FUSI PROTOPLAS INTERSPESIES ANTARA JERUK SIAM SIMADU (Citrus nobilis Lour.) DENGAN MANDARIN SATSUMA (C. unshiu Marc.)
ALI HUSNI
SEKOLAH PASCASARJANA INSTITUT PERTANIAN BOGOR BOGOR 2010
PERNYATAAN MENGENAI DISERTASI DAN SUMBER INFORMASI Dengan ini saya menyatakan bahwa Fusi Protoplas Interspesies Antara Jeruk Siam Simadu (Citrus nobilis Lour.) Dengan Mandarin Satsuma (Citrus unshiu Marc.) adalah karya saya dengan arahan komisi pembimbing dan belum pernah diajukan dalam bentuk apapun kepada perguruan tinggi manapun. Sumber informasi yang berasal atau dikutip dari karya yang diterbitkan maupun tidak diterbitkan dari penulis lain telah disebutkan dalam teks dan dicantumkan dalam Daftar Pustaka disertasi ini.
Bogor,
April 2010
Ali Husni NIM A161060121
ABSTRACT
ALI HUSNI. Interspecies Protoplasts Fusion between Citrus Siam Simadu (Citrus nobilis Lour.) and Citrus Mandarin Satsuma (C. unshiu Marc.). Supervised by AGUS PURWITO, SUDARSONO, and IKA MARISKA.
Somatic hybridization is an important tool for supplying new varieties to be used directly as cultivar genetic improvement programs. In citrus, this technology has been extensively used and has many important implipications. The objectives to the research are produceed citrus somatic hybrids between citrus siam Simadu and Mandarin Satsuma with chemical fusion (PEG). Protoplasts of siam Simadu from calli with Mandarin Satsuma from mesophyll-derived protoplasts were regenerated by somatic embryogenesis. Concentration and duration of incubation in a solution of PEG strongly affected the fusion induction of siam Simadu with Mandarin Satsuma. High concentrations of PEG can increase the frequency of fusion, while the low concentration produces a low frequency of fusion. The result showed that protoplasts from embryogenic callus of Simadu tangerine and in vitro leaf of Mandarin Satsuma can be isolated in large numbers by using a combination of cellulase Onozuka R10, Yakult Yakult% 1% with R10 Maserozim in CPW solution. Protoplasts are purified with a mixture of 25% sucrose with 13% mannitol. Protoplast density produced from embryogenic callus is 15.7x105 protoplasts / g callus and 13x105 protoplasts/ g in vitro leaf. The concentration of PEG used to induce fusion between mesophyll protoplasts Mandarin Satsuma and siam Simadu callus affect the average number of protoplasts fusion. Average number of protoplasts were fused by using PEG 4% are 3.3 hetero fusion, 5.0 homo fusion and multi-fusion. Average number of protoplasts were fused by using PEG 30% are 4.7 hetero fusion, 6.7 homo fusion 6.7 and 7.7multi-fusion. The success of fusan regeneration on regeneration medium is influenced by PEG concentration used for induction of fusion. Protoplasts were fused with PEG only 4%, which can regenerate to form cell walls, making cell division, colony cells, micro-callus and somatic embryo. Protoplasts were fused with PEG 30% can only be regenerated to form the cell wall and cell division. Giving light to the culture after 2 weeks may accelerate cell division that can form colonies of cells. Dilutions of cell suspension with the same medium (without 2, 4-D) can accelerate the growth and development of the protoplasts formed colonies of cells, micro-callus and somatic embryos. MW medium is best used in the fusion because it can encourage of somatic embryos directly. Addition of ABA 0.5 mg / l in the media can produce somatic embryos and GA3 0.5 mg / l can germinate mature somatic embryos to plantlets with 76% germination efficiency. Somatic hybrids were germinated, then trasfered to a medium culture, and finally grafted in greenhouse. The hybrids were confirmed by growth of in vitro culture, morphology, cytology (chromosome number), molecular analysis (ISSR), and contain of chlorophyl
Keywords: Citrus, male sterility, chemical fusion, somatic embryogenesis, morphology, cytology, molecular analysis, somatic hybrids.
RINGKASAN
ALI HUSNI. Fusi Protoplas Intersepesies Antara Jeruk Siam Simadu (Citrus nobilis Lour.) dengan Mandarin Satsuma (C. unshiu Marc.). Dibimbing oleh: AGUS PURWITO, SUDARSONO, and IKA MARISKA. Kebutuhan pasar dunia secara global akan buah jeruk yang dikonsumsi segar saat ini dan masa mendatang adalah perlu memenuhi kategori buah yang tidak berbiji (seedless), mudah dikupas (easy peeling) dan mempunyai tipe mandarin dengan warna yang menarik (pigmented). Jeruk siam Pontianak dan Simadu adalah dua dari jenis jeruk batang atas komersial (scion) yang banyak dikenal di Indonesia. Akan tetapi kedua jenis jeruk tersebut masih mempunyai biji yang relatif banyak (15-21 biji per buah) dan warna (pigmented) belum begitu menarik sehingga kalah bersaing dengan jeruk produk negara lain. Untuk menghindari tekanan buah jeruk impor tersebut maka diperlukan sentuhan inovasi teknologi terhadap jeruk lokal tersebut untuk meningkatkan kualitas buah sehingga dapat diterima dan bersaing di pasar global. Untuk mendapatkan tanaman jeruk yang mempunyai karakter buah seedless pada tanaman jeruk sudah dimulai dilakukan beberapa dekade yang lalu melalui pemuliaan konvensional. Mandarin Satsuma (C. unshiu Marc.) adalah merupakan jenis jeruk yang secara alami mempunyai sifat seedless dan telah terbukti bahwa sifat seedless yang terdapat pada jeruk Mandarin Satsuma disebabkan oleh polennya yang steril (male sterility) yang biasa disebut dengan istilah MS. Untuk memindahkan sifat MS tersebut dari jeruk Mandarin Satsuma kepada jeruk siam sangat sulit dilakukan melalui pemuliaan konvensional karena adanya faktor genetik (inkompaitble). Oleh karena itu perlu dicari cara lain untuk memindahkan sifat seedless dari jeruk Mandarin Satsuma ke jeruk siam. Konsentrasi dan lama inkubasi dalam larutan PEG sangat berpengaruh terhadap induksi fusi protoplas tanaman. Konsentrasi PEG yang tinggi dapat meningkatkan frekuensi fusi protoplas sedangkan konsentrasi yang rendah menghasilkan frekuensi fusi yang rendah. Dari hasil penelitian yang telah dilakukan diperoleh bahwa kombinasi enzim selulase Onozuka (R-10 Yakult) 1% dengan maserozim (R-10-Yakult) 1% dalam larutan CPW dapat mengisolasi protoplas sebanyak 13.9 x 105 protoplas/gram dari mesofil daun dan 15.1 x 105 protoplas/g dari kalus embriogenik. Semakin lama waktu inkubasi dalam larutan PEG maka semakin banyak jumlah protoplas yang mengalami fusi baik PEG konsentrasi tinggi (30%) maupun konsentrasi rendah (4%). Penggunaan induksi PEG 30% lebih efektif untuk menginduksi terjadinya fusi dari pada 4%. Tipe fusi yang dihasilkan adalah hetero fusi, homo fusi, dan multi fusi. Rata-rata jumlah hetero fusi yang dihasilkan dari fusi yang diinduksi dengan PEG 30% adalah 1.6 dari inkubasi 5 menit, 3.6 dari inkubasi 10 menit dan 4.8 dari inkubasi 15 menit. Rata-rata jumlah hetero fusi yang dihasilkan dari hasil fusi menggunakan PEG 4% adalah 1.2 dari inkubasi 5 menit, 1.8 dari inkubasi 10 menit dan 3.0 dari inkubasi 15 menit. Frekuwensi fusi meningkat setelah penambahan 200 µl larutan pencuci. Ratara-rata jumlah heterofusi dari induksi PEG 30% menjadi 7.2 dan 3.6 dari induksi fusi PEG 4%. Protoplas dari kalus embriogenik jeruk siam Simadu dan daun in vitro jeruk Mandarin Satsuma dapat diisolasi dalam jumlah yang banyak menggunakan kombinasi enzim selulase Onozuka R10Yakult 1% dengan Maserozim R10-Yakult 1% dalam larutan CPW yang dimurnikan dengan campuran sukrosa 25% dengan manitol 13%. Densitas protoplas yang dihasilkan dari kalus embriogenik adalah 15.7x105 protoplas/g kalus dan 13.0x105 protoplas/g daun. Konsentrasi PEG yang digunakan untuk menginduksi fusi protoplas dari kalus jeruk siam Simadu dengan protoplas mesofil daun in vitro berpengaruh terhadap jumlah rata-rata protoplas berfusi yang dihasilkan. Rata-rata jumlah total protoplas berfusi menggunakan PEG 4% adalah 3.3 hetero fusi, 5 homo fusi dan multi fusi sedangkan menggunakan PEG 30% adalah
4.7 hetero fusi, 6.7 homo fusi dan 7.7 multi fusi. Keberhasilan regenerasi protoplas hasil fusi pada media kultur yang digunakan dipengaruhi oleh konsentrasi PEG yang dipakai untuk menginduksi terjadinya fusi. Hanya protoplas yang difusikan dengan PEG 4% yang dapat beregenerasi membentuk dinding sel, melakukan pembelahan sel, koloni sel, mikro kalus dan embrio somatik, sedangkan protoplas yang difusikan dengan PEG 30% hanya dapat beregenerasi membentuk dinding sel dan pembelahan sel. Pemberian cahaya pada kultur setelah umur 2 minggu dapat mempercepat pembelahan sel sehingga dapat membentuk koloni-koloni sel. Pengenceran suspensi sel dengan media kultur yang sama (tanpa 2,4-D) dapat mempercepat pertumbuhan dan perkembangan protoplas membentuk koloni sel, mikro kalus dan embrio somatik. Media kultur MW merupakan media yang paling baik digunakan dalam kultur protoplas hasil fusi karena dapat menginduksi terjadinya embriogensis somatik secara langsung. Penambahan ABA 0.5 mg/l dalam media dapat mendewasakan embrio somatik dan GA3 0.5 mg/l dapat mengecambahkan embrio somatik dewasa sehingga diperoleh plantlet. Berdasarkan pertumbuhan hasil keragaan kultur in vitro pada media tumbuh yang selektif (MW+EM 500 mg/l) diperoleh 5 kandidat hibrida somatik dari 19 regeneran yang diuji. Evaluasi lebih lanjut dengan marka molekuler ISSR menggunakan primer ISSR8 diperoleh 4 hibrida somatik dari 5 kandidat yang diuji. Jumlah kromosom dari hibrida somatik yang diperoleh merupakan penjumlahan dari jumlah kromosom kedua tetuanya (36 pasang) kecuali R10 dengan jumlah kromosom 35 pasang. Warna, tulang, dan kandungan kloropil daun dari hibrida somatik merupakan intermediet dari kedua tetuanya.
Kata Kunci: Jeruk, mandul jantan, fusi secara kimia, embriogenesis somatik, morfologi, sitologi, analisis molekular, hibrida somatik
© Hak cipta milik IPB, tahun 2010 Hak Cipta dilindungi Undang-Undang Dilarang mengutip sebagian atau seluruh karya tulis ini tanpa mencantumkan atau menyebutkan sumbernya. Pengutipan hanya untuk kepentingan pendidikan, penelitian, penulisan karya ilmiah, penyusunan laporan, penulisan kritik, atau tinjauan suatu masalah; dan pengutipan tersebut tidak merugikan kepentingan yang wajar IPB. Dilarang mengumumkan dan memperbanyak sebagaian atau seluruh Karya Tulis dalam bentuk apapun tanpa izin IPB.
FUSI PROTOPLAS INTERSPESIES ANTARA JERUK SIAM SIMADU (Citrus nobilis Lour.) DENGAN MANDARIN SATSUMA (C. unshiu Marc.)
ALI HUSNI
Disertasi Sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar Doktor pada Progran Studi Agronomi
SEKOLAH PASCASARJANA INSTITUT PERTANIAN BOGOR BOGOR 2010
Judul Disertasi Nama NIM
: Fusi Protoplas Interspesies Antara Jeruk Siam Simadu (Citrus nobilis Lour.) dengan Mandarin Satsuma (C. unshiu Marc.) : Ali Husni : A161060121
Disetujui Komisi Pembimbing
Dr. Ir. Agus Purwito, M.Sc Ketua
Prof. Dr. Ir Sudarsono, M.Sc Anggota
Dr. Ir. Ika Mariska, APU Anggota
Mengetahui
Ketua Program Studi Agronomi
Dekan Sekolah Pascasarjana
Dr. Ir. Munif Ghulamahdi, MS
Prof. Dr. Ir. Khairil A Notodiputro, MS
Tanggal Ujian: 27 Mei 2010
Tanggal Lulus:....................................
PRAKATA Puji dan syukur penulis panjatkan kepada Allah SWT atas berkat dan rahmatNya dapat menyelesaikan penulisan disertasin ini yang merupakan salah satu syarat dalam rangka penyelesaian program Doktor (S3) di sekolah Pascasarjana Institut Pertanian Bogor (IPB) dengan judul “Fusi Protoplas Interspesies Antara Jeruk Siam Simadu (Citrus nobilis Lour.) dengan Mandarin Satsuma (C. unshiu Marc.)”. Sebagian dari disertasi ini telah diterbitkan di Jurnal AGRITEK, Institut Pertanian Malang Vol 17 No.18 tahun 2008 dengan judul ‘Studi Isolasi Protoplas Tanaman Jeruk Siam dan Mandarin Satsuma, Jurnal Agro Biogen (dalam proses) dengan judul “Regenerasi Tanaman Jeruk Siam Melalui Jalur Embriogenesis Somatik”. Pada kesempatan ini penulis menyampaikan terima kasih dan penghargaan kepada Dr. Ir. Agus Purwito, M.Sc, selaku ketua komisi pembimbing dan Prof. Dr. Ir. Sudarsono, M.Sc serta Dr. Ir. Ika Mariska, APU sebagai anggota komisi pembimbing atas bimbingan, saran, dan motivasi mulai dari penulisan usulan penelitian (proposal), pelaksanaan penelitian, dan penulisan disertasi. Ucapan terimakasih dan penghargaan yang mendalam kepada ayah dan ibu tercinta H. Abdul Manan Harahap dan Ibu Hj. Mardiah Aritonang yang senantiasa sabar dalam mendo’akan, mendidik, dan mengarahkan anak-anaknya. Penulis ucapkan terimakasih juga kepada bapak dan ibu mertua H. Kosasih dan Hj Tejaningsih yang telah banyak memberikan semangat dan do’a dalam menyelesaikan disertasi ini. Secara khusus, penulis ucapkan terimakasih kepada istri tercinta dan anak-anakku yang tersayang atas dorongan dan bantuan yang begitu banyak, doa’ yang tulus serta pengertian dan perhatiannya yang begitu dalam yang dapat memberikan dorongan dan semangat dalam menyelesaikan studi dan disertasi ini. Ucapan terimakasih juga kepada kepala Balai Besar Penelitian dan Pengembangan Bioteknologi dan sumberdaya Genetik Pertanian (BB-Biogen) di Bogor dan kepala Badan Penelitian dan Pengembangan Pertanian di Jakarta atas kesempatan yang diberikan kepada penulis untuk dapat melanjutkan pendidikan program Doktor. Terimakasih juga disampaikan kepada dekan sekolah Pascasarjana IPB, ketua program studi Agronomi, dan seluruh staf pengajar di departemen Agronomi IPB. Penulis tidak lupa mengucapkan terimakasih kepada Dr. Ir. Ika Mariska, APU sebagai ketua kelompok peneliti, rekan-rekan peneliti, dan teknisi kelompok peneliti Biologi sel dan Jaringan, BB- Biogen atas bantuan, dorongan dan kerjasamanya. Terimakasih juga disampaikan kepada saudari Chaerani Marta, S.Si, MP, Ir. Karsinah, MP dan saudara Yusuf yang telah banyak memberikan informasi, bantuan penyambungan (grafting) dan pemeliharaan tanaman hasil fusi protoplas di rumah kaca Balai Penelitian Jeruk dan Buah Subtropika di Batu, Malang. Terimakasih juga disampaikan kepada bapak Dr. Trijoko Santoso, M.Si atas bantuannya dalam mengidentifikasi hibrida somatik menggunakan marka molekular ISSR di laboratorium Biologi Molekuler BB-Biogen dan bapak Ujang Havid yang telah banyak membantu penulis dalam pembuatan preparat dan penghitungan jumlah kromosom di laboratorium sitologi Pusat Penelitian Biologi LIPI, Cibinong dan bapak Dr. Sutoro MS atas bantuan alat Chlorophyll Meter yang digunakan dalam penenentuan kandungan klorofil daun. Penelitian ini didukung oleh dana dari penelitian Riset Insentif dari Kementerian Ristek dan dana penelitian beasiswa Badan Litbang Pertanian. Untuk itu, penulis menyampaikan terimakasih kepada bagian kerjasama Kementerian Riset dan Teknologi serta Kepala Badan Litbang Pertanian atas dana penelitian yang telah diberikan. Semoga karya ilmiah ini bermanfaat.
RIWAYAT HIDUP Penulis dilahirkan di Padangsidempuan pada tanggal 09 Desember 1963 dari ayah bernama H. Abdul Manan Harahap (Alm) dan ibu Hj. Mardiah Aritonang (Almh). Jenjang pendidikan penulis berturut-turut adalah lulusan sekolah dasar di SD Alwasliyah, Padangsidempuan pada tahun 1976, lulusan SMP Negeri V Padangsidempuan pada tahun 1980, lulusan SMA Negeri 32 Jakarta pada tahun 1983. Padatahun 1989 penulis mendapat gelar sarjana (S1) dari Fakultas Biologi Universitas Nasional, Jakarta. Gelar Magister Sains (M.Si) diperoleh pada tahun 2002 dari Program Studi Bioteknologi, Sekolah Pascasarjana, Institut Pertanian Bogor (IPB) dengan beasiswa dari PAATAP. Tahun 2006, penulis mendapat kesempatan untuk melanjutkan pendidikan Program doktor di Program Studi Agronomi di perguruan tinggi yang sama dengan beasiswa dari Badan Litbang Pertanian. Penulis menikah dengan Mia Kosmiatin, Ssi, Msi pada tahun 1995 dengan dikaruniai dua orang putri yang bernama Aphylla Planifolia Harp dan Aulia Floribunda Harp serta seorang putra yang bernama Muhammad Houzni Rafsanzani Harp. Penulis menjadi staf peneliti bioteknologi mulai tahun 1992 di Pusat Penelitian dan Pengenbangan Tanaman Industri (Puslitbangtri) di Bogor. Kemudian dipindahkan ke kelompok peneliti Fisiologi di Balai Penelitian Tanaman Rempah dan Obat pada tahun 1995. Penulis dipindahkan kembali ke kelompok peneliti Reproduksi dan Pertumbuhan Balitbio pada tahun 1997 karena adanya reorganisasi di Badan Litbang Pertanian. Kemudian menjadi kelompok peneliti Biologi sel dan Jaringan pada tahun 1999 Balai Besar Penelitian dan Pengembangan Bioteknologi dan sumberdaya Genetik Pertanian (BB-Biogen) sampai sekarang.
DAFTAR TABEL Teks 1.
2.
3.
4.
5.
6.
7.
8.
9.
10.
11.
12.
13.
14.
Halaman
Bahan tanaman dan media perlakuan yang digunakan pada setiap tahapan percobaan dalam penelitian …………………………………..
29
Keberhasilan mendapatkan nuselus yang aseptik dari biji muda jeruk siam Simadu dan Pontianak dalam media perlakuan .............................
31
Respon nuselus jeruk siamSimadu dan Pontianak pada media perlakuan terhadap persentase pembentukan kalus …………………....
32
Tipe kalus dan banyaknya jumlah pem yang dihasilkan dari setiap media perlakuan dari masing – masing jeruk siam setelah kultur berumur 8 minggu ..................................................................................
34
Persentase keberhasilan mendapatkan nuselus dan embrio yang aseptik serta induksi kalus pada minggu ke- 4 dan ke- 8 .......................
35
Tipe kalus dan banyaknya jumlah struktur pem dan globular yang dihasilkan dari eksplan nuselus dan embrio, 8 minggu setelah kultur ...
36
Pengaruh penambahan ABA dalam proses pendewasaan struktur globular embrio somatik, 4 minggu setelah kultur ................................
39
Pengaruh penambahan GA dalam proses pengecambahan embrio somatik menjadi plantlet benih somatik), 4 minggu setelah kultur ........
40
Kombinasi larutan enzim yang digunakan untuk isolasi protoplas kalus embriogenik, daun in vitro dan suspensi sel .................................
50
Keberhasilan biji berkecambah, tinggi tunas dan jumlah daun pada jeruk siam madu, Pontianak dan Mandarin Satsuma 4 minggu dalam media MW+0.5 mg/l GA 3 ....................................................................
53
Persentase keberhasilan induksi kalus dari nuselus dan embrio jeruk siam simadu dan Pontianak, 2 bulan setelah kultur …………………...
54
Produksi protoplas daun mesofil yang dihasilkan dari dua kombinasienzim yang berbeda setelah inkubasi 16 jam setelah dimurnikan dengan campuran 25% sukrosa dalam larutan CPW.. .......
56
Produksi protoplas mesofil daun yang dihasilkan dari dua kombinasi enzim yang berbeda setelah inkubasi 16 jam setelah dimurnikan dengan campuran 25% sukrosa + 13% manitol dalam larutan CPW .....
57
Produksi protoplas dari kalus embriogenik nuselus dan embrio dari dua kombinasi enzim yang berbeda setelah inkubasi 16 jam setelah dimurnikan dengan campuran 25% sukrosa + 13% manitol dalam
15.
16.
17.
18.
19.
20.
21.
22.
23.
24. 25.
26.
larutan CPW ………………………………………………………......
60
Produksi protoplas kalus embriogenik nuselus yang dihasilkan dari kombinasi enzim 1 setelah inkubasi 16 jam dan dimurnikan dengan campuran 25% sukrosa + 13% manitol dalam larutan CPW ………….
61
Rata-rata jumlah protoplas yang dihasilkan dari mesofil daun dan kalus embriogenik yang diisolasi dengen enzim selulase 1% + maserozim 1% yang diinkubasi selama 16 jam ………………………
75
Produksi protoplas dari kalus dan mesofil daun menggunakan kombinasi enzim Selualse 1%+ Maserozim 1% yang diinkubasi selama 16 jam dan murnikan dengan campuran 25% sukrosa+13% manitol dalam larutan CPW …………………………………………...
98
Pengaruh konsentrasi PEG (4 dan 30%) terhadap keberhasilan fusi (hetero fusi, homo fusi dan multi fusi) protoplas jeruk siam simadu dengan Mandarin Satsuma, inkubasi 15 menit ………………………...
104
Pengaruh media kultur terhadap persentase kemampuan protoplas membentuk dinding dan pembelahan sel yang diinduksi fusi dengan PEG 4 dan 30%, 2 minggu setelah kultur ..............................................
107
Pengaruh media kultur terhadap persentase kemampuan protoplas melakukan pembelahan dan jumlah koloni sel setelah pemberian cahaya, 2 minggu setelah kultur ……………………………………….
109
Pengaruh media kultur terhadap kemampuan koloni sel membentuk mikrokalus , 1, 2, dan 3 minggu setelah pengenceran ………………..
111
Pengaruh media kultur terhadap kemampuan koloni sel membentuk mikro kalus dan embrio somatik, 4 minggu setelah pengenceran …....
113
Pendewasaan embrio somatik fase globular menjadi fase torpedo dan hati dalam media MW + 1.5 mg/l ABA + 500 mg/l EM umur 2 dan 4 minggu ………………………………………………………………....
129
Banyaknya jumlah kromosom dari f hibrida somatik yang dihasilkan dan kedua tetuanya (Mandarin Satsuma dan siam Simadu) …………... Morfologi batang hibrida somatik pada umur 5 bulan setelah penyambungan .……………………………………………………….. Morfologi daun hibrida somatik pada umur 5 bulan setelah penyambungan ………………………………………………………...
132 133
134
DAFTAR GAMBAR Teks 1.
2.
3.
4.
5.
6.
7.
8.
9.
10.
11.
12.
Halaman
Diagram dan alur strategi penelitian serta keterkaitan antar percobaan dari seluruh kegiatan penelitian .................................................................
9
Kenampakan kalus embriogeneik yang dihasilkan (A= kalus dalam botol kultur , B= kalus yang diamati secara mikroskopik, pem= pre embrio dan glob=globular) ……....................................................................................
33
Penampakan gambar kalus yang berasal dari nuselus (A) dan embrio (B), penampakan mikroskopik kalus dari nuselus (C) dan kalus dari embrio (D) ..............................................................................................................
37
Tahapan proses pendewasaan embrio somatik dari jeruk siam (A=struktur globular, B=struktur hati, C=struktur torpedo dan D= struktur kotiledon) .....................................................................................
38
Tahapan pertumbuhan dan perkembangan dari embrio somatic dewasa menjadi plantlet pada jeruk siam (A=fase kotiledon, B=pembukan kotiledon, C=Perkecambahan dan D=plantlet) ..........................................
40
Penampakan kecambah biji jeruk siam dan mandarin dalam media MW+1mg/l GA 3 (A = siam simadu, B = siam pontianak dan C = mandarin satsuma) .....................................................................................
53
Penampakan kalus embriogenik dari eksplan nuselus (A dan C) dan eksplan embrio (B dan D) ……………………………………….............
54
Isolasi protoplas jeruk siam simadu, pontianak dan Mandarin Satsuma dari mesofil daun dengan pemurnian larutan sukrosa 25% + manitol 13% dalam larutan enzim 1(SM=siam simadu, SP=siam Pontianak, A=Protoplas siam simadu, B=protoplas siam Pontianak dan C=protoplas Mandarin Satsuma) perbesaran 10x ............................................................. Penampakan struktur kalus yang berasal dari nusellus (A) dan embrio (B) serta pada saat inkubasi dalam larutan enzim (C dan D).............................
58
60
Penampakan protoplas sebelum dan sesudah pemurnian dengan larutan sukrosa 25% + manitol 13% (A dan C=protoplas siam Simadu sebelum (10X) dan sesudah pemurnian (20X), B dan D=protoplas siam Pontianak sebelum (10X) dan sesudah pemurnian (20X) ……………......
62
Perbedaan warna protoplas yang diisolasi dari kalus dan mesofil daun (A dan C=isolasi protoplas dari kalus, B dan D=isolasi protoplas dari mesofil daun) ………………………………………..................................
62
Penampakan gambar sumber protoplas yang digunakan sebelum isolasi, pada saat inkubasi dalam larutan enzim serta protoplas yang dihasilkan
(A=tunas in vitro, B=kalus embriogenik, C=inkubasi daun dalam larutan enzim, D=inkubasi kalus dalam larutan enzim,E=protoplas dari mesofil daun(20x) dan F=protoplas dari kalus (20x) …………………………...... 13.
14.
15.
16.
17.
18.
19.
20.
21.
22.
23.
Tipe fusi (hetero, homo, dan multi fusi) dan rata-rata jumlah protoplas berfusi yang dihasilkan setelah perlakuan PEG 30% inkubasi 5, 10, dan 15 menit...................................................................................................... Penampakan miroskopik hasil fusi protoplas dengan perlakuan PEG 30% perbesaran 20x.(A=hetero fusi, B=homo fusi dan C=multi fusi) ………. . Perbandingan rata-rata jumlah protoplas berfusi sebelum dan sesudah penambahan larutan 200 µl ke dalam suspensi protoplas yang telah difusi dengan PEG 30% ....................................................................................... Tipe fusi (hetero, homo, dan multi fusi) dan rata-rata jumlah protoplas berfusi yang dihasilkan setelah perlakuan PEG 4% inkubasi 5, 10, dan 15 menit............................................................................................................
76
78 80
81 82
Induksi fusi antara protoplas yang diisolasi dari mesofil daun dan kalus untuk mendeteksi fusi hetero karion dengan PEG 4% (perbesaran 20x) (A=heterofusi, B=homo fusi dan C=multi fusi) .........................................
83
Perbandingan rata-rata jumlah protoplas berfusi sebelum dan sesudah penambahan larutan 200 µl ke dalam suspensi protoplas yang telah difusi dengan PEG 4% .......................................................................................
83
Penampakan kalus embriogenik daun in vitro yang digunakan sebagai sumber protoplas (A= kalus embriogenik dari jeruk siam Simadu dan, B= daun in vitro dari jeruk Mandarin Satsuma).................................................
92
Isolasi protoplas mesofil daun Mandarin Satsuma dan kalus jeruk siam Simadu dengan kombinasi enzim selulase 1%+maserozim 1% yang dimurnikan dengan larutan sukrosa 25% + manitol 13% (A dan C= mesofil daun dan protoplas yang dihasilkan, B dan D=kalus embriogenik dan protoplas yang dihasilkan) perbesaran 20x .......................................
99
Pengaruh konsentrasi PEG (4% dan 30%) terhadap keberhasilan fusi (hetro, homo, dan multi fusi) protoplas jeruk siam Simadu dengan Mandarin Satsuma, inkubasi 15 menit.........................................................
100
Peningkatan jumlah protoplas berfusi setelah penambahan larutan pencuci ke dalam suspensi protoplas yang telah difusi selama 15 menit dengan PEG 4% dan 30%...........................................................................
101
Penampakan keadaan suspensi protoplas pada saat penambahan PEG (A) dan jenis fusi yang dihasilkan dari protoplas yang diinduksi dengan PEG selama 15 menit (B =hetero fusi, C=homo fusi, D=multi fusi, dan E= total fusi) ………………………………....................................................
102
24.
25.
26.
27.
28.
29.
30.
31.
22.
Pembentukan dinding sel dan proses pembelahan sel (A=protoplas yang telah meregenerasi dinding selnya secara sempurna, B= awal pembelahan sel, C= akhir pembelahan sel dan D= sel baru hasil pembelahan) ………………………………………………………...........
106
Pertumbuhan dan perkembangan protoplas membentuk koloni sel setelah pemberian cahaya pada umur dua minggu setelah kultur (A=penampakan kultur mata, B, C dan D = koloni sel) ………….............
107
Penampakan kasat mata dan mikroskopik mikrokalus yang terbentuk pada media kultur KM8P, VKM, MT dan MW 4 minggu setelah pengenceran (A dan E=mikro kalus pada media KM8P, B dan F=mikro kalus pada media VMW, C dan G=mikro kalus pada media MT serta D dan H=mikro kalus pada media MW) ........................................................
110
Proses embriogenesis somatik langsung dari tahap sel tunggal embryoid hasil fusi antara jeruk siam Simadu dengan Mandarin Satsuma sampai menjadi plantlet pada media MW (. A dan B= Sel embryoid yang aktif membelah, C dan D= Pre-embrio (pem), E = Fase globuler, F = tahap torpedo dan H= Fase hati) ……………….................................................
112
Proses pendewasaan dalam media MW+1.5 mg/l ABA dan perkecambahan embrio somatik dalam media MW + 1.5 mg/l GA 3 menjadi plantlet (A= embrio somatik langsung dari hasil fusi, B dan C= pembentukan kalus embriogenik embrio somatik sekunder pada media pendewasaan, D dan E= perkecambahan embrio somatik pada media perkecambahan dan F= plantlet dalam medsiaMW)………………………………………………………………..
114
Keragaan pertumbuhan in vitro regeneran hasil fusi protoplas dan kedua tetuanya (Mandarin Satsuma dan siam Simadu) ........................................
130
Penggunaan primer ISSR8 (5’AGAGAGAGAGAGAGAGYC3’) dapat membedakan hibrida somatik (R6, R7, R10 dan R19) dengan kedua tetuanya (Sm=siam Simadu dan St= Mandarin Satsuma) …....................... Perbandingan jumlah kromosom antara putatif hibrida somatik yang dihasilkan dengan kedua tetuanya (A= siam Simadu, B= Mandarin Satsuma, C= R6, D= R17, E= R10 dan F= R19) ...................................... Keragaan hibrida somatik di rumahkaca (A dan B= penyambungan dengan batang bawah JC, B= tanaman hasil penyambungan dan C= perbedaan daun hibrida somatik dengan tetuanya) ……………...............
131
132
135
DAFTAR LAMPIRAN Teks 1.
Halaman
Lampiran 1. Komposisi media dasar kultur, vitamin, dan komposisi lainnya MS, MW, MT, KM, dan VKM.............................................
152
2.
Lampiran 2. Komposisi larutan CPW.................................................
153
3.
Lampiran 3. Komposisi larutan pencuci.............................................
153
1
BAB I PENDAHULUAN UMUM Latar Belakang Trend kebutuhan pasar dunia akan buah jeruk segar
saat ini adalah
mempunyai kategori buah yang tidak berbiji (seedless), mudah dikupas (easy peeling) dan mempunyai tipe Mandarin dengan warna yang menarik (pigmented), kandungan gula tinggi, dan ukurannya besar (Spiegel-Roy dan Goldschmidt 1996; Khan 2008; Nicotra 2007). Menurut Sudarwo (2003), kualitas produk yang dihasilkan mampu bersaing di pasaran global sangat tergantung kepada kemampuan menumbuhkan keunggulan biaya (harga) dan keunggulan diferensiasi yang sangat mempengaruhi seperti;1)kemampuan meningkatkan produksi, 2)kemampuan menghasilkan inovasi teknologi, dan 3)efisiensi rantai produksi. Jeruk siam (Citrus nobilis) varietas Pontianak
dan Simadu
(Medan)
adalah dua dari jenis jeruk lokal komersial (Scion) yang ada di Indonesia. Kedua jenis jeruk ini termasuk dalam true species dari genus Citrus dengan jumlah genom 2n=2x=18. Jeruk Siam sangat mendominasi pertanaman jeruk di Indonesia, yaitu mencapai 80% dari total pertanaman jeruk di Indonesia (Penebar Swadaya 2004 dan Kuntarsih 2007). Pada tahun 2006 areal pertanaman jeruk di Indonesia mencapai 72.390 ha dengan rata-rata produktivitas sebesar 35.44 ton/ha. Produksi nasional jeruk pada tahun yang sama adalah sebesar 2.565.543 ton (Deptan 2007). Jeruk Siam atau dalam perdagangan internasional disebut jeruk Tanggerin mempunyai ciri khas kulit tipis, rasanya manis, warna buah kuning – orange dan hampir mendekati kategori tipe jeruk yang sesuai dengan kebutuhan pasar dunia untuk dikonsumsi dalam keadaan segar. Namun demikian, kedua jenis jeruk tersebut masih mempunyai biji yang relatif banyak (15-21biji per buah) dan warna belum begitu menarik sehingga kalah bersaing dengan jeruk produk negara lain. Hal ini terbukti dengan maraknya buah impor jeruk di pasar lokal mulai dari kaki lima, toko dan supermarket yang menekan produk jeruk lokal sehingga menjadi terpuruk yang mengakibatkan kerugian bagi petani jeruk. Untuk menghindari tekanan buah jeruk impor, maka diperlukan inovasi teknologi terhadap jeruk lokal
2
untuk meningkatkan kualitas buah sehingga dapat diterima dan bersaing di pasar gelobal. Salah satu cara yang dapat dilakukan secara efisien dan efektif adalah merakit tanaman jeruk siam baru dengan sifat seedless dan pigmented sehingga dihasilkan jeruk yang tidak berbiji dan mempunyai warna yang menarik dan tetap disukai. Untuk mendapatkan buah jeruk lokal yang dikonsumsi dalam keadaan segar dan sesuai dengan tuntutan pasar global (sifat seedless, pigmented, easy peeleng, dan
rasanya manis) dapat dilakukan dengan cara meningkatkan
keragaman genetik tanaman jeruk, khususnya jeruk siam. Untuk mendapatkan jenis jeruk yang diinginkan dapat diperoleh dengan cepat, maka diperlukan keragaman genetik jeruk siam yang tinggi. Keragaman genetik yang tinggi dapat dilakukan dengan cara persilangan, induksi mutasi, keragaman somaklonal, fusi protoplas, dan rekayasa genetika (Spiegel-Roy dan Goldschmidt 1996). Keragaman genetik yang tinggi dapat terjadi secara alami ataupun buatan. Keragaman genetik yang muncul sudah terbukti mempunyai peranan penting di dalam peningkatan kualitas genetik tanaman. Perubahan genetik pada tingkat ploidi mempunyai potensi yang besar untuk mendapatkan perubahan fenotipe dan genotipe tanaman (Raza et al. 2003). Perubahan jumlah kromosom pada satu sel dapat disebabkan oleh beberapa perlakuan seperti perlakuan suhu rendah atau tinggi atau dapat disebabkan pemberian auksin (2,4-D, D-camba, dan IAA) konsentrasi tinggi dengan periode kultur yang lama (Harman dan Kester 1959), kultur endosperm (Gmitter et al. 1990), hibridisasi somatik (Oiyama et al. 1981), dan induksi mutasi dengan sinar gamma (Jaskhani 1998). Untuk meningkatkan keragaman genetik yang tinggi pada jeruk siam dapat dilakukan dengan cara mengintrogresikan sifat seedless dan pigmented dari spesies jeruk lain seperti mandarin Satsuma. Jeruk mandarin Satsuma (C. unshiu Marc.) merupakan jenis jeruk introduksi yang secara alami mempunyai sifat seedless dengan jumlah genom 2n=2x=18 (Kunitake et al. 1991; Spiegel-Roy dan Goldschmidt 1996). Yamamoto et al. (1997) telah membuktikan melalui persilangan seksual dan silang balik bahwa pollen jeruk mandarin Satsuma adalah steril (MS) yang dikendalikan oleh gen yang ada di sitoplasmik yang disebut cytoplasmic male sterility (CMS). Untuk memindahkan sifat CMS dari
3
mandarin Satsuma ke kultivar jeruk lainnya seperti siam Simadu sangat sulit dilakukan melalui pemuliaan konvensional yang disebabkan oleh adanya faktor inkopatibilitas, nusellus ployembrioni, dan masa juvenil yang lama. Oleh karena itu perlu dicari cara lain untuk menggabungkan sifat seedless dari jeruk mandarin Satsuma dengan kultivar jeruk lainnya sehingga diperoleh jenis jeruk baru yang yang tidak berbiji. Salah satu cara yang dapat digunakan secara efisien dan efektif adalah melalui hibridisasi somatik dengan teknik fusi protoplas. Melalui fusi protoplas dapat diperoleh kombinasi genetik dari dua tetua yang tidak kompatibel, bahkan dapat diperoleh rekombinasi genetik yang ada disitoplasma sehingga sifat CMS yang dikontrol oleh gen yang ada disitoplasma (mtDNA dan cpDNA) dapat diperoleh. Cai et al. (2007) melaporkan hasil fusi protoplas antara C. unshiu dengan kultivar jeruk tradisional China yang mempunyai biji yang banyak C. sinensis (orange) kultivar Bingtang
menghasilkan buah yang laku di pasaran,
rasanya enak,dan mempunyai biji yang sedikit antara 6-10 biji/buah.
Tujuan Penelitian 1. Mendapatkan komposisi media kultur dan jenis eksplan yang dapat menghasilkan kalus embriogenik. 2. Mendapatkan metoda isolasi protoplas dari mesofil daun dan kalus embriogenik. 3. Mendapatkan metode fusi protoplas dan konsentrasi PEG yang dapat menginduksi terjadinya fusi. 4. Mendapatkan metoda regenerasi protoplas hasil fusi antara jeruk siam Simadu dengan mandarin Satsuma. 5. Mendapatka hibrida somatik antara jeruk siam Simadu dengan mandarin Satsuma. Hipotesis 1. Komposisi media dan jenis eksplan berpengaruh terhadap kemampuan membentuk kalus embriogenik yang dapat diregenerasi melalui jalur embriogenesis somatik.
4
2. Jenis dan konsentrasi enzim sangat berpengaruh terhadap kemampuan mengisolasi protoplas. 3. Komposisi media, kondisi fisik dan cara kultur berpengaruh terhadap kemampuan protoplas beregenerasi membentuk dinding sel, pembelahan sel, pembentukan mikro kalus, embrio somatik, dan plantlet. 4. Hibrida somatik dapat diperoleh dari fusi protoplas antara jeruk siam Simadu dengan mandarin Satsuma .
Strategi dan Alur Penelitian Agar tujuan penelitian tersebut di atas dapat tercapai maka strategi penelitian yang dilakukan harus mempunyai keterkaitan antara penelitian yang satu dengan penelitian lainnya. Pada tahap awal penelitian dilakukan
studi
regenerasi tanaman jeruk siam melalui jalur embriogenesis somatik untuk mendapatkan komposisi media dan jenis eksplan yang baik digunakan untuk regenerasi tanaman jeruk melalui jalur embrio genesis somatik (Penelitian 1). Pada penelitian ini dilakukan pencarian komposisi media dan jenis ekspklan yang baik untuk menghasilkan kalus embriogenik serta regenerasinya melalui jalur embriogenesis somatik. Diperolehnya metode regenerasi tanaman jeruk siam melalui jalur embriogenesis somatik sangat penting karena akan menjadi acuan pada penelitian regenerasi protoplas hasil fusi protoplas. Sumber protoplas, komposisi enzim dan media pemurnian protoplas merupakan faktor yang sangat berpengaruh terhadap keberhasilan mendapatkan protoplas yang viabel dengan densitas yang tinggi. Berbagai hasil penelitian melaporkan bahwa densitas protoplas yang dihasilkan pada saat isolasi protoplas harus dapat mencapai kerapatan 105-106 protoplas/ml sehingga bisa dilanjutkan ke tahap fusi protoplas. Pada tahap ini dilakukan penelitian studi isolasi protoplas tanaman jeruk siam dan mandarin Satsuma untuk mendapatkan komposisi enzim yang tepat untuk isolasi protoplas dari kalus embriogenik dan mesofil daun serta larutan pemurnian protoplas sehingga diperoleh protoplas yang viabel dengan densitas yang tinggi (Penelitian 2). Pada penelitian ini dilakukan pencarian komposisi enzim yang dapat mengisolasi protoplas dari kalus embriogenik dan mesofil daun in vitro serta komposisi larutan pemurnian protoplas yang dapat
5
mengapungkan protoplas sehingga protoplas yang diperoleh terbebas dari debris (protoplas murni). Perbedaan jaringan yang digunakan sebagai sumber protoplas adalah untuk mempermudah pengamatan pada saat fusi protoplas. Protoplas yang berasal dari mesofil daun akan mempunyai warna yang berbeda dengan protoplas yang berasal dari kalus sehingga dapat diketahui jumlah hetero fusi. Diperolehnya metode isolasi protoplas dari kalus embriogenik dan mesofil daun merupakan syarat awal pada fusi protoplas karena densitas dan viabilitas protoplas sangat menentukan dalam keberhasilan fusi protoplas. Konsentrasi polyetilenlikol (PEG) dan lama inkubasi dalam larutan PEG merupakan faktor yang sangat menentukan untuk mendapatkan protoplas yang berfusi. Pada tahap ini dilakukan optimasi induksi fusi menggunakan larutan PEG pada protoplas tanaman jeruk untuk mendapatkan konsentasi PEG dan lama inkubasi yang optimal untuk menginduksi terjadinya fusi protoplas sehingga diperoleh protoplas fusan (Penelitian 3). Pada penelitian ini dilakukan fusi protoplas menggunakan PEG konsentrasi rendah (4%) dan konsentrasi tinggi (30%) dengan waktu inkubasi 5-15. Perbedaan konsentrasi PEG dan lama inkubasi
yang digunakan dalam induksi fusi dapat menentukan keberhasilan
regenerasi protoplas setelah perlakuan fusi. Untuk mendapatkan regeneran hasil fusi protoplas antara jeruk siam Simadu dengan mandarin Satsuma dilakukan isolasi protoplas dari kalus jeruk siam Simadu dan mesofil daun in vitro mandarin Satsuma, fusi protoplas dengan PEG 4% dan 30% selama 15 menit dan regenerasi protoplas hasil fusi (Penelitian 4). Regenerasi protoplas hasil fusi sampai terbentuk tanaman dilakukan dengan beberapa tahap. Pada tahap awal regenerasi, kultur disimpan dalam keadaan gelap selama dua minggu untuk regenerasi dinding sel. Setelah terbentuk dinding sel, kultur diberi cahaya dengan intensitas cahaya 1000 lux selama 16 jam untuk mendorong pembelahan sel sehingga terbentuk koloni sel dan embrio somatik dengan struktur globuler. Untuk mendorong pertumbuhan dan perkembangan koloni sel dan embrio somatik fase globuler dilakukan pengenceran dengan media baru sehingga terbentuk mikro kalus dan embrio somatik fase torpedo dan hati. Embrio somatik dipindahkan ke media padat
(MW) untuk mendorong
pertumbuhan dan perkembangannya menjadi lebih dewasa dengan menambahkan
6
asam absisik (ABA)
dan menambahkan asam giberelin (GA 3 ) untuk
berkecambahan sehingga diperoleh tanaman lengkap (plantlet). Untuk mendapatkan hibrida somatik dari jeruk siam Simadu dengan mandarin Satsuma secara dini dilakukan identifikasi secara in vitro pada media selektif (MW),
secara molekuler dengan marka ISSR, sitologi dengan
menghitung jumlah kromosom dan kandungan klorofil, morfologi dan warna daun serta tinggi tanaman (Penelitian 5). Untuk mempermudah pemahaman terhadap strategi penelitian yang dilakukan maka dibuat diagram alur penelitian yang lengkap dan terperinci (Gambar 1).
Daftar Pustaka Cai
X, Fu J, Deng XX, and Guo WW. 2007. Production and molecular characterization of potential seedless cybrid plants between pollen steril Satsuma mandarin and two seedy Citrus cultivars. Plant Cell Tiss Organ Cult. 90:275-283. Departemen Pertanian. 2007. Statistik Produksi HortiKultura Tahun 2006. Dirjen Hortikultura. Jakarta Gmitter FG Jr, Deng XX, Hearn CJ. 1990. Induction of triploid Citrus plants from endosperm calli in vitro. Theor. Appl. Genet.80:785-790. Hartman HT and Kester DE. 1959. Plant Propagation: Principles and Practices. P. 167. Princeton Hall Inc. NJ. USA. Jaskani MJ.1998. Interploid hiybridization and regeneration of kinnow mandarin. A Thesis submitted in partial fulfiment of the requirements for the degree of Doctor of Philosophy in Horticulture Faculty of Agriculture University of Agriculture Faisal Abad, Pakistan.p.169. Khan SRA. 2008. Citrus quality too meet global demand (Agri Overview). Website:http:www.Pakissan.Com. Diakses tanggal 7 Agustus 2008. Kuntarsih S. 2007. Pengelolaan rantai pasok dengan bisnis jeruk (kasus jeruk siam Pontianak Kabupaten Sambas). Makalah dalam seminar Nasional jeruk. Yogyakarta, 13-14 Juni 2007. Kunitake H, Kagami H, Mii M. 1991. Somatic embrtogenesis and plant regeneration from protoplasts of Stsuma?mandarin (Citrus unshiu Marc.) Scientia Horticilturae, 47:27-33. Nicotra A. 2007.Mandarin-like hybrids of recent interest for fresh consumption. Problems and ways of control. Instituto Sperimentale per la Frutticoltura Rme-Italy. 13p. Oiyama I, Kobayashi S, Yoshinaga K, Ohgawara T, and Ishii S, 1981. Use of pollen from a somatic hybrid between Citrus and Poncirus in the production of triploids. Hort.Sci., 26:1082-1087.
Raza H, Khan MM, Khan A. 2003. Seedlessness in citrus. Int. J. Agri. Biol. Vol. 5 (3):388-391.
7
Spiegel-Roy P and Goldschmidt EE. 1996. Biology Of Citrus. Cambridge University Press. 221 p. Sudarwo I. 2003. Peran teknologi dalam pengembangan buah tropika. Kerjasama Kementerian Ristek dengan PKBT-IPB. Bogor, 8-9 Mei. Yamamoto M, Matsumoto R, Okudai N, and Yamada Y. 1997. Aborted anthers of Citrus result from gene-cytoplasmic male sterility. Sci Hortic 70:9-14.
PENELITIAN 1
Studi Regenerasi Eksplan Tanaman Jeruk Siam Melalui Embriogenesis Somatik
8 Output::-Jenis eksplan -media induksi kalus & regenerasi
a. Pengaruh jenis media kultur terhadap pembentukankalus embriogenik
c. Pendewasaan embrio somatik
b. Pengaruh jenis eksplan terhadap pembentukankalus embriogenik
d. Perkecambahan embrio somatik
Studi Isolasi Protoplas Tanaman Jeruk siam Simadu dan Mandarin Satsuma
PENELITIAN 2
c. Isolasi protoplas dari mesofil daun in vitro
a. Produksi tunas in vitro
d.Isolasi protoplas dari kalus embriogenik
b. Produksi kalus embriogenik
PENELITIAN 3
Optimasi Induksi Fusi Menggunakan PEG pada Protoplas Tanaman Jeruk
a. Isolasi protoplas
PENELITIAN 4
PENELITIAN 5
b.Fusi protoplas
b. Identifikasi hasil fusi dengan marka ISSR
Output::Metoda regenerasi dan Regeneran hasil fusi antara jeruk sim Simadu dengan mandarin Satsuma
c.Regenerasi protoplas hasil fusi
Identifikasi Hibrida Somatik dari Regeneran Hasil Fusi Protoplas Antara Jeruk Siam Simadu dengan Mandarin Satsuma
a.Keragaan in vitro regeneran hasil fusi pada
Output::Konsentrasi PEG dan lama inkubasi
a.Fusi protoplas
Isolasi Protoplas, Fusi Protoplas dan Regenerasi Protoplas Hasil Fusi Antara Jeruk Siam Simadu dengan Mandarin Satsuma
a.Isolasi protoplas
Output::Metode isolasi dari Kalus dan mesofil daun
Output:-Hibrida somatik hasil fusi antara jeruk siam Simadu dengan mandarin Satsuma
c.Identifikasi hasil fusi dengan sitologi dan
Gambar 1. Diagram dan alur strategi penelitian serta keterkaitan antar percobaan dari seluruh kegiatan penelitian.
9
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA
Tanaman Jeruk Jeruk (Citrus sp) adalah tanaman buah tahunan yang berasal dari Asia. Spiegel-Roy and Goldschmidt (1996) mengatakan bahwa China di percaya sebagai tempat pertama kali jeruk tumbuh. Balai Pelitian Tanaman Jeruk dan Buah Subtropika (Balitjestro), Badan litbang Pertanian di Malang telah mengumpulkan lebih kurang 160 jenis jeruk yang dieksplorasi mulai dari Sabang sampai Merauke serta beberapa jenis jeruk import. Beberapa jenis jeruk diantaranya adalah jeruk keprok Tejakula, Sipirok, Kacang, Siam Banjar, Siompu, Simadu, Bali Merah, Crifta 01, Jemari Taji, Pamelo Ratu, Raja, Magetan, Sri Nyonya, Nambangan, jeruk manis Pacitan dan lain-lainnya dan dapat tumbuh dan berproduksi di Indonesia mulai dari dataran rendah sampai dataran tinggi, baik dilahan sawah maupun tegalan. Dari semua jenis jeruk tersebut, jeruk siam, jeruk baby, jeruk keprok, jeruk Bali, jeruk nipis dan jeruk purut merupakan jenis jeruk lokal paling banyak dibudidayakan di Indonesia. Sedangkan jeruk yang diintroduksi paling banyak adalah jenis Lemon dan Grapefruit. Sekitar 70-80% pertanaman jeruk di Indonesia adalah
jeruk siam,
sedangkan jenis jeruk lainnya adalah jeruk keprok, dan pamelo (Badan Litbang Pertanian 2005). Jeruk, merupakan tanaman buah kedua terbesar produksinya di Indonesia, yaitu sekitar 2.479.852 ton dengan sumbangan sebesar 15.34% terhadap produksi buah nasional. Produksi dan luas panen jeruk Indonesia terus meningkat dari tahun ketahun. Luas pertanaman jeruk di Indonesia pada tahun 2005 lebih dari 120.000 ha dengan luas panen 67.883 ha dengan jumlah produksi mencapai 2.214.020 ton. Pada tahun 2006 luas panen jeruk meningkat menjadi 72.390 ha dengan jumlah produksi mencapai 2.565.543 ton (Deptan 2007). Saat ini Indonesia termasuk negara pengimpor jeruk terbesar kedua di ASEAN setelah Malaysia, dengan volume impor sebesar 94.696 ton, sedangkan ekspornya hanya sebesar 1.261 ton dengan tujuan
10
Malaysia, Brunei Darussalam, dan Timur Tengah. Ekspor jeruk nasional masih sangat kecil dibanding dengan negara produsen jeruk lainnya seperti Spanyol, Afrika Selatan, China, Yunani, Maroko, Pakistan, Belanda, Turki dan Mesir. Oleh karena itu, pemacuan produksi jeruk nasional akan memiliki urgensi penting karena disamping untuk meningkatkan pendapatan masyarakat, kesempatan kerja, konsumsi buah dan juga meningkatkan devisa ekspor nasional (Badan Litbang Pertanian 2005). Pertanaman jeruk di Indonesia didominasi oleh
jeruk siam dan keporok
dengan produksi sebanyak 2.15 juta ton dan jeruk pamelo sebanyak 64 ribu ton. Luas panen jeruk pada tahun yang sama adalah seluas 68 ribu ha yang terdiri dari 63 ribu ha jeruk siam dan keprok serta 5.300 ha dari jeruk pamelo (Hutabarat dan Setyanto 2007). Jeruk ekspor Indonesia (termasuk mandarin) ditujukan pada pasar di wilayah Asia, seperti Timor Leste, Malaysia, India, Hongkong, Iran, Singapura dan Afganistan, sementara Indonesia mengimpor jeruk (termasuk Mandarin) dari 29 negara di dunia, terutama China, Pakistan dan Australia (Hutabarat dan Setyanto 2007). Hambatan pengembangan jeruk di Indonesia antara lain: (1) Desakan kebijakan perdagangan multilateral dan diberbagai negara, (2) Desakan terhadap kebijakan perdagangan nasional, (3) Marjin keuntungan produsen rendah, (4) Ongkos produksi rendah, keberlanjutan usaha tidak pasti, dan (5) Biaya transaksi dan pemasaran tinggi.
Jeruk siam (Citrus nobilis Lour.) Jeruk siam merupakan anggota jeruk keprok dengan nama ilmiah Citrus nobilis . Dinamakan jeruk siam karena berasal dari Siam (Thailand). Di negara asalnya, jeruk ini dikenal dengan nama som kin wan. Sampai saat ini sebenarnya belum ada data resmi tentang kapan dan dimana tepatnya jeruk siam pertama kali didatangkan ke Indonesia. Meskipun demikian, ada daerah yang mempunyai catatan yang cukup tentang kisah awal masuknya jeruk siam di wilayahnya, seperti Kalimantan Barat (Deptan 1994).
11
Jeruk siam hanya merupakan bagian kecil dari sekian banyak spesies dan varietas jeruk yang sudah dikenal dan dibudidayakan. Para ahli Botani mengelompokkan semua anggota famili Rutaceae ke dalam 7 subfamili dan 130 genus. Sedangkan yang menjadi induk tanaman jeruk adalah subfamili Aurantioidae yang beranggotakan sekitar 33 genus. Subfamili ini masih dibagi lagi dalam beberapa kelompok tribe dan subtribe. Jeruk tergolong dalam rumpun Citriae dan subtribe Citrinae. Dari subtribe inilah berbagai jenis anggota tanaman jeruk berasal, termasuk didalamnya jeruk siam. Klasifikasi botani tanaman jeruk adalah sebagai berikut: Divisi
: Spermatophyta
Sub Divisi
: Angiospermae
Kelas
: Dicotyledonae
Ordo
: Rutales
Famili
: Rutaceae
Subfamili
: Aurantioidae
Genus
: Citrus
Spesies
: Citrus nobilis Lour Pada umumnya batang pohon jeruk siam yang dibudidayakan secara
komersial mempunyai tinggi antara 2.5-3.0 m. Pohon tersebut biasanya berasal dari perbanyakan vegetatif (cangkokan atau okulasi). Untuk pohon yang berasal dari okulasi, tingginya ditentukan oleh jenis batang bawah yang digunakan. Jeruk siam yang menggunakan batang bawah JC (Japanese citroen) biasanya memiliki tinggi sekitar 272.5 cm, lingkaran batang 16.8 cm, dan lebar tajuk sekitar 197.5 cm. Sedangkan tanaman jeruk siam yang menggunakan RL (Rough lemon) biasanya memiliki tinggi sekitar 267.5 cm, lingkar batang 31.9 cm, dan lebar tajuk 217.5 cm. Kebanyakan varietas jeruk siam memiliki bentuk dan ukuran daun yang bisa di bedakan dari jenis jeruk lainnya. Bentuk daunnya oval dan berukuran sedikit lebih besar dari jeruk keprok Garut. Ukuran daunnya sekitar 7.5 cm x 3.9 cm dan memiliki sayap daun kecil yang berukuran 0.8 x 0.2 cm. Ujung daunnya agak terbelah, sedangkan bagian pangkalnya meruncing. Urat daunnya menyebar sekitar 0,1 cm dari
12
tepi daun. Antara batang dengan
daun dihubungkan oleh tangkai daun dengan
panjang sekitar 1.3 cm. Tanaman jeruk siam biasanya berbunga sekitar bulan September – Nopember. Bentuk dan warna bunganya cukup menarik. Ukuran bunga kecil dan mungil dengan warna putih segar seperti bunga melati. Bentuk buahnya bulat dengan ukuran idealnya sekitar 5.5 cm x 5.9 cm. Jeruk siam memiliki ciri khas yang tidak dimiliki jeruk keprok lainnya karena mempunyai kulit yang tipis sekitar 2 mm, permukaannya halus dan licin, mengkilap serta kulit menempel lebih lekat dengan dagingnya. Dasar buahnya berleher pendek dengan puncak berlekuk. Tangkai buahnya pendek, dengan panjang sekitar 3 cm dan berdiameter 2.6 mm. Biji buahnya berbentuk ovoid, warnanya putih kekuningan dengan ukuran sekitar 20 biji. Daging buahnya lunak dengan rasa manis dan harum. Produksi buah cukup berat dengan bobot berat perbuah sekitar 75.6 g. Satu pohon rata-rata menghasilkan sekitar 7.3 kg buah. Panen biasanya dapat dilakukan pada bulan Mei – Agustus (Deptan 1994). Pada dasarnya jeruk siam mepunyai satu nenek moyang yang berasal dari Siam (Muangthai). Orang Siam menyebut jenis jeruk ini dengan nama som kin wan. Mungkin karena lidah orang Indonesia sulit untuk menyebutkan nama tersebut sehingga terbiasa menyebutnya dengan nama Siam. Kelatahan ini terus berlanjut sampai sekarang. Jeruk siam di Indonesia mempunyai banyak jenis tergantung dari daerah asalnya seperti: jeruk siam Pontianak, siam Simadu, siam Garut, siam Palembang, siam Jati Barang dan lain-lain. Dari berbagai nama tersebut, jeruk siam Pontianak dan siam Simadu merupakan jenis jeruk siam yang paling dikenal. Macam-macam jeruk siam tersebut tidak jauh berbeda satu dengan lainnya. Perbedaannya biasanya dalam hal warna kulit, keharuman dan rasa yang sedikit berbeda. Perbedaan ini biasanya
timbul karena berbeda daerah penanamannya.
Tempat penanaman yang berbeda tentunya mempunyai karakteristik faktor alam yang berbeda sehingga berpengaruh terhadap karakteristik buahnya. Untuk pertumbuhan yang baik, jeruk siam memerlukan iklim dan kondisi lingkungan yang sesuai untuk pertumbuhannya. Jeruk siam dapat tumbuh dengan baik di dataran rendah pada ketinggian kurang dari 700 m dpl (di atas permukaan
13
laut) sesuai dengan daerah asalnya di Muangthai. Ketinggian tempat penanaman berpengaruh jelas terhadap rasa. Penanaman di atas 900 dpl menyebabkan rasa buah jeruk siam menjadi sedikit asam (Deptan 1994). Jeruk siam merupakan jenis jeruk yang paling banyak dibudidayakan di indonesia. Dominasi pertanaman jeruk siam
adalah sekitar 85% dari seluruh
pertanaman jeruk yang ada di indonesia. Kemudian diikuti oleh jeruk keprok sebesar 8%, jeruk pamelo 55% dan jenis jeruk lainnya sebesar 3% (Kuntarsih
2007).
Produksi jeruk siam Indonesia merupakan yang ke 3 terbesar di dunis setelah China dan Spanyol, sedang jeruk pamelo adalah urutan nomor 9 di dunia.
Buah Jeruk Tanpa Biji (Seedless) Seedless adalah merupakan sifat buah yang tidak memiliki biji. Sifat seedles tersebut dapat diperoleh secara alami pada beberapa jenis tanaman yang mempunyai kemampuan membentuk buah tanpa biji tanpa adanya penyerbukan dan pembuahan yang disebut dengan buah partenokarpi (Frost and Soost 1968; Spiegel-Roy and Goldschmidt 1996). Sifat tersebut merupakan sifat yang mempunyai nilai ekonomi tinggi pada tanaman jeruk karena merupakan karakter yang harus dimiliki buah jeruk konsumsi segar agar dapat bersaing di pasar global (Spiegel-Roy and Goldschmidt 1996 dan Cai 2007). Sifat tersebut juga merupakan salah satu objek penelitian yang banyak dilakukan pada program pemuliaan tanaman jeruk, baik secara konvensional maupun non konvensional (Nicotra 2007). Untuk mendapatkan tanaman jeruk yang mempunyai karakter buah seedless pada tanaman jeruk sudah dimulai dilakukan beberapa dekade yang lalu melalui pemuliaan konvensional. Satsuma mandarin (C. unshiu Marc.) adalah merupakan jenis jeruk berbuah seedless secara alami karena mempunyai sifat partenocarpy (Kunittake et al. 1991; Spiegel-Roy and Goldschmidt 1996). Yamamoto et al. (1997) telah berhasil membukt ikan bahwa sifat seedless yang terdapat pada jeruk Mandarin Satsuma disebabkan oleh pollennya yang steril (male sterility) dan bersifat apomiksis. Apomiksis adalah merupakan bentuk reproduksi aseksual dimana biji terbentuk dari sel telur tanpa didahului oleh penggabungan gamet jantan dan gamet betina. Sifat
14
apomiksis pada tanaman jeruk Mandarin Satsuma menyebabkan keragaman genetiknya rendah karena kondisi genetik embrio yang dihasilkan sama dengan tetua betinanya. Untuk memindahkan sifat tersebut dari jeruk Mandarin Satsuma kepada kultivar jeruk lainnya sangat sulit dilakukan melalui pemuliaan konvensional karena adanya faktor genetik (inkompatible). Oleh karena itu perlu dicari cara lain untuk memindahkan sifat seedless dari jeruk Satsuma mandarin ke kultivar jeruk lainnya. Salah satu teknologi yang dapat digunakan adalah teknik fusi protoplas (Grosser et al. 1996; Moriguchi et al. 1996; Grosser and Gmitter 2005). Teknologi fusi protoplas pada tanaman jeruk telah banyak menghasilkan hibrida somatik baru (Kobayashi et al. 1988; Grosser and Gemitter 1991; Oiyama et al. 1991). Guo et al. (2004) berhasil memasukkan sifat seedless dari Satsuma melalui teknik fusi protoplas. Calixto et al. (2004) mendapatkan hibrida somatik dari C. sinensis dengan C. grandis yang toleran terhadap virus Citrus tristeza, Phytophthora dan berpotensi digunakan sebagai batang bawah. Cai et al. (2007) juga berhasil menggunakan teknologi fusi protoplas untuk mendapatkan tanaman jeruk yang seedless hasil fusi protoplas antara C. unshiu Marc dengan C. grandis dan C. sinensis. Untuk mendapatkan tanaman jeruk yang seedless
juga dapat dilakukan
dengan teknik mutasi. Mutasi secara alami dapat terjadi dengan frekuensi yang sangat rendah. Untuk meningkatkan frekuensi terjadinya mutasi dapat diinduksi secara kimia maupun fisik. Pemberian sinar X dan panas Neutron pada biji dan tunas dapat menginduksi terjadinya mutasi (Broertjes and Van Harten 1988; Spingel-Roy et al. 1990). Induksi mutasi dengan radiasi dapat menghasilkan buah tanpa biji pada jeruk lemon yang mempunyai biji lebih kurang 25 butir per buah (Spingel-Roy et al. 1990). Buah jeruk tanpa biji juga sudah diperoleh dari mutan kultivar jeruk tangelo (Spingel-Roy and Vardi 1989). Pada tahun 1980 an sudah ditemukan mutan-mutan jeruk yang menghasilkan buah seedless di Florida (Hearn 1984, 1986) dan di China (Zhou 1986). Selain mutan seedless, mutan yang mempunyai buah dengan kandungan asam yang rendah dan pematangan buah yang lebih cepat juga sudah diperoleh pada tanaman jeruk (Hearn 1986; Gmitter et al. 1992). Gulsen et al. 2007 juga telah
15
mendapatkan jeruk lemon mutan yang seedless dan toleran terhadap penyakit mal secco yang disebabkan oleh jamur Phoma tracheiphila.
Isolasi Protoplas Protoplas merupakan sebagai suatu hasil isolasi sel, yang sudah tidak mempunyai dinding sel lagi, mengandung selulosa dan pektin. Isolasi protoplas pertama kali dimulai oleh Klercker pada tahun 1892 secara mekanik menggunakan daun Stratiotes aloides yang terlebih dulu diplasmolisa, kemudian diiris tipis, dimasukkan dalam media cair, sehingga protoplas ada yang terlepas ke dalam medium (Bhojwani and Razdan 1983). Isolasi protoplas dengan cara mekanik ini menghasilkan protoplas yang rendah, banyak mengandung vakuola dan sel yang dihasilkan tidak bersifat meristematik (Veilleux et al. 2005). Metode isolasi protoplas dari tanaman mulai banyak digunakan pada tahun 1960 menggunakan larutan enzim untuk isolasi dan pemurnian dari sel tanaman. Pada tahun 1960 Cocking berhasil mengisolasi protoplas yang hidup viable dari jaringan akar tomat melalui perlakuan dalam larutan enzim selulase yang diperoleh dari jamur Myrothecium verrucaria. Pada tahun 1968, preparasi isolasi dan purifikasi protoplas dari jaringan tanaman mulai dilakukan secara komersial menggunakan larutan enzim selluase dan maserozim (Veilleux et al. 2005). Jenis dan konsentrasi enzim yang dapat dipergunakan untuk mengisolasi protoplas sangat bervariasi. Ada 15 jenis enzim yang dapat dipergunakan seperti: pektin glikosidase, pektinase, selulase R-10, silanase, maserozim, meiselase, rohamen P, selulase onozuka RS, driselase, pektoliase Y-23, hemiselulase, selulisin, naserase, dan rozim. Karena enzim bersifat termolabil sehingga sterilisasi tidak bisa dilakukan dengan pemanasan. Sterilisai enzim hanya dilakukan dengan millipore filters yang mempunyai lobang ”mesh” sebesar 0,22 – 0,24 mikron atau 0,24 – 0,45 mikron agar tidak rusak. Setiap jenis tanaman, bahkan setiap jenis jaringan yang digunakan sebagai sumber protoplas mempunyai respon yang berbeda-beda terhadap enzim yang digunakan sehingga untuk mencapai protoplas yang viabel dalam jumlah optimum (104 – 105 protoplas/ml) sehingga perlu dicari jenis enzim, konsentrasi enzim dan
16
lama inkubasi yang digunakan untuk jaringan dan tanaman tertentu. Untuk dapat menentukan banyaknya jumlah protoplas yang dihasilkan dari isolasi dapat dihitung dengan cara tertentu. Menurut Power et al. (1970), densitas protoplas dapat dihitung dengan menggunakan alat haemocytometer dengan ruang dobel, protoplas yang dihitung adalah protoplas yang berada dalam area one triplelined square. Protoplas pada mulanya diisolasi dari bagian tanaman yang tumbuh di tanah. Jaringan yang dapat diguanakan adalah akar, daun, nodul akar, coleoptil, jaringan buah, tajuk bunga dan serbuk sari. Kemudian berkembang seiring dengan pesatnya teknik biak in vitro. Saat ini, tanaman atau bagian tanaman yang baik digunakan sebagai sumber protoplas adalah tanaman yang berasal dari biakan in vitro karena sudah bebas dari patogen (steril) dan lebih mudah diisolasi karena dinding selnya lebih tipis. Karena protoplas merupakan sel tanpa dinding, maka bagaimana caranya menghasilkan protoplas yang utuh, viabel dan dalam jumlah banyak sehingga berfungsi normal dan dapat beregenerasi membentuk dinding sel, tumbuh dan berkembang melakukan pembelahan. Untuk menentukan protoplas yang dihasilkan bersifat viabel atau tidak dapat dilakukan dengan teknik pewarnaan menggunakan FDA (Fluorescein Diacetat). Molekul FDA dapat masuk bebas melalui membran plasma ke dalam protoplas yang masih hidup. Protoplas yang masih hidup melakukan metabolisme (viable) dapat dilihat dengan adanya eksitasi pada fluorescein yang ada dalam protoplas dengan penyinaran memakai lampu ultra violet. Untuk mencegah pecahnya protoplas biasanya digunakan zat anti pecah (anti blastin) yang biasa disebut osmolyticum atau osmotic stabilizer. Zat anti pecah yang biasa digunakan adalah gula alkohol, gula, sorbitol, mannitol, atau sakharosa. Sihachakr (1998) dan Husni et al. (2004) menggunakan larutan sukrosa tunggal (21%) untuk mengapungkan protoplas tanaman terung yang diisolasi dari mesofil daun. Grosser and Gmitter (1990) menggunakan kombinasi larutan manitol 13% dan larutan sukrosa 26% dan Mendes da Gloria et al. (2000) menggunakan manitol 13%
17
dengan sukrosa 25% sebagai larutan untuk memurnikan protoplas (furification solution) dari kalus dan mesopil daun tanaman jeruk. Karena protoplas merupakan sel hidup yang telanjang, hanya dilindungi oleh membran plasma, maka protoplas mulai dipergunakan untuk penelitian-pemelitian biologi eksperimental, fisiologis dan biokimia, virologi, patologi, fusi protoplas, manipulasi genetik dan rekayasa genetika.
Fusi Protoplas Fusi protoplas adalah penggabungan dua genom dari dua tetua sel somatik untuk menghasilkan hibrida. Usaha untuk memfusikan sel somatik dimulai pada awal abad
20
oleh
Winkler,
Kuster
dan
Michel.
Michel
pada
tahun
1937
mendemonstrasikan fusi protoplas dengan menggunakan NaNO 3 . Kemudian berkembang dengan berbagai percobaan untuk memperoleh senyawa kimia yang dapat digunakan untuk menginduksi fusi. Fusi protoplas dapat terjadi secara spontan atau dapat diinduksi dengan beberapa cara antara lain dengan NaNO 3 , asam lemak, ion kalsium dan pH tinggi, dekstran sulfat, polifenil alkohol (PVP), polietilen glikol (PEG) dan arus listrik. Jika dinding sel tanaman dihilangkan secara enzimatik, protoplas yang dihasilkan dapat melakukan fusi secara spontan sehingga membentuk multinucleate fusion bodies. Kejadian ini biasa terjadi karena adanya plasmodesmata yang menghubungkan sel-sel tanaman (Veilleux et al. 2005). Senyawa yang banyak digunakan untuk induksi fusi saat ini adalah dengan penambahan polietilen glikol (PEG) dan arus listrik. Senyawa
PEG dapat
menginduksi terjadinya fusi dengan frekuensi yang tinggi dan dapat tumbuh dan berkembang menjadi tanaman hibrida baru. Terjadinya fusi telah dibuktikan disebabkan oleh karena PEG dalam air bermuatan sedikit negatif dan mampu membentuk ikatan hidrogen dengan membran plasma pada protoplas. Selain itu, PEG juga dapat mengikat Ca2+ atau kation lain. Kation Ca2+ membentuk jembatan antara membran dan PEG sehingga meningkatkan agregasi (Grosser and Gemitter 1990; Veilleux et al. 2005).
18
Pada tahun 1974, induksi fusi menggunakan arus listrik juga mulai diperkenalkan oleh Senda et al. secara manual pada tahun 1979. Kemudian diperbaharui oleh Zimmermann dan co-Workers pada tahun 1980 dengan dua sistem menggunakan generator AC dan DC. Generator AC berfungsi untuk membuat protopla sejajar seperti rantai, kemudian arus DC diberikan untuk membuat celah yang dapat balik sehingga protoplas dapat berfusi (Zimmerman dan Scheurich 1981). Semenjak hibrida somatik dapat diperoleh dari hasil fusi antara Nicotiana glauca dengan N. langsdorfii oleh Carlson et al. pada tahun 1972 maka teknik fusi protoplas mulai digunakan untuk menghasilkan hibrida baru baik inter maupun intra specifik pada beberapa tanaman.yang secara genetik tidak bisa dilakukan karena adanya faktor ketidak sesuaian gen (inkompatibilitas).
Fusi Protoplas pada Tanaman Jeruk Pada tanaman jeruk, teknik fusi protoplas mulai berkembang setelah Ohgawara et al. (1985) melaporkan keberhasilannya mendapatkan hibrida somatik antara C. sinensis dengan Poncirus tripoliata yang secara genetik inkompatibel. Semenjak itu, teknik tersebut banyak digunakan dalam program pemuliaan tanaman jeruk di dunia seperti di Jepang oleh Kobayashi et al. (1988), Israel oleh Vardi et al. (1987), Amerika Serikat oleh Grosser dan Gemitter (1990), di Prancis oleh Ollitrault et al. (1996) dan di Brazil oleh Mendes da Gloria et al. (2000). Pada saat ini telah diperoleh lebih dari 250 kombinasi dari 40 tetua jenis jeruk melalui fusi protoplas (Grosser et al. 2000; Cabasson et al. 2001; Guo et al. 2004). Beberapa hasil penelitian yang telah menggunakan jeruk Mandarin Satsuma (C. Unshui) sebagai salah satu tetua dalam teknologi fusi protoplas untuk perbaikan tanaman jeruk batang atas (C. sinensis) adalah Yamamoto and Kobayashi (1995), Yamamoto et al. (1997), Guo et al. (2004), Xu et al. (2006), dan Cai et al. (2007). Teknologi fusi protoplas pada tanaman jeruk juga sudah banyak digunakan untuk
perbaikan genetik batang bawah. Grosser (1988) memfusikan C. sinensis
denga Poncirus trifoliata, Mendes da Gloria (2000) memfusikan jeruk Caipira sweet orange dengan Rangpur lime, Moore et al. (2001) memfusikan C grandis dengan P.
19
tripoliata
untuk ketahanan terhadap garam dan dingin, Calixo et al. (2004)
memfusikan C. sinensis dengan C. grandis untuk ketahanan terhadap virus dan Phytophthora, Fu et al. ( 2003) memfusikan C. sinensis dengan Clausena lansium. Dengan teknologi fusi protoplas dapat dilakukan introgresi gen dari jeruk
Mandarin Satsuma ke jeruk
sifat baik
siam Simadu karena jeruk Mandarin
Satsuma merupakan jeruk tipe mandarin yang mempunyai sifat parthenocarpy yang tinggi (seedless), mudah dikupas (easy peeling), pigmented dan telah adaptif di Indonesia. Untuk mendapatkan
buah jeruk
lokal yang mempunyai sifat sesuai
dengan tuntutan pasar (seedless, pigmented, low acid dan ukuran besar) secara efisien dan efektif dapat digunakan dengan cara mengintrogresikan sifat seedless dan pigmented dari spesies jeruk lain seperti Mandarin Satsuma. Mandarin Satsuma (C. unshiu Marc.) adalah merupakan jeruk introduksi yang termasuk tipe Mandarin yang mempunyai sifat parthenocarpy yang tinggi (seedless), mudah dikupas (easy peeling) dan pigmented (Yamamoto et al. 1997; Spiegel-Roy dan Goldschmidt 1996). Hasil introgresi gen dari fusi protoplas tersebut dihasilkan hibrida dengan level ploidi 2n=4x=36 (Allotetraploid). Hibrida tersebut juga dapat digunakan sebagai tetua yang akan disilangkan dengan jeruk Siam (2n) untuk mendapatkan hibrida yang triploid (2n=3x) yang mempunyai sifat parthenocarpy yang tinggi. Strategi ini sudah banyak dilakukan para pakar pemulia jeruk di dunia, seperti di Jepang pada tahun 1985 oleh Ohgawara et al dan Kobayashi and Ohgawara tahun 1988, di Amerika pada tahun 1988 oleh Grosser di Pakistan oleh Jaskani (1998) dan di Brazil
oleh
Mendes-da-Gloria et al (1999 dan 2000). Dengan teknologi fusi protoplas tersebut telah banyak menghasilkan hibrida-hibrida baru yang mempunyai keunggulan, baik karakter buah, morfologi dan ketahanan terhadap cekaman biotik dan abiotik. Bila dibandingkan dengan produk hasil bioteknologi lainnya, khususnya rekayasa genetika, fusi protoplas masih sangat diminati walaupun teknologi ini tergolong sulit dan rumit. Produk hibrida somatik yang dihasilkan dapat diterima oleh masyarakat tidak seperti tanaman transgenik hasil rekayasa genetika.
20
Daftar Pustaka Badan Litbang Pertanian. 2005. Prospek dan arah Pengembangan Agribisnis Jeruk. Badan Penelitian dan Pengembangan Pertanian, Departemen Pertanian. 39 h. Bhojwani SS, Razdan MK. 1983. Plant Tissue culture. Theory and Practice. Elsevier Sciences Publishing Company Inc: 237-238. Broertjes C, Van Harten AM. 1988. Applied Mutation Bbreeding for Vegetatively Propagated Crops. Development in Crops Science. V. 12, Oxford:Elsevier, 345 pp. Cabasson CM, Luro F, Ollitrault O, Grosser JW. 2001. Non-random inheritance of mithocondrial genomes in Citrus hybrids froduced by protoplast fusion. Plant Cell rep 20:604-609. Cai XD, Fu J, Deng XX, Guo WW. 2007. Production and molecular characterization of potential seedless cybrid plants between pollen steril Satsuma Mandarin and two seedy Citrus cultivars. Plant Cell Tiss Organ Cult. 90:275-283. Calixto MC, Filho FFAM, Mendes BMJ, Vieira MLC. 2004. Somatic hybridozation between Citrus sinensis (L.) Osbeck and C. grandis (L.) Osbeck. Pesq. Agropec. Bras. 39(7):1-6. Departemen Pertanian . 1994. Penuntun Budiddaya Buah-buahan (Jeruk). Direktorat Jenderal Pertanian Tanaman Pangan. 269 h. Departemen Pertanian. 2007. Statistik Produksi HortiKultura Tahun 2006. Dirjen Hortikultura. Jakarta. Fu CH, Guo WW, Liu JH, Deng XX. 2003. Regeneration of Citrus sinensis + Clausena lansium intergeneric triploid ang tetraploid somatic hybrids and their molecular identification. In Vitro Cell Dev. Sci.20:251-255. Frost HB, Soost RK. 1968. Seed reproduction development of gametes and embryos . In: Reuther W, Webber HJ, Batchelor (eds) The Citrus Industry. Vol. I. University of California Press, Barkley, Calif. Pp. 290-324. Gmitter FG Jr, Grosser JW, and Moore GA. 1992. Citrus. In Biotechnology of Prennial Fruits Crops, ed. F.A. Hammerschalag and R. E. Litz, pp. 335-369.. Wallingford , Oxon, UK:CAB International.
21
Grosser JW, 1988. Application of protoplast fusion of citrus scion and rootstock improvement. Proc. Workshop. Scope for citrus breeding in Australia and the use of new breeding techniques, CSIRO, Merbein, Juli 1987, 146-151. Grosser JW and Gmitter FG Jr. 1990. Protoplast fusion and citrus improvement. Plant Breeding Reviews. Portland, V.8, p.339-374. Grosser JW and Gmitter FG Jr. 1991.Protoplast technology in tropical fruit, improvement, with focus on Citrus. Workshop on Agricultural Biotechnology Bogor, May 21-24. Grosser JW, Gmitter FG, Tusa N, Reforgiato G, and Cucinotta. 1996. Further evidence of a cybridization requirement for plant regeneration from citrus leaf protoplast following somatic fusion. Plant Cell Rep. 15:672-676. Grosser JW, Ollitrault P, Olivares-Fuster O. (2000). Somatic hybridization in Citrus: an effective tool to facilitate variety improvement. In Vitro Cell Dev Biol Plant 36:434-449. Grosser JW and Gmitter FG Jr. 2005. Application of somatic hybridization and cybridization in crop improvement, with citrus as a model. In vitro Cell Dev. Biol Plant 39:360-364. Gulsen O, Uzun A, Pala H, Canihos E, and Kafa G. 2007. Development of seedless and Mal secco tolerant mutant lemons through budwood irradiation. Science Horticultura.112 (2):184-190. Guo WW, Prassad D, Cheng YJ, Serrano P, Deng XX, and Grosser. 2004. Targeted cybridization in citrus: transfer of Satsuma cytoplasm to seedy cultivars for potential seedlessness. Plant Cell rep 22:752-758. Hearn CJ. 1984. Development of seedless orange and grapefruit cultivars through seed irradiation. J. Am. Soc. Hort. Sci., 109:270-273. Hearn CJ. 1986. Development of seedless grapefruit cultivars through budwood irradiation. J. Am. Soc. Hort. Sci.,111:304-306. Husni A, Mariska I, dan Hobir. 2004. Fusi Protoplas dan regenerasi protoplas hasil fusi antara Solanum melongena dengan S. torvum. Jurnal Bioteknologi Pertanian 9(1):1-8. Hutabarat, B dan Setyanto A. 2007. Komoditas jeruk Indonesia di persimpangan jalan pasar domestik dan internaional. Prosiding Seminar Nasional Jeruk, Yogyakarta, 13-14 Juni 2007. 472 h.
22
Jaskani MJ.1998. Interploid hiybridization and regeneration of kinnow mandarin. A Thesis submitted in partial fulfiment of the requirements for the degree of Doctor of Philosophy in Horticulture Faculty of Agriculture University of Agriculture Faisal Abad, Pakistan.p.169. Kobayashi S, Ohgawara T, Ohgawara E, Oiyima I, and Ishii IS.1988. A somatic hybirid plant obtained by protoplast fusion between navel orange (Citrus sinensis) and Satsuma mandarin. Plant Cell Tissue and Organ Culture14:6369. Kobayashi S and Ohgawara T.1988. Production of somatic hybrid plants through protoplast fusion in Citrus. J. Agric. Rev. Quarterly. 22:181-188. Kunitake H, Kagami H, and Mii M. 1991. Somatic embrtogenesis and plant regeneration from protoplasts of Stsuma?mandarin (Citrus unshiu Marc.) Scientia Horticilturae, 47:27-33. Kuntarsih S. 2007. Pengelolaan rantai pasok dengan bisnis jeruk (kasus jeruk siam Pontianak Kabupaten Sambas). Makalah dalam seminar Nasional jeruk. Yogyakarta, 13-14 Juni 2007. Mendes-da-Gloria FJ, Maurao Filho FA, Demetrio CGBM and Mendes BMJ. 1999. Embryogenic calli induction from nucellar tissu of Citrus cultivars. Sci. Agric. (56) 4: 1-11. Mendes-da-Gloria FJ, Maurao Filho FA, Camargo LEA, and Mendes BMJ. 2000. Caipira sweet orange Rangpur lime: a swomatic hybrid with potential for use as rootstock in the Brazilian citrus industry. Genetic Molecular Biology, V.23, p. 661-665. Moore GA. (2001). Oranges and lemons: clues to the taxonomy of Citrus from molecular markers. Trends Genet. 17(9):536-540. Moriguchi T, Hidaka T, Omura M, Motomura T, and Akihama T. 1996. Genotypes and parental combination influence efficiency of cybrid induction in citrus by electrofusion. Hort Science 31:275-278. Nicotra A. 2007.Mandarin-like hybrids of recent interest for fresh consumption. Problems and ways of control. Instituto Sperimentale per la Frutticoltura Rme-Italy. 13p. Ohgawara T, Kobayashi S, Ohgawara E, Uchi miya H, Ishii S. 1985. Somatic hybrids plants obtained by protoplast fusion between (Citrus sinensis and Poncirus tripoliata). Theor Appl Genet. 71: 1-4.
23
Oiyama I, Kobayashi S, Yoshinaga K, Ohgawara T, and Ishii S, 1991. Use of pollen from a somatic hybrid between Citrus and Poncirus in the production of triploids. Hort.Sci., 26:1082-1087. Ollitrault P, Dambier D, and Luro F. 1996. Somatic hybridization in Citrus; some new hybrids and alloplasmic plants. Proc. Int. Soc. Citricult.2:907-912. Power JB, Cummins SE, and Cocking EC. 1970. Fusion of isolated plant protoplasts. Nature 255:1016-1018. Sihachakr D. 1998. Culture Media and Protocols for Isolation and Fusion of Prtoplasts of Eggplant. Universite Paris sud, France (Tidak dipublikasi). Spiege-Roy P and Vardi A. 1989. Induced mutations in citrus:In Proc.6th International congres, pp 733-776, Tokyo: SABRAO. Spiege-Roy P, Vardi A, and Elhanati A. 1990. Seedless induced mutan in highly seeded lemon (Citrus limon). Mutation Breed. Newsl. 36:11. Spiegel-Roy P and Goldschmidt EE. 1996. Biology Of Citrus. Cambridge University Press. 221 p. Vardi A, Breiman A, and Galun E. 1987. Citrus cybrids: production by donorrecipient protoplast fusion and verification by mitochondrial-DNA restriction profiles. Theor. Appl. Genet., 75:51-58. Veilleux RE, Compton ME, and Saunders JA. 2005. Use of Protoplasts for Plant Improvement In R.N. Trigiano and D.J. Gray (Eds) Plant Development and Biotechnology.187-200pp. CRC Press LLC. Xu XY, Liu JH, and Deng XX. 2006. Isolations of citoplats from Satsuma mandarin (Citrus unshiu Mrc.) and production of alloplasmic hybrid calluses via cytoplast-protoplsat fussion. Plant Cell rep. 25:533-539. Yamamoto M, Matsumoto R, Okudai N, and Yamada Y. 1997. Aborted anthers of Citrus result from gene-cytoplasmic male sterility. Sci Hortic 70:9-14. Zhou J. 1986. Induction of seedless mutation by irradiation citrus seeds with 60Co gamma rays. China Citrus. 2:1-4. Zimmermann U and Scheurich P. High frequency fusion of plant protoplast by electric field. Planta. 151:26-32.
43
BAB IV
STUDI ISOLASI PROTOPLAS TANAMAN JERUK SIAM DAN MANDARIN SATSUMA)* Ringkasan Penelitian untuk mendapatkan metode isolasi protoplas dari tanaman jeruk siam (kultipar Simadu dan Pontianak) dan mandarin (kultivar Satsuma) telah dilakukan dari bulan Juli – Desember 2007. Dari hasil penelitian diperoleh bahwa jenis, konsentrasi, dan kombinasi enzim yang digunakan dalam isolasi protoplas sangat berpengaruh dalam keberhasilan isolasi protoplas. Kombinasi enzim selulase 1% (Onozuka RS-Yakult) dengan maserosim (Onozuka R-10 Yakult) (enzim 1) dapat mengisolasi protoplas dari jaringan daun maupun kalus embriogenik dengan densitas yang tinggi (105/ml) setelah dimurnikan dengan larutan sukrosa 25%+manitol 13%. Penambahan enzim pectoliyase Y-23 dalam komposisi enzim yang sama (enzim 2) juga dapat mengisolasi protoplas dari jaringan daun dan kalus embriogenik dengan densitas (105/ml). Rata-rata jumlah protoplas yang terisolasi dari jaringan daun adalah 1.3x105dari siam Simadu dan siam Pontianak, dan1.05x105dari Mandarin Satsuma pada enzim 1 serta 1.30x105, 1.20x105 dan 1.1x105 pada enzim 2. Rata-rata jumlah protoplas yang dihasilkan dari kalus yang berasal dari nuselus lebih banyak dari pada kalus embriogenik yang berasal dari embrio baik pada enzim 1 maupun enzim 2. Rata-rata jumlah protoplas yang dihasilkan adalah 1.5x105 siam Simadu maupun siam Pontianak.
*)Bagian disertasi ini telah dipublikasikan di Jurnal Agritek Vol. 17.2008. Kata kunci: Jeruk siam Simadu dan Pontianak, Mandarin Satsuma, isolasi protoplas, mesopil daun, kalus embriogenik, dan larutan enzim.
44
PROTOPLAST ISOLATION STUDIES OF TANGERINE AND SATSUMA MANDARIN Abstract Research to find a method of protoplasts isolation from tangerine citrus (Simadu and Pontianak cultivars) and Satsuma Mandarin cultivar have been carried out from July to December 2007. Experiments have shown that the type, concentration, and the combination of enzymes used in protoplast isolation are very influential in the success of protoplast isolation. The combination of 1% cellulase (Onozuka RS, Yakult) with macerozim 1% (Onozuka R-10 Yakult) (enzyme 1) is able to isolate protoplasts from embryogenic callus or leaf tissue with high density (105/ml), after purified with a solution of sucrose 25% + 13% mannitol. Addition of Y-23 pectolyase enzyme in the composition of the same enzyme (enzyme 2) was also able to isolate protoplasts from embryogenic callus tissue and leafs with a density of 105/ml. Average number of protoplasts isolated from leaf tissue tangerine Simadu is 1.31x105, Tangerine Pontianak is 1.3x105, and Mandarin Satsuma 1.05x105, at enzyme 1 and 1.3x105, and 1.2x105 1.2x105 at enzyme 2. The average amount generated from callus protoplasts derived from embryogenic callus nuselus more than derived from embryos at both 1 and 2 enzymes. Average number of protoplasts produced was 1.5x105 from Simadu tangerine and 1.5 x105 from Pontianak tangerine. Average number of protoplasts produced was 1.5x105 from Simadu 1.5 x105 from Pontianak.
Keyword : Citrus siam Simadu and Pontianak, Mandarin Satsuma, protoplast isolation,embriogenic cali, and composition of enzym.
45
Pendahuluan Protoplas adalah sel telanjang tanpa dinding yang hanya dilindungi oleh membran plasma. Isolasi protoplas pertama kali dilakukan oleh Klercher pada tahun 1892 dari potongan irisan umbi bawang yang terlebih dahulu diplasmolisa, kemudian dimasukkan ke dalam media cair sehingga banyak protoplas yang meluncur ke dalam medium (Bhojwani dan Razdan 1983). Metode isolasi protoplas dimulai pada tahun 1960an dengan cara ekstraksi dan pemurnian menggunakan enzim yang dapat menghancurkan dinding sel. Cocking (1960) berhasil mengisolasi protoplas dari jaringan tanaman yang diinkubasi dalam larutan konsentrat kasar enzim selulase yang diisolasi dari cendawan Myrothecium verrucaria. Pada tahun 1968, preparasai dan pemurnian protoplas mulai dilakukan secara komersial sampai sekarang menggunakan larutan enzim seperti maserozim dan selulase (Veilleux et al. 2005). Untuk mengisolasi protoplas dari jaringan biasanya dilakukan secara enzimatik. Jenis dan konsentrasi enzim yang digunakan dalam isolasi protoplas sangat bervariasi. Paling tidak ada 15 jenis enzim yang dapat dipergunakan, yang biasa digunakan adalah pektinase, pektolyase, macerozim dan selulase. Pektinase, pektolyase, dan macerozim berfungsi untuk melarutkan dinding primitif antar sel yang tersusun oleh zat pektin sehingga menjadi sel-sel tunggal. Sedangkan selulase berfungsi melarutkan sisa dinding sel yang tersususn atas zat selulosa (Suryowinoto 1990). Protoplas dapat diisolasi dari hampir semua bagian tanaman, seperti dari akar (Cocking 1960; Bawa dan Torrey 1971), dari daun (Wenzel 1980), dari nodul akar (Davey et al. 1973), coleptil (Hall dan Cocking 1974), jaringan buah (Cocking 1970), tajuk bunga (Potrykus 1973), serbuk sari (Bajaj 1977), kultur kalus (Schenk dan Hildebranadt 1969), kalus embriogenik (Grosser and Gemitter 1990, Vardi et al., 1990, Tusa et al. 2000) daun in vitro (Binding et al. 1982; Grosser et al. 1996; Serraf 1991, Fu et al. 2003; Husni et al. 2003; Husni et al. 2004 dan Cai et al. 2007.) dan suspensi sel (Grosser and Gemitter 2005; Mendes da Gloria et al. 2000; Fu et al. 2003 dan Cai et al. 2007).
46
Untuk mencegah pecahnya protoplas selama proses isolasi dan pemurnian protoplas biasanya digunakan zat anti pecah (anti blast) yang biasanya juga disebut osmolyticum atau osmotic stabilizer. Zat yang biasanya digunakan adalah gula alkohol (sorbitol, manitol) dan sukrosa (Suryowinoto 1990). Penggunaan sukrosa konsentrasi tinggi (21-25%) atau kombinasi sukrosa dengan manitol dapat digunakan untuk memisahkan protoplas dari sisa jaringan atau pecahan sel (debris) sehingga diperoleh protoplas yang murni. Protoplas dari tanaman jeruk dengan viabilitas yang tinggi dapat diisolasi dari jaringan daun, nuselus, kalus, dan suspensi sel. Vardi et al. (1990); Kobayashi et al. (1983) dan Grosser dan Gmitter (1990) menggunakan kalus embriogenik sebagai sumber protoplas dan protoplas yang dihasilkan dapat diregenerasi menjadi tanaman. Ohgawara et al. (1991), Tusa et al. (2000), dan Calixo et al. (2004) menggunakan mesopil daun sebagai sumber protoplas dan Grosser et al. (2000), Mendes da Gloria (2000), dan Fu et al. (2003) menggunakan suspensi sel sebagai sumber protoplas. Penelitian ini bertujuan untuk mendapat jenis sumber protoplas yang baik digunakan untuk isolasi protoplas, mendapatkan komposisi enzim yang tepat untuk isolasi
protoplas
dan
mendapatkan
komposisi
larutan
pemurnian
untuk
mengapungkan protoplas sehingga diperoleh protoplas yang murni.
Bahan dan Metode Penelitian dilaksanakan di Laboratorium Kultur Jaringan, Kelompok Peneliti Biologi Sel dan Jaringan, Balai Besar Penelitian dan Pengembangan Bioteknologi dan Sumberdaya Genetik Pertanian, Bogor. Penelitian dimulai pada bulan Juli – Desember 2007. Bahan tanaman yang digunakan sebagai sumber protoplas pada penelitian ini adalah kalus embriogenik, daun in vitro dan suspensi sel dari tanaman jeruk siam Simadu, siam Pontianak, dan Mandarin Satsuma. Media dasar yang digunakan untuk mendapatkan sumber protoplas (kalus, daun dan suspensi sel) adalah MP2 (Morel and Wetmore 1951 + 3 mg/l BA + 500 mg/l ekstrak malt) yang dipadatkan dengan 2 gr/l phytagel.
47
Kemasaman media diatur dengan menambahkan NaOH 0.1N sehingga menjadi 5.6-5.8. Untuk memadatkan media dilakukan dengan menambahkan 2.5 mg/l gelrait. Sterilisasi media dilakukan dengan autoklaf pada suhu 1210C selama 20 menit. Penelitian dilakukan dalam empat tahap percobaan yang terdiri dari produksi tunas in vitro, isolasi protoplas dari kalus embriogenik, isolasi protoplas dari daun in vitro, dan isolasi protoplas dari suspensi sel.
Produksi tunas in vitro Penelitian pada percobaan satu dilakukan untuk mendapatkan tunas in vitro yang mempunyai daun yang banyak yang akan digunakan sebagai sumber protoplas. Eksplan yang digunakan pada percobaan ini adalah biji masak yang berasal dari buah yang sudah matang yang diambil dari kebun percobaan Balai Penelitian Jeruk dan Buah Subtropika Batu, Malang. Media dasar yang digunakan adalah MP2 dengan penambahan 0.5 mg/l GA 3 yang dipadatkan dengan 2 gr/l phytagel. Sterilisasi biji dilakukan dengan cara mencuci biji terlebih dahulu dengan detergen dan dibilas dengan air PAM sampai bersih. Biji dari masing-masing jenis jeruk di rendam dalam larutan alkohol 70% selama 10 menit. Kemudian direndam selama 10 menit dalam larutan hipoklrid 30% dan 5 menit dalam larutan sodium hipoklorid 20%. Kemudian dibilas dengan steril sebanyak tiga kali. Biji yang sudah disterilisasi dikecambahkan dalam media kultur yang digunakan. Setiap botol ditanaman 5 biji pada siam Simadu dan Pontianak dan diulang sebanyak 10 kali sehingga diperoleh 50 biji setiap jenis jeruk kecuali Mandarin Satsuma (1 biji/botol) karena bijinya terbatas (seedless). Kemasaman media diatur dengan menambahkan NaOH 0.1N sehingga menjadi 5.6-5.8. Untuk memadatkan media dilakukan dengan menambahkan 2.5 mg/l gelrait. Sterilisasi media dilakukan dengan autoklaf pada suhu 1210C selama 20 menit. Semua kultur disimpan di ruang kultur dengan penyinaran 1000 lux selama 16 jam dengan suhu 23 - 270C. Pengamatan dilakukan terhadap jumlah dan persentase biji yang berkecambah, tinggi tunas dan jumlah daun.
48
Produksi kalus embriogenik Penelitian dilakukan dengan tujuan untuk mendapatkan kalus embriogenik untuk digunakan sebagai sumber isolasi protolas. Bahan tanaman yang digunakan sebagai sumber eksplan adalah nuselus dan embrio zigotik dari buah muda umur 30-90 hari setelah anthesis (diameter 2-3 cm) dari tanaman jeruk
siam Pontianak
dan Simadu yang diambil dari koleksi Balitbu subtropika di Tlekung Malang. Eksplan yang digunakan dalam penelitian ini adalah embrio dan nuselus untuk menghasilkan kalus embriogenik. Media kultur yang digunakan sama dengan media kultur produksi tunas in vitro (MP2). Kemasaman media diatur dengan menambahkan NaOH 0.1N sehingga menjadi 5.6-5.8. Untuk memadatkan media dilakukan dengan menambahkan 2.5 mg/l gelrait. Sterilisasi media dilakukan dengan autoklaf pada suhu 1210C selama 20 menit. Nuselus dan embrio dari masing-masing jenis jeruk yang digunakan dikultur dalam 10 botol media yang terdiri dari masing-masing 5 nuselus atau 5 embrio setiap botol sehingga setiap jenis terdiri dari 50 eksplan. Semua kultur disimpan di ruang kultur dengan penyinaran
1000 lux selama 16 jam dengan suhu 23 - 270C.
Pengamatan dilakukan terhadap jumlah dan persentase persentase eksplan yang dapat membentuk kalus dan tipe kalus yang dihasilkan dari setiap botol kultur.
Isolasi protoplas dari daun in vitro Bahan tanaman yang digunakan sebagai sumber protoplas pada percobaan ini adalah daun in vitro yang berasal hasil perkecambahan pada percobaan satu. Tahapan isolasi protoplas pada percobaan ini mulai dari penggoresan bagian mesofil daun, inkubasi dalam larutan enzim, pemurnian protoplas, pencucian protoplas dan penghitungan kerapatan protoplas. Enzim yang digunakan untuk isolasi protoplas adalah enzim selulase Onozuka RS10-Yakult, macerozim RS10-Yakult, dan pectolyase Y-23–Sigma dengan penambahan 0.7 M manitol, 24.5 mM CaCl2, 0.92 mM NaH 2 PO 4, dan 6.15 mM MES yang disterilisasi dengan millifor 0.22 mikron. Kombinasi larutan enzim yang digunakan sebagai perlakuan adalah sebagai berikut (Tabel 9).
49
Tabel 9. Kombinasi konsentrasi larutan enzim yang digunakan untuk isolasi protoplas dari kalus embriogenik, daun in vitro dan suspensi sel. Enzim Selulase Onozuka RS-Yakult Maserozim R10-Yakult Pectoliyase Y-23-Sigma
Perlakuan 1 1% 1% -
Perlakuan 2 1% 1% 0.5%
Metode yang digunakan untuk isolasi protoplas menggunakan kombinasi metode Grosser and Gemitter Junior (1990) dan Sihachakr (1998) dengan cara memasukkan 1 g daun in vitro ke dalam 5 cawan petri yang telah berisi 5 ml larutan enzim. Masing-masing helaian daun dari jenis jeruk (simadu, Pontianak dan Satsuma) bagian mesofilnya digores secara merata dengan pisau scalpel dengan jarak ± 1- 2 mm (horizontal). Helaian daun yang telah digores dimasukkan ke dalam cawan petri (50mm x 15mm) yang telah berisi 5 ml larutan enzim. Inkubasi dalam larutan enzim dilakukan tanpa cahaya pada suhu ruang selama 16 jam (overnight). Suspensi siap untuk disaring dan dilakukan pemurnian protoplas. Pemurnian protoplas cara pertama dilakukan dengan cara memasukkan 8 ml larutan purifikasi (sukrosa 25% dalam larutan CPW) ke dalam tabung sentrifuge yang berisi pellet dan diresuspensi secara perlahan.
Kemudian dilakukan sentrifugasi
selama 10 menit pada kecepatan 1200 rpm sehingga protoplas terapung pada bagian permukaan larutan purifikasi membentuk cincin. Pemurnian protoplas cara kedua dilakukan dengan cara memasukkan 5 ml sukrosa 25% + 3 ml larutan manitol 13% dalam larutan CPW ke dalam tabung sentrifuge yang berisi pellet dan diresuspensi secara perlahan. Kemudian dilakukan sentrifugasi selama 10 menit pada kecepatan 1200 rpm sehingga protoplas terapung pada bagian permukaan larutan purifikasi membentuk cincin. Protoplas diambil dengan pipet secara perlahan dan dimasukkan dalam tabung sentrifugasi yang baru. Selanjutnya dicuci dengan menambahkan 5 ml larutan pencuci (0.5 M manitol + 0.5 mM CaCl2 ) untuk menghilangkan pengaruh enzim dan sukrosa. Sentrifugasi dilakukan selama 5 menit sehingga terbentuk pellet protoplas. Supernatan dibuang dengan pipet secara perlahan dan hati-hati. Pencucian dilakukan
50
sebanyak dua kali dengan cara yang sama, pada akhir pencucian, pellet protplas ditambahkan dengan 1- 2 ml larutan pencuci (tergantung jumlah protoplas yang dihasilkan) dan diresuspensi secara perlahan (Husni et al. 2004). Protoplas yang telah diresuspensi diambil 0.1 ml dan diencerkan kembali dengan larutan pencuci sebanyak 10 kali (0.9 ml). Kemudian dimasukkan dalam gelas haemositometer lalu dilakukan penghitungan protoplas secara mikroskopis.
Isolasi protoplas dari kalus embriogenik Bahan tanaman yang digunakan sebagai sumber protoplas adalah kalus embriogenik dari nuselus dan embrio yang dikultur dalam media MP2+3 mg/l BA + 500 mg/l EM selama 4 minggu. Kombinasi larutan enzim yang digunakan sebagai perlakuan sama dengan pada percobaan dua. Metode dan tahapan isolasi protoplas dari kalus embriogenik pada percobaan ini sama dengan tahapan isolasi protoplas dari daun in vitro. Tahapan isolasi protoplas terdiri dari koleksi kalus embriogenik, inkubasi kalus dalam larutan enzim, pemurnian protoplas, pencucian protoplas dan penghitungan kerapatan protoplas.
Isolasi protoplas dari kultur suspensi sel Bahan tanaman yang digunakan sebagai sumber protoplas adalah sel suspensi yang dikultur dalam media cair MW selama 3 minggu dan sudah diendapkan dengan cara sentrifugasi. Kombinasi enzim yang digunakan sama dengan kombinasi enzim pada percobaan dua dan tiga. Metode dan tahapan isolasi protoplas yang digunakan sama dengan metode isolasi protoplas dari daun dan kalus embriogenik dengan cara memasukkan 1 g sel suspensi ke dalam 5 cawan petri yang telah berisi 5 ml larutan enzim. Tahapan isolasi protoplas terdiri dari koleksi suspensi sel, inkubasi sel dalam larutan enzim, pemurnian protoplas, pencucian protoplas dan penghitungan kerapatan protoplas.
51
Hasil dan Pembahasan Produksi tunas In vitro Dari hasil penelitian yang dilakukan diperoleh bahwa semua jenis jeruk dapat menghasilkan kecambah dalam media perkecambahan yang digunakan (Tabel 10). Persentase keberhasilan biji berkecambah 100% pada jeruk siam Simadu dan Pontianak serta 80% pada jeruk Mandarin Satsuma. Adanya perbedaan daya kecambah disebabkan oleh viabilitas fisik dari biji jeruk Mandarin Satsuma dan biji jeruk siam. Biji jeruk Mandarin Satsuma viabilitasnya lebih rendah karena jeruk Mandarin Satsuma merupakan jeruk yang seedless sehingga biji yang dihasilkan kurang sempurna (mengkerut). Hal ini juga dilaporkan oleh Jaskani (1998) pada kultur biji jeruk mandarin Kinow yang mempunyai tingkat ploidi yang berbeda (tetraploid, triploid dan diploid) memperoleh persentase perkecambahan mulai dari 12.5-90.3% pada media MP3 dengan penambahan 1 mg/l GA 3. Bila dilihat dari parameter tinggi tunas dan jumlah daun yang diamati diperoleh bahwa jeruk siam Simadu memberikan respon yang lebih baik dari jeruk siam Pontianak dan Mandarin Satsuma. Hal ini dapat dilihat dari rata-rata tinggi tunas dan jumlah daun yang dihasilkan. Rata-rata tinggi tunas dari kecambah jeruk siam simadu adalah 2.7 cm dengan rata-rata jumlah daun sebanyak 5.2 helai. Kemudian diikuti oleh jeruk siam Pontianak dengan rata-rata tinggi 2.5 cm dengan rata-rata jumlah daun sebanyak 5 helai dan rata-rata tinggi kecambah jeruk Mandarin Satsuma adalah 1.4 cm dengan rata-rata jumlah daun sebanyak 3.6 helai. Hasil perkecambahan biji dari masingmasing jenis jeruk dapat dilihat pada gambar 6. Tabel 10. Keberhasilan biji berkecambah, tinggi tunas dan jumlah daun pada jeruk siam Simadu, Pontianak dan mandarin Satsuma 4 minggu dalam media MW+0.5 mg/l GA3. Jeruk Siam Simadu Siam Pontianak Mandarin Satsuma
Kecambah (%) 100 100 80
Rata-rata Tinggi Tunas (Cm) 2.7 2.5 1.4
Rata-rata Jumlah Daun (helai) 5.2 5.0 3.6
52
A
B
C
Gambar 6. Penampakan kecambah biji jeruk siam dan mandarin dalam media MP2+1 mg/l GA3 (A=siam simadu, B=siam pontianak dan C=Mandarin Satsuma). Produksi kalus embriogenik Berdasarkan hasil percobaan yang dilakukan diperoleh bahwa semakin lama umur kultur maka semakin besar persentase eksplan yang dapat membentuk kalus (Tabel 11). Persentase keberhasilan pembentukan kalus dari eksplan nuselus 100% baik pada jeruk siam Simadu dan siam Pontianak serta 93.3% dan 95.0% dari eksplan embrio setelah kultur berumur 2 bulan. Berdasarkan tipe kalus yang dihasilkan diperoleh bahwa kalus yang berasal dari embrio mempunyai struktur globular yang lebih banyak dari pada struktur globular dari nuselus. Warna kalus yang dihasilkan juga berbeda antara kalus yang berasal dari nuselus dengan kalus yang berasal dari embrio. Kalus yang berasal dari nuselus lebih putih sedangkan kalus yang berasal dari embrio kuning kehijauan (Gambar 7).
Tabel 11. Persentase keberhasilan induksi kalus dari nuselus dan embrio jeruk siam Simadu dan Pontianak, 2 bulan setelah kultur. Jeruk siam Eksplan Simadu Nuselus Embrio Pontianak Nuselus Embrio
Pembentukan Kalus (%)
Tipe kalus
Jumlah preembrio
100.0 93.3
Em-Pem-Glob Em-Pem-Glob
36.2 28.2
100.0 95.0
Em-Pem-Glob Em-Pem-Glob
39.0 33.6
Keterangan:Em= embriogenik, Pem= pre-embrio dan Glob= globular
53
A
B
C
D
Gambar 7. Penampakan kalus embriogenik dari eksplan nuselus (A dan C) dan eksplan embrio (B dan D). Bila diamati secara mikroskopik, kalus yang berasal dari nuselus jelas terlihat warnanya lebih putih dan banyak mengandung struktur pem. Sedangkan kalus yang berasal dari embrio berwarna kehijauan dan mengandung struktur globular yang lebih banyak. Banyaknya jumlah pem pada kalus yang berasal dari nuselus adalah 36.2 dari jeruk siam Simadu dan 39 dari jeruk siam Pontianak serta 28.2 pem pada kalus yang berasal dari jeruk siam Simadu dan 33.6 dari eksplan embrio dari kalus jeruk siam Pontianak. Banyaknya jumlah struktur globular pada kalus yang dihasilkan juga berbeda,. berasal dari embrio lebih banyak dari pada struktur globular dari kalus yang berasal nuselus. Hal ini berbeda dengan hasil penelitian yang dilaporkan oleh Carimi (1992) pada jeruk Poncirus trifoliata bahwa eksplan embrio muda beregenerasi menjadi tanaman melalui jalur organogenesis.
Isolasi protoplas dari daun in vitro Jumlah dan viabilitas protoplas yang dihasilkan dalam isolasi protoplas suatu jaringan tanaman sangat dipengaruhi oleh jenis, konsentrasi dan kombinasi enzim serta lama inkubasi yang digunakan. Kombinasi enzim selulase Onozuka R10-Yakult
54
(0.2-2%) dan maserozim R10-Yakult (0.1-1%) merupakan jenis enzim yang banyak digunakan untuk isolasi protoplas dari jaringan tanaman (Ferreira dan Zelcer 1989). Mendes da Gloria et al. (2000) menggunakan kombinasi selulase Onozuka R10 1% dengan maserosim 1% serta pectolyase Y-23 (Seshin) 0.2% dengan jumlah yang banyak dan dapat diregenerasikan menjadi tanaman setelah difusikan. Selain jenis, konsentrasi, kombinasi enzim dan lama inkubasi, jaringan yang digunakan sebagai sumber protoplas juga sangat berpengaruh dalam keberhasilan isolasi protoplas. Tusa et al. (2000) dan Ohgawara et al. (1991) berhasil mengisolasi protoplas dari daun hasil perkecambahan biji
secara in vitro dari tanaman jeruk dan berhasil
diregenerasikan menjadi tanaman. Penggunaan larutan dan konsentrasi sukrosa yang digunakan dalam pemurnian protoplas juga sangat berpengaruh terhadap keberhasilan memurnikan protoplas. Sukrosa dapat mengapungkan protoplas karena
sukrosa lebih berat dari
pada protoplas sehingga protoplas akan mengapung pada akhir sentrifugasi dipermukaan larutan sukrosa (Purwito 1999). Penggunaan sukrosa tunggal konsentrasi 21% dapat digunakan untuk mengapungkan protoplas pada tanaman solanum dengan baik (Sihachakr, 1998). Husni et al. (2003) dan Husni (2004) menggunakan sukrosa 21% untuk mengapungkan protoplas tanaman terung dengan rata-rata jumlah protoplas yang dihasilkan sebesar 12.9-14.3 x105 protoplas/g daun. Dari hasil percobaan isolasi protoplas yang telah dilakukan menggunakan larutan enzim 1 dan enzim 2 serta sukrosa 25% untuk memurnikan protoplas sebagai larutan purifikasi diperoleh bahwa densitas protoplas yang dihasilkan berkisar pada tingkat 104 protoplas/g daun (Tabel 12). Rata-rata jumlah protoplas yang dihasilkan dari perlakuan enzim 1 adalah berkisar antara 2.9-3.9x104 protoplas/g daun dan 2.43.7x104 protoplas/g daun dari perlakuan enzim 2. Bila dilihat dari rata-rata jumlah protoplas yang dihasilkan berdasarkan jenis jeruk yang digunakan sebagai sumber protoplas, jeruk siam memberkan hasil yang lebih banyak daripada jeruk Mandarin Satsuma. Hal ini disebabkan oleh perbedaan ketebalan daun dari jeruk siam dan mandarin. Daun dari jeruk Mandarin Satsuma lebih tebal sehingga lebih sulit untuk diisolasi protoplasnya. Jumlah protoplas paling banyak berasal dari jeruk siam
55
Tabel 12. Produksi protoplas mesofil daun yang dihasilkan dari dua kombinasi enzim yang berbeda setelah inkubasi 16 jam setelah dimurnikan dengan campuran 25% sukrosa dalam larutan CPW. Jeruk
Rata-rata jumlah protoplas/g daun Enzim 1
Enzim 2
Siam Simadu
3.8x104
3.6x104
Siam Pontianak
3.9x104
3.7x104
Mandarin Satsuma
2.9x104
2.4x104
Keterangan: Enzim 1= selulase 1% + maserozim 1% dan enzim 2 = selulase 1% + maserozim 1% + petoliyase 0.5%.
Pontianak (3.9x104) diikuti oleh jeruk siam simadu (3.8 x 104) dan
mandarin
4
satsuma (2.9 x 10 ) pada perlakuan enzim 1. Demikian juga halnya pada enzim 2, rata-rata jumlah protoplas paling banyak berasal dari jeruk siam Pontianak (3.7x104) diikuti oleh
jeruk siam simadu (3.6x104) dan Mandarin Satsuma (2.4 x104).
Berdasarkan data dari rata-rata jumlah protoplas yang dihasilkan dari perlakuan enzim 1 dan enzim 2 tersebut dapat dikatakan bahwa penambahan 0.5% pectolyase dalam enzim 2 tidak memberikan efek dalam isolasi protoplas dari jaringan daun jeruk siam simadu, Pontianak dan mandarin Satsuma. Hal ini diduga disebabkan oleh bertambah tingginya konsentrasi enzim yang digunakan untuk memisahkan antar sel yang satu dengan sel lainnya karena penambahan 0.5% pectolyase sehingga protoplas yang dihasilkan tidak stabil dan pecah pada saat disentrifugasi. Penambahan larutan manitol 13% dalam larutan sukrosa 25% untuk mengapungkan protoplas pada percobaan ini memberikan efek yang sangat baik. Hal ini disebabkan oleh adanya peranan membantu
manitol dalam larutan sukrosa yang dapat
menjaga keseimbangan tekanan osmotik didalam
dan di luar sel
protoplas sehingga protoplas tidak banyak yang rusak (pecah). Hal ini terbukti dari rata-rata jumlah protoplas yang dihasilkan menjadi lebih banyak. Hal yang sama dilaporkan oleh Mendes da gloria (2000) dalam mengapungkan protoplas dari tanaman jeruk lokal di Brazil (C. sinensis dan C. lemonia) dengan penambahan manitol 13% pada larutan purifikasi
(sukrosa 25%).
Cai et al. (2007) juga
56
menambahkan manitol 13% ke dalam larutan pemurnian protoplas (sukrosa 26%) pada jeruk Mandarin Satsuma (Citrus unshiu Marc) dan C. grandis dan C. sinensis. Penambahan manitol 13% pada larutan pemurnian sukrosa 25% lebih baik dari pada tanpa manitol dengan kisaran rata-rata jumlah protoplas 1.0 – 1.3 x 105 dari perlakuan enzim1 dan 1.1-1.5 x 105. dari perlakuan enzim 2 (Tabel 13). Bila dilihat dari rata-rata jumlah protoplas yang dihasilkan dari jenis jeruk yang digunakan sebagai sumber protoplas, jeruk siam Simadu dan Pontianak lebih banyak dari pada Mandarin Satsuma. Rata-rata jumlah protoplas paling banyak berasal dari jeruk siam Pontianak (1.3x105) diikuti oleh jeruk siam Simadu (1.3x105) dan Mandarin Satsuma (1.0 x 105) pada perlakuan enzim 1. Pada perlakuan enzim 2, ratarata jumlah protoplas yang dihasilkan paling banyak berasal dari jeruk siam Simadu (1.3x105) diikuti oleh jeruk siam Pontianak (1.2x105) dan Mandarin Satsuma (1.1x105). Adanya perbedaan jumlah protoplas yang dihasilkan dari jeruk siam dan mandarain Satsuma disebabkan oleh ketebalan dari daun. Helai daun jeruk Mandarin Satsuma lebih tebal dari helaian daun siam. Selain ketebalan daun, warna daun jeruk Mandarin Satsuma juga lebih tua dari warna hijau jeruk siam. Protoplas yang dihasilkan berwarna kehijauan karena adanya klorofil dan mempunyai viabilitas yang baik yang ditunjukkan oleh bentuk protoplas yang bulat sempurna (Gambar 8).
Tabel 13. Produksi protoplas mesofil daun yang dihasilkan dari dua kombinasi enzim yang berbeda setelah inkubasi 16 jam setelah dimurnikan dengan campuran 25% sukrosa + 13% manitol dalam larutan CPW. Jeruk
Rata-rata jumlah protoplas/g daun Enzim 1
Enzim 2
Siam Simadu
1.3x105
1.3x105
Siam Pontianak
1.3x105
1.2x105
Mandarin Satsuma
1.0x105
1.1x105
Keterangan:
Enzim 1= selulase 1%+maserozim 1%+maserozim1%+petoliyase 0.5%.
1%
dan
enzim
2=
selulase
57
ST
SP
SM
B
A
C
Gambar 8. Isolasi protoplas jeruk siam simadu, pontianak dan mandarin Satsuma dari mesofil daun dengan pemurnian larutan sukrosa 25% + manitol 13% dalamlarutan enzim 1(SM= siam Simadu, SP= siam Pontianak, A= Protoplas siam Simadu, B= protoplas siam Pontianak dan C= protoplas Mandarin Satsuma) perbesaran 10x. Isolasi protoplas dari kalus embriogenik Jaringan yang digunakan sebagai sumber protoplas dalam isolasi protoplas sangat mempengaruhi keberhasilan mendapatkan protoplas dalam jumlah banyak dengan viabilitas yang tinggi. Semenjak keberhasilan Kochba et al. (1972) mendapatkan kalus embriogenik dari nuselus C. sinensis (sweet orange) maka kalus embriogenik banyak digunakan sebagai sumber isolasi protoplas pada tanaman jeruk (Grosser and Gmitter 1991). Kobayashi et al. (1983) melakukan isolasi protoplas dari jeruk C. Sinensis kultivar ‘Trovita’. Grosser and Gmitter et al. (1990) melakukan isolasi protoplas dari kalus embriogenik untuk kegiatan hibridisasi somatik dengan teknologi fusi protoplas. Kalus yang digunakan pada percobaan ini adalah kalus embriogenik yang berasal dari nuselus dan embrio jeruk siam saja karena nuselus dan embrio dari jeruk Mandarin Satsuma sangat terbatas karena bersifat seedless. Penggunaan embrionik sebagai bahan
isolasi protoplas pada percobaan ini
kalus
karena adanya
58
perbedaan struktur kalus embriogenik yang dihasilkan antara eksplan nuselus dengan embrio. Kalus yang berasal dari nusellus teksturnya lebih halus dan mengandung pre-embrio (pem) yang banyak. Sedangkan kalus embriogenik yang berasal dari embrio lebih kasar dan banyak mengandung struktur globular dan pem (Gambar 9). Gambar tersebut memperlihatkan lebih jelas perbedaan ukuran kalus yang dihasilkan setelah dimasukkan dalam larutan enzim. Hal ini disebabkan oleh perbedaan struktur kalus yang dihasilkan antara nuselus dan embrio. Kalus yang berasal dari nuselus lebih halus dibandingkan kalus dari embrio sehingga aktivitas enzim maserozim lebih mudah mendegradasi pektin antar sel sehingga terjadi pemisahan sel dan degradasi dinding sel oleh enzim selulase lebih mudah. Kalus embriogenik dari nuselus menghasilkan rata-rata jumlah protoplas yang sama banyak yaitu 1.4x105 baik dari perlakuan enzim 1 maupun perlakuan enzim 2. Dari hasil percobaan yang dilakukan diperoleh bahwa penggunaan kalus embriogenik dari nuselus sebagai sumber protoplas lebih baik dari pada kalus embriogenik yang berasal dari embrio (Tabel 14). Hal ini disebabkan oleh perbedaan struktur kalus yang dihasilkan antara nuselus dan embrio. Kalus yang berasal dari nuselus lebih halus dibandingkan kalus dari
A
B
C
D
Gambar 9. Penampakan struktur kalus yang berasal dari nusellus (A) dan embrio (B) serta pada saat inkubasi dalam larutan enzim (C dan D).
59
Tabel 14. Produksi protoplas dari kalus embriogenik nuselus dan embrio dari dua kombinasi enzim yang berbeda setelah inkubasi 16 jam setelah dimurnikan dengan campuran 25% sukrosa + 13% manitol dalam larutan CPW. Asal dari kalus
Rata-rata jumlah protoplas/g daun Enzim 1
Enzim 2
Nuselus
1.4x105
1.4x105
Embrio
6.2x104
8.6x104
Keterangan: Enzim 1= selulase 1%+maserozim 1% dan enzim 2= selulase 1%+maserozim1%+pectoliyase
embrio sehingga aktivitas enzim maserozim lebih mudah mendegradasi pektin antar sel sehingga terjadi pemisahan sel dan degradasi dinding sel oleh enzim selulase lebih mudah. Kalus embriogenik dari nuselus menghasilkan rata-rata jumlah protoplas yang sama baik dari perlakuan enzim 1 maupun perlakuan enzim 2 yaitu 1.4x105. Rata-rata jumlah protoplas dari kalus embriogenik pada perlakuan enzim 1 adalah sebanyak 6.2x104 dan 8.6x104 dari perlakuan enzim 2. Hal ini disebabkan oleh banyaknya protoplas yang pecah pada saat sentrifugasi atau pemipetan pada saat preparasi protoplas sampai pemurnian. Warna protoplas yang dihasilkan berbeda dengan warna protoplas yang berasal dari mesofil daun. Protoplas yang berasal dari kalus tidak berwarna hijau (bening) karena kalus merupakan kelompok sel yang belum terarah diferensiasinya. Penggunaan jenis dan konsentrasi enzim dalam isolasi protoplas seringkali ditentukan oleh harga dan spesifitas enzim yang digunakan. Berdasarkan rata-rata jumlah protoplas yang dihasilkan dari perlakuan enzim 1 dengan enzim 2 diperoleh bahwa kombinasi enzim yang lebih sederhana (enzim 1) sudah baik digunakan untuk isolasi protoplas dari daun
maupun
kalus
embriogenik
jeruk siam Simadu,
Pontianak, dan Mandarin Satsuma karena densitas protoplas yang dihasilkan adalah 105 protoplas/g eksplan. Oleh karena itu
pada percobaan berikutnya hanya
menggunakan larutan enzim 1 saja yang digunakan untuk mengisolasi protoplas kalus embriogenik dari nuselus dari jeruk siam Simadu dan Pontianak. Untuk jeruk Mandarin Satsuma tidak dilakukan akibat sulitnya mendapatkan biji pada buah yang
60
muda karena bijinya sangat terbatas (seedless). Dari hasil percobaan tersebut diperoleh bahwa enzim 1 dapat mengisolasi protoplas kalus embriogenik (Tabel 15). Berdasarkan pengamatan yang dilakukan secara mikroskopis terlihat bahwa protoplas yang terisolasi
pada saat inkubasi dalam larutan enzim lebih banyak dari pada
protoplas yang terisolasi setelah dilakukan pemurnian (Gambar 10). Hal ini disebabkan oleh adanya protoplas yang pecah pada saat pemipetan dan resuspensi pada waktu sentrifugasi serta pencucian untuk menghilangkan pengaruh larutan enzim.
Tabel 15. Produksi protoplas kalus embriogenik dari nuselus yang dihasilkan dari kombinasi enzim 1 setelah inkubasi 16 jam dan dimurnikan dengan campuran 25% sukrosa+13% manitol dalam larutan CPW. Rata-rata Protoplas/g daun (105)
Jenis jeruk Siam simadu
1.4 ± 5.2
Siam Pontianak
1.5 ± 6.0
A
B
C
D
Gambar10. Penam pakan protoplas sebelum dan sesudah pemurnian dengan larutan sukrosa 25% + manitol 13% (A dan C=protoplas siam Simadu sebelum (10X) dan sesudah pemurnian (20X), B dan D=protoplas siam Pontianak sebelum (10X ) dan sesudah pemurnian (20X).
61
A
B
C
D
Gambar 11. Perbedaan warna protoplas yang diisolasi dari kalus dan mesofil daun (A dan C=isolasi protoplas dari kalus, B dan D=isolasi protoplas dari mesofil daun). Perbedaan warna protoplas yang berasal dari daun dan yang berasal dari kalus jelas terlihat setelah dilakukan
sentrifugasi pada saat pengapungan
dan pemurnian
protoplas dalam membentuk cincin dipermukaan larutan (Gambar 11). Bentuk cincin tersebut adalah merupakan kumpulan protoplas yang sudah terpisah dari debris maupun kotoran (protoplas murni).
Isolasi protoplas dari hasil kultur suspensi sel Selain helaian daun dan kalus friabel yang embriogenik, sel suspensi juga banyak digunakan sebagai sumber protoplas untuk mengisolasi protolas. Grosser and Gemitter (1991) mengatakan bahwa secara umum dalam fusi protoplas untuk mendapatkan hibrida somatik pada tanaman jeruk menggunakan protoplas yang diisolasi dari daun, kalus atau suspensi sel. Fu et al. (2003) menggunakan suspensi sel C. sinensis sebagai sumber protoplas untuk difusikan dengan protoplas dari daun Clausena lansium.
Cai et al. (2007) juga menggunakan hal yang sama untuk
memfusikan antara C. grandis dan C. sinensis dengan Mandarin Satsuma (C. unshiu).
62
Penggunaan protoplas yang diisolasi dari kalus embriogenik atau suspensi sel sebagai salah satu sumber protoplas dan protoplas lainnya berasal dari daun dalam fusi protoplas adalah untuk memudahkan pengamatan pada saat finduksi fusi. Protoplas yang yang mengalami fusi akan jelas teramati secara mikroskopis karena adanya perbedaan warna protoplas yang digunakan. Protoplas yang berasal dari kalus tidak berwarna dan protoplas dari daun berwarna hijau. Perlakuan enzim 1 untuk mengisolasi protoplas dari
suspensi sel yang
dikultur pada media cair MP2 + 3 mg/l BA selama 1 bulan jeruk siam Simadu dan Pontianak pada percobaan ini
menunjukkan bahwa protoplas yang terisolasi
jumlahnya hanya sedikit sehingga tidak bisa dilanjutkan untuk pemurnian protoplas. Hal ini diduga disebabkan oleh suspensi sel
yang digunakan relatif masih banyak
mengandung air (media cair) meskipun sudah dilakukan sentrifugasi. Adanya air pada suspensi sel dapat menyebabkan terganggunya keseimbangan tekanan osmotik di dalam sel dan di luar sel sehingga protoplas menjadi pecah atau konsentrasi enzim tersebut berubah sehingga kemampuan untuk mendegradasi dinding sel menjadi menurun.
Simpulan 1. Media dasar MW (Morel dan Wetmore) dapat digunakan untuk mengecambahkan biji dan menginduksi kalus embriogenik dari jaringan nuselus dan embrio muda. 2. Daun in vitro dan kalus embriogenik dapat digunakan sebagai sumber untuk isolasi protopolas dari tanaman jeruk siam Simadu, siam Pontianak dan dan Mandarin Satsuma. 3.
Kombinasi enzim selulase 1% (selulase onozuka Yakult RS) dengan maserosim 1% (Yakult R-10) merupakan komposisi enzim yang dapat digunakan untuk mengisolasi protoplas yang berasal dari kalus embriogenik dengan kerapatan yang tinggi (105 protoplas/g eksplan).
63
4. Penambahan manitol 13% dalam larutan purifikasi (sukrosa 25%) dapat meningkatkan perolehan jumlah protoplas dari daun in vitro dan kalus embriogenik. 5. Protoplas yang dihasilkan dari daun in vitro mempunyai perbedaan warna yang berbeda dengan protoplas yang berasal dari kalus emriogenik. Warna protoplas yang berasal dari daun berwarna kehijauan sedangkan protoplas yang berasal dari kalus tidak berwarna
Daftar Pustaka Bawa SB, Torrey JG. 1971. Budding and nuclear division in cultured protoplast of corn, Convolvulus and union. Botan. Gaz. 132:240-245. Bajaj YPS. 1977. Protoplast isolation, culture and somatic hybridization. In: Reinert J And Bajaj YPS (Ed.). Applied and Fundamental Aspect of Plant Cell, Tissue, and Organ Culture. pp.467-496. Springer-Verlag, Berlin. Bhojwani SS, Razdan MK. 1983. Plant Tissue Culture: theory and Practice. Elsevier, Amsterdam.237-260. Binding H, Jain SM, Finger J, Mordhosrst G, Nehls R, Gresel J. 1982. Somatic hybridization of an atrazine resistance biotype of Solanum nigrum with S. tuberosum. Part I: Clonal variation in morphplogy and in antrazine sensitivity. Theor. Appl. Genet.63:273-277. Cai XD, Fu J, Deng XX, Guo WW. 2007. Production and molecular characterization of potential seedless cybrid plants between pollen steril Satsuma mandarin and two seedy Citrus cultivars. Plant Cell Tiss Organ Cult. 90:275-283. Calixto MC, Filho FAA, Mendes BMJ, Vieira MLC. 2004. Pesq. Agropec. Bras. 39(7):1-6. Carimi F. 1992. Somatic embryogenesis and organogenesis in Citrus for sanitation and in vitro conservation. Options Mediterrania, Serie B (233):115-128 Cocking EC. 1960. A method for isolation of plant protoplasts and vacuola. Nature. 187:962-963. Cocking EC. 1970. Virus uptake, cell wall regeneration and virus multiplication in isolated plant protoplasts. Intl. Rev. Cytol.28:89-124.
64
Davey MR, Cocking EE, Bush E. 1973. Isolation of legume root nodule protoplast of. Nature 244:460-461. Ferreira DI, Zelcer A. 1989. Advances in protoplast research Solanum. Intl. Rev. Cytol. 115:1-65. Fu CH, Guo WW, Liu JH, Deng XX. 2003. Regeneration of Citrus sinensis + Clausena lansium intergeneric triploid ang tetraploid somatic hybrids and their molecular identification. In Vitro Cell Dev. Sci.20:251-255. Grosser JW, Gmitter FG Jr. 1990. Protoplast fusion and citrus improvement. Plant Breeding Reviews. Portland, V.8, p.339-374. Grosser JW, Gmitter FG Jr. 1991.Protoplast technology in tropical fruit, improvement, with focus on Citrus. Workshop on Agricultural Biotechnology Bogor, May 21-24. Grosser JW, Gmitter FG, Tusa N, Reforgiato G, and Cucinotta. 1996. Further evidence of a cybridization requirement for plant regeneration from citrus leaf protoplast following somatic fusion. Plant Cell Rep. 15:672-676. Grosser JW, Ollitrault P, Olivares-Fuster O. (2000). Somatic hybridization in Citrus: an effective tool to facilitate variety improvement. In Vitro Cell Dev Biol Plant 36:434-449. Grosser JW, Gmitter FG. 2005. Application of somatic hybridization and cybridization in crop improvement, with citrus as a model. In vitro Cell Dev. Biol Plant 39:360-364. Hall MD, Cocking EC. 1974. The response of isolated avena coleptile protoplast indole 3-acetic acid. Protoplasma 19:225-234. Husni A, Wattimena GA, Mariska I, Purwito A. 2003. Keragaman genetic tanaman terung hasil regenerasi protoplas. Jurnal bioteknologi Pertanian. 8(2):52-59. Husni A, Mariska I, Hobir. 2004. Fusi Protoplas dan regenerasi protoplas hasil fusi antara Solanum melongena dengan S. torvum. Jurnal Bioteknologi Pertanian 9(1):1-8. Jaskani MJ. 1998. Interploid hiybridization and regeneration of kinnow mandarin. A Thesis submitted in partial fulfiment of the requirements for the degree of Doctor of Philosophy in Horticulture Faculty of Agriculture University of Agriculture Faisal Abad, Pakistan.p.169.
65
Kobayashi S, Uchimaya H, Ikeda I. 1983. Plant regeneration from ‘Trovita’ orange protoplasts. Japan J. Breed.33:119-122. Kochba J, Spiegel-Roy P, Safran H. 1972. Adventive plants from ovules and nucelli in citrus. Planta 106:237-245. Mendes-da-Gloria FJ, Maurao Filho FA, Demetrio CGBm, Mendes MJ. 1999. Embryogenic calli induction from nucellar tissu of Citrus cultivars. Sci. Agric. (56) 4: 1-11. Mendes-da-Gloria FJ, Maurao Filho FA, Camargo LEA, and Mendes BMJ. 2000. Caipira sweet orange Rangpur lime: a swomatic hybrid with potential for use as rootstock in the Brazilian citrus industry. Genetic Molecular Biology, v.23, p. 661-665. Morel G, Wetmore RH. 1951. Fern callus tissue culture. Am. J. Bot. 38:141-143. Ohgawara T, Kobayasi S, Ishii S, Yoshinaga K, Oiyama I. 1991. Fertile fruit trees obtained by somatic hybridization: novel orange (Citrus sinensis) + Troyer citrange (C. sinensis x Poncirus trifoliate). Theor. Appl. Genet. 81:141-143. Potrykus I. 1973. Transplantion of chloroplast Zpflanzenphy siol 70:364-366.
into
protoplast of
petunia.
Purwito A. 1999. Fusi protoplas intra dan interspesies pada tanaman kentang. Disertasi Program Pasca Sarjana. IPB. Bogor. Serraf
I, 1991. Evaluation des Combinations Genomiques Obtenues par Hybridization Somatique entre la Pomme de Terre (Solanum tuberosum L.) et des Solanaceaes de Plus ou Moins Grandes Affinites Phylogenetiques. These, Universite de Paris-Sud, Centre d”Orsay, France.
Schenk RU, Hildebrant AC. 1969. Production of protoplast from plant cells in liquid culture using purified commercial cellulase. Crop. Science 9:629-631. Sihachakr D. 1998. Culture Media and Protocols for Isolation and Fusion of Prtoplasts of Eggplant. Morphogenese Vegetale Experimentale, Bat.360.Universite Paris Sud, France (Tidak dipublikasi). Suryowinoto M. 1990. Pemuliaan Tanaman Secara In vitro. Petunjuk laboratorium. PAU. Biotek.Universitas Gajah Mada, Yogyakarta. 321h. Tusa N, Patta del Bosco S, Nigro F, and Ippolito A. 2000. Response of cybrids and a somatic hybrid of lemon to Phoma tracheiphila infections. HortScience 35:125-127.
66
Veilleux RE, ME Compton, Saunders JA. 2005. Use of Protoplasts for Plant Improvement In Trigiano RN and Gray DJ (Eds) Plant Development and Biotechnology.187-200pp. CRC Press LLC. Vardi A, Breiman A, Galun E. 1990. Citrus cybrids: production by donor-recipient protoplast fusion and verification by mitochondrial-DNA restriction profiles. Theor. Appl. Genet., 75:51-58. Wenzel G. 1980. Protoplast techniques incorporated in to applied breeing program. In; Frenzyl L, Farkas (eds.). Advances in Protoplast Research. Pergamon Press.Oxford. Pp.327-340.
66
BAB V
OPTIMASI INDUKSI FUSI MENGGUNAKAN PEG PADA PROTOPLAS TANAMAN JERUK Ringkasan Konsentrasi dan lama inkubasi dalam larutan PEG sangat berpengaruh terhadap induksi fusi protoplas jeruk siam Simadu dengan mandarin Satsuma. Konsentrasi PEG yang tinggi dapat meningkatkan frekuensi fusi protoplas sedangkan konsentrasi yang rendah menghasilkan frekuensi fusi yang rendah. Dari hasil penelitian yang telah dilakukan diperoleh bahwa kombinasi enzim selulase Onozuka (R-10 Yakult) 1% dengan maserozim (R-10-Yakult) 1% dalam larutan CPW dapat mengisolasi protoplas sebanyak 13.9 X 105 protoplas/gram dari mesofil daun dan 15.1 X 105 protoplas/gram dari kalus embriogenik. Semakin lama waktu inkubasi dalam larutan PEG maka semakin banyak jumlah protoplas yang mengalami fusi baik PEG konsentrasi tinggi (30%) maupun konsentrasi rendah (4%). Penggunaan induksi PEG 30% lebih efektif untuk menginduksi terjadinya fusi dari pada 4%. Tipe fusi yang dihasilkan adalah binner fusi (hetero fusi dan homo fusi) dan multi fusi. Rata-rata jumlah hetero fusi yang dihasilkan dari binner fusi yang diinduksi dengan PEG 30% adalah 1.6 dari inkubasi 5 menit, 3.6 dari inkubasi 10 menit dan 4.8 dari inkubasi 15 menit. Rata-rata jumlah hetero fusi yang dihasilkan dari binner fusi menggunakan PEG 4% adalah 1.2 dari inkubasi 5 menit, 1.8 dari inkubasi 10 menit dan 3.0 dari inkubasi 15 menit. Frekuwensi fusi meningkat setelah penambahan 200 µl larutan pencuci. Ratara-rata jumlah heterofusi dari induksi PEG 30% menjadi 7.2 dan 3.6 dari induksi fusi PEG 4%.
Kata kunci: Fusi protoplas, optimasi fusi,konsenterasi PEG, jeruk siam Simadu, dan Mandarin Satsuma.
67
OPTIMIZATION OF FUSION INDUCTION USING A PEG ON CITRUS PROTOPLAST Abstract Concentration and duration of incubation in a solution of PEG strongly affected the fusion induction of siam Simadu with mandarin Satsuma. High concentrations of PEG can increase the frequency of fusion, while the low concentration produces a low frequency of fusion. From the results showed that the combination of cellulase Onozuka (Yakult R-10) 1% with macerozim (-R-10 Yakult), 1% in CPW solution can isolate protoplasts 13.9 x 105 protoplasts /g leaf mesophyl and 15.1 x 105 protoplasts /g embryogenic callus. The longer time of incubation in PEG solution, more number of protoplast fusion either a high concentration of PEG (30%) or low concentration (4%). Using of PEG 30% more effective for inducing fusion of the use of 4% PEG. Fusion type resulting from the induction of fusion with PEG is a binary fusion (hetero and homo fusion) and multi-fusion. The average amount of hetero fusion generated from induction of binary fusion by PEG 30% is 1.6 from 5-minute incubation, 3.6 from 10 minute incubation and 4.8 from 15 minutes incubation. Average number of hetero fusion resulting from binary fusion using PEG 4% is 1.2 from 5-minute incubation, 1.8 from 10 minute incubation and 3.0 from 15 minutes incubation. Fusion frequency increased after the addition of 200 µl washing solution. Average number of induction hetero fusion from PEG 30% is 7.2 and 3.6 from PEG 4%.
Keywords : Protoplasts fusion, optimization fusion, PEG concentration, citrus siam Simadu, and Mandarin Satsuma.
68
Pendahuluan
Fusi protoplas adalah salah satu metode dalam pemuliaan tanaman menggunakan sel somatik sebagai bahan persilangan, khususnya bila hasil persilangan interspesifik dan intergenerik selalu gagal karena adanya faktor genetik alami (inkompatible). Usaha untuk memfusikan sel somatik pada tanaman sudah dimulai sejak tahun 1930 han menggunakan bahan kimia oleh Winkler, Kuster dan Michel (Power et al. 1975; Saunders and Bates 1972). Fusi protoplas telah didemonstrasikan
pada
sejumlah
spesies.
Michel
pada
tahun
1937
mendemonstrasikan fusi protoplas menggunakan NaNO 3 sebagai bahan penginduksi terjadinya fusi protoplas. Fusi yang terjadi sangat jarang dan produk hasil fusi yang dihasilkan tidak dapat dikulturkan (Power et al. 1970). Carlson (1970) menghasilkan tanaman hibrida somatik melalui fusi protoplas antara tanaman Nicotiana glauca Graham dan N. Langsdorfii Weinm. Power et al. (1975) juga telah berhasil memfusikan protoplas Petunia dengan Parthenocissus menghasilkanhibrida yang tidak sejati karena semua kromosom Petunia hilang. Kameya, (1984) menggunakan dextran sulfat untuk fusi protoplas dan Gleba dan Sidorov, (1984) mengunakan dimetil sulfoksida (DMSO) dan Conconavalisa A untuk menginduksi fusi protoplas. Fusi protoplas dapat terjadi secara spontan atau dapat dinduksi secara kimiawi atau fisik dengan energi listrik (Grosser and Gemitter, 1990). Secara kimia dapat diinduksi menggunakan larutan garam tertentu (NaNO 3, NaCl, KNO 3 , dan KCl), asam lemak, ion kalsium dan pH tinggi, polifenil alkohol (PVA), dextran sulfat, polietilen glikol (PEG) (Boss, 1987; Purwito, 1999; Veilleux et al., 2005).dan induksi fusi dengan arus listrik (Sihachakr, 1998; Purwito, 1999; Veilleux et al., 2005). Metode fusi secara kimia yang banyak digunakan saat ini adalah penambahan PEG pada campuran protoplas karena sederhana dan efisien (Mouraho Filho 1995; Mouraho Filho et al. 1996). Metode ini pertama kali dilaporkan oleh Kao dan Mychailuck (1975) pada tanaman Vicia hajastana. Menurut Constabel (1980), PEG yang efektif untuk menginduksi fusi protoplas adalah PEG 1540 (BM=1300-1600), 4000 (BM=3000-3700) dan 6000 (BM=6000-7000). Konsentrsai PEG optimal bagi
69
suatu jenis protoplas dapat diperoleh melalui serangkaian percobaan karena sangat tergantung kepada berat molekul PEG yang digunakan, konsentrasi PEG dan lama inkubasi dalam larutan PEG. Constabel (1980) menunjukkan bahwa konsentrasi PEG optimal untuk fusi protoplas adalah 25-33%. Yang et al. (1988); Cheng-qi et al. 2004) menggunakan PEG konsentrasi rendah (4%) untuk memfusikan protoplas padi (Oriza sativa L.) dengan padi liar (O. Meyeriana L.) Penggunaan PEG dalam induksi fusi protoplas di beberapa laboratorium pada tanaman jeruk telah banyak digunakan untuk mendapatkan hibrida baru seperti di Amerika serikat (Gemitter Junior et al. 1992; Grosser 1994), di Israel (Vardi et al. 1987; Spiegel-Roy 1996); Jepang (Kobayashi and Ohgawara 1988, Miranda et al. 1997); Prancis (Ollitrault and Luro 1995; Ollitrault et al. 1996), dan di Brazil (Oliveira et al. 1994).. Tujuan dari penelitian ini adalah untuk mendapatkan konsentrasi PEG dan lama inkubasi dalam larutan PEG yang dapat menghasilkan frekuwensi fusi yang tinggi dari protoplas tanaman jeruk.
Bahan dan Metode Penelitian dilaksanakan di Laboratorium Kultur Jaringan, Kelompok Peneliti Biologi Sel dan Jaringan, Balai Besar Penelitian dan Pengembangan Bioteknologi dan Sumberdaya Genetik Pertanian, Bogor. Penelitian dimulai pada bulan JanuariMaret, 2008. Protoplas yang digunakan untuk induksi fusi adalah protoplas yang diisolasi dari kalus embriogenik
dari nuselus yang dikultur pada media MW+3mg/l
BA+500mg/l ekstrak malt (EM) dan mesofil daun in vitro hasil perbanyakan tunas pada media MW+500mg/l dari tanaman jeruk siam Simadu. Penggunaan dua jenis protoplas tersebut dilakukan untuk memudahkan di dalam pengamatan karena adanya perbedaan warna protoplas yang dihasilkan tanpa harus menggunakan penanda berdasarkan pewarnaan. Enzim yang digunakan untuk isolasi protoplas adalah kombinasi enzim selulase Onozuka RS10-Yakult 1% dan
maserozim RS10-Yakult 1% dengan
70
penambahan 0,7 M manitol, 24,5 mM CaCl2, 0,92 mM NaH 2 PO 4, dan 6,15 mM MES yang disterilisasi dengan millifor 0,22 mikron. Metode yang digunakan untuk isolasi protoplas menggunakan kombinasi metode Grosser and Gemitter Junior (1990) dan Sihachakr, (1998). Penelitian terdiri dari dua tahap percobaan yang saling berurutan yaitu isolasi protoplas dan fusi protoplas.
Isolasi protoplas Isolasi protoplas dari mesofil daun in vitro dilakukan dengan cara bagian mesofil
helaian daun
digores secara merata dengan pisau jarak ± 1- 2 mm
(horizontal). Helaian daun yang telah didigores dimasukkan ke dalam 5 cawan petri (50mm x 15mm) yang telah berisi 5 ml larutan enzim dimana bagian mesofil daun yang sudah digores diletakkan pada bagian bawah sehingga bagian yang luka langsung kontak dengan larutan enzim. Isolasi protoplas dari kalus dilakukan dengan cara memasukkan kalus ke dalam 5 cawan petri (50mm x 15mm) yang telah berisi 5 ml larutan enzim Inkubasi daun in vitro dan kalus dalam larutan enzim dilakukan tanpa cahaya pada suhu ruang selama 16 jam (overnight). Untuk membantu lepasnya sel protoplas dari jaringan mesofil daun dan kalus dilakukan penggoyangan secara horizontal selama 30-60 detik pada akhir inkubasi. Suspensi siap untuk disaring dan dilakukan pemurnian protoplas. Pemurnian rotoplas dilakukan dengan cara
disaring agar terpisah dari
jaringan daun dan kalus dengan cara mengambil larutan enzim yang mengandung suspensi protoplas dengan pipet steril dengan saringan metallic sieve ukuran 63 µm ke dalam tabung gelas. Suspensi dibagi ke tabung sentrifus ukuran 15 ml, kemudian disentrifugasi dengan kecepatan 1200 rpm selama 5 menit untuk mengendapkan protoplas. Larutan enzim (supernatan) dibuang dengan cara menyedot dengan pipet steril secara hati-hati agar endapan protoplas tidak terbawa sehingga tinggal pellet saja. Untuk mengapungkan protoplas sehingga diperoleh protoplas yang murni dilakukan dengan larutan purifikasi (campuran sukrosa 25% dengan manitol 13%).
71
Pemurnian protoplas dilakukan dengan cara memasukkan 5 ml sukrosa 25% + 3 ml larutan manitol 13% dalam larutan CPW ke dalam tabung sentrifus yang berisi pellet dan diresuspensi dengan pipet secara perlahan. Kemudian dilakukan sentrifugasi selama 10 menit pada kecepatan 1200 rpm sehingga protoplas terapung pada bagian permukaan larutan furifikasi membentuk cincin. Pencucian protoplas dilakukan dengan cara protoplas yang terapung diambil dengan pipet secara perlahan dan dimasukkan dalam tabung sentrifus yang baru. Selanjutnya dicuci dengan menambahkan 5 ml larutan pencuci (0,5 M manitol + 0,5 mM CaCl2) untuk menghilangkan pengaruh enzim dan sukrosa. Sentrifugasi dilakukan selama 5 menit sehingga terbentuk pellet protoplas. Supernatan dibuang dengan pipet secara perlahan dan hati-hati. Pencucian dilakukan sebanyak dua kali dengan cara yang sama, pada akhir pencucian, pellet protoplas diresuspensi dengan 1- 2 ml larutan pencuci (tergantung jumlah protoplas yang dihasilkan)
secara
perlahan. Protoplas yang telah diresuspensi diambil 0.1 ml dan diencerkan kembali dengan larutan pencuci sebanyak 0.9 ml (10 kali). Kemudian dimasukkan dalam gelas haemositometer lalu dilakukan penghitungan protoplas secara mikroskopis. Haemositometer yang dipergunakan mempunyai bidang-bidang volume, dimana setiap bidang volume = 1.25 mm3 (panjang x lebar x kedalaman = 10 mm x 0.5 mm x 0.25 mm). Banyaknya protoplas dihitung persetiap bidang pandang volume tersebut sebanyak 3 kali. Rata-rata dari 3 kali penghitungan adalah jumlah protoplas per volume bidang pandang (1.25 mm3 ) atau 800 x jumlah rata-rata protoplas per ml sampel. Pengamatan dilakukan terhadap rata-rata jumlah protoplas yang dihasilkan untuk menentukan densitas protoplas yang diperoleh.
Fusi protoplas Protoplas yang berasal dari kalus embriogenik dan mesofil daun dicampur dengan perbandingan volume yang sama (1:1 v:v). Campuran protoplas tersebut dimasukkan ke dalam cawan petri plastik steril berdiameter 5 cm masing-masing sebanyak 200 µl. Untuk menginduksi terjadinya fusi dilakukan secara kimiawi
72
dengan menambahkan larutan PEG 8000 konsentrasi
30 % dan 4% sebagai
perlakuan dengan cara menambahkan 25 µl larutan PEG di empat titik sekeliling suspensi protoplas yang telah dicampur. Inkubasi dilakukan selama 5, 10 dan 15 menit. Dari hasil perlakuan tersebut akan diperoleh waktu inkubasi dalam larutan PEG konsentrasi tinggi yang paling baik untuk menginduksi terjadinya fusi pada protoplas tanaman jeruk. Pengamatan dilakukan secara mikroskopik (in verted) dengan cara menghitung jumlah dan persentase protoplas yang mengalami fusi setelah diberi perlakuan PEG. Dari pengamatan tersebut akan dapat dilihat tipe fusi protoplas yang terjadi (homo fusi, binner fusi, dan multi fusi). Untuk meningkatkan terjadinya frekuensi fusi dilakukan dengan cara menambahkan 200 µl larutan pencuci (0,5 M manitol + 0,5 mM CaCl2) karena protoplas yang menempel akan berfusi setelah diberikan larutan pencuci. Kemudian diamati kembali secara mikroskopik untuk mengetahui keadan protoplas setelah penambahan larutan pencuci.
Hasil dan Pembahasan
Isolasi protoplas Metode isolasi protoplas dilakukan dengan cara yang terbaik dari penelitian sebelumnya (studi isolasi protoplas). Dari hasil isolasi protoplas yang telah dilakukan diperoleh bahwa jumlah protoplas yang dihasilkan densitasnya cukup tinggi yaitu 105 protoplas/g sumber protoplas. Rata-rata jumlah protoplas yang dihasilkan dari kalus embriogenik lebih banyak dibandingkan jumlah protoplas yang dihasilkan dari mesofil daun (Tabel 16). Densitas protoplas yang dihasilkan dari kalus embriogenik adalah 15.1 x105 protoplas/gram kalus dan 13.9 x105protoplas/gram mesofil daun. Adanya perbedaan densitas protoplas yang dihasilkan disebabkan oleh sel-sel yang terdapat pada kalus embriogenik
lebih mudah diisolasi
karena
kalus yang
73
Tabel 16. Rata-rata jumlah protoplas yang dihasilkan dari mesofil daun dan kalus embriogenik yang diisolasi dengen enzim selulase 1%+maserozim 1% yang diinkubasi selama 16 jam. ------------------------------------------------------------------------------------------------------Sumber protoplas Mesofil daun Kalus embriogenik digunakan
Densitas protoplas (protoplas/gsumber protoplas) 13.9 x105 15.1 x105
merupakan kumpulan dari populasi sel yang merupakan hasil proses
dediferensiasi dari jaringan nuselus membentuk kalus embriogenik yang sangat friabel sedangkan mesofil daun merupakan jaringan yang sudah lengkap dan mempunyai kandungan lignin yang lebih banyak. Banyaknya kandungan lignin yang terkandung di dalam jaringan daun tergantung dari asal tanaman donor. Jaringan daun yang berasal dari hasil kultur in vitro mengandung kandungan lignin yang lebih sedikit dibandingkan kandungan lignin jaringan daun yang berasal dari pertanaman di lapang. Bila diamati secara mikroskopik, kalus yang digunakan banyak mengandung sel-sel tunggal dan pre-embrio (Gambar 12). Selain perbedaan jumlah dari protoplas yang dihasilkan, perbedaan juga ditunjukkan oleh adanya warna hijau pada bagian dalam protoplas yang diisolasi dari jaringan daun (Gambar 12E). Warna hijau tersebut disebabkan oleh kandungan klorofil yang terdapat pada daun. Sedangkan protoplas yang berasal dari kalus tidak memperlihatkan warna hijau karena sel-sel dari kalus tidak mengandung klorofil (Gambar 12F). Adanya perbedaan warna protoplas yang dihasilkan dari kalus dan daun sangat menguntungkan pada saat induksi fusi sehingga lebih mudah diamati peluang terjadinya fusi yang diinginkan. Terjadinya hetero fusi, homo fusi, dan multifusi dapat teramati secara jelas di bawah mikroskop. Hetero fusi akan terlihat merupakan gabungan dari dua protoplas yang berwarna kehijaun (protoplas dari daun) dengan protoplas yang tidak berwarna (protoplas dari kalus). Demikian juga halnya dengan homo fusi terlihat merupakan gabungan dari dua protoplas yang berwarna hijau atau gabungan dari dua protoplas
74
yang tidak berwarna sedangkan yang multi fusi merupakan gabungan lebih dari dua protoplas.
Fusi protoplas Polietilen glikol HOCH2(CH2-O-CH2)nCH2OH (PEG) adalah senyawa kimia yang larut dalam air. PEG dalam air mempunyai muatan sedikit negatif dan mampu membentuk ikatan hidrogen dengan membran plasma pada protoplas. Dalam fusi protoplas, PEG berfungsi sebagai jembatan antar dua protoplas atau lebih sehingga agregasi protoplas terjadi. Menurut Kao dan Michayluk (1975) proses fusi diawali dengan aglutinasi protoplas tanaman oleh PEG. Aglutinasi akan terjadi jika ditambahkan PEG ke dalam suspensi protoplas pada konsentrasi 25-30%. Penambahan ion Ca2+ dalam campuran PEG dengan suspensi protoplas dapat meningkatkan frekuensi protoplas berfusi karena PEG dapat mengikat Ca2+ sehingga membentuk jembatan antara membran dan PEG. Terbentuknya jembatan tersebut akan meningkatkan agregasi protoplas (Veilleux et al. 2005). Menurut Constabel (1980) konsentrasi PEG yang optimal bagi suatu jenis protoplas hanya dapat diperoleh melalui rentetan percobaan. Hal ini disebabkan oleh kepekaan protoplas berbeda-beda karena tergantung kepada banyak faktor. Faktor-faktor tersebut antara lain adalah berat molekul dari PEG yang digunakan, macam dan bahan tanaman yang digunakan sebagai sumber protoplas, macam larutan yang digunakan, lama perlakuan, kondisi fisik, temperatur, cahaya dan konsentrasi PEG yang digunakan. Konsentrasi PEG
yang tinggi dapat
bersifat
tanaman.sehingga tidak bisa diregenerasikan.
toksik terhadap protoplas
Dosis 41% ke atas PEG 6000
merupakan sitotoksik bagi tumbuh-tumbuhan pada umumnya sehingga pemakaian konsentrasi PEG pada induksi protoplas sangat perlu diperhatikan (Kao dan Michayluk 1975). Konsentrasi PEG yang baik digunakan untuk fusi protoplas adalah pada konsentrasi 25-33% (Constabel 1980). Pramana dan Lukas (1988) mendapatkan konsentrasi PEG terbaik untuk fusi protoplas angrek berkisar antara 25-35% dengan konsentrasi optimalnya adalah 30%.
75
A
B
C
D
E
F
Gambar 12. Penampakan gambar sumber protoplas yang digunakan sebelum isolasi, pada saat inkubasi dalam larutan enzim serta protoplas yang dihasilkan (A=tunas in vitro, B=kalus embrio- genik,C=inkubasi daun dalam larutan enzim, D=inkubasi kalus dalam larutan enzim, E=protoplas dari mesofil daun(20x) dan F=protoplas dari kalus (20x). Induksi fusi dengan PEG konsentrasi 30% Dari hasil penelitian yang dilakukan diperoleh bahwa lama inkubasi berpengaruh terhadap
keberhasilan fusi setelah penambahan PEG 30%. Jumlah
protoplas yang berfusi semakin banyak seiring dengan lama waktu inkubasi dalam larutan PEG. Berdasarkan hasil pengamatan tipe fusi yang dihasilkan diperoleh bahwa semakin lama waktu inkubasi semakin banyak pula jumlah protoplas yang berfusi baik yang hetero fusi, homo fusi maupun multi fusi (Gambar 13). Rata-rata jumlah multi fusi lebih banyak dari hetero fusi dan homo fusi. Hal ini sudah terlihat pada pengamatan inkubasi selama 5 menit dalam larutan PEG 30%. Rata-rata jumlah multi fusi yang dihasilkan adalah 4,8 fusan
pada inkubasi 5 menit, 7 fusan pada
inkubasi 10 menit, dan 7.4 fusan pada inkubasi 15 menit. Bila dibandingkan dengan
Rata-rata protoplas berfusii
76
8 7 6,8 7,4 5,6 7 5,6 6 4,8 3,6 5 3 4 3 1,6 2 1 0 5 menit 10 menit 15 menit
Hetero fusi Homo fusi Multi fusi
Lama inkubasi
Gambar 13. Tipe fusi (hetero, homo, dan multi fusi) dan rata-rata jumlah protoplas berfusi yang dihasilkan setelah perlakuan PEG 30% inkubasi 5, 10, dan15 menit. hasil fusi yang binner, homo fusi lebih banyak dari hetero fusi. Hal ini disebabkan oleh peluang terjadinya homo fusi dua kali lipat dari peluang terjadinya hetero fusi. Homo fusi dapat terjadi antara dua protoplas dari mesofil daun atau dua protoplas dari kalus sehingga peluangnya lebih tinggi. Rata-rata jumlah fusan yang hetero fusi adalah 1.6 inkubasi 5 menit, 3 fusan inkubasi 10 menit, dan 5.6 fusan inkubasi 15 menit serta 3.6 fusan inkubasi 5 menit, 5.6 fusan inkubasi 10 menit, dan 6,8 fusan inkubasi 15 menit. Terjadinya fusi protoplas diinduksi oleh adanya PEG yang dapat memacu terjadinya adhesi antar protoplas meskipun dapat terjadi secara spontan (Kao dan Michayluk 1975; Constabel 1980; Purwito 1999). Kemampuan PEG memacu adhesi protoplas diawali dengan aglutinasi sehingga dapat merubah fungsi membran sel protoplas. Pada saat awal membran sel tertutup, protein permukaan pindah untuk membentuk daerah yang kaya lipid. Selama periode tersebut pengaruh dehidrasi PEG pada membran sel dan kemampuan PEG mengikat posfolipid dalam membran menginduksi adhesi antar sel-sel yang berdampingan (Gamborg et al. 1981; Veilleux et al. 2005). Selain itu, cara penambahan PEG di empat titik pada campuran suspensi protoplas juga berpengaruh terhadap kemampuan PEG menginduksi fusi. Penambahan PEG pada bagian yang berlawanan akan meningkatkan frekuensi fusi karena adanya dorongan dari larutan PEG yang berlawanan sehingga dapat
77
meningkatkan frekuensi penempelan antara protoplas yang satu dengan protoplas lainnya. Sihachakr (1998) menambahkan PEG dalam empat titik yang berlawanan disekitar suspensi protoplas untuk memfusikan protoplas pada tanaman kentang dan dapat diregenerasikan menjadi tanaman. Demikian juga Husni et al. (2004) menggunakan cara yang sama untuk memfusikan protoplas tanaman terung dengan tekokak dan protoplas yang difusikan juga dapat diregenerasikan menjadi tanaman. Tipe hasil fusi protoplas biasanya menghasilkan beberapa macam tipe karena sel fusan yang dihasilkan tidak bersifat spesifik (random) sehingga tanaman yang dihasilkan melalui fusi protoplas mengandung variabilitas genetik yang tinggi. Variasi genetik yang tinggi dapat berasal dari regeneran protoplas hasil fusi yang hetero, homo fusi, dan multi fusi. Selain itu variasi juga dapat disebabkan oleh terjadi penggabungan hanya pada sitoplasma saja yang biasa disebut sibrid atau terjadi akibat proses subkultur yang berulang pada saat kultur dan regenerasi. Gamborg et al. (1981) melaporkan bahwa PEG efektif menginduksi terjadinya fusi dengan frekuwensi mencapai 50% lebih. Hasil fusi protoplas yang dihasilkan juga bersifat non-spesifik dan keragaman genetik yang dihasilkan sangat tinggi. Hal yang sama juga dilaporkan oleh Wenzel (1980); Grosser et al. (1990); Spiegel-Roy dan Goldschmidt (1996) bahwa populasi dari tanaman yang diregenerasikan dari hasil fusi protoplas juga mengandung variabilitas genetik yang tinggi. Sel-sel fusan yang terbentuk ada yang berupa hasil fusi antara dua jenis protoplas yang berbeda yang disebut dengan hetero fusi. Ada yang berupa hasil fusi dari dua jenis protoplas yang sama yang disebut dengan homo fusi dan fusi lebih dari dua protoplas yang sama, berbeda atau campuran yang disebut multi fusi (Kao dan Michayluk 1975; Constabel 1980; Sihachakr 1998; Purwito 1999; Husni et al. 2004 dan Veilleux et al. 2005). Perbedaan tipe hasil fusi yang diperoleh tersebut dapat dilihat pada gambar 14.
78
A
C
B
Gambar 14. Penampakan hasil fusi protoplas dengan perlakuan PEG 30% perbesaran 20x.(A=hetero fusi, B=homo fusi dan C=multi fusi). Frekuwensi protoplas berfusi meningkat pada tipe hetero dan homo fusi setelah penambahan 200 µl larutan pencuci (Gambar 15). Rata-rata jumlah hetero fusi meningkat dari 4.8 fusan menjadi 7.2 fusan, homo fusi dari 7 fusan menjadi 8.4, fusan, dan multi fusi
menurun dari 7.4 fusan
menjadi 6.8 fusan. Peningkatan
frekuensi fusi dapat disebabkan oleh modifikasi pH medium, adanya polikation dalam media seperti Ca2+, atau dengan efek dehidrasi. Bertambahnya frekuensi berfusi pada penelitian ini disebabkan oleh adanya ion Ca2+ dalam larutan pencuci yang ditambahkan berupa CaCl2 . Puite (1991) melaporkan bahwa penambahan CaCl2 dalam larutan pencuci dapat memacu fusi karena PEG dapat mengikat ion Ca2+ atau kation lain. Kation Ca2+ dapat membentuk jembatan antara membran protoplas dan PEG sehingga meningkatkan agregasi. Adanya ion
Ca+ tinggi dalam larutan
hipotonik dapat meningkatkan frekuwensi fusi antar protoplas (Kao dan Michayluk 1975; Veilleux et al. 2005). Bila dibandingkan
rata-rata jumlah protoplas,
multi fusi lebih sedikit
dibandingkan rata-rata jumlah binner fusi. Penurunan jumlah tersebut diduga disebabkan oleh semakin besarnya agregat protoplas yang terbentuk dari multi fusi akibat semakin banyaknya jumlah protoplas yang berfusi setelah penambahan larutan pencuci. Dengan semakin bertambah besarnya agregat-agregat multi fusi yang
7 7,4
8,4 7,2
6,8
4,8 5
Hetero fusi Homo fusi Multi fusi
0
Jumlah protoplas berfusi
10
79
Sebelum
Sesudah
Penambahan larutan pencuci
Gambar 15. Perbandingan rata-rata jumlah protoplas berfusi sebelum dan sesudah penambahan larutan pencuci 200 µl ke dalam suspensi protoplas yang telah difusi dengan PEG 30%. terbentuk akan memperkecil peluang jumlah multi fusi yang teramati pada bidang pandang yang terlihat dibawah mikroskop pada perbesaran yang sama (20 kali). Sedangkan yang binner fusi peluang teramati di bawah mikroskop tetap sama sehingga jumlah protoplas yang binner fusi yang teramati lebih banyak.
Induksi fusi dengan PEG konsentrasi rendah (4%). Penggunaan PEG 4% untuk induksi fusi dilakukan untuk melihat apakah PEG konsentrasi rendah dapat memacu terjadinya fusi karena besarnya konsentrasi menentukan keberhasilan kultur dalam regenerasi setelah fusi. Constabel (1980) melaporkan bahwa penggunaan dosis PEG untuk induksi fusi perlu diperhatikan karena di atas dosis tertentu mempengaruhi keberhasilan pada saat kultur .Gamborg et al. (1981) mengatakan bahwa penambahan PEG konsenterasi rendah (5% PEG 1540) pada susupensi protoplas dapat juga meningkatkan adhesi protoplas. Yang et al. (1988); Cheng-qi et al. (2004) menggunakan PEG konsentrasi rendah (4%) untuk memfusikan protoplas padi (Oriza sativa L.) dengan padi liar (O. meyeriana L.).
80
Berdasarkan hasil penelitian yang dilakukan diperoleh bahwa semakin lama waktu inkubasi dalam larutan PEG maka semakin banyak rata-rata jumlah protoplas yang berfusi. Rata-rata jumlah multi fusi yang dihasilkan lebih banyak dari pada yang binner fusi (Gambar 16). Rata-rata jumlah fusan yang dihasilkan adalah 1.2 yang hetero fusi, 1.8 yang homo fusi, dan 3.0 yang multi fusi pada induksi fusi selama 5 menit. Rata-rata jumlah fusan yang dihasilkan dari induksi fusi selama 10 menit adalah 2.2 hetero fusi, 3.8 homo fusi, dan 4.0 multi fusi serta
2.4 hetero fusi, 4.2
homo fusi, dan 4.8 hetero fusi dari induksi fusi selama 15 menit. Sebagaimana hasil fusi yang digunakan dengan PEG 30%, tipe fusi yang dihasilkan dengan PEG 4% juga bersifat rendom. Tipe fusi yang dihasilkan ada yang binner (hetero dan homo fusi) dan multi fusi. Hal ini jelas terlihat dari penggabungan dari dua protoplas yang berbeda (hetero fusi), penggabungan dari dua protoplas yang
Rata-rata protoplas berfusi
sama (homo fusi), gabungan dari beberapa protoplas (multi fusi) (Gambar 17).
5 4,5 4 3,5 3 2,5 2 1,5 1 0,5 0
3,8 3 2,2
4,2
4
4,8
2,4
1,8
Hetero fusi
1,2
Homo fusi Multi fusi
5 menit
10 menit
15 menit
Lama Inkubasi
Gambar 16. Tipe fusi (hetero, homo, dan multi fusi) dan rata-rata jumlah protoplas berfusi yang dihasilkan setelah perlakuan PEG 4% inkubasi 5, 10, dan 15 menit.
81
B
C A
Jumlah protoplas berfusi
Gambar 17. Induksi fusi antara protoplas yang diisolasi dari mesofil daun dankalus untuk mendeteksi fusi hetero karion dengan PEG 4% (perbesaran 20x) (A=heterofusi, B=homo fusi dan C=multi fusi)
5,6
6 5 4
5,6
4,8 4 3
3,6
3
Hetero fusi
2
Homo fusi Multi fusi
1 0
Sebelum
Sesudah Penambahan larutan pencuci
Gambar 18. Perbandingan rata-rata jumlah protoplas berfusi sebelum dan sesudah penambahan larutan pencuci 200 µl ke dalam suspensi protoplas yang telah difusi dengan PEG 4%. Penambahan 200 µl larutan pencuci
yang mengandung CaCl2 setelah
perlakuan inkubasi dalam larutan PEG 4% juga dapat meningkatkan frekunsi fusi sebagai mana penambahan larutan pencuci pada induksi fusi dengan PEG 30% (Gambar 18). Dari gambar 18 dapat diketahui bahwa rata-rata jumlah hetero fusi
82
bertambah jumlahnya dari 3 fusan menjadi 3.6 fusan, homo fusan dari 4 fusan menjadi 5.6 fusan, dan multi fusan dari 4.8 fusan menjadi 5.6 fusan. Simpulan 1. Kombinasi enzim selulase Onozuka (R-10 Yakult) 1% dengan maserozim (R10-Yakult) 1% dalam larutan CPW dapat mengisolasi protoplas sebanyak 13.9 X 105 protoplas/gram dari mesofil daun dan
15.1 X 105 protoplas /g
dari kalus embriogenik. 2. Lama waktu inkubasi dalam larutan PEG berpengaruh terhadap
banyak
jumlah protoplas yang mengalami fusi. 3. Penggunaan PEG 30% lebih efektif dalam menginduksi terjadinya fusi dari pada 4%. 4. Tipe fusi yang dihasilkan adalah binner fusi (hetero fusi dan homo fusi) dan multi fusi. Rata-rata jumlah hetero fusi yang dihasilkan dari PEG 30% adalah 1.6 fusan pada inkubasi 5 menit, 3.6 fusan, pada inkubasi 10 menit dan 4.8 fusan pada inkubasi 15 menit. Rata-rata jumlah fusan yang dihasilkan adalah 1.2 hetero fusi, 1.8 homo fusi, dan 3.0 multi fusi pada induksi fusi selama 5 menit. Rata-rata jumlah fusan yang dihasilkan dari induksi fusi selama 10 menit adalah 2.2 hetero fusi, 3.8 homo fusi, dan 4.0 multi fusi serta 2.4 hetero fusi, 4.2 homo fusi, dan 4.8 hetero fusi dari induksi fusi selama 15 menit. 5. Frekuwensi protoplas berfusi (hetero dan homo fusi) meningkat setelah penambahan 200 µl larutan pencuci. Rata-rata jumlah hetero fusi meningkat dari 4.8 fusan menjadi 7.2 fusan, homo fusi dari 7 fusan menjadi 8.4, fusan, dan multi fusi menurun dari 7.4 fusan menjadi 6.8 fusan dari PEG 30% dan hetero fusi dari 3 fusan menjadi 3.6 fusan, homo fusan dari 4 fusan menjadi 5.6 fusan dan multi fusan dari 4.8 fusan menjadi 5.6 fusan dari PEG 4%.
83
Daftar Pustaka Boss W. 1987. Fusion-permissive protoplasts. A plant system for studyng cell fusion. In: Cell Fusion. (Eds.) A.E. Sowers. Plenum Press, New York. 145-166. Carlson PS. 1970. Methionine sulfoxinine-resistant mutants of tobacco. Science 180:1366-1368. Cheng-qi Y, Kai-xian Q, Gang-ping X, Zhong-chang W, Yue-lei C, Qiu-heng Y, Xue-qing Z, Ping W. 2004. Production of bacterial blight resistant lines from somatic hybridization between Oryza sativa L. and O. meyeriana L. Constabel F, Koblitz H, Kirkpatrick JW, Rambold S. 1980. Fusion of cell sap vacuoles subsequent to protoplast fusion. Can. J. Bot. 58:1032-1034. Gamborg OL, Shyluk JP, Shahin EA. 1981. Isolation, Fusion and Culture of plant Protoplasts. In: Thorpe, T.A (Eds.). Plat Tissue Culture (Methods and applications in agriculture):Academic Press p.115-153. Gleba YY, Sidorov VA. 1984.Mechanical isolation and single cell culture of isolated protoplast and somatic hybrid Cells. In: Cell Culture and Somatic Cell Genetc of Plants.1:423-427. Academic Press. Inc. New York-LondonTokyo-Sydney. Gmitter FG, Grosser JW, Moore GA. 1992. Citrus. In: Hammerschlag, F.A. and R.E. Litz (Eds.). Biotechnology of perennial fruit crops. Wallingford:CAB International p.335-369. Grosser JW, Gmitter FG. 1990. Protoplast fusion and citrus improvement. Plant Breeding Reviews. Portland, V.8, p.339-374. Grosser JW. 1994. Observations and suggestion for improving somatic hybridization by plant protoplast isolation, fusion, and culture. Hort Sci, 29:1241-1243. Husni A, Mariska I, Hobir. 2004. Fusi Protoplas dan regenerasi protoplas hasil fusi antara Solanum melongena dengan S. torvum. Jurnal Bioteknologi Pertanian 9(1):1-8. Kao KN, Michayluck MR. 1975. Nutritional requirements for growth of Vicia hajastana cell and protoplast at a very low population density in liquid media. Planta.125:105-110. Kameya T. 1984. Fusion of protoplast by dextran and electrical stimulus. In: Cell Culture and Somatic Cell Genetc of Plants.1:423-427. Academic Press. Inc. New York-London-Tokyo-Sydney.
84
Kobayashi S and Ohgawara T.1988. Production of somatic hybrid plants through protoplast fusion in Citrus. J. Agric. Rev. Quarterly. 22:181-188. Miranda M, Motumura T, Ikeda F, Ohgawara T, Saito W, Endo T, Omura M, Moriguchi T. 1997. Somatic hybrids obtained by fusion between Poncirus trifoliate (2x) and Fortunella hindsii (4x) protoplasts. Plant cell Reports, 16:401-405. Mouraho Filho FAA. 1995. Protoplast fusion of citrus for rootstock and secion improvement with emphasis on wide hybridization. Gainesvile: Ph.D Thesis of University of Florida 152p. Mouraho Filho FAA, Gemitter FG, Grosser JW. 1996. New tetraploid breeding parents for triploid citrus cultivar development. Fruit Varieties Journal, University Park, 50(2):76-80. Oliveira RP, Mendes BMJ, Tulmann Neto A. 1994. Cultura de celulas em suspensao de dois porta-enxertos de citros. Revista Brasileira de Fisiologia Vegetal. 6(2):141-144. Ollitrault P, Luro F. 1995. Amelioration des agrumens et biotechnologie. Fruit, 50 :267-279. Ollitrault P, Dambier D, Luro F. 1996. Somatic hybridization in Citrus; some new hybrids and alloplasmic plants. Proc. Int. Soc. Citricult.2:907-912. Power JB, Cummins SE, Cocking EC. 1975. Fusion of isolated plant protoplasts. Nature 255:1016-1018. Pramana B, Lukas S. 1988. PEG treatment for inducing the protoplasts fusion in Vanda sp. Orchidaceae. 23p. Asean Orchid Congress, Jakarta. Purwito A. 1999. Fusi protoplas intra dan interspesies pada tanaman kentang. Disertasi Program Pasca Sarjana. IPB. Bogor. Puite KJ. 1991. Somatic hybridization. In Biotol (Biotechnology by Open Learning) (Eds.). Biotechnology Innovations in Crops Improvement. ButterworthHeinemann Ltd., Oxford. Saunders JA, Bates GW. 1972. Chemically induced fusion of plant protoplasts.In: Cell Fusion (Eds.) A.E. Sowers. Plenum Press, New York. 497-520. Spiegel-Roy P, Goldschmidt EE. 1996. Biology Of Citrus. Cambridge Press. 221 p.
University
85
Sihachakr D. 1998. Culture Media and Protocols for Isolation and Fusion of Prtoplasts of Eggplant. Morphogenese Vegetale Experimentale, Bat.360.Universite Parissud, France (Tidak dipublikasi). Vardi A, Breiman A, Galun E. 1987. Citrus cybrids: production by donor-recipient protoplast fusion and verification by mitochondrial-DNA restriction profiles. Theor. Appl. Genet., 75:51-58. Veilleux RE, Compton ME, Saunders JA. 2005. Use of Protoplasts for Plant Improvement In Trigiano RN and Gray DJ (Eds) Plant Development and Biotechnology.187-200pp. CRC Press LLC. Wenzel, G. 1980. Protplast techniques incorporated into applied breeding program. In: L. Ferenczy L and G. L. Farkas, (eds.). Advences in rotoplast Research. Pergamon Press. Oxford, pp 327-340. Yang ZQ, Shiknai T, Yamada Y. 1988. Asymmetric fertile rice (Oryza sativa L.) protoplast. Theor. Appl. Genet. 76:801-808.
86
BAB VI ISOLASI PROTOPLAS, FUSI PROTOPLAS DAN REGENERASI HASIL FUSI ANTARA TANAMAN JERUK SIAM SIMADU DENGAN MANDARIN SATSUMA
Ringkasan Penelitian isolasi protoplas, fusi protoplas, dan regenerasi hasil fusi antara jeruk siam Simadu dengan Mandarin Satsuma untuk mendapatkan hibrida baru antara jeruk siam Simadu dengan Mandarin Satsuma.Penelitian dilakukan di laboratorium Biologi sel dan Jaringan BB-Biogen Bogor dari bulan Februari – juni 2008. Dari hail penelitian diperoleh bahwa jenis enzim, konsentrasi, dan kombinasi enzim yang digunakan sangat berpengaruh dalam keberhasilan isolasi protoplas. Kombinasi enzim selulase Onozuka R10-Yakult 1% dengan maserozim R10-Yakult 1% dalam larutan CPW yang dimurnikan dengan campuran sukrosa 25% dengan manitol 13% dapat menghasilkan protoplas dengan densitas 15.7x105 protoplas/g kalus dan 13.0x105 protoplas/g daun. Konsentrasi PEG yang digunakan untuk menginduksi fusi protoplas dari kalus jeruk siam Simadu dengan protoplas mesopil daun in vitro berpengaruh terhadap jumlah rata-rata protoplas berfusi yang dihasilkan. Rata-rata jumlah protoplas yang dihasilkan dari induksi fusi dengan PEG 4% adalah 3.3 fusan yang hetero fusi, 5 fusan yang homo fusi dan multi fusi. Rata-rata jumlah protoplas yang dihasilkan dari induksi fusi dengan PEG 30% adalah 4.7 fusan hetero fusi, 6.7 fusan homo fusi, dan 7.7 fusan multi fusi. Frekuwensi fusi meningkat menjadi 4.3 fusan hetero fusi, 6.7 fusan homofusi, dan 7.7 multi fusi dari induksi PEG 4% serta menjadi 5.7 fusan hetero fusi, 7.7 fusan homo fusi, dan 6.3 fusan multi fusi dari induksi fusi dengan PEG 30%. Keberhasilan regenerasi protoplas hasil fusi pada media kultur yang digunakan dipengaruhi oleh konsentrasi PEG yang digunakan untuk induksi terjadinya fusi. Protoplas yang yang difusikan dengan PEG 4% dapat beregenerasi membentuk dinding sel, melakukan pembelahan sel, koloni sel, mikro kalus, dan embrio somatik pada media, sedangkan protoplas yang difusikan dengan PEG 30% hanya dapat beregenerasi membentuk didnding sel dan pembelahan sel. Penambahan ABA 0.5 mg/l pada media MW dapat mendewasakan embrio somatik dan GA 3 0.5 mg/l dapat menginduksi perkecambahan embrio somatik menjadi plantlet dengan efisisensi perkecambahan sebesar 76%.
Kata kunci: Isolasi protoplas, fusi protoplas, regenerasi fusan, jeruk siam Simadu, dan Mandarin Satsuma.
87
PROTOPLAST ISOLATION AND FUSION AND FUSAN REGENERATION BETWEEN SIMADU TANGERINE WITH SATSUMA MANDARIN Abstract Research protoplast isolation, protoplast fusion and regeneration of fusion between Simadu tangerines with Satsuma Mandarin to get a new hybrid seedless. The study was conducted in the laboratory of Cell and tissue Biology, BB BIOGEN Bogor, from February - June 2008. The result showed that protoplasts from embryogenic callus of Simadu tangerine and in vitro leaf of mandarin Satsuma can be isolated in large numbers by using a combination of cellulase Onozuka R10, Yakult Yakult% 1% with R10 Maserozim in CPW solution. Protoplasts are purified with a mixture of 25% sucrose with 13% mannitol. Protoplast density produced from embryogenic callus is 15.7x105 protoplasts / g callus and 13x105 protoplasts/ g in vitro leaf. The concentration of PEG used to induce fusion between mesophyll protoplasts mandarin Satsuma and siam Simadu callus affect the average number of protoplasts fusion. Average number of protoplasts were fused by using PEG 4% are 3.3 hetero fusion, 5.0 homo fusion and multi-fusion. Average number of protoplasts were fused by using PEG 30% are 4.7 hetero fusion, 6.7 homo fusion 6.7 and 7.7multi-fusion. The success of fusan regeneration on regeneration medium is influenced by PEG concentration used for induction of fusion. Protoplasts were fused with PEG only 4%, which can regenerate to form cell walls, making cell division, colony cells, micro-callus and somatic embryo. Protoplasts were fused with PEG 30% can only be regenerated to form the cell wall and cell division. Giving light to the culture after 2 weeks may accelerate cell division that can form colonies of cells. Dilutions of cell suspension with the same medium (without 2, 4-D) can accelerate the growth and development of the protoplasts formed colonies of cells, micro-callus and somatic embryos. MW medium is best used in the fusion because it can encourage of somatic embryos directly. Addition of ABA 0.5 mg / l in the media can produce somatic embryos and GA3 0.5 mg / l can germinate mature somatic embryos to plantlets with 76% germination efficiency.
Keywords : Protoplast isolation, protoplast fusion, fusan regeneration, siam Simadu, and Mandarin Satsuma
88
Pendahuluan
Trend kebutuhan pasar dunia secara global akan buah jeruk yang dikonsumsi segar saat ini dan masa mendatang adalah perlu memenuhi kategori buah yang tidak berbiji (seedless), mudah dikupas (easy peeling) dan mempunyai tipe mandarin dengan warna yang menarik (pigmented). Jeruk siam Pontianak dan Simadu adalah dua dari jenis jeruk batang atas komersial (scion) yang banyak dikenal di Indonesia. Akan tetapi kedua jenis jeruk tersebut masih mempunyai biji yang relatif banyak (1523 biji per buah) dan warna (pigmented) belum begitu menarik
sehingga kalah
bersaing dengan jeruk produk negara lain. Untuk menghindari tekanan buah jeruk impor tersebut maka diperlukan sentuhan inovasi teknologi terhadap jeruk lokal tersebut untuk meningkatkan kualitas buah sehingga dapat diterima dan bersaing di pasar global (Husni 2007). Untuk mendapatkan tanaman jeruk yang mempunyai karakter buah seedless pada tanaman jeruk sudah dimulai dilakukan beberapa dekade yang lalu melalui pemuliaan konvensional. Satsuma mandarin (C. Unshiu Marc.) adalah merupakan jenis jeruk yang secara alami mempunyai sifat seedless (Kunittake et al. 1991; Spiegel-Roy and Goldschmidt 1996). Sifat seedless tersebut telah terbukti disebabkan oleh pollennya yang steril (male strility) yang termasuk dalam cytoplasmic male strility biasa disebut dengan istilah CMS (Yamamoto et al. 1997). Untuk memindahkan sifat CMS tersebut dari jeruk mandarin Satsuma kepada kultivar jeruk siam Simadu sangat sulit dilakukan melalui pemuliaan konvensional karena adanya faktor genetik pembatas (incompatible). Oleh karena itu perlu dicari cara lain untuk memindahkan sifat seedless dari jeruk mandarin Satsuma ke kultivar jeruk lainnya. Salah satu teknologi yang dapat digunakan adalah teknik fusi protoplas (Grosser et al. 1996; Moriguchi et al. 1996; Grosser and Gemitter 2005). Pada tanaman jeruk, teknik fusi protoplas mulai berkembang setelah Ohgawara et al. (1985) melaporkan keberhasilannya mendapatkan hibrida somatik antara C. sinensis dengan Poncirus tripoliata yang secara genetik inkompatibel. Semenjak itu, teknik tersebut banyak digunakan dalam program pemuliaan tanaman jeruk di dunia seperti
89
di Jepang oleh Kobayashi et al. (1988), Israel oleh Vardi et al. (1987), Amerika Serikat oleh Grosser dan Gemitter (1990), dan di Prancis oleh Ollitrault dan Luro (1996). Pada saat ini telah diperoleh lebih dari 40 kombinasi dari 250 jenis tetua jeruk melalui fusi protoplas (Grosser et al. 2000; Cabasson et al. 2001; Guo et al. 2004). Beberapa hasil penelitian yang telah menggunakan teknologi fusi protoplas untuk perbaikan tanaman jeruk antara lain adalah fusi protoplas antara C. unshiu dengan C. sinensis (Yamamoto dan Kobayashi 1995; Guo et al. 2004; Xu et al. 2006; Cai et al. 2007) dan C. sinensis dengan Clausena lansium (Fu et al. 2003). De Carvalho Costa et al. (2003) juga telah menggunakan teknologi fusi protoplas untuk mendapatkan tanaman jeruk batang bawah yang toleran terhadap citrus blight, tristeza virus dan phytopthora dan Tusa et al. (2000) untuk ketahanan terhadap infeksi Phoma tracheiphila. Calixto et al. (2004) mendapatkan hibrida somatik dari C. sinensis dengan C. grandis yang toleran terhadap virus Citrus tristeza, Phytophthora, dan berpotensi digunakan sebagai batang bawah. Cai et al. (2007) juga menggunakan teknologi fusi protoplas untuk mendapatkan tanaman jeruk yang seedless hasil fusi antara C. unshiu dengan C. grandis dan C. sinensis. Untuk itu maka perlu dilakukan penelitian untuk mendapatkan hibrida baru dari jeruk siam kultivar Simadu dengan jeruk mandarin kultivar Satsuma.
Bahan dan Metode Penelitian dilaksanakan di Laboratorium Kultur Jaringan, Kelompok Peneliti Biologi Sel dan Jaringan, Balai Besar Penelitian dan Pengembangan Bioteknologi dan Sumberdaya Genetik Pertanian, Bogor dari bulan Februari-Juni tahun 2008. Penelitian terdiri dari tiga tahap penelitian yang saling berhubungan yaitu: 1)isolasi protoplas, 2)fusi protoplas, dan 3)regenerasi protoplas hasil fusi.
90
A
B
Gambar 19. Penampakan kalus embriogenik dan daun in vitro yang digunakan sebagai sumber protoplas (A= kalus embriogenik dari jeruk siam Simadu dan B= daun in vitro dari jeruk mandarin Satsuma). Isolasi protoplas Bahan tanaman yang digunakan sebagai sumber protoplas pada penelitian ini adalah kalus embriogenik dari jeruk siam kultivar Simadu dan daun in vitro dari tanaman jeruk
mandarin Satsuma (Gambar 19). Metode isolasi protoplas yang
digunakan adalah metode isolasi yang terbaik dari hasil penelitian sebelumnya (penelitian 2) menggunakan larutan kombinasi selulase Onozuka RS10-Yakult 1% dengan macerozim RS10-Yakult 1% dalam larutan CPW (0.7 M manitol, 24.5 mM CaCl2, 0.92 mM NaH 2 PO 4, dan 6.15 mM MES. Inkubasi dalam larutan enzim dilakukan selama 16 jam dalam keadaan gelap (tanpa cahaya). Pemurnian protoplas dilakukan dengan campuran larutan sukrosa 25% dengan manitol 13%.
Fusi protoplas Induksi fusi dengan PEG dilakukan dengan metode fusi protoplas dari hasil penelitian sebelumnya (penelitian 3) menggunakan PEG 4% dan 30% dengan cara menambahkan 25 µl larutan PEG di empat titik di sekeliling suspensi protoplas yang telah dicampur dengan waktu induksi fusi selama 15 menit. Pengamatan dilakukan secara mikroskopik (in verted) dengan cara menghitung jumlah, persentase protoplas yang mengalami fusi, dan tipe fusi yang dihasilkan (hetro fusi, homo fusi, dan multi fusi) setelah diberi perlakuan PEG.
91
Peningkatan frekuensi fusi Untuk meningkatkan terjadinya frekuensi fusi juga menggunakan metode yang terbaik
dari hasil penelitian sebelumnya (penelitian 3) dengan cara
menambahkan 200 µl larutan pencuci (0.5 M manitol + 0.5 mM CaCl2 ).
Kultur protoplas hasil fusi Kultur protoplas dilakukan dengan metoda Sihachakr (1998) dan Husni et al. (2004). Setelah dilakukan penetapan jumlah protoplas maka protoplas ditaburkan dalam cawan petri (∅ 50 mm x 15 mm) yang masing-masing berisi 5 ml media cair dengan densitas 104 protoplas/ml. Kultur diinkubasi dalam keadaan gelap tanpa cahaya dalam inkubator yang suhunya diatur pada temperatur 25 0 C sampai terjadi pembentukan dinding sel (1-2 minggu). Setelah terjadi pembelahan sel membentuk koloni sel, kultur dipindahkan dan diberi cahaya dengan intensitas 1000 lux selama 16 jam sehingga terbentuk koloni sel yang lebih banyak. Media awal pertumbuhan protoplas yang digunakan adalah empat jenis media dasar yaitu KM, VKM, MW, dan MT ( Tabel Lampiran 3 dan 4). Sedangkan zat pengatur tumbuh yang digunakan adalah 0.1 mg/l 2,4_D + 3 mg/l BA + 500 mg/l EM + 50 g/l sukrosa. Kemasaman media (pH) ditetapkan pada kisaran 5.7-5.8. Media diseterilkan dengan filter ukuran 0.22 µm. Kultur disimpan dalam inkubator dalam keadan gelap tanpa cahaya pada suhu 250C sampai terjadi pembentukan dinding sel dan pembelahan sel selama dua minggu. Setelah terjadi pembentukan dinding dan pembelahan sel, maka kultur dipindahkan ke ruang kultur yang diberi cahaya dengan intensitas 1000 lux selama 16 jam sampai terbentuk koloni sel. Pengamatan dilakukan secara mikroskopis dengan mikroskop inverted (Olymphus) dengan cara menggoyang kultur terlebih dahulu secara perlahan sehingga protoplas/sel merata keseluruh cawan petri. Kemudian dilakukan penghitungan protoplas yang dapat membentuk dinding sel dan sel yang telah melakukan pembelahan setiap bidang pandang pengamatan. Pengamatan dilakukan terhadap persentasi kemampuan protoplas beregenerasi membentuk dinding sel dan koloni sel setiap bidang pandang.
92
Pengenceran kultur Pengenceran media dilakukan dengan tujuan untuk mendorong pertumbuhan dan perkembangan sel membentuk koloni sel dan mikrokalus. Pengenceran dilakukan dengan cara membagi 3 suspensi protoplas/sel setiap cawan petri ke cawan petri baru yang telah berisi media dasar yang sama (KM, VKM, MW dan MT), tetapi komposisi zat pengatur tumbuh yang ditambahkan hanya 3 mg/l BA (hasil penelitian 1). Kultur diinkubasi kembali pada ruang inkubasi yang diberikan cahaya dengan intensitas 1000 lux selama 16 jam sampai terbentuk mikrokalus dan kalus. Pengamatan dilakukan terhadap banyaknya rata-rata jumlah mikrokalus setiap minggu setelah pengenceran, tipe kalus yang dihasilkan, dan rata-rata jumlah embrio somatik yang dihasilkan.
Regenerasi tunas Regenerasi tunas dilakukan dengan cara memindahkan struktur embrio somatik yang terbentuk secara langsung dalam media pengenceran. Struktur embrio somatik yang diperoleh dipindahkan pada media baru yang dipadatkan dengan penambahan 0.5 mg/l ABA pada media MW untuk pendewasaan dan 0.5 mg/l GA 3 untuk perkecambahan. Pendewasaan embrio somatik dilakukan dengan cara memindahkan struktur globuler yang diperoleh ke media pendewasaan strukruktur globular menjadi fase hati dan torpedo. Setiap botol di masukkan 8 embrio somatik fase globular ke dalam setiap botol kultur dan diulang sebanyak 5 kali sehingga diperoleh 40 botol kultur dari semua perlakuan. Semua kultur disimpan di ruang kultur dengan penyinaran dengan intensitas 1000 lux selama 16 jam dengan suhu 23 - 270C. Pengecambahan embrio somatik dewasa dilakukan dengan cara memindahkan embrio somatik dewasa ke media perkecambahan. Pengamatan dilakukan terhadap persentase keberhasilan perkembangan
embrio somatik fase globuler menjadi fase
hati, torpedo dan
kotiledon serta perkecambahan embrio somatik menjadi individu baru yang lengkap mempunyai tunas dan akar (plantlet). Untuk mempercepat pertumbuhan dan perkembangan regeneran (klon), setiap embrio somatik diisolasi dan dipindahkan
93
dalam botol kultur yang berisi media MW tanpa penambahan zat pengatur tumbuh untuk mendorong pertumuhan dan perkembangannya sehingga lebih sempurna.
Hasil dan Pembahasan Isolasi protoplas Jenis sumber protoplas, komposisi larutan enzim, lama inkubasi dalam larutan enzim dan larutan purifikasi yang digunakan dalam isolasi protoplas merupakan faktor yang berpengaruh terhadap jumlah dan viabilitas protoplas yang dihasilkan. Metode isolasi protoplas yang digunakan pada penelitian ini adalah metode yang terbaik dari hasil penelitian sebelumnya. Berdasarkan hasil penelitin sebelumnya, kombinasi enzim selulase Onozuka R10-Yakult 1% dan maserozim R10-Yakult 1% dalam larutan CPW terbukti baik digunakan untuk mengisolasi protoplas dari kalus dan daun tanaman jeruk (hasil penelitian 2). Inkubasi dalam larutan enzim juga digunakan selama 16 jam dalam keadaan gelap dan dimurnikan dengan campuran manitol 13% dan sukrosa 25% untuk mengapungkan protoplas (hasil penelitian 3). Dari hasil isolasi protoplas yang dilakukan menggunakan metodologi dari hasil penelitian sebelumnya diperoleh bahwa rata-rata jumlah protoplas yang dihasilkan juga cukup tingi (Tabel 17). Berdasarkan tabel tersebut dapat dilihat bahwa densitas protoplas yang dihasilkan dari kalus embriogenik lebih banyak dari pada protoplas yang dihasilkan dari daun in vitro. Hal ini disebabkan oleh adanya lignin di jaringan daun sehingga aktifitas enzim kelompok pektinase seperti meserozim lebih sulit mendegradasi zat pektin yang berada diantara sel yang satu dengan sel lainnya sehingga sel yang satu dengan sel lainnya menjadi terpisah (sel tunggal). Rata-rata Tabel 17. Produksi protoplas dari kalus dan mesofil daun menggunakan kombinasi enzim Selualse 1%+ Maserozim 1% yang diinkubasi selama 16 jam dan dimurnikan dengan campuran 25% sukrosa+13% manitol dalam larutan CPW. Sumber protoplas Kalus embriogenik Mesofil daun
Rata-rata jumlah protoplas (protoplas/g sumber protoplas) 15.7x105 ± 8.0 13.0x105 ± 9.8
94
.
A
B
C
D
Gambar 20. Isolasi protoplas mesofil daun mandarin satsuma dan kalus jeruk siam simadu dengan kombinasi enzim selulase 1%+maserozim 1% yang dimurnikan dengan larutan sukrosa 25% + manitol 13% (A dan C= mesofil daun dan protoplas yang dihasilkan, B dan D=kalus embriogenik dan protoplas yang dihasilkan) perbesaran 20x. jumlah protoplas yang dihasilkan dari kalus embriogenik adalah sebanyak 15.7x105 protoplas/g kalus dan 13.0x105 protoplas/g daun yang dihasilkan dari mesofil daun. Protoplas yang dihasilkan dari mesofil daun berwarna kehijauan karena adanya klorofil sedangkan protoplas yang berasal dari kalus tidak berwarna hijau karena kalus belum mengandung klorofil (Gambar 20). Viabilitasnya juga sangat baik yang ditandai dengan bentuk protoplasnya berbentuk bulat sempurna. Selain itu, dari gambar protoplas tersebut juga terlihat adanya perbedaan kepadatan isi protoplas yang mencirikan sel tua dan muda. Protoplas yang berasal dari sel muda mempunyai vakuola yang lebih kecil daripada vakuola sel dewasa. Besar kecilnya vakuola sel yang dihasilkan juga akan berpengaruh terhadap terjadinya fusi. Protoplas
yang megandung vakuola yang besar akan lebih sulit
berfusi sehingga jumlah protoplas hasil fusi yang dihasilkan juga berbeda.
95
Fusi protoplas Keberhasilan dalam menginduksi terjadinya fusi protoplas sangat tergantung dari kadar konsentrasi dan periode inkubasi yang digunakan dalam larutan PEG. Konsentrasi dan lama inkubasi yang digunakan dalam penelitian ini untuk memacu terjadinya fusi adalah PEG 4% dan 30% yang diberikan pada 4 titik yang berlawanan disekitar suspensi protoplas dengan waktu inkubasi dalam larutan PEG selama 15 menit (hasil penelitian 3). Dari hasil penelitian tersebut diperoleh bahwa
rata-rata jumlah protoplas
berfusi yang dihasilkan lebih banyak dari induksi fusi dengan PEG 30% dari pada induksi fusi dengan PEG 4% (Gambar 21). Hal ini sesuai dengan hasil penelitian sebelumnya, dimana rata-rata jumlah protoplas berfusi yang dihasilkan dari induksi fusi dengn PEG 30% lebih banyak dari rata-rata jumlah protoplas berfusi dari induksi PEG 4%. Rata-rata jumlah protoplas berfusi yang dihasilkan dari induksi fusi dengan PEG 4% adalah 3.3 fusan yang hetero fusi, 5 fusan yang homo fusi dan multi fusi. Sedangkan rata-rata jumlah protoplas berfusi yang dihasilkan dari induksi fusi dengan PEG 30% adalah 4.7 fusan yang hetero fusi, 6.7 fusan yang homo fusi, dan 7.7 fusan. Penambahan larutan pencuci (0.5 M manitol+0.5 mM CaCl2 ) setelah 15 menit induksi fusi juga dapat meningkatkan frekuwensi fusi baik dari induksi fusi dengan
Jumlah protoplas berfusi
PEG 4% maupun induksi fusi dengan PEG 30% kecuali multi fusi dari PEG 30% 8 7 6 5 3,3 4 3 2 1 0
6,7 5
5
7,7
4,7 Hetero fusi Homo fusi Multi fusi
4%
30%
Konsentrasi PEG
Gambar 21. Pengaruh konsentrasi PEG (4% dan 30%) terhadap keberhasilan fusi (hetero, homo, dan multi fusi) protoplas jeruk siam Simadu dengan mandarin Satsuma, inkubasi 15 menit
Jumlah protoplas berfusi
96
8 7 6 5 4 3 2 1 0
6,7
7,7
7,7
6,3
5,7 4,3
Hetero fusi Homo fusi Multi fusi 4%
30% Konsentrasi PEG
Gambar 22. Peningkatan jumlah protoplas berfusi setelah penambahan larutan pencuci ke dalam suspensi protoplas yang telah difusi selama 15 menit dengan PEG 4 dan 30%. (Gambar 22). Adanya peningkatan frekuwensi fusi tersebut disebabkan oleh adanya CaCl2 dalam larutan pencuci yang digunakan. Frekuensi fusi protoplas dapat meningkat apabila pada suspensi protoplas yang difusikan dengan PEG di cuci dengan larutan pencuci atau hipotonik.
Adanya ion
Ca2+ tinggi dalam larutan
hipotonik juga dapat meningkatkan frekuensi fusi antar protoplas (Kao dan Michayluk 1975; Veilleux et al. 2005). Dengan bertambahnya frekuwensi fusi yang diperoleh akan memberikan peluang lebih tinggi untuk mendapatkan hibrida somatik yang dihasilkan setelah dikulturkan. Rata-rata jumlah protoplas berfusi
yang
dihasilkan setelah penambahan larutan pencuci dari induksi fusi dengan PEG 4% adalah menjadi 4.3 fusan yang hetero fusi, 6.7 yang homo fusi, dan 7.7 yang multi fusi. Sedangkan rata-rata jumlah protoplas berfusi yang dihasilkan dari induksi fusi dengan PEG 30% adalah menjadi 5.7 fusan yang hetero fusi, 7.7 fusan yang homo fusi, dan 6.3 fusan yang multi fusi. Penampakan protoplas fusi yang hetero fusi, homo fusi dan multi fusi jelas terlihat karena adanya perbedan warna protoplas yang digunakan (Gambar 23). Berdasarkan gambar 23 jelas terlihat bahwa protoplas yang berfusi dari dua jenis protoplas yang berbeda (hetero fusi) terlihat adanya penyatuan dari dua jenis protoplas yang berwarna hijau dengan yang tidak berwarna yang berasal dari
97
PEG
A
B
C
D
E Gambar 23. Penampakan keadaan suspensi protoplas pada saat penambahan PEG (A) dan jenis fusi yang dihasilkan dari protoplas yang diinduksi dengan PEG selama 15 menit (B =hetero fusi, C=homo fusi, D=multi fusi, dan E= total fusi). protoplas mesofil daun dan kalus. Demikian juga halnya yang homo fusi memperlihatkan penggabungan dari dua protoplas yang berwarna hijau yang berasal dari dua protoplas mesofil daun. Multi fusi ditunjukkan oleh penggabungan tiga protoplas berwarna hijau yang berasal dari mesofil daun. Dari tipe hasil fusi yang dihasilkan juga akan menghasilkan regeneran yang mempunyai variasi genetik yang berbeda antara satu dengan yang lainnya.
Regenerasi protoplas hasil fusi Komposisi zat pengatur tumbuh yang digunakan dalam medium merupakan faktor sangat penting dalam pertumbuhan dan perkembangan protoplas. Protoplas yang ditanaman di dalam media kultur akan membentuk diding sel sehingga membentuk sel yang sempurna yang dapat membelah dan memperbanyak diri
98
sehingga terbentuk koloni sel. Tahap pertama kesuksesan di dalam kultur protoplas adalah keberhasilan protoplas membentuk dinding sel yang baru dan keberhasilan protoplas atau sel yang baru melakukan pembelahan mitosis. Keberhasilan regenerasi dinding sel tanaman dari protoplas merupakan tahap yang sangat sulit dan sering mendapatkan hasil yang berbeda jika diulang pada waktu dan tempat yang berbeda (Evan dan Bravo 1983). Biosintesis dari dinding sel bervariasi tergantung material tanaman yang digunakan sebagai sumber protoplas. Sintesis dinding sel protoplas memerlukan
adanya penyediaan sumber karbon yang mudah dimetabolisasikan
seperti sukrosa dan penambahan osmolytikum dalam media kultur (Carlson et al. 1995). Gautheret (1977) mengatakan bahwa dinding sel protoplas dapat terbentuk apabila enzim yang melarutkan dinding sel pada saat isolasi protoplas harus dihilangkan dengan cara mencucinya dengan larutan pencuci sampai hilang. Dalam media kultur perlu ditambahkan suatu osmotic stabilizer atau zat anti pecah karena protoplas belum mempunyai dinding sel. Untuk pembentukan dinding sel biasanya ditambahkan manitol atau sukrosa secukupnya. Pembentukan dinding sel protoplas juga ditentukan oleh adanya auksin dan sitokinin yang mempengaruhi pembentukan permukaan dinding. Protoplas biasanya dikulturkan dalam medium cair pada erlenmeyer atau cawan petri dalam jumlah sedikit dalam bentuk tetesan (Bawa dan Torrey 1971; Constabel 1982). Umumnya untuk merangsang pembelahan, protoplas harus ditanam dalam kerapatan tidak lebih dari 104 protoplas/ml medium (Albersheim 1974). Selain itu, faktor ada tidaknya cahaya selama kultur juga sangat mempengaruhi keberhasilan regenerasi dinding sel sehingga kultur protoplas yang telah difusikan disimpan dalam keadaan gelap dalam kaleng steril yang tertutup. Hasil kultur protoplas yang dilakukan setelah difusi denga PEG 4 % dan 30% selama 15 menit memperlihatkan bahwa protoplas dapat melakukan regenerasi dinding sel pada minggu pertama pengamatan setelah kultur pada semua media kultur yang digunakan (Tabel 18). Hal ini diduga disebabkan karena jumlah sukroksa yang
99
Tabel 18. Pengaruh media kultur terhadap persentase kemampuan protoplas membentuk dinding dan pembelahan sel yang diinduksi fusi denga PEG 4 dan 30%, 2 minggu setelah kultur. Media kultur
KM VKM MT MW
Protoplas berdinding setiap bidang pandang (%) PEG 4% 12.2 11.7 21.8 21.1
PEG 30% 7.8 5.3 11.6 16.7
Protoplas membelah setiap bidang pandang (%) PEG 4% 6.1 5.8 15.0 15.0
PEG 30% 0.0 0.0 3.0 5.9
Keterangan: KM= Kao dan Michayluk (1975) +0.1 mg/l 2,4_D+3 mg/l BA+500 mg/l EM+50 g/l Sukrosa, VKM= Binding dan Nels (1977)+0.1 mg/l 2,4_D+3 mg/l BA+500 mg/l EM+50 g/l sukrosa, MT= Murashige and Tucker (1969)+0.1 mg/l 2,4_D+3 mg/l BA+500 mg/l EM+50 g/l sukrosa, MW= Morel and Wetmore (1951) )+0.1 mg/l 2,4_D+3 mg/l BA+500 mg/l EM+50 g/l sukrosa
diberikan pada semua media kultur yang digunakan sebagai sumber karbon yang mudah dimetabolisasikan adalah sama, yaitu sebanyak 5%. Gautheret (1977) mengatakan bahwa untuk sintesis dinding sel perlu adanya penyediaan sumber karbon yang mudah dimetabolisasikan seperti sukrosa. Adanya sukrosa yang tinggi dalam media juga dapat mencegah penurunan pH pada media kultur sehingga tidak mengganggu pertumbuhan sel pada awal kultur (Kowalczyk et al. 1983). Proses regenerasi dinding sel protoplas dimulai dalam beberapa jam sampai beberapa hari untuk melengkapinya. Proses regenerasi dimulai dari adanya akumulasi bahan dinding sel secara perlahan-lahan pada permukaan plasmalema dalam beberapa jam setelah kultur. Selulosa dikumpulkan diantara plasmalema dan antara bahan dinding multilamelar atau langsung pada plasmalema (media kultur mulai meregenerasikan dinding (Bawa dan Torrey 1971). Selain itu, kondisi fisik kultur dan zat pengatur tumbuh yang digunakan juga sama, yaitu media cair yang disimpan dalam keadaan gelap dengan penambahan 0.1 mg/l 2,-D + 3 mg/l BA dan 500 mg/l EM. Constabel (1982) menyarankan untuk budidaya protoplas hasil fusi lebih baik menggunakan media cair dengan kondisi gelap (tanpa cahaya) pada temperatur 25 – 28 0C. Media MT dan MW merupakan media kultur yang baik digunakan untuk meregenerasi dinding sel. Persentase keberhasilan regenerasi protoplas membentuk
100
dinding sel per bidang pandang paling baik berasal dari media MT dengan keberhasilan regenerasi sebanyak 21.8% dari induksi fusi dengan PEG 4% dan 11.6% dari induksi fusi dengan PEG 30%. Kemudian diikuti oleh media MW sebanyak 21.1% dari induksi fusi dengan PEG 4% dan 16.7% dari induksi fusi dengan PEG 30%, KM sebanyak 12.2% dari induksi fusi dengan PEG 4% dan 7.8% dari induksi fusi dengan PEG 30%, dan VKM sebanyak 11.7% dari induksi fusi dengan PEG 4% dan 5.3% dengan PEG 30%. Kemampuan keberhasilan menginduksi pembelahan sel yang terbaik juga terjadi pada media MT dan MW. Hal ini dapat terlihat dari besarnya persentase kemampuan sel baru melakukan pembelahan mitosis sebesar 15% pada kedua media tersebut baik pada kultur hasil induksi fusi dengan PEG 4%.
Kemampuan
pembelahan sel pada budidaya protoplas ditentukan oleh komposisi media kultur dan kondisi eksplan yang digunakan sebagai sumber protoplas. Reiner dalam Gautheret (1982) melaporkan bahwa sel yang berasal dari protoplas baru dapat membelah setelah 32 hari. Kegagalan mitosisi tersebut mungkin disebabkan olaeh kurangnya nutrisi dalam medium. Besaran kemampuan pembelahan sel pada media MT dan MW pada kultur yang diinduksi dengan PEG 4% adalah sebesar 15% kemudian diikuti media KM sebesar 6.1% dan VKM sebesar 5.8% pada kultur yang diinduksi dengan PEG 4%. Pembelahan sel pada kultur yang diinduksi fusi dengan PEG 30% hanya terjadi pada media MT (3.0%) dan MW (5.9%) saja. Terbentuknya dinding sel protoplas secara sempurna ditandai dengan bentuk protoplas yang tidak bulat lagi dan disekeliling sel protoplas terlihat lebih tebal (Gambar 24A). Proses awal pembelahan mitosis sel ditandai dengan adanya dua bakal sel hasil pembelahan yang belum sempurna dan terbentuknya dua sel pada akhir pembelahan sehingga terbentuk sel-sel baru yang sempurna (24B, 24C dan 24D). Untuk mempertebal dinding dan mempercepat pembelahan sel, tutup kaleng tempat inkubasi kultur setelah dua minggu di buka sehingga kultur dapat menyerap cahaya. Sihachakr (1998) mengatakan bahwa pemberian cahaya pada sel protoplas yang telah membentuk dinding sel setelah dikulturkan dapat mempercepat penebalan dinding sel dan mampu mempercepat terjadinya pembelahan sel. Hasil pengamatan
101
A
B
C
D
Gambar 24. Pembentukan dinding sel dan proses pembelahan sel (A=protoplas yang telah meregenerasi dinding selnya secara sempurna, B= awal pembelahan sel, C= akhir pembelahan sel dan D= sel baru hasil pembelahan). dua minggu setelah pemberian cahaya diperoleh adanya pertumbuhan dan perkembangan sel (4 minggu setelah kultur) pada semua media yang digunakan pada kultur hasil fusi dengan PEG 4%, sedangakan kultur hasil fusi dengan PEG 30% hanya pada media MT dan MW saja (Tabel 19). Hal ini jelas terlihat dari penampakan media kultur yang semakin keruh yang dipenuhi dengan noktah kecil tersebar dalam media dengan warna putih (Gambar 25A). Berdasarkan pengamatan yang dilakukan secara mikroskopik ternyata noktah-noktah tersebut adalah kolonikoloni sel dari hasil pembelahan sel yang terus-menerus yang ditandai dengan adanya sel-sel muda baru disekitarnya dengan ukuran lebih kecil (Gambar 25 B, C, dan D). Koloni sel tersebut ditandai dengan adanya sel-sel baru di sekitar sel protoplas yang mempunyai plasma yang penuh, inti besar, vacuola kecil dan ukurannya lebih kecil. Banyaknya rata-rata jumlah koloni sel yang dihasilkan per setiap bidang pandang pengamatan dari media MT dan MW berbeda dibandingkan media KM dan VMW. Rata-rata jumlah koloni sel yang dihasilkan dari media MT adalah 11.3% dan 10.3%
102
Tabel 19. Pengaruh media kultur terhadap persentase kemampuan protoplas melakukan pembelahan dan jumlah koloni sel setelah pemberian cahaya, 2 minggu setelah kultur. Rata-rata jumlah koloni sel Media kultur Setiap bidang pandang/8 ml medium
KM VKM MT MW
PEG 4%
PEG 30%
6.3 ± 1.6 4.7 ± 1.5 11.3 ± 1.5 10.3 ± 1.6
0.0 ± 0.0 0.0 ± 0.0 0.1 ± 0.1 0.1 ± 0.0
Keterangan: KM= Kao dan Michayluk (1975) +0.1 mg/l 2,4_D+3 mg/l BA+500 mg/l EM+50 g/l Sukrosa, VKM= Binding dan Nels (1977) + 0.1 mg/l 2,4_D+3 mg/l BA+500 mg/l EM+50 g/l sukrosa, MT= Murashige and Tucker (1969)+0.1 mg/l 2,4_D+3 mg/l BA+500 mg/l EM+50 g/l sukrosa, MW= Morel and Wetmore (1951) )+0.1 mg/l 2,4_D+3 mg/l BA+500 mg/l EM+50 g/l sukrosa
A
C
B
D
Gambar 25. Pertumbuhan dan perkembangan protoplas membentuk koloni sel setelah pemberian cahaya pada umur dua minggu setelah kultur (A=penampakan kultur secara kasat mata, B, C dan D = koloni sel). dari media MW, 6.3% dari media KM, dan 4.7% dari media VMW dari kultur hasil fusi dengan PEG 4%. Sedangkan rata-rata jumlah koloni sel dari kultur hasil fusi dengan PEG 30% dari media MT dan MW adalah 0.1%.
Pengenceran kultur Untuk memacu pertumbuhan dan perkembangan koloni sel ke tahap lebih lanjut dilakukan pengenceran kultur dengan media baru dengan komposisi yang
103
sama. Pengenceran kultur suspensi koloni sel dilakukan dengan cara setiap kultur dari cawan petri dipipet dan dimasukkan ke dalam 3 cawan petri baru (± 2 ml) yang telah berisi 6 ml media.
Cara tersebut telah barhasil dilakukan untuk mendorong
pertumbuhan dan perkembangan koloni sel menjadi mikro kalus dan kalus pada tanaman kentang (Sihachakr 1998; Purwito 1999) dan tanaman terung (Sihachakr et al. 1999; Husni et al. 2003). Satu minggu setelah pengenceran koloni sel belum
terlihat adanya
mikrokalus yang terbentuk, akan tetapi jumlah koloni sel yang terlihat semakin banyak. Mikro kalus mulai muncul pada pengamatan minggu ke-2 hanya diperoleh dari kultur yang difusi dengan PEG 4% saja, sedangkan kultur hasil fusi dengan PEG 30% tidak menghasilkan mikrokalus. Hal ini memeperlihatkan bahwa konsentrasi PEG yang digunakan untuk induksi fuasi berpengaruh terhadap kemampuan regenerasi. Mikro kalus yang terbentuk dapat terlihat secara jelas dengan kasat mata berwarna putih susu (Gambar 26).
Kecepatan pertumbuhan dan perkembangan
koloni sel membentuk mikrokalus dipengaruhi oleh media dasar dan konsentrasi PEG yang digunakan untuk induksi fusi. Hal ini terbukti dari mikro kalus yang terbentuk hanya diperoleh dari protoplas hasil fusi dengan PEG 4% pada media MT dan MW saja pada minggu ke-2, sedangkan pada media KM dan VKW belum ada. Sampai akhir pengamatan (4 minggu setelah pengenceran) belum diperoleh adanya mikro kalus pada kultur hasil fusi degan PEG 30%, sedangkan mikrokalus yang terbentuk dari kultur hasil fusi dengan PEG 4% semakin banyak (Tabel 20). Dari tabel 20 dapat dilihat bahwa semakin lama umur kultur semakin padat jumlah mikrokalus yang terbentuk pada kultur hasil fusi dengan PEG 4%, sedangkan kultur hasil fusi dengan PEG 30% tidak menghasilkan mikrokalus sampai akhir pengamatan.
104
A
C
E
G
B
D
F
H
Gambar 26. Penampakan kasat mata dan mikroskopik mikrokalus yang terbentuk pada media kultur KM, VKM, MT dan MW 4 minggu setelah pengenceran (A dan C= mikro kalus pada media KM, B dan D= mikro kalus pada media VKM, E dan G= mikro kalus pada media MT serta F dan H= mikro kalus pada media MW). Rata-rata jumlah mikrokalus yang dihasilkan tidak berbeda nyata antara media MT dan MW, akan tetapi berbeda nyata dengan media KM dan VKM. Mikro kalus yang terbentuk pada minggu ke-2 hanya terdapat pada media MT dan MW saja dengan rata-rata 4.3 dan 4.7. Mikrokalus kalus mulai terbentuk pada media KM dan VKM setelah 3 minggu pengenceran. Rata-rata jumlah mikrokalus yang dihasilkan pada
105
Tabel 20. Pengaruh media kultur terhadap kemampuan koloni sel mikrokalus (1, 2, dan 3 minggu setelah pengenceran).
membentuk
Rata-rata jumlah mikrokalus/8 ml medium Media kultur
KM VKM MT MW
Minggu ke-2
Minggu ke-3
0 0 4.3 ± 1.2 4.7± 1.5
2.3 ± 1.5 1.0 ± 1.0 15.3 ± 3.1 18.7 ± 1.5
Minggu ke-4 5.7± 2.3 4.3 ± 0.6 23.7± 4.0 28.3± 2.5
Keterangan: KM= Kao dan Michayluk (1975) +0.1 mg/l 2,4_D+3 mg/l BA+500 mg/l EM+50 g/l Sukrosa, VKM= Binding dan Nels (1977)+0.1 mg/l 2,4_D+3 mg/l BA+500 mg/l EM+50 g/l sukrosa, MT= Murashige and Tucker (1969)+0.1 mg/l 2,4_D+3 mg/l BA+500 mg/l EM+50 g/l sukrosa, MW= Morel and Wetmore (1951) )+0.1 mg/l 2,4_D+3 mg/l BA+500 mg/l EM+50 g/l sukrosa.
media KM dan VKM adalah 2.3 dan 1 mikrokalus serta 15.3 pada media MT dan 18.7 pada media MW. Bila dilihat dari tipe mikrokalus yang dihasilkan pada pengamatan minggu ke 4, mikrokalus yang berasal dari media KM dan VKM berwarna coklat kehitaman. Hal ini mengindikasikan bahwa viabilitas dari mikrokalus tersebut menurun sehingga kalus yang dihasilkan bersifat tidak embriogenik (4 minggu setelah kultur) jumlah mikrokalus terus bertambah banyak pada seluruh media yang digunakan (Tabel 21). Rata-rata embrio somatik yang dihasilkan adalah 5.7 pada media KM, 4.3 pada media VKM, 23.7 pada media MT dan 28.3 pada media MW. Pada media kultur MW, Tabe 21. Pengaruh media kultur terhadap kemampuan koloni sel membentuk mikro kalus dan embrio somatik, 4 minggu setelah pengenceran. Media kultur KM VKM MT MW
Rata-rata mikro kalus/8 ml medium 5.7 ± 2.3 4.3 ± 0.6 23.7 ± 4.0 28.3 ± 2.5
Rata-rata embrio /8 ml medium Fase globular 0 0 0 7.0 (42/6)
Fase torpedo 0 0 0 3.0 (18/6)
Fase hati 0 0 0 3.5 (21/6)
Keterangan: KM= Kao dan Michayluk (1975) +0.1 mg/l 2,4_D+3 mg/l BA+500 mg/l EM+50 g/l Sukrosa, VKM= Binding dan Nels (1977)+0.1 mg/l 2,4_D+3 mg/l BA+500 mg/l EM+50 g/l sukrosa, MT= Murashige and Tucker (1969)+0.1 mg/l 2,4_D+3 mg/l BA+500 mg/l EM+50 g/l sukrosa, MW= Morel and Wetmore (1951) )+0.1 mg/l 2,4_D+3 mg/l BA+500 mg/l EM+50 g/l sukrosa.
106
A
B
C
D
E
F
G
H
Gambar 27. Proses embriogenesis somatik langsung dari tahap sel tunggal embryoid hasil fusi antara jeruk siam Simadu dengan mandarin Satsuma sampai menjadi plantlet pada media MW (. A dan B= Sel embrioid yang aktif membelah, C dan D= Pre-embrio (pem), E= embrio fase globuler, F=embrio fase torpedo, G dan H = embrio fase hati. selain mikro kalus juga diperoleh adanya embrio somatik fase globular, torpedo, dan hati. Adanya embrio somatik pada media MW mengindikasikan bahwa telah terjadi proses embriogenesis
langsung
dari sel-sel embrioid (Gambar 27). Rata-rata
jumlah embrio somatik fase globular adalah sebanyak
7 embrio,
sebanyak 3 embrio, dan fase hati hati sebanyak 3.5 embrio.
fase torpedo
107
Embriogenesis somatik mempunyai potensi morfogenik yang tinggi membentuk individu baru dari hasil proses embriogenesis dari sel somatik yang bersifat embrioid (von Arnold et al. 2002). Terjadinya proses embriogenesis somatik secara langsung pada penelitian ini antara lain disebabkan oleh salah satu sumber protoplas yang digunakan adalah kalus embriogenik dan komposisi media yang digunakan juga sangat mendukung. Embriogenesis somatik secara langsung terjadi dari sel-sel tunggal yang meristemoid yang bersifat embrioid (Gambar 27A) yang aktif membelah secara terus-menerus sehingga selnya bertambah banyak (Gambar 27B ), tumbuh dan berkembang membentuk bakal embrio/preembrio (Gambar 27C dan D), embrio somatik fase globular (Gambar 27 E), embrio somatik fase torpedo (27F), dan fase hati (Gambar 27G dan H). Pendewasaan dan Perkecambahan embrio somatik Berdasarkan pertumbuhan dan perkembangan
42 embrio somatik tahap
globular yang dipindahkan pada media MW baru (padat) dengan penambahan 0.5 mg/l ABA diperoleh bahwa media tersebut dapat mendorong pertumbuhan dan perkembangan struktur globular menjadi tahap lebih lanjut (fase torpedo dan hati). Semakin lama umur kultur semakin banyak pula embrio somatik yang tumbuh dan berkembang ke fase torpedo dan hati (Tabel 22). Setelah dua minggu pemindahan, jumlah globular yang tumbuh dan berkembang ke fase torpedo dan hati tidak terlalu menyolok. Jumlah embrio somatik fase torpedo sebanyak 12 dan fase hati dan kotiledon sebanyak 6 embrio. Akan tetapi, perubahan tersebut sangat menyolok pada Tabel 22. Pendewasaan embrio somatik fase globular menjadi fase torpedo dan hati dalam media MW + 1.5 mg/l ABA + 500 mg/l EM umur 2 dan 4 minggu. Fase embrio Jumlah embrio Keterangan somatik somatik minggu ke 2 4 Globular Torpedo Hati dan kotiledon
24 12 6
32 19 25
Kultur membentuk kalus embriogenik dan embrio somatik sekunder disekitar kultur dengan persentase sebesar 55.3% (42/76 kultur)
108
A
B
C
D
E
F
Gambar 28. Proses pendewasaan dalam media MW+0.5 mg/l ABA dan perkecambahan embrio somatik dalam media MW + 0.5 mg/l GA 3 menjadi plantlet (A= embrio somatik langsung dari hasil fusi, B dan C= pembentukan embrio somatik sekunder pada media pendewasaan, D dan E= perkecambahan embrio somatik, dan F= plantlet dalam media MW). pengamatan minggu ke empat dalam media pendewasaan. Bahkan, banyak kultur yang membentuk kalus embriogenik (Gambar 28B) dan menghasilkan embrio somatik sekunder (Gambar 28C) sehingga jumlahnya bertambah banyak (76 embrio). Jumlah embrio somatik fase globular menjadi 32, fase torpedo menjadi 19 dan fase hati dan kotiledon menjadi 25. Dari 25 embrio somatik dewasa yang dikecambahkan dalam media yang sama dengan mengganti ABA dengan 0.5 mg GA3 diperoleh bahwa media tersebut dapat menginduksi pertumbuhan dan perkembangannya lebih lanjut. Kemampuan menginduksi perkecambahan
yang diperoleh menghasilkan
plantlet sebanyak 19 kecambah menjadi menjadi benih somatik dengan efisisensi
109
perkecambahan sebesar 76%. Setiap individu fusan yang berkecambah dipindakan ke media MW tanpa zat pengatur tumbuh sehingga terbentuk plantlet (Gambar 28F). Proses pendewasaan dan perkecambahan embrio somatik dapat dilihat pada Gambar 28.
Simpulan 1. Kombinasi enzim selulase Onozuka R10-Yakult 1% dengan maserozim R10Yakult 1% dalam larutan CPW yang dimurnikan dengan campuran sukrosa 25% dengan manitol 13% dapat menghasilkan protoplas dengan densitas 15.7x105 protoplas/g kalus dan 13x105 protoplas/g daun. 2. Konsentrasi PEG yang digunakan untuk menginduksi fusi
protoplas dari
kalus jeruk siam Simadu dengan protoplas mesofil daun in vitro berpengaruh terhadap jumlah rata-rata protoplas berfusi yang dihasilkan. Rata-rata jumlah protoplas berfusi yang dihasilkan dari induksi fusi dengan PEG 4% adalah 3.3 fusan yang hetero fusi, 5 fusan yang homo fusi dan multi fusi. Sedangkan rata-rata jumlah protoplas berfusi yang dihasilkan dari induksi fusi dengan PEG 30% adalah 4.7 fusan yang hetero fusi, 6.7 fusan yang homo fusi, dan 7.7 fusan. 3. Frekuensi fusi meningkat menjadi 4.3 fusan yang hetero fusi, 6.7 yang homo fusi, dan 7.7 multi fusi yang diinduksi dengan PEG 4% serta menjadi 5.7 fusan yang hetero fusi, 7.7 fusan yang homo fusi, dan 6.3 fusan yang multi fusi yang diinduksi dengan PEG 30%. 4. Keberhasilan regenerasi protoplas hasil fusi pada media kultur yang digunakan dipengaruhi oleh konsentrasi PEG yang dipakai untuk menginduksi terjadinya fusi. Protoplas yang difusikan dengan PEG 4% dapat beregenerasi membentuk dinding sel, melakukan pembelahan sel, koloni sel, mikro kalus dan embrio somatik pada media, sedangkan protoplas yang difusikan dengan PEG 30% hanya dapat beregenerasi membentuk dinding sel dan pembelahan sel.
110
5. Media kultur yang baik digunakan untuk regenerasi adalah MW (Morel dan Wetmor) dan MT (Murashige dan skoog). Penambahan ABA 0.5 mg/l dalam media MW dapat mendewasakan embrio somatik dan GA 3 0.5 mg/l dapat menginduksi perkecambahan embrio somatik
menjadi plantlet dengan
efisiensi sebesar 76%.
Daftar Pustaka
Albersheim P. 1974. Strucktur and growth of cell wall in culture. In: Street HE (eds). Tissue Culture and Plant Science. Pp379-404. Academic Press. London. Bawa SB, Torrey JG. 1971. Budding and nuclear division in cultured protoplast of corn, Convolvulus and union. Botan Gaz 132: 240-245. Cabasson CM, Luro F, Ollitrault O, Grosser JW. 2001. Non-random inheritance of mithocondrial genomes in Citrus hybrids froduced by protoplast fusion. Plant Cell rep 20:604-609. Cai XD, Fu J, Deng XX, Guo WW. 2007. Production and molecular characterization of potential seedless cybrid plants between pollen steril Satsuma mandarin and two seedy Citrus cultivars. Plant Cell Tiss Organ Cult. 90:275-283. Calixto MC, Filho FAAM, Mendes BMJ, Vieira MLC. 2004. Somatic hybridization between Citrus sinensis (L.) Osbeck and C. grandis (L.) Osbeck. Pesq. Agropec. Bras. 39(7):1-6. Carlson C, Ollitrault P, Cote FX, Michaux-Ferriere N, Dambier D, Teisson C. 1995. Characteristics of citrus cell cultures during undifferentiated growth on sucrose and somatic embryogenesis on galactose. Physiologa Plantarum. Vol 93: 464-470. Constabel, F., H. Koblitz, J.W. Kirkpatrick and S. Rambold. 1980. Fusion of cell sap vacuoles subsequent to protoplast fusion. Can. J. Bot. 58:1032-1034. De Carvalho Costa MAP, Mendes BMJ, Filho FAAM. 2003. Somatic hybridization for improvement of citrus rootstock: production of five new combinations with potensial for improved disease resistance. Aust. J. Exp. Agr. 43: 11511156. Evans DA, Bravo JE. 1983. Protoplasts isolation and culture. In Ammirato PV, Evans DA, Sharp WR, Yamada Y (eds.). Handbook of Plant Cell Culture. MacMillan Pub Co. New York, London.
111
Fu CH, Guo WW, Liu JH, Deng XX. 2003. Regeneration of Citrus sinensis + Clausena lansium intergeneric triploid ang tetraploid somatic hybrids and their molecular identification. In Vitro Cell Dev. Sci.20:251-255. Gautheret RJ. 1977. La Culture des Tissus et des celluler des vegetaur p 158-165. Masson : Paris, New York, Barcelona, Milan. Grosser JW and Gmitter FG Jr. 1990. Protoplast fusion and citrus improvement. Plant Breeding Reviews. Portland, V.8, p.339-374. Grosser JW, Gmitter FG, Tusa N, Reforgiato G, Cucinotta. 1996. Further evidence of a cybridization requirement for plant regeneration from citrus leaf protoplast following somatic fusion. Plant Cell Rep. 15:672-676. Grosser JW, Ollitrault P, Olivares-Fuster O. 2000. Somatic hybridization in Citrus: an effective tool to facilitate variety improvement. In Vitro Cell Dev Biol Plant 36:434-449. Grosser JW, Gmitter FG. 2005. Application of somatic hybridization and cybridization in crop improvement, with citrus as a model. In vitro Cell Dev. Biol Plant 39:360-364. Guo WW., Prassad D., Cheng YJ., Serrano P., Deng XX, and grosser.2004. Targeted cybridization in citrus: transfer of Satsuma cytoplasm to seedy cultivars for potential seedlessness. Plant Cell rep 22:752-758. Husni A, Wattimena GA, Mariska I, Purwito A. 2003. Keragaman genetic tanaman terung hasil regenerasi protoplas. Jurnal bioteknologi Pertanian. 8(2):52-59. Husni A. 2007. Penerapan teknik fusi protoplas dalam dalam perakitan jeruk lokal tipe baru. Laporan Akhir Penelitian Riset Insentif Terapan TA.2007.Kejasama BB-Biogen dengan Menristek. 33h. Kao KN and Michayluh MR. 1975. Nutrition requirements for growth of Vicia hajastana cell and protoplast at a very low population density inliquid media. Planta. 125:105-110. Kobayashi S, Ohgawara T, Ohgawara E, Oiyima I, Ishii IS.1988. A somatic hybirid plant obtained by protoplast fusion between navel orange (Citrus sinensis) and Satsuma mandarin. Plant Cell Tissue and Organ Culture 14:6369. Kowalezyk TP, Mackenzie IA, andCocking C. 1983. Plant regeneration from organ explants and protoplasts of medicinal plant Solanum khasianum CB clarke
112
var. Chatterjeeanum Sengupta Pflanzenphysiol 111: 55-68.
(syn Solanum viarum Dunal). Z
Kunitake H, Kagami H, Mii M. 1991. Somatic embrtogenesis and plant regeneration from protoplasts of Stsuma?mandarin (Citrus unshiu Marc.) Scientia Horticilturae, 47:27-33. Kuntarsih S. 2007. Pengelolaan rantai pasok dengan bisnis jeruk (kasus jeruk siam Pontianak Kabupaten Sambas). Prosiding Seminar Nasional jeruk. Yogyakarta, 13-14 Juni 2007. Moriguchi T, Hidaka T, Omura M, Motomura T, and Akihama T. 1996. Genotypes and parental combination influence efficiency of cybrid induction in citrus by electrofusion. Hort Science 31:275-278. Ohgawara T, Kobayashi S, Ohgawara E, Uchi miya H, Ishii S. 1985. Somatic hybrids plants obtained by protoplast fusion between (Citrus sinensis and Poncirus tripoliata). Theor Appl Genet. 71: 1-4. Ollitrault P, Dambier D, and Luro F. 1996. Somatic hybridization in Citrus; some new hybrids and alloplasmic plants. Proc. Int. Soc. Citricult.2:907-912. Purwito A. 1999. Fusi protoplas intra dan interspesies pada tanaman kentang. Disertasi Program Pasca Sarjana. IPB. Bogor. Sihachakr D. 1998. Culture Media and Protocols for Isolation and Fusion of Prtoplasts of Eggplant. Universite Paris sud, France (Tidak dipublikasi). Spiegel-Roy P, Goldschmidt EE. 1996. Biology Of Citrus. Cambridge University Press. 221 p. Tusa N, Patta del Bosco S, Nigro F, and Ippolito A. 2000. Response of cybrids and a somatic hybrid of lemon to Phoma tracheiphila infections. HortScience 35:125-127. Vardi A, Breiman A, Galun E. 1987. Citrus cybrids: production by donor-recipient protoplast fusion and verification by mitochondrial-DNA restriction profiles. Theor. Appl. Genet., 75:51-58. Veilleux RE, Compton ME, and Saunders JA. 2005. Use of Protoplasts for Plant Improvement In R.N. Trigiano and D.J. Gray (Eds) Plant Development and Biotechnology.187-200pp. CRC Press LLC. Von Arnold S, Sabala I, Bozhkov P, Kyachok J, Filonova L. (2002).Developmental pathway of somatic embryogenesis. Plant Cell Tissue Organ Cult 69:233-249.
113
Xu XY, Liu JH, Deng XX. 2006. Isolations of citoplats from Satsuma mandarin (Citrus unshiu Mrc.) and production of alloplasmic hybrid calluses via cytoplast-protoplsat fussion. Plant Cell rep. 25:533-539. Yamamoto M, Kobayashi S. 1995. A cybrid plant produced by electrofusion between Citrus unshiu and C. Sinensis. Plant Tiss Cult Lett 12:131-137. Yamamoto M, Matsumoto R, Okudai N, and Yamada Y. 1997. Aborted anthers of Citrus result from gene-cytoplasmic male sterility. Sci Hortic 70:9-14.
114
BAB VII IDENTIFIKASI HIBRIDA SOMATIK HASIL FUSI ANTARA JERUK SIAM SIMADU DENGAN MANDARIN SATSUMA Ringkasan
Fusi protoplas adalah salah satu alat yang dapat digunakan dalam program perbaikan tanaman pada tanaman jeruk. Hibrida somatik pada tanaman yang berasal dari hasil fusi protoplas dari dua tetua yang berbeda dapat diidentifikasi secara molekuler, sitologi, dan morfologi. Untuk mendapatkan hibrida somatik hasil fusi protoplas antara jeruk siam Simadu dengan Mandarin Satsuma pada penelitian ini dilakukan melalui pertumbuhan in vitro pada media selektif terhadap regeneran yang diperoleh, marka molekuler ISSR, jumlah kromosom, morfologi dan warna daun serta kandungan total klorofil daun. Dari hasil penelitian keragaan pertumbuhan in vitro pada media tumbuh MW+EM 500 mg/l diperoleh 5 kandidat hibrida somatik dari 19 regeneran yang dihasilkan. Berdasarkan evaluasi molekur dengan penanda ISSR8 diperoleh 4 hibrida somatik dari 5 kandidat yang diuji. Jumlah kromosom dari hibrida somatik yang diperoleh merupakan penjumlahan dari jumlah kromosom kedua tetuanya (36 pasang) kecuali R10 dengan jumlah kromosom 35 pasang. Warna dan tulang daun dari hibrida somatik merupakan intermediet dari kedua tetuanya.
Kata kunci: Jeruk siam Simadu, mandarin Satsuma, identifikasi, in vitro, sitologi, ISSR, morfologi, hibrida somatik.
115
IDENTIFICATION OF FUSAN SOMATIC HYBRIDS BETWEEN SIAM SIMADU WITH MANDARIN SATSUMA Abstrak Protoplasts fusion is one tool that can be used for citrus breeding program. Somatic hybrid from two different parents can be identified by molecular, cytological, and morphology. To obtain somatic fusion hybrid between Mandarin Satsuma and siam Simadu in this study, the growth in vitro on selective media for regenerant obtained, ISSR molecular markers, chromosome number, morphology and leaf color and leaf chlorophyll content. Results of research on the performance of growth in vitro growth medium MW + EM 500 mg / l obtained 19 regenerants, five of whom are candidates for somatic hybrids. Based on the evaluation of ISSR molecular marker was obtained four somatic hybrids of the five candidates tested. Somatic hybrids chromosome number obtained was the sum of the number of chromosomes for both parents (36 pairs), except for R10 with the number 35 pairs of chromosomes. Leaf and bones color from somatic hybrid is an intermediately of both their parents.
Keywords: Citrus siam Simadu,Mandarin Satsuma, identification, in vitro culture, cytology, ISSR, morphology, and somatic hybrids.
116
Pendahuluan
Populasi dari tanaman yang diregenerasikan dari fusi protoplas mengandung variabilitas genetik yang lebih tinggi dibandingkan variabilitas dari populasi tanaman yang dihasilkan dari hibrida seksual karena terdapat rekombinasi gen yang ada pada sitoplasma selain rekombinasi dari inti (Wenzel 1980; Grosser et al. 1990 dan Spiegel-Roy dan Goldschmidt 1996). Variabilitas teramati pada bagian yang berbeda dari karakter fenotipik seperti tinggi tanaman, bentuk daun, ukuran daun, ukuran petiol, panjang daun, warna bunga, bentuk buah, dan viabilitas serbuk sari (Kobayashi
and Ohgawara 1988; Sihachakr et al. 1989; Grosser et al. 1990;
Yamamoto and Kobayasi 1996;
Fu et al. 2003). Variabilitas dari hibrida somatik
dapat terjadi akibat subkultur kalus yang terus-menerus, ketidak stabilan dari kombinasi inti sel yang menyebabkan hilangnya ekspresi gen atau hilangnya bagian dari informasi genetik dan adanya segregasi sitoplasma atau inti setelah fusi sehingga menghasilkan kombinasi yang unik (Ammirato et al. 1983). Tanaman hibrida somatik yang dihasilkan harus dapat diidentifikasi dari tanaman yang tidak berfusi, tanaman hasil fusi sesama tetua (homo fusi) dan multi fusi. Hibrida somatik tersebut harus merupakan kombinasi dari kedua tetua yang difusikan (gabungan dari jeruk mandarin satsuma dengan siam simadu). Jumlah kromosom hibrida somatik seharusnya merupakan penjumlahan dari jumlah kromosom sel yang berfusi. Untuk mengidentifikasi hibrida somatik pada tahap awal dilakukan dengan menentukan tingkat ploidi secara cepat dengan Flow Cytometry sehingga dapat dibedakan regeneran hasil fusi dengan non fusi. Kemudian dilakukan dengan cara melihat jumlah dan ukuran stomata, jumlah sel kloroplas dan jumlah kromosom (Jaskani 1998; Xu et al. 2006; Cai et al. 2007). Untuk mempercepat perolehan informasi genetik dari tanaman hasil fusi protoplas yang diinginkan sebelum dilakukan penanaman di lapang untuk evalusi fenotifik dapat dilakukan dengan marka genetik. Marka genetik yang sering digunakan untuk identifikasi hibrida somatik antara lain adalah marka morfologi dibandingkan dengan tetuanya, penanda isozim dan penanda DNA.
Pada saat ini
117
sudah banyak digunakan marka molekuler sebagai alat bantu seleksi, baik yang berbasis DNA maupun protein. Marka berbasis DNA merupakan marka yang paling banyak jenisnya dan mempunyai variabilitas yang besar. Marka molekuler mempunyai keunggulan karena seleksi dapat dilakukan pada tahap benih, bahkan dapat dilakukan pada tahap in vitro sehingga dapat mempercepat kepastian sifat dari regeneran yang dihasilkan dari proses fusi protoplas. Beberapa marka molekuler yang dapat digunakan dan telah berhasil mengidentifikasi hasil fusi protoplas antara lain adalah RAPD, ISSR, RFLP dan SSR (Cai et al. 2007). Penerapan teknologi fusi protoplas pada tanaman jeruk di negara-negara maju telah lama digunakan untuk mengintrogresikan sifat genetik yang secara alami tidak dapat dilakukan (incompatible) maupun yang kompatibel untuk mendapatkan tanaman jeruk yang unggul. Ohgawara et al. (1985) adalah orang pertama berhasil mendapatkan hibrida baru hasil fusi protoplas pada tanaman jeruk yang berasal dari genus C. Sinensis dengan Poncirus trifoliata. Selanjutnya, Grosser et al. 1989 juga berhasil mendapatkan hibrida antar spesies C. aurantifolia dengan Valencia sweet orange, C. reticulata dengan Citropsis gilletiana (Grosser et al. 1990), C. sinensis dengan Severinia buxifolia (Grosser et al. 1992), C. sinensis dengan Fortunella javonica (Takami et al. 2004) dan C. sinensis dengan hibrida Carrizo citrange (L.) (Louzada et al. 1992), C. unshiu dengan C. sinensis (Yamamoto dan Kobayasi 1996).
Sampai dengan tahun 1996 telah diperoleh 15 hibrida baru hasil fusi
protoplas, baik yang berasal dari tetua yang kompatibel maupun yang tidak kompatibel
(Spiegel-Roy dan Goldschmidt 1996). Berdasarkan laporan Nicotra
(2000) telah diperoleh 60 hibrida somatik di CREC, Florida seperti hibrida Palazelli, Primosole, Simeto, Desiderio, Bellezza, dan Sirio yang berasal dari Italy, Kara, wilking, Kinnow, Sunburst, dan Fortune yang berasal dari USA, Yafit, Norit, dan Adit dari Israel, Nankou, Hakaya, Tsunokaori, Benimadoca, Ariake, Amakusa, Hareyaka, Mihocore, Yoku dan Shiranuhi dari Jepang. Sampai saat ini, teknolofi fusi protoplas sudah banyak digunakan untuk merakit kultivar unggul baru atau hibrida baru tanaman jeruk seperti; fusi protoplas antara C. sinensis dengan C. lansium (Fu et al. 2003), C. unshiu Marc.) dengan C.
118
grandis dan C. sinensis (Cai et al. 2007) dan transfer sitoplasma C. unshiu untuk mendapatkan alloplasmic melalui fusi protoplas asimetris (Xu et al. 2006). De Carvalho Costa et al. (2003) juga telah berhasil mendapatkan tanaman jeruk batang bawah yang toleran terhadap citrus blight, tristeza virus dan Phytophthora. Selain itu, pemetaan genetik secara molekuler juga sudah ada yang melakukan, terutama pemetaan genetik untuk ketahanan terhadap penyakit dan sifat seedless. Pada pernelitian ini, hibrida somatik di identifikasi
dengan cara evalusi
pertumbuhan in vitro pada media selektif, marka molekuler denga penanda ISSR, jumlah kromosom, morfologi daun dan kandungan klorofil.
Bahan dan Metode Penelitian keragaan in vitro regeneran hasil fusi protoplas dan penetapan kandungan klorofil dilakukan di Laboratorium Biologi Sel dan Jaringan. Evalusi genetik secara molekuler dilakukan di Laboratorium Biologi Molekuler Balitbang Biogen Bogor. Penetapan jumlah kromosom dilakukan di Laboratorium taksonomi LIPI. Penyambungan dengan batang bawah dan pengamatan morfologi dilakukan di rumah kaca dan kebun percobaan Balai Penelitian Jeruk dan Buah Subtropika (Balitjestro) Malang.
Keragaan in vitro regeneran hasil fusi protoplas Bahan tanaman yang digunakan dalam penelitian ini adalah 19 regeneran hasil fusi protoplas jeruk mandarin satsuma (C. unshiu) dengan siam Simadu (C. nobilis). Setiap individu dari 19 regeneran hasil fusi protoplas
yang diperoleh
diperbanyak secara klonal melalui kultur in vitro dalam media kultur menggunakan media dasar MW + EM 500 mg/l (hasil penelitian 1) . Media ini dapat digunakan untuk seleksi awal hibrida somatik karena media tersebut sangat cocok untuk pertumbuhan jeruk Siam secara in vitro dan tidak cocok untuk pertumbuhan jeruk siam Satsuma. Hal ini dilakukan untuk mendapatkan duplikat setiap individu regeneran dalam koleksi in vitro jika tunasnya disambung dengan batang bawah di
119
rumah kaca. Peubah yang diamati pada tahap ini adalah tinggi tunas dan banyaknya jumlah daun setiap regeneran yang dikulturkan.
Evaluasi molekuler kandidat hibrida somatik dengan penanda ISSR Isolasi DNA. Lima kandidat hibrida somatik yang terpilih berdasarkan keragaan in vitro terhadap semua regeneran hasil fusi protoplas dievaluasi lebih lanjut secara molekuler berdasarkan marka ISSR. Sampel daun yang digunakan adalah daun yang masih muda. Daun diambil dan dibersihkan dengan alkohol 70% lalu ditimbang tanpa tulang daunnya sebanyak 0,5 gram. Penggunaan DNA volume kecil menggunakan metode Doyle dan Doyle (1990). Panaskan 1 ml Buffer ekstraksi (60 ml CTAB 3%, 47,6 ml NaCl 1,4 M, 8 ml EDTA 20 mM dan 20 ml Tris-HCl 100 mM) dan 5 µl mercaptoethanol dalam waterbath 65oC selama 15 menit. Gerus 0,5 gr daun, pvp dan nitrogen cair dalam mortar hingga menjadi serbuk. Masukkan dalam tabung eppendorf yang telah berisi buffer ekstraksi dan dikocok. Lalu divortex dan inkubasi dalam waterbath pada suhu 65oC selama 30 menit. Setiap 5 menit, tabung eppendorf
digoyang
atau
dibolak–balik.
Tambahkan
700
µl
Chloroform:Isoamylalcohol (CHISAM) (24:1) lalu divortex. Sentrifuge 6000 rpm selama 10 menit. Ambil supernatan (bagian atas) dan masukkan dalam eppendorf baru. Tambahkan 1 ml CHISAM dan sentrifuge 6000 rpm selama 10 menit. Ambil fase atasnya dan tambahkan 1 ml Isopropanol dingin lalu aduk secara perlahan (gently). Inkubasi dalam Freezer selama 30 menit dan sentrifuge 6000 rm selama 10 menit. Buang supernatan lalu bersihkan 2 kali dengan 200 µl buffer pencuci. Setelah itu, keringanginkan endapan DNA (pellet) dalam Laminar Air Flow (LAF). Tambahkan 500 µl buffer TE dan 1 µl RNAse. Inkubasi dalam waterbath pada suhu 37oC selama 30 menit. Dinginkan sebentar lalu tambahkan 1 ml ethanol absolut 96% dingin dan inkubasi dalam freezer selama 30 menit. Sentrifuge 6000 rpm selama 10 menit. Buang supernatan (bagian atasnya) lalu keringanginkan pellet DNA dalam LAF. Pellet DNA disuspensi dengan 50 µl buffer TE. Simpan pada suhu 20oC sampai digunakan.
120
Pengukuran Kualitas dan Kuantitas DNA. Setelah diperoleh sampel DNA, selanjutnya untuk mengetahui kualitas DNA dilakukan elektroforesis dengan menggunakan 0,8% agarose yang dilarutkan dalam TBE 0,5X • Larutan 0,8% agarose dipanaskan dengan microwave selama 40 detik kemudian didiamkan sampai hangat–hangat kuku dan ditambah 4 µl EtBr per cetakan lalu dituang dalam plate sampai keras. • Gel direndam dalam elektroforesis chamber. Sampel yang digunakan sebanyak 5 µl dan 2 µl loading dye dimasukkan ke dalam wells (sumur). • Elektroforesis pada tegangan 110 volt selama 1 jam • Visualisasi hasil elektroforesis diatas UV transluminator dan didokumentasikan dengan kamera. Untuk mengetahui nilai konsentrasi DNA diukur dengan menggunakan spektrofotometer. Sampel diukur pada absorbansi 260 nm dan 280 nm. Adapun konsentrasi DNA dihitung dengan rumus: [DNA] (µg/ml) = Nilai ABS260 X 50 µg/ml X Faktor Pengenceran 50 µg/ml merupakan faktor konversi dari nilai absorbansi 260 = 1 sehingga konsentrasi DNA berarti 50 µg/ml. Untuk kemurnian DNA dihitung berdasarkan hasil bagi nilai ABS 260 dengan ABS 280 (OD 260 /OD 280 ). Hasil pembagian ditunjukkan dengan nilai rasio, dimana nilai rasio 1,8 menunjukkan tingkat kemurnian DNA yang sangat baik. Apabila terkontaminasi dengan protein, nilai rasio yang diberikan lebih kecil dari nilai rasio konsentrasi DNA murni dan apabila terkontaminasi oleh RNA, nilai rasio yang diberikan lebih besar dari 2 (Sambrook (1989). Optimasi Program Reaksi PCR dan Amplifikasi DNA dengan PCR. Sebelum dilakukan amplifikasi DNA dengan PCR, terlebih dahulu dilakukan optimasi program reaksi PCR untuk memperoleh kondisi optimum PCR yang dapat digunakan untuk amplifikasi DNA dengan primer mikrosatelit yang telah ditentukan. Optimasi reaksi PCR adalah 1 siklus denaturasi awal pada suhu 94°C selama 5 menit, diikuti dengan 32 siklus denaturasi suhu 94°C selama 1 menit, annealing suhu 55°C selama 30 detik dan ekstensi suhu 72°C selama 1 menit. Siklus PCR diakhiri dengan 1 siklus ekstensi
121
akhir suhu 72°C selama 4 menit (Oliveira et al. 2002). Primer yang digunakan dalam optimasi program adalah 20 pasang primer SSR (forward and reverse) yang telah dikembangkan oleh Kijas et al. (1997). Reaksi amplifikasi PCR dilakukan menggunakan 25 µl dengan 1/10 volume buffer 10X (100mM Tris-HCl pH 8,3; 500 mM KCl; 25mM MgCl2 ; 0,01% gelatin); 200 mM dari dATP, dCTP, dGTP dan dTTP nukleotida; 50 ng DNA; 1,5 unit Taq polymerase dan 5 primer (forwad and reverse). Untuk reaksi PCR digunakan alat Biometra Thermocycler. Visualisasi Hasil PCR. Elektroforesis dilakukan untuk mengetahui hasil amplifikasi DNA dengan menggunakan PCR, adapun elektroforesis dilakukan melalui elektroforesis horizontal dengan 1,8 %–4 % agarose yang dilarutkan dalam 100 ml buffer TAE 1X, kemudian dielektroforesis dengan tegangan 57 mA selama 3 jam, sebanyak 10 µl produk PCR dan 3 µl loading dye digunakan dalam elektroforesis. Selanjutnya gel direndam dalam 0,5 µg/ml EtBr dalam ruang gelap selama 15 menit dan dibilas dalam H 2 O selama 10 menit. Visualisasi dilakukan diatas lampu ultraviolet dengan menggunakan alat BiodocAnalyze.
Penetapan jumlah kromosom kandidat hibrida somatik Jumlah kromosom dihitung secara mikroskopik pada tahap metafase terhadap sel meristem ujung akar tanaman kandidat hibrida somatik. Ujung akar diambil dari tanaman yang dicangkok batangnya sehingga muncul akar-akar baru. Metode penghitungan kromosom dilakukan menggunakan metode Gemitter et al. (1990). Pengambilan akar dilakukan sekitar pukul sembilan setelah kultur digelapkan selama 1-2 hari. Ujung akar dipotong dengan panjang 1-2 cm kemudian dilakukan prefiksasi dengan β-chloronaphtalene selama 3 jam, kemudian difiksasi dengan alcohol-asetat (3:1) selama 24 jam. Selanjutnya, akar dibilas dengan aquades sebanyak 2-3 kali. Kemudian dihidrolisa dengan HCl 5 M selama 3 menit pada suhu kamar atau dengan HCl 1M pada suhu 60 0C selama 10 menit. Pewarnaan dilakukan dalam larutan Feulgen atau Schiff selama 1-3 jam. Kemudian dipotong bagian ujung akar yang
122
berwarna merah dengan ukuran 0.5-1 mm diletakkan di gelas preparat dan ditetesi dengan acetocarmine. Kemudian
ditutup dengan gelas penutup dan di squash.
Pengamatan dan penghitungan jumlah kromosom dilakukan secara mikroskopik perbesaran 400 kali.
Keragaan fenotipik hibrida somatik di rumah kaca Keragaan fenotipik tanaman hibrida somatik di rumah kaca sangat penting dilakukan untuk mengetahui karakter morfologi tanaman sesungguhnya, seperti tinggi tanaman, jumlah daun dan morfologi daun. Setiap individu hibrida somatik terlebih dahulu disambung dengan batang bawah (rootstock) Javaness Citroen (JC) yang telah berumur satu tahun di rumah kaca dengan metode minitopworking. Pemilihan metode tersebut dilakukan karena penyambungan sudah bisa dilakukan pada saat plantlet masih kecil dan dapat dilakukan secara in vivo di rumah kaca. Tujuan dari minitopworking adalah untuk mempercepat proses pertumbuhan tunas dan adaptasi platlet tanpa melalui aklimatisasi akar. Selain itu teknik ini merupakan teknik yang lebih mudah dilakukan dan efisien waktu dan tenaga kerja karena masa generatifnya lebih cepat. Persiapan batang bawah. Batang bawah JC dipotong dengan ketinggian ± 15 cm dari tanah. Selanjutnya di klupas kulit batangnya dengan ukuran panjang 0.5-1 cm dan lebar 0.3 cm pada bagian yang telah dipotong. Persiapan batang atas . Materi batang atas yang akan disambungkan dengan batang bawah dikeluarkan dari botol dan dibersihkan dari sisa media in vitro. Bagian batang disayat tipis miring dengan menggunakan pisau scapel yang telah disterilkan dengan alkohol. Penyambungan (grafting). Materi batang atas yang telah disayat di masukkan pada bagian kupasan kulit batang batang bawah. Selanjutnya sambungan diikat dengan menggunakan plastik parafilm dan disungkup dengan plastik. Tanaman yang telah disambung harus diletakkan dibawah naungan yang agak lembab untuk menghindari proses respirasi yang berlebihan.
123
Setelah satu bulan sungkup plastik dibuka ketika tanaman telah muncul tunas baru dari batang atas. Kemudian dipelihara dengan baik dengan cara menyiramnya setiap pagi hari. Pengamatan terhadap tinggi tunas, diameter batang, panjang daun, lebar daun dan panjang tangkai dilakukan setelah tanaman berumur 5 bulan setelah penyambungan.
Hasil dan Pembahasan Keragaan in vitro regeneran hasil fusi protoplas Keragaan in vitro untuk menduga
hibrida somatik (putatif) dari semua
regeneran yang diperoleh dapat dilakukan pada tahap tunas. Keragaan tersebut sangat efisien dan
efektif karena hanya membutuhkan media tumbuh yang dapat
menunjukkan perbedaan pertumbuhan yang menyolok dari kedua tetuanya. Gopal dan Minocha (1998) mengatakan bahwa perbanyakan in vitro dapat digunakan untuk karakterisasi tanaman hibrida somatik pada tahap awal. Keragaan in vitro dilakukan terhadap 19 regeneran hasil fusi protoplas jeruk siam Simadu dengan jeruk mandarin Satsuma (Tabel 23). Dari hasil keraan tersebut diperoleh
5 kandidat hibrida somatik berdasarkan respon pertumbuhan terhadap
media kultur yang digunakan. Hal ini terlihat dari pola kecepatan pertumbuhan tinggi tunas dan jumlah helai daun yang dihasilkan pada umur satu bulan setelah kultur. Hal ini juga dibuktikan oleh Purwito (1999) pada tanaman kentang hasil fusi protoplas dan berkorelasi langsung dengan penampilan di lapang. Kecepatan pertumbuhan tinggi tunas dan banyaknya jumlah helai daun semakin jelas berada diantara kecepatan pertumbuhan jeruk siam Simadu dengan mandarin Satsuma pada umur dua bulan setelah kultur (Gambar 29). Sedangkan pertumbuhan regeneran lainnya ada yang menyerupai jeruk siam Simadu dan ada yang menyerupai jeruk mandarin Satsuma. Regeneran-regeneran tersebut adalah R6, R7, R10, R11 dan R19. Tinggi tunas dan jumlah helai daun masing-masing regeneran tersebut pada umur 2 bulan adalah 1.67 cm dengan 4 helai daun, 1.36 cm dengan 4 helai daun, dan 1.20 cm dengan 4 helai daun 1.72 cm dengan 3 helai daun, 1.08 cm dengan 4 helai daun. Sedangkan tinggi tunas dan jumlah helai daun jeruk siam Simadu pada waktu yang
124
Tabel 23. Keragaan in vitro regeneran hasil fusi protoplas umur 2 bulan. Regeneran
Tinggi tunas (cm)
R3 St R16 R8 R9 R19 R10 R7 R6 R11 R13 R14 R17 R18 R1 R5 R4 R15 Sm R2 R12
0.41 0.48 0.64 0.98 1.06 1.08 1.20 1.36 1.67 1.72 1.77 1.90 2.00 2.06 2.24 2.27 2.32 2.32 2.39 2.43 2.49
A
Jumlah daun (helai) 3 3 3 3 4 4 4 4 4 3 7 5 6 5 5 5 6 6 6 7 7
B
C
Gambar 29. Keragaan pertumbuhan in vitro regeneran hasil fusi protoplas dan kedua tetuanya (A= mandarin Satsuma, B= regeneran hasil fusi, dan C= siam Simadu).
125
sama adalah 2.39 cm dengan 6 helai daun dan 0.48 cm dengan 3 helai daun. Berdasarkan hasil keragaan tersebut juga diperoleh duplikasi regeneran sehingga
setiap individu
individu-individu tersebut mempunyai duplikat apabila
dilakukan pengamatan lebih lanjut di rumah kaca maupun di lapangan.
Evaluasi molekuler hibrida somatik dengan penanda ISSR Evaluasi
molekuler DNA terhadap hibrida somatik dilakukan terhadap 5
kandidat hibrida somatik yang diperoleh dari hasil keragaan in vitro menggunakan 8 primer ISSR. Hasil amplifikasi DNA yang dilakukan diperoleh satu primer yang dapat menghasilkan pola pita DNA yang dapat membedakan pola pita DNA hibrida somatik dengan pola pita kedua tetuanya (Gambar 30). Dari 5 kandidat hibrida somatik yang dievaluasi hanya diperoleh 4 regeneran yang teramplifikasi secara sempurna sehingga menghasilkan pola pita yang jelas (R6, R7, R10 dan R 19). Ke empat regeneran tersebut mempunyai pola pita gabungan dari kedua tetuanya yang ditunjukkan oleh pita DNA jeruk siam Simadu 165 bp dan pita DNA mandarin Satsuma sebesar 300 bp. Pita-pita DNA tersebut kedua-duanya terdapat pada 1 Kb
SM
MS
R6
R7
R10
R11
R19
1000 850 650 500 400 300 200 100
Gambar 30. Penggunaan primer ISSR8 (5’AGAGAGAGAGAGAGAGYC3’) dapat membedakan hibrida somatik (R6, R7, R10 dan R19) dengan kedua tetuanya (Sm=siam Simadu, MS= mandarin Satsuma, R6, R7, R10, R11, dan R19= kandidat hibrida somatik ).
126
ke empat regeneran tersebut (heterosigot). Dengan demikian, keempat regeneran tersebut merupakan hibrida somatik dari jeruk siam Simadu dengan mandarin Satsuma.
Evaluasi jumlah kromosom kandidat hibrida somatik Untuk memperkuat dugaan tersebut dilakukan penghitungan terhadap jumlah kromosom karena jumlah kromosom hibrida somatik hasil fusi protoplas merupakan penjumlahan jumlah kromosom dari kedua tetuanya. Banyaknya jumlah kromosom dari ke empat regeneran tersebut juga merupakan penjumlahan kromosom dari kedua tetuanya (Tabel 24). Hal ini dapat dilihat dari perbandingan banyaknya jumlah kromosom
hibrida somatik yang diduga dengan tetuanya (Gambar 31). Jumlah
kromosom
hibrida somatik R6, R7 dan R19 adalah sebanyak 36 pasang dan R10
sebanyak 35 pasang. Dengan demikian, data tersebut memperkuat dugaan bahwa keempat regeneran tersebut adalah hibrida somatik. Tabel 24. Banyaknya jumlah kromosom dari f hibrida somatik yang dihasilkan dan kedua tetuanya (mandarin Satsuma dan siam Simadu). Hibrida somatik
Jumlah kromosom
Mandarin Satsuma
18
Siam Simadu
18
Putatif R6
36
Putatif R7
36
Putatif R10
35
Putatif R19
36
127
2n=2x=18
2n=2x=18 A
2n=4x=36 C
2n=4x=35
B
2n=4x=36
D
2n=4x=36 E
F
Gambar 31. Perbandingan jumlah kromosom antara putatif hibrida somatik yang dihasilkan dengan kedua tetuanya (A= Siam Simadu, B= mandarin Satsuma, C=R6, D= R17, E= R10 dan F= R19). Keragaan hibrida somatik di rumah kaca Keragaan hibrida somatik di rumah kaca dilakukan untuk melihat lebih lanjut kenampakan morfologi yang sesungguhnya. Tunas in vitro disambung (grafting) dengan bibit batang bawah Japhanise citrun (JC) umur 6 bulan
menggunakan
metode mini topworking (Gambar 32A ). Semua tunas berhasil disambung dan dapat hidup sehingga dapat diamati pertumbuhannya lebih lanjut (Gambar 32B). Dari pengamatan terhadap tinggi
dan diameter batang diperoleh bahwa ukuran tinggi
dan diameter batang tanaman hibrida somatik lebih kecil dari pada pertumbuhan kedua tetuanya (Tabel 25). Tinggi tanaman hibrida somatik mulai dari 5.5 sampai 20.5 cm dan diameter batangnya mulai dari 0.2 sampai 0.4 cm. Selain tinggi tanaman dan diameter batang, pengamatan juga dilakukan terhadap diameter batang, panjang daun, lebar daun, panjang tangkai dan kandungan klorofil daun. Dari hasil pengamatan terhadap ukuran panjang dan lebar daun dari hibrida somatik lebih kecil
128
dari kedua tetuanya (Tabel 26). Ukuran panjang daun berkisar antara 4.2 samapi 6.0 cm dan lebar daunnya antara 2.2 samapai 2.9 cm. Sedangkan panjang dan lebar daun jeruk siam Simadu adalah 10.1 cm dan 5.9 cm serta 8.3 cm dan 5.3 cm untuk mandarin Satsuma. Untuk panjang tangkai daun, bervariasi antara hibrida somatik dengan kedua tetuanya. Panjang tangkai daun hibrida somatik mulai dari 0.8 sampai 1.1 cm dan 1.2 cm untuk siam Simadu dan 0.5 cm untuk mandarin Satsuma. Bila dilihat dari warna daun dari hibrida somatik berada di antara warna daun siam Simadu dan mandarin Satsuma. Hal ini jelas terlihat dari warna hijau tua dari Tabel 25. Morfologi batang penyambungan. Hibrida somatik R6 R7 R10 R19
hibrida somatik
Tinggi tanaman (cm) 5.5 8.5 15.5 20.5
A
Satsuma
pada umur 5 bulan
setelah
Diameter batang (cm) 0.2 0.2 0.4 0.3
B
Simadu Hibrida
C
D
Gambar 32. Keragaan hibrida somatik di rumahkaca (A= penyambungan dengan batang bawah JC umur 6 bulan (minitopwarking), B= tanaman hasil penyambungan, C= perbedaan daun hibrida somatik dengan tetuanya, dan D= tanaman hasil penyambungan topwarking
129
Tabel 26. Morfologi dan kandungan klorofil daun hibrida somatik pada umur 5 bulan setelah penyambungan. Hibrida somatik R6 R7 R10 R19 Simadu Satsuma
Panjang daun (cm) 4.6 6.0 4.2 5.7 10.1 8.3
Lebar daun (cm) 2.3 2.9 2.2 2.6 5.9 5.5
Panjang tangkai (cm) 1.1 1.1 0.9 1.1 1.2 0.5
Kandungan total klorofil 65.2 64.6 66.6 65.7 57.2 74.9
daun mandarin satsuma lebih menonjol dibanding daun siam Simadu (Gambar 32C). Perbedaan ini didukung oleh kandungan klorofil daunnya yang berada diantara kandungan klorofil mandarin Satsuma dengan siam Simadu (Tabel 26). Kandungan klorofil daun mandarin satsuma sebesar 74.9 sedangkan kandungan klorofil daun siam Simadu sebesar 57.2. Perbedaan tersebut lebih jelas lagi terlihat dari tulang daun. Tulang daun jeruk mandarin Satsuma lebih menonjol dari pada tulang daun jeruk siam Simadu (Gambar 32C). Berdasarkan keragaan dari morfologi tanaman di lapang
juga diperoleh bahwa warna dan tulang daun dapat membedakan antara
hibrida somatik dengan kedua tetuanya.
Sampai saat ini, hibrida somatik yang
diperoleh telah disambung kembali dengan jeruk batang bawah yang telah berproduksi (top working) untuk mendorong pertumbuhan dan perkembangannya agar lebih cepat berbunga (Gambar 32D).
Simpulan 1. Media tumbuh selektif MW (Morel dan Wetmor) +EM 500 mg/l dapat digunakan sebagai media seleksi awal untuk menduga regeneran hibrida somatik berdasarkan tinggi tunas dan jumlah daun. 2. Marka molekuler dengan penanda ISSR menggunakan primer ISSR8 dapat mengidentifikasi 4 kandidat hibrida somatik dari 5 regeneran yang diuji.
130
3. Jumlah kromosom dari kandidat hibrida somatik yang diperoleh merupakan penjumlahan dari jumlah kromosom kedua tetuanya (36 pasang) kecuali R10 dengan jumlah kromosom 35 pasang. 4. Warna daun, tulang daun, dan kandungan klorofil daun dari hibrida somatik merupakan intermediet dari kedua tetuanya.
Daftar Pustaka Ammirato PV, Evan DA, Sharp WR, Yamada Y. 1983. Handbook of Plant Cell Culture. Vol.1. MacMillan Publ. Co. New York, London. Cai XD, Fu J, Deng XX. 2007. Production and moleculer characterization of potential seedless cybrid plants between pollen sterile Satsuma mandarin and two seedy Citrus cultivars. Plant Cell Tiss Organ Cult. 90:275-283. De Carvalho Costa MAP, Mendes BMJ, Filho FAAM. 2003. Somatic hybridization for improvement of citrus rootstock: production of five new combinations with potensial for improved disease resistance. Aust. J. Exp. Agr. 43: 11511156. Doyle JJ, Doyle JL. 1990. Isolation of plant DNA from fresh tissue. Focus 12:13-15. Fu CH, Guo WW, Liu JH, Deng XX. 2003. Regeneration of Citrus Sinensis + C. lan seatum intergeneric triploid and tetraploid somatic hybrids and their identification by molecular markers. In Vitro Cell Dev Biol Plant 39:360364. Gopal J, Minocha JL. 1998. Effectiveness of in vitro selection for agronomic characters in potato. Euphytica 103:67-74. Gmitter FG Jr, Deng XX, Hearn CJ. 1990. Induction of triploid Citrus plants from endosperm calli in vitro. Theor. Appl. Genet.80:785-790. Grosser JW, Moore GA, Gmitter FG. 1989. Interspecific somatic hybrid plants from the fusion of ‘Key’lime (Citrus aurantifolia) with ‘valencia’sweet orange (Citrus sinensis) protoplasts. Sci. Hortic, 39:23-29. Grosser JW, Gmitter FG, Tusa T, Chandller JL. 1990. Somatic hybrid plant from sexually incompatible woody species: Citrus reticulate and Severinia gilletiana. Plant Cel. Rep. :656-659.
131
Grosser JW, Gmitter FG, Louzada ES, Chandler JL. 1992. Production of somatic hybrid and autotetraploid breeding parents for seedless citrus development . Hort Science. 27:1125-1127. Jaskani MF. 1998. Interploidi hybridization and regeneration of konnow mandarin. A thesis submitted in partial fulfilment of the requirements for the degree of Doctor Philosophy. Fac. Agriculture University of Agriculture Faisalabad, Pakistan. 169 p. Karsinah, Soedarsono, Aswidinoor H. 2002. Identifikasi kekerabatan beberapa jenis jeruk lokal Indonesia berdasarkan marka molekuler. Thesis Jurusan Agronomi Pascasarjana IPB. Kijas JMH, Thomas MR, Fowler JCS, Roose ML. 1997. Integration of trinucleotide microsatellite into a linkage map of citrus. Theor Appl Genet 94:701-708. Kobayashi S, Ohgawara T. 1988. Production of somatic hybrid plant through protplast fusion in Citrus. JARQ, 22:181-1888. Louzada ES, Grosser JW, Gmitter JFG, Nielsen B, Chandler JL. 1992. Eight new somatic hybrid citrus rootstock with potential for improved disease resistance. HortScience, V. 27: 1033-1036. Nicotra A. 2000. Mandarin-like hybrids of recent interest for fresh consumption. Problems and ways of control. Instituto Sperimentale per la frutticoltura, Rome-Italy. 14 p. Ohgawara T, Kobayashi S, Ohgawara E, Uchimiya H, Ishii S. 1985. Somatic hybrid plants obtained by protoplast fusion between (Citrus sinensis and Poncirus trifoliate). Theor. Appl. Genet. 71:1-4. Purwito A. 1999. Fusi protoplas intra dan interspesies pada tanaman kentang. Disertasi Program Pasca Sarjana. IPB. Bogor. Sambrook J, Fritsch EF, Maniats T. 1989. Molecular Cloning: A Laboratory Cold Spring Harbor Laboratory, New York. Sihachakar D, Haicour R, Chaput MH, Barrientos E. Herbreteau C, Ducreux G, Rossignol L. 1989.Somatic hybrid plants produced by electrofusion between Solanum melongena L. and S. torvum Sw. Theor. Appl. Genet. 77:1-6. Spiegel-Roy P, Goldschmidt EE. 1996. Biology Of Citrus. Cambridge University Press. 221 p.
132
Takami K, Matsumara A, Yahata M, Imayama T, Kunitake H, Komatsu H. 2004. Production of intergeneric somatic hybrids between round kumquat (Fortunella japonica Swingle) and ‘Morita navel’ orange (C. sinensis Osbeck). Plant Cell Rep. 23: 39-45. Wenzel G. 1980. Protplast techniques incorporated into applied breeding program. In: Ferenczy L and Farkas GL, (eds.). Advences in Protoplast Research. Pergamon Press. Oxford, pp 327-340. Xu XY, Liu JH, Deng XX. 2006. Isolation of cytoplasts from Satsuma Mandarin (Citrus unshiu Marc) and production of alloplasmic hybrid calluse via cytoplastprotoplast male sterility. Plant Cell Rep. 25:533-539. Yamamoto M, Kobayashi S. 1996. A cybrid plant produced by electrofusion bedween Citrus unshiu and C. sinensis. Plant Tiss. Cult. Lett. 12:131-137.
133
BAB VIII
PEMBAHASAN UMUM
Trend kebutuhan pasar dunia secara global akan buah jeruk yang dikonsumsi segar saat ini dan masa mendatang perlu memenuhi kategori buah yang tidak berbiji (seedless), mudah dikupas (easy peeling) dan mempunyai tipe mandarin dengan warna yang menarik (Khan 2008). Jeruk siam (Citrus nobilis Lour.) varietas Simadu adalah salah satu dari jenis jeruk batang atas komersial (scion) yang banyak dikenal di Indonesia. Akan tetapi buah jeruk tersebut masih mempunyai biji yang banyak (15-23 biji per buah) dan warnanya belum begitu menarik sehingga kalah bersaing dengan jeruk produk negara lain (Husni 2007). Untuk menghindari tekanan buah jeruk impor tersebut maka diperlukan sentuhan inovasi teknologi terhadap jeruk lokal tersebut
untuk meningkatkan kualitas buah sehingga dapat diterima dan
bersaing di pasar global. Raza et al. (2003) menyatakan bahwa untuk mendapatkan tanaman jeruk yang mempunyai karakter buah seedless pada tanaman jeruk dapat diperoleh dengan beberapa cara seperti; 1) persilangan secara seksual, 2) triploid spontan, 3) persilangan seksual tanaman jeruk yang diploid dengan yang haploid atau sebaliknya dan diikuti dengan penyelamatan embrio, 4) induksi mutasi, 5) kultur endosperma, 6) hibridisasi somatik dengan teknik fusi protoplas, dan 7) transgenik melalui rekayasa genetik. Fusi protoplas adalah penggabungan dua genom dari dua tetua sel somatik untuk menghasilkan hibrida. Melalui fusi protoplas dapat dilakukan hibridisasi antar spesies, interspesies dan intergenus terutama pada tanaman yang tidak bisa disilangkan secara konvensional (Grosser and Gmitter 2005). Hibrida yang dihasilkan dari
hibridisasi aseksual
berbeda konstitusi genetiknya dengan hibrida yang
dihasilkan dari persilangan secara seksual. Hibrida somatik yang dihasilkan dari fusi protoplas
bisa menghasilkan rekombinan genetik yang ada di sitoplasma selain
rekombinan dari inti sel. Peluang rekombinan yang dihasilkan dari hibrida somatik
134
lebih banyak dari pada hibrida seksual karena
rekombinan genetik dari hibrida
seksual hanya berasal dari inti saja tanpa adanya rekombinasi genetik dari sitoplasma. (maternal sitoplasmik). Teknik fusi protoplas pada tanaman jeruk sudah dimulai digunakan dalam perbaikan mutu genetik jeruk oleh Ohgawara et al. (1985) yang melaporkan keberhasilannya mendapatkan tanaman hibrida somatik dari dua genus yang berbeda antara C. sinensis dengan Poncirus tripoliata yang secara genetik inkompatibel. Berdasarkan keberhasilan tersebut maka teknik fusi protoplas mulai banyak digunakan untuk memperbaiki mutu genetik tanaman jeruk hingga saat ini. Grosser et al. (2000) melaporkan sedang menguji lebih dari 150 kombinasi jenis tetua yang berpotensial untuk jeruk batang atas dan batang bawah yang dihasilkan melalui fusi protoplas di pusat penelitian tanaman jeruk Florida, USA.
Guo et al. (2004)
melaporkan bahwa terdapat lebih dari 250 kombinasi dari 40 tetua jeruk hasil fusi protoplas saat ini. Jeruk mandarin Satsuma (C. unshiu Marc.) merupakan jenis jeruk introduksi yang secara alami mempunyai sifat seedless dengan jumlah genom 2n=2x=18 (Kunitake et al. 1991; Spiegel-Roy and Goldschmidt 1996). Yamamoto et al. (1997) telah membuktikan melalui persilangan seksual dan silang balik bahwa pollen jeruk mandarin Satsuma adalah steril (MS) yang dikendalikan oleh gen yang ada di sitoplasmik yang disebut cytoplasmic male sterility (CMS). Untuk memindahkan sifat CMS dari mandarin Satsuma ke kultivar jeruk lainnya seperti siam Simadu sangat sulit dilakukan melalui pemuliaan konvensional yang disebabkan oleh adanya faktor inkopatibilitas, nusellus ployembrioni, dan masa juvenil yang lama. Oleh karena itu perlu dicari cara lain untuk memindahkan sifat seedless dari jeruk mandarin Satsuma ke kultivar jeruk siam Simadu. Salah satu cara yang dapat digunakan secara efisien dan efektif adalah melalui hibridisasi somatik dengan teknik
fusi protoplas. Melalui fusi protoplas dapat
diperoleh kombinasi genetik dari dua tetua yang tidak kompatibel, bahkan dapat diperoleh rekombinasi genetik yang ada disitoplasma sehingga sifat CMS yang dikontrol oleh gen yang ada disitoplasma (mtDNA) dapat diperoleh. Cai et al. (2007)
135
melaporkan hasil fusi protoplas antara C. unshiu dengan kultivar jeruk tradisional China yang mempunyai biji yang banyak C. sinensis (orange) kultivar Bingtang menghasilkan buah yang rasanya khas, biji 6-10 biji/buah dan laku dipasaran. Oleh karena itu perlu dilakukan fusi protoplas antara jeruk siam Simadu dengan mandarin Satsuma. Pada penelitian ini telah berhasil dilakukan issolasi protoplas dari jaringan daun dan kalus, induksi fusi menggunakan PEG, kultur protoplas dan regenerasi hasil fusi menjadi tanaman, dan mengidentifikasi hibrida somatik dari tanaman regeneran yang diperoleh.
Isolasi, fusi protoplas, kultur protoplas dan regenerasi Faktor-faktor penting yang mempengaruhi keberhasilan perbaikan tanaman melalui fusi protoplas adalah sumber protoplas yang dipergunakan, metode isolasi protoplas, jenis dan konsentrasi enzim yang digunakan, metode fusi protoplas yang digunakan, media dan kondisi fisik kultur pada saat fusi dan setelah fusi, media regenerasi yang digunakan, kondisi fisik kultur, zat pengatur tumbuh yang digunakan, dan metode seleksi serta identifikasi hibrida somatik yang digunakan. Isolasi protoplas dari tanaman mulai banyak digunakan pada tahun 1960 menggunakan larutan enzim.
Pada tahun 1960
Cocking berhasil mengisolasi
protoplas yang hidup (viable) dari jaringan akar tomat melalui perlakuan dalam larutan enzim selulase yang diperoleh dari jamur Myrothecium verrucaria. Pada tahun 1968, preparasi isolasi dan purifikasi protoplas dari jaringan tanaman mulai dilakukan secara komersial menggunakan larutan enzym selluase dan maserozim (Veilleux et al. 2005). Jumlah dan viabilitas protoplas yang dihasilkan dalam isolasi protoplas suatu jaringan tanaman sangat dipengaruhi oleh jenis, konsentrasi dan kombinasi enzim serta lama inkubasi yang digunakan. Kombinasi enzim selulase Onozuka R10-Yakult (0.2-2%) dan maserozim R10-Yakult (0.1-1%) merupakan jenis enzim yang banyak digunakan untuk isolasi protoplas dari jaringan tanaman (Ferreira dan Zelcer 1989). Mendes da Gloria et al. (2000) menggunakan kombinasi selulase Onozuka R10 1% dengan maserosim 1% serta pectolyase Y-23 (Seshin) 0.2% dengan jumlah yang
136
banyak dan dapat diregenerasikan menjadi tanaman setelah difusikan. Adanya manitol dalam larutan enzim dan media juga sangat penting untuk menjaga kestabilan osmotik protoplas sehingga tidak pecah. Selain jenis, konsentrasi, kombinasi enzim dan lama inkubasi, serta jaringan yang digunakan sebagai sumber protoplas juga sangat berpengaruh dalam keberhasilan isolasi protoplas. Tusa et al. (2000) dan Ohgawara et al. (1991) berhasil mengisolasi protoplas dari daun hasil perkecambahan biji secara in vitro dari tanaman jeruk dan berhasil diregenerasikan menjadi tanaman. Penggunaan jaringan tanaman yang berasal dari hasil kultur in vitro sangat baik digunakan sebagai sumber protoplas karena lingkungan tumbuhnya terkendali dan bebas dari kontaminan. Jaringan yang digunakan dapat berupa kalus, kotiledon, suspensi sel, daun, tunas dan embrio somatik (Veilleux et al. 2005). Keberhasilan penggunaan kalus embriogenik sebagai sumber protoplas pada tanaman jeruk pertama kali dilaporkan oleh Vardi et al. (1987) pada tanaman jeruk Shamouti orange (C. sinensis Osb.) dari kalus yang diinduksi dari ovul. Kemudian Vardi et al. (1987); Kobayashi et al. (1983) dan Grosser and Gmitter (1990) melaporkan keberhasilan kultur protoplas dari kalus yang diinduksi dari nuselus dan ovul. Penggunaan mesofil daun hasil kultur in vitro sebagai sumber protoplas juga sangat baik digunakan dan dapat diregenerasikan menjadi tanaman. Ohgawara et al. (1989) dan (1991) melaporkan keberhasilan kultur protoplas hasil fusi antara C. sinensis dengan C. paradise dan Tusa et al. (2000) pada tanaman jeruk lemon Femminelo. Penggunaan larutan dan konsentrasi sukrosa yang digunakan dalam pemurnian protoplas juga sangat berpengaruh terhadap keberhasilan memurnikan protoplas. Penggunaan sukrosa tunggal konsentrasi 21% dapat digunakan untuk mengapungkan protoplas pada tanaman solanum dengan baik (Sihachakr 1998). Husni et al. (2004) menggunakan sukrosa 21% untuk mengapungkan protoplas tanaman terung dengan rata-rata jumlah protoplas yang dihasilkan sebesar 12.9-14.3 x105 protoplas/g daun. Hal ini disebabkan oleh berat molekul
sukrosa lebih berat
dari pada protoplas sehingga protoplas akan mengapung pada saat disentrifugasi.
137
Sumber protoplas yang digunakan pada penelitian ini adalah kalus embriogenik dari jaringan nuselus jeruk siam Simadu dan mesofil daun jeruk mandarin Satsuma dari hasil perkecambahan biji secara in vitro. Kombinasi enzim yang digunakan pada penelitian ini adalah selulase Onozuka R10-Yakult 1% dengan macerozim R10-Yakult 1% dalam larutan CPW. Pemurnian protoplas menggunkan campuran sukrosa 25% dengan manitol 13%. Hasil penelitian menunjukkan bahwa kombinasi enzim tersebut dapat mengisolasi protoplas dari jaringan mesofil daun dan kalus embriogenik. Rata-rata jumlah protoplas yang dihasilkan adalah 15.7x105 protoplas/g kalus dan 13x105 protoplas/g daun.
Protoplas yang dihasilkan dari
mesofil daun berwarna kehijauan karena adanya klorofil, sedangkan protoplas yang berasal dari kalus tidak berwarna hijau karena tidak mengandung klorofil. Penggunaan protoplas yang berasal dari kalus dan daun juga mempermudah pengamatan pada saat induksi fusi dilakukan karena protoplas yang dihasilkan warnanya berbeda sehingga dapat diperoleh yang heterofusi. Terjadinya fusi protoplas diinduksi oleh adanya PEG yang dapat memacu terjadinya adhesi antar protoplas meskipun dapat terjadi secara spontan. Kemampuan PEG memacu adhesi protoplas diawali dengan aglutinasi sehingga dapat merubah fungsi membran sel protoplas. Pada saat awal membran sel tertutup,
protein
permukaan pindah untuk membentuk daerah yang kaya lipid. Selama periode tersebut pengaruh dehidrasi PEG pada membran sel dan kemampuan PEG mengikat posfolipid dalam membran menginduksi adhesi antar sel-sel yang berdampingan (Gamborg et al. 1981; Veilleux et al. 2005). Selain itu, cara penambahan PEG di empat titik pada campuran suspensi protoplas juga berpengaruh terhadap kemampuan PEG menginduksi fusi. Penambahan PEG pada bagian yang berlawanan akan meningkatkan frekuensi fusi karena adanya dorongan dari larutan PEG yang berlawanan sehingga dapat menempelkan antara protoplas yang satu dengan protoplas lainnya. Sihachakr (1998) menambahkan PEG dalam empat titik yang berlawanan disekitar suspensi protoplas untuk memfusikan protoplas pada tanaman kentang. Demikian juga Husni et al. (2004) menggunakan
138
cara yang sama untuk memfusikan protoplas tanaman terung dan protoplas yang difusikan dapat diregenerasikan menjadi tanaman. Keberhasilan dalam menginduksi terjadinya fusi protoplas pada penelitian ini sangat tergantung dari kadar konsentrasi dan periode inkubasi yang digunakan dalam larutan PEG. Berdasarkan pengamatan tipe fusi yang dihasilkan diperoleh bahwa semakin lama waktu inkubasi semakin banyak pula jumlah protoplas yang berfusi baik yang hetero fusi, homo fusi maupun multi fusi. Penggunaan PEG 30% lebih efektif dalam menginduksi terjadinya fusi dari pada 4%. Tipe fusi yang dihasilkan adalah binner fusi (hetero fusi dan homo fusi) dan multi fusi. Rata-rata jumlah protoplas berfusi yang dihasilkan dari induksi fusi dengan PEG 4% adalah 3.3 fusan yang hetero fusi, 5 fusan yang homo fusi dan multi fusi. Sedangkan rata-rata jumlah protoplas berfusi yang dihasilkan dari induksi fusi dengan PEG 30% adalah 4.7 fusan yang hetero fusi, 6.7 fusan yang homo fusi, dan 7.7 fusan. Penambahan larutan pencuci (0.5 M manitol+0.5 mM CaCl2 setelah 15 menit induksi fusi juga dapat meningkatkan frekuwensi fusi baik dari induksi fusi dengan PEG 4% maupun induksi fusi dengan PEG 30% kecuali multi fusi dari PEG 30% Keberhasilan regenerasi protoplas hasil fusi pada media kultur yang digunakan dipengaruhi oleh konsentrasi PEG yang dipakai untuk menginduksi terjadinya fusi. Protoplas yang difusikan dengan PEG 4%
dapat beregenerasi
membentuk dinding sel, melakukan pembelahan sel, koloni sel, mikro kalus dan embrio somatik pada media, sedangkan protoplas yang difusikan dengan PEG 30% hanya dapat beregenerasi membentuk dinding sel dan pembelahan sel. Media yang baik yang digunakan pada kultur protoplas pada umumnya sama dengan media kultur jaringan bahan tanaman lainnya atau modifikasinya. Sukrosa yang ada dalam media kultur sangat dibutuhkan untuk menstimulasi pembentukan divisi sel. Penambahan sukrosa dalam media sangat diperlukan sebagai sumber karbon
dan osmotik stabiliser. Penambahan zat pengatur tumbuh juga sangat
dibutuhkan untuk mendorong pembelahan sel membentuk divisi sel baik auksin maupun sitokinin (Cocking 1960; Binding et al. 1982; Sihachakr et al. 1998; Veilleux et al. 2005).
139
Pada penelitian ini media MT dan MW merupakan media kultur yang baik untuk regenerasi protoplas hasil fusi membentuk dinding sel, melakukan pembelahan sel dan pembetukan koloni sel. Media MT dan MW merupakan media kultur yang baik digunakan untuk meregenerasi dinding sel. Persentase keberhasilan regenerasi protoplas membentuk dinding sel per bidang pandang paling baik berasal dari media MT dengan keberhasilan regenerasi sebanyak 21.8% dari induksi fusi dengan PEG 4% dan 11.6% dari induksi fusi dengan PEG 30%. Kemudian diikuti oleh media MW sebanyak 21.1% dari induksi fusi dengan PEG 4% dan 16.7% dari induksi fusi dengan PEG 30%, KM sebanyak 12.2% dari induksi fusi dengan PEG 4% dan 7.8% dari induksi fusi dengan PEG 30%, dan VKM sebanyak 11.7% dari induksi fusi dengan PEG 4% dan 5.3% dengan PEG 30%. Terbentuknya dinding sel protoplas secara sempurna ditandai dengan bentuk protoplas yang tidak bulat lagi dan di sekeliling sel protoplas terlihat lebih tebal. Proses awal pembelahan mitosis sel ditandai dengan adanya dua bakal sel hasil pembelahan yang belum sempurna dan terbentuknya dua sel pada akhir pembelahan sehingga terbentuk sel-sel baru yang sempurna. Pemberian cahaya pada kultur setelah terbentuknya dinding sel dapat mendorong pertumbuhan dan perkembangan sehingga terbentuk koloni-koloni sel. Koloni sel tersebut jelas terlihat dari penampakan media kultur yang semakin keruh yang dipenuhi dengan noktah kecil tersebar dalam media dengan warna putih. Koloni sel tersebut ditandai dengan adanya sel-sel baru disekitar sel protoplas yang mempunyai plasma yang penuh, inti besar, dan vakuolanya lebih kecil. Banyaknya rata-rata jumlah
koloni sel yang dihasilkan per setiap bidang
pandang pengamatan dari media MT dan MW berbeda dibandingkan media KM dan VMW. Rata-rata jumlah koloni sel yang dihasilkan dari media MT adalah 11.3% dan 10.3% dari media MW, 6.3% dari media KM dan 4.7% dari media VMW dari kultur hasil fusi dengan PEG 4%, sedangkan jumlah rata-rata koloni sel dari kultur hasil fusi dengan PEG 30% adalah 0.1% dari media MT dan MW. Pengenceran media kultur sangat diperlukan untuk mendorong pertumbuhan dan perkembangan koloni sel. Satu minggu setelah pengenceran koloni sel belum terlihat adanya mikrokalus yang terbentuk, akan tetapi koloni sel yang terlihat
140
semakin banyak. Mikro kalus mulai muncul pada pengamatan minggu ke-2 yang dapat terlihat secara jelas dengan kasat mata berwarna putih susu. Sampai akhir pengamatan, 4 minggu setelah kultur jumlah mikro kalus terus bertambah banyak. Rata-rata mikrokalus yang dihasilkan adalah 5.7 pada media KM, 4.3 pada media VKM, 23.7 pada media MT dan 28.3 pada media MW. Selain itu embrio somatik juga terbentuk langsung pada media MW dengan jumlah rata-rata sebanyak 7 fase globular, 3 fase torpedo dan 3.5 fase hati. Kecepatan
pertumbuhan
dan
perkembangan
koloni
sel
membentuk
mikrokalus dipengaruhi oleh media dasar yang digunakan. Tipe mikro kalus yang berasal dari media MT dan MW bersifat embriogenik yang ditandai dengan adanya pre-embrio (pem) dan struktur kalusnya yang bergranul, sedangkan pada media KM dan VKM berwarna coklat kehitaman. Pada media MW diperoleh adanya proses embriogenesis somatik yang ditandai dengan adanya embrio somatik yang terbentuk pada media MW. Adanya struktur embrio somatik pada media MW mengindikasikan terjadinya proses embriogenesis somatik secara langsung yang berasal dari sel-sel somatik yang bersifat meristematik. Sel-sel meristematik tersebut berasal dari kalus embriogenik yang digunakan sebagai
sumber protoplas. Embriogenesis somatik
mempunyai potensi morfogenik yang tinggi membentuk individu baru dari hasil proses embriogenesis dari sel somatik (von Arnold et al. 2002). Embriogenesis somatik secara langsung terjadi dari sel-sel tunggal yang meristemoid yang bersifat embryoid dan aktif membelah sehingga tumbuh dan berkembang membentuk preembrio yang mempunyai dua kutub (bipolar) yang akan muncul tunas dan akar. Identifikasi hibrida somatik Populasi dari tanaman yang diregenerasikan dari fusi protoplas mengandung variabilitas genetik yang lebih tinggi dibandingkan variabilitas dari populasi tanaman yang dihasilkan dari hibrida seksual (Wenzel 1980; Grosser and Gmitter 1990; dan Spiegel-Roy dan Goldschmidt 1996). Hal ini disebabkan oleh adanya rekombinasi gen yang terdapat pada sitoplasma selain rekombinasi gen yang ada pada inti sel.Variabilitas teramati pada bagian yang berbeda dari karakter fenotipik seperti
141
tinggi tanaman, bentuk daun, ukuran daun, ukuran petiol, panjang daun, warna bunga, bentuk buah, dan viabilitas serbuk sari (Kobayashi and Ohgawara 1988; Sihachakr et al. 1998; Grosser and Gmitter 1990; Yamamoto and Kobayasi 1995; Fu et al. 2003). Variabilitas dari hibrida somatik juga dapat terjadi akibat subkultur kalus yang terusmenerus, ketidak stabilan dari kombinasi inti sel yang menyebabkan hilangnya ekspresi gen atau hilangnya bagian dari informasi genetik dan adanya segregasi sitoplasma atau inti setelah fusi sehingga menghasilkan kombinasi yang unik (Ammirato et al. 1983). Menurut Veilleux et al. (2005) tanaman hibrida somatik yang dihasilkan dapat diidentifikasi dari tanaman yang tidak berfusi, tanaman homo fusi, dan tanaman yang multi fusi. Hibrida somatik tersebut merupakan kombinasi dari kedua tetua yang difusikan. Jumlah kromosom hibrida somatik seharusnya merupakan penjumlahan dari jumlah kromosom sel yang berfusi. Untuk mengidentifikasi hibrida somatik pada tahap awal dapat dilakukan dengan menentukan tingkat ploidi secara cepat dengan Flow Cytometry sehingga dapat dibedakan regeneran hasil fusi dengan non fusi. Kemudian dilakukan dengan cara menghitung jumlah kromosom, jumlah dan ukuran stomata, dan jumlah sel kloroplas (Jaskani 1998; Xu et al. 2006; Cai et al. 2007). Dari hasil identifikasi yang telah dilakukan terhadap semua regeneran yang diuji diperoleh 5 regeneran yang memperlihatkan pertumbuhan tunas dan jumlah daun gabungan dari jeruk mandarin Satsuma dengan jeruk siam Simadu berdasarkan hasil keragaan in vitro pada media tumbuh selektif (MW+EM 500 mg/l). Identifikasi lebih lanjut dengan marka
molekuler ISSR menggunakan primer ISSR 8 dapat
menghasilkan pola pita genetik yang polimorfis dengan kedua tetuanya. Dari 5 regeneran kandidat hibrida somatik yang diuji hanya diperoleh 4 regeneran yang teramplifikasi secara sempurna (R6, R7, R10 dan R19). Berdasarkan pola pita yang dihasilkan jelas memperlihatkan bahwa regeneran-regeneran tersebut adalah hibrida somatik. Hal ini diperkuat dengan jumlah kromosomnya merupakan kelipatan dari kedua tetuanya (36 pasang) kecuali R10 dengan jumlah kromosom 35 pasang. Demikian juga halnya dengan warna dan tulang daun serta kandungan klorofilnya dari hibrida somatik merupakan intermediet dari kedua tetuanya.
142
BAB IX
SIMPULAN UMUM DAN SARAN
Simpulan Dari rangkaian hasil penelitian yang sudah dilakukan dapat disimpulkan sebagai berikut: 1. Daun in vitro dan kalus embriogenik dapat digunakan sebagai sumber untuk isolasi protopolas dari tanaman jeruk siam simadu, siam Pontianak dan dan mandarin Satsuma. 2.
Kombinasi enzim yang sederhana (1% selulase onozuka Onozuka RS Yakult + 1% maserozim Onozuka R-10 Yakult) merupakan kombinasi enzim yang dapat digunakan untuk mengisolasi protoplas yang berasal dari jaringan mesofil dauan dan kalus embriogenik.
3. Penambahan manitol 13% dalam larutan purifikasi (sukrosa 25%) dapat meningkatkan perolehan jumlah protoplas dari daun in vitro dan kalus embriogenik dengan kerapatan yang tinggi (105 protoplas/g eksplan). 4. Konsentrasi PEG yang digunakan untuk menginduksi fusi
protoplas
berpengaruh terhadap jumlah rata-rata protoplas berfusi yang dihasilkan. 5. Frekuwensi terjadinya fusi protoplas meningkat setelah penambahan larutan pencuci. 6. Protoplas yang dihasilkan dari daun in vitro mempunyai warna yang berbeda dengan protoplas yang berasal dari kalus emriogenik. Warna protoplas yang berasal dari daun berwarna kehijauan sedangkan protoplas yang berasal dari kalus tidak berwarna. 7.
Keberhasilan regenerasi protoplas hasil fusi pada media kultur yang digunakan dipengaruhi oleh konsentrasi PEG yang dipakai untuk menginduksi terjadinya fusi. Protoplas yang difusikan dengan PEG 4% dapat beregenerasi membentuk dinding sel, melakukan pembelahan sel, koloni sel, mikro kalus dan embrio somatik pada media, sedangkan protoplas yang difusikan dengan
143
PEG 30% hanya dapat beregenerasi membentuk dinding sel dan pembelahan sel. 8. Media kultur yang baik digunakan untuk regenerasi adalah MW dan MT. Penambahan ABA 0.5 mg/l dalam media MW dapat mendewasakan embrio somatik dan GA 3
0.5 mg/l dapat menginduksi perkecambahan embrio
somatik menjadi plantlet (19 plantlet) dengan efisiensi sebesar 76%. 9. Dari 19 regeneran yang diperoleh didapat 4 hibrida somatik setelah dilakukan serangakaian pengujian terhadap pertumbuhan kultur in vitro pada media tumbuh selektif (MW+EM 500 mg/l), evaluasi molekuler dengan penanda ISSR menggunakan primer ISSR8, penghitungan jumlah kromosom, dan pengamatan terhadap warna daun, tulang daun dan kandungan klorofil daun.
Saran 1. Perlu dilakukan pengamatan lebih lanjut terhadap karakter morfologi buah dan warna di lapang terhadap semua regeneran yang dihasilkan, khususnya hibrida somatik yang diperoleh. 2. Perlu dilakukan evaluasi molekuler secara dini terhadap karakter seedless menggunakan primer yang spesifik terhadap semua regeneran dan hibrida somatik yang diperoleh. 3. Aplikasi fusi protoplas perlu dilakukan terhadap jenis dan varietas jeruk batang atas lainnya untuk meningkatkan keragaman genetik yang lebih luas sehingga dapat dihasilkan karakter unggul pada jenis jeruk lainnya. 4. Aplikasi teknik fusi protoplas juga perlu dilakukan terhadap jeruk batang bawah untuk karakter sifat ketahanan terhadap cekaman biotik maupun abiotik.
144
BAB X DAFTAR PUSTAKA UMUM Ammirato PV, Evan DAA, Sharp WR, Yamada Y. 1983. Handbook of Plant Cell Culture. Vol 1. MacMillan Publ. Co. New York, London. Binding HS, Jair SM, Finges G, Mordhorst R, Nchls, Gresel J. 1982. Somatic hybridization of an atrazine resistance of Solanum nigrum with S. tuberosum. Part 1: Clonal variation in morphology and in atrazine sensitivity. Theor. Appl. Genet. 63:273-277. Cocking EC. 1960. A method for isolation of plant protoplast and vacuali. Nature. 187:962-963. Constabel, F., H. Koblitz, J.W. Kirkpatrick and S. Rambold. 1980. Fusion of cell sap vacuoles subsequent to protoplast fusion. Can. J. Bot. 58:1032-1034. Cai
X, Fu J, Deng XX, and Guo WW. 2007. Production and molecular characterization of potential seedless cybrid plants between pollen steril Satsuma mandarin and two seedy Citrus cultivars. Plant Cell Tiss Organ Cult. 90:275-283.
Ferreira DI and Zelcer A. 1989. Advances in protoplast research Solanum. Intl. Rev. Cytol. 115:1-65. Fu CH, Guo WW, Liu JH, and Deng XX. 2003. Regeneration of Citrus sinensis + Clausena lansium intergeneric triploid ang tetraploid somatic hybrids and their molecular identification. In Vitro Cell Dev. Sci.20:251-255. Gamborg, O.L., J.P. Shyluk and E.A. Shahin 1981. Isolation, Fusion and Culture of plant Protoplasts. In: Thorpe, T.A (Eds.). Plat Tissue Culture (Methods and applications in agriculture):Academic Press p.115-153. Grosser JW and Gmitter FG Jr. 1990. Protoplast fusion and citrus improvement. Plant Breeding Reviews. Portland, V.8, p.339-374. Grosser JW, Gmitter FG. 2005. Application of somatic hybridization and cybridization in crop improvement, with citrus as a model. In vitro Cell Dev. Biol Plant 39:360-364. Guo WW., Prassad D., Cheng YJ., Serrano P., Deng XX, and grosser.2004. Targeted cybridization in citrus: transfer of Satsuma cytoplasm to seedy cultivars for potential seedlessness. Plant Cell rep 22:752-758.
145
Husni A, Mariska I, dan Hobir. 2004. Fusi Protoplas dan regenerasi protoplas hasil fusi antara Solanum melongena dengan S. torvum. Jurnal Bioteknologi Pertanian 9(1):1-8. Husni A. 2007. Penerapan teknik fusi protoplas dalam dalam perakitan jeruk lokal tipe baru. Laporan Akhir Penelitian Riset Insentif Terapan TA.2007.Kejasama BB-Biogen dengan Menristek. 33h. Jaskani MJ.1998. Interploid hiybridization and regeneration of kinnow mandarin. A Thesis submitted in partial fulfiment of the requirements for the degree of Doctor of Philosophy in Horticulture Faculty of Agriculture University of Agriculture Faisal Abad, Pakistan.p.169. Kao KN and Michayluh MR. 1975. Nutrition requirements for growth of Vicia hajastana cell and protoplast at a very low population density inliquid media. Planta. 125:105-110. Khan SRA. 2008. Citrus quality too meet global demand (Agri Overview). Website:http:www.Pakissan.Com. Diakses tanggal 7 Agustus 2008. Kobayashi S, Uchimaya H, and Ikeda I. 1983. Plant regeneration from ‘Trovita’ orange protoplasts. Japan J. Breed.33:119-122. Kobayashi S and Ohgawara T.1988. Production of somatic hybrid plants through protoplast fusion in Citrus. J. Agric. Rev. Quarterly. 22:181-188. Kunitake H, Kagami H, and Mii M. 1991. Somatic embrtogenesis and plant regeneration from protoplasts of Stsuma?mandarin (Citrus unshiu Marc.) Scientia Horticilturae, 47:27-33. Mendes-da-Gloria FJ, Maurao Filho FA, Camargo LEA, and Mendes BMJ. 2000. Caipira sweet orange Rangpur lime: a swomatic hybrid with potential for use as rootstock in the Brazilian citrus industry. Genetic Molecular Biology, v.23, p. 661-665. Ohgawara T, Kobayashi S, Ohgawara E, Uchimiya H, Ishii S. 1985. Somatic hybrids plants obtained by protoplast fusion between (Citrus sinensis and Poncirus tripoliata). Theor Appl Genet. 71: 1-4. Ohgawara T, Kobayasi S, Ohgawara E, Uchimiya H, and Ishii S. 1989. Somatic hybrid plants obtained by protoplast fusion between (Citrus sinensis and Poncirus trifoliata). Theor. Appl. Genet. 71:1-4.
146
Ohgawara T, Kobayasi S, Ishii S, Yoshinaga K, and Oiyama I. 1991. Fertile fruit trees obtained by somatic hybridization: novel orange (Citrus sinensis) + Troyer citrange (C. sinensis x Poncirus trifoliate). Theor. Appl. Genet. 81:141-143. Purwito A. 1999. Fusi protoplas intra dan interspesies pada tanaman kentang. Disertasi Program Pasca Sarjana. IPB. Bogor. Raza H, Khan MM, Khan A. 2003. Seedlessness in citrus. Int. J. Agri. Biol. Vol. 5 (3):388-391. Sihachakr D. 1998. Culture Media and Protocols for Isolation and Fusion of Prtoplasts of Eggplant. Morphogenese Vegetale Experimentale, Bat.360.Universite Paris sud, France (Tidak dipublikasi). Spiegel-Roy P and Goldschmidt EE. 1996. Biology Of Citrus. Cambridge University Press. 221 p. Tusa N, Patta del Bosco S, Nigro F, and Ippolito A. 2000. Response of cybrids and a somatic hybrid of lemon to Phoma tracheiphila infections. HortScience 35:125-127. Vardi A, Breiman A, and Galun E. 1987. Citrus cybrids: production by donorrecipient protoplast fusion and verification by mitochondrial-DNA restriction profiles. Theor. Appl. Genet., 75:51-58. Veilleux RE, Compton ME, and Saunders JA. 2005. Use of Protoplasts for Plant Improvement In R.N. Trigiano and D.J. Gray (Eds) Plant Development and Biotechnology.187-200pp. CRC Press LLC. Von Arnold S, Sabala I, Bozhkov P, Kyachok J, and Filonova L. (2002). Developmental pathway of somatic embryogenesis. Plant Cell Tissue Organ Cult 69:233-249. Wenzel, G. 1980. Protplast techniques incorporated into applied breeding program. In: L. Ferenczy L and G. L. Farkas, (eds.). Advences in rotoplast Research. Pergamon Press. Oxford, pp 327-340. Xu XY, Liu JH, and Deng XX. 2006. Isolations of citoplats from Satsuma mandarin (Citrus unshiu Mrc.) and production of alloplasmic hybrid calluses via cytoplast-protoplsat fussion. Plant Cell rep. 25:533-539. Yamamoto M and Kobayashi S. 1995. A cybrid plant produced by electrofusion between Citrus unshiu and C. Sinensis. Plant Tiss Cult Lett 12:131-137.
147
Yamamoto M, Matsumoto R, Okudai N, and Yamada Y. 1997. Aborted anthers of Citrus result from gene-cytoplasmic male sterility. Sci Hortic 70:9-14.
144
BAB X DAFTAR PUSTAKA UMUM
Ammirato PV, Evan DAA, Sharp WR, Yamada Y. 1983. Handbook of Plant Cell Culture. Vol 1. MacMillan Publ. Co. New York, London. Binding HS, Jair SM, Finges G, Mordhorst R, Nchls, Gresel J. 1982. Somatic hybridization of an atrazine resistance of Solanum nigrum with S. tuberosum. Part 1: Clonal variation in morphology and in atrazine sensitivity. Theor. Appl. Genet. 63:273-277. Cocking EC. 1960. A method for isolation of plant protoplast and vacuali. Nature. 187:962-963. Constabel, F., H. Koblitz, J.W. Kirkpatrick and S. Rambold. 1980. Fusion of cell sap vacuoles subsequent to protoplast fusion. Can. J. Bot. 58:1032-1034. Cai
X, Fu J, Deng XX, and Guo WW. 2007. Production and molecular characterization of potential seedless cybrid plants between pollen steril Satsuma mandarin and two seedy Citrus cultivars. Plant Cell Tiss Organ Cult. 90:275-283.
Ferreira DI and Zelcer A. 1989. Advances in protoplast research Solanum. Intl. Rev. Cytol. 115:1-65. Fu CH, Guo WW, Liu JH, and Deng XX. 2003. Regeneration of Citrus sinensis + Clausena lansium intergeneric triploid ang tetraploid somatic hybrids and their molecular identification. In Vitro Cell Dev. Sci.20:251-255. Gamborg, O.L., J.P. Shyluk and E.A. Shahin 1981. Isolation, Fusion and Culture of plant Protoplasts. In: Thorpe, T.A (Eds.). Plat Tissue Culture (Methods and applications in agriculture):Academic Press p.115-153. Grosser JW and Gmitter FG Jr. 1990. Protoplast fusion and citrus improvement. Plant Breeding Reviews. Portland, V.8, p.339-374. Grosser JW, Ollitrault P, Olivares-Fuster O. 2000. Somatic hybridization in Citrus: an effective tool to facilitate variety improvement. In Vitro Cell Dev Biol Plant 36:434-449. Grosser JW, Gmitter FG. 2005. Application of somatic hybridization and cybridization in crop improvement, with citrus as a model. In vitro Cell Dev. Biol Plant 39:360-364.
145
Guo WW., Prassad D., Cheng YJ., Serrano P., Deng XX, and grosser.2004. Targeted cybridization in citrus: transfer of Satsuma cytoplasm to seedy cultivars for potential seedlessness. Plant Cell rep 22:752-758. Husni A, Mariska I, dan Hobir. 2004. Fusi Protoplas dan regenerasi protoplas hasil fusi antara Solanum melongena dengan S. torvum. Jurnal Bioteknologi Pertanian 9(1):1-8. Husni A. 2007. Penerapan teknologi fusi protoplas dalam perakitan jeruk lokal tipe baru. Laporan Akhir Penelitian, Kerja sama BB-Litbang Biogen dengan Menristek. 26 h. Jaskani MJ.1998. Interploid hiybridization and regeneration of kinnow mandarin. A Thesis submitted in partial fulfiment of the requirements for the degree of Doctor of Philosophy in Horticulture Faculty of Agriculture University of Agriculture Faisal Abad, Pakistan.p.169. Kao KN and Michayluh MR. 1975. Nutrition requirements for growth of Vicia hajastana cell and protoplast at a very low population density inliquid media. Planta. 125:105-110. Khan SRA. 2008. Citrus quality too meet global demand (Agri Overview). Website:http:www.Pakissan.Com. Diakses tanggal 7 Agustus 2008. Kobayashi S, Uchimaya H, and Ikeda I. 1983. Plant regeneration from ‘Trovita’ orange protoplasts. Japan J. Breed.33:119-122. Kobayashi S and Ohgawara T.1988. Production of somatic hybrid plants through protoplast fusion in Citrus. J. Agric. Rev. Quarterly. 22:181-188. Kunitake H, Kagami H, Mii M. 1991. Somatic embrtogenesis and plant regeneration from protoplasts of Stsuma?mandarin (Citrus unshiu Marc.) Scientia Horticilturae, 47:27-33. Mendes-da-Gloria FJ, Maurao Filho FA, Camargo LEA, and Mendes BMJ. 2000. Caipira sweet orange Rangpur lime: a swomatic hybrid with potential for use as rootstock in the Brazilian citrus industry. Genetic Molecular Biology, v.23, p. 661-665. Ohgawara T, Kobayashi S, Ohgawara E, Uchi miya H, Ishii S. 1985. Somatic hybrids plants obtained by protoplast fusion between (Citrus sinensis and Poncirus tripoliata). Theor Appl Genet. 71: 1-4.
146
Ohgawara T, Kobayasi S, Ohgawara E, Uchimiya H, and Ishii S. 1989. Somatic hybrid plants obtained by protoplast fusion between (Citrus sinensis and Poncirus trifoliata). Theor. Appl. Genet. 71:1-4. Ohgawara T, Kobayasi S, Ishii S, Yoshinaga K, and Oiyama I. 1991. Fertile fruit trees obtained by somatic hybridization: novel orange (Citrus sinensis) + Troyer citrange (C. sinensis x Poncirus trifoliate). Theor. Appl. Genet. 81:141-143. Purwito A. 1999. Fusi protoplas intra dan interspesies pada tanaman kentang. Disertasi Program Pasca Sarjana. IPB. Bogor. Raza H, Khan MM, Khan A. 2003. Seedlessness in citrus. Int. J. Agri. Biol. Vol. 5 (3):388-391. Sihachakr D. 1998. Culture Media and Protocols for Isolation and Fusion of Prtoplasts of Eggplant. Morphogenese Vegetale Experimentale, Bat.360.Universite Paris sud, France (Tidak dipublikasi). Spiegel-Roy P and Goldschmidt EE. 1996. Biology Of Citrus. Cambridge University Press. 221 p. Tusa N, Patta del Bosco S, Nigro F, and Ippolito A. 2000. Response of cybrids and a somatic hybrid of lemon to Phoma tracheiphila infections. HortScience 35:125-127. Vardi A, Breiman A, and Galun E. 1987. Citrus cybrids: production by donorrecipient protoplast fusion and verification by mitochondrial-DNA restriction profiles. Theor. Appl. Genet., 75:51-58. Veilleux RE, Compton ME, and Saunders JA. 2005. Use of Protoplasts for Plant Improvement In R.N. Trigiano and D.J. Gray (Eds) Plant Development and Biotechnology.187-200pp. CRC Press LLC. Von Arnold S, Sabala I, Bozhkov P, Kyachok J, and Filonova L. (2002). Developmental pathway of somatic embryogenesis. Plant Cell Tissue Organ Cult 69:233-249. Wenzel, G. 1980. Protplast techniques incorporated into applied breeding program. In: L. Ferenczy L and G. L. Farkas, (eds.). Advences in rotoplast Research. Pergamon Press. Oxford, pp 327-340.
147
Xu XY, Liu JH, and Deng XX. 2006. Isolations of citoplats from Satsuma mandarin (Citrus unshiu Mrc.) and production of alloplasmic hybrid calluses via cytoplast-protoplsat fussion. Plant Cell rep. 25:533-539. Yamamoto M and Kobayashi S. 1995. A cybrid plant produced by electrofusion between Citrus unshiu and C. Sinensis. Plant Tiss Cult Lett 12:131-137. Yamamoto M, Matsumoto R, Okudai N, and Yamada Y. 1997. Aborted anthers of Citrus result from gene-cytoplasmic male sterility. Sci Hortic 70:9-14.