INDUKSI TUNAS JERUK SIAM (Citrus nobilis Lour.) ASAL KAMPAR DENGAN PEMBERIAN BENZIL AMINO PURIN (BAP) SECARA IN VITRO Lamtiur Purba1, Siti Fatonah2 dan Wahyu Lestari2 E-mail:
[email protected] 1
Mahasiswa Program Studi S1 Biologi Dosen Bidang Botani Jurusan Biologi Jurusan Biologi Fakultas Matematika dan Ilmu Pengetahuan Alam Universitas Riau 2
ABSTRACT Shoot induction is an early stage in plant propagation in vitro. The aim this of study was to determine the best BAP concentration and type of explants for shoot induction of siam orange (Citrus nobilis Lour.) from Kampar using in vitro technique. The study had been conducted in the Laboratory of Integrated Biology, Department of Biology, Faculty of Mathematics and Natural Science, University of Riau from May to June 2012, using randomized block design with factorial treatment. This experiment used two factors, the first factor was BAP concentration consisted of five levels: 0, 1, 2, 3, 4, 5 mg/l and the second factor was the type of explant (whole seed and cotyledon). The explants were cultured in MS medium with 12 replications. The data was analyzed using Analysis Of Variance (ANOVA) and if the result was significant, this analysis was continued using Duncan Multiple Range Test (DMRT) at the level of 5%. The results of this study showed that the best shoot induction was obtained from whole seed and cotyledon explant grown that on MS medium without BAP. The percentage and the average number of shoot from whole seed explants were 100% and 4,08, respectively. While the percentage and the average number of shoot from cotyledon explants were 91,67% and 1,50, respectively. Therefore the shoot induction from whole seed explant better than cotyledon explant. Keywords: shoot induction, Citrus nobilis Lour., Kampar, BAP, in vitro. PENDAHULUAN Jeruk merupakan salah satu buah yang banyak digemari masyarakat Indonesia yang mengandung vitamin C, antioksidan, kalium, sebagai obat batuk, sariawan dan dapat dijadikan makanan olahan (Pracaya, 2002; Soedarya, 2010). Kebutuhan akan buah jeruk dipenuhi oleh jeruk siam sebesar 60% (Anonim, 2007). Di Provinsi Riau, jeruk yang terkenal adalah jeruk siam Kampar (Citrus nobilis Lour.) memiliki sifat unggul seperti kulit tipis, permukaan halus, licin, mengkilat dan rasa yang manis
1
(Anonim, 2009). Kampar merupakan salah satu kabupaten di Riau yang dahulu dikenal sebagai salah satu sentra jeruk siam, namun pada saat ini terjadi penurunan produktifitas yang cukup drastis. Penyebab utama berkurangnya produksi jeruk siam asal Kampar karena serangan Phythopthora dan penyakit Citrus Vein Phloem Degeneration (CVPD) (Anonim, 2009; Mashuri, 2011). Jeruk siam asal Kampar perlu dilestarikan guna mempertahankan dan menyelamatkan keberadaannya. Perbanyakan tanaman secara in vitro merupakan salah satu alternatif perbanyakan tanaman yang menghasilkan jumlah bibit yang banyak dalam waktu relatif singkat dengan menggunakan bahan tanaman yang sedikit. Induksi tunas merupakan tahap awal dalam perbanyakan tanaman secara in vitro. Keberhasilan induksi tunas tergantung eksplan, kondisi kultur dan zat pengatur tumbuh yang diberikan pada media (Smith, 2000). Salah satu eksplan yang dapat digunakan untuk induksi tunas adalah biji. Biji jeruk merupakan sumber keanekaragaman genetik yang diperlukan dalam pemuliaan tanaman. Biji jeruk bersifat poliembrioni yang terdiri dari dua jenis embrio yaitu embrio zigotik dan embrio nuselar. Embrio nuselar mempunyai sifat yang sama dengan induknya (Pracaya 2002; Setiono dan Supriyanto, 2005; Chanana and Gill, 2008). Kotiledon pada jeruk merupakan bagian biji yang mengandung embrio nuselar (Koltunow et al., 1996; Jajoo, 2010) dan hasil perbanyakan jeruk secara in vitro menggunakan eksplan kotiledon yang diuji dengan penanda Random Amplification of Polymorphic DNA (RAPD) menunjukkan sifat yang sama dengan induknya (Khawate dan Singh, 2005). Zat pengatur tumbuh sitokinin jenis BAP dapat meningkatkan pembelahan sel, proliferasi dan morfogenesis tunas (Smith, 2000). Perbanyakan tanaman jeruk lemon (Citrus jambheri Lush.) secara in vitro dari eksplan biji dengan pemberian BAP lebih memacu pembentukan tunas daripada tanpa pemberian BAP (Altaf et al., 2008). Perbanyakan tanaman dari eksplan kotiledon Citrus limonia Osbeck. secara in vitro pada media MS dengan pemberian 0,5 mg/l BAP mampu menginduksi tunas dengan jumlah tertinggi (Jajoo, 2010). Pembentukan tunas dari kotiledon tanaman Citrus clementina ‘Monreal’, ‘SRA 63’ dan ‘SRA 64’ dipicu dengan pemberian BAP dalam media. Kultivar Monreal dengan pemberian 4 mg/l BAP memberikan respons menginduksi tunas paling banyak, sedangkan kultivar SRA 63 dan SRA 64 menginduksi tunas paling banyak dengan pemberian 3 mg/l BAP (Lombardo et al., 2011). Rahman et al., (2007) menyatakan bahwa eksplan kotiledon lebih baik daripada epikotil untuk pertumbuhan tinggi tanaman, jumlah daun dan jumlah akar yang terbentuk dalam perbanyakan tanaman jeruk besar (Citrus maxima Burn.) secara in vitro. Eksplan kotiledon Citrus reticula L. menggunakan 5 mg/l BAP memberikan respons multiplikasi tunas terbanyak (Sarma et al., 2011). Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui konsentrasi BAP terbaik dan jenis eksplan terbaik dalam menginduksi tunas jeruk siam asal Kampar (Citrus nobilis Lour.) secara in vitro. METODE PENELITIAN Tempat dan Waktu Penelitian telah dilakukan di Laboratorium Biologi Terpadu Jurusan Biologi Fakultas Matematika dan Ilmu Pengetahuan Alam Universitas Riau pada Maret – Juni 2012.
2
Bahan dan Alat Bahan yang digunakan sebagai eksplan adalah biji jeruk siam yang berasal dari kebun jeruk di Desa Belimbing 2, Kecamatan Kuok, Kabupaten Kampar, media MS (Murashige and Skoog) (Phyto Technology Laboratories), agar-agar (Fisons) sebagai pemadat, sukrosa, zat pengatur tumbuh BAP (Merck), natrium hipoklorit (Bayclin), alkohol 70%, aquades, detergen, spiritus, NaOH 1 N, HCl 1 N, betadine, fungisida Dithane M-45, bakterisida Plantomycin, aluminium foil, kertas pH, kertas label, kertas saring, karet gelang, plastik, tisu gulung. Alat yang digunakan, yaitu: Laminar Air Flow Cabinet (LAFC) (LabTech), autoklaf (AllAmericana) tipe 25X-2, oven (Pselecta) tipe 2001244, timbangan analitik (Kern) tipe ABJ 120-4M, hot plate (Pselecta) tipe 048432, rak kultur, erlenmeyer, cawan petri, gelas ukur, pipet tetes, botol kultur, pinset, scalpel, lampu bunsen, botol sprayer. Rancangan Penelitian Penelitian ini menggunakan rancangan acak kelompok yang terdiri dari dua faktor. Faktor pertama adalah pemberian BAP yang terdiri dari 6 taraf, yaitu: (1) tanpa pemberian BAP, (2) 1 mg/l BAP, (3) 2 mg/l BAP, (4) 3 mg/l BAP, (5) 4 mg/l BAP, (6) 5 mg/l BAP. Faktor kedua adalah jenis eksplan, yaitu: biji utuh dan kotiledon. Setiap perlakuan terdiri dari 12 ulangan. Eksplan dikultur selama 42 hari. Cara Kerja Tahapan yang dilakukan selama penelitian ini adalah: sterilisasi alat, pembuatan media tanam, sterilisasi eksplan, penanaman eksplan dan pemeliharaan. Sterilisasi eksplan dilakukan dengan cara biji dikeluarkan dari buah dan dicuci dengan air mengalir lalu direndam dalam larutan detergen selama 2 menit sambil digojog. Setelah itu, biji dibilas dengan aquades steril, kemudian direndam dalam 2 g/l fungisida selama 5 menit, dibilas sebanyak 3 kali dengan aquades steril, dilanjutkan dengan perendaman dengan 2 g/l bakterisida selama 5 menit dan dibilas sebanyak 3 kali dengan aquades steril. Selanjutnya, sterilisasi eksplan dilakukan dalam laminar. Biji direndam dengan larutan natrium hipoklorit (bayclin) 20% selama 20 menit kemudian biji dicuci dengan aquades steril sebanyak 3 kali. Biji direndam kembali dengan larutan alkohol 70% selama 10 menit dan dibilas kembali dengan aquades steril sebanyak 3 kali. Semua alat dan bahan yang akan digunakan dalam proses penanaman dimasukkan ke dalam laminar, namun sebelumnya disemprot dengan alkohol 70%. Setelah eksplan disterilisasi, eksplan diletakkan ke dalam cawan petri berisi sedikit aquades yang telah ditetesi 2 tetes betadine. Kulit biji bagian luar dilepaskan, seluruh bagian biji dalam keadaan utuh dijadikan sebagai eksplan biji utuh sedangkan untuk eksplan kotiledon, aksis embrio diambil dan kedua bagian kotiledon digunakan sebagai eksplan. Selanjutnya eksplan diletakkan dalam petri yang berisi kertas saring untuk menyerap air yang berlebih pada permukaan eksplan. Eksplan ditanam dalam botol yang berisi media MS. Satu botol berisi 1 eksplan biji utuh sedangkan untuk eksplan kotiledon, kedua bagian kotiledon diletakkan dalam 1 botol. Analisis Data Pengamatan penelitian meliputi: persentase pembentukan tunas (%), waktu terbentuknya tunas (HST), jumlah tunas (buah), tinggi tunas (cm) dan jumlah daun
3
(helai). Data hasil pengamatan dianalisis secara statistik menggunakan ANOVA, apabila terdapat memberikan pengaruh yang nyata, maka dilanjutkan dengan uji DMRT taraf 5%. HASIL DAN PEMBAHASAN
Peersentase pembentukan tunas (%)
Persentase pembentukan tunas dari eksplan biji utuh dan kotiledon dengan pemberian BAP Biji utuh mempunyai persentase pembentukan tunas lebih baik daripada kotiledon karena adanya aksis embrio. Bagian aksis embrio mempunyai peran penting dalam memobilisasi protein dan cadangan makanan yang dibutuhkan saat morfogenesis dan pertumbuhan biji menjadi tumbuhan utuh dan pemisahan aksis embrio menurunkan mobilisasi protein dan berdampak menurunkan aktivitas metabolisme pada biji (Bewley dan Black, 1994, Campbell et al., 2003). Sehingga pada penelitian ini, pemisahan kotiledon dari aksis embrio memberikan pengaruh terhadap persentase pembentukan tunas pada eksplan biji utuh dan kotiledon. Hal tersebut terlihat dari persentase pembentukan tunas pada eksplan biji utuh lebih tinggi daripada eksplan kotiledon baik dengan ataupun tanpa perlakuan pemberian BAP (Gambar 1). Holland et al., (1994) melaporkan bahwa, kotiledon berperan penting dalam pembentukan planlet Citrus paradisi Macf secara in vitro. Kotiledon dan bagian aksis embrio yang ditanam pada media MS dapat membentuk planlet tetapi planlet yang dihasilkan memiliki pertumbuhan abnormal seperti daun yang mengecil, lebih tipis dan terlihat lebih pendek daripada planlet yang berasal dari eksplan biji utuh. 100
100
91,67
100 83,33
83,33 75
75
80
58,33
60
50
41,67
40
33,33
33,33
20 0 0
1
2 3 Konsentrasi BAP (mg/l) Biji utuh
4
5
Kotiledon
Gambar 1. Persentase pembentukan tunas dari eksplan biji utuh dan kotiledon Persentase pembentukan tunas tertinggi diperoleh dari eksplan biji utuh yang ditanam pada media MS tanpa pemberian BAP dan dengan pemberian 3 mg/l BAP (Gambar 1). Biji memiliki berbagai hormon endogen seperti auksin, sitokinin dan giberelin yang tercukupi untuk pertumbuhan dan morfogenesis biji tersebut (Bewley dan Black, 1994). Pada proses perkembangan biji tidak terlepas dari peranan hormon endogen, salah satunya adalah sitokinin yang merangsang pembelahan sel yang menghasilkan munculnya akar dan tunas (Gardner et al., 1991). Diduga kebutuhan sitokinin untuk pembentukan tunas pada eksplan biji utuh telah terpenuhi oleh sitokinin
4
endogen sehingga tunas tetap terinduksi dari eksplan biji utuh tanpa atau dengan pemberian BAP. Pemberian BAP pada eksplan kotiledon cenderung menurunkan persentase pembentukan tunas (Gambar 1). Selain pengaruh dari pemisahan bagian aksis embrio, interaksi dan perimbangan antara zat pengatur tumbuh yang diberikan dalam media dan hormon yang diproduksi oleh sel secara endogen menentukan arah perkembangan suatu kultur (Wattimena et al., 1992). Menurut Lakitan (1996), bahwa pemberian zat pengatur tumbuh dalam konsentrasi yang sesuai dapat meningkatkan morfogenesis tanaman, namun apabila zat pengatur tumbuh diberikan dalam konsentrasi yang berlebih maka akan menghambat pertumbuhan morfogenesis tanaman tersebut. Pada penelitian ini, persentase pembentukan tunas yang diperoleh dari eksplan kotiledon (91,67%) lebih tinggi dibanding persentase tunas dari penelitian Lambardo et al., (2011) yang menggunakan eksplan kotiledon Citrus clementina kultivar Monreal, SRA 63 dan SRA 64 masing-masing 50%, 33,33% dan 25,93% dengan pemberian BAP.
Waktu terbentuknya tunas (HST)
Pertumbuhan tunas dari eksplan biji utuh dan kotiledon dengan pemberian BAP Waktu yang dibutuhkan untuk pembentukan tunas ditentukan dengan menghitung hari pertama tunas muncul. Berdasarkan analisis ragam, pemberian BAP tidak memberikan pengaruh yang nyata (P > 0,05) terhadap waktu terbentuknya tunas, namun jenis eksplan memberikan pengaruh yang nyata terhadap waktu terbentuknya tunas (P < 0,05). 20
19
16
19 15
14
15
20 19
16
18 14
12 10
10 5 0 0
1
2 3 Konsentrasi BAP (mg/l) Biji utuh
4
5
Kotiledon
Gambar 2. Rerata waktu terbentuknya tunas dari eksplan biji utuh dan kotiledon Apabila dilihat dari rerata jumlah tunas, waktu yang dibutuhkan untuk pembentukan tunas cenderung lebih lama dengan pemberian BAP dibanding tanpa pemberian BAP. Waktu terbentuknya tunas tercepat diperoleh dari eksplan kotiledon yang ditanam pada media tanpa pemberian BAP (10 HST) dan pembentukan tunas tercepat dari eksplan biji utuh juga diperoleh dari eksplan yang ditanam pada media tanpa pemberian BAP dan perlakuan pemberian 3 mg/l BAP yaitu 16 HST (Gambar 2). Diduga di dalam eksplan terdapat sitokinin endogen yang cukup untuk memacu pertumbuhan kearah pembentukan tunas sehingga pemberian BAP dapat memperlambat waktu terbentuknya tunas. George dan Sherrington (1984) menyatakan bahwa sitokinin alami yang terkandung di dalam eksplan dapat merangsang eksplan untuk membentuk
5
tunas dan Pierik (1987) mengemukakan bahwa pembentukan tunas dapat terjadi tanpa harus ditambahkan zat pengatur tumbuh. Hal tersebut dapat disebabkan oleh sifat eksplan biji dan kotiledon yang aktif membelah sehingga hanya dengan pemberian media MS yang mengandung unsur hara telah mencukupi untuk memacu terbentuknya tunas. Induksi tunas pada eksplan kotiledon lebih cepat dibanding eksplan biji utuh. Eksplan kotiledon yang dibelah menjadi dua bagian dan diatur dengan posisi terbentang di atas permukaan media tersebut membantu penyerapan nutrien dari media kultur dan mempercepat proses kemunculan tunas. Pada eksplan biji utuh, kedua bagian kotiledon masih menyatu dan biji harus mengalami proses imbibisi sehingga kedua kotiledon terbuka dan pertumbuhan tunas dapat terlihat dengan jelas. Berdasarkan analisis ragam, pemberian BAP tidak memberikan pengaruh yang nyata (P > 0,05) terhadap jumlah tunas, namun jenis eksplan memberikan pengaruh yang nyata terhadap jumlah tunas (P < 0,05). Kotiledon pada biji jeruk merupakan sumber nutrien bagi embrio nuselar, namun aktivitas enzimatik pada kotiledon diatur oleh aksis embrio sehingga proses metabolisme pada kotiledon dapat terganggu jika dipisahkan dari aksis embrio (Singh et al.,1981; Bewley dan Black, 1994). Oleh sebab itu, tunas yang terbentuk dari eksplan biji utuh lebih banyak daripada eksplan kotiledon (Gambar 3). Selain itu, banyaknya jumlah embrio nuselar pada biji jeruk dapat bervariasi tergantung pada genotip, kondisi lingkungan dan juga tergantung kultivar (Altaf et al., 2008). Jumlah tunas (buah)
5
4,08
4 3
3,08
2.75
2,50
2,92 2,00
2
1,50
1,50
1,33 0,75
1
1,08
0,75
0 0
1
2 3 Konsentrasi BAP (mg/l) Biji utuh
4
5
Kotiledon
Gambar 3. Rerata jumlah tunas dari eksplan biji utuh dan kotiledon Rerata jumlah tunas tertinggi terdapat pada eksplan biji utuh yang ditanam pada media tanpa BAP dan pemberian BAP cenderung menurunkan jumlah tunas sedangkan jumlah tunas tertinggi yang terinduksi dari eksplan kotiledon yang ditanam pada media tanpa BAP sama dengan pemberian 1 mg/l BAP yaitu 1,50 dan konsentrasi BAP yang lebih tinggi (2-5 mg/l) cenderung menurunkan jumlah tunas (Gambar 3). Diduga konsentrasi BAP yang diberikan pada eksplan tergolong tinggi sehingga jumlah tunas yang terbentuk dari eksplan yang ditanam dengan pemberian BAP lebih sedikit dibanding tanpa pemberian BAP. Hal yang sama juga dilaporkan Miryam et al. (2008), bahwa pemberian BAP juga tidak mempengaruhi jumlah tunas dari eksplan biji jeruk Kacang (Citrus nobilis Lour.) dan rerata jumlah tunas tertinggi (2,33) diperoleh dari eksplan yang ditanam tanpa pemberian BAP. Seprianti (2011) dan (Ritonga 2011) juga melaporkan bahwa pemberian BAP dan kinetin juga tidak mempengaruhi jumlah tunas
6
yang terbentuk dari eksplan kotiledon jeruk keprok (Citrus nobilis Lour.) yang dikultur selama 4 minggu. Berdasarkan analisis ragam, pemberian BAP dan jenis eksplan memberikan pengaruh yang nyata (P< 0,05) terhadap panjang tunas. Berdasarkan uji lanjut DMRT, rerata panjang tunas tertinggi diperoleh dari eksplan yang ditanam tanpa BAP yang berbeda nyata dengan perlakuan pemberian 1 mg/l, 2 mg/l dan 3 mg/l BAP dan sangat berbeda nyata dengan pemberian 4 mg/l dan 5 mg/l BAP. Panjang tunas yang berasal dari eksplan biji utuh lebih tinggi daripada tunas yang berasal dari eksplan kotiledon (Gambar 4). Holland (1995) melaporkan, bahwa panjang batang pada tunas yang berasal dari biji utuh yang ditanam pada media MS tanpa BAP dapat mencapai 56 mm, namun ketika aksis embrio dan kotiledon Citrus paradisi Macf dipisah, tunas yang terinduksi menjadi lebih pendek (5 mm). Panjang tunas (cm)
3,34
3,10
3 1,87 1,55
2
1,89
1,63 1,04
1
1,00
1,00 0,46
1,29 0,42
0 0
1
2 3 4 Konsentrasi BAP (mg/l) Biji utuh
5
Kotiledon
Gambar 4. Rerata panjang tunas dari eksplan biji utuh dan kotiledon Rerata panjang tunas paling tinggi diperoleh dari eksplan yang ditanam pada media tanpa pemberian BAP dan pemberian BAP cenderung menurunkan rerata panjang yang terbentuk. Menurut Salisbury dan Ross (1995), batang yang sedang memanjang tidak memerlukan sitokinin, walaupun organ tersebut membutuhkan hormon sitokinin untuk perpanjangan batang, kandungan sitokinin dalam jaringannya telah mencukupi. Sitokinin dapat menghambat terjadinya perpanjangan sel sehingga eksplan yang ditanam tidak bertambah tinggi (George et al., 2008). Pemberian BAP juga tidak berpengaruh terhadap panjang tunas yang terbentuk dari eksplan biji jeruk ‘Kacang’ (Citrus nobilis Lour.) dan rerata tunas tertinggi (2,242 cm) diperoleh dari eksplan biji utuh yang ditanam tanpa pemberian BAP (Miryam et al., 2008).
7
Jumlah daun (helai)
Berdasarkan analisis ragam, pemberian BAP dan jenis eksplan tidak memberikan pengaruh yang nyata terhadap jumlah daun (helai) yang terbentuk (P > 0,05), namun rerata jumlah daun pada perlakuan pemberian BAP konsentrasi 1 mg/l, 2 mg/l dan 3 mg/l dapat meningkatkan pembentukan daun dibanding tanpa pemberian BAP dan konsentrasi 3 mg/l BAP merupakan konsentrasi optimum meningkatkan pembentukan daun (Gambar 5). Sitokinin mempunyai kemampuan mendorong pembelahan sel dan diferensiasi jaringan terutama dalam pembentukan pucuk (Hans, 1975 dalam Hafizhah, 2011). Gardner et al. (1991) menyatakan bahwa, senyawa nitrogen yang terkandung dalam sitokinin berperan dalam proses sintesis asam amino dan protein secara optimal yang selanjutnya digunakan untuk proses pembentukan dan pertumbuhan daun. Peningkatan konsentrasi BAP (4 mg/l dan 5 mg/l) menghambat pertumbuhan tersebut sehingga daun yang terbentuk hanya sedikit. Menurut Husni et al., (1994) dalam Manurung (2007), semakin tinggi konsentrasi sitokinin maka semakin sedikit jumlah daun yang terbentuk. 4 3 2,00 2,30
2,50 2,40
3,02
2,80
2,40
2,44
2,15
2
1,55
1,30
1,06
1 0 0
1
2
3
4
5
Konsentrasi BAP (mg/l) Biji utuh
Kotiledon
Gambar 5. Rerata jumlah daun dari eksplan biji utuh dan kotiledon Morfologi tunas yang berasal dari eksplan biji utuh dan kotiledon yang ditanam tanpa BAP berbeda dengan pemberian BAP. Berdasarkan pengamatan secara visual, tunas yang berasal dari eksplan biji dan kotiledon yang ditanam tanpa pemberian BAP terlihat lebih tinggi, diameter batang kecil sehingga batang terlihat kurus, akar lebih panjang sedangkan tunas yang berasal dari eksplan yang ditanam pada media MS dengan pemberian 1 hingga 5 mg/l BAP, memiliki daun berwarna sedikit lebih hijau, diameter batang lebih besar sehingga terlihat lebih kokoh, batang dan akar lebih pendek (Gambar 5). Sitokinin mendorong pembentukan protein pada kloroplas sehingga dapat mendorong pembentukan grana dan meningkatkan laju pembentukan klorofil pada daun (Salisbury dan Ross, 1995) dan pemberian sitokinin eksogen juga menyebabkan jaringan batang menjadi lebih tebal karena terjadi pembesaran sel ke arah samping (Taiz dan Zeiger, 2010).
8
0 mg/l BAP
1 mg/l BAP
2 mg/l BAP
3 mg/l BAP
4 mg/l BAP
5 mg/l BAP
Gambar 5. Morfologi tunas terbaik yang terinduksi dari eksplan biji utuh (kanan) dan kotiledon (kiri) berumur 42 hari. KESIMPULAN DAN SARAN Induksi tunas terbaik diperoleh dari eksplan biji utuh dan kotiledon yang ditanam pada media MS tanpa BAP. Eksplan biji utuh lebih baik daripada eksplan kotiledon dalam menginduksi tunas jeruk siam asal Kampar secara in vitro. Persentase pembentukan tunas dari eksplan biji utuh adalah 100% dengan jumlah tunas 4,08 sedangkan persentase pembentukan tunas eksplan kotiledon hanya 91,67% dengan jumlah tunas 1,50. Perlunya dilakukan penelitian lanjut mengenai induksi tunas dari eksplan kotiledon untuk mengoptimalkan kemampuan eksplan kotiledon dalam menginduksi tunas dengan menggunakan konsentrasi BAP yang lebih rendah antara 0 sampai 1 mg/l. UCAPAN TERIMA KASIH Penulis mengucapkan terima kasih kepada Ibu Siti Fatonah, M.P dan Ibu Dra. Wahyu Lestari, M.Si atas bimbingan, bantuan dan ilmu yang telah diberikan kepada
9
penulis. Penulis juga mengucapkan terima kasih kepada Ibu Dr. Mayta Novaliza M.Si dan Ibu Dra. Dyah Iriani, M.Si atas saran dan motivasi yang diberikan kepada penulis. DAFTAR PUSTAKA Altaf N, Khan AR, Ali L, Bhatti LA. 2008. Propagation of Rough Lemon (Citrus Jambhiri Lush.) through In vitro Culture and Adventitious Rooting in Cuttings. Electronic Journal of Enviromental Agricultural and Food Chemistry 7(11): 3326-3333. 1 Anonim . 2007. Peluang Usaha dan Pembudidayaan Jeruk Siam. Jakarta. Penebar Swadaya. 2 Anonim . 2009. Jendela Informasi Riau.http://www.riauonline.com/berita/print/ balitbang-bappeda-siap-kembangkan-jeruk-carizzo-dan-siam-kampar. html. [Tanggal akses: 02 Maret 2012]. Bewley DJ, Black M. 1994. Seed Physiology Development and Germination Second Edition. New York and London. Plenum Press. Campbell AN, Reece BJ, Mitchell GL. 2003. Biologi Edisi Kelima Jilid 2. Erlangga. Jakarta. Chanana YR dan Gill MIS. 2008. Propagation and Nursery Management. Ludhiana. Punjab Agricultural University. Gardner PF, Pearce BR, Mitchell LR. 1991. Fisiologi Tanaman Budidaya. Jakarta. Penerbit Universitas Indonesia. George EF, Hall MA, De Klerk G. 2008. Plant Propagation By Tissue Culture 3rd Edition Volume 1 The Backgraund. Netherlands. Springer. George EF, Sherrington PD. 1984. Plant Propagation by Tissue Culture. England. Eastern Press. Hafizhah LS. 2011. Kultur Embrio Jeruk Keprok (Citrus nobilis Lour.) pada Media MS dengan Perlakuan BAP. [Skripsi]. Universitas Sumatera Utara. Departemen Biologi Fakultas Matematika dan Ilmu Pengetahuan Alam. Holland D, Abied MA, Nachman S, Saad S. 1995. Cotyledon Detachment Inhibits Development but does not Affect Precocious Flowering of 'Duncan' Grapefruit. Plant Cell, Tissue and Organ Culture 41: 79-82. Jajoo A. 2010. In vitro Propagation of Citrus limonia Osbeck through Nucellar Embryo Culture. Journal of Biological Sciences 2(1): 6-8. Khawate RN dan Singh SK. 2005. In vitro Adventitive Embryony in Citrus: A Technique for Citrus Germplasm Exchange. Current Science 88(8): 13091311. Koltunow AM, Hidaka T, Robinson SP. 1996. Polyembryony in Citrus, Accumulation of Seed Storage Proteins in Seeds and in Embryos Cultured In vitro. Plant Physiology 11: 599-609. Lakitan B. 1996. Fisiologi Pertumbuhan dan Perkembangan Tanaman. Jakarta. Grafindo Persada. Lombardo G, Alessandro R, Scialabba A, Sciandra M, De Pasquale F. 2011. Direct Organogenesis from Cotyledons in Cultivars of Citrus clementina Hort. Ex Tan. American Jurnal of Plant Sciences 2: 237-244. Mashuri K, 2011. Si Manis dari Kuok.http://greenstudientjournalists.blogspot.com/2011
10
/11/cara-unik-jaga-lingkungan-berbuah-dan.html. [Tanggal akses: 14 Februari 2012]. Manurung LY. 2007. Pengaruh Auksin (2,4 D) dan Sitokinin (BAP) dalam Kultur In vitro Buah Makasar (Brucea javanica L. Merr.). [Skripsi]. Institut Pertanian Bogor. Departemen Kontroversi Sumber Daya Hutan dan Ekowisata. Miryam A, Suliansyah I, Djamaran A. 2008. Perbanyakan Jeruk Kacang (Citrus nobilis L.) pada Beberapa Konsentrasi NAA dan BAP pada Medium WPM secara In vitro. Jerami 1: 2. Pierik RLM. 1997. In Vitro Culture of Hinger Plant. Netherlands. Martinus Nijhoft Publisher. Pracaya. 2002. Jeruk Manis Varietas, Budidaya dan Pascapanen. Jakarta. Penebar Swadaya. Rahman IH, Purwoko BS, Dewi IS. 2007. Perbanyakan Jeruk Besar Citrus maxima (Burm.) Merr. Kultivar Cikoneng dengan Eksplan Kotiledon dan Epikotil. Makalah Seminar Departemen Agronomi dan Hortikultura Fakultas Pertanian-Institut Pertanian Bogor. Ritonga Y. 2011. Kultur Kotiledon Jeruk Keprok (Citrus nobilis Lour.) pada Media MS yang Diperkaya dengan Kinetin. [Skripsi]. Universitas Sumatera Utara. Departemen Biologi Fakultas Matematika dan Ilmu Pengetahuan Alam. Salisbury F, Ross CW. 1995. Fisiologi Tumbuhan. Bandung. Penerbit ITB Bandung. Sarma C, Borthakur A, Singh S, Modi MK, Sen P. 2011. Efficient In vitro Plant Regeneration from Cotyledonary Explants of Citrus reticulata L. Blanco. Scholars Research 2(6): 341-348. Seprianti R. 2010. Pertumbuhan Eksplan Kotiledon Jeruk Keprok (Citrus nobilis Lour.) dengan Kultur In vitro pada Media MS (Murahige dan Skoog) dengan BAP (Benzil Amino Purin). [Skripsi]. Universitas Sumatera Utara. Departemen Biologi Fakultas Matematika dan Ilmu Pengetahuan Alam. Setiono, Supriyanto A. 2005. Poliembrional dan Seleksi Semaian Vegetatif pada Pembibitan Jeruk. Sirkular Teknologi Inovasi Jeruk 3. Singh U, Jambunathan R, Saxena NP.1981. Changes in Carbohydrates, Amino Acids and Proteins in Developing Seed of Chickpea. Phytochemistry 20: 373–378 Smith RH. 2000. Plant Tissue Culture Techniques and Experiments Second Edition. USA. Academic Press. Soedarya AP. 2010. Budidaya Usaha Pengolahan Agribisnis Jeruk. Bandung. Pustaka Grafik. Taiz L, Zeiger E. 2010. Plant Physiology. California. Sinauer Associates. Wattimena GA, Gunawan LW, Mattjik NA, Syamsudin E, Wiendi NMA, Ernawati A. 1992. Bioteknologi Tanaman. Bogor. Pusat Antar Universitas IPB.
11