I Luh Raras menangis / I Sumaguna berkata / hendaknya diamlah adikku / bagaikan orang berhutang / sekarang saatnya / si gadis harus membayar // (Ginada, bait 160)
47
Jro Ketut Kabayan telah mengetahui putrinya Luh Raras hilang di bawa lari. Ia menyuruh membunyikan kentongan. Warga banjar datang berbondongbondong sambil membawa senajata. Hal ini dapat dilihat pada kutipan berikut : Tan kocap ya di jalan / kocap De Kabayan mangkin / mara tahu ring kelangan / I Luh Raras twara mantuk / memene sedih maguyang / Nene jani / De Ketut Kabayan medal // (Ginada, bait 166) Mangongkon ngebug tengeran / kulkule bulus mamunyi / banjar teka masrantaban / pada masanjata sampun /maruduan sareng katah / kadabdabin / kocap nyai Luh karangkat // (Ginada, bait 167) Terjemahan secara idiomatis: Tidak dikisahkan di jalan / sekarang diceritakan De Kabayan / baru mengetahui telah kehilangan / I Luh Raras tidak pulang / ibunya sedih tersedu-sedu / dan sekarang / De Ketut Kabayan keluar rumah // (Ginada, bait 166) Memerintahkan untuk memukul kentongan / suara kentongan bertalutalu / warga banjar datang berbondong-bondong / semua membawa senjata / berduyun-duyun semuanya / bersiap-siap / karena Luh Raras kawin lari// (Ginada, bait 167) Kemudian datang I Gede Nyoman sebagai utusan dari I Sumaguna. Ia memberitahukan kepada Jro Ketut Kabayan bahwa Luh Raras dijadikan istri oleh I Sumaguna dan mohon agar bersedia menjadikan Sumaguna sebagai menantu. Jro Ketut Kabayan menyetujui namun meminta agar I Sumaguna bersedia nyentana. Hal ini dapat dilihat pada kutipan berikut : De Ketut Kabayan ngucap/ ada pangidih beli / ken I cening Sumaguna / dening ya twah pada cumpu / dening adinnya I Luh Raras / twah adiri / twara ada buwin lenan // (Ginada, bait 179) Yening ia karsanan / lakar ajak beli dini / nyeburin nyaluk Santana / mangelahang aget lacur / sajelene pang ya suka / manatakin / mamatwa ring beli nista // (Ginada, bait 180) Terjemahan secara idiomatis :
48
De Ketut Kabayan berkata / ada permintaan kakak / kepada anakku Sumaguna / karena mereka telah setuju / karena adiknya I Luh Raras / bersaudara sendiri / tidak ada lagi yang lain // (Ginada, bait 179) Kalau ia bersedia / akan kakak ajak di sini / sebagai menantu (santana)/ memiliki segala suka dan duka / biarpun susah agar ia bahagia / menerima / mempunyai mertua yang miskin// (Ginada, bait 180) Ending/penyelesaian peristiwa-peristiwa dalam Geguritan Sumaguna yaitu Setelah beberapa hari lamanya Sumaguna memadu kasih dengan Luh Raras, akhirnya Jro Ketut Kabayan mengadakan upacara perkawinan nyentana antara Sumaguna dengan Luh Raras. Hal ini dapat dilihat pada kutipan berikut : Yan kudang dina suwennya / I Sumaguna siliasih / ring nyai Luh Raras reko / matwane pada satuju / kocap suba dewasa / dane mangkin / De Kabayan nangun karya // (Ginada, bait 199) Karyane makala-kalaan / tingkah caraning Prabali / mepek upakara kawot / kadang braya sami rawuh / len malih babanjaran / luh muani / panyandrane ta kocapan // (Ginada, bait 201) Ngantene raris majalan / nanjung sambuk muuk kakalih / turi muuk benang reko / sida pawarangne puput / puput pawidhi widhana / manganutin / anut cara kuna-kuna // (Ginada bait 212) Terjemahan secara idiomatis : Entah berapa hari lamanya / I Sumaguna memadu kasih / dengan sang gadis I Luh Raras / mertuanya sudah setuju / sudah ada hari baik / beliau sekarang / De Kabayan mengadakan upacara // (Ginada, bait 199) Upacara perkawinan / seperti kebiasaan upacara di Bali / upacara cukup besar / sanak saudara semua datang / dan juga warga banjar / laki perempuan / penyambutannya tidak dibicarakan// (Ginada, bait 201) Kemudian pengantin berjalan / melakukan upacara nanjung sambu / dilanjutkan dengan memutuskan benang / menunjukkan upacara besanan telah usai / selesailah rangkaian upacara perkawinan / menyerupai / seperti tradisi yang berlaku // (Ginada, bait 212) Berdasarkan serangkaian peristiwa-peristiwa yang saling berkaitan secara kronologis, maka dapat disimpulakan bahwa cerita Geguritan Sumaguna bila dilihat dari bentuknya menggunakan alur lurus yaitu peristiwanya berurutan
49
dari awal, tengah dan akhir. Jadi bila alur cerita Geguritan Sumaguna ini dikaitkan dengan konsep alur yang dikemukakan oleh Tarigan, maka alur cerita dapat digambarkan dengan pola seperti berikut :
Turning Point
Rising Action Ending Complicasion Exposition
2.3.3 Tokoh dan Penokohan Penokohan merupakan hal yang paling esensial dalam sebuah cerita. Faktor tokoh dianggap menduduki posisi penting, sebab pelukisan tokoh yang kuat dapat menumbuhkan fikiran dan imajinasi serta memberikan kesan seakanakan cerita ada dalam realitas. Hal ini bukan berarti bahwa sebuah cerita bukanlah sebuah deskripsi tentang penokohan saja, tetapi ia hanyalah salah satu aspek yang membangun struktur cerita. Aspek ini tidak dapat berdiri sendiri, dan tidak dapat dipisahkan dari aspek lain yang turut serta membangun struktur cerita, seperti tema, insiden, alur. Antara tokoh dan penokohan terdapat hubungan timbal balik, sehingga seperti yang dikatakan oleh Saleh Saad (1967:11), bahwa tokoh adalah penyebab terjadinya peristiwa, dan segala yang digunakan pengarang menampilkan tokohtokoh disebut penokohan. Penokohan dibedakan menjadi tiga yaitu cara analitik,
50
cara dramatik, dan cara gabungan. Penokohan dengan cara analitik ditandai dengan adanya campur tangan pengarang secara langsung di dalam melukiskan perwatakan tokoh-tokohnya. Penokohan dengan cara dramatik, pengarang membiarkan tokoh-tokohnya mengungkapkan menyatakan apa yang ada pada dirinya melalui ucapan, perbuatan, komentar atau melalui tokoh lain. Sedangkan yang dimaksud dengan cara gabungan adalah cara menggambarkan tokoh-tokoh secara analitik sekaligus dramatik atau sebaliknya. Dengan pengungkapan yang mirip, Aminudin mengatakan tokoh adalah pelaku yang mengemban peristiwa dalam cerita fiksi, sehingga peristiwa tersebut mampu menjalin suatu cerita, sedangkan penokohan adalah cara pengarang dalam menampilakan tokoh / pelaku (1987:79). Tarigan (1984: 150) mengatakan bahwa keberhasilan sebuah cipta sastra sangat tergantung pada kecakapan pengarang menghidupkan tokoh melalui imajinasinya. Seorang pengarang tidak boleh selalu memikirkan tokoh tersebur sebagai potret yang mati dan statis tetapi harus memandang menyajikannya sebagai hal yang hidup dan dinamis. Sukada berdasarkan Hutagalung menyatakan bahwa perwatakan seorang tokoh memiliki tiga dimensi sebagai struktur pokok yaitu fisikologis, psikologis dan sosiologis (1983:11). Ketiga sudut tersebut memiliki beberapa aspek yaitu dimensi fisikologis (tampang, jenis kelamin, cacat tubuh dan sebagainya), dimensi psikologis (angan-angan, kekecewaan, cita-cita ambisi, tempramen seseorang dan sebagainya) dan dimensi sosiologis (lingkungan, agama, bangsa, pangkat, keturunan atau asal-usul dan lain sebaginya).
51
Tokoh utama, sekunder dan pelengkap (komplementer), ditentukan oleh banyak atau sedikitnya seorang tokoh berhubungan atau kontak dengan tokohtokoh lainnya. Tokoh utama merupakan tokoh yang terlibat dan umumnya dikuasai oleh serangkaian peristiwa, tempat mereka muncul baik sebagai pemenang ataupun sebagai yang kalah, senang atau tidak senang, lebih kaya atau lebih miskin, lebih baik atau lebih jelek, tetapi semuanya merupakan yang lebih arif bijaksana bagi pengalaman dan menjadi orang yang baik mengagumkan sekalipun dalam kematian atau kekalahan (Tarigan,1984:143). Sedangkan tokoh sekunder merupakan tokoh yang berperan dalam menghadapi atau bersama-sama tokoh utama dalam membangun cerita, jadi geraknya tidak sedominan tokoh utama. Berikutnya tokoh pelengkap atau penunjang merupakan tokoh yang berfungsi membangun kelancaran gerak tokoh utama dan tokoh sekunder dalam cerita. Bertolak dari pengertian penokohan tersebut di atas, maka aspek penokohan dalam cerita Geguritan Sumaguna dinilai dari segi fisikologis, psikologis, dan sosiologis. Sebagai tokoh utama adalah tokoh I Sumaguna karena dia menjadi tokoh pusat (center figure) dalam pengisahannya. I Luh Raras sebagai tokoh kedua (sekunder), sedangkan Ibu angkat I Sumaguna, I Gede Nyoman (ayah angkat Sumaguna), Jro Ketut Kabayan (ayah Luh Raras), Ibu Luh Raras, para pemuda, dan warga banjar merupakan tokoh pelengkap (komplementer).
2.3.3.1 I Sumaguna sebagai tokoh utama I Sumaguna dapat dikatakan sebagai tokoh utama atau tokoh protagonis dalam cerita Geguritan Sumaguna, karena tokoh ini menjadi tokoh pusat (central
52
figure) dalam pengisahannya. Tokoh utama protagonis juga dapat ditentukan dengan
memperhatikan
hubungan
tokoh
serta
judul
cerita
seringkali
mengungkapkan siapa yang dimaksud dengan tokoh protagonis. Tokoh protagonis ini juga sudah sangat jelas nampak dalam judul cerita. Hubungan dengan tokohtokoh lain dan keterlibatannya dalam suatu peristiwa adalah sangat menentukan. I Sumaguna dinyatakan sebagai tokoh utama dapat dilihat dari intensitas kehadiran tokoh Sumaguna dari sejak awal cerita sampai akhir cerita mendapat porsi pelukisan yang relatif lebih banyak jika dibandingkan dengan tokoh-tokoh lainnya. Dari segi fisikologis tokoh I Sumaguna digambarkan sebagai seorang pemuda yang memiliki wajah sangat tampan. Ia bagaikan jelmaan dewa yang turun ke dunia. Pengarang melukiskan pada kutipan berikut : Jani nemonin otonnya / I Wayan kayeh mabresih/ manunas tirtha ke griya / ring Ida Paranda Putus / sawusan dane kicen tirtha / lumlum kuning / baguse twara da pada // (Ginada, bait 38) Rambute mekmek malemad / alise ngampid sasapi sriti / paliyate manis alon / lambe kadi manggis rempuh / isite ngembang rijasa / pakurining / untune katon gumiwang //(Ginada, bait 39) Sing teka pada misikang / tuhu twah maniking gumi / dewa manyalantara / gobane liwating bagus / kadi surya wawu endag / nyalang hening / kelangene di umbara // (Ginada bait 42) Terjemahan secara idiomatis: Sekarang hari kelahirannya / I Wayan mandi membersihkan diri / memohom tirtha ke griya / kepada sang pendeta / setelah dia biberikan tirtha / lumlum kuning / tidak ada yang menyamai ketampanannya // (Ginada, bait 38) Rambut panjang hitam lebat / alis seperti sayap burung wallet / pandangannya sangat lembut / bibir seperti buah manggis dibelah / gusinya seperti bunga rijasa / berjajar / giginya kelihatan bagaikan bercahaya// (Ginada, bait 39)
53
Setiap yang datang membicarakannya / sungguh merupakan permata dunia / jelmaan dewa / wajahnya sangat tampan / bagai matahari yang baru terbit / sejuk bersinar / sangat indah di angkasa // (Ginada, bait 39) Begitulah pengarang melukiskan bentuk fisik dari I Sumaguna yang menyebabkan semua warga kagum melihatnya. Dengan ketampanannya yang menawan membuat Luh Raras jatuh hati kepadanya. Dari segi psikologis I Sumaguna digambarkan sebagai orang yang pintar. Ia mampu melakukan berbagai macam pekerjaan dan pintar dalam berbagai hal seperti menggambar, menulis, mengukir dan ahli pahat. Selain itu I Sumaguna juga senang mencari sahabat dan sangat menyayangi sahabatnya. Pengarang melukiskan pada kutipan berikut : …../ Gaginane twara kurang / bisa nulis / nyanggingin ngukir mangambar //(Ginada, bait 34) Ulet tingkahe mabraya / manyama mitra asih / malih sane len-lenan / sangkan anake ulangun / sedih twah kapilulutan / ririh manis / bukanya tong taen iwang // (Ginada, bait 36) Terjemahan secara idiomatis: …./ tidak kekurangan pekerjaan / bisa menulis / sebagai tukang gambar, tukang ukir dan ahli seni pahat //(Ginada, bait 34) Senang bermasyarakat / menyayangi keluarga dan sahabatnya / juga yang lainnya / sehingga orang lain segan / terus mengalami kesedihan / pintar / seperti tidak pernah salah // (Ginada, bait 36) Selain itu pengarang juga melukiskan tokoh I Sumaguna memiliki sifat yang lemah dan cepat putus asa. Dia ingin bunuh diri apabila tidak berhasil mendapatkan I Luh Raras. Hal ini terlihat pada kutipan berikut : Raris ya bangun maserap / kenken baan tityang jani / tan urungan meme kado / matin tityang ngalih angkuh / yang tan bakat I Luh Raras / tityang pamit / mati ngalampusang awak // (Ginada, bait 121) Terjemahan secara idiomatis:
54
Kemudian dia bergegas bangun / apa yang saya lakukan sekarang / ibu akan sia-sia / mati saya tidak wajar / kalau tidak mendapatkan Luh Raras / saya pergi / mati bunuh diri // (Ginada, bait 121) Dari segi sosiologis I Sumaguna berasal dari Banjar Kangin. Dia hidup sebatangkara dan dirawat oleh ibu angkatnya. I Sumaguna sendiri merupakan saudara sepupu dari Luh Raras. Hal ini dapat dilihat pada kutipan berikut : Ana malih kocapan / taruna di Banjar Kangin / ubuh kangen teken awak / baane kaliwat lacur / ada tuminnya di nyama / mangolasin / manuduk nganggon pianak // (Ginada, bait 32) Suba ya menek taruna / rupane kadi ring tulis / baguse tong ada pada / sasolahan melad kayun / mawasta I Sumaguna / mamisikin / teken dane I Luh Raras // (Ginada, bait 33) Terjemahan secara idiomatis: Ada lagi dikisahkan / pemuda di Banjar Kangin / sedih pada diri sendiri yang hidup sebatangkara / karena sangat nista / ada ibu angkatnya / mengasihani / diangkat menjadi anaknya // (Ginada, bait 32) Ia sudah tumbuh dewasa / wajahnya seperti diceritakan orang / ketampanannya tidak ada yang menyamai / perbuatannya membuat orang senang / bernama I Sumaguna / saudara sepupu / dari Luh Raras // (Ginada, bait 33)
2.3.3.2 I Luh Raras sebagai tokoh kedua/ sekunder. Tokoh sekunder merupakan tokoh yang berperan dalam menghadapi atau bersama-sama tokoh utama dalam membangun cerita. Jadi geraknya tidak sedominan tokoh utama. Pada Geguritan Sumaguna dapat ditentukan tokoh sekundernya adalah Luh Raras. Dari segi fisikologis I Luh Raras dilukiskan sebagai tokoh yang memiliki wajah sangat cantik, tidak ada yang menyamai kecantikannya sehingga banyak orang yang membicarakannya. Pengarang melukiskannya pada kutipan berikut :
55
Ne kagurit jadma dadwa / dening rupannyane becik / I Luh Raras kocap reko / makiken ya luwas mambuh / liu anake misikang / tuhu becik / ayune twara da pada // (Ginada, bait 2) Praraine mulan purnama / pamulune nyandat gading / rambut mekmek samah reko / lambe kadi manggis rempuh / isite ngembang rijasa / pakurining / untune katon gumiwang // (Ginada, bait 12) Terjemahan secara idiomatis: Yang dikisahkan dua orang / karena wajahnya sangat menarik / I Luh Raras namanya / ia bersip-siap pergi keramas / banyak orang membicarakannya / sangat cantik / kecantikannya tidak ada yang menyamai // (Ginada, bait 2) Wajahnya seperti bulan purnama / tubuhnya sangat serasi / rambut sangat lebat / bibir seperti buah manggis dibelah / gusinya seperti bunga rijasa / berjajar / giginya kelihatan bagaikan bercahaya// (Ginada, bait 12) Demikian pengarang melukiskan bentuk fisik dari I Luh Raras yang menyebabkan orang lain kagum melihat. Dengan kecantikannya yang begitu menawan menyebabkan I Sumaguna jatuh hati bahkan sampai berniat bunuh diri apabila tidak berhasil mendapatkan Luh Raras. Dari segi psikologis I Luh Raras dilukiskan oleh pengarang sebagai anak yang pintar dan menyayangi orang tuanya. Pengarang melukiskan pada kutipan berikut : Sayangnyane tan perah / I bapa meme mamuji / akes munyine kaangga / anak ririh turing ayu / mararama lintang tresna / ririh manis / dharma alus ana goba // (Ginada, bait 20) Terjemahan secara idiomatis: Penuh dengan kasih sayang / ayah dan ibunya memuji / bicaranya menahan diri / orangnya pintar dan cantik / sangat menyayangi orang tuanya / sangat pintar / lemah lembut serasi dengan wajahnya // (Ginada, bait 20)
56
Di samping itu I Luh Raras juga memiliki sifat iklas dan pasrah terhadap jalan yang diberikan oleh Tuhan. Dia pasrah menerima jodoh yang nanti ia dapatkan. Terlihat pada kutipan berikut : Masawutnya I Luh Raras / twarako dadi pilihin / lamun twah tuduhe kawon / yadyante alih ne bagus / tan pendah sang manukaba / mangunggahin / ngulati sang satowana // (Ginada, bait 30) Dadi katepuk sang cangak / ne sadyayang dadi pelih / apan gantinnyane kawon / yadyante alih ne bagus / apan patuduhin Dewa /kudyang jani / Widhine tong dadi bikas // (Ginada, bait 31) Terjemahan secara idiomatis: I Luh Raras menjawab / itu tidak boleh dipilih / kalau sudah takdirnya tidak baik / kalaupun mencari yang baik / bagikan ayam jago / menginginkan / ingin berjumpa ayam hutan // (Ginada, bait 30) Namun bertemu burung bangau / akhirnya menjadi salah / kalau sudah takdirnya buruk / walaupun mencari yang baik / karena sudah kehendak Tuhan / apadaya / takdir Tuhan tidak bisa dihindari // (Ginada, bait 31) Selanjutnya akan di analisis tokoh sekunder dari segi sosiologis. I Luh Raras merupakan anak satu-satunya dari Jro Ketut kabayan (De Manesa Ketut) yang berasal dari Banjar Kawan. Hal ini dapat dilihat pada kutipan berikut : Masawut ane nawang / entone twah bajang cerik / I Luh uli Kawanan / okan dane Manesa Ketut / liu anak mamuduhang / rupa becik / pesengane I Luh Raras // (Ginada, bait 19) Terjemahan secara idiomatis: Yang mengetahuinya menjawab / dia adalah gadis muda / I Luh dari banjar Kawan / anak dari Jro Ketuk Kabayan (Bendesa Ketut) / banyak orang yang tergila-gila / wajah cantik / bernama I Luh Raras // (Ginada, bait 19)
2.3.3.3 Tokoh pelengkap/ komplementer Pengarang menampilkan tokoh pelengkap yang nantinya membantu kelancaran jalan ceritanya. Tokoh-tokoh tersebut
57
antara lain : Ibu angkat I
Sumaguna, Jro Ketut Kabayan (ayah Luh Raras), Ibu Luh Raras, I Gede Nyoman (ayah angkat Sumaguna), para pemuda, dan warga banjar merupakan tokoh pelengkap (komplementer). Dari segi fisikologis tokoh-tokoh pelengkap/ komplementer tidak digambarkan secara mendetail oleh pengarang.
Pengarang lebih banyak
melukiskan tokoh-tokoh pelengkap tersebut dari segi psikologis. Pengarang melukiskan tokoh komplementer pertama yaitu Ibu angkat I Sumaguna sebagai orang yang penyayang. Dia sangat menyayangi I Sumaguna seperti anak kandungnya sendiri. Ibu angkat I Sumaguna tidak ingin Sumaguna sampai bunuh diri sehingga dia pergi menemui Luh Raras dan merayu Luh Raras agar bersedia menjadi istri I Sumaguna. Hal ini terlihat pada kutipan berikut : Tumine alon angucap / depang meme manyadangin / twara cai pacang kado / depang meme mati malu / memeke pacang majalan / manglemesin / singnya kaget cai sadya // (Ginada, bait 122) Terjemahan secara idiomatis: Ibu angkatnya berkata pelan / biarlah ibu yang menggantikan / kamu tidak akan rugi / biarkan ibu mati terlebih dahulu / ibulah yang akan pergi / merayu / mudah-mudahan kamu beruntung // (Ginada, bait 122) Tokoh komplementer kedua yaitu Jro Ketut Kabayan. Pengarang melukiskan sebagai orang yang baik, memiliki sifat kekeluargaan yang sangat tinggi. Jro Ketut Kabayan mengajak I Sumaguna mampir, masuk ke dalam rumahnya untuk diperkenalkan pada Luh Raras dan istrinya. Pengarang melukiskan pada kutipan berikut : Jalanke singgah mulihan / katepuk teken I Bibi / apang benya kadung nawang / teken nyaman caine I Luh / tumulih lawut majalan / ngrihinin / tarunane di pungkuran // (Ginada, bait 84)
58
Kocap Jro Ketut Kabayan / teked jumah ya malinggih / tarunane nu mangoyong / di natahe nu majujuk / gurunnya nunden menekan / dong mariki / negak bareng ajak bapa // (Ginada, bait 86) Terjemahan secara idiomatis : Mari mampir ke rumah / bertemu dengan bibikmu / agar kamu tahu / saudaramu I Luh / kemudian berjalan / terlebih dahulu / sang pemuda mengikuti di belakang // (Ginada, bait 84) Diceritakan jro ketut kabayan / sampai di rumah dia duduk / sang pemuda masih terdiam / masih berdiri di halaman / ayahnya mempersilahkan naik / mari silahkan / duduk bersama ayah // (Ginada, bait 86) Selain memiliki sifat kekeluargaan, Jro Ketut Kabayan juga memiliki sifat bijaksana dan pasrah menerima segala yang telah ditakdirkan oleh Tuhan dengan iklas dan lapang dada. Jro Ketut Kabayan menerima dengan iklas kejadian yang dialami oleh keluarganya. Pengarang melukiskan pada kutipan berikut : I Gede Ketut Kabayan / masawur munyine manis / eda cai mamanjangan/ apan titah Sang Hyang Tuduh / nyudukang manemu karma / buka jani / bapa rena sasajayan // (Ginada, bait 192) Terjemahan secara idiomatis: I Gede Ketut Kabayan / berkata dengan manis / jangan itu dipermasalahkan / karena sudah kehendak Tuhan / mempertemukan sebagai jodoh / saat ini / ayah sungguh-sungguh senang // (Ginada, bait 192)
Tokoh komplementer ketiga adalah Ibu Luh Raras, memiliki sifat penyayang. Menginginkan yang terbaik untuk anaknya sehingga menasehati anaknya dalam memilih pendamping hidup agar jangan sampai menyesal di kemudian hari. Selain itu, dia sangat menyayangi Luh Raras karena Luh Raras merupakan anak satu-satunya. Pengarang melukiskan pada kutipan berikut : Kocapan I Luh Raras / suba lingsir jani mulih / memennya manyaup nyangkol / nyai dewa kija nganggur / eda dewa pati luwas / bajang jani / taruna makena guna // (Ginada, bait 27)
59
Lamunnya taruna melah / tidongte atine sedih / singkaget taruna bodo / buduh mamotoh mangiyut / doyan gerit manelahang / ento pilihin / cerik kelih ngadu ada // (Ginada, bait 28) Tumine raris angucap / adin caine twah dini / twara pisan dadi tagok / baane twah aukud / sangkal meme manyayangan / adin cai / baane twara ada lenan // (Ginada, bait 107) Terjemahan secara idiomatis: Diceritakan Luh Raras / sudah siang sekarang pulang / ibunya langsung memeluk / anakku kemana kamu pergi / jangan terlalu sering bepergian / pemuda sekarang / pemuda memakai guna-guna // (Ginada, bait 27) Kalau pemuda baik-baik / tidak akan membuat hati sedih / jika ternyata pemuda tidak baik / suka berjudi / akan menghabiskan harta kekayaan / itu perlu diteliti / dari kecil sampai besar mengaku kaya// (Ginada, bait 28) Bibinya kemudian berkata / adikmu di sini / tidak bisa diharapkan / karena dia anak tunggal / sehingga bibi menyayanginya / adikmu / karena tidak ada yang lainnya // (Ginada, bait 107) Tokoh komplementer keempat yaitu I Gede Nyoman, yang merupakan utusan dari I Sumaguna. I Gede Nyoman memiliki kepribadian yang sopan dan santun. Bertata krama sangat baik ketika menyampaikan pesan kepada Jro Ketut Kabayan. Dia berbicara dengan tutur kata yang manis dan penuh rasa hormat. Dia menyampaikan permohonan maaf dari Sumaguna karena telah melarikan I Luh Raras. Pengarang melukiskan pada kutipan berikut : Gede Nyoman madahar canang / I Gede Nyoman nyawur aris / tityang mariki gageswan / nunas babawos dumun / tityang naweg nunas ica / yaning langsir / ica bli tityang ngampura // (Ginada, bait 173) Ne mangkin tiyang konkonan / ngrawos tkening beli mangkin / tityang twah majatiang / pangda beli salah sengguh / pyanak beli I Luh raras / ne ituni / I Sumaguna ngarangkat // (Ginada, bait 174) Terjemahan secara idiomatis: Gede Nyoman menggunakan sirih pinang / I Gede Nyoman menjawab pelan / saya kemari terburu-buru / minta persetujuan terlebih dahulu /
60
mohon maaf saya minta sesuatu / jika tidak berkenan / semoga kakak bersedia memaafkan // (Ginada, bait 173) Sekarang saya sebagai utusan / berbicara dengan kakak sekarang / saya hanya menjelaskan / supaya kakak tidak salah paham / tadi I Luh Raras anak kakak / kawin lari dengan I Sumaguna// (Ginada, bait 174) Selain tokoh di atas, pengarang juga menampilkan tokoh komplementer kelima yaitu para pemuda dan masyarakat (krama) banjar sebagai tokoh pelengkap/ komplementer keenam. Para pemuda ditampilkan saat Luh Raras pulang dari pemandian dan bertemu dengan para pemuda yang sedang berkumpul. Pengarang hanya melukiskan para pemuda dari segi psikologis, yaitu ada yang memiliki sifat jahat dan sifat yang baik. Pemuda yang memiliki sifat jahat berkeinginan untuk memperkosa Luh Raras, dapat dilihat dari kutipan berikut : Masawut ne sada jaat / ya twah buka idep beli / lamunte kenehe jolot / da ngitungan ati takut / jalanke pisan prakosa / ditu alih / dikayehan parakosa // (Ginada, bait 23) Terjemahan secara idiomatis: Yang agak jahat menjawab / jika seperti yang kakak pikirkan / kalau berkeinginan jahat / jangan hiraukan hati takut / ayo sekalian perkosa / cari di sana / perkosa di pemandian // (Ginada, bait 23) Pemuda yang memiliki sifat baik ditunjukkan oleh pemuda yang memberikan nasehat atau pertimbangan kepada pemuda lain. Hal ini terlihat pada kutipan berikut : Mangucap ne papatutan / apane buwin rasanin / lamunte kenehang pragat / de ngenehang mati idup / yan idupe tonden inggas / sapamargi / len akuda itungang // (Ginada, bait 25) Terjemahan secara idiomatis: Mengatakan yang sebenarnya / apa yang dirasakan lagi / kalau sudah demikian keputusannya / jangan memikirkan hidup dan mati / kalau belum saatnya hidup ini berakhir / dalam perjalanan / ada beberapa hal yang perlu dipikirkan // (Ginada, bait 25)
61
Dari segi psikologis para pemuda yang ikut merayu Luh Raras bersama I Sumaguna, memiliki penyesalan teramat dalam, menyalahkan Tuhan yang telah menakdirkan mereka tidak pernah merasakan kebahagiaan. Hal ini terlihat pada kutipan berikut : Anggurne jani kocapan / nyelsel awak pada mulih / tan pakerti dadi jadma / liwat ibane tumbuh lacur / liwat bane tane bagya / widhi begig / sing alih twara maan // (Ginada, bait 85) Terjemahan secara idiomatis: Sekarang diceritakan pemuda yang bertandang / pulang menyesali diri / tidak pernah berguna menjadi manusia / terlalu benyak mendapatkan kesengsaraan / tidak pernah mendapatkan kebahagiaan / Tuhan jahat / setiap yang dicari tidak pernah didapatkan // (Ginada, bait 85) Tokoh pelengkap/komplementer keenam yaitu masyarakat (krama) banjar. Dari segi psikologis masyarakat banjar digambarkan ada yang memiliki sifat emosional dan ada juga yang memiliki ketenangan dalam menghadapi permasalahan. Sifat emosional masyarakat terlihat ketika mengetahui Luh Raras dilarikan oleh I Sumaguna, mereka datang sambil membawa senjata dan ingin membuhuhnya apabila melawan. Dapat dilihat pada kutipan berikut ; Ne bangras ada mangucap / jalan jani saluksukin / sagenah-genahnya nongos / tan wurung pacang katepuk / parikosa ya palasang / dane mwani / yen galak lantas matiang // (Ginada, bait 168) Terjemahan secara idiomatis: Yang marah berkata / mari mencarinya sekarang / dimanapun tempat dia berada / pasti akan ketemu / pisahkan jika diperkosa / yang laki-laki / bunuh jika melawan // (Ginada, bait 168) Sedangkan sifat tenang dalam menghadapi permasalahan ditunjukkan salah seorang masyarakat yang memberikan nasehat agar jangan gegabah. Hal ini terlihat pada kutipan :
62
Ada len malih angucap / da kadurus ban mamunyi / mapan truna twara tawang / singnya I Luh suba nyunduk / suba patut nemu karma / ….(Ginada, bait 169) Terjemahan secara idiomatis: Ada yang lain berkata / jangan sembarangan berbicara / sebab pemuda tidak jelas / tidakkah I Luh sudah setuju / sudah menemukan jodohnya/….(Ginada, bait 169) Demikianlah
gambaran
mengenai
penokohan
dalam
Geguritan
Sumaguna baik tokoh utama, sekunder maupun komplementer yang saling membantu dan saling terkait sehingga terwujud sebuah alur cerita yang baik dan utuh. Penokohan tersebut ditampilkan pengarang dengan cara analitik yaitu pengarang secara langsung melukiskan perwatakan tokoh-tokohnya. Selain itu digunakan
juga
cara
dramatik,
pengarang
membiarkan
tokoh-tokohnya
mengungkapkan apa yang ada pada dirinya melalui ucapan, perbuatan
atau
melalui tokoh lain.
2.3.4 Latar Menurut Hutagalung (1976:102), latar (setting) merupakan gambaran tempat dan waktu atau segala situasi di tempat terjadinya peristiwa. Lebih jauh dikatakan bahwa sebuah latar bukanlah sekedar pelukisan waktu dan tempat. Pelukisan sebuah latar yang baik tergantung pada kekuatan diri pengarang melukiskannya. Latar (setting) dapat diartikan sebagai salah satu unsur sastra yang berhubungan dengan tempat, keadaan dan waktu terjadinya peristiwa dalam sebuah cerita. Berdasarkan hal itu, Robert Stanton (dalam Suastika, 1986:93) memberikan pengertian bahwa latar sebuah cerita sebagai lingkungan kejadian,
63
dunia dekat tempat kejadian tersebut terjadi. Bagian-bagian latar tersebut dapat berupa faktor yang dapat kelihatan atau faktor waktu, musim, atau periode kesejahteraan. Latar disampaikan melalui bagian-bagian deskripsi, sehingga banyak pembaca tidak sabar karena sudah lebih dari cukup umtuk memahaminya dan ingin langsung saja pada cerita. Latar tidak saja berkaitan erat dengan penokohan, tetapi berkaitan pula dengan tema cerita (Esten,1978:88). Dengan demikian secara terperinci latar meliputi penggambaran lokasi geografis, termasuk topografi, pemandangan sampai kepada perincian perlengkapan sebuah rumah, pekerjaan atau kesibukan sehari-hari, agama, moral intelektual, sosial emosional para tokoh (Sudjiman, 1988:44). Pendapat ini sejalan dengan pendapat Sukada (1983:24) yang mengatakan bahwa, latar dalam cerita pada umumnya banyak menimbulkan suasana
emosional
yang
menceritakan
perwatakan.
Latar
biasanya
mengekpresikan tokoh-tokoh cerita yang memiliki hubungan yang erat dalam alam
dan
manusia.
Kehadiran
latar
sebagai
unsur
cerita
merupakan
penyempurnaan cerita itu dan dapat membangun suasana yang diharapkan menghasilkan kualitas keterangan efek cerita. Jadi latar sebagai efek visualisasi peristiwa dalam suatu cerita. Pengertian-pengertian latar yang telah dikemukakan di atas pada dasarnya tidaklah saling bertentangan, melainkan saling melengkapi antara satu dengan yang lainnya. Berdasarkan batasan-batasan tersebut, maka latar yang terdapat dalam cerita Geguritan Sumaguna adalah sebagai berikut :
64
Dalam cerita Geguritan Sumaguna kebanyakan peristiwa-peristiwanya terjadi di suatu banjar yaitu Banjar Kangin dan Banjar Kawan. Banjar Kangin ini merupakan daerah tempat tinggal atau rumah dari I Sumaguna, sedangkan Banjar Kawan merupakan daerah tempat tinggal atau rumah I Luh Raras. Hal ini dapat dilihat pada kutipan berikut : Ana malih kocapan / taruna di Banjar Kangin / ubuh kangen teken awak / baane kaliwat lacur / ada tuminnya di nyama / mangolasin / manuduk nganggon pianak // (Ginada, bait 32) Terjemahan secara idiomatis : Ada lagi dikisahkan / pemuda di Banjar Kangin / sedih pada diri sendiri yang hidup sebatangkara / karena sangat nista / ada ibu angkatnya / mengasihani / diangkat menjadi anaknya // (Ginada, bait 32) Dari kutipan di atas terlihat latar cerita terdapat di suatu banjar yang bernama Banjar Kangin, dimana I Sumaguna tinggal bersama ibu angkatnya. Sedangkan Banjar Kawan yang merupakan tempat tinggal I Luh Raras, terlihat pada kutipan berikut : Meme tityang luwas ngunya / kakasihane ngajakin / dening orta melah reko / di Banjar Kawan ka ajum / pyanak de Ketut Kabayan / kasub becik / ngasorang karasminan // (Ginada, bait 48) Terjemahan secara idiomatis : Ibu saya akan pergi jalan-jalan / diajak oleh teman-teman / karena ada berita bagus / Banjar Kawan yang dituju / anaknya Jro Ketut Kabayan / terkenal cantik / mengalahkan keindahan // (Ginada, bait 48) Latar tempat selanjutnya yaitu Griya tempat I Sumaguna memohon tirtha kepada Ida Peranda Putus. Hal ini dapat dilihat pada kutipan berikut : Jani nemonin otonnya / I Wayan kayeh mabresih / manunas tirtha ka Griya / ring Ida Peranda Putus / sawusan dane kicen tirtha / lumlum kuning / baguse twara da pada // (Ginada, bait 38) Terjemahan secara idiomatis ;
65
Sekarang bertepatan hari kelahirannya / I Wayan membersihkan diri / memohon tirtha ke Griya / kepada Ida Peranda Putus / setelah ia diberikan tirtha / lumlum kuning / tidak ada yang menyamai ketampanannya // (Ginada, bait 38) Latar tempat lainnya adalah pemandian atau pancuran. Pemandian atau pancuran ini merupakan tempat I Luh Raras bertemu dengan I Sumaguna saat dia lari meninggalkan rumahnya. Hal ini dapat dilihat pada kutipan berikut : Tumulih june jemak / twara ada manepukin / pajalane sada encol / buka twara ada tau / tan kocapan ya di jalan / kaget prapti / sampun rawuh di kayehan // (Ginada, bait 159) Terjemahan secara idiomatis : Kemudian mengambil tempayan / tidak ada yang melihatnya / bergegas dia berjalan / seperti tidak ada yang mengetahui / tidak diceritakan di jalan / tiba-tiba sampai / sudah tiba di pemandian // (Ginada, bait 159) Disamping menggunakan latar tempat, Geguritan Sumaguna juga menggunakan latar waktu. Hal ini dapat dilihat pada kutipan berikut : Tuhu twah nitik ring awak / purnama tilem mabresih / nuju purnamaning kapat / masan pradahane mambuh / mabresih mangesti dewa / luh muani / cerik kelih pada bintan // (Ginada, bait 3) Terjemahan secara idiomatis: Sungguh memperhatikan keadaan dirinya / setiap bulan purnama dan bulan mati menyucikan diri / bertepatan dengan purnama bulan keempat / saatnya para gadis keramas / membersihkan diri untuk memuja Tuhan / laki dan perempuan / besar kecil semuanya semangat // (Ginada, bait 3) Dari kutipan di atas diceritakan pada saat hari Purnama bulan keempat merupakan hari yang baik untuk gadis-gadis melakukan pembersihan diri. Latar waktu lainnya juga disebutkan saat hari baik sukra umanis ukir, De Kabayan mengadakan upacara perkawinan putrinya I Luh Raras dengan I Sumaguna. Hal ini dapat dilihat dalam kutipan :
66
Munggwing dina padewasan / sukra umanis ukir / patemonnya ngupaksaka / luh dadwa muani ukud / mwah tanggal nyane melah / manemonin / raksaka tumuting rasa // (Ginada, bait 200) Terjemahan secara idiomatis : Sebab hari yang sangat baik / pada hari jumat legi wuku ukir/ perjodohannya sangat baik ibarat kupasan tiang saka / perempuannya dua, laki-laki satu / serta tanggalnya baik / bertepatan / rasa tulus mengikuti perasaan // (Ginada, bait 200) Demikianlah analisis latar pada Geguritan Sumaguna, dimana latar tersebut sangat membantu pengarang dalam hal penggambaran tokoh-tokoh yang ada di dalamnya.
2.3.5 Tema Proses penciptaan suatu karya sastra selalu didasari oleh kecenderungan bahwa pengarang ingin menyampaikan sesuatu melalui karyanya. Segala keinginan yang hendak disampaikan oleh pengarang dalam karyanya dijadikan suatu pokok pembicaraan yang dapat berupa masalah kehidupan, pandangan hidup atau komentar dalam kehidupan (Sumarjo dan Saini K.M,1986:56) Tema merupakan hal yang paling penting dalam seluruh cerita. Suatu cerita yang tidak mempunyai tema tentu tidak ada gunanya dan artinya (Tarigan, 1985:125). Penyampaian sebuah cerita bukan demi cerita semata. Tetapi, ada suatu yang dibungkus dengan cerita, ada suatu konsep sentral dikembangkan dalam cerita. Pengarang menyajikan sebuah cerita karena adanya kehendak mengemukakan suatu gagasan. Gagasan, ide, atau pikiran utama yang mendasar dalam suatu karya sastra disebut tema (Sudjiman,1988:50). Sedangkan menurut Sukada(1987:70), tema tidak lain dari ide pokok, ide sentral, atau ide yang dominan dalam karya sastra. Tema cerita ada kalanya disampaikan secara eksplisit
67
seperti terlihat pada judul karya sastra tersebut. Tema dapat juga disampaikan secara tersirat (implisit) yaitu dalam penokohan atau dalam dialog, terutama dialog tokoh utama. Ada beberapa alternatif yang dikemukakan oleh Esten (1984:92) dalam rangka menentukan tema sebuah karya sastra, yaitu : (1) persoalan apakah yang paling menonjol dalam karya sastra tersebut, (2) secara kualitatif, persoalan mana yang paling banyak menimbulkan konflik sekaligus melahirkan peristiwaperistiwa, (3) menentukan waktu penceritaan yang diperlukan untuk memaparkan peristiwa dan tokoh-tokoh karya sastra bersangkutan. Dengan menggunakan ketiga cara itu tidak mutlak harus digunakan sekaligus, melainkan menurut urutan, bilamana ada keragaman untuk menentukan persoalan yang merupakan tema karya sastra tersebut. Keseluruhan pengertian tema yang disampaikan di atas tidaklah berbeda, sehingga dapat disimpulkan bahwa tema adalah apa yang menjadi pokok persoalan atau pikiran utama yang dijadikan titik tolak penciptaan di dalam sebuah karya sastra. Berangkat dari pengertian di atas maka dapat ditentukan bahwa yang menjadi tema dalam Geguritan Sumaguna adalah “kisah percintaan sepasang anak muda yang diakhiri dengan perkawinan nyentana”. Tema ini dapat diketahui dari awal cerita hingga akhir cerita. Kisah percintaan sepasang anak muda ini dapat dilihat pada kutipan berikut : Taruna manyemak tangan / I Luh Raras ya manangis / sumawur I Sumaguna / meneng nyai dewa ratu / angganing awak mautang / mapan jani / I mirah mapanawuran // (Ginada, bait 160) Masawur I Luh Raras / inggih sanikan I beli / yaning tityang mutang harta / pipis anggen tityang nawur / mapan tityang mutang sabda / ring I beli / tityang dados panawuran // (Ginada, bait 161)
68
Daha truna ta kocapan / jumah meten silih asih / apan suba nemu karma idepnya pada satuju / …..// (Ginada, bait 164) Terjemahan secara idiomatis : Pemuda memegang tangan / I Luh Raras menangis / I Sumaguna berkata / hendaknya diamlah adikku / bagaikan orang berhutang / sekarang saatnya / si gadis harus membayar // (Ginada, bait 160) I Luh Raras menjawab / baiklah seperti yang kakak katakan / kalau saya berhutang harta / saya bayar dengan uang / karena saya berhutang janji / kepada kakak / diri sayalah yang saya pakai membayar // (Ginada, bait 161) Pemuda dan si gadis diceritakan / di dalam kamar memadu kasih / karena sudah jodoh / keinginannya sudah setuju /… // (Ginada, bait 164) Tema ini dituangkan kedalam insiden-insiden yang kemudian terangkai menjadi satu jalinan cerita yang sangat menarik untuk dinikmati. Tema ini nampak pada peran tokoh dalam menggerakkan alur ceritanya.
2.3.6 Amanat Amanat merupakan bagian keseluruhan dari dialog dan tindakan tokoh cerita. Amanat akan selalu berkaitan atau menyentuh hati nurani pembaca, untuk menyadarinya atau menolaknya. Kesan-kesan
yang diberikan oleh pembaca
berbeda-beda tergantung pada tiga faktor yaitu : (1) intuisi dan kepekaan batin pembaca, (2) persepsi pembaca, (3) sikap batin pembaca yang menunjukkan pandangan hidupnya. Amanat dapat berwujud kata-kata mutiara, nasehat, firman Tuhan sebagai petuntuk untuk memberikan nasehat (Sukada, 1983:22). Dari sebuah karya sastra ada kalanya dapat diambil/ diangkat suatu ajaran moral atau pesan yang ingin disampaikan oleh pengarang, itulah yang disebut amanat. Amanat terdapat di dalam cerita/karya sastra secara eksplisit, implisit jika jalan keluarnya atau ajaran moral itu disiratkan dalam tingkah laku
69
tokoh menjelang cerita berakhir. Eksplisit jika pengarang pada tengah / akhir cerita menyampaikan seruan, saran peringatan, nasehat, ajaran, larangan dan berkenaan dengan gagasan yang mendasari cerita itu (Sudjiman, 1988:24) Berdasarkan batasan-batasan yang dikemukakan di atas yang pada intinya menyebutkan bahwa amanat adalah pesan yang disampaikan pengarang kepada pembaca, maka analisis amanat yang akan dilakukan dalam Geguritan Sumaguna berpedoman pada pendapat-pendapat para ahli di atas. Melihat pendapat dari para ahli di atas maka dapat ditentukan amanat Geguritan Sumaguna adalah untuk mencapai suatu kebahagiaan membutuhkan suatu pengorbanan yang sangat besar. . Kebahagiaan tidak didapat dengan mudah, namun melalui berbagai pengorbanan-pengorbanan
yang terkadang sangat
menyakitkan. Dalam geguritan ini pengorbanan yang dilukiskan oleh pengarang dititipkan melalui tokoh I Sumaguna dan Luh Raras. I Luh Raras berkorban meninggalkan rumahnya untuk menjadi istri I Sumaguna dan pada akhirnya I Sumaguna yang bersedia nyentana dan harus meninggalkan ibu angkatnya untuk dapat bersama Luh Raras. Selain hal tersebut, amanat yang disampaikan pengarang yaitu kita sebagai hamba Tuhan harus iklas menerima segala yang menjadi kehendak beliau. Sebagai hambaNya kita hanya bisa berencana dan berusaha melakukan yang terbaik, namun beliaulah yang akan menentukan hasilnya. Hal ini dikatakan oleh Luh Raras bahwa, walaupun kita telah mencari yang terbaik, apabila beliau telah menakdirkan untuk mendapatkan yang jelek maka kita harus menerimanya dengan iklas.
70