Prosiding Semirata FMIPA Universitas Lampung, 2013
Teknik In Vitro Jeruk Keprok Brastagi (Citrus Nobilis Brastepu) Sebagai Strategi Biokonservasi Mengatasi Kepunahan Jeruk Lokal Sumatera Utara Isnaini Nurwahyuni Jurusan Biologi, FMIPA Universitas Sumatera Utara E-mail:
[email protected] Abstrak. Penelitian bertujuan untuk mendapatkan teknik in vitro guna perbanyakan bibit jeruk keprok Brastepu bebas penyakit CVPD sebagai sumber bibit. Bibit digunakan untuk mengatasi kelangkaan dan biokonservasi jeruk keprok lokal Sumatera Utara agar kekayaan plasma nuftah tanaman jeruk Indonesia tidak berkurang. Penelitian dilakukan di Laboratorium Biologi FMIPA USU dan Desa Bukit Kecamatan Brastagi, Kabupaten Karo, Sumatera Utara. Penelitian merupakan gabungan eksploratif dan eksperimental. Hasil penelitian menunjukkan bahwa pertumbuhan kultur in vitro dipengaruhi oleh pemberian zat pengatur tumbuh (zpt) auksin NAA, sitokinin, dengan suplemen ekstrak malt, glutamin, dan air kelapa. Teknik regenerasi yang efektif untuk perbanyakan tanaman jeruk Brastepu bebas penyakit CVPD dalam skala laboratorium juga dipelajari sebagai dasar untuk pertumbuhan dan perkembangan bibit jeruk yang dihasilkan melalui teknik in vitro. Kalus yang dikultur selama 4 bulan menunjukkan hasil RAPD dengan tingkat kesamaan 100% . Kata kunci: Jeruk Brastepu, CVPD, kultur in vitro, PCR analisis
PENDAHULUAN Provinsi Sumatera Utara termasuk salah satu daerah yang cukup baik untuk ditanami jeruk. . Jeruk produk Sumatera Utara dikenal sebagai ―Jeruk Brastagi‖ Salah satu spesies jeruk yang menjadi andalan Sumatera Utara adalah jeruk keprok terdiri dari varietas Brastepu, Boci, dan Rimokeling. Jeruk Brastagi mempunyai harga jual tinggi dibandingkan jeruk lain karena citarasanya manis segar, bentuk dan warna buah menarik. Akan tetapi, jeruk varietas lokal ini sudah langka, bahkan budidaya tanaman tidak dilanjutkan karena kesulitan dalam penyediaan bibit berkualitas baik. Dengan demikian, budidaya ―Jeruk Brastagi‖ sangat mendesak dilakukan agar jeruk lokal Sumatera Utara tidak sampai mengalami kepunahan. Jeruk lokal Brastagi merupakan aset berharga dalam keanekaragaman hayati Indonesia sehingga perlu dikonservasi agar tidak punah. Bila biokonservasi tidak segera
dilakukan maka diperkirakan jeruk lokal Brastagi akan punah dalam waktu dekat. Teknik in vitro merupakan cara yang baik untuk perbanyakan tanaman, perbaikan kualitas tanaman, dan biokonservasi. Teknik ini kini sering digunakan untuk perbanyakan bibit tanaman dikotil dan sudah lama dilakukan, terutama terhadap tanaman yang memiliki nilai ekonomi. Teknik in vitro untuk biokonservasi tanaman berharga dan yang terancam dari kepunahan seperti tanaman obat juga dilakukan. Penggunaan teknik in vitro untuk perbanyakan jeruk telah dimulai oleh Bove dan Morel, dan sejak itu kultur jaringan tanaman jeruk banyak mendapat perhatian. Beberapa penelitian dalam kultur jaringan tanaman untuk beberapa jenis jeruk telah dilaporkan. Perbanyakan tanaman jeruk secara in vitro melalui kultur jaringan memiliki beberapa keuntungan diantaranya menghasilkan bibit klonal secara massal dalam waktu singkat, meningkatkan kualitas tanaman yang seragam dan tingkat kesehatan lebih baik.
Semirata 2013 FMIPA Unila |419
Isnaini Nurwahyuni: TEKNIK IN VITRO JERUK KEPROK BRASTAGI (CITRUS NOBILIS BRASTEPU) SEBAGAI STRATEGI BIOKONSERVASI MENGATASI KEPUNAHAN JERUK LOKAL SUMATERA UTARA Keberhasilan perbanyakan tanaman secara in vitro dipengaruhi oleh zat pengatur tumbuh (zpt), sumber nitrogen, konsentrasi hara dalam media tumbuh, jenis tanaman, eksplan dan lingkungan tumbuh, iklim. Sebagai sumber eksplan adalah bagian vegetatif tanaman karena mudah diperoleh. Faktor lain yang penting adalah faktor lingkungan seperti kelembapan, pH, suhu, dan cahaya. Dengan demikian, teknik in vitro sangat tepat dilakukan untuk perbanyakan bibit jeruk keprok Brastepu bebas penyakit CVPD sebagai sumber bibit mengatasi kelangkaan jeruk lokal Brastagi untuk biokonservasi jeruk lokal Sumatera Utara agar kekayaan plasma nuftah tanaman jeruk manis Indonesia terhindar dari kepunahan. METODE PENELITIAN Prosedur penelitian terdiri atas skrining tanaman induk, penyediaan media kultur, sterilisasi eksplan dan pengkulturan mengikuti prosedur percobaan yang dijelaskan sebelumnya. Tanaman induk yang digunakan sebagai sumber eksplan adalah jeruk keprok Brastepu CVPD. Bagian tanaman yang diambil dijadikan sebagai sumber eksplan dalam teknik in vitro. Tunas muda tanaman jeruk keprok brastepu mulai dari meristem apikal akan diambil lalu dicuci dengan air sabun dan dibilas dengan air kran. Tunas akan dipotong sepanjang 10 cm dari pangkal kemudian disterilasi dalam kondisi aseptik dalam alkohol 70% selama 1 menit dan diikuti dengan pemindahan ke dalam larutan pemutih 10% dan 20% masingmasing selama 10 menit, dan 0.1% HgCl2 selama 5 menit, kemudian dibilas dengan akuades steril sebanyak 5 kali. Meristem apikal diisolasi, kemudian eksplan ditanam sepanjang 0.5 cm dalam media inisiasi. Kultur akan diinkubasi dengan penyinaran 1000 lux selama 16 jam/hari, dengan suhu
420|Semirata 2013 FMIPA Unila
252 oC. Kultur akan dipelihara selama 4 bulan sebelum dilakukan perlakuan lanjutan, dan pengamatan dilakukan setiap 2 hari sekali. HASIL DAN PEMBAHASAN Penggunaan teknik in vitro dapat dipergunakan dalam perbanyakan bibit jeruk keprok Brastagi yang bebas penyakit CVPD sebagai strategi biokonservasi untuk mengatasi kepunahan varietas jeruk lokal Sumatera Utara yang menjadi kekayaan plasma nuftah asli Indonesia. Kultur meristem pucuk dan sub kultur jeruk dilakukan terhadap jeruk lokal Brastepu bertujuan untuk mengoptimalkan teknik perbanyakan secara teknik in vitro. Perbanyakan ini merupakan usaha untuk mendapatkan bibit jeruk yang sama dengan induknya dilihat dari potensi fenotip dan genotip, dan sekaligus menghasilkan bibit yang bebas dari penyakit terutama CVPD. Kultur pucuk dan subkultur jeruk dilakukan dengan menggunakan sumber eksplan, tunas muda berasal dari ranting tua jeruk terserang CVPD yang direndam dalam air. Pucuk-pucuk jeruk paling cepat muncul setelah seminggu dalam perendaman. Pucuk yang diperlukan sebanyak 200 buah yang diperoleh dari dari 200 pohon dengan ukuran 15-20 cm. Beberapa batang tidak menghasilkan tunas. Rata-rata tunas yang tumbuh pada satu potong ranting berjumlah 2 buah. Tunas berkualitas baik dengan ukuran memadai sebagai sumber eksplan seperti diperlihatkan pada Gambar 1. Teknik perendaman stump ranting seperti ini banyak dilakukan dalam air pada posisi tegak dengan tidak memberikan zat hara di dalamnya. Dengan cara ini dihasilkan tunas muda yang cukup cepat dan dapat tersedia sebagai sumber eksplan setelah minimal umur 2 minggu (Gambar 1).
Prosiding Semirata FMIPA Universitas Lampung, 2013
Gambar 1. Tanaman jeruk Brastepu sebagai sumber eksplan untuk kultur dalam teknik in vitro untuk perbanyakan tanaman jeruk tersebut. (a) tanaman induk, dan (b) tunas muda yang dikultur.
Pemilihan cara ini dilakukan karena tanaman induk jeruk Brastepu terserang CVPD hampir semua sudah tua (≥ 30 tahun), sehingga pada saat pelaksanaan penelitian ini sangat sulit untuk mendapatkan tunas muda langsung dari pohonnya karena beberapa tanaman yang ada di lapangan tersebut sudah cenderung meranggas karena tidak terawat dan sudah dikategorikan sebagai pohon tidak produktif. Setelah diperoleh tunas muda sebagai sumber eksplan, selanjutnya tunas muda disterilkan dan diisolasi bagian meristem pucuk. Cara isolasi dilakukan dalam kotak pindah, tunas dipotong 3 mm, dan daun-daun yang menutupi pucuk dipotong dan ditinggalkan bagian kubahnya sekitar 1 mm disebut sebagai meristem shoot tip. Teknik in vitro jeruk Brastepu pada penelitian ini dilakukan melalui kultur inisiasi, eksplan pucuk jeruk Brastepu dilakukan mengkulturan di dalam media padat yang mengandung MS basal dan diperkaya zat pengatur tumbuh auksin dan sitokinin. Inisiasi Kultur Meristem Pucuk Jeruk keprok Brastepu Pertumbuhan kultur jeruk manis lokal Brastepu setelah penanaman eksplan di dalam media kultur pada variasi konsentrasi
media diamati, dan hampir seluruh perlakuan menunjukkan pertumbuhan kalus. Media yang dipergunakan dalam kultur tahap 1 adalah media padat yang mengandung MS dan diperkaya dengan zat pengatur tumbuh auksin, 2,4dichlorophenoxy-acetic acid (2,4-D: 0; 0.5; dan 1.0 mg/l) dan sitokinin berupa Benzyl Amino Purin dan (BAP; 0; 0.5; 1.0, dan 1,5 mg/l). Selanjutnya pertumbuhan dan perkembangan kalus di dalam kultur tahap pertama diamati. Pola pertumbuhan eksplan menjadi kalus dan perkembangannya di dalam berbagai jenis media kultur diperlihatkan pada Gambar 2. Pertumbuhan kalus di dalam medium pada awalnya berwarna hijau dan berubah warna setelah kultur berumur 2 minggu (Gambar 2a). Selanjutnya eksplan bertumbuh menjadi kalus dengan variasi pertumbuhan sesuai dengan jenis medium yang dipergunakan. Setelah masa inkubasi dilakukan 4 bulan, kalus diambil dari dalam medium DIB1, diamati pertumbuhan dan perkembangan kalus di dalam variasi medium (12 jenis media). Embrio somatik ditunjukkan pada Gambar 2b. Pertumbuhan dan perkembangan eksplan menjadi kalus di dalam media padat bervariasi sesuai dengan jenis media kultur yang dipergunakan seperti dirangkum pada Tabel 1.
Gambar 2. Kultur jeruk keprok lokal Brastepu: (a) Pertumbuhan kultur pada media D1B1, dan (b) Embriosomatik yang diperbesar 40 kali.
Semirata 2013 FMIPA Unila |421
Isnaini Nurwahyuni: TEKNIK IN VITRO JERUK KEPROK BRASTAGI (CITRUS NOBILIS BRASTEPU) SEBAGAI STRATEGI BIOKONSERVASI MENGATASI KEPUNAHAN JERUK LOKAL SUMATERA UTARA Tabel 1. Pertumbuhan dan karakteristik kultur meristem pucuk jeruk keprok Brastepu tahap inisiasi di dalam media MS padat yang diperkaya auksin 2,4-D dan sitokinin BAP. Angka rataan yang diikuti oleh huruf yang sama pada baris yang sama tidak berbeda nyata pada uji jarak Duncan (P 0.05).
Kelompok Perlakuan
Berat kalus (g)
Jumlah embriosomatik
Jumlah Tunas
D0B0 D0B1 D0B2 D0B3 D1B0 D1B1 D1B2 D1B3 D2B0 D2B1 D2B2 D2B3
0,04 a 0,35 d 0,25 c 0,16 b 1,14 i 1,83 l 1,51 k 1,37 j 0,51 e 0,94 h 0,86 g 0,62 f
0,50 a 1,20 b 3,10 d 2,30 c 9,00 i 11,70 j 20,60 l 15,50 k 4,20 e 4,90 f 7,90 h 6,10 g
0,20 0,30 0,60 0,50 1,50 1,80 2,70 2,10 0,80 0,90 1,30 1,10
Deskripsi Karakteristik Kultur Eksplan sedikit berkalus putih krem seperti kapas Eksplan hijau membesar Eksplan hijau membesar Eksplan hijau membesar Kalus putih krem kasar Kalus hijau muda, kasar Kalus hijau kasar, bernodul Kalus hijau kasar, bernodul Kalus putih krem kasar Kalus krem kasar Kalus krem kasar Kalus hijau kasar bernodul
Keterangan: D0 = 2,4- dichlorophenoxyacetic acid atau 2,4-D 0,0 mg/l; D1 = 2,4 -D 0,5 mg/l; D2 = 2,4-D 1,0 mg/l; B0 = Benzyl Amino Purin atau BAP 0,0 mg/l; B1 = BAP 0,5 mg/l; B2 = BAP 1,0 mg/l; B3 = BAP 1,5 mg/l.
Pertumbuhan kalus dalam medium yang mengandung zat pengatur tumbuh 2,4-D 0 mg/l dan BAP 0.5 mg/l (kelompok D0B1) memiliki pertumbuhan kalus sedikit, tetapi beberapa kultur dapat juga langsung menghasilkan tunas. Sedangkan medium kultur yang mengandung 2,4-D 1,0 mg/l dan tidak ada BAP (kelompok D2B0) dapat menghasilkan kalus dalam jumlah banyak, yaitu hampir menutupi semua permukaan eksplan. Induksi kalus dalam medium kultur kelompok perlakuan D2B0 sangat baik, tetapi tidak dapat langsung menghasilkan tunas. Medium kultur yang mengandung 2,4-D 0,5 mg/l dan tidak ada BAP (kelompok D1B0) dapat memacu pertumbuhan kalus dan menghasilkan kalus dalam jumlah sedang, akan tetapi kalus tidak dapat langsung menghasilkan tunas. Sedangkan medium kultur yang tidak mengandung zat pengatur tumbuh (kelompok D0B0) juga dapat menginisiasi kalus dan menghasilkan kalus dalam jumlah
422|Semirata 2013 FMIPA Unila
sangat sedikit, tetapi tidak dapat langsung menghasilkan tunas. Hasil ini menunjukkan bahwa variasi zat pengatur tumbuh di dalam medium sangat berperan di dalam pertumbuhan dan perkembangan kalus, dan juga di dalam inisiasi tunas. Kelompok perlakuan yang mengandung zat pengatur tumbuh 2,4-D 0 mg/l dan BAP 0.5 mg/l (kelompok D0B1) dapat dipergunakan secara efektif untuk menginisiasi tunas pada kultur tahap satu jeruk masis lokal Brasitepu. Pertumbuhan dan perkembangan kultur di dalam medium kultur tahap 1 pada variasi kelompok perlakuan diamati untuk melihat pertambahan berat kalus, embrtiosomatik, jumlah tunas dan karakteristik pertumbuhan eksplan di dalam media. Pertumbuhan dan Perkembangan Kalus Pada Kultur Brastepu Pertumbuhan dan perkembangan kalus di dalam medium kultur tahap 1 yang mengandung MS dan diperkaya dengan zat
Prosiding Semirata FMIPA Universitas Lampung, 2013
pengatur tumbuh auksin 2,4-D dan sitokinin BAP pada variasi kelompok perlakuan diamati untuk melihat pertambahan berat kalus dan karakteristik pertumbuhan eksplan di dalam kultur seperti dirangkum pada Tabel 1. Pengaruh penambahan zat pengatur tumbuh sitokinin BAP terhadap pertumbuhan kalus di dalam media kultur tahap pertama telah dilakukan dengan cara perlakuan variasi sitokinin BAP tanpa kehadiran auksin 2,4-D dan diperoleh karakteristik eksplan semuanya berwarna hijau dan membesar sebelum terbentuk kalus. Dari hasil ini diketahui bahwa sitokinin BAP sangat berpengaruh terhadap petumbuhan kalus jeruk manis lokal Brasitepu. Semakin tinggi konsentrasi sitokinin yang ditambahkan ke dalam media kultur, maka semakin banyak jumlah kalus yang dihasilkan. Secara berturut-turut pada penambahan sebanyak 0,5 mg/L sitokinin tanpa auksin pada kelompok D0B1 dihasilkan sebanyak 0,15 gram kalus, berat kalus semakin banyak pada penambahan sebanyak 1,0 mg/L BAP tanpa auksin pada kelompok D0B2 dihasilkan sebanyak 0,21 gram kalus, dan berat kalus tetap meningkat pada penambahan sebanyak 1,0 mg/L BAP tanpa auksin pada kelompok D0B3 dihasilkan sebanyak 0,29 gram kalus. Pengamat lebih lanjut dilakukan untuk mengetahui pengaruh penambahan zat pengatur tumbuh 2,4-D terhadap pertumbuhan kalus di dalam media kultur tahap pertama telah dilakukan dengan cara perlakuan variasi 2,4-D tanpa kehadiran BAP dan diperoleh karakteristik eksplan semuanya berwarna putih krem dan bertekstur kasar. Dari pengamatan yang dilakukan diketahui bahwa penabahan auksin 2,4-D tidak berpengaruh terhadap petumbuhan kalus jeruk manis lokal Brastepu. Kultur jeruk yang di berikan auksin tanpa sitokinin BAP secara berturutturut pada penambahan sebanyak 0,5 mg/L 2,4-D tanpa BAP pada kelompok D1B0 dihasilkan sebanyak 0,74 gram kalus, dan selanjutnya meningkatkan kadar auksin
sebanyak 1,0 mg/L 2,4-D tanpa BAP pada kelompok D2B0 dihasilkan berat kalus yang semakin menurun sebanyak 0,70 gram kalus. Dari karakteristik kalus yang berwarna putih krem dan bertekstur kasar juga sebagai pertanda bahwa auksin BAP hanya dapat menginisiasi kalus tanpa menginisiasi pertambahan berat kalus yang lebih tinggi. Selanjutnya dilakukan pengamatan dengan melakukan kombinasi zat pengatur tumbuh auksin dan sitokinin agar diperoleh pola pertumbuhan dan perkembangan kalus jeruk manis lokal Brastepu di dalam media kultur oleh pengaruh pemberian zat pengatur tumbuh di dalam media padat yang mengandung MS. Perlakuan terhadap kultur jeruk yang diberikan auksin tanpa sitokinin BAP secara berturut-turut pada penambahan sebanyak 0,5 mg/L 2,4-D dan variasi 0,5-1,5 mg/L BAP menghasilkan karakteristik kalus semuanya berwarna hijau muda dan bentuk kasar. Kalus ada yang bernodul dan ada juga yang tidak bernodul, terutama pada pemberian sitokinin kadar rendah 0,5 mg/L BAP. Pengaruh pemberian sitokinin pada konsentrasi auksin yang konstan (0,5 mg/L 2,4D) menunjukkan bahwa semakin tinggi konsentrasi sitokinin yang ditambahkan ke dalam medium padat yang mengandung MS maka semakin berat kalus yang dihasilkan. Kelompok perlakuan yang diberikan auksin yang konstan 0,5 mg/L 2,4-D dan 0,5 mg/L BAP pada kelompok D1B1 diperoleh berat kalus 0,42 gram dengan karakteristik kalus hijau, kasar, dan bernodul. Penambahan sitokinin menjadi 1,0 mg/L BAP dengan kadar auksin konstan 0,5 mg/L 2,4D pada kelompok D1B2 diperoleh berat kalus yang semakin meningkat seberat 0,74 gram dengan karakteristik kalus hijau, kasar dan bernodul. Selanjutnya bila kadar sitokinin ditingkatkan menjadi 1,5 mg/L BAP pada kondisi auksin konstan 0,5 mg/L 2,4-D (kelompok D1B3) diperoleh berat kalus yang semakin meningkat 0,85 gram, dengan karakteristik kalus hijau kasar dan
Semirata 2013 FMIPA Unila |423
Isnaini Nurwahyuni: TEKNIK IN VITRO JERUK KEPROK BRASTAGI (CITRUS NOBILIS BRASTEPU) SEBAGAI STRATEGI BIOKONSERVASI MENGATASI KEPUNAHAN JERUK LOKAL SUMATERA UTARA bernodul. Hasil ini menunjukkan bahwa sitokinin sangat berpengaruh terhadap pertambahan berat kalus dan juga menentukan di dalam mempertahankan warna kalus tetap hijau. Pengamatan lebih lanjut dilakukan dengan meningkatkan kadar auksin menjadi 1,0 mg/L 2,4-D dengan variasi sitokinin 0,5-1,5 mg/L BAP diperoleh karakteristik kalus bervariasi, yaitu berwarna krem dan hijau, semuanya berbentuk kasar, dan ada yang tidak bernodul dan ada juga yang bernodul. Kelompok perlakuan yang diberikan auksin yang konstan 1,0 mg/L 2,4-D dan 0,5 mg/L BAP pada kelompok D2B1 diperoleh berat kalus 0,57 gram dengan karakteristik kalus berwarna krem, berbentuk kasar, dan tidak bernodul. Eksplan yang ditumbuhkan pada media kultur dengan peningkatan kadar sitokinin 1,0 mg/L BAP dan kondisi auksin konstan 1,0 mg/L 2,4-D pada kelompok D2B2 diperoleh berat kalus yang semakin meningkat seberat 1,34 gram dengan karakteristik kalus berwarna krem, berbentuk kasar, dan tidak bernodul. Meningkatkan kadar sitokinin menjadi 1,5 mg/L BAP pada kondisi auksin konstan 1,0 mg/L 2,4-D (kelompok D2B3) diperoleh berat kalus paling berat 1,52 gram, dengan karakteristik kalus berwarna hijau, berbentuk kasar dan bernodul.
Hasil ini menunjukkan bahwa kombinasi auksin dan sitokinin yang tinggi sangat mempengaruhi pertumbuhan dan pertambahan berat kalus di dalam media kultur padat yang mengandung media MS. Semakin tinggi kadar auksin maka semakin banyak kelompok perlakuan yang menghasilkan kalus yang bernodul. Dengan demikian, di dalam kultur tahap pertama ini diketahui bahwa inisiasi kalus sangat dipengaruhi olah kehadiran dan konsentrasi zat pengatur tumbuh 2,4-D dan BAP. Analisis statistik menggunakan uji jarak Duncan (P 0.05) menunjukkan bahwa hasil rataan berat kalus tertinggi diperoleh pada perlakuan D1B1, yaitu menggunakan kombinasi 0,5 mg/L 2,4-D dengan 0,5 mg/L BAP, dengan berat kalus 1,83 gram, berarti tidak berbeda nyata terhadap pertumbuhan dan perkembangan kalus jeruk keprok Brastepu. Analisis anatomi terhadap jaringan kalus yang bertumbuh di dalam medium kultur dilakukan dengan cara membuat awetan kalus dan membuat irisan untuk dilihat dibawah mikroskop cahayan biasa pada perbesaran 40 kali. Dari hasil irisan kalus dengan sel-sel parenkimatis dan embriosomatik stadium globular pada permukaannya kalus yang ditunjukkan pada Gambar 3. Gambar mikroskopi preparat seri kalus menunjukkan meristem calon tunas permukaan kalus hanya menunjukkan sel meristem (Gambar 3a dan 3b). Selanjutnya terjadi differensiasi meristem membentuk nodul calon tunas yang ditunjukkan dengan tanda panah di dalam Gambar 3c dan 3d. Teknik Subkultur Kultur Jeruk Keprok Brastepu
Gambar 3. Gambar mikroskopi preparat seri kalus menunjukkan meristem calon tunas: (a) jaringan meristematik (b) kalus yang hanya menunjukkan calon nodul, (c) nodul dan (d) differensiasi meristem membentuk nodul calon tunas (tanda panah dalam gambar).
424|Semirata 2013 FMIPA Unila
Teknik subkultur dilakukan di dalam media padat yang mengandung MS dengan penambahan zat pengatur tumbuh 0,5 mg/L BAP menunjukkan pertumbuhan kalus yang sangat banyak, dengan pola pertumbuhan kalus yang berwarna putih krem dan berbentuk kasar, dan ada juga
Prosiding Semirata FMIPA Universitas Lampung, 2013
kalus yang dihasilkan berwarna hijau berbentuk kasar, dan bernodul. Setelah eksplan dikultur di dalam media yang mengandung MS, ternyata MS basal sanggup untuk menginisiasi embriosomatik sehingga dapat memicu pembentukan bakal tanaman dan tunas seperti diperlihatkan pada Gambar 4a. Teknik subkultur tahap 4 dapat menghasilkan embriogenik dan planlet yang dapat berkembngn menjadi bakal tanaman setelah waktu kultur 60 hari. Pada tahap ini, embriogenesis berdiferensiasi secara sempurna menjadi tanaman yang memiliki akar, batang dan daun seperti diperlihatkan pada Gambar 4b dan Gambar 4c.
Gambar 4. Pertumbuhan dan perkembangan kalus menjadi embriosomatik dan planlet pada subkultur di dalam satu botol media padat yang mengandung MS basal yang diperkaya dengan zat pengatur tumbuh: (a) Pertumbuhan kalus menjadi tunas, (b) kalus, dan (c) akar
Tabel 2. Profil pita DNA menggunakan 10 Primer RAPD terhadap 20 sampel jeruk keprok Brastepu hasil kultur embriogenesis tidak langsung.
No
Primer
Jumlah Pita
similatitas
1 2 3 4 5 6 7 8 9 10
OPA-02 OPA-13 OPE-14 0PK-04 OPN-06 OPN-14 OPN-15 OPN-16 OPN-18 OPW-19
7 9 10 6 4 8 10 8 6 7
7 9 10 6 4 8 10 8 6 7
Pertumbuhan dan perkembangan sampel di dalam subkultur menunjukkan bahwa variasi sampel kultur memberikan pertumbuhan dan perkembangan yang bervarias dilihat dari pertambahan berat kalus, jumlah embriosomatik, jumlah tunas dan karakteristik pertumbuhan. Karakteristik kultur bervariasi, yaitu ada perubahan eksplan menjadi sedikit berkalus putih, eksplan hijau membesar, ada juga
Persentase similaritas 100,00 100,00 100,00 100,00 100,00 100,00 100,00 100,00 100,00 100,00
eksplan menghasilkan kalus hijau kasar dan bernodul. Isolasi DNA dan Analisis RAPD Kultur Jeruk Keprok Brastepu Isolasi DNA dari hasil kultur jeruk keprok Brastepu menghasilkan DNA bersih dan dipergunakan untuk deteksi CVPD dan RAPD. Hasil DNA jeruk keprok Brastepu yang murni sehingga dapat dipergunakan untuk PCR. Sampel DNA berjumlah 12
Semirata 2013 FMIPA Unila |425
Isnaini Nurwahyuni: TEKNIK IN VITRO JERUK KEPROK BRASTAGI (CITRUS NOBILIS BRASTEPU) SEBAGAI STRATEGI BIOKONSERVASI MENGATASI KEPUNAHAN JERUK LOKAL SUMATERA UTARA berasal dari kultur tanpa subkultur. Dengan demikian, ada sebanyak 120 kali loading dan profil pita DNA yang semuanya sama. Dari 10 marker yang dipergunakan dalam analisis Random Amplified Polymorphic DNA (RAPD) terlihat bahwa banyak pita yang dihasilkan bervariasi. RAPD digunakan untuk mengevaluasi kesamaan genetik dan 12 sampel kultur tersebut. Marker yang digunakan sebanyak 10 marker RAPD. Dengan demikian rataan nilai kesamaan dari 12 sampel adalah 100%. Profil pita DNA yang disajikan pada Tabel 2. menggambarkan bahwa 12 DNA sampel yang diamati tidak menunjukkan perbedaan genetik. KESIMPULAN Tahap awal teknik in vitro jeruk keprok Brastepu telah dilakukan untuk mendapatkan bibit jeruk Brastepu. Kultur meristem pucuk (shoot tip) dan subkultur jeruk keprok Brastepu dapat menghasilkan bakal tanaman baru yang siap dikembangkan dalam proses aklimatisasi untuk menghasilkan tanaman bebas penyakit CVPD. Isolasi DNA kultur jeruk keprok Brasitepu telah diperoleh DNA murni sehingga dapat dipergunakan untuk analisis PCR tanpa memerlukan purifikasi lebih lanjut. Analisis RAPD terhadap profil pita DNA menggambarkan bahwa 12 DNA sampel yang diamati tidak menunjukkan perbedaan genetik, dan test konfirmasi PCR menunjukkan bahwa semua kultur jeruk keprok hasil in vitro bebas dari CVPD. DAFTAR PUSTAKA R., Chanthuru, A dan Palanivel, S., (2011), In vitro regeneration and conservation of rare medicinal plant Dregea volubilis Benth, Journal of Plant Sciences 6(6): 225-228. Zeng, L., Xu, H., Zeng, Y., dan Luan, A., (2009), High efficiency in vitro plant
426|Semirata 2013 FMIPA Unila
regeneration from epicotyls explants of ponkan mandarin (Citrus reticulata Blanco). In Vitro Cellular and Developmental Biology 45(5): 559-564 Barnicoat, H., Cripps, R., Kendon, J., dan Sarasan, V., (2011), Conservation in vitro of rare and threatened ferns—case studies of biodiversity hotspot and island species, In Vitro Cell. Dev. Biol. Plant 47: 37–45. Krishnan, P.N., Decruse, S. W., dan Radha, R. K, (2011), Conservation of medicinal plants of Western Ghats, India and its sustainable utilization through in vitro technology, In Vitro Cell. Dev. Biol. Plant 47: 110–122. Bove, J., dan Morel, G., (1957), La culture de tissus de citrus, Revue Gen. Bot. 64: 1-6. Sen, S., dan Dhawan, V., (2010), Development of highly efficient micropropagation method for the citrus rootstock swingle citrumelo (Poncirus trifoliate (L.) Raf. X C. paradise McFaden). International Journal of Fruit Science 10: 65-78. Terol, J., Conesa, A., Colmenero, J.M., Cercos, M., Tadeo, F., Agustí, J., Alós, E., Andres, F., Soler, G., Brumos, J., Iglesias, D.J., Götz, S., Legaz, F., Argout, X., Courtois, B., Ollitrault, P., Dossat, C., Wincker, P., Morillon, R., dan Talon, M., (2007), Analysis of 13000 unique Citrus clusters associated with fruit quality, production and salinity tolerance, BMC Genomics. 8: 31-37. Almeida, R.P.P., Nascimento, F.E., Chau, J., Prado, S.S., Tsai, CW, Lopes, S.A, dan Joao Lopes, R.S., (2008), Genetic Structure and Biology of Xylella fastidiosa Strains Causing Disease in Citrus and Coffee in Brazil , Appl Environ Microbiol. 74(12): 3690–3701.
Prosiding Semirata FMIPA Universitas Lampung, 2013
Katz, E.; Riov, J.; Weiss, D., dan Goldschmidt, E.E., (2005), The climacteric-like behaviour of young, mature and wounded citrus leaves, J. Exp. Bot. 56(415): 1359-1367. Sano, T., Isono, S., Matsuki, K., Kawaguchi-Ito, Y., Tanaka, K., Kondo, K., Iijima, A., dan Bar-Joseph, M., (2008), Vegetative propagation and its possible role as a genetic bottleneck in the shaping of the apple fruit crinkle viroid populations in apple and hop plants, Virus Genes 37: 298–303. Ríos, G., Naranjo, M.A., Iglesias, D.J., Ruiz-Rivero, O., Geraud, M., Usach, A., dan Talón, M., (2008), Characterization of hemizygous deletions in Citrus using
array-Comparative Genomic Hybridization and microsynteny comparisons with the poplar genome, BMC Genomics. 9: 381-389. Nurwahyuni, I., (2012), Optimalisasi Teknik In Vitro Perbanyakan Jeruk Keprok Brasitepu, Jurnal Sains Indonesia 36(1): 8 - 15. Nurwahyuni, I., Napitupulu, J.A., Rosmayati, dan Harahap, F., (2012), Pertumbuhan Okulasi Jeruk Keprok Brastepu (Citrus nobilis Var. Brastepu) Menggunakan Jeruk Asam Sebagai Batang Bawah, Journal Saintika 12(1): 24-35.
Semirata 2013 FMIPA Unila |427