ISSN: 2302-920X Jurnal Humanis, Fakultas Ilmu Budaya Unud 2017: Vol 19.1 Mei 2017: 426-432
Geguritan Masan Rodi: Analisis Struktur dan Nilai
Ida Bagus Adi Sudarmawan1*, Luh Putu Puspawati2, I Gde Nala Antara3 Program Studi Sastra Bali, Fakultas Ilmu Budaya, Universitas Udayana [e-mail:
[email protected]] [e-mail:
[email protected]] [email: nala.antara62@gmail. com] [123]
*Corresponding Author
Abstract This research of Geguritan Masan Rodi discuss about analysis structure and function. This analysis have purpose for reveal structure and value any contained on Geguritan Masan Rodi. This research uses a structural theory and value. This research uses method and techniques which is divided into three phases : (1) method and techniques provision of data uses repeated reading method (heuristic) assited with registration techniques and translate techniques, (2) method and analysis data uses qualitative method and descriptive analitics techniques, (3) method and presentation of the analysis results techniques uses formal method and informal method assisted with deductive and inductive techniques. The results obtained from the research are forma structure (type), which consist of language code and literature, language diversity, and language genre. Language code and literature uses pupuh Durma, language genre uses blending Balinese language with language genre consist by comparison language genre, opposition language and contact language genre. Narative structure consist of incident, plot, character and characterization, background, theme, and message. This research discuss about value, are religion value any consist by value, philosophy, ethics, and ceremony value with social value. Keywords: geguritan, structure, value.
(1) Latar Belakang
Geguritan merupakan bentuk kesusastraan Bali tradisonal dapat digolongkan kedalam bentuk puisi. Geguritan disebut juga sebagai puisi naratif, karena apabila dilihat dari bentuknya, geguritan merupakan puisi, dan jika ditinjau dari segi isinya geguritan tergolong ke dalam prosa. Geguritan merupakan suatu karya sastra tradisional, geguritan mempunyai sistem konvensi sastra tertentu yang ketat. Geguritan dibentuk oleh pupuh, pupuhpupuh tersebut diikat oleh beberapa konvensi yang biasa disebut pada lingsa. Pada
426
ISSN: 2302-920X Jurnal Humanis, Fakultas Ilmu Budaya Unud 2017: Vol 19.1 Mei 2017: 426-432
adalah banyaknya bilangan suku kata dalam satu kalimat atau carik (koma). Lingsa adalah aturan-aturan suara atau bunyi akhir tiap-tiap baris (/a,/i,/u,/e,/o/). Pada lingsa meliputi: (1) banyaknya baris dalam tiap-tiap bait (pada), (2) banyaknya suku kata dalam tiap-tiap baris (carik), dan (3) bunyi akhir tiap-tiap baris, yang menyebabkan pupuh tersebut harus dinyanyikan. Hal ini disebabkan pula karena dalam menulis atau mengarang dengan pupuh biasanya pengarangnya sambil melagukan karya sastra yang diciptakannya (Agastia, 1980: 16-17). Di dalam suatu geguritan ada yang memakai satu jenis pupuh dan nada juga yang memakai banyak jenis pupuh. Geguritan yang memakai satu jenis pupuh, misalnya Geguritan Jayaprana (ginada), Geguritan Bagus Diarsa (sinom), dan Geguritan Basur (ginada), sedangkan geguritan yang memakai banyak jenis pupuh, misalnya: Geguritan Sudamala, Geguritan Puyung Sugih, dan Geguritan Kala Rau (Agastia, 1980: 18-19). Salah satu karya sastra Bali tradisional yang hingga kini memperkaya khasanah kebudayaan Bali adalah geguritan. Adapun karya sastra geguritan yang diangkat adalah Geguritan Masan Rodi (selanjutnya disingkat dengan GMR) yang berasal dari Griya Kawan Sibetan dan dikarang oleh Ida Bagus Nyoman Puja. GMR dominan menggunakan bahasa Bali Kawi bercampur dengan bahasa Bali Kepara. GMR hanya menggunakan satu pupuh saja yaitu pupuh Durma yang terdiri dari 97 bait. Keunikan dan kekhasan yang terdapat dalam GMR membuat ketertarikan tersendiri untuk menganalisis geguritan ini secara lebih mendalam, dikarenakan cerita yang disajikan oleh pengawi membahas mengenai bagaimana kehidupan sekumpulan orang yang sedang menjalani hukuman dipenjara lalu diperintahkan untuk bekerja kasar serta kejadian yang menimpa mereka pada saat bekerja, sedangkan dibandingkan dengan kehidupan sekarang apabila seseorang menjalani hukuman mereka tidak harus bekerja kasar saat menjalani masa hukumannya, namun sebaliknya mereka dibina serta diarahkan untuk melakukan kegiatan-kegiatan positif demi kehidupan yang lebih baik. Selain itu dibahas pula mengenai adanya aturan agama yang hilang lalu mencari solusi sampai akhirnya tercipta empat pasal baru mengenai aturan tersebut. Geguritan pada umumnya memiliki nilai-nilai tertentu yang nantinya bisa bermanfaat dan dapat difungsikan oleh masyarakat, seperti halnya geguritan ini memiliki nilai agama, nilai logika, nilai etika dan nilai estetika. Teori yang digunakan 427
ISSN: 2302-920X Jurnal Humanis, Fakultas Ilmu Budaya Unud 2017: Vol 19.1 Mei 2017: 426-432
untuk membedah struktur adalah teori struktural menurut Nurgiyantoro yang didukung oleh pandangan dari Marsono dan Aminudin.
(2) Pokok Permasalahan
Berdasarkan latar belakang diatas, tentunya terdapat beberapa permasalahan yang perlu dianalisis. Maka dari itu perrmasalahan-permasalahan tersebut dapat dirumuskan pertanyaannya sebagai berikut : 1. Bagaimanakah struktur yang membangun “Geguritan Masan Rodi”? 2. Nilai-nilai apa sajakah yang terdapat dalam “Geguritan Masan Rodi”?
(3) Tujuan Penelitian Sebuah penelitian tentu memiliki suatu tujuan yang ingin dicapai dan perlu diperjelas agar arah penelitian dapat mencapai sasaran yang diharapkan. Demikian juga dengan analisis ini, tujuan analisis ini dapat dibedakan atas tujuan umum dan tujuan khusus. Tujuan umum penelitian ini adalah untuk menambah khazanah di bidang sastra, khususnya sastra Bali tradisional. Selain itu penelitian ini juga bertujuan untuk memberikan informasi kepada masyarakat bahwa karya sastra Bali tradisional, khususnya geguritan, masih tetap hidup di masyarakat dan sangat menarik untuk dibaca karena mengandung banyak pembelajaran yang berguna bagi kehidupan. Penelitian ini juga turut berupaya untuk melestarikan karya-karya sastra Bali tradisional khususnya geguritan. Adapun tujuan khusus dari penelitian ini bertujuan untuk memperoleh hasil analisis terhadap karya GMR. Analisis yang dilakukan menyangkut struktur formal dan struktur naratif karya GMR. Selain itu, penelitian ini juga bertujuan untuk mengetahui pesan pengarang berupa nilai, yang tentunya sangat berguna apabila diaplikasikan dalam kehidupan ini.
(4) Metode dan Teknik Penelitian terhadap karya sastra memerlukan suatu metode dan teknik dalam pengerjaannya yang berfungsi sebagai alat untuk menyederhanakan objek dari penelitian. Metode berasal dari kata methodos, (bahasa Latin), berasal dari akar kata 428
ISSN: 2302-920X Jurnal Humanis, Fakultas Ilmu Budaya Unud 2017: Vol 19.1 Mei 2017: 426-432
meta dan hodos. Meta berarti menuju, sedangkan hodos berarti jalan, cara, atau arah. Jadi metode merupakan cara-cara atau strategi untuk memahami realitas dan langkahlangkah sistematis untuk memecahkan rangkaian sebab akibatnya. Metode yang baik adalah metode yang selalu bersifat teknik. (Ratna, 2009: 34-38). Teknik merupakan cara untuk menerapkan sebuah metode dalam sebuah penelitian. Teknik adalah instrumen yang bersifat paling konkret sebagai alat yang digunakan dalam melakukan suatu penelitian, karena teknik dapat dideteksi secara indrawi. Vrendenbreght, berpendapat bahwa teknik sangat berhubungan erat dengan data primer dalam suatu penelitian (dalam Ratna, 2009; 37). Metode dan teknik yang digunakan dalam penelitian ini dibagi ke dalam tiga tahapan, yaitu tahap penyediaan data, tahap analisis data dan tahap penyajian analisis data. Metode yang digunakan dalam tahap pengumpulan data GMR adalah metode membaca berulang-ulang (heuristik) secara cermat terhadap naskah yang dijadikan objek penelitian, mengingat data yang tahapan dikumpulkan berupa naskah lontar. Pada tahapan ini dalam menetapkan naskah yang akan dianalisis yaitu mendaftar semua naskah yang ditemukan di lembaga-lembaga formal. Dalam menerapkan metode membaca, tentunya didukung oleh teknik pencatatan. Teknik pencatatan dilakukan untuk menghindari terjadinya data yang terlupakan karena keterbatasan dalam mengingat. Kemudian dilanjutkan dengan teknik terjemahan, yaitu penyalinan dari suatu bahasa sumber ke bahasa sasaran. Teks GMR diterjemahkan secara harafiah dan idiomatis. Terjemahan harafiah adalah terjemahan yang berdasarkan bentuk berusaha mengikuti
bentuk
bahasa
sumber.
Sedangkan
terjemahan
idiomatis
adalah
penerjemahan yang berdasarkan makna berusaha menyampaikan makna teks bahasa sumber dengan bentuk bahasa sasaran yang wajar, penerjemahan idiomatis mutlak tidak kedengaran sebagai hasil terjemahan, tetapi seperti ditulis asli dalam bahasa sasaran (Larson,1991: 16-17). Teknik terjemahan dilakukan dengan mengalih bahasakan GMR yang menggunakan bahasa Bali campuran kedalam bahasa Indonesia. Terjemahan dibuat sedapat mungkin berupa terjemahan kata demi kata dan selanjutnya disesuaikan dengan konteks kalimat. Analisis adalah tahap pengolahan data. Tahap pertama dalam pengolahan data adalah memeriksa data yang telah terkumpul, kemudian dianalisis menggunakan metode 429
ISSN: 2302-920X Jurnal Humanis, Fakultas Ilmu Budaya Unud 2017: Vol 19.1 Mei 2017: 426-432
kualitatif. Metode kualitatif memberikan perhatian terhadap data alamiah, data dalam hubungannya dengan konteks keberadaannya. Metode kualitatif dianggap multimetode sebab penelitian pada gilirannya melibatkan sejumlah besar gejala sosial yang relevan (Ratna,2004: 47). Teknik deskriptif analitik juga dapat dihubungkan dengan metode ini, yaitu mendeskripsikan terlebih dahulu dengan maksud untuk menemukan unsurunsurnya, kemudian dianalisis. Secara etimologi deskripsi analisis berarti menguraikan, meskipun demikian analisis tidak semata-mata menguraikan melainkan juga memberikan pemahaman dan penjelasan secukupnya (Ratna, 2004: 53). Teks GMR dideskripsikan sehingga dapat diketahui unsur-unsur yang terkandung didalamnya kemudian dilakukan dengan melakukan analisis sesuai dengan permasalahan yang dikaji. Setelah data diolah makan dilanjutkan dengan tahap terakhir, yakni tahap penyajian hasil analisis data. Metode yang digunakan dalam tahapan ini adalah metode formal dan informal. Metode formal adalah perumusan dengan tanda-tanda dan lambang-lambang, sedangkan metode informal adalah cara penyajian hasil pengolahan data dengan menggunakan kata-kata atau kalimat sebagai sarana (Sudaryanto, 1993: 145). Kata-kata atau kalimat dalam penyajian hasil disini adalah menggunakan Bahasa Indonesia. Selain itu, pada tahap penyajian hasil analisis data dibantu dengan cara berfikir
induktif-deduktif.
Teknik
deduktif
adalah
teknik
penyajian
dengan
mengemukakan hal-hal yang bersifat umum terlebih dahulu, kemudian hal-hal yang bersifat khusus sebagai penjelasnya. Teknik induktif adalah teknik penyajian dengan mengemukakan hal-hal yang bersifat khusus terlebih dahulu, kemudian hal-hal yang bersifat umum (Hadi, 1982: 44-43).
(5) Hasil dan Pembahasan Ditinjau dari struktur karya sastra, Geguritan Masan Rodi telah memenuhi struktur sebuah karya sastra. Dilihat dari struktur pembentuknya, Geguritan Masan Rodi dibangun oleh satu pupuh yaitu menggunakan pupuh Durma. Ditinjau dari sisi ragam bahasanya Geguritan Masan Rodi bahasa yang digunakan sebagai media pengantar yaitu Bahasa Bali Campuran. Selanjutnya gaya bahasa yang ditemukan dalam Geguritan Masan Rodi secara umum terbagi menjadi tiga
430
ISSN: 2302-920X Jurnal Humanis, Fakultas Ilmu Budaya Unud 2017: Vol 19.1 Mei 2017: 426-432
yaitu Gaya Bahasa Perbandingan, Gaya Bahasa Pertentangan dan Gaya Bahasa Pertautan. Analisis struktur naratif pertama yaitu insiden, terdapat sembilan insiden dalam Geguritan Masan Rodi. Alur dalam Geguritan Masan Rodi secara umum mengikuti alur pola Tarif yaitu tahapan plot pada alur /plot utama ini terbagi menjadi lima tahapan yaitu (1) tahap Situation, (2) tahap Generating Circumstances, (3) tahap Rising Action, (4) tahap Climax, (5) tahap Denoument. Tokoh dan Penokohan pada Geguritan Masan Rodi secara umum dapat dibedakan menjadi tiga tokoh utama, tokoh sekunder, dan tokoh komplementer atau pelengkap. Pengarang juga menggambarkan tokoh dalam Geguritan Masan Rodi tiga dimensi pokok, yaitu fisiologis, psikologis, dan sosiologis yang khas. Latar pada Geguritan Masan Rodi mencakup tiga unsur yaitu latar waktu, latar tempat, dan latar suasana. Unsur waktu pada Geguritan Masan Rodi yaitu ketika baru terbit matahari sekitar bulan maret pada hari minggu. Latar tempat yang melatari Geguritan Masan Rodi yaitu di Sidemen, di Sibetan, di sungai, di Sekuttha, dan halaman. Sedangkan latar suasana yang digunakan dalam Geguritan Masan Rodi yaitu suasana resah, tegang, mencekam, dan suasana senang. Tema Geguritan Masan Rodi secara umum adalah tentang kemanusiaan. Amanat dalam Geguritan Masan Rodi tidak disampaikan secara langsung oleh pengarang, namun disampaikan secara implisit atau tersembunyi pada rangkaian dialog ataupun percakapan tokoh. Di dalam cerita Geguritan Masan Rodi terdapat banyak pesan yang disampaikan pengarang secara tidak langsung kepada para pembaca. Beberapa pesan tersebut mengandung ajakan terhadap para pembaca apabila tidak mampu
menentukan
keputusan,
kita
harus
meminta
petunjuk
atau
memusyawarahkannya terlebih dahulu. Seperti tampak pada saat semuanya tidak bisa membayar dua ringgit dan berjalan melaksanakan ronda, semua meminta petunjuk ke Bandem.
(6) Simpulan Nilai yang terkandung dalam Geguritan Masan Rodi dapat disimpulkan bahwa secara umum terdiri dari nilai agama yakni nilai filsafat (tattwa) tentang keyakinan masyarakat akan adanya Tuhan, hal tersebut dapat dilihat pada pupuh durma bait ke-38 431
ISSN: 2302-920X Jurnal Humanis, Fakultas Ilmu Budaya Unud 2017: Vol 19.1 Mei 2017: 426-432
baris pertama “Usabè dalèm mangkin syep sepi ring griya”. Pada masyarakat Bali diketahui bahwa setiap daerah memiliki kegiatan usabe, kegiatan usabe ini adalah bentuk kegiatan yang diyakini untuk menolak bala yang melanda daerah tertentu. Selain itu percaya dengan Ida Sang Hyang Widhi Wasa diperkuat dengan kalimat “memohon hal-hal baik ke merajan”. Seperti diketahui setiap keluarga pada masyarakat Bali pasti memiliki merajan. Merajan diyakini sebagai tempat berstananya Ida Sang Hyang Widhi Wasa yang setiap saat akan memberikan petunjuk perihal hal-hal baik. Nilai etika (susila) tentang sopan santun dalam berbicara dan bertingkah laku, nilai upacara (ritual) tentang upacara Manusa Yadnya khususnya upacara Natab dan melepas Aon serta nilai sosial yang mengajarkan kita untuk saling tolong menolong terhadap orang yang membutuhkan pertolongan.
(7) Daftar Pustaka Agastia, Ida Bagus Gede. 1980. “Geguritan sebuah Bentuk Karya Sastra Bali”. Makalah disajikan dalam Sarasehan Sastra daerah Pesta Kesenian Bali Ke-2 pada 9 Juli 1980. Hadi, Sutrisno. 1982. Metodelogi Research. Yogyakarta: Fakultas Fisikologi UGM. Larson, Mildred L. 1991. Penerjemahan Berdasarkan Makna: Pedoman Untuk Pemadanan Antarbahasa. Jakarta: Arcan. Nurgiantoro, Burhan. 1995. Teori Pengkajian Fiksi. YPgyakarta: Gajah Made University Press. Ratna, Nyoman Kutha. 2004. Metode dan Teknik Penelitian Sastra. Yogyakarta: Pustaka Pelajar. Ratna, Nyoman Kutha. 2009. Teori, Metode, Teknik Penelitian Sastra. Yogyakarta: Pustaka Pelajar. Sudaryanto. 1993. Metode dan Aneka Teknik Analisis Bahasa. Yogyakarta: Duta Wacana University Press.
432